Final Trauma Abdomen
Final Trauma Abdomen
PENDAHULUAN
Trauma abdomen dideIinisikan sebagai trauma yang terjadi di anterior mulai dari
nipple line sampai lipatan paha dan di posterior mulai dari ujung skapula sampai ke lipatan
bokong. Trauma abdomen lebih jauh diklasiIikasikan sebagai intraperitoneal atau
retroperitoneal.
1
Trauma abdomen merupakan salah satu penyebab utama kematian. Hampir 40
kematian akibat trauma abdomen disebabkan oleh trauma tumpul yang terjadi pada
kecelakaan kendaraan bermotor dimana limpa, usus halus dan hati merupakan organ yang
paling sering terlibat. Trauma abdomen juga sering disertai dengan trauma pada kepala, dada,
dan ekstremitas. Keterlambatan diagnosis dan penanganan akan memperbesar angka
mortalitas, di mana sering diakibatkan oleh perdarahan, sepsis, dan kegagalan organ multipel.
Sistem penanganan trauma yang terorganisasi, meliputi layanan prehospital, transportasi, dan
pusat trauma, telah meingkatkan pelayanan terhadap pasien-pasien yang mengalami trauma.
1
Penanganan trauma darurat diIokuskan pada 'golden hour yaitu 60 menit pertama
setelah terjadi trauma, dimana angka kesakitan dan kematian paling besar terjadi pada masa
itu. Hal ini terjadi pada trauma abdomen. Kematian yang cepat sering akibat perdarahan yang
tidak terkontrol dari organ yang padat atau vaskularisasi, oleh karena itu stabilisasi segera,
diagnosis dan intervensi operatiI bisa membantu.
1
II ISI
2.1 Anatomni Abdomen
bdomen depan
Walaupun abdomen sebagian dibatasi oleh toraks bagian bawah, deIinisi abdomen
depan adalah bidang yang dibatasi dibagian superior oleh garis intermammaria, di inIerior
dibatasi oleh kedua ligament inguinale dan simIisis pubis serta di lateral oleh kedua linea
aksilaris anterior.
Pinggang
Ini merupakan daerah yang berada diantara linea axilaris anterior dan linea axilaris
posterior, dari sela iga ke-6 di atas, ke bawah sampai crista iliaka. Di lokasi ini adanya
dinding otot abdomen yang tebal, berlainan dengan dinding otot pelindung terutama terhadap
luka tusuk.
Punggung
Daerah ini berada dibelakang dari linea axilaris posterior, dari ujung bawah scapula
sampai crista iliaka. Seperti halnya daerah 1lank, disini otot punggung dan otot paraspinal
menjadi pelindung terhadap trauma tajam
natomi dalam dari abdomen
da tiga region yang berlainan disini yaitu rongga peritoneal, rongga peritoneal dan
rongga pelvis. Rongga pelvis mengadung bagian-bagian dari rongga peritoneal maupun
retroperitoneal.
Rongga peritoneal
Rongga peritoneal menjadi 2 bagian, yaitu atas dan bawah. Rongga peritoneal atas
dilindungi oleh bagian bawah dari dinding thoraks yang mencakup diaIragma, hepar, lien,
gaster, dan kolon transversum. agian ini juga disebut komponen thoracoabdominal dari
abdomen. Pada saat diaIragma naik sampai sela iga ke IV pada waktu ekspirasi penuh, setiap
terjadi Iraktur iga maupun luka tusuk tembus di bawah garis intermammaria bias mencederai
organ dalam abdomen. Rongga peritoneal bawah berisikan usus halus, bagian colon
ascendens dan colon descendens, colon sigmoid, dan pada wanita, organ reproduksi internal.
Rongga pelvis
Rongga pelvis, yang dilindungi oleh tulang- tulang pelvis, sebenarnya merupakan bagian
bawah dari rongga intraperitoneal, sekaligus bagian bawah dari rongga retroperitoneal.
Terdapat didalamnya rectum, vesika urinaria, pembuluh-pembuluh iliaka, dan pada wanita
organ reproduksi internal. Sebagaimana halnya bagian thoracoabdominal, pemeriksaan
organ-organ pelvis terhalang oleh bagian-bagian tulang diatasnya.
Rongga Retroperitoneal
Rongga yang potensial ini adalah rongga yang berada dibelakang dinding peritoneum
yang melapisi abdomen, dan didalamnya terdapat aorta abdominalis, vena cava superior,
sebagian besar dari duodenum, pancreas, ginjal dan ureter serta sebagian posterior dari colon
ascendens dan colon descendens, dan juga bagian rongga pelvis yang retroperitoneal. Cedera
pada organ retroperitoneal sulit dikenali karena daerah ini jauh dari jangkauan pemeriksaan
Iisik yang biasa, dan juga cedera disini pada awalnya tidak akan memperilihatkan tanda
maupun gejala peritonitis. Disamping itu, rongga ini tidak termasuk dalam bagian yang
diperiksa sampelnya pada /iagnostic peritoneal lavage DPL).
2.2 Mekanisme Trauma
2.2.1 Trauma Tumpul
Suatu pukulan langsung, misalnya terbentur pinggiran stir ataupun bagian depan
mobil yang melesak kedalam karena tabrakan, bisa menyebabkan trauma kompresi ataupun
crush infury terhadap organ visera. Kekuatan seperti ini dapat merusak organ padat maupun
organ berongga, dan bisa mengakibatkan ruptur terutama organ-organ distensi misalnya
uterus ibu yang hamil), dan mengakibatkan perdarahan maupun peritonitis. Trauma tarikan
(shearing infury) terhadap organ visera sebenarnya adalah crush infury yang terjadi bila suatu
alat pengaman misalnya seat belt jenis lap-belt ataupun komponen pengaman bahu) tidak
digunakan dengan benar.
Kebanyakan trauma tumpul abdomen, yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh, atau langsung mengenai abdomen, terjadi cedera akselerasi-deselerasi.
Ketika tubuh tiba-tiba terakselerasi atau halte/, organ intra abdomen, yang terisi cairan atau
tethere/, dapat mengalami shearing atau avulsi. eberapa cedera dapat menyebabkan tearing
dari usus dan perdarahan, sama seperti Iraktur pada limpa dan avulsi pada ginjal.
2
Pasien yang cedera pada suatu tabrakan motor bisa mengalami trauma /ecelerasi
dimana terjadi pergerakan yang tidak sama antara suatu bagian yang terIiksir dan bagian yang
bergerak, seperti suatu rupture lien ataupun rupture hepar organ yang bergerak) dibagian
ligamenya organ yang terIiksir). Pemakaian air bag tidak mencegah orang mengalami
trauma abdomen. Pada pasien-pasien yang mengalami laparatomi karena trauma tumpul,
organ yang paling sering kena adalah lin40-55), hepar 5-45) dan usus halus 5-10).
Sebagai tambahan, 15 nya mengalami hematoma retroperitoneal.
2.2.2. Trauma Tajam
Luka tusuk ataupun luka tembak kecepatan rendah) akan mengakibatkan kerusakan
jaringan karena laserasi ataupun terpotong, luka tembak dengan kecepatan tinggi akan
menyebabkan transIer energy kinetic yang lebih besar terhadap organ viscera, dengan adanya
eIek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi Iragmen yang
mengakibatkan kerusakan lainnya.
Luka tusuk tersering mengenai hepar 40), usus halus 0), diaIragma 20) dan
colon 15). Luka tembak mengakibatkan kerusakan yang lebih besar, yang ditentukan oleh
jauhnya perjalanan peluru, dan berapa besar energi kinetiknya maupun kemungkinan
pantulan peluru oleh organ tulang, maupun eIek pecahan tulangnya. Luka tembak paling
sering mengenai usus halus 50), colon 40), hepar 0), dan pembuluh darah
abdominal 25).
Teori-teori tradisional mengharuskan seluruh kasus luka tembak dengan kecurigaan
trauma intra-abdominal, memerlukan tindakan laparotomi eksplorasi. eberapa penulis telah
mendeskripsikan pendekatan yang lebih tidak agresiI untuk beberapa kasus pasien dengan
trauma tajam abdomen, termasuk luka tembak kecepatan rendah. Penatalaksanaan non-
operatiI pada pasien dengan luka tembak dengan penetrasi peritoneum masih bersiIat
kontroversial. Pasien yang menunjukkan tanda hipotensi walaupun telah mendapat resusitasi
cairan kristaloid membutuhkan laparotomi eksplorasi segera, antibiotika, dan booster tetanus.
agi pasien dengan hemodinamik stabil, setelah invasi intraperitoneal sudah dipastikan tidak
terjadi, penatalaksanaan konservatiI terhadap luka superIisial abdomen dapat dilaksanakan.
Untuk semua kasus luka tembak abdomen, segera minta bantuan konsultasi bagian bedah.
eberapa institusi telah membuat kebijakan akan dilakukannya laparotomi untuk luka
tembak abdominal berdasarkan tingginya insidensi trauma organ pada kasus luka tembak.
Satu-satunya pengecualian kebijakan ini adalah pada pasien stabil dengan jalur peluru yang
tidak jelas, keraguan akan penetrasi peritoneal, atau luka pada regio torakoabdominal
sehingga penilaian selanjutnya diperlukan untuk mengetahui apakan trauma tersebut hanya
murni thorax. Pada kasus ini, laparoskopi sebaiknya dilakukan pada pasien yang telah
dipersiapkan untuk laparotomi dengan pengalaman dalam menilai luka tembak.
Pasien dengan luka tusuk membutuhkan resusitasi, booster tetanus, dan antibiotika
jika terjadi kecurigaan terlibatnya intraperitoneal. Seorang ahli bedah sebaiknya melakukan
seluruh prosedur ini untuk semua luka terutama luka superIisial dengan staI dan pencahayaan
yang adekuat. DPL, CT-scan, dan laparoskopi dapat digunakan. ila keterlibatan peritoneal
telah dipastikan tidak terjadi, pasien dapat dipulangkan dengan instruksi luka lokal. ila
peritoneum telah terlibat, berdasarkan teori tradisional, harus membutuhkan laparotomi
eksplorasi. eberapa ahli bedah mulai meneliti beberapa pasien tanpa tanda pasti trauma
intraperitoneal pada pemeriksaan Iisik atau identiIikasi dengan menggunakan radiologi, dapat
diberikan penatalaksanaan yang hampir sama seperti pada luka tembak kecepatan rendah.
Pada kasus penetrasi peritoneal, laparatomi merupakan suatu keharusan, maka dari itu
pada kasus penetrasi peritoneal harus dilakukan laparoskopi atau eksplorasi luka pada ruang
operasi.
2.3Penilaian
2..1 Penilaian awal
Prioritas pertama adalah penilaian airway. Proteksi vertebra servikal dengan in-line
immobili:ation. Jika intubasi diindikasikan, lakukan intubasi nasotrakeal atau endotrakeal.
Jika intubasi gagal, lakukan krikotiroidetomi. Setelah airway lancar, ventilasi adekuat dinilai
dengan auskultasi kedua paru. Pasien yang apnoe atau hipoventilasi membutuhkan dukungan
pernapasan, seperti dilakukan pada pasien takipnea. Sediakan oksigen dengan Iraksi tinggi.
Resusitasi volume yang eIektiI dilakukan dengan mengontrol perdarahan eksternal dan inIus
kristaloid hangat melalui 2 jalur IV besar. Gunakan jalur sentral seperti Iemoral jika jalur
periIer tidak dapat diperoleh. Hemodinamik yang tidak stabil walaupun dengan pemberian 2
L cairan pada orang dewasa menandakan kehilangan darah yang berlanjut dan indikasi untuk
tranIusi darah. Primary survey dilengkapi dengan penilaian neurologis singkat menggunakan
Glasgow Coma Scale. Pasien dibuka pakaian dan diselimuti dengan kain bersih, kering dan
hangat.
5
Setelah primary survey dan resusitasi awal selesai dilakukan, lakukan secondary
survey, dengan melakukan pemeriksaan Iisik. Lakukan pemeriksaan Iisik, ketahui mekanisme
trauma Mayoritas pasien dengan trauma tumpul abdomen datang tanpa tanda klinis trauma
abdomen kecuali nyeri dan kemungkinan adanya ekimosis dinding abdomen. Penanganan
terutama bergantung pada kestabilan pasien dan temuan pada prosedur diagnostik. Pada
kelompok yang stabil, beberapa keadaan membutuhkan perhatian khusus. Pasien yang
kelihatan stabil, tetapi mempunyai potensi untuk mendapatkan luka yang serius wajib
menmbutuhkan observasi ketat, karena penurunan klinis yang terlambat dapat terjadi.
Mereka yang jatuh lebih dari 10 kaki, terlempar dari kendaraan, terlibat pada kecelakaan
kendaraan lebih dari 45 mil/jam, atau kecelakaan sepeda motor dipertimbangkan sebagai
trauma energi tinggi. Tanda samar seperti Iraktur pada kosta I, ekimosis dinding perut akibat
sabuk pengaman seat belt sign), atau Iraktur tulang panjang atau pelvis juga menunjukkan
trauma energi tinggi dan membutuhkan observasi ketat. Fraktur kosta bawah seharusnya
menduga kemungkinan luka pada organ padat abdomen.
5
Dalam memeriksa abdomen, dokter harus menjawab dua pertanyaan: a) apakah
terdapat cedera intra abdomen dan b) apakah cedera tersebut memerlukan tidakan operasi?.
Pemeriksaan klinis dapat menentukan apakah perlu untuk melakukan eksplorasi emergensi
pada trauma abdomen dengan tanda-tanda yang dijumpai berikut: a) peritonitis dan b)
ketidakstabilan hemodinamik. ila kedua tanda tersebut tidak dijumpai, berarti ada waktu
lebih untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
4
2..2 Pemeriksaan klinis
Walaupun teknologi sudah maju, di mana tidak diragukan lagi kemampuannya dalam
mengevaluasi abdomen, pemeriksaan klinis masih pemeriksaan yang paling penting.
Stabilitas hemodinamik adalah sebuah masa yang sering digunakan namun masih belum
dipahami secara lebih jelas. Pada tahap awal, status hemodinamik diperiksa, seperti tekanan
darah, denyut jantung, dan monitor keluaran urin, penghitungan kadar hemoglobin, dan
evaluasi kulit dan waktu pengisian kapiler. Walaupun inIormasi-inIormasi tersebut sangat
penting, harus diingat bahwa penggunaan inIormasi itu terbatas dalam penilaian status
hemodinamik. Hipotensi dapat terjadi pada cedera spinal kord tanpa adanya kehilangan
darah. Hipertensi dapat terjadi pada kondisi kehilangan darah akibat peningkatan tekanan
intracranial dan reIlex Cushing. Tekanan darah 110 mmHg mungkin normal pada laki-laki
usia 25 tahun, cukup tinggi pada bayi bayi, dan rendah pada wanita 70 tahun yang hipertensi.
Denyut jantung dapat tinggi pada penyebab yang tidak berhubungan dengan perdarahan,
seperti nyeri atau ansietas. Dengan kata lain, denyut jantung normal atau rendah tidak dapat
menyingkirkan perdarahan, terutama pada pasien-pasien dengan cedera spinal kord,
intoksikasi kokain kronik, atau pengobatan beta blocker. Hipotensi paradoksal terjadi pada
29 padien trauma dengan hipotensi. Untuk alasan-alasan ini deskripsi yang lebih tepat dari
status hemodinamik pasien sangat diharapkan. Kateterisasi arteri pulmonal bukanlah hal
yang dapat dikerjakan dengan mudah di lokasi trauma. Sekarang, teknologi non invasive
dapat memonitor curah jantung, volume sekuncup, dan tekanan oksigen perkutan. lat-alat
portabel dapat dihubungkan ke pasien dengan menggunakan tempelan sederhana, seperti lead
EKG, dan memonitor status hemodinamik dan perIusi oksigen ke jaringan walaupun dalam
kondisi post trauma yang sangat awal. Sebagai kesimpulan, instabilitas hemodinamik
merupakan alasan yang tepat untuk melakukan laparatomi sepanjang dokter mengenali
keterbatasan tanda-tanda vital dan elemen tambahan lain dalam pengambilan keputusan untuk
meningkatkan akurasinya.
4
Nyeri tekan abdomen yang diIus merupakan indikasi utama lain dalam melakukan
laparatomi. Penting untuk dibedakan nyeri tekan jaringan lunak permukaan, seperti pada luka
tusuk atau sabuk pengaman, dan nyeri tekan dalam yang disebabkan oleh cedera organ
abdomen yang sesungguhnya. Pasien-pasien yang mengalami trauma bisa jadi tidak dapat
dilakukan evaluasi nyeri pada abdomen dikarenakan keterlibatan cedera kepala, cedera spinal
kord, dan intoksikasi.
4
2.. Pemeriksaan penunjang
da tiga pemeriksaan yang dapat membantu ahli bedah pada pasien dengan trauma
tumpul abdomen, yaitu ultrasonograIi FST-ocuse/ Ab/ominal Sonography 1or Trauma),
CT Scan, dan Diagnostic Peritoneal Lavage DPL). Hanya DPL dan FST yang dilakukan
pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil.
1. FST ocuse/ Ab/ominal Sonography 1or Trauma)
FST dapat dilakukan oleh ahli bedah, dokter unit gawat darurat atau radiologis.
Pemeriksaan ini bukan merupakan pemeriksaan ultrasound abdomen yang rutin dilakukan.
Pemeriksaan ini bermaksud unuk mengidentiIikasi cairan pada empat area berikut:
a. Kantong Morrison hepatorenal) pada abdomen kuadran kanan atas
b. Resesus splenorenal pada abdomen kuadran kiri atas
c. Pelvis
d. Kantong perikardial.
Penting untuk diketahui bahwa pengecualian untuk kantong perikardial, minimal 00
cc cairan dijumpai agar dapat dideteksi dengan FST. Pemeriksaan pericardium rutin
dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan tamponade perikardial. Dijumpainya cairan
bebas pada kavum abdomen pada pasien stabil merupakan indikasi untuk laparatomi urgensi.
Dengan memahami bahwa tidak ada pemeriksaan yang sempurna, pemeriksaan FST
sebaiknya diulangi atau DPL dilakukan pada kondisi pasien hipotensi tanpa sebab yang jelas
dan bila pemeriksaan awal FST negatiI.
4
2. DPL Diagnostic Peritoneal Lavage)
DPL lebih jarang dilakukan dengan tersedianya FST pada pasien yang tidak stabil
dan CT Scan pada pasien stabil. Walau begitu, pemeriksaan ini murah dan cepat, walaupun
sedikit invasiI. Hasil yang dijumpai pada pemeriksaan DPL adalah sebagai berikut:
a. DPL positiI gross artinya dijumpai darah yang diaspirasi dari kateter DPL sejak
dimasukkan.
b. DPL mikroskopis positiI, biasanya merujuk pada eritrosit yang dijumpai ~ 100.000/uL.
Pada pasien-pasien yang tidak stabil dengan DPL gross positiI merupakan indikasi
untuk operasi. Jika hanya positiI secara mikroskopis, sumber kehilangan darah biasanya pada
abdomen, tetapi sumber perdarahan lain contoh pelvis) sebaiknya dipikirkan.
Karena DPL sangat sensitiI terhadap perdarahan dalam jumlah yang kecil, operasi
pada pasien dengan DPL positiI secara mikroskop akan menyebabkan angka laparatomi non-
terapeutik menjadi tinggi. Jika cairan DPL terlihat mengalir melalui kateter urin atau dari
selang toraks, pasien sebaiknya menjalani operasi laparatomi sebagai kecurigaan rupture buli-
buli atau diaIragma. Kasus seperti itu memang jarang, namun tetap harus dipikirkan. Sama
halnya jika isi usus dijumpai pada saat aspirasi pada cairan peritoneal, laparatomi untuk
cedera usus adalah mandatori. Dijumpainya bakteri pada pewarnaan Gram juga memberi
kesan cedera usus, atau lebih sering lagi, masuknya kateter DPL atau jarum) ke dalam usus.
Karena itu, DPL merupakan pemeriksaan yang paling sensitiI untuk cedera usus dan
karena itu, pemeriksaan ini merupakan pilihan pada pasien-pasien di mana kemungkinan
cedera usus cukup tinggi-umumnya pada pasien-pasien dengan tanda sabuk keselamatan.
4
. CT Scan
Pada pasien stabil, CT Scan merupakan pemeriksaan pilihan. Tergantung pada
protokol institusi, CT Scan mungkin menjadi pemeriksaan penunjang awal, atau bisa juga
diikuti dengan FST atau DPL.
Dari CT Scan dapat diidentiIikasi sumber perdarahan baik dari kavum abdomen
maupun retroperitoneal terbatas pada Fast dan DPL). Jika terdapat laserasi hepatik atau
limpa, inIormasi dapat diintegrasikan kepada gambaran klinis dan penilaian dibuat pada
pasien yang akan dicoba untuk penanganan non-operatiI. Perkembangan teknologi CT Scan
telah meningkatkan sensitivitas dan spesiIisitas dari pemeriksaan ini untuk mengidentiIikasi
cedera pada usus, yang biasanya ditunjukkan melaui helaian mesenterium, cairan
mesenterium, penebalan usus dan/atau udara ekstra lumen.
4
erikut ini merupakan alogaritma untuk penilaian terhadap pasien dengan trauma tumpul
abdomen.
Gambar logaritma untuk penilaian terhadap pasien dengan trauma tumpul abdomen.
*Pasien mungkin membutuhkan angioembolisasi pelvis post operatiI.
[
Jika interval waktu
dari cedera sangat singkat, pemeriksaan ulang FST lebih dahulu dilakukan untuk
mengeluarkan pasien dari unit gawat darurat atau dalam satu jam setelah pasien tiba.
4
2.4 Indikasi Laparatomi
Perkembangan pada dua dekade terakhir adalah pengunaan penanganan nonoperatiI
untuk luka organ visera padat, yang dipandu respon klinis dan pencitraan. ukti yang ada
menunjukkan bahwa penanganan nonoperatiI pada anak dan dewasa aman dan hasilnya lebih
baik dibandingkan laparotomi pada kasus tertentu. Kandidat untuk penanganan nonoperatiI
adalah pada pasien tanpa perdarahan aktiI dari luka visera padat tanpa bukti luka organ
berongga atau mesenterik. Jika keputusan dibuat untuk mengobservasi dan melakukan
penanganan nonoperatiI, monitor ketat tanda vital dan lakukan pemeriksaan Iisik berulang.
Peningkatan temperatur dan Irekuensi napas dapat menandakan perIorasi organ berongga
atau pembentukan abses. Nadi dan tekanan darah dapat berubah pada sepsis atau perdarahan
intraabdomen. Pemeriksaan laboratorium tambahan, seperti leukosit, hemoglobin dan
hematokrit dan kadar asam laktat dan deIisit basa dapat menentukan jika tindakan nonoperatiI
gagal.
4
Data yang tidak lengkap di ruangan gawat darurat, pasien yang tidak dapat dievaluasi,
dan cedera multipel dapat menyulitkan pengambilan keputusan untuk melakukan operasi atau
observasi pada pasien. Laparatomi yang terlambat berhubungan dengan morbiditas yang
serius. Dengan adanya FST, peningkatan penggunaan CT Scan, dan aplikasi teknik non
operatiI yang berhasil telah mengubah algoritma penatalaksanaan secara drastis, termasuk
indikasi operasi. Dua tanda utama yang merupakan indikasi absolute untuk dilakukannya
laparatomi pada trauma abdomen adalah peritonitis dan instabilitas hemodinamik. ila
dijumpai salah satu atau kedua tanda tersebut, pasien harus segera dibawa ke ruang operasi
tanpa penundaan. Pasien dengan keterlibatan cedera kepala, cedera spinal kord, intoksikasi
berat, dan cedera lain yang signiIikan yang membutuhkan operasi emergensi juga
dimasukkan dalam kelompok ini. Walaupun kebanyakan pasien ditangani dengan aman
melalui operasi yang rutin dilakukan, beberapa kebijaksanaan diizinkan untuk dilakukan
berdasarkan stabilitas hemodinamik, waktu yang diharapkan sampai pasien dievaluasi secara
lengkap, dan kemampuan untuk melakukan observasi ketat dan pemeriksaan tambahan.
4
2.4 Problem Khusus
2.4.1 Cedera Gaster
Cedera gaster dapat terjadi pada trauma tumpul, namun lebih sering terjadi akibat luka
penetrasi, baik karena luka tembak maupun tusukan pisau. PerIorasi gaster dapat ditangani
dengan cepat dengan cara debrideman dan two-layer closure. Kedua dinding anterior dan
posterior perut harus diperhepatikkan. Terdapatnya cedera diaIragma secara signiIikan
meningkatkan kemungkinan terjadinya empiema post operasi pada dada kiri.
2
mobil di mana abdomen terhempas pada setir kemudi mobil. Pasien mungkin mengeluhkan
nyeri abdomen yang menjalar ke area L-1. Ekimosis dapat ditemukan pada epigastrium.
Tanda-tanda dari iritasi peritoneal bisa tampak dan bisa tidak tampak. Kadar amilase serum
dapat meningkat pada sekitar 70 kasus; oleh karena itu, kadar amylase serum yang normal
tidak dapat menghilangkan adanya kemungkinan cedera pankreas. Saat kemungkinan cedera
pankreas dijumpai, atau saat kadar amylase serum meningkat, CT Scan sebaiknya dilakukan.
Dari CT Scan mungkin terlihat pembengkakan pankreas, mass e11ect, atau yang jarang
dijumpai, Iraktur pankreas pada bagian leher. Cedera duktus pankreatikus terkadang dapat
dijumpai.
2
Gambar Cedera pankreas. CT Scan ini menunjukkan Iraktur tanda panah) pda leher
pankreas yeng terjadi akibat trauma tumpul abdomen. Pankreas dikelilingi oleh cairan.
2
Penatalaksanaan
Indikasi untuk operasi pada trauma tumpul abdomen belum jelas. Pasien dengan
hemodinamik stabil dan tanpa adanya tanda-tanda peritoneal, tetapi terbukti adanya cedera
pankreas berdasarkan CT Scan atau peningkatan kadar amylase serum, dapat diobservasi
dengan pemeriksaan abdomen berulang. Pasien dengan disrupsi pankreas berat,
membutuhkan tindakan operatiI.
2
walaupun cedera dijumpai saat pemeriksaan, keterbatasan spesiIisitas alat ini yaitu satu-
satunya tanda yang dijumpai adalah cairan bebas dalam kavum abdomen. Oleh karena itu, CT
Scan dan MRI dibutuhkan untuk mengidentiIikasi cedera hepatik, walaupun DPL
menunjukkan adanya cedera. CT Scan mungkin menunjukkan adanya Iraktur hepatik atau
cedera parenkim yang luas. CT Scan atau MRI, dapat dilakukan dengan aman bila keadaan
hemodinamik pasien stabil. Pasien dengan DPL positiI dengan hemodinamik tidak stabil
membutuhkan operasi eksplorasi abdomen segera. CT Scan dapat membantu menilai derajat
keparahan cedera hepatik, tetapi, keputusan untuk tindakan operasi tidak tergantung dari hasil
penemuan CT Scan, tetapi tergantung pada stabilitas hemodinamik pasien.
2
Trauma Tumpul Hepatik
lur penanganan TLS dibutuhkan untuk resusitasi. Respon terhadap resusitasi
merupakan kunci apakah operasi dibutuhkan atau tidak.
2
Penanganan non operatiI pada trauma hepatik
Pasien sering dapat ditangani dengan tanpa operasi. Pasien yang membutuhkan
trasIusi darah dan tidak pernah stabil memerlukan tindakan operasi. Kelompok pasien lain
terdiri dari pasien yang diresusitasi hingga keadaan hemodinamik stabil tetapi membutuhkan
pemberian cairan yang banyak dan trasIusi darah yang berkelanjutan untuk mempertahankan
tekanan darah. Keputusan operasi sangat sulit dibuat untuk kelompok tersebut. Masalahnya
adalah apakah melakukan laparatomi eksplorasi atau sebaiknya mengevaluasi trauma
vaskular dengan melakukan angiograIi, di mana juga mungkin untuk dilakukan embolisasi
transkateter untuk mengontrol perdarahan.
2
Tabel berikut akan menjelaskan indikasi untuk penanganan non operatiI pada pasien
trauma tumpul hepatik.
2
Indikasi
1. Stabilitas hemodinamik saat masuk atau setelah resusitasi awal
2. ukti cedera hepatik melalui CT Scan dan sedikit darah bebas di intraperitoneal
. Tidak dijumpai cedera usus atau retroperitoneal berdasarkan CT Scan
4. TransIusi darah 4 unit atau kurang
5. danya perbaikan atau stabilisasi dari cedera hepatik berdasarkan CT Scan evaluasi
jika dibutuhkan
Komplikasi penanganan nonoperatiI
2
1. Hemobilia. Kondisi ini terjadi akibat pembentukan Iistula vaskular intrahepatik dan terlihat
pada 0,2-0, kasus trauma tumpul hepatik. Gejala-gejala meliputi: a) perdarahan saluran
cerna atas, yang bermaniIestasi sebagai melena dan hematemesis; b) jaundice; dan c) nyeri
kolik pada kuadran kanan atas abdomen. CT Scan menunjukkan pseudoaneurisma arteri
intrahepatik dan angiograIi hepatic mengkonIirmasi keaaan ini. Hampir semua pasien dapat
ditangani dengan embolisasi angiograIi.
2. Perdarahan tertunda. Hal ini terjadi pada lebih dari 0 pasein dengan trauma tumpul yang
ditangani secara nonoperatiI. ngiograIi hepatic dapat mengideniIikasi lokasi dari
perdarahan. Untuk mengontrol perdarahan dapat dilakukan embolisasi transkateter.
. bses hepatik dan biloma. Hal ini terjadi kurang dari 0,5 kasus. bses hepatik dan
biloma persisten dapat ditangani dengan baik melalui drainase melalui kateter perkutaneus.
ila abses dijumpai, pemberian antibiotic spectrum luas juga diberikan.
4. Cedera duktus empedu ekstrahepatik. Hal ini merupakan komplikasi yang jarang dijumpai,
mungkin terjadi sebagai akibat dari peningkatan angka keselamatan pasien dengan trauma
hepatik yang serius. Jaundice dan akumulasi cairan subhepatik yang terlihat pada
pemeriksaan ultrasound dapat member kesan diagnosa. KonIirmas deIinitive diagnosa adalah
melalui ERCP.
5. Kista hepatik post trauma. Komplikasi ini jarang dijumpai, menyebabkan nyeri abdomen
kuadran kanan atas, ikterik ringan, peningkatan ukuran abdomen, dan anoreksia. Diagnosis
dibuat berdasarkan ultrasound atau CT Scan. Penanganan dengan drainase perkutaneus dapat
dicoba, tetapi keterbatasan pengalaman terhadap komplikasi ini member kesan bawa operasi
drainase dengan dekortikasi sering dibutuhkan.
Penanganan operatiI pada trauma hepatik
Seluruh pasien dengan trauma tajam dan trauma tumpul yang gagal dengan
penanganan non operatiI membutuhkan penanganan operatiI. Hematom subkapsular akibat
trauma tumpul membutuhkan tindakan operasi jika terdapat ekspansi progresiI yang terlihat
pada CT Scan atau jika perdarahan terus berlangsung yang dibuktikan dengan angiograIi.
2
Prosedur yang dibutuhkan tergantung pada tipe dan luas cedera, tetapi prinsip
operasinya biasanya sama. Prinsipnya meliputi: 1) kontrol perdarahan; 2) pembuangan
jaringan yang mati; ) melakukan drainase adekuat. Cedera diaIragma yang terlibat harus
dilihat dan diperbaiki.
2
Komplikasi penanganan operatiI pada trauma hepatik
2
Komplikasi akibat transfusi darah masif. Pada cedera hari berat, di mana
perdarahan sangat banyak dan transIusi darah masiI diperlukan, hipotermi dan koagulopati
biasanya terjadi. Pencegahan terhadap komplikasi-komplikasi tersebut membutuhkan
penghangatan seluruh cairan dan darah yang diberikan secara intravena. Untuk mencegah
koagulopati dilusional, pemeriksaan terhadap koagulopati termasuk hitung trombosit yang
sebaiknya dilakukan setelah transIusi 8 sampai 10 unit darah; berdasarkan perhitungan
tersebut, 1resh-1ro:en plasma FFP) dan/atau trombosit sebaiknya diberikan jika diperlukan.
Komplikasi akibat reseksi hepatik. ila cukup banyak bagian hepatik yang
direseksi, komplikasi yang akan muncul adalah hipoglikemia, koagulopati,
hiperbilirubinemia, dan hipoalbuminemia. Hipoglikemia terjadi karena berkurangnya
glikogenolisis dan dapat dicegah dengan pemberian glukosa 10 dalam air. Koagulopati
ditangani dengan pemberian FFP atau Iaktor koagulasi spesiIik. Hiperbilirubinemia biasanya
sementara dan tidak membutuhkan terapi spesiIik. Hipoalbuminemia ditangani dengan
pemberian albumin.
bersamaan dengan cedera kolon kanan, di mana pada kasus ini hemikolektomi merupakan
penanganan yang tepat.
2
2.4.5 Cedera Retroperitoneal
Pada trauma tumpul, kebijakan untuk melakukan eksplorasi dapat lebih selektiI,
tergantung lokasi dari hematom.
2
1. Lokasi abdomen sentral ona I) meliputi pembuluh darah utama abdomen dan kompleks
duodeno-pankreatik) selalu memerlukan eksplorasi.
2. Hematoma lateral ona II) meliputi ginjal dan bagian kolon yang berada di
retroperitoneal) dapat ditinggalkan, kecuali ukurannya besar, berpulsasi atau meluas.
. Trauma tumpul pelvik ona III) sebaiknya tidak dieksplorasi.
Penanganan Hematom Pelvis
Fraktur pelvis adalah luka trauma yang umum terjadi. Walaupun banyak Iraktur pelvis
relative minor dan tidak membutuhkan penanganan spesiIik, gangguan cincin pelvis
menngakibatkan tekanan yang menghasilkan perdarahan yang mengancam nyawa. Faktanya,
penyebab utama kematian adalah perdarahan. Fraktur pelvis dapar terjadi akibat: 1)
kompresi P, menghasilkan open book type 2) kompresi lateral dan ) vertikal,
menghasilkan Iraktur Malgaigne yang khas setelah jatuh dari ketinggian dan mekanisme lain
yang memproduksi tekanan vertikalpada aspek anterior dan posterior cincin pelvis.
7
Mekanisme Iraktur pelvis a) kompresi P, menghasilkan open book type b) kompresi
lateral dan c) vertikal, menghasilkan Iraktur Malgaigne.
8
Tujuan evaluasi dan penanganan pasien dengan Irakur pelvis adalah untuk
menstabilkan tulang pelvis, menilai perdarahan intra abdomen atau trauma berhubungan
lainnya yang membutuhkan operasi segera, kontrol perdarahan, dan menyediakan resusitasi
yang cukup. Pelvis yang tidak stabil, sebagai contoh Iraktur tipe open book yang besar,
sebaiknya stabilisasi diawali dengan pelvic bin/er untuk menurunkan peningkatan volume
pelvis dan perdarahan pelvis. Stabilisasi lebih lanjut dengan Iiksator eksternal juga
merupakan cara lebih baik. Pasien hipotensi yang melakukan pemeriksaan FST, terutama
untuk mencari cairan pada abdomen atas sekitar limpa dan hati, dimana temuan yang
menunjukan luka viseral membutuhkan operasi segera.
8
Jika perdarahan dari luar pelvis telah disingkirkan dan pasien tetap hipotensi,
arteriogram segera dengan embolisasi angiograIi dapat menyelamatkan nyawa. Penanganan
perdarahan pelvis paling baik dilakukan dengan cara ini dibandingkan operasi, kecuali
robekan perineal, rektal atau vaginal juga terjadi. Setelah stabil, CT scan dilakukan untuk
menyingkirkan cedera lainnya, termasuk cedera usus atau saluran kemih.
8
Dengan pengecualian Iraktur tertutup pada iliaka, Iraktur yang melibatkan pelvis atau
tanda obturator dan atau sacrum memiliki kemungkinan perdarahan yang signiIikan yang
potensial menuju syok dan kematian. Perdarahan berasal dari vena pelvis yang disrupsi,
cabang dari arteri iliaka biasanya internal) dan substansi spongiosa tulang. Untuk alasan ini,
seluruh pasien, Seluruh pasien dengan mekanisme cedera yang signiIikan sebaiknya
menjalani pemeriksaan radiograIi pelvis anteroposterior sebagai evaluasi awal. Sebagai
tambahan, kompresi sederhana pelvis lateral atau anteroposterior mungkin menunjukkan
ketidakstabilan cincin pelvis.
8
Dengan derajat ketidakstabilan pelvis tersebut, terutama bila terdapat hemoglobiln
yang menurun atau ketidakstabilan hemodinamik, kita membungkus iliaka dengan bebat dan
menekannya dengan kuat, cukup eIektiI untuk mengurangi volume pelvis, dan meningkatkan
potensiasi untuk tamponade oleh pelvis retroperitoneal.
8
Dengan keadaan pelvis dibungkus tersebut, penilaian cepat harus segera dibuat pada
lokasi perdarahan. ila daerah toraks adalah sumber perdarahan maka dilakukan pemeriksaan
Ioto toraks, kemungkinan lain adalah perdarahan dari abdomen. Kondisi perdarahan intra
abdomen adalah kondisi kritis. Suatu laparatomi yang tidak penting pada pasien dengan
hematom pada pelvis dari Iraktur pelvis hanya mengurangi kompresi terhadap hematom dan
menyebabkan perdarahan lebih banyak lagi. Hanya sedikit yang dapat dilakukan secara
operatiI. Untuk mencegah hal tersebut, sebaiknya lakukan DPL suprapubik dengan sangat
cepat. Pemeriksaan ultrasound kurang akurat pada kondisi Iraktur berat pada pelvis.
8
Jika pada pemeriksaan DPL dijumpai positiI gross, pasien segera dikirim ke ruang
operasi untuk mencari sumber perdarahan pada kavum abdomen.
8
Jika pada pemeriksaan DPL tidak dijumpai positiI gross, pilihan selanjutnya adalah
dengan melakukan angiograIi, di mana radiologis melakukan embolisasi pada perdarahan
arteri besar. Pasien ini sebenarnya dalam keadaan kritis dan memerlukan perawat dan dokter
melakukan resusitasi secara aktiI selama proses ini. ngioembolisasi sebaiknya dilakukan
secara selektiI; perdarahan arteri ditemukan pada sekitar 60-80 pasien yang tidak stabil.
Jika pasien dalam keadaan tidak stabil, kemungkinan untuk melakukan angiograIi cukup
kecil. Pada kasus ini, perdarahan diasumsikan datang dari vena pelvis atau tulang yang
disrupsi.
8
Pada keadaan di mana angiograIi tidak tersedia, pilihan lain adalah penggantian
Iiksator eksternal pelvis. kibatnya, penggantian bebat dilakukan selama resusitasi awal.
ebat ini berIungsi untuk mengurangi volume pelvis dan menyatukan Iragmen-Iragmen
tulang. Sebagai hasilnya, perdarahan vena dan substansi spongiosa tulang, tetapi pengaruhnya
terhadap perdarahan arteri hanya sedikit.
8
Fraktur pelvis berat harus diperhatikan; hanya sedikit yang dapat dilakukan oleh ahli
bedah untuk menghentikan perdarahan, tetapi banyak yang dapat dilakukan untuk
menyebabkan perdarahan makin buruk. Jangan mengeksplorasi hematom di ruang operasi,
dan jika laparatomi diperlukan, jangan memperluas insisi ke arah bawah simIisis pubis hal
ini akan menyebabkan hematom pelvis mengalami dekompresi. Pendekatan yang dilakukan
adalah insisi hanya di bawah umbilikus dan lebih kearah kaudal jika memang diperlukan.
8
lgoritma penanganan Iraktur pelvis
Gambar : derajat trauma ginjal
Penatalaksanaan trauma ginjal derajat I III biasa diterapi secara konservatiI.
Trombosis arteri renalis dapat diperbaiki dengan angiograIi. Kerusakan pada vena renalis
membutuhkan operasi segera. Derajat V dilakukan eksplorasi dan biasanya dilakukan
neIrektomi. Pada grade IV dilakukan eksplorasi dan dapat direkonstruksi atau dilakukan
neIrektomi.
9
Leukosit : 0-2
Epitel : 0-1
Casts : -
Kristal : -
Hasil Foto Rontgen Tanggal 12 September 2011
Toraks PA: trakea medial, tidak tampak garis Iraktur. Kesan dalam batas normal.
Servikal : tulang-tulang servikal dalam satu alignment, tidak dijumpai tanda-tanda garis
Iraktur. Kesan dalam batas normal.
Pelvis : tampak Iraktur komunitiI dari os. Ileum di iliac wing, tampak Iraktur dari
sacroiliac joint kiri, tampak Iraktur rami pubic superior inIerior dextra.
Hasil USG Tanggal 12 September 2011
IV KESIMPULN
Pada pasien dengan cedera intrabdomen perlu dilakukan konsultasi segera dengan
ahli bedah. ila Iungsi vital pasien bias diperbaiki maka evaluasi dan penanganan akan
bervariasi sesuai dengan cederanya.
Trauma tumpul
Semua pasien trauma tumpul dengan hemodinamik yang tidak stabil harus segera
dinilai kemungkinan perdarahan intrabdominal maupun kontaminasi GI tract dengan
melakukan DPL, ataupun FST, pasien peritonitis dengan hemodinamik normal bisa dinilai
dengan CT Scan, dengan keputusan operasi didasarkan pada organ yang terkena dan beratnya
trauma.
Trauma Tafam
Semua pasien luka tusuk abdomen dan sekitarnya yang mengalami hipotensi,
peritonitis ataupun eviserasi organ memerlukan laparatomi segera. Semua luka tembak yang
menyebrang rongga peritoneum ataupun bagian retroperitoneum dengan bagian pembuluh
darah harus segera dilaparatomi. Pasien luka tusuk abdomen depan dengan gejala yang
ringan, bila eksplorasi local menunjukkan tembusnya peritoneum, dievaluasi dengan
pemeriksaan Iisik diagnostic berulang ataupun DPL, walaupun laparatomi merupakan opsi
yang dapat dipertanggungjawabkan. Semua pasien luka tusuk dipinggang ataupun punggung
yang asimptomatis dengan luka yang tidak pasti superIicial, sebaiknya di evaluasi dengan
pemeriksaan Iisik serial ataupun CT dengan kontras. Juga disini pilihan laparatomi
merupakan opsi yang dapat diterima. Untuk pasien luka tembak pinggang ataupun punggung
sebaiknya dilakukan laparatomi.
Penanganan
Penanganan trauma tumpul dan tajam pada abdomen antara lain :
1. Mengembalikan Iungsi vital dan optimalisasi oksigenisasi dan perIusi jaringan
2. menentukan mekanisme trauma
. pemeriksaan Iisik yang hati-hati diulang berkala
4. menentukan cara diagnostic yang khusus bila diperluka, dilakukan dengan cepat
5. tetap curiga bila ada cedera vascular maupun retroperitoneal yang tersembunyi
6. segera menentukan bila diperlukan operasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fermann GJ. 200. bdominal Trauma. In: Hamilton GC, Sanders , Strange GR,
Trott T. amilton. Emergency Me/icine. An Approach to Clinical Problem-Solving.
2
nd
ed. Philadelphia: W Saunders.
2. Debas HT. 2004. astrointestinal Surgery Pathophysiology an/ Management. New
York: Springer-Verlag.
. Latichie, M.C., Diaper, D.J. 2005. OxIord Handbook oI Clinical Surgery Second
edition. OxIord University Press.
4. Demetriades D, Velmahos GC.2008. Indications Ior and Techniques oI Laparotomy.
In: Feliciano DV, Mattox KL. Moore EE. Trauma. 6
th
ed. New York: McGraw-Hill.
5. Udeani J. 2011.lunt bdominal Trauma Treatment & Management. Emedicine.
vailable Irom: http://emedicine.medscape.com/article/1980980-treatment#showall.
6. Ferrada R, Rivera D, Ferrada P, 2009. lunt bdominal Trauma. In: land KI,
uchler MW, Csendes , Garden OJ, et al. eneral Surgery. 2
nd
ed. London:
Springer-Verlag.
7. Patel KR, VasleI SN. 2007. Traumatic Injury. In: Jacobs DO. irst Exposure eneral
Surgery. New York: Mc Graw-Hill.
8. Nathens . 2005. lunt bdominal Trauma. In: Scheins Common Sense
Emergency Ab/ominal Surgery. erlin: Springer.
9. Wessels H. 2007. Injuries to the Urogenital Tract. In: Souba WW, Fink MP,
Jurkovich GJ, Kaiser LR, et al. ACS Surgery Principle & Practice. 6
th
ed. WebMD
Inc.