Peristiwa Penting Menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Peristiwa Penting Menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
INDONESIA
By: Hafidz Fuad Halimi
16 Aug 2023
3418 kali dilihat
Bagikan:
Tokoh dari golongan muda, seperti di antaranya Soekarni, Wikana, dan Chaerul Saleh
kemudian menjemput paksa Soekarno beserta istri, Fatmawati, dan putra bungsunya
Guntur pada tanggal 16 Agustus 1945 dini hari. Bersama Soekarno, Moh. Hatta juga
dijemput oleh para para tokoh muda menuju Rengasdengklok, Karawang-Jawa Barat.
Lalu, AS menjatuhkan bom 'Fat Man' di Nagasaki pada 9 Agustus 1945. Dampaknya,
ratusan ribu penduduk Jepang meninggal dan ratusan ribu lainnya cacat.
Akhirnya, Jepang mau tidak mau menyerah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945.
Mereka menuntut kebulatan tekad untuk mengisi kemerdekaan Indonesia. Juga bertekad
menunjukkan pada dunia internasional bahwa kemerdekaan Indonesia bukan atas
bantuan Jepang, tetapi tekad seluruh rakyat Indonesia.
Melihat tekad rakyat menggelora dan tidak dapat dihalangi bahkan oleh tentara Jepang,
pemerintah terdorong mengadakan sidang kabinet. Diputuskan Presiden Soekarno dan
Wakil Presiden Moh Hatta dan para menteri datang ke Lapangan Ikada.
Pada kesempatan itu, Soekarno menyampaikan pidato yang disambut rakyat gegap
gempita. Rapat raksasa di Lapangan Ikada berlangsung tertib dan damai.
Pada 19 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VIII
mengirim kawat ucapan selamat kepada Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh
Hatta atas berdirinya Negara Republik Indonesia dan atas terpilihnya dua tokoh sebagai
Presiden dan Wakil Presiden.
Dua hari setelah kemerdekaan, kabinet pertama Republik Indonesia dibentuk. Kabinet
pertama ini meliputi 19 menteri, salah satunya Kementerian Luar Negeri dimana Ahmad
Soebardjo tercatat sebagai Menteri Luar Negeri pertama (2 September 1945 — 14
November 1945).
Kabinet ini tak bertahan lama, sejak 14 November 1945 terjadi sejumlah perubahan yang
memunculkan Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet II RI. Perubahan ini
termasuk perubahan sistem pemerintahan dari presidensial ke bentuk ministerial. Sejak
itu Pemerintah RI menempuh kebijakan politik diplomasi untuk berunding dengan
Belanda.
Perundingan pertama terjadi pada 17 November 1945 di markas besar tentara Sekutu di
Jakarta. Perundingan ini berlanjut dengan pengiriman misi diplomatik pertama Indonesia
ke Belanda yang dimulai pada 14 April 1946 di sebuah tempat bernama Hoge Veluwe.
Misi tersebut menjadi salah satu awal rangkaian perundingan panjang antara Indonesia-
Belanda.
Menurut laman Kementerian Luar Negeri tercatat tiga perundingan penting dalam
periode awal tugas diplomasi mempertahankan kemerdekaan, yakni Perundingan
Linggarjati pada 1946–1947 (pengakuan kedaulatan RI meliputi Jawa, Madura dan
Sumatera); Perundingan Renville pada 1947–1948 (kesepakatan gencatan senjata dan
penambahan wilayah Belanda); dan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949
(pengakuan kedaulatan Indonesia).
Perjuangan diplomasi Indonesia akhirnya meraih dukungan masyarakat internasional di
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemulihan Indonesia sebagai negara
kesatuan ini disusul dengan masuknya Indonesia menjadi anggota ke-60 PBB pada
September 1950.
Mempertahan Kemerdekaan:
1. Pertempuran Ambarawa
Pertempuran ini diawali dari kedatangan pasukan Sekutu di bawah pimpinan Brigjen
Bethel di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945. Pasukan Sekutu yang sedang menuju
Magelang membuat kerusuhan hingga meneror rakyat lokal.
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di bawah pimpinan Kol. Sudirman kemudian
melakukan pengejaran dan pengepungan. Pertempuran yang kelak dikenal dengan
"Palagan Ambarawa" pun tak terhindarkan dan terjadi selama empat hari (12-15
Desember 1945).
Pertempuran diakhiri dengan kemenangan TKR pada 15 Desember 1945. Tanggal
tersebut dijadikan Hari Juang Kartika TNI-AD.
3. Pertempuran Surabaya
Pertempuran Surabaya atau Battle of Surabaya diawali dengan kedatangan Sekutu
dibawah Komando Brigjen A.W.S. Mallaby di Surabaya, pada tanggal 25 Oktober 1945.
Selang beberapa hari, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1945 terjadi pertempuran antara
rakyat Surabaya melawan Sekutu yang menewaskan Brigjen A.W.S. Mallaby.
Sekutu mengultimatum rakyat bersenjata di Surabaya menyerahkan diri pada tanggal 9
November 1945 sebelum pukul 18.00. Jika tidak dipenuhi, Sekutu akan menyerang
Surabaya pada tanggal 10 November 1945.
Dengan kobaran semangat dari Bung Tomo, rakyat Surabaya justru melakukan
perlawanan terhadap Sekutu. Terjadilah pertempuran berdarah pada 10 November 1945
di mana tanggal tersebut akhirnya ditetapkan menjadi Hari Pahlawan.