Anda di halaman 1dari 19
BABIT TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Pembuktian Pengertian pembuktian sangat beragam, setiap ahli hukum memiliki definisi _masing-masing mengenai pembuktian. Banyak ahli hukum yang mendefinisikan pembuktian ini melalui makna kata membuktikan, Membuktikan menurut Sudikno Mertokusumo” disebut dalam arti yuridis_yaitu memberi dasar- dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Lain halnya dengan definisi membuktikan yang diungkapkan oleh Subekti. Subekti'? menyatakan bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan, Berdasarkan definisi para ahli hukum tersebut, membuktikan dapat dinyatakan sebagai proses ‘menjelaskan kedudukan hukum para pihak yang sebenarnya dan didasarkan pada dalil-dalil_ yang dikemukakan para pihak, sehingga pada akhimya hakim akan ‘mengambil kesimpulan siapa yang benar dan siapa yang salah Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal ® Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal.35 ® Subekti., 2001, Hukum Pembuktian, Jakarta, Pradaya Paramitha, hal. 1 1 terhadap kebenaran peristiwa tersebut.'' Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.'? Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara- cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan,'* Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang ‘mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara Mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.'* Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat peran pembuktian dalam Pasal 183 bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia ‘memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa ™ Martiman Prodjohamidjojo, 1984, Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta: Pradnya Paramitha, hal.11 Darwan Prinst, 1998, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta: Djambatan, halaman * * M.Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan aa Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali; Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, * Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: ‘Mandar Maju, hal.10 12 terdakwalah yang bersalah melakukannya, Jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hhukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu : 1. keterangan saksi; 2. keterangan abli; 3. surat; 4, petunjuk; dan 5. keterangan terdakwa. Secara teoritis dikenal 4 (empat) teori tentang pembuktian. Teori-teori tentang pembuktian tersebut yaitu berupa : a, Teori Sistem Pembuktian menurut undang-undang Secara Positif Pada dasamya, teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara positif berkembang sejak abad pertengahan. Menurut teori ini, teori hukum pembuktian positif bergantung kepada alat-alat bukti sebagaimana disebut secara limitatif dalam undang-undang. Singkatnya, undang-undang telah menentukan tentang adanya alat-alat bukti mana yang dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim harus mempergunakan kekuatan alat-alat bukti tersebut dan bagaimana caranya hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili, Dalam aspek ini, hakim terikat kepada adagium kalau alat-alat bukti tersebut telah dipakai sesuai ketentuan undang-undang, hakim mesti menentukan terdakwa bersalah, walaupun hakim “berkeyakinan” bahwa sebenamnya terdakwa tidak bersalah. Demikian sebaliknya, apabila tidak dapat Hal. 251 B dipenuhi cara mempergunakan alat bukti sebagaimana ditetapkan undang- undang, hakim harus menyatakan terdakwa tidak bersalah walaupun menurut “keyakinannya” sebenamya terdakwa bersalah, Dengan demikian, pada esensinya menurut D. Simons'’, sistem atau teori hukum pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat ‘menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana. Lebih lanjut lagi, apabila dikaji secara hakiki temyata teori hukum pembuktian positif mempunyai segi negatif dan segi positif. M. Yahya Harahap berpendapat bahwa pembuktian menurut undang-undang secara positif, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membulktikan kesalahan terdakwa.Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan ‘menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata bergantung kepada alat-alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah, % Andi Hamzah, hukum Acara Pidana Indonesia , Edisi Kedua, Sinar Grafika, 2008, Jakarta, 14 Pokoknya, apabila sudah dipenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi_menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa. Dalam sistem ini, hakim seolah-olah robot pelaksana undang-undang yang tidak memiliki hati nurani. Hati nuraninya seolah-olah tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Meskipun demikian, dari satu segi sistem ini mempunyai Kebaikan, Sistem ini benar-benar menuntut hakim, suatu kewajiban mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang. Pemeriksaan perkara sejak semula, hakim harus melemparkan dan mengenyampingkan jauh-jauh faktor keyakinannya. Hakim semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa mencampuradukan hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan unsur subjektif Keyakinannya, Sekali hakim majelis menemukan hasil pembuktian yang objektif sesuai dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang- undang, mereka tidak perlu lagi menanyai dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya. Kemudian, dalam perkembangannya dengan titik tolak aspek negatif dan positif, baik secara teoritis dan praktik teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara positif relatif sudah tidak pernah diterapkan lagi. 15 b. Teori/ Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim Pada teori hukum pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, hakim dapatmenjatuhkan putusan berdasarkan “keyakinan” belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan (bloot gemoedelijke overtuiging, conviction intime). Dalam perkembangannya, lebih lanjut teori hukum pembuktian berdasarkan Keyakinan hakim mempunyai 2 ( dua ) bentuk polarisasi, yaitu : “Conviction Intime” dan “Conviction Raisonce”, kesalahan_ terdakwa bergantung kepada “keyakinan"belaka, sehingga hakim tidak terikat oleh suatu peraturan (bloof gemoedelijke overtuiging, conviction intime) Dengan demikian, putusan hakim di sini tampak timbul nuansa subjektifnya. M. Yahya Harahap'®, mengatakan apabila dikaji secara detail, mendalam dan terinci, penerapan teori hukum pembuktian “Conviction Intime” mempunyai bias subjektif, yaitu apabila pembuktian conviction-intime menentukan salah tidaknya terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian Kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan 2M. Yahya Harahap, Pembakasan Permasalakan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 789-799 16 hakim, dan langsung menarik kesimpulan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian conviction-intime ini, sudah barang tentu mengandung kelemahan, Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa, telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa, Jadi, dalam sistem pembuktian conviction-intime, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim. Sebaliknya, walaupun kesalahan terdakwa “tidak terbukti”berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah semata-mata atas “dasar keyakinan” hakim. Keyakinan hakimlah yang paling “dominan” atau yang paling ‘menentukan salah atau tidaknya terdakwa, Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata- mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini Teori hukum pembuktian “Conviction Raisoance” asasnya identik sistem “Conviction Intime”. Lebih lanjut lagi, pada teori hukum pembuktian * Conviction Raisonance akinan hakim tetap memegang peranan penting v7 untuk menentukan tentang Kesalahan terdakwa, Akan tetapi, penerapan keyakinan hakim tersebut dilakukan secara selektif dalam arti keyakinan hakim “dibatasi” dengan harus didukung oleh “alasan-alasan jelas dan rasional” dalam mengambil keputusan, Teori / Sistem Pembuktian menurut Undang-Undang Secara Positif Pada prinsipnya, teori hukum pembuktian menurut undang-undang positif menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang- undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut. Dari aspek historis temnyata teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara negatif, hakikatnya merupakan “peramuan” antara teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara positif dan teori hukum pembuktian berdasarkan keyakinan hakim'”, Teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim. bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (Vrije bewijs theorie ) atau yang berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Pertama, yang disebut diatas, yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis ( conviction raisonnee ) dan yang kedua, ialah teori pembuktian berdasar undang-undang secara negative ( negatief bewijs theorie ). Persamaan antara keduanya ialah keduanya sama berdasar atas ” Ibid, hal. 797-798 18 Keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin di pidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah.'* . Teori Pembuktian Berdasarkan Undang - (Negative Wettelijk). Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila indang Secara Negatif sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Dalam pasal 183 KUHAP menyatakan sebagai berikut : “ hakim ridak boleh menjatuhkan pidana kepada sescorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Atas dasar ketentuan pasal 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negative. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang — undang ( minimal dua alat bukti ) dan kalau ia cukup, maka baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya Keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. Teori pembuktian menurut undang-undang negative tersebut dapat disebut dengan negative wettelijk, istilah ini berarti : wettelijk, berdasarkan undang-undang sedangkan negative, maksudnya adalah bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai dengan undang-undang, maka hakim belum boleh menjatuhkan * Andi Hamzah, Op Cit , hal, 253 thukuman sebelum memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa. Dalam sistem pembuktian yang negative alat-alat bukti limitatief di tentukan dalam undang-undang dan bagaimana cara mempergunakannya hakim juga terikat pada ketentuan undang-undang.” B. Pembuktian Perkara Pidana Menurut KUHAP Secara teoritis dan normatif hukum pembuktian di Indonesia mempergunakan teori hukum pembuktian secara negatif, tetapi dalam praktik peradilan selintas dan tampak penerapan Pasal 183 KUHAP mulai terjadi pergeseran pembuktian pada teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara positif bahwa unsur “sekurang-kurangnya dua alat bukti” merupakan aspek dominan, sedangkan segmen “keyakinan hakim” hanyalah bersifat “unsur pelengkap” karena tanpa adanya aspek tersebut tidak mengakibatkan batalnya putusan, dan praktiknya hanya “diperbaiki” dan “ditambahi” pada tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi ataupun pada tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung RL. Teori pembuktian menurut undang-undang negative tersebut dapat disebut dengan negative wettelijkistilah ini berarti : werteligk berdasarkan undang-undang sedangkan negative, maksudnya adalah bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai dengan undang-undang, maka hakim belum boleh ‘menjatuhkan hukuman sebelum memperoleh keyakinan tentang kesalahan ® pettanase, Syarifudim, Hukum Acara Pidana, Universitas Sriwijaya, Indramayu, 2000, hal 205 20 terdakwa.” Dalam sistem pembuktian yang negatif alat-alat bukti limitatief di tentukan dalam undang-undang dan bagaimana cara mempergunakannya hakim juga terikat pada ketentuan undang-undang. Dalam sistem menurut undang- undang secara terbatas atau disebut juga dengan sistem undang-undang secara negative sebagai intinya yang dirumuskan dalam Pasal 183, dapat disimpulkan sebagai berikut : a) Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana; b) Standar tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana, Kelebihan sistem pembuktian negatif (negative wettelijk) adalah dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini harus berdasarkan atas fakta-fakta yang diperolech dari alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang, Sehingga dalam pembuktian benar-benar mencari kebenaran yang hakiki, jadi sangat sedikit kemungkinan terjadinya salah putusan atau penerapan hukum yang digunakan,”” Kekurangan teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang itu ada, ®° M. Yahya Harahap. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, halaman 319 ® Supriyadi Widodo Eddyono, Catatan Kritis Terhadap Undang-Undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban , Elsam, Jakarta. Halaman 3 21 ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu sehingga akan memperlambat waktu dalam membuktikan bahkan memutuskan suatu perkara, karena di lain pihak pembuktian harus melalui penelitian. Tetapi dengan mencari kebenaran melalui penelitian tersebut, maka kebenaran yang terungkap benar-benar dapat dipertanggung jawabkan, dan merupakan kebenaran yang hakiki, Dalam pembuktian pidana terdapat beberapa prinsip yaitu >" a) Hal-hal yang dimuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi 1) "Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan atau disebut dengan istilah notoke feiten. Secara garis besar fakta not dan dibagi menjadi dua golongan, yaitu: Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian. Yang dimaksud sesuatu misalnya, harga emas lebih mahal dari perak. yang dimaksud dengan peristiwa misalnya, pada tanggal 17 Agustus diadakan peringatan hari Kemerdekaan Indonesia, Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian Misalnya, arak adalah termasuk minuman keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk. b) Kewajiban seorang saksi * Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung. Mandar Maju, hal. 20 °) 4) 2 Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan: Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak Kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang- undang yang berlaku, demikian pula dengan ahli Satu saksi bukan saksi (unus testis mut/us testis) Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Berdasarkan KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: "Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah". Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip "pembuktian terbalik" yang tidak dikenai oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain. 23 e) Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang menentukan bahwa : "Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri" Ini berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri. Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B, demikian sebaliknya. Ketentuan Pasal 183 KUHAP ini maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hat pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang (minimal dua alat bukti) dari kalau ia cukup, maka baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. 24 C. Pembuktian Perkara Pidana Dalam Tindak Pidana Khusus Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHP, terdakwa harus dinyatakan bersalah. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman, Oleh karena itu, para hakim harus berhati-hati, cermat dan matang menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian, Pembuktian adalah pekerjaan yang paling utama di antara proses panjang penegakan hukum pidana, Pada pekerjaan inilah dipertaruhkan nasib terdakwa dan pada pembuktian inilah titik sentral pertanggungjawaban hakim dalam segala bidang, yakni segi intelektual, moral, ketetapan hukum, dan yang tidak kalah penting ialah segi pertanggungjawabannya kepada Tuhan Yang Maha Esa mengenai amar putusan yang akan diambilnya. Bagaimana amar yang ditetapkan oleh hakim, seluruhnya bergantung pada hasil pekerjaan pembuktian didalam sidang pengadilan.* Kegiatan pembuktian yang dijalankan dalam peradilan, pada dasamya adalah suatu upaya untuk merekonstruksi atau melukiskan kembali suatu ® Adami Chazawi, Hukum Pidana Materill dan Formil, ( Malang : Bayu Media, 2005), hal. 398, 25, peristiwa yang sudah berlalu. Hasil kegiatan peradilan akan diperoleh suatu konstruksi peristiwa yang terjadi, bentuk sempurna tidaknya atau benar tidaknya rekonstruksi itu sepenuhnya bergantung pada pekerjaan pembuktian. Dalam hal merekonstruksi peristiwa itu diperlukan alat bukti dan cara penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang ada tentang pembuktian sesuatu, Atas dasar apa yang diperoleh dari kegiatan itu, maka dibentuklah konstruksi peristiwa yang sudah berlalu yang sebisanya sama persis dengan peristiwa yang sebenarnya. Pembuktian sebagai suatu kegiatan adalah usaha membuktikan sesuatu (objek yang dibuktikan) melalui alat-alat bukti yang boleh dipergunakan dengan cara- cara tertentu pula untuk menyatakan apa yang dibuktikan itu. sebagai terbukti ataukah tidak menurut Undang-Undang. Sebagaimana diketahui bahwa proses kegiatan pembuktian yang dilaksanakan bersama oleh tiga pihak: hakim, jaksa dan terdakwa yang (dapat) didampingi penasihat hukum, segala seginya telah ditentukan dan diatur oleh Undang-Undang. Keseluruhan ketentuan hukum yang mengatur segala segi tentang pembuktian itulah yang disebut dengan hukum pembuktian. Apabila dilihat dari visi letaknya dalam kerangka yuridis aspek pembuktian terbilang unik karena dapat diklasifikasikan dalam kelompok hukum acara pidana/hukum pidana formal ‘maupun hukum pidana materiil. Apabila dikaji lebih mendalam ada polarisasi pemikiran aspek pembuktian dikatagorisasikan ke dalam hukum pidana materil karena dipengaruhi oleh adanya pendekatan dari hukum perdata schingga aspek pembuktian ini masuk dalam katagori hukum perdata materiil dan hukum perdata 26 formal ( hukum acara perdata). Akan tetapi setelah berlakunya KUHAP aspek pembuktian tampak diatur dalam ketentuan Hukum Pidana Formal.” Hakikat dan dimensi mengenai pembuktian ini selain berorientasi kepada pengadilan juga dapat berguna dan penting bagi kehidupan sehari-hari maupun kepentingan lembaga penelitian, dimana kekhususan peranan pembuktian untuk pengadilan mempunyai ciri-ciri ialah berkaitan dengan kenyataan yang mempunyai arti dibidang hukum pidana, antara lain apakah kelakuan dan hal ikhwal yang terjadi itu memenuhi kualifikasi perbuatan pidana atau tidak, berkaitan dengan kenyataan yang dapat menjadi perkara pidana, antara lain apakah korban yang dibahayakan dan apakah kejadian itu diperbuat oleh manusia atau bukan alam, diselenggarakan melalui peraturan hukum pidana, antara lain ditentukan yang berwenang memeriksa fakta harus dilakukan oleh Jaksa, Hakim, Polisi dan petugas lain menurut tata cara yang diatur dalam Undang-Undang.* Hukum pembuktian umum terdapat di dalam KUHAP. Disamping itu, untuk melengkapi atau untuk menyimpangi atau sebagai perkecualian dari hukum pembuktian umum, dimungkinkan pula dalam hukum pembuktian mengenai tindak pidana khusus/tertentu yang dibentuk di luar kodifikasi, seperti tindak pidana korupsi.”* 2 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif,Teoritis dan Prakik, (Bandung Alumni, 2008), hal. 91 2% Bambang Purnomo dalam Lilik Mulyadi, op.cit, halaman 93 * Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, ( Bandung ; Alumni, 2008), halaman 101 27 Segi-segi hukum pembuktian umum dalam KUHAP, terutama:*° 1. Mengenai alat bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan. objek yang harus dibuktikan bersumber pada tindak pidana yang didakwakan, Oleh karena itu, tindak pidana yang didakwakan adalah objek pokok apa yang harus dibuktikan, Tindak pidana terdiri dari unsur-unsur.Unsur-unsur ini, baik perbuatan dan unsur-unsur yang melekat pada perbuatan, unsur mengenai diri si pembuat itulah yang harus dibuktikan untuk menyatakan terbukti tidaknya tindak pidana. Mengenai kedudukan, fungsi pihak Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum dan Hakim yang terlibat dalam kegiatan pembuktian. Dari sudut pihak mana yang berkewajiban membuktikan, maka disini terdapat sistem pembebanan pembuktian. Mengenai nilai atau kekuatan alat-alat bukti dalam pembuktian dan cara menilainya Mengenai cara bagaimana membuktikan dengan menggunakan alat-alat bukti tersebut. Dengan kata lain bagaimana alat-alat bukti tersebut dipergunakan dalam kegiatan pembuktian, Mengenai standar minimal pembuktian sebagai kriteria yang harus dipenuhi untuk menarik kesimpulan pembuktian tentang terbukti ataukah tidak dan hal apa yang dibuktikan. © thid, Hal. 102 28 6. Mengenai syarat subjektif ( keyakinan) hakim dalam hubungannya dengan standar minimal pembuktian dalam hal hakim menarik amar putusan akhir Bidang-bidang yang diatur dalam hukum pembuktian tersebut tersusun dan teratur saling berkaitan dan berhubungan sehingga membentuk suatu kebulatan serta membentuk suatu sistem, yang disebut dengan sistem pembuktian. Sistem pembuktian menurut Undang-Undang negatif (Negatief Wertelifke Bewijs Theorie) menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh Undang-Undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut. Dari aspek historis ternyata sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif, hakikatnya merupakan peramuan antara sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif dan sistem berdasarkan keyakinan hakim. Dengan ini, substansi sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif tentulah melekat adanya unsur procedural dan tata cara pembuktian sesuai dengan alat bukti sebagaimana limitatif ditentukan Undang-Undang dan terhadap alat bukti tersebut hakim baik secara materiil maupun secara prosedural.?” Litik Mulyadi, op.cit, hal 247

Anda mungkin juga menyukai