Sakola Kautamaan Isteri
Sakola Kautamaan Isteri
Abstract
Dewi Sartika is not as popular as R.A Kartini and is often compared to R.A Kartini.
Dewi Sartika and R.A Kartini's dedication is not to be compared but to be inspired.
Dewi Sartika succeeded in establishing the first all-girls school in Indonesia called
Sakola Kautamaan Isteri. Dewi Sartika's thoughts that were expressed and realized in
the form of Sakola Kautamaan Isteri certainly had socio-cultural elements of Dewi
Sartika as part of Sundanese society. The study aims to analyze the implementation of
Sundanese philosophy in women's education at Sakola Kautamaan Isteri. This research
uses a qualitative method with a descriptive approach with qualitative data analysis
techniques developed by Miles and Hubberman which consists of collecting, reducing,
presenting data, and drawing conclusions. The results showed that: (1) Dewi Sartika
upholds several values that became the philosophy of Sundanese society at that time.
The philosophy that is still maintained in Sundanese society is known as cageur, bageur,
bener, pinter, and tur singer; (2) Dewi Sartika implements Sundanese philosophy in
Sakola Kautamaan Isteri implicitly and explicitly. For example, Cageur, bageur, and
bener are implemented through several efforts, one of which is by strengthening
education dedicated in the form of guidance and counseling services. Students are also
taught about life advice and local wisdom as well as local warriors who can be used as
role models. The implementation of Sundanese philosophy is also done explicitly or
directly. This is evident in the fourteen women's skills subjects taught at Sakola
Kautamaan Istri.
Keywords: Sakola Kautamaan Isteri, Education System, Sundanese Philosophy
Pendahuluan
Apabila membahas mengenai pahlawan nasional perempuan atau tokoh
emansipasi perempuan maka kemungkinan gambaran yang secara langsung
terbersit dalam benak seseorang adalah R.A Kartini. R.A Kartini menempuh
Pendidikan Belanda, aktif bersuara melalui surat-suratnya, dan dikenal
melawan belenggu adat-istiadat untuk menginspirasi kebebasan bagi kaum
perempuan. Tidak mengherankan apabila Kartini dikenal oleh masyarakat luas
karena dinilai sebagai pelopor emansipasi wanita di Indonesia.
Sebenarnya selain dari R.A Kartini, Indonesia memiliki begitu banyak
pahlawan perempuan yang menginspirasi, salah satunya Dewi Sartika. Dewi
Sartika sering dibanding-bandingkan dengan R.A Kartini karena gejolak
perjuangannya yang luar biasa terutama dalam mengaplikasikan pemikirannya
dalam hal pendidikan bagi kaum perempuan. Berdasarkan hal ini dapat
dimaknai bahwa Dewi Sartika dan R.A Kartini sama-sama tokoh pelopor
emansipasi perempuan di Indonesia (Yeni dan Lutfatulatifah, 2020: 119).
Namun demikian, tokoh Dewi Sartika tidak sepopuler R.A Kartini.
Masyarakat umum memiliki kemungkinan hanya sekedar tahu nama terhadap
tokoh Dewi Sartika, tetapi mengenai pemikiran dan kiprahnya belum diketahui
secara luas. Padahal di tahun 1904, R. Dewi Sartika telah sukses
memperjuangkan pembentukan Sakola Istri sebagai sekolah berbasis gender
perempuan perdana di Kawasan Hindia Belanda. Kala itu, gagasan atau
pemikiran Kartini belum disebarluaskan dan bahkan belum memperoleh
pembukuan dan publikasi lainnya. Di tahun 1909, Sakola Istri telah berhasil
meluluskan generasi perdana dari sekolahnya. Pada saat surat-surat Kartini
mulai dipublikasikan dalam bentuk buku sekitar tahun 1911, Sekolah
Kautamaan Istri sudah memiliki 9 (sembilan) cabang di sejumlah lokasi di
Priangan (Mumuh Muhsin, 2010:8). Tentu peran dan kontribusi Dewi Sartika
tidak untuk dibanding-bandingkan dengan R.A Kartini. Namun demikian,
Dewi Sartika juga sangat pantas memperoleh nama dan penghormatan
sebagaimana yang dianugerahkan pada R.A Kartini.
Di satu sisi, pendidikan kala itu di kawasan Hindia Belanda masih
berfokus pada kaum laki-laki, diskriminasi gender masih cukup kuat
membudaya dalam masyarakat. Kesempatan untuk kaum perempuan
memperoleh pendidikan masih sangat minim. Perempuan hanya diam di
rumah dan dianggap sebagai pendamping suami yang bertugas menyiapkan
segala kebutuhan suami maupun mengurusi urusan dapur. Peran perempuan
sebagai pendidik generasi penerus masih cenderung disepelekan (Rezza,
2022:199).
Salah satu faktor yang menjadi penyebab atau tantangan bagi perempuan
memperoleh haknya pada sejumlah aspek seperti pendidikan juga
dilatarbelakangi budaya patriarki yang mengakar dalam sosial kultural
masyarakat kala itu. Budaya patriarki dapat dimaknai sebagai sebuah hierarki
sosial yang memposisikan laki-laki sebagai tokoh utama dalam sistem sosial
(Cahyani, Swastika, dan Sumarjono, 2015:7). Perlu diketahui bahwa budaya
patriarki menempatkan perempuan pada strata mahkluk kelas dua atau tidak
memiliki kesejajaran dengan laki-laki, manakala perempuan belum
mendapatkan tempat yang sama rata dengan laki-laki dalam sejumlah bidang.
Fakta ini lantas menyebabkan perempuan kurang memperoleh wadah atau
ruang untuk bersuara dan berbuat sesuai keinginannya (Irfan dan Wawan,
2020:162).
Perbedaan posisi wanita dalam tatanan sosio-masyarakat pada kala itu
dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Salah satunya feodalisme dalam sistem
kerajaan yang berlaku di Kawasan Indonesia masa lampau, sebagai contoh di
zaman Mataram Islam manakala perempuan sebagai isteri juga diartikan
sebagai simbol kedudukan pria, ironis dengan pergeseran posisi perempuan
dari yang awalnya subjek menjadi objek. Adapula kepercayaan bahwa segala
sesuatunya sudah diciptakan dan diatur dalam keadaan seimbang sehingga
orang lebih percaya pada konsep takdir. Upaya seorang perempuan menaikkan
harkat dan derajatnya dianggap bertentangan, orang-orang kecil dan
terpinggirkan juga tidak memperoleh kesempatan lebih luas, kaum ini hanya
bisa tunduk pada konsep takdir tersebut.
Di sisi lain, terdapat mispersepsi tentang kedatangan agama Islam yang
dianggap seolah dipengaruhi oleh pemikiran dan opini Masyarakat Arab
tentang perempuan, yang menganggap wanita lebih rendah dari laki-laki.
Demikian juga beberapa kebiasaan dalam adat, seperti perkawinan anak-anak
(kawin gantung), kawin paksa, penolakan atau perceraian yang diputuskan
secara sepihak, yang sama sekali tidak menguntungkan pihak perempuan
(Nurhayati, 2004:521). Bahkan di masa Jahiliyah pun kaum perempuan bukan
digolongkan sebagai penerima warisan melainkan sebagai bagian dari warisan
itu sendiri (Asriaty, 2016:177).
Gagasan Dewi Sartika dalam memperjuangkan hak pendidikan kaum
perempuan pun salah satunya juga disebabkan oleh pengalaman hidupnya
dalam melihat dan merasakan dampak ketidaksetaraan gender tersebut. Hal ini
terjadi ketika Dewi Sartika memandang ketidakberdayaan ibunya ketika
ditinggalkan oleh ayahnya yang diasingkan ke wilayah Ternate. Keadaan pahit
tersebut menunjukkan betapa perempuan hanya menjadi pelengkap bahkan
penghias bagi seorang laki-laki, yang manakala laki-laki tersebut tidak mampu
lagi menopang dan mempertanggungjawabkan kehidupan perempuan maka
habis lenyaplah pula perempuan tersebut (Elis dan Samsudin, 2020:209).
Dalam buku Onderzoek Naar De Mindere Welvaart Der lnlandsche Bevolking
op Java en Madoera (1912) dijelaskan pada masa tersebut, isteri dari seorang
priyayi memiliki faktor kuat yang membuat dirinya sulit mengajukan
perpisahan dengan suaminya. Pertama, adanya kemungkinan untuk dikucilkan
dan takut terbuang. Hal ini lantaran perempuan isteri priyayi biasanya tidak
bekerja, sehingga kurang bisa untuk menghidupi dirinya sendiri lantaran tidak
memiliki kecakapan atau keterampilan tertentu. Kedua, dalam kehidupan
sosial masyarakat pun seorang wanita yang mengajukan cerai atas suaminya
tentu akan dicap sebagai wanita yang kurang baik karena wanita hanya
diperuntukkan untuk mengabdi kepada suami. Sementara alasan pengajuan
perceraian bukanlah faktor pertimbangan. Hal ini pulalah yang dialami oleh
ibunda dari Dewi Sartika.
Apabila melihat dari sisi sosio-kultural latar belakang pemikiran Dewi
Sartika juga merupakan buah positif dari kebijakan politik etis (Andrea dan
Miftahul, 2022:49-50). Politik etis membuka kesempatan memperoleh
pendidikan secara lebih luas kepada bumi putera, yang di dalamnya termasuk
kaum perempuan. Politik etis ini lantas membawa pengaruh baik sebagai
motivasi bagi kaum pribumi untuk meningkatkan kesejahteraan, kedudukan,
dan pandangan bangsa luar terhadap kaum pribumi. Momentum ini dinilai
sangat tepat dalam membawa kaum pribumi kearah yang lebih baik.
Di sisi lain, karya Sejarah yang membahas kehidupan Dewi Sartika cukup
banyak dilakukan. Perbedaannya dalam setiap karya terdahulu tersebut
mayoritas memfokuskan pembahasan tentang kehidupan dan ide-ide Raden
Dewi Sartika dan kiprahnya dalam mendukung perempuan melalui
pendidikan dan konsep pendidikan yang diusung oleh Dewi Sartika. Lebih
lanjut, dalam penelitian sederhana ini penulis membahas tentang sistem
pendidikan di Sakola Kautamaan Isteri yang diprakarsai oleh Raden Dewi
Sartika khususnya dikaitkan dengan Filosofi Sunda. Oleh sebab itu, maka
dalam penelitian sederhana ini menulis tentang Sakola Kautamaan Istri:
Filososi Sunda dalam Pendidikan Perempuan. Tujuan dari penulisan ini adalah
menganalisis implementasi filosofi Sunda dalam pendidikan perempuan di
Sakola Kautamaan Isteri.
Metode Penelitian
Penelitian tentang Sakola Kautamaan Isteri: Implementasi Filosofi Sunda
dalam Pendidikan Perempuan menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan pendekatan deskriptif. Pendekatan deskriptif bertujuan menjelaskan
dan menjabarkan data secara lebih mendalam dan komprehensif sehingga
masalah dalam penelitian dapat dibahas sesuai fokus tujuan yang hendak
dicapai. Adapun teknik pengumpulan data difokuskan pada studi literatur baik
dari majalah, buku, dan artikel jurnal.
Penelitian ini menggunakan teknik triangulasi data dan validasi mandiri
dari peneliti. Peneliti menggunakan triangulasi sumber yaitu sumber majalah,
buku, dan artikel-artikel jurnal yang terkait. Adapun validasi mandiri berkaitan
dengan kebijakan peneliti dalam menentukan ketercapaian atau ketercukupan
data lapangan yang telah diperoleh. Penelitian menggunakan teknik analisis
data kualitatif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman dalam Sugiyono
(2020:252) yang terdiri atas pengumpulan, reduksi, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan memilah data-data
temuan yang relevan dan valid untuk dijadikan bahan analisis, lalu kemudian
disintesa dalam bentuk penyajian data deskriptif untuk ditarik kesimpulan
hasil penelitian.
No Materi Kategori
1. Berhitung Pendidikan Umum
2. Menulis Pendidikan Umum
3. Membaca Pendidikan Umum
4. Bahasa Belanda Pendidikan Umum
5. Bahasa Melayu Pendidikan Umum
6. Akhlak dan Budi Pekerti Pendidikan Umum
7. Agama Pendidikan Umum
8. Membatik Pendidikan Keterampilan Wanita
9. Menjahit Pendidikan Keterampilan Wanita
10. Merenda Pendidikan Keterampilan Wanita
11. Menambal Pendidikan Keterampilan Wanita
12. Menyulam Pendidikan Keterampilan Wanita
13. Menisi Pendidikan Keterampilan Wanita
14. Menyongket Pendidikan Keterampilan Wanita
15. Memasak Pendidikan Keterampilan Wanita
16. Menyajikan makanan Pendidikan Keterampilan Wanita
17. Memelihara bayi Pendidikan Keterampilan Wanita
18. Mencuci Pendidikan Keterampilan Wanita
19. Menyetrika Pendidikan Keterampilan Wanita
20. Mengatur rumah Pendidikan Keterampilan Wanita
21. Merawat orang sakit Pendidikan Keterampilan Wanita
22. Kesehatan (PPPK) Pendidikan Umum
23. Olahraga Pendidikan Umum
Kesimpulan
Banyak hal yang sangat patut diapresiasi atas pencapaian Dewi Sartika.
Khususnya dalam kiprahnya memberikan teladan dan dedikasi bagi kaum
perempuan. Ide-ide baru yang dimunculkan Dewi Sartika pada zamannya
adalah sesuatu yang masih bertentangan dengan pola pikir dan adat istiadat
sebagian besar masyarakat kala itu. Namun melalui hal itu, Dewi Sartika
menunjukkan jiwa pantang menyerah dan semangat juang yang patut
diwariskan dari masa ke masa tentang betapa perempuan mampu
mewujudkan harapan dan menggapai impian, bukan hanya tentang dan untuk
dirinya sendiri tetapi juga orang lain terutama kaum perempuan.
Filosofi Sunda sebagai latar belakang sosio-kultural Dewi Sartika juga
dimaknai dalam pelaksanaan pendidikan di Sakola Kautamaan Isteri. Filosofi
cageur, bageur, bener, pinter, dan tur singer diintegrasikan secara implisit dan
eksplisit dalam kegiatan pembelajaran, baik dimuat dalam mata pelajaran
maupun dilaksanakan secara terintegrasi melalui kegiatan harian siswa. Dewi
Sartika berusaha menghidupi filosofi Sunda dalam membangun iklim
pendidikan yang sesuai dengan sosial budaya masyarakat.
Referensi
Andrea Dinurul Aeni dan Miftahul Habib Fachrurozi. (2022). Gerakan
Emansipasi Perempuan dalam Bidang Pendidikan di Jawa Barat Pada Awal Abad
Kedua Puluh. Bihari: Jurnal Pendidikan Sejarah dan Ilmu Sejarah, 5 (1), 49-
50.
Dutch East Indies. 1912. Onderzoek Naar De Mindere Welvaart Der lnlandsche
Bevolking op Java en Madoera. Batavia: Drukkerij Papyrus.
Elis Faujiah dan Samsudin. (2020). Pemikiran Dewi Sartika Pada Tahun 1904-1947
Dalam Perspektif Islam. Al-Tsaqafa: Jurnal Ilmiah Peradaban Islam, 17(2),
205-212.
Gusti Muhammad Prayudi dan Dewi Salindri. (2015). Pendidikan Pada Masa
Pemerintahan Kolonial Belanda di Surabaya Tahun 1901-1942. Jurnal
Publika Budaya, 1(3), 20-34.
Irfan Agung Jayudha dan Wawan Darmawan. (2020). Pendidikan Bagi
Perempuan Indonesia: Perjuangan Raden Dewi Sartika dan Siti Rohana Kudus
(1904-1928). FACTUM; Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah, 9(2), 161-
174.
Nina Herlina Lubis. (2006). 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat. Bandung: Pusat
Penelitian dan Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga peneltiian
Universitas Padjajajran.
Ratna Endang Widuatie, dkk. (2023). Dari Domestik ke Publik: Sejarah Pendidikan
Kejuruan Perempuan dari Waktu ke Waktu. SOSMANIORA: Jurnal Ilmu
Sosial dan Humaniora, 2 (2), 175-186.
Sartika, R. Dewi. (1912). Boekoe Kaoetamaan Istri. Bandung: A. C. NIX & Co.
Yan Daryono. (1996). R. Dewi Sartika. Jakarta: Yayasan Awika dan PT Grafitri
Budi Utami.