Anda di halaman 1dari 11

Pengelolaan Proyek dalam Konstruksi Berkelanjutan Wulfram I.

Ervianto, Mahasiswa Program Doktor Manajemen dan Rekayasa Konstruksi Institut Teknologi Bandung, Prodi Sipil Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya Yogyakarta, ervianto@mail.uajy.ac.id 1. ABSTRAKSI Akhir-akhir ini telah banyak terjadi bencana yang diduga diakibatkan oleh perubahan iklim yang ekstrim. Pada tahun ini, telah terjadi hal yang tidak terjadi pada tahun-tahun sebelumnya yaitu telah hilangnya musim kemarau dan digantikan oleh hujan sepanjang tahun. Situasi ini sedikit banyak berpengaruh terhadap pola aktivitas manusia, salah satunya adalah pola tanam bagi petani. Apabila hal ini terjadi terus menerus maka bukan tidak mungkin ketersediaan berbagai bahan pangan akan terganggu dan pada akhirnya manusia yang menanggung akibatnya. Bencana Wasior diperkiraan oleh banyak kalangan sebagai hasil dari rusaknya lingkungan alam yang diganggu oleh manusia dan merenggut banyak jiwa lengkap dengan bangunan serta harta bendanya. Berbagai bencana yang terjadi adalah hasil dari aktivitas manusia yang telah dilakukan selama bertahun-tahun. Dari berbagai hasil studi yang dilakukan, salah satu penyebabnya adalah eksploitasi sumberdaya alam yang lebih cepat daripada alam mampu membentuk penggantinya sehingga terjadi ketidakseimbangan. Konstruksi merupakan salah satu yang diduga sebagai penyebab terjadinya perubahan ekstrim dengan memberikan kontribusi cukup besar dalam emisi CO2. Berdasarkan hal tersebut sudah saatnya para pelaku pembangunan bersama-sama dengan pihak yang terkait merumuskan kembali pola pembangunan yang berpihak pada lingkungan. Hasil dari studi literatur diperoleh kemungkinan dalam pengelolaan proyek konstruksi, yaitu dimasukkannya aspek ekonomi, sosial, lingkungan hidup sebagai salah satu pilar dan pertimbangan emisi, keanekaragaman hayati, sumberdaya alam sebagai pilar lain yang diperlukan untuk pengelolaan konstruksi berkelanjutan. Kata kunci: Pengelolaan; Proyek; Konstruksi berkelanjutan 2. PENDAHULUAN 2.1. Kepedulian Dunia Terhadap Lingkungan Kepedulian umat manusia terhadap lingkungan sudah dimulai sejak tahun 1962 ditandai dengan menyadarkan masyarakat Amerika Serikat akan dampak penggunaan pestisida terhadap lingkungan, dengan diterbitkannya buku Silent Spring oleh Rachel Carson (http://id.wikipedia.org/wiki/Rachel_Carson, 15 Oktober 2010). Rachel Carson adalah salah satu dari 100 orang paling penting abad ini versi majalah TIME dan kemudian disebut sebagai ibu gerakan lingkungan modern. Buku ini menyadarkan publik akan bahaya DDT yang menyebabkan kanker dan mempengaruhi Presiden Kennedy untuk melakukan pengujian bahanbahan kimia yang tercantum dalam bukunya. Pada bulan September tahun 1969 saat konferensi di Seattle, Gaylord Nelson melakukan protes secara nasional terhadap kalangan politik terkait permasalahan lingkungan hidup dan mendesak agar isu tersebut dimasukkan dalam agenda nasional. Dimulai dari mengkampanyekan di kampus-kampus tentang desakan untuk memasukkan isu lingkungan hidup dalam kurikulum resmi perguruan tinggi. Selang beberapa bulan kemudian tepatnya 30 November 1969, majalah TIME mencatat terjadinya peningkatan aktivitas kepedulian terhadap lingkungan hidup di seluruh Amerika terutama di kampus-kampus. Dukungan ini terus membesar dan memuncak dengan menggelar peringatan Hari Bumi pada tanggal 22 April 1970 (http://id.wikipedia.org/wiki/Hari_Bumi, 17 Oktober 2010). Untuk pertama kalinya hari bumi di peringati di Amerika Serikat yang di prakarsai oleh senator negara bagian Wisconsin Gaylord Nelson dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Hari Bumi pertama pada tahun 1970 melibatkan kurang lebih 20 juta manusia di Amerika Serikat menjadi awal terbentuknya sebuah badan perlindungan lingkungan Amerika Serikat yang kemudian dikenal dengan United States Environmental Protection Agency (USEPA). Dengan terbentuknya badan perlindungan ini merupakan langkah awal menuju lingkungan dengan udara dan air bersih, serta perlindungan terhadap mahkluk hidup. 5 Juni 1972 diadakan konferensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Stockholm, Swedia yang mengagendakan tentang lingkungan manusia, dengan isu antara lain: bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, pembangunan ekonomi dan sosial, sumberdaya dan pencemaran. Hari itu kemudian diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia (HLHS). Sebagai respon dari konferensi tersebut, pada tahun 1978 di Indonesia dibentuk Kementerian Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup. Kemudian pada tanggal 15 Oktober 1980 dibentuk jaringan pemantau lingkungan hidup yang dikenal dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Tahun 1982, Dibentuknya

Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland. Pada tahun 1987, Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan membuat laporan Masa Depan Kita Bersama yang mendefinisakan istilah Pembangunan Berkelanjutan. Pada tahun 1990, peringatan Hari Bumi mulai berkembang secara global. Sekitar 200 juta orang dari 141 negara di dunia tergerak untuk mengangkat isu lingkungan dalam skala global. Hari Bumi 1990 pun menjadi titik tolak terlaksananya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi 1992 di Rio de Janeiro. Tahun 1992, Konferensi Lingkungan dan Pembangunan yang dilanjutkan dengan KTT Bumi yang dihadiri oleh 179 Negara (termasuk Indonesia) diselenggarakan sebagai tanggapan terhadap masalah kondisi Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam yang memprihatinkan, antara lain pencemaran, perusakan Lingkungan Hidup serta pemborosan Sumber Daya Alam yang berlangsung secara global. Dalam KTT ini telah menghasilkan Deklarasi Rio, Agenda 21, Forests Principles dan Konvensi Perubahan Iklim (Climate Change) dan Keanekaragaman Hayati (Biodiversity). KTT Bumi juga menghasilkan Konsep Pembangunan Berkelanjutan yang mengandung tiga pilar utama yang saling terkait dan saling menunjang yakni pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan pelestarian lingkungan hidup. Dalam pertemuan ini disepakati melaksanakan suatu pola pembangunan baru yang diterapkan secara global yang dikenal dengan Environmentally Sound and Sustainable Development (ESSD), dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan (PBBL). Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Global dapat didefinisikan sebagai berikut: Pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya Pada tahun 2002 tepatnya bulan september, dilakukan kajian secara menyeluruh dan komprehensif 10 tahun pelaksanaan Agenda 21 dalam bentuk Konperensi Tingkat Tinggi Dunia (World Summit on Sustainable Development/WSSD) di Johannesburg Afrika. Tujuan lain dari WSSD adalah menghidupkan kembali komitmen global mengenai pembangunan berkelanjutan. Desember 2007, Konferensi Perserikatan BangsaBangsa untuk perubahan iklim, United Nation Climate Change Conference (UNCCC) di Bali menyerukan agar transfer teknologi ramah lingkungan untuk pengurangan emisi demi mencegah pemanasan global dapat dengan mudah diakses oleh negara-negara berkembang. Isu ini semakin penting sejalan dengan meningkatnya kesadaran ekologi di Indonesia yang dipicu oleh keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan yang semakin parah dan serius yang dikhawatirkan akan memberikan dampak buruk bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat di masa datang. 2.2. Pemanasan Global Pemanasan global adalah naiknya suhu permukaan bumi karena meningkatnya efek rumah kaca. Istilah efek rumah kaca berasal dari pengalaman para petani di daerah beriklim sedang yang menanam sayur-sayuran di dalam rumah kaca. Pada siang hari suhu di dalam rumah kaca lebih tinggi daripada suhu di luarnya. Hal ini disebabkan sinar matahari yang menembus kaca dipantulkan kembali oleh tanaman di dalam rumah kaca sebagai sinar inframerah yang berupa panas. Sinar yang dipantulkan tidak dapat keluar dari rumah kaca sehingga suhu udara di dalamnya naik. (Frick H., Suskiyanto B. 2007). Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke 20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca. Dalam seratus tahun terakhir ini suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0,74 0,18 C (1,33 0,32 F) (http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global, 15 Oktober 2010). Meskipun masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju, namun kesimpulan ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara termaju di dunia yang tergabung dalam Group of Eight (G8) yaitu: Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Britania Raya, Amerika Serikat, Kanada, Rusia, dan Uni Eropa. Model iklim yang dijadikan acuan oleh IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1,1C hingga 6,4 C ( 2,0 hingga 11,5 F) antara tahun 1990 dan 2100. Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang. 2.3. Sebab Pemanasan Global Penyebab terjadinya pemanasan global antara lain adalah (http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global, Oktober 2010): meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca dalam atmosfer dan terjadinya proses umpan balik.

2.3.1. Meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca Meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca dalam atmosfer yang bersifat menahan panas di dekat permukaan bumi. Gas-gas tersebut muncul secara alami di lingkungan yang ditimbulkan akibat aktivitas manusia. Gas-gas yang termasuk dalam gas rumah kaca. gas yang paling lama tinggal di atmosfer Bumi adalah karbondioksida (CO2). Gas ini dihasilkan dari buangan kendaraan bermotor, mempunyai kemampuan menyerap panas paling kecil serta menyumbang terhadap efek rumah kaca paling besar yaitu 50%. seperti dalam tabel 1. Tabel 1. Pengaruh gas rumah kaca terhadap efek rumah kaca
Waktu Tinggal Di Atmosfer Karbondioksida (CO2) 50-200 tahun Metana (CH4) 10 tahun Ozon troposfir 0,1 tahun Dinitrogenoksida (N2O) 150 tahun Klorofluorokarbon (CFC R-11) 65 tahun Klorofluorokarbon (CFC R-12) 130 tahun Lain-lain Sumber : Messmer., Maja/Stutz., Erika. (1996) Gas Rumah Kaca Kemampuan Penyerapan Panas 1 21 2.000 206 12.400 15.800 Sumbangan Terhadap Efek Rumah Kaca 50 % 13 % 7% 5% 5% 12 % 8%

Koefisiensi daya tangkap metana terhadap panas jauh lebih tinggi daripada karbondioksida, yaitu hampir 21 kali lipat. Gas metana diproduksi secara alamiah dari tanah, gunung berapi, serta pembusukan material organik di dasar laut. Dalam sebuah laporan yang diterbitkan Food and Agriculture Organization (FAO) of the United Nation, diketahui industri peternakan menghasilkan emisi gas rumah kaca paling tinggi, jumlahnya melebihi gabungan dari kegiatan-kegiatan transportasi di seluruh dunia. Estimasi emisi gas metana dari hewan ternak ruminansia diperkirakan mencapai 65 hingga 85 juta ton per tahun dari emisi total gas metana global sebesar 400 juta sampai 600 juta ton per tahun. Satu kilogram daging menyumbangkan 36,4 kilogram karbondioksida, emisi gas yang dihasilkan dari kotoran seekor sapi selama satu tahun disetarakan dengan gas yang dihasilkan dari kendaraan yang dipakai untuk menempuh jarak 70.000 kilometer. Negara-negara yang memberikan kontribusi besar emisi CO2 di dunia adalah China sebesar 22,3%, Amerika Serikat sebesar 19,91%, India sebesar 5,5%, Rusia sebesar 5.24%, dan Jepang sebesar 4,28%. Indonesia di urutan ke limabelas penyumbang emisi CO2 sebesar 1,35% terhadap total berdasarkan data tahun 2007 dan urutan ke lima penyumbang gas rumah kaca sebesar 4,63% terhadap total berdasarkan tahun 2005 (World Resources Institute, 2005). 2.3.2. Terjadinya Proses Umpan Balik Terjadinya proses umpan balik yang disebabkan oleh penguapan air, awan, CO2, dan hilangnya kemampuan memantulkan cahaya oleh es (http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global#Efek_rumah_kaca, 15 Oktober 2010): Penguapan air, pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer yang berasal dari penguapan air laut, danau dan sungai. Pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkan uap air lebih besar bila dibandingkan dengan CO2. Efek umpan balik akibat uap air ini berdampak secara perlahan-lahan karena CO2 mempunyai usia tinggal di atmosfer yang panjang (50200 tahun). Efek umpan balik karena pengaruh awan, pada saat ini sedang dilakukan penelitian. Jika dilihat dari bagian bawah, awan akan memantulkan radiasi infra merah ke permukaan bumi sehingga dengan sendirinya suhu di permukaan cenderung meningkat dan menyebabkan pemanasan. Jika dilihat dari atas, awan akan memantulkan sinar matahari dan radiasi infra merah ke angkasa sehingga meningkatkan efek pendinginan. Ditinjau dari kedua efek yang ditimbulkan oleh awan dapat dihitung efek nettonya, apakah menyebabkan pemanasan ataukah pendinginan.

Efek umpan balik karena hilangnya kemampuan memantulkan cahaya oleh es, dengan meningkatnya suhu global, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Dengan melelehnya es tersebut menyebabkan lapisan dibawah es terbuka, dapat berupa daratan atau air. Kemampuan memantulkan cahaya daratan atau air lebih sedikit bila dibandingkan dengan es sehingga berakibat akan lebih banyak menyerap radiasi Matahari dan meningkatkan pemanasan yang berakibat lebih banyak lagi es yang mencair. 2.4. Pengendalian Pemanasan Global Pada saat ini tidak ada yang dapat mencegah terjadinya pemanasan global di masa yang akan datang. Tantangan yang ada adalah mengatasi efek yang ditimbulkan karena pemanasan global disertai tindakan yang dapat mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan. Dua pendekatan yang berpotensi untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca adalah (http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global#Efek_rumah_kaca, 15 Oktober 2010): Pertama, dengan cara menghilangkan karbon (carbon sequestration) yaitu mencegah karbondioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbonnya ke tempat lain. Cara paling mudah untuk menghilangkan karbondioksida di udara adalah dengan menanam pohon dan memelihara pepohonan. Pohon yang masih muda dan cepat pertumbuhannya mampu menyerap karbon cukup banyak, memecahnya melalui proses fotosintesis dan kemudian menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia tingkat perambahan hutan sudah mencapai pada level yang mengkhawatirkan. Indonesia yang disebut-sebut sebagai salah satu paru-paru dunia diperkirakan kehilangan dua juta hektar hutan tropis setiap tahun dan terdapat dua titik panas di Gugusan Sundaland dan Wallacea yang setara dengan bentangan hutan dari Sabang sampai Merauke. (dikutip dari Yansen, Kompas 5 Juni 2010). Perubahan peruntukan lahan menjadi lahan pertanian dan pembangunan rumah tinggal menyebabkan tanaman yang tumbuh kembali relatif sedikit dikarenakan tanah kehilangan kesuburannya. Penghutanan kembali adalah langkah terbaik untuk mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca. Kedua, dengan cara mengurangi produksi gas rumah kaca. Dalam skala industri, karbondioksida dihasilkan dari: pembakaran kayu, pembakaran bahan bakar fosil, dan hasil samping dari fermentasi gula pada proses peragian bir, wiski, dan minuman beralkohol. Isu mengenai pembangunan berkelanjutan dan pemanasan global juga dikaitkan dengan bangunan karena dianggap turut berperan dalam peningkatan pemanasan global serta berisiko menghambat pembangunan yang berkelanjutan. Akibat dari proses konstruksi pada tahap pelaksanaan pembangunan maupun pada saat bangunan dimanfaatkan, diyakini dapat menyebabkan berbagai dampak negatif pada lingkungan hidup di tempat dan sekitar bangunan tersebut. Produk bangunan ini memberi kontribusi pada pemanasan global melalui emisi gas rumah kaca dalam bentuk gas karbon, metana maupun jenis gas tertentu lainnya, yang dihasilkan baik pada tahap konstruksi maupun tahap operasional bangunan. Dalam Protokol Kyoto 1997 telah menetapkan enam jenis gas rumah kaca yaitu CO2, NH4, N2O, HFC, PFC dan SF6 yang kesemuanya kemudian ditakar kesetaraan masa atau ekivalensinya terhadap gas karbondioksida (CO2). Secara internasional disepakati bahwa ukuran besar kecilnya pengaruh suatu produk terhadap lingkungan dalam konteks pemanasan global adalah emisi gas yang disetarakan dengan kandungan CO2 diudara (ekivalen kg CO2). Dari berbagai dokumen dan hasil kajian diungkapkan bahwa bangunan berpotensi memproduksi emisi gas karbon lebih dari 40%, dengan demikian upaya mereduksi emisi gas karbon melalui bangunan merupakan langkah strategis untuk menahan laju pemanasan global (Sangkertadi, 2010). 3. PROYEK KONSTRUKSI Pembangunan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak dapat terhindarkan dari penggunaan sumberdaya alam, namun eksploitasi sumberdaya alam yang tidak mengindahkan kemampuan dan daya dukung lingkungan mengakibatkan merosotnya kualitas lingkungan. Banyak faktor yang menjadi penyebab kemerosotan kualitas lingkungan serta kerusakan lingkungan yang dapat diidentifikasi dari pengamatan di lapangan. 3.1. Konstruksi Berkelanjutan Pemahaman tentang konstruksi berkelanjutan berbeda di setiap negara bergantung dari kekuatan ekonomi di negara tersebut. Di negara maju pemahaman tentang konstruksi berkelanjutan lebih difokuskan pada inovasi teknologi, sedangkan di negara yang sedang berkembang masih berkutat pada permasalahan sosial dan

ekonomi. Isu tentang cadangan sumberdaya alam khususnya sumber energi tak terbarukan (minyak bumi, batu bara, gas bumi) dan bagaimanakah cara-cara mereduksi pengaruhnya terhadap lingkungan menjadi agenda utama. Beberapa dekade yang lalu isu tersebut juga terjadi di sektor konstruksi, khususnya pada material bangunan, komponen bangunan, teknologi konstruksi, dan energi. Adanya fakta tentang permasalahan keterbatasan sumberdaya alam sudah menjadi keharusan bidang konstruksi melakukan tindakan yang lebih nyata dan berpihak kepada lingkungan. Konstruksi berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai berikut: Creating and operating a healty built environment based on resource efficiency and ecological design (Conceil International du Batiment, 1994) The creation and responsible management of healty built environment based on resource efficient and ecological principles (Building Services Research And Information Association, 1996) Untuk memahami konstruksi berkelanjutan tidak dapat terlepas pada aspek lingkungan dikarenakan keberlanjutan yang dimaksud berkaitan dengan sumberdaya alam yang digunakan dalam proses membangun. Definisi lingkungan hidup dalam Undang Undang No. 23 Tahun 1997 adalah: kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain Dalam definisi tersebut diatas terdapat unsur makhluk hidup yaitu manusia, dimana peran aktif manusia dapat menjadikan lingkungan hidupnya seperti apa yang diinginkan. Guna memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, manusia membutuhkan sumberdaya alam yang berupa tanah, air, udara dan berbagai sumberdaya alam lainnya. Penggolongan sumberdaya alam dapat dibedakan menjadi: (a) Sumberdaya alam yang terbarukan (tidak habis) misalnya, matahari, angin, dan gelombang laut; (b) Sumberdaya alam tak terbarukan misalnya, bahan bakar fosil, mineral logam dan non logam; (c) Sumberdaya alam yang berpotensi untuk terbarukan misalnya, udara segar, air bersih, tumbuhan dan hewan. Manusia harus menyadari bahwa semua sumberdaya alam yang ada tersebut mempunyai kendala keterbatasan dalam banyak hal, diantaranya adalah keterbatasan ketersediaan dalam aspek kuantitas dan kualitas; keterbatasan dalam aspek ruang dan waktu. Oleh karena itu perlu dicapainya harmonisasi antara manusia dengan lingkungan hidupnya termasuk seluruh sumberdaya alam yang dimilikinya. Saat ini banyak dijumpai kerusakan lingkungan di berbagai belahan bumi. Hal ini disebabkan oleh ulah manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang tidak lain bertujuan untuk kesejahteraan. Kelompok environmentalis mengatakan bahwa akar permasalahan lingkungan yang terjadi dewasa ini adalah pandangan tradisional barat yang antroposentis. Filosofi antroposentris beranggapan bahwa manusia sebagai pengendali ekologi bumi. Hal serupa juga diungkapkan oleh John Horgan pada tahun 2005, bahwa manusia sebagai pusat dari segala perlakuan sistem-sistem dalam biosistem. Jika manusia sebagai pengendali sistem dalam keberlangsungan planet Bumi maka secara matematis petaka ekologi dapat diprediksi akan terjadi tidak lebih dari satu abad yang akan datang. Akibat keserakahan manusia dalam eksploitasi sumberdaya alam dan memaksa bumi untuk memberi lebih dari apa yang bisa diberikan sesuai dengan kemampuannya, maka terjadilah ketidakharmonisan antara peran manusia dengan lingkungan alam/Bumi sehingga menyebabkan berbagai permasalahan lingkungan di berbagai tempat. Berbeda dengan filosofi biosentris, yang menempatkan manusia bagian dari biosistem yang ikut terlibat dalam interaksi-interaksi ekologi sejajar dengan mahluk hidup lainnya. Pandangan biosentris berpendapat bahwa kata limbah/sampah tidak pernah ada di bumi ini, karena apa yang menjadi produk limbah dari mahluk hidup lain akan menjadi bahan konsumsi bagi mahluk hidup lainnya. Permasalahan yang timbul saat ini adalah manusia dengan kehidupan yang konsumeristis dan terkonsentrasi pada satu area perkotaan. Berbagai aktivitas manusia menimbulkan bermacam-macam limbah/sampah yang tidak mampu didekomposisi secara alamiah oleh makhluk yang mengkonsumsi limbah tersebut. Hal ini menyebabkan terjadi ketidakseimbangan antara kecepatan produksi limbah dengan kecepatan proses dekomposisi yang berakibat terjadi akumulasi limbah disuatu area atau wilayah. Terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan seperti pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah serta kerusakan hutan yang kesemuanya tidak terlepas dari aktivitas manusia yang pada akhirnya akan merugikan manusia sendiri.

3.2. Keterkaitan Masalah Lingkungan Berbagai masalah yang berpotensi memberikan kontribusi kerusakan lingkungan adalah: populasi manusia dan sumberdaya alam, seperti pada gambar 1. Keterkaitan interaksi tiga faktor tersebut adalah sebagai berikut:
Jumlah penduduk OVERPOPULASI OVERKONSUMSI BANYAK SEDIKIT x Jumlah sumberdaya alam yang digunakan per orang RENDAH TINGGI x Degradasi dan pencemaran per sumberdaya alam yang digunakan RENDAH TINGGI = Dampak lingkungan BESAR BESAR

x x

x x

= =

Sumber: Choesin, D.N., Taufikurahman, Esyanti, R. R., 2004

POPULASI MANUSIA 1. Overpopulasi 2. Overkonsumsi 3. Penyebaran penduduk 4. Krisis politik-ekonomi-budaya

SUMBERDAYA ALAM 1. Keterbatasan dan kualitas 2. Pemborosan 3. Anggapan bahwa teknologi dapat memecahkan semua masalah

PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN

Gambar 1. Keterkaitan masalah lingkungan Overpopulasi, dapat diartikan bahwa populasi manusia lebih besar dari kapasitas bawaan/lingkungan atau hubungan antara jumlah populasi manusia dan planet Bumi. Overpopulasi bukan jumlah manusia, tetapi merupakan perbandingan antara jumlah manusia dan sumber daya yang dibutuhkan untuk hidup, yaitu: air bersih, makanan, rumah, kehangatan, tanah pertanian. Jumlah penduduk dunia terus mengalami peningkatan, pada tahun 2009 jumlah penduduk dunia sebanyak 6.820 miliar orang dan proyeksi tahun 2025 adalah 8.012 miliar orang. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan jumlah penduduk Indonesia hingga tahun 2010 akan mencapai 235 juta jiwa dengan asumsi pertumbuhan 1,2% per tahun. Angka ini diperkirakan akan menempatkan Indonesia masih menjadi negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, namun kepastian jumlah penduduk Indonesia hingga tahun 2010 akan diketahui setelah hasil sensus penduduk 2010. Meningkatnya jumlah penduduk dunia dengan sendirinya kebutuhan pangan meningkat sehingga sumberdaya yang dibutuhkan manusia untuk hidup semakin banyak. Berbagai usaha dilakukan untuk mengatasi masalah pangan, salah satu diantaranya adalah teknologi. Namun sayangnya tidak semua teknologi yang digunakan berpihak pada lingkungan bahkan sebagian besar justru menimbulkan masalah pencemaran dan merusak lingkungan. Selain pangan, kebutuhan akan tempat tinggal mengalami kecenderungan peningkatan seiring bertambahnya populasi manusia. Akibat dari kebutuhan tempat tinggal yang meningkat adalah semakin banyak lahan dialihfungsikan yang semula berupa hutan dan tanah pertanian diubah menjadi hunian tempat untuk tinggal. Perubahan fungsi lahan menimbulkan berbagai masalah, baik pemilihan teknologi yang digunakan maupun berkurangnya fungsi hutan karena perambahan. Dengan sendirinya hutan yang semula berfungsi sebagai penghasil O2 dan menyerap CO2 berubah menjadi berbagai fasilitas yang berpotensi menimbulkan pencemaran, baik pada proses perubahan fungsi lahan, konstruksi, penghunian, dan perawatan.

Overkonsumsi, adalah adanya gejala tingkat konsumsi yang melebihi kebutuhan. Sektor ternak memiliki dampak yang berarti serta luas sehingga perlu menjadi salah satu fokus utama dalam kebijakan lingkungan. Daging dan susu akhir-akhir ini rendah harganya jika dibandingkan dengan harga yang harus dibayar untuk terjadinya masalah lingkungan yang nyata dan terbentuknya karbon. FAO memprediksikan bahwa antara tahun 2010 dan 2050, konsumsi daging dan susu secara global akan meningkat dua kali lipat. Saat ini hampir 60 milyar hewan pertahun digunakan secara global untuk menghasilkan daging, susu dan telur. Angka ini dapat meningkat sampai 120 milyar pada tahun 2050. Lonjakan yang mencolok akan memberi dampak yang sangat besar pada perubahan iklim dan lingkungan. Produksi ternak menghasilkan 18% dari jumlah emisi gas efek rumah kaca yang diukur dalam ekivalen CO2, hal ini lebih tinggi dari pada yang dihasilkan oleh alat transportasi yang menyumbangkan 14% emisi global gas efek rumah kaca. Penyebaran penduduk, terjadinya penyebaran penduduk yang tidak merata dikarenakan terjadinya urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota yang menimbulkan bebagai permasalahan kehidupan, diantaranya adalah masalah sosial kemasyarakatan seperti: pengangguran, kelaparan, pemukiman yang tidak layak huni sehingga muncul berbagai penyakit. Meningkatnya jumlah penduduk kota tanpa didukung dan diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan, fasilitas umum, aparat penegak hukum, perumahan, penyediaan pangan adalah suatu masalah yang harus segera dicarikan jalan keluarnya. Beberapa hal yang dapat menggerakkan seseorang untuk melakukan urbanisasi adalah: (a) kehidupan kota yang lebih modern dan mewah; (b) sarana dan prasarana kota yang lebih lengkap; (c) tersedianya lapangan pekerjaan di kota; (d) pendidikan sekolah dan perguruan tinggi jauh lebih baik dan berkualitas. Sedangkan faktor pendorong terjadinya urbanisasi adalah: (a) lahan pertanian yang semakin sempit; (b) menganggur karena terbatasnya lapangan pekerjaan di desa; (c) terbatasnya sarana dan prasarana di desa; (d) memiliki impian menjadi orang kaya. Salah satu cara untuk mengetahui persebaran penduduk dapat digunakan data kepadatan penduduk. Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta adalah provinsi terpadat diantara provinsi lain di Indonesia. Pada tahun 1971 DKI Jakarta mempunyai kepadatan penduduk 7.762 per Km2, sedangkan pada tahun 2005 kepadatannya sebesar 13.344 Km2 12 kali provinsi Jawa Barat, 14 kali provinsi Jawa Tengah, 13 kali Daerah Istimewa Yogyakarta, 18 kali provinsi Jawa Timur (Sumber : Sensus Penduduk (1971, 1980, 1990, 2000) dan Supas 2005. Krisis ekonomi dan budaya, seiring bertambahnya jumlah penduduk (overpopulasi) dan persebaran penduduk yang lebih banyak tinggal di perkotaan (urbanisasi), beserta overkonsumsi secara tidak langsung akan berpengaruh pada masalah sosial, ekonomi, budaya dan bahkan dapat sampai pada masalah politik. Keterkaitan antara populasi manusia dengan sumberdaya alam adalah semakin banyak jumlah penduduk dan pola konsumsi yang berlebih akan berpengaruh terhadap keseimbangan sumberdaya alam demikian juga terhadap aspek pencemaran dan kerusakan lingkungan, demikian pula sebaliknya. Salah satu aspek penting yang ikut terpengaruh adalah kebutuhan akan infrastruktur berupa, jalan, jembatan, gedung perkantoran, hunian, dan berbagai fasilitas yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam memenuhi aspek sandang, pangan dan papan. 3.3. Cara Pandang Manajemen Konstruksi Berkelanjutan Berbeda dengan manajemen proyek konvensional, pengelolaan konstruksi berkelanjutan selain berpedoman pada aspek biaya, mutu, dan waktu harus juga memikirkan secara mendalam tentang keberlanjutannya. Dalam konstruksi berkelanjutan tidak cukup hanya tiga aspek tersebut, namun harus dipikirkan pula aspek lain yaitu sumberdaya yang digunakan dalam proyek konstruksi, emisi yang dihasilkan, dan keanekaragaman hayati dan pada akhirnya berpengaruh terhadap ekonomi, sosial budaya dan lingkungan hidup. Dengan demikian jika hendak melakukan pembangunan perlu dipikirkan berbagai hal tersebut dengan tujuan utamanya adalah Bumi tempat hidup manusia dapat terjaga kelangsungannya. Dalam pengelolaan proyek konvensional, kesuksesan proyek dicapai apabila ukuran biaya, mutu dan waktu dapat dipenuhi jika tidak lebih dari apa yang telah ditetapkan tanpa melihat faktor lain yang ditimbulkan

akibat proses konstruksi yang telah terjadi. Di saat ini, dimana perubahan iklim telah terjadi yang ditandai dengan berbagai hal diantaranya hujan sepanjang tahun, banjir di berbagai daerah, meningkatnya permukaan air laut, mencairnya es di kutub, meningkatnya suhu permukaan di Bumi dan banyak hal yang telah terjadi kiranya cara pandang tersebut sudah tidak sesuai lagi. Berbagai organisasi dunia baik dari praktisi, akademisi, lembaga penelitian, organisasi swasta dan pemerintah terus melakukan kajian terhadap fenomena tersebut, dan dihasilkan bahwa salah satu sebab terjadinya dikarenakan pembangunan berbagai fasilitas berupa bangunan yang digunakan untuk kesejahteraan manusia. Bangunan memberikan kontribusi emisi CO2 sepertiga dari total emisi di dunia dengan penggunaan sebesar 30%-40% energi yang ada di dunia. Emisi tersebut di hasilkan karena penggunaan listrik yang dihasilkan dari tenaga pembangkit yang bersumber dari energi fosil (Techno Konstruksi, edisi 30, tahun III, Oktober 2010). Salah satu usaha untuk mereduksi hal tersebut diatas, pengelolaan proyek konstruksi perlu disesuaikan dengan kondisi saat ini, bukan berarti bahwa pengelolaan yang dahulu tidak benar tetapi kebenaran selalu mengikuti frame waktu. Pengelolaan proyek yang kiranya sesuai untuk saat ini dimana faktor lingkungan merupakan salah satu faktor kuat yang menentukan arah pengelolaan proyek konstruksi seperti gambar 2. Setiap tahap dalam siklus hidup proyek konstruksi dimungkinkan menerapkan tiga pilar utama ini sebagai dasar untuk mengambil tindakan yang tepat oleh berbagai pihak sesuai dengan tujuan adanya proyek seperti gambar 3.
BIAYA MUTU WAKTU

EKONOMI

LINGKUNGAN HIDUP

SOSIAL BUDAYA

EMISI

KEANEKARAGAMAN HAYATI

SUMBERDAYA

Gambar 2. Keterkaitan tiga pilar utama dalam konstruksi berkelanjutan


BIAYA MUTU WAKTU

EKONOMI

LINGKUNG AN HIDUP

SOSIAL BUDAYA

EMISI

KEANEKARAGAMAN HAYATI

SUMBERDAYA

STUDI KELAYAKAN

PERENCANAAN

PENGADAAN

PELAKSANAAN

OPERASIONAL

PERILAKU PENGGUNA

Gambar 3. Tiga pilar utama dalam siklus hidup proyek 3.4. Umpan Balik Dalam Siklus Hidup Proyek Konstruksi Para perencana merancang bangunan dengan harapan salah satunya adalah kelak bangunannya dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan yang ditetapkan. Perencana bangunan adalah sebuah tim umumnya terdiri dari berbagai disiplin ilmu, dimana satu sama lain saling berkolaborasi sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing untuk menghasilkan karya terbaik dari sistem sebuah bangunan. Banyak aspek yang dipertimbangkan oleh perencana dalam hal menetapkan sistem yang akan diaplikasikan dalam sebuah bangunan sesuai dengan kepakaran masing-masing. Tahap dalam siklus hidup proyek konstruksi pada umumnya mengikuti pola sebagai berikut: studi kelayakan, perencanaan, pengadaan, pelaksanaan dan operasional. Pada setiap tahap mempunyai tujuan yang berbeda dengan tingkat akurasi yang tidak sama. Misal pada kegiatan estimasi biaya sebuah proyek pada tahap studi kelayakan akan berbeda dengan tahap perencanaan, tahap pengadaan, tahap pelaksanaan dan tahap operasional. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jika pemilik proyek hendak mendapatkan hasil yang maksimal maka sebaiknya mengikuti pola yang umum digunakan. Sedangkan apabila salah satu tahap diabaikan dengan tujuan menyederhanakan proses membangun maka posibilitas terjadinya ketidaksesuaian akan semakin besar dan potensi terjadinya konflik akan semakin tinggi.

Dalam siklus hidup sebuah proyek konstruksi umumnya diakhiri dengan pemanfaatan bangunan oleh pemiliknya. Setelah terjadi pemenuhan hak dan kewajiban antara pemilik proyek dengan perencana dengan sendirinya kontrak akan berakhir. Sejak saat itulah tidak terjadi relasi yang sah antar keduanya sehingga perencana tidak mengetahui apakah hasil rancangannya cukup nyaman bagi penggunanya. Perencana yang tidak melakukan evaluasi terhadap akurasi hasil rancangannya dalam aspek kenyamanan pengguna disebut dengan manajemen proyek yang bersifat tradisional. Misalnya sebuah rumah tinggal hasil rancangan seorang arsitek dirasakan oleh penghuninya tidak nyaman dalam hal tata ruangnya, sirkulasi udara, pencahayaan, penggunaan energi, suhu udara dan mungkin hal lainnya. Jika arsitek tersebut tidak mengkaji kembali hasil rancangannya dengan cara menanyakan kepada penghuninya tentang pendekatan disain yang digunakan maka ada kemungkinan arsitek tersebut suatu saat tidak diminati oleh calon pengguna jasanya. Namun apabila melakukan evaluasi terhadap hasil rancangannya maka posibilitas untuk tetap bertahan dalam menjalankan profesinya akan semakin besar. Pendekatan yang terakhir ini disebut dengan manajemen proyek modern. Pemahaman siklus hidup dalam konsep manajemen proyek terkini didasarkan pada anggapan bahwa pada setiap tahap dalam siklus hidup proyek konstruksi selalu berhubungan dan tidak mungkin dipisahkan satu sama lain. Dengan demikian, setiap pihak yang terlibat dalam setiap tahap disyaratkan memahami dan mengetahui dengan pasti apa yang harus dilakukan. Pihak yang diposisikan pada tahap awal dengan sendirinya harus memahami setiap tahap yang berada didepannya, dalam hal ini adalah pihak yang melaksanakan studi kelayakan proyek. Jika sebuah proyek berada pada tahap studi kelayakan maka konsultan yang melakukan tahap ini sudah seharusnya tidak mengabaikan tahap berikutnya, yaitu tahap perencanaan, pengadaan, pelaksanaan, operasional dan perilaku pengguna. Pemikiran jauh kedepan terhadap tahap selanjutnya merupakan masukan dan akhirnya setiap tahap memberikan umpan pada tahap sebelumnya sehingga terjadi proses umpan balik seperti diperlihatkan pada gambar 3. Dengan demikian konsultan disyaratkan mampu memahami proses perencanaan, pengadaan, pelaksanaan, operasional, dan memprediksikan perilaku penggunanya sehingga proyek yang dikelolanya berdaya guna.

STUDI KELAYAKAN

PERENCANAAN

PENGADAAN

PELAKSANAAN

OPERASIONAL

PERILAKU PENGGUNA

Gambar 4. Umpan balik dalam siklus hidup proyek Tahap terakhir adalah perilaku pengguna, sebagai tahap pengukur hasil kompromi antara perencana dengan pemilik proyek. Dengan pengakuan pengguna bangunan tentang kenyamanan atau ketidaknyamanan merupakan masukan bagi semua pihak yang terlibat pada tahap-tahap sebelumnya. Dengan mencermati pola pengelolaan proyek seperti diatas maka akan berpengaruh terhadap tata kelola pada proyek demikian juga dengan sistem administrasinya. Menjadi hal penting dalam masa kini untuk melakukan dokumentasi segala hal yang terjadi pada sebuah proyek yang dapat dimanfaatkan untuk proyek-proyek sejenis di masa yang akan datang. Hal ini penting untuk proyek konstruksi yang berkelanjutan, mengingat konsep ini masih baru dan selalu membutuhkan berbagai perbaikan agar dicapainya sistem pengelolaan yang terbaik. 3.5. Membangun Yang Ekologis Pada prinsipnya semua pembangunan harus didasarkan pada teknologi bangunan lokal dan tuntutan ekologis alam. Pembangunan yang berkelanjutan memuat empat asas pembangunan berkelanjutan yang ekologis, yaitu: (a) menggunakan bahan baku alam tidak lebih cepat daripada alam mampu membentuk penggantinya; (b) menciptakan sistem yang menggunakan sebanyak mungkin energi terbarukan; (c) mengijinkan hasil sambilan (potongan, sampah) yang dapat dimakan atau yang merupakan bahan mentah untuk produksi bahan

lain; (d) meningkatkan penyesuaian fungsional dan keanekaragaman biologis (Steiger, Peter, Bauen und Oekologie im Dialog. Dalam: Dasar-dasar arsitektur ekologis, Frick H, Suskiyanto B., Penerbit Kanisius, Yogyakarta 2007). Dalam proses pembangunan, keterkaitan bangunan dengan alam sejak dibangun sampai dengan habisnya umur bangunan dapat digambarkan seperti gambar 5. Pada akhirnya semua bangunan pada saatnya nanti dapat dimanfaatkan kembali semaksimal mungkin, dan sesedikit mungkin dibuang ke alam. Untuk mengukur seberapa green sebuah bangunan Green Building Council Indonesia (GBCI) sebuah lembaga yang mempunyai kapasitas untuk melakukan evaluasi telah menetapkan parameternya yaitu: tepat guna lahan, efisiensi energi dan refrigeran, konservasi air, kualitas udara dan kenyamanan ruangan, manajemen lingkungan bangunan, sumber dan siklus material.
HASIL KONSTRUKSI SIAP DIGUNAKAN

KONSTRUKSI LIMBAH SUMBERDAYA ALAM LIMBAH

OPERASI DAN PEMELIHARAAN

SUMBERDAYA ALAM
KOMPONEN/MATERIAL HABIS MASA PAKAINYA

HASIL PRODUKSI DIGUNAKAN DALAM KONSTRUKSI

BUMI

SUMBERDAYA ALAM LIMBAH PRODUKSI

SUMBERDAYA ALAM LIMBAH PEMBONGKARAN PRMBUANGAN

BAHAN BONGKARAN YANG MASIH DAPAT DIMANFAATKAN

Gambar 5. Keterkaitan pembangunan dengan alam 4. KESIMPULAN Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari paparan diatas bahwa pengelolaan proyek konstruksi yang berkelanjutan dapat dikembangkan dari proyek konvensional dengan menambahkan aspek lain yaitu aspek ekonomi, lingkungan hidup, sosial budaya sedangkan dalam proses pembangunannya diperhatikan aspek emisi, keanekaragaman hayati, sumberdaya alam. Dengan menyatukan berbagai aspek tersebut dalam siklus hidup proyek konstruksi dimungkinkan dapat dicapainya bangunan yang green dan pada akhirnya dapat mereduksi pemanasan global. DAFTAR PUSTAKA Biro Pusat Statistik: Sensus Penduduk 1971, 1980, 1990, 2000. Building Services Research And Information Association, 1996 Choesin D., Taufikurahman, Esyanti R.: Pengetahuan Lingkungan, Penerbit ITB, Bandung, 2004. Conceil International du Batiment, 1994 Frick H., Suskiyanto B.: Dasar-Dasar Arsitektur Ekologis, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,2007. http://id.wikipedia.org/wiki/Hari_Bumi, 17 Oktober 2010 http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global#Efek_rumah_kaca, 15 Oktober 2010 http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global#Efek_rumah_kaca, 15 Oktober 2010 http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global, Oktober 2010 http://id.wikipedia.org/wiki/Rachel_Carson, 15 Oktober 2010 Messmer, Maja, Erika: Pemanasan Global, Malang, 1996. Steiger, Peter, Bauen und Oekologie im Dialog. Dalam: Dasar-dasar arsitektur ekologis, Frick H, Suskiyanto B., Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2007.

Techno Konstruksi, edisi 30, tahun III, Oktober 2010. Undang Undang No. 23 Tahun 1997 Yansen, Kompas 5 Juni 2010

Anda mungkin juga menyukai