Anda di halaman 1dari 13

NILAI KEKERABATAN DALAM CERITA RAKYAT MALIN KUNDANG

KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA

Hakim Baihaqi1, Muhamad Hidayat2

IAIN Syekh Nurjati Cirebon1, Universitas Kuningan2

Jalan Perjuangan, Sunyaragi, Kec. Kesambi, Kota. Cirebon, 45132 Indonesia

Email: hkimbai21@gmail.com

Abstrak

Bagi peneliti, karya sastra merupakan gambaran suatu kehidupan, yang dimana tergambarkan
melalui berbagai hal seperti puisi, cerpen, novel dan masih banyak lagi. Itu menjadi acuan
peneliti untuk menganalisis karya sastra agar lebih memahami apa yang sebenarnya
terkandung pada karya sastra tersebut. Pada penelitian ini peneliti menganalisis jenis karya
sastra cerita rakyat yang berjudul Malin Kundang dengan menggunakan pendekatan
antropologi sastra yang dimana kajian ini membahas tentang pengaruh timbal balik antara
sastra dan budaya pada aktivitas manusia itu sendiri. penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui system kekerabatan yang ada pada cerita malin kundang. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa
system kekerabatan yang ada pada cerita rakyat Malin Kundang ini yaitu system kekerabatan
matrilineal, yang dimana system ini menetapkan garis keturunan dihitung melalui garis
keturunan ini atau perempuan.

Kata Kunci: Antropologi Sastra, Malin Kundang, System kekerabatan

Abstrac

For researchers, literary works are a picture of life, which is depicted through various things
such as poetry, short stories, novels and much more. It becomes a reference for researchers
to analyze literary works in order to better understand what is actually contained in these
literary works. In this study, researchers analyzed the type of folklore literary work entitled
Malin Kundang using a literary anthropology approach where this study discusses the
mutual influence between literature and culture on human life itself. This study aims to
determine the kinship system that exists in Malin Kundang's story. This study used qualitative
descriptive research method. The results of this study state that the kinship system that exists
in Malin Kundang folklore is the matrilineal kinship system, where this system determines the
lineage calculated through this lineage or women.

Keywords: Literary Anthropology, Malin Kundang, Kinship System

A. Pendahuluan
Bagaimana struktur kekerabatan dalam cerita rakyat Malin Kundang bekerja?
Karya sastra merupakan dokumen sosial yang selalu ada dan terus berkembang
seiring peradaban manusia (Purwaningsih et al., 2023) . Selain menyajikan ide dan
tanggapan penulis terhadap apa yang terjadi di lingkungan penulis, karya sastra
terbukti memiliki tujuan dan keunggulan (Sriyono, 2021) . Manusia
mengkomunikasikan pemikiran, nilai, cita-cita, dan sentimennya dalam bentuk
gambaran kehidupan melalui karya sastra. Bentuk karya sastra sangat bervariasi,
namun subjek penelitian ini adalah cerita rakyat (Maharani et al., 2021).
Dalam masyarakat sederhana dan berkembang, sistem kekerabatan adalah
fundamental; Hubungan dengan leluhur dan kerabat sangat penting untuk hubungan
struktur sosial. Ikatan kekerabatan menjadi pusat interaksi, kewajiban, kesetiaan, dan
emosi. Kerabat dapat menggantikan kesetiaan kepada orang lain dalam komunitas di
mana kesetiaan kekerabatan sangat dihargai. Ini berarti bahwa system kekerabatan ini
terkait erat atas struktur sosial yang dipromosikannya. System kekerabatan berdampak
pada kedudukan sosial seseorang, yaitu pada kedudukan laki-laki dan perempuan
(Juherni et al., 2021).
Sistem kekerabatan dunia meliputi sistem hereditas unilineal, bilateral, dan
multipel. Sistem kekerabatan matrilineal Selain patrilineal, system kekerabatan yang
menentukan garis keturunan yang berdasarkan satu garis atau unilineal ditawarkan.
Sedangkan system kekerabatan matrilineal melihat hubungan keluarga melalui
perempuan, system kekerabatan patrilineal menghitung garis keturunan melalui garis
ayah atau laki-laki. Sistem kekerabatan bilineal dan bilateral ialah contoh system
kekerabatan non-unilineal. Untuk sejumlah hak dan kewajiban yang terbatas, sistem
kekerabatan bilineal memperkirakan kekerabatan semata-mata hanya melewati laki-
laki. Dalam system kekerabatan bilateral, hubungan kekerabatan dihitung melalui
laki-laki dan perempuan (Ahmad, 2020).
Cerita rakyat merupakan salah satu karya sastra yang berkembang di kalangan
masyarakat pada masa lampau (Wachidah et al., 2017). Cerita rakyat digunakan
sebagai ciri pembeda pada penduduk yang memiliki beragam budaya etnis dan
memasukkan nilai-nilai budaya (Faisol Efendi et al., 2019a). norma, serta nilai etika
dan moral masyarakat pendukung (Evy Tri Widyahening & Sri Rahayu, 2021). Cerita
rakyat kaya akan kearifan lokal dan nilai-nilai moral, sehingga fungsinya tidak hanya
untuk menghibur saja tetapi juga bisa untuk mendidik dan memvalidasi peraturan dan
kelembagaan, serta untuk mengelaborasi nilai-nilai moral, aturan, atau adat istiadat di
masyarakat di daerah tersebut (Maziyah et al., 2019).
Metode penelitian ini menggunakan perspektif antropologi dalam bentuk
metode atau pendekatan yang menyelidiki manusia sebagai makhluk biologis, metode
produksi, tradisi, dan nilai-nilai mereka dalam afiliasinya. Akibatnya, manusia dapat
dilihat dari dua perspektif: makhluk biologis dan makhluk budaya
(Edhie Rachmad et *al., 2022).

Antropologi sastra, menurut Endaswara (Irawan Rahmat, 2019). adalah kajian


tentang pengaruh timbal balik sastra dan budaya. Antropologi sastra, menurut Ratna
(Sitanggang et al., 2021) adalah kajian dan analisis karya sastra dalam kaitannya
dengan budaya. Hubungan intim antara sastra dan antropologi tidak bisa disangkal;
Antropologi sastra berawal dari banyaknya karya sastra yang mengusung nilai-nilai
budaya. Ketika antropologi dapat dibagi menjadi dua jenis, antropologi fisik dan
antropologi budaya, antropologi sastra dibahas dalam kaitannya dengan antropologi
budaya, dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia, seperti bahasa, agama,
mitos, sejarah, hukum, adat istiadat, dan karya seni, khususnya karya sastra.
(Sidik & Putraidi, 2018)
mendefinisikan antropologi sastra sebagai studi tentang manusia
sebagai agen budaya, struktur keluarga, sistem mitos, dan praktik lainnya. Rifhi
Siddiq (Putra, 2023) mendefinisikan antropologi sebagai ilmu yang menyelidiki
semua bidang kehidupan manusia, termasuk norma, seni, budaya, sains, linguistik,
dan teknologi. Menurut William A. Havilland (Aditya Afela, 2022) , antropologi
adalah disiplin yang berfokus pada manusia untuk menarik generalisasi yang
bermanfaat tentang perilaku mereka dan mendapatkan pemahaman menyeluruh
tentang keragaman umat manusia.
Beberapa temuan penelitian sebelumnya yang penting atau saat ini relevan
dengan penelitian yang sedang dilakukan oleh peneliti antara lain sebagai berikut:
Rahmawati, W. (2018) melakukan penelitian berjudul “Kajian Antropologi Sastra dan
Nilai Pendidikan Karakter dalam Cerita Rakyat Tanjungsari di Desa Dlimas
Kabupaten Klaten serta Relevansinya Sebagai Bahan Ajar Pembelajaran Sastra Jawa
di SMP” yang bertujuan untuk memahami dan mendeskripsikan: (1) unsur-unsur
intrinsik dalam cerita rakyat Tanjungsari; (2) manifestasi budaya dalam cerita rakyat
Tanjungsari; (3) pentingnya pendidikan karakter dalam cerita rakyat Tanjungsari; dan
(4) relevansi antropologi sastra dan pendidikan karakter dalam cerita rakyat
Tanjungsari di Desa Dlimas, Kabupaten Klaten sebagai bahan ajar mata pelajaran
bahasa Jawa di SMP kelas VII. Ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan
menggunakan teknik antropologi sastra. Menurut temuan penelitian ini, ciri-ciri
intrinsik cerita rakyat Tanjungsari meliputi lima aspek: (1) aktakata/penokohan; (2)
pengaturan; (3) plot; (4) mandat; dan (5) tema. Cerita rakyat Tanjungsari memiliki
tiga manifestasi budaya: (1) kompleksitas pemikiran dalam cerita rakyat Tanjungsari;
(2) kompleksitas cerita rakyat Tanjungsari; dan (3) kompleksitas konsekuensi budaya
cerita rakyat Tanjungsari. Selanjutnya, (3) plot; (4) mandat; dan (5) tema. Cerita
rakyat Tanjungsari memiliki tiga manifestasi budaya: (1) kompleksitas pemikiran
dalam cerita rakyat Tanjungsari; (2) kompleksitas cerita rakyat Tanjungsari; dan (3)
kompleksitas konsekuensi budaya cerita rakyat Tanjungsari. Analisis antropologi
sastra dan nilai pendidikan karakter dalam cerita rakyat Tanjungsari relevan sebagai
bahan ajar mata pelajaran bahasa Jawa karena cerita rakyat Tanjungsari mengandung
berbagai budaya dan nilai pendidikan karakter yang dapat dijadikan contoh bagi siswa
kelas VII SMP. Siti, M. (2022) melakukan penelitian berjudul “Unsur Budaya Dalam
Cerita Sejarah Kerajaan Tanjung Pura karya M. Dardi (Pendekatan Antropologi
Sastra)” Ini berusaha untuk menggambarkan komponen budaya dari Ritus agama dan
keagamaan, sistem sosial dan organisasi, sistem pengetahuan, bahasa, seni, sistem
mata pencaharian, sistem teknis, dan peralatan adalah contoh sistem. karya M. Dardi
tentang sejarah Tanjung Pura. Sifat dari penelitian ini ialah deskriptif kualitatif,
dengan memakai pendekatan antropologi sastra. Menurut temuan penelitian ini, aspek
budaya terdiri dari tujuh, yang pertama adalah merinci sistem agama dan ritual
keagamaan dalam bentuk ritual, serta keberadaan ulama untuk menyebarluaskan
Islam kepada masyarakat Ketapang. Kedua, dalam masyarakat Ketapang, terdapat
struktur organisasi dan sosial berupa kekerabatan dan sistem kenegaraan dalam
bentuk perkawinan, serta adanya hukum yang ditetapkan oleh Raja. Ketiga, sistem
pengetahuan dalam waktu, lokasi, dan angka dengan pengetahuan atau prakiraan
cuaca atau prakiraan musim hujan antara lain digunakan di masyarakat Ketapang.
Keempat, bahasa, baik lisan maupun tulisan, adalah adanya tanda-tanda yang
digunakan. Bahasa tertulis disampaikan kepada penduduk Ketapang dalam bentuk
surat. Kelima, sastra sebagai seni dalam masyarakat Ketapang. Keenam, sistem mata
pencaharian masyarakat Ketapang didasarkan pada berburu dan mengumpulkan
makanan, serta bertani. Kategori ketujuh meliputi sistem dan peralatan teknologi yang
digunakan di bidang manufaktur, transportasi, tempat tinggal dan perumahan, serta
senjata di masyarakat Ketapang. Sari, R. C. (2019) melakukan penelitian berjudul
“Kajian Antropologi Sastra Dan Nilai Pendidikan Karakter Dalam Cerita Rakyat
Kabupaten Pacitan Serta Relevansinya Dengan Pembelajaran Sastra Di Smp” yang
berupaya mendefinisikan dan menjelaskan: (1) komponen budaya yang terdapat
dalam cerita rakyat Kabupaten Pacitan (bahasa, sistem pengetahuan, sistem organisasi
sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem agama,
dan seni), (2) Nilai pendidikan karakter cerita rakyat Kabupaten Pacitan, (3) relevansi
cita-cita pendidikan karakter cerita rakyat Kabupaten Pacitan dengan pembelajaran
sastra sekolah menengah pertama. Penelitian ini memakai metodologi kualitatif dan
gaya belajar etnografi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) ciri-ciri budaya
yang terdapat dalam cerita rakyat Kabupaten Pacitan "Ngambu Pancer", "Sentono
Genthong", "Goa Kalak", serta "Cungkup Ngunut" yaitu a) bahasa: kemampuan
manusia untuk berkomunikasi dengan orang lain melalui bahasa, baik lisan, tulisan,
atau isyarat, b) system pengetahuan: pengetahuan tentang lahan pertanian yang
tumbuh, peternakan, air, perkebunan, kerajinan manufaktur, dan ilmu agama dan
spiritual, c) System organisasi sosial: terdiri dari hubungan kekerabatan incest dan
non-incest, dengan aturan yang harus diikuti atau tabu dalam kehidupan sosial. d)
Peralatan hidup dan sistem teknologi: peralatan tradisional dan persenjataan e) sistem
ekonomi: pekerjaan seperti nelayan, petani, peternak, dan pengrajin, pemimpin
agama, pemimpin kerajaan, dll. f) sistem agama: Islam, Hindu, dan kepercayaan
Jawa; g) Seni: batu nisan, batu, dan gua. (2) Cerita rakyat Kabupaten Pacitan
"Ngambu Pancer", "Sentono Genthong", "Goa Kalak", serta "Cungkup Ngunut"
memasukkan pendidikan karakter religius, usaha keras, dan kepedulian sosial sebagai
nilai. (3) Nilai pembelajaran tokoh cerita rakyat yang berasal dari Kabupaten Pacitan
"Ngambu Pancer", "Sentono Genthong", "Goa Kalak" dan "Cungkup Ngunut" pada
pelajaran sastra kelas VII SMP.
Penelitian tentang cerita rakyat Malin Kundang dapat memberikan wawasan
atau masukan yang luas, terutama bagi instruktur Indonesia yang membuat konten
baru sambil mengajar tentang cerita rakyat Sumatera Barat. Akibatnya, referensi dapat
digunakan untuk menawarkan wawasan tentang penelitian. Peneliti berkonsentrasi
pada struktur kekerabatan yang terlihat dalam cerita rakyat malin kundang dalam
penelitian ini.
B. Metode Penelitian
Metode penelitian kualitatif diterapkan pada penelitian ini. Menurut Moleong
(2017:6), Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk memahami
fenomena dari apa yang dipersepsikan subjek penelitian secara holistik dan melalui
uraian berupa kata-kata dan bahasa, dalam konteks alam tertentu, dengan
menggunakan berbagai metode alamiah. Desain penelitian ini bersifat deskriptif;
Penelitian deskriptif adalah strategi penelitian yang digunakan untuk memperjelas
gejala sosial dengan menggunakan beberapa variabel penelitian yang saling
berhubungan satu sama lain. Metode penelitian ini memakai pendekatan antropologi
sastra berupa metode atau pendekatan yang menyelidiki manusia sebagai makhluk
biologis, metode produksi, tradisi, dan nilai-nilai dalam kehidupan sosialnya.
Antropologi sastra, menurut (Ramadhanty et al., 2022) , adalah kajian tentang
karya sastra yang memiliki relevansi manusia (anthropos). Endaswara
(Maulidiah & Mulyono, 2018)
mendefinisikan antropologi sebagai kajian tentang semua bagian
Budaya dan masyarakat manusia dipandang sebagai interaksi sosial yang berubah,
sedangkan sastra dipandang sebagai cerminan kehidupan masyarakat yang
mendukungnya. Sastra, dalam konteks antropologi sastra, adalah karya yang
mencerminkan budaya tertentu (Muzakka, 2017).
Data penelitian ini berasal dari cerita rakyat Malin Kundang. Prosedur baca
dan rekam digunakan untuk mendapatkan data. Prosedur membaca dan merekam
adalah jenis pendekatan untuk mengekspresikan masalah yang ditemukan dalam
pembacaan atau pembicaraan. Semua bentuk bahasa yang digunakan dalam cerita
Malin Kundang dibaca dengan cermat menggunakan teknik ini untuk memastikan
sifat sistem kekerabatan dalam cerita. Selain membaca, peneliti melakukan kegiatan
perekaman untuk mendokumentasikan data yang dikumpulkan. Data yang diperoleh
kemudian dicatat dalam tabel data yang baru dihasilkan. Teknik perekaman
melibatkan menangkap semua informasi yang diperoleh dari membaca akun Malin
Kundang. Sistem kekerabatan yang terkandung dalam cerita rakyat ini dicatat
menggunakan teknik ini. Pada titik ini, data yang ditemukan dengan pengamatan
pembacaan menyeluruh dicatat dalam tabel data, yang kemudian ditempatkan ke
dalam lembar analisis data untuk analisis.
Dalam penelitian ini, data dianalisis dalam dua tahap: (1) memahami dan
menafsirkan data, serta membandingkan data. (2) Urutkan data yang dikumpulkan ke
dalam kelompok berdasarkan topik yang sedang diperiksa, dan kemudian sajikan
dalam bentuk tabel. (3) Data yang menunjukkan tanda-tanda masalah yang diperiksa
diidentifikasi dan dikelompokkan sesuai dengan itu. Data untuk penelitian ini
dikumpulkan dalam bentuk deskripsi sistem kekerabatan cerita rakyat Malin
Kundang.
Dalam penelitian kualitatif, validitas data diperiksa menggunakan prosedur
triangulasi dan reliabilitas, terutama teknik pengecekan validitas data dan penggunaan
hal lain di luar data untuk tujuan pengecekan atau sebagai pembanding dengan data.
Uji validitas data dalam karya ini menggunakan triangulasi teori, yaitu validasi data
melalui validator. Dalam skenario ini, peneliti adalah validator.

C. Hasil dan Pembahasan

No Kode Aspek Data Sumber


.
1. M1 Matrilineal Pada cerita rakyat malin kundang ini terdapat 1
system kekerabatan matrilineal. Yang dimana
system kekerabatan ini menetapkan garis
keturunan dihitung menurut garis ibu atau
perempuan. Contohnya: (1)
“Sehinggaiibunyaiharusimenggantikaniposisi
ayahiMaliniuntukimencariinafkah”.
(2)“Malinikundangimengutarakanimaksudny
a kepadaiibunya.
Ibunyaisemulaikurangisetuju
denganimaksudiMaliniKundang,
tetapiikarena Maliniterusimendesak,
IbuiMaliniKundang
akhirnyaimenyetujuinyaiwalauidenganiberat
hati”.
(3) “Malinisegeraimenujuikeidermagaidengan
diantariolehiibunya. “Anakku,ijikaiengkau
sudahiberhasilidanimenjadiiorangiyang
berkecukupan,
janganikauilupaidenganiibumu
danikampungihalamannuiini,inak”, ucapisang
IbundaiMaliniKundangisembariiberlinangiair
mata”.
(4) “BeritaiMaliniKundangiyangitelah
menjadiikayairayaidanitelahimenikahisampai
jugaikepadaiibuiMaliniKundang. IbuiMalin
Kundangimerasaibersyukuridanisangat
gembiraianaknyaitelahiberhasil. Sejakisaat
itu,iibuiMaliniKundangisetiapihariipergiike
dermaga, menantikanianaknyaiyangimungkin
pulangikeikampungihalamannya”.
(5) “Iaidisambutiolehiibunya. Setelahicukup
dekat,iibunyaimelihatibelasilukaidilengan
kananiorangitersebut, semakiniyakinlah
ibunyaibahwaiyangiiaidekatiiadalahiMalin
Kundang. "MaliniKundang,ianakku,imengapa
kauipergiibegituilamaitanpaimengirimkan
kabar?",ikatanyaisembariimemelukiMalin
Kundang”. Dan
(6) “IbuiMaliniKundangisangatimarah. Ia
tidakimendugaianaknyaimenjadiianak
durhaka.iKarenaikemarahannyaiyang
memuncak,iibuiMalinimenengadahkan
tangannyaisambiliberkata “OhiTuhan, kalau
benariiaianakku,iakuisumpahiidiaimenjadi
sebuahibatu”. Tidakiberapailamaikemudian
anginibergemuruhikencangidanibadaiidahsyat
datangimenghancurkanikapaliMalin
Kundang.iSetelahiituitubuhiMaliniKundang
perlahanimenjadiikakuidanilama-kelamaan
akhirnyaiberbentukimenjadiisebuahibatu
karang”.

Table 1.1
Minangkabau adalah suku penting di Nusantara dan tinggal di Sumatera Barat. Suku
Minangkabau terkenal karena nafsu berkelananya, dengan anggota yang tersebar di
seluruh nusantara. Selanjutnya, suku Minangkabau terkenal dengan budayanya
(Munir, n.d.). Budaya suku Minangkabau istimewa dan unik. Keanehan ini dapat
dilihat pada garis dari keturunan yang diikutinya, yaitu matrilineal. Suku-suku lain
Lebih banyak garis keturunan berdasarkan keturunan ayah atau patrilineal diikuti di
Nusantara (Lestari et al., 2022). Hal ini tampaknya menunjukkan bahwa nenek
moyang orang Minangkabau bekerja keras untuk menentukan keturunan berdasarkan
garis keturunan ibu. Sistem kepercayaan kekerabatan ini tampaknya telah mengakar
dan menjadi nilai yang sulit dibantah dalam kehidupan masyarakat Minangkabau
(Fajrin & Lestari, 2016) . Menurut penjelasan di atas, daerah Minangkabau memiliki
sistem kekerabatan matrilineal. Sistem kekerabatan matrilineal ini terdiri dari adat
istiadat yang akan dilestarikan sepanjang masa karena didirikan oleh nenek moyang
masyarakat Minang, khususnya Datuk Ketumanggungan dan Datuk Parpatih nan
Sabatang (Harmitasari dkk., 2022).

Pembahasan

Matrilineal
Kekerabatan matrilineal mengacu pada kekerabatan yang dibangun melalui
ibu atau Wanita (Sihombing, 2020). Sistem matrilineal di mana anak perempuan dan
laki-laki diturunkan dari pihak ibu. Anak perempuan adalah orang yang dapat
mewariskan garis keturunan sukunya kepada anak-anaknya, namun jika putranya
adalah anak tunggal, ia dapat mewarisi suku ibunya. Anak laki-laki yang sendirian ini
pada akhirnya akan menggantikan ibunya dalam mewariskan suku kepada anak-
anaknya (Ramadhani et al., 2019) . Sistem kekerabatan ini tertanam kuat dalam
masyarakat Minangkabau. Suku Minangkabau juga terkenal dengan sistem
kekerabatan matrilinealnya. Struktur kekerabatan yang kompleks Dan berakar tidak
terjadi secara kebetulan. Hal ini disebabkan masyarakat Minangkabau
mengembangkan dan menerapkan sistem kekerabatan berdasarkan konsep-konsep
yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari (Meiyanti, 2014: 58). Sistem kekerabatan
dasar dan matrilineal masyarakat Minangkabau memiliki tiga karakteristik: (1) garis
keturunan ditentukan berdasarkan garis keturunan ibu, (2) suku anak dihitung
berdasarkan suku ibu, ada pepatah Minangkabau menyatakan bahwa “Basuku
kabakeh ibu, Babangso Kabakeh ayah, jauah mancari suku dakek mancari ibu,
Tabang basitumpu Hinggok mancakam”, (3) Pusako tinggi adalah keturunan dari
mamak ka kamanakan, sedangkan “pusako randah” adalah keturunan dari “ayah
kapado anak” (Hidajat & Burka, 2020).
Dengan sifat-sifat intrinsik tersebut, tampak bahwa peran perempuan cukup
esensial dalam masyarakat Minangkabau (Suryani & Rahmawati, 2022). Wanita
memiliki tempat yang sangat tinggi di masyarakat. Ini adalah salah satu karakteristik
yang membedakan Minangkabau dari daerah Indonesia lainnya. Perempuan dalam
masyarakat Minangkabau juga disebut sebagai “penghias nagari” (kampung)
(Hidajat & Burka, 2020)
.
Jika berpacu pada penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwasannya system
kekerabatan yang ada pada cerita rakyat malin kundang yaitu system kekerabatan
matrilineal. Yang dimana system kekerabatan ini menetapkan garis keturunan dihitung
menurut garis ibu atau perempuan. Berikut penggalan kalimat yang menunjukkan
bahwasannya pada cerita rakyat malin kundang hanya ada system kekerabatan
matrilineal yaitu Malin Kundang sebagai seorang anak yang dimana keturunan dari
Mande Rubayah sebagai seorang ibu: (1) “Sehingga sang ibu menempati posisi sang
ayah Malin dalam mencari nafkah”, (2) “Malin kundang mengatakan rencananya
kepada sang ibunya. Pada awalnya sang ibundanya kurang setuju dengan rencana
Malin Kundang tersebut, akan tetapi karena Malin sangat mendesak ibundanya,
akhirnya Ibunda Malin Kundang menyetujui rencananya walau dengan berat hati”, (3)
“setelah itu Malin pergi dengan segera ke dermaga sembari diantar oleh sang
ibundanya. “wahai anakku, jika saja engkau sudah berhasil dan menjadi orang yang
sukses, jangan kau lupa dengan ibundamu dan kampung halamanmu ini, nak”, ucap
sang Ibu Malin Kundang sembari berlinang air mata”, (4) “ketika berita Malin
Kundang yang telah menjadi orang yang sukses serta kaya raya dan telah menikah
sampai juga kepada ibunda Malin Kundang. Ibunda Malin Kundang merasa sangat
bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibunda Malin
Kundang setiap hari pergi menuju ke dermaga, menantikan sang anaknya yang
mungkin pulang ke kampung halamannya” (5) “Ia disambut oleh sang ibundanya.
Setelah cukup dekat, sang ibundanya melihat belas luka ditangan kanan orang
tersebut, semakin yakinlah ibundanya bahwa ia datangi adalah Malin Kundang.
"Malin Kundang, anakku, mengapa setelah kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan
kabar?", katanya sembari memeluk Malin Kundang”; dan (6) “Ibunda Malin Kundang
begitu marah anaknya. Ia tidak menduga bahwa sang anaknya menjadi anak durhaka.
Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil
berkata “Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu”.
Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang
menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan
menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang”.
Pada penggalan-penggalan di atas menggambarkan bahwasannya pada cerita rakyat
malin kundang terdapat system kekerabatan matrilineal yang dimana menetapkan
garis keturunan dihitung menurut garis ibu atau perempuan.

D. Simpulan
Pada cerita malin kundang ini terdapat system kekerabatan matrilineal yang
dimana system kekerabatan ini menetapkan garis keturunan dihitung melalui garis ibu
atau perempuan. Hal ini berpacu kepada system kekerabatan yang ada pada suku
Minangkabau yang dimana suku Minangkabau ini menganut paham system keturunan
matrilineal. Hal ini juga berpacu pada penjelasan tentang suku Minangkabau dan
budaya khas yang ada pada suku tersebut, serta berpacu pada penggalan-penggalan
yang ada pada cerita malin kundang. Dapat disimpulkan bahwasannya system
kekerabatan yang ada pada cerita rakyat malin kundang dan system kekerabatan yang
ada pada suku Minangkabau ini saling berkaitan, yang dimana system kekerabatan ini
yaitu system kekerabatan matrilineal.

E. Daftar Pustaka

Aditya Afela, R. (2022). Pengertian Antropologi Hukum Menurut Para Ahli Indonesia dan Dunia dalam
Mendukung Perkembangan Antropologi Hukum.

Ahmad, R. (2020). Antropologi Sastra Dalam Cerita Rakyat Gadis Bermata Biru Dan Tolire Ma
Gam Jaha. Totobuang, 8(2), 195–207.
Edhie Rachmad, Y., Mellina Tobing, S., Johannes Johny Koynja, M., Rianto, M., Nina Yuliana,
M., & Juliana Mangngi, Sp. (2022). Pengantar Antropologi Penerbit Cv. Eureka Media
Aksara.
Evy Tri Widyahening, C., & Sri Rahayu, M. (2021). Pembelajaran Kosa Kata Bahasa Inggris
dengan Media Cerita Rakyat bagi Siswa Kelas V Sekolah Dasar. Jurnal Komunikasi
Pendidikan, 5(1), 108–123. www.journal.univetbantara.ac.id/index.php/komdik
Fajrin, H. R., & Lestari, U. F. R. (2016). Struktur cerita rakyat bugis Cenrana Aju Maddara Tau
(Pendekatan Antropologis Sastra). Salingka, 13(1), 63–76.
Harmitasari, S., Nensilianti, N., & Faisal, F. (2022). Kekerabatan Budaya dalam Antologi Cerpen
Bertarung dalam Sarung Dan Kisah-Kisah Lainnya Karya Alfian Dippahatang: Tinjauan
Antropologi Sastra. … : Journal of Social Sciences and …, 2(1), 26–40.
https://ojs.unm.ac.id/societies/article/view/37006
Hidajat, E., & Burka, A. (2020). Unsur Kesenian dalam Novel Sirkus Pohon Karya Andrea Hirata:
Kajian Antropologi Sastra. Silampari Bisa: Jurnal Penelitian Pendidikan Bahasa Indonesia,
Daerah, Dan Asing, 3(1), 74–85. https://doi.org/10.31540/silamparibisa.v3i1.627
Irawan Rahmat, L. (2019). Kajian Antropologi Sastra Dalam Cerita Rakyat | 83 Kajian
Antropologi Sastra Dalam Cerita Rakyat Kabupaten Banyuwangi Pada Masyarakat Using.
Juherni, M., Wardiah, D., & Fitriani, Y. (2021). Budaya Masyarakat Besemah Dalam Cerita
Rakyat Kisah Tiga Dewa Pendiri Jagat Besemah Karya Dian Susilastri (Kajian Antropologi
Sastra). KREDO : Jurnal Ilmiah Bahasa Dan Sastra, 5(1), 98–120.
https://doi.org/10.24176/kredo.v5i1.5721
Lestari, S., Magister, M., Bahasa, P., Universitas, I., & Mataram, U. (2022). Santi Lestari 1 ,
Rusdiawan 2 , Sukri 3 Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas
Mataram 23 Universitas Mataram. 8(2), 1795–1807.
https://doi.org/10.36312/jime.v8i2.3347/http
Maharani, P., Wardarita, R., & Wadiah, D. (2021). Kajian Antropologi Sastra dalam Kumpulan
Cerita Rakyat Sumatera Selatan “Sembesat Sembesit.” Jurnal Pendidikan Tambusai, 5(3),
7563–7574.
Maulidiah, N., & Mulyono, S. (2018). Kajian Antropologi Sastra Dan Nilai Pendidikan Dalam
Cerita Rakyat Kalantika Serta Relevansinya Sebagai Bahan Ajar Di SMP. In Sastra
Indonesia dan Pengajarannya (Vol. 6, Issue 1).
Maziyah, N., Rais, R., & Pendidikan Guru Sekolah Dasar, J. (2019). Analisis Nilai Spiritual dalam
Pembentukan Karakter pada Buku Cerita Rakyat Karya Wirodarsono. IVCEJ, 2(1), 11.
Munir, M. (n.d.). Sistem Kekerabatan Dalam Kebudayaan Minangkabau: Perspektif Aliran
Filsafat Strukturalisme Jean Claude Levi-Strauss.
Muzakka, M. (2017). Moh. Muzakka, Perjuangan Kesetaraan Gender dalam Karya Sastra 30. In
Agustus (Vol. 12, Issue 3).
Purwaningsih, L., Sudibyo, A., Isnaini, H., Pendidikan, P. M., & Indonesia, B. (2023).
Problematika pada Pembelajaran Apresiasi Sastra. Jurnal Sastra Dan Pendidikan
Kesusastraan, 1(2), 69–73. https://doi.org/10.56854/jspk.v1i2.66
Putra, B. R. (2023). Pengertian Antropologi Menurut Para Ahli Luar Dan Dalam Negri.
Ramadhani, S., Wardhani, N. S., & Putri, L. (2019). Hak-Hak Perempuan Enggano Dalam Sistem
Kekerabatan Matrilineal. In Bengkulu Law Journal (Vol. 4).
http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktori-
Ramadhanty, E., Effendi, D., & Hetilaniar, H. (2022). Antropologi Sastra Dalam Kumpulan Cerita
Rakyat Ogan Komering Ilir. Jurnal Pembahsi (Pembelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia),
12(1), 26–38. https://doi.org/10.31851/pembahsi.v12i1.6142
Sidik, A. S., & Putraidi, K. (2018). Cerita Rakyat Dan Relevansi Pendidikan Karakter Sebagai
Upaya Pengikisan Deklinasi Moral (Sebuah Kajian Antropologi Sastra). Seminar Nasional
Lembaga Penelitian Dan Pendidikan (LPP) Mandala, September, 72–78.
Sitanggang, J. M., Sinambela, M., Simanjuntak, E., Lubis, F., & Medan, U. N. (2021). Kajian
Antropologi Sastra Dalam Novel Kau, Aku, Dan Sepucuk Angpau Merah. In Jurnal Serunai
Bahasa Indonesia (Vol. 18, Issue 2).
Sriyono, S. (2021). Motif Kargoisme Dalam Cerita Rakyat Fakfak: Sebuah Pendekatan
Antropologi Sastra/the Motivation of Cargoism in Fakfak’S …. Aksara, 33(2), 211–224.
https://doi.org/10.29255/aksara.v33i2.602.hlm.

Sihombing, D. L. (2020). Analisis Antropologi Sastra Novel Menolak Ayah Karya Ashadi
Siregar. http://repository.umsu.ac.id/handle/123456789/4533
Suryani, S. E., & Rahmawati, E. (2022). Unsur-Unsur Budaya Suku Bajo Dalam Novel Mata
Dan Manusia Laut Karya Okky Madasari: Kajian Antropologi Sastra. SEMIOTIKA:
Jurnal Ilmu Sastra Dan Linguistik, 23(1), 46.
https://doi.org/10.19184/semiotika.v23i1.24488

Anda mungkin juga menyukai