Fiqh Hadis Hibah Ayah Ke Anak
Fiqh Hadis Hibah Ayah Ke Anak
KEPADA ANAK
_________ _________
Fauzi Saleh
Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
fauzi_lamno@yahoo.com
ABSTRACT
A. Pendahuluan
Orang tua memiliki hubungan erat dengan anaknya sebagai
relasi nasab. Pemberian anak kepada orang tua atau orang tua
kepada anak merupakan sesuatu yang lazim karena tidak ada hijab
(penghalang) antara mereka. Dalam istilah agama, pemberian itu
diikat dengan beberapa terma seperti athiyyah, sadaqah, infaq dan
hibah seterusnya. Terkait denga penelitian ini, fokusnya adalah
hibah. Terma ini bermaksud sebagai pemberian sukarela satu pihak
kepada pihak yang lain yang mengharapkan Ridha Allah Swt.,
tidak alasan-alasan yang sifatnya sophiscated goals (duniawi). Bila
itu dilakukan oleh seorang ayah kepada anaknya, apakah sang
ayah boleh mengambil kembali hibanya itu dengan alasan-alasan
tertentu.
Fauzi Saleh
Abu Muhammad Ali ibn Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm Al-Andalusi, al-
1
B. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif yang sumber datanya
didapatkan melalui studi dokumentasi. Artinya peneliti akan
merujuk kepada kitab-kitab hadis mu'tabar dan syarahnya secara
komprehensif. Data yang tersajikan akan dianalisis melalui teknik
content analysis dan deskriptif analisis. Peneliti juga menggunakan
metode munasabah (konformitas) antara hadis satu dengan
lainnya. metode ini dimaksudkan peneliti bisa melihat hubungan
korelatif antara umum dan khusus, mutlaq dan muqayyad dan
seterusnya. Selanjutnya, penulis akan menafsirkan hadis hadis
tersebut dengan pendekatan Ulumul Hadits lalu dituangkan dalam
tulisan.
Terma sentral hadits-hadits yang akan dikoleksikan adalah
berkaitan dengan hibah orang tua kepada anaknya. Peneliti akan
mencoba menganalisis hadits-hadits tersebut dengan pendekatan di
atas. Munasabah antara satu hadits dan hadits yang lain sangat
penting agar hadir suatu pemahaman yang utuh, tidak parsial.
Ketercakupan indentifikasi substansi hadits secara komprehensif
akan menghadirkan pemahaman khusus dari yang umum, taqyid
dari yang mutlak dan seterusnya yang menjadi ikatan elemen-
elemen yang tertentu dalam pemahaman.
3Abd al-Rahman ibn Muhammad ‘Iwad al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Madhahib al-
Arba’ah, Jilid III, (Beirut: Dar al-Kutub al –‘Ilmiyyah, 2003), 254
4 Abu Bakar ibn Mas’ud al-Kasani, Bada’i al-Sana’i fi Tartib al-Syara’i, Jilid VI
(Beirut: Dar al-Kutub al Ilmiyyah, 2003), h. 116
5Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid IV, (Beirut: Dar al-
FIkr), h. 3260
6Asy-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhi Al-Minhaj, Jilid
7Sayyid Sabiq , Fiqh Sunnah, Jilid III (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), h. 388
8Sayyid Sabiq , Fiqh Sunnah…, Juz III, h. 388
9Al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, Jilid I, (T.tp.: t.th), h. 407
2. Rukun Hibah
Rukun hibah itu terdiri pertama, wahib (yang menghibahkan).
Syarat orang yang menghibahkan yaitu tidak ada halangan untuk
memilikinya, baligh dan kemauan sendiri tanpa dipaksa, Kedua
mawhub lah (orang yang menerima hibah). Syarat orang yang
dihibahkan : memang orang tersebut ada waktu pelaksanaan hibah.
Andaikata yang dihibahkan itu adalah masih kecil atau orang gila
maka walinyalah atau yang diwasiatkan yang menempati posisinya
untuk menerima kan barang yang dihibahkan tersebut.
Ketiga mawhub (barang yang dihibahkan). Adapun syarat
barang yang dihibahkan itu yaitu benar adanya, zu qimah (barang
yang berharga barang), dapat dimiliki dengan sendirinya, ghayr
muttashil (tidak terhubung atau bersambung dengan
kepemilikannya yang lain seperti tanaman pepohonan atau
bangunan tetapi harus dipisahkan dan diserahkan secara jelas
kepada pihak yang menerima
Keempat, lafadz Ijab Kabul. Rukun hibah hibah itu itu
dianggap sah dengan Ijab dan qabul yang dalam lafaznya
menunjukkan ada tamlik (menyerahkan kepemilikan) harta tanpa
kompensasi. Seumpamanya seorang yang menghibahkan sesuatu
mengatakan: aku hibahkan kepadamu dan seterusnya. Lalu pihak
yang kedua mengatakan aku terima.
Bila orang yang menghibahkan ketika dalam keadaan sakit
menjelang meninggal maka hukum sama dengan hukum wasiat.
Apabila menghibahkan sesuatu kepada salah seorang warisnya lalu
dia meninggal. Andaikata ahli waris yang lain menyatakan bahwa
dihibahkan itu pada saat sakit kematiannya, sementara orang yang
menerima mengatakan hibah itu waktu wahib sehat, maka yang
menjadi pegangan adalah perkataan orang yang menerima itu.
Andaikata yang menerima tidak merespon atau tidak
Na’im Muhammad Hani Sa’I, Mawsu’ah Masail al-Jumhuri al-Fiqh al-Islami, Jilid
II, (Mesir; Dar al-Salam, 2007), h. 297
34 SUBSTANTIA Vol. 12, Nomor 1, April 2010
Fauzi Saleh
14
.»ْي أ َْوالَ ِد ُك ْم ِِف الْ َع ِطيَّ ِة ِ - صلى هللا عليه وسلم- ال النَِِّب
َ َْ«اعدلُوا ب
ْ ُّ َ َق
Secara khusus ulama sepakat bahwa syariat menganjurkan adanya
persamaan dalam pemberian kepada anak baik dalam kuantitas
yang sedikit atau banyak tanpa melihat kondisi hal ihwal si anak
yang miskin dan yang kaya. Selayaknya, orang tua berlaku adil
terhadap anak-anaknya dalam pemberian sesuai dengan firman
Allah Swt. surah al-Nahl ayat 90:
إ َّن ٱ َّ ََّلل يَأْ ُم ُر بِألْ َعدْ لِ َوٱ ْْل ْح َس َٰ ِن َوإي َتآئِ ِذى ٱلْ ُق ْر َ َٰب َويَْنْ َ ٰى َع ِن ٱلْ َف ْحشَ ا ٓ ِء َوٱلْ ُمن َك ِر َوٱلْ َب ْغ ِ ۚ ي َ ِع ُظ ُ ُْك
ِ ِ َ َّ ِ
ون
َ ُ ر َّ ك َذ ت ْ
ُكُ لعَ َ ل
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Ahmad ibn Ismail ibn Utsman ibn Muhammad al-Kawrani al-Syafi’i, al-
14
Kawtsar al-Jari ila Riya Ahadith al-Bukhari, Jilid 5, (Beirut: Dar al-Turath al-
‘Arabi, 2008), h. 219
ِ ِ َك َما ُِحتبُّو َن أَ ْن يُس ُّووا بَْي نَ ُك ْم ِِف ال،ْي أ َْوَال ِد ُك ْم ِِف ال َْع ِطيَّ ِة
ْب َ ََْس ُّووا ب
َ
Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad ibn Salamah ibn ‘Abd al-Malik ibn
Salamah al-Azdi Ath-Thahawi, Syarh Musykil al-Atsar,Jilid XIII, (Beirut:
Muassasah al-RIsalah, 1994), h. 72
http://www.fatawa.com/view/9362
17
Mukharraj ‘ala Sahih Muslim, Jilid XII, (Riyadh: al-Jami’ah al-Islamiyyah, t.th), h.
547
h. 552
40 SUBSTANTIA Vol. 12, Nomor 1, April 2010
Fauzi Saleh
menunjukkan bahwa perintah wajib dan hal ini karena ia tidak bisa
dipahami sebagai hukum taklifi yang lain. Perintah untuk
mengambil kembali hibahnya itu menunjukkan akan
ketidaksukaan Nabi Saw. kepada sifat orang yang melebihkan
sebagian anaknya atas sebagian yang lain dan khawatirkan hal itu
menjadi penyebab anak mendurhakainya akibat sebahagian
mereka tidak mendapatkan pemberian tersebut
رىض- َح َّدثَ َنا َحا ِمدُ ْب ُن ُ َُع َر َح َّدثَ َنا َٱبُو َع َوإن َ َة َع ْن ُح َص ْ ٍْي َع ْن عَا ِم ٍر قَا َل َ َِس ْع ُت إلنُّ ْع َم َان ْب َن ب َِش ٍي
فَقَالَ ْت َ ُْع َر ُة ِبن ْ ُت َر َوإ َح َة َْل َٱ ْر َىض َح ََّّت،ول َٱع َْط ِاِن َٱ َِب ع َِط َّي ًة ُ َو ُه َو عَ ََل إلْ ِم ْن َ َِب ي َ ُق- هللا عْنام
فَقَا َل إ ِِن- صَل هللا عليه وسمل- إَّلل ِ َّ فَأَ ََت َر ُسو َل.- صَل هللا عليه وسمل- إَّلل ِ َّ تُ ْشهِدَ َر ُسو َل
ِ
قَا َل « َٱع َْط ْي َت.إَّلل ِ َّ فَأَ َم َرت ِِْن َٱ ْن ُٱ ْشهِدَ كَ ََي َر ُسو َل،َٱع َْط ْي ُت إبْ ِِن ِم ْن َ ُْع َر َة ِبن ْ ِت َر َوإ َح َة ع َِط َّي ًة
.ُ قَا َل فَ َر َج َع فَ َر َّد ع َِط َّي َته.» َوإعْ ِدلُوإ ب َ ْ َْي َٱ ْو َْل ِد ُ ُْك،إَّلل
َ َّ قَا َل «فَات َّ ُقوإ. قَا َل َْل.»َسائِ َر َو َ َِلكَ ِمثْ َل َه َذإ
Diceritakan Hamid ibn ‘Umar. Diceritakan Abu ‘Awanah
dari Hushain dari ‘Amir ia berikata: saya mendengar
Nu’man ibn Basyir RA ketika di atas mimbar, Dia berkata:
Ayahku memberikan kepadaku athiyyah (suatu pemberian).
‘Amrah binti Rawahah berucap: Saya tidak rela sehingga
engkau meminta kesaksian Rasulullah Saw. Ia pun
mendatangi Rasulullah Saw. seraya berkata: saya
memberikan kepada anakku dari ‘Amrah binti Rawahah
sebuah pemberian lalu ia memerintahkan aku untuk
mempersaksikan kepada engkau ya Rasulullah. Beliau
bersabda: Apakah engkau memberikan seluruh anakmu
seperti ini? Ia menjawab: tidak. Rasul Saw bersabda:
“hendaklah kalian bertakwa kepada Allah dan bersikap adil
di antara anak-anakmu.” ia berkata: maka ia pulang dan
mengembalikan pemberian tersebut.
Abu Muhammad Ali ibn Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm Al-Andalusi, al-
24
E. Kesimpulan
Dari uraian yang dijelaskan berdasarkan hadits-hadits yang
berkaitan dengan hibah ayah kepada anak, hadits-hadits tersebut
dengan lafaz bermakna dan memiliki makna yang sama. Para
ulama memiliki pemahaman yang berbeda pandangan terutama
disebabkan aspek metodologis dalam pemahaman hadits; kaidah
Ushul, kaidah fiqih, pendekatan atsar, sosiologis dan seterusnya.
Peneliti dapat menyimpulkan sebagai berikut
Pertama, pendapat yang mengatakan makruh hukumnya
melebihkan hibah sebahagian anak atas sebagian yang lain. Amar
dalam nass hadits dipahami sebagai anjuran dan menyalahi
anjuran ini dinilai sebagai sesuatu yang makruh. Kedua, mubah
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abd al-‘Adhim ibn ‘Abd al-Qawi al-Mundhiri, Mukhtasar Sunan
Abdi Dawud, Jilid II, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 2010), h.
494
Abd al-Rahman ibn Muhammad ‘Iwad al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-
Madhahib al-Arba’ah, Jilid III, (Beirut: Dar al-Kutub al –
‘Ilmiyyah, 2003), 254
Abu ‘Uwanah Ya’qub ibn Ishaq al-Isfarayayni, al-Musnad al-Sahih
al-Mukharraj ‘ala Sahih Muslim, Jilid XII, (Riyadh: al-Jami’ah
al-Islamiyyah, t.th), h. 547
Abu ‘Uwanah Ya’qub ibn Ishaq al-Isfarayayni, al-Musnad al-
Sahih…, XII, h. 552