Anda di halaman 1dari 18

SAKOLA KAUTAMAAN ISTERI: IMPLEMENTASI

FILOSOFI SUNDA DALAM PENDIDIKAN


PEREMPUAN

Ana Wulandari dan Ririn Darini


Anawulandari.2023@student.uny.ac.id dan ririn_darini@uny.ac.id
Universitas Negeri Yogyakarta

Abstract
Dewi Sartika is not as popular as R.A Kartini and is often compared to R.A Kartini.
Dewi Sartika and R.A Kartini's dedication is not to be compared but to be inspired.
Dewi Sartika succeeded in establishing the first all-girls school in Indonesia called
Sakola Kautamaan Isteri. Dewi Sartika's thoughts that were expressed and realized in
the form of Sakola Kautamaan Isteri certainly had socio-cultural elements of Dewi
Sartika as part of Sundanese society. The study aims to analyze the implementation of
Sundanese philosophy in women's education at Sakola Kautamaan Isteri. This research
uses a qualitative method with a descriptive approach with qualitative data analysis
techniques developed by Miles and Hubberman which consists of collecting, reducing,
presenting data, and drawing conclusions. The results showed that: (1) Dewi Sartika
upholds several values that became the philosophy of Sundanese society at that time.
The philosophy that is still maintained in Sundanese society is known as cageur, bageur,
bener, pinter, and tur singer; (2) Dewi Sartika implements Sundanese philosophy in
Sakola Kautamaan Isteri implicitly and explicitly. For example, Cageur, bageur, and
bener are implemented through several efforts, one of which is by strengthening
education dedicated in the form of guidance and counseling services. Students are also
taught about life advice and local wisdom as well as local warriors who can be used as
role models. The implementation of Sundanese philosophy is also done explicitly or
directly. This is evident in the fourteen women's skills subjects taught at Sakola
Kautamaan Istri.
Keywords: Sakola Kautamaan Isteri, Education System, Sundanese Philosophy

Pendahuluan
Apabila membahas mengenai pahlawan nasional perempuan atau tokoh
emansipasi perempuan maka kemungkinan gambaran yang secara langsung
terbersit dalam benak seseorang adalah R.A Kartini. R.A Kartini menempuh
Pendidikan Belanda, aktif bersuara melalui surat-suratnya, dan dikenal
melawan belenggu adat-istiadat untuk menginspirasi kebebasan bagi kaum
perempuan. Tidak mengherankan apabila Kartini dikenal oleh masyarakat luas
karena dinilai sebagai pelopor emansipasi wanita di Indonesia.
Sebenarnya selain dari R.A Kartini, Indonesia memiliki begitu banyak
pahlawan perempuan yang menginspirasi, salah satunya Dewi Sartika. Dewi
Sartika sering dibanding-bandingkan dengan R.A Kartini karena gejolak
perjuangannya yang luar biasa terutama dalam mengaplikasikan pemikirannya
dalam hal pendidikan bagi kaum perempuan. Berdasarkan hal ini dapat
dimaknai bahwa Dewi Sartika dan R.A Kartini sama-sama tokoh pelopor
emansipasi perempuan di Indonesia (Yeni dan Lutfatulatifah, 2020: 119).
Namun demikian, tokoh Dewi Sartika tidak sepopuler R.A Kartini.
Masyarakat umum memiliki kemungkinan hanya sekedar tahu nama terhadap
tokoh Dewi Sartika, tetapi mengenai pemikiran dan kiprahnya belum diketahui
secara luas. Padahal di tahun 1904, R. Dewi Sartika telah sukses
memperjuangkan pembentukan Sakola Istri sebagai sekolah berbasis gender
perempuan perdana di Kawasan Hindia Belanda. Kala itu, gagasan atau
pemikiran Kartini belum disebarluaskan dan bahkan belum memperoleh
pembukuan dan publikasi lainnya. Di tahun 1909, Sakola Istri telah berhasil
meluluskan generasi perdana dari sekolahnya. Pada saat surat-surat Kartini
mulai dipublikasikan dalam bentuk buku sekitar tahun 1911, Sekolah
Kautamaan Istri sudah memiliki 9 (sembilan) cabang di sejumlah lokasi di
Priangan (Mumuh Muhsin, 2010:8). Tentu peran dan kontribusi Dewi Sartika
tidak untuk dibanding-bandingkan dengan R.A Kartini. Namun demikian,
Dewi Sartika juga sangat pantas memperoleh nama dan penghormatan
sebagaimana yang dianugerahkan pada R.A Kartini.
Di satu sisi, pendidikan kala itu di kawasan Hindia Belanda masih
berfokus pada kaum laki-laki, diskriminasi gender masih cukup kuat
membudaya dalam masyarakat. Kesempatan untuk kaum perempuan
memperoleh pendidikan masih sangat minim. Perempuan hanya diam di
rumah dan dianggap sebagai pendamping suami yang bertugas menyiapkan
segala kebutuhan suami maupun mengurusi urusan dapur. Peran perempuan
sebagai pendidik generasi penerus masih cenderung disepelekan (Rezza,
2022:199).
Salah satu faktor yang menjadi penyebab atau tantangan bagi perempuan
memperoleh haknya pada sejumlah aspek seperti pendidikan juga
dilatarbelakangi budaya patriarki yang mengakar dalam sosial kultural
masyarakat kala itu. Budaya patriarki dapat dimaknai sebagai sebuah hierarki
sosial yang memposisikan laki-laki sebagai tokoh utama dalam sistem sosial
(Cahyani, Swastika, dan Sumarjono, 2015:7). Perlu diketahui bahwa budaya
patriarki menempatkan perempuan pada strata mahkluk kelas dua atau tidak
memiliki kesejajaran dengan laki-laki, manakala perempuan belum
mendapatkan tempat yang sama rata dengan laki-laki dalam sejumlah bidang.
Fakta ini lantas menyebabkan perempuan kurang memperoleh wadah atau
ruang untuk bersuara dan berbuat sesuai keinginannya (Irfan dan Wawan,
2020:162).
Perbedaan posisi wanita dalam tatanan sosio-masyarakat pada kala itu
dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Salah satunya feodalisme dalam sistem
kerajaan yang berlaku di Kawasan Indonesia masa lampau, sebagai contoh di
zaman Mataram Islam manakala perempuan sebagai isteri juga diartikan
sebagai simbol kedudukan pria, ironis dengan pergeseran posisi perempuan
dari yang awalnya subjek menjadi objek. Adapula kepercayaan bahwa segala
sesuatunya sudah diciptakan dan diatur dalam keadaan seimbang sehingga
orang lebih percaya pada konsep takdir. Upaya seorang perempuan menaikkan
harkat dan derajatnya dianggap bertentangan, orang-orang kecil dan
terpinggirkan juga tidak memperoleh kesempatan lebih luas, kaum ini hanya
bisa tunduk pada konsep takdir tersebut.
Di sisi lain, terdapat mispersepsi tentang kedatangan agama Islam yang
dianggap seolah dipengaruhi oleh pemikiran dan opini Masyarakat Arab
tentang perempuan, yang menganggap wanita lebih rendah dari laki-laki.
Demikian juga beberapa kebiasaan dalam adat, seperti perkawinan anak-anak
(kawin gantung), kawin paksa, penolakan atau perceraian yang diputuskan
secara sepihak, yang sama sekali tidak menguntungkan pihak perempuan
(Nurhayati, 2004:521). Bahkan di masa Jahiliyah pun kaum perempuan bukan
digolongkan sebagai penerima warisan melainkan sebagai bagian dari warisan
itu sendiri (Asriaty, 2016:177).
Gagasan Dewi Sartika dalam memperjuangkan hak pendidikan kaum
perempuan pun salah satunya juga disebabkan oleh pengalaman hidupnya
dalam melihat dan merasakan dampak ketidaksetaraan gender tersebut. Hal ini
terjadi ketika Dewi Sartika memandang ketidakberdayaan ibunya ketika
ditinggalkan oleh ayahnya yang diasingkan ke wilayah Ternate. Keadaan pahit
tersebut menunjukkan betapa perempuan hanya menjadi pelengkap bahkan
penghias bagi seorang laki-laki, yang manakala laki-laki tersebut tidak mampu
lagi menopang dan mempertanggungjawabkan kehidupan perempuan maka
habis lenyaplah pula perempuan tersebut (Elis dan Samsudin, 2020:209).
Dalam buku Onderzoek Naar De Mindere Welvaart Der lnlandsche Bevolking
op Java en Madoera (1912) dijelaskan pada masa tersebut, isteri dari seorang
priyayi memiliki faktor kuat yang membuat dirinya sulit mengajukan
perpisahan dengan suaminya. Pertama, adanya kemungkinan untuk dikucilkan
dan takut terbuang. Hal ini lantaran perempuan isteri priyayi biasanya tidak
bekerja, sehingga kurang bisa untuk menghidupi dirinya sendiri lantaran tidak
memiliki kecakapan atau keterampilan tertentu. Kedua, dalam kehidupan
sosial masyarakat pun seorang wanita yang mengajukan cerai atas suaminya
tentu akan dicap sebagai wanita yang kurang baik karena wanita hanya
diperuntukkan untuk mengabdi kepada suami. Sementara alasan pengajuan
perceraian bukanlah faktor pertimbangan. Hal ini pulalah yang dialami oleh
ibunda dari Dewi Sartika.
Apabila melihat dari sisi sosio-kultural latar belakang pemikiran Dewi
Sartika juga merupakan buah positif dari kebijakan politik etis (Andrea dan
Miftahul, 2022:49-50). Politik etis membuka kesempatan memperoleh
pendidikan secara lebih luas kepada bumi putera, yang di dalamnya termasuk
kaum perempuan. Politik etis ini lantas membawa pengaruh baik sebagai
motivasi bagi kaum pribumi untuk meningkatkan kesejahteraan, kedudukan,
dan pandangan bangsa luar terhadap kaum pribumi. Momentum ini dinilai
sangat tepat dalam membawa kaum pribumi kearah yang lebih baik.
Di sisi lain, karya Sejarah yang membahas kehidupan Dewi Sartika cukup
banyak dilakukan. Perbedaannya dalam setiap karya terdahulu tersebut
mayoritas memfokuskan pembahasan tentang kehidupan dan ide-ide Raden
Dewi Sartika dan kiprahnya dalam mendukung perempuan melalui
pendidikan dan konsep pendidikan yang diusung oleh Dewi Sartika. Lebih
lanjut, dalam penelitian sederhana ini penulis membahas tentang sistem
pendidikan di Sakola Kautamaan Isteri yang diprakarsai oleh Raden Dewi
Sartika khususnya dikaitkan dengan Filosofi Sunda. Oleh sebab itu, maka
dalam penelitian sederhana ini menulis tentang Sakola Kautamaan Istri:
Filososi Sunda dalam Pendidikan Perempuan. Tujuan dari penulisan ini adalah
menganalisis implementasi filosofi Sunda dalam pendidikan perempuan di
Sakola Kautamaan Isteri.

Metode Penelitian
Penelitian tentang Sakola Kautamaan Isteri: Implementasi Filosofi Sunda
dalam Pendidikan Perempuan menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan pendekatan deskriptif. Pendekatan deskriptif bertujuan menjelaskan
dan menjabarkan data secara lebih mendalam dan komprehensif sehingga
masalah dalam penelitian dapat dibahas sesuai fokus tujuan yang hendak
dicapai. Adapun teknik pengumpulan data difokuskan pada studi literatur baik
dari majalah, buku, dan artikel jurnal.
Penelitian ini menggunakan teknik triangulasi data dan validasi mandiri
dari peneliti. Peneliti menggunakan triangulasi sumber yaitu sumber majalah,
buku, dan artikel-artikel jurnal yang terkait. Adapun validasi mandiri berkaitan
dengan kebijakan peneliti dalam menentukan ketercapaian atau ketercukupan
data lapangan yang telah diperoleh. Penelitian menggunakan teknik analisis
data kualitatif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman dalam Sugiyono
(2020:252) yang terdiri atas pengumpulan, reduksi, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan memilah data-data
temuan yang relevan dan valid untuk dijadikan bahan analisis, lalu kemudian
disintesa dalam bentuk penyajian data deskriptif untuk ditarik kesimpulan
hasil penelitian.

Hasil dan Pembahasan


Biografi Singkat Dewi Sartika
Apabila menelaah konsep pendidikan perempuan dalam sudut pandang
Dewi Sartika, tentu tidak melepaskan faktor kultural tempat Dewi Sartika
tumbuh dan berkembang. Dewi Sartika lahir pada 4 Desember 1884 yang
merupakan anak kedua dari dari pasangan R. Rangga Somanagara dan ibunya
R.A. Rajapermas, yang dalam perkembangannya menjabat sebagai Patih
Bandung. Dewi Sartika juga merupakan cucu Bupati Bandung R.A.A.
Wiranatakusumah IV, atau yang terkenal sebagai Dalem Bintang (Wiriatmadja,
2009). Sebagai seorang putri dari patih, Dewi Sartika dibesarkan dalam
golongan orang berada atau yang pada masa tersebut keluarga patih
digolongkan pada kelas priyayi (Tanaga, 2019).
Ayah Dewi Sartika merupakan seorang pemikir yang memandang jauh ke
depan. Sehingga Dewi Sartika pun memperoleh kesempatan untuk belajar di
bangku sekolah walaupun kala itu pendidikan masih sangat jarang untuk anak
perempuan bahkan bagi kalangan priyayi sekalipun. Sekolah kelas satu dibuka
pemerintah Belanda bagi anak-anak priyayi yang berasal dari keluarga mampu.
Sesudah dilakukan politik etis pada 1900, sekolah kelas satu dikembangkan
menjadi Hollandsch Inlandshe School (HIS) atau setingkat sekolah dasar di masa
kini (Tanaga, 2019). HIS menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar bagi kelas bawah dan bahasa Belanda untuk kelas yang lebih tinggi
serta kurikulumnya sesuai dengan Europeesche Lagere School (ELS) sekolah yang
sederajat dengan HIS tetapi hanya berlaku bagi orang Eropa dan anak-anak
Belanda.
Dewi Sartika belajar bahasa Belanda, Inggris dan ilmu yang lainnya saat
sekolah di HIS, tetapi sayangnya pendidikannya harus terputus karena
ayahnya dituduh melakukan percobaan pembunuhan terhadap bupati
Bandung yang baru R.A.A. Martanagara. Saat pemilihan calon bupati Bandung,
nama R. Rangga Somanagara tidak ada dalam daftar calon, padahal dia
merupakan menantu dari Bupati sebelumnya, R.A.A. Kusumadilaga, dan telah
menjalankan tugas bupati Bandung sementara sampai ditetapkannya bupati
baru. Hal ini menyebabkan Somanagara diklaim sebagai orang yang memiliki
alasan kuat untuk terlibat dalam peristiwa pemasangan dinamit pada
pertengahan juli tahun 1893 saat pelantikan Martanagara.
Setelah pertikaian politik ini, Somanagara dibuang ke Ternate dengan
ditemani oleh istrinya, ibunda dari Dewi Sartika. Selain harus ke pengasingan,
segala barang-barang kepunyaan keluarga Somanagara pun turut diambil alih
oleh pemerintah sehingga keluarga yang mulanya priyayi ini harus mulai
menggantungkan hidup kepada orang lain (Yan Daryono, 1996:36). Dewi
Sartika dititipkan di rumah pamannya yang bernama Raden Demang Suria
Kartahadiningrat atau Patih Aria Cicalengka. Patih ini terkenal sebagai tokoh
yang disegani dan rumahnya dianggap sebagai tempat yang dihormati dan
layak dijadikan teladan dalam tatacara kehidupan priyayi sehingga banyak
perempuan lain yang merupakan anak priyayi, seperti putri wedana, camat,
jaksa, dan pejabat-pejabat lainnya yang dititipkan di sana (Wiriaatmadja, 2009).
Di sana Dewi Sartika diperlakukan berbeda, dengan posisinya sebagai anak
buangan membuatnya dikucilkan dan tidak disukai oleh kaum kerabatnya.
Tinggal di rumah pamannya yang seorang patih membuat Dewi Sartika
diperlakukan layaknya sebagai seorang pekerja atau dalam bahasa kasarnya
seorang pembantu. Raden Dewi Sartika tidak dapat melanjutkan belajar di
sekolah karena pihak berwenang tidak bersedia menerima anak dari seseorang
yang dianggap berkhianat. Dewi mengalami perubahan hidup yang cukup
signifikan dan di masa kecilnya beliau mulai membiasakan diri mengerjakan
pekerjaan yang biasanya akrab dilakukan oleh pekerja rumah tangga seperti
mencuci, membereskan rumah, menyapu rumah, memasak dan
menghidangkannya, serta semua pekerjaan rumah sehari-hari lainnya. Yang
membedakan Raden Dewi Sartika dengan abdi dalem lainnya adalah Dewi
Sartika memiliki keterampilan baca tulis sebagai hasil yang diperoleh karena
pernah bersekolah di Sekolah Kelas Satu (Eerste Klasse Inlandsche School) di
Bandung yang pada kala itu dikhususkan untuk anak-anak Belanda dan putra-
putri priyayi (Meidiana, 2010:8).
Pada masa remaja, Dewi Sartika belajar pendidikan ala kadarnya seperti
memasak, menjahit, memasang meja, melayani orang tua makan, menyulam
dan sopan santun. Terkadang gadis-gadis ini diberi pelajaran bahasa Belanda
yang diajarkan oleh nyonya-nyonya Belanda yang tengah mengikuti suaminya
bertugas atau gadis-gadis itu diantarkan ke rumah nyonya Belanda istri
kontrolir dalam pengawasan yang ketat. Pengajaran ini biasanya tidak berjalan
lama karena nyonya Belanda ikut suaminya yang dipindahkan atau gadis-gadis
itu dijemput keluarganya untuk dinikahkan. Hidup dalam suasana feodal yang
mengekang, segala kesibukan kegiatan perempuan yang menghabiskan
sebagian besar waktu tidak menambah wawasan para gadis. Seluruh minat dan
harapan para gadis hanya tertuju pada satu tujuan yaitu pernikahan. Pada
tahun 1902 Dewi Sartika meninggalkan Cicalengka dan pulang ke daerah
asalnya Bandung. Alasan kepulangan adalah ibunya telah kembali dari
buangan karena ayahnya wafat.

Pendirian Sakola Kautamaan Isteri


Usaha Dewi Sartika dalam membuka jalan bagi akses pendidikan bagi
kaum perempuan di daerahnya mulai aktif digencarkan sejak tahun 1902. Dewi
Sartika kembali pulang ke Bandung lantaran ibunya juga kembali dari
pengasingan. Di halaman rumahnya di Bandung, Dewi Sartika mulai
memberikan pengajaran kepada sanak keluarga yang perempuan, kegiatan
mengajar tersebut sarat dengan hal-hal rumah tangga yang biasanya dilakukan
oleh kaum perempuan seperti menjahit pakaian, memasak, baca tulis, dan
sebagainya. Siswa-siswi tersebut memiliki antusias yang baik dalam belajar
Raden Dewi Sartika. Sebagai bentuk ungkapan rasa terima kasih, siswi-siswi
yang diajarkan oleh Raden Dewi Sartika memberikan aneka macam makanan,
terkadang dalam bentuk sembako seperti beras, garam, atau buah-buahan dan
sebagainya (Yan Daryono, 1996:56). Berdasarkan hal ini dapat dimaknai bahwa
siswi-siswi yang diajarkan oleh Dewi Sartika bukan hanya berasal dari
golongan elite atau menengah ke atas tetapi juga merupakan orang-orang
menengah ke bawah yang memiliki keinginan untuk belajar.
Aktivitas pengajaran yang diinspirasi oleh Dewi Sartika mengalami lika-
liku perjuangan tersendiri. Aktivitasnya samar-samar telah sampai pada pihak
pemerintah, salah satunya Inspektur Pengajaran Hindia Belanda di Bandung
yang bernama C. Den Hammer. Dalam masa awal, Den Hammer berpendapat
bahwa aktivitas Dewi Sartika bersifat liar dan mengandung unsur pro kontra
yang patut untuk dicurigai. Hal ini salah satunya karena Dewi Sartika adalah
putri Patih Somanagara yang dicap sebagai penentang gubermen saat itu.
Namun demikian, setelah melihat kegiatan edukasi oleh Raden Dewi
Sartika secara langsung, C. Den Hammer berubah pikiran dan justru
berpendapat bahwa kegiatan tersebut sangat bermanfaat. Inspektur pengajaran
tersebut lantas turun langsung ke lapangan untuk melihat situasi dan
memberikan dorongan serta motivasi penuh bagi Dewi Sartika untuk
mewujudukan harapan tentang berdirinya sekolah khusus kaum perempuan.
Den Hamer lantas meminta Dewi Sartika segera mendirikan sekolah
perempuan (Yan Daryono, 1996:56).
Lebih lanjut, gagasan pendirian sekolah oleh Dewi Sartika diajukan
kepada Bupati Bandung yang kala itu dijabat oleh R.A.A. Martanegara. Pada
mulanya Bupati Martanegara kurang memberikan perhatian dan persetujuan
pada Dewi Sartika guna membangun sekolah bagi kaum perempuan, karena
dikhawatirkan memperoleh penentangan keras dari masyarakat. Sekolah untuk
perempuan yang diusulkan oleh seorang puteri priyayi secara gamblang tidak
sesuai dengan adat dan kode kebangsawanan. R.A.A Martanegara berujar
dalam bahasa Sunda menyatakan, “Entong, awewe mah entong sakola! Asal
bisa nutu-ngejo, bisa kekerod, bisa ngawulaan salaki, gees leuwih ti cukup,
ganjaranana ge manjing sawarga. Komo ieu make rek diajar bass Walanda
sagala. Artinya: "Jangan, perempuan tidak usah sekolah! Asal bisa menanak
nasi, bisa menjahit, bisa mengabdi kepada suami, sudah lebih dari cukup,
pahalanya surga. Apalagi mau belajar bahasa Belanda segala” (Wiriaatmadja,
2009:73).
Dalam hal ini, kegigihan dan ketekunan Dewi Sartika menjadi benteng
pertahanannya. Walaupun ditolak berulang-ulang, berulang kali pula Dewi
Sartika mengajukan permohonan. Sampai akhirnya Bupati Bandung dapat
lebih memahami dan mendukung niat Dewi Sartika dalam memajukan
pendidikan kaum perempuan. Setelah bupati Bandung mendengar paparan
dari Raden Dewi Sartika dalam mewujudkan cita-citanya untuk mendirikan
sekolah bagi kaum perempuan, demi kemajuan harkat dan martabat kaum
perempuan itu sendiri, R.A.A. Martanegara merasa tersentuh dan memberikan
dukungan bagi pembentukan sekolah oleh Dewi Sartika.
R.A.A Martanegara berujar dalam bahasa Sunda menyatakan, “Nya atuh
Uwi, ari Uwi panteg jeung keukeuh hayang mah, muga-muga bae dimakbul ku
Allah nu ngawasa sakuliah alam, urang nyoba-nyoba nyieun sakola sakumaha
kahayang Uwi. Pikeun nyegah bisi aya lea tee ngeunah di ahir, sakola Leh hade
lamun di pendopo was heula. Lamun katangen henteu aye neon-neon, pek bee
pindah ka tempat sejen” Artinya : "Ya Uwi, apabila Uwi sudah bulat keinginan,
mudah-mudahan dimakbul oleh Allah yang menguasai seluruh alam, kita coba
mendirikan sekolah sebagaimana yang dikehendaki oleh Uwi. Untuk
mencegah hal-hal yang tidak diinginkan kemudian, lebih baik sekolah
diselenggarakan di pendopo dahulu. Apabila tidak terjadi apa-apa, boleh
pindah ke tempat lain."
Pada 16 Januari 1904, Sakola Istri akhirnya berhasil dibentuk. Dalam
bahasa Sunda, istri berarti juga Gadis atau Wanita. Sekolah ini merupakan
sekolah pertama bagi kaum perempuan Indonesia. Sesuai dengan amanat
R.A.A. Martanegara, yang untuk sementara waktu penyelenggaraan kegiatan
belajar akan dilakukan di ruangan Paseban Barat di halaman rumah bupati
Bandung. Sakola Isteri ini merupakan perwujudan dari gagasan Dewi Sartika
tentang sekolah yang berfokus pada pendidikan bagi kaum perempuan (Ratna,
2023:176).
Pada tahun selanjutnya, tepatnya pada tahun 1905, proses belajar
mengajar dipindahalihkan dari Pendopo atau halaman rumah bupati Bandung,
R.A.A Martanegara ke Jalan Ciguriang-Kebon Cau. Dewi Sartika mendirikan
sebuah bangunan gedung sekolah yang sekarang diketahui sebagai SD dan
SMP Dewi Sartika. Pada masa awal pendiriannya sekolah itu hanya terdiri atas
dua buah ruang belajar.

Sistem Pendidikan di Sakola Kautamaan Isteri


Sakola Kautamaan Istri adalah sekolah yang khusus diperuntukkan untuk
kaum perempuan. Oleh karena itu, guru-guru yang mengajar di sekolah
tersebut semuanya merupakan perempuan. Dewi Sartika memiliki prinsip dan
tujuan tersendiri yaitu supaya masyarakat melihat dan memahami serta
memberikan tanggapan bahwa perempuan pantas untuk dididik dan dibina
layaknya laki-laki.
Pada masa awal pembentukannya pada tahun 1904, Sakola Isteri memiliki
tiga guru yang mengajar, Raden Dewi Sartika juga menjabat sebagai kepala
sekolah. Terdapat dua orang guru lainnya yaitu Nyi Poerwa dan Nyi Oewit
yang turut mendedikasikan diri dalam memberikan pengetahuan kepada anak
didik Sakola Istri. Selain itu, Yan Daryono (1996:58) mencatat beberapa nama
guru setelah berdirinya tahun 1904, diantaranya mbok Suro (guru membatik),
Ibu Juhana, Ibu Neno Karsanah, Ibu Enceh, Ibu Halimah, Ibu Ine Tardine, dan
Ibu Teiters (guru bahasa Belanda).
Guru-guru yang berkontribusi dalam pendidikan di Sakola Isteri adalah
orang yang berkompeten sesuai bidangnya masing-masing. Dewi Sartika giat
untuk menjalin relasi guna memperoleh guru-guru yang ahli sesuai kompetensi
dan basia ilmu masing-masing. Contohnya seperti dari Rumah Sakit Immanuel
terdapat Zuster van Arkel, beliau memberikan materi P.P.P.K. dan tata cara
merawat bayi. Dalam Pendidikan Bahasa Belanda diajarkan oleh kalangan
Belanda tulen yang memiliki skill untuk mengajar. Tenaga-tenaga pengajar
Bahasa Belanda yang telah turut berdedikasi di Sakola lstri di antaranya adalah:
1) Juffrow Stibbe, langsung didatangkan dari Negeri Belanda; 2) Juffrouw
Young; 3) Juffrouw Feytes; dan 4) Juffrouw Peters.
Guru-guru di Sakola Kautamaan Isteri juga melakukan transfer nilai dan
keterampilan. Guru tidak hanya membekali siswa dengan ilmu pengetahuan
umum saja tetapi juga membekali dengan ilmu-ilmu dasar yang digolongkan
dalam pelajaran keterampilan wanita. Siswi juga memperoleh pendidikan
sosial sesuai norma yang dianut masyarakat dan sejumlah edukasi dan
pelatihan implementasi tata krama dan moral lainnya sehingga diharapkan
perempuan dapat mengembangkan diri dalam ranah intelektual, sosial,
maupun keterampilan hidup sehari-hari.
Peserta didik yang menempuh pendidikan di Sakola Kautamaan Istri
secara keseluruhan berjenis kelamin perempuan. Pada awal pendirian di tahun
1904, siswi yang mendaftar Sakola Kautamaan Istri menunjukkan minat dan
sambutan beragam dari masyarakat. Yayasan Dewi Sartika mencatat bahwa
pada angkatan pertama sekolah ini memperoleh 20 orang siswi. Gadis-gadis
yang tercatat sebagai siswi mula-mula Sakola lstri mayoritas berasal dari
keluarga sederhana yang mayoritas merupakan anak dari pekerja di kantor
Kabupaten Bandung dengan penghasilan cukup rendah dan tergolong kaum
menengah ke bawah. Hal ini adalah bagian dari prinsip yang dianut Dewi
Sartika yang membuka sekolah dan memberikan pendidikan bagi siapa saja
yang memerlukan (Wiriaatmadja, 2009:74).
Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa dalam
perkembangan kemudian siswi yang belajar di Sekolah Kautamaan Isteri juga
terdapat dari golongan elite. Salah satunya di tahun 1914, berdasarkan catatan
dalam buku Onderzoek Naar De Mindere Welvaart Der lnlandsche Bevolking op Java
en Madoera (1912) dijelaskan bahwa terdapat 6 orang siswa yang merupakan
anak Bupati dan pejabat tinggi lainnya, anak pejabat yang setara dengan
pangkat Asisten Wedana berjumlah 5 orang, putri dari pejabat dengan gaji
kurang dari f. 100.- sebulan sejumlah 70 orang anak dari pengusaha swasta
tercatat 11 orang. Hal ini mengindikasikan bahwa Sekolah Kautamaan Isteri
terbuka bagi siapapun yang berminat untuk menempuh pendidikan disana.
Apabila menelaah berdasarkan segi usia siswi, mayoritas gadis-gadis
yang mendaftarkan diri di Sakola Kautamaan lstri berada pada kisaran usia
yang seharusnya. Dalam artian bahwa siswi-siswi tersebut berada pada rentang
usia patut untuk belajar di tingkat Sekolah Dasar. Apabila terdapat sejumlah
siswi 14 tahun ke atas ketika masih bersekolah, hal tersebut digolongkan dalam
beberapa pengecualian dan dalam kondisi khusus. Mayoritas siswi di Sakola
Isteri berkisar antara usia 6-13 tahun.
Pada tahun tahun 1905, Sakola Isteri ditukar lokasinya ke Jalan Ciguriang-
Kebon Cau. Hal ini dikarenakan terjadinya peningkatan jumlah pendaftar
sehingga pendopo telah kehabisan kapasitas untuk mewadahi siswi yang selalu
bertambah (Yan Daryono, 1996:82). Masa awal pemindahan ke Jalan Ciguriang
tersebut bangunan sangat sederhana, dibuat dari bahan seadanya seperti dari
bambu dan kayu, dinding bangunannya seseg (bahan bambu yang dianyam),
dan untuk atap terbuat dari ari genting. Dalam perkembangannya kelas-kelas
semakin ditambah, begitu pula dengan tenaga pendidiknya. Tenaga pendidik
di sekolah ini mayoritas merupakan wanita-wanita priyayi dengan pendidikan
tradisional yang dengan sukarela turut berkontribusi mendukung Dewi
Sartika.
Minat pendaftar di Sakola Isteri menunjukkan peningkatan signifikan
dalam setiap tahun. Hal ini mengakibatkan bangunan lama di Jalan Ciguriang
kurang memadai untuk menampung siswi-siswi. Sehingga pada tahun 1909
renovasi atas bangunan lama mulai dilaksanakan dan bangunan yang awalnya
dengan kayu dan bambu mulai diganti dengan lantai batu. Untuk renovasi
tersebut, pihak umum memberikan sumbangsih yang cukup besar, antara lain
dari Hoofd Penghulu Rusdi dan Asisten Residen Tideman. Perhatian
masyarakat umum maupun pemerintah lebih intens daripada sebelumnya,
terutama setelah Sakola lsteri diubah nama di tahun 1910 menjadi "Sakola
Kautamaan lstri". Hal ini memberikan artian bahwa kaum perempuan dapat
digolongkan sebagai keutamaan atau prioritas dalam pendidikan.
Pada tahun yang sama di rumah Residen Priangan dibentuk perkumpulan
dengan nama yang sama. Susunan Pengurus perkumpulan ini terdiri dari ibu-
ibu pejabat di Bandung. Salah satu dampak dari hal ini adalah penyesuaian
Rencana pelajaran Sekolah Kautamaan lstri dengan rencana pelajaran Tweede
Klasse School. Tweede Klasse School merupakan sekolah kelas dua yang biasanya
dalam kegiatan belajar mengajar menggunakan bahasa Melayu (Gusti dan
Dewi, 2015:26).
Sakola Kautamaan Istri adalah sekolah bagi pribumi yang maju pada
zamannya. Dalam perkembangan siswi-siswi yang menempuh Pelajaran disana
bukan saja dari Bandung, namun juga dari berbagai daerah lain di sekitar pulau
Jawa (Yan Daryono, 1996:82). Hal ini salah satunya ditunjukkan dengan
partisipasi jumlah siswa yang semakin meningkat di setiap tahunnya. Di tahun
1911, jumlah siswi pada Sakola Kautamaan Istri sudah mencapai 210 siswi.
Dalam perkembangan selanjutnya di tahun 1913, jumlah siswi berada pada
angka 251 siswi.
Kurikulum yang diberlakukan dalam sekolah ini disusun menyelaraskan
pada kurikulum pemerintah kolonial, salah satunya berbasis Tweede Klasse
School (Nina, 2006:97). Tweede Klasse School merupakan sekolah kelas dua yang
biasanya dalam kegiatan belajar mengajar menggunakan bahasa Melayu (Gusti
dan Deji, 2015:26). Bentuk dari implementasi kurikulum sesuai anjuran
pemerintah kolonial ini diantaranya adalah memuat materi Bahasa Belanda
sebagai disipilin ilmu yang mutlak harus dipelajari oleh para siswi. Hal ini
salah satunya juga dikarenakan Bahasa Belanda pada kala tersebut diperlukan
dalam berbagai bidang, baik untuk melanjutkan sekolah atau mencari
pekerjaan. Berikut beberapa daftar materi yang diajarkan di Sakola Kautamaan
Isteri.
Tabel 1. Daftar Materi Pelajaran Sakola Kautamaan Istri

No Materi Kategori
1. Berhitung Pendidikan Umum
2. Menulis Pendidikan Umum
3. Membaca Pendidikan Umum
4. Bahasa Belanda Pendidikan Umum
5. Bahasa Melayu Pendidikan Umum
6. Akhlak dan Budi Pekerti Pendidikan Umum
7. Agama Pendidikan Umum
8. Membatik Pendidikan Keterampilan Wanita
9. Menjahit Pendidikan Keterampilan Wanita
10. Merenda Pendidikan Keterampilan Wanita
11. Menambal Pendidikan Keterampilan Wanita
12. Menyulam Pendidikan Keterampilan Wanita
13. Menisi Pendidikan Keterampilan Wanita
14. Menyongket Pendidikan Keterampilan Wanita
15. Memasak Pendidikan Keterampilan Wanita
16. Menyajikan makanan Pendidikan Keterampilan Wanita
17. Memelihara bayi Pendidikan Keterampilan Wanita
18. Mencuci Pendidikan Keterampilan Wanita
19. Menyetrika Pendidikan Keterampilan Wanita
20. Mengatur rumah Pendidikan Keterampilan Wanita
21. Merawat orang sakit Pendidikan Keterampilan Wanita
22. Kesehatan (PPPK) Pendidikan Umum
23. Olahraga Pendidikan Umum

Mata pelajaran yang diajarkan di Sekolah lstri mengutamakan pada


aspek-aspek keterampilan Wanita. Hal ini dikarenakan Sekolah Istri memiliki
nama dan tujuan sekolah yang mengkhususkan guna mendidik gadis-gadis
untuk menjadi isteri yang utama. Menurut Yan Daryono (1996:128) mata
pelajaran yang diajarkan pada setiap tingkatan di Sakola Kautamaan Isteri
sebagai berikut
1. Kelas 1 : Menyanyi, mendikte, berbaris, membaca, menulis, dan
berhitung
2. Kelas II : Menggambar, membaca, menulis, berhitung, menyanyi,
dikte, dan berbaris.
3. Kelas III : Membaca, menulis, berhitung, berbaris, menggambar,
menyanyi, dikte, dan merajut.
4. Kelas IV : Ilmu Sejarah, Ilmu bumi, Bahasa Belanda dan menjahit
(membuat taplak meja, baju bayi), membordel, memasak
(membuat sayur) lodeh, sayur sop, tumis-tumisan, dan macam-
macam sambal), bahasa melayu, mengaji al-Quran, belajar
shalat, do’a-do’a, membuat bunga dari kertas kreep.
5. Kelas V : Menjahit (membuat taplak meja dari kain strimin), ilmu
tumbuh-tumbuhan, ilmu alam, ilmu bumi, ilmu sejarah, bahasa
Belanda, memasak, mengaji al-Quran dan sembahyang dan
sebulan sekali mengisi siaran Radio NIROM (Nederland Indische
Radio Omroep Maatchaapy) berubah menjadi RRI dari pukul
17.00-18.00, anak-anak menyanyikan lagu-lagu Belanda dan
Sunda.
6. Kelas VI : Menjahit (membuat taplak meja dari kain strimin), ilmu
tumbuh-tumbuhan, ilmu alam, ilmu bumi, ilmu sejarah, bahasa
Belanda, memasak, mengaji Al-Quran dan sembahyang dan
membuat baju bayi, gurita bayi, membuat tali popok.
Lulusan dari Sakola Kautamaan lstri Sebagian juga melanjutkan
pendidikan ke Sekolah Van Deventer. Di sekolah Van Deventer ini, siswi-siswi
tersebut belajar lebih lanjut untuk menjadi guru di sekolah-sekolah kewanitaan.
Kebutuhan akan tenaga pengajar di sekolah-sekolah semacam ini semakin
meningkat dengan bertambahnya seiring meningkatnya minat masyarakat. Hal
ini juga disebabkan beberapa dari kaum perempuan ini memilih untuk tidak
langsung bekerja dan/atau menikah sesudah lulus dari Sakola Kautamaan
Isteri.
Pada tahun 1917, untuk keperluan inilah Yayasan Van Deventer didirikan,
dengan tujuan de bevordering van het voortgezet onderwijs aan lnheemse meisjes
yang artinya bertujuan membuka kesempatan lebih luas dalam bidang
pendidikan bagi gadis-gadis bumiputera untuk melanjutkan studi. Berturut-
turut didirikan sekolah-sekolah Van Deventer di Semarang dan Solo lengkap
dengan asrama puterinya, pada tahun 1921 dan tahun 1927. Tahun 1931 dibuka
sekolah dan asrama yang sama di Malang.
Sekolah Van Deventer yang didirikan di Bandung pada tanggal 17
Oktober 1917 terlepas dari lembaga tersebut, dan tumbuh menjadi Sekolah
Guru Wanita (Meisjesnormaalschool). Mula-mula sekolah-sekolah Van
Deventer berbentuk sebagai Sekolah Guru Taman Kanak-kanak
(Frbbelkweekschool) dan menerima subsidi dari Pemerintah, kemudian
berkembang menjadi Sekolah Kepandaian Puteri (Nijverheidsschool). Berkali-
kali rencana pelajarannya diubah, untuk memenuhi persyaratan yang
dicantumkan dalam ijazah, selanjutnya sekolah-sekolah ini menghasilkan guru-
guru untuk mata pelajaran kewanitaan di sekolah-sekolah gadis bentuk barn
dan sekolah taman kanak-kanak.
Dalam perkembangannya, Sakola Kautamaan lstri merekrut lulusan
Sekolah Van Deventer sebagai tenaga pengajar. Salah satunya dimulai pada
1923, sehingga Sakola Kautamaan Isteri dapat lebih mengoptimalkan
pengasahan potensi peserta didik dengan menghadirkan guru yang sesuai
lulusan dan keahliannya guna memberikan pelajaran berkaitan dengan tugas-
tugas perempuan. Kebijakan ini juga diatur agar guru dapat lebih dekat dengan
siswa mengingat bahwa ada keterikatan emosional sebagai alumni yang pernah
mengenyam pendidikan di Sakola Kautamaan Isteri pula.
Penekanan pada aspek keterampilan yang disesuaikan pada kebutuhan
dan perkembangan kemajuan membuat minat siswa semakin meningkat dalam
belajar. Hal ini juga tentu harus diimbangi dengan peningkatan uang iuran
sebagai sokongan pembiayaan. Namun demikian, Sakola Kautamaan Isteri
tetap menekankan uang sekolah hanya dipungut serendahnya dari peserta
didik. Hal ini mendukung prinsip yang dijunjung Dewi Sartika yang
menekankan bahwa pendidikan harus mampu terjangkau dan sesuai keadaan
ekonomi rakyat. Uang sekolah paling rendah adalah f. 0,50 28), ditunjang
beberapa iuran-iuran seminimal mungkin untuk menunjang kegiatan praktik.

Filosofi Sunda dalam Sakola Kautamaan Isteri


Sebagai bagian dari masyarakat kultural Suku Sunda, Dewi Sartika
menjunjung beberapa nilai yang menjadi filosofi Masyarakat Sunda pada kala
itu. Filosofi yang masih dipertahankan pada masyarakat Sunda dikenal dengan
nama cageur, bageur, bener, pinter, dan tur singer. Cageur merupakan keadaan
sehat, baik sehat jasmani maupun sehat rohani atau sehat lahir dan batin.
Bageur merupakan keadaan atau karakter yang baik hati, sederhana, dan tidak
sombong (teu adigung adiguna, teu gede hulu). Bener merupakan keadaan atau
karakter manusia yang benar, yakni taat pada hukum dan menjalankan syariat
agama. Pinter merupakan keadaan atau karakter manusia yang memiliki ilmu
pengetahuan (Luhur ku elmu, sugih ku pangarti). Singer merupakan keadaan
atau karakter manusia yang terampil atau piawai, yakni manusia yang serba
bisa (masagi) atau banyak keterampilannya (Jembar ku pangabisa) dan bersifat
AKI (aktif/rapékan), kreatif (rancagé), dan inovatif (motékar). Kelima karakter
tersebut dilengkapi dengan pangger yang merupakan keadaan atau karakter
manusia yang kukuh, berdedikasi tinggi, dan berkomitmen. Tangguh dalam
membela kebenaran, tidak berkhianat, tapi tetap setia dan tidak ingkar janji
(Sudaryat, 2015).
Berdasarkan pendapat di atas, maka kelima nilai-nilai kesundaan tersebut
memiliki keterkaitan dengan tiga ranah pendidikan, yakni kognitif, afektif, dan
psikomotor. Kognitif atau pengetahuan berkaitan dengan pinter, psikomotor
berkaitan dengan singer, dan afektif berkaitan dengan cageur, bener. Kelima
istilah tersebut tentu berkaitan dengan karakteristik orang Sunda. Istilah cageur
yakni sehat jasmani dan rohani, bageur berarti berhati dan berkelakuan baik,
bener dan wanter berarti berpegang teguh kebeneran dan berani, ketiga hal
tersebut masuk ke ranah afektif/emosional. Kemudian masuk ke dalam ranah
kognitif yakni pinter yang memiliki arti pintar, pandai atau cakap. Sedangkan
dalam ranah psikomotor, diajarkan keterampilan perempuan yang bermacam-
macam di sekolah Kautamaan Istri (Zakiah, 2011).
Menurut Dewi Sartika, seseorang yang lulus dari Sakola Kaoetamaan Istri
diperuntukkan untuk nu hirup atau bisa hidup. Dewi Sartika tentu memiliki
pandangan tersendiri terkait definisi istilah ini. Arti dan tujuan yang praktis
dari istilah ini dapat diartikan bahwa lulusan Sekolah Kaoetamaan Istri
diharapkan mampu menghadapi tantangan zamannya. Sejak semula Dewi
Sartika tidak setuju dengan pendidikan tradisional, pendidikan tradisional
dinilai menempatkan perempuan pada posisi ketidakberdayaan yang memiliki
nasib bergantung pada kaum laki-laki. Posisi ini dianggap menyebabkan
kemerosotan wanita secara ekonomis, dan kemunduran kedudukannya baik
politis maupun sosial (Dewi Sartika, 1912).
Apabila meninjau dari kurikulum dan mata pelajaran yang diajarkan
dapat diartikan bahwa Dewi Sartika mengimplementasikan filosofi Sunda
dalam Sakola Kautamaan Isteri secara implisit dan eksplisit. Secara implisit
artinya dilakukan secara tidak langsung atau tersirat. Sebagai contoh, Cageur,
bageur, dan bener dilaksanakan melalui beberapa upaya salah satunya dengan
penguatan pendidikan yang didedikasikan dalam bentuk layanan bimbingan
dan konseling. Siswi juga diajarkan tentang petuah-petuah kehidupan dan
kearifan lokal serta tokoh pejuang lokal yang dapat dijadikan teladan yang
diselipkan ketika penyampaian pembelajaran. Lebih lanjut, guru di Sakola
Kautamaan Isteri memberikan contoh dan teladan yang menginspirasi tentang
pemberdayaan perempuan yang dapat setara dengan laki-laki dengan memiliki
keahlian dan kecakapan hidup tersendiri. Guru juga berperan dalam
memberikan teguran dan nasihat kepada siswa dalam yang melakukan
perbuatan kurang sesuai dengan nilai dan norma. Hal ini bertujuan untuk
membentuk pembiasaan berperilaku sesuai karakter bangsa bagi siswa. Melalui
hal ini, diharapkan siswi-siswi di Sakola Kautamaan Isteri dapat kembali
mengenal filosofi-filosofi luhur daerahnya serta menghidupinya dalam
kehidupan sehari-hari.
Aspek kognitif atau pengetahuan mengintegrasikan filosofi Sunda dengan
cara implisit. Siswi diharapkan memperoleh perkembangan akademik yang
optimal dengan meliputi beberapa aspek seperti perkembangan dan
penyesuaian diri atau pribadi dalam belajar, potensi dalam pendidikan dan
penjurusan yang tepat, serta mencapai perkembangan dalam belajar. Melalui
kegiatan-kegiatan ini siswi di Sakola Kautamaan Isteri dibina untuk
meningkatkan potensi khususnya filosofi pinter.
Dalam ranah psikomotor, implementasi filosofi Sunda dilakukan secara
eksplisit atau secara langsung. Hal ini nampak pada adanya empat belas mata
pelajaran keterampilan perempuan yang diajarkan di Sakola Kautamaan Istri.
Berdasarkan hal ini, dapat diketahui bahwa unsur keterampilan atau filosofi
tur singer dihidupi dengan mengasah potensi keterampilan peserta didik secara
nyata dan langsung melalui mata-mata pelajaran keterampilan wanita tersebut
seperti menyulam, menjahit, keterampilan memasak, merawat bayi, dan
sebagainya.

Kesimpulan
Banyak hal yang sangat patut diapresiasi atas pencapaian Dewi Sartika.
Khususnya dalam kiprahnya memberikan teladan dan dedikasi bagi kaum
perempuan. Ide-ide baru yang dimunculkan Dewi Sartika pada zamannya
adalah sesuatu yang masih bertentangan dengan pola pikir dan adat istiadat
sebagian besar masyarakat kala itu. Namun melalui hal itu, Dewi Sartika
menunjukkan jiwa pantang menyerah dan semangat juang yang patut
diwariskan dari masa ke masa tentang betapa perempuan mampu
mewujudkan harapan dan menggapai impian, bukan hanya tentang dan untuk
dirinya sendiri tetapi juga orang lain terutama kaum perempuan.
Filosofi Sunda sebagai latar belakang sosio-kultural Dewi Sartika juga
dimaknai dalam pelaksanaan pendidikan di Sakola Kautamaan Isteri. Filosofi
cageur, bageur, bener, pinter, dan tur singer diintegrasikan secara implisit dan
eksplisit dalam kegiatan pembelajaran, baik dimuat dalam mata pelajaran
maupun dilaksanakan secara terintegrasi melalui kegiatan harian siswa. Dewi
Sartika berusaha menghidupi filosofi Sunda dalam membangun iklim
pendidikan yang sesuai dengan sosial budaya masyarakat.

Referensi
Andrea Dinurul Aeni dan Miftahul Habib Fachrurozi. (2022). Gerakan
Emansipasi Perempuan dalam Bidang Pendidikan di Jawa Barat Pada Awal Abad
Kedua Puluh. Bihari: Jurnal Pendidikan Sejarah dan Ilmu Sejarah, 5 (1), 49-
50.

Asriaty. (2016). Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam Qs Al-Baqarah (2):


282 Antara Makna Normatif dan Substantif dengan Pendekatan Hukum
Islam. Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, 7 (1), 175-198.

Cahyani, S.T.F., Swastika, K., Sumarjono. (2015). Perjuangan Organisasi


Perempuan Indonesia Menuntut Hak Pendidikan Pada Masa Kolonial Belanda
Tahun 1912-1928. Artikel Ilmiah Mahasiswa, 1 (1), 1-14.

Dutch East Indies. 1912. Onderzoek Naar De Mindere Welvaart Der lnlandsche
Bevolking op Java en Madoera. Batavia: Drukkerij Papyrus.

Elis Faujiah dan Samsudin. (2020). Pemikiran Dewi Sartika Pada Tahun 1904-1947
Dalam Perspektif Islam. Al-Tsaqafa: Jurnal Ilmiah Peradaban Islam, 17(2),
205-212.

F, Meidiana. (2010). Dewi Sartika. Jakarta: Bee Media Indonesia.

Gusti Muhammad Prayudi dan Dewi Salindri. (2015). Pendidikan Pada Masa
Pemerintahan Kolonial Belanda di Surabaya Tahun 1901-1942. Jurnal
Publika Budaya, 1(3), 20-34.
Irfan Agung Jayudha dan Wawan Darmawan. (2020). Pendidikan Bagi
Perempuan Indonesia: Perjuangan Raden Dewi Sartika dan Siti Rohana Kudus
(1904-1928). FACTUM; Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah, 9(2), 161-
174.

Komariyah dan Sumiyatun. (2022). Perkembangan Pendidikan Sekolah Kautamaan


Istri di Bandung Tahun 1904-1947. Jurnal SwarnaDipa, 6(1), 1-7.

Muhammad Rezza Septian. (2022). Sakola Kaoetamaan Istri: Rejuvenasi Filosofi


Pemikiran Raden Dewi Sartika dan Relevansinya terhadap Pendidikan,
Bimbingan dan Konseling. Jurnal Hawa: Studi Pengarus Utamaan Gender
dan Anak, 4(2), 199-207.

Mumuh Muhsin Z. (2010). R. A Kartini VS Dewi Sartika: Menakar Bobot


Kepahlawanan. Makalah Seminar Nasional Masyarakat Sejarawan
Indonesia (MSI) Jawa Barat Bekerja Sama dengan Program Studi Ilmu
Sejarah Fak. Sastra Universitas Padjadjaran di Kampus Fak. Sastra Unpad
Jatinangor.

Nina Herlina Lubis. (2006). 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat. Bandung: Pusat
Penelitian dan Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga peneltiian
Universitas Padjajajran.

Nurhayati. (2004). Feodalisme: Sebuah catatan pengalaman bangsa Indonesia. Jurnal


Al-Qanun, 7(1), 517-528.

Ratna Endang Widuatie, dkk. (2023). Dari Domestik ke Publik: Sejarah Pendidikan
Kejuruan Perempuan dari Waktu ke Waktu. SOSMANIORA: Jurnal Ilmu
Sosial dan Humaniora, 2 (2), 175-186.

Rochiati Wiriaatmadja. (2009). Dewi Sartika. Jakarta: Departemen Kebudayaan


dan Pariwisata, Direktorat Jenderal Sejarah Dan Purbakala, Direktorat
Nilai Sejarah.

Sartika, R. Dewi. (1912). Boekoe Kaoetamaan Istri. Bandung: A. C. NIX & Co.

Sudaryat, Y. (2015). Wawasan Kasundaan. Bandung: Universitas Pendidikan


Indonesia.

Tanaga, S. (2019). Ensiklopedi Tokoh Nasional Dewi Sartika. Bandung: Nuansa


Cendekia.
Wiriaatmadja Rochiati. (1986) Dewi Sartika. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.

Yan Daryono. (1996). R. Dewi Sartika. Jakarta: Yayasan Awika dan PT Grafitri
Budi Utami.

Yeni Sulistiani dan Lutfatulatifah. (2020). Konsep Pendidikan Bagi Perempuan


Menurut Dewi Sartika. Jurnal Equalita, 2 (2), 118-129.

Zakiyah, L. (2011). Konsep Pendidikan Perempuan Menurut Raden Dewi


Sartika. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Anda mungkin juga menyukai