Anda di halaman 1dari 14

MIMBAR, Vol. 31, No.

2 (Desember, 2015): 461-474

Dinamika Peran Sosial Politik Ulama dan Jawara


di Pandeglang Banten

1
ASEP MUSLIM, 2 LALA M. KOLOPAKING,
3
ARYA H. DHARMAWAN, 4 ENDRIATMO SOETARTO
1,2,3,4
Program Studi Sosiologi Pedesaan, Institut Pertanian Bogor (IPB)
email: asep_muslim_sy@yahoo.com

Abstract. The focus on this article is to examine the social and political roles of ulama and
jawara in Pandeglang (Banten). But recently, there is a trend that there is a decrease in
ulama’s political roles in one side, and a highly increase in political roles that are played
by jawara in the other side. Though in the local political constellation jawara dominate
ulama, but in social power aspect ulama is still the most powerful actor and still dominate
jawara. To explore this fact, researcher will analyze it by power relation approaches that
indicate there are a special kind of patron-client relation between ulama and jawara. In
this research, descriptive qualitative is chosen as the research method with a case study as
the research approach. Some of ulama, jawara, the elders, santri and the common people
(the grassroots) are chosen as the informant by the key person technique. Research found
a traditional Bantenese patron-client relation between ulama and jawara that influence
the construction of their power relation and the local social and political constellation.
Keywords: ulama, jawara, social and political roles, social and political constellation,
power relation

Abstrak. Fokus dalam tulisan ini adalah mengkaji peran sosial-politik ulama dan jawara di
Pandeglang (Banten). Saat ini, terdapat kecenderungan adanya penurunan dalam peran
politik ulama di satu sisi, dan peningkatan yang sangat tinggi dalam peran politik yang
dimainkan jawara di sisi lain. Meskipun dalam konstelasi politik lokal jawara mendominasi
ulama, tetapi dari sisi aspek kekuasaan sosial ulama masih merupakan aktor yang paling
berkuasa dan masih mendominasi jawara. Untuk mengeksplorasi fakta ini, peneliti akan
menganalisisnya melalui pendekatan relasi kekuasaan yang mengindikasikan terdapat
suatu jenis relasi patron-klien khas antara ulama dan jawara. Dalam penelitian ini, deskriptif
kualitatif dipilih sebagai metode penelitian dengan studi kasus sebagai pendekatannya.
Beberapa ulama, jawara, sesepuh (tokoh masyarakat), santri dan masyarakat biasa dipilih
sebagai informannya melalui teknik key person berdasarkan strategi purposive sampling.
Penelitian menemukan suatu relasi patron-klien khas Banten antara ulama dan jawara
yang memengaruhi konstruksi relasi kekuasaannya dan konstelasi sosial politik lokal.
Kata kunci: ulama, jawara, peranan sosial-politik, konstelasi sosial politik, relasi kekuasaan

Pendahuluan memengaruhinya.
Dinamika hubungan ulama dan Fakta ini, misalnya dapat ditelusuri
jawara menjadi sangat menarik untuk dikaji dari beberapa kesimpulan yang diambil dari
karena ternyata perkembangan kebijakan penelitian Hamid (2010) tentang proses
politik menjadi faktor determinan terhadap keterpinggiran peran politik ulama di satu
relasi tersebut, sehingga dalam hal ini sisi dan dominasi kekuasaan jawara pada sisi
tidak hanya faktor sosial-kultural yang lainnya, sedangkan Bandiyah (2010) dalam
memberikan pengaruhnya. Oleh karenanya, penyelitiannya menyebutkan adanya dua
dalam melakukan kajian tentang ulama faktor yang mendukung terhadap eksistensi
dan atau jawara tidak hanya bisa ditinjau jawara dalam politik lokal yaitu faktor daya
dari dimensi sosial-kultural semata, namun upaya aktor dan faktor kesempatan untuk
justru faktor kebijakan politiklah yang banyak
Received: 28 Agustus 2015, Revision: 22 November 2015, Accepted: 18 Desember 2015
Print ISSN: 0215-8175; Online ISSN: 2303-2499. Copyright@2015. Published by Pusat Penerbitan Universitas (P2U) LPPM Unisba
Terakreditasi SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d 18-02-2019

‘Terakreditasi’ SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d 18-02-2019 461


ASEP MUSLIM, DKK. Dinamika Peran Sosial Politik Ulama dan Jawara di Pandeglang Banten

berubah dan Pribadi (2011) dalam kesimpulan sebagai strategi penelitiannya ini, maka
mengemukakan bahwa meskipun jawara terdapat tiga kondisi batasan yang menjadi
menjadi semacam raja kecil di politik lokal penekanannya yaitu menyelidiki fenomena
Banten, namun relasinya dengan ulama masih dimana konteks kehidupan nyata, bilamana;
menandakan kepatuhannya kepada tokoh batas-batas antara fenomena dan konteks
agama tersebut yang berarti ikatan patron- tidak tampak dengan tegas; dan di mana:
klien di antara keduanya masih terjalin. multi sumber bukti dimanfaatkan (Yin, 1996:
18; Bungin, 2010: 20).
Kuat dan lemahnya relasi kekuasaan
ulama dan jawara banyak dikaitkan dengan Dalam penelitian kualitatif ini,
terjadinya pergeseran peran sosial dari signifikansi pengumpulan data bukanlah
kedua tokoh informal ini, sehingga kesan ditekankan kepada pengukurannya, tetapi
pembalikkan peran yang selama ini nampak data yang dapat menjelaskan fenomena
dalam konstelasi politik lokal Banten dimana penelitian. Untuk itu pengambilan data
jawara cenderung lebih mendominasi primer dalam penelitian ini dilakukan melalui
terungkap dalam penelitian Suhaedi (2003) metode utama pengumpulan data yaitu teknik
yang menyimpulkan bahwa, wawancara mendalam (in depth interview)
Adanya kedudukan, peran dan jaringan mem- dan pengamatan terlibat (participatory
buat kiai dan jawara menciptakan kultur observation) yang peneliti anggap paling
tersendiri yang agak berbeda dengan kul- ampuh untuk menjelaskan maksud dari
tur dominan masyarakat Banten, sehingga
kiai dan jawara tidak hanya menggambar- tujuan penelitian. Sementara, data sekunder
kan suatu sosok tetapi juga telah menja- diperoleh melalui teknik studi literatur.
di kelompok yang memiliki nilai, norma dan Sebagai data utama dalam penelitian ini
pandangan hidup yang khas, inilah yang
disebut dengan sub kultur kiai dan jawara. adalah data primer tersebut, adapun data-
data sekunder digunakan sebagai data yang
Selain beberapa penelitian tersebut, sifatnya melengkapi dan mengkonfirmasi
hasil penelitian Karomani (2005) menyatakan data primer.
bahwa,
Adapun teknik pengambilan informan
persepsi (positif maupun negatif) ula- dilakukan secara purposive melalui teknik
ma terhadap jawara dipengaruhi oleh fak-
tor kedekatan, kesamaan kepercayaan, key person yaitu para informan dengan
nilai, pandangan dunia, pemahaman ag- karakter spesifik yang dianggap menguasai
ama, dan prasangka, serta pengala- permasalahan, terutama informan kunci
man hidup ulama dengan sosok jawara.
ulama dan jawara. Informan penelitian yang
Meskipun penampilan jawara secara diambil mewakili unsur tokoh ulama, tokoh
politik relatif mendominasi, ternyata tidak jawara, santri, tokoh masyarakat desa dan
mengubah kekuasaan sosial ulama yang masyarakat biasa (akar rumput).
lebih powerful dibandingkan dengan jawara Kerangka Teoretis
sebagaimana temuan penelitian Pribadi (2011),
faktor ini terjadi karena masih terjalinnya Pada prinsipnya, konsep kekuasaan
relasi patron-klien diantara keduanya. Hal ini mendorong berlangsungnya proses zero-
mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan sum yang dapat dianalogikan bahwa satu
kondisi antara peran sosial-politik keduanya pihak akan memperoleh keuntungan dan
dengan struktur kekuasaan yang ada. Inilah pihak lain akan menanggung kerugian.
pertautan kondisi yang sangat unik antara Karena pendekatan zero-sum inilah yang
dua kekuatan penguasa religi dan aktor menyebabkan kekuasaan tidak terelakkan
tradisi sebagai karakter dasar dari masyarakat dari situasi konfliktual dengan logika
pedesaan Banten dan Pandeglang khususnya. pemikirannya adalah bahwa satu sama lain
Dengan memahami latar belakang ini, tujuan dari kelas yang berhadap-hadapan akan
penelitian dilakukan untuk menganalisis berupaya memertahankan atau meraih
peran-peran sosial politik ulama dan jawara kekuasaannya. Dengan demikian, sebenarnya
yang dipengaruhi oleh relasi kekuasaan relasi kekuasaan cukup tepat untuk dikaji dari
keduanya.. pendekatan Marxian yang memandang bahwa
dalam relasi kekuasaan selalu ada kelas
Artikel ini menggunakan metode yang dominan (superordinat) dan kelas yang
kualitatif dengan pendekatan analisis dekriptif. tersubordinasi, dan oleh karenanya sangat
Untuk memaknai secara mendalam peran memungkinkan adanya gerakan perlawanan
sosial-politik ulama dan jawara, maka studi sebagai tipikal Marxian.
kasus dipilih sebagai metode penelitiannya.
Sementara itu, untuk memahami studi kasus Dalam memahami relasi kekuasaan

462 ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499


MIMBAR, Vol. 31, No. 2 (Desember, 2015): 461-474

Marxian ini dapat ditelusuri dari empat pijakan antara pelindung (patron) dan klien sebagai
pendekatannya (Jessop, 2006:7), yaitu: suatu bentuk asuransi sosial yang terdapat
pertama, relasi kekuasaan sebagai manifes- dimana-mana di kalangan petani Asia
tasi dari mode atau konfigurasi khusus dari Tenggara yang dalam hal lainnya berkaitan
dominasi kelas daripada sebagai fenomena dengan jarak sosial dan seringkali moral,
hubungan interpersonal murni. Kedua, relasi
kekuasaan sangat memerhatikan hubungan teristimewa apabila sang pelindung bukan
antara ekonomi, politik dan dominasi ideologi warga desa. Apakah ia seorang tuan tanah,
kelas. Ketiga, relasi kekuasaan memerhatikan seorang pejabat kecil atau pedagang. Seorang
keterbatasan-keterbatasan yang melekat da-
lam banyak eksekusi kekuasaan yang berakar patron menurut definisinya adalah orang
dalam suatu kelas atau bentuk dominasi kelas berada dalam posisi untuk membantu klien-
lainnya dan mencoba untuk menjelaskan ini kliennya (Scott, 1994: 41).
dalam kontradiksi dan antagonisme struktural.
Keempat, Marxian mengarahkan pada strategi Hubungan patron-klien merupakan kasus
dan taktik untuk mereproduksi, mempertah- khusus hubungan dua orang yang seba-
ankan atau menggulingkan dominasi kelas. gian besar melibatkan hubungan instrumen-
tal, dimana seseorang dengan status sosial
Adanya kelas dominan dalam ekonomi lebih tinggi (patron) menggunakan
pengaruh dan sumber daya untuk member-
pendekatan Marxian ini memunculkan ikan perlindungan dan atau keuntungan ke-
konsep dominasi dengan persetujuan akibat pada seseorang dengan status lebih rendah
dari terlalu kuatnya kelas dominan dan yang pada gilirannya membalas pemberian
dengan dukungan dan bantuan, termasuk
ketidakmampuan kelas subordinat untuk jasa pribadi kepada patron (Scott, 1994: 7).
“melawan” kekuasaan kelas dominan tersebut.
Untuk mengelaborasi kondisi semacam ini, Te o r i p a t r o n - k l i e n S c o t t a d a l a h
Gramsci mengintrodusirnya sebagai kondisi gambaran ketidakberdayaan klien terhadap
hegemonik. kuasa patronase sehingga hubungan tersebut
menjadi “langgeng” karena ketidakmampuan
Kondisi hegemoni masih sangat relevan klien untuk mengubah kondisi yang ada
dalam analisis politik lokal terutama pasca yang kemudian justru membentuk hubungan
era otonomi daerah lahir. Banyak kelompok moral.
mencoba tampil dalam arena politik lokal
dimana pada skenario akhirnya terbentuklah Dalam kaitannya dengan hubungan
pola hegemoni baru dalam konstelasi politik antara patron-klien dan teori pertukaran,
di tingkat lokal. berdasarkan paparan di atas, terdapat satu hal
penting yang dapat digarisbawahi, yaitu bahwa
Hal yang sama terjadi dalam arena pada prinsipnya dalam pola hubungan patron-
politik Banten yang melahirkan dinasti politik klien terdapat unsur pertukaran. Hubungan
jawara – istilah yang sering disitir oleh banyak pertukaran sangat nyata berlangsung antara
kalangan, awam maupun para ahli analis patron yang memberikan perlindungan dan
politik. Fakta ini tidak terbantahkan sebagai klien yang memberikan dukungan, sehingga
realitas konkret konstelasi politik lokal Banten dapat disimpulkan bahwa pola hubungan
di masa kini, dimana jawara mendominasi patron-klien dapat dimasukkan ke dalam
hampir seluruh sektor politik lokal. Dalam hubungan pertukaran yang lebih luas, yaitu
bagian lain, meskipun secara kelembagaan teori pertukaran.
negara (baca: pemerintahan daerah) ulama
terhegemoni oleh kekuatan jawara, tetapi Scott memang tidak secara langsung
pengaruh sosialnya sebenarnya masih jauh memasukkan hubungan patron-klien ke
lebih mendominasi dibandingkan dengan dalam teori pertukaran. Namun demikian,
jawara. Sementara itu, relasi personal yang jika memperhatikan uraian-uraian teorinya,
terbentuk diantara kedua kelompok tersebut maka akan terlihat di dalamnya unsur
relatif masih berlangsung secara patron- pertukaran yang merupakan bagian terpenting
klien yang menempatkan posisi ulama lebih dari pola hubungan patronase. Menurut
superior dibandingkan dengan jawara, lihat Scott, hubungan patron-klien berawal dari
dalam Pribadi (2011). adanya pemberian barang atau jasa dalam
berbagai bentuk yang sangat berguna atau
Oleh karena itu, selain gambaran relasi diperlukan oleh salah satu pihak, bagi pihak
kekuasaan yang bersifat hegemonik, hubungan yang menerima barang atau jasa tersebut
perikatan berbasis patrimonial juga sangat berkewajiban untuk membalas pemberian
kental dalam sistem sosial Banten. Inilah tersebut (Scott, 1992: 91).
yang menjadikan alasan untuk menjelaskan
relasi kekuasaan ulama dan jawara dalam Berdasarkan penjelasan di atas, dapat
kerangka teori patron-klien Scott. Teori ditarik pertautan antara hubungan patron-
patron-klien Scott menggambarkan ikatan klien dengan teori pertukaran, meskipun

‘Terakreditasi’ SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d 18-02-2019 463


ASEP MUSLIM, DKK. Dinamika Peran Sosial Politik Ulama dan Jawara di Pandeglang Banten

pertukaran yang berlangsung antara patron memercayai bahwa kiai memiliki kemampuan
dan klien terjadi dalam pola yang tidak magis seperti tahan senjata tajam, tahan
seimbang (ketergantungan klien terhadap senjata api, memiliki kemampuan menolak
patron), sehingga sangatlah tepat untuk teluh (tenung), dan kemampuan-kemampuan
mempersandingkan hubungan patron-klien supranatural lainnya. Oleh karenanya tidak
ini dalam teori pertukaran ketergantungan sedikit orang yang mencari pertolongan
(exchange dependency theory). kepada kiai dalam urusan-urusan supra
natural.
Dengan memaknai bahwa relasi patron-
klien sebagai bentuk pertukaran yang tidak Kemampuan para kiai ini diyakini
seimbang, fenomena ini menurut peneliti masyarakat sebagai bagian dari hasil wiridan
dapat pula ditemukan dalam hubungan yang dilakukannya, ia diberikan sejumlah
antara ulama sebagai patron dan jawara kemampuan supra natural dalam bentuk
sebagai klien dengan pemikiran dasar bahwa hizib. Hizib adalah beberapa amalan atau
masing-masing mengambil keuntungan dari wiridan mengagungkan kuasa Ilahi yang
hubungan yang terjadi diantara keduanya. sering dilakukan oleh para kiai, jawara
ataupun santri untuk memperoleh kekuatan-
Ulama dan Jawara dalam Konsep
kekuatan supra natural tertentu semisal hizib
Masyarakat Pandeglang Bagdad Jaelani, Asror, Rifai, Khoufi, Barqi,
Sebagai sebuah konstruksi sosial, Nasor dan Isim Tunggal. Setiap hizib juga
konsep ulama dan jawara tentunya berbeda mengandung tingkatan-tingkatan tertentu
untuk masing-masing masyarakatnya, tergantung rangkaian tarekat yang sudah
termasuk di Banten. Konsep ulama dan jawara dijalankan. Semakin tinggi tingkatan hizib,
bagi masyarakat Pandeglang terjadi karena maka semakin berat tantangan yang dihadapi
pengaruh kultur agraris-tradisional yang untuk lulus dalam tingkatan tersebut). Cara
mewarnai kehidupan mayoritas masyarakat memperoleh kemampuan melalui hizib inilah
Pandeglang memberikan pemaknaan dan yang pada akhirnya memilah dua tipikal kiai
nilai-nilai penghargaan terhadap ulama sebagai kiai kitab atau dalam bahasa lokal
dan jawara yang lebih tinggi, terutama disebut sebagai kiai bale rombeng dan kiai
jika dibandingkan dengan wilayah utara hikmah. Kiai hikmah-lah yang dalam hal ini
Banten. Ciri tradisional-agraris masyarakat memfokuskan diri melakukan tarekat tertentu
Pandeglang ini berkontribusi besar terhadap untuk memperoleh kemampuan supra
terpeliharanya nilai-nilai kearifan lokal natural tersebut, sementara kiai kitab lebih
dibandingkan dengan wilayah-wilayah Banten memfokuskan diri pada orientasi dakwah saja.
lainnya yang lebih modernis dan metropolis
K e d u a , j a w a ra j u g a m e m a h a m i
yang sandaran kehidupannya berpijak kepada
keilmuan keagamaan karena pernah menjadi
nilai-nilai utilitarian. Untuk itulah pemahaman
murid kiai. Sebagai seorang mantan santri,
ulama bagi masyarakat Pandeglang memiliki
jawara setidaknya dibekali ajaran-ajaran
makna yang jauh lebih mendalam daripada
ke-islaman yang memagari kehidupannya.
sekadar sekelompok orang yang dianggap
Untuk menurunkan sejumlah kemampuan,
memiliki wawasan keilmuan ajaran Islam
kiai memedomani jawara dengan serangkaian
saja.
pertalekan (wawancara dengan Halil).
Latar historis hubungan ulama Pertalekan ini semacam perjanjian untuk
dan jawara dapat dijadikan dasar untuk tidak melakukan tujuh Mim (huruf Hijaiyah
memahami lebih jauh tentang konsep ulama yang identik dengan M dalam huruf Latin)
dan jawara bagi masyarakat Pandeglang. yaitu maling (mencuri), maen (judi),
Dalam hubungan tersebut sebagaimana madon (main perempuan), madat (candu),
dijelaskan oleh Tihami (1992: 99-100), mangani (memakan barang haram), mateni
Jawara adalah murid atau santri-nya kiai, dan (membunuh), dan minum (mabok-mabokan)
jawara dibentuk oleh kiai dalam rangka men- yang jika dilanggar maka dua risiko yang
gawal gerakan perjuangan kebangsaan seh- harus ditanggung oleh jawara yaitu pertama
ingga nilai-nilai patriotisme sangat melekat
dalam tubuh seorang jawara pada masa itu. ilmunya akan hilang dan kedua kemungkinan
keilmuannya akan menjadi bumerang bagi
Dari hubungan tersebut dapat diambil dirinya sendiri yaitu bisa menjadi gila atau
makna pertama: pada dasarnya kyai pastinya kematian; istilah lokalnya adalah “teu
menguasai keilmuan kajawaraan, karena kataekan” (tidak lulus sebagai murid) (hasil
kemampuan supra natural yang dipunyai wawancara dengan Halil).
oleh jawara berasal dari pemberian ulama.
Dalam hal inilah masyarakat Pandeglang Dalam pengamatan peneliti, pada

464 ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499


MIMBAR, Vol. 31, No. 2 (Desember, 2015): 461-474

masa lalu seorang tokoh jawara atau guru (golongan elmu hideung), sehingga untuk
perguruan silat biasanya juga menjadi guru mengantisipasi gerakan perlawanannya
ngaji dengan murid yang cukup banyak. dibentuklah jawara sebagai tameng kekuasaan
Dalam hal ini, jawara tersebut dipercaya elmu putih.
sebagai seseorang yang memiliki kemampuan
Konstruksi konsep jawara di masyarakat
keagamaan. Dalam rangkaian pengajarannya
Pandeglang menurut peneliti dipengaruhi
tersebut, jawara menyertakan pula pemberian
pula oleh posisi wilayah Pandeglang yang
materi-materi ilmu bela diri yang biasanya
berbatasan dengan wilayah Lebak. Kebijakan
dilakukan setiap malam Jum’at untuk
pihak kesultanan Banten pada masa lalu
pengisian materi kebathinan dan malam
menjadikan Pandeglang sebagai tameng
Minggu untuk pembelajaran praktek jurus-
pertama terhadap pengaruh anak buah Pucuk
jurus silat (ulinan).
Umun (masyarakat Baduy) yang melarikan
Ketiga, terkait hubungan jawara sebagai diri ke wilayah Lebak, sehingga berdasarkan
murid dan kiai sebagai guru, maka kedudukan kewilayahannya tersebut dijadikanlah
kiai dalam hal ini lebih superior dibandingkan Pandeglang sebagai benteng kesultanan
dengan jawara. Bagaimanapun hubungan guru Banten untuk menangkal pengaruh tersebut,
dan murid bagi masyarakat Pandeglang dapat sehingga aktivitas ke-islam-an dengan
dipandang sebagai hubungan patron-klien. adanya pesantren-pesantren dan masjid-
Hal ini dapat menggambarkan ketundukan masjid yang ada di Pandeglang jauh lebih
jawara terhadap kiai. Pola relasi kekuasaan semarak dibandingkan dengan kegiatan ke-
ini kemudian akan memengaruhi hubungan Islaman di Lebak pada saat itu.
keduanya pada kehidupan sosial-politik lokal
(hasil pengamatan penelitian). Ulama dalam Derajat Keilmuannya
Berdasarkan uraian di atas dapat Tingkatan ulama yang dikenal
ditarik suatu kesimpulan bahwa terdapat masyarakat Pandeglang terdiri dari wali,
keterkaitan yang sangat erat antara agama abuya, kiai dan ustadz, pada prinsipnya
dan kajawaraan. Menurut Halil, “moal bisa dikonsepsikan berdasarkan derajat
asup mun teu bisa syahadat jeung teu bisa keilmuannya. Berdasarkan tingkatan ulama
meuncit congcot” yang artinya tidak mungkin ini, jika diurutkan dari yang paling bawah,
bisa masuk – maksudnya ilmunya diserap – dalam kaitannya dengan hubungan guru
jika ia tidak bisa syahadat dan “memotong dan murid maka ustaz pada prinsipnya
tumpeng”. Syahadat adalah pernyataan mendapatkan keilmuan dari kiai, kiai belajar ke
keyakinan kebenaran ajaran Nabi Muhamad abuya dan abuya mendapatkan pengetahuan
dan Islam. Sedangkan meuncit congcot atau dari wali. Meskipun dalam beberapa kondisi
“memotong tumpeng” adalah makna kias dari bisa saja seorang ustadz belajar langsung ke
orang yang mampu ber-tawasyul membaca abuya atau ustadz yang menuntut ilmu dari
silsilah yaitu runtutan do’a yang biasa seorang abuya, karena hak menuntut ilmu
dilakukan oleh masyarakat Islam pedesaan tidak dibedakan atas statusnya.
Banten dan khususnya Pandeglang, sehingga
Dengan menempatkan wali sebagai
seseorang yang akan belajar ilmu kajawaraan
derajat tertinggi dalam herarki ulama di
terlebih dahulu ia harus mampu menghafal
Pandeglang, maka abuya pastinya tunduk
dan merapalkan silsilah do’a tersebut.
dan patuh terlebih kedudukan-kedudukan
Berdasarkan hasil wawancara dengan ulama yang ada di bawahnya yaitu para
tokoh ulama dan santri, ditemukan fakta kiai dan ustad. Sementara itu, untuk
bahwa jawara dibentuk kiai dalam rangka mengategorisasikan konsep wali akan
mengawal gerakan perlawanan terhadap sulit karena dalam pandangan masyarakat
kolonialis Belanda, suatu proses yang Pandeglang wali akan menyembunyikan
sudah diawali sebelumnya sejak masa identitas kewaliannya.
kesultanan Banten. Hal ini dilakukan dalam
Berbeda dengan kiai yang justru
rangka menangkal gerakan perlawanan dari
memiliki peranan yang strategis dalam
golongan elmu hideung. Menurut keyakinan
mengendalikan masyarakat, baik secara sosial
masyarakat Pandeglang yang berkembang
maupun politik. Sementara, abuya seperti
di kalangan pesantren salafiyah bahwa
halnya wali juga cenderung menjaga jarak
pasca ditundukkannya Pucuk Umun yang
dengan urusan-urusan keduniaan, abuya
diyakini masyarakat sebagai pimpinan
hanya “terjun ke arena” jika ia pandang perlu
Baduy sebenarnya masih ada rasa dendam
saja. Dalam suatu waktu pada masa Orde
dari kalangan masyarakat Baduy tersebut
Baru, pemerintahan pada saat itu melakukan

‘Terakreditasi’ SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d 18-02-2019 465


ASEP MUSLIM, DKK. Dinamika Peran Sosial Politik Ulama dan Jawara di Pandeglang Banten

kebijakan untuk menyetop pasokan BBM gungan wali dan abuya dibandingkan dengan
(Bahan Bakar Minyak) ke wilayah Pandeglang kyai dan ustadz adalah dalam pola-pola
karena aspek politik dimana pada saat itu akan dakwah yang dilakukannya wali dan abuya
dilakukan kampanye PPP (Partai Persatuan sebenarnya hanya memberikan materi-materi
Pembangunan). Kebijakan ini mengakibatkan dakwah dalam kapasitas massa yang sangat
masyarakat mengalami kesulitan dalam besar, itu pun jarang menyentuh urusan-
memperoleh BBM, meskipun ada tetapi urusan keilmuan, tetapi lebih banyak kepada
dengan harga yang cukup tinggi, sehingga pola-pola tarekat saja sebagaimana yang
pada saat itu kampanye pun terancam gagal dilakukan oleh Abuya Muhtadi, sementara
dan masyarakat terhimpit dalam kesulitan urusan pembelajaran dan dakwah dilakukan
BBM. Akhirnya, dengan kemampuan supra oleh kiai, ustadz atau santri senior yang
natural yang dipunyainya, Abuya Dimyati dipercayakannya. Hal inilah yang menjadikan
memerintahkan kendaraan-kendaraan untuk kurang dekatnya hubungan masyarakat
diisi air yang berasal dari kolamnya, ternyata dengan abuya. Di sisi lain, sangat sukar untuk
kendaraan tersebut dapat dijalankan meski bersilaturahmi (bertemu) langsung dengan
dengan air yang diisi dari kolam tersebut abuya karena sebagian besar waktunya hanya
(Hasil wawancara dengan Wahyudin, warga untuk beribadah (muamalah).
masyarakat sebagai saksi kejadian ini).
Adanya pemilahan kiai kitab dan kiai
Kejadian-kejadian yang menjadi folklor lokal
hikmah sebenarnya perlu diberikan perhatian
ini semakin meninggikan posisi ulama di mata
yang berbeda ketika memahami rasio urusan
masyarakat Pandeglang.
kiai karena dalam kondisi dengan dua jenis
Sebagaimana disebutkan di atas, dapat kiai tersebut terdapat perbedaan yang
dikatakan bahwa diantara hirarki ulama yang sangat jauh yaitu urusan keduniaan lebih
ada, dalam kaitannya dengan pengaruh mendominasi kiai hikmah dibandingkan
sosial-politiknya kiai memainkan peranan dengan kiai kitab yang lebih menjaga jarak
yang paling signifikan. Jika dilihat dari posisi dengan urusan keduniaan. Apalagi jika harus
struktur tokoh agama (lihat dalam Gambar membandingkannya dengan tipologi kyai
1), posisi kiai berada pada posisi menengah politik yang pastinya curahan waktunya akan
dalam fungsinya menjembatani ke bawah lebih banyak kepada urusan duniawi (politik)
dan ke atas. Dalam pengamatan peneliti, dibandingkan dengan urusan agama. Dalam
hal ini juga terjadi karena konsentrasi rasio analisis yang berbeda, Faridl (2005: 175)
urusan dunia dan agama (akhirat) yang menyatakan bahwa,
dijalankan oleh kiai yang relatif berimbang, Tipologi politik terwujud dari adanya per-
sementara untuk abuya dan wali sebagaimana bedaan persepsi teologis dengan perilaku
penjelasan sebelumnya, meskipun memiliki sosial politik yang diperankannya, oleh
karenanya dalam analisis Faridl ini bahwa
tingkatan keilmuan yang lebih tinggi, namun adanya kiai politik dan non politik terbentuk
karena persinggungannya dengan umat diawali pemahaman teologi yang dimilikinya.
(urusan dunia) lebih kecil sehingga pengaruh
sosialnya jauh lebih kecil. Dalam skenario lainnya, tingkatan
ulama juga memengaruhi relasi kekuasaan
Contoh konkret rendahnya ketersing-

Sumber: pengamatan peneliti

Gambar 1
Perbandingan Urusan Diantara Pelaku Keagamaan di Pandeglang

466 ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499


MIMBAR, Vol. 31, No. 2 (Desember, 2015): 461-474

di antara sesama ulama dalam level yang kaum ulama. Keyakinan akan nilai-nilai
sama maupun berbeda. Layaknya hubungan kearifan lokal berkaitan dengan barokah kiai
guru dan murid, maka hubungan patron- ini sangat tampak, misalnya jika dikaitkan
klien adalah ciri khas relasi kekuasaan yang dengan kepercayaan bahwa “ciduhna kyai,
membingkai hubungan diantara unsur-unsur barokah keur santri” yang artinya air ludah
ulama tersebut. Bahkan ketundukan sebagai kyai sebagai berkah untuk santri. Hal ini
murid kepada guru yang dibalut oleh nilai- mengindikasikan klientelisme yang dibalut
nilai agama Islam jauh lebih mendalam hubungan keikhlasan dan barokah di mana
dibandingkan dengan pola hubungan guru karakternya sangat jauh berbeda dengan
dan murid dalam kehidupan kemasyarakatan hubungan patron-klien Scottian yang berbasis
umumnya. Nilai-nilai kearifan lokal juga pertukaran materi.
memengaruhi hubungannya secara lebih kuat
Berdasarkan derajat keulamaan dan
lagi semisal dengan kepercayaan seperti mun
kajawaraan ini terbentuk struktur kekuasaan
ngamal elmu teu make guru, pasti elmu eta ti
masyarakat Banten dalam kaitannya dengan
setan. Artinya, jika mengamalkan ilmu tanpa
ulama dan jawara. Struktur kekuasaan
pemberian dan bimbingan dari guru tertentu,
yang terbentuk menggambarkan tingkatan
pasti ilmu itu datangnya dari setan.
ulama dan tingkatan kajawaraan yang ada
Dalam pandangan masyarakat di masyarakat. Dalam hal ini, maka semakin
Pandeglang, pemberian barokah sebagai tinggi tingkat keulamaan semakin tinggi
unsur yang paling dicari dalam jalinan pula struktur yang dimilikinya. Gambaran
hubungan dengan ulama juga menentukan. struktur kekuasaan dengan memertimbangan
Untuk itulah proses hubungan dengan ulama terminologi ulama tersebut dijelaskan dalam
tidak semata dalam rangka memperoleh Gambar 2.
keilmuan agama, tetapi juga dalam hal
Tidak selamanya jawara berada pada
lain banyak pula yang bertujuan untuk
posisi subordinat terhadap ulama. Dalam
mendapatkan barokah yang diberikan oleh

Gambar 2
Struktur Kekuasaan Ulama dan Jawara

‘Terakreditasi’ SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d 18-02-2019 467


ASEP MUSLIM, DKK. Dinamika Peran Sosial Politik Ulama dan Jawara di Pandeglang Banten

kondisi dimana pengaruh sosial jawara masih dominannya peran jawara dan
lebih besar misalnya perbandingan antara ulama sebagai kekuatan politik informal.
jawara kolot dengan ustadz atau juga antara Sementara, sisi perbedaannya diperlihatkan
jawara politik dengan ustadz, maka posisi oleh semakin menurunnya, atau bahkan
relatif lebih tinggi jawara. Lain halnya jika nyaris menghilangnya, peran resmi ulama
diperbandingkan dengan jenis ulama lainnya dalam penyelenggaraan pemerintahan.
yaitu kiai hikmah, kiai politik, kiai bale Semakin terpinggirkannya peran ulama
rombeng ataupun abuya, maka jawara berada ini, menurut Hidayat, terjadi akibat dari
pada posisi subordinat. Pada kondisi ini terjalin kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang
relasi patron-klien sebagai bentuk ketundukan menghapuskan peran resmi ulama dalam
dari seorang murid kepada gurunya. Adapun lembaga Faqih Najamudin, dan diteruskan
kiai hikmah, kyai politik, jawara non politik oleh kebijakan pemerintah Republik Indonesia
dan jawara politik digambarkan dalam satu yang secara tegas memisahkan antara agama
lingkaran dengan maksud menjelaskan dan negara, secara langsung maupun tidak.
bahwa diantara keempat unsur tersebut
Sama halnya dengan peran yang
terjadi hubungan pertukaran sehingga
dimainkan kaum ulama, jawara juga
diantara unsur-unsur tersebut pada dasarnya
memberikan konfigurasi sosial politik yang
berlangsung hubungan ketergantungan
khas di Banten dari masa pemerintahan
kekuasaan satu sama lain.
kesultanan Banten hingga saat ini. Ini
Hubungan ketergantungan kekuasaan setidaknya dapat ditelusuri dari penelitian
tersebut adalah, misalnya, kiai hikmah Hudaeri (2002). Hudaeri menjelaskan bahwa
membutuhkan jawara nonpolitik dalam terjadi derogasi (pendegradasian nama
memperkuat pengaruh sosialnya, sementara jawara) istilah jawara sehingga saat ini
jawara kolot membutuhkan kiai hikmah kesan yang diberikan masyarakat cenderung
dalam rangka meningkatkan kemampuan m e m a n d a n g n e g a t i f k e p a d a j a w a ra .
supra naturalnya. Sementara itu, kiai politik Meskipun demikian, kedudukan jawara dalam
dan jawara politik berkolaborasi untuk saling masyarakat Pandeglang tetap dipandang
memperkuat pengaruh politiknya. sebagai salah satu elit yang memainkan
peranannya yang sangat signifikan. Diantara
Periodisasi Pemerintahan dan peran yang dimainkan oleh jawara tersebut
Pergeseran Peran Ulama-Jawara adalah sebagai jaro (kepala desa), penjaga
keamanan, guru silat dan guru ilmu magis.
Peran sosial-politik ulama dan jawara
Adapun jaringan tradisional yang dibangun
di Banten berkaitan erat dengan kebijakan-
kelompok jawara mengandalkan hubungan
kebijakan politik yang berlangsung dalam
kedekatan emosional yang dalam, sehingga
setiap periode pemerintahan. Hal ini sangat
jaringan yang terbentuk pun melalui hubungan
penting karena kebijakan yang dikeluarkan
kekerabatan, baik melalui hubungan nasab
oleh pemerintahan pada suatu periode sangat
atau perkawinan, hubungan guru dengan
berpengaruh terhadap langkah dan gerakan
murid dan lembaga sosial-keagamaan seperti
ulama dan jawara. Bahkan, terdapat beberapa
pesantren dan paguron (perguruan silat).
kebijakan yang secara langsung berhubungan
dengan kehidupan ulama dan jawara. Berdasarkan penelitian Nasution (1994:
54-71) diuraikan secara jelas sejak masa
S e b a g a i s e b u a h d i n a m i k a ya n g
kesultanan ulama menjadi pilar penting dalam
mengekor kepada periodisasi pemerintahan
kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
tersebut, secara jelas sangat tampak
Dalam kondisi inilah sultan sebagai negarawan
pergeseran peran ulama dan jawara yang
m e m e ra n k a n p u l a t u g a s n ya s e b a g a i
tidak bisa dilepaskan dari output kebijakan
panotogomo (penata kehidupan keagamaan),
sistem politik baik di level lokal maupun
satu konsep yang mempersatukan jiwa
nasional. Namun secara politik, gejala yang
ulama dan umaro dalam satu organisasi
paling tampak dalam tataran politik lokal
kekuasaan pemerintah kesultanan. Tampak
kontemporer adalah menurunnya peran
pula pada masa ini adalah bagaimana otoritas
politik ulama, sementara dalam sisi lain justru
kharismatik, tradisional dan otoritas legal-
menguatnya peran politik yang dimiliki oleh
rasional bersatu padu membentuk kesatuan
kaum jawara.
otoritas penuh yang terhimpun dalam konsep
Kesimpulan tersebut, diantaranya dapat ulama-umaro tersebut.
ditelusuri dari temuan Hidayat (Nordholt,
Pada masa kolonialisme Belanda,
2007: 272) bahwa sisi persamaan antara
istilah yang paling terkenal adalah apa yang
jawara dan ulama ditunjukkan dengan

468 ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499


MIMBAR, Vol. 31, No. 2 (Desember, 2015): 461-474

diintrodusir oleh Kartodirdjo (1984: 190) kental dalam periode awal kemerdekaan. Hal
sebagai “bandit”. Istilah ini tentunya adalah ini diindikasikan dengan diangkatnya K.H.
upaya terstruktur Belanda untuk menderogasi Tubagus Ahmad Chatib sebagai residen
jawara di masyarakat Banten. pertama Banten dan juga Kolonel K.H.
Sjam’unn sebagai pimpinan Brigade Tirtayasa
Penderogasian nama jawara oleh
(lihat dalam Suharto: 2001, Lubis: 2003).
Belanda tersebut, tentunya, sangat ber-
Hal yang sama sebenarnya juga terjadi untuk
tentangan dengan konsep awal jawara
kabupaten-kabupaten yang ada di Banten
sebagai santri dalam terminologi yang
termasuk Pandeglang dimana saat itu yang
diintrodusir Tihami (1992: 99-100), sehingga
bertindak sebagai bupatinya adalah K.H.
dapat dipahami pada masa ini jawara
Abdul Halim. Bahkan tidak hanya bupati,
terpilah kepada dua bentuknya yaitu yang
jabatan-jabatan dibawahnya pun yaitu
pertama adalah jawara yang memiliki jiwa
para wedana, camat dan kepala kesatuan
patriotisme sebagai didikan kiai dan berperan
kepolisian, didominasi oleh kaum ulama
besar terhadap perjuangan pergerakan
(Suharto, 2001: 125).
kemerdekaan dan kedua adalah jawara yang
bertipikal pembelot perjuangan yang berlabel Menurut Suharto (2001: 125), tampilnya
“bandit”, “perampok” atau “pelanggar hukum” ulama dalam politik lokal Banten merupakan
sebagai bentukan Belanda untuk menderogasi usaha yang telah lama mereka perjuangkan
citra patriotisme jawara yang sesungguhnya. setelah kedudukannya dimusnahkan oleh
Pelekatan citra negatif jawara ini dapat kolonialisme Belanda. Pada kondisi lain,
dipahami sebagai keberhasilan strategi rakyat menghendaki tampilnya para ulama
hegemoni kolonialis. sebagai amirul mukminin, sehingga adanya
kekosongan pemerintahan pada masa awal
Selain keberhasilan Belanda dalam
kemerdekaan merupakan kesempatan
menderogasi konsep jawara, seiring dengan
paling baik bagi kaum ulama untuk tampil
dibumihanguskannya istana Kesultanan
kembali sebagai umaro. Adapun menurunnya
Banten, hancur pula puing-puing keulamaan
kembali peranan ulama dalam politik lokal
Banten termasuk konsep ulama-umaronya
Banten, Suharto (2001: 137) menjelaskan
sehingga kaum ulama terpinggirkan ke
hal ini terjadi karena upaya pemerintah
pedesaan. Ketika kaum ulama (termasuk
yang dilakukan secara gradual dengan
jawara) terpinggirkan di pedesaan, maka
mengirimkan para tokoh pamong praja dari
kepemimpinan pedesaan pun beralih dari para
pusat selain karena banyak pula ulama yang
jaro kepada kaum ulama. Untuk itulah peran
mengundurkan diri secara pribadi karena
politik ulama lebih banyak bermain dalam
merasa tidak memiliki kemampuan dalam
tataran pedesaan. Dari rangkaian peran politik
urusan pemerintahan seperti yang dilakukan
ulama yang dijalankannya, yang terpenting
oleh K.H. Abdul Halim.
adalah perannya dalam kepemimpinan
gerakan-gerakan perlawanan terhadap kaum Masa Orde Baru adalah masa dimana
penjajah. Gerakan inilah yang digambarkan ulama dan jawara “dikebiri” secara sosial
secara apik oleh Kartodirdjo (1984: 305-316) maupun secara politik. Secara sosial,
tentang keterpaduan kaum ulama, jaro, dan ulama berhadapan dengan beberapa jargon
segenap unsur masyarakat pedesaan Banten pembangunan yang memperhadapkannya
saat itu dalam proses gerakan perlawanan dengan kepentingan-kepentingan pemerintah
tersebut melalui formula pemberontakan semisal program Keluarga Berencana (KB) dan
petani (masyarakat pedesaan). Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB).
Pandangan banyak kalangan ulama terhadap
Keterpinggiran ulama ke level pedesaan
kedua program pemerintah tersebut tentunya
ini, meskipun dari aspek politik semakin
adalah mengharamkannya. Tindakan-
terdegradasi, namun dalam syiar keislaman
tindakan kekerasan pun tidak luput diterima
sangat diuntungkan karena masyarakat
oleh kaum ulama itu, misalnya untuk kasus
pedesaan semakin dekat hubungannya
Banten adalah apa yang diterimakan oleh Kiai
dengan para ulama, terutama kaum ulama
Sarmin karena sering memberikan dakwah
bangsawan yang pada masa kolonialis relatif
yang melarang umat mengikuti program
terkungkung dalam dunia pemerintahan
KB. Tidak jarang label PKI (Partai Komunis
saja. Kedekatan hubungan inilah yang
Indonesia) atau NII (Negara Islam Indonesia)
memberikan peluang besar kaum ulama untuk
dilekatkan kepada para kyai tersebut agar
menanamkan gerakan kesadaran perjuangan
masyarakat menjauhinya karena pada masa
untuk menggulingkan kaum penjajah.
itu kedua label tersebut adalah label common
Pilar penting ulama sebagai umaro masih enemy.

‘Terakreditasi’ SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d 18-02-2019 469


ASEP MUSLIM, DKK. Dinamika Peran Sosial Politik Ulama dan Jawara di Pandeglang Banten

Secara politik pun kiai semakin tertekan bahwa kekuatan Golkar semakin tidak
(hegemoni negara), adanya larangan untuk tertandingi dan semakin melemahkan kaum
menggunakan simbol-simbol agama dalam ulama terlebih setelah organisasi-organisasi
politik salah satunya, sehingga lambang keislaman menginternalisasikan diri kepada
ka’bah yang digunakan Partai Persatuan kelembagaan Golkar.
Pembangunan pada saat itu digantikan
Sebagaimana halnya dengan kaum
dengan lambang bintang. Pengerucutan dua
ulama, kelompok jawara seolah memiliki
partai (PPP dan PDI) serta satu golongan
golok rompang (ompong), tumpul dan tidak
kekaryaan (Golkar) yang menjadi kebijakan
berguna. Menurut Haji Maman Badarzaman,
politik Orde Baru juga semakin membatasi
pada akhirnya jawara seolah nyalindung dina
peran politik ulama. Praktis, haluan idealisme
gelung, maksudnya adalah berlindung dengan
politik agamanya hanya tercurah kepada satu
hidup memanfaatkan orang lain, dengan
partai yaitu PPP. Sementara, pengaruh Golkar
cara memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang
semakin kuat, sehingga tidak sedikit pula
diberikan oleh pihak pemerintah (Golkar).
yang merekrut kaum ulama sebagai kader
Baik kaum ulama yang terkurung dalam
politiknya. Kaum ulama pun terpilah kepada
kerangkeng Satkar Ulama, begitu pula halnya
dua kubu, yaitu PPP dan Golkar.
dengan jawara yang terjebak dalam Satkar
Diantara sekian peristiwa yang paling Jawara yang menjadikan keduanya seolah
menggemparkan berkaitan dengan ulama berada dalam ketiak kekuasaan Golkar yang
dan negara adalah peristiwa ditangkap dan pada prinsipnya adalah hegemoni negara
dipenjarakannya Abuya Dimyati menjelang pula. Untuk para kiai politik, terutama
Pemilu 1977. Beragam cerita mistis pun yang sangat pragmatis, sebenarnya kondisi
mewarnai peristiwa penangkapan Abuya ini dapat dikatakan sebagai berkah karena
D i mya t i t e r s e b u t . C e r i t a m i t o s ya n g peluang menduduki jabatan-jabatan politik
mengitarinya adalah berkaitan dengan sangat besar. Selain melalui kelembagaan
keyakinan sebagian besar masyarakat Golkar, ulama juga “diberikan jatah” oleh
Pandeglang bahwa meskipun Abuya Dimyati pemerintah melalui jalur lain yaitu Fraksi
berada dipenjara, namun disaat yang Utusan Golongan dan tidak sedikit kaum
bersamaan ia terlihat berada di pesantrennya ulama yang “diselipkan” oleh Golkar dalam
di Cidahu atau ada juga yang menjumpainya di fraksi tersebut.
Banten dan lain sebagainya. Selain itu, aparat
Hal yang paling tampak dalam realitas
yang melakukan penangkapan terhadapnya
kekinian (pasca era otonomi daerah)
diceritakan mendapatkan musibah seperti
peranan ulama dan jawara dalam politik
hakim yang memvonisnya menjadi bisu dan
lokal Banten sebagaimana digambarkan oleh
aparat polisi yang melakukan penangkapnya
Hamid (2010) adalah terjadinya pergeseran
menjadi gila (data hasil wawancara, lihat pula
peran kiai dari cultural broker menjadi
dalam Hamid (2011: 348).
political broker; sementara itu, peran politik
Menurut Hamid (2011: 347), kiai jawara semakin menguat yang sebagian
yang tidak mendukung Golkar, dalam besar “difasilitasi” oleh dinamika sistem
istilahnya adalah kiai non kooperatif akhirnya politik yang menguntungkan kedudukannya
menghindari dunia politik dan memfokuskan terutama diawali oleh masa Orde Baru, yang
diri pada aktivitas mengajar. Diantaranya dominasinya jauh mengangkangi kemampuan
ada pula yang memilih hijrah seperti yang ulama. Dalam analisis Faridl (2003: 200-201),
dilakukan Kiai Damanhuri (ulama dari keterpinggiran kaum ulama ini karena gagap
Cihideung Pandeglang) yang migrasi ke Kota atau tidak siap terhadap perubahan sistem
Mekah. politik yang terlalu cepat dari lahirnya era
reformasi.
Menurut informan tokoh ulama (Haji
Maman Badarzaman), trik-trik politik Golkar
Dinamika Peran Sosial Politik Ulama
pada saat itu tidak bisa ditandingi selain
karena menjadi pihak penguasa, soliditas
dan Jawara
diantara para kadernya pun terbina dengan Berdasarkan pengamatan peneliti,
baik dibandingkan dengan dua partai lainnya pada masa lalu sekitar 1980-an, jawara
baik PPP maupun PDI. Selain itu, sayap- yang memberikan pelajaran mengaji (jawara
sayap politik Golkar menyentuh kepada akar sebagai guru ngaji) sangatlah diminati
rumput yang paling dalam melalui kekuatan oleh, terutama, kaum muda karena selain
birokrasi yang meresap sampai di pedesaan. mendapatkan bekal ilmu agama juga
Haji Maman Badarzaman menambahkan mendapatkan kemampuan bela diri. Setiap

470 ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499


MIMBAR, Vol. 31, No. 2 (Desember, 2015): 461-474

malam Jum’at kaum muda dan tua bersama- hubungan yang terjadi pun adalah relasi
sama melakukan keceran, peureuhan, dan patron-klien. Namun demikian, sebagaimana
ulinan yaitu beberapa rangkaian tradisi telah disinggung sebelumnya, terdapat
kajawaraan dan kegiatan pelatihan bela karakter pembeda antara relasi kekuasaan
diri lainnya, kemudian di malam Minggunya patron-klien Scott dengan kekhasan relasi
biasa dilakukan khusus untuk kegiatan ulinan kekuasaan patron-klien ulama dan jawara
(permainan jurus). yang dalam hal ini peneliti sebut sebagai relasi
master-servant.
Saat ini, tidak banyak guru ngaji
yang juga memberikan pelajaran bela diri, Dasar relasi pada model relasi patron-
sehingga tradisi lokal ini dari waktu ke waktu klien relasi terjadi karena pihak patron
semakin tergerus modernisasi. Dalam bagian memberikan bantuan kepada klien-nya yang
lain, kondisi ini berpengaruh pula terhadap dalam kondisi sangat terbatas secara ekonomi.
peran dan kedudukan jawara di masyarakat. Oleh karenanya hubungan antara patron
Kondisi yang sama juga tidak jauh berbeda sangat langgeng karena patron selalu dapat
dengan peran yang dimainkan kaum ulama. menutupi kebutuhan hidup klien yang sangat
Ini adalah gambaran kecil dari pergeseran terbatas. Ketergantungan inilah yang menjalin
yang terjadi karena proses kontestasi dengan hubungan keduanya berikatan secara kuat.
proses modernisasi. Sementara itu, dalam relasi master-servant,
relasi terjadi karena takluk dan tunduknya
Pergeseran peran sosial-politik ulama
pihak servant terhadap kelebihan kemampuan
dan jawara juga erat kaitannya dengan
yang dimiliki oleh master.
dinamika pelaku penguasa yang terjadi
dari setiap periodenya sehingga terdapat Berkaitan dengan dasar relasinya, maka
semacam suksesi kepemimpinan politik sumber relasi yang membangun hubungan
diantara setiap periode pemerintahan. Oleh dalam relasi patron-klien, tentunya adalah
karenanya, rezim penguasa memberikan sumber daya ekonomi dimana master
pengaruh besar terhadap peran ulama dan dapat “mengelola” kepatuhan klien melalui
jawara, baik itu rezim yang memberikan kelebihan sumber daya ekonomi tersebut.
peluang maupun meminggirkan peranannya. Hal ini berbeda dengan relasi master-servant
dimana sumber relasinya berdasarkan kepada
Berdasarkan Tabel 1 dapat dijelaskan
pengetahuan agama (supranatural) dalam
bahwa berdasarkan periodisasi pemerintahan,
hal ini servant terikat kepada kepentingan
terutama dari aspek politik terjadi peningkatan
pengetahuan agama atau supranatural
peran yang dilakukan oleh kelompok jawara,
tersebut.
sementara dalam kondisi lain peran ulama
mengalami penurunan. Kondisi inilah yang Dasar pertukaran dalam relasi patron-
dijelaskan di awal tulisan ini sebagai bentuk klien adalah sesuatu yang konkret, yaitu patron
dominasi kaum jawara dalam politik lokal, memberikan bantuan berbentuk uang atau
meskipun dalam aspek sosial pengaruh ulama barang dan klien membalasnya dengan hal
masih cukup kuat. yang sama meskipun kadangkala berbentuk
jasa. Sementara dalam relasi master-servant,
Pada Gambar 2 yang memuat struktur
dasar pertukaran relatif samar, yaitu dimana
kekuasaan ulama dan jawara sebenarnya juga
servant akan memberikan segala daya
menggambarkan dominasi ulama tersebut.
upayanya secara ikhlas untuk suatu harapan
Konseptualisasi ulama dan jawara dalam
master secara ikhlas pula memberikan
masyarakat Pandeglang berkontribusi besar
pengetahuan dan kemampuannya kepada
terhadap struktur kekuasaan dan dominasi
servant.
ulama tersebut.
Berdasarkan kemanfaatan atau
Terdapat beberapa nilai sosial yang
kepentingan pertukarannya, relasi patron
memengaruhi adanya dominasi ulama
berlangsung karena klien membutuhkan
tersebut yaitu: pada prinsipnya jawara
patron dalam perlindungan kehidupannya,
adalah murid kiai, keyakinan akan barokah
sementara patron membutuhkan klien untuk
yang diberikan kiai, keyakinan bahwa elmu
mendukung kehidupannya. Sementara itu
putih lebih unggul daripada elmu hideung,
dalam relasi master-servant, relasi yang
dan pada banyak kondisi jawara meminta
terjadi berkaitan dengan harapan dan
bantuan dari ulama baik untuk meningkatkan
keberkahan dimana servant mensuplai
pengaruh sosial maupun politiknya. Kondisi
kebutuhan master dengan satu harapan
tersebut menempatkan jawara berada pada
m a s t e r m e m b e r i k a n ke b e r k a h a n nya .
posisi subordinat terhadap ulama sehingga
Keberkahan tersebut kadangkala hanyalah

‘Terakreditasi’ SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d 18-02-2019 471


ASEP MUSLIM, DKK. Dinamika Peran Sosial Politik Ulama dan Jawara di Pandeglang Banten

Tabel 1
Dinamika Peran Sosial Politik Ulama dan Jawara

Periodisasi Peran Sosial-Politik


No.
Pemerintahan Ulama Jawara
1. Kesultanan - Pejabat pemerintahan - Pengawal para ulama
Banten - Penasehat agama (kadi)
- Pelaksana syiar/dakwah
2. Kolonialisme - Aktor utama gerakan perlawanan - Pengawal gerakan perlawanan
Belanda - Suksesor kepemimpinan elit desa - Pejabat pemerintahan desa
- Pelaksana syiar/dakwah (sebagai jaro)
- Bandit sosial
3. Awal - Pejabat pemerintahan - Guru ngaji
Kemerdekaan - Pejabat militer - Guru silat
- P e r e k a t ( u n s u r p e m e r s a t u ) - Ahli pengobatan tradisional
negara kesatuan RI - Laskar pejuang pembela
- Pimpinan pejuang pembela kemerdekaan kemerdekaan
- Pelaksana syiar/dakwah
- Guru supra natural
4. Orde Baru - Vote getter politik pemerintah - Guru ngaji
- Pelaksana syiar/dakwah - Guru silat
- Ahli pengobatan tradisional
- Vote getter politik pemerintah
5. Era Otonomi - Vote getter partai politik - Guru silat
Daerah - Pelaksana syiar/dakwah - Ahli pengobatan tradisional
- Vote getter partai politik
- Political broker
- Economic broker
- Pejabat politik
Sumber: Kartodirdjo (1984), Tihami (1992), Nasution (1994),
Suharto (2001), Hamid (2010) dan pengamatan penelitian yang diolah peneliti.

sebatas do’a tidaklah berbentuk pemberian bergantung kepada relasi tersebut.


pengetahuan keilmuan agama, jadi sangatlah
Jika dilihat dari ciri-ciri di atas,
immateril.
berdasarkan pendekatan keseimbangan
Dalam relasi patron-klien, patronlah kekuasaannya tampak bahwa baik klien
yang sebenarnya lebih aktif melakukan m a u p u n s e r v a n t b e ra d a p a d a p o s i s i
pemeliharaan relasi dimana klien bergantung subordinat, namun keduanya berbeda dalam
kepada relasi tersebut. Sementara, dalam tipikal ketergantungannya dimana jika klien
relasi master-servant, yang melakukan melepaskan diri dari relasi tersebut maka
pemeliharaan relasi adalah dari pihak servant, kehidupannya akan terancam. Sementara,
sementara master bertindak memilih servant servant tidak demikian dimana ia dapat saja
sesuai seleranya untuk diberikan keberkahan. melepaskan diri dari relasinya dengan master
Jadi, kalau dalam relasi patron-klien yang dan tidak ada risiko yang ditanggungnya akibat
aktif adalah pihak patron, sementara dalam dari pemutusan relasinya dengan master.
relasi master-servant yang justeru aktif Meskipun demikian, kedalaman relasi secara
adalah pihak servant-nya. personal justru terjadi dalam relasi master-
servant, misalnya dalam kasus hubungan kiai
Dalam proses pembentukan relasinya
dan santri maka santri bersedia secara ikhlas
dalam relasi patron-klien, pada mulanya
membawakan sandal, menyediakan air untuk
pihak patronlah yang mendatangi klien
mandi, menyediakan makan dan pelayanan-
dengan menawarkan sejumlah bantuan atau
pelayanan yang sifatnya sangat personal.
kadangkala klien mendatangi patron karena
tertekan kebutuhan. Kondisi ini berbeda Dalam kondisi ini tampak jelas santri
dengan proses yang terjadi dalam relasi terhegemoni secara mendalam (fisik), dimana
master-servant dimana servant-lah yang tidak ada perasaan keberatan dari santri untuk
selalu memiliki inisiatif mendatangi master melakukan pelayanan kepada kyai, bahkan
dan mengajukan diri menjadi servant, ia akan sangat senang jika terpilih oleh kiai
sehingga master sifatnya sangat pasif. untuk menjadi pelayannya. Tindakan santri
Pasifnya master karena ia merasa tidak terlalu tersebut sama dengan apa yang dilakukan

472 ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499


MIMBAR, Vol. 31, No. 2 (Desember, 2015): 461-474

Tabel 2
Perbedaan Antara Relasi Patron-Klien dan Relasi Master-Servant

Jenis Relasi
Aspek Pembeda
Patron-Client Relation Master-Servant Relation
Dasar relasi Pemberian bantuan dan keterbatasan Penaklukan dan ketundukan
hidup
Sumber relasi Sumber daya ekonomi Pengetahuan agama
Dasar pertukaran Pertukaran materi pertukaran immateri (keikhlasan)
Signifikansi Perlindungan dari patron, dukungan Berkah dari master (kyai), harapan
pertukaran dari client dari servant (santri/jawara)
Ketergantungan pada Patron yang memelihara relasi dan Master memilih servant, servant
relasi client bergantung pada relasi tersebut memelihara relasi agar bisa terpilih
Proses pembentukan Patron yang mendatangi client dan Servant yang mendatangi master
relasi menawarkan sejumlah bantuan, dan mengajukan diri untuk menjadi
meskipun kadangkala client juga servant-nya.
mendatangi patron karena tekanan
kehidupan

Sumber: Analisis peneliti

oleh jawara ketika dengan sungguh-sungguh mengalami perubahan meskipun proses


ia melakukan apapun demi harapan berkah modernisasi lambat laun memengaruhinya.
yang diberikan oleh kiai. Kondisi ini menempatkan penghargaan ulama
dan jawara memiliki status dan kedudukan
Berdasarkan uraian di atas, dapat
yang tinggi, terutama untuk masyarakat
dijelaskan bahwa peran sosial-politik ulama
pedesaan.
dengan kondisi terakhir yang menunjukkan
dominasi jawara dalam arena politik dan Adanya dinamika peranan sosial
dominasi ulama dalam aspek sosialnya sangat politik ulama dan jawara yang berjalan
dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial masyarakat berkesesuaian dengan perubahan
Pandeglang yang membentuk suatu karakter dalam periodisasi pemerintahan yang
relasi patron-klien yang khas yaitu relasi mengindikasikan bahwa faktor kebijakan
master-servant. politik memberikan pengaruh yang sangat
signifikan terhadap peran sosial politik ulama
Simpulan dan Saran dan jawara; dan ini mengindikasikan juga
bahwa terdapat kepentingan politik (political
Terdapat dua faktor utama yang
interest) dari negara untuk “mengarahkan”
memengaruhi dinamika peran sosial politik
(menghegemoni) peran sosial politik ulama
ulama dan jawara yaitu kebijakan politik
dan jawara. Konteks yang paling nyata adalah
yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan
ketika kebijakan politik yang dilakukan pada
aspek sosial-budaya yang melingkarinya.
masa Orde Baru dengan membuat satkar
Artinya, terdapat beberapa kebijakan yang
ulama dan jawara sebagai pilar politik
langsung atau tidak langsung ditujukan
penyokong Golkar saat itu.
untuk memersempit atau memerluas gerakan
ulama dan jawara. Misalnya, kebijakan Kekuasaan sosial ulama lebih dominan
yang dilakukan kolonialis Belanda dengan dibandingkan dengan jawara, meskipun dalam
mempolitisasi jawara sebagai bandit sosial politik praktis di tingkat lokal jawara jauh lebih
jelas merupakan langkah pelabelan negatif mendominasinya. Hal ini menyebabkan bahwa
kaum jawara yang pada akhirnya menurunkan dalam konteks pengaruh yang lebih luas dan
derajat sosialnya. Begitu pula halnya dengan mendalam terhadap sistem sosial-politik,
yang terjadi pada masa Orde Baru dimana maka ulama tetap lebih superior dibandingkan
pembentukan satkar ulama dan jawara dengan jawara. Di sisi lain, relasi master-
tidak lebih dari upaya dari pemerintah untuk servant yang terbentuk antara ulama dan
mengontrol aktivitasnya (menghegemoni jawara di Pandeglang semakin menempatkan
u l a m a d a n j a w a ra ) . S e m e n t a r a i t u , posisi subordinat jawarat terhadap ulama.
menyangkut nilai sosial-budaya terutama Kondisi ini pada prinsipnya merupakan
karakter agraris, tradisional dan religius gambaran bahwa peran sosial-politik ulama di
dari masyarakat Pandeglang relatif tidak Pandeglang lebih besar dibandingkan dengan

‘Terakreditasi’ SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d 18-02-2019 473


ASEP MUSLIM, DKK. Dinamika Peran Sosial Politik Ulama dan Jawara di Pandeglang Banten

peran sosial-politik jawara. Jurnal Interaktif Universitas Brawijaya.


Vol. 1, No.2, pp. 111-171.
Sebagai sebuah konstruksi sosial, Bungin, B. (ed.), (2010). Analisa Data Penelitian
peran sosial-politik ulama dan jawara saat ini Kualitatif. Jakarta: PT. RajaGrafindo
merupakan realitas sosial yang sudah teruji Persada.
kematangannya dalam membentuk tatanan Faridl, M. (2003). Peran Sosial Politik Kiai di
sosial masyarakat Pandeglang. Kenyataan Indonesia. Jurnal Mimbar. Vol. 19, No. 2,
adanya dominasi jawara dalam arena politik pp. 195-202.
praktis di Pandeglang sejatinya dimaknai Faridl, M. (2005). Perilaku Sosial Politik Kiai
di Tengah Masyarakat Transisi Kasus di
sebagai sebuah proses sosial normal dalam
Wilayah Cirebon dan Bandung. Jurnal
menuju tatanan sosial yang khas Pandeglang. Mimbar. Vol. 21, No. 2, pp. 165-177.
Adanya wacana politik dinasti dalam konteks Hamid, A. (2010). Memetakan Aktor Politik Lokal
dominasi jawara di Banten umumnya dan Banten Pasca Orde Baru: Studi Kasus Kiai
Pandeglang khususnya sejatinya dimaknai dan Jawara di Banten. Jurnal Politika. Vol.
sebagai sebuah proses sosial yang normal 1, No. 2, pp. 32-45.
pula. Dalam hal ini dimaknai sebagai Hamid, A. (2011). Pergeseran Peran Kyai dalam
sebuah pencarian jati diri demokrasi lokal Politik di Banten Era Orde Baru dan
di Pandeglang. Namun hal ini dapat menjadi Reformasi. Al Qalam. Vol. 28, No. 2, pp.
339-364.
persoalan sosial ketika dominasi politik jawara
Hudaeri, M. (2002). Jawara di Banten: Peran,
membawa dampak buruk terhadap konstelasi Kedudukan dan Jaringannya (Laporan
sosial politik Pandeglang misalnya adanya Penelitian). Serang: STAIN SMHB.
korupsi birokrasi, pelayanan publik yang Jessop B. (2006). Developments in Marxist
buruk dan marginalisasi pihak-pihak tertentu Theory in Nash K dan Scott A (ed.). The
sebagaimana yang terjadi pada kasus korupsi Blackwell Companion to Political Sociology.
mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah. Malden(US): Blackwell Publishing, pp.
Dalam kondisi ini, diperlukan kekuatan negara 7-16.
untuk mereduksi dampak buruk tersebut. Karomani. (2005). Ulama dan Jawara: Studi
tentang Persepsi Ulama terhadap Jawara
Oleh karenanya, meskipun dominasi jawara
di Menes Banten Selatan. Jurnal Mediator.
di Pandeglang sebagai sebuah realitas sosial, Vol. 6, No. 2, pp. 228-235.
kelembagaan negara sangat dibutuhkan untuk Kartodirdjo S. (1984). Pemberontakan Petani
mengendalikan dominasi yang menjurus Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya.
kepada kekuasaan absolut. Hal ini perlu Lubis, N.H. (2003). Banten dalam Pergumulan
dilakukan, karena kekuasaan absolut relatif Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara. Pustaka.
mendorong terjadinya perilaku KKN (Korupsi, Jakarta: LP3ES.
Kolusi dan Nepotisme). Hidayat S. (2007). Bisnis dan Politik di Provinsi
Banten, dalam Nordholt, N.S (ed.). Politik
Kekuatan negara untuk menekan Lokal di Indonesia. Jakarta: KITLV Jakarta-
perilaku KKN ini dapat diwujudkan melalui Yayasan Obor Indonesia, pp. 268-274.
perangkat regulasi yang membatasi peluang Pribadi, Y. (2011). Strongmen and Religious
seseorang untuk melakukan penyalahgunaan Leaders in Java: Their Dynamic Relationship
wewenang politiknya. Contoh konkretnya in Search of Power. Jurnal Al-Jamiah. Vol.
49, No. 1, pp. 159-190.
adalah fungsi pejabat pembina kepegawaian
Scott JC. (1992). Perlawanan Kaum Tani.
d i t i n g k a t l o k a l b a g i k e p a l a d a e ra h
Jakarta: Yayasan Obor.
seyogianya perlu ditinjau ulang karena Scott JC. (1994). Moral Ekonomi Petani:
sering dijadikan alat untuk mengarahkan Pergolakan dan Subsistensi di Asia
birokrasi kepada kepentingan politik kepala Tenggara. Jakarta: LP3ES.
daerah. Kelembagaan negara sangat urgen Suhaedi (2003). Tasbih dan Golok: Studi tentang
karena sebagaimana dijelaskan sebelumnya Kharisma Kyai dan Jawara di Banten.
peran sosial-politik ulama dan jawara sangat Jurnal Istiqro. Vol. 2, No. 1, pp. 57-87.
dipengaruhi oleh kebijakan politik. Hal ini Suharto. (2001). Banten Masa Revolusi, 145-
1949: Proses Integrasi Dalam Negara
berarti salah satu pengendali terjadinya
Kesatuan Republik Indonesia (Disertasi).
prilaku KKN sebagai akibat dominasi politik
Depok: UI.
jawara adalah melalui pengetatan dalam Tihami, M.A. (1992). Kiyai dan Jawara di
kebijakan politik. Banten: Studi tentang Agama, Magi dan
Kepemimpinan di Desa Pasanggrahan
Serang (Tesis). Depok: UI.
Daftar Pustaka Yin, R.K. (1996). Studi Kasus (Desain dan
Metode). Jakarta: Rajawali Press.
Bandiyah. (2010). Evolusi Jawara di Banten
(Studi Evolusi dari Bandit Menjadi Pejabat).

474 ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499

Anda mungkin juga menyukai