Anda di halaman 1dari 165

ALI HASJMY: PENYELESAIAN KONFLIK DARUL ISLAM

ACEH TAHUN 1957-1959

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora


Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Oleh
Khairul Ummami
NIM : 1112022000016

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H. / 2017 M.
ABSTRAK

Khairul Ummami

Ali Hasjmy: Penyelesaian Konflik Darul Islam Aceh Tahun 1957-1959

Skripsi ini ingin menjelaskan tentang tiga hal yang terjadi di Aceh dalam
kurun waktu 1953 dan 1959. Pertama terjadi pemberontakan Darul Islam tahun
1935 yang dimotori oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh, kedua
penyelesaian kasus konflik Darul Islam oleh Gubernur Ali Hasjmy pada tahun
1957-1959. Dalam upaya proses penyelesaian kasus konflik Darul Islam,
Pemerintah Daerah Aceh menggunakan cara soft power untuk menyelsaikan
konflik tersebut. Dan ketiga kebijakan pemerintah pusat dalam menyelesaikan
kasus konflik Darul Islam Aceh.

Skripsi ini menunjukkan bahwa ketokohan Ali Hasjmy sebagai Gubernur


Aceh sangat berperan penting dalam meredam konflik Darul Islam. Hal ini terlihat
ketika ia merumuskan suatu kebijakan atau sebuah konsepsi perdamaian yang
terkenal bernama Ikrar Lamteh pada tahun 1957. Pokok Ikrar Lamteh ini berisikan
tentang menjunjung tinggi kehormatan agama dan kepentingan rakyat atau daerah
Aceh. Ikrar Lamteh ini juga merupakan sebuah batu loncatan untuk menuju
perdamaian yang bersifat resmi dengan pemerintah pusat yang diwakilkan oleh
Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi. Skripsi ini membuktikan bahwa pemberian
hak otonomi yang luas oleh pemerintah pusat kepada Provinsi Aceh mampu
menyelesaikan konflik Darul Islam Aceh yang sudah terajadi selama 6 tahun.

Metode yang digunakan dalam penilitian ini adalah kualitatif. Sedangkan


pengambilan datanya dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library
researcher). Teknik analisis data ini berdasarkan teknik heuristik, verifikasi,
interpretasi serta historiografi. Selain itu, untuk menguatkan analisis dalam skripsi
ini, penulis menggunakan pendekatan politik.

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil A’lamin, Allahumma Shalli A’la Muhammad.

Segala puji dan puja ke hadirat Allah Tuhan semesta alam yang telah memberikan

rahmat dan hidayahNya bagi para hambaNya yang selalu memujaNya. Shalawat

dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW, kepada

keluarga, sahabat dan para pengikutnya sampai akhir zaman. Berkat perjuangan

beliau kita dapat hijrah dari kegelapan (az-zhulamat) kepada zaman ilmu

pengetahuan. Penulis sangat bersyukur kepada Allah karena telah diberi kesehatan

badan dan fikiran, sehingga skripsi yang berjudul “Ali Hasjmy: Penyelesaian

Konflik Darul Islam Aceh Tahun 1957-1959” telah selesai ditulis dengan baik.

Dalam penyusunan, penulisan sampai tahap penyelesaian, skrispsi ini tidak

terlepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak baik yang

bersifat moril maupun materil. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin

mengucapkan dan menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya dan

setelus-tulusnya kepada yang terhormat:

1. Kedua orang tuaku yang telah memberikan kasih dan sayang tanpa pamrih

kepada penulis sejak dari kecil sampai dewasa. Semoga Allah membalas

semua kebaikan mereka dan senantiasa berada dalam keberkahan dunia

dan akhirat. Allahumma irham huma kamaa rabbayani sagiraa.

2. Saudara-saudaraku, abang dan kakakku-kakakku yang telah memberikan

dukungan dan do’a kepada penulis baik moril maupun materil agar dapat

menyelesaian skripsi ini.

ii
3. Prof. Dr. M. Dien Madjid selaku guru besar dan sekaligus sebagai orang

tua bagi penulis, yang telah bersedia membimbing dengan penuh

kesabaran dan penuh dedikasi tinggi dan telah memberikan inspirasi bagi

penulis.

4. Bapak Nurhasan, M.A selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan

Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ibu Solikatus Sa’diyah, M.Pd

selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu penulis dalam hal

administrasi dan motivasi.

5. Ibu Imas Emelia MA, selaku dosen pembimbing Akademik dan ibu bagi

penulis yang telah banyak membantu dan memotivasi penulis untuk selaku

berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.

6. Syifa Fauziah Syukur, yang telah menyemangati penulis dari awal

penulisan skripsi sampai selesai, dan terimakasih juga atas segela

kesabaran dan kebaikanmu. Semoga allah membalas kebaikanmu.

7. Pegawai Perpustakaan dan Museum Ali Hasjmy, Pegawai Perpustakaan

Nasional Repuplik Indonesia (PNRI), Pegawai Arsip Nasioal Indonesia

(ANRI), dan Pegawai Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(LIPI) yang telah banyak membantu penulis dalam proses menelusuri

sumber.

8. Bung Alkaf teman diskusi sejarah yang telah membantu dalam

menginspirasi penulis. Semoga allah membalas kebaikannya.

9. Mulkan yang telah bersedia menampung saya di kosan selama penelitian

dan juga Nabila yang telah membantu penulis dalam mengirim sumber

iii
sejarah terkait penelitian ini. Terimakasih atas kebaikan kalian dan semoga

Allah membalasnya.

10. Ustadz Safrizal yang telah mengirim koleksi khusus Ali Hasjmy mengenai

Penyelesaian Konflik Darul Islam. Semoga Allah membalas kebaikan

beliau.

11. Teman-teman Grup Silaturrahmi Yuk, di antaranya Danang, Alfath, Agi,

Dliyah, Irma dan Alfi. Semoga persahabatan kita jalan terus.

12. Teman-teman seperjuangan di Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam

angkatan 2012. Terima kasih atas diskusi-diskusi yang menarik dan

mencerdaskan selama perkuliahan. Semoga kelak kita dipertemukan dalam

keadaan sukses.

13. Terakhir, terima kasih saya sampaikan kepada sejawat, kawan, serta pihak-

pihak lain yang membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Harapan saya, semoga skripsi ini bisa menjadi bacaan yang baik, dan

bermanfaat bagi kita semua dan juga dapat menjadi bagian dalam pengembangan

ilmu sejarah yang dapat dijadikan sebagai referensi. Amiin Yaa Rabbal a’lamiin.

Ciputat, 27 Januari 2017

Penulis,

Khairul Ummami

iv
DAFTAR ISI

ABSTRAK ............................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................ v

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1


B. Identifikasi Masalah ............................................................................. 9
C. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................ 9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 10
E. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 11
F. Kerangka Teori ..................................................................................... 15
G. Metode Penelitian ................................................................................. 18
H. Sistematika Penulisan ........................................................................... 21

BAB II Sebab Terjadinya Pemberontakan Darul Islam Aceh Tahun 1953 ..... 23

A. Aceh Pada Masa Pasca Kemerdekaan .................................................. 23


1. Keresidenan Aceh .......................................................................... 23
2. Pembentukan Provinsi Sumatera Utara .......................................... 27
3. Pembentukan Provinsi Aceh Pertama ............................................ 29
B. Sebab-Sebab Terjadinya Pemberontakan Darul Islam Aceh ............... 33
1. Akibat Provinsi Aceh Dihapus ....................................................... 33
2. Faktor-faktor Lain Pemicu Pemberontakan ................................... 43
C. Pemberontakan Darul Islam Aceh Meletus .......................................... 47
D. Keterangan Pro-Kontra Pemerintah Terhadap Peristiwa Darul
Islam Aceh ........................................................................................... 53
E. Kebijakan Kabinet Dalam Penyelesaian Konflik Darul Islan Aceh .... 63

v
BAB III BIOGRAFI ALI HASJMY SELAYANG PANDANG .......................... 69

A. Riwayat Hidup Ali Hasjmy .................................................................. 69


B. Riwayat Intelektual Ali Hasjmy ........................................................... 71
C. Karya-Karya Tulis dan Penghargaan Ali Hasjmy ................................ 76
1. Karya-Karya Tulis Ali Hasjmy ...................................................... 76
2. Penghargaan Yang Diterima Ali Hasjmy ....................................... 83
D. Keterlibatan Ali Hasjmy Dalam Pergerakan Politik ............................ 84
1. Ali Hasjmy Pada Masa Penjajahan Belanda .................................. 84
2. Ali Hasjmy Pada Masa Pejajahan Jepang ...................................... 87
3. Ali Hasjmy Pada Masa Pasca Kemerdekaan ................................. 89
E. Ali Hasjmy Sebagai Gubernur ............................................................. 92

BAB IV Ali Hasjmy dan Penyelesaian Darul Islam Aceh ................................... 98

A. Konsepsi Prinsipil Bijaksana dan Ikrar Lamteh: Sebuah Kebijakan


Perdamian ............................................................................................. 98
B. Perpecahan Darul Islam Aceh .............................................................. 115
C. Penyelesaian Kasus Konflik Darul Islam Aceh Melalui Missi Hardi .. 121

BAB V PENUTUP ................................................................................................. 130

A. Kesimpulan .......................................................................................... 130


B. Saran ..................................................................................................... 131

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemberontakan merupakan konflik yang sering terjadi di dalam suatu

wilayah. Adapun penyebab terjadinya pemberontakan adalah adanya kesenjangan

sosial politik antara pemerintahan pusat dengan wilayah yang bersangkutan.

Kesenjangan sosial yang dimaksud bisa dikarenakan adanya perbedaan situasi

ekonomi, pendidikan, dan perampasan hak-hak di wilayah tersebut.

Pemberontakan yang terjadi dalam sejarah politik Indonesia merupakan

gerakan yang selalu. Gerakan pemberontak juga meninggalkan trauma bagi

korbannya yang sangat mendalam karena di dalam gerakan pemberontakan

apapun bisa terjadi seperti peperangan dan juga menyisakan beragam persoalan

sosial politik bagi pemerintah pusat.

Dalam pandangan Goerge McTurnan Kahin, seluruh gerakan separatisme

pada masa pemerintahan Soekarno dipicu oleh ketidakpuasan elite daerah atau

perwira militer daerah terhadap pemerintah pusat dan tidak jarang pula akibat

adanya rivalitas dalam tubuh militer dalam memperebutkan posisi serta sumber

daya ekonomi dan politik.1

Munculnya beberapa pergolakan pasca kemerdekaan, khususnya dari

kalangan Islam memiliki akar sejarah yang beragam meskipun motif latar

belakangnya juga berbeda beda, ada yang wujudnya karena kekecawan terhadap

kebijakan pemerintah pusat, ada yang bermotif politik dan ekonomi dan ada yang

1
Georg McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Penerjemah Tim
Komunitas Bambu (Depok: Komunitas Bambu 2013), h. 63.

1
2

berupa ideologi, dengan cita-cita mendirikan negara bagian Islam seperti halnya

yang terjadi di daerah Aceh.

Di saat bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, masyarakat

Aceh sangat mendukung kemerdekaan itu karena mereka senasib dan

sepenanggungan dengan saudara-saudara yang lain. Peranan yang amat besar

dibuktikan dengan kerelaan menyerahkan harta dan nyawa untuk Republik

Indonesia. Sampai tahun 1948 Aceh masih membendung kekuatan Belanda yang

hendak ingin merebut kembali kekuasaannya di Indonesia, hingga Aceh menjadi

satu-satunya daerah yang aman dari penjajahan. Banyak dukungan dan

sumbangsih yang diberikan masyarakat Aceh kepada pemerintahan Republik

Indonesia salah satunya pembelian dua pesawat terbang Seulawah I untuk

kepentingan perjuangan menegakkan kedaulatan Republik Indonesia. Selama

revolusi fisik, Aceh merupakan satu-satunya wilayah yang tidak dapat diduduki

Belanda sehingga Aceh pernah disebut oleh Soekarno sebagai daerah modal2 bagi

perjuangan bangsa Indonesia.

Memasuki tahun 1950-an banyak akumulasi kekecewaan rakyat Aceh

terhadap pemerintah pusat di Jakarta. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh

pemerintah pusat dianggap bersebrangan dengan pemimpin-pemimpin Aceh,

sehingga terjadi beberapa pertikaian dan bahkan pergolakan yang menjurus ke

arah pemisahan diri dari pemerintah pusat, yang pada akhirnya berujung pada

lahirnya pemberontakan Darul Islam tahun 1953. Gerakan ini dipimpin oleh

seorang ulama tekenal bernama Teungku Muhammad Daud Beureuh.

2
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan
Perjuangan Kemerdekaan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h. 374. Lihat Juga A.K. Jakobi. Aceh
Daerah Modal, (Jakarta: Pradnya Pramita,1979), h. 103.
3

Mengidentifikasi akar masalah gerakan Darul Islam yang terjadi di Aceh

tentu memiliki sebab yang paling dasar yaitu penghapusan Provinsi Aceh menjadi

Keresidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara yang membuat masyarakat Aceh

kecewa dan merasa tidak puas terhadap pemerintahan pusat. Sebab lainnya

ketidakadilan dalam hal perekonomian di Aceh, sumber daya alam Aceh yang

pada saat itu sangat banyak dikuasai oleh pemerintah pusat Republik Indonesia

sehingga terlihat perbedaan yang sangat mencolok antara keadaan ekonomi,

kehidupan sosial wilayah Aceh dengan di pusat (Pemerintahan RI) hal ini

membuat kemarahan masyarakat Aceh kepada pemerintah pusat. Adapun sebab

politik yang menjadi latar belakang terjadinya pemberontakan itu yang disebutkan

Ali Hasjmy dalam bukunya3 adalah:

1. Kekecewaan masyarakat Aceh kepada pemerintah pusat karena

meleburkan dan memindahkan kesatuan tentara Aceh seperti Batalion

Teuku Manyak, Batalion Hasan Saleh dan beberapa batalion lainnya

dipindahkan keluar dari Aceh yang kemudian digantikan oleh Mayor Nazir

seorang kader Partai Komunis Indonesia (PKI).

2. Menuduh dan memfitnah para ulama dan pemimpin Aceh sebagai kaki

tangan Belanda. Politik kotor Partai Komunis Indonesia (PKI) yang telah

memfitnah dan menghasut rakyat Aceh untuk melakukan pemberontakan

terhadap pemerintahan pusat yang berujung kepada meletusnya gerakan

Darul Islam. Setelah pemberontakan terjadi, orang-orang PKI (Partai

Komunis Indonesia) menghasut kembali pemerintahan untuk

3
A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 408-409.
4

menghancurkan gerakan separatis Darul Islam karena dianggap

membahayakan kepentingan rakyat Indonesia.

3. Pertengahan tahun 1953 di Medan tercecer sebuah daftar misterius yang

berisikan nama-nama ulama dan pemimpin Aceh yang akan ditangkap

karena kesalahan-kesalahan kepada pemerintah Indonesia. Akan tetapi di

dalam bukunya The Stuggle of Islam in Modern Indonesia, menyebutkan

sebetulnya surat misterius itu tidak pernah ada. Desas-desus itu

diembuskan oleh politikus sayap kiri di Jakarta untuk menghantam

gerakan Islam di Aceh.4

Rentang waktu yang lama sejak meletusnya pemberontakan tahun 1953

sampai 1959 membuat kondisi kehidupan masyarakat Aceh penuh bergejolak

pertumpuhan darah terjadi di mana-mana. Kondisi ini menyebabkan sistem sosial,

politik, dan lain-lain menjadi stagnan. Cara demi cara dalam penyelesaian

dilakukan oleh kalangan tak terkecuali para pemuda Aceh yang membentuk

sebuah kongres yang diberi nama Kongres Mahasiswa/Pemuda/Pelajar/

Masyarakat Aceh Se-Indonesia.5 Kongres ini bertujuan untuk menyelesaikan

masalah-masalah pemberontakan Darul Islam dan merencanakan pembangunan

Aceh dalam segala aspek. Sebulan kemudian, pada pertengahan bulan Oktober

1956 diadakan reuni perwira eks Divisi Gajah I di Yogyakarta untuk

membicarakan persoalan pemulihan keamanan di Aceh. Namun, semua usaha itu

belum dapat membawa hasil yang diharapkan.

4
B.J. Bolland, The Struggle of Islam In Moderen Indonesia, (The Hugue-Martinus
Nijhoff: Verhandelingen KITLV, 1971), h. 73. Lihat juga Nugroho Dewanto, Daud Beureueh
Pejuang Kemerdekaan yang Berontak (Jakarta, KPG Kepustakaan Populer Gramedia, 2011), h. 3.
5
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 495.
5

Pada tahun 1956, kesadaran Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo terhadap

apa yang terjadi di Aceh telah mengubah cara pandangnya, setelah melihat

semakin buruknya kondisi yang diakibatkan oleh konflik Darul Islam, sehingga

pada November tahun 1956 keinginan rakyat Aceh terpenuhi dengan

pembentukan kembali Provinsi Aceh oleh pemerintah pusat melalui Undang-

Undang No. 24 Tahun 1956.6

Dengan terbentuknya Provinsi Aceh mengobati kekecewaan rakyat Aceh

kepada pemerintah pusat. Berbarengan dengan Undang-Undang No. 24 Tahun

1956 tentang pembentukan Provinsi Aceh maka pada awal Desember 1956

pembicaraan mengenai tentang siapa Gubernur Aceh menjadi pemberitaan yang

hangat di kalangan rakyat Aceh. Tiga figur penting dicalonkan oleh kabinet untuk

mengisi jabatan gubernur, yaitu Ali Hasjmy seorang anggota PSII (Partai Serikat

Islam Indonesia) dan pegawai senior Kementerian Sosial di Jakarta. Calon kedua

Zainal Abidin, adalah salah seorang dokter. Waktu itu ia menjabat sebagai kepala

Dinas Kesehatan di Kutaraja. Dia adalah seorang pemimpin PSI (Partai Sosialis

Indonesia) cabang Aceh dan mempunyai hubungan yang erat dengan Front

Pemuda Aceh. Calon terakhir, Abdul Wahab Seulimeum, seorang ketua PUSA

(Persatuan Ulama Seluruh Aceh).7 Dari ketiga calon gubernur tersebut Dewan

Menteri dalam rapatnya ke-51 tanggal 2 Januari telah menyetujui untuk

6
A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70: Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 467. Lihat
juga Arsip Konvensional Setelah Tahun 1945 (Republik). No Arsip 1713, dengan judul arsip
Berkas Mengenai Status Provinsi Aceh.
7
Calon Gubernur Aceh pada saat itu sekitar 7 orang, yakni Mr. T. Mohd. Hasan, M. Insja
(Kepala Polisi Provinsi Sumatera Utara), Mayor Syamaun Gaharu, Mr. S.M. Amin, Ali Hasjmy,
Zainal Abidin, dan Abdul Wahab Seulimeum, akan tetapi kabinet hanya memilih 3 dari 7 calon
tersebut yaitu Ali Hasjmy, Zainal Abidin, dan Abdul Wahab Seulimeum. Selengkapnya lihat
“Arsip Konvensional Setelah Tahun 1945 (Republik), Surat-Surat Mengenai Usul dan
Pengangkatan Gubernur Aceh, No Arsip 1713. Lihat juga Nazaruddin Sjamsuddin,
Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh, (Jakarta: Pustaka Grafiti, 1990), h. 272.
6

mengangkat Ali Hasjmy, pegawai tinggi pada Kementerian Sosial, sebagai

Gubernur Aceh.8

Terpilihnya Ali Hasjmy menjadi Gubernur Aceh mendapatkan dukungan

yang besar di kalangan rakyat Aceh termasuk sebagian mereka yang berada dalam

Darul Islam yang mendukung Ali Hasjmy menjadi gubernur karena keyakinan

mereka bahwa Ali Hasjmy seorang tokoh yang akan berhasil menyelesaikan

konflik tersebut.

Setelah Ali Hasjmy dilantik menjadi gubernur, masih banyak pekerjaan

yang harus dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy salah satunya penyelesaian

konflik Darul Islam yang berkepanjangan. Maka pertemuan demi pertemuan

dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy baik itu dengan pemerintah pusat maupun

dengan melakukan pendekatan terhadap pemimpin Darul Islam itu sendiri. Pada

April 1957 Ali Hasjmy beserta Muhammad Insja (Kepala Polisi Sumatera Utara)

dan Syamaun Gaharu (Komandan Militer Daerah Aceh) melakukan pertemuan

dengan beberapa pemimpin Darul Islam di antaranya Hasan Ali, Hasan Saleh,

Ishak Amin dan Pawang Leman. Pertemuan yang berlangsung di antara kedua

belah pihak mencapai kata sepakat yaitu menjunjung tinggi kehormatan agama

dan kepentingan rakyat Aceh. Kesepakatan itu kemudian diberi nama Ikrar

Lamteh.9 Atas dasar Ikrar Lamteh ini tercapai suatu persetujuan antara pihak

Darul Islam dan Pemerintah Daerah untuk menghentikan tembak-menembak

(ceasefire)

Pertengahan tahun 1957 kesempatan untuk bertemu langsung dengan

Teungku Muhammad Daud Beureueh oleh pihak pemerintah daerah yang


8
Arsip Konvensional Setelah Tahun 1945 (Republik), Surat-Surat Mengenai Usul dan
Pengangkatan Gubernur Aceh, No Arsip 1713.
9
A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70: Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 484.
7

diwakilkan oleh Gubernur Ali Hasjmy terealisasikan. Pertemuan tersebut

dilakukan di Markas Darul Islam yang berada di suatu tempat yang bernama

Mardhatillah. Dalam pertemuan itu Ali Hasjmy sebagai Gubernur Aceh memberi

pengertian kepada Wali Negara Tgk. M. Daud Bereueh agar berkenan berdamai

dengan pemerintah pusat. Agaknya Tgk. M. Daud Beureueh sudah sangat anti

terhadap pemerintah pusat. Di samping itu pertemuan kedua belah pihak itu belum

mencapai kata sepakat untuk berdamai.

Penyelesaian kasus Darul Islam belum mencapai titik temu walaupun tahun

1957 telah berlalu. Walaupun Piagam Lamteh sering terlanggar dan dilanggar,

pemberontakan masih terjadi, suara tembakan masih sering terdengar yang

menyebabkan keadaan semakin bertambah parah. Berbagai upaya dilakukan oleh

Gubernur Ali Hasjmy baik itu pertemuan maupun dengan mengirim surat kepada

pihak Darul Islam, namun hasilnya tetap tidak ada, karena pemimpin Darul Islam

sangat tidak beranjak dari kehendaknya.

Dalam proses usaha mencari penyelesaian konflik Darul Islam, Gubernur

Ali Hasjmy dikejutkan oleh lahirya gerakan separatis Pemerintahan Revolusioner

Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat. Gerakan ini memberi pengaruh

besar terhadap Darul Islam Aceh, hal ini terbukti dengan sebagian anggota Darul

Islam ikut serta untuk melancarkan beberapa pemberontakan di Sumatera. Namun

gerakan separatis ini mampu diselesaikan oleh alat keamanan negara.

Seletah penumpasan PRRI, dalam kalangan tokoh-tokoh pemimpin Darul

Islam Aceh terjadi perbedaan pendapat yang sangat serius. Hal ini menimbulkan

perpecahan dalam tubuh Darul Islam Aceh yang menjadi dua kubu. Pertama kubu

Tgk. M. Daud Beureueh, yang para pengikutnya kebanyakan tokoh yang


8

berhaluan keras, yang sukar diajak koperatif. Kedua kubu Hasan Saleh yang

berhaluan moderat. Kelompok Hasan Saleh menamakan dirinya Dewan Revolusi.

Terbentuknya Dewan Revolusi disambut baik oleh Gubernur Ali Hasjmy.

Kelompok Hasan Saleh bersedia melakukan perundingan dengan pemerintah

pusat, hal ini didasari oleh keiginan rakyat Aceh yang sudah lama menginginkan

perdamaian. Akhirnya pada tahun Mei 1959, pemerintah pusat mengirim suatu

missi yang terkenal dengan Missi Hardi untuk melakukan perundingan dengan

Dewan Revolusi. Perundingan berlangsung selama 3 hari dengan keputusan

perubahan Daerah Swantantra Tingakat I Aceh menjadi Daerah Istimewa dengan

otonomi seluas-luasnya terutama dalam hal keagamaan, adat dan hukum, serta

pendidikan.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis ingin mengkaji lebih jauh serta

mendalam peranan Gubernur Ali Hasjmy dalam menyelesaikan konflik Darul

Islam Aceh, menguraikan langkah-langkah serta strategi yang ditempuh oleh

Gubernur Ali Hasjmy. Tahun 1957-1959 dijadikan rentangan waktu yang dikaji

oleh penulis karena tahun 1957 merupakan pengangkatan Gubernur Aceh pertama

ketika Aceh dalam keadaan konflik politik dengan pemerintah pusat. Dan tahun

1959 merupakan tahun keberhasilan Gubernur Ali Hasjmy dalam memediasi

Darul Islam Aceh dengan pemerintah pusat, yang berakhir dengan perdamaian di

Aceh. Oleh karena itu, penulis mengangkat judul skirpsi dengan judul “ Kebijakan

Gubernur Ali Hasjmy terhadap Darul Islam Aceh 1957-1959”


9

B. Identifikasi Masalah

Sebelum membatasi masalah, peneliti akan terlebih dahulu memberikan

identifikasi masalah seputar judul yang diangkat dari latar belakang yang telah

dikemukakan. Peneliti berhasil mengidentifikasi beberapa masalah:

1. Adanya ketidakstabilan segi kehidupan di aceh pasca kemerdekaan.

2. Keadaan gerakan Darul Islam yang tidak mampu diselesaikan oleh

pemerintah pusat.

3. Mengenai situasi konflik yang berdampak sangat tidak baik yang

menyebabkan kehidupan sosial dan agama yang morat marit di Aceh.

4. Tanggapan rakyat Aceh maupun pihak Darul Islam terpilihnya Ali

Hasjmy menjadi Gubernur Aceh pada masa konflik.

5. Langkah-langkah apa yang dilakukan Gubernur Ali Hasjmy untuk

meredam konflik Darul Islam.

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Kajian mengenai Aceh memang tidak pernah surut untuk dijadikan bahan

penelitian. Tema kajiannya pun beragam, mulai dari masa masuknya Islam, masa

Kolonial, zaman pendudukan Jepang, dan masa pasca kemerdekaan.

Dengan melihat deskripsi latar belakang di atas, peneliti ingin fokus untuk

mengkaji mengenai upaya dan strategi Gubernur Ali Hasjmy dalam meredam

konflik Darul Islam Aceh tahun 1957-1959. Alasan penulis membatasi

pembahasan dalam kurun tahun 1957-1959 karena tahun 1957 Ali Hasjmy

diangkat menjadi Gubernur Aceh, dan tahun 1959 merupakan keberhasilan

Gubernur Ali Hasjmy dalam meredam konflik Darul Islam Aceh.


10

Dari pembatasan tersebut, maka beberapa pertanyaan penelitian yang

diajukan adalah sebagai berikut:

1. Mengapa terjadinya pemberontakan Darul Islam Aceh ?

2. Bagaimana langkah dan strategi Gubernur Ali Hasjmy dalam meredam

pemberontakan Darul Islam Aceh ?

3. Bagaimana kebijakan pemerintah pusat pada tahun 1959 dalam

menyelesaikan konflik Darul Islam di Aceh ?

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk:

1. Menjelaskan langkah-langkah dan strategi yang dilakukan Gubernur

Ali Hasjmy dalam meredam konflik Darul Islam Aceh

2. Mengetahui kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah pusat dalam

menyelesaikan kasus pemberontakan Darul Islam Aceh pada tahun

1959.

Sedangkan, kegunaan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Memperkaya wawasan pengetahuan kesejarahan, yang terkait dengan

biografi tokoh dan sejarah perjuangan Ali Hasjmy dalam

menyelesaikan pemberontakan Darul Islam di Aceh.

2. Bermanfaat bagi masyarakat Aceh, bahwasanya Aceh pernah memiliki

tokoh sehebat Ali Hasjmy yang mampu menyelesaikan persoalan-

persoalan bangsa khususnya Aceh.

3. Menjadi inspirasi untuk umum dan Fakultas Adab dan Humaniora

Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam. Apalagi dewasa ini, sangat

minim penelitian-penelitian mengenai tokoh Ali Hasjmy yang boleh


11

dikatakan sebagai tokoh yang pernah hidp di tiga zaman: zaman

kolonial Belanda, Jepang dan zaman kemerdekaan Indonesia (Orde

Lama dan Orde Baru)

E. Tinjauan Pustaka

Judul penelitian ini adalah “Kebijakan Gubernur Ali Hasjmy Terhadap

Gerakan Darul Islam Aceh Tahun 1957-1959”. Penulis mencari literatur terkait

topik tersebut di Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Adab dan

Humaniora, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan LIPI, dan

Arsip Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan dan Museum Ali Hasjmy,

Perpustakaan wilayah Provinsi Aceh serta pencarian ke beberapa situs internet

yang terpercaya, penulis menemukan beberapa sumber mengenai tema dan judul

diatas. Berikut beberapa literature yang dijadikan tinjauan pustaka:

1. Disertasi Hasan Basri, A. Hasjmy (1914-1998): Kajian Sosial-Intelektual

dan Pemikirannya tentang Politik,10 Penelitian yang dilakukan oleh Hasan

Basri banya menjelaskan Ali Hasjmy terkait politik Islam. Penelitian

Hasan Basri tidak berfokus pada pembahasan mengenai peranan Ali

Hasjmy dalam menyelesaikan konflik Darul Islam. Oleh sebab itu

penelitian Hasan Basri berbeda dengan skripsi ini, yang lebih banyak

menjelaskan konflik dan penyelesaian masalah Darul Islam Aceh. Namun

disertasi Hasan Basri dapat dijadikan bahan perbandingan dalam pecakan

sumber data.

10
Hasan Basri, “A. Hasjmy (1914-1998): Kajian Sosial-Intelektual dan Pemikirannya
tentang Politik,” (Disertasi S3 Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2000)
12

2. Buku karya H.A. Ghazaly yang berjudul Biografi Prof. Tgk. Ali Hasjmy,11

kajian yang dilakukan oleh Ghazaly terbatas pada pemaparan riwayat

hidup Ali Hasjmy secara sekilas serta pemikirannya dalam bidang dakwah

dan aktivitas akademiknya. Hasil kajian Ghazaly, meski ringkas,

setidaknya dapat memberikan informasi penting tentang kisah perjalanan

hidup Ali Hasjmy. Namun buku ini masih terdapat beberapa

kekurangannya, terutama sumber data yang digunakan sangat terbatas. Di

samping itu, kajiannya bersifat deskripstif tanpa analisis kritis. Sehingga

penulis berkesimpulan bahwa subjek kajiannnya sedikit berbeda. Dalam

skripsi ini penulis mengedepankan upaya yang dilakukan oleh Gubernur

Ali Hasjmy dalam meredam konflik Darul Islam Aceh.

3. Judul skripsi Darmuni, “Prof. A. Hasjmy Sebagai Bapak Pendidikan

Daerah Istimewa Aceh,12 di dalam skripsi ini Darmuni menyoroti peranan

Ali Hasjmy dalam membangun pendidikan untuk memajukan generasi

Aceh. Sebagai wujud nyata kepedulian Ali Hasjmy terhadap pendidikan

dapat dilihat pada peninggalan monumental berupa berdirinya dua

perguruan tinggi atau kompleks Pendidikan Darussalam di Banda Aceh

yang masih eksis sampai sekarang. Karena itu, tidaklah mengherankan jika

Ali Hasjmy pantas diberikan penghargaan sebagai “Bapak Pendidikan

Aceh”. Penelitian Darmuni juga tidak mengungkapkan totalitas kehidupan

dan gagasan Ali Hasjmy secara kritis. Berbeda dengan skripsi ini, penulis

hanya fokus pada langkah-langkah maupun strategi Gubernur Ali Hasjmy

dalam meredam konflik Darul Islam Aceh. Namun, penelitian Darmuni


11
A.H. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, (Jakarta: Penerbit Socialia, 1978)
12
Darmuni Daud, Prof. A. Hasjmy Sebagai Bapak Pendidikan Daerah Istimewa Aceh,”
(Skripsi S1 Fakultas Tarbiyah, IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, 1980)
13

cukup membantu dalam memberi gambaran tentang mengenai pendidikan

di Aceh pada masa itu.

4. Skripsi Lukman Nusfi yang berjudul Prof. A. Hasjmy Seorang Tokoh

Dakwah13 merupakan suatu penelitian yang lebih menekankan pada

ketokohan dan pemikiran dakwah Ali Hasjmy yang meliputi pemikiran

dakwah Ali Hasjmy di bidang sastra, budaya Islam, sejarah, strategi

dakwah Ali Hasjmy, dan eksistensi Ali Hasjmy dalam rangka memajukan

pendidikan dan agama. Kelemahan skripsi Nusfi terdapat pada

pembahasannya yang relatif ringkas dan juga pada keterbatasan sumber

analisis yang terbatas. Sehingga penulis menarik kesimpulan bahwa subjek

kajiannya berbeda. Dalam skripsi ini penulis menitik beratkan pada

peranan Gubernur Ali Hasjmy dalam memecahkan penyelesaian kasus

konflik Darul Islam Aceh.

5. Karya C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan,14 Mengupas

perbedaan dan hubungan antara lima pemberontakan DI/TII di Indonesia.

Untuk pemberontakan DI/TII di Aceh, Van Dijk menyebutnya sebagai

pemberontakan kaum ulama yang didukung oleh sebagian besar dari Aceh

karena menggunakan agama sebagai spirit utama perjuangan. Dengan

demikian pemberontakan di Aceh relatif lebih sulit dihadapi oleh

pemerintah, namun jika pemerintah mampu menyelesaikan pemberontakan

tersebut, maka akan mendorong penyelesaian di daerah-daerah lainnya.

Buku ini memang tidak secara khusus mengkaji mengenai keterlibatan Ali

13
Lukman Nusfi, Prof. A. Hasjmy Seorang Tokoh Dakwah,” (Skripsi S1 Fakultas
Dakwah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh 1999)
14
C. Van Dijk, Darul Islam, Sebuah Pemberontakan, Penerjemah Tim PSH (Jakarta:
Grafiti Pers, 1993)
14

Hasjmy di panggung politik pasca kemerdekaan, namun buku ini sangat

membantu penulis sebagai langkah awal mengenal akar pemberontakan

yang terjadi di Indonesia khusunya di Aceh.

6. Buku karya Nazaruddin Sjamsuddin yang berjudul Pemberontakan Kaum

Republik,15 Buku ini menjelaskan pergolakan yang terjadi di Aceh tahun

1953-1962 di bawah panji Darul Islam pimpinan Daud Bereueh. Buku ini

menafsikan gejolak yang terjadi di Aceh yang disebabkan oleh konflik

antara ulama dan ulebalang, sedangkan penafsiran yang lain, pergolakan

itu sebagai akibat stagnansi sosial. Namun dalam buku ini penulis tidak

menemukan proses bagaimana jalannya perundingan yang melahirkan

Ikrar Lamteh. Buku ini lebih menitik beratkan kepada persoalan terjadinya

pemberontakan dan siapa aktor dibalik pemberontakan di Aceh. berbeda

dengan skripsi ini yang secara khusus ingin memfokus kajiannya pada

persoalan penyelesaian konflik Darul Islam Aceh yang dilakukan oleh Ali

Hasjmy. Namun buku ini banyak memberikan informasi terkait bagaimana

terjadinya konflik sosial di Aceh pasca kemerdekaan.

7. Karya Hardi, Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa

Depannya,16 merupakan buku yang menggambarkan sejarah Aceh dimulai

sejak abad keenam. Dimulai periode zaman kebesaran kerajaan-kerajaan

dan perjuangan pahlawan melawan penjajahan sampai lahir Provinsi

Daerah Istimawa Aceh. Buku ini menyoroti mengenai perundingan Dewan

Revolusi dengan pemerintah pusat, namun buku ini tidak secara rinci

15
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990)
16
Hardi, Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa Depannya, (Jakarta:
Cita Panca Serangkai, 1993)
15

menjelaskannya, kemudian buku ini terlihat subjektif. Ada sedikit

perbedaan antara buku ini dengan skripsi ini. Penulis lebih berfokus pada

strategi atau langkah yang dilakukan dalam meredam konflik Darul Islam

dan juga strategi pendekatan Gubernur Ali Hasjmy kepada beberapa orang

di pemerintah pusat seperti Presiden Soekarno, Abdul Haris Nasution dan

Perdana Menteri Ir. Juanda. Namun buku ini sangat memberi gambaran

terhadap penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Adapun perbedaan kajian skripsi ini dengan kajian di atas adalah penulis

lebih berfokus pada penjelasan mengenai langkah dan strategi yang dilakukan

oleh Gubernur Ali Hasjmy di tahun 1957 sampai 1959 untuk meredam kasus

konflik Darul Islam Aceh yang sudah terjadi dari tahun 1953.

F. Kerangka Teori

Robert Lawang menerjemahkan konflik sebagai sebuah perjuangan untuk

memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya

dengan tujuan mereka yang berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan

tetapi juga untuk menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai

benturan kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain

dalam proses perebutan sumber-sumber kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial

dan budaya) yang relatif terbatas.17

Maswadi Rauf membagi antara konflik sosial dan konflik politik.

Menurutnya, konflik politik adalah bagian dari konflik sosial, hanya

sumbersumbernya, dimensinya dan cakupannya yang berbeda. Tidak semua

konflik sosial adalah konflik politik. Konflik politik berkaitan dengan penguasa

17
Robert Lawang, Buku Materi Pokok Pengantar Sosiolog, (Jakarta: Universitas
Terbuka, 1994), h. 53.
16

politik dan atau keputusan yang dibuatnya (keputusan politik). Konflik ini terjadi

karena adanya perbedaan pandangan tentang penguasa politik, perbedaan

penilaian terhadap sumber-sumber kekuasaan politik yang dimiliki oleh penguasa

politik, dan perbedaan penilaian terhadap keputusan politik.18

Untuk menyelesaikan konflik yang telah berlarut-larut seperti yang terjadi di

Aceh, teori-teori konflik memberikan sejumlah rumusan. Salah satu teori yang

populer adalah teori resolusi konflik khsusnya transformasi konflik. Dalam

pandangan John Burton, studi konflik memiliki dua focus perhatian, yaitu

pertama menjelaskan gejala konflik, guna menemukan pendekatan konstruktif

untuk memecahkannnya; kedua, memberikan penjelasan terhadap permasalahan

konflik, untuk menemukan prinsip-prinsip dari proses dan kebijakan yang

diturunkan dari suatu penjelasan mengenai konflik.19

Untuk menyelesaikan persoalan konflik tersebut, salah satu pendekatan

yang muncul adalah pendekatan resolusi konflik. Resolusi konflik menekankan

bahwa konflik yang sudah komplek, khususnya konflik yang sudah pada tahap

perang, perlu ditransformasikan sehingga dapat diselesaikan. Dalam pandangan

Burton, resolusi konflik adalah upaya transformasi hubungan yang berkaitan

dengan mencari jalan keluat dari suatu prilaku konfliktual sebagai hal utama. Ada

perbedaan antara resolusi konflik sebagai perlakuan (treatment) terhadap

persoalan akar konflik dengan resolusi konflik sebagai penanganan (seatlement)

18
Maswadi Rauf, “Konflik Politik dan Integrasi Nasional,” dalam Saafroedin Bahar dan
A.B. Tangdililing, Integrasi Nasional Teori, Masalah dan Strategi, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1996), h. 80-82.
19
John Burton, Conflict; Resolution and Prevention, (New York: The Macmillan Press
Ltd, 1990), h. 3.
17

konflik dengan cara-cara paksa (coercion) atau dengan cara tawar-menawar

(bargaining) atau perundingan (negotiation).20

Dari beberapa penjelasan tersebut di atas, pergolakan yang terjadi di Aceh

dapat dianggap sebagai konflik politik. sementara perundingan yang ditempuh

oleh pemerintah dan Darul Islam tergolon sebagai upaya untuk menyelesaikan

konflik. Dalam penyelesaiannya, sebagaimana yang telah disebut bahwa resolusi

konflik lebih menekankan pada penanganan dengan cara tawar-menawar dan

melalui suatu proses perundingan atau negosiasi.

Pendekatan ini sering disebut juga sebagai langkah diplomasi. Dalam

konteks ini, pendekatan diplomasi ditujukan untuk menghentikan perang dan

kekerasan, dengan tahap-tahap sebagai berikut: (a) pencegahan konflik: mencegah

perselisihan di antara kelompok-kelompok yang bertikai melalui pembenahan

struktural, kelembagaan, ekonomi, dan budaya; dan (b) pencegahan eskalasi:

mencegah baik eskalasi konflik vertikal dan horizontal agar tidak lebih memburuk

dan mengundang aktor-aktor baru yang terlibat di dalamnya.21

Selain itu, dalam teori resolusi konflik, tujuan dan cara-cara tidakannya juga

jelas menggambarkan tiga perdedaan pendekatan, antara instrument militer,

ekonomi dan politik.22 Dalam pendekatan tersebut, upaya untuk mencapai

kesepakatan dalam sebuah perundingan sehingga dapat mendorong tiga tahap di

atas, sering kali menggunakan pihak mediasi yang berfungsi sebagai mediator.

20
John Burton, Conflic: Resolution, h. 3.
21
Jenie Leatherman, dkk. Memutus Siklus Kekerasan Pencegahan Konflik dan Krisis
Intranegara, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), h. 131-132.
22
Jenie Leatherman, dkk. Memutus Siklus Kekerasan Pencegahan Konflik, h. 134.
18

Dahrendrof yang mengutip Kerr menekankan bahwa hadirnya pihak ketiga

amat penting dalam pengaturan pertentangan.23 Ada beberapa jenis peran pihak

pihak ketiga yaitu konsiliasi, mediasi dan arbritasi (penindasan). Bentuk yang

cocok dalam konteks penyelesaian pemberontakan di Aceh adalah mediasi dan

perundingan.

Penelitian ini juga menggunakan pendekaan politik yang digunakan untuk

menganalisis kepentingan individu, bahkan kelompok dalam hubungan dengan

politik, ekonomi, sosial dan budaya.

G. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat analytical history,24 sehingga metode yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode yang biasa digunakan dalam penelitian sejarah

pada umumnya yaitu, pemilihan topik, pengumpulan data (heuristik), kritik

sumber baik intern maupun ekstern, interpretasi atau penafsiran dan langkah

terakhir adalah tahap hitoriografi atau penulisan sejarah.25

Topik penelitian adalah masalah atau objek yang harus dipecahkan melalui

penelitian ilmiah. Topik yang menjadi pilihan untuk diteliti umumnya telah

dikenal sebelumnya meskipun secara garis besar, tidak mendalam, bahkan samar-

samar.26 Penetuan topik hendaknya dipilih berdasarkan kedekatan intelektual dan

kedekatan emosional. Dua hal tersebut sangat penting karena akan berpengaruh

terhadap aspek subjektif dan objektif penulis.

23
Ralf Dahrendrof, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri: Sebuah Analisa
Kritik, Penerjemah Ali Mandan (Jakarta: Rajawali Pers, 1986), hlm. 283-287.
24
M. Dien Madjid dan Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar, (Jakarta:
Kencana, 2014), h . 218.
25
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995),
h. 89.
26
Helius Sjamsuddin, Metotelogi Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2012), h. 72
19

Topik yang dipilih oleh penulis yakni mengenai upaya Gubernur Ali

Hasjmy dalam menyelesaikan konflik Darul Islam 1957-1959. Penulis memilih

topik tersebut dikarenakan pada tahun 1957-1959 merupakan pembentukan

kembali Provinsi Aceh dan Ali Hasjmy terpilih menjadi Gubernur yang kemudian

mampu menyelesaikan konflik Darul Islam di tahun 1959.

Dalam proses heuristik penulis menggunakan medote library research

(kepustakaan) dengan menghimpun sumber-sumber tertulis yang bersifat primer

maupun sekunder. Untuk sumber primer penulis menggunakan arsip konvensional

tahun 1945 yang ditemukan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan

juga buku, di antaranya arsip yang berjudul aktivitas gerakan Darul Islam di

berbagai wilayah, dan arsip yang berjudul surat-surat mengenai usul dan

pengangkatan Gubernur Aceh. Selain itu penulis juga memanfaatkan sumber

primer berupa surat kabar sezaman, dan koleksi dokumen Ali Hasjmy yang

berjudul Dari Darul Harb ke Darussalam. Sedangkan buku primer yang penulis

gunanakan di antaranya buku Semangat Merdeka 70: Tahun Menempuh Jalan

Pergolakan dan Perjuangan Kemerdekaan, kemudian buku autobiografi Hasan

Saleh yang berjudul Mengapa Aceh Bergolak dan laporan-laporan yang berjudul

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Laporan Hasil Perkunjungan Missi

Pemerintah Pusat ke Aceh. selebihnya penulis menggunakan sumber-sumber yang

bersifat sekunder baik berupa buku, disertasi, dan jurnal yang penulis temukan di

beberapa perpustakaan.

Tahap berikutnya adalah kritik sumber atau verifikasi. Dalam proses ini,

penulis melakukan uji keaslian sumber atau otentifikasi melalui kritik ektern

dengan cara mengkritik secara fisik sumber-sember primer yang berupa buku-
20

buku, koran dan arsip-arsip. Dilihat dari tahun dibuatnya, siapa pembuatnya,

sumber tersebut masih berbentuk asli. Sedangkan dalam proses kritik intern

penulis melakukan uji kelayakan atau kredibilitas dengan cara membandingkan

sumber-sumber. Dalam hal ini penulis mendapatkan adanya perbedaan mengenai

waktu, misalnya perbedaan waktu yang dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy di

saat melakukan pertemuan dengan pihak Darul Islam, kemudian penulis juga

mendapatkan perbedaan mengenai jumlah Tentara Islam Indonesia (TII) Aceh.

Misalnya Hasan Saleh mengatakan berjumlah 10.000 anggota TII Aceh,27

sedangkan Nazaruddin Sjamsuddin mengatakan berjumlah 35.000 TII Aceh.28

Menurut penulis, sumber dari Nazaruddin Sjamsuddin yang mengatakan terdapat

35.000 orang TII tidak valid, menurut Statistik Kotamadya Banda Aceh jumlah

penduduk Kutaraja (sekarang menjadi Banda Aceh) pada tahun 1957 hanya

berjumlah 20.976 penduduk.29

Tahap selanjutnya penulis melakukan penafsiran (interpretasi) terhadap

sumber-sumber yang telah penulis himpun dengan cara penulis membaca sumber-

sumber bacaan baik itu buku, arsip dan sebagai nya yang berisi suatu kejadian

yang berkaitan dengan topik, kemudian penulis menganalisis mengenai peristiwa

yang terjadi, setelah itu penulis membandingkan hasilnya dari satu sumber dengan

sumber yang lain dan terakhir penulis melakukan penyimpulan dan penafsiran

dari hasil yang telah dibuat supaya didapat suatu fakta sejarah yang akan dipakai

dan dijadikan data sejarah.

27
Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), h 361.
28
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), h. 311.
29
Rusdi Sufi, dkk., Sejarah Kotamadya Banda Aceh, (Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah
dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 1997), h. 11.
21

Tahap terakhir adalah historiografi, dalam tahap ini penulis menguraikan

fakta hasil temuan yang didapatkan kedalam penulisan sejarah. Dalam penelitian

ini, historiografi diwujudkan dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi yang

berjudul “Kebijakan Gubernur Ali Hasjmy Terhadap Gerakan Darul Islam Aceh

1957-1959”.

H. Sistematika Penulisan

Penyajian penelitian yang dikemas dalam bentuk skripsi ini terdiri dari lima

bab.

Bab I Bab ini berisikan pendahuluan yang tediri dari latar belakang

masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,

kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Membahas mengenai terjadinya pemberontakan Darul Islam

Aceh, yang meliputi sebab-sebab terjadinya pemberontakan Darul

Islam, keterangan Pemerintah Pusat terhadap peristiwa Darul

Islam, dan penyelesaiam kasus Darul Islam.

Bab III Membahas biografi Ali Hasjmy yang meliputi dari riwayat hidup

dan intelektualnya, karya-karya serta penghargaan yang pernah

diterima oleh Ali Hasjmy, dan keterlibatan Ali Hasjmy dalam

pergerakan Politik pada masa penjajahan Belanda, Jepang dan

Pascakemerdekaan.

Bab IV Membahas mengenai kebijakan Gubernur Ali Hasjmy terhadap

Darul Islam Aceh, yang meliputi pengangkatan Ali Hasjmy

menjadi Gubernur Aceh tahun 1957, langkah atau upaya


22

Gubernur Ali Hasjmy dalam menyelesaikan konflik Darul Islam,

dan penyelesain kasus Darul Isla oleh Missi Pemerintah Pusat.

Bab V Berisi penutup yang terdiri atas kesimpulan yang merupakan

jawaban dari permasalahan yang menjadi motiv awal pengkajian

penelitian ini, dan saran-saran kemudian dilanjutkan dengan

daftar pustaka dan daftar lampiran.


BAB II

Sebab Terjadinya Pemberontakan Darul Islam Aceh

A. Aceh Pada Masa Pasca Kemerdekaan

1. Keresidenan Aceh

Dua hari setelah kemerdekaan Indonesia 1945, Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan keputusan tentang pembagian

wilayah Indonesia yang meliputi bekas wilayah kolonial Hindia-Belanda sebelum

Perang Dunia II menjadi 8 provinsi dengan Gubernurnya masing masing, yaitu:

Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi

Sumatera, Provinsi Kalimantan, Provinsi Maluku, Provinsi Sunda Kecil (Nusa

Tenggara), dan Provinsi Sulewesi.30 Setiap provinsi dipimpin oleh seorang

Gubernur. Provinsi dibagi lagi atas Keresidenan31 yang dikepalai oleh seorang

Residen. Sebagai Gubernur Provinsi Sumatera waktu itu ditetapkan Mr. T. Moh.

Hasan.32 Sedangkan Aceh, ditetapkan sebagai salah satu Keresidenan dalam

Provinsi Sumatera, dengan residennya yang pertama Teuku Nyak Arif.33

Pemerintah Teuku Nyak Arif harus menghadapi kesulitan-kesulitan yang

sangat berat, dimana segala-segalanya masih dalam taraf penyusunan, masih

berada dalam keadaan kacau balau, pertentangan-pertentangan dalam masyarakat

masih sering terjadi. Ditambah lagi dengan pengganasan Jepang dibeberapa

30
Tim Monograf Daerah Istimewa Aceh, Monograf Daerah Istimewa Aceh (Jakarta:
Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, 1976), h. 19. Lihat juga T. Alibasjah Talsya, Sepuluh
Tahun Daerah Istimewa Atjeh, (Banda Atjeh: Pustaka Putroe Tjanden, 1969), h. 28.
31
Pada waktu itu istilah Keresidenan masih merupakan kesatuan yang bebas mengatur
rumah tangganya sendiri. Lihat, Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1992), h. 125.
32
Pidia Amelia, Gubernur Pertama dan Lahirnya Propinsi Sumatera Utara Perjuangan
Mr. SM Amin Mempertahankan Republik Indonesia di Sumatera Utara dan Aceh 1945-1949
(Medan: Unimed Press, 2013), h. 9. Lihat juga T. Alibasjah Talsja, 10 Tahun Daerah Istimewa
Atjeh (Banda Aceh, Pustaka Putroe Tjanden 1969), h. 28.
33
Departemen dan Kebudayaan, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), h. 179-180.

23
24

tempat seperti di Meulaboh, Kutaraja dan Langsa, oleh karena itu Residen

pertama lebih menyerupai kemiliteran.

Residen Teuku Nyak Arif hanya bertahan selama empat bulan, dikarenakan

kondisi kesehatannya yang semakin parah akibat menderita penyakit gula.

Kemudian digantikan oleh Teuku Tjhik M. Daudsyah pada pertengahan Januari

1946.34 Sejalan dengan itu susunan Badan Eksekutif Komite Nasional Daerah

juga mengalami perubahan, menjadi:35

Ketua : Residen Teuku Daudsjah.

Wakil Ketua : Mr. S.M. Amin.

Anggota : Sutikno Padmo Sumarto

: Hasjim.

: H. M. Zainuddin.

: Mohd. Hanafiah.

: R. Insun

Sekretaris : Kamarusid

Pemerintahan di bawah pimpinan Residen Teuku Daudsjah berjalan dengan

baik dan memuaskan. Dalam masa pemerintahan tersebut, Aceh untuk pertama

kalinya menerima tamu-tamu dari Pusat Pemerintahan yang bertujuan untuk

mengadakan tinjauan dan mempererat hubungan di antara Pemerintah Pusat

dengan pemerintah daerah. Salah satu dari rombongan tamu itu adalah rombongan

Mr. Hermani beserta staf-stafnya anatara lain Mr. Abdul Madjid

Djojoadiningrat.36

34
S.M. Amin, Kenang-Kenangan Dari Masa Lampau, (Jakarta: Pradyana Paramita,
1984), h. 47.
35
Insider, Atjeh Sepintas Lalu, (Djakarta: FA Archapada, t.t), h. 37.
36
Insider, Atjeh Sepintas Lalu, h. 39.
25

Sejalan dengan itu pada bulan Desember 1946, Komite Nasional Daerah

Aceh mengadakan sidang pleno untuk membicarakan berbagai hal, antara lain

mengenai Agama, Pemerintahan, Kehakiman dan Kesehatan.37 Keputusan yang

diambil dalam rapat pleno Komite Nasional Daerah Aceh akan disampaikan

dalam Rapat Pleno Dewan Perwakilan Pusat di Bukittinggi pada bulan Februari

1947.

Pada awal tahun 1947 keluar penetapan Pemerintah yang menetapkan

pembagian Sumatera menjadi 3 Sub-Provinsi. Pembagian 3 Sub-Provinsi itu

semata-mata atas pertimbangan sulitnya hubungan komunikasi antara Gubernur

Sumatera dengan daerah-daerah yang ada diseluruh Sumatera, sehingga dirasa

perlu menetapkan wakil-wakil Gubernur dengan sebutan Gubernur Muda di

masing-masing daerah tersebut.

1. Sub Provinsi Sumatera Utara : yang meliputi Keresidenan Aceh,

Sumatera Timur dan Tapanuli dengan Gubernur Muda Mr. S.M. Amin.

2. Sub Provinsi Sumatera Tengah : yang meliputi Keresidenan Sumatera

Barat, Riau dan Jambi dengan Gubernur Muda Mr. Muhammad

Nasrun.

3. Sub Provinsi Sumatera Selatan : yang meliputi Keresidenan

Palembang, Bengkulu, Bangka Belitung dan Lampung dengan

Gubernur Muda dr. M. Isa.38

Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan agresi militernya ke daerah

Republik Indonesia. Dalam waktu yang singkat Belanda berhasil menduduki

sebagian daerah Jawa, serta daerah-daerah Palembang dan Sumatera Timur,


37
S.M. Amin, Kenang-Kenangan Dari Masa Lampau, h. 52.
38
Sutan Muhammad Amin, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution Perjalanan Hidupku
Selama 10 Windu, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 67.
26

sehingga Gubernur beserta stafnya terpaksa mengungsi ke Bukittinggi. Sementara

wilayah Aceh masih tetap bertahan dari penyerbuan Belanda, maka atas instruksi

Wakil Presiden Republik Indonesia Muhammad Hatta, menetapkan dalam surat

keputusannya No.3/BPKU/1947 tanggal 26 Agustus 1947, daerah Keresidenan

Aceh, Kabupaten Langkat dan Kabupaten Tanah Karo menjadi satu Daerah

Militer Istimewa. Sebagai Gubernur Militer ditetapkan Tgk. M. Daud Beureueh.39

Staf Gubernur Militer terdiri dari Soetikno Padmosoemarto, Teungku Abdul

Wahab Seulimeum, Ali Hasmy, Nyak Neh Lhok Nga, Hasan Ali dan S. Abu

Bakar.40 Empat dari ini adalah orang PUSA.

Di instruksi pula bahwa kewajiban Gubernur Militer adalah menyusun dan

menyatukan tentara dan laskar dalam daerah kekuasaan Gubernur Militer, agar

menjadi satu kesatuan komando.41 Di samping itu Gubernur Militer diserahkan

tugas-tugasnya, baik yang mengenai pertahanan maupun militer. Penugasan

tersebut berhasil dilakukan oleh Gubernur Militer Tgk. M. Daud Beureueh dengan

39
Latar belakang lahirnya posisi Gubernur Militer karena pada saat itu terjadinya masa
Agresi Militer Belanda, dan juga terjadi pergolakan pada sistem pemerintahan di Indonesia yang
lebih dikenal dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Untuk mempertahankan
wilayah Indonesia yang pada saat itu hampir seluruh bagian wilayah Indonesia dikuasai kembali
oleh Belanda kecuali Wilayah Aceh maka dijadikanlah Daerah Militer. Hal ini ditujukan untuk
memperlancar roda pemerintahan baik sipil maupun militer. Maka diangkatlah Gubernur Militer di
berbagai daerah di Sumatera, berikut susunan Gubernur Militernya:
a. Gubernur Militer untuk Daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo adalah Tgk. M. Daud
Beureueh.
b. Gubernur Militer untuk Daerah Sumatera Timur dan Tapanuli adalah Dr. Ferdinand
Lumban Tobing.
c. Gubernur Militer untuk Daerah Sumatera Barat adalah Mr. St Moh. Rasyid.
d. Gubernur Militer untuk Daerah daerah Riau adalah R.M. Oetoyo
e. Gubernur Militer untuk Daerah Sumatera Selatan dan Jambi adalah Dr. Adnan Kapau
Gani.
Selengkapnya lihat, Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi
Kemerdekaan 1945-1949, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), h. 400. Lihat juga, T.
Alibasjah Talsja, 10 Tahun Daerah Istimewa Atjeh, h. 29.
40
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, diterbitkan oleh Sekretariat DPRD-GR Propinsi
Daerah Istimewa Atjeh, (Banda Aceh, 1968), h. 11. Lihat juga, Ismuha, Ulama Aceh Dalam
Perspektif Sejarah, (Jakarta: LEKNAS-LIPI, 1976), h. 71.
41
S.M. Amin, Kenang-Kenangan Dari Masa Lampau, h. 76.
27

berhasil menyatukan Divisi TRI, Divisi Rencong, Divisi Mujahidin, Divisi

Teungku Chik Paya Bakong menjadi satu kesatuan.

2. Pembentukan Provinsi Sumatera Utara Pertama

Tahun 1948 terjadi perubahan dalam pemerintahan Keresidenan Aceh.

Perubahan tersebut mengacu pada Undang-Undang No.10 tahun 1948 tentang

peningkatan status Sub-Provinsi Sumatera Utara menjadi Provinsi Sumatera

Utara. Adapun wilayah Provinsi Sumetara Utara meliputi Keresidenan Aceh,

Sumatera Timur dan Tapanuli. Sebagai Gubernurnya ditunjuk Mr. S.M. Amin

yang sebelumnya menjabat sebagai Sub-Gubernur Suamtera Utara. Sementara Mr.

Teuku Muhammad Hasan ditunjuk sebagai Komisaris dari Komisariat Pemerintah

Pusat Sumatera.42

Pelantikan Gubernur Mr. S.M. Amin dilaksanakan oleh Presiden Soekarno

di Kutaraja pada tanggal 19 Juni 1948 bertepatan dengan kunjungannya ke Aceh

pada tahun yang sama, seperti yang disampaikan Muhammad TWH dalam

bukunya Gubernur Pertama dan DPR Sumatera Utara Pertama:

“Upacara pelantikan di mulai pada pukul 20.00 dan dihadiri oleh pembesar-pembesar sipil
dan militer, pemuka-pemuka rakyat, para alim ulama, kaum wanita dan wakil-wakil
golongan bangsa Tiongoa, Arab, India, dan Pakistan. Juga hadir romobongan Presiden,
Gubernur Militer Daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Residen Inspektur Tuanku
Mahmud, Residen Aceh Teuku Tjhik M. Daudsyah, Sultan Siak Sjarif Kasim, Jenderal
Mayor Husin Al-Mujahid, dan lain-lain.”43

Setelah pelantikan Gubernur Sumatera Utara, tanggal 1 Juli 1948

ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 mengenai bentuk, susunan,

kekuasaan dan kewajiban Pemerintah Provinsi. Kemudian pada bulan Desember

42
Dewan Perkawakilan Rakyat Atjeh, h. 12.
43
Muhammad TWH, Gubernur Pertama dan DPR Sumatera Utara Pertama, (Medan:
Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 2008), h. 145. Lihat juga S.M. Amin,
Kenang-Kenangan Dari Masa Lampau, h. 87.
28

1948 dilaksanakan sidang yang pertama di Tapaktuan.44 Sidang sedianya akan

dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 1948, tetapi diundur karena anggota dari

Keresidenan Sumatera Timur belum datang dan akan dilaksanakan keesokan

harinya. Alasan terpilihnya Tapaktuan sebagai tempat berlangsungnya sidang

dikarenakan daerahnya lebih aman dari kota-kota lain, dan juga dipandang lebih

kondusif.45

Sidang berlangsung sejak 13 Desember 1948 sampai 16 Desember 1948.

Suasana sidang berjalan dengan memuaskan dan menarik perhatian seluruh

golongan dan lapisan masyarakat. Hanya harus disesalkan bahwa, pada rapat hari

kedua, beberapa anggota menjalankan obstructie dengan meninggalkan rapat,

dengan maksud supaya rapat tidak dapat berlangsung. Yang menjalankan

obstructie ini adalah beberapa anggota yang bersatu dalam Ikatan Front

Demokrasi Rakyat di bawah pimpinan anggota Residen Abdul Karim M.S. dari

PKI (Partai Komunis Indonesia).46

Sidang yang berlangsung sejak 13 Desember sampai dengan 16 Desember

1948 menghasilkan beberapa keputusan, pertama, penetapan anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Sumatera Utara (DPRSU) yang terdiri dari 45 orang dan

menetapkan 6 anggota Badan Eksekutif,47 di antaranya:

Ketua : Mr. S.M. Amin

Anggota : Tgk. M. Nur El Ibrahimy

M. Yunan Nasution

44
Insider, Atjeh Sepintas Lalu, h. 44.
45
S.M. Amin, Kenang-Kenangan Dari Masa, h. 41.
46
Insider, Atjeh Sepintas Lalu, h. 45.
47
Nama-nama yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara
(DPRSU) selengkapnya lihat, Sutan Muhammad Amin, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution
Perjalanan Hidupku, h. 76-77.
29

Yahya Siregar

Amelz

Melanton Siregar

Perlu diterangkan, bahwa dari sejumlah 45 anggota tersebut, yang hadir

hanya 29 anggota. Mereka ini sejumlah 45 anggota mewakili partai-partai

Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Sosialis Indonesia (PSI),

Partai Nasional Indonesia (PNI), SOBSI, Partai Komunis Indonesia (PKI),

Pesindo, Parkindo, dan Barisan Tani Indonesia. Kedua, penetapan bahwa Kutaraja

menjadi ibukota Suamtera Utara.48 Inilah beberapa keputusan, yang diambil dalam

sidang Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara di Tapaktuan.

Sidang Dewan Perwakilan Sumatera Utara berakhir pada 16 Desember.

Anggota-anggota berpisah satu sama lain dengan tekad, menumpahkan tenaga dan

semangat dan fikiran sepenuhnya terhadap keputusan-keputusan yang telah

disepakati guna melangkah kearah pemerintahan yang sempurna.

3. Pembentukan Provinsi Aceh Pertama

Provinsi Sumatera Utara yang pertama tidak bertahan lama, hanya 5 bulan

bila dihitung sejak pelantikan DPRSU (Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera

Utara), atau 11 bulan sejak pelantikan Gubernur Mr. S.M. Amin. Hal ini

dikarekan kekacauan oleh serangan-serangan pihak Belanda yang cukup agresif

untuk merebut kembali kekuasaan di Indonesia. Dengan cepat Belanda melakukan

penyerangan terhadap ibu kota Provinsi Sumatera Utara Kutaraja, dan kota-kota

lainnya yang berada di pantai laut sebelah utara, maupun disebelah timur dan

barat. Presiden dan Wakil Presiden Soekarno-Hatta berserta sejumlah Menteri dan
48
Sebelumnya Komisaris negara telah menetapkan sibolga sebagai ibukota sementara
untuk provinsi Sumatera Utara, karena tidak ada persuaian pendapat maka Kutaraja menjadi
ibukota Provinsi Sumatera Utara. Lihat Insider, Atjeh Sepintas Lalu, h. 44.
30

pembesar lainnya ditawan oleh Belanda di pulau Bangka. Suatu hal yang sangat

membahayakan karena Belanda sangat lihai menyiarkan ke seluruh pelosok dunia,

bahwa “Republik Indonesia tidak ada lagi, gerakan kemerdekaan Indonesia telah

dapat dibasmi”.49

Keadaan yang demikian gawat harus segera diatasi. Pada saat itu Mr.

Syafruddin Prawiranegara bertindak dengan cepat dan tepat. Bersama dengan

beberapa teman-temannya dengan izin Presiden Soekarno membentuk suatu

pemerintahan baru yang lebih dikenal dengan Pemrintahan Darurat Republik

Indenesia (PDRI) yang berkedudukan di Sumatera Barat.50 Sesuai dengan situasi

negara yang sedang bergejolak Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)

menetaptan tiga hal penting, pertama keputusan Pemerintah Darurat Republik

Indonesia No.21/Pem/PDRI tanggal 16 Mei 1949, menetapkan bahwa segala alat-

alat kekuasan sipil dan militer dalam tiap-tiap Daerah Militer Istimewa dipusatkan

dalam satu tangan yakni Gubernur Militer, dan menetapkan Provinsi Sumatera

Utara menjadi dua Daerah Militer. kedua, keputusan Pemerintah Darurat Republik

Indonesia No. 22/Pem/PDRI tanggal 17 Mei 1949 ditetapkan jabatan Gubernur

Sumatera Utara ditiadakan; Gubernur dijadikan sebagai Komisaris dan

memberikan tugas yang bersifat pengawasan dan tuntutan atas alat-alat

pemerintahan, baik sipil, maupun militer.51

49
S.M. Amin, Kenang-Kenangan Dari Masa Lampau, h. 98.
50
Pemerintah Darurat Republik Indonesia terbentuk sejak 22 Desember 1948 di rumah
mantan administratur Perkebunan The di Halaban, Payakumbuh Sumatera Barat, Selengkapnya
lihat, JR. Chaniago, PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) Dalam Khasanah Kearsipan,
(Jakarta: Arsip Nasional, 1989), h. 9.
51
Mr. S.M. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah di Aceh, (Jakarta: Soeroengan, 1957), h.
27. Lihat juga, Abdullah Sani Usman, Krisis Legitimasi Politik Dalam Sejarah Pemerintahan di
Aceh, (Jakarta: Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur Keagamaan,
2010), h. 199-200.
31

Atas keputusan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), pada

tanggal 15 September 1949 terbagilah Daerah Sumatera Utara ke dalam dua

Daerah Militer Istimewa yaitu:

1. Daerah Militer Istimewa Langkat dan Tanah Karo sebagai Gubernur

Militernya Tgk. Muhammad Daud Beureueh.

2. Daerah Militer Istimewa Tapanuli dan Sumatera Timur, Selatan sebagai

Gubernur Militernya dr. F.L Tobing.52

Perjuangan untuk merebut kembali kedaulatan yang diambil oleh Belanda,

bukan saja dilakukan dengan menggerakkan senjata semata, akan tetapi

perjuangan memperoleh kedaulatan atas tanah air juga dilakukan dengan cara

diplomasi melalui perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang

dilangsungkan di Den Haag pada tanggal 23 Agustus sampai dengan 27 Desember

1949 dengan hasil kemenangan Indonesia serta pengakuan dan penyerahan

kedaulatan oleh Belanda kepada bangsa Indonesia. Kabar gembira ini juga di

terima oleh seluruh rakyat yang berada di Kutaraja.

Sepuluh hari sebelum penyerehan kedaulatan Indonesia, Wakil Perdana

Menteri Sjafruddin Prawiranegera telah menetapkan peraturan penggatin Presiden

No.8/Des/WKPM Tahun 1949 tentang pembentukan Provinsi Aceh dan Provinsi

Tapanuli Sumatera Timur. Keputusan ini dibuat karena jasa serta kesetiaan rakyat

Aceh dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari awal sampai

berlangsungnya Konferensi Meja Bundar (KMB). Adapun rincian peratutan

penggatin Presiden No.8/Des/WKPM Tahun 1948 adalah:

52
Al Manak Umum, (Kutaradja: Atjeh Press Service, 1959), h. 108.
32

a. Menghapuskan Keresidenan Atjeh dari Provinsi Sumatera Utara dan

membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah keresidenan tersebut.

b. Menghapuskan Provinsi Sumatera Utara dan membubarkan Daerah

Perwakilan Rakyat Provinsi Sumatera Utara.

c. Menghapuskan Keputusan-Keputusan Pemerintah Darurat Republik

Indonesia tanggal Juni 1949 No.21/Pem/PDRI dan tanggal 17 Mei

1949 No.24/PDRI.

d. Menetapkan Peraturan Wakil Perdana Menteri pengganti Peraturan

Pemerintah tentang pembentukan Provinsi Aceh.53

Atas ketetapan peraturan Wakil P.M. Syafruddin Prawiranegara tersebut,

maka dalam waktu dekat yaitu pada tanggal 30 Januari 1950 diresmikanlah

pembentukan Provinsi Aceh dengan Tgk. M. Daud Beureueh sebagai Gubernur

Aceh dan R. Marjono Danubroto sebagai Sekretaris Daerah.54 Sementara untuk

Gubernur Tapanuli Sumatera Timur diangkat dr. Firdinan Lumbang Tobing.

Setelah penetapan pembentukan Provinsi Aceh, pemerintahan daerah

Provinsi Aceh mengadakan pemilihan anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) di Kutaraja. Adapun mereka yang terpilih menjadi anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berjumlah 27 orang, di antaranya:

“Tgk. M. Nur El Ibrahimy, 2. Tgk. Abdul Wahab Seulimum, 3. Abdul Gani (Ayah Gani), 4.
A.R. Hasyim, 5. A.R. Hajat, 6. Ismail Usman, 7. Hasan Ali, 8. O.K. H. Salamuddin, 9. Tgk.
Ismail Yakub, 10. Usman Aziz, 11. A. Ghafur Akhir, 12. Ismail Thaib, 13. Tgk. Hasan
Hanifah, 14. T. Muhammad Amin, 15. Tgk. Abdul Hamid, 16. Zaini Bakri, 17. Banta Cut,
18. Tgk Zamzami Yahya, 19. Ibrahim Abduh, 20. H.A. Halim Hasan, 21. Mahyuddin
Yusuf, 22. Mawardi Nur, 23. Tgk. H. Ali Balwi, 24. Bachtiar Junus, 25. N.D Pane, 26.
Karim Yusuf, 27. Lim Hong Moh.”55

53
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, h. 14.
54
A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70: Tahun Menempuh Pergolakan, h. 397.
55
S.M. Amien, Kenang-Kenangan: Dari Masa Lampau, h. 83.
33

Seterusnya diadakan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah dengan hasil pemilihan, Tgk. Abdul Wahab Seulimum menjadi

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Aceh dan A.R Hajat

sebagai Wakil Ketua. Sementara itu pemerintahan sehari-hari dari Provinsi Aceh

dijalankan oleh Badan Eksekutif yang diketuai oleh Gubernur Aceh Tgk.

Muhammad Daud Beureueh beserta anggotanya yang terdiri dari:

1. Teuku Muhammad Amin (Kepala Pemerintahan Umum dulu)

2. Abdul Gani Usman (Ayah Gani)

3. M. Nur El Ibrahimy

4. Amelz

5. Ali Hasjmy56

Provinsi Aceh berjalan dengan baik, tugas-tugas pemerintahan dilaksanakan

dengan memuaskan. Tiba-tiba dalam bulan Maret 1950, sewaktu Provinsi Aceh

masih berjalan 3 bulan terdengar kabar tentang sebagian anggota perlemen yang

tidak setuju dengan pembentukan Provinsi Aceh. Kabar ini menimbulkan

kekecewaan besar golongan masyarakat yang ingin memperjuangkan Provinsi

sendiri, sebaliknya kabar ini dianggap menguntungkan bagi golongan yang anti

Provinsi Aceh yang senantiasa memperjuangankan agar Provinsi Aceh dileburkan

kembali kedalam Provinsi Sumatera Utara.

B. Sebab-Sebab Terjadinya Pemberontakan Darul Islam Aceh

1. Akibat Provinsi Aceh Dihapus

Pengangkatan Tgk. M. Daud Beureueh sebagai Gubernur Aceh

nampaknya diterima dengan dingin oleh masyarakat. Dua atau tiga hari sesudah
56
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, h. 15. Sedangkan di dalam sumber lain, saudara Ali
Hasjmy tidak bersedia dan digantikan oleh Ismail Usman. Lihat, Ali Hasjmy, Semangat Merdeka
70: Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 397.
34

pengangkatan itu, atas undangan Hadji Zainuddin (Sekretaris Gabungan Saudagar

Indonesia Aceh atau Gesida) diadakan rapat untuk membentuk panitia upacara

peresmian pengangkatan Gubernur Tgk. M. Daud Beureueh pada tanggal 30

Januari 1950. Tetapi rapat tidak dapat berlangsung karena kekurangan minat dari

rakyat.57Selain itu, upacara peresmian Provinsi Aceh pertama yang dilaksanakan

pada tanggal 30 Januari 1950, tidak dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri atau

wakilnya yang ketika itu sedang berada di Yogkakarta. Ketidak hadiran pejabat

pemerintah pusat dalam upacara peresmian Provinsi Aceh menuai beberapa

pendapat. Menteri Dalam Negeri, Susanto Tirtoprojo telah berunding dengan

anggota-anggota perlemen tentang pembentukan Provinsi Aceh yang menyatakan

sebagian dari anggota perlemen tidak menyetujui pembentukan Provinsi Aceh,

karena melanggar perjanjian dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang pada

saat itu wilayah Indonesia hanya bisa dibagi menjadi 9 Provinsi dan satu daerah

Istimewa Jogyakarta.

Pemerintah Pusat membentuk panitia yang diketuai oleh Menteri Dalam

Negeri Mr. Susanto Tirtorpojo untuk mengkaji ulang mengenai provinsi-provinsi

yang ada di Sumatera, termasuk Propinsi Aceh. Pada awal bulan Maret 1950,

Menteri Dalam Negeri Mr. Susanto Tirtoprodjo beserta rombongan berkunjung ke

Kutaraja untuk melakukan pertemuan dengan pemimpin-pemimpin Aceh. Dalam

pertemuan antara Menteri Dalam Negeri dengan pemimpin-pemimpin Aceh, yang

dihadiri oleh Gubernur Aceh Tgk. Muhammad Daud Beureueh, Ketua DPR

Provinsi Aceh Tgk. Abdul Wahab, Ketua DPR Kabupaten Aceh Besar Zainy

Bakry, dan Abdul Gani. Pada kesempatan itu Menteri Dalam Negeri mengatakan,

57
“Keterangan Pemerintah Tentang Peristiwa Atjeh,” Bintang Timur, 29 Okober 1953.
35

bahwa pemerintah pusat belum menetapkan adanya Provinsi Aceh. Oleh karena

itu panitia akan mengumpulkan bahan guna dijadikan pertimbangan untuk

menarik kesimpulan perlu tidaknya diadakan Provinsi Aceh.58 Atas keterangan

Menteri Dalam Negeri itu, maka Gubernur Aceh, Ketua DPR Aceh dan beberapa

anggota DPR Aceh menolak tawaran dari Menteri Dalam Negeri Mr. Susanto

Tirtorpojo dan tetap menginginkan Aceh tetap berstatus sabagai Provinsi yang

berdiri sendiri.59

Sejak pertemuan Menteri Dalam Negeri dengan pemerintah daerah Aceh,

belum ada tanda-tanda mengenai keputusan dari pemerintah pusat tentang

persoalan Provinsi Aceh. Keinginan rakyat Aceh yang tulus akan Provinsi

otonomi bagi Aceh sendiri yang disampaikan kepada pemerintah belum

ditanggapi hampir 5 bulan proses itu berjalan. Akhirnya pada tanggal 12 Agustus

1950, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Aceh mengadakan sidang dan

mengeluarkan mosi tuntutan kepada pemerintah pusat, menuntut agar tetap

diberikan status provinsi sendiri, karena rakyat Aceh merasa sangat tertinggal jauh

dari rekan-rekan mereka dalam Provinsi Sumatara Utara.60 Dalam mosi yang

sangat panjang tersebut juga mengemukakan beberapa pertimbangan yang

berkaitan dengan unsur pengetahuan, Ekonomi, Geografi, Sosiologi, Agama,

Kebudayaan, dan Politik.61 berikut uraian singkat mosi tersebut:

“Aceh berlainan kepentingan dengan Sumatera Timur dan Tapanuli, berlainan adat istiadat,
berlainan agama dengan Tapanuli Utara. Hal-hal ini dapat menimbulkan masalah-masalah

58
Mr. S.M. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah, h. 29.
59
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah
Istimewa Aceh, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1983), h. 115.
60
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), hal 43.
61
Daud Remantan, “Pembaharuan Pemikiran Islam di Aceh (1914-1953),” (Disertasi S3
Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta 1985), h. 107. Amien, Kenang-
Kenangan: Dari Masa Lampau, h. 114.
36

yang bersifat pertentangan-pertentangan dalam rumah tangga di mana termasuk Aceh,


Tapanuli dan Sumatera Timur. Oleh karena itu kami tidak menghendaki rumah tangga di
mana termasuk Aceh, Tapanuli dan Sumatera Timur. Kami menuntut rumah tangga Aceh
sendiri, di mana kami dapat mengurus hal-hal dan kepentingan-kepentingan kami tanpa
dihalang-halangi oleh anggota-anggota rumah tangga yang berlainan pandangan hidup,
adat istiadat, agama dan kepercayaan".62

Pertentangan pendapat antara pro dan kontra mengenai Propinsi Aceh

pertama terus berlanjut. Sejalan dengan itu timbul protes-protes pemimpin

pemerintahan daerah Aceh dari berbagai kalangan, memprotes tawaran tersebut,

baik pemuka masyarakat Aceh, kalangan pamongpraja, dan juga masyarakat-

masyarakat lainnya diluar kalangan pemerintahan.

Optimisme pemimpin Aceh pudar setelah dikeluarkannya Peraturan

Pemerintah Pusat Pengganti Undang-Undang No.5 tahun 1950, yang mencabut

Peraturan Wakil Perdana Menteri pengganti Peraturan Pemerintah

No.8/Des/WKPM Tahun 1949 tentang penghapusan Propinsi Aceh dan

pembubaran DPRnya.63 Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut, status

Propinsi Aceh hanya berusia 8 bulan setelah dikeluarkan peraturan undang-

undang tersebut. Adapun inti undang-undang itu memuat beberapa poin yaitu:

1. Mencabut peraturan Wakil Perdana Menteri pengganti peraturan

Pemerintah No. 8/Des/Wpm tahun 1949 tentang pembagian Sumatera

Utara menjadi dua propinsi.

2. Mengesahkan penghapusan pemerintahan daerah Keresidenan Aceh,

Sumatera Timur dan Tapanuli, serta pembubaran Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah tersebut.

62
Amien, Kenang-Kenangan: Dari Masa Lampau, h. 123. Lihat juga Sutan Muhammad
Amin, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution Perjalanan Hidupku, h. 90-91.
63
Sutan Muhammad Amin, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution Perjalanan Hidupku,
h. 90.
37

3. Menetapkan pembentukan Propinsi Sumatera Utara, yang meliputi

Keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli.64

Tingginya suhu politik antara Jakarta dan Aceh membuat kesepakatan untuk

mengirim utusan antara kedua belah pihak selama jangka waktu yang relatif

singkat antara bulan Agustus sampai Januari 1951. Dari pihak Aceh dikirim dua

orang yaitu Abdul Wahab Seulimeum dan Abdul Gani untuk melakukan

pertemuan dengan pemerintah pusat di Jakarta. Kedatangan delegasi Aceh ke

Jakarta sudah tercium oleh sebagian kaum Uleebalang. Mereka berhasil

mempengaruhi para pemimpin di Jakarta. Kaum Uleebalang sangat antusias

mendukung rencana penghapusan Propinsi Aceh karena mereka pendapat mereka

hanya segelintir pemimpin Aceh saja yang menuntut status provinsi dan itu

dilakukan demi kepentingan kaum ulama PUSA sendiri.65 Petemuan yang

dilakukan antara kedua belah pihak tidak membawa hasil yang baik. Delegasi

tersebut gagal dalam meyakinkan pemerintah mengenai status Provinsi Aceh.

Keadaan politik di Aceh semakin meningkat, guna meredakan keadaan

yang semakin rumit itu pada tanggal 26 September 1950, Menteri Dalam Negeri

Mr. Assaat, Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara dan Ketua P4SU

(Panitia Penyelenggaraan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara) Raden Sarimin

Reksodihardjo melakukan kunjungan ke Aceh. Pada malamnya diadakan

pertemuan yang dipimpin oleh Tgk. M. Daud Bereueh dan juga dihadiri oleh

anggota (Dewan Perwakilan Daerah) DPD T.M. Amin, para Kepala Daerah

Kabupaten, kecuali Aceh Selatan. Menteri Dalam Negeri Mr. Assaat memberikan

penjelasan bahwa dalam persetujuan Republik Indonesia telah ditetapkan 10

64
A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70: Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 401-403.
65
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, h. 46.
38

provinsi yang berotonomi, salah satu dari 10 provinsi itu, adalah Provinsi

Sumatera Utara.66

Semua tokoh pendukung otonomi masih tetap mempertahankan status

provinsi dengan menegaskan kembali Mosi DPRD Aceh yang berkenaan dengan

ke-agamaan, adat istiadat, kebudayaan, pendidikan, dan keuangan.67 Dalam hal ini

Menteri Dalam Negeri memberi tanggapan kepada pendukung otonomi, bahwa

mosi yang pernah dikeluarkan oleh DPRD Aceh tidak cukup kuat untuk

mempertahankan Provinsi Aceh.68

Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara berusaha memberi pengertian

dalam masalah ini. Beliau memberi keterangan “…Pemerintah pusat mempunyai

beban yang berat sekali untuk menetapkan apakah Aceh tetap satu provinsi.

Beban pemerintah pusat akan bertambah ringan jika Aceh masuk Provinsi

Sumatera Utara…". Selanjutnya beliau mengingatkan juga, "…Bahwa yang

sekarang menjadi Perdana Menteri adalah seorang Islam, seorang ulama pula.

Dalam keadaan seperti ini tentu kedudukan agama Islam akan cukup dapat

perhatian beliau. Menteri Dalam Negeri Mr. Assaat pun seorang yang beragama

Islam juga…".69

Pertemuan kedua belah pihak diakhiri tanpa ada kata sepakat. Gubernur

Tgk. M. Daud Beureueh menutup pertemuan dengan mengatakan “…Bila tuntutan

otonomi daerah Aceh tidak dikabulkan kami akan meletakkan jabatan sebagai

66
S.M. Amien, Kenang-Kenangan: Dari Masa Lampau, h. 89.
67
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1997), h. 225.
68
Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 131.
69
S.M. Amien, Kenang-Kenangan: Dari Masa Lampau, h. 89-90.
39

pegawai dan kembali ketengah-tengah masyarakat…70 suasana pertemuan

berakhir dalam suasana tegang dan tidak mencapai hasil yang baik.

Usaha untuk memperoleh status otonomi terus diupayakan. Pada akhir bulan

Oktober 1950 Tgk. M. Daud Beureueh melakukan perjalanan ke Jakarta dengan

harapan agar status Provinsi Aceh masih bisa dipertahankan. Ia mungkin berpikir,

pemerintah pusat setidaknya akan menghormatinya karena peranan rakyat Aceh

pada masa revolusi dan berharap akan mendapatkan hasil yang baik untuk Aceh.

Dalam surat kabar Waspada Teungku Muhamammad Daud Beureueh

mengatakan bahwa “…Aceh tidak menuntut, tapi rakyat Aceh mempertahankan

hak provonsi yang telah diberikan dulu dengan undang-undang oleh pemerintah.

Dan apa alasan pemerintah sekarang untuk membubarkannya. Bahwa selama ini

di Aceh tidak ada terjadi kekacauan dan kerusuhan. Mengenai sikap Aceh dalam

mempertahankan hak propinsi itu dari dulu sampai sekarang seujung rambut

belum berubah dan pendirian pamong-pamong praja di Aceh tetap sebagaimna

yang telah diucapkan mula-mula…”.71 Mengenai berita-berita yang mengatakan

Daud Beureueh telah mencapai kompromi dengan Pemerintah, dibantah keras

oleh Tgk. M. Daud Beureueh. Beliau menambahkan pernyataannya dalam harian

Waspada “…Belum ada sesuatu ketegasan dari pemerintah, dan pemerintah masih

mencari keterangan lebih lanjut. Berhubung belum adanya sesuatu ketegasan dari

pemerintah pusat mengenai Propinsi Aceh, maka sampai sekarang Propinsi Aceh

masih tetap ada…”72

70
S.M. Amien, Kenang-Kenangan: Dari Masa Lampau, h. 91. Lihat juga, Sutan
Muhammad Amin, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution Perjalanan, h. 91.
71
“Atjeh Pertahankan Hak Propinsi, Belum Ada Ketegasan Dari Pusat,” Waspada, 30
Oktober 1950, h. 1.
72
“Atjeh Pertahankan Hak Propinsi, Belum Ada Ketegasan Dari Pusat,” Waspada, 30
Oktober 1950, h. 1.
40

Suhu politik dan keresahan di Aceh semakin meningkat, maka Wakil

Presiden terpaksa datang ke Aceh pada tanggal 27 November 1950 untuk

melunakkan hati pemimpin Aceh. Wakil Presiden mengemukakan penjelasan-

penjelasan mengenai belum dapat diadakan suatu provinsi tersendiri bagi daerah

Aceh, oleh karena dalam Piagam Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia

Serikat dan Republik Indonesia tanggal 19 Mei 1950 dan Pernyataan bersama

tanggal 19/20 Juli 1950, telah ditetapkan daerah Aceh, bergabung dengan daerah-

daerah Tapanuli dan Sumatera Timur, dijadikan Provinsi Sumatera Utara.73

Pertemuan yang dilakukan Tgk M. Daud Beureueh dengan Wakil Presiden

Muhammad Hatta bernasib sama seperti pertemuan Menteri Dalam Negeri Mr.

Assat yang tidak membuahkan hasil yang memuaskan bagi semua pihak.

Tekanan dari berbagai pihak dialami oleh pendukung otonomi, di antaranya

kaum Uleebalang dan beberapa anggota perlemen yang tidak menyetujui status

Provinsi Aceh. Untuk memperkuat tuntutan tersebut, PUSA mengadakan kongres

di Kutaraja pada tanggal 23-27 Desember 1950. Dalam kongres PUSA terdapat

beberapa perbedaan sikap yang harus diambil oleh PUSA, yakni mendesak

pemerintah daerah untuk mengambil sikap tegas kepada pemerintah pusat, dengan

tuntutan, apabila sampai 1 Januari 1951 status Aceh belum berdiri sendiri sebagai

provinsi maka seluruh pejabat pemerintah akan meletakkan jabatan.74 Sebagian

anggota PUSA lainnya mengambil sikap yang netral untuk memberi kesempatan

kepada pemerintah pusat untuk menyelesaikan masalah yang telah terjadi di Aceh.

73
Sutan Muhammad Amin, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution Perjalanan Hidupku h,
92. Selengkapnya lihat pidato Wakil Presiden dan Tgk. M. Daud Beureueh dalam Hasan Saleh,
Mengapa Aceh Bergolak, h. 132.
74
Memorandum Tentang Peristiwa Pemberontakan DI-TII Di Atjeh, (T.tp.: Staf Umum I
Tentara dan Ter I Bukit Barisan, 1956), h. 20.
41

Keputusan yang diambil dalam kongres PUSA ke II lebih menitik beratkan

pada tuntutan supaya pemerintah pusat segera memberi otonomi untuk daerah

Aceh. Dalam hal ini kongres mengeluarkan resolusi yang mendesak supaya:

a. Pemerintah Pusat segera melaksanakan rencana undang-undang otonomi

bagi daerah Aceh dan daerah-daerah lain yang menghendakinya.

b. Pemerintah pusat segera menepati janjinya dalam memberikan otonomi

bagi Aceh.

c. Pemerintah Pusat menjalankan segala keinginan-keinginan rakyat

menurut dasar-dasar demokrasi.75

Menyikapi persoalan status Provinsi Aceh yang berlarut-larut, pemerintah

pusat menugaskan Perdana Menteri Muhammad Natsir bersama Menteri Agama

K.H Masykur berkunjung ke Kutaraja pada 22 Januari 1951. Kedatangan P.M.

Mohammad Natsir disambut dengan rasa kurang simpatik oleh beberapa

pemimpin Aceh, termasuk Tgk. M. Daud Beureueh yang tidak datang untuk

menyambut kedatangan P.M. Muhammad Natsir. Selain itu, penginapan P.M.

Muhammad Natsir yang semula akan ditempatkan di sebuah hotel, tetapi atas

kehendak P.M. Mohammad Natsir sendiri melihat kondisi yang terjadi maka

beliau menginginkan dibawa ke Pondopo Gubernur Kutaraja untuk bermalam di

sana.76 Pada malamnya diadakan perundingan antara pendukung otonomi dengan

rombongan P.M. Mohammad Natsir, perundingan berjalan dengan penuh

kebijaksanaan yang bersifat dari hati ke hati. Setelah perundingan dan membujuk

para pemimpin Aceh, akhirnya tercapai kesepakatan:

1. Tuntutan Otonomi Aceh diusahakan dan diperjuangkan terus.


75
S.M. Amin, Kenang-Kenangan Dari Masa Lampau, h. 92.
76
M.Natsir, 70 Tahun Kenang-Kenangan Kehidupan dan Perjuangan, (Jakarta: Pustaka
Antara, 1978), h. 112.
42

2. Pemerintah akan mengurus soal Aceh ber-otonomi itu secara integral

untuk seluruh Aceh.

3. Peletakan jabatan secara non kooperatif bila tuntutan otonomi untuk

daerah Aceh tidak dipenuhi, masih tetap dipegang penuh.77

Akhirnya Provinsi Aceh dan DPR nya resmi di hapuskan pada bulan Januari

1950.78 Daerah Aceh berubah statusnya kembali menjadi keresidenan. Kota

Medan ditetapkan menjadi ibu kota Propinsi Sumatera Utara dan Abdul Hakim

aktivis Masyumi dilantik sebagai Gubernur Sumatera Utara. Sementara Residen

Aceh ditunjuk R. Maryono Danubroto sebagai Koordinator Pemerintah Daerah

Aceh. Tgk. M. Daud Beureueh ditarik ke Jakarta dalam Kementerian Dalam

Negeri, tetapi beliau tidak pernah ke Jakarta untuk tugas yang barunya. Tgk. M.

Daud Beureeuh kembali ke kampung halamannya, tinggal di sana dan hidup

sebagai orang biasa.79

Dua tahun setelah penghapusan Provinsi Aceh pertama, diadakan kongres

PUSA yang ketiga di Kuala Simpang pada tanggal 25-29 April 1953. kongres

PUSA kali ini selain membicarakan tentang keputusan-keputusan yang telah

diambil oleh Kongres Alim Ulama dan Muballigh Islam se-Indonesia,80 yang

dilangsungkan di Medan. Juga membicarakan tentang perjuangan kembali status

77
Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 134.
78
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, h. 17.
79
Memorandum Tentang Peristiwa Pemberontakan DI-TII Di Atjeh, h. 106. Dalam
sumber lain menyebutkan Tgk. M. Daud Beureueh mengambil cuti selama enam bulan masa
tugasnya di Kementerian Dalam Negeri Jakarta. Lihat, M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah
Gugatan, h. 235.
80
Kongres Alim Ulama se-Indonesia yang diadakan di Kota Medan berlangsung pada
tanggal 11-15 April yang dipimpin oleh Tgk. M. Daud Beureueh. Di antara keputusan yang
diambil dalam kongres tersebut ialah mengadakan kerjasama yang erat dengan instansi-instansi
pemerintah dan organisasi-organisasi untuk amar ma‟ruf dan nahi mungkar dan juga dengan tegas
akan berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan rakyat memperjuangkan agama Islam dalam
pemilihan umum pada tahun 1955. Lihat, A.H. Gelanggang, Rahasia Pemberontakan Atjeh dan
Kegagalan Politik Mr. S.M. Amin, (Kutaraja: Pustaka Murni Hati, 1956), h. 10.
43

Provinsi untuk daerah Aceh. Kongres ini merupakan kongres terakhir PUSA,

karena pada tanggal 21 September 1953 di Aceh meletus peristiwa berdarah atau

pemberontakan Darul Islam Aceh di bawah pimpinan Teungku Muhammad Daud

Beureueh.

2. Faktor-Faktor Lain Pemicu Pemberontakan

Sejak penghapusan Provinsi Aceh, mulai terlihat tanda-tanda rasa ketidak

puasaan rakyat Aceh kepada pemerintah pusat. Perjuangan yang telah banyak

dilakukan oleh rakyat Aceh kepada pemerintah pusat seperti tidak dihargai dan

menambah rasa kekecewaan yang mendalam, yang akhirnya menjadi akibat besar

bagi pemerintah dikemudian hari. Adapun faktor-faktor yang mempercepat

meletusnya pemberontakan Darul Islam Aceh di antaranya:

1. Tahun 1950, Tentara Nasional Indonesia yang merupakan satu Divisi

X, yang disatukan oleh Tgk. M. Daud Beureueh pada tahun 1948

dileburkan menjadi satu resimen di bawah Divisi Bukit Barisan di

Medan yang dipimpin oleh Mayor Nazir81 yang merupakan kader

komunis.82 Sedangkan Kolonel Husen Jusuf, panglima Divisi X

diberhentikan. Selama Mayor Nazir bertugas di Aceh sebagai

Komandan Resimen, Nazir berhasil membentuk suatu organisasi

Badan Keinsyafan Rakyat (BKR).83 Organasasi BKR ini bergerak

81
B.J. Boland, The Struggle of Islam In Modern Indonesia, (The Hague-Martinus Nijhoff:
Verhandelingen KITLV, 1971), h. 72.
82
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 403.
83
Organisasi Badan Keinsyafan Rakyat (BKR) didirikan di Kutaraja pada tanggal 8 April
1951. Organisasi ini didirikan atas inisiatif beberapa orang terkemuka di Kutaraja, antara lain
Teungku Mohammad Ali Lam Lagang, Ibrahim Lhong Raja. Dalam pasal 5 anggaran dasar Badan
Keinsyafan Rakyat salah satu tujuan BKR adalah mempercepat silaturrahim antara rakyat dengan
rakyat, golongan dengan golongan dan antara rakyat dengan golongan dan pemerintah. Tetapi
maksud dari tujuan BKR yang sebenarnya adalah pengembalian kekuasaan politik kepada
golongan Uleebalang. Hal ini terbukti dengan jelas dalam waktu yang singkat sesudah
terbentuknya organisasi ini, dengan mengeluarkan suatu resolusi dengan mengambil sikap
44

aktif sebagai pendukung keputusan pemerintahan yang untuk

penghapusan Provinsi Aceh. Kekecewaan rakyat Aceh bertambah

pula, terutama di kalangan perwira dan prajurit serta kaum pejuang

lainnya dengan pemindahan kesatuan-kesatuan tentara seperti Batalion

T. Manyak dipindahkan ke Jawa Barat, Batalion Alamsyah

dipindahkan ke Indonesia Timur, Batalion yang dipimpin oleh Hasan

Saleh dipindahkan ke Sulewesi Selatan lalu ke Maluku Selatan.

Perwira lain yang berada di Aceh juga dimutasi kemana-mana,

sebagai gantinya dimaksukkan batalion dari Tapanuli seperti Batalion

Manaf Lubis, Batalion Ulung Sitepu, serta Batalion Boyke

Nainggolan, yang secara etnologis dan adat-istiadat sangat berbeda

dengan orang Aceh, sebagian besar diantaranya bahkan beragama

lain.84

2. Di tengah-tengah keadaan yang semakin memanas, tersebar isu bahwa

pemerintah pusat telah menyusun daftar nama-nama tokoh Aceh yang

anti pemerintah untuk ditangkap. Beberapa sejarawan menyatakan,

daftar ini yang menjadi penyebab langsung pemberontakan. Boland

didalam bukunya menyatakan menurut informasi yang diperoleh di

Aceh, kaum politisi sayap kiri di Jakarta sebelumnya pada 1953

menyebarkan desas-desus bahwa Aceh benar-benar mengatur suatu

pemberontakan. Akibatnya “Djakarta” mencantumkan dalam daftar

190 orang Aceh terkemuka harus ditangkap. Hal ini diketahui di Aceh

menolak terhadap kebanyakan mereka (kaum ulama) yang menamakan dirinya wakil atau
pemimpin rakyat yang menduduki kursi-kursi pemerintahan di Aceh, pemimpin-pemimpin yang
cita-citanya dan berlomba-lomba mengumpulkan kekayaan untuk dirinya masing-masing. Resolusi
tersebut tidak berhasil dijalankan dan pihak PUSA masih terus memegang pimpinan pemerintahan.
84
Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 136.
45

pada Juli 1953 belakangan ternyata bahwa daftar nama ini barangkali

sengaja dibocorkan dengan tujuan tertentu, karena orang-orang Aceh

terkemuka ini merasa bahwa mereka mungkin akan ditangkap, mereka

memutuskan lari ke gunung pada 19 September 1953. Ini merupakan

pemutusan resmi dengan “Djakarta” dan awal dari apa yang disebut

pemberontakan Darul Islam di Aceh.85 Selanjutnya menurut B.J.

Bolland, bahwa sebetulnya surat itu tidak pernah ada. Desas-desus itu

diembuskan oleh politikus sayap kiri (PKI) di Jakarta untuk

menghamtam gerakan Islam di Aceh.86 Hal ini juga diakui oleh

Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dalam sidang jawaban

pemerintah tanggal 2 November 1953.

3. Dalam masa revolusi fisik, daerah Aceh didatangi para pengungsi dari

Sumatera Timur, setelah Belanda mengadakan agresi ke daerah

tersebut. Perusahan-perusahan perkebunan dan pertambangan minyak

tidak dapat berjalan. Kesulitan perekonomian sangat terasa dengan

adanya blokade Belanda terhadap pelabuhan-pelabuhan dan beberapa

daerah. Daerah Aceh seakan-akan terisolasi dari daerah lainnya.87

Setelah merdeka rakyat Aceh mulai kembali bangkit membangun

ekonomi, hal ini di tandai dengan berdirinya Bank Dagang Nasional

Indonesia cabang Kutaraja. Pada saat yang bersamaan Aceh sudah

memiliki uang kertas URIBA (Uang Republik Indonesia Bagian

Aceh).

85
B.J. Boland, The Struggle of Islam, h. 73.
86
Nugroho Dewanto, Daud Beureueh Pejuang Kemerdekaan, h. 3.
87
Bambang Suwondo, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta:
Depdikbud, 1978), h. 192.
46

Secara umum devisa yang banyak dihasilkan oleh rakyat Aceh

melalui perdagangan hasil bumi seperti kopra, lada, karet, dan

kelapa. Perdagangan juga dilakukan dengan cara tradisional sistem

barter. Namun pada Februari 1952 pemerintah pusat mengeluarkan

keputusan baru mengenai prosedur umum perdagangan dan

penghapusan sistem barter diganti menjadi deviezen rezim atau letter

of credit dan larangan mengekspor kopra.88 Kebijakan ini sangatlah

memukul rakyat Aceh di bidang ekonomi yang sejak revolusi telah

terbiasa melakukan perniagaan barter. Tak hanya itu, pada waktu

revolusi kemerdekaan pendapatan daerah dialihkan tanggung jawab

pengelolanya kepada pemerintahan pusat, dengan demikian daerah

Aceh secara ekonomi semakin tergantung sumber pembiayaannya

kepada pemerintah pusat, baik untuk biaya rutin maupun

pembangunan.89

Keputusan pemerintah pusat yang mengakhiri sistem barter

berdampak pada penurunan volume impor dan ekspor. Impor

Indonesia dari Penang turun menjadi 2,1 juta di tahun 1952 dan 0,5

juta rupiah pada tahun 1953, penurunan ini sangat drastis

dibandingkan pada tahun 1951 dengan nilai 3.3 juta peningkatan

volume impor. Hal yang sama juga terjadi pada penurunan volume

ekspor yang turun menjadi 141 juta rupiah di tahun 1952 dan pada

tahun 1953 menjadi 123,9 juta.90

88
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 244.
89
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 242.
90
Nazaruddin Syamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, h. 77.
47

Alasan-alasan di atas merupakan hal yang tidak bisa di pungkiri

menyebabkan ketidakpercayaan rakyat Aceh kepada pemerintah

pusat semakin mendalam sehingga hal yang tak disangka-sangka

oleh pemerintah pusat yang menyebabkan pemberontakan Darul

Islam atas apa yang telah pemerintah lakukan ketika masa revolusi

fisik.

C. Pemberontakan Darul Islam Aceh Meletus

Sejak terhapusnya Provinsi Aceh, mulai terlihat kembali pertentangan

antara dua kelompok besar dalam masyarakat Aceh pada saat itu, yaitu PUSA

(kaum ulama) dengan Uleebalang (kaum bangsawan). Kaum Uleebalang mulai

berhasrat ingin merebut kembali hak-hak mereka yang selama ini dianggap tidak

adil, yang dipegang oleh kaum ulama. Sementara di pihak PUSA (kaum ulama)

mulai aktif melakukan kegiatan-kegiatan termasuk mengadakan kongres Alim

Ulama yang diadakan di Medan dari 11 sampai 15 April, dan kongres PUSA yang

ke III yang diadakan di Langsa Aceh Timur pada tanggal 25 sampai 29 April.

Kedua Kongres ini tidak hanya memberikan titik awal untuk pergerakan

seluruh Aceh guna menjelaskan pandangan pemimpin-pemimpin Islam tentang

negara Islam dan menghasut rakyat memberontak terhadap pemerintah pusat.

Kedua kongres ini juga memberikan dorongan guna memperbaharui usaha untuk

meluaskan pengaruh PUSA dalam masyarakat.91

Sejalan dengan itu upaya Tgk. M. Daud Beureueh untuk mempengaruhi

rakyat dan pemimpin Aceh untuk melakukan suatu tindakan pemberontakan terus

dilakukannya. Gerakan berbisik dari Tgk. M. Daud Beureueh berjalan terus tanpa

91
C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Penerjemah Tim PSH (Jakarta:
Grafiti Pers, 1983), h. 284.
48

diketahui oleh pemerintah pusat, hampir semua pamong praja di kecamatan-

kecamatan telah dapat dipengaruhi, demikian juga ketua-ketua rakyat di

kampung-kampung. Pemimpin-pemimpin yang telah dipercayai dibai‟ah

(disumpahkan) untuk memegang peranan penting di setiap pelosok kota.92

Sebelum pemberontakan itu dilaksanakan, terjadi sebuah pertemuan yang

sangat rahasia di rumah kediaman Tgk. M. Daud Beureueh. Pertemuan itu dihadiri

oleh lebih kurang 100 wakil dari seluruh Aceh. Pertemuan tersebut membicarakan

tentang cara-cara melakukan kudeta serta menyusun satu teoritorium tentara.93

Keputusan hasil dari pertemuan tersebut Tgk. Daud Beureueh akan merencanakan

memproklamasikan Darul Islam di Aceh pada 7 Agustus 1953, berhubung rencana

tersebut telah terdengar oleh pemerintah pusat maka dibatalkan dan berencana

kembali akan melakukan pemberontakan pada tanggal 17 Agustus pertepatan

dengan Kemedekaan Indonesia. Namun diundur kembali karena persiapan belum

selesai.94

Mengalami beberapa kali penundaan, maka pada tanggal 21 September

1953, bertepatan dengan pembukaan Pekan Olahraga Nasiobal (PON) ke-III di

Medan, Tgk. M. Daud Beureueh mengangkat senjata terhadap pemerintah pusat

dan memproklamasikan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia.95

Proklamasi itu dilakukan ditempat kediaman beliau sendiri, yaitu di kampung Usi

Meunasah Dayah, Blang Malu Kecamatan Mutiara. Walaupun secara umum

pemberontakan terjadi sesuai dengan skenario tanggal 21 September 1953, namun


92
A.H Geulanggang, Rahasia Pemberontakan di Aceh, h. 19.
93
Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan dan
Kesatuan Bangsa: Kasus Darul Islam di Aceh, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional, 1994), h. 64-65.
94
C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, h. 286.
95
Rakyat Aceh menyebutnya “Peristiwa Berdarah”. Sedangkan Perdana Menteri Ali
Sastromidjojo menyebut sebagai “Peristiwa Daud Beureueh” atau Pemberontakan Daud
Beureueh”.
49

sebagian orang kepercayaan Tgk. M. Daud Beureueh yang berada di Idi dan

Peurelak telah mendahului gerakan mereka sehari sebelumnya.

Kekuatan gerombolan diperkirakan ada sekitar 10.000 orang dengan

sejumlah senjata api berkisar 800-1000 pucuk. Pasukan inti berasal dari Pandu

Islam. Unsur lain berasal dari kelompok yang tidak puas terhadap pemerintah

seperti pamomg praja, Jawatan Agama, termasuk Mahkamah Syariah, Sekolah

Agama, dan Pelajar Sekolah Agama.96

Setelah pemberontakan terjadi, Komandan Resimen I Infanteri di Kutaraja

mengeluarkan sebuah pengumuman militer. Pengumuman itu menyatakan bahwa

di Aceh telah pecah suatu pemberontakan yang digerakkan oleh gerombolan liar.

Oleh karena itu diminta kepada rakyat agar tetap tenang dan waspada, serta

memberikan bantuan sepenuhnya kepada alat negara untuk menumpas

pemberontak.97

Gubernur Sumatera Utara Abdul Hakim juga mengeluarkan seruan pada 23

September 1953. Seruan ini diseberluaskan lewat radio, adapun bunyi dari seruan

tersebut adalah:

“Kepada rakyat Indonesia yang berada didaerah Aceh supaya bersama menegakkan
keamanan dan ketenteraman kembali. Apa yang terjadi di Aceh dinamakan usaha
merampas kekuasaan negara dan bertentangan dengan hukum. Mereka yang terlibat
didalam percobaan merampas kekuasaan negara ini, supaya jangan lagi meneruskan
perbuatan itu, janganlah dosa kepada negara sendiri itu sampai bertambah dan
diharapkannya supaya mereka lekas kembali pada tempat sebenarnya sebagai warga negara
Indonesia yang setia”.98

Dalam keterangan yang lain Menteri Peneragan Dr. F.L Tobing pada 1

Oktober 1953 juga menerangkan bahwa “…Keadaan yang sedang bergolak di

96
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 292.
97
Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h. 64-
65.
98
“Gubern. Hakim Berseru SPJ Orang Djangan Berdosa T‟hadap Negara,” Antara, 24
September 1953.
50

Aceh dewasa ini, masih tetap dapat dikuasai oleh Pemerintah…” Dalam

keterangannya lebih lanjut, Menteri Penerangan F.L Tobing mengatakan

“…Dalam usaha dan tindakan pemerintah guna memulihkan keamanan di daerah

Aceh, pemerintah mendapatkan bantuan penuh dari para alim ulama di Aceh yang

tidak menyetujui tindakan kaum pemberontak dan terhadap mereka yang

meyerahkan diri, pemerintah akan memberlakukan mereka dengan baik…”99

Pemberontakan DI/TII (Tentara Islam Indonesia) Aceh sering dikatakan

sebagai pemberontakan ulama Aceh, namun dalam kenyataannya tidak semua

ulama memihak kepada pemberontak. Sebagian ulama Aceh yang tidak

bergabung dengan kelompok Tgk. M. Daud Beureueh dengan tegas menyatakan

bahwa pemberontakan itu adalah kemungkaran, di antara ulama tersebut adalah

Hasan Krueng Kalee, Teungku Makam, Teungku Abdul Salam Meuraxa,

Teungku Saleh Meugit Raya, Teungku Muda Wali, dan Labuhan Haji. Para ulama

ini membuat seruan dan nasihat terhadap kaum muslimin dan muslimat,

khususnya rakyat Aceh supaya jangan sampai rakyat terpedaya dengan ajakan dari

kalangan pemberontakan yang menggunakan nama baik Islam.100 Di dalam seruan

tersebut Tgk. H. Hasan Krueng Kalee menerangkan lagi, “…Sebelum peristiwa

Daud Beureueh terjadi di Aceh tidak ada pembunuhan dan pembakaran, tetapi

sewaktu timbul gerakan mereka itu, kita lihat dengan terang kezaliman-kezaliman

yang mengerikan, berapa banyak orang yang telah dibunuh dan berapa pula rumah

99
Rakjat Atjeh Jg Terdjepit Melarikan Diri Kehutan-Hutan, Bintang Timur, 1 Oktober
1953.
100
“Ulama Besar Tgk. H. Hasan Krueng Kale Kutuk Pemberontakan PUSA; La‟nat
Tuhan Atas Mereka”,Sin Po, 7 Oktober. Lihat juga, Ulama-Ulama Atjeh anjurkan bantu
Pemerintah, Bintang Timur, 1 Oktober 1953.
51

yang sudah dibakar…”101 Seruan tersebut ditutup dengan mengajak rakyat Aceh

supaya insyaf.

Ali Sastroamidjojo yang baru 50 hari menjabat sebagai Perdana Menteri

terkejut dengan peristiwa pemberontakan Darul Islam di Aceh. Dalam hal ini P.M.

Ali Sastroamidjojo mengutus Wakil P.M. Wongsonegoro untuk berkunjung ke

Medan guna memperoleh data lapangan mengenai pemberontakan tersebut. Dua

hari kemudian sebuah pertemuan kabinet diselenggarakan di Jakarta untuk

membahas agenda pemberontakan. Adapun keterangan yang disampaikan oleh

Wakil P.M. Wongsonegoro pada pertemuan kabinet tersebut membahas tentang

usaha pemerintah dalam mengembalikan keamanan dan ketenteraman umum di

Aceh, diantaranyanya:

a. Menjaga supaya alat-alat senjata dari alat-alat negara jangan lebih

banyak jatuh kepada kaum gerombolan.

b. Menjaga supaya jangan banyak terjadi pertumpahan darah secara sia-sia.

c. Menyadarkan kaum gerombolan kepada tindakannya yang salah itu.

d. Memelihara pemerintahan daerah agar dapat berjalan terus

e. Tidak segan-segan mengambil tindakan yang keras dan setimpal, jika

keadaan menghendaki.102

Dalam keterangannya yg lebih lanjut Wakil P.M. Mr Wongsonegoro

mengatakan “…Pemberontakan yang dilakukan dewasa ini di Aceh bukanlah

ditujukan kepada pemerintah (Merah-Putih), tetapi kepada Palu Arit…”103

101
“Ulama Besar Tgk. H. Hasan Krueng Kale Kutuk Pemberontakan PUSA; La‟nat
Tuhan Atas Mereka”,Sin Po, 7 Oktober. Lihat juga, Ulama-Ulama Atjeh anjurkan bantu
Pemerintah, Bintang Timur, 1 Oktober 1953.
102
“Rentcana Atjeh Sudah ditetapkan di Aceh”, Antara, 28 September 1953
103
“Rakjat Atjeh Jg Terdjepit Melarikan Diri Kehutan-Hutan”, Bintang Timur, 1 Oktober
1953.
52

Sementara itu, Komite Pembela atau Penjunjung Pancasila RI untuk Aceh

juga mengeluarkan pernyataan menyerukan kepada partai-partai, organisasi massa

dan semua golongan rakyat supaya bersatu menghadapi gangguan keamanan,

kekacauan dan pemberontakan baik yang mempertopengkan agama Islam dan

lainnya yang hendak memecah belahkan kesatuan rakyat dan ingin memasukkan

penjajahan kembali di Indoensia. Adapun seruan singkat dari Komite Pembela

atau Penjunjung Pancasila Republik Indonesia sebagai berikut:

“Kepada rakyat yang telah terpengaruh, terjerumus kedalam kancah kebinasaan oleh
bujukan yang muluk-muluk yang menggunakan ayat-ayat fisabilillah sahid dan
sebagainya diharapkan supaya insyaf dan ingatlah kepada jalan yang benar (petunjuk
Allah). Jangan mau ditipu mereka yang durhaka dan yang terkutuk itu. Dan kepada semua
rakyat Aceh dan semua rakyat Indonesia agar mengadakan bantuan dan penampungan-
penampungan pada saudara-saudara kita muhajirin pengungsi-pengungsi Aceh dan lain-
lainya dan diminta kepada semua partai-partai organisasi massa dan golongan-golongan
rakyat lainnya agar dapat bekerja sama dengan kami, antara kita dengan kita dan antara
kita dengan Pemerintah.”104

Perbedaan pendapat terhadap pergolakan di Aceh juga terjadi di beberapa

partai politik. Di antaranya Partai Islam (PERTI). Menurut K.H. Sirajuddin

Abbas:

“Pemberontakan yang dilakukan oleh Daud Beureueh itu bukanlah soal Islam dan
ulamanya, karena di Aceh banyak juga ulama-ulama dan kaum Muslimin yang tidak turut
memberontak, misalnya ulama-ulama Perti dan anggota-anggotanya Perti, karena mereka
itu merasa bahwa agamanya tidak diganggu-ganggu oleh negara, sejalan dengan itu
kekacauan di Aceh akan dapat diatasi dengan lekas, karena rakyat terbanyak di Aceh
tidak menyetujui tindakan kekerasan yang dilkukan oleh Daud Beureueh cs itu. Perasaan
kurang puas terhadap keadaan memang terdapat dikalangan rakyat, tetapi rakyat pun
merasa, bahwa tidak seharusnya karena perasaan yang demikian itu lalu mengambil jalan
kekerasan.”105

Sementara Partai Komunis Indonesia (PKI) meminta kepada pemerintah

agar menumpas habis pemberontakan DI/TII. Berikut pernyataan Partai Komunis

Indonesia (PKI) di dalam surat kabar Harian Rakyat:

104
“Seruan Komite Pembela/Penjunjung Pancasila RI untuk Aceh”, Bintang Timur, 7
Oktober 1953.
105
“Partai Islam Perti Anjurkan Anggotanya Bantu Alat-Alat Negara”, Antara, 2 Oktober
1953.
53

“Satu satunya jalan bagi Pemerintah adalah bersatu dengan rakyat menghancurkan separatis
ini, dalam hubungan ini PKI menyatakan dengan jujur dan ikhlas bahwa PKI berdiri
sepenuhnya di belakang Pemerintah Republik Indonesia dalam menghancurkan Darul
Islam di Aceh, Jawa Barat dan dimana saja.106

D. Keterangan Pro-Kontra Pemerintah Terhadap Pertistiwa Darul Islam

Aceh

Sejak pemberontakan yang diproklamasikan oleh Tgk. M. Muhammad

Daud Beureueh, situasi Aceh dalam keadaan tidak aman. Suara tembakan

terdengar dimana-mana dan terdengar hampir di setiap pelosok daerah Aceh,

ribuan rakyat tidak berdosa menjadi korban, banyak perempuan yang menjadi

janda, rakyat sangat menderita di segala bidang. Masyarakat tidak ada yang berani

keluar dari rumah untuk beraktifitas seperti biasa. Serangan demi serangan terus

dilancarkan oleh kelompok Darul Islam, sasarannya adalah tentara atau mobrig

dan masyarakat sipil yang dianggap mencurigai. Demikian sebaliknya, aparat

keamanan (tentara atau mobrig) menuduh rakyat membantu gerombolan

pemberontak, yang tidak ikut memberontak dicurigai sebagai mata-mata. Selain

itu kedua belah pihak saling menghancurkan sarana dan prasarana seperti merusak

tiang listrik dan memutuskan kabel telpon, pengerusakan sekolah-sekolah serta

bangunan pemerintahan dihancurkan.107 Banyak masyarakat Aceh ditangkap dan

ditahan oleh tentara atau mobrig karena dicurigai sebagai kaum pemberontak.

Rakyat serba salah, mereka dipenjara tanpa diadili.

Peristiwa pemberontakan Darul Islam di Aceh telah menimbulkan

kekacauan yang luar biasa dan juga kerugian yang besar bagi masyarakat Aceh

dan pemerintah. Korban harta benda dan jiwa yang tak ternilai harganya dalam

106
Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h.
66.
107
A. Hasjmy, Semangat Indonesia 70: Tahun Menempuh Pergolakan, h. 416.
54

peristiwa pemberontakan tersebut. Peristiwa pemberontakan Darul Islam di Aceh

merupakan tragedi yang menguras emosi dan juga masalah nasional yang

dihadapi oleh pemerintah Republik Indonesia, sebagaimana yang diucapkan oleh

Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo di depan sidang Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) pada tanggal 20 Oktober 1953.108

Sebulan setelah terjadinya peristiwa pemberontakan di Aceh, tanggal 28

Oktober P.M. Ali Sastroamidjojo memberikan keterangan di depan pemerintah

dalam rapat pleno terbuka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia

yang berisikan tentang latar belakang pemberontakan dan jalannya

pemberontakan. Dalam keterangan yang panjangnya 33 halaman dan terdapat 4

bagian keterangan Pemerintah,109 Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo

mengatakan bahwa dalam usahanya menyelesaikan pemberontakan di Aceh,

pertama-tama tidak akan melihat siapa bersalah dalam hal ini. melainkan ibarat

menghadapi satu rumah yang kebakaran, lebih dulu marilah kita padamkan

kebakaran itu dan barulah sesuadah itu dipersoalkan siapa yang bersalah.110

Di dalam latar belakang keterangan pemberontakan yang dikemukakan oleh

P.M. Ali Sastroamidjojo, bahwa tindakan yang terpenting yang harus diambil oleh

pemerintah melokalisir kekuasaan kaum pemberontak, yang ternyata hanya

108
Departemen dan Kebudayaan, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, h.
179-180.
109
Di dalam rapat Pleno DPR, terdapat 4 bab mengenai keterangan Pemerintah terhadap
peristiwa pemberontakan di Aeh, diantara 4 bab tersebut adalah:
Bab I : Kejadian-kejadian di Aceh menurut urutan kronologis, sekedar mana yang
penting.
Bab II : Latar belakang peristiwa Daud Beureueh
Bab III : Tindakan-tindakan yang telah dijalankan oleh Pemerintah untuk mengatasi
peristiwa tersebut.
Bab IV : Tindakan-tindakan selanjutnya yang akan diambil oleh Pemerintah.
Lihat, Ali Sastroamidjojo, Keterangan dan Djawaban Pemerintah Tentang Daud
Beureueh, (Jakarta: Kementerian Penerangan RI, 1953), h. 8.
110
“Keterangan Pemerintah Tentang Atjeh: Tindakan Pertama-tama Memadamkan
Pemberontakan,”Sin Po, 28 Oktober 1953.
55

sebagian saja dari rakyat Aceh yang memihak pemberontak. Adapun tindakan

selanjutnya yang akan diambil oleh pemerintah yaitu memerintahkan supaya

seluruh pantai dari Peurela, Kutaraja, Aceh Barat sampai Lama Inong disebelah

selatan Meulaboh tetap dikuasai oleh pemerintah. Ditempat tempat yang belum

ada detasemen tentara atau ditempat yang masih lemah diperkuat dengan

ditambah pasukan-pasukan tentara dan Mobrig.111

Pidato itu diikuti dengan acara pemandangan umum lanjutan tentang

keterangan pemerintah mengenai pemberontakan Daud Beureueh yang

berlangsung pada tanggal 30 sampai dengan 31 Oktober 1953. Pemandangan

Umum tersebut mendapat tanggapan yang antusias dari para anggota sebagaimana

terlihat pada jumlah pembicara yang mencapai 17 orang dari berbagai partai.

Muhammad Nur El Ibrahimy sebagai pembicara pertama dan berikutnya Amelz

mengkritik secara tajam cara pemerintah melakukan operasi pemulihan keamanan.

Wakil-wakil partai oposisi, Masyumi dan PSI, berusaha memojokkan posisi

pemerintah dalam menangani gerombolan. Sementara itu Wakil PNI Abdullah

Jusuf, menegaskan bahwa “…Menjalankan politik keamanan yang menyimpang

dari program pemerintah adalah tindakan yang sesat dan menghilangkan

kepercayaan rakyat terhadap pemerintah...” Karena itu pembicara berpendapat,

bahwa pemerintah harus mengutamakan tindakan-tindakan tegas untuk terus

membasmi pemberontakan itu dengan tidak meninggalkan rasa keadilan.112

Pembicara selanjutnya dalam pemandangan umum adalah Abdulhajat yang

menegaskan bahwa “…Apapun juga alasannya, suatu pemberontakan adalah

111
“Keterangan Pemerintah tentang Atjeh: Tindakan Pertama-tama Memadamkan
pemberontakan, Sin Po, 28 Oktober 1953.
112
“Tiap Tiap Pemberontak Harus di Basmi, Tindakan Setengah-Setengah Hanya
Memperbanjak Korban”, Sin Po, 31 Oktober 1953.
56

kejahatan yang sangat besar terhadap negara dan harus dibasmi…” Abdulhajat

tidak membenarkan pendapat anggota yang menganjurkan supaya pemerintah

menyelesaikan pemberontakan Daud Beureueh c.s itu dengan jalan damai,

sebaliknya pembicara bahkan menganjurkan supaya tiap-tiap kekacauan dimana

pun juga terjadinya diambil tindakan-tindakan tegas, diberantas sampai keakar-

akarnya.113

Pembicara selanjutnya yang memberi keterangan dalam pemandangan

umum adalah Mr. Burhanuddin Harahap (Masyumi) yang diberi waktu selama 45

menit untuk berbicara, dengan mengatakan ketidakpuasan Masyumi terhadap

kebijaksanaan pemerintah dalam menyelesaikan gerombolan DI/TII. Burhanuddin

Harahap juga menyatakan tidak menyetujui cara-cara yang dilakukan oleh

pemerintah untuk penyelesaian keamanan yang didasarkan pada kekuatan

senjata.114 Pendapat lain datang dari Mr. Muhammad Daljono dari Masyumi yang

mengatakan “…Pemerintah Republik Indonesia harus dijadikan Negara Republik

Islam Indonesia guna memulihkan keamaan di daerah Aceh dan juga di daerah-

daerah yang lain yang kini masih terjadi pergolakan pemberontakan…”115

K. Wardojo (SOBSI) dalam pemandangan umumnya sangat menghargai

keterangan pemerintah dengan disertai anjuran supaya terus bertindak tegas

terhadap kaum pemberontakan yang sudah jelas merupakan bagian usaha

gerombolan teror DI/TII Kartosuwirjo. Ia juga memberi keterangan kepada

pemerintah agar jangan setengah-setengah dalam membasmi kaum pemberontak,

113
“Tiap Tiap Pemberontak Harus di Basmi, Tindakan Setengah-Setengah Hanya
Memperbanjak Korban”, Sin Po, 31 Oktober 1953
114
“Tiap Tiap Pemberontak Harus di Basmi, Tindakan Setengah-Setengah Hanya
Memperbanjak Korban”, Sin Po, 31 Oktober 1953
115
“Pemerintah Buka Kedoknya Pembela-Pembela Kaum Pemberontak”, Sin Po, 3
November 1953.
57

ditakutkan di kemudian hari akan lebih banyak korban lagi.116 Menurut K.

Wardojo, Daud Beureueh dan pengikut-pengikutnya segera diajukan ke

pengadilan karena melanggar hukum, harus diadili dan diambil tindakan yang

setimpal dengan perbuatannya. Perkara Daud Beureueh telah berjasa apa tidak, itu

nanti bisa dikemukakan dalam waktu pengadilan.117

Setelah memberikan keterangan dan pemandangan umum tentang peristiwa

pemberontakan tersebut, pada tanggal 2 November 1953 P.M. Ali Sastroamidjojo

memberikan jawaban pemerintah atas pemandangan umum tersebut dengan

dihadiri oleh 137 anggota, 17 Menteri dan perhatian yang antusias dari publik.

Dalam pembukaan pidato P.M. Ali Sastroamidjojo menyatakan kekecewaan

terhadap mereka yang mendukung Daud Beureueh yang jelas-jelas pemberontak

dan telah merugikan negara dan bangsa. P.M. Ali Sastromidjojo juga

menyudutkan kaum oposisi seperti Nur El Ibrahimy dan Amelz yang

membelokkan perhatian khalayak ramai ke arah yang lain, sehingga usaha untuk

membasmi kekuatan pemberontakan itu menjadi lemah.118

Jawaban dan serangan pemerintah lebih banyak ditujukan kepada

Muhammad Nur El Ibrahimy dan Amelz, adapun jawaban keterangan yang

diberikan Pemerintah atas pemandangan umum DPR adalah sebagai berikut:

“Rakyat seluruhnya sudah merasa jemu dengan gangguan keamanan yang sangat
menyulitkan penghidupannya setiap hari, maka pemerintah yang bertanggung jawab.
Maka dari itu bagi pemerintah merupakan suatu pertanyaan mengapa anggota-anggota
tersebut melihat dalam keterangan pemerintah suatu sikap yang tidak objektif, berat
sebelah, meraba-raba, mendasarkan keterangan pada golongan tertentu, yang tidak jujur,
dan seakan-akan pemerintah memberikan kesan untuk menimbulkan kebencian di
kalangan rakyat terhadap PUSA. Pemerintah mengira, bahwa setiap orang yang mengenal
masyarakat Aceh secara dekat, terutama kedua anggota tersebut (M. Nur El Ibrahimy dan
Amelz) telah dapat memahami, bahwa keterangan pemerintah itu disusun sedemikian

116
“Tiap Tiap Pemberontak Harus di Basmi, Tindakan Setengah-Setengah Hanya
Memperbanjak Korban”, Sin Po, 31 Oktober 1953.
117
A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun: Menempuh Jalan Pergolakan, h. 428.
118
“Pemerintah Buka Kedoknya Pembela-Pembela Kaum Pemberontak”, Sin Po, 3
November 1953. Lihat juga, Ali Sastroamidjojo, Keterangan dan Djawaban Pemerintah, h. 49.
58

rupa, hingga pertanyaan-pertanyaan betapa pun pentingnya dilihat dari sudut lain justru
sejak semula berminat untuk meredakan suasana yang sudah meruncing. Oleh karena itu
pemerintah sependapat bahwa pribadi Daud Beureueh yang sekarang oleh khalayak ramai
dianggap sebagai pemimpin pemberontakan. Mengenai tuduhan di kalangan pemerintah
dan pegawai tinggi yang meminta nasihat mengeai soal Aceh kepada pihak Komisariat
Agung Belanda, pemerintah menyatakan bahwa tuduhan itu tidak benar.”119

Lebih jauh lagi jawaban dari pemerintah mengatakan bahwa pentolan-

pentolan PUSA melakukan korupsi. Berikut jawaban pemerintah:

“Barang siapa mengikuti perkembangan pemerintah dalam suasana revolusi 1945 dan 1948
di Tanah Air kita ini dapat memahami, bahwa kekuasaan pada waktu itu berada penuh di
tangan orang-orang dari golongan yang menghendaki kursi-kursi paling penting dalam
pemerintahan daerah dan tidak dapat disangkal lagi, bahwa di masa itu segala kedudukan
tersebut ada di tangan orang-orang PUSA. Mengenai peranan PUSA dalam pemerintahan
sipil, militer dan dalam lapangan perekonomian dan perniagaan, rakyat mengetahui benar
bahwa semula mereka (anggota PUSA) orang yang tidak berada, tetapi sesudah berkuasa
mereka mendadak menjadi kaya, sedangkan rakyat mengharapkan bahwa pihak penguasa
hendaknya mengutamakan kepentingan rakyat dari kepentingan perseorangan dari orang-
orang yang memerintah.”

“Atjeh Trading Company (ATC) asalnya kepunyaan pemerintah, tetapi pada


perkembangannya ialah bahwa kebanyakan orang-orang yang duduk dalam ATC
mengadakan siasat untuk mengambil keuntungan-keuntungan bagi diri sendiri. Bukan
rahasia lagi dikalangan rakyat, bahwa pemimpin-pemimpin PUSA yang duduk dalam
pemerintahan mempunyai banyak saham di NV Permai dan Lho Nga Trading Company.
Dalam catatan pemerintah Daud Beureueh pernah membeli auto Buick dengan
perantaraan NV Permai dan kemudian mengganti harga auto Buick itu dari uang kas
negara, dan juga ada bantuan kepadanya dari negeri asing sebanyak 15.000.000 Straits
Dollar.”120

Dalam jawaban pemerintah terkait peristiwa pemberontakan Darul Islam

Aceh, Nur El Ibrahimy tidak bisa menjawab dengan jawaban yang memuaskan.

Nur El Ibrahimy hanya menyatakan akan menyelidiki apa yang telah P.M. Ali

Sastoamidjojo jelaskan. Pemerintah juga menyatakan bahwa bukti-bukti mengenai

dugaan korupsi yang dilakukan oleh orang-orang PUSA telah berada di tangan

pemerintah.121

Jawaban Pemerintah ditutup dengan menyerukan supaya semua orang yang

berada di ruangan tersebut bersama-sama berusaha untuk selekas-lekasnya

119
“Pemerintah Buka Kedoknya Pembela-Pembela Kaum Pemberontak”, Sin Po, 3
November 1953. Lihat juga, Ali Sastroamidjojo, Keterangan dan Djawaban Pemerintah, h. 49.
120
“Ali Sastroamidjojo, Keterangan dan Djawaban Pemerintah, h. 51-52
121
Ali Sastroamidjojo, Keterangan dan Djawaban Pemerintah Tentang, h. 52.
59

mengakhiri tragedi nasional pemberontakan Daud Beureueh, demi kepentingan

Nusa, Bangsa dan Negara Republik Indonesia.122

Tiga bulan setelah peristiwa pemberontakan Darul Islam Aceh, Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) mengadakan sidang yang membicarakan tentang

rencana pembentukan dan pengiriman suatu komisi untuk menyelediki langsung

peristiwa pemberontakan Aceh sekaligus mengumpulkan fakta di lapangan.

Dalam sidang yang berlangsung pada tanggal 18 Desember 1953, DPR

menyetujui dan memutuskan pengiriman komisi peninjauan Aceh yang terdiri dari

7 anggota, 123 di antaranya:

1. Sutardjo Kartohadikusumo (Ketua dan merangkap sebagai anggota)

2. Idham Khalid (anggota)

3. Ardiwinangun (anggota)

4. Muhammad Nuh (anggota)

5. S. Uratyo (anggota)

6. Sabilal Rasyad. (anggota)

7. Syamsuddin Sutan Makmur (anggota)

Komisi yang telah ditugaskan oleh DPR memulai tugasnya dari tanggal 7-

16 Januari 1954124 dengan mengunjungi Sumatera Timur, Kutaraja, Aceh Besar,

Pidie, dan Aceh Timur. Selama berada di Aceh komisi akan melakukan

wawancara dengan pramong praja, pemimpin partai politik, organisasi, polisi dan

122
“Pemerintah Buka Kedoknya Pembela-Pembela Kaum Pemberontak”, Sin Po, 3
November 1953.
123
A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun: Menempuh Pergolakan, h. 432. Lihat juga
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah, h. 323.
124
Terdapat perbedaan tanggal masa penyelidikan yang di lakukan oleh Komisi DPR ke
Aceh. Dalam buku Semangat Merdeka di katakan masa peninjauan selama 14 hari, sementara
dalam buku Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradsi, masa peninjauan selama 10 hari. Ali
Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun: Menempuh Pergolakan, h. 432. Bandingkan, M. Isa
Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 323.
60

tentara serta tawanan yang dipenjara di Tanjung Kasau dan Tebingtinggi.125 Salah

seorang putera Aceh yang dipenjara di Tebingtinggi pada saat itu adalah Ali

Hasjmy.

Hasil dari peninjauan yang dilakukan oleh komisi DRP selama berada di

Aceh berisikan tentang situasi keamanan, jalannya pemerintahan dan lain-lain di

berbagai daerah di Aceh. Laporan tersebut disampaikan pada perlemen dalam

sidang pleno yang berlangsung pada tanggal 10 Februari 1954. Berikut beberapa

laporan yang menggambarkan situasi di Aceh selama peninjauan yang dilakukan

oleh 7 anggota komisi DPR tersebut:

“Kondisi di Kabupaten Aceh Timur, militaire bijstand (bantuan militer) sudah dicabut.
Penduduk yang sebagian mula-mula mengungsi, seluruhnya telah kembali ketempat
tinggalnya dan melakukan pekerjaan masing-masing seperti biasa, kecuali sebagian kecil
yang masuk gerombolan pemberontak dan tidak lagi menampakkan dirinya. Hubungan
lalu lintas sudah berjalan kembali. Kendaraan umum bis, mobil, dan kereta api sudah
berjalan dari Medan ke Lhoksemawe. Keadaan Kabupaten Aceh Utara dan diseluruh
Kabupaten Aceh Timur dengan tidak mendapatkan gangguan.

Lowongan-lowongan dalam pamong praja yang terjadi lantaran pejabat-pejabat memihak


pemberontak atau mengungsikan diri, sudah semuanya diisi, dari bupati, wedana, camat
sampai kepala-kepala mukim, walaupun ada yang masih bersifat sementara. Jawatan-
jawatan selain dari pada jabatan Pamong Praja yang ada di Kabupaten Aceh Timur pun
pada umumnya berjalan kembali.

Sementara mengenai keadaan keamanan di Aceh Pidie dan Aceh Besar dimana militaire
bijstand (bantuan militer) masih berlaku. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa di kedua
daerah kabupaten itu hanya di kota-kota saja terdapat keamanan. Tetapi di luar kota pada
siang hari kadang-kadang terdapat juga gangguan keamanan. Walaupun demikian petani-
petani sudah bercocok tanam seperti biasa. Sementara kendaraan (bus dan lain-lain) dan
kereta api ada yang sudah berjalan kembali, walapun hanya trayek-trayek yang pendek.
(Pada waktu Komisi Perlemen berada di Kutaraja dan Sigli jalannya kereta api tidak lebih
dari 20 km dari Kutaraja dan 15 km dari Sigli).

Seterusnya tentang pekerjaan jawatan-jawatan pemerintah dalam dua kabupaten tersebut


pada umumnya pekerjaan-pekerjaan rutin jawatan-jawatan lain (misalnya jawatan-
jawatan Pertanian, Penerangan, Kesehatan, Sosial, Agama) masih intact (utuh), hanya
saja belum dapat berjalan sebagai mestinya. Dan keadaan makanan rakyat di Kabupaten
Aceh Besar dan Aceh Pidie pada umumnya adalah mencukupi.126

125
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 324.
126
Bagian Dokumentasi, Sekitar Peristiwa Daud Beureueh, Vol III, (Jakarta: Kronik
Kementerian Penerangan, t.t., Jilid III), h. 57.
61

Hasil peninjauan yang dikemukakan oleh anggota komisi DPR yang

meninjau langsung keadaan di Aceh, mendapat antusias dari wakil-wakil rakyat.

Maka disarankan kepada pemerintah dalam upaya penyelesaian keamanan perlu

ditempuh prinsip-prinsip yang tidak berat sebelah, seperti halnya dalam

pengangkatan pamong praja, hendaklah dari kelompok yang netral.

Namun saran-saran dari anggota komisi perlemen yang telah meninjau ke

Aceh, sekali lagi memperlihatkan betapa susahnya melunakkan hati pemerintah

dan tetap pada pendirian masing-masing tentang cara penyelesaian keamanan di

Aceh, khususnya masalah terhadap pemberontakan yang dilakukan oleh Tgk. M.

Daud Beureueh. Pemerintah dalam hal ini P.M. Ali Sastroamidjojo menegaskan di

dalam sidang perlemen bahwa setiap pemberontakan atau pengacau harus

diberantas dengan senjata pula.127

Pada bulan September 1954 munculah sebuah surat terbuka dari Hasan

Muhammad Tiro128 dari New York yang ditujukan kepada Perdana Menteri Ali

Sastroamidjojo. Surat tersebut berisikan meminta agar kabinet Ali menghentikan

agresi terhadap rakyat Aceh, rakyat Jawa Barat, rakyat Jawa Tengah, rakyat

Sulewesi Selatan, Sulewesi Tengah dan rakyat Kalimantan. Hasan Tiro meminta

agar P.M. Ali Sastroamidjojo membebaskan semua tahanan di Aceh, Sumatera

127
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 326.
128
Hasan Tiro dilahirkan dari pasangan Tgk. Muhammad, seorang alim di desa Tanjong
Bungong (Pidie) dengan Tgk. Fatimah binti Tgk. Mahyuddin bin Tgk. Chik Di Tiro Muhammad
Saman. Hasan Tiro lahir sekitar tahun 1925. Semenjak kecil Hasan Tiro diasuh oleh ibu dan
pamannya Tgk. Umar Tiro (1904-1980). Hasan Tiro menyelesaikan pendidikan dasarnya di
Madrasah Sa‟adah Al-Abadiyah di Sigli dan melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Normal
Islam, setalah menyelesaikan pendidikannya ia merantau ke Jogyakarta untuk melanjutnya
studinya di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Pada tahun 1950, Hasan Tiro
mendapatkan beasiswa Colombo Plan dari pemerintah untuk melanjutkan pendidikannya ke
Amerika Serikat. Selama berada di Amerika Serikat, Hasan Tiro bekerja pada staf bagian
Penerangan Perwakilan tetap RI di PBB New York hingga September 1954. Di kemudian hari
Hasan Tiro mendirikan gerakan pemberontakan dengan menamai Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
di Pidie, Aceh Besar. Lihat, M. Isa Sulaiman, Aceh Merdeka: Ideologi, Kepemimpinan dan
Gerakan, (Pustaka Al-Kausar: Jakarta, 2000), h. 12.
62

Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulewesi Selatan, Kalimantan dan Maluku.

Juga meminta agar Kabinet P.M Ali Sastroamidjojo berunding dengan Tgk. M.

Daud Beureueh, S.M. Kartosuwiryo, Abdul Kahar Muzakkar dan Ibnu Hajar.129

Jika sampai batas waktu tanggal 20 September 1954 pemerintah tidak

menghentikan agresi itu dan tidak melakukan perundingan dengan pemimpin

pemberontak, maka Hasan Tiro mengancam130 akan membuka dengan resmi

perwakilan diplomatik bagi Republik Islam Indonesia di seluruh dunia, termasuk

PBB (Persatuan Bangsa Bangsa), Benua Amerika, Eropa, Asia dan seluruh

negara-negara Islam.131

Ancaman Hasan Tiro tidak diterima oleh P.M. Ali Sastroamidjojo, melalui

kedutaan Indonesia di Amerika Serikat, Hasan Tiro diberi kesempatan untuk

pulang ke Indonesia sampai tanggal 22 September 1945. Jika Hasan Tiro berkeras

kepala, maka paspornya akan dianggap tidak berlaku dan akan menyebabkan

Hasan Tiro dapat diusir oleh imigrasi Amerika Serikat.132 Pada tanggal 27

September 1954 paspor diplomatik Hasan Tiro dicabut oleh P.M. Ali

129
Ali Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 458.
130
Isi ancaman yang dikemukakan oleh Hasan Tiro kepada P.M Ali Sastromidjojo, ialah
sebagai berikut, (a) Kami akan membuka dengan resmi perwakilan diplomatik bagi Republik
Islam Indonesia di seluruh dunia, termasuk PBB, Benua Amerika, Eropa, Asia, dan seluruh
negara-negara Islam, (b) Kami akan memajukan kepada General Assembly PBB yang akan datang
kekejaman, pembubuhan, penganiayaan, dan lain-lain pelanggaran terhadap Hukum Rights yang
telah dilakukan oleh regime Komunist-Fasist tuan terhadap rakyat Aceh, (c) Kami akan menuntut
rezim tuan dimuka PBB atas kejahatan genocide yang sedang tuan lakukan terhadap suku bangsa
Aceh, (d) Kami akan membawa kehadapan mata seluruh dunia Islam, kekejaman-kekejaman yang
telah dilakukan oleh rezim Tuan terhadap para alim ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Sulewesi Selatan, Sulewesi Tengah dan Kalimantan, (e) Kami akan mengusahakan pengakuan
dunia internasional terhadap Republik Islam Indonesia,yang sekarang de facto menguasai Aceh,
sebagian Jawa Barat, dan Jawa Tengah, Sulewesi Selatan, dan Tengah, dan sebagian Kalimantan,
(f) Kami akan mengusahakan pemboikotan diplomatik dan ekonomi internasional terhadap rezim
Tuan dan ekonomi dari PBB, Amerika Serikat, dan Colombo Plan, (7) Kami akan mengusahakan
bantuan moral dan materil buat Republik Islam Indonesia dalam perjuangannya menghapuskan
rezim-teror Tuan dari Indonesia. Lihat, “Di New York Didirikan, Rep Islam Indonesia”, Peristiwa,
7 September 1954.
131
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 328.
132
“Hasan Tiro Diberi Waktu Sampai 22 Sept Untuk Pulang Ke Indonesia”, Antara, 17
September 1954.
63

Sastroamidjojo melalui perwakilan imigrasi Amerika Serikat yang mengakibatkan

penangkapan atas dirinya. Namun Hasan Tiro dibebaskan kembali setelah

membayar denda sebesar US$ 500. Melalui New York Times Hasan Tiro

menyampaikan sebuah laporan tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)

oleh rezim Ali Sastroamidjojo di Indonesia.133

Pemerintah Indonesia tidak mampu menghentikan Muhammad Hasan Tiro,

atau memintanya diekstradisikan dari Amerika Serikat, dengan demikian Hasan

Tiro sangat leluasa melanjutkan kampanye propagandanya di New York.

E. Kebijakan Kabinet Dalam Penyelesaian Konflik Darul Islam Aceh

Dalam upaya penyelesaian keamanan di Aceh, pemerintah pusat sejak

awal telah memperlihatkan sikap yang sangat tegas kepada pihak pemberontak.

Pemerintah telah menyatakan seluruh Aceh menjadi daerah Militaire Bijstand

(Daerah Berbantuan Perang), dengan begitu pemerintah mengirim sebanyak 4

batalyon tentara dan 13 batalyon mobrig dikirim ke Aceh guna menyelesaikan

keamanan. Di samping itu untuk mempertahankan operasi-operasi militer,

pemerintah juga mengirimkan Angkatan Udara Republik Indonesai (AURI) untuk

melancarkan serangan melalui udara.

Selain upaya militer yang dilakukan oleh pemerintah guna mengembalikan

keamanan di Aceh, pemerintah juga menggunakan cara lain seperti penangkapan

terhadap beberapa orang yang dicurigai terlibat dalam pemberontakan Daud

Beureueh, di antaranya penangkapan terhadap saudara Ali Hasjmy, Syeh

Marhaban, dan Nyak Neh Rica.134 Sejalan dengan itu Kepala Staf Angkatan Darat

(KSAD) Kolonel Bambang Sugeng menyatakan dengan tegas terkait langkah


133
C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, h. 302.
134
Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h.
69.
64

pemulihan keamanan Aceh harus diambil tindakan secara militer dalam merebut

kembali daerah yang dikuasai oleh pihak pemberontak.135 Berlainan dengan

Panglima Tentara dan Teritorium I (TT-I) Kolonel Simbolon yang menyatakan

dengan tegas bahwa tidak mungkin menyelesaikan masalah Aceh dengan hanya

kekerasan senjata dan menyarankan kepada atasannya jangan melakukan tindakan

Staat van Oorlog en Beleg (Keadaan Darurat Perang).136

Gubernur Sumatera Utara S.M. Amin memberi keterangan terkait

penyelesaian keamanan di Aceh. Menurut Amin dalam harian Sin Po, Ia

menjelaskan secara tegas bahwa “…Untuk mengakhiri pemberontakan PUSA,

harus diminta Militaire Bijstand (bantuan militer). Dan apakah untuk seluruh

Aceh perlu diumumkan SOB, tergantung daripada kebutuhannya…”137 Meskipun

demikian, Gubernur Amin tidak berpendapat bahwa hanya secara militer keadaan

di Aceh dapat diatasi. Dalam keterangannya lebih lanjut Gubernur Amin

menjelaskan “…Inisiatif dari organisasi, partai, atau perseorangan yang dengan

tulus mau menggunakan pengaruhnya guna pemulihan keadaan normal di aceh,

akan disambut dengan terbuka…”138

Kebijaksanaan lain yang akan diambil oleh pemerintah dalam upaya

penyelesaian kasus Darul Islam Aceh dengan pemberian bantuan 2.000.000 rupiah

untuk rencana pembangunan di antaranya pembangunan jalan, irigasi, listrik dan

135
“KSAD Bersikap Tegas: Pemberontakan Atjeh Harus Ditindas Setjara Militer”, Sin
Po, 2 Oktober 1953.
136
“Kol. Simbolon Berterus Terang di Djakarta: Djangan Pakai Kekerasan Sendjata Sadja
Terhadap Pemberontak dan Djuga Djangan Umumkan SOB”, Bintang Timur, 17 November 1953.
137
“Gupernur Amin: Militaire Bijstand Harus Diminta Untuk Mengachiri Pemberontakan
PUSA”, Sin Po, 10 Oktober 1953.
138
“Gupernur Amin: Militaire Bijstand Harus Diminta Untuk Mengachiri Pemberontakan
PUSA”, Sin Po, 10 Oktober 1953.
65

pendidikan. Rencana ini akan dilakukan oleh Wakil P.M. Wongsonegoro dalam

waktu enam bulan setelah pemulihan keamanan.139

Di sisi lain kebijaksanaan yang diterapkan oleh P.M. Ali Sastroamidjojo

dalam operasi pemulihan keamanan di Aceh dikritik oleh sebagian anggota

parlemen di antaranya Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia. Kekejaman

yang diinstruksikan P.M. Ali Sastroamidjojo dan perlakuan semena-mena yang

dilakukan oleh unit-unit militer menjadi bahan kritikan mereka. Beberapa surat

kabar terbitan Medan dan Jakarta juga mengkritik sejumlah kebijaksanaan

pemerintah.140

Kebijaksanaan yang ditempuh kabinet Ali Sastroamidjojo dengan

pengiriman tentara atau mobrig secara besar-besaran ke Aceh dapat diselesaikan

dengan cepat pada akhir tahun 1953 atau paling lambat pada Maret 1954, akan

tetapi keyakinan P.M Ali Sastroamidjojo terkait pemulihan keamanan di Aceh

meleset sampai jatuhnya kabinet Ali Sastromidjojo pada tahun 1955 upaya

pemulihan keamanan di Aceh belum dapat dipulihkan.

Jatuhnya kabinet Ali Sastroamidjojo yang digantikan oleh Kabinet

Burhanuddin Harahap dari partai Masyumi memberi warna tersendiri terhadap

politik pada tingkat nasional. Proses yang ditempuh kabinet Burhanuddin Harahap

terhadap upaya penyelesain keamanan di Aceh lebih lunak dibandingkan dengan

kabinet Ali Sastroamidjojo. Beberapa tindakan yang dilakukan oleh kabinet

Burhanuddin Harahap seperti, melakukan kontak dengan pihak Darul Islam Aceh

pada tahun 1955. Upaya penyelesaian keamanan seperti ini mendapat dukung dari

139
Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h.
71.
140
Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h.
71.
66

Muhammad Hatta dan Z.A Lubis untuk melakukan perundingan kepada pihak

pemberontak dalam upaya penyelesaian konflik Darul Islam.

Burhanuddin Harahap juga menyesalkan tindakan pemulihan keamanan

yang diterapkan pada masa kabinet yang lalu dengan menggunakan kekerasan dan

tidak mngindahkan fikiran-fikiran dari pemimpin-pemimpin suku Aceh sendiri,

hal inilah yang menurut Burhanuddin penyelesaian keamanan susah ditempuh.

Maka dalam hal ini kabinet Burhanuddin berpendapat, dalam menghadapi

pemberontakan di Aceh, sudah tiba waktunya untuk mengambil langkah damai,

dan harus benar-benar dilakukan dari hati, dengan tidak mempunyai maksud yang

lain.141

Dalam proses upaya penyelesaian kemananan di Aceh. Kabinet

Burhanuddin mengirim dua utusan atau kurir yang bernama Hasballah Daud142

(anaknya Tgk. M. Daud Beureueh) dan Abdullah Arif pada tanggal 5 Juli 1955

untuk mengadakan pertemuan guna membicarakan kemungkinan untuk diadakan

sebuah perundingan. Di samping itu pihak Darul Islam Aceh menghargai niat dan

usaha yang dilakukan pemerintah dalam pengembalian keamanan di Aceh.

Pembicaraan kedua belah pihak memberikan harapan, pada akhir bulan

September P.M. Burhanuddin Harahap secara resmi memberitahukan Gubernur

S.M. Amin tentang maksud pemerintah untuk berunding dengan Daud Beureueh.

Gubernur S.M Amin memulai kembali komunikasi dengan pemimpin-pemimpin

141
A.H. Gelanggang, Rahasia Pemberontakan Aceh, h. 185.
142
Keberangkatan Hasballah Daud pergi menjumpai orang tuanya untuk menyampaikan
konsepsi dari Wakil Presiden Mohammad Hatta yang menyerukan agar pihak Darul Islam Aceh
mengakhiri pemberontakan dan pemerintah akan berjanji untuk memberikan ampunan umum
(amnesty). Lihat A.H. Gelanggang, Rahasia Pemberontakan Aceh, h. 175.
67

Darul Islam dengan menyurati pemimpin-pemimpin Darul Islam guna

membicarakan prosedur pemulihan keamanan.143

Surat yang dikirim oleh S.M. Amin mendapat tanggapan dari pihak

pemimpin Darul Islam. Pada tanggal 14 November 1955 dalam surat yang di

tanda tangani oleh Hasan Ali, pihak Darul Islam Aceh menyatakan 3 butir sikap

dan 3 butir tuntutan. Pihak pemberontak sependapat mengakhiri pemberontakan

melalui perundingan dengan ketentuan diadakan genjatan senjata terlebih dahulu.

Mengenai tempat pertemuan mereka usulkan Montasiek di Aceh Besar atau

Keumala Pidie.144 Pihak pemberontak menginginkan perundingan secara terbuka

atau resmi dan pihak Darul Islam menginginkan daerah Aceh menjadi bagian dari

negara Islam.145

Perdana Menteri menolak tuntutan perundingan yang dimintakan oleh Darul

Islam, sebab salah satu poin tuntutan Darul Islam sangat berat dikabulkan. Di sisi

lain Perdana Menteri sangat berkepentingan terhadap Aceh. Karena daerah Aceh

merupakan daerah pemilihan paling banyak pendukung Masyumi. 146 Penolakan

terhadap syarat perundingan antara kabinet Burhanuddin Harahap dengan pihak

Darul Islam Aceh menyebabkan kekecewaan, sehingga suasana pemberontakan

semakin meningkat, dan serangan terhadap tentara dan mobrig gencar dilakukan

oleh pihak pemberontakan.

Masa kabinet Burhanuddin yang cukup singkat menyebabkan agenda

kabinet lebih banyak tersita dalam hal pemilihan umum, demikian juga

berakhirnya masa Gubernur Sumatera Utara Mr. S.M. Amin pada 28 Februari dan

143
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 351.
144
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 352.
145
Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h.
75.
146
Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h. 77.
68

digantikan oleh Komala Pontas, persoalan pemulihan keamanan di Aceh masih

tetap menjadi problem yang susah untuk diselesaikan.147

147
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1997), h. 352.
BAB III

BIOGRAFI ALI HASJMY SELAYANG PANDANG

A. Riwayat Hidup Ali Hasjmy

Nama aslinya adalah Muhammad Ali bin Hasyim 148, namun lebih dikenal

dengan Ali Hasjmy. Ia dilahirkan pada 28 Maret 1914, di Desa Lampaseh

Kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar. Ali Hasjmy lahir dari pasangan

Teungku Hasjim (1880-1984)149 dan Njak Buleuen. Namun sebelum kelahiran Ali

Hasjmy, pasangan suami istri (Teungku Hasjim-Nyak Buleuen) sudah mempunyai

seorang anak perempuan, namun meninggal dunia ketika masih bayi.150 Pada usia

4 tahun, Nyak Buleuen meninggal dunia ketika melahirkan adiknya. Setelah

ibundanya meninggal dunia, Ali Hasjmy dibesarkan oleh neneknya yang bernama

Nyak Puteh sebagai pengganti ibunya.

Ayahnya, Teungku Hasyim merupakan seorang pedagang, ia juga aktif

sebagai ulama dan da‟i di kampungnya Montasiek, Aceh Besar. Ketika

berakhirnya perang Aceh dengan kolonial Belanda, Teungku Hasyim diangkat

menjadi pimpinan Badan Baitul Mal oleh Teungku Panglima Polem di

Seulimeum. Lima tahun selepas ibunda Ali Hasjmy meninggal dunia, Teungku

Hasyim menikah lagi dengan Syarifah. Pernikahan Teungku Hasyim dengan

Syarifah melahirkan tujuh orang anak.151 Sebagai anak seorang ulama, pedagang

dan pejuang dalam melawan penjajahan Belanda, semua mereka berpendidikan

148
H.A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, (Jakarta: Penerbit Socialia, 1978), h.
3.
149
Teungku Hasjim mempunyai 2 orang Istri. Istri pertama mempunyai 3 orang anak di
antaranya Zuriah, Ali Hasjmy, Inong Agam. Sementara Istri kedua mempunyai 7 orang anak. Lihat
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 4.
150
H.A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 3.
151
Dari hasil pernikahannya dengan Syarifah, Teungku Hasyim dikarunia 7 orang putra-
puteri, di antaranya: Ainal Mardhiah, Rohana, Syahbuddin, Asnawi, Fachri, Nurwani, dan
Fachmy. Dengan demikian, A. Hasjmy mempunyai tujuh saudara seayah (lain ibu). Lihat,
A.Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 4.

69
70

yang cukup. Ainal Mardhiah dan Ruhana berpendidikan Sekolah Menengah

Islam; Syahbuddin berpendidikan Sekolah Menengah Ekonomi Atas; Asnawi dan

Fachmy menempuh pendidikan hingga memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H);

Fachri menempuh pendidikan sampai Sarjana Teknik (S.T) dan Nurwani

berpendidikan Sekolah Rakyat Islam (SRI).152 Hal ini tidak terlepas dari kuatnya

tanggung jawab Teungku Hasyim terhadap pendidikan anak-anaknya.

Selepas Ali Hasjmy menamatkan pendidikan di Padang, ia kembali ke Aceh

untuk mengajar di Perguruan Islam Seulimeum. Dalam kesibukannya mengajar,

pada 21 hari bulan Rajab 1360 H, bertepatan dengan tarikh 14 Ogos 1940, Ali

Hasjmy melangsungkan pernikahan dengan Zuriah Aziz, seorang perempuan yang

masih mempunyai pertalian keluarga.153 Pernikahan dari pasangan Ali Hasjmy

dan Zuriah melahirkan tujuh orang anak yaitu:154

1. Mahdi A. Hasjmy, lahir 15 Desember 1942, ia memperoleh gelar

Sarjana Ekonomi dari Depatement of Commerce Hitotsubasi University

Tokyo.

2. Surya A. Hasjmy, lahir 11 Februari 1945, ia memperoleh gelar Sarjana

Teknik dari Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

3. Dharma A. Hasjmy lahir 9 Juni 1947, ia memperoleh gelar Sarjana

Teknik dari Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada.

152
H.A.Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 3-4.
153
Zuriah Hasjmy,“Suka Dukanya Bersuami Seorang Pejuang”, dalam Badruzzaman
Ismail, ed., A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan: Delapan Puluh Tahun Melalui
Jalan Raya Dunia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 11.
154
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 6-7. Lihat
juga, H.A.Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 4.
71

4. Gunawan A. Hasjmy lahir 5 September 1949, ia meninggal dunia ketika

masih bayi (12 September 1949). Meninggal dunia karena sakit infeksi

tali pusat.

5. Mulya A. Hasjmy lahir 23 Mach 1951, ia memperoleh gelar Dokter dari

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.

6. Dahlia A. Hasjmy lahir 14 Mei 1953. Pernah belajar (tidak tamat) pada

Jabatan Bahasa Inggris Fakultas Keguruan Universitas Syiah Kuala.

7. Kamal A. Hasjmy lahir 21 Jun 1955, ia memperoleh gelar Sarjana

Ekonomi dari fakultas Ekonomi Universitas Jayabaya.

Ali Hasjmy dan Zuriah Aziz termasuk orang tua yang telah berhasil dalam

mendidik anak-anaknya melalui jalur pendidikan sekolah formal hingga ke tinggat

perguruan tinggi dalam bidang yang berbeda-beda sesuai minat mereka masing-

masing.155 Namun tak ada satu pun di antara anak-anaknya yang mengikuti jejak

A. Hasjmy dalam bidang sosial keagamaan dan terlibat langsung dalam kehidupan

politik.

B. Riwayat Intelektual Ali Hasjmy

Ali Hasjmy tumbuh dalam lingkungan religius yang sangat baik.

Pendidikan pertama yang diterima oleh Ali Hasjmy adalah dari neneknya Njak

Puteh (w. 1953 di Medan) pengganti ibunya. Selain neneknya Nyak Puteh, Ali

Hasjmy juga dibesarkan dan mendapat didikan dari ayahnya Teungku Hasyim dan

kakeknya Pang Abbas. Merekalah yang mewarnai sisi kehidupan serta membuka

cakrawala pemikirannya.

155
Hasan Basri, Teungku A. Hasjmy: Pengembang Tradisi Keilmuan dan Perekat Ulama-
Umara,” dalam Ensklopedi Pemikiran Ulama Aceh, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004), h. 467-
468.
72

Di bawah bimbingan neneknya Njak Puteh, A. Hasjmy belajar membaca

huruf Arab, dengan perantaraan buku pelajaran pertama yang terkenal di Aceh

pada masa itu “Qur‟an Cut” atau Juz ‘Amma. Mengenai Njak Puteh, Ali Hasjmy

berkomentar bahwa “…Beliau yang menjadi guru saya pertama, beliau pertama

sekali mengajarkan Surah Al- Alaq, dengan mengajarkan kami menghafalkannya

dan diberi arti dan tafsirnya. Surah Al Alaq ini, kemudian sangat mempengaruhi

kehidupan ilmiyah saya…”156 Selain itu Njak Puteh juga mengajarinya pelajaran

dasar agama Islam, berupa rukun Iman, rukun Islam, doa, tata cara shalat lima

waktu dan sejarah Islam, seperti sejarah hidup Nabi Muhummad dan sejarah para

sahabat. Sejarah-sejarah ini diajarkan dalam bentuk hikayat secara puitis, seperti

Hikayat Muhammad Aneuk Abdullah, Hikayat Sahabat Peuet, Hikayat Hasan-

Husen, dan Hikayat Prang Bada.157

Di samping mengajarkan pelajaran agama, neneknya juga menceritakan

sejarah peristiwa peperangan dalam melawan kolonial Belanda di Aceh. Dari

neneknya ini, Ali Hasjmy banyak menyerap informasi tentang sejarah perang

kolonial di Aceh. Dari cerita yang diserap sejak kecil ini kemudian mempengaruhi

kepribadiannya dan pemikirannya di kemudian hari.

Pendidikan formal pertama yang diterima oleh Ali Hasjmy adalah Sekolah

Rakyat (Volkschool) di Lampaseh pada tahun 1921. Di sekolah tersebut menurut

keterangan Ali Hasjmy, tenaga pengajar kebanyakan bukan dari Aceh, akan tetapi

mereka berasal dari Mandailing (Tapanuli Selatan) dan dari Minangkabau.158

156
Pengaruh Surat Al Alaq Dalam Kehidupan Ilmiyah A. Hasjmy, (Perpustakaan dan
Musem Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy, pada tanggal 15 Januari 1991), h. 2.
157
Hikayat-hikayat ini berkembang secara lisan dan turun temurun di kalangan
masyarakat Aceh masa lalu. Lihat juga A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh
Jalan Pergolakan, h. 33.
158
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 37.
73

Kemudian, Ali Hasjmy melanjutkan ke sekolah Gouvernement Inlandsche School

(Sekolah Rendah Tinggi) di Montasik. Setelah tamat dari Gouvernement

Inlandsche School, Ali Hasjmy melanjutkan belajar di Dayah159 Montasiek,

kemudian pindah ke Dayah Keunaloe di Seulimeum. Pimpinan Dayah tersebut

seorang ulama muda yang berwawasan luas, namanya Teuku Abdul Wahab.160

Pada tahun 1931 Ali Hasjmy melanjutkan sekolah ke Madrasah Thawalib

tingkat Tsanawiyah di Padang Panjang (Sekolah Menengah Islam Pertama).

Madrasah ini mempunyai dua tingkat pendidikan, pertama tingkat Ibtidaiyah

(Tingkat Dasar) dan tingkat Sanawiyah (Tingkat Menengah/Lanjutan) pelajar

yang diterima adalah lulusan Ibtidayah atau dari dayah. Di Madrasah Thawalib

Padang Panjang Ali Hasjmy menyelesaikan belajarnya tahun 1935.161

Setelah menyelesaikan pendidikan tahap Tsanawiyah di Sumatera Barat, Ali

Hasjmy kembali ke Aceh dan diangkat menjadi guru di Perguruan Islam

Seulimeum. Di bawah bimbingan Teungku Abdul Wahab Seulimeum,162 Ali

Hasjmy bersama rekannya Muhammad Ali Ibrahim yang telah pulang lebih dulu

selapas belajar dari Sumatera Barat, menyempurnakan sistem pendidikan Islam di

perguruan tersebut.163 Perguruan ini juga diisi oleh beberapa tokoh lainnya yang

kemudian memiliki peran besar dalam revolusi sosial berikutnya di Aceh. Selain

159
Dayah adalah pendidikan tradisional Islam yang berada di Aceh
160
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 41.
161
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 48. Lihat
juga, H.A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 7.
162
Teungku Abdul Wahab Seulimeum seorang ulama Aceh yang terkenal yang berasal
dari Seulimeum Aceh Besar. Ia lahir pada tahun 1898. Pendidikan pertamanya di sekolah Belanda
Governement Inlandscheschool di Seulimeum. Selain sebagai tokoh ulama, Teungku Abdul
Wahab Seulimeum juga merupakan tokoh pendidik. Melalui cita citanya, Teungku Abdul Wahab
Seulimeum berhasil mendirikan sebuah dayah yang diberi nama “Madrasah Najdiyah”, di
kemudian hari berubah namanya menjadi Perguruan Islam Seulimeum. Teungku Abdul Wahab
Seulimeum juga dikenal sebagai pengusaha, pengacara dan juga sebagai pemimpin. Lebih jelas
lihat, A. Hasjmy, Ulama Aceh Mujahid Kemerdekaan dan Pembangun Tamadun Bangsa, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1997), h. 91-95.
163
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 53.
74

Ali Hasjmy dan Muhammad Ali Ibrahim, perguruan Seulimeum mempunyai dua

tokoh progresif sebagai tenaga pengajar, yaitu Said Abu Bakar (tamatan Madrasah

Thawalib, Padang Panjang, dan Al Jami‟ah Al Islamiyah, Padang), dan Ahmad

Abdullah (tamatan sekolah Normal Islam, Padang).164

Perguruan Islam Seulimeum yang dibina oleh Ali Hasjmy bersama teman-

temannya mengalami kemajuan yang sangat pesat. Sistem pendidikannya seperti

kurikulum pembelajaran hampir sama dengan Madrasah Thawalib Padang

Panjang dan Perguruan Muslim Bukittinggi. Dengan usaha yang sungguh-

sungguh, Perguruan Islam Seulimeum menjelma menjadi salah satu perguruan

agama yang berbobot dan terkenal di tanah Aceh, yang pelajarnya datang dari

seluruh Aceh.165

Ketika Perguran Islam Seulimeum berjalan baik dengan kurikulum baru,

Pada tahun 1938 A. Hasjmy bersama Said Abu Bakar berangkat ke Padang untuk

melanjutkan pendidikan pada Al-Jami‟ah al-Islamiyyah jurusan Adab al-Lughah

wa Tarikh al-Islamiyyah (Perguruan Tinggi Islam jurusan Sastra dan Kebudayaan

Islam) yang dipimpin oleh Uztadz Mahmud Yunus, Alumnus al-Ulum Kairo. Al-

Jami‟ah al-Islamiyyah ini setingkat “Akademi” yang masa belajarnya selama

empat tahun.166

Tahun pertama Ali Hasjmy belajar di Al Jami‟ah Al Islamiyah, merupakan

tahun percobaan yang berat baginya. Kesulitan ekonomi melanda dirinya. Dalam

otobiografinya itu, Ali Hasjmy menceritakan bagaimana ia keluar dari kesulitan

tersebut dengan menulis dua karangan, pertama karangannya yang berjudul

Dewan Sajak dan Melalui Jalan Raya Dunia, setelah itu Ali Hasjmy menulis juga
164
A. Hasjmy, Ulama Aceh Mujahid, h. 93.
165
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 53.
166
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 53.
75

novel yang berjudul Suara Azan dan Lonceng Gereja167 yang diterbitkan oleh

N.V. Syarikat Tapanuli tahun 1940. Dari sejak itu ia lebih rajin menulis walaupun

dalam catatan sejarah hidupnya Ali Hasjmy mulai menulis sejak tahun 1935

ketika menjadi guru di Seulimeum. Dalam mengarang Ali Hasjmy sering

menggunakan nama samaran168 karena beberapa tulisannya dianggap

membahayakan bagi pihak kolonial Belanda.

Pendidikan yang ditempuh di Al-Jamiah Al-Islamiyah tidak selesai sampai

empat tahun, kerana situasi ketika itu kekuasaan Belanda telah jatuh ke tangan

tangan Nazi Jerman. Dalam suasana demikian Ali Hasjmy dan sejumlah pelajar

Aceh lainnya kembali ke Aceh dengan niat semangat perjuangan untuk merebut

kemerdekaan Indonesia. Pada saat yang bersamaan di Aceh telah didirikan sebuah

organisasi agama non politik yang dinamakan Persatuan Ulama Seluruh Aceh

(PUSA).169 Organisasi ini kemudian memobilisasi rakyat untuk berjuang berebut

kemerdekaan. Selepas dari belajar di Al-Jamiah Al-Islamiyah dalam waktu yang

singkat, Ali Hasjmy kembali mengajar pada Perguruan Islam Seulimeum,

kemudian diangkat menjadi Kepala Sekolah pada tahun 1939-1942.170

Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1950-an, Ali Hasjmy pernah

mengikuti kuliah pada Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan

167
Dalam menyelesaikan Novel Suara Azan dan Lonceng Gereja, Ali Hasjmy
membutuhkan waktu selama 4 bulan. Setiap minggu Ali Hasjmy hadir di gereja dan bergaul
selama berbulan-bulan di gereja Katolik Padang untuk menemukan ide. Setelah menyelesaikan
novel tersebut Ali Hasjmy tidak pernah datang lagi kegereja. Novel ini mengisahkan percintaan
seorang gadis Katolik dengan pemuda Islam.
168
Dalam tahun 30-an dan 40-an Ali Hasjmy sering menggunakan nama samaran sebagai
penulis puisi dan cerita pendek (cerpen), dia antara nama samarannya yaitu, Al Hariry, Aria
Hadiningsun dan Asmara Hakiki. Lihat A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh
Jalan Pergolakan, h. 237. Lihat juga “Peringatan 70 Tahun Prof. A. Hasjmy: Belajarlah Sekali
Pun di Sekolah Kafir,” Harian Umum, 30 Maret 1984.
169
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 81.
170
H.A.Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 11.
76

tahun 1951-1953.171 Tampaknya di universitas itu, Ali Hasjmy tidak sempat

menyelesaikan studinya karena terjadinya pergolakan di Aceh.

Pada tahun 1968, Ali Hasjmy menduduki jabatan Dekan pada Fakultas

Dakwah/Publistik IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Selama Ali Hasjmy menjadi

Dekan Fakultas Dakwah/Publistik, ia telah berhasil mencetak sarjana-sarjana yang

militant.172 Puncak karir intelektual Ali Hasjmy ditandai ketika Ali Hasjmy di

kukuhkan menjadi Guru Besar (Professor) dalam Ilmu Dakwah pada Fakultas

IAIN Ar-Raniry pada tanggal 20 Mei 1976.173 Keputusan tersebut diperkuat

dengan hasil keputusan rapat Senat dengan ketetapan tanggal 7 April 1975 No.

390/AR/B-11/3/7 dan Surat Keputusan (SK) Menteri Agama tanggal 11 Maret

1976 No. B-l 1/3/7-d/1386, telah menetapkan mengangkat Bapak H. Aly Hasjmy

sebagai Guru Besar Luar Biasa (Professor) dalam Ilmu Dakwah pada Fakultas

Dakwah.174 Dalam perjalanan karirnya, Ilmu Dakwah tidak hanya ia tekuni

sebagai ilmu secara teoritis tetapi diaplikasikan dalam kehidupan keseharian dan

semangat dakwah pun telah menyatu dalam dirinya.

C. Karya –Karya Tulis dan Penghargaan A. Hasjmy

1. Karya-Karya Tulis Ali Hasjmy

Ali Hasjmy merupakan tokoh ulama intelektual yang sangat produktif

dalam menulis dan berkaya. Karya-karyanya meliputi banyak kajian atau bidang

ilmu, di antaranya sejarah, kebudayaan, agama, politik, pendidikan, akhlak,

171
A Rahim Abdullah, “A Hasjmy Tokoh Besar Dalam Kenangan,” GAPENA, 20 Januari
1998, h. 24. Lihat juga, “Tasyakkuran 70 Tahun Ulama dan Sastrawan A. Hasjmy,” Berita Buana,
30 Maret 1984. Lihat juga, Badruzzaman Ismail, ed., A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini dan
Masa Depan, h. 411.
172
H.A.Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 93
173
“A. Hasjmy Diangkat Menjadi Professor Ilmu Dakwah”, Harian Duta, 16 April 1976.
Lihat juga A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 94.
174
“A. Hasjmy Diangkat Menjadi Professor Ilmu Dakwah”, Harian Duta, 16 April 1976.
Lihat juga A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy , h. 95.
77

dakwah, dan sastra. Ali Hasjmy selain menulis buku-buku yang bersifat ilmiah,

juga mengarang buku-buku ringan seperti novel dan roman. Dalam catatan sejarah

hidupnya, ia mulai menulis sejak tahun 1935 ketika ia menjadi guru di

Seulimeum, karya tulisnya yang pertama adalah kumpulan syair, dengan judul

Kisah Seorang Pengembara. Menurutnya dalam harian Kompas, “…Menulis bagi

saya, adalah dakwah dan jihat…”175

Ketika memasuki usia senja naluri menulisnya terus hidup, bahkan ketika

terbaring di rumah sakit tahun 1992, ia tetap menulis seperti yang dikisahkan

Robby Tandiari, dokter yang merawat Ali Hasjmy, selama dalam ruang perawatan

dia tetap menulis kadang-kadang sampai larut malam. Hasil tulisanya adalah

sajak-sajak yang kemudian diberi judul Malam-Malam Sepi di RS MMC.176 Dari

karya tulis yang dihasilkan oleh Ali Hasjmy hampir semuanya sarat dengan

dakwah dan semangat perjuangan. Karya-karyanya banyak termuat dalam bentuk

buku, lembar kerja, roman dan lain sebagainya. Dalam kesempatan yang terbatas,

penulis tidak mungkin untuk meninjau semua isi dari tulisan Ali Hasjmy, untuk

itu penulis membatasi hanya beberapa karya-karyanya. Berikut buku-buku yang

sudah diterbitkan:

 Suara Azan dan Lonceng Gereja, adalah sebuah roman yang diterbitkan

oleh Syarikat Tapanuli, Medan 1940. Buku ini kemudian dicetak ulang

oleh penerbit Bulan Bintang Jakarta tahun 1978, dan Pustaka Nasional

Singapura, 1982. Roman Suara Azan dan Lonceng Gereja merupakan

roman “propaganda”, yaitu propaganda agama Islam. Dalam roman ini

175
“Professor A. Hasjmy Menulis itu, Dakwah dan Jihat”, Kompas 20 Mei 1984, h. 1.
176
RS MMC singkatan dari Rumah Sakit Metropolitan. Lebih lanjut, lihat Robby
Tandiari, “Malam-malam Sepi di Rumah Sakit MMC,” dalam, Badruzzaman Ismail, ed., A.
Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan, h. 143.
78

disajikan suatu kontroversi antara dua agama, akan tetapi roman ini

dipastikan tidak mengandung unsur sara. Makna atau pesan yang muncul

justru terwujud dalam suatu anjuran agar siapa pun yang menganut dan

mempercayai suatu agama tertentu harus benar-benar meyakini dan

mendalami agamanya.

 Dimana Letaknya Negara Islam, diterbitkan oleh Pustaka Nasional,

Singapura 1970, dan Bina Ilmu, Surabaya 1984. Buku ini merupakan

karya Ali Hasjmy mengenai politik Islam. ditulisnya buku ini dikarenakan

beberapa sebab di antaranya, pasca kemerdekaan sebagian kelompok ingin

menjadikan negara Indonesia sacara utuh menjadi negara agama Islam.

Hal ini mendorong Ali Hasjmy menulis buku ini. Isi utama dalam buku

ini membicarakan tentang dasar-dasar negara Islam, syarat-syarat

pemimpin, khilafah, kewajiban dan hak khalifah dan umat, sistem

pembaiatan dalam Islam, dan kesetaraan hak kepemimpinan pria dan

perempuan. Unsur-unsur tata negara menurut Ali Hasjmy diharapkan

dapat menjadi bahan bagi penyempurnakan “Hukum Tata Negara”

Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.177

 Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan

Agresi Belanda, diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta 1977. Buku ini

memuat semangat untuk melawan penjajahan yang terjadi di tanah Aceh,

selain itu buku ini juga membicarakan ajaran-ajaran yang terkandung

dalam al-Quran tentang semangat jihad. Bagian terpenting dalam buku ini

177
Dalam pandangannya terhadap politik Islam A. Hasjmy sepertinya bersikap netral.
Pada sisi lain, keinginan Ali Hasjmy jelas bahwa pemerintah Indonesia sebaiknya menerapkan
sistem politik Islami dalam negara Pancasila tanpa harus merubah dasar dan bentuk negara.
79

adalah Hikayat Prang Sabi yang menjadi motivasi berperang melawan

kafir kolonialis Belanda.

 Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’an, diterbitkan oleh Bulan Bintang pada

tahun 1974 dan 1994. Buku ini dicetak sebanyak 3 kali. Buku ini mengulas

mengenai teori dakwah dalam Islam. Ali Hasjmy mengindentifikasikan

etika dakwah dengan menyebutnya sebagai norma-norma dakwah dan

akhlak dakwah dengan alasan bahwa rambu-rambu yang harus dimiliki

oleh para juru dakwah merupakan etika yang menjadi prinsip dasar dalam

merealisasikan tujuan dan esensi dakwah Islamiah.

 Iskandar Muda Meukuta Alam, diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta

1975. Buku ini berisikan tentang asal usul Iskandar Muda, silsilah raja-

raja, sistem pemerintahan masa Iskandar Muda, undang-undang yang

berlaku pada masa itu, dan kemajuan-kemajuan yang berhasil dicapai pada

masa pemerintahan Iskandar Muda. Buku ini penting karena memuat

landasan Kerajaan Aceh Darussalam seperti rumoh aceh, masjid Jami’

Baiturrahman, yang lama dan baru gunongan dan pinto khob.

 Sejarah Kebudayaan Islam, diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta 1975

dan 1993. Buku ini berisikan sejarah tamaddun (peradaban) Islam masa

lalu, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, maupun seni budaya. Buku ini

memuat kajiannya dimulai dari kebudayaan dunia sebelum Islam sampai

kepada revolusi Islam dan kemajuan peradabannya. Secara historis,

kemajuan Islam tidak terlepas dari kecintaan umat Islam kepada ilmu

pengetahuan. Maka, tidak heran umat Islam pernah menggenggam

peradaban ilmu pengetahuan dunia selama beberapa abad.


80

 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu, diterbitkan oleh

Bulan Bintang, Jakarta 1977. Buku ini menjelaskan secara umum

mengenai kepemimpinan empat orang ratu secara berturut-turut di

Kesultanan Aceh Darussalam diantaranya, Ratu Safiatuddin (1641-1675

M), Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1675-1678 M), Ratu Zakiatuddin

Inayat Syah (1678-1688), dan Ratu Kamalat Syah (1688-1699 M). Hal

penting dari buku ini dapat disimpulkan bahwa dalam perjalanan sejarah

politik Islam, Aceh sangat menjunjung tinggi hak-hak perempuan, ini

terlihat dari kepemimpinan perempuan di Aceh masa kerajaan dulu.

 Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh, di terbitkan oleh Bulan Bintang,

Jakarta 1978. Dalam buku ini termuat kutipan dan tanggapan para pakar

sejarah tentang rupa revolusi yang bergejolak di Tanah Aceh, seperti

revolusi wanita, revolusi terhadap negara Sumatera, revolusi dunia

pendidikan, revolusi kaum ulama, revolusi pemuda terhadap sisa

kekuasaan Jepang, dan revolusi bawah tanah terhadap kekuasaan Hindia

Belanda menjelang kedatangan Jepang.

 Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan

Perjuangan Kemerdekaan, diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta 1985.

Buku Semangat Merdeka buku yang paling tebal yang pernah ditulis oleh

A. Hasjmy sendiri setebal 772 halaman. Buku ini merupakan catatan atau

rekaman mengenai kejadian penting yang dialami penulis, baik yang

terlibat langsung dalam kejadian tersebut, maupun tidak langsung. Buku

ini menghimpun fakta-fakta sejarah, yang secara sosio-historis dan politisi,

telah ikut mempengaruhi kahidupan dan kepribadian Ali Hasjmy secara


81

total. Kisah perang melawan penjajahan sejak dari awal sampai Indonesia

merdeka, bahkan masa-masa sesudahnya. Buku ini banyak menceritakan

tentang kehidupan dan peranan diri penulis dalam berbagai pengalaman,

dan kisah perjuangannya, maka buku ini dapat disebut sebagai karya

autobiografi yang komprehensif.

Selain pelbagai buku tersebut banyak pula kertas kerja Ali Hasjmy dan

beberapa kertas kerja orang lain yang kemudian diedit dan dikemas menjadi buku

atau masih dalam bentuk dokumen, bahkan ada pula buku sebagai hasil karya

bersama, di antaranya seperti berikut:

 Apa sebab Belanda sewaktu agresi pertama dan kedua tidak dapat

memasuki Atjeh. Dlm. T. Alibasjah Talsya, Modal revolusi 45, Daerah

Istimewa Aceh: Seksi Penerangan/Dokumentasi Komite Musjawarah

Angkatan 45 Daerah Istimewa Aceh, 1960.

 Hasjmy, Konsepsi Ideal Darussalam Dalam 10 Tahun Darussalam dan

hari pendidikan propinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Yayasan

Pembina Darussalam, 1969.

 A. Hasjmy, Peranan Departemen Agama dalam pembinaan manusia

pancasila. Dlm. Panitia Hari Jadi ke X Jami‟ah ar-Raniry, 10 Tahun IAIN

Jami’ah Ar-Raniry, Banda Aceh: t.pt, 1973.

 A. Hasjmy, Nafas Islam dalam Kesusasteraan Aceh, dalam Panitia

Penyelenggara Musabaqah Tilawatil Qur‟an Tingkat Nasional

(PPMTQTN) ke-12, Dari Sini Ia Bersemi, Banda Aceh: Pemerintah

Daerah Istimewa Aceh, 1981.


82

 A. Hasjmy, Perdjuangan rakjat Atjeh dari zaman ke zaman. Dlm. Panitia

Penjambutan Pym. Presiden R.I dan Peresmian Universitas Sjiah Kuala

Seksi Penerangan, Bung Karno dan Rakjat Atjeh, Univesitas Sjiah Kuala:

Panitia Persiapan Pendirian Universitas Negeri Sjiah Kuala, 1961.

 A. Hasjmy, IAIN Jami‟ah Ar-Raniry wujud sebuah cita-cita umat. Dlm.

Ramly Maha et al., 15 tahun IAIN Jami’ah Ar-Raniry, Banda Aceh:

Panitia Hari Jadi ke XV IAIN Jami‟ah Ar- Raniry, 1978.

 A. Hasjmy, Kapankah kalanya, O Maha Kuasa, dalam Widjaja, 17 Ogos

1948 yang disadurkan kembali oleh Badruzzaman Ismail at al., Delapan

Puluh Tahun Melalui Jalan Raya Dunia A. Hasjmy Aset Sejarah Masa

Kini dan Masa Depan, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

 A. Hasjmy, Dengan Trikarya-utama menudju masjarakat sosialis

Indonesia. Dlm. T. Alibasjah Talsya (pnyt.), Banda Atjeh: Pemerintah

Daerah Istimewa Aceh, 1963.

 A. Hasjmy, Banda Aceh Darussalam Pusat Kegiatan Ilmu dan

Kebudayaan. Dlm. Ismail Suny at al., Bunga rampai tentang Aceh,

Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1980.

 A. Hasjmy, Pidato Pembukaan Rapat-khusus/Ramah-tamah oleh

Gubernur/ Kepala Daerah Propinsi Atjeh. Dokumen Hasil Perkundjungan

Misi Pemerintah Pusat dbp. Wk. P.m. I mr. Hardi, Kutaradja: t.pt., tgl. 25

dan 26 Mei 1959.

 A. Hasjmy, Pengaruh Surah Al-Alaq Aalam Kehidupan Ilmiyah A.

Hasjmy, Dokumen Perpustakaan dan Museum Yayasan Pendidikan Ali

Hasjmy pada 15 Januari 1991.


83

 A. Hasjmy et al., 50 Tahun Aceh membangun, Banda Aceh: MUI Aceh,

1995.

 A. Hasjmy et al. Ilmu Dakwah, Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry, 1985.

Inilah sebagian karya penting A. Hasjmy yang memuat berbagai pesan dan

kesan perjuangan, motivasi, semangat keilmuan politik dan kebudayaan. Pelbagai

karyanya yang lain seperti khutbah, surat, dan dokumen yang belum diterbitkan

masih tersimpan di Perpustakaan dan Museum Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy

Banda Aceh.

2. Penghargaan Yang Diterima Ali Hasjmy

Besarnya peranan Ali Hasjmy dalam pembangunan daerah Aceh dan

jasanya terhadap Indonesia, tentu banyak lembaga yang memberi penghargaan

atas dirimya, beberapa penghargaan178 atas dirinya di antaranya:

 Bintang Maha Putera R.I tahun 1993

 Bintang Adat Bak Po Teumerehoom Kelas I

 Bintang Istimewa Republik Arab Mesir Kelas I

 Bintang Angkatan 45

 Bintang Satya Lencana Kebaktian Sosial

 Bintang Karya Kelas I

 Bintang Masyarakat Sejarawan Indonesia

 Bintang Emas ar-Raniry

 Bintang BKKBN

 Bintang Panca Cita Kelas I

 Bintang Emas Iqra

178
Penghargaan Yang Dimiliki Prof. A. Hasjmy, (Banda Aceh: Yayasan Pendidikan A.
Hasjmy, 1998).
84

 Bintang Veteran R.I

 Bintang Perintis Kemerdekaan

D. Keterlibatan Ali Hasjmy Dalam Pergerakan Politik

Dalam harian Republika, Ali Hasjmy dilukiskan sebagai sosok pejuang

yang melakukan aktivitas perjuangan dalam tiga bidang, yaitu perjuangan fisik,

diplomasi dan birokrasi.179 Tidaklah berlebihan jika penulis menyebut tokoh Ali

Hasjmy adalah ulama multitalenta yang hidup tiga zaman; zaman penjajahan

Belanda, penjajahan Jepang dan pasca kemerdekaan. Perjuangannya ke dalam

kancah pergerakan dan organisasi didorong oleh semangat agama dan patriotisme.

Ali Hasjmy memulai perjuangannya dalam usia 20 tahun. Lebih jelasnya berikut

keterlibatan Ali Hasjmy dalam pergerakan politik nasional.

1. Ali Hasjmy Pada Masa Penjajahan Belanda

Sejak hijrah ke Padang Panjang Sumatera Barat, Ali Hasjmy memiliki

semangat yang luar biasa di dalam pergerakan. Pada usia yang terbilang muda

sekitar 20 tahun, Ali Hasjmy aktif dalam beberapa organisasi pemuda Islam.

Organisasi yang pertama yang ia masuki adalah HPII (Himpunan Pemuda Islam

Inonesia) Cabang Padang Panjang (1932-1935), ia terpilih menjadi sekretaris.

Satu tahun aktif dalam organisasi HPII (Himpunan Pemuda Islam Inonesia) Ali

Hasjmy dipilih menjadi Wakil Ketua pimpinan cabang. Dalam tahun yang sama

Ali Hasjmy aktif sebagai anggota partai politik PERMI (Persatuan Muslim

Indonesia) dan ia terlibat juga dalam PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia).180

Pada saat itu, baik PERMI maupun PSII adalah partai yang menganut sistem non

179
“Ali Hasjmy Bapak Pendidikan Aceh”, Republika, 20 November 2011.
180
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 60. Lihat
juga, H.A.Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 7.
85

koperasi terhadap pemerintah Hindia-Belanda, sehingga setiap aktivitasnya selalu

dicurigai dan diawasi oleh Belanda.

Tahun 1935, bersama sejumlah pemuda yang baru Pulang dari Padang, Ali

Hasjmy mendirikan Serikat Pemuda Islam Aceh (SPIA) dan ia menjadi salah satu

pengurus besarnya.181 Dalam waktu yang relatif cepat, Serikat Pemuda Islam

Aceh (SPIA) mengalami kemajuan, hal ini ditandai dengan berdirinya cabang di

seluruh Aceh. Dalam kongresnya yang pertama yang berlangsung di Montasiek,

Serikat Pemuda Islam Aceh (SPIA) berubah nama menjadi PERAMINDO

(Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia). Perubahan nama menjadi

PERAMINDO menjadikan gerakan ini bersifat radikal dalam menentang

penjajahan Belanda. Di dalam susunan pengurus baru Pergerakan Angkatan Muda

Islam Indonesia (PERAMINDO) tidak terdapat nama Ali Hasjmy, dikarenakan

persiapannya berangkat ke Padang untuk melanjutkan studi pada Al Jami‟ah Al

Islamiyah. Selama masa belajar di Al Jami‟ah Al Islamiyah, Ali Hasjmy aktif

dalam organisasi Persatuan Mahasiswa Al Jami‟ah Al Islamiyah (PERMAI).

Dalam organisasi ini Ali Hasjmy dipilih menjadi sekretaris periode 1939-1940.

Dalam tahun yang sama Ali Hasjmy aktif dan menjadi ketua umum dalam

organisasi PPPA (Persatuan Pemuda Pelajar Aceh) di Padang selama periode

1939-1941.

Pada masa pendudukan kolonial Belanda Ali Hasjmy juga aktif bekerja

sebagai wakil pemimpin redaksi Majalah Matahari di Padang tahun 1939-1940;

181
Susunan Pengurus Besar Serikat Pemuda Islam Aceh (SPIA) terdiri dari:
Ketua Umum : Abu Bakar, Guru Perguruan Islam Seulieum
Sekretaris Umum : Thamrin Amin,Jadam Montasiek.
Bendahara : Ali Hasjmy
Komisaris : Abdul Jalil Amin, Muhammad Ali, Suleiman Ahmad, Muhammad Ali Cotgu,
Yahya Hasyimi dan M. Arsyad.
Lihat, A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 77.
86

pembantu tetap majalah Panji Islam dan Pedoman Masyarakat sebelum Perang

Dunia Kedua.182 Majalah ini mengembangkan misi kebudayaan Islam,

pendidikan, dan kebangkitan dunia Islam. selama masa belajar, Ali Hasjmy

banyak menyerap ide-ide pembaharuan yang kelak menjadi semangat dalam

mempengaruhi sistem pendidikan di Aceh.

Sewaktu Ali Hasjmy masih belajar di Al Jami‟ah Al Islamiyah, di Aceh

telah berdiri Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pada tahun 1939 yang

dipimpin oleh Teungku M. Daud Beureuh, ia aktif dalam pergerakan PUSA dan

aktif sebagai anggota pengurus pemuda PUSA. Organisasi non politik yang juga

bergerak menentang Belanda. Ali Hasjmy juga aktif di bidang kepanduan dan

menjadi wakil kwartir kepanduan Kasysyafatul Islam (KI) Aceh Besar.183 Dalam

perang kemerdekaan Indonesia 1945, pemuda-pemuda hasil didikan Kasysyafatul

Islam ini banyak berperan sebagai tenaga pimpinan, yang kemudian menjadi

perwira dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Pada masa pendudukan Belanda, sewaktu Ali Hasjmy baru kembali dari Al

Jami‟ah Al Islamiyah Padang, ia bersama pemuda-pemuda PUSA lainnya

mencetuskan Gerakan Fajar. Gerakan ini bertujuan untuk mengadakan

182
A Rahim Abdullah, “A Hasjmy Tokoh Besar Dalam Kenangan,” GAPENA, 20 Januari
1998, h. 24.
183
Kasysyafatul Islam awalnya bernama Kepanduan Taman Siswa yang didirikan di
Bireuen pada 1934, kemudian Kepanduan Taman Siswa bergabung dengan PUSA dan berubah
namanya menjadi Kasysyafatul Islam (KI). Anggota Kasysyafatul Islam tidak terbatas pada anak
tingkat Sekolah Dasar, akan tetapi meluas sampai pada pemuda tingkat menengah atas. Susunan
pengurus K.I
Ketua : Teuku Muhammad
Sekretaris : M. Nur El-Ibrahimy
Anggota : Tgk. Syekh Abdul Hamid, Abdul Gani Umar, H. Abdul Gani.
Kwartir Daerah : Hadi Rafiuddin
Kwartir-Kwartir Distrik : Marah Adam, Ahmad Abdullah, Ayah Rahman, P.S. Mauny,
Ibrahim Insya, Rahmat, dan Jamaluddin.
M. Daud Remantan, “Pembaharuan Pemikiran Islam di Aceh (1914-1953),” (Disertasi S3 Fakultas
Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta, 1985), h. 87. Lihat juga A. J. Piekaar, Aceh dan
Peperangan Dengan Jepang, Penerjemah Aboe Bakar, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan
Informasi Aceh, 1981), h. 35.
87

pemberontakan terhadap pemerintah Belanda yang kedudukannya sebagai

penguasa di Indonesia sudah mulai goyah.184 Ali Hasjmy bersama-sama temannya

bergerilya melawan Belanda selama 26 hari di kaki Bukit Barisan. Perlawanan

fisik terhadap tentara Belanda dimulai dengan mengepung markas tentara Belanda

dan rumah Countroleur di kota Seulimeum. Setelah penyerbuan terhadap markas

tentara Belanda dan rumah Countroleur di Seulimeum, besoknya tanggal 21

Februari 1942 dilanjutkan dengan pertempuran di Keumire, kira-kira 10 kilometer

dari Seulimeum. Dalam pertempuran tersebut, beberapa perwira dan serdadu

Hindia Belanda mati, termasuk Kepala Eksploitasi Aceh Tram, sementara di pihak

mujahidin syahid tiga orang, yaitu Ismail, Ibrahim dan Ahmad.185

2. Ali Hasjmy Pada Masa Penjajahan Jepang

Tahun 1942, Jepang mendarat di Aceh setelah terjadi pertempuran yang

mengakibatkan militer Belanda menyingkir keperbatasan Aceh dengan Sumatera

Timur, yaitu di daerah Alas, dan di sanalah militer Belanda menyerah kepada

Jepang. Kekalahan Belanda disambut gembira oleh seluruh rakyat khususnya

rakyat Aceh. Peninggalan harta benda yang ditinggal oleh Belanda menjadi harta

rampasan oleh masyarakat Aceh, keadaan kota sudah tak terurus. Polisi yang

seharusnya menjaga ketertiban sudah tidak kelihatan. Dalam situasi seperti itu,

Kasysyafatul Islam atas instruksi Ali Hasjmy mengerahkan anggota Kasysyafatul

Islam ke bagian-bagian daerah Kutaraja yang rawan untuk mengamankan dan

menertibkan para penjarah. Dalam melakukan tugasnya Kasysyafatul Islam

menggunakan pendekatan Islam (Ukhwah Islamiyah) dan mengajak rakyat untuk

tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. usaha yang

184
M. Daud Remantan, “Pembaharuan Pemikiran Islam di Aceh (1914-1953),” h. 335.
185
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 96-98.
88

dilakukan oleh Kasysyafatul Islam memperoleh keberhasilan, sehingga situasi

berangsur-angsur pulih kembali.186

Keberhasilan Ali Hasjmy ketika mengamankan dan menertibkan keadaan di

Kutaraja, mendapat perhatian dari S. Matsubaci, seorang pemimpin Fujiwarakikan

yang kemudian mengangkat Ali Hasjmy menjadi Kepala Polisi Aceh. Dalam

waktu yang relatif singkat Ali Hasjmy yang dibantu oleh Yakob dan Hasyim

bekas anggota polisi kerajaan Belanda, berhasil membentuk kembali kepolisian

dan juga berhasil mengembalikan keamanan kota dalam jangka waktu tertentu.

Atas keberhasilan itu Jepang sangat senang, karena Ali Hasjmy berhasil

mengembalikan keadaan kota dengan waktu yang singkat. Oleh karena hal

demikian Matsubuci memberi tugas yang sama kepada Ali Hasjmy untuk

membentuk kembali kepolisian di daerah barat dan selatan Aceh yang ditinggal

oleh anggota polisi akibat perang melawan Belanda. Dalam menjalani tugasnya

Ali Hasjmy tidak banyak mengalami kesulitan, hanya kurang 3 bulan

pembentukan kepolisian di daerah barat dan selatan dapat ia lakukan dengan

cepat.187

Setelah terbentuk kembali kepolisian daerah barat dan selatan Aceh,

sewaktu kembali dari melakukan tugas tersebut, Ali Hasjmy mendapat kabar dari

saudaranya Nyak Neh bahwa Jepang telah mengangkat kembali pada Uleebalang

menjadi penguasa Sunco dan Gunco (Camat dan Wedana) di Aceh. Mendengar

kabar itu, Ali Hasjmy meletakkan jabatannya sebagai Kepala Polisi dan masa

tugasnya hanya bertahan selama 15 hari. Hal ini menyebabkan kemarahan rakyat

186
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 105-107.
187
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 109. Lihat juga
H.A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 15.
89

Aceh khususnya ulama yang kemudian hari melakukan perlawanan terhadap

Jepang.

Tahun 1942 Ali Hasjmy diminta oleh Matsubaci untuk bekerja di kantor

berita Atjeh Sinbun dan ia langsung diangkat sebagai redaktur pelaksana serta

merangkap sebagai sekretaris redaksi. Surat kabar Atjeh Sinbun mempunyai peran

penting dalam pertentangan golongan dan propaganda adu domba yang dirancang

Jepang. Untuk mengimbangi propaganda Jepang, Ali Hasjmy menjadikan kantor

Atjeh Sinbun sebagai markas pemuda yang tidak resmi untuk membicarakan missi

khusus dalam rangka mengantisipasi taktik Jepang dalam mewujudkan

kolonialisme.188 Dari sinilah kemudian Ali Hasjmy dan kawan-kawan menyusun

gerakan bawah tanah dengan jaringan yang lebih luas dan dengan fasilitas

komunikasi yang sangat dibutuhkan saat itu, seperti radio dan surat kabar,

bersama-sama kawan yang bekerja di Domei untuk melawan Jepang yang sudah

mulai diketahui kelicikannya.189

3. Ali Hasjmy Pada Masa Pascakemerdekaan

Menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia, sejumlah pemuda PUSA

termasuk Ali Hasjmy dan bersama sejumlah pemuda lainnya yang bekerja di Atjeh

Sinbun dan Domei mengadakan pertemuan yang amat rahasia di sebuah ruangan

kantor Atjeh Sinbun, pertemuan itu menghasilkan sebuah keputusan dengan

mendirikan Ikatan Pemuda Indonesia (IPI) dimana Ali Hasjmy terpilih menjadi

188
Hasan Basri, “A. Hasjmy (1914-1998): Kajian Sosial-Intelektual dan Pemikirannya
Tentang Politik Islam,” (Disertasi S3 Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta,
2000), h. 84. Lihat juga A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 125.
189
Sayed Mudhahar Ahmad, “Ali Hasjmy, Antara Teungku Chik Di Tiro dan Teungku
Muhammad Daud Beureueh,” dalam Badruzzaman Ismail ed., A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini
dan Masa Depan, h. 345.
90

ketuanya.190 Pada waktu itu Ikatan Pemuda Indonesia (IPI) masih merupakan satu

kelompok yang relatif kecil jika dibandingkan dengan kekuatan-kekuatan sosial

lainnya. Gerakan pemuda ini betul-betul menjadi aktif sesudah kejadian di Medan.

Gelombang kegiatannya dimulai dari daerah sebelah timur Aceh dalam bentuk

suatu rapat umum besar dan pawai pada pada 1 Oktober di Langsa.191

Pada 6 Oktober 1945 di Medan, Ikatan Pemuda Indonesia (IPI) berubah

namanya menjadi Barisan Pemuda Indonesia (BPI). Organisasi ini menjadikan

dirinya suatu gerakan yang mencakup seluruh Aceh. Pengurus Barisan Pemuda

Indonesia (BPI) sebagian besar dipilih dari anggota-anggota pemuda PUSA.192

Pada 17 Oktober organisasi kepemudaan ini berubah nama menjadi Pemuda

Republik Indonesia (PRI). Pengurusnya PRI merupakan pemuda perkotaan hasil

didikan Jepang yang berorientasi nasional. Untuk kesekian kalinya organisasi

Pemuda Republik Indonesia (PRI) berubah namanya menjadi Pemuda Sosialis

Indonesia (PESINDO). Setelah ditetapkan oleh Ali Hasjmy tanggal 20 November

1945.193 Setelah meletusnya peristiwa Madiun pada tanggal 19 Oktober 1948,

PESINDO daerah Aceh melepaskan hubungan organisasinya dengan PESINDO

pusat yang telah terlibat dalam pemberontakan tersebut.194

Pasca kemerdekaan di Aceh juga didirikan suatu organisasi pertahanan dan

keamanan yang bernama Angkatan Pemuda Indonesia (API) di bawah pimpinan

190
Ali Hasjmy dan T. Alibasyah Talsya, Hari-Hari Pertama Revolusi 45 di Daerah
Modal, (Banda Aceh: Departemen P & K dan Masyarakat Sejarawan Indonesia, 1976), h. 11-12.
191
Anthony Reid, Perjuangan Rakyat Revolusi dan Hancurnya Kerajaan Sumatera,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), h. 313-314.
192
Anthony Reid, Perjuangan Rakyat Revolusi, h. 316.
193
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 201.
194
Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO) secara nasional adalah organisasi yang
berasaskan pada faham sosialis-komunis yang bertentangan dengan ajaran Islam. Namun
pembentukan PESINDO di Aceh oleh Ali Hasjmy berasaskan pada paham ajaran Islam, sesuai
dengan agama dan adat istiadat masyarakat Aceh, bukan mengikuti pada paham sosialis-komunis.
Pertimbangan. Lihat A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 236.
91

komandan Syamaun Gaharu, pergerakan ini beberapa kali berganti nama menjadi

TKR (Tentara Keamanan Rakyat), lalu menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia)

dan terakhir menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia).

Sehubungan dengan dibentuk nya alat negara yang dinamai API atau TKR,

beberapa pemimpin partai dan pemuda membentuk pula barisan-barisan

kelasykaran seperti Kesatria PESINDO yang kemudian namanya dirubah menjadi

Divisi Rencong yang dipimpin oleh Ali Hasjmy yang berkedudukan di Kutaraja.

Selaku pimpinan pasukan Divisi Rencong, Ali Hasjmy selalu ikut penjagaan rutin

di lapangan terbang Lhoknga Aceh. Pasukan Divisi Rencong inilah yang

menunggu pendaratan rahasia pesawat-pesawat yang membawa obat-obatan dan

persenjataan ringan dari orang-orang Aceh di Singapura, India, dan Burma.195

Pada periode kemederdakaan, Ali Hasjmy juga aktif sebagai pegawai

negeri, dan menduduki berbagai jabatan, di mana di antaranya menjadi kepala

Jawatan Sosial Daerah Aceh Kutaraja (1946-1947), menjadi Kepala Jawatan

Keresidenan Aceh dengan pangkat bupati (1949), menjadi Instruktur Kepala

Jawatan Sosial Provinsi Aceh (1950), Kepala Bagian Umum pada Jawatan

Bimbingan dan Perbaikan Sosial dari Kementerian Sosial di Jakarta (1955),

diangkat menjadi Gubernur Aceh Kepala Daerah Propinsi Aceh (1957-1960),

kemudian diangkat menjadi Gubernur Kepala Daerah Propinsi Istimewa Aceh

(1960-1964), pernah diangkat menjadi pembantu Menteri Dalam Negeri di Jakarta

(1964-1968), pemimpin Harian Nusa Putera di Jakarta (1964-1968) dan

pemimpin umum atau penanggung jawab majalah Sinar Darussalam di Banda

195
Sayed Mudhahar Ahmad, “Ali Hasjmy, Antara Teungku Chik Di Tiro dan Teungku
Muhammad Daud Beureueh,” dalam Badruzzaman Ismail ed., A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini
dan Masa Depan, h. 248,
92

Aceh (sejak 1969) dan pensiun dari pegawai negeri atas permintaan sendiri tahun

1966.

Setelah pensiun tahun 1966, ia diangkat menjadi anggota MPRS utusan

Daerah Istimewa Aceh dan diangkat menjadi Dekan Fakultas Dakwah/Publisistik

IAIN Ar-Raniry Banda Aceh (1968), diangkat dan dikukuhkan sebagai Guru

Besar (Professor) dalam Ilmu Dakwah (1976), setahun kemudian diangkat

menjadi Rektor IAIN Jami‟ah Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh (1977 sampai

November 1982). Ketika Partai Golkar Berjaya pada era 1980-an, Ali Hasjmy

dinobatkan sebagai penasehat dalam kancah politik Orde Baru. Beliau juga pernah

menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Provinsi Daerah Istimewa Aceh (1982). Ali

Hasjmy dipercaya juga menjadi Rektor Universitas Muhammadiyah Aceh dalam

masa bakti 1983-1987.196

Aktivitas Ali Hasjmy selama masa pasca kemerdekaan telah banyak

memberi kontribusi yang amat luar biasa kepada masyarakat Aceh. secara politis,

keterlibatannya dalam panggung kehidupan pergerakan dan organisasi

menunjukkan bahwa ia tidak hanya seorang tokoh politik birokrasi tetapi juga

sebagai pejuang kemerdekaan yang aktif. Semangat nasionalismenya terus

berkobar seiring perkembagan waktu dan perkembangan zaman.

E. Ali Hasjmy Sebagai Gubernur Aceh

Pemberontakan Darul Islam menimbulkan suasana yang panas sehingga

pemerintah Indonesia pada 29 November 1956 mengeluarkan Undang-Undang No

196
Moch Subandi, “Prof. A. Hasjmy, Sastrawan dan Pejuang Tiga Zaman,” Mimbar
Umum, 8 April 1984, h. 11. Lihat juga A Rahim Abdullah, “A Hasjmy Tokoh Besar Dalam
Kenangan,” GAPENA, 20 Januari 1998, h. 24. Lihat juga Ali Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam
di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 432.
93

24 Tahun 1956 tentang pembentukan Provinsi Aceh yang berotonomi.197 Menurut

Undang-Undang No 24 Tahun 1956 menyatakan bahwa provinsi Aceh akan

diresmikan pada tanggal 1 Januari 1957. Selanjutnya masih ada persoalan penting

lainnya yang harus diputuskan kabinet, yaitu siapa yang harus diangkat menjadi

gubernur Provinsi Aceh yang baru.

Pada awal Desember 1956, dalam satu pertemuan antara Menteri Dalam

Negeri Mr. Sunaryo dengan Ali Hasjmy (pegawai Kementerian Sosial sebelum

menjadi Gubernur), ia pernah ditanyakan mengenai kesediaannya untuk menjadi

Gubernur Aceh, kemudian Ali Hasjmy memberi jawaban: “…Saya akan pulang

ke Aceh sebagai Gubernur dengan membawa air, bukan bensin dan api”.198

Sejalan dengan itu pada awal Desember 1956 pembicaraan dan persiapan maupun

pemilihan gubernur terdengar luas oleh rakyat Aceh. Banyak surat yang

dilayangkan kepada Pemerintah Pusat mengenai pengusulan calon Gubernur

Aceh.

Persiapan dari berbagai partai, lembaga, maupun ulama masing-masing

mengusulkan calon Gubernur Aceh sesuai selera dan pertimbangan dari pihak

yang mengusulkan. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) mengajukan calon Ali

Hasjmy sebagai Gubernur, Partai Masyumi mencalonkan Teungku Abdul Wahab

Seulimeum, PSI (Partai Sosialis Indonesia) mencalonkan dr. Zainal Abidin, Badan

Musjawarat dan Kemadjuan Kesenian Atjeh” Seksi Tari Seudati Atjeh Timur,

Djulok Rajeuk, Atjeh mengajukan Mr. T. Mohd. Hasan, Kaum Buruh Tani Djulok

Bandar Baru (K.B.T.D.B.B) Kutabindjai Idi Atjeh mencalonkan Mr. T. Mohd.

197
Mengenai isi singkat Undang-Undang No 24 Tahun 1956 selengkapnya lihat Arsip
Konvensional Setelah Tahun 1945 (Republik), Berkas Mengenai Status Provinsi Aceh, No Arsip
1713. Lihat juga A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 467-468.
198
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 470.
94

Hasan, Tgk. Hadji Sjeh Radjab (a/n. Ulama Atjeh Timur) mencalonkan Mr. T.

Mohd. Hasan, Pimpinan Badan Pentjalonan Moh. Insya Gubernur Atjeh

(B.P.M.I.G.A) mencalonkan M. Insya (Kepala Polisi Provinsi Sumatera Utara),

Pimpinan Umum Perusahaan T.M.S.U. (Djulo‟ Rajou‟, Paso, Piadah Lho‟ Sukun

(Daerah Atjeh) mencalonkan Mr. T. Mohd. Hasan, Nja‟ Makam Esha (Guru

Sekolah Rakjat Negeri) mengajukan Mayor Syamaun Gaharu, dan terakhir DPP.

Front Pemuda Atjeh Cabang Wilajah Sumatera Timur Mr. S. M. Amin.199

Dewan Menteri mengadakan rapat ke-51 pada tanggal 2 Januari 1957,

dalam rapat tersebut Dewan Menteri menyetujui untuk mengangkat Ali Hasjmy

(seorang pegawai senior Kementerian Sosial) sebagai Gubernur Aceh.200 Adapun

beberapa sebab Ali Hasjmy terpilih menjadi Gubernur, pertama dukungan

beberapa partai terhadap dirinya seperti PNI (Partai Nasional Indonesia) dan

Nadhlatul Ulama (NU), Kedua, terpilihnya Ali Hasjmy didasari atas perjuanganya

selama masa revolusi fisik 1945, dan ketiga pemerintah menghendaki seorang

pemimpin yang populer, namun tidak terlalu dekat dengan pemberontak. Hal

tersebut diduga kuat terpilihnya Ali Hasjmy menjadi Gubernur Aceh.

Ali Hasjmy resmi dilantik menjadi Gubernur Aceh pada 27 Januari 1957.

Pelantikan Gubernur Ali Hasjmy dihadiri oleh pejabat-pejabat pemerintahan sipil

dan militer, pemuka-pemuka masyarakat, dan juga dihadiri Menteri Dalam Negeri

bersama sejumlah pejabat tinggi lainnya, di antaranya Kepala Staf Angkatan Darat

(KSAD) Kolonel Abdul Haris Nasution bersama sejumlah perwira tinggi dan

199
Arsip Konvensional Setelah Tahun 1945 (Republik), Surat-Surat Mengenai Usul dan
Pengangkatan Gubernur Aceh, No Arsip 1713.
200
Proses pemilihan dan pengangkatan Ali Hasjmy, lihat A. Hasjmy, Semangat Merdeka:
70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 468-471. Lihat juga Arsip Konvensional Setelah Tahun 1945
(Republik), Surat-Surat Mengenai Usul dan Pengangkatan Gubernur Aceh, No Arsip 1713.
95

Gubernur Sumatera Utara.201 Untuk kelengkapan dalam pemerintahan yang baru,

pada 11 Februari 1957 dilantik juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) Provinsi Aceh, anggota yang dilantik berjumalah 30 orang yang terdiri

dari 23 orang Masjumi, 4 orang Perti, 1 orang PNI, 1 orang PKI dan 1 orang

Parkindo, yang mencerminkan hasil-hasil Pemilihan Umum tahun 1955. Anggota-

anggota DPRD tersebut ialah:202

No Nama Partai Keterangan

11 Februari ditetapkan menjadi


1 M. Abduh Sjam Masjumi
Ketua

2 Ainal Mardhijah Ali Idem

3 Fatimah Daoed (1) Idem

4 Ibrahim Abduh Idem

5 Ibrahim Metarem (2) Idem

6 T. Sulaiman Effendy Idem

7 Abdullah Aly Idem

8 M. Husen Maun Idem

9 Oesman Aly Idem

10 T. Sjahbuddin Idem

11 Februari ditetapkan menjadi


11 H. M. Ali Balwy Idem
Wakil Ketua

12 T.M. Zaen Idem

201
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 527.
202
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, h. 17-18. Lihat selengkapnya mengenai anggota
Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Peralihan Swatantra Tinggkat I Aceh, Al Manak Umum,
(Kutaradja: Atjeh Press Service, 1959), h. 94-104.
96

13 H. Abdullah Adiq Idem

14 A. Ghaffar Samad Idem

15 Tgk. M. Bakri (3) Idem

16 Njak Ana Hamzah Idem

17 Sjarifah Chatidjah Idem

18 T. Ali Keurukon Perti

19 T. Nya‟ Gani Aminullah Idem

20 Tgk. M. Saleh Idem

21 Thaib Adamy P.K.I

22 B. Tumpulon (4) Parkindo

23 H. Sjamaun P.N.I

24 A. Latief Rousjdy Masjumi

25 T. Njak Obor Idem

26 Ismail Arief Idem

Ismail Thaib Paja


27 Idem
Budjok

28 T. Sjahdan Idem

29 M. Djoened Joesoef Idem

30 T. R. Ramli Nhagoersjah Perti

Mutasi Anggota DPRD Peralihan Provinsi Aceh adalah sebagai berikut:

1. Fatimah Daoed:

Mengundurkan diri tanggal 25 Juni 1958 dan digantikan oleh Tgk.

Hamzah Junus.
97

2. Ibrahim Metarem:

Mengundurkan diri karena pindah ke Medan dan digantikan oleh Tgk.

Hasan Lhok Kadju mulai tanggal 30 Agustus 1957.

3. Tgk. M. Bakri:

Meninggal dunia tanggal 16 September 1958 digantikan oleh M. Salim

Jahja.

4. B. Tumpulon:

Atas permintaannya sendiri telah mengundurkan diri dari keanggotaan

DPRD Peralihan pada tanggal 20 Agustus 1957 digantikan oleh Humala

Napitupulu.

Sejak saat itu Ali Hasjmy sebagai Gubernur Provinsi Aceh mulai lebih

keras berjuang guna mengembalikan situasi konflik yang telah lama terjadi.

Dalam usahanya tersebut Ali Hasjmy bekerja sama dengan Letnan Kolonel

Syamaun Gaharu yang bertugas sebagai Panglima Komando Daerah Militer Aceh.
BAB IV

ALI HASJMY DAN PENYELESAIAN KASUS DARUL ISLAM ACEH

A. Konsespsi Prinsipil & Bijaksana dan Ikrar Lamteh: Sebuah

Kebijakan Perdamaian

Pemerintah pusat telah menetapkan Aceh sebagai Provinsi yang

berotonomi dengan saudara Ali Hasjmy Gubernurnya. Hal ini menandai babak

baru untuk Ali Hasjmy sebagai seorang Gubernur dalam menyelesaikan kasus

konflik Darul Islam yang sudah terjadi selama 6 tahun. Dalam upaya

menyelesaikan kasus konflik Darul Islam, Ali Hasjmy dibantu oleh Letnan

Kolonel Syamaun Gaharu dan Komisaris Polisi Muhammad Isya, mereka

merupakan bekas rekan seperjuangan di waktu zaman revolusi kemerdekaan.203

Sebelum Ali Hasjmy dilantik menjadi Gubernur Aceh, Syamaun Gaharu204

(Panglima Komando Daerah Militer Aceh) telah lebih dulu memulai tugasnya

dalam usaha menyelesaikan pergolakan Darul Islam. Pada pertengahan Januari

1957, ia merusmuskan suatu kebijakan yang terkenal dengan nama Konsepsi

Prinsipil dan Bijaksana. Konsepsi ini pada dasarnya merupakan suatu proses

penyelesaian keamanan yang diawali oleh proklamasi pemberhentian

permusuhan, lalu diikuti dengan perundingan antara pemerintah dengan pihak

Tgk. Muhammad Daud Beureueh.205

Konsepsi Prinsipil dan Bijaksana mendapat dukungan yang baik dari

Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) A.H. Nasution pada tanggal 24 Januari

1957, dengan syarat penyelesaian pokok yang dicapai adalah kembali ke

203
M. Isa sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 375.
204
Setelah menjadi komandan KDMA, pangkat Syamaun Gaharu dinaikkan saru tingkat
dari Mayor menjadi Letnan Kolonel.
205
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 374.

98
99

pangkuan Republik Indonesia. Adapun isi detail Konsepsi Prinsipil dan Bijaksana

sebagai berikut:

1. Perlu diketahui keadaan sebenarnya mengenai semua aspek

gerombolan-gerombolan pengacau (maksudnya GDIA) dan untuk ini

perlu diadakan hubungan, antara lain pembicaraan informa, feeling,

korespondensi dan lain-lain.

2. Pernyataan Pemberhentian Permusuhan.

3. Pengerahan segala tenaga untuk mengadakan kampanye perdamaian

melalui Jawatan Penerangan, Jawatan Agama, Jawatan Penerangan

Agama, Partai-partai politik, organisasi massa, tokoh-tokoh ulama,

tokoh masyarakat lainnya untuk mengambil bahagian yang aktif

dalam kampanye perdamaian ini.

4. Di daerah-daerah yang mendapat kerusakan oleh kejadian pengacauan

gerombolan atau akibat-akibatnya yang terjadi, sesuatu yang rusak

harus diperbaiki dan yang musnah harus diganti seperti rumah-rumah,

sekolah, stasion kereta api, rumah-rumah rakyat, dan lain-lain,

sekurang-kurangnya dapat dikembalikan kepada keadaan seperti

sebelum terjadi sesuatu kekacauan.

5. Soal-soal pokok yang harus dirundingkan dengan pihak Daud

Beureueh cs. adalah:

a. Tuntutan hukum terhadap mereka. Dalam proses ini dapat

diperguankan opportuniteit beginsel, sehingga dengan cara ini

tidak didapat kesulitan-kesulitan.


100

b. Rehabilitas. Daud Beureueh cs. terdiri dari bermacam-macam

golongan masyarakat, di antaranya terdapat anggota-anggota

TNI, pamong praja, pegawai-pegawai pemerintah, ulama-ulama,

rakyat biasa yang terbawa-bawa dalam dalam persoalan ini baik

secara terpaksa maupun karena kepatuhan mereka kepada yang

tersebut di atas dan lain sebagainya.

(1) Anggota-anggota TNI. Sesuai dengan tuntutan hukum seperti yang

tersebut di atas yaitu dengan mempergunakan dasar opportuniteit-

beginsel, maka tuntutan terhadap mereka sebagai deserteur tidak akan

dilakukan. Jumlah mereka resmi adalah satu kompi lengkap di bawah

pimpinan Letnan Ibrahim Saleh yang lari dari Sidikalarang. Tetapi

kemudian persenjataan mereka bertambah-tambah baik yang meraka

dapat/rampat dari pertempuran-pertempuran dengan alat negara,

maupun yang mereka dapat beli dari luar negeri dengan jalan

penyelundupan-penyelundupan dan lain sebagainya. Dalam keadaan

sekarang perlu pemerintah menerima mereka sekurang-kurangnya 1

batalyon organiek di dalam susunan TNI. Pelaksanaan penerimaan

mereka dapat dijalankan sesuai dengan rencana recrutering yang

sedang dihasilkan dengan member beberapa dispensasi/keistimewaan.

Selanjutnya mereka dapat disalurkan melalui Depot Batalyon dan lain

sebagainya. Untuk ini perlu segera dibangunkan 1 asrama lengkap

sebagai Depot Batalyon.

(2) Pamong Praja dan Pegawai Negeri. Di antara mereka yang

memberontak masih terdapat pegawai-pegawai negeri yang masih


101

menerima hak mereka. Ada pula di antara mereka yang telah dischors

dan dipecat. Dengan adanya status propinsi untuk daerah Aceh, maka

rehabilitasi terhadap mereka itu dapat disalurkan kepada pembentukan

propinsi sebagai pegawai otonomi.

(3) Rakyat biasa yang ikut karena kepatuhan mereka kepada pemimpin-

pemimpin mereka, yang ikut-ikutan/terbawa-bawa dan yang terpaksa

karena keadaan, sebenarnya dapatlah mereka kembali ke dalam

masyarakat seperti biasa, akan tetapi banyak pula di antara mereka

yang perlu dilindungi dan dibekali terlebih dahulu sebelum mereka

masuk ke dalam masyarakat biasa. Untuk ini perlu diusahakan jalan

atau usaha-usaha yang tertib dalam menampung kembali ke dalam

masyarakat biasa itu.

(4) Tahanan-tahanan. Mereka yang masih dalam tahanan dan yang sedang

menjalani hukuman segera dibebaskan.

(5) Kaum pengungsi. Kemudian ada lagi satu golongan yang sebenarnya

harus mendapat pula perhatian dari pemerintah, yaitu mereka yang

tetap setia kepada Republik Indonesia, tidak mau malah menentang

gerakan illegal dari Daud Beureueh cs. Mereka ini terpaksa juga

meninggalkan kampung halamannya, meninggalkan harta-hartanya

pergi mencari tempat-tempat yang dianggap mereka aman dan dapat

meneruskan hidup mereka. Mereka ini adalah kaum-kaum pengungsi.

Terhadap kaum pengungsi ini pun sudah selayaknya kalau pemerintah

memberikan penghargaan dengan mengganti kerugian alakadarnya.


102

(6) Jika hasil dari permusyawaratan itu telah mendapat persetujuan dari

segala pihak yang bersangkutan, maka dipilihlah suatu saat yang baik

untuk memproklamirkan “Perdamaian dan Persaudaraan yang abadi di

Aceh”. Proklamasi ini diikuti secara adat di kampung-kampung, di

kecamatan-kecamatan dan kabupaten-kabupaten di seluruh Aceh

untuk mengadakan kenduri secara bergotong royong dan orang-orang

yang bersangkutan di daerah masing-masing terutama orang-orang

yang dirinya tersangkut di dalam persoalan-persoalan itu dan

menyatakan keikhlasan mereka bermaaf-maafan. Di sini dikerahkan

kembali massa untuk diberi penerangan seperti yang tersebut di atas

dengan jiwa perdamaian/persaudaraan, poster-poster, sari-sari ucapan

dari tokoh-tokoh ulama di daerah ini dan lain-lain disiarkan dengan

seluas-luasnya. Harus diusahakan sekurang-kurangnya 15 hari, supaya

semarak hari Proklamasi Perdamaian/Persaudaraan itu yang dapat

dirasakan (meresap) dalam hati sanubari dan dinikmati oleh seluruh

penduduk Aceh.

(7) Sesudah Proklamasi Perdamaian/Persaudaraan yang abadi ini,

pemerintah harus melaksanakan rencana-rencana pembangunan di

Aceh dalam arti yang luas (pembangunan daerah dalam segi sosial,

ekonomi, pembangunan rakyat dalam segi mental dan pendidikan

untuk menempatkan fungsi Aceh dalam susunan Indonesia sebagai

suatu nation seperti yang sudah-sudah.206

206
Naskah asli konsepsi prinsipil dan bijaksana ditandatangani oleh Letnan Syamaun
Gaharu berjudul Penyelesaian Peristiwa Pemberontakan di Aceh. Lihat Teuku Haji Ibrahim
103

Di samping Penguasa Perang Daerah (Syamaun Gaharu) melakukan

pendekatan dengan pihak gerombolan, Gubernur Aceh Ali Hasjmy yang baru

beberapa hari dilantik juga melakukan pendekatan dengan caranya sendiri.

Langkah dan strategi pertama yang dilakukan Gubernur Ali Hasjmy melakukan

kontak dengan para pemimpin Darul Islam terutama mereka yang mempunyai

hubungan kedekatan dan kekerabatan dengannya pada saat pergerakan zaman

Hindia Belanda dan masa Revolusi 45 setelah Indonesia merdeka. Langkah

Gubernur Ali Hasjmy semakin lancar setelah ia menerima surat yang berisi

ucapan selamat dari Teuku Ahmad Hasan (Menteri Kesehatan Darul Islam).207

Pada tanggal 30 Januari 1957 Gubernur Ali Hasjmy secara pribadi

berangkat ke suatu daerah yang benama Dham untuk menemui pemimpin-

pemimpin Darul Islam, di antaranya Ishak Amin (Bupati Darul Islam Aceh

Besar), A. Jalil (Komandan Istimewa Tentara Islam Indonesia), dan Muhammad

Ali Piyeung (Kepala Polisi Darul Islam).208 Pertemuan Gubernur Ali Hasjmy

dengan tokoh-tokoh pemimpin Darul Islam tersebut untuk membicarakan

mengenai penyelesaian masalah keamanan di Aceh.209 Di samping itu, tokoh

Darul Islam memberitahu nama orang-orang penting Darul Islam yang bermukim

dalam kota. Pertemuan pertama yang dilakukan Gubernur Ali Hasjmy di

“Pertemuan Dham” merupakan suatu langkah dalam mencari formasi kearah

perundingan yang lebih formal. Pertemuan itu juga mempunyai arti penting dalam

melunakkan sikap gerombolan terhadap pemerintah.

Alfian, “Penyelesaian Masalah Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Dengan “Konsepsi Prinsipil dan
Bijaksana”, Jurnal Ketahanan Nasional, No VI (2), (Agustus 2001): h. 42-45.
207
Mengenai isi surat Teuku Ahmad Hasan lihat A.Hasjmy, Semangat Merdeka: 70
Tahun Menempuh Pergolakan, h. 524-525.
208
C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, h. 314.
209
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 478.
104

Setelah pertemuan di Dham diawal bulan Februari 1957, Gubernur Ali

Hasjmy melakukan pertemuan dengan ulama-ulama besar, pemimpin-pemimpin

masyarakat yang terdiri dari organisasi, dan kalangan politik yang berada di

Kutaraja untuk bertukar pikiran tentang langkah dan strategi pemulihan keamanan

dan pembangunan Aceh. Dari pertemuan tersebut, Gubernur Ali Hasjmy banyak

mendapatkan bahan dan informasi dari ulama dan pemimpin organisasi-organisasi

yang hadir dalam pertemuan itu. Sebagian pihak mendukung konsepsi pemulihan

yang telah dirumuskan oleh Syamaun Gaharu, hanya Partai Komunis Indonesia

(PKI) saja yang memberikan usulan pembersihan anasir sabotase pro geromolan

dalam tubuh pemerintahan sipil dan mendesak Gubernur Ali Hasjmy terhadap

pelaksanaan pemulihan keamanan di Aceh harus dilaksanakan dengan cara

kekerasan.210

Upaya Gubernur Ali Hasjmy dalam menyelesaikan kasus konflik Darul

Islam Aceh tidak saja dilakukan melalui pertemuan dengan pemimpin Tokoh

Darul Islam, ia juga mengirim surat kepada beberapa para pemimpin Darul Islam,

baik yang berada di Aceh maupun yang berada di luar negeri. Buktinya pada

pertengahan Maret 1957 dalam perjalanannya dari Jakarta menuju Belawan,

Gubernur Ali Hasjmy singgah di Singapura untuk mengadakan kontak dengan

tokoh-tokoh Darul Islam Aceh di Singapura dan Semenanjung Tanah Melayu,

seperti Abdullah NH. Dari Singapura Gubernur Ali Hasjmy mengirim surat

kepada Wakil Darul Islam Aceh di Amerika Serikat, Hasan Muhammad Tiro.211

210
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 530
211
Mengenai Isi Surat Gubernur Ali Hasjmy kepada Muhammad Hasan Tiro, lihat
Dokumen A, Hasjmy, Dari Darul Harb Ke Darussalam Djilid I. lihat juga, A. Hasjmy, Semangat
Merdeka 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 533.
105

Berdasarkan hubungan kontak dan pertemuan di Dham, juga melalui

korespondensi yang dilakukan Gubernur Ali Hasjmy kepada para pemimpin Darul

Islam Aceh, maka pada tanggal 8 April 1957 bertepatan dengan bulan ramadhan,

masing-masing pihak baik dari pemerintah daerah dan Darul Islam melangkah ke

negosiasi yang bersifat formal. Pertemuan di antara kedua belah pihak itu

berlangsung di kediaman salah seorang tokoh Darul Islam Pawang Leman di desa

Lamteh. Dalam pertemuan itu hadir Gubernur Ali Hasjmy, Kepala Polisi

Muhammad Isya dan Komandan Militer Daerah Aceh Syamaun Gaharu,

sementara pihak Darul Islam dihadiri oleh Perdana Menteri Darul Islam Hasan

Ali, Menteri Pertahanan Darul Islam Hasan Saleh, Bupati Aceh Besar Darul Islam

Ishak Amin dan seorang tokoh Darul Islam lainnya Pawang Leman.212

Pertemuan yang terjadi di antara kedua belah pihak, yang telah lama

berpisah itu berlangsung dalam suasana bahagia. Namun, ketika kedua belah

pihak itu mulai membicarakan mengenai persoalan keamanan Aceh dan bentuk

administrasi pemerintahan di Aceh, pembicaraan terasa sangat alot dan hampir

mengalami jalan buntu karena kedua belah pihak berada pada pendirian yang

berlawanan. Dalam suasana yang sangat tegang itu, kedua belah pihak disadarkan

oleh suara keras dan penuh haru dari Pawang Leman yang isinya “…Kalau bapak-

bapak tidak sanggup menyelesaikan masalah ini, mari kita bakar saja Aceh ini

supaya kita puas dan agar cucu kita di belakang hari akan menuduh kita sebagai

pengkhianat dan orang yang tidak bertanggung jawab…”213

212
Mengenai perjalanan Ali Hasjmy, Muhammad Isja, dan Syamaun Gaharu menemui
pihak Darul Islam lihat T. Alibasjah Talsya, 10 tahun Daerah Aceh Istimewa Aceh, h, 15. Lihat
juga Ali Hasjmy, dkk., 50 Tahun Aceh Membangun, h. 141.
213
Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 310.
106

Setelah melalui perdebatan yang cukup alot akhirnya tercapai juga kata

sepakat di antara kedua belah pihak yang menginginkan Aceh menjunjung tinggi

kehormatan agama dan kepentingan rakyat atau Daerah Aceh, untuk itu perlu

dilaksanakan gencatan senjata sebagai landasan bagi perundingan lebih lanjut.

Kesepakatan yang amat penting itu diberi nama “Piagam Lamteh” atau sering

disebut “Ikrar Lamteh”.214 Adapun bunyi Ikrar Lamteh itu ialah:

a. Kami sebagai putera-puteri Aceh bertanggung jawab terhadap hari

depan Aceh yang kami cintai, dan merasa berkewajiban untuk

membangun Aceh kembali dalam segala bidang.

b. Pembangunan yang sangat dirindukan oleh Rakyat Aceh, yang harus

kami laksanakan, yaitu pembangunan dalam bidang Agama Islam dalam

arti yang luas, pembangunan dalam bidang fisik juga dalam arti yang

luas dan pembangunan dalam bidang pendidikan, kebudayaan dan adat,

yang kesemuanya harus tidak boleh bertentangan dengan ajaran-ajaran

Islam.

c. Untuk dapat melaksanakan cita-cita pembangunan Aceh kembali, kami

bersepakat untuk secepatnya menghentikan pertempuran antara sesama

putera Indonesia di Aceh.215

Ikrar Lamteh yang berhikmat itu ditandatangani oleh beberapa putera

Indonesia yang berada di Aceh, yang pada waktu itu merasa bertanggung jawab

untuk menyelamatkan Aceh dari kemusnahan. Di antara putera Aceh tersebut


214
Naskah asli Ikrar Lamteh belum diketahui dimana tersimpan. Penulis yang telah
berkunjung ke Museum dan Pendidikan Ali Hasjmy tidak menemukan teks naskah ikrar tersebut
baik yang asli maupun salinan. Dalam buku Semangat Merdeka 70 Tahun, Ali Hasjmy
menerangkan bahwa naskah Ikrar Lamteh tersebut ditulis di atas lembaran kertas buku tulis anak
sekolah karena pada waktu tersebut tidak ada kertas yang lain. Sehingga salinan yang tulis lebih
merupakan semacam ingatan terhadap apa yang mereka tandatangani, sehingga redaksi kalimatnya
sering berbeda satu sama lain.
215
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 484.
107

yaitu Letnan Kolonel Syamaun Gaharu, Gubernur Ali Hasjmy, Major T. Hamzah,

Komisaris Besar Polisi Muhammad Isja dan dari pihak pemimpin DI/TII saudara-

saudara Hasan Ali, Hasan Saleh, dan Ishak Amin.216

Atas dasar Ikrar Lamteh di atas, pada tanggal 9 April 1957 Letnan Kolonel

Syamaun Gaharu mengeluarkan surat perintah penghentian gerakan-gerakan

militer yang ditujukan kepada semua komandan sektor PDM (Perwira Distrik

Militer). Surat tersebut berisikan perintah menghentikan operasi militer atau

pertempuran dan keizinan kepada semua perwira bersangkutan melakukan kontak

dengan pemimpin-pemimpin Darul Islam.217 Kemudian Syamaun Gaharu

mengirim dua rombongan utusan ke seluruh Aceh untuk mengadakan pendekatan

dengan para pemimpin Darul Islam diseluruh kabupaten. Adapun dua rombongan

utusan ini yang diberikan tugas oleh Sjamaun Gaharu adalah:

1. Kelompok pertama menjalankan misi sosialisasi damai di sepanjang

pantai barat dan selatan yang dipimpin oleh Kapten Usman Nyak Gade,

bertugas mengunjungi para tokoh pergerakan Darul Islam Acehdi Aceh

Barat dan Aceh Selatan.

2. Kelompok kedua menjalankan misi sosialisasi sekaligus penetrasi damai

di sepanjang pantai utara (Aceh Utara), timur (Aceh Timur) dan ke Aceh

Tengah yang dipimpin oleh Rivai Harahap.218

Di samping genjatan senjata, Gubernur Ali Hasjmy juga melakukan upaya

dalam menyelesaikan kasus tahanan Darul Islam. Sejak tangga 25 Maret Gubernur

Ali Hasjmy telah mengirim surat kepada Ketua Pengadilan Negeri Medan yang

216
“Gub. Hasjmy Dengan Ikrar Lamtehnya,” Peristiwa, 22 Maret 1959, h. 3.
217
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 382-383.
218
Jarah Dam-I, Dua Windhu Kodam I/Iskandar Muda, (Banda Aceh: Sejarah Militer
Kodam I/Iskandar Muda, 1972), h. 245.
108

pada waktu itu dijabat oleh saudara Husni Atmawijaya. Surat tersebut mendapat

tanggapan dari pihak kejaksaan dan kehakiman, pada tanggal 11 April 1957

terjadi pembebasan tahanan Darul Islam sekitr 86 orang dan kemudian disusul

oleh pembebasan lainnya sebanyak 50 orang pada tanggal 4 Mei 1957.219

Dengan diberlakukan genjatan senjata tersebut maka terbuka peluang bagi

pemberontak untuk kembali pulang ke kampung untuk menjenguk keluarga yang

telah ditinggal selama bertahun-tahun. Genjatan senjata juga memberikan

kesempatan untuk Letnan Kolonel Syamaun Gaharu dan Gubernur Ali Hasjmy

untuk bersilaturrahmi dengan pemimpin pemberontakan. Kesempatan ini

dipergunakan dengan sebaik mungkin oleh Gubernur Ali Hasjmy dalam

melakukan pendekatan dengan pemimpin gerombolan untuk bersama-sama

membicarakan mengenai masalah penyelesaian konflik Aceh.

Pada bulan Mei tahun 1957, sebagai tindak lanjut pelaksanaan Ikrar Lamteh,

Gubernur Ali Hasjmy melakukan kontak dengan Saudara Hasan Ali (Perdana

Menteri Darul Islam Aceh). Dari hubungan kontak tersebut pemerintah daerah

yang diwakili oleh Gubernur Ali Hasjmy, Letnan Kolonel Syamaun Gaharu,

Kepala Polisi Daerah Aceh Muhammad Isja, dan beberapa perwira lain antara lain

Usman Nyak Gade melakukan kunjungan ke markas Darul Islam yang berada di

suatu tempat yang benama Mardhatillah220 untuk mengadakan pembicaraan

dengan Wali Negara Darul Islam Teungku Muhammad Daud Beureueh guna

melunakkan sikap pendiriannya agar berdamai dengan pemerintah.

Dalam pertemuan kedua belah pihak terjadi perbincangan yang sangat

panjang, masing-masing saling memberi penjelasan. Ali Hasjmy yang ditunjuk


219
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 383.
220
Mardhitillah adalah suatu daerah yang tertelak di pedalaman Trienggadeng. Lihat, T.
Alibasyah Talsya, 10 Tahun Daerah Istimewa Aceh, h. 16.
109

sebagai juru bicara, menjelasakan mengenai maksud kedatangannya dan juga

membicarakan mengenai Ikrar Lamteh dan Konsepsi Prinsipil Bijaksana,

demikian juga Teungku Muhammad Daud Beureueh dengan panjang lebar

bercerita mengenai perjuangan dan pengorbanan rakyat Aceh pada masa revolusi

1945, kemudian Teungku Muhammad Daud Beureueh meneruskan bercerita

mengenai kekecewaannya terhadap Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Ali

Sastroamidjojo. Suasana pertemuan ketiga tokoh (Ali Hasjmy, Syamaun Gaharu

dan Muhammad Insja) dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh lebih

menyerupai pertemuan antara junior dan senior. Oleh karenanya ketiga tokoh itu

lebih banyak mendengarkan pembicaraan Teungku Muhammad Daud Beureueh

dibandingkan melakukan pembicaraan yang substansial dengan pemimpin Darul

Islam itu.221 Adapun inti pembicaraan ketiga tokoh tersebut dengan Teungku

Muhammad Daud Beureueh yaitu:

“saudara bertiga telah mendapat rahmat dari Allah, yang menjadi kewajiban penerima
rahmat bersyukur kepada Allah. Saudara yang telah diangkat menjadi Komandan Tentara
di Aceh (menunjuk Syamaun Gaharu) pergunakanlah rahmat Allah itu untuk memajukan
agamanya dan untuk menyelamatkan Rakyat Aceh. Saudara telah diangkat menjadi
Gubernur Aceh (menunjuk Ali Hasjmy) pergunakanlah jabatan Gubernur saudara sebagai
rahmat Allah untuk membela agamanya dan untuk membangun Aceh yang telah hancur.
Saudara telah diangkat menjadi Kepala Polisi (menunjuk Muhammad Isya)
pergunakanlah jabatan saudara sebagai karunia Allah untuk meninggikan agamaNya dan
membangun tanah Aceh yang telah remuk binasa. Saya doakan, semoga saudara-saudara
tetap mendapat bimbingan Allah”.222

Pertemuan ketiga tokoh pemerintah daerah itu (Ali Hasjmy, Syamaun

Gaharu dan Muhammad Insja) dengan Wali Negara Teungku Muhammad Daud

Beureueh memberi kesimpulan bahwa harapan atau usaha yang dilakukan ketiga

tokoh itu untuk sampai pada tahap perundingan masih tetap ada, sekalipun Tgk.

221
Mengenai kisah perjalanan tiga tokoh itu ke daerah Dham, lihat A. Hasjmy, Semangat
Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 493-500.
222
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 499
110

M. Daud Beureueh sangat marah kepada Soekarno, terutama kepada Ali

Sastroamidjojo karena tidak menepati janji rakyat Aceh.223

Gubernur Ali Hasjmy menyadari bahwa persoalan yang sedang ia

selesaikan mengalami kesulitan dan juga sikap Tgk. M. Daud Beureueh yang

sangat teguh terhadap pendiriannya, dalam hal ini pemerintah daerah masih

memerlukan jalan yang panjang untuk sampai kepada puncak perundingan. Di

samping itu, upaya dan strategi Gubernur Ali Hasjmy dalam mencari solusi

penyelesaian masalah Aceh untuk perdamian terus digiatkan dengan meyakinkan

pemerintah pusat, khususnya Perdana Menteri Ir. H. Juanda dan Kepala Staf

Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution, agar pemerintah pusat mau

memberikan kelonggaran atau konsensi terhadap gerombolan. Namun Perdana

Menteri Juanda menegaskan hanya bersedia memberikan otonomi yang luas

dalam bidang agama, pendidikan, ekonomi, sosial dan kebudayaan asalkan tidak

keluar dari pada Undang Undang Dasar yang ada, yang menjadi pegangan

pemerintah.224

Usaha Gubernur Ali Hasjmy dalam melakukan pendekatan kepada

pemerintah pusat khususnya Perdana Menteri Ir. H. Juanda membuahkan hasil,

melalui kesediaannya pada tanggal 19 Oktober 1957 Perdana Menteri Republik

Indonesia Ir. H. Djuanda dan rombongannya melakukan kunjungan kerja ke

daerah Aceh untuk melihat lebih dekat kondisi yang timbulkan dari konflik Darul

Islam, serta ingin melihat peninjauan dari dekat pembangunan dan pemulihan

223
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 500. Lihat
juga, Abdul Murat Mat Jan, “Gerakan Darul Islam di Aceh 1953-1959”, Akademika, No 8,
(1976): h. 40-41.
224
Lihat Pidato Wakil Ketua Penguasa Perang Daerah Swatantra Tingkat I Atjeh,
Gubernur A. Hasjmy, dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan Propinsi Atjeh
tanggal 17 Maret 1958.
111

keamanan di Provinsi Aceh. Rombongan yang hadir ke Aceh terdiri dari Menteri

Agama K.H. Iljas, Menteri Sosial Muljadi Djojomartono, Menteri Perhubungan

Antar Daerah Dokter F.L Tobing, Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Ir.

Pangeran Mohd. Nur, Sekjen Kem. Keuangan H. M. Saubari, Kepala Biro

Keamanan Surapto, Pembantu Pribadi Perdana Menteri Walajer, Pembantu

Menteri Agama K.H. Djunaidi dan Iskandar, Pembantu Menteri Hubungan Antar

Daerah Kapten Tony Suhartono, Pembantu Kepala Biro Keamanan I.P. Sutoro,

Pembantu Kepala Biro Keuangan Suparto, Pembantu Menteri Sosial Amral,

Pegawai Tinggi Kementerian Keuangan Sachrawi, bekas Menteri Muda Pertanian

Sjech Marhaban, dan Officier Auri Letnan Tamudji.225

Di lapangan Udara Blang Bintang rombongan Perdana Menteri Djuanda

disambut oleh Gubernur Kepala Daerah Provinsi Aceh Ali Hasjmy, Komandan

KDMA/Iskandar Muda Letnan Kolonel Sjamaun Gaharu, para pamongpraja

anggota-anggota DPD dan DPRD Peralihan, dan penduduk setempat. Dalam

perjalanannya dari Bandara Blang Bintang menuju ke kantor Gubernur Aceh

rombongan Perdana Menteri Juanda disambut oleh barisan murid-murid sekolah

rakyat, sekolah menengah pertama dan atas, murid-murid sekolah tionghoa dan

rakyat banyak.

Dalam pertemuan yang berlangsung di Aceh, beberapa di antara tokoh-

tokoh tersebut menyampaikan pidato, di antaranya Gubernur Ali Hasjmy. Di

dalam pidatonya, Gubernur Ali Hasjmy menekankan aspek pembangunan daerah

Aceh yang sebagian telah hancur baik sarana maupun prasarananya yang

disebabkan oleh konflik. Seperti yang dikemukakan dalam pidatonya:


225
Selengkapnya mengenai kunjungan Ir. Juanda dan rombongan lihat, Kunjungan
Perdana Menteri Ir. H. Djuanda dan Rombongan Ke Atjeh, (T.tp.: Djawatan Penerangan Prop
Atjeh, t.t), h. 23.
112

“Untuk suatu daerah yang telah demikian hebat mengalami kehancurannya, tidaklah
berlebih-lebihan rasanya kalau kami memohon perhatian yang khusus kepada Pemerintah
Pusat, yang terlepas sama sekali dari kenyataan, bahwa di masa yang lampau pernah satu
kali Atjeh digelarkan payung terakhir tempat berlindung 80 juta rakyat Indonesia untuk
melanjutkan perang kemederkaan”.226

Gubernur Ali Hasjmy menambahkan dalam pidatonya mengenai rencana-

rencana yang dapat dilaksanakan secara berangsur-angsur jika keamanan telah

pulih kembali, berikut uraian singkat pidato lanjutan Gubernur Ali Hasjmy:

1. Perbaikan jalan negara Kutaraja- Sigli-Bireuen-Lho‟ Seumawe- Langsa sepanjang 500


km.
2. Perbaikan jalan Propinsi Bireuen- Takengon sepanjang 100 km, Kutaradja- Tjalang-
Tjalang- Meulaboh- Lamie ke Tapak Tuan sepanjang 500 km. dan Sigli- Tangse-
Geumpang sepanjang 100 km.
3. Pembuatan jalan baru: Seulimeum- Tangse sepanjang 50 km, dan Geumpang- Tut Tut-
Takengon sepanjang 150 km. sentral listrik di Sigli, Bireuen, Kualasimpang dan
Langsa akan diperluas.227

Pada kesempatan yang sama Komandan KDMA/Iskandar Muda Letnan

Kolonel Syamaun Gaharu juga berkesempatan menyampaikan pidato kepada

rombongan Perdana Menteri Ir. H. Juanda. Adapun inti pidato Syamaun Gaharu

adalah:

“…Kami, petugas-petugas di daerah ini, rakyat dan penduduk Aceh mempunyai keinginan
agar daerah ini menjadi suatu daerah yang aman dan makmur, dimana seluruh rakyat dan
penduduk merata dapat mengecap kesejahteraan dan kebahagiaan hidup.

Kami lapurkan kepada yang mulia beserta rombongan bahwa akibat dari peristiwa 20
September 1953, petugas-petugas di daerah ini masih bekerja keras untuk
mempertahankan sang dwi warna yang telah dikibarkan di atas tumpukan tulang-tulang
pahlawan-pahlawan dan patriot-patriot kita masih membanting tulang untuk menegakkan
hukum-hukum negara, serta memberi jaminan dan keamanan hidup pada rakyat dan
penduduk dan masih memeras keringat untuk member mereka kemerdekaan berfikir,
kemerdekaan mengeluarkan pendapat membebaskan mereka dari ketakutan dan
kemiskinan

Tidak ringan beban dan tanggung jawab dari petugas-petugas ini. Beban dan tanggung
jawab ini akan lebih berat pula jika pengertian serta bantuan yang sungguh dari
Pemerintah (Pusat) tidak ada. Tugas dan tanggung jawab ini akan menjadi lebih berat lagi
jika sikap Pemerintah dalam menghadapi persoalan daerah ini masih tetap seperti yang
sudah-sudah, yaitu dalam keragu-raguan, tidak tegas dan tidak berterus terang sehingga
keadaan petugas-petugas seolah ditempatkan pada suatu posisi yang sulit, tiada
berpedoman dalam kebimbangan”.

Cahaya yang member harapan kepada rakyat dan penduduk di daerah ini, ialah setelah
mendengar akan diadakannya Musyawarah Nasional dan lebih memberi harapan lagi

226
Kunjungan Perdana Menteri Ir. H. Djuanda, h. 14.
227
Kunjungan Perdana Menteri Ir. H. Djuanda. h. 15.
113

setelah mengetahui hasil-hasil yang telah dicapai dalam musyawarah tersebut. Tetapi
rakyat dan penduduk daerah inipun dapat merasakan bahwa yang penting bukanlah
musyawarah dan hasil musyawarah nasional, tetapi mereka menunggu dan mengharapkan
bahwa keputusan-keputusan dari musyawarah itu betul-betul akan dilaksanakan dengan
segala kesanggupan dan keberanian. Inilah penghargaan yang terakhir dari rakyat dan
penduduk di daerah ini.228

Sambutan juga disampaikan oleh Perdana Menteri Ir. H. Djuanda ketika

berkunjung ke Provinsi Aceh. Adapun inti dari pidato sambutan tersebut:

“…Kita datang ke daerah ini untuk menambah bahan-bahan dan mendapatkan bahan yang
lebih lengkap tentang keadaan di Aceh dan khususnya di Kabupaten ini. Kita di
pemerintah pusat merasa berbahagia, merasa bangga bahwa semenjak bulan April tahun
ini sampai sekarang daerah Aceh sudah jauh lebih aman dibandingkan pada masa
sebelumnya, dan kita amat menghargai keadaan yang demikian ini, keadaan aman ini.
Kita menghargai menyokong sepenuhnya segala apa yang telah dikerjakan oleh
pemerintah militer yang dikepalai disini oleh Let. Kol Sjamuan Gaharu dan pemerintah
sipil di Popinsi Aceh yang dipimpin oleh Gubernur sdr. Ali Hasjmy.

Kedatangan kita ini justru untuk menekankan sekali dan jika mungkin untuk
menyatakan penghargaan kita terhadap apa yang telah dicapai dalam lapangan
keamanan sampai saat ini. Harapan kita dan segala ikhtiar yang akan dilakukan
pemerintah pusat bersamaan dengan pemerintah di propinsi adalah seterusnya
mempertahankan keadaan aman ini. dan jika mungkin melangkah lebih lanjut lagi, yaitu
supaya diberikan dasar yang lebih kuat untuk memelihara dan memperbaiki keamanan
yang telah dicapai ini.229

Kunjungan Perdana Menteri Juanda ke Aceh dimanfaatkan dengan baik

oleh Gubenur Ali Hasjmy untuk mempertemukan tokoh pemimpin Darul Islam

seperti Hasan Ali dan Hasan Saleh dengan Perdana Menteri Juanda. Pertemuan itu

terjadi di kediaman KDMA (Komando Daerah Militer Atjeh) Sjamuan Gaharu.

Inti pembicaraan di antara kedua belah pihak yaitu pihak Darul Islam menuntut

status Negara Bagian Aceh dari Negara Republik Indonesia, akan tetapi dengan

sikap tegas Perdana Menteri Juanda tidak dapat menerima tuntutan tersebut,

karena bertentangan dengan sumpah jabatannya yaitu membela dan

mempertahankan dasar negara dan konstitusi. Perdana Menteri Juanda

menegaskan kembali pendirian pemerintah yang bersedia memberikan otonomi

yang luas kepada daerah-daerah Aceh asalkan bukan menjadikan negara bagian.

228
Kunjungan Perdana Menteri Ir. H. Djuanda. h. 10-11.
229
Kunjungan Perdana Menteri Ir. H. Djuanda. h. 18-24.
114

Pertemuan antara tokoh pemimpin Darul Islam dan PM Juanda lebih bersifat

informal dan tidak menghasilkan apapun.230

Ketegasan Perdana Menteri Ir. H. Djuanda tentang penyelesaian masalah

Aceh tidak keluar dari bingkai Negara Kesatuan negara. Hal ini dapat dilihat dari

ucapannya, sebagaimana yang ditulis oleh Hasan Saleh, yaitu “…Kalau Saudara-

saudara benar ingin menempuh jalan damai, maka tuntutlah sesuatu yang lebih

luas dan lebih tinggi dari otonomi biasa, tetapi bukan negara bagian. Tuntutlah

yang lain, yang berada dalam batas perundang- undangan yang ada. Insyaallah

saya bantu…”231

Kunjungan Perdana Menteri Ir. H. Juanda tidak terbatas pada daerah

Kutaradja saja, Perdana Menteri Djuanda juga melakukan kunjungan ke beberapa

daerah di Atjeh seperti Bireuen, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Utara,

dan daerah Langsa untuk meninjau beberapa objek pembangunan di Provinsi

Aceh. Perlu diketahui pada tiap-tiap daerah yang dikunjungi rombongan Perdana

Menteri Djuanda, senantiasa mendapat sambutan yang meriah dari penduduk.

Kedatangan Perdana Menteri Juanda beserta rombongan ke Aceh

membawa dampak yang baik dan berkah untuk penduduk Aceh. Hal ini terbukti

pada tanggal 21 Oktober 1957 Menteri Agama K.H. Ilyas menyediakan bantuan

senilai Rp. 500.000 sebagai tanda permulaan pekerjaan pembangunan dan

renovasi Masjid Raya Kutaraja. Pemberian bantuan tersebut didasari oleh

Keputusan No. 44 tentang pernyataan Masjid Raya Kutaraja sebagai milik negara,

sehingga secara hukum wajib bagi pemerintah untuk merawat dan membangun.232

230
Isi pembicaran antara pihak Darul Islam (Hasan Saleh dan Hasan Aly) dengan Perdana
Menteri Juanda, lihat Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 329-330.
231
Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 330.
232
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 388.
115

Di samping itu Menteri Agama K.H. Ilyas mengeluarkan penetapan No 58 Tahun

1957 Tentang Pembentukan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariah di Aceh.

Melalui penetapan ini, pemerintah mengesahkan 16 Pengadilan Agama di kota-

kota besar di Aceh dan sebuah Pengadilan Tinggi Agama di Kutaraja.233

B. Perpecahan Darul Islam Aceh

Proses usaha dan upaya yang dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy dalam

mewujudkan perdamaian dan pembangunan daerah Aceh, mendapat gangguan

dari gerakan separatis PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang

terbentuk pada awal tahun 1958 di bawah pimpinan Mr. Syafruddin

Prawiranegara dan juga berdirinya gerakan OSM (Operasi Sabang Marauke),

kedua gerakan ini berlawanan tehadap pemerintah pusat. Keterlibatan beberapa

putera Aceh dalam gerakan separatis PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik

Indonesia) dan OSM (Operasi Sabang Marauke) seperti Amelz, Mayor Sayid

Usman, Mayor Nukum Sasani, Kapten Hasanuddin dan Letnan Sayid Ali

Alaydrus cukup mengkhawatirkan Gubernur Ali Hasjmy dalam melakukan usaha

keamanan di Aceh.234

Melihat kondisi yang terjadi pada saat itu, penguasa perang Aceh Syamaun

Gaharu langsung mengadakan rapat Penguasa Perang Daerah (Paperda) di

Kutaraja. Rapat yang dihadiri oleh pejabat pemerintah daerah dan tokoh

masyarakat itu mengambil suatu kesepakatan untuk melanjutkan perundingan

dengan pemimpin gerombolan Darul Islam. Sesuai dengan kesepakatan rapat

Paperda, pada Maret 1958, Gubernur Ali Hasjmy secara pribadi mengadakan

233
Dua Setengah Tahun Propinsi Daerah Istimewa Atjeh, Pidato Sambutan
Gubernur/Kepala Daerah Istimewa Atjeh, 17 Agustus 1959, h. 41
234
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 394. Lihat juga
Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 334.
116

pertemuan dengan salah satu pemimpin Darul Islam Hasan Ali di desa Lamteh.

Pertemuan yang berlangsung cukup lama itu membicarakan mengenai tindak

lanjut perdamaian yang diusulkan pemerintah daerah, akan tetapi pendirian Hasan

Ali masih tetap sama yaitu pihak Darul Islam menginginkan Aceh dijadikan

negara bagian yang berdasarkan Islam.235 Permintaan Hasan Ali sulit untuk

diterima oleh Gubernur Ali Hasjmy, sehingga pertemuan di antara kedua belah

pihak tidak mendapat hasil yang baik.

Kegagalan mencapai kata sepakat dalam pertemuan di Desa Lamteh

membuat khawatir Gubernur Ali Hasjmy, hal ini juga dikarenakan perkembangan

gerakan separatis di luar Aceh (PRRI dan OSM) memberi pengaruh yang tidak

baik kepada gerakan Darul Islam, di samping itu gerakan PRRI dan OSM berhasil

merekrut beberapa anggota militer seperti T. Manyak (Komandan Batalyon 136

Kutaraja), Muhammad Isja (Kepala Polisi Kutaraja) dan juga dari kalangan

masyarakat sipil di antaranya Tgk. M. Abduhsyam (Ketua Dewan Perwakilan

Peralihan Daerah Aceh),236 A. Latif Rusdi (Wakil Ketua Masyumi Aceh Besar),

A.R Hajad dan Usman Ali. Kekhawatiran Gubernur Ali Hasjmy semakin

bertambah disaat mengetahui beberapa tokoh PRRI pada awal tahun 1958 telah

berkunjung ke tempat Teungku Muhammad Daud Beureueh yang berada di

Cangek yang terletak antara Pante Raja dengan Trieng Gadeng untuk

membicarakan aliansi gerakan mereka.

Pertemuan yang dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy dengan pihak Darul

Islam Aceh di Desa Lamteh kemudian dilaporkan dalam sidang Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Aceh pada tanggal 17 Maret 1958.

235
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 506.
236
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 395.
117

Dalam sidang itu Gubernur Ali Hasjmy menuturkan bahwa dalam menjalankan

tugasnya menyelesaikan masalah keamanan di Aceh kadang-kadang maju kadang-

kadang mundur, yang membuat sulit dalam mencapai kesepakatan dikarenakan

Darul Islam telah memproklamirkan keluar dari Republik Indonesia dan

bergabung dengan NII (Negara Islam Indonesia) Kartosuwirjo dan juga Darul

Islam telah membentuk NBA (Nagara Bagian Aceh) sejak September 1955.

Sebaliknya Ali Hasjmy dan Syamaun Gaharu sebagai aparatur pemerintah

berpegang kepada negara kesatuan yang berdasarkan pancasila.237

Konspirasi unsur sipil/militer dengan gerombolan Darul Islam diketahui

oleh Komando Daerah Militer Aceh Syamaun Gaharu. Dengan langkah yang

cepat Syamaun Gaharu melakukan penangkapan secara besar-besaran terhadap

mereka yang terlibat PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia)

termasuk Mayor T. Manyak238 beserta beberapa pemimpin sipil yang diduga kuat

ikut berkomplotan dengan PRRI termasuk Teungku Abduh Sjam, dan A. Latif

Rusdi.239 Gerakan separatis PRRI dan OSM dapat diselesaikan oleh keamanan

negara melalui Operasi Tegas, Operasi 17 Agustus dan Operasi Bukit Barisan.240

Dalam hal ini terjadi pengunduran pasukan OSM dan PRRI dari Medan ke

perbatasan Aceh-Sumatera Timur.241

237
Notulen Sidang Peperda I Aceh Dengan Tokoh Masyarakat di Kutaraja, tanggal 16
Maret 1958.
238
Mayor Teuku Manyak seorang Komandan Batalion dan Komandan Sektor Aceh
Besar. Keterlibatan Teuku Manyak dalam PRRI tidak diketahui oleh KDMA(Komando Daerah
Militer Aceh) Syamaun Gaharu sampai kemudian Sjamaun Gaharu mulai merasakan kecurigaan
yang dipekuat oleh pengumaman pengumuman pengambilalihan KDMA (Komando Daerah
Militer Aceh) oleh Teuku Manyak. Lihat Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum
Republik, h. 285.
239
Abduh Sjam merupakan ketua DPRD Peralihan yang terpilih pada 11 Februari 1957,
ia ikut terlibat dalam gerakan separatis PRRI, dan A. Latif Rusdi merupakan Wakil Ketua
Masyumi Cabang Aceh.
240
Ramadhan K.H. dan Hamid Jabbar, Syamaun Gaharu: Cuplikan Perjuangan di
Daerah Modal, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 347.
241
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, h. 285.
118

Beberapa bulan setelah penangkapan Mayor T. Manyak, dalam sebuah

Konferensi di Panca pada tanggal 14 Agustus 1958, Hasan Saleh (Menteri Urusan

Peperangan Darul Islam) dipersalahkan atas penangkapan T. Manyak, padahal

jelas Tgk. M. Daud Beureueh sendiri yang menyatakan bertanggung jawab

apabila Mayor T. Manyak ditangkap oleh Letnan Kolonel Syamaun Gaharu.242

Situasi demikian kelihatannya menimbulkan pengaruh terhadap pendirian

sebagian pemimpin gerombolan yang bersikap realistis (sudah bosan dengan

perang) dan juga rasa ketidak puasaan di kalangan elit gerombolan terhadap gaya

kepemimpinan Wali Negaranya yang dalam pandangan mereka yang agak

otoriter.

Rasa tidak puas sebagian pemimpin-pemimpin Darul Islam memuncak pada

pertengahan tahun 1958, sumber pemicunya adalah penyalahgunaan uang oleh

Hasan Saleh (Menteri Urusan Peperangan Darul Islam) dan Ibrahim Saleh

(Saudara Hasan Saleh),243 dan persoalan Hasan Ali, Hasan Saleh dan A. Gani

Usman telah mengadakan perundingan sepihak dengan P.M. Juanda, Syamun

Gaharu, dan Gubernur Ali Hasjmy. Tuduhan itu nyaris menimbulkan perpecahan

dalam tubuh pemimpin Darul Islam.

Meskipun terjadi perselisihan di antara Teungku Muhammad Daud

Beureueh dengan beberapa pemimpin Darul Islam Aceh, mereka tetap sepakat

untuk meneruskan perjuangan dan janji akan mengangkat senjata kembali pada

permulaan tahun 1959 sepulang Menteri Hasan Ali dari luar negeri. Akan tetapi di

kemudian hari apa yang mereka sepakati tidak dipegang sungguh-sungguh

242
Mengenai pembicaraan Mayor Teuku Manyak dengan Wali Negera Teungku
Muhammad Daud Beureueh lihat Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak. h. 319-324.
243
Mengenai penyalahgunaan uang oleh Hasan Saleh lihat M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh
Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 400.
119

terutama di kalangan kelompok Hasan Saleh dan A. Gani Usman, mereka justru

menghidupkan kembali perundingan dengan pemerintah daerah Aceh yang telah

lama terhenti sejak 14 Maret 1958.

Setelah Konferensi di Panca, pada bulan Oktober 1958 terjadi pertemuan

antara pihak Darul Islam (Hasan Saleh dan Abdul Gani Usman) dengan

pemerintah daerah yang diwakili oleh Gubernur Ali Hasjmy dan Syamaun

Gaharu. Pertemuan kedua belah itu berlangsung dalam suasana yang cukup baku,

akan tetapi lambat laun pertemuan antara ketiga rekan seperjuangan itu

berlangsung secara akrab kembali dan mencapai kesepakatan bahwa mereka akan

memulai kembali pembicaraan damai yang sempat terhenti karena terjadinya

pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Syamaun

Gaharu sendiri meminta Hasan Saleh dan A. Gani Usman untuk menyusun konsep

perdamaian.244

Pertemuan yang berlangusng pada bulan Oktober 1958 antara Hasan

Saleh, Abdul Gani Usman dengan perwakilan pemerintah daerah memperlihatkan

titik terang ke arah perdamaian. Di samping itu, Penguasa Perang Aceh Syamaun

Gaharu melakukan hubungan dengan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) A.H.

Nasution, ia juga mengirim proposal yang sangat rahasia kepada A.H Nasution

(KSAD) yang bertanggal 18 Oktober, 21 dan 28 November 1958. Secara garis

besar isi proposal tersebut berisikan usulan tentang penyelesaian pemulihan

keamanan Provinsi Aceh dan juga permintaan atas status Daerah Istimewa Aceh

dalam bidang keagamaan, ekonomi, pembangunan, pendidikan, pengajaran,

244
Mengenai suasana pertemuan yang berlangsung di rumah Syamaun Gaharu lihat
Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 338-339.
120

kebudayaan dan usulan rehabilitasi dan penampungan pemberontak ke dalam

tubuh Republik Indonesia.245

Dalam usaha memperjelas proses perdamaian tersebut Syamaun Gaharu

berhasil mempertemukan Kepala Staf Angkatan Darat A. H. Nasution dengan

pimpinan Darul Islam Hasan Saleh dan A. Gani Usman. Dalam pertemuan yang

berlangsung di rumah Panglima KDMA di Neusu Kutaraja tanggal 22 Desember

1958, Hasan Saleh dan A. Gani Usman telah menjamin tidak akan ada perang lagi

sebagaimana ucapannya “…Bismillahirrahmanirrahim, dengan ini saya atas nama

seluruh rakyat Aceh, mengikrarkan di depan Pak Nas bahwa saya menjamin

keamanan Aceh dan akan menggagalkan usaha untuk berperang kembali pada

tanggal satu bulan satu tahun sembilan belas lima sembilan…”.246 Sebagai

konsekuensinya KSAD A. H. Naustion akan berusaha mematuhi tuntutan yang

diajukan oleh Hasan Saleh.

Pertemuan pemimpin Darul Islam (Hasan Saleh dan A. Gani Usman)

dengan KSAD A.H. Nasution telah menyebabkan Teungku Muhammad Daud

Beureueh marah, sebab pertemuan dilakukan tanpa sepengetahuannya.

Amarahnya tercermin dalam sebutan yang ia berikan kepada menteri urusan

perangnya, "Hasan Salah", yang berarti Hasan Saleh yang telah berbuat

kesalahan.247 Kemelut politik yang terjadi dalam kalangan pemberontak ini

mencapai puncaknya pada tanggal 15 Maret 1959, pukul 08.00 pagi yang

bertempat di desa Meutareum, Kolonel TII (Tentara Islam Indonesia) Hasan Saleh

selaku Menteri urusan peperangan NBA (Negara Bagian Aceh)/ NII (Negara

245
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 404.
246
Mengenai pertemuan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) A.H. Nasution dengan
pemimpin Darul Islam (Hasan Saleh dan A. Gani Usman) lihat selengkapnya, Hasan Saleh,
Mengapa Aceh Bergolak, h. 341-346.
247
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, h. 292.
121

Islam Indonesia) didampingi wakil Perdana Menteri A. Gani Usman secara

sepihak dihadapan kurang lebih 1000 pengikutnya menyatakan mengambil alih

pimpinan NBA (Negara Bagian Aceh) sipil dan militer dari tangan Wali Negara

Teungku Muhammad Daud Beureueh.248

Tanggal 15 Maret 1959 kelompok Hasan Saleh, Amir Husein Al Mujahid,

dan A. Gani Usman, memisahkan diri dari Tgk. M. Daud Beureueh dan

membentuk Dewan Revolusi. Sementara Tgk. M. Daud Beureueh, Hasan Ali dan

pengikut-pengikutnya yang setia tetap melanjutkan perjuangan. Tgk. M. Daud

Beureueh juga mengeluarkan pernyataan bahwa Dewan Revolusi tidak sah.

Bahkan Tgk. M. Daud Beureueh menyatakan Pemerintah RI (KDMA) ikut

berperang dalam mendorong terbentuknya Dewan Revolusi tersebut.249

C. Penyelesain Kasus Konflik Darul Islam Melalui Missi Hardi

Pemerintah daerah ikut berperan dalam mendorong lahirnya Dewan

Revolusi, oleh karena itu mereka menyambut dengan antusias tindakan Hasan

Saleh dan A. Gani Usman. Esok hari KDMA Syamaun Gaharu mengeluarkan

sebuah seruan yang berisikan pujian terhadap Dewan Revolusi yang

menginginkan penyelesaian keamanan di Daerah Aceh sesuai dengan prinsip Ikrar

Lamteh dan Konsepsi Prinsipil dan Bijaksana. Dalam seruan itu juga Syamaun

Gaharu mengecam pendirian Tgk. M. Daud Beureueh yang tetap menghendaki

penyelesaian masalah dengan caranya sendiri.250

248
Mengenai proses pengambilan kekuasan Darul Islam, selengakpanya lihat Hasan
Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 356. Lihat juga, “Hasan Saleh Cs Ambil Alih Pimp DI-TII Dari
Tgk. Mohd. Daud Beureueh,” Peristiwa, 22 Maret 1959, h. 1. Lihat juga, “Dgn Diambil Alih
Pimpinan DI TII Oleh Hasan Saleh Cs Apakah Atjeh Bisa Aman Atau Tidak,” Peristiwa, 2 April
1959, h. 1.
249
M. Nur Ibrahimy, Teungku Muhammad Daud Beureueh Peranan Dalam Pergolakan
di Aceh, (Jakarta: Gunung Angung, 1982), h. 166.
250
Lebih jelas lihat seruan yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh Syamaun Gaharu
tanggal 16 Maret 1959 dalam Dari Darul Harb ke Darussalam Jilid II
122

Pada tanggal 26 Maret 1959, keluar Komunike No. 2 dari Dewan Revolusi

yang menyatakan Dewan Revolusi NBA/NII akan meneruskan permusyawaratan

dengan Pemerintah Republik Indonesia serta akan menjadikan musyawarah ini

sebagai prinsip bukan taktik.251 Sejalan dengan pernyataan Komunike No. 2,

Dewan Revolusi juga mengirim surat kepada Pemerintah Pusat untuk melakukan

perundingan resmi. Surat itu bertanggal 21 April 1959. Korespondensi juga

dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy dengan mengirim surat kepada Perdana

Menteri Juanda agar pemerintah Pusat mengirim utusan untuk berunding dengan

Dewan Revolusi.252

Awal Mei 1959 Perdana Menteri Djuanda mengudang Ali Hasjmy dan

Syamaun Gaharu dalam suatu sidang istimewa kabinet guna menyampaikan

pendapat mereka. Kedua tokoh Pemerintah Daerah (Ali Hasjmy-Syamaun

Gaharu) juga menegaskan bahwa kasus konflik Darul Islam akan dapat

diselesaikan atas dasar Ikrar Lamteh. Kemudian kabinet setuju untuk mengadakan

perundingan resmi dengan Dewan Revolusi. Dalam hal perundingan, kabinet

merencanakan untuk mengirim suatu missi pemerintah di bawah pimpinan Wakil

Perdana Menteri I Mr. Hardi (dari PNI) ke Aceh.253 Missi ini lebih dikenal dengan

sebutan Missi Hardi.

251
Maksud dari “prinsip bukan taktik” adalah bermusyawarah memperbincangkan semua
soal melalui diplomasi, dan bukan diartikan dengan menyerah. Dan dengan musyawarah bukan
maksud untuk mencari menang atau kalah melainkan hasil hasil muswarah kelak sebagai dari cita-
cita kedua belah pihak. Jadi inilah yang dinamakan perdamaian. Adanya persatuan dan kembali
bersatu sebagai hasil musyawarah kelak, bukanlah sama sekali penyerahan atau menyerah,
melainkan kewajiban kita untuk damai dan bersatu selanjutnya untuk melanjutkan revolusi 17
Agustus tahun 1945, yang sudah pernah menjadi kewajiban suci kita umat Islam di daerah Aceh
masa yang lalu. Lihat Pernyataan Wali Negara NBA-NII Aceh Besar, 26 Maret 1959, Komunike
Dewan Revolusi No,2.
252
Lebih jelas lihat Surat Ali Hasjmy kepada Perdana Menteri RI Juanda dalam Dari
Darul Harb ke Darussalam
253
Dalam menentukan siapa yang akan memimpin missi pemerintah ke Aceh A. Hasjmy
menyarankan kepada Perdana Menteri Djuanda agar yang memimpin missi itu sebaiknnya Wakil
123

Perdana Menteri Djuanda juga meminta Gubernur Ali Hasjmy dan KDMA

Syamaun Gaharu agar bertemu dengan Presiden untuk meminta persetujuannya.

Pada hari Selasa awal bulan Mei 1959, Gubernur Ali Hasjmy dan Komandan

Daerah Militer Aceh Syamaun Gaharu menghadap Presiden Soekarno di Istana

Merdeka. Di dalam Istana Merdeka Presiden di dampingi oleh PM Djuanda,

Kepada Staf Angkatan Darat Kolonel Nasution, Kepala Staf Angkatan Laut

Subijakto dan Kepala Staf Angkatan Udara Kolo Udara Surjadarma. Kemudian

Gubernur Ali Hasjmy dan Komandan Daerah Militer Aceh (KDMA), berpidato

memberi penjelasan yang mana penjelasan kedua pejabat tersebut diterima baik

oleh Perdana Menteri Djuanda, dan Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel

Nasution. Kepala Staf Angkatan Laut Soebijakto menolak, dengan alasan bahwa

Angkatan Laut cukup kuat untuk menghancurkan pemberontakan Darul Islam di

Aceh. Kepala Staf Angkatan Udara bersikap moderat dengan menyatakan dalam

menyelesaikan peristiwa Aceh perlu dicarikan jalan yang paling baik. Akhirnya

Perdana Menteri Juanda member tanggapan panjang lebar dengan bahasa yang

halus mengatakan

“…Kalau rakyat Aceh kini ibarat seorang anak nakal, bapaknya tidak harus memukul anak
itu. Selama ada jalan bagi anak nakal menjadi baik kembali haruslah kita pergunakan
jalan itu. Kelihatannya jalan itu ada dan alangkah tidak bijaksananya seorang ayah tidak
pandai menggunakan jalan itu.”254

Akhirnya Presiden Sukarno memutuskan, bahwa keamanan Aceh akan

diselesaikan dengan cara damai, serta mendukung Mr. Hardi untuk menjalankan

Missi perdamaian ke Aceh.255

Perdana Menteri I Mr. Hardi. Selengkapnya lihat A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun, h.
515.
254
A. Hasjmy, dkk., 50 Tahun Aceh Membangun, (Banda Aceh: MUI, 1995), h. 143.
255
T. Alibasyah Talsya, 10 Tahun Daerah Istimewa Aceh, h. 16. M. Isa Sulaiman,
Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 415.
124

Pada tanggal 23 Mei 1959 Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi beserta

rombongan tiba di Kutaraja. Kedatangan Wakil Perdana Menteri (WKPM) Mr.

Hardi disambut dengan baik Gubernur Ali Hasjmy, Letnan Komandan Teuku

Hamzah, instansi-instansi sipil dan militer serta wartawan-wartawan di ibukota.

Dalam rombongan delegasi pemerintah hadir Mr. Soegianto (Pembantu Wakil

Perdana Menteri I), Achmad (Biro Keamanan Pusat), Kolonel Soeprajogi

(Menteri Negara Urusan Stabilisasi Ekonomi), Major Kaswati (Pembantu

MBAD), Jenderal Mayor Gatot Subroto (Wakil KSAD), dan Wilujo (MBAD

Pusat Overste).256

Pertemuan antara Missi Hardi dengan Dewan Revolusi berlangsung di Aula

Penguasa Perang Daerah (Peperda) Aceh pada tanggal 25 sampai dengan tanggal

26 Mei 1959. Pada sidang pertama yang berlangsung pada tanggal 25 Mei 1959

ada tiga pembicara, yaitu (1) kata sambutan oleh Gubernur/Kepala Daerah Aceh,

(2) pidato sambutan pertama Abdul Gani Usman, selaku Ketua Dewan Revolusi,

dan (3) Uraian mengenai kebijaksanaan Pemerintah Pusat oleh Ketua Missi

Pemerintah Pusat. Adapun pokok pokok pikiran yang dituangkan dalam pidato

pembukaan Gubernur Ali Hasjmy adalah sebagai berikut:

1. Kedatangan Missi Wakil Perdana Menteri I kedaerah Aceh ialah sebagai

tindak lanjut dari Ikrar Lamteh yang terjadi pada tanggal 7 April 1957.

2. Kedatangan Missi Hardi kedaerah Aceh ialah untuk kepentingan daerah

dan rakyat Aceh.

3. Bahwa bangsa Indonesia pada umumnya, dan satu setengah juta rakyat

Aceh khususnya, mengarahkan mata dan telinganya ke Banda Aceh,

256
“Kedatangan Pemerintah Pusat Adalah Dengan Suatu Tugas Khusus,” Peristiwa, 27
Mei 1959, h. 1.
125

dengan harapan agar musyawarah menghasilkan sukses, hingga

membuka kemungkinan datangnya zaman yang membawah kerukunan,

perdamaian, ketenteraman, dan kemajuan bagirakyat Aceh.257

Sesudah Gubernur Ali Hasjmy yang bertindak sebagai tuan rumah secara

resmi membuka perundingan, maka pada kesempatan yang sama ketua Dewan

Revolusi, Abdul Gani Usman menyampaikan pidato yang bertajuk pada prinsip-

prinsip Naskah Perdamaian Darussalam yang membentangkan cita-cita

perjuangan Darul Islam Aceh dan usul-usulnya untuk dibahas dalam musyawarah.

Kata sambutan terakhir disampaikan oleh Ketua Missi Pemerintahan Pusat, Mr.

Hardi Ia menyampaikan sebuah pidato yang sangat penting, dalam pidatonya

beliau menampilkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat diberikan dalam

rangka menyelesaikan pemberontkan Darul Islam dengan cara damai.258

Acara pembukaan yang berlangsung di antara kedua belah pihak berjalan

dengan baik dan lancar, namun ketika mulai memasuki pembahasan inti, keadaan

berubah menjadi alot dan tegang, hal ini disebabkan tuntutan-tuntutan dari pihak

Dewan Revolusi yang mengarah kepada Naskah Perdamaian Darussalam259 yang

cukup luas dan mendasar dan tidak mungkin akan terselesaikan dalam waktu yang

singkat oleh Missi Hardi. Di samping itu para pemimpin Dewan Revolusi

mengusulkan agar Aceh mempunyai semua kekuasaan, kecuali dalam urusan luar

257
Mengenai isi pidato Gubernur Ali Hasjmy, Ayah Gani Usman, dan Wakil Perdana
Menteri I Mr. Hardi lihat Hasil Perkundjungan Missi Pemerintah Pusat dpb Wk. P.M. I Mr. Hardi
Tanggal 25 dan 26 Mei 1959 di Kutaradja. h, 5-23. Lihat juga Hardi, Daerah Istimewa Aceh:
Latar Belakang Politik dan Masa Depannya, (Jakarta: Cita PancaSerangkai, 1993) h. 163.
258
Hardi, Daerah Istimewa Aceh, h. 12. Lihat juga Hasil Perkundjungan Missi
Pemerintah Pusat dpb Wk. P.M. I Mr. Hardi Tanggal 25 dan 26 Mei 1959 di Kutaradja. h, 5-23.
259
Naskah Prinsip-Prinsip Perdamian Darussalam dibuat pada 10 Mei 1959 dan
ditandatangani oleh Abdul Gani Usman dan A.G. Mutyara. Naskah itu terdiri dari 12 butir dan
tebalnya 20 halaman. Naskah Perdamaian Darussalan berisi tentang prinsip-prinsip dan tuntutan
yang diajukan kepada Wakil Perdana Menteri I Mr Hardi dalam perundingan yang terjadi di Aceh.
Lihat selengkapnya Hasil Perkundjungan Missi Pemerintah Pusat dpb Wk. P.M. I Mr. Hardi
Tanggal 25 dan 26 Mei 1959 di Kutaradja. h, 35-51.
126

negeri, pertahanan, dan keuangan. Sebagai tambahan, mereka mengaitkan

otonomi yang demikian luas itu dengan prinsip kebebasan beragama yang

menegaskan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Mereka juga menuntut, amnesti

dan abolusi yang ditawarkan Pemerintah Pusat kepada Darul Islam harus

dilengkapi dengan rehabilitasi kepada anak buah mereka.260 Kerumitan yang

terjadi dalam perundingan itu hampir mengalami kegagalan.

Dalam hal ini Wakil Perdana Menteri Hardi menolak tuntutan itu, karena

tidak mungkin menerima tuntutan Dewan Revolusi yang menginginkan Aceh

berstatus Daerah Istimewa yang bersifat federal. Mr. Hardi mengatakan kepada

Dewan Revolusi bahwa pemerintah akan memberikan status otonomi khusus

dalam bidang keagamaan, pendidikan, adat dan hukum tapi bukan status Daerah

Istimewa yang bersifat federal. Namun, Dewan Revolusi tidak bersedia

melepaskan tuntutan mereka. Kerumitan yang terjadi dalam perundingan itu

hampir mengalami kegagalan.

Suasana yang tegang dalam perundingan tersebut membuat Ali Hasjmy

selaku pimpinan Musyawarah mengistirahatkan majelis dan memberi kesempatan

kepada Delegasi Dewan Revolusi untuk memikirkan kembali tuntutan meraka.

Pada waktu istirahat para anggota Dewan Revolusi mengadakan pembicaraan

khusus di ruangan lain dengan Wakil Perdana Menteri Mr. Hardi. Adapun isi

pembicaraan itu sebagaimana yang dikisahkan oleh Hasan Saleh dalam bukunya

Mengapa Aceh Bergejolak, Mr. Hardi menanyakan:

“Apa yang menyebabkan kami bersikeras menuntut daerah istimewa untuk Aceh.
Kemudian saya menjawab Pak Juanda sebagai PM, maupun Pak Nasution sebagai KSAD,
membenarkan kami untuk menuntut sesuatu yang tidak bertentangan dengan konstitusi RI.

260
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, h. 310. Lihat “Prinsip-
Prinsip Naskah Perdamaian Darussalam” dalam Hasil Perkundjungan Missi Pemerintah Pusat dpb
Wk. P.M. I Mr. Hardi Tanggal 25 dan 26 Mei 1959 di Kutaradja, h. 5.
127

Kedua, beberapa hari yang lalu kami menerima tembusan surat KSAD kepada PM Juanda,
yang isinya meminta kabinet untuk mempertimbangkan status daerah istimewa untuk Aceh.
Yang ketiga, kata saya selanjutnya, status daerah istimewa ini juga dikenal dalam negara
RI, yaitu untuk Daerah Yogyakarta. Keempat, kami yakin bahwa dengan tiga keistimewaan
yang kami tuntut, Aceh akan dapat mengejar ketinggalannya selama ini, akibat perang yang
terus-menerus, baik selama melawan Belanda dulu, maupun karena pemberontakan
sekarang ini.261

Pada malam hari tanggal 25 Mei 1959 permusyawaratan dilanjutkan terus,

tanpa ada tanda-tanda akan berhasil, sehingga sidang perundingan antara kedua

belah pihak ditutup dengan tidak mencapai kata apapun dan musyawarah akan

dilanjutkan besok pagi jam 11.30.

Kebuntuan yang terjadi di saat perundingan memberikan kesempatan

kepada para penguasa Aceh atau lokal untuk memainkan peranan yang lebih

penting dalam perundingan tersebut. Sejalan dengan itu, Mr. Hardi merasa yakin

bahwa perantara penguasa lokal diperlukan dalam melunakkan sikap Dewan

Revolusi. Pada saat itulah Gubernur Ali Hasjmy sebagai Kepala Daerah Provinsi

Aceh ikut campur tangan dalam hal ini. Sepanjang malam Gubernur Ali Hasjmy

dan Kepala Staf Kodam I Letkol T. Hamzah memanfaatkan pengaruh Bupati

Aceh Besar Zaini Bakri untuk membujuk para pemimpin Dewan Revolusi. Ia

mendesak mereka agar bersikap moderat dan menerima kompromi yang telah

disetujui Perdana Menteri Hardi.262 Upaya dan usaha yang dilakukan Zaini Bakri

akhirnya berhasil. Menjelang subuh tanggal 26 Mei Dewan Revolusi setuju untuk

berkompromi dengan Missi Pemerintah.263

Perundingan terakhir antara Delegasi Pemerintah Pusat dengan Dewan

Revolusi pada 26 Mei 1959 mencapai beberapa kesepakatan, di antaranya,

pertama penyatuan diri Dewan Revolusi ke dalam Republik Indonesia untuk

261
Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 361.
262
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, h. 312. Lihat juga A.
Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 521.
263
T. Alibasyah Talsya, 10 Tahun Daerah Istimewa Aceh, h. 17.
128

melanjutkan Revolusi Nasional tahun 1945. Kedua, berkompromi dengan

pengertian bahwa kedua belah pihak harus mencari kemungkinan untuk

selanjutnya membicarakan masalah-masalah yang belum diselesaikan. Ketiga

meleburkan organisasi NBA (Negara Bagian Aceh) sipil dan militer ke dalam

tubuh Pemerintah Republik Indonesia.264 Setelah itu Wakil Perdana Menteri Mr.

Hardi mengeluarkaan keputusan Perdana Menteri RI No. 1/Missi/1959 tanggal 26

Mei tentang perubahan Daerah Swantantra Tingakat I Aceh menjadi Daerah

Istimewa dengan otonomi seluas-luasnya terutama dalam hal keagamaan, adat dan

hukum, serta pendidikan.265

Hasil perundingan tersebut dapat dilihat sebagai suatu kemenangan bagi

pihak Aceh, walaupun pemerintah pusat tidak mengabulkan semua tuntutan

Dewan Revolusi. Tetapi yang lebih penting bagi para pemimpin Dewan Revolusi

adalah bahwa hasil perundingan itu sangat tidak mempermalukan mereka, sebab

ini merupakan prestasi yang harus dihargai oleh rakyat. Meskipun misi

pemerintah pusat menolak konsep otonomi luas mereka, pada kenyataannya

mereka telah memperoleh sebagian besar dari apa yang mereka tuntut, baik secara

tertutup maupun terbuka, termasuk pelaksanaan syariat Islam di Aceh.266

Keesokan harinya Gubernur Ali Hasjmy dan Komando Daerah Militer

Aceh Teuku Hamzah mengeluarkan pernyataan bersama yang mengandung 11

butir kronologis perundingan dan keputusan yang diambil, yang kemudian

264
Lihat Surat Pernyataan Dewan Revolusi, Gerakan Repolusioner Islam Atjeh
bertanggal Aceh Darussalam, 26 Mei 1959 dalam Dari Darul Harb ke Darussalam Jilid II.
265
Mengenai surat keptusan Perdana Menteri Republik Indonesia tentang status Daerah
Istimewa Aceh lihat Hasil Perkundjungan Missi Pemerintah Pusat dpb Wk. P.M. I Mr. Hardi
Tanggal 25 dan 26 Mei 1959 di Kutaradja. h, 67.
266
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, h. 313.
129

disebarluaskan kepada masyarakat.267 Untuk merealisasikan keputusan itu

Gubernur Ali Hasjmy melakukan pidato melalui radio yang ditujukan kepada

lawan-lawan politiknya agar semua gerombolan turun gunung untuk ikut gabung

dalam merealisasikan keputusan tersebut.

Pada tanggal 30 Mei Gubernur Ali Hasjmy berpidato dengan judul Daerah

Istimewa Aceh dengan Otonomi Seluas-Luasnya, beliau menyerukan agar jangan

ada yang coba-coba berdiri di atas dua perahu, jangan terpengaruh dengan

bujukan orang-orang yang bersuka ria dan hidup mewah di atas penderitaan

rakyat, waspada terhadap hasut fitnah yang bertujuan menimbulkan pertumpahan

darah, dan bergabung dengan pemerintah untuk mengisi momentum sejarah ini.268

Abdul Gani Usman sebagai Ketua Dewan Revolusi merasa perlu untuk

memberitahukan kepada masyarakat terutama para gerombolan tentang apa yang

telah Dewan Revolusi lakukan. Pidato radio pada tanggal 30 Mei diberi judul

Menempuh Zaman Baru. Dalam pidato itu Abdul Gani Usman menguraikan

kronologis perundingan dengan Pemerintah Pusat. Ia mengatakan bahwa apa yang

dihasilkan itu merupakan fajar harapan yang harus ditindaklanjuti demi kejayaan

Aceh pada masa-masa yang akan datang. Abdul Gani Usman juga menyadarkan

kepada rekan-rekannya betapa kehancuran yang telah dialami oleh rakyat Aceh

sejak pemberontakan meletus. Karena itu, menurutnya kita perlu menekankan

perasaan, menenangkan perhitungan dan meletakkan suatu dasar yang baik lagi

kuat guna kepentingan masyarakat.269

267
Isi lengkap pernyataan Gubernur Ali Hasjmy dan Letnan Kolonel T. Hamzah lihat
“Atjeh Sudah Dapat Disebut Daerah Istimewa Atjeh Dengan Isi Dasar Undang-Undang I/57
Tentang Otonomi Jang Luas,” Peristiwa, 6 Juni 1959, h. 1-6.
268
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 418.
269
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 419.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian melalui literature-literatur yang ada, yang berkaitan

dengan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini yakni mengenai Kebijakan

Gubernur Ali Hasjmy Terhadap Darul Islam Aceh sejak tahun 1957-1959,

memetakan kronologi sejarah terbentuknya Darul Islam Aceh, serta menemukan

latar belakang dan faktor penyebab terjadinya konflik di Aceh, maka dapat

disimpulkan bahwa kemunculan konflik ini dapat dianalisis bahwa sebenarnya

terjadi kesenjangan sosial yang sangat mencolok antara pemerintah pusat dan

daerah

Konflik ini merupakan ketidakadilan yang dirasakan rakyat Aceh terhadap

pemerintah pusat yang yang dirasa kurang memperhatikan kesejahteraan dan

keinginan rakyat Aceh, padahal yang kita ketahui pada awal kemerdekaan

Indonesia, Aceh banyak memberikan dukungan moril dan ekonomi. Rakyat Aceh

di bawah pimpinan Teungku Daud Beureueh, sepakat mengumpulkan dana demi

perjuangan dan berperan aktif untuk tetap menjaga keutuhan tanah air. Melihat

besarnya sumbangan rakyat Aceh, Presiden Soekarno menjuluki Aceh sebagai

daerah modal dan menjanjikan diterapkannya syariat Islam di Aceh. Ternyata di

kemudian hari Aceh tidak diberi otonomi dengan penerapan syariat Islam seperti

yang telah dijanjikan, bahkan sebaliknya Aceh kemudian dimasukkan ke dalam

Provinsi Sumatra Utara dan Daud Beureueh disingkirkan dari Pemerintahan.

Kekecewaan ini menghasilkan pemberontakan di tahun 1953.

130
131

Konflik yang terjadi antara Pemerintah Pusat dengan Darul Islam

memakan waktu yang relatif lama, sehingga dalam menangani pergolakan di

Aceh, pemerintah menetapkan pembentukan kembali Provinsi Aceh dan memilih

Ali Hasjmy sebagai gubernurnya. Pengembalian status provinsi dan komando

militer menghidupkan lagi harapan rakyat Aceh, dan membuat para pemimpin

baru dipandang sebagai pahlawan sejati. Dari satu segi, penerimaan rakyat

terhadap kepemimpinan Hasjmy serta pendekatannya dalam penyelesaian

pemberontakan secara damai.

Sejalan dengan itu pemberian status otonomi saja belum mempunyai

dampak yang berarti untuk menghentikan pergolakan DI/TII. Oleh karena itu

melalui Gubernur Ali Hasjmy, melakukan pendekatan terhadap DI/TII agar mau

berdamai dengan Republik Indonesia. Akhirnya dengan pendekatan yang

dilakukan Gubernur Ali Hasjmy, kelompok DI/TII yang berhaluan moderat atau

yang dikenal dengan „Dewan Revolusi‟ setuju untuk berdamai dengan emerintah

pusat dengan ketentuan memberlakukan syariat Islam di Aceh sesuai dengan

keputusan Perdana Menteri No. I/Missi/1959

B. Saran

1. Diharapkan kepada para pembaca kiranya dapat mengambil suri tauladan

dari perjuangan para ulama Aceh dalam menyuarakan aspirasi umat Islam, serta

turut pro aktif dalam menggagas perdamaian di Aceh.

2. Kajian ini ditunjukkan kepada para pemimpin, tokoh masyarakat, dan

orang-orang berpengaruh lainnya, dengan melihat figur Ali Hasjmy diharapkan

bisa lebih menambah rasa antusias, dan memotivasi diri dalam hal pemimpin
132

sebuah daerah. Serta diharapkan menjadi sosok yang berkharismatik dan tenang

dalam memimpin seperti yang ditunjukkan oleh Gubernur Ali Hasjmy.

3. Penelitian ini hanya sebuah karya sederhana dan jauh dari kesempurnaan,

bagi peneliti yang ingin meneruskan penelitian ini disarankan melakukan

wawancara dengan pihak-pihak terkait yang masih hidup.


1

Daftar Pustaka

Buku

Amelia, Pidia, Gubernur Pertama dan Lahirnya Propinsi Sumatera Utara

Perjuangan Mr. SM Amin Mempertahankan Republik Indonesia di

Sumatera Utara dan Aceh 1945-1949 Medan: Unimed Press, 2013.

Amin, S.M., Kenang-Kenangan Dari Masa Lampau, Jakarta: Pradyana Paramita,

1984.

…….. Sekitar Peristiwa Berdarah di Aceh, Jakarta: Soeroengan, 1957.

Amin, Sutan Muhammad, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution Perjalanan

Hidupku Selama 10 Windu, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

Bahar, Saafroedin dan A.B. Tangdililing, Integrasi Nasional Teori, Masalah dan

Strategi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996.

Basri, Hasan, “A. Hasjmy (1914-1998): Kajian Sosial-Intelektual dan

Pemikirannya Tentang Politik Islam,” (Disertasi S3 Fakultas Pasca Sarjana,

Universitas Islam Negeri Jakarta, 2000).

…….. Teungku A. Hasjmy: Pengembang Tradisi Keilmuan dan Perekat Ulama-

Umara,” dalam Tim Penyusun IAIN ar-Raniry, Ensklopedi Pemikiran

Ulama Aceh, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004.

Boland, B.J., The Struggle of Islam In Modern Indonesia, The Hague-Martinus

Nijhoff: Verhandelingen KITLV, 1971.

Burton, John, Conflict; Resolution and Prevention, New York: The Macmillan

Press Ltd, 1990.

Chaniago, JR. PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) Dalam Khasanah

Kearsipan, Jakarta: Arsip Nasional, 1989.


2

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Daerah Propinsi Daerah

Istimewa Aceh, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977.

……..Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Istimewa Aceh, Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983.

Dijk, C. Van, Darul Islam, Sebuah Pemberontakan, (terj.), Jakarta: Grafiti Pers,

1993.

Gelanggang, A.H., Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik Mr.

S.M. Amin, Kutaraja: Pustaka Murni Hati, 1956.

Ghazaly, H.A., Biografi Prof Tgk H. Ali Hasjmy, Jakarta: Penerbit Socialia,

1978.

Hardi, Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa Depannya,

Jakarta: Cita Panca Serangkai, 1993.

Hasjmy, A. dan Talsya, T. Alibasyah, Hari-Hari Pertama Revolusi 45 di Daerah

Modal, Banda Aceh: Departemen P & K dan Masyarakat Sejarawan

Indonesia, 1976.

…….. Al Manak Umum, Kutaradja: Atjeh Press Service, 1959.

…….. 50 Tahun Aceh Membangun, Banda Aceh: MUI Aceh, 1995.

…….. Malam-Malam Sepi di Rumah Sakit MMC, Banda Aceh, Yayasan

Pendidikan Ali Hasjmy, 1992.

…….. Pengaruh Surat Al Alaq Dalam Kehidupan Ilmiyah A. Hasjmy,

Perpustakaan dan Musem Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy, 1991.

…….. Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

…….. Semangat Indonesia 70 Tahun Menempuh Pergolakan dan Perjuangan

Kemerdekaan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985.


3

…….. Ulama Aceh Mujahid Kemerdekaan dan Pembangun Tamadun Bangsa,

Jakarta: Bulan Bintang, 1997.

Ibrahimy, M. Nur El, Tgk. Daud Beureueh: Peranannya Dalam Pergolakan di

Aceh, Jakarta: PT Gunung Agung, 1982.

Insider, Atjeh Sepintas Lalu, Djakarta: FA Archapada.

Ismail, Badruzzaman, ed., A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan:

Delapan Puluh Tahun Melalui Jalan Raya Dunia, Jakarta: Bulan Bintang,

1994.

Ismuha, Ulama Aceh Dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: LEKNAS-LIPI, 1976.

Jakobi, Tgk. A.K., Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi

Kemerdekaan 1945-1949, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998.

Kahin, Georg McTurnan, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Depok:

Komunitas Bambu 2013.

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya,

1995.

Lawang, Robert, Buku Materi Pokok Pengantar Sosiolog, Jakarta: Universitas

Terbuka, 1994.

Leatherman, Jenie, dkk. Memutus Siklus Kekerasan Pencegahan Konflik dan

Krisis Intranegara, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004

Madjid, M. Dien dan Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar, Jakarta:

Kencana, 2014.

Memorandum Tentang Peristiwa Pemberontakan DI-TII Di Atjeh, T.tp.: Staf

Umum I Tentara dan Ter I Bukit Barisan, 1956.


4

Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan

dan Kesatuan Bangsa: Kasus Darul Islam di Aceh, Jakarta: Proyek

Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1994.

Piekaar, A. J., Aceh dan Peperangan Dengan Jepang, (terj.), Banda Aceh: Pusat

Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1981.

Ramadhan K.H. dan Hamid Jabbar, Syamaun Gaharu: Cuplikan Perjuangan di

Daerah Modal, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.

Reid, Anthony, Perjuangan Rakyat Revolusi dan Hancurnya Kerajaan Sumatera,

(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.

Remantan, Daud, “Pembaharuan Pemikiran Islam di Aceh (1914-1953).”

Disertasi S3 Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta 1985.

Saleh, Hasan, Mengapa Aceh Bergejolak, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992.

Sastroamidjojo, Ali, Keterangan dan Djawaban Pemerintah Tentang Daud

Beureueh, Jakarta: Kementerian Penerangan RI, 1953.

Sjamsuddin, Helius, Metotelogi Sejarah, Yogyakarta: Ombak, 2012.

Sjamsuddin, Nazaruddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam

Aceh, Jakarta: Pustaka Grafiti, 1990.

Sufi, Rusdi, dkk., Sejarah Kotamadya Banda Aceh, Banda Aceh: Balai Kajian

Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 1997.

Sulaiman, M. Isa, Aceh Merdeka: Ideologi, Kepemimpinan dan Gerakan, Jakarta:

Pustaka Al-Kausar, 2000.

…….. Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1997.
5

Suwondo, Bambang, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta:

Depdikbud, 1978.

Talsya, T. Alibasjah, Sepuluh Tahun Daerah Istimewa Atjeh, Banda Atjeh:

Pustaka Putroe Tjanden, 1969.

Tempo, Daud Beureueh Pejuang Kemerdekaan yang Berontak, Jakarta KPG

(Kepustkaan Populer Gramedia, 2011).

Tim Monograf Daerah Istimewa Aceh, Monograf Daerah Istimewa Aceh, Jakarta:

Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, 1976.

TWH, Muhammad, Gubernur Pertama dan DPR Sumatera Utara Pertama,

Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 2008.

Usman, Abdullah Sani, Krisis Legitimasi Politik Dalam Sejarah Pemerintahan di

Aceh, Jakarta: Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang

Lektur Keagamaan, 2010.

Surat Kabar

“A Hasjmy Tokoh Besar Dalam Kenangan,” GAPENA, 20 Januari 1998.

“A. Hasjmy Diangkat Menjadi Professor Ilmu Dakwah,” Harian Duta, 16 April

1976.

“Ali Hasjmy Bapak Pendidikan Aceh,” Republika, 20 November 2011.

“Atjeh Pertahankan Hak Propinsi, Belum Ada Ketegasan Dari Pusat,” Waspada,

30 Oktober 1950.

“Atjeh Pertahankan Hak Propinsi, Belum Ada Ketegasan Dari Pusat,” Waspada,

30 Oktober 1950.

“Atjeh Sudah Dapat Disebut Daerah Istimewa Atjeh Dengan Isi Dasar Undang-

Undang I/57 Tentang Otonomi Jang Luas,” Peristiwa, 6 Juni 1959.


6

“Di New York Didirikan, Rep Islam Indonesia,” Peristiwa, 7 September 1954.

“Gub. Hasjmy Dengan Ikrar Lamtehnya,” Peristiwa, 22 Maret 1959.

“Gubern. Hakim Berseru SPJ Orang Djangan Berdosa t‟hadap Negara,” Antara,

24 September 1953.

“Gupernur Amin: Militaire Bijstand Harus Diminta Untuk Mengachiri

Pemberontakan PUSA,” Sin Po, 10 Oktober 1953.

“Hasan Tiro Diberi Waktu Sampai 22 Sept Untuk Pulang Ke Indonesia,” Antara,

17 September 1954.

“Kedatangan Pemerintah Pusat Adalah Dengan Suatu Tugas Khusus,” Peristiwa,

27 Mei 1959

“Keterangan Pemerintah Tentang Atjeh: Tindakan Pertama-tama Memadamkan

Pemberontakan,” Sin Po, 28 Oktober 1953.

“Keterangan Pemerintah Tentang Peristiwa Atjeh,” Bintang Timur, 29 Okober

1953.

“Kol. Simbolon Berterus Terang di Djakarta: Djangan Pakai Kekerasan Sendjata

Sadja Terhadap Pemberontak dan Djuga Djangan Umumkan SOB,” Bintang

Timur, 17 November 1953.

“KSAD Bersikap Tegas: Pemberontakan Atjeh Harus Ditindas Setjara Militer,”

Sin Po, 2 Oktober 1953.

“Partai Islam Perti Anjurkan Anggotanya Bantu Alat-Alat Negara,” Antara, 2

Oktober 1953.

“Pemerintah Buka Kedoknya Pembela-Pembela Kaum Pemberontak,” Sin Po, 3

November 1953.
7

“Peringatan 70 Tahun Prof. A. Hasjmy, Belajarlah Sekali pun di Sekolah Kafir,”

Harian Umum, 30 Maret 1984.

“Prof. A. Hasjmy, Sastrawan dan Pejuang Tiga Zaman,” Mimbar Umum, 8 April

1984.

“Professor A. Hasjmy Menulis itu, Dakwah dan Jihat,” Kompas 20 Mei 1984.

“Rakjat Atjeh Jg Terdjepit Melarikan Diri Kehutan-Hutan, Bintang Timur,“ 1

Oktober 1953.

“Rentcana Atjeh Sudah Ditetapkan di Aceh,” Antara, 28 September 1953.

“Seruan Komite Pembela/Penjunjung Pancasila RI untuk Aceh,” Bintang Timur, 7

Oktober 1953.

“Tasyakkuran 70 Tahun Ulama dan Sastrawan A. Hasjmy,” Berita Buana, 30

Maret 1984.

“Ulama Besar Tgk. H. Hasan Krueng Kale Kutuk Pemberontakan PUSA; La‟nat

Tuhan Atas Mereka,” Sin Po, 7 Oktober.

“Ulama-Ulama Atjeh Anjurkan Bantu Pemerintah, “Bintang Timur, 1 Oktober

1953.

Dokumen

Arsip Konvensional Setelah Tahun 1945 (Republik), Surat-Surat Mengenai Usul

dan Pengangkatan Gubernur Aceh, No Arsip 1713.

Arsip Konvensional Setelah Tahun 1945 (Republik). Berkas Mengenai Status

Provinsi Aceh Tahun 1956, No Arsip 1713.

Bagian Dokumentasi, Sekitar Peristiwa Daud Beureueh, vol III, (Jakarta: Kronik

Kementerian Penerangan, t.t., Jilid III).


8

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Sekretariat DPRD-GR Propinsi Daerah

Istimewa Atjeh, Banda Aceh, 1968.

Dua Setengah Tahun Propinsi Daerah Istimewa Atjeh, Pidato Sambutan

Gubernur/Kepala Daerah Istimewa Atjeh, 17 Agustus 1959.

Hasil Perkundjungan Missi Pemerintah Pusat dpb Wk. P.M. I Mr. Hardi Tanggal

25 dan 26 Mei 1959 di Kutaradja.

Kunjungan Perdana Menteri Ir. H. Djuanda dan Rombongan Ke Atjeh, (T.tp.:

Djawatan Penerangan Prop Atjeh, t.t).

Koleksi Terbatas Dokumen A. Hasjmy, Dari Darul Harb Ke Darussalam Djilid II

Notulen Sidang Peperda I Aceh Dengan Tokoh Masyarakat di Kutaraja, tanggal

16 Maret 1958.

Penghargaan Yang Dimiliki Prof. A. Hasjmy, Banda Aceh, Yayasan Pendidikan

A. Hasjmy, 1998

Jurnal

Alfian, Teuku Haji Ibrahim, “Penyelesaian Masalah Gerakan Aceh Merdeka

(GAM), Dengan Konsepsi Prinsipil dan Bijaksana”, Jurnal Ketahanan

Nasional, Volume VI, No 2, 2001.

Jan, Abdul Murat Mat, “Gerakan Darul Islam di Aceh 1953-1959”, dalam

Akademika 8, 1976.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai