Buku Menolak Madzhab Wahabi Oleh Qsantri PDF
Buku Menolak Madzhab Wahabi Oleh Qsantri PDF
Dukungan terhadap ISIS dan atheis adalah dua fenomena yang bertolak belakang
namun menguat di Negeri Saudi Arabia saat ini. Menurut laporan al-Hayat (21 Juli
2014), media massa milik Saudi, dalam sebuah survei oleh As-Sakinah terhadap
media-media sosial di Saudi menunjukkan 92% responden berpendapat “ISIS sesuai
dengan nilai-nilai dan syariat Islam”. Demikian pula dalam survei yang dilakukan oleh
Brooking Institute terhadap twitter, pada tahun 2015 dukungan kicauan (twit) yang
mendukung ISIS mayoritas berasal dari Saudi Arabia. Hal ini menunjukkan
dukungan terhadap radikalisme dan terorisme semakin menguat di Saudi,
khususnya dari kalangan muda, kelas menengah dan terpelajar yang akrab dengan
media sosial.
Sebelum dia, ada tokoh Wahhabi yang menjadi atheis, bernama Abdullah Al-
Qashimi (1907-1996) yang lahir Buraidah, di Saudi Arabia menulis kitab Ats-Taurah
al-Wahhabiyah (Revolusi Wahhabi) yang memuj-muji ideologi Wahhabi dan
keberhasilan Dinasti Saudi. Namun akhirnya Abdullah Al-Qashimi menjadi seorang
atheis, tinggal dan wafat di Cairo, Mesir.
Tokoh salafi lain yang menjadi atheis adalah Ahmad Husein al-Harqan dari Mesir
yang pernah menjadi murid Syaikh Ahmad Al-Burhami, seorang tokoh salafi dan
wakil pemimpin tertinggi Partai Nur, Salafi di Iskandaria, Mesir. Ahmad yang pernah
menjadi imam di masjid salafi, pada tahun 2014 mendaklrasikan sebagai atheis
karena kecewa dengan kekerasan dan pandangan sempit ideologi salafi di Mesir.
Setelah sebelumnya dia dan istrinya menjadi korban kekerasan itu.
Tokoh lain, Ayaan Hirsi Ali, kelahiran Mongadisu Somalia yang hidup di tengah
keluarga salafi wahhabi dan menerima kekerasan, baik saat pindah ke Saudi Arabia,
Etiopia dan Kenya. Ia pun akhirnya pindah ke Belanda dan terakhir di Amerika
Serikat. Karena ia hanya mengenal Islam ala Wahhabi dan menerima kekerasan,
saat menjadi korban, ia pun kecewa dan keluar dari Islam, hingga sekarang aktif
menulis buku-buku yang menyerang Islam.
Inilah dua fenomena yang berolak belakang sebagai dampak dari ideologi Wahhabi,
bersimpati dan bisa ikut ISIS, atau menjadi atheis. Oleh karena itu, kehadiran dan
terjemahan buku KH Muhammad Faqih Maskumabang ini sangat penting. Buku ini
setelah 93 tahun “hilang” terbit tahun 1922 di Mesir, sebelum NU berdiri, menjadi
buku penting dalam menolak paham Wahhabi. Buku yang ditahqiq dan
diterjemahkan dengan sangat baik oleh KH Aziz Masyhuri ini mengenalkan pada kita
tentang sekelumit pandangan dan tokoh-tokoh Wahhabi. Pengantar dari KH
Maimoen Zubair juga sangat penting, selain memberikan riwayat hidup KH
Muhammad Faqih juga menekankan sikap tenggang rasa dan saling menghormati
antara KH Muhammad Faqih dan KH Hasyim Asy’ari yang berbeda pendapat
tentang “kentongan” dan “bedug”.
Istilah Wahhabi
Hal ini perlu dijelaskan, karena kelompok Wahabi sangat alergi dengan istilah
Wahabi, mereka tidak suka disebut dengan istilah ini, karena bagi mereka ajaran
Muhammad bin Abd Wahhab bukan madzhab baru, lagi pula, sanggah mereka,
Syaikh mereka bernama Muhammad bukan Wahhab, mereka juga katakan, istilah
“Wahabi” merupakan penyebutan produk orientalis. Seperti sebuah buku yang ditulis
oleh Nashir bin Ibrahim, Dosen Kebudayaan Islam di Universitas Islam Imam
Muhammad bin Saudi, Riyadh, Saudi Arabia: Syaikh Muhammad bin Abd Wahhab
Hayatuhu wa Da’watuhu fi ar-Ru’yah al-Istisyraqiyah, Dirasah Naqdiyah (Syaikh
Muhammad bin Abd Wahhab, Sejarah Hidup dan Dakwahnya dari Perspektif
Orientalis, Studi Kritis).
Penggunaan istilah Wahabi dan Wahabiyah bukan hal yang baru, bukan pula
“ciptaan orientalis” atau “bikinan syiah” seperti yang sering dituduhkan oleh
kelompok Wahhabi. Istilah ini telah ada sejak di zaman Muhammad bin Abd Wahhab.
Kakak dia yang bernama Syaikh Sulaiman bin Abd Wahhab menulis kitab yang berisi
bantahan terhadap ajaran adiknya, as-Shawa’iq al-Ilahiyyah fir Raddi Alal
Wahhabiyah (Petir-Petir Ilahi dalam Membantah Paham Wahabi). Syaikh Sulaiman
seorang hakim agama (qadli’) di Harimla bermadzhab Hambali dan pengikut Salaf
(sebagaimana klem Muhammad bin Abd Wahhab). Tampaknya Syaikh Sulaiman
perlu meluruskan bahwa adiknya tidak benar-benar mengikuti Madzhab Hambali dan
Salafi, sehingga ia menggunakan istilah “Wahhabiyah” (wahabisme) dan “madzhab
Ibn Abd Wahhab”. Dengan ini, Syaikh Sulaiman ingin menegaskan bahwa Wahabi
adalah ciptaan adiknya, bukan turunan dari madzhab Hambali dan Salaf. Kitab yang
ditulis 8 tahun setelah Petaka Wahabi dimulai, selain mengajukan bantahan-
bantahan dalil, Syaikh Sulaiman mencatat kekacauan-kekacauan akibat Gerakan
Wahabi, seperti tuduhan kafir dan murtad yang dilanjutkan penyerangan dan
perampasan. Buku ini juga membantah klem-klem bahwa ajaran-ajaran Wahabi
bersumber dari ajaran Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim, misalnya tidak ada dari dua
syaikh ini mengkafirkan dan memurtadkan apalagi menghalalkan darah orang yang
minta syafaat, tawassul, dan tabarruk.
Demikian pula Syaikh Ahmad bin Zaini bin Dahlan (1816-1886 M/1231-1304 H),
seorang mufti Syafiiyah di Masjid Haram Makkah, yang hidup setelah wafatnya
Muhammad bin Abd Wahhab menulis dua kitab Ad-Durar as-Saniyah fir Radd ‘Alal
Wahhabiyah (Mutiara-Mutiara Berharga sebagai Bantahan terhadap Wahhabiyah)
dan Fitnatul Wahhabiyah (Petaka Wahabisme). Sayyid Rasyid Ridla, murid Syaikh
Muhammad Abduh menerbitkan buku Al-Wahhabiyun wal Hijaz (Orang Wahabi dan
Tanah Hijaz) yang berisi keyakinan-keyakinan Wahabi dan kebangkitan Dinasti
Saudi Ke-3 di bawah Abd Aziz bin Abd Rahman yang dikenal sebagai Ibn Saud pada
abad ke-20. Intinya penggunaan istilah Wahabi sudah ada sejak zaman Muhammad
bin Abd Wahhab sendiri, baik dipakai oleh pihak lawan atau pihak yang netral.
Muhammad bin Abd Wahhab lahir di Uyainah, lokasi yang berdekatan dengan
kampung al-Jubainah, tempat kelahiran Musailamah al-Kadzdzab—seorang yang
mengaku nabi di era Nabi Muhammad Saw. Kawasan itu disebut Najd, yang
disebutkan oleh Rasulullah Saw akan muncul gempa, petaka dan tanduk setan
(hunaka al-zalazil wal fitan wa yathlu’ wal qarn syaithan). Nubuat ini disampaikan
saat Rasulullah Saw berdoa, “Ya Allah berkatilah kawasan Syam kami dan berkatilah
Yaman kami” ada yang meminta, “Berkati Najd juga” namun Rasul enggan
mendoakan Najd bahwa bernubuat darinya akan datang gempa, petaka dan tanduk
setan (HR Bukhari dan Muslim).
Syaikh Ahmad dalam menulis bantahan terhadap Muhammad bin Abd Wahab
menyimpan kegeraman yang luar biasa. Saat menulis sejarah Muhammad bin Abd
Wahhab sampai periode wafat, beliau menggunakan kata halakal khabitsu sanah
1206 H—dalam bahasa sekarang, “si busuk ini mampus tahun 1206 H, halaka
penggunaan kata yang kasar dalam bahasa Arab, yang wajar adalah tufiya (wafat,
meninggal)—yang beliau ulang di dua kitab yang telah disebutkan tadi. Gaya bahasa
Syaikh Ahmad yang menunjukkan kegeraman yang luar biasa merupakan
pelampiasan dari kemarahannya terhadap dampak-dampak dari gerakan dan ajaran
Muhammad bin Abd Wahhab dan pengikutnya. Pasukan Dinasti Saud pernah
menduduki kota Makkah dan Madinah yang kemudian memaksa ulama-ulamanya
menerima dogma Wahabi. Dan Syaikh Ahmad menulis kitab ini setelah ibu kota
Dinasti Saudi-Wahabi Dir’iyah ditaklukkan oleh Pasukan Muhammad Ali Pasha atas
perintah Dinasti Turki Ustmani tahun 1818 M. Akibat dari penaklukan itu pembesar-
pembesar dari Dinasti Saud, ada yang dibunuh dan ada yang digelandang sebagai
tawanan ke Mesir dan Turki.
Apa yang membuat sosok Syaikh Ahmad Zaini Dahlan ini sangat geram dan marah
pada Muhammad bin Abd Wahhab? Menurut hemat saya, berpulang pada dua
sebab. Pertama, ajaran-ajaran Muhammad bin Abd Wahhab yang mudah
mengkafirkan umat Islam saat itu dengan tuduhan: tauhidnya tidak sesuai dengan
tauhid yang ia yakini: tauhid uluhiyyah (disebut juga tauhid ibadah). Tuduhan-
tuduhan Ibn Abd Wahhab juga sangat keji, bahwa yang melalukan tawassul,
tabarruk, meminta syafaat, meminta doa pada Nabi dan orang Saleh lebih musyrik,
dan lebih kafir dari orang Musyrik di era Nabi Muhammad Saw.
Fokus Ibnl Wahhab hanya pada Tauhid Uluhiyyah, yang menurutnya menjadi bukti
keislaman seseorang. Kalau belum bertauhid dengan versi dia, yakni tauhid
uluhiyyah belum dihitung masuk Islam, masih musyrik dan kafir.
Orang musyrik zaman Nabi menurutnya mengakui “tauhid rububiyyah, namun tidak
mampu menyelamatkan mereka dari kemusyrikan”... “tauhid yang mereka tentang
adalah tauhid ibadah yang dinamakan oleh orang musyrik zaman kita ini sebagai
i’tiqad—alladzi yusammihi al-musyrikuun fi zamanina al-i’tiqad. Kutipan “orang
musyrik di zaman kita” asli dari Muhammad bin Abd Wahhab. Ia pun menambahkan,
“pengakuan mereka (orang musyrik) terhadap tauhid rububiyyah, tidak serta merta
memasukkan mereka ke dalam Islam” dan orang kafir pada zaman Nabi “lebih
mengetahui makna (tauhid rububiyah) daripada orang yang mengaku Islam (zaman
sekarang)...” ia melanjutkan “...orang musyrik di zaman kita ini mengira mereka
punya perantara yang pada zaman dulu disebut tuhan-tuhan...”
Muhammad bin Abd Wahhab memberikan alasan mengapa orang kafir zaman dulu
dianggap juga bersyadahat tauhid rububiyah, “pertama, orang kafir yang diperangi
Rasulullah Saw, dibunuh dan dirampas harta mereka, serta wanita-wanita mereka,
mereka juga bersaksi pada Allah Swt dengan tauhid rububiyah, tak ada yang
menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, mengatur segala urusan
kecuali Allah saja... meskipun orang kafir itu telah bersaksi dengan hal-hal tadi, tidak
serta merta memasukkan mereka ke Islam, dan tetap tidak diharamkan darah dan
harta mereka, mereka juga memberi sedekah, berhaji, umrah, giat beribadah, dan
meninggalkan hal-hal yang diharamkan karena takut pada Allah, namun perkara
kedua, mereka yang dikafirkan, dan dihalalkan darah serta hartanya, karena mereka
belum bersaksi pada Allah dengan tauhid uluhiyyah.”2
Kalimat Muhammad bin Abd Wahhab ini sudah tegas, bahwa tauhid rububiyyah juga
diakui oleh orang kafir zaman dulu, selama tidak bertauhid uluhiyyah maka belum
bisa dibilang Islam, dan masih halal darah dan hartanya (alias bisa dibunuh dan
diperangi).
Bahkan Muhammad bin Abd Wahhab menegaskan lebih jauh, kekafiran orang
musyrik di zaman dia (yang sebenarnya adalah orang muslim) lebih kafir dari pada
orang yang diperangi oleh Rasulullah Saw.3 Dalam kitab Kasyf Syubahat, ia menulis
satu bab, Penegasan Kemusyrikan Orang Terdahulu Lebih Ringan daripada
Kemusyrikan Orang Zaman Sekarang;
Jika kamu tahu yang dinamakan oleh orang musyrik di zaman kita (al-i’tiqad) adalah kemusyrikan,
karenanya Al-Quran turun dan Rasulullah Saw memerangi manusia yang berpegang padanya.
Ketahuilah! Kemusyrikan orang terdahulu lebih ringan daripada orang zaman kita, dengan
dua sebab:
Pertama, orang dulu melakukan kemusyrikan dan memohon pada para malaikat, wali, dan berhala
bersama (dan juga berdoa) pada Allah dalam keadaan senang. Namun dalam keadaan susah,
mereka ikhlaskan berdoa pada Allah saja sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Swt. Dan
apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang biasa kamu seru, kecuali Dia.
Tetapi ketika Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling (dari-Nya). Dan manusia
memang selalu ingkar (QS. Al-Isra’: 67)... barang siapa yang memahami masalah ini yang telah
Allah Swt jelaskan dalam kitabnya, yakni orang musyrik yang diperangi Rasulullah Saw, memohon
pada Allah dan pada selain Dia saat senang, namun dalam keadaan susah mereka tidak memohon
kecuali pada Allah saja, Yang Maha Satu, tidak ada sekutu bagi-Nya, mereka lupa tuan-tuan
mereka (yang disembah), telah jelas perbedaan antara kemusyrikan oran-orang zaman kita dan
orang terdahulu.. [Ibn Abd Wahhab menjelaskan dalam risalah Makna Laa Ilaaha Illallaah maksud
perbedaan kemusyrikan orang zaman dia dan zaman dulu di pon pertama, dengan kalimat: kamu
lihat orang musyrik zaman kita ini, mungkin dari sebagian mereka mengaku ahli ilmu, zuhud, ijtihad
dan ibadah, jika mereka terkena kesusahan meminta tolong pada selain Allah seperti Ma’ruf atau
Abd Qadir al-Jailani, dan iya, dari mereka (yang diminta pertolongan), Zaid bin al-Khaththab dan Al-
Zubair dan iya, dari mereka seperti Rasulullah Saw dan keluarganya. Sedangkan Allah Maha
Penolong]4
Kedua, orang terdahulu menyekutukan Allah dengan manusia-manusia yang dekat dengan Allah,
baik para nabi, wali, malaikat, atau pepohonan dan bebetuan yang patuh pada Allah tidak berbuat
maksiat. Sedangkan orang zaman sekarang menyekutukan Allah dengan manusia yang paling
fasik, mereka yang disekutukan dengan Allah dikisahkan melakukan dosa-dosa, seperti zina,
2
Makna Laa Ilaaha Illallaah, Muhammad bin Abd Wahhab, Riyadh: Wizarah Awqaf As-Saudiyah, h. 2
3
Ibid., h. 4
4
Ibid,, h. 4
mencuri, meninggalkan shalat dan lain-lain. Barang siapa yang meyakini (beriman) pada orang
saleh atau bahkan yang tidak bisa melakukan maksiat seperti kayu dan batu lebih ringan daripada
yang beriman pada orang yang telah ketahuan fasik dan rusaknya.5
Kutipan yang panjang ini menegaskan bahwa kemusyrikan orang yang diperangi
oleh Rasulullah Saw lebih ringan daripada kemusyrikan orang zaman Muhammad
bin Abd Wahhab (meskipun mereka adalah orang Islam) karena dua sebab, pertama,
orang musyrik zaman dulu hanya menyekutukan Allah Swt saat senang saja, kalau
mereka susah dan terjepit, hanya menyeru dan memohon pada Allah, sedangkan
orang musyrik zaman sekarang, menyekutukan Allah baik saat senang ataupun
susah. Kedua, orang dulu mengangkat berhala dari figur-figur yang benar-benar
saleh, atau yang tidak akan bisa bermaksiat sama sekali seperti batu dan pohon,
sedangkan orang musyrik zaman sekarang mengangkat berhala dari orang yang
sudah ketahuan rusaknya dan melanggar agamanya, seperti berzina, mencuri.
Dalam salah satu surat yang ia kirim ke penduduk Riyadh, Muhammad bin Abd
Wahhab menuliskan testimoni tentang dirinya:
Aku akan beritahu kalian siapa diriku: demi Allah, tidak tuhan selain Dia, aku telah mencari ilmu,
aku yakin siapa yang tahu aku pasti tahu kalau aku memiliki pengetahuan, namun saat itu aku
masih tidak tahu mana Laa Ilaaha Illallaah, tidak tahu agama Islam sebelum kebaikan ini yang
dilimpahkan pada Allah, juga guru-guruku, tidak ada seorang pun dari mereka yang tahu
(makna Laa Ilaaha Illallaah. Barang siapa yang di antara ulama yang mengerti Laa Ilaaha
Illallaah atau mengetahui Islam sebelum ini, atau menduga guru-gurunya mengetahui hal ini,
maka ia bohong.6
Surat terbuka ini menegaskan bahwa Muhammad bin Abd Wahhab yang paling tahu
makna syahadat dan agama Islam, tidak ada orang sebelum dia (baik ulama-ulama),
hingga guru-gurunya sendiri tidak tahu. Klem surat ini juga bisa menegaskan bahwa,
Muhammad bin Abd Wahhab telah membuat paham tersendiri, yang biasa disebut
Wahabi.
Dalam risalah-risalahnya kita akan banyak menemukan istilah “orang musyrik zaman
kita sekarang” “orang kafir zaman kita sekarang” yang ditujukan pada mereka yang
tidak bertauhid sesuai versi dia tauhid uluhiyyah, dan masih melakukan tawassul,
tabbarruk (ngalap berkah), istighotsah, dan minta syafaat.
Maka dari itu, orang yang tidak mau mengikuti ajaran dan tauhid Muhammad bin Abd
Wahhab akan diperangi oleh Muhammad bin Saud setelah sebelumnya Muhammad
bin Abd Wahhab mengirimkan surat ke mereka, persis seperti yang dilakukan Nabi
Muhammad Saw. Muhammad bin Abd Wahhab seperti nabi yang bisa memilah
mana yang muslim dan kafir, mana yang bisa diperangi. Dan Muhammad bin Saud
adalah tentara-tentara yang mengeksekusi fatwanya, menyerang, merampas dan
5
Kasyfu Syubahat, Muhammad bin Abd Wahhab, Wizarah Syuun al-Islamiyah wal Awqaf, 1418 H, h. 33-36
6
Tarikh Najd, Ibn Ghannam, editor: Nasiruddin al-Asad, Cairo: Dar Syuruq, 1994, h. 309-310
membunuh orang yang tidak mau bertauhid sesuai versi Muhammad bin Abd
Wahhab.
Muhammad bin Abd Wahhab memulai misinya di Harimla, setelah ayahnya yang
seorang hakim agama (qadli) di sana wafat, dikabarkan ia memperoleh beberapa
pengikut yang tertarik dengan ajarannya, pada periode ini pula ia menulis kitab At-
Tauhid, namun di tempat ini ia tidak bertahan lama, karena gerakannnya dipersulit
dan mau dibunuh. Anda bisa membayangkan bagaimana reaksi orang waktu itu
terhadap ajaran Muhammad bin Abd Wahhab yang main tuding musyrik, kafir dan
belum sempurna Islam seseorang.
Ia pun pindah ke Uyaynah, memperoleh suaka politik dari Utsman bin Mu’ammar
seorang pembesar yang memiliki ambisi politik dan melihat potensi Muhammad bin
Abd Wahhab yang punya kemampuan mengumpulkan pengikut yang fanatik.
Muhammad bin Abd Wahhab menikah dengan bibinya. Di Uyaynah yang
sebenarnya kampung halamannya sendiri, Muhammad bin Abd Wahhab “naik daun”
ia memperoleh banyak pengikut dan sokongan politik. Ia mulai memaksakan ajaran-
ajarannya dalam aks-aksi, seperti penghancuran makam Zaid bin Al-Khaththab,
menebang pohon-pohon yang dituduh disembah, hingga merajam seorang
perempuan yang konon telah mengaku kepadanya telah melakukan zina.
Inilah cikal bakal gerakan Wahabi yang pertama. Gerakan Wahabi ini mulai menjadi
pusat perhatian sekililingnya. Kemunculan, gerakan dan aksinya dianggap sebagai
ancaman teror. Seorang pembesar dari Ibn Ghurair dari Al-Hasa menekan Ibn
Muammar agar mengusir Muhammad bin Abd Wahhab. Ibn Muammar patuh dan
mengusir Muhammad bin Abd Wahhab, karena kalau ia tidak lakukan, tanah-
tanahnya di Al-Hasa akan dipungut pajak bahkan disampas oleh Ibn Ghurair.
Muhammad bin Abd Wahhab pindah ke Dir’iyyah. Perpindahan ini disebut oleh
sejarahwan yang simpati pada gerakan Wahabi dan Dinasti Saudi sebagai hijrah.
Dir’iyyah adalah Darul Hijrah bagi orang muslim atau ahlu tauhid, para pengikut
Muhammad bin Abd Wahhab di Uyaynah juga mengikuti kepindahan Syaikhnya, dan
mereka disebut sebagai al-muhajirun—seperti halnya dulu orang Makkah yang
mengikuti Nabi Muhammad hijrah ke Madinah.
Sejarahwan Wahabi seperti Ibn Bisyr dan Ibn Ghannam menuliskan perjalanan
Muhammad bin Abd Wahhab seperti sejarah Nabi Muhammad Saw, seakan-akan
peristiwa itu terulang kembali pada zaman itu, dan lawan-lawan mereka adalah
orang musyrik pada zaman itu yang sebenarnya adalah orang muslim juga yang
tidak mau mengikuti ajaran Muhammad bin Abd Wahhab, namun mereka orang
Islam yang dituduh musyrik lebih buruk daripada orang musyrik zaman Nabi
Muhammad Saw.
Dir’iyyah adalah “Madinah” bagi hijrahnya Muhammad bin Abd Wahhab dan
pengikutnya di bawah kepemimpinan Muhammad bin Saud. Seperti halnya Ibn
Muammar, Ibn Saud juga melihat potensi pada diri Muhammad bin Abd Wahhab dan
gerakan Wahabinya. Ia pun menawarkan perlindungan dan suaka politik. Pada
pertemuan pertamanya, yang dilanjutkan baiat (sumpah setia) Muhammad bin Abd
Wahhab diceritakan seperti berikut oleh Ibn Ghannam:
“Hai Syaikh, sungguh ini adalah agama Allah dan Rasul-Nya, tidak ada keraguan di dalamnya.
Maka, kabarkan berita gembira tentang kemenangan untuk mu dan apa-apa yang kamu
perintahkan serta jihad (maksudnya perang) bagi siapa pun yang menentang Tauhid (versi
Muhammad bin Abd Wahhab), namun aku ingin memberimu dua syarat: (pertama) bila kami
bangkit untuk memenangkan (ajaran)mu dan berjihad (berperang) di jalan Allah, dan Allah
menaklukkan bagi kami dan kamu negeri-negeri—aku khawatir kamu akan pergi dari kami, atau
kamu mengganti kami dengan selain kami dan kedua, aku memiliki aturan atas Di’riyah, aku
mengambilnya saat Musim Panen, aku khawatir kamu akan melarang aku mengambil (jatah) dari
mereka,” Syaikh menjawab: “Yang pertama, julurkan tanganmu, darah dengan darah, mati satu
mati semua, sedangkan yang kedua, semoga Allah membantumu melakukan penaklukan-
penaklukan, dan Allah menggantinya dengan harta rampasan yang lebih baik dari mereka.”
Muhammad bin Saud pun menjulurkan tangannya, dan Syaikh Muhammad bin Abd Wahhab
membaiat setiap padanya.7
Kisah di atas menjelaskan koalisi antara Dinasi Saudi dan Gerakan Wahabi yang
bertahan hingga sekarang. Masing-masing menyatakan loyalitas dan saling
membantu, namun tidak boleh mencampuri urusan masing-masing. Syaikh tidak
boleh melarang aturan yang telah dijalankan oleh Ibn Saud di Di’riyah, aturan itu
adalah orang atau suku yang lemah membayar pada suku yang kuat agar
mendapatkan perlindungan dari mereka (bahasa sekarang “jatah preman”).
Persis seperti sejarah Nabi Muhammad Saw, Ibn Bisyr menuliskan kisah perang
(jihad) yang pertama yang berarti penyerbuan bersenjata yang berasal dari perintah
Muhammad bin Abd Wahhab dengan dalih sasarannya adalah mereka yang
memusuhi Ahlu Tauhid. Mereka menyerbu beberapa perkambung suku Arab badui,
memperoleh harta rampasan dan kembali.9
Wilayah-wilayah di sekitar Dir’iyyah tidak tinggal diam atas gerakan politik Dinasti
Saudi dan Gerakan Wahabi, tidak sedikit yang melawan balik, baik dengan senjata
dan juga penolakan ideologi. Seperti yang dilakukan oleh Sulaiman bin Abd Wahhab
qadli di Harimla, kakaknya Muhammad bin Abd Wahhab yang menulis buku As-
Shawa’iq dan memerintahkan seorang bernama Sulaiman bin Khuwaithir untuk
menyebarkannya ke Uyaynah. Peristiwa ini direkam oleh Ibn Bisyr dan Ibn Ghannam
yang menyebutnya sebagai konspirasi terhadap umat Islam (yakni pengikut Wahabi).
Akhirnya Ibn Khuwaithir ditangkap dan dieksekusi oleh pengikut Wahabi.10
7
Ibid., h. 87
8
Koalisi politik, agama, dan darah antara Keluarga Saudi (Al Saud) dengan Keluarga Syaikh (Al-Syaikh) Muhammad
bin Abd Wahhab masih bertahan hingga sekarang. Saat ini yang menjawab sebagai Ketua Dewan Syura
(Konsultatif), Mufti Saudi dan Menteri Urusan Islam berasal dari Keluarga Al-Syaikh
9
Unwanul Majd, Ibn Bisyr, editor: Abdurrahman Al-Syaikh, Riyadh: Matbuat Daratul Malik, 1982, Vol. I, h. 45-46
10
Tarikh Najd, h. 108
bin Abd Wahhab, yang terkenal memerintahkan menyerang Karbala menghancurkan
makam Sayyidina Husain dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib (2 tahun setelah peristiwa
itu, Abd Aziz dibunu) dan cucunya: Saud, yang menduduki kota Makkah dan
Madinah yang kemudian memaksakan ideologi Wahabi diterapkan pada ulama-
ulama di Haramain.
Pembantaian
Saat Saud akan menduduki kota Makkah, ia mengirimkan surat, yang nadanya
penerimanya adalah orang non-muslim, seperti halnya gaya bahasa Rasulullah Saw
terdahulu mengirimkan surat pada Ahlul Kitab—assalamu ala man ittaba’al huda
bukan assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh, kemudian ia mengutip ayat
64 surat Ali Imran, Ya Ahlal Kitab—hai orang Ahlul Kitab.16 Jadi ia memahami bahwa
ulama-ulama Makkah dan para pembesarnya saat itu adalah orang Kristen, Yahudi,
atau agama lain!
11
Ibid., h. 102
12
Unwanul Majd. Vol I, h. 120
13
Tarikh Najd, h. 182-183
14
Unwanul Majd, h. 216
15
Ibid., h. 257-258
16
Ibid., h. 261
Setelah itu, Pasukan Saudi-Wahabi menghancurkan monumen kelahiran Nabi, Abu
Bakar, Imam Ali, dan Sayyidah Khadijah yang mereka tuduh sebagai “berhala-
berhala yang disembah selain Allah” setelah itu Saud mengirimkan surat ke Sultan
Turki bahwa ia telah menghancurkan agama berhala.
Saud digantikan Abdullah yang menjadi raja terakhir Dinasti Saudi Pertama, setelah
ibu kotanya Dir’iyyah dihancurkan pasukan Dinasti Turki Utsmani di bawah komando
Ibrahim Pasha, anak gubernur Mesir, Muhammad Ali Pasha pada tahun 1818.
Pada Periode Dinasti Saudi Kedua, tidak ada hal yang penting diceritakan, karena
periode ini mencatat perebutan kekuasaan dan pembunuhan internal dalam Dinasti
Saudi. Dinasti Kedua yang didirikan oleh Turki Al Saud, dibunuh oleh keponakannya
sendiri, Musyari, dan nantinya anak Turki, Faisal, membunuh Musyari untuk merebut
kekuasaan ayahnya. Pada periode ini, Gerakan Wahabi yang diwakili Keluarga Al-
Syaikh (Keturunan Syaikh Muhammad bin Abd Wahhab) bersikap pragmatis,
siapapun yang menjadi pemimpin, meskipun dengan cara memberontak dan
membunuh pemimpin sebelumnya, mereka akan berbaiat.
Abd Aziz (Ibn Saud) memproklamirkan Kerajaan Arab Saudi tahun 1932 karena tiga
dukungan. Pertama, keturunan dari Dinasti Saudi dan kemampuannya
mempersatukan dengan pemaksaan terhadap kabilah-kabilah di Najd, kedua,
bantuan milisi Wahabi yang disebut al-Ikhwan, ketiga, bantuan Inggris melalui
Kesepakatan Darin 1915. Yang menarik diceritakan di sini adalah Kelompok Milisi
Ikhwan yang sengaja diciptakan oleh Ibn Saud sebagai pasukan yang siap mati
untuk berjihad di jalan Allah.
Kelompok ini bermula dari binaan seorang syaikh wahabi yang berpengaruh Abd
Karim al-Maghribi yang berkeliling ke suku-suku Badui untuk mengajar mereka ke
Darul Hijrah, di perkampungan yang ia asuh bernama Al-Arthawiyah. Mereka dididik
dengan ideologi Muhammad bin Abd Wahhab, namun Ibn Saud memiliki
kepentingan khusus, dengan mempersenjatai mereka. Milisi Ikhwan ini dipakai saat
menaklukkan Al-Hasa 1913, ini pertempuran pertama milisi Ikhwan melawan “orang
kafir”. Milisi Ikhwan semakin populer, sehingga suku-suku badui yang lain pun
bergabung. Kelompok Ikhwan semakin radikal dalam ideologi, mereka semakin
berambisi menegakkan agama Allah dengan menaklukkan wilayah-wilayah
sekitarnya. Sedangkan Ibn Aziz sudah memiliki kesepakaan dengan Inggris dan
menetapkan wilayah kekuasaannya. Tapi Ikwan ingin memperluas jajahannya. Dari
mitra menjadi musuh inilah akhir hubungan Ibn Saud dan kelompok Ikhwan. Kalau
tidak karena bantuan Inggris, mungkin saja Ibn Saud sudah kehilangan kekuasaanya.
Milisi Ikhwan ditaklukkan pada perang Sabilla tahun 1929. Dua tokohnya Sultan bin
Bajad al-Utaibi dan Faishal Al-Duwais berhasil dilumpuhkan. Namun kelompok
Ikhwan ini kembali bangkit pada tahun 1979 saat cucu Sultan, Juhaiman Al-‘Utaibi
memimpin gerakan bersenjata yang menyandera Makkah.
Ibu Saud mulai berfikir mengebiri gerakan Wahabi, melakukan demiliterisasi dan
“deradikalisasi”. Misalnya, setelah itu tidak ada yang boleh berfatwa, apalagi
mengkafirkan sikap politiknya, kecuali berdasarkan dewan ulama yang ia bentuk di
bawah mertuanya, Abdullah bin Abd Lathif Al-Syaikh yang masih keturunan Syaikh
Muhammad bin Abd Wahab. Mulai saat itu, Keluarga Al-Syaikh dan keturunannya
kembali menjadi referensi paham Wahabi yang resmi bagi Kerajaan Saudi.
Paham Wahabi kini praktis mengabdi dan menjadi stempel bagi kebijakan politik
Dinasti Saudi. Terkadang mereka melakukan kritik, namun tidak wajib diikuti, bahkan
mereka harus tersingkir. Ada cerita, seorang imam masjid Riyadh membaca ayat
120 surat al-Baqarah—wa lan tardla ankal yahudu wa lan nasharaa... tidak akan
pernah rela orang Yahudi dan Kristen kepadamu.. Dan saat itu Raja Ibu Saud
menjadi makmum. Imam ingin menyindir kebijakan rajanya yang berkoalisi dengan
Amerika dalam mengelola minyak. Sang Raja merasa tersindir, belum sempat imam
shalat menyelesaikan bacaannya, Raja memukul tengkuknya, kemudian Raja
meninggalkan jamaah sambil berteriak membaca surat al-Kafirun, Qul Yaa Ayyuhal
Kafiruun...17
Syaikh bin Baz pernah melakukan kritik terbuka saat pada kebijakan Raja Ibn Saud
saat menjadi hakim agama di al-Haraj tahun 1944—“Raja telah berkhianat, menjual
negerinya kepada orang asing bla bla....” Raja memanggil Bin Baz dalam sebuah
sidang di istana yang dihadiri pembesar kerajaan, para ulama dan anggota
mahkamah agung. Raja Ibn Saud mendebat Bin Baz bahwa yang ia lakukan juga
pernah dilakukan Rasulullah Saw saat yang meminta bantuan orang non muslim
untuk kemaslahatan negerinya. Pendapat Raja diamini oleh para ulama dan
Mahkaman Agung, Bin Baz terpojok. Raja pun berkata “Kau terbukti salah, para
ulama sudah memberikan fatwanya, kalau kau tidak minta maaf dalam 24 jam, aku
akan potong lehermu!”18
Saat Kerajaan Arab Saudi terpojok dengan isu radikalisme, maka ulama pun
mengeluarkan fatwa. Pada tahun 1979 Juhaiman al-Utaibi menduduki kota Makkah
dan Masjidil Haram, ulama pun mengeluarkan fatwa kelompok Juhaiman adalah
khawarij, murtad yang harus diperangi. Demikian pula saat Perang Teluk tahun 90-
an, di mana Saudi harus berkoalisi dan menjadi tempat bagi militer Amerika Serikat.
Ada beberapa ulama yang mengajukan keberatan. Raja Fahd mengangkat Bin Baz
sebagai mufti untuk menjadi “bamber”. Setelah Bin Baz wafat tahun 1999, diangkat
Abd Aziz bin Abdullah Al-Syaikh menjadi mufti. Dan kembalilah keluarga Al-Syaikh
menjabat mufti Saudi yang memang menjadi tradisi keluarga mereka sejak era
Muhammad bin Abd Wahhab.
Dalam hubungannya dengan Rejim Dinasti Saudi, Wahhabi memiliki tiga varian:
Pertama, loyalis kerajaan dan tukang stempel kebijakannya. Hal ini ditunjukkan oleh
Keluarga Al-Syaikh yang menempati posisi penting di Kerajaan Arab Saudi, seperti
Mufti Utama, Ketua Majelis Syura, dan Menteri Urusan Islam. Mereka adalah
penafsir yang otoritatif dan resmi soal pemikiran Wahabi. Semua kitab yang
berkaitan dengan ajaran Wahabi, khususnya tentang Muhammad bin Abd Wahhab
harus lulus sensor dan diberi pengantar dari Keluarga al-Syaikh ini. Loyalis kelompok
ini pula seperti Bin Baz yang menjadi benteng bagi kebijakan-kebijakan politik
Kerajaan. Ia mengeluarkan fatwa-fatwa penting soal larangan mengafirkan pemimpin
Islam dan larangan mengkritik kebijakan politik secara terbuka. Kritik menurutnya
harus disampaikan secara rahasia kepada pemimpin. Dan ini memang sikap politik
resmi Muhammad bin Abd Wahhab sejak dulu. Saat muncul desakan reformasi dan
demokrasi di Arab Saudi, ulama-ulama varian ini pun mengeluarkan fatwa bahwa
demokrasi haram dan bentuk kesyirikan karena bertentangan dengan syariat Islam.
Kedua, kelompok oposisi politik, yang terbagi jadi dua bagian: (1) bersenjata, seperti
Kelompok Juhaiman al-Qutaibi dan “Saudi-Afghan” yang sebelumnya dipakai oleh
rejim Saudi untuk membantu mujahidin Afghanistan melawan Uni Soviet. Peristiwa
ini mirip milisi Ikhwan yang pada era Raja Ibn Saud dipakai, kemudian dihancurkan
17
As-Su’udiyun wal Hall al-Islami, Muhammad Galal Kisyk, MA: Halliday, 1982, h. 429
18
Ibid., h. 65-64
setelah berani menentang. “Saudi-Afghan” yang kemudian membentuk Al-Qaidah
mulai mengafirkan pemimpin Arab Saudi dan melakukan teror di wilayah Arab Saudi
sendiri, menentang pangkalan militer Amerika Serikat di Arab Saudi. Kelompok ini
dilawan oleh fatwa-fatwa ulama Wahabi yang menjadi loyalis Rejim Saudi.
(2) non-bersenjata yang menginginkan reformasi dan suksesi di Arab Saudi. Tokoh
kelompok ini adalah Dr Muhammad Al-Massari yang mendirikan Parpol Tandzim
Tajdid Islami, ia pernah menjadi anggota Hizbut Tahrir yang sekarang memperoleh
suaka politik di Inggris sejak tahun 1996.
Ketiga Oposisi kritik tanpa ada niat kekuasaan. Tokoh ini adalah Syaikh Hasan bin
Farhan al-Maliki. Ia melakukan kritik-kritik terhadap ideologi kelompok salafi,
khususnya pemikiran Ibn Taimiyah dan Muhammad bin Abd Wahhab. Pada bulan
Oktober 2014 ia ditangkap dan dipenjara. Penangkapannya tanpa pengadilan
mengundang respon keras dari dunia internasional. Kitab-kitab karangannya
mengundang kontroversi di Saudi Arabia, karena ia menentang keras ideologi
Wahabi.