Anda di halaman 1dari 13

Aditia

105191106622

Judul :
Menembus Sekat Perbedaan di Sekolah Inklusi Bandung
Deskripsi kasus :
Seorang murid kelas 6 di SDN 206 Putraco Indah, Kelurahan Turangga,
Kecamatan Lengkong, Kota Bandung bernama M Akbar Nurul Fitrah yang
tergolong sebagai anak berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah itu. Meski
memiliki kekurangan, Akbar tak canggung untuk bermain dengan teman
sebayanya saat pelajaran dimulai.

Akbar diketahui mengidap Pervasive Developmental Disorder-Not


Otherwise Specified (PDD-NOS), atau semacam gangguan pada anak yang
menimbulkan autisme. Akbar telah dinyatakan mengidap gangguan itu sejak
berumur 1,5 tahun. Orang tua Akbar (Ibu Sinta) sengaja menyekolahkan di
SDN Putraco Indah dari kelas 1 yang direkomendasikan tetangganya yang
kebetulan merupakan guru di SD ini. SDN Putraco Indah sudah sejak lama
dikenal warga dengan label sekolah inklusi yang menerima anak-anak
berkebutuhan khusus.

Meski bersekolah di Sekolah Inklusi, ibu Akbar, tak lelah memberikan


kasih sayang kepada anak pertamanya supaya terus berkembang. Akbar yang
tadinya tergolong anak yang sulit diatur karena gangguan autisnya, kini
perlahan sudah mulai bisa fokus dan bisa diarahkan ke beberapa kegiatan
positif. Bahkan, perkembangan motorik dan akademik anaknya juga
berkembang seiring mengikuti pelajaran di SDN Putraco Indah.

Perkembangan Akbar juga dipengaruhi bertambahnya usia. Namun, bagi


orang tua Akbar, lingkungan sekolah yang justru menjadi faktor utama Akbar
bisa berkembang seperti sekarang. Sebab menurutnya, SDN Putraco Indah
telah membantu perkembangan anaknya melalui pola ajar yang tepat kepada
anak-anak berkebuhan khusus.
Salah satunya yang begitu dirasakan, yaitu tidak adanya tembok
pembatas antara siswa reguler dengan siswa berkebutuhan khusus di sekolah
itu. Mereka berbaur bahkan turut membantu perkembangan Akbar yang
memang tergolong anak autis.

Menjelang kelulusan, perkembangan Akbar sudah terasa. Anak seumuran


12 tahun itu sudah mulai bisa menulis, bercerita kepada ibunya mengenai
aktivitasnya di sekolah, atau cerita tentang kegiatan teman sebayanya tatkala
bermain bersama Akbar. Disamping, Akbar memang anak yang secara
otodidak sudah bisa membaca sebelum ia masuk TK.

Sejak awal masuk sekolah, siswa yang reguler juga sudah mulai diberi
pemahaman jika mereka memiliki teman yang 'berbeda' secara mentalitas
dengan mereka. Sehingga setelah anak-anak yang reguler ini naik kelas,
mereka sudah mulai mengerti memiliki teman sekolah yang berkebutuhan
khusus.

Guru-guru di sekolah itu juga punya konsep dalam menangani ABK yang
mereka sebut tutor sebaya. Konsep ini bertujuan supaya anak-anak reguler
bisa ikut membentuk anak berkebutuhan khusus dalam perkembangan
motorik dan akademiknya.

Pada penerapannya, guru di sana akan membiasakan anak-anak yang


reguler untuk menerima keberadaan anak berkebutuhan khusus (ABK).
Mereka diharuskan berbaur yang bisa turut membantu perkembangan ABK.

Selain di lingkungan sekolah, ABK di SDN Putraco terus dipantau


perkembangannya saat di rumah. Guru-guru di sana tak pernah lepas
komunikasi dengan para orang tua supaya perkembangan anak-anak tersebut
bisa terus berkembang.

Analisis dan pembahasan :


Autis berasal dari kata autos yang artinya segala sesuatu yang mengarah
pada diri sendiri. Dalam Kamus Lengkap Psikologi, autisme didefinisikan
sebagai: (1) cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau
oleh diri sendiri, (2) menanggapi dunia berdasarkan penglihatan, harapan
sendiri, dan menolak realitas (3) keasyikan ekstrim dengan pikiran dan fantasi
sendiri. Autistic disorder adalah adanya gangguan atau abnormalitas
perkembangan pada interaksi sosial dan komunikasi serta ditandai dengan
terbatasnya aktifitas dan ketertarikan. Munculnya gangguan ini sangat
tergantung pada tahap perkembangan dan usia kronologis individu. Autistic
disorder dianggap sebagai early infantile autism, childhood autism, atau
Kanner’s autism.

Perilaku autis digolongkan dalam dua jenis, yaitu perilaku yang eksesif
(berlebihan) dan perilaku yang defisit (berkekurangan). Yang termasuk
perilaku eksesif adalah hiperaktif dan tantrum (mengamuk) berupa menjerit,
menggigit, mencakar, memukul, mendorong. Di sini juga sering terjadi anak
menyakiti dirinya sendiri (self-abused). Perilaku defisit ditandai dengan
gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai, defisit sensori sehingga dikira
tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat, misalnya tertawa-tawa
tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan melamun.

Praktik komunikasi sekolah inklusi di Indonesia justru merupakan


instrumen untuk mengekslusi siswa anak berkebutuhan khusus (ABK).
Ekslusi ini suatu proses pembelajaran ABK yang berbeda dari siswa biasa
(non-ABK) dan akhirnya memproduksi kesadaran ABK sendiri.

Masalah yang terdapat dalam praktik sekolah inklusi di Indonesia yaitu


kelemahan regulasi pendidikan inklusi, masalah pergantian kurikulum dan
implementasi pendidikan inklusi.

Sekolah inklusi yang visinya menggabungkan keragaman, salah satunya


siswa ABK dan anak tipikal (normal), dalam ruang belajar yang sama itu,
pada akhirnya merupakan instrument untuk mengekslusi ABK sebagai
kelompok marjinal (ruang yang terbatas) dalam budaya modernitas. Koneksi
dua ruang yang berbeda dengan masalah komunikasi, tidak selalu
memunculkan konektivitas antara dua ruang tetapi juga malah memproduksi
ruang-ruang ekslusi baru. Proses komunikasi yang berupaya mengkoneksikan
ABK dan Anak tipikal (normal) dalam sebuah ruang koneksi bernama
sekolah inklusi malah melahirkan eksklusifitas baru, ekslusi terhadap ABK.
Penerimaan siswa ABK sebagai pemisahan praktik sosial berkaitan
dengan interaksi atau proses komunikasi ABK dalam sekolah inklusi di mulai
dengan masa perkenalan. Dalam masa ini, terlihat bagaimana sekolah inklusi
dibentuk oleh wacana partikular mengenai ABK yang pada akhirnya
mengeklusi ABK. Penerimaan siswa ABK di sekolah-sekolah inklusi
memperlihatkan karakter sekolah inklusi sebagai praktik pengkategorian
(dividing practice). Skema dividing practice dilakukan untuk menjaga tatanan
budaya dalam hal ini untuk memisahkan, mengkategorikan, menormalkan
dan melembagakan populasi manusia.

Penyelenggaraan pendidikan sekolah inklusi tidak sesederhana


menyelenggarakan sekolah umum. Kenyataan di lapangan, ABK yang
diterima belum sesuai kebijakan seperti jenis kekhususan yang tidak dibatasi,
tingkat kecerdasan yang masih di bawah rata-rata, belum ada penentuan batas
jumlah siswa yang diterima, serta belum ada syarat rekomendasi tertulis dari
pihak sekolah, juga belum memadainya sarana dan prasarana khusus. ABK
yang hendak bersekolah akan diobservasi sebelum ditentukan kebutuhannya.
Apakah anak tersebut membutuhkan terapi ringan atau sedang. Untuk terapi
berat akan direkomendasikan ke layanan yang lain. Untuk anak yang sudah
mulai bisa dibangun akademiknya namun masih butuh banyak terapi maka
akan direkomendasikan ke unit lain yang disebut sebagai Flexi School.

Proses seleksi ABK pada awal perkenalan dunia sekolah kemudian turut
menyeleksi orang tua ABK, apakah ia dapat dianggap kooperatif atau tidak
dengan program sekolah. Keterlibatan orang tua ABK dalam
penyelenggaraan sekolah inklusi berperan penting dalam pendidikan inklusi.
Tujuan seleksi ABK didasari pada kesadaran bahwa latar belakang guru
pendamping yang berbeda-berbeda. Guru Pembimbing Khusus (GPK)
merupakan seseorang yang dapat membantu guru kelas dalam mendampingi
anak berkelainan atau siswa berkebutuhan khusus pada saat diperlukan
sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan dengan lancar.

Pada akhirnya praktik-praktik ekslusi melahirkan proses subjektivikasi.


Proses pembentukan diri seseorang di mana orang tersebut juga aktif
membentuk dirinya. Proses subjektivikasi kurang lebih berarti ketika
seseorang ABK menyadari dirinya sebagai ABK dengan definisi-definisi
yang dimekanisasi melalui praktik ekslusi tertentu. Dengan kata lain, ketika
seseorang ABK memodifikasi tubuhnya sesuai dengan kuasa atau praktik
diskursif yang diterimanya dalam sekolah inklusi.

Sekolah inklusi punya konteks-konteks sendiri karena kehadiran siswa


ABK, sehingga guru menjadi penting dalam proses komunikasinya. Guru
menjadi penceramah satu arah dalam proses komunikasi dengan siswa ABK.
Perencanaan komunikasi untuk peserta didik berkebutuhan khusus sangatlah
dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang diharapkan dari sekolah inklusi
khususnya perencanaan komunikasi, sebagai hal yang dibutuhkan oleh siswa
ABK, karena sekolah inklusi adalah institusi sosial yang netral, alamiah dan
tanpa kepentingan. Mereka melihat sekolah inklusi, sebagaimana pandangan
para teoretisi komunikasi pembangunan melihat media, sekolah, atau
masyarakat sebagai institusi sosial yang netral dan sanggup membawa
masyarakat dunia ketiga ke arah kemajuan.

Sebagai seorang guru mampu menyamakan ABK dengan anak tipikal


(normal) dan tidak berempati pada ABK sebagai subjek yang unik/istimewa.
Pentingnya peran penanganan orang tua dan guru pembimbing khusus untuk
mencegah mengeksklusikan ABK. Guru dapat memberitahukan kepada guru
yang lain untuk penanganan ABK agar tidak terjadi eksklusifitas.

Intervensi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan


subjektif guru sekolah inklusi dengan menggunakan pelatihan empathic love
therapy. Untuk mengetahui efektivitas terapi cinta empatik dalam
mengakselerasi kesejahteraan subjektif guru di sekolah inklusi. Pelatihan
emphatic love therapy adalah serangkaian pelatihan dengan pendekatan
transpersonal yang diberikan sebagai proses pengenalan diri sendiri (self).

Peran yang dilakukan guru pendidikan khusus berupa peran pedagogic


dan non pedagogic. Disamping itu, ditemukan tanggung jawab pekerjaan
yang tidak sesuai dengan peran pedagogik guru pendidikan khusus. Peran
pedagogic guru pendidikan khusus meliputi pengajaran, instruksi tugas,
membuat PPI, melakukan asesmen dan mengelola perilaku siswa dan peran
non pedagogic yaitu menjadi fasilitator, memberikan dukungan emosional,
dan konsultasi. Peran non pedagogik tersebut bertujuan membantu
membangkitkan kemandirian siswa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan adanya interaksi antara guru, guru pendidikan khusus dan orang tua
diharapkan mampu berkontribusi membantu meningkatkan perkembangan
pada anak berkebutuhan khusus. Sebaliknya, ditemukan peran pedagogic
yang bukan menjadi tanggung jawab tugas guru pendidikan khusus
melainkan guru kelas yaitu mempersiapkan alat peraga, membuat materi
pendidikan untuk siswa.

World Health Organization's International Classification of Diseases


(WHO ICD-10) mendefinisikan autisme (dalam hal ini khusus childhood
autism) sebagai adanya keabnormalan dan atau gangguan perkembangan
yang muncul sebelum usia tiga tahun dengan tipe karakteristik tidak
normalnya tiga bidang yaitu interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang
diulang-ulang (World Health Organization, 1992). WHO juga
mengklasifikasikan autisme sebagai gangguan perkembangan sebagai hasil
dari gangguan pada sistem syaraf pusat manusia.

Autisme dimulai pada awal masa kanak-kanak dan dapat diketahui pada
minggu pertama kehidupan. Dapat ditemukan pada semua kelas sosial
ekonomi maupun pada semua etnis dan ras.

Penderita autisme sejak awal kehidupan tidak mampu berhubungan


dengan orang lain dengan cara yang biasa. Sangat terbatas pada kemampuan
bahasa dan sangat terobsesi agar segala sesuatu tetap pada keadaan semula
(rutin/monoton).

a. Rancangan Intervensi pada Autisme di Sekolah Inklusi

1) Terapi Okupasi, Terapi (therapy) yang berarti penyembuhan, tidak


hanya membahas masalah pengobatan jasmani, tetapi penyesuaian
diri dan fungsi berpikir. Okupasi (occupation) artinya kesibukan
atau pekerjaan. Materi latihan dipilih dan ditentukan dengan
memperhatikan karakteristik atau ciri khas anak autis. Nama dan
bahan latihan bisa sama, tetapi kedalaman dan keluasan latihan
antara anak autis satu dengan lainnya berbeda. Cara atau
pendekatan latihan perlu memperhatikan karakteristik anak.
Pendekatan ini bergantung pada tujuan latihan, mau memupuk
kemampuan sosialisasi atau komunikasi anak. Latihan sebaiknya
diberikan dalam waktu tidak terlalu lama, tetapi sering dan segera
hentikan jika anak tampak bosan. Tempat yang digunakan, materi
latihan, dan alat yang dibutuhkan disesuaikan dengan keadaan
anak.Terapi okupasi tidak hanya sebatas aktivitas fisik, tetapi
mencakup pengembangan intelektual,sosial, emosi dan kreativitas.

Tujuan Terapi Okupasi untuk mengalihkan perhatian agar


tidak terjadi neurosis (kegagalan individu memecahkan masalah
atau tuntutan di masyarakat yang membuatnya terganggu dalam
pemeliharaan maupun penyesuaian diri kemampuan sosialisasi atau
komunikasi anak). Memberi anak peluang persiapan menghadapi
tugas pekerjaan atau profesi yang sesuai dengan kondisinya.
Ragam latihan terapi okupasi, seperti: Latihan mereaksi seperti
latihan memanggil nama terapis, Latihan kebiasaan gerak seperti
latihan berjalan digaris lurus, Latihan motorik kasar seperti
berjalan bebas tanpa bantuan, Latihan keseimbangan seperti
berjalan perlahan di papan titian. Contoh alat yang membantu pada
Terapi Okupasi :

2) Terapi Perilaku (Applied Behavioral Analysis - ABA), terapi ini


berupaya untuk melakukan perubahan pada anak autistik dalam arti
perilaku yang berlebihan dikurangi dan perilaku yang
berkekurangan (belum ada) ditambahkan. Terapi perilaku yang
dikenal di seluruh dunia adalah Applied Behavioral Analysis yang
diciptakan oleh O.Ivar Lovaas PhD dari University of California
Los Angeles (UCLA).

Prinsip dasar terapi ini dapat dijabarkan sebagai A-B-C:


yakni A, Antecedent (hal yang mendahului terjadinya perilaku)
berupa instruksi yang diberikan oleh seseorang kepada anak autis.
Melalui gaya pengajarannya yang terstruktur, anak autis kemudian
memahaminya. Selanjutnya B, Behavior (perilaku) apa yang
diharapkan dilakukan olehnya sesudah instruksi tersebut diberikan,
dan perilaku tersebut diharapkan cenderung terjadi lagi bila anak
memperoleh C atau Consequence (konsekuensi perilaku, atau
kadang berupa imbalan) yang menyenangkan. Tujuan Terapi
Perilaku adalah untuk meningkatkan pemahaman dan kepatuhan
anak terhadap aturan. Terapi ini umumnya mendapatkan hasil yang
signifikan bila dilakukan secara intensif, teratur dan konsisten pada
usia dini.

3) Terapi Bermain, yaitu setiap kegiatan yang dilakukan untuk


kesenangan yang ditimbulkan tanpa mempertimbangkan hasil akhir.
Bagi anak, bermain dapat mencapai perkembangan fisik,
intelektual, emosi dan sosial. Pertumbuhan dan perkembangan fisik
anak juga dapat dilihat saat bermain, anak secara tidak sadar
menemukan sikap tubuh yang baik, melatih kekuatan,
keseimbangan dan melatih motoriknya. Ruang lingkup terapi
bermain anak autis dirumuskan berdasarkan karakteristik anak,
tujuan maupun sasaran, yaitu: Bermain yang berkaitan dengan
latihan sensorik motorik; latihan pengembangan fungsi mata,
telinga, dan latihan otot, seperti dokter-dokteran, plastisin. Bermain
untuk mengembangkan imajinasi, kreasi, ekspresi, memupuk
kekuatan otot, melatih memecahkan masalah, dan menimbulkan
rasa percaya diri, seperti latihan memasang-bongkar puzzle,
mewarnai gambar.

Ragam latihan terapi bermain lainnya, yaitu Sensorik-


motorik: berjalan pada tali, menendang bola, melempar bola,
membuat menara dari balok, mendorong bola. Bermain Simbol:
permainan mendaki, naik turun tangga, melukis jari.
Pengembangan komunikasi dan sosialisasi: bermain di bak pasir.

4) Terapi Sensori Integrasi, Teori ini menjelaskan proses biologis


pada otak untuk mengolah serta menggunakan berbagai informasi
dengan baik dan sesuai situasi. Input sensori bermacam-macam,
bisa dirasa dengan rabaan, didengar, dilihat dan dicium. Jika
sensoriknya tidak bekerja dengan baik maka anak kurang atau tidak
mampu menerima input sensoris dengan baik, sehingga akan
timbul gangguan ASD. Terapi ini diberikan sesuai dengan
kebutuhan anak. Dalam terapi diusahakan anak memberi reaksi
yang baik terhadap perangsangan. Saat terapi, anak diharapkan
berperan aktif agar muncul perubahan positif. Biasanya terapis
akan mengarahkan kegiatan yang dapat memberikan tantangan
secara bertahap. Teori sensori integrasi hanya sebagian dari
pendekatan terapi okupasi. Jadi, anak tetap memerlukan terapi lain
untuk mendukung terapi ini. Biasanya, kebutuhan tersebut
dievaluasi oleh terapis okupasi. Jika terapi sensori integrasi
berhasil anak dapat memproses berbagai informasi sensoris yang
kompleks dengan lebih baik. Ini memberi pengaruh bagi
kemampuan anak melakukan aktivitas sehari-hari. Selain itu, gejala
autistik yang selama ini melabelnya akan menjadi tipis atau kurang
khas. Setelah anak mampu mengamati dan memahami
lingkungannya, minatnya bersosialisasi pun akan timbul. Banyak
anak menunjukkan perkembangan kemampuan berbahasa setelah
menjalani terapi ini, sedangkan anak lain menunjukkan perbaikan
dalam prestasi sekolah. Contoh Terapi Sensori Integrasi :
5) Terapi Wicara, Hampir semua anak dengan autisme mempunyai
kesulitan dalam bicara dan berbahasa. Kadang-kadang kemampuan
bicaranya cukup berkembang, namun anak autis tidak mampu
untuk memakai kemampuan bicaranya tersebut untuk
berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal ini terapi
wicara dan berbahasa akan sangat membantu.

6) Terapi Perkembangan, Anak dipelajari minatnya, kekuatannya dan


tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan
sosial, emosional dan Intelektualnya. Terapi perkembangan
berbeda dengan terapi perilaku seperti ABA yang lebih
mengajarkan ketrampilan yang lebih spesifik.

7) Terapi Visual, Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat


(visual learners/visual thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai
untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melalui
gambar-gambar, misalnya dengan metode PECS (Picture Exchange
Communication System). Beberapa video games dan kartu
bergambar bisa juga dipakai untuk mengembangkan ketrampilan
komunikasi.

8) Terapi Snoezlen, merupakan aktvitas yang dirancang untuk


mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP) melalui pemberian
rangsangan yang cukup pada sistem sensori primer anak, seperti
penglihatan, pendengaran, peraba, perasa lidah, pembau dan sistem
sensoris internal. Snoezelen mengarahkan anak untuk relaks,
mengeksplorasi, dan mengekspresikan dirinya di dalam atmosfer
yang terbuka pada faktor kepercayaan dan kesenangan. Fungsi
terapi snoezlen bagi anak autis: Sarana relaksasi; terapi snoezlen
sebagai sarana relaksasi penderita gangguan mental. Sarana
leisure enviroment; snoezlen sebagai media bermain anak. Sarana
terapi; anak diarahkan pada satu aktivitas. Sarana pemberian
pengalaman sensori; anak diberikan pengalaman berbagai jenis
sensoris. Secara umum, tujuan yang dapat dicapai dalam
melakukan terapi snoezlen, sebagai berikut: Anak dapat menikmati
permainan, aktivitas atau dirinya sendiri, Anak dapat rileks mental
maupun fisiknya, Anak meningkatkan kesadarannya, Anak mampu
berinisatif melaksanakan aktivitas, dan Anak mampu melakukan
aktivitas, Anak mendapat rasa percaya diri, Meningkatkan
hubungan erat antara anak dan orang tua/terapis, Meningkatkan
kemampuan anak lebih jauh, secara langsung atau tidak.

9) Terapi Musik, musik dapat dijadikan wahana untuk pendidikan,


baik anak normal maupun anak berkebutuhan khusus. Terapi musik
dalam pendidikan adalah usaha mendidik melalui pelajaran musik
untuk menumbuhkan cipta rasa karsa estetik anak untuk
mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan psikomotorik dan
fisiomotorik secara optimal”. Tujuan terapi musik yaitu
mengembangkan dan memperbaiki kemampuan fisik,melatih
kemampuan persepsi, mengembangkan dan mengaktualisasikan
potensi, mengembangkan kemampuan regulasi emosi. Ruang
lingkup terapi musik, Menggerakkan tubuh sesuai musik, bunyi,
atau suara, Mendengarkan musik, bunyi atau suara, Menggunakan
alat-alat instrumen, Membunyikan alat bersama-sama, Menyanyi,
Bergerak atau bermain sesuai musik atau nyanyian. Pelaksanaan
terapi musik bagi anak autis memerlukan perhatian pada beberapa
hal, seperti: Kondiri anak autis, Bahasa yang digunakan,
Tenaga terapis, Tempat dan alat terapi, Strategi pendekatan dan
Penilaian

10) Terapi Senam Otak, merupakan serangkaian gerak sederhana dan


menyenangkan yang digunakan untuk memadukan semua bagian
otak yang berfungsi meningkatkan kemampuan belajar,
membangun harga diri dan rasa kebersamaan (Dennison, 2006).
Rangkaian kegiatan ini sesuai untuk semua orang. Berguna dalam
mempersiapkan seseorang menyesuaikan dengan kehidupan sehari-
hari. Dapat menambah atau meningkatkan ketrampilan khusus
dalam hal berpikir dan koordinasi, memudahkan kegiatan belajar.
Senam otak merupakan inti dari educational-kinesiology, yang
merupakan ilmu tentang gerakan tubuh manusia. Metode ini dapat
mengembangkan potensi melalui gerakan tubuh dan sentuhan-
sentuhan.

Kunci kesuksesan akademis dan sosial bagi anak-anak autis adalah


sebuah usaha integrasi dan kolaborasi di antara seluruh anggota tim.
Dibutuhkan asesmen yang akurat, IEP (Individual Educational Program), dan
implementasi dari strategi intervensi. Inklusi memiliki peranan vital dalam
menentukan kesuksesan integrasi kemampuan sosial di dalam kurikulum bagi
anak-anak autis.Inklusi sebagai model yang terbaik untuk praktik serta
meningkatnya setting inklusif bagi anak-anak dengan ketidakmampuan paling
parah sekalipun. Semakin banyak anak-anak autis mengakses kurikulum
pendidikan umum, dengan akomodasi dan modifikasi yang disesuaikan.
Kesuksesan inklusi disebabkan berbagai faktor, termasuk keefektifan IEP
(Individual Educational Program).

Kesimpulan :
Komunikasi tidak melulu berarti interaksi subjek-subjek yang setara
yang selalu bertujuan kesepahaman (mutual understanding) tetapi juga
menjadi instrument kekuasaan dalam rangka penundukan. Sekolah inklusi
yang distrukturkan oleh wacana pengkategorian ABK pada akhirnya
menciptakan proses komunikasi atau proses koneksi yang menempatkan
ABK sebagai liyan (yang lain). Pada akhirnya, sekolah inklusi adalah ruang
yang memproduksi subjek ABK, seorang yang dianggap punya kesadaran
sebagai ABK. Bertujuan untuk mengabaikan upaya penyebaran ide
pendidikan inklusif di Indonesia. Riset ini lebih bertujuan untuk
mengingatkan bahwa pada dasarnya sekolah inklusi yang berjalan sekarang
adalah instrument ekslusi ABK, karena wacana dominan dalam sekolah
inklusi adalah bagaimana mengatasi ABK yang harus diikutsertakan dalam
pendidikan.
Yang tidak menjadi pembahasan utama dalam diskusi pendidikan inklusi
adalah bagaimana mengkonstruksi anak tipikal untuk menerima dan menjadi
lingkungan yang supportif bagi ABK, bagaimana kesiapan anak tipikal di
sekolah non inklusi untuk menerima ABK tersebut.
Kesimpulan yang diperoleh dari peran yang dijalankan guru pendidikan
khusus yaitu peran pedagogik dan non pedagogik pada siswa ABK di sekolah
inklusi. Peran pedagogik meliputi pengajaran, memberikan instruksi tugas,
membantu siswa fokus menyelesaikan tugas, membuat PPI, dan melakukan
asesmen. Peran non pedagogik meliputi membantu manajemen diri dalam
mengelola perilaku siswa ABK, dukungan emosional, konsultasi, dan
menjalin komunikasi dengan guru, orang tua dan siswa. Selain itu,
pentingnya guru pendidikan khusus memiliki kompeten di bidangnya serta
diperlukannya kolaborasi antara guru dengan guru pendidikan khusus
sehingga menghasilkan pembelajaran yang efektif untuk anak berkebutuhan
khusus.
Daftar Pustaka :
Desiningrum, Dinie Ratri. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Psikosian.
27-40p.

Azzahra, Salsabilla dan Dhona, Holy Rafika. Ekslusi Anak Berkebutuhan


Khusus di Sekolah Inklusi. Media Komunikasi FPIPS. Volume 22, Number 1,
April 2023. 46-58p

Amalia, Nissa dan Kurniawat, Farida. Peran Guru Pendidikan Khusus di


Sekolah Inklusi. Jurnal Kependidikan. Vol 7, No. 2, Juni 2021. 366-367p

Lampiran kasus : https://shorturl.at/vDF48

Anda mungkin juga menyukai