Skripsi
Oleh
Khairul Ummami
NIM : 1112022000016
Khairul Ummami
Skripsi ini ingin menjelaskan tentang tiga hal yang terjadi di Aceh dalam
kurun waktu 1953 dan 1959. Pertama terjadi pemberontakan Darul Islam tahun
1935 yang dimotori oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh, kedua
penyelesaian kasus konflik Darul Islam oleh Gubernur Ali Hasjmy pada tahun
1957-1959. Dalam upaya proses penyelesaian kasus konflik Darul Islam,
Pemerintah Daerah Aceh menggunakan cara soft power untuk menyelsaikan
konflik tersebut. Dan ketiga kebijakan pemerintah pusat dalam menyelesaikan
kasus konflik Darul Islam Aceh.
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan puja ke hadirat Allah Tuhan semesta alam yang telah memberikan
rahmat dan hidayahNya bagi para hambaNya yang selalu memujaNya. Shalawat
dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW, kepada
keluarga, sahabat dan para pengikutnya sampai akhir zaman. Berkat perjuangan
beliau kita dapat hijrah dari kegelapan (az-zhulamat) kepada zaman ilmu
pengetahuan. Penulis sangat bersyukur kepada Allah karena telah diberi kesehatan
badan dan fikiran, sehingga skripsi yang berjudul “Ali Hasjmy: Penyelesaian
Konflik Darul Islam Aceh Tahun 1957-1959” telah selesai ditulis dengan baik.
terlepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak baik yang
bersifat moril maupun materil. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin
1. Kedua orang tuaku yang telah memberikan kasih dan sayang tanpa pamrih
kepada penulis sejak dari kecil sampai dewasa. Semoga Allah membalas
dukungan dan do’a kepada penulis baik moril maupun materil agar dapat
ii
3. Prof. Dr. M. Dien Madjid selaku guru besar dan sekaligus sebagai orang
kesabaran dan penuh dedikasi tinggi dan telah memberikan inspirasi bagi
penulis.
Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ibu Solikatus Sa’diyah, M.Pd
5. Ibu Imas Emelia MA, selaku dosen pembimbing Akademik dan ibu bagi
penulis yang telah banyak membantu dan memotivasi penulis untuk selaku
sumber.
dan juga Nabila yang telah membantu penulis dalam mengirim sumber
iii
sejarah terkait penelitian ini. Terimakasih atas kebaikan kalian dan semoga
Allah membalasnya.
10. Ustadz Safrizal yang telah mengirim koleksi khusus Ali Hasjmy mengenai
beliau.
keadaan sukses.
13. Terakhir, terima kasih saya sampaikan kepada sejawat, kawan, serta pihak-
pihak lain yang membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
Harapan saya, semoga skripsi ini bisa menjadi bacaan yang baik, dan
bermanfaat bagi kita semua dan juga dapat menjadi bagian dalam pengembangan
ilmu sejarah yang dapat dijadikan sebagai referensi. Amiin Yaa Rabbal a’lamiin.
Penulis,
Khairul Ummami
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................... i
BAB II Sebab Terjadinya Pemberontakan Darul Islam Aceh Tahun 1953 ..... 23
v
BAB III BIOGRAFI ALI HASJMY SELAYANG PANDANG .......................... 69
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vi
BAB I
PENDAHULUAN
apapun bisa terjadi seperti peperangan dan juga menyisakan beragam persoalan
pada masa pemerintahan Soekarno dipicu oleh ketidakpuasan elite daerah atau
perwira militer daerah terhadap pemerintah pusat dan tidak jarang pula akibat
adanya rivalitas dalam tubuh militer dalam memperebutkan posisi serta sumber
kalangan Islam memiliki akar sejarah yang beragam meskipun motif latar
belakangnya juga berbeda beda, ada yang wujudnya karena kekecawan terhadap
kebijakan pemerintah pusat, ada yang bermotif politik dan ekonomi dan ada yang
1
Georg McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Penerjemah Tim
Komunitas Bambu (Depok: Komunitas Bambu 2013), h. 63.
1
2
berupa ideologi, dengan cita-cita mendirikan negara bagian Islam seperti halnya
Indonesia. Sampai tahun 1948 Aceh masih membendung kekuatan Belanda yang
revolusi fisik, Aceh merupakan satu-satunya wilayah yang tidak dapat diduduki
Belanda sehingga Aceh pernah disebut oleh Soekarno sebagai daerah modal2 bagi
arah pemisahan diri dari pemerintah pusat, yang pada akhirnya berujung pada
lahirnya pemberontakan Darul Islam tahun 1953. Gerakan ini dipimpin oleh
2
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan
Perjuangan Kemerdekaan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h. 374. Lihat Juga A.K. Jakobi. Aceh
Daerah Modal, (Jakarta: Pradnya Pramita,1979), h. 103.
3
tentu memiliki sebab yang paling dasar yaitu penghapusan Provinsi Aceh menjadi
kecewa dan merasa tidak puas terhadap pemerintahan pusat. Sebab lainnya
ketidakadilan dalam hal perekonomian di Aceh, sumber daya alam Aceh yang
pada saat itu sangat banyak dikuasai oleh pemerintah pusat Republik Indonesia
kehidupan sosial wilayah Aceh dengan di pusat (Pemerintahan RI) hal ini
politik yang menjadi latar belakang terjadinya pemberontakan itu yang disebutkan
dipindahkan keluar dari Aceh yang kemudian digantikan oleh Mayor Nazir
2. Menuduh dan memfitnah para ulama dan pemimpin Aceh sebagai kaki
tangan Belanda. Politik kotor Partai Komunis Indonesia (PKI) yang telah
3
A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 408-409.
4
politik, dan lain-lain menjadi stagnan. Cara demi cara dalam penyelesaian
dilakukan oleh kalangan tak terkecuali para pemuda Aceh yang membentuk
Aceh dalam segala aspek. Sebulan kemudian, pada pertengahan bulan Oktober
4
B.J. Bolland, The Struggle of Islam In Moderen Indonesia, (The Hugue-Martinus
Nijhoff: Verhandelingen KITLV, 1971), h. 73. Lihat juga Nugroho Dewanto, Daud Beureueh
Pejuang Kemerdekaan yang Berontak (Jakarta, KPG Kepustakaan Populer Gramedia, 2011), h. 3.
5
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 495.
5
apa yang terjadi di Aceh telah mengubah cara pandangnya, setelah melihat
semakin buruknya kondisi yang diakibatkan oleh konflik Darul Islam, sehingga
1956 tentang pembentukan Provinsi Aceh maka pada awal Desember 1956
hangat di kalangan rakyat Aceh. Tiga figur penting dicalonkan oleh kabinet untuk
mengisi jabatan gubernur, yaitu Ali Hasjmy seorang anggota PSII (Partai Serikat
Islam Indonesia) dan pegawai senior Kementerian Sosial di Jakarta. Calon kedua
Zainal Abidin, adalah salah seorang dokter. Waktu itu ia menjabat sebagai kepala
Dinas Kesehatan di Kutaraja. Dia adalah seorang pemimpin PSI (Partai Sosialis
Indonesia) cabang Aceh dan mempunyai hubungan yang erat dengan Front
Pemuda Aceh. Calon terakhir, Abdul Wahab Seulimeum, seorang ketua PUSA
(Persatuan Ulama Seluruh Aceh).7 Dari ketiga calon gubernur tersebut Dewan
6
A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70: Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 467. Lihat
juga Arsip Konvensional Setelah Tahun 1945 (Republik). No Arsip 1713, dengan judul arsip
Berkas Mengenai Status Provinsi Aceh.
7
Calon Gubernur Aceh pada saat itu sekitar 7 orang, yakni Mr. T. Mohd. Hasan, M. Insja
(Kepala Polisi Provinsi Sumatera Utara), Mayor Syamaun Gaharu, Mr. S.M. Amin, Ali Hasjmy,
Zainal Abidin, dan Abdul Wahab Seulimeum, akan tetapi kabinet hanya memilih 3 dari 7 calon
tersebut yaitu Ali Hasjmy, Zainal Abidin, dan Abdul Wahab Seulimeum. Selengkapnya lihat
“Arsip Konvensional Setelah Tahun 1945 (Republik), Surat-Surat Mengenai Usul dan
Pengangkatan Gubernur Aceh, No Arsip 1713. Lihat juga Nazaruddin Sjamsuddin,
Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh, (Jakarta: Pustaka Grafiti, 1990), h. 272.
6
Gubernur Aceh.8
yang besar di kalangan rakyat Aceh termasuk sebagian mereka yang berada dalam
Darul Islam yang mendukung Ali Hasjmy menjadi gubernur karena keyakinan
mereka bahwa Ali Hasjmy seorang tokoh yang akan berhasil menyelesaikan
konflik tersebut.
yang harus dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy salah satunya penyelesaian
dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy baik itu dengan pemerintah pusat maupun
dengan melakukan pendekatan terhadap pemimpin Darul Islam itu sendiri. Pada
April 1957 Ali Hasjmy beserta Muhammad Insja (Kepala Polisi Sumatera Utara)
dengan beberapa pemimpin Darul Islam di antaranya Hasan Ali, Hasan Saleh,
Ishak Amin dan Pawang Leman. Pertemuan yang berlangsung di antara kedua
belah pihak mencapai kata sepakat yaitu menjunjung tinggi kehormatan agama
dan kepentingan rakyat Aceh. Kesepakatan itu kemudian diberi nama Ikrar
Lamteh.9 Atas dasar Ikrar Lamteh ini tercapai suatu persetujuan antara pihak
(ceasefire)
dilakukan di Markas Darul Islam yang berada di suatu tempat yang bernama
Mardhatillah. Dalam pertemuan itu Ali Hasjmy sebagai Gubernur Aceh memberi
pengertian kepada Wali Negara Tgk. M. Daud Bereueh agar berkenan berdamai
dengan pemerintah pusat. Agaknya Tgk. M. Daud Beureueh sudah sangat anti
terhadap pemerintah pusat. Di samping itu pertemuan kedua belah pihak itu belum
Penyelesaian kasus Darul Islam belum mencapai titik temu walaupun tahun
1957 telah berlalu. Walaupun Piagam Lamteh sering terlanggar dan dilanggar,
Gubernur Ali Hasjmy baik itu pertemuan maupun dengan mengirim surat kepada
pihak Darul Islam, namun hasilnya tetap tidak ada, karena pemimpin Darul Islam
besar terhadap Darul Islam Aceh, hal ini terbukti dengan sebagian anggota Darul
Islam Aceh terjadi perbedaan pendapat yang sangat serius. Hal ini menimbulkan
perpecahan dalam tubuh Darul Islam Aceh yang menjadi dua kubu. Pertama kubu
berhaluan keras, yang sukar diajak koperatif. Kedua kubu Hasan Saleh yang
pusat, hal ini didasari oleh keiginan rakyat Aceh yang sudah lama menginginkan
perdamaian. Akhirnya pada tahun Mei 1959, pemerintah pusat mengirim suatu
missi yang terkenal dengan Missi Hardi untuk melakukan perundingan dengan
otonomi seluas-luasnya terutama dalam hal keagamaan, adat dan hukum, serta
pendidikan.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis ingin mengkaji lebih jauh serta
Gubernur Ali Hasjmy. Tahun 1957-1959 dijadikan rentangan waktu yang dikaji
oleh penulis karena tahun 1957 merupakan pengangkatan Gubernur Aceh pertama
ketika Aceh dalam keadaan konflik politik dengan pemerintah pusat. Dan tahun
Darul Islam Aceh dengan pemerintah pusat, yang berakhir dengan perdamaian di
Aceh. Oleh karena itu, penulis mengangkat judul skirpsi dengan judul “ Kebijakan
B. Identifikasi Masalah
identifikasi masalah seputar judul yang diangkat dari latar belakang yang telah
pemerintah pusat.
Kajian mengenai Aceh memang tidak pernah surut untuk dijadikan bahan
penelitian. Tema kajiannya pun beragam, mulai dari masa masuknya Islam, masa
Dengan melihat deskripsi latar belakang di atas, peneliti ingin fokus untuk
mengkaji mengenai upaya dan strategi Gubernur Ali Hasjmy dalam meredam
pembahasan dalam kurun tahun 1957-1959 karena tahun 1957 Ali Hasjmy
1959.
E. Tinjauan Pustaka
Gerakan Darul Islam Aceh Tahun 1957-1959”. Penulis mencari literatur terkait
yang terpercaya, penulis menemukan beberapa sumber mengenai tema dan judul
penelitian Hasan Basri berbeda dengan skripsi ini, yang lebih banyak
sumber data.
10
Hasan Basri, “A. Hasjmy (1914-1998): Kajian Sosial-Intelektual dan Pemikirannya
tentang Politik,” (Disertasi S3 Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2000)
12
2. Buku karya H.A. Ghazaly yang berjudul Biografi Prof. Tgk. Ali Hasjmy,11
hidup Ali Hasjmy secara sekilas serta pemikirannya dalam bidang dakwah
yang masih eksis sampai sekarang. Karena itu, tidaklah mengherankan jika
dan gagasan Ali Hasjmy secara kritis. Berbeda dengan skripsi ini, penulis
dakwah Ali Hasjmy, dan eksistensi Ali Hasjmy dalam rangka memajukan
pemberontakan kaum ulama yang didukung oleh sebagian besar dari Aceh
Buku ini memang tidak secara khusus mengkaji mengenai keterlibatan Ali
13
Lukman Nusfi, Prof. A. Hasjmy Seorang Tokoh Dakwah,” (Skripsi S1 Fakultas
Dakwah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh 1999)
14
C. Van Dijk, Darul Islam, Sebuah Pemberontakan, Penerjemah Tim PSH (Jakarta:
Grafiti Pers, 1993)
14
1953-1962 di bawah panji Darul Islam pimpinan Daud Bereueh. Buku ini
itu sebagai akibat stagnansi sosial. Namun dalam buku ini penulis tidak
Ikrar Lamteh. Buku ini lebih menitik beratkan kepada persoalan terjadinya
dengan skripsi ini yang secara khusus ingin memfokus kajiannya pada
persoalan penyelesaian konflik Darul Islam Aceh yang dilakukan oleh Ali
7. Karya Hardi, Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa
Revolusi dengan pemerintah pusat, namun buku ini tidak secara rinci
15
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990)
16
Hardi, Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa Depannya, (Jakarta:
Cita Panca Serangkai, 1993)
15
perbedaan antara buku ini dengan skripsi ini. Penulis lebih berfokus pada
strategi atau langkah yang dilakukan dalam meredam konflik Darul Islam
dan juga strategi pendekatan Gubernur Ali Hasjmy kepada beberapa orang
Perdana Menteri Ir. Juanda. Namun buku ini sangat memberi gambaran
Adapun perbedaan kajian skripsi ini dengan kajian di atas adalah penulis
lebih berfokus pada penjelasan mengenai langkah dan strategi yang dilakukan
oleh Gubernur Ali Hasjmy di tahun 1957 sampai 1959 untuk meredam kasus
konflik Darul Islam Aceh yang sudah terjadi dari tahun 1953.
F. Kerangka Teori
memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya
dengan tujuan mereka yang berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan
benturan kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain
konflik sosial adalah konflik politik. Konflik politik berkaitan dengan penguasa
17
Robert Lawang, Buku Materi Pokok Pengantar Sosiolog, (Jakarta: Universitas
Terbuka, 1994), h. 53.
16
politik dan atau keputusan yang dibuatnya (keputusan politik). Konflik ini terjadi
Aceh, teori-teori konflik memberikan sejumlah rumusan. Salah satu teori yang
pandangan John Burton, studi konflik memiliki dua focus perhatian, yaitu
bahwa konflik yang sudah komplek, khususnya konflik yang sudah pada tahap
dengan mencari jalan keluat dari suatu prilaku konfliktual sebagai hal utama. Ada
18
Maswadi Rauf, “Konflik Politik dan Integrasi Nasional,” dalam Saafroedin Bahar dan
A.B. Tangdililing, Integrasi Nasional Teori, Masalah dan Strategi, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1996), h. 80-82.
19
John Burton, Conflict; Resolution and Prevention, (New York: The Macmillan Press
Ltd, 1990), h. 3.
17
oleh pemerintah dan Darul Islam tergolon sebagai upaya untuk menyelesaikan
mencegah baik eskalasi konflik vertikal dan horizontal agar tidak lebih memburuk
Selain itu, dalam teori resolusi konflik, tujuan dan cara-cara tidakannya juga
atas, sering kali menggunakan pihak mediasi yang berfungsi sebagai mediator.
20
John Burton, Conflic: Resolution, h. 3.
21
Jenie Leatherman, dkk. Memutus Siklus Kekerasan Pencegahan Konflik dan Krisis
Intranegara, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), h. 131-132.
22
Jenie Leatherman, dkk. Memutus Siklus Kekerasan Pencegahan Konflik, h. 134.
18
amat penting dalam pengaturan pertentangan.23 Ada beberapa jenis peran pihak
pihak ketiga yaitu konsiliasi, mediasi dan arbritasi (penindasan). Bentuk yang
perundingan.
G. Metode Penelitian
dalam penelitian ini adalah metode yang biasa digunakan dalam penelitian sejarah
sumber baik intern maupun ekstern, interpretasi atau penafsiran dan langkah
Topik penelitian adalah masalah atau objek yang harus dipecahkan melalui
penelitian ilmiah. Topik yang menjadi pilihan untuk diteliti umumnya telah
dikenal sebelumnya meskipun secara garis besar, tidak mendalam, bahkan samar-
kedekatan emosional. Dua hal tersebut sangat penting karena akan berpengaruh
23
Ralf Dahrendrof, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri: Sebuah Analisa
Kritik, Penerjemah Ali Mandan (Jakarta: Rajawali Pers, 1986), hlm. 283-287.
24
M. Dien Madjid dan Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar, (Jakarta:
Kencana, 2014), h . 218.
25
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995),
h. 89.
26
Helius Sjamsuddin, Metotelogi Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2012), h. 72
19
Topik yang dipilih oleh penulis yakni mengenai upaya Gubernur Ali
kembali Provinsi Aceh dan Ali Hasjmy terpilih menjadi Gubernur yang kemudian
tahun 1945 yang ditemukan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan
juga buku, di antaranya arsip yang berjudul aktivitas gerakan Darul Islam di
berbagai wilayah, dan arsip yang berjudul surat-surat mengenai usul dan
primer berupa surat kabar sezaman, dan koleksi dokumen Ali Hasjmy yang
berjudul Dari Darul Harb ke Darussalam. Sedangkan buku primer yang penulis
Saleh yang berjudul Mengapa Aceh Bergolak dan laporan-laporan yang berjudul
bersifat sekunder baik berupa buku, disertasi, dan jurnal yang penulis temukan di
beberapa perpustakaan.
Tahap berikutnya adalah kritik sumber atau verifikasi. Dalam proses ini,
penulis melakukan uji keaslian sumber atau otentifikasi melalui kritik ektern
dengan cara mengkritik secara fisik sumber-sember primer yang berupa buku-
20
buku, koran dan arsip-arsip. Dilihat dari tahun dibuatnya, siapa pembuatnya,
sumber tersebut masih berbentuk asli. Sedangkan dalam proses kritik intern
waktu, misalnya perbedaan waktu yang dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy di
saat melakukan pertemuan dengan pihak Darul Islam, kemudian penulis juga
35.000 orang TII tidak valid, menurut Statistik Kotamadya Banda Aceh jumlah
penduduk Kutaraja (sekarang menjadi Banda Aceh) pada tahun 1957 hanya
sumber-sumber yang telah penulis himpun dengan cara penulis membaca sumber-
sumber bacaan baik itu buku, arsip dan sebagai nya yang berisi suatu kejadian
yang terjadi, setelah itu penulis membandingkan hasilnya dari satu sumber dengan
sumber yang lain dan terakhir penulis melakukan penyimpulan dan penafsiran
dari hasil yang telah dibuat supaya didapat suatu fakta sejarah yang akan dipakai
27
Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), h 361.
28
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), h. 311.
29
Rusdi Sufi, dkk., Sejarah Kotamadya Banda Aceh, (Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah
dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 1997), h. 11.
21
fakta hasil temuan yang didapatkan kedalam penulisan sejarah. Dalam penelitian
ini, historiografi diwujudkan dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi yang
berjudul “Kebijakan Gubernur Ali Hasjmy Terhadap Gerakan Darul Islam Aceh
1957-1959”.
H. Sistematika Penulisan
Penyajian penelitian yang dikemas dalam bentuk skripsi ini terdiri dari lima
bab.
Bab I Bab ini berisikan pendahuluan yang tediri dari latar belakang
Bab III Membahas biografi Ali Hasjmy yang meliputi dari riwayat hidup
Pascakemerdekaan.
1. Keresidenan Aceh
Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi
Gubernur. Provinsi dibagi lagi atas Keresidenan31 yang dikepalai oleh seorang
Residen. Sebagai Gubernur Provinsi Sumatera waktu itu ditetapkan Mr. T. Moh.
30
Tim Monograf Daerah Istimewa Aceh, Monograf Daerah Istimewa Aceh (Jakarta:
Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, 1976), h. 19. Lihat juga T. Alibasjah Talsya, Sepuluh
Tahun Daerah Istimewa Atjeh, (Banda Atjeh: Pustaka Putroe Tjanden, 1969), h. 28.
31
Pada waktu itu istilah Keresidenan masih merupakan kesatuan yang bebas mengatur
rumah tangganya sendiri. Lihat, Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1992), h. 125.
32
Pidia Amelia, Gubernur Pertama dan Lahirnya Propinsi Sumatera Utara Perjuangan
Mr. SM Amin Mempertahankan Republik Indonesia di Sumatera Utara dan Aceh 1945-1949
(Medan: Unimed Press, 2013), h. 9. Lihat juga T. Alibasjah Talsja, 10 Tahun Daerah Istimewa
Atjeh (Banda Aceh, Pustaka Putroe Tjanden 1969), h. 28.
33
Departemen dan Kebudayaan, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), h. 179-180.
23
24
tempat seperti di Meulaboh, Kutaraja dan Langsa, oleh karena itu Residen
Residen Teuku Nyak Arif hanya bertahan selama empat bulan, dikarenakan
1946.34 Sejalan dengan itu susunan Badan Eksekutif Komite Nasional Daerah
: Hasjim.
: H. M. Zainuddin.
: Mohd. Hanafiah.
: R. Insun
Sekretaris : Kamarusid
baik dan memuaskan. Dalam masa pemerintahan tersebut, Aceh untuk pertama
dengan pemerintah daerah. Salah satu dari rombongan tamu itu adalah rombongan
Djojoadiningrat.36
34
S.M. Amin, Kenang-Kenangan Dari Masa Lampau, (Jakarta: Pradyana Paramita,
1984), h. 47.
35
Insider, Atjeh Sepintas Lalu, (Djakarta: FA Archapada, t.t), h. 37.
36
Insider, Atjeh Sepintas Lalu, h. 39.
25
Sejalan dengan itu pada bulan Desember 1946, Komite Nasional Daerah
Aceh mengadakan sidang pleno untuk membicarakan berbagai hal, antara lain
diambil dalam rapat pleno Komite Nasional Daerah Aceh akan disampaikan
dalam Rapat Pleno Dewan Perwakilan Pusat di Bukittinggi pada bulan Februari
1947.
Sumatera Timur dan Tapanuli dengan Gubernur Muda Mr. S.M. Amin.
Nasrun.
wilayah Aceh masih tetap bertahan dari penyerbuan Belanda, maka atas instruksi
Aceh, Kabupaten Langkat dan Kabupaten Tanah Karo menjadi satu Daerah
Wahab Seulimeum, Ali Hasmy, Nyak Neh Lhok Nga, Hasan Ali dan S. Abu
menyatukan tentara dan laskar dalam daerah kekuasaan Gubernur Militer, agar
tersebut berhasil dilakukan oleh Gubernur Militer Tgk. M. Daud Beureueh dengan
39
Latar belakang lahirnya posisi Gubernur Militer karena pada saat itu terjadinya masa
Agresi Militer Belanda, dan juga terjadi pergolakan pada sistem pemerintahan di Indonesia yang
lebih dikenal dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Untuk mempertahankan
wilayah Indonesia yang pada saat itu hampir seluruh bagian wilayah Indonesia dikuasai kembali
oleh Belanda kecuali Wilayah Aceh maka dijadikanlah Daerah Militer. Hal ini ditujukan untuk
memperlancar roda pemerintahan baik sipil maupun militer. Maka diangkatlah Gubernur Militer di
berbagai daerah di Sumatera, berikut susunan Gubernur Militernya:
a. Gubernur Militer untuk Daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo adalah Tgk. M. Daud
Beureueh.
b. Gubernur Militer untuk Daerah Sumatera Timur dan Tapanuli adalah Dr. Ferdinand
Lumban Tobing.
c. Gubernur Militer untuk Daerah Sumatera Barat adalah Mr. St Moh. Rasyid.
d. Gubernur Militer untuk Daerah daerah Riau adalah R.M. Oetoyo
e. Gubernur Militer untuk Daerah Sumatera Selatan dan Jambi adalah Dr. Adnan Kapau
Gani.
Selengkapnya lihat, Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi
Kemerdekaan 1945-1949, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), h. 400. Lihat juga, T.
Alibasjah Talsja, 10 Tahun Daerah Istimewa Atjeh, h. 29.
40
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, diterbitkan oleh Sekretariat DPRD-GR Propinsi
Daerah Istimewa Atjeh, (Banda Aceh, 1968), h. 11. Lihat juga, Ismuha, Ulama Aceh Dalam
Perspektif Sejarah, (Jakarta: LEKNAS-LIPI, 1976), h. 71.
41
S.M. Amin, Kenang-Kenangan Dari Masa Lampau, h. 76.
27
Sumatera Timur dan Tapanuli. Sebagai Gubernurnya ditunjuk Mr. S.M. Amin
Pusat Sumatera.42
pada tahun yang sama, seperti yang disampaikan Muhammad TWH dalam
“Upacara pelantikan di mulai pada pukul 20.00 dan dihadiri oleh pembesar-pembesar sipil
dan militer, pemuka-pemuka rakyat, para alim ulama, kaum wanita dan wakil-wakil
golongan bangsa Tiongoa, Arab, India, dan Pakistan. Juga hadir romobongan Presiden,
Gubernur Militer Daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Residen Inspektur Tuanku
Mahmud, Residen Aceh Teuku Tjhik M. Daudsyah, Sultan Siak Sjarif Kasim, Jenderal
Mayor Husin Al-Mujahid, dan lain-lain.”43
42
Dewan Perkawakilan Rakyat Atjeh, h. 12.
43
Muhammad TWH, Gubernur Pertama dan DPR Sumatera Utara Pertama, (Medan:
Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 2008), h. 145. Lihat juga S.M. Amin,
Kenang-Kenangan Dari Masa Lampau, h. 87.
28
dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 1948, tetapi diundur karena anggota dari
dikarenakan daerahnya lebih aman dari kota-kota lain, dan juga dipandang lebih
kondusif.45
golongan dan lapisan masyarakat. Hanya harus disesalkan bahwa, pada rapat hari
obstructie ini adalah beberapa anggota yang bersatu dalam Ikatan Front
Demokrasi Rakyat di bawah pimpinan anggota Residen Abdul Karim M.S. dari
Perwakilan Rakyat Sumatera Utara (DPRSU) yang terdiri dari 45 orang dan
M. Yunan Nasution
44
Insider, Atjeh Sepintas Lalu, h. 44.
45
S.M. Amin, Kenang-Kenangan Dari Masa, h. 41.
46
Insider, Atjeh Sepintas Lalu, h. 45.
47
Nama-nama yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara
(DPRSU) selengkapnya lihat, Sutan Muhammad Amin, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution
Perjalanan Hidupku, h. 76-77.
29
Yahya Siregar
Amelz
Melanton Siregar
Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Sosialis Indonesia (PSI),
Pesindo, Parkindo, dan Barisan Tani Indonesia. Kedua, penetapan bahwa Kutaraja
menjadi ibukota Suamtera Utara.48 Inilah beberapa keputusan, yang diambil dalam
Anggota-anggota berpisah satu sama lain dengan tekad, menumpahkan tenaga dan
Provinsi Sumatera Utara yang pertama tidak bertahan lama, hanya 5 bulan
Utara), atau 11 bulan sejak pelantikan Gubernur Mr. S.M. Amin. Hal ini
penyerangan terhadap ibu kota Provinsi Sumatera Utara Kutaraja, dan kota-kota
lainnya yang berada di pantai laut sebelah utara, maupun disebelah timur dan
barat. Presiden dan Wakil Presiden Soekarno-Hatta berserta sejumlah Menteri dan
48
Sebelumnya Komisaris negara telah menetapkan sibolga sebagai ibukota sementara
untuk provinsi Sumatera Utara, karena tidak ada persuaian pendapat maka Kutaraja menjadi
ibukota Provinsi Sumatera Utara. Lihat Insider, Atjeh Sepintas Lalu, h. 44.
30
pembesar lainnya ditawan oleh Belanda di pulau Bangka. Suatu hal yang sangat
bahwa “Republik Indonesia tidak ada lagi, gerakan kemerdekaan Indonesia telah
dapat dibasmi”.49
Keadaan yang demikian gawat harus segera diatasi. Pada saat itu Mr.
alat kekuasan sipil dan militer dalam tiap-tiap Daerah Militer Istimewa dipusatkan
dalam satu tangan yakni Gubernur Militer, dan menetapkan Provinsi Sumatera
Utara menjadi dua Daerah Militer. kedua, keputusan Pemerintah Darurat Republik
49
S.M. Amin, Kenang-Kenangan Dari Masa Lampau, h. 98.
50
Pemerintah Darurat Republik Indonesia terbentuk sejak 22 Desember 1948 di rumah
mantan administratur Perkebunan The di Halaban, Payakumbuh Sumatera Barat, Selengkapnya
lihat, JR. Chaniago, PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) Dalam Khasanah Kearsipan,
(Jakarta: Arsip Nasional, 1989), h. 9.
51
Mr. S.M. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah di Aceh, (Jakarta: Soeroengan, 1957), h.
27. Lihat juga, Abdullah Sani Usman, Krisis Legitimasi Politik Dalam Sejarah Pemerintahan di
Aceh, (Jakarta: Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur Keagamaan,
2010), h. 199-200.
31
perjuangan memperoleh kedaulatan atas tanah air juga dilakukan dengan cara
kedaulatan oleh Belanda kepada bangsa Indonesia. Kabar gembira ini juga di
Tapanuli Sumatera Timur. Keputusan ini dibuat karena jasa serta kesetiaan rakyat
52
Al Manak Umum, (Kutaradja: Atjeh Press Service, 1959), h. 108.
32
1949 No.24/PDRI.
maka dalam waktu dekat yaitu pada tanggal 30 Januari 1950 diresmikanlah
“Tgk. M. Nur El Ibrahimy, 2. Tgk. Abdul Wahab Seulimum, 3. Abdul Gani (Ayah Gani), 4.
A.R. Hasyim, 5. A.R. Hajat, 6. Ismail Usman, 7. Hasan Ali, 8. O.K. H. Salamuddin, 9. Tgk.
Ismail Yakub, 10. Usman Aziz, 11. A. Ghafur Akhir, 12. Ismail Thaib, 13. Tgk. Hasan
Hanifah, 14. T. Muhammad Amin, 15. Tgk. Abdul Hamid, 16. Zaini Bakri, 17. Banta Cut,
18. Tgk Zamzami Yahya, 19. Ibrahim Abduh, 20. H.A. Halim Hasan, 21. Mahyuddin
Yusuf, 22. Mawardi Nur, 23. Tgk. H. Ali Balwi, 24. Bachtiar Junus, 25. N.D Pane, 26.
Karim Yusuf, 27. Lim Hong Moh.”55
53
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, h. 14.
54
A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70: Tahun Menempuh Pergolakan, h. 397.
55
S.M. Amien, Kenang-Kenangan: Dari Masa Lampau, h. 83.
33
Rakyat Daerah dengan hasil pemilihan, Tgk. Abdul Wahab Seulimum menjadi
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Aceh dan A.R Hajat
sebagai Wakil Ketua. Sementara itu pemerintahan sehari-hari dari Provinsi Aceh
dijalankan oleh Badan Eksekutif yang diketuai oleh Gubernur Aceh Tgk.
3. M. Nur El Ibrahimy
4. Amelz
5. Ali Hasjmy56
dengan memuaskan. Tiba-tiba dalam bulan Maret 1950, sewaktu Provinsi Aceh
masih berjalan 3 bulan terdengar kabar tentang sebagian anggota perlemen yang
sendiri, sebaliknya kabar ini dianggap menguntungkan bagi golongan yang anti
nampaknya diterima dengan dingin oleh masyarakat. Dua atau tiga hari sesudah
56
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, h. 15. Sedangkan di dalam sumber lain, saudara Ali
Hasjmy tidak bersedia dan digantikan oleh Ismail Usman. Lihat, Ali Hasjmy, Semangat Merdeka
70: Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 397.
34
Indonesia Aceh atau Gesida) diadakan rapat untuk membentuk panitia upacara
Januari 1950. Tetapi rapat tidak dapat berlangsung karena kekurangan minat dari
pada tanggal 30 Januari 1950, tidak dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri atau
wakilnya yang ketika itu sedang berada di Yogkakarta. Ketidak hadiran pejabat
karena melanggar perjanjian dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang pada
saat itu wilayah Indonesia hanya bisa dibagi menjadi 9 Provinsi dan satu daerah
Istimewa Jogyakarta.
yang ada di Sumatera, termasuk Propinsi Aceh. Pada awal bulan Maret 1950,
dihadiri oleh Gubernur Aceh Tgk. Muhammad Daud Beureueh, Ketua DPR
Provinsi Aceh Tgk. Abdul Wahab, Ketua DPR Kabupaten Aceh Besar Zainy
Bakry, dan Abdul Gani. Pada kesempatan itu Menteri Dalam Negeri mengatakan,
57
“Keterangan Pemerintah Tentang Peristiwa Atjeh,” Bintang Timur, 29 Okober 1953.
35
bahwa pemerintah pusat belum menetapkan adanya Provinsi Aceh. Oleh karena
Menteri Dalam Negeri itu, maka Gubernur Aceh, Ketua DPR Aceh dan beberapa
anggota DPR Aceh menolak tawaran dari Menteri Dalam Negeri Mr. Susanto
Tirtorpojo dan tetap menginginkan Aceh tetap berstatus sabagai Provinsi yang
berdiri sendiri.59
persoalan Provinsi Aceh. Keinginan rakyat Aceh yang tulus akan Provinsi
ditanggapi hampir 5 bulan proses itu berjalan. Akhirnya pada tanggal 12 Agustus
diberikan status provinsi sendiri, karena rakyat Aceh merasa sangat tertinggal jauh
dari rekan-rekan mereka dalam Provinsi Sumatara Utara.60 Dalam mosi yang
“Aceh berlainan kepentingan dengan Sumatera Timur dan Tapanuli, berlainan adat istiadat,
berlainan agama dengan Tapanuli Utara. Hal-hal ini dapat menimbulkan masalah-masalah
58
Mr. S.M. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah, h. 29.
59
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah
Istimewa Aceh, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1983), h. 115.
60
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), hal 43.
61
Daud Remantan, “Pembaharuan Pemikiran Islam di Aceh (1914-1953),” (Disertasi S3
Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta 1985), h. 107. Amien, Kenang-
Kenangan: Dari Masa Lampau, h. 114.
36
undang tersebut. Adapun inti undang-undang itu memuat beberapa poin yaitu:
62
Amien, Kenang-Kenangan: Dari Masa Lampau, h. 123. Lihat juga Sutan Muhammad
Amin, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution Perjalanan Hidupku, h. 90-91.
63
Sutan Muhammad Amin, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution Perjalanan Hidupku,
h. 90.
37
Tingginya suhu politik antara Jakarta dan Aceh membuat kesepakatan untuk
mengirim utusan antara kedua belah pihak selama jangka waktu yang relatif
singkat antara bulan Agustus sampai Januari 1951. Dari pihak Aceh dikirim dua
orang yaitu Abdul Wahab Seulimeum dan Abdul Gani untuk melakukan
hanya segelintir pemimpin Aceh saja yang menuntut status provinsi dan itu
dilakukan antara kedua belah pihak tidak membawa hasil yang baik. Delegasi
yang semakin rumit itu pada tanggal 26 September 1950, Menteri Dalam Negeri
pertemuan yang dipimpin oleh Tgk. M. Daud Bereueh dan juga dihadiri oleh
anggota (Dewan Perwakilan Daerah) DPD T.M. Amin, para Kepala Daerah
Kabupaten, kecuali Aceh Selatan. Menteri Dalam Negeri Mr. Assaat memberikan
64
A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70: Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 401-403.
65
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, h. 46.
38
provinsi yang berotonomi, salah satu dari 10 provinsi itu, adalah Provinsi
Sumatera Utara.66
provinsi dengan menegaskan kembali Mosi DPRD Aceh yang berkenaan dengan
ke-agamaan, adat istiadat, kebudayaan, pendidikan, dan keuangan.67 Dalam hal ini
mosi yang pernah dikeluarkan oleh DPRD Aceh tidak cukup kuat untuk
beban yang berat sekali untuk menetapkan apakah Aceh tetap satu provinsi.
Beban pemerintah pusat akan bertambah ringan jika Aceh masuk Provinsi
sekarang menjadi Perdana Menteri adalah seorang Islam, seorang ulama pula.
Dalam keadaan seperti ini tentu kedudukan agama Islam akan cukup dapat
perhatian beliau. Menteri Dalam Negeri Mr. Assaat pun seorang yang beragama
Islam juga…".69
Pertemuan kedua belah pihak diakhiri tanpa ada kata sepakat. Gubernur
otonomi daerah Aceh tidak dikabulkan kami akan meletakkan jabatan sebagai
66
S.M. Amien, Kenang-Kenangan: Dari Masa Lampau, h. 89.
67
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1997), h. 225.
68
Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 131.
69
S.M. Amien, Kenang-Kenangan: Dari Masa Lampau, h. 89-90.
39
berakhir dalam suasana tegang dan tidak mencapai hasil yang baik.
Usaha untuk memperoleh status otonomi terus diupayakan. Pada akhir bulan
harapan agar status Provinsi Aceh masih bisa dipertahankan. Ia mungkin berpikir,
pada masa revolusi dan berharap akan mendapatkan hasil yang baik untuk Aceh.
hak provonsi yang telah diberikan dulu dengan undang-undang oleh pemerintah.
Dan apa alasan pemerintah sekarang untuk membubarkannya. Bahwa selama ini
di Aceh tidak ada terjadi kekacauan dan kerusuhan. Mengenai sikap Aceh dalam
mempertahankan hak propinsi itu dari dulu sampai sekarang seujung rambut
Waspada “…Belum ada sesuatu ketegasan dari pemerintah, dan pemerintah masih
mencari keterangan lebih lanjut. Berhubung belum adanya sesuatu ketegasan dari
pemerintah pusat mengenai Propinsi Aceh, maka sampai sekarang Propinsi Aceh
70
S.M. Amien, Kenang-Kenangan: Dari Masa Lampau, h. 91. Lihat juga, Sutan
Muhammad Amin, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution Perjalanan, h. 91.
71
“Atjeh Pertahankan Hak Propinsi, Belum Ada Ketegasan Dari Pusat,” Waspada, 30
Oktober 1950, h. 1.
72
“Atjeh Pertahankan Hak Propinsi, Belum Ada Ketegasan Dari Pusat,” Waspada, 30
Oktober 1950, h. 1.
40
penjelasan mengenai belum dapat diadakan suatu provinsi tersendiri bagi daerah
Serikat dan Republik Indonesia tanggal 19 Mei 1950 dan Pernyataan bersama
tanggal 19/20 Juli 1950, telah ditetapkan daerah Aceh, bergabung dengan daerah-
Muhammad Hatta bernasib sama seperti pertemuan Menteri Dalam Negeri Mr.
Assat yang tidak membuahkan hasil yang memuaskan bagi semua pihak.
kaum Uleebalang dan beberapa anggota perlemen yang tidak menyetujui status
di Kutaraja pada tanggal 23-27 Desember 1950. Dalam kongres PUSA terdapat
beberapa perbedaan sikap yang harus diambil oleh PUSA, yakni mendesak
pemerintah daerah untuk mengambil sikap tegas kepada pemerintah pusat, dengan
tuntutan, apabila sampai 1 Januari 1951 status Aceh belum berdiri sendiri sebagai
anggota PUSA lainnya mengambil sikap yang netral untuk memberi kesempatan
kepada pemerintah pusat untuk menyelesaikan masalah yang telah terjadi di Aceh.
73
Sutan Muhammad Amin, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution Perjalanan Hidupku h,
92. Selengkapnya lihat pidato Wakil Presiden dan Tgk. M. Daud Beureueh dalam Hasan Saleh,
Mengapa Aceh Bergolak, h. 132.
74
Memorandum Tentang Peristiwa Pemberontakan DI-TII Di Atjeh, (T.tp.: Staf Umum I
Tentara dan Ter I Bukit Barisan, 1956), h. 20.
41
pada tuntutan supaya pemerintah pusat segera memberi otonomi untuk daerah
Aceh. Dalam hal ini kongres mengeluarkan resolusi yang mendesak supaya:
bagi Aceh.
pemimpin Aceh, termasuk Tgk. M. Daud Beureueh yang tidak datang untuk
Muhammad Natsir yang semula akan ditempatkan di sebuah hotel, tetapi atas
kehendak P.M. Mohammad Natsir sendiri melihat kondisi yang terjadi maka
kebijaksanaan yang bersifat dari hati ke hati. Setelah perundingan dan membujuk
Akhirnya Provinsi Aceh dan DPR nya resmi di hapuskan pada bulan Januari
Medan ditetapkan menjadi ibu kota Propinsi Sumatera Utara dan Abdul Hakim
Negeri, tetapi beliau tidak pernah ke Jakarta untuk tugas yang barunya. Tgk. M.
PUSA yang ketiga di Kuala Simpang pada tanggal 25-29 April 1953. kongres
diambil oleh Kongres Alim Ulama dan Muballigh Islam se-Indonesia,80 yang
77
Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 134.
78
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, h. 17.
79
Memorandum Tentang Peristiwa Pemberontakan DI-TII Di Atjeh, h. 106. Dalam
sumber lain menyebutkan Tgk. M. Daud Beureueh mengambil cuti selama enam bulan masa
tugasnya di Kementerian Dalam Negeri Jakarta. Lihat, M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah
Gugatan, h. 235.
80
Kongres Alim Ulama se-Indonesia yang diadakan di Kota Medan berlangsung pada
tanggal 11-15 April yang dipimpin oleh Tgk. M. Daud Beureueh. Di antara keputusan yang
diambil dalam kongres tersebut ialah mengadakan kerjasama yang erat dengan instansi-instansi
pemerintah dan organisasi-organisasi untuk amar ma‟ruf dan nahi mungkar dan juga dengan tegas
akan berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan rakyat memperjuangkan agama Islam dalam
pemilihan umum pada tahun 1955. Lihat, A.H. Gelanggang, Rahasia Pemberontakan Atjeh dan
Kegagalan Politik Mr. S.M. Amin, (Kutaraja: Pustaka Murni Hati, 1956), h. 10.
43
Provinsi untuk daerah Aceh. Kongres ini merupakan kongres terakhir PUSA,
karena pada tanggal 21 September 1953 di Aceh meletus peristiwa berdarah atau
Beureueh.
puasaan rakyat Aceh kepada pemerintah pusat. Perjuangan yang telah banyak
dilakukan oleh rakyat Aceh kepada pemerintah pusat seperti tidak dihargai dan
menambah rasa kekecewaan yang mendalam, yang akhirnya menjadi akibat besar
81
B.J. Boland, The Struggle of Islam In Modern Indonesia, (The Hague-Martinus Nijhoff:
Verhandelingen KITLV, 1971), h. 72.
82
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 403.
83
Organisasi Badan Keinsyafan Rakyat (BKR) didirikan di Kutaraja pada tanggal 8 April
1951. Organisasi ini didirikan atas inisiatif beberapa orang terkemuka di Kutaraja, antara lain
Teungku Mohammad Ali Lam Lagang, Ibrahim Lhong Raja. Dalam pasal 5 anggaran dasar Badan
Keinsyafan Rakyat salah satu tujuan BKR adalah mempercepat silaturrahim antara rakyat dengan
rakyat, golongan dengan golongan dan antara rakyat dengan golongan dan pemerintah. Tetapi
maksud dari tujuan BKR yang sebenarnya adalah pengembalian kekuasaan politik kepada
golongan Uleebalang. Hal ini terbukti dengan jelas dalam waktu yang singkat sesudah
terbentuknya organisasi ini, dengan mengeluarkan suatu resolusi dengan mengambil sikap
44
lain.84
190 orang Aceh terkemuka harus ditangkap. Hal ini diketahui di Aceh
menolak terhadap kebanyakan mereka (kaum ulama) yang menamakan dirinya wakil atau
pemimpin rakyat yang menduduki kursi-kursi pemerintahan di Aceh, pemimpin-pemimpin yang
cita-citanya dan berlomba-lomba mengumpulkan kekayaan untuk dirinya masing-masing. Resolusi
tersebut tidak berhasil dijalankan dan pihak PUSA masih terus memegang pimpinan pemerintahan.
84
Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 136.
45
pada Juli 1953 belakangan ternyata bahwa daftar nama ini barangkali
pemutusan resmi dengan “Djakarta” dan awal dari apa yang disebut
Bolland, bahwa sebetulnya surat itu tidak pernah ada. Desas-desus itu
3. Dalam masa revolusi fisik, daerah Aceh didatangi para pengungsi dari
Aceh).
85
B.J. Boland, The Struggle of Islam, h. 73.
86
Nugroho Dewanto, Daud Beureueh Pejuang Kemerdekaan, h. 3.
87
Bambang Suwondo, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta:
Depdikbud, 1978), h. 192.
46
pembangunan.89
Indonesia dari Penang turun menjadi 2,1 juta di tahun 1952 dan 0,5
volume impor. Hal yang sama juga terjadi pada penurunan volume
ekspor yang turun menjadi 141 juta rupiah di tahun 1952 dan pada
88
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 244.
89
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 242.
90
Nazaruddin Syamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, h. 77.
47
Islam atas apa yang telah pemerintah lakukan ketika masa revolusi
fisik.
antara dua kelompok besar dalam masyarakat Aceh pada saat itu, yaitu PUSA
berhasrat ingin merebut kembali hak-hak mereka yang selama ini dianggap tidak
adil, yang dipegang oleh kaum ulama. Sementara di pihak PUSA (kaum ulama)
Ulama yang diadakan di Medan dari 11 sampai 15 April, dan kongres PUSA yang
ke III yang diadakan di Langsa Aceh Timur pada tanggal 25 sampai 29 April.
Kedua Kongres ini tidak hanya memberikan titik awal untuk pergerakan
Kedua kongres ini juga memberikan dorongan guna memperbaharui usaha untuk
rakyat dan pemimpin Aceh untuk melakukan suatu tindakan pemberontakan terus
dilakukannya. Gerakan berbisik dari Tgk. M. Daud Beureueh berjalan terus tanpa
91
C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Penerjemah Tim PSH (Jakarta:
Grafiti Pers, 1983), h. 284.
48
sangat rahasia di rumah kediaman Tgk. M. Daud Beureueh. Pertemuan itu dihadiri
oleh lebih kurang 100 wakil dari seluruh Aceh. Pertemuan tersebut membicarakan
Keputusan hasil dari pertemuan tersebut Tgk. Daud Beureueh akan merencanakan
tersebut telah terdengar oleh pemerintah pusat maka dibatalkan dan berencana
selesai.94
Proklamasi itu dilakukan ditempat kediaman beliau sendiri, yaitu di kampung Usi
sebagian orang kepercayaan Tgk. M. Daud Beureueh yang berada di Idi dan
sejumlah senjata api berkisar 800-1000 pucuk. Pasukan inti berasal dari Pandu
Islam. Unsur lain berasal dari kelompok yang tidak puas terhadap pemerintah
di Aceh telah pecah suatu pemberontakan yang digerakkan oleh gerombolan liar.
Oleh karena itu diminta kepada rakyat agar tetap tenang dan waspada, serta
pemberontak.97
September 1953. Seruan ini diseberluaskan lewat radio, adapun bunyi dari seruan
tersebut adalah:
“Kepada rakyat Indonesia yang berada didaerah Aceh supaya bersama menegakkan
keamanan dan ketenteraman kembali. Apa yang terjadi di Aceh dinamakan usaha
merampas kekuasaan negara dan bertentangan dengan hukum. Mereka yang terlibat
didalam percobaan merampas kekuasaan negara ini, supaya jangan lagi meneruskan
perbuatan itu, janganlah dosa kepada negara sendiri itu sampai bertambah dan
diharapkannya supaya mereka lekas kembali pada tempat sebenarnya sebagai warga negara
Indonesia yang setia”.98
Dalam keterangan yang lain Menteri Peneragan Dr. F.L Tobing pada 1
96
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 292.
97
Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h. 64-
65.
98
“Gubern. Hakim Berseru SPJ Orang Djangan Berdosa T‟hadap Negara,” Antara, 24
September 1953.
50
Aceh dewasa ini, masih tetap dapat dikuasai oleh Pemerintah…” Dalam
Aceh, pemerintah mendapatkan bantuan penuh dari para alim ulama di Aceh yang
Teungku Saleh Meugit Raya, Teungku Muda Wali, dan Labuhan Haji. Para ulama
ini membuat seruan dan nasihat terhadap kaum muslimin dan muslimat,
khususnya rakyat Aceh supaya jangan sampai rakyat terpedaya dengan ajakan dari
Daud Beureueh terjadi di Aceh tidak ada pembunuhan dan pembakaran, tetapi
sewaktu timbul gerakan mereka itu, kita lihat dengan terang kezaliman-kezaliman
yang mengerikan, berapa banyak orang yang telah dibunuh dan berapa pula rumah
99
Rakjat Atjeh Jg Terdjepit Melarikan Diri Kehutan-Hutan, Bintang Timur, 1 Oktober
1953.
100
“Ulama Besar Tgk. H. Hasan Krueng Kale Kutuk Pemberontakan PUSA; La‟nat
Tuhan Atas Mereka”,Sin Po, 7 Oktober. Lihat juga, Ulama-Ulama Atjeh anjurkan bantu
Pemerintah, Bintang Timur, 1 Oktober 1953.
51
yang sudah dibakar…”101 Seruan tersebut ditutup dengan mengajak rakyat Aceh
supaya insyaf.
terkejut dengan peristiwa pemberontakan Darul Islam di Aceh. Dalam hal ini P.M.
Aceh, diantaranyanya:
keadaan menghendaki.102
101
“Ulama Besar Tgk. H. Hasan Krueng Kale Kutuk Pemberontakan PUSA; La‟nat
Tuhan Atas Mereka”,Sin Po, 7 Oktober. Lihat juga, Ulama-Ulama Atjeh anjurkan bantu
Pemerintah, Bintang Timur, 1 Oktober 1953.
102
“Rentcana Atjeh Sudah ditetapkan di Aceh”, Antara, 28 September 1953
103
“Rakjat Atjeh Jg Terdjepit Melarikan Diri Kehutan-Hutan”, Bintang Timur, 1 Oktober
1953.
52
lainnya yang hendak memecah belahkan kesatuan rakyat dan ingin memasukkan
“Kepada rakyat yang telah terpengaruh, terjerumus kedalam kancah kebinasaan oleh
bujukan yang muluk-muluk yang menggunakan ayat-ayat fisabilillah sahid dan
sebagainya diharapkan supaya insyaf dan ingatlah kepada jalan yang benar (petunjuk
Allah). Jangan mau ditipu mereka yang durhaka dan yang terkutuk itu. Dan kepada semua
rakyat Aceh dan semua rakyat Indonesia agar mengadakan bantuan dan penampungan-
penampungan pada saudara-saudara kita muhajirin pengungsi-pengungsi Aceh dan lain-
lainya dan diminta kepada semua partai-partai organisasi massa dan golongan-golongan
rakyat lainnya agar dapat bekerja sama dengan kami, antara kita dengan kita dan antara
kita dengan Pemerintah.”104
Abbas:
“Pemberontakan yang dilakukan oleh Daud Beureueh itu bukanlah soal Islam dan
ulamanya, karena di Aceh banyak juga ulama-ulama dan kaum Muslimin yang tidak turut
memberontak, misalnya ulama-ulama Perti dan anggota-anggotanya Perti, karena mereka
itu merasa bahwa agamanya tidak diganggu-ganggu oleh negara, sejalan dengan itu
kekacauan di Aceh akan dapat diatasi dengan lekas, karena rakyat terbanyak di Aceh
tidak menyetujui tindakan kekerasan yang dilkukan oleh Daud Beureueh cs itu. Perasaan
kurang puas terhadap keadaan memang terdapat dikalangan rakyat, tetapi rakyat pun
merasa, bahwa tidak seharusnya karena perasaan yang demikian itu lalu mengambil jalan
kekerasan.”105
104
“Seruan Komite Pembela/Penjunjung Pancasila RI untuk Aceh”, Bintang Timur, 7
Oktober 1953.
105
“Partai Islam Perti Anjurkan Anggotanya Bantu Alat-Alat Negara”, Antara, 2 Oktober
1953.
53
“Satu satunya jalan bagi Pemerintah adalah bersatu dengan rakyat menghancurkan separatis
ini, dalam hubungan ini PKI menyatakan dengan jujur dan ikhlas bahwa PKI berdiri
sepenuhnya di belakang Pemerintah Republik Indonesia dalam menghancurkan Darul
Islam di Aceh, Jawa Barat dan dimana saja.106
Aceh
Daud Beureueh, situasi Aceh dalam keadaan tidak aman. Suara tembakan
ribuan rakyat tidak berdosa menjadi korban, banyak perempuan yang menjadi
janda, rakyat sangat menderita di segala bidang. Masyarakat tidak ada yang berani
keluar dari rumah untuk beraktifitas seperti biasa. Serangan demi serangan terus
dilancarkan oleh kelompok Darul Islam, sasarannya adalah tentara atau mobrig
itu kedua belah pihak saling menghancurkan sarana dan prasarana seperti merusak
ditahan oleh tentara atau mobrig karena dicurigai sebagai kaum pemberontak.
kekacauan yang luar biasa dan juga kerugian yang besar bagi masyarakat Aceh
dan pemerintah. Korban harta benda dan jiwa yang tak ternilai harganya dalam
106
Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h.
66.
107
A. Hasjmy, Semangat Indonesia 70: Tahun Menempuh Pergolakan, h. 416.
54
merupakan tragedi yang menguras emosi dan juga masalah nasional yang
dalam rapat pleno terbuka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia
pertama-tama tidak akan melihat siapa bersalah dalam hal ini. melainkan ibarat
menghadapi satu rumah yang kebakaran, lebih dulu marilah kita padamkan
kebakaran itu dan barulah sesuadah itu dipersoalkan siapa yang bersalah.110
P.M. Ali Sastroamidjojo, bahwa tindakan yang terpenting yang harus diambil oleh
108
Departemen dan Kebudayaan, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, h.
179-180.
109
Di dalam rapat Pleno DPR, terdapat 4 bab mengenai keterangan Pemerintah terhadap
peristiwa pemberontakan di Aeh, diantara 4 bab tersebut adalah:
Bab I : Kejadian-kejadian di Aceh menurut urutan kronologis, sekedar mana yang
penting.
Bab II : Latar belakang peristiwa Daud Beureueh
Bab III : Tindakan-tindakan yang telah dijalankan oleh Pemerintah untuk mengatasi
peristiwa tersebut.
Bab IV : Tindakan-tindakan selanjutnya yang akan diambil oleh Pemerintah.
Lihat, Ali Sastroamidjojo, Keterangan dan Djawaban Pemerintah Tentang Daud
Beureueh, (Jakarta: Kementerian Penerangan RI, 1953), h. 8.
110
“Keterangan Pemerintah Tentang Atjeh: Tindakan Pertama-tama Memadamkan
Pemberontakan,”Sin Po, 28 Oktober 1953.
55
sebagian saja dari rakyat Aceh yang memihak pemberontak. Adapun tindakan
seluruh pantai dari Peurela, Kutaraja, Aceh Barat sampai Lama Inong disebelah
selatan Meulaboh tetap dikuasai oleh pemerintah. Ditempat tempat yang belum
ada detasemen tentara atau ditempat yang masih lemah diperkuat dengan
Umum tersebut mendapat tanggapan yang antusias dari para anggota sebagaimana
terlihat pada jumlah pembicara yang mencapai 17 orang dari berbagai partai.
111
“Keterangan Pemerintah tentang Atjeh: Tindakan Pertama-tama Memadamkan
pemberontakan, Sin Po, 28 Oktober 1953.
112
“Tiap Tiap Pemberontak Harus di Basmi, Tindakan Setengah-Setengah Hanya
Memperbanjak Korban”, Sin Po, 31 Oktober 1953.
56
kejahatan yang sangat besar terhadap negara dan harus dibasmi…” Abdulhajat
akarnya.113
umum adalah Mr. Burhanuddin Harahap (Masyumi) yang diberi waktu selama 45
senjata.114 Pendapat lain datang dari Mr. Muhammad Daljono dari Masyumi yang
Islam Indonesia guna memulihkan keamaan di daerah Aceh dan juga di daerah-
113
“Tiap Tiap Pemberontak Harus di Basmi, Tindakan Setengah-Setengah Hanya
Memperbanjak Korban”, Sin Po, 31 Oktober 1953
114
“Tiap Tiap Pemberontak Harus di Basmi, Tindakan Setengah-Setengah Hanya
Memperbanjak Korban”, Sin Po, 31 Oktober 1953
115
“Pemerintah Buka Kedoknya Pembela-Pembela Kaum Pemberontak”, Sin Po, 3
November 1953.
57
pengadilan karena melanggar hukum, harus diadili dan diambil tindakan yang
setimpal dengan perbuatannya. Perkara Daud Beureueh telah berjasa apa tidak, itu
dihadiri oleh 137 anggota, 17 Menteri dan perhatian yang antusias dari publik.
dan telah merugikan negara dan bangsa. P.M. Ali Sastromidjojo juga
membelokkan perhatian khalayak ramai ke arah yang lain, sehingga usaha untuk
“Rakyat seluruhnya sudah merasa jemu dengan gangguan keamanan yang sangat
menyulitkan penghidupannya setiap hari, maka pemerintah yang bertanggung jawab.
Maka dari itu bagi pemerintah merupakan suatu pertanyaan mengapa anggota-anggota
tersebut melihat dalam keterangan pemerintah suatu sikap yang tidak objektif, berat
sebelah, meraba-raba, mendasarkan keterangan pada golongan tertentu, yang tidak jujur,
dan seakan-akan pemerintah memberikan kesan untuk menimbulkan kebencian di
kalangan rakyat terhadap PUSA. Pemerintah mengira, bahwa setiap orang yang mengenal
masyarakat Aceh secara dekat, terutama kedua anggota tersebut (M. Nur El Ibrahimy dan
Amelz) telah dapat memahami, bahwa keterangan pemerintah itu disusun sedemikian
116
“Tiap Tiap Pemberontak Harus di Basmi, Tindakan Setengah-Setengah Hanya
Memperbanjak Korban”, Sin Po, 31 Oktober 1953.
117
A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun: Menempuh Jalan Pergolakan, h. 428.
118
“Pemerintah Buka Kedoknya Pembela-Pembela Kaum Pemberontak”, Sin Po, 3
November 1953. Lihat juga, Ali Sastroamidjojo, Keterangan dan Djawaban Pemerintah, h. 49.
58
rupa, hingga pertanyaan-pertanyaan betapa pun pentingnya dilihat dari sudut lain justru
sejak semula berminat untuk meredakan suasana yang sudah meruncing. Oleh karena itu
pemerintah sependapat bahwa pribadi Daud Beureueh yang sekarang oleh khalayak ramai
dianggap sebagai pemimpin pemberontakan. Mengenai tuduhan di kalangan pemerintah
dan pegawai tinggi yang meminta nasihat mengeai soal Aceh kepada pihak Komisariat
Agung Belanda, pemerintah menyatakan bahwa tuduhan itu tidak benar.”119
“Barang siapa mengikuti perkembangan pemerintah dalam suasana revolusi 1945 dan 1948
di Tanah Air kita ini dapat memahami, bahwa kekuasaan pada waktu itu berada penuh di
tangan orang-orang dari golongan yang menghendaki kursi-kursi paling penting dalam
pemerintahan daerah dan tidak dapat disangkal lagi, bahwa di masa itu segala kedudukan
tersebut ada di tangan orang-orang PUSA. Mengenai peranan PUSA dalam pemerintahan
sipil, militer dan dalam lapangan perekonomian dan perniagaan, rakyat mengetahui benar
bahwa semula mereka (anggota PUSA) orang yang tidak berada, tetapi sesudah berkuasa
mereka mendadak menjadi kaya, sedangkan rakyat mengharapkan bahwa pihak penguasa
hendaknya mengutamakan kepentingan rakyat dari kepentingan perseorangan dari orang-
orang yang memerintah.”
Aceh, Nur El Ibrahimy tidak bisa menjawab dengan jawaban yang memuaskan.
Nur El Ibrahimy hanya menyatakan akan menyelidiki apa yang telah P.M. Ali
dugaan korupsi yang dilakukan oleh orang-orang PUSA telah berada di tangan
pemerintah.121
119
“Pemerintah Buka Kedoknya Pembela-Pembela Kaum Pemberontak”, Sin Po, 3
November 1953. Lihat juga, Ali Sastroamidjojo, Keterangan dan Djawaban Pemerintah, h. 49.
120
“Ali Sastroamidjojo, Keterangan dan Djawaban Pemerintah, h. 51-52
121
Ali Sastroamidjojo, Keterangan dan Djawaban Pemerintah Tentang, h. 52.
59
menyetujui dan memutuskan pengiriman komisi peninjauan Aceh yang terdiri dari
3. Ardiwinangun (anggota)
5. S. Uratyo (anggota)
Komisi yang telah ditugaskan oleh DPR memulai tugasnya dari tanggal 7-
Pidie, dan Aceh Timur. Selama berada di Aceh komisi akan melakukan
wawancara dengan pramong praja, pemimpin partai politik, organisasi, polisi dan
122
“Pemerintah Buka Kedoknya Pembela-Pembela Kaum Pemberontak”, Sin Po, 3
November 1953.
123
A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun: Menempuh Pergolakan, h. 432. Lihat juga
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah, h. 323.
124
Terdapat perbedaan tanggal masa penyelidikan yang di lakukan oleh Komisi DPR ke
Aceh. Dalam buku Semangat Merdeka di katakan masa peninjauan selama 14 hari, sementara
dalam buku Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradsi, masa peninjauan selama 10 hari. Ali
Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun: Menempuh Pergolakan, h. 432. Bandingkan, M. Isa
Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 323.
60
tentara serta tawanan yang dipenjara di Tanjung Kasau dan Tebingtinggi.125 Salah
seorang putera Aceh yang dipenjara di Tebingtinggi pada saat itu adalah Ali
Hasjmy.
Hasil dari peninjauan yang dilakukan oleh komisi DRP selama berada di
sidang pleno yang berlangsung pada tanggal 10 Februari 1954. Berikut beberapa
“Kondisi di Kabupaten Aceh Timur, militaire bijstand (bantuan militer) sudah dicabut.
Penduduk yang sebagian mula-mula mengungsi, seluruhnya telah kembali ketempat
tinggalnya dan melakukan pekerjaan masing-masing seperti biasa, kecuali sebagian kecil
yang masuk gerombolan pemberontak dan tidak lagi menampakkan dirinya. Hubungan
lalu lintas sudah berjalan kembali. Kendaraan umum bis, mobil, dan kereta api sudah
berjalan dari Medan ke Lhoksemawe. Keadaan Kabupaten Aceh Utara dan diseluruh
Kabupaten Aceh Timur dengan tidak mendapatkan gangguan.
Sementara mengenai keadaan keamanan di Aceh Pidie dan Aceh Besar dimana militaire
bijstand (bantuan militer) masih berlaku. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa di kedua
daerah kabupaten itu hanya di kota-kota saja terdapat keamanan. Tetapi di luar kota pada
siang hari kadang-kadang terdapat juga gangguan keamanan. Walaupun demikian petani-
petani sudah bercocok tanam seperti biasa. Sementara kendaraan (bus dan lain-lain) dan
kereta api ada yang sudah berjalan kembali, walapun hanya trayek-trayek yang pendek.
(Pada waktu Komisi Perlemen berada di Kutaraja dan Sigli jalannya kereta api tidak lebih
dari 20 km dari Kutaraja dan 15 km dari Sigli).
125
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 324.
126
Bagian Dokumentasi, Sekitar Peristiwa Daud Beureueh, Vol III, (Jakarta: Kronik
Kementerian Penerangan, t.t., Jilid III), h. 57.
61
Daud Beureueh. Pemerintah dalam hal ini P.M. Ali Sastroamidjojo menegaskan di
Pada bulan September 1954 munculah sebuah surat terbuka dari Hasan
Muhammad Tiro128 dari New York yang ditujukan kepada Perdana Menteri Ali
agresi terhadap rakyat Aceh, rakyat Jawa Barat, rakyat Jawa Tengah, rakyat
Sulewesi Selatan, Sulewesi Tengah dan rakyat Kalimantan. Hasan Tiro meminta
127
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 326.
128
Hasan Tiro dilahirkan dari pasangan Tgk. Muhammad, seorang alim di desa Tanjong
Bungong (Pidie) dengan Tgk. Fatimah binti Tgk. Mahyuddin bin Tgk. Chik Di Tiro Muhammad
Saman. Hasan Tiro lahir sekitar tahun 1925. Semenjak kecil Hasan Tiro diasuh oleh ibu dan
pamannya Tgk. Umar Tiro (1904-1980). Hasan Tiro menyelesaikan pendidikan dasarnya di
Madrasah Sa‟adah Al-Abadiyah di Sigli dan melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Normal
Islam, setalah menyelesaikan pendidikannya ia merantau ke Jogyakarta untuk melanjutnya
studinya di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Pada tahun 1950, Hasan Tiro
mendapatkan beasiswa Colombo Plan dari pemerintah untuk melanjutkan pendidikannya ke
Amerika Serikat. Selama berada di Amerika Serikat, Hasan Tiro bekerja pada staf bagian
Penerangan Perwakilan tetap RI di PBB New York hingga September 1954. Di kemudian hari
Hasan Tiro mendirikan gerakan pemberontakan dengan menamai Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
di Pidie, Aceh Besar. Lihat, M. Isa Sulaiman, Aceh Merdeka: Ideologi, Kepemimpinan dan
Gerakan, (Pustaka Al-Kausar: Jakarta, 2000), h. 12.
62
Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulewesi Selatan, Kalimantan dan Maluku.
Juga meminta agar Kabinet P.M Ali Sastroamidjojo berunding dengan Tgk. M.
Daud Beureueh, S.M. Kartosuwiryo, Abdul Kahar Muzakkar dan Ibnu Hajar.129
PBB (Persatuan Bangsa Bangsa), Benua Amerika, Eropa, Asia dan seluruh
negara-negara Islam.131
Ancaman Hasan Tiro tidak diterima oleh P.M. Ali Sastroamidjojo, melalui
pulang ke Indonesia sampai tanggal 22 September 1945. Jika Hasan Tiro berkeras
kepala, maka paspornya akan dianggap tidak berlaku dan akan menyebabkan
Hasan Tiro dapat diusir oleh imigrasi Amerika Serikat.132 Pada tanggal 27
September 1954 paspor diplomatik Hasan Tiro dicabut oleh P.M. Ali
129
Ali Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 458.
130
Isi ancaman yang dikemukakan oleh Hasan Tiro kepada P.M Ali Sastromidjojo, ialah
sebagai berikut, (a) Kami akan membuka dengan resmi perwakilan diplomatik bagi Republik
Islam Indonesia di seluruh dunia, termasuk PBB, Benua Amerika, Eropa, Asia, dan seluruh
negara-negara Islam, (b) Kami akan memajukan kepada General Assembly PBB yang akan datang
kekejaman, pembubuhan, penganiayaan, dan lain-lain pelanggaran terhadap Hukum Rights yang
telah dilakukan oleh regime Komunist-Fasist tuan terhadap rakyat Aceh, (c) Kami akan menuntut
rezim tuan dimuka PBB atas kejahatan genocide yang sedang tuan lakukan terhadap suku bangsa
Aceh, (d) Kami akan membawa kehadapan mata seluruh dunia Islam, kekejaman-kekejaman yang
telah dilakukan oleh rezim Tuan terhadap para alim ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Sulewesi Selatan, Sulewesi Tengah dan Kalimantan, (e) Kami akan mengusahakan pengakuan
dunia internasional terhadap Republik Islam Indonesia,yang sekarang de facto menguasai Aceh,
sebagian Jawa Barat, dan Jawa Tengah, Sulewesi Selatan, dan Tengah, dan sebagian Kalimantan,
(f) Kami akan mengusahakan pemboikotan diplomatik dan ekonomi internasional terhadap rezim
Tuan dan ekonomi dari PBB, Amerika Serikat, dan Colombo Plan, (7) Kami akan mengusahakan
bantuan moral dan materil buat Republik Islam Indonesia dalam perjuangannya menghapuskan
rezim-teror Tuan dari Indonesia. Lihat, “Di New York Didirikan, Rep Islam Indonesia”, Peristiwa,
7 September 1954.
131
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 328.
132
“Hasan Tiro Diberi Waktu Sampai 22 Sept Untuk Pulang Ke Indonesia”, Antara, 17
September 1954.
63
membayar denda sebesar US$ 500. Melalui New York Times Hasan Tiro
awal telah memperlihatkan sikap yang sangat tegas kepada pihak pemberontak.
Marhaban, dan Nyak Neh Rica.134 Sejalan dengan itu Kepala Staf Angkatan Darat
pemulihan keamanan Aceh harus diambil tindakan secara militer dalam merebut
dengan tegas bahwa tidak mungkin menyelesaikan masalah Aceh dengan hanya
harus diminta Militaire Bijstand (bantuan militer). Dan apakah untuk seluruh
demikian, Gubernur Amin tidak berpendapat bahwa hanya secara militer keadaan
penyelesaian kasus Darul Islam Aceh dengan pemberian bantuan 2.000.000 rupiah
135
“KSAD Bersikap Tegas: Pemberontakan Atjeh Harus Ditindas Setjara Militer”, Sin
Po, 2 Oktober 1953.
136
“Kol. Simbolon Berterus Terang di Djakarta: Djangan Pakai Kekerasan Sendjata Sadja
Terhadap Pemberontak dan Djuga Djangan Umumkan SOB”, Bintang Timur, 17 November 1953.
137
“Gupernur Amin: Militaire Bijstand Harus Diminta Untuk Mengachiri Pemberontakan
PUSA”, Sin Po, 10 Oktober 1953.
138
“Gupernur Amin: Militaire Bijstand Harus Diminta Untuk Mengachiri Pemberontakan
PUSA”, Sin Po, 10 Oktober 1953.
65
pendidikan. Rencana ini akan dilakukan oleh Wakil P.M. Wongsonegoro dalam
dilakukan oleh unit-unit militer menjadi bahan kritikan mereka. Beberapa surat
pemerintah.140
dengan cepat pada akhir tahun 1953 atau paling lambat pada Maret 1954, akan
meleset sampai jatuhnya kabinet Ali Sastromidjojo pada tahun 1955 upaya
politik pada tingkat nasional. Proses yang ditempuh kabinet Burhanuddin Harahap
Burhanuddin Harahap seperti, melakukan kontak dengan pihak Darul Islam Aceh
pada tahun 1955. Upaya penyelesaian keamanan seperti ini mendapat dukung dari
139
Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h.
71.
140
Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h.
71.
66
Muhammad Hatta dan Z.A Lubis untuk melakukan perundingan kepada pihak
yang diterapkan pada masa kabinet yang lalu dengan menggunakan kekerasan dan
dan harus benar-benar dilakukan dari hati, dengan tidak mempunyai maksud yang
lain.141
Burhanuddin mengirim dua utusan atau kurir yang bernama Hasballah Daud142
(anaknya Tgk. M. Daud Beureueh) dan Abdullah Arif pada tanggal 5 Juli 1955
sebuah perundingan. Di samping itu pihak Darul Islam Aceh menghargai niat dan
S.M. Amin tentang maksud pemerintah untuk berunding dengan Daud Beureueh.
141
A.H. Gelanggang, Rahasia Pemberontakan Aceh, h. 185.
142
Keberangkatan Hasballah Daud pergi menjumpai orang tuanya untuk menyampaikan
konsepsi dari Wakil Presiden Mohammad Hatta yang menyerukan agar pihak Darul Islam Aceh
mengakhiri pemberontakan dan pemerintah akan berjanji untuk memberikan ampunan umum
(amnesty). Lihat A.H. Gelanggang, Rahasia Pemberontakan Aceh, h. 175.
67
Surat yang dikirim oleh S.M. Amin mendapat tanggapan dari pihak
pemimpin Darul Islam. Pada tanggal 14 November 1955 dalam surat yang di
tanda tangani oleh Hasan Ali, pihak Darul Islam Aceh menyatakan 3 butir sikap
atau resmi dan pihak Darul Islam menginginkan daerah Aceh menjadi bagian dari
negara Islam.145
Islam, sebab salah satu poin tuntutan Darul Islam sangat berat dikabulkan. Di sisi
lain Perdana Menteri sangat berkepentingan terhadap Aceh. Karena daerah Aceh
semakin meningkat, dan serangan terhadap tentara dan mobrig gencar dilakukan
kabinet lebih banyak tersita dalam hal pemilihan umum, demikian juga
berakhirnya masa Gubernur Sumatera Utara Mr. S.M. Amin pada 28 Februari dan
143
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 351.
144
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 352.
145
Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h.
75.
146
Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h. 77.
68
147
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1997), h. 352.
BAB III
Nama aslinya adalah Muhammad Ali bin Hasyim 148, namun lebih dikenal
Kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar. Ali Hasjmy lahir dari pasangan
Teungku Hasjim (1880-1984)149 dan Njak Buleuen. Namun sebelum kelahiran Ali
seorang anak perempuan, namun meninggal dunia ketika masih bayi.150 Pada usia
ibundanya meninggal dunia, Ali Hasjmy dibesarkan oleh neneknya yang bernama
Seulimeum. Lima tahun selepas ibunda Ali Hasjmy meninggal dunia, Teungku
Syarifah melahirkan tujuh orang anak.151 Sebagai anak seorang ulama, pedagang
148
H.A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, (Jakarta: Penerbit Socialia, 1978), h.
3.
149
Teungku Hasjim mempunyai 2 orang Istri. Istri pertama mempunyai 3 orang anak di
antaranya Zuriah, Ali Hasjmy, Inong Agam. Sementara Istri kedua mempunyai 7 orang anak. Lihat
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 4.
150
H.A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 3.
151
Dari hasil pernikahannya dengan Syarifah, Teungku Hasyim dikarunia 7 orang putra-
puteri, di antaranya: Ainal Mardhiah, Rohana, Syahbuddin, Asnawi, Fachri, Nurwani, dan
Fachmy. Dengan demikian, A. Hasjmy mempunyai tujuh saudara seayah (lain ibu). Lihat,
A.Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 4.
69
70
berpendidikan Sekolah Rakyat Islam (SRI).152 Hal ini tidak terlepas dari kuatnya
pada 21 hari bulan Rajab 1360 H, bertepatan dengan tarikh 14 Ogos 1940, Ali
Tokyo.
152
H.A.Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 3-4.
153
Zuriah Hasjmy,“Suka Dukanya Bersuami Seorang Pejuang”, dalam Badruzzaman
Ismail, ed., A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan: Delapan Puluh Tahun Melalui
Jalan Raya Dunia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 11.
154
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 6-7. Lihat
juga, H.A.Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 4.
71
masih bayi (12 September 1949). Meninggal dunia karena sakit infeksi
tali pusat.
6. Dahlia A. Hasjmy lahir 14 Mei 1953. Pernah belajar (tidak tamat) pada
Ali Hasjmy dan Zuriah Aziz termasuk orang tua yang telah berhasil dalam
perguruan tinggi dalam bidang yang berbeda-beda sesuai minat mereka masing-
masing.155 Namun tak ada satu pun di antara anak-anaknya yang mengikuti jejak
A. Hasjmy dalam bidang sosial keagamaan dan terlibat langsung dalam kehidupan
politik.
Pendidikan pertama yang diterima oleh Ali Hasjmy adalah dari neneknya Njak
Puteh (w. 1953 di Medan) pengganti ibunya. Selain neneknya Nyak Puteh, Ali
Hasjmy juga dibesarkan dan mendapat didikan dari ayahnya Teungku Hasyim dan
kakeknya Pang Abbas. Merekalah yang mewarnai sisi kehidupan serta membuka
cakrawala pemikirannya.
155
Hasan Basri, Teungku A. Hasjmy: Pengembang Tradisi Keilmuan dan Perekat Ulama-
Umara,” dalam Ensklopedi Pemikiran Ulama Aceh, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004), h. 467-
468.
72
huruf Arab, dengan perantaraan buku pelajaran pertama yang terkenal di Aceh
pada masa itu “Qur‟an Cut” atau Juz ‘Amma. Mengenai Njak Puteh, Ali Hasjmy
berkomentar bahwa “…Beliau yang menjadi guru saya pertama, beliau pertama
dan diberi arti dan tafsirnya. Surah Al Alaq ini, kemudian sangat mempengaruhi
kehidupan ilmiyah saya…”156 Selain itu Njak Puteh juga mengajarinya pelajaran
dasar agama Islam, berupa rukun Iman, rukun Islam, doa, tata cara shalat lima
waktu dan sejarah Islam, seperti sejarah hidup Nabi Muhummad dan sejarah para
sahabat. Sejarah-sejarah ini diajarkan dalam bentuk hikayat secara puitis, seperti
neneknya ini, Ali Hasjmy banyak menyerap informasi tentang sejarah perang
kolonial di Aceh. Dari cerita yang diserap sejak kecil ini kemudian mempengaruhi
Pendidikan formal pertama yang diterima oleh Ali Hasjmy adalah Sekolah
keterangan Ali Hasjmy, tenaga pengajar kebanyakan bukan dari Aceh, akan tetapi
156
Pengaruh Surat Al Alaq Dalam Kehidupan Ilmiyah A. Hasjmy, (Perpustakaan dan
Musem Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy, pada tanggal 15 Januari 1991), h. 2.
157
Hikayat-hikayat ini berkembang secara lisan dan turun temurun di kalangan
masyarakat Aceh masa lalu. Lihat juga A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh
Jalan Pergolakan, h. 33.
158
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 37.
73
seorang ulama muda yang berwawasan luas, namanya Teuku Abdul Wahab.160
yang diterima adalah lulusan Ibtidayah atau dari dayah. Di Madrasah Thawalib
Hasjmy bersama rekannya Muhammad Ali Ibrahim yang telah pulang lebih dulu
perguruan tersebut.163 Perguruan ini juga diisi oleh beberapa tokoh lainnya yang
kemudian memiliki peran besar dalam revolusi sosial berikutnya di Aceh. Selain
159
Dayah adalah pendidikan tradisional Islam yang berada di Aceh
160
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 41.
161
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 48. Lihat
juga, H.A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 7.
162
Teungku Abdul Wahab Seulimeum seorang ulama Aceh yang terkenal yang berasal
dari Seulimeum Aceh Besar. Ia lahir pada tahun 1898. Pendidikan pertamanya di sekolah Belanda
Governement Inlandscheschool di Seulimeum. Selain sebagai tokoh ulama, Teungku Abdul
Wahab Seulimeum juga merupakan tokoh pendidik. Melalui cita citanya, Teungku Abdul Wahab
Seulimeum berhasil mendirikan sebuah dayah yang diberi nama “Madrasah Najdiyah”, di
kemudian hari berubah namanya menjadi Perguruan Islam Seulimeum. Teungku Abdul Wahab
Seulimeum juga dikenal sebagai pengusaha, pengacara dan juga sebagai pemimpin. Lebih jelas
lihat, A. Hasjmy, Ulama Aceh Mujahid Kemerdekaan dan Pembangun Tamadun Bangsa, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1997), h. 91-95.
163
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 53.
74
Ali Hasjmy dan Muhammad Ali Ibrahim, perguruan Seulimeum mempunyai dua
tokoh progresif sebagai tenaga pengajar, yaitu Said Abu Bakar (tamatan Madrasah
Perguruan Islam Seulimeum yang dibina oleh Ali Hasjmy bersama teman-
agama yang berbobot dan terkenal di tanah Aceh, yang pelajarnya datang dari
seluruh Aceh.165
Pada tahun 1938 A. Hasjmy bersama Said Abu Bakar berangkat ke Padang untuk
Islam) yang dipimpin oleh Uztadz Mahmud Yunus, Alumnus al-Ulum Kairo. Al-
empat tahun.166
tahun percobaan yang berat baginya. Kesulitan ekonomi melanda dirinya. Dalam
Dewan Sajak dan Melalui Jalan Raya Dunia, setelah itu Ali Hasjmy menulis juga
164
A. Hasjmy, Ulama Aceh Mujahid, h. 93.
165
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 53.
166
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 53.
75
novel yang berjudul Suara Azan dan Lonceng Gereja167 yang diterbitkan oleh
N.V. Syarikat Tapanuli tahun 1940. Dari sejak itu ia lebih rajin menulis walaupun
dalam catatan sejarah hidupnya Ali Hasjmy mulai menulis sejak tahun 1935
empat tahun, kerana situasi ketika itu kekuasaan Belanda telah jatuh ke tangan
tangan Nazi Jerman. Dalam suasana demikian Ali Hasjmy dan sejumlah pelajar
Aceh lainnya kembali ke Aceh dengan niat semangat perjuangan untuk merebut
kemerdekaan Indonesia. Pada saat yang bersamaan di Aceh telah didirikan sebuah
organisasi agama non politik yang dinamakan Persatuan Ulama Seluruh Aceh
mengikuti kuliah pada Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan
167
Dalam menyelesaikan Novel Suara Azan dan Lonceng Gereja, Ali Hasjmy
membutuhkan waktu selama 4 bulan. Setiap minggu Ali Hasjmy hadir di gereja dan bergaul
selama berbulan-bulan di gereja Katolik Padang untuk menemukan ide. Setelah menyelesaikan
novel tersebut Ali Hasjmy tidak pernah datang lagi kegereja. Novel ini mengisahkan percintaan
seorang gadis Katolik dengan pemuda Islam.
168
Dalam tahun 30-an dan 40-an Ali Hasjmy sering menggunakan nama samaran sebagai
penulis puisi dan cerita pendek (cerpen), dia antara nama samarannya yaitu, Al Hariry, Aria
Hadiningsun dan Asmara Hakiki. Lihat A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh
Jalan Pergolakan, h. 237. Lihat juga “Peringatan 70 Tahun Prof. A. Hasjmy: Belajarlah Sekali
Pun di Sekolah Kafir,” Harian Umum, 30 Maret 1984.
169
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 81.
170
H.A.Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 11.
76
Pada tahun 1968, Ali Hasjmy menduduki jabatan Dekan pada Fakultas
militant.172 Puncak karir intelektual Ali Hasjmy ditandai ketika Ali Hasjmy di
kukuhkan menjadi Guru Besar (Professor) dalam Ilmu Dakwah pada Fakultas
dengan hasil keputusan rapat Senat dengan ketetapan tanggal 7 April 1975 No.
1976 No. B-l 1/3/7-d/1386, telah menetapkan mengangkat Bapak H. Aly Hasjmy
sebagai Guru Besar Luar Biasa (Professor) dalam Ilmu Dakwah pada Fakultas
sebagai ilmu secara teoritis tetapi diaplikasikan dalam kehidupan keseharian dan
dalam menulis dan berkaya. Karya-karyanya meliputi banyak kajian atau bidang
171
A Rahim Abdullah, “A Hasjmy Tokoh Besar Dalam Kenangan,” GAPENA, 20 Januari
1998, h. 24. Lihat juga, “Tasyakkuran 70 Tahun Ulama dan Sastrawan A. Hasjmy,” Berita Buana,
30 Maret 1984. Lihat juga, Badruzzaman Ismail, ed., A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini dan
Masa Depan, h. 411.
172
H.A.Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 93
173
“A. Hasjmy Diangkat Menjadi Professor Ilmu Dakwah”, Harian Duta, 16 April 1976.
Lihat juga A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 94.
174
“A. Hasjmy Diangkat Menjadi Professor Ilmu Dakwah”, Harian Duta, 16 April 1976.
Lihat juga A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy , h. 95.
77
dakwah, dan sastra. Ali Hasjmy selain menulis buku-buku yang bersifat ilmiah,
juga mengarang buku-buku ringan seperti novel dan roman. Dalam catatan sejarah
Seulimeum, karya tulisnya yang pertama adalah kumpulan syair, dengan judul
Ketika memasuki usia senja naluri menulisnya terus hidup, bahkan ketika
terbaring di rumah sakit tahun 1992, ia tetap menulis seperti yang dikisahkan
Robby Tandiari, dokter yang merawat Ali Hasjmy, selama dalam ruang perawatan
dia tetap menulis kadang-kadang sampai larut malam. Hasil tulisanya adalah
karya tulis yang dihasilkan oleh Ali Hasjmy hampir semuanya sarat dengan
buku, lembar kerja, roman dan lain sebagainya. Dalam kesempatan yang terbatas,
penulis tidak mungkin untuk meninjau semua isi dari tulisan Ali Hasjmy, untuk
sudah diterbitkan:
Suara Azan dan Lonceng Gereja, adalah sebuah roman yang diterbitkan
oleh Syarikat Tapanuli, Medan 1940. Buku ini kemudian dicetak ulang
oleh penerbit Bulan Bintang Jakarta tahun 1978, dan Pustaka Nasional
175
“Professor A. Hasjmy Menulis itu, Dakwah dan Jihat”, Kompas 20 Mei 1984, h. 1.
176
RS MMC singkatan dari Rumah Sakit Metropolitan. Lebih lanjut, lihat Robby
Tandiari, “Malam-malam Sepi di Rumah Sakit MMC,” dalam, Badruzzaman Ismail, ed., A.
Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan, h. 143.
78
disajikan suatu kontroversi antara dua agama, akan tetapi roman ini
dipastikan tidak mengandung unsur sara. Makna atau pesan yang muncul
justru terwujud dalam suatu anjuran agar siapa pun yang menganut dan
mendalami agamanya.
Singapura 1970, dan Bina Ilmu, Surabaya 1984. Buku ini merupakan
karya Ali Hasjmy mengenai politik Islam. ditulisnya buku ini dikarenakan
Hal ini mendorong Ali Hasjmy menulis buku ini. Isi utama dalam buku
Agresi Belanda, diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta 1977. Buku ini
dalam al-Quran tentang semangat jihad. Bagian terpenting dalam buku ini
177
Dalam pandangannya terhadap politik Islam A. Hasjmy sepertinya bersikap netral.
Pada sisi lain, keinginan Ali Hasjmy jelas bahwa pemerintah Indonesia sebaiknya menerapkan
sistem politik Islami dalam negara Pancasila tanpa harus merubah dasar dan bentuk negara.
79
tahun 1974 dan 1994. Buku ini dicetak sebanyak 3 kali. Buku ini mengulas
oleh para juru dakwah merupakan etika yang menjadi prinsip dasar dalam
1975. Buku ini berisikan tentang asal usul Iskandar Muda, silsilah raja-
berlaku pada masa itu, dan kemajuan-kemajuan yang berhasil dicapai pada
dan 1993. Buku ini berisikan sejarah tamaddun (peradaban) Islam masa
lalu, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, maupun seni budaya. Buku ini
kemajuan Islam tidak terlepas dari kecintaan umat Islam kepada ilmu
Inayat Syah (1678-1688), dan Ratu Kamalat Syah (1688-1699 M). Hal
penting dari buku ini dapat disimpulkan bahwa dalam perjalanan sejarah
Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh, di terbitkan oleh Bulan Bintang,
Jakarta 1978. Dalam buku ini termuat kutipan dan tanggapan para pakar
Buku Semangat Merdeka buku yang paling tebal yang pernah ditulis oleh
A. Hasjmy sendiri setebal 772 halaman. Buku ini merupakan catatan atau
total. Kisah perang melawan penjajahan sejak dari awal sampai Indonesia
dan kisah perjuangannya, maka buku ini dapat disebut sebagai karya
Selain pelbagai buku tersebut banyak pula kertas kerja Ali Hasjmy dan
beberapa kertas kerja orang lain yang kemudian diedit dan dikemas menjadi buku
atau masih dalam bentuk dokumen, bahkan ada pula buku sebagai hasil karya
Apa sebab Belanda sewaktu agresi pertama dan kedua tidak dapat
Seksi Penerangan, Bung Karno dan Rakjat Atjeh, Univesitas Sjiah Kuala:
Puluh Tahun Melalui Jalan Raya Dunia A. Hasjmy Aset Sejarah Masa
Misi Pemerintah Pusat dbp. Wk. P.m. I mr. Hardi, Kutaradja: t.pt., tgl. 25
1995.
Inilah sebagian karya penting A. Hasjmy yang memuat berbagai pesan dan
karyanya yang lain seperti khutbah, surat, dan dokumen yang belum diterbitkan
Banda Aceh.
Bintang Angkatan 45
Bintang BKKBN
178
Penghargaan Yang Dimiliki Prof. A. Hasjmy, (Banda Aceh: Yayasan Pendidikan A.
Hasjmy, 1998).
84
yang melakukan aktivitas perjuangan dalam tiga bidang, yaitu perjuangan fisik,
diplomasi dan birokrasi.179 Tidaklah berlebihan jika penulis menyebut tokoh Ali
Hasjmy adalah ulama multitalenta yang hidup tiga zaman; zaman penjajahan
kancah pergerakan dan organisasi didorong oleh semangat agama dan patriotisme.
Ali Hasjmy memulai perjuangannya dalam usia 20 tahun. Lebih jelasnya berikut
semangat yang luar biasa di dalam pergerakan. Pada usia yang terbilang muda
sekitar 20 tahun, Ali Hasjmy aktif dalam beberapa organisasi pemuda Islam.
Organisasi yang pertama yang ia masuki adalah HPII (Himpunan Pemuda Islam
Satu tahun aktif dalam organisasi HPII (Himpunan Pemuda Islam Inonesia) Ali
Hasjmy dipilih menjadi Wakil Ketua pimpinan cabang. Dalam tahun yang sama
Ali Hasjmy aktif sebagai anggota partai politik PERMI (Persatuan Muslim
Indonesia) dan ia terlibat juga dalam PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia).180
Pada saat itu, baik PERMI maupun PSII adalah partai yang menganut sistem non
179
“Ali Hasjmy Bapak Pendidikan Aceh”, Republika, 20 November 2011.
180
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 60. Lihat
juga, H.A.Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 7.
85
Tahun 1935, bersama sejumlah pemuda yang baru Pulang dari Padang, Ali
Hasjmy mendirikan Serikat Pemuda Islam Aceh (SPIA) dan ia menjadi salah satu
pengurus besarnya.181 Dalam waktu yang relatif cepat, Serikat Pemuda Islam
Aceh (SPIA) mengalami kemajuan, hal ini ditandai dengan berdirinya cabang di
Dalam organisasi ini Ali Hasjmy dipilih menjadi sekretaris periode 1939-1940.
Dalam tahun yang sama Ali Hasjmy aktif dan menjadi ketua umum dalam
1939-1941.
Pada masa pendudukan kolonial Belanda Ali Hasjmy juga aktif bekerja
181
Susunan Pengurus Besar Serikat Pemuda Islam Aceh (SPIA) terdiri dari:
Ketua Umum : Abu Bakar, Guru Perguruan Islam Seulieum
Sekretaris Umum : Thamrin Amin,Jadam Montasiek.
Bendahara : Ali Hasjmy
Komisaris : Abdul Jalil Amin, Muhammad Ali, Suleiman Ahmad, Muhammad Ali Cotgu,
Yahya Hasyimi dan M. Arsyad.
Lihat, A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 77.
86
pembantu tetap majalah Panji Islam dan Pedoman Masyarakat sebelum Perang
pendidikan, dan kebangkitan dunia Islam. selama masa belajar, Ali Hasjmy
telah berdiri Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pada tahun 1939 yang
dipimpin oleh Teungku M. Daud Beureuh, ia aktif dalam pergerakan PUSA dan
aktif sebagai anggota pengurus pemuda PUSA. Organisasi non politik yang juga
bergerak menentang Belanda. Ali Hasjmy juga aktif di bidang kepanduan dan
menjadi wakil kwartir kepanduan Kasysyafatul Islam (KI) Aceh Besar.183 Dalam
Islam ini banyak berperan sebagai tenaga pimpinan, yang kemudian menjadi
Pada masa pendudukan Belanda, sewaktu Ali Hasjmy baru kembali dari Al
182
A Rahim Abdullah, “A Hasjmy Tokoh Besar Dalam Kenangan,” GAPENA, 20 Januari
1998, h. 24.
183
Kasysyafatul Islam awalnya bernama Kepanduan Taman Siswa yang didirikan di
Bireuen pada 1934, kemudian Kepanduan Taman Siswa bergabung dengan PUSA dan berubah
namanya menjadi Kasysyafatul Islam (KI). Anggota Kasysyafatul Islam tidak terbatas pada anak
tingkat Sekolah Dasar, akan tetapi meluas sampai pada pemuda tingkat menengah atas. Susunan
pengurus K.I
Ketua : Teuku Muhammad
Sekretaris : M. Nur El-Ibrahimy
Anggota : Tgk. Syekh Abdul Hamid, Abdul Gani Umar, H. Abdul Gani.
Kwartir Daerah : Hadi Rafiuddin
Kwartir-Kwartir Distrik : Marah Adam, Ahmad Abdullah, Ayah Rahman, P.S. Mauny,
Ibrahim Insya, Rahmat, dan Jamaluddin.
M. Daud Remantan, “Pembaharuan Pemikiran Islam di Aceh (1914-1953),” (Disertasi S3 Fakultas
Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta, 1985), h. 87. Lihat juga A. J. Piekaar, Aceh dan
Peperangan Dengan Jepang, Penerjemah Aboe Bakar, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan
Informasi Aceh, 1981), h. 35.
87
fisik terhadap tentara Belanda dimulai dengan mengepung markas tentara Belanda
Hindia Belanda mati, termasuk Kepala Eksploitasi Aceh Tram, sementara di pihak
Timur, yaitu di daerah Alas, dan di sanalah militer Belanda menyerah kepada
rakyat Aceh. Peninggalan harta benda yang ditinggal oleh Belanda menjadi harta
rampasan oleh masyarakat Aceh, keadaan kota sudah tak terurus. Polisi yang
seharusnya menjaga ketertiban sudah tidak kelihatan. Dalam situasi seperti itu,
tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. usaha yang
184
M. Daud Remantan, “Pembaharuan Pemikiran Islam di Aceh (1914-1953),” h. 335.
185
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 96-98.
88
yang kemudian mengangkat Ali Hasjmy menjadi Kepala Polisi Aceh. Dalam
waktu yang relatif singkat Ali Hasjmy yang dibantu oleh Yakob dan Hasyim
dan juga berhasil mengembalikan keamanan kota dalam jangka waktu tertentu.
Atas keberhasilan itu Jepang sangat senang, karena Ali Hasjmy berhasil
mengembalikan keadaan kota dengan waktu yang singkat. Oleh karena hal
demikian Matsubuci memberi tugas yang sama kepada Ali Hasjmy untuk
membentuk kembali kepolisian di daerah barat dan selatan Aceh yang ditinggal
oleh anggota polisi akibat perang melawan Belanda. Dalam menjalani tugasnya
cepat.187
sewaktu kembali dari melakukan tugas tersebut, Ali Hasjmy mendapat kabar dari
saudaranya Nyak Neh bahwa Jepang telah mengangkat kembali pada Uleebalang
menjadi penguasa Sunco dan Gunco (Camat dan Wedana) di Aceh. Mendengar
kabar itu, Ali Hasjmy meletakkan jabatannya sebagai Kepala Polisi dan masa
tugasnya hanya bertahan selama 15 hari. Hal ini menyebabkan kemarahan rakyat
186
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 105-107.
187
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 109. Lihat juga
H.A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 15.
89
Jepang.
Tahun 1942 Ali Hasjmy diminta oleh Matsubaci untuk bekerja di kantor
berita Atjeh Sinbun dan ia langsung diangkat sebagai redaktur pelaksana serta
merangkap sebagai sekretaris redaksi. Surat kabar Atjeh Sinbun mempunyai peran
penting dalam pertentangan golongan dan propaganda adu domba yang dirancang
Atjeh Sinbun sebagai markas pemuda yang tidak resmi untuk membicarakan missi
gerakan bawah tanah dengan jaringan yang lebih luas dan dengan fasilitas
komunikasi yang sangat dibutuhkan saat itu, seperti radio dan surat kabar,
bersama-sama kawan yang bekerja di Domei untuk melawan Jepang yang sudah
termasuk Ali Hasjmy dan bersama sejumlah pemuda lainnya yang bekerja di Atjeh
Sinbun dan Domei mengadakan pertemuan yang amat rahasia di sebuah ruangan
mendirikan Ikatan Pemuda Indonesia (IPI) dimana Ali Hasjmy terpilih menjadi
188
Hasan Basri, “A. Hasjmy (1914-1998): Kajian Sosial-Intelektual dan Pemikirannya
Tentang Politik Islam,” (Disertasi S3 Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta,
2000), h. 84. Lihat juga A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 125.
189
Sayed Mudhahar Ahmad, “Ali Hasjmy, Antara Teungku Chik Di Tiro dan Teungku
Muhammad Daud Beureueh,” dalam Badruzzaman Ismail ed., A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini
dan Masa Depan, h. 345.
90
ketuanya.190 Pada waktu itu Ikatan Pemuda Indonesia (IPI) masih merupakan satu
lainnya. Gerakan pemuda ini betul-betul menjadi aktif sesudah kejadian di Medan.
Gelombang kegiatannya dimulai dari daerah sebelah timur Aceh dalam bentuk
suatu rapat umum besar dan pawai pada pada 1 Oktober di Langsa.191
dirinya suatu gerakan yang mencakup seluruh Aceh. Pengurus Barisan Pemuda
190
Ali Hasjmy dan T. Alibasyah Talsya, Hari-Hari Pertama Revolusi 45 di Daerah
Modal, (Banda Aceh: Departemen P & K dan Masyarakat Sejarawan Indonesia, 1976), h. 11-12.
191
Anthony Reid, Perjuangan Rakyat Revolusi dan Hancurnya Kerajaan Sumatera,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), h. 313-314.
192
Anthony Reid, Perjuangan Rakyat Revolusi, h. 316.
193
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 201.
194
Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO) secara nasional adalah organisasi yang
berasaskan pada faham sosialis-komunis yang bertentangan dengan ajaran Islam. Namun
pembentukan PESINDO di Aceh oleh Ali Hasjmy berasaskan pada paham ajaran Islam, sesuai
dengan agama dan adat istiadat masyarakat Aceh, bukan mengikuti pada paham sosialis-komunis.
Pertimbangan. Lihat A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 236.
91
komandan Syamaun Gaharu, pergerakan ini beberapa kali berganti nama menjadi
TKR (Tentara Keamanan Rakyat), lalu menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia)
Sehubungan dengan dibentuk nya alat negara yang dinamai API atau TKR,
Divisi Rencong yang dipimpin oleh Ali Hasjmy yang berkedudukan di Kutaraja.
Selaku pimpinan pasukan Divisi Rencong, Ali Hasjmy selalu ikut penjagaan rutin
Jawatan Sosial Provinsi Aceh (1950), Kepala Bagian Umum pada Jawatan
195
Sayed Mudhahar Ahmad, “Ali Hasjmy, Antara Teungku Chik Di Tiro dan Teungku
Muhammad Daud Beureueh,” dalam Badruzzaman Ismail ed., A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini
dan Masa Depan, h. 248,
92
Aceh (sejak 1969) dan pensiun dari pegawai negeri atas permintaan sendiri tahun
1966.
IAIN Ar-Raniry Banda Aceh (1968), diangkat dan dikukuhkan sebagai Guru
menjadi Rektor IAIN Jami‟ah Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh (1977 sampai
November 1982). Ketika Partai Golkar Berjaya pada era 1980-an, Ali Hasjmy
dinobatkan sebagai penasehat dalam kancah politik Orde Baru. Beliau juga pernah
menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Provinsi Daerah Istimewa Aceh (1982). Ali
memberi kontribusi yang amat luar biasa kepada masyarakat Aceh. secara politis,
menunjukkan bahwa ia tidak hanya seorang tokoh politik birokrasi tetapi juga
196
Moch Subandi, “Prof. A. Hasjmy, Sastrawan dan Pejuang Tiga Zaman,” Mimbar
Umum, 8 April 1984, h. 11. Lihat juga A Rahim Abdullah, “A Hasjmy Tokoh Besar Dalam
Kenangan,” GAPENA, 20 Januari 1998, h. 24. Lihat juga Ali Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam
di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 432.
93
diresmikan pada tanggal 1 Januari 1957. Selanjutnya masih ada persoalan penting
lainnya yang harus diputuskan kabinet, yaitu siapa yang harus diangkat menjadi
Pada awal Desember 1956, dalam satu pertemuan antara Menteri Dalam
Negeri Mr. Sunaryo dengan Ali Hasjmy (pegawai Kementerian Sosial sebelum
Gubernur Aceh, kemudian Ali Hasjmy memberi jawaban: “…Saya akan pulang
ke Aceh sebagai Gubernur dengan membawa air, bukan bensin dan api”.198
Sejalan dengan itu pada awal Desember 1956 pembicaraan dan persiapan maupun
pemilihan gubernur terdengar luas oleh rakyat Aceh. Banyak surat yang
Aceh.
mengusulkan calon Gubernur Aceh sesuai selera dan pertimbangan dari pihak
yang mengusulkan. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) mengajukan calon Ali
Seulimeum, PSI (Partai Sosialis Indonesia) mencalonkan dr. Zainal Abidin, Badan
Musjawarat dan Kemadjuan Kesenian Atjeh” Seksi Tari Seudati Atjeh Timur,
Djulok Rajeuk, Atjeh mengajukan Mr. T. Mohd. Hasan, Kaum Buruh Tani Djulok
197
Mengenai isi singkat Undang-Undang No 24 Tahun 1956 selengkapnya lihat Arsip
Konvensional Setelah Tahun 1945 (Republik), Berkas Mengenai Status Provinsi Aceh, No Arsip
1713. Lihat juga A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 467-468.
198
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 470.
94
Hasan, Tgk. Hadji Sjeh Radjab (a/n. Ulama Atjeh Timur) mencalonkan Mr. T.
Pimpinan Umum Perusahaan T.M.S.U. (Djulo‟ Rajou‟, Paso, Piadah Lho‟ Sukun
(Daerah Atjeh) mencalonkan Mr. T. Mohd. Hasan, Nja‟ Makam Esha (Guru
Sekolah Rakjat Negeri) mengajukan Mayor Syamaun Gaharu, dan terakhir DPP.
dalam rapat tersebut Dewan Menteri menyetujui untuk mengangkat Ali Hasjmy
beberapa partai terhadap dirinya seperti PNI (Partai Nasional Indonesia) dan
Nadhlatul Ulama (NU), Kedua, terpilihnya Ali Hasjmy didasari atas perjuanganya
selama masa revolusi fisik 1945, dan ketiga pemerintah menghendaki seorang
pemimpin yang populer, namun tidak terlalu dekat dengan pemberontak. Hal
Ali Hasjmy resmi dilantik menjadi Gubernur Aceh pada 27 Januari 1957.
dan militer, pemuka-pemuka masyarakat, dan juga dihadiri Menteri Dalam Negeri
bersama sejumlah pejabat tinggi lainnya, di antaranya Kepala Staf Angkatan Darat
(KSAD) Kolonel Abdul Haris Nasution bersama sejumlah perwira tinggi dan
199
Arsip Konvensional Setelah Tahun 1945 (Republik), Surat-Surat Mengenai Usul dan
Pengangkatan Gubernur Aceh, No Arsip 1713.
200
Proses pemilihan dan pengangkatan Ali Hasjmy, lihat A. Hasjmy, Semangat Merdeka:
70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 468-471. Lihat juga Arsip Konvensional Setelah Tahun 1945
(Republik), Surat-Surat Mengenai Usul dan Pengangkatan Gubernur Aceh, No Arsip 1713.
95
pada 11 Februari 1957 dilantik juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Provinsi Aceh, anggota yang dilantik berjumalah 30 orang yang terdiri
dari 23 orang Masjumi, 4 orang Perti, 1 orang PNI, 1 orang PKI dan 1 orang
10 T. Sjahbuddin Idem
201
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 527.
202
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, h. 17-18. Lihat selengkapnya mengenai anggota
Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Peralihan Swatantra Tinggkat I Aceh, Al Manak Umum,
(Kutaradja: Atjeh Press Service, 1959), h. 94-104.
96
23 H. Sjamaun P.N.I
28 T. Sjahdan Idem
1. Fatimah Daoed:
Hamzah Junus.
97
2. Ibrahim Metarem:
3. Tgk. M. Bakri:
Jahja.
4. B. Tumpulon:
Napitupulu.
Sejak saat itu Ali Hasjmy sebagai Gubernur Provinsi Aceh mulai lebih
keras berjuang guna mengembalikan situasi konflik yang telah lama terjadi.
Dalam usahanya tersebut Ali Hasjmy bekerja sama dengan Letnan Kolonel
Syamaun Gaharu yang bertugas sebagai Panglima Komando Daerah Militer Aceh.
BAB IV
Kebijakan Perdamaian
berotonomi dengan saudara Ali Hasjmy Gubernurnya. Hal ini menandai babak
baru untuk Ali Hasjmy sebagai seorang Gubernur dalam menyelesaikan kasus
konflik Darul Islam yang sudah terjadi selama 6 tahun. Dalam upaya
menyelesaikan kasus konflik Darul Islam, Ali Hasjmy dibantu oleh Letnan
(Panglima Komando Daerah Militer Aceh) telah lebih dulu memulai tugasnya
Prinsipil dan Bijaksana. Konsepsi ini pada dasarnya merupakan suatu proses
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) A.H. Nasution pada tanggal 24 Januari
203
M. Isa sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 375.
204
Setelah menjadi komandan KDMA, pangkat Syamaun Gaharu dinaikkan saru tingkat
dari Mayor menjadi Letnan Kolonel.
205
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 374.
98
99
pangkuan Republik Indonesia. Adapun isi detail Konsepsi Prinsipil dan Bijaksana
sebagai berikut:
maupun yang mereka dapat beli dari luar negeri dengan jalan
menerima hak mereka. Ada pula di antara mereka yang telah dischors
dan dipecat. Dengan adanya status propinsi untuk daerah Aceh, maka
(3) Rakyat biasa yang ikut karena kepatuhan mereka kepada pemimpin-
(4) Tahanan-tahanan. Mereka yang masih dalam tahanan dan yang sedang
(5) Kaum pengungsi. Kemudian ada lagi satu golongan yang sebenarnya
gerakan illegal dari Daud Beureueh cs. Mereka ini terpaksa juga
(6) Jika hasil dari permusyawaratan itu telah mendapat persetujuan dari
segala pihak yang bersangkutan, maka dipilihlah suatu saat yang baik
penduduk Aceh.
Aceh dalam arti yang luas (pembangunan daerah dalam segi sosial,
206
Naskah asli konsepsi prinsipil dan bijaksana ditandatangani oleh Letnan Syamaun
Gaharu berjudul Penyelesaian Peristiwa Pemberontakan di Aceh. Lihat Teuku Haji Ibrahim
103
pendekatan dengan pihak gerombolan, Gubernur Aceh Ali Hasjmy yang baru
Langkah dan strategi pertama yang dilakukan Gubernur Ali Hasjmy melakukan
kontak dengan para pemimpin Darul Islam terutama mereka yang mempunyai
Gubernur Ali Hasjmy semakin lancar setelah ia menerima surat yang berisi
ucapan selamat dari Teuku Ahmad Hasan (Menteri Kesehatan Darul Islam).207
pemimpin Darul Islam, di antaranya Ishak Amin (Bupati Darul Islam Aceh
Ali Piyeung (Kepala Polisi Darul Islam).208 Pertemuan Gubernur Ali Hasjmy
Darul Islam memberitahu nama orang-orang penting Darul Islam yang bermukim
perundingan yang lebih formal. Pertemuan itu juga mempunyai arti penting dalam
Alfian, “Penyelesaian Masalah Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Dengan “Konsepsi Prinsipil dan
Bijaksana”, Jurnal Ketahanan Nasional, No VI (2), (Agustus 2001): h. 42-45.
207
Mengenai isi surat Teuku Ahmad Hasan lihat A.Hasjmy, Semangat Merdeka: 70
Tahun Menempuh Pergolakan, h. 524-525.
208
C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, h. 314.
209
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 478.
104
masyarakat yang terdiri dari organisasi, dan kalangan politik yang berada di
Kutaraja untuk bertukar pikiran tentang langkah dan strategi pemulihan keamanan
dan pembangunan Aceh. Dari pertemuan tersebut, Gubernur Ali Hasjmy banyak
yang hadir dalam pertemuan itu. Sebagian pihak mendukung konsepsi pemulihan
yang telah dirumuskan oleh Syamaun Gaharu, hanya Partai Komunis Indonesia
(PKI) saja yang memberikan usulan pembersihan anasir sabotase pro geromolan
dalam tubuh pemerintahan sipil dan mendesak Gubernur Ali Hasjmy terhadap
kekerasan.210
Islam Aceh tidak saja dilakukan melalui pertemuan dengan pemimpin Tokoh
Darul Islam, ia juga mengirim surat kepada beberapa para pemimpin Darul Islam,
baik yang berada di Aceh maupun yang berada di luar negeri. Buktinya pada
seperti Abdullah NH. Dari Singapura Gubernur Ali Hasjmy mengirim surat
kepada Wakil Darul Islam Aceh di Amerika Serikat, Hasan Muhammad Tiro.211
210
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 530
211
Mengenai Isi Surat Gubernur Ali Hasjmy kepada Muhammad Hasan Tiro, lihat
Dokumen A, Hasjmy, Dari Darul Harb Ke Darussalam Djilid I. lihat juga, A. Hasjmy, Semangat
Merdeka 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 533.
105
korespondensi yang dilakukan Gubernur Ali Hasjmy kepada para pemimpin Darul
Islam Aceh, maka pada tanggal 8 April 1957 bertepatan dengan bulan ramadhan,
masing-masing pihak baik dari pemerintah daerah dan Darul Islam melangkah ke
negosiasi yang bersifat formal. Pertemuan di antara kedua belah pihak itu
berlangsung di kediaman salah seorang tokoh Darul Islam Pawang Leman di desa
Lamteh. Dalam pertemuan itu hadir Gubernur Ali Hasjmy, Kepala Polisi
sementara pihak Darul Islam dihadiri oleh Perdana Menteri Darul Islam Hasan
Ali, Menteri Pertahanan Darul Islam Hasan Saleh, Bupati Aceh Besar Darul Islam
Ishak Amin dan seorang tokoh Darul Islam lainnya Pawang Leman.212
Pertemuan yang terjadi di antara kedua belah pihak, yang telah lama
berpisah itu berlangsung dalam suasana bahagia. Namun, ketika kedua belah
pihak itu mulai membicarakan mengenai persoalan keamanan Aceh dan bentuk
mengalami jalan buntu karena kedua belah pihak berada pada pendirian yang
berlawanan. Dalam suasana yang sangat tegang itu, kedua belah pihak disadarkan
oleh suara keras dan penuh haru dari Pawang Leman yang isinya “…Kalau bapak-
bapak tidak sanggup menyelesaikan masalah ini, mari kita bakar saja Aceh ini
supaya kita puas dan agar cucu kita di belakang hari akan menuduh kita sebagai
212
Mengenai perjalanan Ali Hasjmy, Muhammad Isja, dan Syamaun Gaharu menemui
pihak Darul Islam lihat T. Alibasjah Talsya, 10 tahun Daerah Aceh Istimewa Aceh, h, 15. Lihat
juga Ali Hasjmy, dkk., 50 Tahun Aceh Membangun, h. 141.
213
Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 310.
106
Setelah melalui perdebatan yang cukup alot akhirnya tercapai juga kata
sepakat di antara kedua belah pihak yang menginginkan Aceh menjunjung tinggi
kehormatan agama dan kepentingan rakyat atau Daerah Aceh, untuk itu perlu
Kesepakatan yang amat penting itu diberi nama “Piagam Lamteh” atau sering
arti yang luas, pembangunan dalam bidang fisik juga dalam arti yang
Islam.
Indonesia yang berada di Aceh, yang pada waktu itu merasa bertanggung jawab
yaitu Letnan Kolonel Syamaun Gaharu, Gubernur Ali Hasjmy, Major T. Hamzah,
Komisaris Besar Polisi Muhammad Isja dan dari pihak pemimpin DI/TII saudara-
Atas dasar Ikrar Lamteh di atas, pada tanggal 9 April 1957 Letnan Kolonel
militer yang ditujukan kepada semua komandan sektor PDM (Perwira Distrik
dengan para pemimpin Darul Islam diseluruh kabupaten. Adapun dua rombongan
pantai barat dan selatan yang dipimpin oleh Kapten Usman Nyak Gade,
di sepanjang pantai utara (Aceh Utara), timur (Aceh Timur) dan ke Aceh
dalam menyelesaikan kasus tahanan Darul Islam. Sejak tangga 25 Maret Gubernur
Ali Hasjmy telah mengirim surat kepada Ketua Pengadilan Negeri Medan yang
216
“Gub. Hasjmy Dengan Ikrar Lamtehnya,” Peristiwa, 22 Maret 1959, h. 3.
217
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 382-383.
218
Jarah Dam-I, Dua Windhu Kodam I/Iskandar Muda, (Banda Aceh: Sejarah Militer
Kodam I/Iskandar Muda, 1972), h. 245.
108
pada waktu itu dijabat oleh saudara Husni Atmawijaya. Surat tersebut mendapat
tanggapan dari pihak kejaksaan dan kehakiman, pada tanggal 11 April 1957
terjadi pembebasan tahanan Darul Islam sekitr 86 orang dan kemudian disusul
kesempatan untuk Letnan Kolonel Syamaun Gaharu dan Gubernur Ali Hasjmy
Pada bulan Mei tahun 1957, sebagai tindak lanjut pelaksanaan Ikrar Lamteh,
Gubernur Ali Hasjmy melakukan kontak dengan Saudara Hasan Ali (Perdana
Menteri Darul Islam Aceh). Dari hubungan kontak tersebut pemerintah daerah
yang diwakili oleh Gubernur Ali Hasjmy, Letnan Kolonel Syamaun Gaharu,
Kepala Polisi Daerah Aceh Muhammad Isja, dan beberapa perwira lain antara lain
Usman Nyak Gade melakukan kunjungan ke markas Darul Islam yang berada di
dengan Wali Negara Darul Islam Teungku Muhammad Daud Beureueh guna
bercerita mengenai perjuangan dan pengorbanan rakyat Aceh pada masa revolusi
menyerupai pertemuan antara junior dan senior. Oleh karenanya ketiga tokoh itu
Islam itu.221 Adapun inti pembicaraan ketiga tokoh tersebut dengan Teungku
“saudara bertiga telah mendapat rahmat dari Allah, yang menjadi kewajiban penerima
rahmat bersyukur kepada Allah. Saudara yang telah diangkat menjadi Komandan Tentara
di Aceh (menunjuk Syamaun Gaharu) pergunakanlah rahmat Allah itu untuk memajukan
agamanya dan untuk menyelamatkan Rakyat Aceh. Saudara telah diangkat menjadi
Gubernur Aceh (menunjuk Ali Hasjmy) pergunakanlah jabatan Gubernur saudara sebagai
rahmat Allah untuk membela agamanya dan untuk membangun Aceh yang telah hancur.
Saudara telah diangkat menjadi Kepala Polisi (menunjuk Muhammad Isya)
pergunakanlah jabatan saudara sebagai karunia Allah untuk meninggikan agamaNya dan
membangun tanah Aceh yang telah remuk binasa. Saya doakan, semoga saudara-saudara
tetap mendapat bimbingan Allah”.222
Gaharu dan Muhammad Insja) dengan Wali Negara Teungku Muhammad Daud
Beureueh memberi kesimpulan bahwa harapan atau usaha yang dilakukan ketiga
tokoh itu untuk sampai pada tahap perundingan masih tetap ada, sekalipun Tgk.
221
Mengenai kisah perjalanan tiga tokoh itu ke daerah Dham, lihat A. Hasjmy, Semangat
Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 493-500.
222
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 499
110
selesaikan mengalami kesulitan dan juga sikap Tgk. M. Daud Beureueh yang
sangat teguh terhadap pendiriannya, dalam hal ini pemerintah daerah masih
samping itu, upaya dan strategi Gubernur Ali Hasjmy dalam mencari solusi
pemerintah pusat, khususnya Perdana Menteri Ir. H. Juanda dan Kepala Staf
Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution, agar pemerintah pusat mau
dalam bidang agama, pendidikan, ekonomi, sosial dan kebudayaan asalkan tidak
keluar dari pada Undang Undang Dasar yang ada, yang menjadi pegangan
pemerintah.224
daerah Aceh untuk melihat lebih dekat kondisi yang timbulkan dari konflik Darul
Islam, serta ingin melihat peninjauan dari dekat pembangunan dan pemulihan
223
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 500. Lihat
juga, Abdul Murat Mat Jan, “Gerakan Darul Islam di Aceh 1953-1959”, Akademika, No 8,
(1976): h. 40-41.
224
Lihat Pidato Wakil Ketua Penguasa Perang Daerah Swatantra Tingkat I Atjeh,
Gubernur A. Hasjmy, dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan Propinsi Atjeh
tanggal 17 Maret 1958.
111
keamanan di Provinsi Aceh. Rombongan yang hadir ke Aceh terdiri dari Menteri
Antar Daerah Dokter F.L Tobing, Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Ir.
Menteri Agama K.H. Djunaidi dan Iskandar, Pembantu Menteri Hubungan Antar
Daerah Kapten Tony Suhartono, Pembantu Kepala Biro Keamanan I.P. Sutoro,
disambut oleh Gubernur Kepala Daerah Provinsi Aceh Ali Hasjmy, Komandan
rakyat, sekolah menengah pertama dan atas, murid-murid sekolah tionghoa dan
rakyat banyak.
Aceh yang sebagian telah hancur baik sarana maupun prasarananya yang
“Untuk suatu daerah yang telah demikian hebat mengalami kehancurannya, tidaklah
berlebih-lebihan rasanya kalau kami memohon perhatian yang khusus kepada Pemerintah
Pusat, yang terlepas sama sekali dari kenyataan, bahwa di masa yang lampau pernah satu
kali Atjeh digelarkan payung terakhir tempat berlindung 80 juta rakyat Indonesia untuk
melanjutkan perang kemederkaan”.226
pulih kembali, berikut uraian singkat pidato lanjutan Gubernur Ali Hasjmy:
rombongan Perdana Menteri Ir. H. Juanda. Adapun inti pidato Syamaun Gaharu
adalah:
“…Kami, petugas-petugas di daerah ini, rakyat dan penduduk Aceh mempunyai keinginan
agar daerah ini menjadi suatu daerah yang aman dan makmur, dimana seluruh rakyat dan
penduduk merata dapat mengecap kesejahteraan dan kebahagiaan hidup.
Kami lapurkan kepada yang mulia beserta rombongan bahwa akibat dari peristiwa 20
September 1953, petugas-petugas di daerah ini masih bekerja keras untuk
mempertahankan sang dwi warna yang telah dikibarkan di atas tumpukan tulang-tulang
pahlawan-pahlawan dan patriot-patriot kita masih membanting tulang untuk menegakkan
hukum-hukum negara, serta memberi jaminan dan keamanan hidup pada rakyat dan
penduduk dan masih memeras keringat untuk member mereka kemerdekaan berfikir,
kemerdekaan mengeluarkan pendapat membebaskan mereka dari ketakutan dan
kemiskinan
Tidak ringan beban dan tanggung jawab dari petugas-petugas ini. Beban dan tanggung
jawab ini akan lebih berat pula jika pengertian serta bantuan yang sungguh dari
Pemerintah (Pusat) tidak ada. Tugas dan tanggung jawab ini akan menjadi lebih berat lagi
jika sikap Pemerintah dalam menghadapi persoalan daerah ini masih tetap seperti yang
sudah-sudah, yaitu dalam keragu-raguan, tidak tegas dan tidak berterus terang sehingga
keadaan petugas-petugas seolah ditempatkan pada suatu posisi yang sulit, tiada
berpedoman dalam kebimbangan”.
Cahaya yang member harapan kepada rakyat dan penduduk di daerah ini, ialah setelah
mendengar akan diadakannya Musyawarah Nasional dan lebih memberi harapan lagi
226
Kunjungan Perdana Menteri Ir. H. Djuanda, h. 14.
227
Kunjungan Perdana Menteri Ir. H. Djuanda. h. 15.
113
setelah mengetahui hasil-hasil yang telah dicapai dalam musyawarah tersebut. Tetapi
rakyat dan penduduk daerah inipun dapat merasakan bahwa yang penting bukanlah
musyawarah dan hasil musyawarah nasional, tetapi mereka menunggu dan mengharapkan
bahwa keputusan-keputusan dari musyawarah itu betul-betul akan dilaksanakan dengan
segala kesanggupan dan keberanian. Inilah penghargaan yang terakhir dari rakyat dan
penduduk di daerah ini.228
“…Kita datang ke daerah ini untuk menambah bahan-bahan dan mendapatkan bahan yang
lebih lengkap tentang keadaan di Aceh dan khususnya di Kabupaten ini. Kita di
pemerintah pusat merasa berbahagia, merasa bangga bahwa semenjak bulan April tahun
ini sampai sekarang daerah Aceh sudah jauh lebih aman dibandingkan pada masa
sebelumnya, dan kita amat menghargai keadaan yang demikian ini, keadaan aman ini.
Kita menghargai menyokong sepenuhnya segala apa yang telah dikerjakan oleh
pemerintah militer yang dikepalai disini oleh Let. Kol Sjamuan Gaharu dan pemerintah
sipil di Popinsi Aceh yang dipimpin oleh Gubernur sdr. Ali Hasjmy.
Kedatangan kita ini justru untuk menekankan sekali dan jika mungkin untuk
menyatakan penghargaan kita terhadap apa yang telah dicapai dalam lapangan
keamanan sampai saat ini. Harapan kita dan segala ikhtiar yang akan dilakukan
pemerintah pusat bersamaan dengan pemerintah di propinsi adalah seterusnya
mempertahankan keadaan aman ini. dan jika mungkin melangkah lebih lanjut lagi, yaitu
supaya diberikan dasar yang lebih kuat untuk memelihara dan memperbaiki keamanan
yang telah dicapai ini.229
oleh Gubenur Ali Hasjmy untuk mempertemukan tokoh pemimpin Darul Islam
seperti Hasan Ali dan Hasan Saleh dengan Perdana Menteri Juanda. Pertemuan itu
Inti pembicaraan di antara kedua belah pihak yaitu pihak Darul Islam menuntut
status Negara Bagian Aceh dari Negara Republik Indonesia, akan tetapi dengan
sikap tegas Perdana Menteri Juanda tidak dapat menerima tuntutan tersebut,
yang luas kepada daerah-daerah Aceh asalkan bukan menjadikan negara bagian.
228
Kunjungan Perdana Menteri Ir. H. Djuanda. h. 10-11.
229
Kunjungan Perdana Menteri Ir. H. Djuanda. h. 18-24.
114
Pertemuan antara tokoh pemimpin Darul Islam dan PM Juanda lebih bersifat
Aceh tidak keluar dari bingkai Negara Kesatuan negara. Hal ini dapat dilihat dari
ucapannya, sebagaimana yang ditulis oleh Hasan Saleh, yaitu “…Kalau Saudara-
saudara benar ingin menempuh jalan damai, maka tuntutlah sesuatu yang lebih
luas dan lebih tinggi dari otonomi biasa, tetapi bukan negara bagian. Tuntutlah
yang lain, yang berada dalam batas perundang- undangan yang ada. Insyaallah
saya bantu…”231
daerah di Atjeh seperti Bireuen, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Utara,
Aceh. Perlu diketahui pada tiap-tiap daerah yang dikunjungi rombongan Perdana
membawa dampak yang baik dan berkah untuk penduduk Aceh. Hal ini terbukti
pada tanggal 21 Oktober 1957 Menteri Agama K.H. Ilyas menyediakan bantuan
Keputusan No. 44 tentang pernyataan Masjid Raya Kutaraja sebagai milik negara,
sehingga secara hukum wajib bagi pemerintah untuk merawat dan membangun.232
230
Isi pembicaran antara pihak Darul Islam (Hasan Saleh dan Hasan Aly) dengan Perdana
Menteri Juanda, lihat Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 329-330.
231
Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 330.
232
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 388.
115
Proses usaha dan upaya yang dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy dalam
Indonesia) dan OSM (Operasi Sabang Marauke) seperti Amelz, Mayor Sayid
Usman, Mayor Nukum Sasani, Kapten Hasanuddin dan Letnan Sayid Ali
keamanan di Aceh.234
Melihat kondisi yang terjadi pada saat itu, penguasa perang Aceh Syamaun
Kutaraja. Rapat yang dihadiri oleh pejabat pemerintah daerah dan tokoh
Paperda, pada Maret 1958, Gubernur Ali Hasjmy secara pribadi mengadakan
233
Dua Setengah Tahun Propinsi Daerah Istimewa Atjeh, Pidato Sambutan
Gubernur/Kepala Daerah Istimewa Atjeh, 17 Agustus 1959, h. 41
234
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 394. Lihat juga
Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 334.
116
pertemuan dengan salah satu pemimpin Darul Islam Hasan Ali di desa Lamteh.
lanjut perdamaian yang diusulkan pemerintah daerah, akan tetapi pendirian Hasan
Ali masih tetap sama yaitu pihak Darul Islam menginginkan Aceh dijadikan
negara bagian yang berdasarkan Islam.235 Permintaan Hasan Ali sulit untuk
diterima oleh Gubernur Ali Hasjmy, sehingga pertemuan di antara kedua belah
membuat khawatir Gubernur Ali Hasjmy, hal ini juga dikarenakan perkembangan
gerakan separatis di luar Aceh (PRRI dan OSM) memberi pengaruh yang tidak
baik kepada gerakan Darul Islam, di samping itu gerakan PRRI dan OSM berhasil
Kutaraja), Muhammad Isja (Kepala Polisi Kutaraja) dan juga dari kalangan
Peralihan Daerah Aceh),236 A. Latif Rusdi (Wakil Ketua Masyumi Aceh Besar),
A.R Hajad dan Usman Ali. Kekhawatiran Gubernur Ali Hasjmy semakin
bertambah disaat mengetahui beberapa tokoh PRRI pada awal tahun 1958 telah
Cangek yang terletak antara Pante Raja dengan Trieng Gadeng untuk
Pertemuan yang dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy dengan pihak Darul
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Aceh pada tanggal 17 Maret 1958.
235
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 506.
236
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 395.
117
Dalam sidang itu Gubernur Ali Hasjmy menuturkan bahwa dalam menjalankan
bergabung dengan NII (Negara Islam Indonesia) Kartosuwirjo dan juga Darul
Islam telah membentuk NBA (Nagara Bagian Aceh) sejak September 1955.
oleh Komando Daerah Militer Aceh Syamaun Gaharu. Dengan langkah yang
termasuk Mayor T. Manyak238 beserta beberapa pemimpin sipil yang diduga kuat
ikut berkomplotan dengan PRRI termasuk Teungku Abduh Sjam, dan A. Latif
Rusdi.239 Gerakan separatis PRRI dan OSM dapat diselesaikan oleh keamanan
negara melalui Operasi Tegas, Operasi 17 Agustus dan Operasi Bukit Barisan.240
Dalam hal ini terjadi pengunduran pasukan OSM dan PRRI dari Medan ke
237
Notulen Sidang Peperda I Aceh Dengan Tokoh Masyarakat di Kutaraja, tanggal 16
Maret 1958.
238
Mayor Teuku Manyak seorang Komandan Batalion dan Komandan Sektor Aceh
Besar. Keterlibatan Teuku Manyak dalam PRRI tidak diketahui oleh KDMA(Komando Daerah
Militer Aceh) Syamaun Gaharu sampai kemudian Sjamaun Gaharu mulai merasakan kecurigaan
yang dipekuat oleh pengumaman pengumuman pengambilalihan KDMA (Komando Daerah
Militer Aceh) oleh Teuku Manyak. Lihat Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum
Republik, h. 285.
239
Abduh Sjam merupakan ketua DPRD Peralihan yang terpilih pada 11 Februari 1957,
ia ikut terlibat dalam gerakan separatis PRRI, dan A. Latif Rusdi merupakan Wakil Ketua
Masyumi Cabang Aceh.
240
Ramadhan K.H. dan Hamid Jabbar, Syamaun Gaharu: Cuplikan Perjuangan di
Daerah Modal, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 347.
241
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, h. 285.
118
Konferensi di Panca pada tanggal 14 Agustus 1958, Hasan Saleh (Menteri Urusan
perang) dan juga rasa ketidak puasaan di kalangan elit gerombolan terhadap gaya
otoriter.
Hasan Saleh (Menteri Urusan Peperangan Darul Islam) dan Ibrahim Saleh
(Saudara Hasan Saleh),243 dan persoalan Hasan Ali, Hasan Saleh dan A. Gani
Gaharu, dan Gubernur Ali Hasjmy. Tuduhan itu nyaris menimbulkan perpecahan
Beureueh dengan beberapa pemimpin Darul Islam Aceh, mereka tetap sepakat
untuk meneruskan perjuangan dan janji akan mengangkat senjata kembali pada
permulaan tahun 1959 sepulang Menteri Hasan Ali dari luar negeri. Akan tetapi di
242
Mengenai pembicaraan Mayor Teuku Manyak dengan Wali Negera Teungku
Muhammad Daud Beureueh lihat Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak. h. 319-324.
243
Mengenai penyalahgunaan uang oleh Hasan Saleh lihat M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh
Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 400.
119
terutama di kalangan kelompok Hasan Saleh dan A. Gani Usman, mereka justru
antara pihak Darul Islam (Hasan Saleh dan Abdul Gani Usman) dengan
pemerintah daerah yang diwakili oleh Gubernur Ali Hasjmy dan Syamaun
Gaharu. Pertemuan kedua belah itu berlangsung dalam suasana yang cukup baku,
akan tetapi lambat laun pertemuan antara ketiga rekan seperjuangan itu
berlangsung secara akrab kembali dan mencapai kesepakatan bahwa mereka akan
Gaharu sendiri meminta Hasan Saleh dan A. Gani Usman untuk menyusun konsep
perdamaian.244
titik terang ke arah perdamaian. Di samping itu, Penguasa Perang Aceh Syamaun
Gaharu melakukan hubungan dengan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) A.H.
Nasution, ia juga mengirim proposal yang sangat rahasia kepada A.H Nasution
keamanan Provinsi Aceh dan juga permintaan atas status Daerah Istimewa Aceh
244
Mengenai suasana pertemuan yang berlangsung di rumah Syamaun Gaharu lihat
Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 338-339.
120
pimpinan Darul Islam Hasan Saleh dan A. Gani Usman. Dalam pertemuan yang
1958, Hasan Saleh dan A. Gani Usman telah menjamin tidak akan ada perang lagi
seluruh rakyat Aceh, mengikrarkan di depan Pak Nas bahwa saya menjamin
keamanan Aceh dan akan menggagalkan usaha untuk berperang kembali pada
tanggal satu bulan satu tahun sembilan belas lima sembilan…”.246 Sebagai
perangnya, "Hasan Salah", yang berarti Hasan Saleh yang telah berbuat
mencapai puncaknya pada tanggal 15 Maret 1959, pukul 08.00 pagi yang
bertempat di desa Meutareum, Kolonel TII (Tentara Islam Indonesia) Hasan Saleh
selaku Menteri urusan peperangan NBA (Negara Bagian Aceh)/ NII (Negara
245
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 404.
246
Mengenai pertemuan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) A.H. Nasution dengan
pemimpin Darul Islam (Hasan Saleh dan A. Gani Usman) lihat selengkapnya, Hasan Saleh,
Mengapa Aceh Bergolak, h. 341-346.
247
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, h. 292.
121
pimpinan NBA (Negara Bagian Aceh) sipil dan militer dari tangan Wali Negara
dan A. Gani Usman, memisahkan diri dari Tgk. M. Daud Beureueh dan
membentuk Dewan Revolusi. Sementara Tgk. M. Daud Beureueh, Hasan Ali dan
Revolusi, oleh karena itu mereka menyambut dengan antusias tindakan Hasan
Saleh dan A. Gani Usman. Esok hari KDMA Syamaun Gaharu mengeluarkan
Lamteh dan Konsepsi Prinsipil dan Bijaksana. Dalam seruan itu juga Syamaun
248
Mengenai proses pengambilan kekuasan Darul Islam, selengakpanya lihat Hasan
Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 356. Lihat juga, “Hasan Saleh Cs Ambil Alih Pimp DI-TII Dari
Tgk. Mohd. Daud Beureueh,” Peristiwa, 22 Maret 1959, h. 1. Lihat juga, “Dgn Diambil Alih
Pimpinan DI TII Oleh Hasan Saleh Cs Apakah Atjeh Bisa Aman Atau Tidak,” Peristiwa, 2 April
1959, h. 1.
249
M. Nur Ibrahimy, Teungku Muhammad Daud Beureueh Peranan Dalam Pergolakan
di Aceh, (Jakarta: Gunung Angung, 1982), h. 166.
250
Lebih jelas lihat seruan yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh Syamaun Gaharu
tanggal 16 Maret 1959 dalam Dari Darul Harb ke Darussalam Jilid II
122
Pada tanggal 26 Maret 1959, keluar Komunike No. 2 dari Dewan Revolusi
Dewan Revolusi juga mengirim surat kepada Pemerintah Pusat untuk melakukan
dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy dengan mengirim surat kepada Perdana
Menteri Juanda agar pemerintah Pusat mengirim utusan untuk berunding dengan
Dewan Revolusi.252
Awal Mei 1959 Perdana Menteri Djuanda mengudang Ali Hasjmy dan
Gaharu) juga menegaskan bahwa kasus konflik Darul Islam akan dapat
diselesaikan atas dasar Ikrar Lamteh. Kemudian kabinet setuju untuk mengadakan
Perdana Menteri I Mr. Hardi (dari PNI) ke Aceh.253 Missi ini lebih dikenal dengan
251
Maksud dari “prinsip bukan taktik” adalah bermusyawarah memperbincangkan semua
soal melalui diplomasi, dan bukan diartikan dengan menyerah. Dan dengan musyawarah bukan
maksud untuk mencari menang atau kalah melainkan hasil hasil muswarah kelak sebagai dari cita-
cita kedua belah pihak. Jadi inilah yang dinamakan perdamaian. Adanya persatuan dan kembali
bersatu sebagai hasil musyawarah kelak, bukanlah sama sekali penyerahan atau menyerah,
melainkan kewajiban kita untuk damai dan bersatu selanjutnya untuk melanjutkan revolusi 17
Agustus tahun 1945, yang sudah pernah menjadi kewajiban suci kita umat Islam di daerah Aceh
masa yang lalu. Lihat Pernyataan Wali Negara NBA-NII Aceh Besar, 26 Maret 1959, Komunike
Dewan Revolusi No,2.
252
Lebih jelas lihat Surat Ali Hasjmy kepada Perdana Menteri RI Juanda dalam Dari
Darul Harb ke Darussalam
253
Dalam menentukan siapa yang akan memimpin missi pemerintah ke Aceh A. Hasjmy
menyarankan kepada Perdana Menteri Djuanda agar yang memimpin missi itu sebaiknnya Wakil
123
Perdana Menteri Djuanda juga meminta Gubernur Ali Hasjmy dan KDMA
Pada hari Selasa awal bulan Mei 1959, Gubernur Ali Hasjmy dan Komandan
Kepada Staf Angkatan Darat Kolonel Nasution, Kepala Staf Angkatan Laut
Subijakto dan Kepala Staf Angkatan Udara Kolo Udara Surjadarma. Kemudian
Gubernur Ali Hasjmy dan Komandan Daerah Militer Aceh (KDMA), berpidato
memberi penjelasan yang mana penjelasan kedua pejabat tersebut diterima baik
oleh Perdana Menteri Djuanda, dan Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel
Nasution. Kepala Staf Angkatan Laut Soebijakto menolak, dengan alasan bahwa
Aceh. Kepala Staf Angkatan Udara bersikap moderat dengan menyatakan dalam
menyelesaikan peristiwa Aceh perlu dicarikan jalan yang paling baik. Akhirnya
Perdana Menteri Juanda member tanggapan panjang lebar dengan bahasa yang
halus mengatakan
“…Kalau rakyat Aceh kini ibarat seorang anak nakal, bapaknya tidak harus memukul anak
itu. Selama ada jalan bagi anak nakal menjadi baik kembali haruslah kita pergunakan
jalan itu. Kelihatannya jalan itu ada dan alangkah tidak bijaksananya seorang ayah tidak
pandai menggunakan jalan itu.”254
diselesaikan dengan cara damai, serta mendukung Mr. Hardi untuk menjalankan
Perdana Menteri I Mr. Hardi. Selengkapnya lihat A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun, h.
515.
254
A. Hasjmy, dkk., 50 Tahun Aceh Membangun, (Banda Aceh: MUI, 1995), h. 143.
255
T. Alibasyah Talsya, 10 Tahun Daerah Istimewa Aceh, h. 16. M. Isa Sulaiman,
Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 415.
124
Pada tanggal 23 Mei 1959 Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi beserta
Hardi disambut dengan baik Gubernur Ali Hasjmy, Letnan Komandan Teuku
MBAD), Jenderal Mayor Gatot Subroto (Wakil KSAD), dan Wilujo (MBAD
Pusat Overste).256
Penguasa Perang Daerah (Peperda) Aceh pada tanggal 25 sampai dengan tanggal
26 Mei 1959. Pada sidang pertama yang berlangsung pada tanggal 25 Mei 1959
ada tiga pembicara, yaitu (1) kata sambutan oleh Gubernur/Kepala Daerah Aceh,
(2) pidato sambutan pertama Abdul Gani Usman, selaku Ketua Dewan Revolusi,
dan (3) Uraian mengenai kebijaksanaan Pemerintah Pusat oleh Ketua Missi
Pemerintah Pusat. Adapun pokok pokok pikiran yang dituangkan dalam pidato
tindak lanjut dari Ikrar Lamteh yang terjadi pada tanggal 7 April 1957.
3. Bahwa bangsa Indonesia pada umumnya, dan satu setengah juta rakyat
256
“Kedatangan Pemerintah Pusat Adalah Dengan Suatu Tugas Khusus,” Peristiwa, 27
Mei 1959, h. 1.
125
Sesudah Gubernur Ali Hasjmy yang bertindak sebagai tuan rumah secara
resmi membuka perundingan, maka pada kesempatan yang sama ketua Dewan
Revolusi, Abdul Gani Usman menyampaikan pidato yang bertajuk pada prinsip-
perjuangan Darul Islam Aceh dan usul-usulnya untuk dibahas dalam musyawarah.
Kata sambutan terakhir disampaikan oleh Ketua Missi Pemerintahan Pusat, Mr.
dengan baik dan lancar, namun ketika mulai memasuki pembahasan inti, keadaan
berubah menjadi alot dan tegang, hal ini disebabkan tuntutan-tuntutan dari pihak
cukup luas dan mendasar dan tidak mungkin akan terselesaikan dalam waktu yang
singkat oleh Missi Hardi. Di samping itu para pemimpin Dewan Revolusi
mengusulkan agar Aceh mempunyai semua kekuasaan, kecuali dalam urusan luar
257
Mengenai isi pidato Gubernur Ali Hasjmy, Ayah Gani Usman, dan Wakil Perdana
Menteri I Mr. Hardi lihat Hasil Perkundjungan Missi Pemerintah Pusat dpb Wk. P.M. I Mr. Hardi
Tanggal 25 dan 26 Mei 1959 di Kutaradja. h, 5-23. Lihat juga Hardi, Daerah Istimewa Aceh:
Latar Belakang Politik dan Masa Depannya, (Jakarta: Cita PancaSerangkai, 1993) h. 163.
258
Hardi, Daerah Istimewa Aceh, h. 12. Lihat juga Hasil Perkundjungan Missi
Pemerintah Pusat dpb Wk. P.M. I Mr. Hardi Tanggal 25 dan 26 Mei 1959 di Kutaradja. h, 5-23.
259
Naskah Prinsip-Prinsip Perdamian Darussalam dibuat pada 10 Mei 1959 dan
ditandatangani oleh Abdul Gani Usman dan A.G. Mutyara. Naskah itu terdiri dari 12 butir dan
tebalnya 20 halaman. Naskah Perdamaian Darussalan berisi tentang prinsip-prinsip dan tuntutan
yang diajukan kepada Wakil Perdana Menteri I Mr Hardi dalam perundingan yang terjadi di Aceh.
Lihat selengkapnya Hasil Perkundjungan Missi Pemerintah Pusat dpb Wk. P.M. I Mr. Hardi
Tanggal 25 dan 26 Mei 1959 di Kutaradja. h, 35-51.
126
otonomi yang demikian luas itu dengan prinsip kebebasan beragama yang
dan abolusi yang ditawarkan Pemerintah Pusat kepada Darul Islam harus
Dalam hal ini Wakil Perdana Menteri Hardi menolak tuntutan itu, karena
berstatus Daerah Istimewa yang bersifat federal. Mr. Hardi mengatakan kepada
dalam bidang keagamaan, pendidikan, adat dan hukum tapi bukan status Daerah
khusus di ruangan lain dengan Wakil Perdana Menteri Mr. Hardi. Adapun isi
pembicaraan itu sebagaimana yang dikisahkan oleh Hasan Saleh dalam bukunya
“Apa yang menyebabkan kami bersikeras menuntut daerah istimewa untuk Aceh.
Kemudian saya menjawab Pak Juanda sebagai PM, maupun Pak Nasution sebagai KSAD,
membenarkan kami untuk menuntut sesuatu yang tidak bertentangan dengan konstitusi RI.
260
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, h. 310. Lihat “Prinsip-
Prinsip Naskah Perdamaian Darussalam” dalam Hasil Perkundjungan Missi Pemerintah Pusat dpb
Wk. P.M. I Mr. Hardi Tanggal 25 dan 26 Mei 1959 di Kutaradja, h. 5.
127
Kedua, beberapa hari yang lalu kami menerima tembusan surat KSAD kepada PM Juanda,
yang isinya meminta kabinet untuk mempertimbangkan status daerah istimewa untuk Aceh.
Yang ketiga, kata saya selanjutnya, status daerah istimewa ini juga dikenal dalam negara
RI, yaitu untuk Daerah Yogyakarta. Keempat, kami yakin bahwa dengan tiga keistimewaan
yang kami tuntut, Aceh akan dapat mengejar ketinggalannya selama ini, akibat perang yang
terus-menerus, baik selama melawan Belanda dulu, maupun karena pemberontakan
sekarang ini.261
tanpa ada tanda-tanda akan berhasil, sehingga sidang perundingan antara kedua
belah pihak ditutup dengan tidak mencapai kata apapun dan musyawarah akan
kepada para penguasa Aceh atau lokal untuk memainkan peranan yang lebih
penting dalam perundingan tersebut. Sejalan dengan itu, Mr. Hardi merasa yakin
Revolusi. Pada saat itulah Gubernur Ali Hasjmy sebagai Kepala Daerah Provinsi
Aceh ikut campur tangan dalam hal ini. Sepanjang malam Gubernur Ali Hasjmy
Aceh Besar Zaini Bakri untuk membujuk para pemimpin Dewan Revolusi. Ia
mendesak mereka agar bersikap moderat dan menerima kompromi yang telah
disetujui Perdana Menteri Hardi.262 Upaya dan usaha yang dilakukan Zaini Bakri
akhirnya berhasil. Menjelang subuh tanggal 26 Mei Dewan Revolusi setuju untuk
261
Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 361.
262
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, h. 312. Lihat juga A.
Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 521.
263
T. Alibasyah Talsya, 10 Tahun Daerah Istimewa Aceh, h. 17.
128
meleburkan organisasi NBA (Negara Bagian Aceh) sipil dan militer ke dalam
tubuh Pemerintah Republik Indonesia.264 Setelah itu Wakil Perdana Menteri Mr.
Istimewa dengan otonomi seluas-luasnya terutama dalam hal keagamaan, adat dan
Dewan Revolusi. Tetapi yang lebih penting bagi para pemimpin Dewan Revolusi
adalah bahwa hasil perundingan itu sangat tidak mempermalukan mereka, sebab
ini merupakan prestasi yang harus dihargai oleh rakyat. Meskipun misi
mereka telah memperoleh sebagian besar dari apa yang mereka tuntut, baik secara
264
Lihat Surat Pernyataan Dewan Revolusi, Gerakan Repolusioner Islam Atjeh
bertanggal Aceh Darussalam, 26 Mei 1959 dalam Dari Darul Harb ke Darussalam Jilid II.
265
Mengenai surat keptusan Perdana Menteri Republik Indonesia tentang status Daerah
Istimewa Aceh lihat Hasil Perkundjungan Missi Pemerintah Pusat dpb Wk. P.M. I Mr. Hardi
Tanggal 25 dan 26 Mei 1959 di Kutaradja. h, 67.
266
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, h. 313.
129
Gubernur Ali Hasjmy melakukan pidato melalui radio yang ditujukan kepada
lawan-lawan politiknya agar semua gerombolan turun gunung untuk ikut gabung
Pada tanggal 30 Mei Gubernur Ali Hasjmy berpidato dengan judul Daerah
ada yang coba-coba berdiri di atas dua perahu, jangan terpengaruh dengan
bujukan orang-orang yang bersuka ria dan hidup mewah di atas penderitaan
darah, dan bergabung dengan pemerintah untuk mengisi momentum sejarah ini.268
Abdul Gani Usman sebagai Ketua Dewan Revolusi merasa perlu untuk
telah Dewan Revolusi lakukan. Pidato radio pada tanggal 30 Mei diberi judul
Menempuh Zaman Baru. Dalam pidato itu Abdul Gani Usman menguraikan
dihasilkan itu merupakan fajar harapan yang harus ditindaklanjuti demi kejayaan
Aceh pada masa-masa yang akan datang. Abdul Gani Usman juga menyadarkan
kepada rekan-rekannya betapa kehancuran yang telah dialami oleh rakyat Aceh
perasaan, menenangkan perhitungan dan meletakkan suatu dasar yang baik lagi
267
Isi lengkap pernyataan Gubernur Ali Hasjmy dan Letnan Kolonel T. Hamzah lihat
“Atjeh Sudah Dapat Disebut Daerah Istimewa Atjeh Dengan Isi Dasar Undang-Undang I/57
Tentang Otonomi Jang Luas,” Peristiwa, 6 Juni 1959, h. 1-6.
268
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 418.
269
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 419.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
dengan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini yakni mengenai Kebijakan
Gubernur Ali Hasjmy Terhadap Darul Islam Aceh sejak tahun 1957-1959,
latar belakang dan faktor penyebab terjadinya konflik di Aceh, maka dapat
terjadi kesenjangan sosial yang sangat mencolok antara pemerintah pusat dan
daerah
keinginan rakyat Aceh, padahal yang kita ketahui pada awal kemerdekaan
Indonesia, Aceh banyak memberikan dukungan moril dan ekonomi. Rakyat Aceh
perjuangan dan berperan aktif untuk tetap menjaga keutuhan tanah air. Melihat
kemudian hari Aceh tidak diberi otonomi dengan penerapan syariat Islam seperti
130
131
militer menghidupkan lagi harapan rakyat Aceh, dan membuat para pemimpin
baru dipandang sebagai pahlawan sejati. Dari satu segi, penerimaan rakyat
dampak yang berarti untuk menghentikan pergolakan DI/TII. Oleh karena itu
melalui Gubernur Ali Hasjmy, melakukan pendekatan terhadap DI/TII agar mau
dilakukan Gubernur Ali Hasjmy, kelompok DI/TII yang berhaluan moderat atau
yang dikenal dengan „Dewan Revolusi‟ setuju untuk berdamai dengan emerintah
B. Saran
dari perjuangan para ulama Aceh dalam menyuarakan aspirasi umat Islam, serta
bisa lebih menambah rasa antusias, dan memotivasi diri dalam hal pemimpin
132
sebuah daerah. Serta diharapkan menjadi sosok yang berkharismatik dan tenang
3. Penelitian ini hanya sebuah karya sederhana dan jauh dari kesempurnaan,
Daftar Pustaka
Buku
1984.
Amin, Sutan Muhammad, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution Perjalanan
Bahar, Saafroedin dan A.B. Tangdililing, Integrasi Nasional Teori, Masalah dan
Burton, John, Conflict; Resolution and Prevention, New York: The Macmillan
Dijk, C. Van, Darul Islam, Sebuah Pemberontakan, (terj.), Jakarta: Grafiti Pers,
1993.
Ghazaly, H.A., Biografi Prof Tgk H. Ali Hasjmy, Jakarta: Penerbit Socialia,
1978.
Hardi, Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa Depannya,
Indonesia, 1976.
Ismail, Badruzzaman, ed., A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan:
Delapan Puluh Tahun Melalui Jalan Raya Dunia, Jakarta: Bulan Bintang,
1994.
1995.
Terbuka, 1994.
Madjid, M. Dien dan Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar, Jakarta:
Kencana, 2014.
Piekaar, A. J., Aceh dan Peperangan Dengan Jepang, (terj.), Banda Aceh: Pusat
Saleh, Hasan, Mengapa Aceh Bergejolak, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992.
Sufi, Rusdi, dkk., Sejarah Kotamadya Banda Aceh, Banda Aceh: Balai Kajian
…….. Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1997.
5
Depdikbud, 1978.
Tim Monograf Daerah Istimewa Aceh, Monograf Daerah Istimewa Aceh, Jakarta:
Surat Kabar
“A. Hasjmy Diangkat Menjadi Professor Ilmu Dakwah,” Harian Duta, 16 April
1976.
“Atjeh Pertahankan Hak Propinsi, Belum Ada Ketegasan Dari Pusat,” Waspada,
30 Oktober 1950.
“Atjeh Pertahankan Hak Propinsi, Belum Ada Ketegasan Dari Pusat,” Waspada,
30 Oktober 1950.
“Atjeh Sudah Dapat Disebut Daerah Istimewa Atjeh Dengan Isi Dasar Undang-
“Di New York Didirikan, Rep Islam Indonesia,” Peristiwa, 7 September 1954.
“Gubern. Hakim Berseru SPJ Orang Djangan Berdosa t‟hadap Negara,” Antara,
24 September 1953.
“Hasan Tiro Diberi Waktu Sampai 22 Sept Untuk Pulang Ke Indonesia,” Antara,
17 September 1954.
27 Mei 1959
1953.
Oktober 1953.
November 1953.
7
“Prof. A. Hasjmy, Sastrawan dan Pejuang Tiga Zaman,” Mimbar Umum, 8 April
1984.
“Professor A. Hasjmy Menulis itu, Dakwah dan Jihat,” Kompas 20 Mei 1984.
Oktober 1953.
Oktober 1953.
Maret 1984.
“Ulama Besar Tgk. H. Hasan Krueng Kale Kutuk Pemberontakan PUSA; La‟nat
1953.
Dokumen
Bagian Dokumentasi, Sekitar Peristiwa Daud Beureueh, vol III, (Jakarta: Kronik
Hasil Perkundjungan Missi Pemerintah Pusat dpb Wk. P.M. I Mr. Hardi Tanggal
16 Maret 1958.
A. Hasjmy, 1998
Jurnal
Jan, Abdul Murat Mat, “Gerakan Darul Islam di Aceh 1953-1959”, dalam
Akademika 8, 1976.
LAMPIRAN