3.1 Wujud Kesantunan Imperatif Dalam Interaksi Antarsantri Putri Pondok Pesantren Sunan Drajat Banjaranyar Paciran Lamongan
Sebelum sampai pada masalah makna dasar pragmatik imperatif dan strategi kesantunan antarsantri putri Pondok Pesantren Sunan Drajat dilihat dari tingkat ilmu dan status kelembagaan, akan dibicarakan terlebih dahulu tentang wujud pemakaian kesantunan imperatif antarsantri putri, karena keduanya merupakan bagian integral dari penelitian ini.
Peneliti membagi kesantunan imperatif dalam bahasa Jawa dialek Lamongan menjadi wujud imperatif dan kesantunan imperatif. Wujud imperatif meliputi wujud imperatif formal (imperatif aktif dan imperatif pasif) dan wujud imperatif pragmatik (tuturan bermakna pragmatik imperatif desakan, bujukan, himbauan, persilaan, larangan, perintah, permintaan, dan ngelulu). Sedangkan kesantunan imperatif meliputi kesantunan linguistik (faktor panjang pendek tuturan, faktor urutan tutur, faktor intonasi tuturan dan isyarat-isyarat kinesik, dan faktor ungkapan-ungkapan penanda kesantunan yang meliputi penanda kesantunan tulung, ayo, coba, mbok/mbokya, dan ndang) dan kesantunan pragmatik (kesantunan pragmatik imperatif dalam tuturan deklaratif dan kesantunan pragmatik imperatif dalam tuturan interogatif). Berikut akan diuraikan lebih lanjut.
Tipe-tipe bentuk imperatif ini meliputi tipe imperatif aktif dan tipe imperatif pasif.
A. Imperatif Aktif
Imperatif aktif dalam bahasa Jawa dialek Lamongan pada penelitian ini dibedakan berdasarkan penggolongan verbanya menjadi dua macam, yakni imperatif aktif berciri tidak transitif dan imperatif aktif berciri transitif.
Dalam Moelijono (1992) dijelaskan bahwa kalimat tidak transitif atau tak transitif adalah kalimat yang tak berobjek. Penggunaan imperatif aktif berciri tidak transitif dalam interaksi antarsantri putri Pondok Pesantren Sunan Drajat bisa dilihat pada contoh di bawah ini.
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan seorang santri kepada temannya yang sudah akrab. Ketika itu mereka akan berpisah pulang saat liburan pondok.
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan seorang santri kepada temannya. Mereka sedang mendekorasi ruangan untuk acara muhadhoroh. Santri tersebut tidak puas dengan hasil dekorasi temannya dan menyuruh temannya turun dari kursi kemudian memberikan contoh cara mendekor seperti yang diinginkan.
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri saat latihan khitobah (lomba berpidato), yang saat itu latihan sendiri dan mendapati temannya mengintip kamar, sehingga santri tersebut menyuruh temannya untuk tidak ke kamarnya.
Contoh-contoh tuturan di atas menunjukkan bentuk-bentuk imperatif aktif yang tidak transitif. Verba tidak transitif tersebut berupa kata dasar seperti dolan, mudhun, dan mulih. Kata turunan seperti dolanan dalam kalimat Dolanana nang njaba! tidaklah mengalami perubahan. Demikian pula apabila verba tidak transitif merupakan kata turunan yang didahului dengan N- seperti pada nyapu dalam kalimat Ndang nyapu! maka verba itu tidak perlu ditanggalkan untuk membentuk tuturan imperatif aktif tidak transitif.
Bentuk imperatif tidak transitif dalam contoh di atas dapat dibentuk dengan ketentuan:
a. Menghilangkan subjek yang lazimnya berupa persona kedua seperti koen, sampeyan, kowe, kowe kabeh, awakmu dan lain-lain.
c. Menambah partikel a pada bagian tertentu untuk memperhalus maksud imperatif aktif tersebut.
Kalimat transitif adalah kalimat yang menuntut kehadiran objek atau pelengkap. Untuk membentuk tuturan imperatif aktif transitif, berlaku ketentuan yang telah diuraikan dalam membentuk tuturan tuturan aktif tak transitif.
B. Imperatif Pasif
Yang dimaksud dengan wujud imperatif pasif adalah realisasi terhadap bentuk imperatif yang verbanya pasif. Berikut ini terdapat bentuk-bentuk imperatif yang verbanya pasif.
Tuturan pada contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa subjek imperatif di sini cenderung definitive. Hal ini dapat dibuktikan bahwa bentuk-bentuk berikut cenderung tidak berterima.
Sedangkan pada contoh tuturan berikut ini justru menunjukkan kehadiran orang kedua yang dapat dikatakan cenderung tidak wajib. Hal ini dapat dibuktikan bahwa bentuk yang demikian ini lebih berterima.
Ambillah bukumu
Ambil bukumu
Belilah jilbabku.
Atas dasar temuan bentuk-bentuk tuturan tersebut maka dapat dinyatakan bahwa:
Orang kedua pada bentuk imperatif pasif dengan verba + -en tidak wajib hadir. Subjek bentuk imperatif pasif dengan verba + -en cenderung definit.
Bentuk-bentuk imperatif pasif yang verbanya berbentuk di- + verba + -ae seperti terdapat dalam contoh tuturan berikut:
Tuturan pada contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa subjek cenderung wajib hadir dan definit. Subjek tersebut seperti e pada sampahe, -ne pada radione, dan mu pada kitabmu. Kehadiran subjek yang wajib ini dapat dibuktikan dengan tidak berterimanya contoh-contoh tuturan berikut dalam konstruksi bahasa Jawa.
Walaupun bentuk-bentuk di atas dikatakan tidak berterima namun tidak menutup kemungkinan bentuk tuturan seperti itu mungkin ada atau dipakai dalam tuturan sehari-hari. Yang perlu diperhatikan bahwa bentuk tuturan yang semula diikuti subjek kemudian dihilangkan maka menjadikan tuturan itu berubah makna.
Wujud Pragmatik Imperatif adalah maksud imperatif, yakni apabila dikaitkan dengan konteks situasi tutur yang melatarbelakanginya. Makna tersebut sangat ditentukan konteksnya, baik konteks yang bersifat ekstralinguistik maupun intralinguistik.
Selain berwujud pragmatik, wujud pragmatik imperatif dalam bahasa Jawa dialek Lamongan ini dapat juga berupa tuturan dengan konstruksi nonimperatif. Dalam
konstruksi yang bermacam-macam tersebut ditemukan pula makna-makna pragmatik imperatif yang langsung maupun tidak langsung. Selanjutnya masingmasing wujud makna pragmatik imperatif tersebut diuraikan sebagai berikut:
Dalam bahasa Jawa dialek Lamongan, tuturan imperatif dengan makna desakan biasanya menggunakan kata ayo atau cepat sebagai pemarkah makna. Kadangkadang pula digunakan kata ndang untuk memberi penekanan maksud desakan. Tipe imperatif jenis ini dapat dilihat pada tuturan-tuturan berikut:
Konteks tuturan:
Tuturan ini diungkapkan seorang santri kepada temannya pada saat mereka mengerjakan kerajinan tangan di kamar pondok. Sementara sebentar lagi bel sholat maghrib akan berbunyi.
Konteks tuturan:
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut dituturkan oleh seorang pengurus kepada santri saat terdengar suara adzan.
Dalam komunikasi sehari-hari didapati tuturan yang menggunakan pemarkah imperatif desakan seperti ayo, cepet, dan ndang secara bersamaan. Makna pragmatik imperatif desakan dalam kegiatan bertutur santri dapat juga ditunjukkan dengan tuturan-tuturan tidak langsung yang berkonstruksi nonimperatif. Seperti dapat dilihat pada contoh berikut:
Konteks tuturan:
Tuturan ini disampaikan seorang santri kepada adik kelasnya yang kebetulan tinggal satu kamar.
Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan seorang santri kepada teman yang meminjam bukunya dan masih belum dikembalikan.
Imperatif bermakna bujukan dalam bahasa Jawa dialek Lamongan biasanya disertai dengan penanda kesantunan coba, yang bisa dilihat pada contoh berikut:
(20) Coba bukaen lemari iku, lek iso tak wei hadiah tepuk tangan.
Coba bukalah almari itu, kalau bisa aku beri hadiah tepuk tangan.
Coba buka almari itu, kalau bisa nanti aku beri hadiah tepuk tangan.
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan santri kepada teman sekamarnya. Dia menyuruh temannya untuk membuka pintu almari yang sulit dibuka.
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan ustadzah kepada santri yang dianggap pintar ketika dalam kegiatan belajar mengajar di kelas.
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan pengurus ketika bertemu santri di tangga yang saat itu kotor.
Dalam percakapan santri ponpes putri Sunan Drajat, sering ditemukan juga imperatif yang mengandung makna pragmatik bujukan yang tidak diwujudkan
dalam bentuk tuturan imperatif. Tuturan tersebut bisa diwujudkan dengan tuturan yang berbentuk deklaratif ataupun interogatif. Tuturan tersebut dapat dilihat pada contoh berikut:
Meskipun nanti gagal test SPMB, kan masih bisa ikut tes lainnya.
Konteks tuturan:
Tuturan ini disampaikan pengurus pondok kepada santri yang akan lulus dan akan mengikuti tes SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru).
Konteks tuturan:
Tuturan ini disampaikan seorang santri kepada temannya di koperasi pondok ketika keduanya melihat-lihat baju.
Dalam percakapan sehari-hari santri, tuturan yang bermakna imperatif himbauan sering menggunakan partikel a. Selain itu, imperatif jenis ini sering digunakan bersama dengan ungkapan penanda kesantunan mbok atau mbokya, seperti tampak pada contoh tuturan berikut:
Konteks tuturan:
Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan seorang ustadzah kepada santri yang berbicara dengan temannya ketika sedang mengaji.
(27) Lek ana acara muhadhoroh kados ngeten niki, sampeyan ya melua kabeh!
Kalau ada acara muhadhoroh seperti ini, kalian semua hendaknya ikut!
Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan seorang pengurus pondok ketika berpidato dalam acara muhadhoroh.
Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan seorang pengurus pondok kepada sesama pengurus pondok yang tidak ikut rapat pada hari sebelumnya.
Tuturan bermakna imperatif himbauan dapat juga diwujudkan dalam bentuk-bentuk tuturan nonimperatif seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Seperti pada tuturan berikut:
(29) Tugase santri iku nomer siji sinau lan ngamalna ilmune.
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut disampaikan ustadzah kepada para santri (murid) ketika mengaji. Tuturan itu dimaksudkan sebagai himbauan agar murid-muridnya belajar dengan rajin dan mengamalkan ilmu mereka.
(30) Wis dadi kewajibane santri kabeh njaga kebersihan pondok supoyo resik.
Sudah menjadi kewajibannya santri semua menjaga kebersihan pondok supaya bersih.
Sudah menjadi kewajiban semua santri untuk menjaga kebersihan pondok supaya terlihat bersih.
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut disampaikan pengurus kepada santri dalam acara muhadhoroh. Tuturan itu dimaksudkan sebagai himbauan agar seluruh santri menjaga kebersihan pondok.
(31) Mene atene ujian saiki gak sinau, iso ngerjakna ta?
Besok akan ujian sekarang tidak belajar, apakah besok bisa mengerjakan soal?
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut disampaikan santri kepada teman setingkat di bawahnya ketika satu hari menjelang ujian di pondok. Tuturan itu dimaksudkan sebagai himbauan agar mitra tutur belajar jauh hari sebelum ujian.
Dalam tuturan ini, biasanya para santri menggunakan penanda kesantunan monggo. Selain itu juga ditemukan penggunaan ayo dalam percakapan sehari-hari. Perbedaannya terletak pada siapa persilaan tersebut disampaikan. Tuturan tersebut bisa dilihat sebagai berikut:
Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan santri kepada temannya di depan kamar ketika akan berangkat sekolah.
Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan ustadzah kepada santri-santrinya di kelas saat akan dibagikan hasil ujian.
(34) Santri-santri mangke jam enem roan sedanten! Annadhofatu minal iman.
Santri-santri nanti jam enam kerja bakti semua! Kebersihan itu sebagian dari iman.
Bagi para santri nanti jam enam diharapkan kerja bakti! Kebersihan itu sebagian dari iman.
Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan pengurus melalui mikrofon kepada semua santri saat akan diadakan kerja bakti masal.
Konteks Tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri yang sedang makan di dalam kamar bersama teman-temannya, dan melihat ketua pondok lewat di depan kamar.
Tuturan jenis ini terkadang penanda kesantunan ayo dan monggo secara bersamaan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk persilaan yang menunjukkan kesantunan berlebih, namun kecenderungan ini bersifat penegasan saja seperti tampak pada tuturan berikut:
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut disampaikan seorang santri yang baru mendapatkan kiriman makanan dari keluarganya. Dia menawarkan kepada temannya sesama santri yang kebetulan adik kelasnya.
Tuturan jenis ini juga bisa berbentuk tuturan nonimperatif, yakni deklaratif dan interogatif. Contoh:
Di luar ramai.
Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan oleh dua orang santri yang sedang belajar bersama di depan kamar. Sedangkan di luar kamar ramai.
(38) Santri 1: Kitab sing mok silik gek ingi durung mari tak waca.
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan antarsantri di kelas saat keduanya akan kembali ke kamar masing-masing.
Santri 2: Lho kok wis yaene. Lek ngono aku tak mulih.
Lho kok sudah jam segini. Kalau begitu aku pulang sekarang.
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri kepada temannya yang pada malam hari ke kamarnya.
Dalam bahasa Jawa dialek Lamongan, imperatif larangan biasanya menggunakan penanda kesantunan ojo yang berarti jangan. Pemakaian tuturan dengan penanda kesantunan itu dapat dilihat pada contoh berikut:
Konteks tuturan:
Konteks tuturan:
Konteks tuturan:
Tuturan ini disampaikan pengurus kepada santri di kantor pengurus saat ada santri minta ijin.
Tuturan jenis ini juga bisa berbentuk tuturan nonimperatif, yakni deklaratif dan interogatif. Contoh:
Konteks tuturan:
Tuturan ini disampaikan pengurus kepada santri di ruangan saat acara khitobah akan dimulai.
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan pengurus kepada santri saat mendapati ada santri yang membuang sanpah sembarangan.
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan santri kepada temannya yang berbicara saat terdengar suara adzan.
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan ustadzah kepada santri ketika sedang mengajar dan mendapati dua santri yang sedang bicara sendiri.
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan pengurus keamanan kepada santri yang sering melanggar peraturan pondok.
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan pengurus kepada temannya yang posisinya agak jauh dari dia.
Dalam pemahaman bahasa Jawa santri sehari-hari ditemukan juga beberapa makna pragmatik imperatif perintah yang diwujudkan dengan tuturan nonimperatif. Imperatif ini maknanya hanya dapat diketahui melalui konteks situasi tutur yang melatarbelakanginya. Seperti tampak pada contoh berikut:
terserah.
Konteks tuturan:
Tuturan ini disampaikan pengurus keamanan yang menasehati santri yang sering kena hukuman karena sering melanggar peraturan pondok.
Tuturan di atas bisa ditafsirkan menjadi bermacam-macam kemungkinan makna oleh orang yang mendengarnya. Di bagian akhir tuturan tersebut terdapat kata ya monggo yang kemungkinan besar akan ditafsirkan sebagai sebuah imperatif bermakna persilaan. Sedangkan bagi sebagian orang, tuturan tersebut dapat ditafsirkan sebagai sebuah perintah walaupun secara tidak langsung di dalamnya mengandung maksud agar santri tersebut tidak selalu ditazir dengan tidak selalu melanggar peraturan pondok.
Dari contoh di atas kita bisa mengetahui bahwa konteks situasi tutur dapat menentukan kapan sebuah tuturan dapat ditafsirkan sebagai imperatif perintah dan kapan pula ditafsirkan sebagai makna pragmatik imperatif yang lain.
Konteks tuturan:
Tuturan ini disampaikan santri kepada sesama temannya di kamar ketika sudah lama disuruh duduk masih tidak mau.
Tuturan imperatif yang mengandung makna permintaan lazimnya terdapat ungkapan penanda kesantunan tulung atau frasa lain yang bemakna minta. Penggunaan penanda kesantunan tulung dalam tuturan pragmatik jenis ini bisa memperhalus suatu tuturan.
Konteks tuturan:
Konteks tuturan:
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan pengurus kepada santri. Saat itu ada tamu dari luar kota.
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan pengurus kepada pengurus untuk menggantikan qiroah pada acara muhadhoroh, dikarenakan santri tersebut berhalangan.
Dari penelitian didapatkan bahwa makna pragmatik imperatif permintaan banyak diungkapkan dengan konstruksi nonimperatif. Seperti pada contoh berikut.
(55) Santri 1: Buku sing sampeyan silih minggu wingi durung mari tak waca
Buku yang kamu pinjam minggu kemarin belum selesai aku baca.
Buku yang kami pinjam minggu kemarin belum selesai aku baca.
Konteks tuturan:
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut dituturkan pengurus kepada temannya sesama pengurus untuk membantu dia mengangkatkan meja untuk acara haul akbar.
Kata ngelulu berasal dari bahasa Jawa, yang bermakna seperti menyuruh mitra tutur melakukan sesuatu namun sebenarnya yang dimaksud adalah melarang melakukan sesuatu. Sebagaimana dalam penelitian Kunjana Rahardi, dalam penelitian ini penulis juga menggunakan istilah ngelulu semata-mata karena tidak dapat ditemukan kata bahasa Indonesia yang tepat sebagai pedanannya. Dalam tuturan jenis ini makna imperatif yang lazimnya diungkapkan dengan penanda kesantunan ojo justru tidak digunakan. Tuturan bermakna pragmatik imperatif ngelulu dapat dilihat pada contoh berikut:
Ayo teruskan!
Ayo teruskan!
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri kepada temannya ketika didapati sedang mencoret-coret buku santri tersebut.
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan ustadzah kepada santri karena tidak lancar membaca kitab kuning.
Lain kali kalau kembali ke pondok datang telat lagi saja ya!
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan pengurus kepada seorang santri yang sering telat datang ke pondok selesai pulang.
Jenis tuturan pragmatik imperatif ini bisa juga diwujudkan dengan tuturan nonimperatif.
(60) Santri 1: Gak menisan mbalik saulan engkas ae? Rugi lho.
Santri 1: (mencibir)
Konteks tuturan:
Tuturan itu diucapkan santri kepada temannya yang baru saja terlambat kembali ke pondok selama tiga hari.
Konteks tuturan:
Dalam pembahasan bagian ini, akan diuraikan dua hal pokok mencakup wujudwujud kesantunan berkaitan dengan pemakaian tuturan imperatif bahasa Jawa
dialek Lamongan, yaitu kesantunan linguistik dan kesantunan pragmatiknya. Kesantunan linguistik membahas mengenai ciri linguistik yang selanjutnya mewujudkan kesantunan linguistik, sedangkan kesantunan pragmatik membahas mengenai ciri nonlinguistik tuturan imperatif yang selanjutnya mewujudkan kesantunan pragmatik.
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa ada beberapa pemarkah linguistik yang menentukan kesantunan linguistik dalam tuturan imperatif bahasa Jawa dialek Lamongan, yaitu panjang pendek tuturan, urutan tutur, intonasi tuturan dan isyaratisyarat kinesik, dan pemakaian ungkapan penanda kesantunan. Kesemuanya itu dipandang sebagai faktor penentu kesantunan linguistik tuturan imperatif dalam penelitian ini.
Hasil penelitian Kunjana Rahardi menunjukkan bahwa panjang pendek suatu tuturan bisa mempengaruhi tingkat kesantunan. Semakin panjang tuturan yang digunakan akan semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin pendek sebuah tuturan akan cenderung menjadi semakin tidak santunlah tuturan itu. Panjang pendeknya suatu tuturan berhubungan sangat erat dengan masalah kelangsungan dan ketidaklangsungan dalam bertutur. Sedangkan kelangsungan dan ketidaklangsungan bertutur berkaitan dengan masalah kesantunan (Kunjana 2000: 120).
Konteks tuturan:
Tuturan di atas dituturkan oleh seorang santri kepada temannya dalam situasi yang berbeda-beda pada saat mereka berada dalam kelas.
Tuturan 62, 63, 64 dan 65 di atas memiliki makna yang intinya sama. Yang membedakan yaitu masing-masing tuturan memiliki jumlah kata dan ukuran panjang pendek yang tidak sama, yaitu secara berurutan semakin memanjang wujud tuturannya.
Dari segi kesantunan dapat dikatakan bahwa dari keempat tuturan itu, tuturan (62) secara linguistik berkadar kesantunan paling rendah, sedangkan tuturan (65) memiliki kadar kesantunan paling tinggi.
Namun dalam Pondok Pesantren Sunan Drajat hal tersebut hanya berlaku untuk tuturan santri terhadap santri, ustadzah terhadap ustadzah, dan pengurus terhadap pengurus. Sedangkan interaksi santri terhadap ustadzah dan pengurus berlaku sebaliknya, dimana tuturan pendek dinilai lebih santun sedangkan tuturan yang lebih panjang dinilai kurang santun, bahkan tidak santun. Perilaku santri yang tidak banyak bicara justru semakin menunjukkan bahwa santri tersebut semakin santun terhadap ustadzah maupun pengurus pondok. Perhatikan contoh tuturan berikut ini.
Konteks Tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri yang sedang makan di dalam kamar bersama teman-temannya, dan melihat ketua pondok lewat di depan kamar.
Dalam Ponpes Sunan Drajat hampir bisa dipastikan bahwa tuturan bermakna imperatif tidak ada dalam komunikasi santri terhadap ustadzah dan pengurus. Jika ada itu pun jarang sekali.
Urutan tutur sebuah tuturan berpengaruh besar terhadap tinggi rendahnya peringkat kesantunan tuturan yang digunakan pada saat bertutur. Dapat terjadi bahwa tuturan yang digunakan kurang santun, dapat menjadi jauh lebih santun ketika tuturan itu ditata kembali urutannya. Seperti pada contoh berikut:
Sudah jam 7 kurang seperempat, sebentar lagi bel berbunyi! Cepat mandinya!
Cepat mandinya! Sudah jam 7 kurang seperempat, sebentar lagi bel berbunyi!
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan seorang santri yang sedang antri mandi kepada temannya di kamar mandi.
Dari kedua tuturan di atas, tuturan (66) dianggap lebih santun daripada tuturan (67) meskipun pada intinya kedua tuturan tersebut memiliki maksud yang sama. Dengan demikian tuturan imperatif yang diawali dengan informasi nonimperatif didepannya memiliki kadar kesantunan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tuturan imperatif yang tanpa diawali informasi nonimperatif di depannya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Rahadi (2000) dalam penelitiannya.
Menurut Kridalaksana (2001: 85) intonasi yaitu suatu pola perubahan nada yang dihasilkan pembicara pada waktu mengucapkan ujaran atau bagian-bagiannya. Menurut Sunaryati dalam Rahardi (2000), intonasi dapat dibedakan menjadi intonasi berita, intonasi tanya, dan intonasi seruan. Intonasi memiliki peranan besar dalam menentukan tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah tuturan imperatif. Bisa dilihat pada tuturan berikut:
Tuturan di atas bisa berintonasi berita, beintonasi tanya, maupun berintonasi seruan. Selain itu tuturan tersebut juga berintonasi tinggi atau rendah (datar) yang mana hal tersebut menentukan tingkat kesantunan.
Di samping intonasi, kesantunan penggunaan tuturan imperatif dalam bahasa Jawa di Ponpes Putri Sunan Drajat juga dipengaruhi oleh isyarat-isyarat kinesik, meliputi ekspresi wajah, sikap tubuh, gerakan jari jemari, gerakan tangan, ayunan lengan, gerakan pundak, dan gelengan kepala. Misalnya seorang santri/murid mencium
tangan seorang pengurus pondok maupun ustadzah ketika bertemu dinilai lebih santun daripada tidak melakukan tindakan itu, begitu pula dengan menundukkan kepala dan tubuh ketika di depan pengurus atau ustadzah dinilai merupakan tindakan yang santun. Isyarat-isyarat kinesik ini berfungsi untuk mempertegas maksud tuturan.
Pemakaian penanda kesantunan dalam bertutur juga merupakan faktor penentu kesantunan lingusitik. Beberapa macam ungkapan penanda kesantunan dalam pemakaian tuturan bahasa Jawa di Ponpes Putri Sunan Drajat akan dijelaskan sebagai berikut:
Penggunaan penanda kesantunan tulung sebagai penentuan kesantunan linguistik bertujuan untuk memperhalus maksud tuturan imperatifnya. Dengan digunakannya penanda kesantunan ini tuturan tidak dianggap semata-semata hanya sebagai imperatif yang bermakna permintaan. Seperti terlihat pada contoh berikut:
Biasanya penanda kesantunan ayo digunakan di awal tuturan, namun ada pula yang menggunakan ayo di akhir tuturan. Makna imperatif yang dikandung dalam
tuturan dengan menggunakan tuturan ayo mempunyai makna ajakan, seperti pada tuturan berikut:
Sarapan dulu!
Kedua tuturan tersebut sebenarnya mempunyai maksud sama, yakni mengajak mitra tutur untuk sarapan. Namun ayo dalan tuturan tersebut mempengaruhi tingkat kesantunan.
Dengan menggunakan penanda kesantunan coba sebagai penentu kesantunan linguistik tuturan imperatif, maka akan menjadikan tuturan tersebut bermakna lebih halus dan lebih santun daripada yang tanpa menggunakan kata coba. Seperti pada tuturan berikut:
Coba, keluarlah
Lihatlah keluar
Keluarlah
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri kepada temannya di dalam kamar ketika mendengar ada suara benda jatuh di luar kamar.
Tuturan (71) mengandung makna imperatif lebih halus dan lebih santun jika dibandingkan dengan tuturan (72).
Dengan digunakannya penanda kesantunan mbokya, tuturan imperatif yang semula merupakan imperatif suruhan dapat berubah menjadi imperatif yang bermakna himbauan atau saran. Seperti tampak pada contoh berikut:
Makan seadanya!
Konteks tuturan:
Tuturan di atas disampaikan seorang pengurus pondok kepada temannya yang akan membeli makan di luar pondok karena merasa bosan dengan lauknya.
Dari kedua tuturan di atas, tuturan (74) mempunyai kadar kesantunan yang tinggi jika dibandingkan dengan tuturan (73).
Penggunaan penanda kesantunan ndang dalam bahasa Jawa dialek Lamongan mempunyai makna segera atau lekas. Penanda kesantunan ini sering dipakai untuk memperhalus maksud tuturan imperatif. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada tuturan berikut:
Konteks tuturan:
Konteks tuturan:
Tuturan (75) kadar tuntutannya lebih tinggi jika dibandingkan dengan tuturan (76), sehingga tuturan (75) memiliki kesantunan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tuturan (76).
Pada pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa makna pragmatik imperatif di dalam bahasa Jawa dialek Lamongan dapat diwujudkan dengan tuturan yang bermacam-macam. Dari data yang diperoleh, ditemukan bahwa makna pragmatik imperatif banyak diungkapkan dalam tuturan tidak langsung yang berwujud nonimperatif, yaitu tuturan deklaratif dan tuturan interogatif. Penggunaan tuturan nonimperatif untuk menyatakan makna pragmatik imperatif itu biasanya
mengandung unsur ketidaklangsungan. Dengan demikian dalam tuturan-tuturan nonimperatif itu terkandung aspek kesantunan pragmatik imperatif.
Kesantunan pragmatik imperatif dalam tuturan deklaratif dapat dibedakan menjadi bermacam-macam.
Tuturan dengan konstruksi deklaratif banyak digunakan untuk menyatakan makna pragmatik imperatif suruhan karena dengan tuturan itu muka si mitra tutur dapat terselamatkan. Cara menyatakan yang demikian dapat dianggap sebagai alat penyelamat muka karena maksud itu tidak ditujukan secara langsung kepada si mitra tutur. Coba perhatikan contoh berikut:
(77)Kerjakna dhewe-dhewe!
Kerjakan sendiri-sendiri!
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut disampaikan ustadzah kepada santri (murid)nya saat ulangan harian.
Tuturan di atas merupakan tuturan imperatif yang digunakan untuk menyatakan makna suruhan. Selain itu penutur juga bisa menggunakan tuturan yang berkonstruksi deklaratif seperti tampak pada contoh berikut:
Konteks tuturan:
Tuturan deklaratif bermakna pragmatik imperatif ajakan sering dituturkan dengan menggunakan tuturan imperatif dengan penanda kesantunan ayo. Hal ini dapat dilihat pada contoh berikut:
Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan santri kepada teman sekamarnya yang saat itu belum mengambil makanan di kantin untuk sarapan.
Dalam kegiatan bertutur sehari-hari, makna pragmatik imperatif ajakan ternyata banyak diwujudkan dengan menggunakan tuturan yang berkonstruksi deklaratif. Seperti pada dialog berikut:
(80) Santri 1: Mbak, aku durung sarapan iki. Kepingin nang kantin males gak ana
kancane.
Mbak, aku belum sarapan ini. Ingin ke kantin malas tidak ada
temannya.
Tuturan bermakna imperatif larangan imperatif dengan penanda kesantunan ojo yang maknanya jangan. Selain itu imperatif larangan juga ditandai oleh pemakain
bentuk pasif gak oleh tidak boleh dangak diolehi tidak diperbolehkan pada tuturan. Seperti pada contoh berikut:
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut disampaikan ketua pondok saat mendapati ada seorang santri yang akan mengaji dan masih berdiri di depan pintu kamar.
Konteks tuturan:
Kedua tuturan di atas berbeda dengan imperatif larangan secara pragmatik berikut ini:
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut disampaikan seorang ustadz kepada santri di ruang kelas saat mengaji.
Ketidaklangsungan pada tuturan (83) lebih jelas daripada tuturan (81) dan (82). Dengan demikian tuturan tersebut tingkat kesantunannya lebih tinggi jika dibandingkan dengan tuturan sebelumnya.
Selain dapat diwujudkan dengan tuturan deklaratif, makna pragmatik imperatif juga dapat diwujudkan dengan tuturan interogatif. Hal ini banyak ditemukan dalam percakapan sehari-hari santri.
Dengan digunakannya tuturan kerkonstruksi interogatif dalam menyatakan makna pragmatik imperatif itu dapat mengandung makna ketidaklangsungan yang cukup besar. Hal ini dapat dilihat pada bermacam-macam tuturan berikut:
Dalam kegiatan bertutur yang sebenarnya, tuturan interogatif dapat pula digunakan untuk menyatakan maksud atau makna pragmatik imperatif. Makna pragmatik
imperatif perintah dapat diungkapkan dengan tuturan interogatif ini. Seperti tampak pada contoh berikut:
Iya mbak.
Iya mbak.
Konteks tuturan:
Dituturkan oleh sesama pengurus di kamar pengurus setelah mendengarkan pengajian kiai Ghofur melalui radio.
Konteks tuturan:
Dari tuturan di atas bisa dilihat bahwa tuturan dengan maksud imperatif perintah dapat diungkapkan dengan menggunakan kosntruksi interogatif. Tuturan (85) mempunyai ciri ketidaklangsungan, sehingga tuturan (85) dianggap lebih sopan daripada tuturan (84).
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri kepada temannya yang saat itu mengerjakan PR dan dia masih belum sarapan.
Tuturan di atas bisa diketahui bahwa maksud imperatif ajakan dinyatakan dengan bentuk tuturan imperatif. Digunakannya penanda kesantunan ayo jelas menandakan bahwa tuturan itu secara linguistik bermakna ajakan. Tuturan dengan maksud yang sama bila diwujudkan dalam tuturan nonimperatif mengandung ketidaklangsungan yang tinggi. Dengan demikian maka tuturan tersebut memiliki kadar kesantunanyang tinggi pula. Seperti pada contoh bentuk tuturan interogatif di bawah ini:
Konteks tuturan:
Dalam kegiatan bertutur santri sehari-hari, banyak ditemukan bahwa tuturan interogatif dapat digunakan untuk menyatakan maksud imperatif permohonan. Dengan demikian maka makna kesantunan yang dimunculkan dari tuturan itu lebih tinggi daripada tuturan imperatif.
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut dituturkan ustadzah kepada temannya sesama ustadzah di kantor Diniyah.
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut dituturkan seorang santri kepada temannya karena telah memecahkan gelas kesayangannya.
Dengan digunakannya tuturan interogatif seperti pada tuturan berikut ini maksud imperatif permohonan yang sama akan dapat diungkapkan lebih santun lagi.
Konteks tuturan:
(89a) Apa aku sek disepura mbak Rini? InsyaAllah mene-mene gak tak baleni.
Apa aku masih dimaafkanmbak Rini? InsyaAllah besok-besok tidak aku ulangi.
Apakah mbak Rini masih memaafkan aku? InsyaAllah nanti tidak aku ulangi.
Konteks tuturan:
Pada lazimnya makna imperatif larangan dalam bahasa Jawa dengan menggunakan kata ojo atau gak oleh untuk menyatakan imperatif larangan dalam sebuah tuturan. Namun dalam komunikasi keseharian santri, banyak dijumpai makna imperatif larangan dengan konstruksi tuturan nonimperatif. Seperti tampak pada contoh berikut:
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut dituturkan oleh seorang pengurus pondok yang mendapati kamar santri yang berantakan dan masih belum disapu.
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut dituturkan oleh seorang pengurus kepada pada santri ketika memberi pidato dalam acara khitobah.
Bentuk imperatif santri terhadap ustadzah dan pengurus hampir bisa dipastikan tidak ada. Salah satu faktor penyebabnya yaitu norma-norma di pesantren yang mengharuskan santri untuk selalu hormat dan patuh kepada ustadzah dan pengurus, mengingat status ustadzah dan pengurus yang lebih tinggi daripada santri. Selain itu juga santri diharuskan mepunyai sikap isin, wedi dan sungkan ketika berkomunikasi dengan ustadzah dan pengurus. Hal inilah yang mengharuskan santri untuk menggunakan strategi kesantunan. Ulasan mengenai strategi kesantunan dilihat dari tingkat ilmu dan status kelembagaan akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan selanjutnya.
Wujud kesantunan imperatif antarsantri putri Pondok Pesantren Sunan Drajat bisa dilihat pada tabel berikut.
Sunan Drajat.
Wujud Imperatif
Imperatif formal
Imperatif Aktif
Imperatif Pasif
- verba + -en
- verba + -na
Imperatif Pragmatik
Kesantunan Imperatif
Kesantunan Linguistik
- Faktor ungkapan penanda kesantunan (tulung, ayo, coba, mbok/mbokya, ojo, ndang)
Kesantunan Pragmatik
3.2 Makna Dasar Pragmatik Imperatif Dalam Interaksi Antarsantri Putri Pondok Pesantren Sunan Drajat Dilihat Dari Tingkat Ilmu dan Status Kelembagaan
Pembahasan sebelumnya telah dirinci mengenai jenis-jenis tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif menjadi delapan makna, yaitu imperatif desakan, bujukan, himbauan, persilaan, larangan, perintah, permintaan dan ngelulu. Untuk mengetahui makna dasar atau pokok dari delapan makna tersebut perlu dibahas faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya suatu tuturan yang akhirnya juga mempengaruhi jenis makna pragmatik imperatif.
Hal-hal yang dimungkinkan mempengaruhi jenis makna pragmatik imperatif, antara lain secara umum adalah faktor kedudukan atau status sosial penutur (01) dan mitra tutur (02) dalam suatu peristiwa tutur. Perbedaan status sosial tersebut berlaku pada perbedaan tingkat ilmu (santri dan ustadzah) dan status kelembagaan (santri dan pengurus). Pada perbedaan tingkat ilmu bisa dilihat bagaimana interaksi santri terhadap santri, santri terhadap ustadzah atau sebaliknya, dan ustadzah terhadap ustadzah. Sedangkan pada status kelembagaan terlihat pada interaksi santri terhadap santri, santri terhadap pengurus atau sebaliknya, dan pengurus terhadap pengurus. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat sebagai berikut:
v Tingkat ilmu
Santri santri
Santri Ustadzah
Ustadzah Ustadzah
v Status kelembagaan
Santri Santri
Santri Pengurus
Pengurus Pengurus
Selain itu, tuturan perintah atau imperatif yang telah diucapkan oleh penutur akan mengakibatkan beban bagi mitra tutur untuk melakukan suatu tindakan. Seberapa jauh 02 dapat menghindar dari beban itu atau seberapa jauh 02 boleh memilih melakukan atau tidak dari tindakan itu, juga siapa yang mendapat manfaat/faedah dari terjadinya tuturan imperatif itu. Berdasarkan hal-hal ini maka kemungkinan bisa diketahui apa jenis makna dasar pragmatik imperatif dari ketujuh makna imperatif yang telah dikemukakan sebelumnya.
Kedudukan 01 terhadap 02 ditentukan oleh faktor-faktor sosial yang dimiliki oleh 01 maupun 02, yaitu tingkat ilmu dan status kelembagaan (apakah 01 berada di atas 02 atau di bawah 02). Bentuk kedudukan 01 dan 02 dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
Ketiga hubungan ini dibedakan pada faktor-faktor sosial 01 dan 02, yaitu berdasarkan tingkat ilmu dan status kelembagaan. Seorang ustadzah akan merasa mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada santrinya (muridnya). Demikian juga berlaku pada seorang pengurus kepada santrinya selaku sebagai orang yang dipimpinnya.
Kedudukan 01 terhadap 02 ini menurut penulis juga menentukan jenis makna dari tuturan pragmatik imperatif. Satu tuturan imperatif yang diucapkan oleh 01 dengan kedudukan 01 dan 02 sama () akan berbeda jenis makna pragmatik imperatifnya
bila diucapkan oleh 01 yang kedudukannya lebih rendah () atau yang lebih tinggi () daripada 02. Perhatikan contoh berikut.
Sambil berkipas-kipas sebagai tanda kepanasan, seorang ustadzah sedang berbincang-bincang dengan ustadzah dan santri lainnya dalam suatu ruangan ketika sedang mengaji bersama-sama. Dan seorang ustadzah tersebut menggunakan kalimat yang mengandung makna imperatif untuk membukakan jendela ruangan dengan menggunakan tuturan berikut:
Jika dilihat lebih teliti, satu tuturan pragmatik imperatif ini mengandung jenis makna lebih dari satu bila tanpa melihat ketiga jenis hubungan kedudukan 01 dan 02 di atas. Hal ini dapat dibuktikan dengan mengubah tuturan tersebut menjadi parafrase seperti di bawah ini.
Kalimat (1) yang mengandung makna suruhan dimungkinkan dituturkan oleh 01 yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada 02 (), yaitu ustadzah terhadap santrinya. Kalimat (2) yang mempunyai makna permintaan dimungkinkan dituturkan oleh 01 yang mempunyai kedudukan sama dengan 02 (), yaitu teman sesama ustadzah dalam ruangan itu. Jika tuturan tersebut diucapkan dalam konteks antara guru dan murid pada suatu sekolah (bukan di lingkup pesantren), makna yang dimungkinkan timbul bisa juga bermakna permohonan dengan dibuat parafrase Saya memohon pada anda untuk membuka jendela karena ruangannya panas sekali. Kalimat yang bermakna permohonan tersebut dimungkinkan dituturkan oleh 01 yang mempunyai kedudukan lebih rendah daripada 02 (). Namun tidak demikian untuk lingkungan pesantren. Seorang santri dinilai tidak santun jika memerintah ustadzahnya, meskipun makna yang terkandung dalam
tuturan tersebut bermakna permohonan sekalipun. Hampir bisa dipastikan hal itu tidak pernah terjadi di pesantren, meskipun jika tuturan tersebut merupakan tuturan tak langsung (wawancara dengan santri, Mei 2006).
Adanya jenis-jenis makna imperatif pragmatik seperti telah dikemukakan sebelunya berhubungan erat dengan sopan santun. Dalam imperatif (perintah) selalu ada orang yang mendapatkan beban dan ada orang yang mendapatkan manfaat dari tuturan perintah itu. Semakin mitra tutur tidak terbebani untuk melakukan tindakan dari perintah penutur maka semakin sopan tuturan perintah itu. Sebagaimana dikemukakan pada bab sebelumnya, Leech membagi tiga skala yang menunjukkan derajat sopan santun. Skala tersebut ialah skala untung-rugi, skala pilihan, dan skala kelangsungan. Ketiga skala pragmatik ini akan menentukan jenis makna pragmatik imperatif.
Isi tuturan imperatif (ilokusi) mengacu pada tindakan yang akan dilaksanakan oleh pembicara atau oleh mitra wicara. Setelah suatu perintah diucapkan oleh seorang penutur selalu ada pihak yang diuntungkan (manfaat) dan dirugikan (beban) dari tindakan yang diakibatkan oleh tuturan itu, apakah pihak itu adalah pihak 01, pihak 02 atau orang ketiga. Skala untung-rugi ini sebenarnya terdiri dari dua skala yang berbeda, yaitu untung rugi bagi 01 dan untung rugi bagi 02. Secara umum keadaan yang menguntungkan bagi 01 biasanya merugikan bagi 02, dan yang merugikan bagi 01 biasanya menguntungkan bagi 02.
Berdasarkan anggapan penutur, isi tuturan imperatif dapat diperingkatkan pada sebuah skala untung rugi. Perhatikan contoh kalimat berikut ini:
Merugikan Kurang
Menguntungkan Lebih
Isi tuturan imperatif pada contoh 93-97 di atas semakin ke bawah semakin menguntungkan mitra tutur, dan sebaliknya semakin ke atas semakin merugikan mitra tutur. Demikian pula, semakin menguntungkan mitra tutur maka semakin santun tuturan itu, dan sebaliknya semakin merugikan mitra tutur maka tuturan itu akan semakin tidak santun.
Suatu perintah dari seorang penutur yang menuntut tingkah laku 02 untuk melakukan suatu tindakan, seberapa jauh 02 boleh memilih (manasuka) untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan itu. Secara umum semakin tinggi unsur manasuka (pilihan) bagi 02 maka semakin santun tuturan imperatif itu, sebaliknya semakin rendah manasuka 02 maka semakin tidak santun tuturan imperatif itu.
Skala selanjutnya yaitu skala kelangsungan. Semakin tidak langsung tuturan perintah itu maka faktor manasuka (pilihan) 02 untuk memilih tidak melakukan tindakan semakin tinggi, dengan demikian akan semakin santun pula makna imperatif yang dikandungnya. Perhatikan contoh-contoh berikut ini.
Tuturan Kurang
langsung santun
Tutuplah pintunya!
Tutupkan pintunya!
Tutupkan pintunya!
Tutupkan pintunya!
Anginnya kencang
Tuturan Lebih
Contoh 98-103 di atas semakin ke bawah isi tuturan semakin tidak langsung, sehingga semakin santun pula tuturan itu. Sebaliknya semakin ke atas kadar kelangsungannya semakin rendah sehingga tuturan itu semakin kurang santun.
Pada prinsipnya suatu perintah atau imperatif yang diucapkan penutur menuntut suatu tingkah laku dari 02 atau bahkan 01 untuk melakukan sesuatu. Kashiwazaki dalam Roni (2005) mengungkapkan makna dasar ungkapan yang menuntut tingkah laku mitra tutur menjadi tiga, yaitu:
Pada makna perintah, jika hasil tindakan berfaedah (menguntungkan) bagi 01 maka akan menjadi beban (kerugian) bagi 02, dan jika berfaedah bagi 02 kadang-kadang juga menjadi beban bagi 01. Tetapi dalam makna ini 02 dituntut harus melakukan suatu tindakan. Dengan kata lain faktor pilihan (option) 02 sangat kecil bahkan tidak ada. Perhatikan contoh berikut:
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut dituturkan oleh seorang ketua kamar kepada santri saat terdengar suara adzan.
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan ustadzah kepada santri ketika sedang mengajar dan mendapati dua santri yang sedang bicara sendiri.
Pada makna permintaan, hasil dan tindakan 02 berfaedah (menguntungkan) bagi 01 (atau mungkin orang ketiga), dan sebaliknya menjadi beban (merugikan) bagi 02. Pilihan manasuka (option) untuk tidak melakukan atau melakukan suatu tindakan bagi 02 adalah sedikit banyak ada. Perhatikan contoh berikut:
Konteks tuturan:
Konteks tuturan:
Pada makna nasehat, hasil dari tindakan 02 berfaedah bagi 02 sendiri. Bagi 01 kadang-kadang tidak menjadi beban, tetapi kadang-kadang juga menjadi beban. Dalam makna ini pilihan manasuka (option) untuk tidak melakukan sesuatu atau melakukan suatu tindakan bagi 02 adalah ada.
Konteks tuturan:
(27) Lek ana acara muhadhoroh kados ngeten niki, sampeyan ya melua kabeh!
Kalau ada acara muhadhoroh seperti ini, kalian semua hendaknya ikut!
Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan seorang pengurus pondok ketika berpidato dalam acara muhadhoroh.
Yang penting diperhatikan juga adalah bahwa masing-masing makna di atas tidak berdiri sendiri secara sempurna, misalnya pada makna permintaan dapat berubah menjadi makna perintah jika faktor option 02 untuk memilih tidak melakukan tindakan adalah tidak ada. Hal ini juga mengimplikasikan bahwa suatu jenis makna pragmatik imperatif dapat berubah seiring dengan peringkat untung-rugi 01 dan 02 serta peringkat option 02, dan perubahan peringkat pada skala pragmatik ini
dipengaruhi oleh hubungan atasan/bawahan antara 01 dan 02 seperti telah dijelaskan di atas.
Berdasarkan tiga makna dasar ungkapan yang menuntut tingkah laku mitra tutur seperti yang telah dijelaskan di atas, peneliti berusaha menentukan makna dasar atau makna pokok dari kedelapan makna imperatif dalam interaksi antarsantri.
Dalam penentuan tiga makna dasar ungkapan yang menuntut tingkah laku mitra tutur, penulis menggunakan skala untung-rugi dan skala option pada tuturan langsung (bentuk formal imperatif) seperti yang telah dilakukan Kashiwazaki dalam Roni (1995). Sedangkan skala kelangsungan tidak digunakan karena rumusannya sudah jelas digunakan untuk menentukan tingkat kesantunan tuturan imperatif, semakin suatu tuturan imperatif itu bersifat tidak langsung makaa semakin santun pula tuturan itu.
Berikut ini, dengan berdasarkan skala untung-rugi dan option yang telah ditabelkan di atas, dan dengan mempertimbangkan hubungan atasan-bawahan antara 01 dan 02, satu per satu dari kedelapan jenis makna pragmatik imperatif tersebut dibahas dan ditentukan makna dasarnya.
Untuk mengetahui jenis makna dasar tuturan bermakna pragmatik imperatif desakan ini perhatikan contoh kalimat berikut:
Konteks tuturan:
Tuturan ini diungkapkan seorang santri kepada temannya pada saat mereka mengerjakan kerajinan tangan di kamar pondok. Sementara sebentar lagi bel sholat maghrib akan berbunyi.
Konteks tuturan:
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut dituturkan oleh seorang pengurus kepada santri saat terdengar suara adzan.
Pada contoh kalimat (16) dan (17) di atas, mitra tutur (02) harus melakukan tindakan dari tuturan 01 itu. Dengan kata lain, pilihan (option) 02 untuk tidak melakukan tindakan tidak ada. Demikian pula pada contoh kalimat (15), mitra tutur secara tidak langsung terbebani untuk menyelesaikan kerajinan tangan saat itu juga. Dengan kata lain kalimat itu mengandung makna pragmatik perintah. Pada tuturan (16) dan (17), 02 dirugikan yaitu agar santri membaca dan pergi shalat jamaah. Sementara pada tuturan (15), 02 diuntungkan dengan terselesainya apa yang mereka kerjakan. Dengan demikian makna dasar pragmatik yang terkandung di dalamnya adalah makna perintah.
(20) Coba bukaen lemari iku, lek iso tak wei hadiah tepuk tangan.
Coba bukalah almari itu, kalau bisa aku beri hadiah tepuk tangan.
Coba buka almari itu, kalau bisa nanti aku beri hadiah tepuk tangan.
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan santri kepada teman sekamarnya. Dia menyuruh temannya untuk membuka pintu almari yang sulit dibuka.
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan ustadzah kepada santri yang dianggap pintar ketika dalam kegiatan belajar mengajar di kelas.
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan pengurus ketika bertemu santri di tangga yang saat itu kotor.
Pada contoh kalimat (20) di atas, mitra tutur merasa terbebani untuk harus membuka almari itu. Sedangkan pada kalimat (21) dan (22), mitra tuturan (02) harus melakukan tindakan dari tuturan 01, pilihan untuk tidak melakukan tindakan tidak ada dalam kedua kalimat tersebut. Pada tuturan kalimat (20), 02 diuntungkan yaitu dengan diberi hadiah tepuk tangan (dalam artian memuji). Sedangkan pada tuturan kalimat (21) dan (22), 02 dirugikan yaitu harus melakukan tindakan memaknani kitab dan menyapu tangga. Dengan demikian makna dasar pragmatik yang terkandung di dalamnya adalah makna perintah.
Konteks tuturan:
Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan seorang ustadzah kepada santri yang berbicara dengan temannya ketika sedang mengaji.
(27) Lek ana acara muhadhoroh kados ngeten niki, sampeyan ya melua kabeh!
Kalau ada acara muhadhoroh seperti ini, kalian semua hendaknya ikut!
Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan seorang pengurus pondok ketika berpidato dalam acara muhadhoroh.
Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan seorang pengurus pondok kepada sesama pengurus pondok yang tidak ikut rapat pada hari sebelumnya.
Pada contoh kalimat (25), (26), (27), dan (28) di atas, pilihan untuk tidak melakukan tindakan sedikit banyak ada. Pada tuturan kalimat-kalimat diatas, mitra tutur diuntungkan. Dengan demikian makna dasar pragmatik yang terkandung di dalamnya adalah makna nasehat.
Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan santri kepada temannya di depan kamar ketika akan berangkat sekolah.
Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan ustadzah kepada santri-santrinya di kelas saat akan dibagikan hasil ujian.
(34) Santri-santri mangke jam enem roan sedanten! Annadhofatu minal iman.
Santri-santri nanti jam enam kerja bakti semua! Kebersihan itu sebagian dari
iman.
Bagi para santri nanti jam enam diharapkan kerja bakti! Kebersihan itu sebagian
dari iman.
Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan pengurus melalui mikrofon kepada semua santri saat akan diadakan kerja bakti masal.
Konteks Tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri yang sedang makan di dalam kamar bersama teman-temannya, dan melihat ketua pondok lewat di depan kamar.
Pada contoh kalimat (32), (33), (34), dan (35) di atas, pilihan untuk tidak melakukan tindakan ada. Pada tuturan kalimat-kalimat diatas, mitra tutur diuntungkan, kecuali kalimat (35) dimana penutur dirugikan. Dengan demikian makna dasar pragmatik yang terkandung di dalamnya adalah makna nasehat.
Dalam bahasa Jawa dialek Lamongan, imperatif larangan biasanya menggunakan penanda kesantunan ojo yang berarti jangan. Pemakaian tuturan dengan penanda kesantunan itu dapat dilihat pada contoh berikut:
Konteks tuturan:
Konteks tuturan:
Konteks tuturan:
Tuturan ini disampaikan pengurus kepada santri di kantor pengurus saat ada santri minta ijin.
Tuturan jenis ini juga bisa berbentuk tuturan nonimperatif, yakni deklaratif dan interogatif. Contoh:
Konteks tuturan:
Tuturan ini disampaikan pengurus kepada santri di ruangan saat acara khitobah akan dimulai.
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan pengurus kepada santri saat mendapati ada santri yang membuang sanpah sembarangan.
Pada contoh kalimat (40), (41), (42) dan (43) di atas, mitra tutur (02) harus melakukan tindakan dari tuturan 01. Dengan kata lain, pilihan (option) 02 untuk tidak melakukan tindakan tidak ada. Sedangkan pada kalimat (43), pilihannya ada meskipun kecil. Pada tuturan (40), (41), (42) dan (44), 02 dirugikan yaitu agar
santri tidak menaruh buku di sembarang tempat, tidak ramai, tidak sering ijin, dan tidak membuang sampah sembarangan. Dengan demikian makna dasar pragmatik yang terkandung di dalamnya adalah makna perintah.
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan santri kepada temannya yang berbicara saat terdengar suara adzan.
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan ustadzah kepada santri ketika sedang mengajar dan mendapati dua santri yang sedang bicara sendiri.
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan pengurus keamanan kepada santri yang sering melanggar peraturan pondok.
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan pengurus kepada temannya yang posisinya agak jauh dari dia.
Pada contoh kalimat (45), (46), dan (47) di atas, mitra tutur (02) harus melakukan tindakan dari tuturan 01. Dengan kata lain, pilihan (option) 02 untuk tidak melakukan tindakan tidak ada. Sedangkan pada kalimat (48), pilihannya ada meskipun kecil. Pada tuturan (46), (47) dan (48), 02 dirugikan yaitu agar santri memperhatikan 01, duduk, dan menghampiri 01 dan membawa buku syahriyah. 01 disini juga merasa diuntungkan. Sementara pada tuturan (45), 02 diuntungkan dengan mendengarkan adzan. Dengan demikian makna dasar pragmatik yang terkandung di dalamnya adalah makna perintah.
Konteks tuturan:
Konteks tuturan:
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan pengurus kepada santri. Saat itu ada tamu dari luar kota.
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan pengurus kepada pengurus untuk menggantikan qiroah pada acara muhadhoroh, dikarenakan santri tersebut berhalangan.
Pada contoh kalimat (51), (52), (53) dan (54) di atas, mitra tutur (02) tidak harus melakukan tindakan dari tuturan 01. Dengan kata lain, pilihan (option) 02 untuk tidak melakukan tindakan sedikit banyak ada. Pada keempat tuturan tersebut jelas terlihat bahwa 02 dirugikan yaitu agar santri memgambil disket, mengambil kitab, meminta es teh ke kantin, dan menggantikan qiroah. Sementara 02 diuntungkan oleh apa yang akan dilakukan 01. Dengan demikian makna dasar pragmatik yang terkandung di dalamnya adalah makna permintaan.
Ayo teruskan!
Ayo teruskan!
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri kepada temannya ketika didapati sedang mencoret-coret buku santri tersebut.
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan ustadzah kepada santri karena tidak lancar membaca kitab kuning.
Lain kali kalau kembali ke pondok datang telat lagi saja ya!
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan pengurus kepada seorang santri yang sering telat datang ke pondok selesai pulang.
Pada prinsipnya tuturan bermakna pragmatik imperatif ngelulu adalah tuturan perintah untuk tidak melakukan sesuatu (melarang), namun dalam pengucapannya penutur menyuruh mitra tutur untuk melakukan sesuatu. Pada contoh kalimat (57), (58), dan (59) di atas, mitra tutur (02) harus melakukan tindakan dari tuturan 01. Dengan kata lain, pilihan (option) 02 untuk tidak melakukan tindakan tidak ada. Pada tuturan di atas, 02 dirugikan. Dengan demikian makna dasar pragmatik yang terkandung di dalamnya adalah makna perintah.
Jenis-jenis makna dasar pragmatik imperatif beserta penggunaannya dalam interaksi antarsantri putri Pondok Pesantren Putri Sunan Drajat, selengkapnya bisa dilihat pada tabel berikut.
Skala untung-rugi
penutur (01)
Dilihat berdasarkan
Perintah
Penutur: untung
Atau
Desakan
Bujukan
Larangan
Perintah
Ngelulu
Tingkat ilmu
Status kelembagaan
Tingkat ilmu
Status kelembagaan
Tingkat ilmu
Status kelembagaan
Tingkat ilmu
Status kelembagaan
Tingkat ilmu
Status kelembagaan
Santri santri
Ustadzah santri
Santri santri
Pengurus santri
Santri santri
Ustadzah santri
Santri santri
Pengurus santri
Santri santri
Ustadzah santri
Santri santri
Ustadzah santri
Santri santri
Pengurus santri
Pengurus pengurus
Santri santri
Ustadzah santri
Santri santri
Pengurus santri
Permintaan
Penutur: untung
Permintaan
Tingkat ilmu
Status kelembagaan
Santri santri
Ustadzah santri
Santri santri
Pengurus santri
Pengurus pengurus
Nasehat/ rekomendasi
Ada
Himbauan
Persilaan
Tingkat ilmu
Status kelembagaan
Tingkat ilmu
Status kelembagaan
Santri santri
Ustadzah santri
Santri santri
Pengurus santri
Pengurus pengurus
Santri santri
Ustadzah santri
Santri santri
Pengurus santri
Santri pengurus
3.3 Strategi Kesantunan Imperatif Antarsantri Putri Pondok Pesantren Sunan Drajat Dilihat Dari Tingkat Ilmu dan Status Kelembagaan
Kesantunan berbahasa sangat dipengaruhi ruang lingkup pesantren yang di dalamnya terdapat beberapa aturan atau norma yang harus ditaati oleh santri, baik tertulis maupun yang bersifat sosial atau yang biasa disebut dengan konteks (konteks sosial dan konteks situasi). Sebagaimana dikemukakan pada bab sebelumnya, pengaruh etika Jawa sangat berpengaruh pada hal ini, mengingat Pondok Pesantren Sunan Drajat merupakan salah satu pondok pesantren yang
bertempat di pulau Jawa. Masyarakat di tempat ini masih memegang teguh prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Hal ini berpengaruh juga pada santri yang ada di ponpes tersebut. Prinsip kerukunan di sini menuntut untuk mencegah segala cara kelakuan yang bisa mengganggu keselarasan dan ketenangan dalam masyarakat. Peneliti banyak menjumpai santri yang saling menerima dan bekerjasama. Bahkan banyak diantara para santri yang lebih lama belajar disana untuk menawarkan kepada santri baru untuk membimbingnya dalam belajar. Seperti tampak pada dialog berikut.
(104)
Santri 2 : Kepengin cepet mari tapi lek apalan gak ono sing nyemak. Gak ana sing
mantau.
Ingin cepat selesai tapi kalau hafalam tidak ada yang membimbing. Tidak ada
yang memantau.
Ingin cepat selesai tapi kalau hafalam tidak ada yang membimbing. Tidak ada
Santri 1 : Njaluk tak semak ta? Aku lek teka sekolah gak repot.
Apakah kamu minta aku bimbing? Sehabis pulang sekolah aku tidak repot.
Santri 1 : InsyaAllah
InsyaAllah
InsyaAllah
Saat peneliti bertanya kepada santri Mengapa antarsantri hampir tidak pernah terlihat bertengkar? Jawaban santri adalah bahwa dalam hidup itu yang penting rukun, yakni menghormati yang lebih tua, menghargai sesama, dan menyayangi yang lebih muda. Menurut survey yang peneliti lakukan, hampir 75% santri menyatakan bahwa itulah yang disebut sopan santun. Hal ini selaras dengan pendapat R Willner yang mengatakan bahwa prinsip kerukunan tidak menyangkut suatu sikap batin atau keadaan jiwa, melainkan penjagaan keselarasan dalam pergaulan (Suseno, 2001: 40).
Dengan adanya norma yang ada di pesantren diharapkan dapat mencegah emosiemosi yang bisa menimbulkan konflik atau sekurang-kurangnya dapat mencegah jangan sampai emosi-emosi itu pecah secara terbuka. Satu keutamaan yang sangat dihargai oleh orang Jawa adalah kemampuan untuk memperkatakan hal-hal yang tidak enak secara tidak langsung termasuk memerintah/menyuruh. Hal ini sangat menentukan tingkat kesantunan personal masing-masing.
Kerukunan antarsantri dan ustadzah sangat dipengaruhi oleh prinsip hormat, yakni wedi (takut), isin (malu), dan sungkan. Santri beranggapan bahwa seorang guru harus dihormati setelah kedua orang tuanya (wawancara dengan Ketua PPP Sunan Drajat, April 2006). Seorang guru atau yang biasa disebut ustadz/ustadzah di pesantren memiliki kedudukan yang tinggi untuk dihormati setelah keluarga kiai. Hal ini sejalan dengan anggapan masyarakat Jawa yang menganggap seorang guru layaknya digugu lan ditiru (didengarkan dan ditiru). Sikap wedi, isin, dan sungkan terlihat sangat jelas ketika santri berkomunikasi dengan ustadzah. Seperti tampak pada percakapan berikut ini:
(105)
Santri : Inggih.
Iya
Iya
Mengamati percakapan di atas nampak bahwa ustadzah mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Sehingga ketika berkomunikasi dengan ustadzah, santri sangat menjaga bentuk percakapan. Santri cenderung merasa wedi, isin, dan sungkan ditunjukkan pada tuturan Inggih. Sampun nderes bu. dan Inggih.
Seperti tampak juga pada percakapan antara pengurus, santri dan peneliti berikut.
(106)
Mbak Dwi, Mita ijin untuk tidak ikut kegiatan membaca manakib.
Santri : Sakit.
Sakit.
Sakit.
Pengurus : Bocahe loro apa? Lek mek loro pilek ae yo cee melu. Masio gak melu
Anaknya sakit apa? Kalau cuma sakit flu saja ya biar ikut. Keskipun
Anaknya sakit apa? Kalau cuman sakit flu ya sebaiknya ikut. Meskipun
Santri : Inggih.
Iya.
Iya.
Dari tuturan di atas jelas terlihat bahwa santri lebih sedikit berbicara ketika berbicara dengan pengurus. Ini merupakan ekspresi dari prinsip hormat dimana santri merasa wedi (takut), isin (malu), dan sungkan kepada pengurus. Ketika pengurus lupa tidak membawa kitabnya, santri tidak berani mengingatkan meskipun menurut peneliti, saat itu si santri mengetahui hal itu. Dalam kehidupan santri sehari-hari, jarang sekali ditemui santri berbicara dengan pengurus maupun ustadzah dengan menggunakan kalimat bermakna imperatif pragmatik.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa semakin panjang bentuk tuturan maka semakin besar keinginan penutur untuk bersikap santun kepada mitra tuturnya, yang selalu dicerminkan dalam tuturan mereka. Bila diamati secara seksama, penutur sebenarnya tidak hanya semaunya sendiri dalam
mengungkapkan bentuk-bentuk tuturan yang memiliki tingkat kesantunan yang berbeda-beda itu. Misalnya tuturan Tulung, panjenengan pendhetaken buku niku! Tidak akan dipilih oleh pengurus ataupun ustadzah untuk menyuruh santrinya. Dalam hal ini, pengurus ataupun ustadzah lebih senang menggunakan Tulung, jupukna buku iku! Yang bentuknya kurang sopan. Justru pemilihan bentuk yang lebih halus dianggap tidak mengenakkan santri tersebut. Parameter pragmatik sebaiknya dipahami dengan baik agar mitra tutur tidak merasa kehilangan muka (face) atau citra diri (self image).
Dalam pandangan kesantunannya, Brown dan Levinson menitik beratkan kesantunan pada muka. Mereka mengungkapkan bahwa penutur mempergunakan strategi linguistik yang berbeda-beda di dalam memperlakukan secara wajar mitra tuturnya. Sebagaimana telah dikemukakan pada landasan teori, Brown dan Levinson dalam Wijana mengidentifikasikan empat strategi dasar diantaranya:
Keempat strategi ini harus dikaitkan dengan tiga skala atau parameter pragmatik seperti yang telah dikemukakan Brown dan Levinson, yaitu tingkat jarak sosial, tingkat status sosial dan tingkat peringkat tindak tutur.
Tingkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan parameter perbedaan umur yang direfleksikan bahwa semua ustadzah dan pengurus Pondok Pesantren Putri Sunan Drajat, usianya lebih tua dibandingkan santri/muridnya dan satri yang dipimpinnya.
Tingkat status sosial didasarkan atas kedudukan asimetris antara penutur dan lawan tutur di dalam konteks pertuturan. Asimetris yang dimaksud disini yaitu dalam lingkup ustadzah-santri dan pengurus-santri, mengingat penelitian ini hanya dibatasi pada santri putri. Dengan kata lain bisa diuraikan sebagai berikut
Tingkat ilmu:
Ustadzah
Asimetris
Santri
Simetris
Simetris
Ustadzah Ustadzah
Status kelembagaan:
Pengurus
Asimetris
Santri
Simetris
Santri Santri
Simetris
Pengurus Pengurus
Sedangkan tingkat peringkat tindak tutur yang didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lain terlihat pada tuturan santri dengan nada tinggi ketika sedang mengaji dinilai tidak santun. Namun jika tuturan dengan nada tinggi tersebut diucapkan santri di kamar mandi untuk antri mandi, maka tuturan itu dianggap wajar.
Berikut ini akan dibahas strategi dasar seperti yang telah dikemukakan Brown dan Levinson:
- Intonasi tinggi
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada beberapa contoh di bawah ini.
v Dilihat berdasarkan tingkat ilmu, strategi ini digunakan oleh santri terhadap santri (teman akrab), ustadzah terhadap ustadzah (hubungan yang akrab), dan ustadzah terhadap santri. Untuk lebih jelasnya, silahkan perhatikan tuturan berikut:
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan santri kepada teman akrabnya yang masih berbicara saat terdengar suara adzan.
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut dituturkan ustadzah kepada temannya sesama ustadzah yang sudah akrab di kantor Diniyah.
Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan seorang ustadzah kepada santri yang berbicara dengan temannya ketika sedang mengaji.
v Dilihat berdasarkan status kelembagaan, strategi ini digunakan oleh santri terhadap santri (teman akrab), pengurus terhadap pengurus (hubungan yang akrab), dan pengurus terhadap santri. Seperti tampak pada tuturan berikut:
Konteks tuturan:
Konteks tuturan:
Tuturan ini disampaikan pengurus kepada sesama temannya di kantor pengurus ketika ada salah satu santri yang dijenguk keluarganya.
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan pengurus keamanan kepada santri yang sering melanggar peraturan pondok.
(2) Strategi 2 agak santun, digunakan kepada teman yang tidak (belum) begitu akrab.
- Intonasi sedang
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada beberapa contoh di bawah ini.
v Dilihat berdasarkan tingkat ilmu, strategi ini digunakan oleh santri terhadap santri (teman yang tidak/belum akrab), ustadzah terhadap ustadzah (hubungan yang tidak/belum akrab). Silahkan perhatikan tuturan berikut:
Konteks tuturan:
Tuturan di atas dituturkan oleh seorang santri kepada temannya (keduanya bukan teman akrab) di kamar.
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut dituturkan ustadzah kepada temannya sesama ustadzah di kantor Diniyah.
v Dilihat berdasarkan status kelembagaan, strategi ini digunakan oleh santri terhadap santri (teman yang tidak/belum akrab), pengurus terhadap pengurus (hubungan yang tidak/belum akrab). Silahkan perhatikan tuturan berikut:
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut dituturkan seorang santri kepada temannya karena telah memecahkan gelas kesayangannya.
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan pengurus kepada pengurus untuk menggantikan qiroah pada acara muhadhoroh, dikarenakan santri tersebut berhalangan.
(3) Strategi 3 lebih santun, digunakan kepada orang yang belum dikenal.
- Tuturan panjang
- Intonasi sedang
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada beberapa contoh di bawah ini.
v Dilihat berdasarkan tingkat ilmu, strategi ini digunakan oleh santri terhadap santri (santri baru), ustadzah terhadap ustadzah (ustadzah baru). Silahkan perhatikan tuturan berikut:
Konteks tuturan:
(110) Bu, menawi ngajar kelas ula njenengan kengken cah-cah maknani
setunggal-setunggal!
Bu, kalau mengajar kelas ula (kelas 3) anda suruh anak-anak memaknai
Bu, kalau mengajar kelas 3 suruh anak-anak memaknai kitab satu per satu
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan ustadzah kepada ustadzah baru yang belum begitu dikenal oleh 01, ketika pertama kali mengajar kelas ula Diniyah.
v Dilihat berdasarkan status kelembagaan, strategi ini digunakan oleh santri terhadap santri (santri baru). Silahkan perhatikan tuturan berikut:
Konteks tuturan:
Untuk tuturan pengurus terhadap pengurus yang belum saling kenal tidak penulis temukan dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan alasan bahwa seorang santri yang diangkat sebagai pengurus pondok adalah santri yang sudah lama tinggal di pesantren dan dimungkinkan antara pengurus yang satu dengan yang lainnya sudah saling kenal sebelumnya.
(4) Strategi 4 paling santun, digunakan kepada orang yang berstatus sosial lebih tinggi.
- Intonasi rendah
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada beberapa contoh di bawah ini.
v Dilihat berdasarkan tingkat ilmu, strategi ini digunakan oleh santri terhadap ustadzah. Seperti tampak pada tuturan berikut:
(112)
Ustadzah : Lho, bab 3 dereng tho? Lek ngoten sakniki maknani bab 3.
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan santri kepada ustadzah saat mengaji di dalam kelas.
v Sedangkan jika dilihat berdasarkan status kelembagaan, strategi ini digunakan oleh santri kepada pengurus. Perhatikan tuturan berikut:
Konteks Tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri yang sedang makan di dalam kamar bersama teman-temannya, dan melihat ketua pondok lewat di depan kamar.
Tuturan bermakna imperatif pragmatik yang dituturkan santri kepada ustadzah maupun pengurus pondok, jarang sekali terlihat dalam komunikasi sehari-hari dan hampir bisa dipastikan tidak ada. Jika memang ada itu pun tidak langsung.
Untuk mengetahui lebih jelas mengenai strategi kesantunan antarsantri putri Pondok Pesantren Sunan Drajat, bisa dilihat pada tabel berikut.
No
Jenis strategi
Ciri-ciri
Dilihat berdasarkan
Tuturan
1.
- Intonasi tinggi
Tingkat ilmu
Status kelembagaan
2.
- Intonasi sedang
Tingkat ilmu
Status kelembagaan
3.
- Tuturan panjang
- Intonasi sedang
Tingkat ilmu
Status kelembagaan
4.
- Intonasi rendah
Tingkat ilmu
Status kelembagaan
Dari tabel di atas bisa dilihat bahwa tuturan pendek dinilai lebih santun jika digunakan dalam berinteraksi santri terhadap ustadzah dan pengurusnya, sedangkan tuturan yang lebih panjang dinilai kurang santun, bahkan tidak santun. Perilaku santri yang tidak banyak bicara justru semakin menunjukkan bahwa santri tersebut semakin santun terhadap ustadzah maupun pengurus pondok.
No comments yet.
RSS feed for comments on this post. TrackBack URI Leave a Reply Enter your comment here...
Pages About Ida Luthfiyatin BAB I PENDAHULUAN BAB II GAMBARAN OBJEK PENELITIAN BAB III TEMUAN DAN ANALISIS DATA BAB IV SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA Dunia Akademik dan Pendidikan Fakultas Ilmu Budaya Unair Universitas Airlangga Link Ida Website Ida Wisata ke Bali yuk! Recent Comments Ida on BAB I PENDAHULUAN resty on BAB I PENDAHULUAN Ida on BAB I PENDAHULUAN Ida on BAB I PENDAHULUAN dekik110693 on BAB I PENDAHULUAN Ida Luthfiyatin Ida Luthfiyatin Create Your Badge Meta Register Log in
Powered by WordPress.com