Anda di halaman 1dari 6

Aksi Massa

Tan Malaka (1926)

I
REVOLUSI
Revolusi itu bukan sebuah ide yang luar biasa, dan
istimewa, serta bukan lahir atas perintah seorang
manusia yang luar biasa. Kecakapan dan sifat luar biasa
dari seseorang dalam membangun revolusi,
melaksanakan atau memimpinnya menuju kemenangan,
tak dapat diciptakan dengan otaknya sendiri. Sebuah
revolusi disebabkan oleh pergaulan hidup, suatu akibat
tertentu dari tindakan-tindakan masyarakat. Atau dalam
kata-kata yang dinamis, dia adalah akibat tertentu dan
tak terhindarkan yang timbul dari pertentangan kelas
yang kian hari kian tajam. Ketajaman pertentangan yang
menimbulkan pertempuran itu ditentukan oleh pelbagai
macam faktor: ekonomi, sosial, politik, dan psikologis.
Semakin besar kekayaan pada satu pihak semakin
beratlah kesengsaraan dan perbudakan di lain pihak.
Pendeknya semakin besar jurang antara kelas yang
memerintah dengan kelas yang diperintah semakin
besarlah hantu revolusi. Tujuan sebuah revolusi ialah
menentukan kelas mana yang akan memegang
kekuasaan negeri, politik dan ekonomi, dan revolusi itu
dijalankan dengan "kekerasan".

Di atas bangkai yang lama berdirilah satu kekuasaan


baru yang menang. Demikianlah, masyarakat feodal
didorong oleh masyarakat kapitalistis dan yang disebut
lebih akhir ini sekarang berjuang mati-matian dengan
masyarakat buruh yang bertujuan mencapai "satu
masyarakat komunis yang tidak mempunyai kelas", lain
halnya jika semua manusia yang ada sekarang musnah
sama sekali tentulah terjadi proses : werden
undvergehen, yakni perjuangan kelas terus-menerus
hingga tercapai pergaulan hidup yang tidak mengenal
kelas (menurut paham Karl Marx).

Di zaman purba waktu ilmu (wetenschap) masih muda,


semua perjuangan dalam kegelapan (kelas-kelas)
diterangi (dibereskan) oleh agama yang bermacam-
macam; perjuangan golongan menyerupai keagamaan,
umpamanya pertentangan Brahmanisme dan Budhisme,
Ahriman, Zoroastria dengan Ormus (terang dengan
gelap), Mosaisme dengan Israilisme, kemudian
Katholisme dengan Protestanisme. Akan tetapi, pada
hakikatnya semuanya itu adalah perjuangan kelas untuk
kekuasaan ekonomi dan politik.

Kemudian sesudah ilmu dan percobaan menjadi lebih


sempurna, sesudah manusia melemparkan sebagian atau
semua "kepicikan otak" (dogma), setelah manusia
menjadi cerdas dan dapat memikirkan soal pergaulan
hidup, pertentangan kelas disendikan kepada
pengetahuan yang nyata. Dalam perjuangan untuk
keadilan dan politik, manusia tidak membutuhkan atau
mencari-cari Tuhan lagi, atau ayat-ayat kitab agama,
tetapi langsung menuju sebab musabab nyata yang
merusakkan atau memperbaiki kehidupannya. Di seputar
ini sajalah pikiran orang berkutat dan ia dinamakan cita-
cita pemerintahan negeri. Kepada masalah itulah
segenap keaktifan politik ditujukan.

Tatkala kehidupan masih sangat sederhana dan


terutama tergantung kepada pekerjaan tangan dan
pertanian, pendeknya di zaman feodal, seorang yang
mempunyai darah raja-raja, biarpun bodohnya seperti
kerbau, "boleh menaiki singgasana dengan pertolongan
pendeta dan bangsawan", menguasai nasib berjuta-juta
manusia.

Cara pemerintahan serupa itu menjadi sangat sempit


tatkala teknik lebih maju dan feodalisme yang sudah
bobrok itu pun merintangi kemajuan industri. Kelas baru,
yaitu "borjuasi" yang menguasai cara penghasilan model
baru (kapitalisme), merasa tak senang sebab ketiadaan
hak-hak politik. Mereka meminta supaya pemerintahan
diserahkan kepada mereka yang lebih cakap dan
pemerintah boleh "diangkat" atau "diturunkan" oleh
rakyat. Cita-cita politik borjuasi adalah demokrasi dan
parlementarisme. Ia menuntut penghapusan sekalian
hak-hak feodal dan juga menuntut penetapan sistem
penghasilan dan pembagian (distribusi yang kapitalistis).
Tatkala raja dan para pendetanya tetap
mempertahankan hak-haknya hancurlah mereka dalam
nyala revolusi. "Revolusi borjuasi" tahun 1789 sebagai
buah pertentangan yang tak mengenal lelah antara
feodalisme dengan kapitalisme menjadikan negeri
Prancis sebagai pelopor sekian banyak revolusi yang
kemudian berturut-turut pecah di seluruh Eropa.

Nasib raja Prancis (yang digulingkan) diderita juga oleh


raja Rusia yang mencoba-coba mengungkung borjuasi
dan buruh dengan perantaraan kesaktian takhayul dan
kekerasan di dalam sekapan feodalisme yang lapuk itu.

Cita-cita revolusioner berjalan terus tanpa


mengindahkan adanya pukulan, peluru dan siksaan yang
tak terlukiskan walaupun dengan pena pujangga
Dostoyevsky. Di dalam gua-gua yang gelap, di dalam
tambang-tambang di Siberia, di dalam penjara yang
mesum, dingin dan sempit itu, angan-angan dan kemauan
revolusioner memperoleh pelajaran yang tak ternilai.
Kerajaan, gereja dan Duma (parlemen di Rusia) dalam
waktu yang singkat habis disapu oleh gelombang
revolusioner yang tak terbendung. Dalam revolusi buruh
bulan November 1917 kelihatan bahwa kelas buruh
mempunyai kekuatan dan kemauan yang melebihi
borjuasi.

Raja Inggris, George III, yang tak mengindahkan


riwayat negerinya sendiri menyangka bahwa armada
yang kuat dan kebesaran kekayaannya dapat merintangi
tumbuhnya kesosialan. Bangsa Amerika Utara dengan
tak mengindahkan jumlahnya yang kecil, kurangnya
pengalaman dalam soal penerangan, uang dan lain-lain
alat material, dapat mencapai kemerdekaannya sesudah
mengadakan perlawanan habis-habisan yang tak kenal
lelah itu.

Baru setelah kungkungan ekonomi dan politik berhasil


diputuskan dari imperialisme Inggris, dapatlah Amerika
Utara melangkah menuju kekayaan kekuasaan dan
kebudayaan yang sungguh tiada dua dalam riwayatnya.

Seandainya ia belum dua kali menceburkan diri


kedalam revolusi (pada tahun 1860), Amerika Utara tak
akan dikenal dunia selain sebagai Australia dan Kanada.

Revolusi sosial bukanlah semata-mata terbatas di


Eropa saja, tetapi merupakan kejadian umum yang tidak
bergantung kepada negeri dan bangsa. Tidakkah Jepang
60 tahun yang lalu (1868) menghancurkan sekalian hak-
hak feodal dengan perantaraan revolusi? Sesudah
kejadian itu, lenyaplah Kerajaan Matahari Terbit.

Pendeknya dengan jalan revolusi dan perang


kemerdekaan nasionallah (yang dapat dimasukkan dalam
revolusi sosial!), maka sekalian negeri besar dan modern
tanpa kecuali, melepaskan diri dari kungkungan kelas
dan penjajahan.
Revolusi bukan saja menghukum sekalian perbuatan
ganas, menentang kecurangan dan kelaliman, tetapi juga
mencapai segenap perbaikan dari kecelaan.

Di dalam masa revolusilah tercapai puncak kekuatan


moral, terlahir kecerdasan pikiran dan teraih segenap
kemampuan untuk mendirikan masyarakat baru.

Satu kelas dari suatu bangsa yang tidak mampu


mengenyahkan peraturan-peraturan kolot serta
perbudakan melalui revolusi, niscaya musnah atau
terkutuk menjadi budak abadi.

Revolusi adalah mencipta!

BAB II: IKHTISAR TENTAN


GANTAR PENULIS DAFTAR ISI
INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai