Anda di halaman 1dari 3

TUGAS MATA KULIAH

PERENCANAAN EKONOMI PEMBANGUNAN


Individual Task: Article Review
Nama : Irfana Fadya
NPM : 2306187850
Topik : Communicative Planning

a. Judul : Environmental policy integration: Towards a communicative approach in integrating


nature conservation and urban planning in Bulgaria
b. Nama Penulis : Vanya Simeonova, Arnold van der Valk
c. Jurnal : Land Use Policy 57 (2016) 80-93

Abstrak Artikel
Seiring dengan perluasan wilayah perkotaan, kebutuhan untuk mempertimbangkan konservasi alam
dalam perencanaan semakin meningkat. Para pembuat kebijakan di seluruh Eropa menyadari bahwa
konservasi alam yang efektif memerlukan pendekatan terpadu terhadap perencanaan penggunaan lahan
yang mencakup pengetahuan ekologi dan tata ruang yang relevan. Meskipun sejumlah pendekatan
terpadu telah dikembangkan, banyak otoritas lokal di Eropa menghadapi hambatan kelembagaan yang
penting dalam integrasi ini. Hal ini terutama berlaku untuk negara-negara di Eropa Tengah dan Timur
(CEE) seperti Bulgaria. Transformasi pasca-sosialis di Bulgaria menyebabkan peningkatan
pertumbuhan perkotaan, sehingga pemerintah daerah berjuang untuk menemukan keseimbangan antara
kepentingan lingkungan dan sosial-ekonomi. Sementara itu, 'prinsip' Environmental Policy Integration
(EPI) semakin menonjol di Eropa, yang bertujuan untuk mengatasi trade-off antara insentif lingkungan
dan ekonomi. Penelitian menyoroti bahwa keberhasilan EPI bergantung pada proses kelembagaan
dalam berbagai sektor ekonomi dan skala pemerintahan. Proses-proses ini belum dipelajari secara
komprehensif di CEE dan Bulgaria. Artikel ini menilai proses EPI dalam perencanaan kota di Bulgaria
dan mengidentifikasi pendekatan kelembagaan yang dapat memberikan kontribusi terbaik bagi EPI
dalam perencanaan kota. Dengan menggunakan contoh proyek “Corner’s Land” di kota Burgas, peneliti
membahas tantangan utama yang dihadapi pemerintah daerah dalam menangani konservasi alam dalam
rencana penggunaan lahan. Temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa EPI sangat dibatasi oleh
kurangnya proses komunikatif yang efisien di seluruh struktur organisasi yang terfragmentasi di seluruh
proses perencanaan. Meskipun pendekatan prosedural terhadap EPI tampaknya lazim, namun
disimpulkan bahwa pendekatan komunikatif sangat dibutuhkan jika keberlanjutan rencana kota ingin
dijaga dan dampak negatif terhadap alam dapat dicegah.
Secara umum proses perencanaan pada studi kasus Corner’s Land terdiri dari :
1. Fase Insiasi
a. Formulasi Perencanaan
b. Dampak sosial ekonomi dan lingkungan :
c. Exploring alternatives
2. Environmental Policy Integration (EPI) di fase inisiasi
3. Fase design
a. Elaborasi spatial design
b. Penilaian lingkungan terhadapa perencanaan
c. Konsultasi stakeholder
d. Final revision dari perencanaan
4. Implementasi : Executing Implementation

Opinions/criticisms/comments
Pada artikel dijelaskan pendekatan dan tahapan perencanaan yang diteliti pada studi kasus pemanfaatan
lahan corner’s land, penulis juga memberikan gambaran beberapa hal seperti terkait EPI
(environmental policy integration) dan pengambilan data. Pada artikel, diketahui bahwa kurang
efektifnya perencanaan komunikatif merupakan masalah utama dari studi kasus corner’s land, namun
penulis tidak mensertakan landasan teori dan informasi lainnya yang cukup, terkait perencanaan
komunikatif. Kebutuhan untuk mensertakan informasi tersebut untuk memperluas wawasana pembaca
terkait best practice dari perencanaan komunikatif, seperti hal-hal apa saja yang perlu dilakukan dan
diinisasi agar terjadinya kolaborasi berbagai stakeholder yang transparan dan efektif pada proses
perencanaan.

Adanya forum komunikasi merupakan hal penting agar terjadinya komunikasi yang lebih transparan
antar stakeholder. Forum komunikasi atau lokakarya yang baik menjadi penting dalam perencanaan
komunikatif. Menurut Habermas dalam Chakrabarty (2008), terdapat lima etika yang diperlukan dalam
keberlangsungan lokakarya atau diskusi, yaitu :
1. Tidak ada pihak yang dipengaruhi sebelumnya.
2. Semua peserta memiliki kesempatan yang sama untuk hadir dan mengkritik validitas dalam
proses diskusi.
3. Peserta harus bersedia dan mampu berempati.
4. Perbedaan kekuatan diantara peserta harus dinetralkan sehingga tidak berpengaruh pada hasil
konsensus.
5. Peserta harus terbuka menjelaskan tujuan dan niat dalam aksi strategis yang dikemukakannya
(transparansi).
Pada studi kasus corner’s land penulis menjelaskan bahwa konsultasi stakeholder dilakukan sebanyak
dua kali melalui public hearing. Penulis juga menjelaskan situasi dan keaktifan peserta dalam proses
public hearing tersebut, sehingga pendekatan yang dilakukan penulis untuk menilai proses komunikasi
antar stakeholder sudah sejalan dengan lima etika diatas, namun menurut saya hal ini masih belum
cukup untuk membuat pembaca paham dasar atas opini penulis tersebut. Seperti yang diketahui bahwa
pada perencanaan komunikatif, perlunya pemahaman bagi para pembaca artikel untuk tahu pada saat
proses komunikasi berlangsung (dalam studi kasus ini adalah public hearing) apa yang didiskusikan,
bagaimana mendiskusikannya, apa arti sesuatu issue untuk masing-masing orang / kelompok, hal ini
menjadi penting, karena pemahaman akan suatu issue terbentuk di sini. Pada artikel penulis tidak
memberikan informasi secara detil tentang hal tersebut, sehingga terdapat kesimpulan dan opini penulis
dimana pembaca tidak mendapatkan gambaran utuh dasar dari kesimpulan tersebut.

Suggestions
Berdasarkan studi kasus pemanfaatan lahan Corner’s Land diketahui bahwa proses komunikasi yang
dilakukan antar stakeholder hanya dua kali melalui public hearing. Public hearing diatur oleh pihak
perencana kota dan terkesan formalitas. Penulis sudah memberikan saran bahwa dibutuhkan
keterlibatan yang lebih dari stakeholder lainnya, namun menurut saya penulis butuh memberikan saran
secara teknis yang lebih spesifik terkait bagaimana seharusnya proses komunikasi efektif terlaksana dan
sejauh apa, sehingga dapat terjadi kesamaan persepsi antar stakeholder.

Anda mungkin juga menyukai