Silvester Pamardi
Jurusan Seni Tari Fakultas Seni Pertunjukan
Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta
Jl. Ki Hadjar Dewantara No. 19 Kentingan, Jebres, Surakarta, 57126
Timbul Haryono
UGM Yogyakarta
R.M. Soedarsono
UGM Yogyakarta
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan menjelaskan karakter Tari gaya Surakarta yang bersumber dari keraton yang dalam
khasanah pengetahuan tari di Indonesia dapat disebut sebagai tari klasik. Tari gaya Surakarta telah menempuh
jalan sejarah panjang sehingga implementasinya membentuk dan pola gerakan tari yang terukur dan dibakukan
berdasarkan pakem beksa yang berisi aturan-aturan bentuk gerak tari dan teknik gerak tari keraton. Sampai
saat ini tari keraton sebagai warisan pusaka dalam kehidupan masyarakat tradisi masih diyakini memiliki
nilai-nilai tuntunan di samping sebagai bentuk tontonan seni pertunjukan. Konsep keindahan tari keraton
memiliki tiga patokan yaitu Hastakawaca, Kawaca lagu dan Hastakawaca Gendhing. Patokan tersebut
menunjukkan bahwa tari memiliki jiwa dan gerak ibarat wadah dan isi yang menyatu dalam kehidupan lahir
dan batin. Para empu tari Jawa itu menganggap wujud gerak tari diungkapkan melalui tubuh penari yang
secara batiniah akan menghasilkan ’isi omah’ yaitu sikap batin. Penghayatan tari sebagai laku batin pada
sebagian orang dapat menemukan filsafat di dalamnya. Pandangan tersebut dapat dikatakan sebagai
implementasi nilai fungsi tari keraton yang memberikan tuntunan watak dan jiwa luhur. Karakter Tari Keraton
bila dipandang sebagai bentuk tari maka tari keraton adalah ekspresi jiwa yang bersifat kolektif. Sebagai
perilaku atau gerakan tari keraton meninggalkan kesan yang mencerminkan jiwa kepribadian orang Jawa.
Sebagai bentuk ekspresi kolektif yang berkaitan dengan pranatan adat maka gerak tari keraton dari seluruh
bagian tubuh mempunyai maksud tertentu yang bertujuan untuk membangun watak/jiwa luhur. Karakter Tari
Keraton memiliki konstruksi yang terdiri dari tipologi, temperamen dan perwatakan yang diturunkan atau
merupakan transformasi dari bentuk-bentuk wayang kulit. Bentuk wayang kulit memiliki ukuran fisik (tipologi),
permainan gerak wayang (temperamen) dan wanda (karakter) dalam bentuk rupa perwajahan wayang kulit
yang berbeda-beda pada setiap tokoh atau peran. Karakter-karakter yang terstruktur dalam bentuk gerakan
tari berfungsi sebagai nilai tuntunan melalui penghayatan terhadap tabiat dan gerak laku peranan yang
mununjukkan ajaran baik dan buruk.
ABSTRACT
This writing is aimed at explaining characters in Surakarta style dance rooted at the palace. In Indonesian
dance knowledge it is known as classic dance. Surakarta style dance has developed so long that has built
systematized patterns of move and been fully fledged based on pakem beksa containing with many rules and
techniques of movements of palace dance. Javanese society believes that palace dance is a cultural heritage
containing both values of guidance and entertainment as well. The concept of beauty of palace dance has
three norms. Those are Hastakawaca, Kawaca, and Hastakawaca Gendhing. The norms show that the dance
has soul and movement such as container and content unified in inner and outer life. The masters (empu) of
Javanese dance believe that dance movement expressed through the body of dancer will produce inner
attitude. Some people are able to find its philosophy at the time of dance appreciation. This paradigm can be
defined as an implementation of functional values of palace dance giving characters guidance and good soul.
Identified through dance forms perspective, palace dance is a collective soul expression. In relation to
movement, palace dance expresses the soul of Javanese personality. In the sense of being a collective
expression related to customary structures, the movement of palace dances covering the whole body means
building up good soul. The character of palace dances is constructed with typology, temperament, and disposition
derived from or transformation of the forms of shadow play. The forms of shadow play have physical size
(typology), motion puppet play (temperament), and wanda (character) in different visual appearance for each
character or role. The characters structured in the forms of dance movement serves as the values of guidance
through appreciation towards the values of nature and the roles of motion expressing bad and good teaching.
Tari Keraton yang lahir dari kabudayan Jawi penelitian yang mengandalkan data kualitatif
untuk membangun watak/jiwa luhur di atas, di disarankan untuk menyelidiki data itu sebanyak
samping sebagai suatu bentuk ekspresi seni tentulah mungkin sehingga akan dimunculkan pertanyaan-
juga untuk mengekspresikan rasa diri (sense of self), pertanyaan menuju ’mengapa’ dan ’bagaimana’ dalam
khususnya tentang kehalusan dan keseimbangan mengungkap misteri yang berada di belakang data
meditatif yang masih dipraktekkan dalam kehidupan kualitatif (Alasuutari, 1996: 22).
sehari-hari. Dalam konteks ini, Paul Stange Penelitian ini dirancang dengan menggunakan
mengatakan bahwa gaung spiritual dari pertunjukan asumsi-asumsi penelitian kualitatif yang multi disiplin,
telah dijadikan nyata. Pada masa kini, para wisatawan bertolak dari ilmu-ilmu sejarah, sosial, dan koreografi.
pun diperbolehkan untuk menontonnya, bahkan dalam Penggalian data awal dilakukan dari hasil-hasil
pertunjukan yang sifatnya seremonial. Fungsi-fungsi penelitian yang sudah pernah dilakukan termasuk
ritual jelas telah diperbarui dan telah disingkirkan. tulisan-tulisan pada umumnya. Kajian-kajian itu
Namun, bentuk ritual masa kini yang tampaknya diharapkan dapat memberikan inspirasi untuk
paling tipis sekalipun, perasaan sakral masih tetap menelusuri permasalahan tentang karakter dalam tari
diakui di dalam dunia keraton ( Paul Stange, 1992 : gaya Surakarta. Untuk mempertajam aktualitas data
158). Perasaan sakral artinya dalam menyaksikan maka studi kepustakaan akan ditindaklanjuti dengan
pertunjukan tari Bedhaya dan Srimpi misalnya, ada memasuki wilayah dinamika pemikiran baru dalam
usaha untuk menggali kandungan nilai-nilai pelajaran perkembangan tari Jawa gaya Surakarta.
hidup, ilmu pengetahuan, seni budaya dan filsafat
kearifan budaya di dalamnya. Secara apresiatif dapat B. Seni Tari Jawa: di dalam Keraton
dijadikan wahana pengembangan cakrawala imajinatif
yang bersifat abstrak dan simbolis untuk menggali Istilah tari gaya Surakarta ini kiranya perlu
nilai-nlai kehidupan yang lebih dalam. dijelaskan terlebih dahulu, mengingat sampai
Nilai-nilai apresiasi tari di atas sejalan dengan sekarang ada pula sebutan lain yaitu Tari Sala. Dalam
pernyataan Suryobrongto bahwa Bedhaya Ketawang, pengalaman penulis, sebutan Tari Sala tersebut
tari Srimpi dan tari keraton pada umumnya bersifat terkesan lebih akrab bahkan sampai sekarang masih
abstrak dan simbolik dengan muatan filosofis dan banyak yang menggunakan penyebutan Tari Sala. Hal
intelektual di dalamnya, sebagaimana ungkapan Ny. ini berkaitan dengan awal berdirinya keraton Surakarta,
Mantlehood yang pernah mempelajari tari Jawa sebagaimana dijelaskan Sapardi Yosodipuro bahwa
menyatakan bahwa The Javanese dance has a istilah Surakarta itu adalah nama kotanya setelah
philosophical and intellectual foundation(Harya berdirinya keraton, dahulunya berupa desa dengan
Suryobrongto, 1982 : 16). sebutan Sala menurut nama sesepuhnya yaitu orang
Di samping khasanah tari yang bersifat untuk yang dituakan atau orang yang dianggap pandahulunya
upacara, ada pula bentuk seni tari di keraton yang (cikal-bakal) bernama Ki Gedhe Sala. Setelah desa
mem ang disaji kan sebagai bentuk seni Sala diminta Paku Buwono II (1745) untuk mendirikan
pertunjukan.Pertunjukan seni tari di keraton ini juga keraton, nama desa Sala diminta (kapundhut)
digemari oleh para raja, pangeran dan para abdi dalem. digantikan nama Surakarta Hadiningrat (Sapardi
Paku Buwana II termasuk orang yang pandai Yosodipuro, 1987: 1). Bertolak dari peristiwa
menarikan tari Topeng dan juga memiliki koleksi berdirinya keraton Surakarta tersebut maka dalam hal
topeng, yang salah satunya diberi nama Topeng Kyai ini kemudian digunakan istilah tari gaya Surakarta.
Geger (Harya Suryobrongto, 1982 : 16). Juga menurut Mengingat tari gaya Surakarta bersumber dari
J.W. Winter, Sunan Pakubuwono IV menyenangi keraton maka dalam khasanah pengetahuan tari di
tarian Srimpi, bahkan kadang-kadang juga menarikan Indonesia kemudian disebut sebagai tari klasik sejalan
sendiri Beksan Jebeng, Beksan Panji Tuwa, Beksan dengan pemikiran Soedarsono bahwa tari klasik
Panji Anom, Beksan Lawung Gede, Beksan Lawung adalah tari yang semula berkembang di kalangan raja
Cilik, Beksan Gelas (Amen Budiman, Wawasan 9 dan bangsawan dan telah mencapai kristalisasi artistik
Desember 1989). Bentuk-bentuk pertunjukan tari yang yang tinggi dan telah pula menempuh jalan sejarah
berkembang di keraton itulah yang kemudian dijadikan yang cukup panjang sehingga memiliki pula nilai
pijakan dasar perkembangan tari gaya Surakarta. tradisionil (Sudarsono, 1977: 31). Kristalisasi yang
Dalam kajian ini konsentrasi utamanya pada dimaksud dalam implementasinya menunjuk pada
penggunaan data kualitatif yang mengacu pada adanya bentuk dan pola gerakan tari yang terukur
pemikiran Pertti Alasuutari yang menyatakan bahwa dan dibakukan berdasarkan pakem beksa yang berisi
rumusan tentang aturan-aturan perlakuan terhadap pet ilan ingkang kaanggé wirèng
bentuk gerak tari dan teknik gerak tari keraton. sasampunipun, ing mangka beksa tetiga
Tentang adanya pathokan-pathokan yang punika pérangan alus, ewandéné saged
menjadi pakem beksa tari keraton, dalam sumrambah. (Sastrakartika tt : 12-13)
SeratKridwayangga yaitu buku yang memaparkan
tentang adanya Pakem Beksa menegaskan bahwa (dalam serat Kridwayangga yang paling penting
pathokan-pathokan itulah yang menjaga nilai-nilai tari adalah tiga dasar tari yaitu tari hendrayawedi,
keraton agar tetap lestari sebagai tarian pusaka, hendraya werdu, hendraya merdu ketiganya
sebagaimana tersurat di dalamnya: mila manawi menjadi dasar semua tari, walaupun tarian
mboten kaparsudi pepathokanipun, saèstu bade kasar, madya, wayang orang, petilan yang
mboten tetep nama pinusaka (Maka dari itu apabila sudah dipakai untuk wireng. Padahal tiga dasar
tarian diatas merupakan tarian halus, tapi bisa
tidak dipertahankan aturan-aturannya, pastilah
untuk semuanya)
nantinya tidak dapat lagi disebut sebagai pusaka).
Sampai sekarang tari keraton sebagai warisan pusaka
Pathokan yang bertolak dari ketiga bentuk
keraton dalam kehidupan masyarakat tradisi masih
tarian di atas, lengkapnya disebut Hastakawaca yang
diyakini memiliki nilai-nilai tuntunan di samping
berarti delapan perangkat wiraga tari yaitu (1) patrap,
sebagai bentuk tontonan yaitu sebagai seni
(2) Ulat-ulatan, (3) Tanjak, (4) pacakgulu, (5) ukuran
pertunjukan. Nilai tuntunan yang dimaksud adalah
tungkak, (6) dariji asta, (7) léyot, (8) Ulahing Jaja,
merupakan nilai fungsi tari sebagai wahana untuk
sebagaimana diterangkan bahwa patokan beksa
membangun watak/jiwa luhur menurut ajaran
tetiga sangkepipun hastakawaca, tegesipun perabot
Kabudayan Jawi. Adapun nilai tontonan yang dimaksud
wewolu(Sastrakartika, tt: 12). Dalam kaitannya dengan
adalah tari keraton sebagai seni pertunjukan itu untuk
musik iringan atau gendhing terdapat dua pathokan
mempertontonkan nilai-nilai kebagusan, kecakapan
yaitu yang berkenaan dengan irama disebut Kawaca
dan perwujudan tari melalui gerak-gerak keindahan
lagudan yang berkaitan dengan rasaseleh gerakan
tari keraton, sebagaimana diterangkan dalam Serat
atau rasa keselarasan gendhing dengan gerakan tari
Kridwayangga bahwa beksa punika amitontonaken
seperti jatuh pada kenong, kempul atau gong pada
kabergasan, kawasisan, wewangunan, ingkang saged
prinsipnya ada 8 macam bentuk gendhing yang dapat
angirip dateng larasipun beksa (Sastrakartika, (tt),
dipadukan dengan pengolahan irama disebut
4-5). Selanjutnya dapat ditarik suatu pengertian bahwa
Hastakawaca Gendhing.
keindahan tari keraton yang memiliki nilai-nilai
Paparan di atas menunjukkan bahwa
tuntunan dan tontonan di atas dalam perwujudannya
eksistensi dan konsepsi keindahan tari keraton
menjadi pathokan-pathokan yang harus diindahkan.
memiliki tiga perangkat pathokan yaitu Hastakawaca,
Substansi pathokan-pathokan itu pada
Kaw aca lagu dan Hastakaw aca Gendhing
hakekatnya merupakan teori yaitu pengetahuan yang
sebagaimana diterangkan berikut ini.
menjelaskan tentang bentuk gerak tari dan teknik
Wirama gendhing : ketuk, kenong, gong badé
gerak tari dengan itikad untuk membingkai nilai-nilai
kasandangaken tumandangipun beksa; irama
watak dan jiwa luhur yang terkandung dalam tari
kanggé beksa nama: kawaca lagu.
keraton. Di dalam tari keraton pathokan tari berkiblat
Bebakuning gendhing pepatokan ketuk,
pada tari alus yang disebut Tari Hendrayawedi, Tari kenong gong kanggé beksa ingkang
Hendrayawerdu dan Tari Hendrayamerdu. Ketiganya wewiledan irama,namaHastakawaca Gendhing
tersebut sekalipun bentuknya tari alus, akan tetapi (Sastrakartika, tt: 21).
dapat di katakan mewadahi pat hokan tari
keseluruhannya seperti halnya untuk tari yang (Irama gendhing :ketuk, kenong, gong akan
berbentuk kasar, madya, wayang orang, petilan- digunakan untuk gerakan tari; irama untuk tari
petilan, wireng, sebagaimana dijelaskan berikut ini. bernama : kawaca lagu. Gendhing pokok
Ing serat Kridwayangga ngriki, ingkang berdasar ketuk, kenong, gong untuk tari irama
langkung perlu piyambak pathokan beksa wilet,bernama :Hastkawaca Gendhing )
tetiga, inggih punika Beksa hendrayawedi,
Beksa hendraya werdu, beksa hendraya Ketiga perangkat tari keraton tersebut masing-
merdu. Beksa tetiga kasebut kanggé masing dapat dijelaskan sebagai berikut.
pathokan beksa sadaya, sanadyan beksa 1. Hastakawaca
kasar, beksa madya, wayang tiyang, petil- Hastakawaca ini pathokan yang berkaitan
dengan persoalan wiraga yaitu gerakan penari dalam bentuk gendhing. Ada 8 macam bentuk gendhing yang
membawakan suatu peranan harus memenuhi 8 dibakukan yaitu (1) ketawang; (2) Ladrang; (3)
macam ketentuan berikut ini. Sambega gendhing ketuk kalih kenong; (4) Sambega
a. Patrap2 yaitu pola gerakan tari selaras dengan gendhing ketuk kalih kerep minggahipun ketuk
karakter tarinya, misalnya untuk peran Bogis sekawan; (5) Sambega gendhing ketuk kalih arang
disebut munding mangundo, sebaiknya sering minggahipun ketuk sekawan; (6) Sambega gendhing
melakukan gerakan badan menunduk ketuk sekawan kerep minggahipun ketuk wolu; (7)
kemudian menengadah (andingkluk lajeng Sambega gendhing ketuk kalih arang minggahipun
ndengèngèk) (Sastrakartika, tt : 13) ketuk wolu; (8) Sambega gendhing ketuk sekawan
b. Ulat-ulatan yaitu tolehan dan arah pandangan arang minggahipun ketuk wolu.
mata, misalnya mengawasi lawan, melirik Patokan atau aturan tari keraton dalam
pundak dan lain-lain. rangka untuk mempertontonkan estetika tari yang
c. Tanjak yaitu sikap tangan membentuk suatu terdiri dari 3 perangkat di atas menunjukkan bahwa
pose gerak yang merefleksikan karakter tari, tari memiliki jiwa atau gerak memiliki irama ibarat
misalnya Tanjak Kalang Panantang wadah dan isi yang keduanya terpadu dan menyatu
manggambarkan sikap siaga menjaga diri dari ibarat menyatunya kehidupan lahir dan batin. Hal itu
orang yang bermaksud jelek. sel aras dengan pernyat aan Soemardjo
d. Pacak gulu yaitu gerakan kepala yang Hardjoprasonto bahwa dari aspek teknis, tari keraton
berporos pada leher,misalnya untuk peran itu sendiri sebagai suatu karya seni yang demikian
Bogis, dagu bergerak ke kiri, lalu kembali rumit, ngrawit, dansophisticated yang berkesan suatu
lurus, gerakannya seperti menatapkan hasil karya yang digarap melewati proses luar dalam
(cepat). atau lahir batin (Soemardjo Hardjoprasonto, 1977: 16).
e. Ukuran tungkak yaitu ukuran jauh dekatnya Lebih lanjut Wahyu Santosa Prabawa berpandangan
jarak tungkak telapak kaki kanan dengan bahwa para empu tari Jawa itu menganggap ’tubuh
telapak kaki kiri, misalnya berjarak dua pecak sebagai omah’ yang harus dilihat secara jeli berbagai
untuk peranan buta atau raksasa. kelebihan dan kekurangannya, karena wujud gerak
f. Dariji asta yaitu posisi jari-jemari tangan yang tari itu sepenuhnya akan diungkapkan melalui tubuh
membentuk suatu pola, misalnya bentuk penari (Wahyu Santoso Prabowo, 2002: 96), maka
Ambaya mangap digunakan untuk Beksa secara batiniah akan menghasilkan ’isi omah’ yaitu
Panji Sepuh. sikap batin. Penghayatan tari sebagai laku batin pada
g. Léyot yaitu gerakan dan posisi batang tubuh, sebagian orang dapat menemukan filsafat di
misalnya léyot wangking yaitu miring ke kanan dalamnya, sebagaimana nasehat Sukamta kepada
atau kekiri untuk tari putri. Léyot ini tidak anaknya agar mengembangkan cara hidup seperti
semua tarian ada, seperti Bogis ini tidak orang menari yaitu sebagai berikut.
menggunakan léyot. Sabar ora delélah, budidaya nuting irama, ora
h. Ulahing Jaja yaitu batang badan yang akan kemrungsung lan ora nggégé mangsa,
dibentuk dengan sikap dada, misalnya dada jalaran kabèh kapurba déning wahyuning kala
mungal sedikit, untuk peranan Sudira. mangsa.3
waktu, atau disebut pula dengan istilah kala (Tati dengan kata tari maka dapat berarti suatu peran tari
Narawati, 2003, 68). Hal itu terlihat dari adanya hari yang memiliki sifat khas ( characteristic) dari
pasaran yaitu Legi, Pahing, Pon, Wagé, Kliwon yang perwatakan manusia. Dalam arti yang lain character
oleh masyarakat tradisi diyakini bahwa masing- dari bahasa Yunani berarti charas-seini yang semula
masing pasaran itu memiliki kekuatan dan karakternya berarti coretan atau goresan. Goresan dimaksud
sendiri-sendiri. Implementasinya dalam tari keraton adalah bekas yang dibuat atau ditinggalkan oleh
itu memiliki rasa seleh gerak yang selaras dengan tindakan, oleh karena bermakna maka goresan
pemangku iramanya, misalnya pada Kempul, Kenong, tersebut menjadi stempel mewakili jiwa seseorang
atau Gong. Misalnya pada gendhing bentuk Ketawang lewat perilakunya. Peril aku seseorang yang
gerak sabetan yang terdiri dari 12 hitungan itu dimulai meninggalkan bekas goresan-goresan sekaligus
dari Kempul kosong, berbeda dengan bentuk Ladrang menjadi stempel yang bermakna mencerminkan jiwa
dimulainya pada Kempul kedua, karena selesainya pribadinya (A. Tasman, 2008: 19).Perilaku tersebut
gerakan, tanjak harus jatuh Gong. Demikian setiap dalam hal ini berupa perilaku tari sejalan dengan
pola gerak atau sekaran memiliki jumlah hitungan batasan tari Pangeran Suryodiningrat bahwa tari
yang berbeda-beda, oleh karena itu setiap akan mulai adalah gerakan-gerakan dari seluruh bagian tubuh
atau mengakhiri sekaran harus diselaraskan dengan manusia yang disusun selaras dengan irama musik
bentuk gendhingnya agar rasa sèlèh gerakannya serta mempunyai maksud tertentu (Soedarsono,
selaras dengan pemangku iramanya. Misalnya akan 1977: 17).
Tanjak Harsaya bersamaan dengan pemangku irama Terkait dengan persoalan tari keraton perlu
Kenong; Tanjak Sangkaya pada pemangku irama juga dipahami adanya definisi tari yang dikemukakan
Gong. Hal demikian di dalam tari keraton termasuk oleh Soedarsono bahwa tari adalah ekspresi jiwa
penguasaan iramadangendhing bagi seorang penari manusia yang diungkapkan dengan gerak-gerak ritmis
dan sekaligus juga merupakan bagian dari nilai estetika yang indah (Soedarsono, 1977: 17).Selanjutnya perlu
tari keraton. dipahami pula bahwa sebagai bentuk ekspresi jiwa
Selanjutnya dengan adanya pandangan empu manusia maka tari keraton sejalan dengan pemikiran
tari yang menganggap ’tubuh sebagai omah’ dan hal Sumaryono merupakan ekspresi kolektif atau
sikap batin sebagai ’isi omah’ di atas dapat dikatakan komunal yaitu suatu peristiwa tari yang berkaitan
sebagai persoalan wadah dan isi, maka sebagai dengan kepentingan-kepenti ngan komunal
ekspresi seni kedua hal tersebut tidak dapat masyarakat pendukungnya.Secara wujud dan
dipisahkan dalam estetika tari keraton. Dapat bentuknya merupakan karya dan milik dari komunal
dianalogikan, suatu kandang bisa disebut kandang yang melatarbelakanginya (Sumaryono, 2007: 4),
kuda apabila digunakan untuk kuda. Apabila yang dalam hal ini adalah pranatan-adat keraton.
digunakan untuk sapi maka akan disebut kandang Selanjutnya untuk mengetahui tentang
sapi. Demikian halnya tari keraton sebagai bentuk pengertian karakter tari keraton dapat dikembangkan
ekspresi seni memiliki wadahdan isi serta maksud dari adanya pemahaman-pemahaman di atas menjadi
penciptaan yang selalu berkiblat pada Pranatan-Adat seperti berikut ini.
yang menurut Sapardi Yosodipuro tujuannya adalah a. suatu peran t ari i tu m emili ki si f at khas
untuk keselamatan sesama (Sapardi Yosodipuro, (characteristic) atas perwatakan manusia yang
1987, 3), maka apabila tari keraton didudukkan dalam hal ini termasuk juga tari keraton. Tari
sebagai bentuk seni sebaiknya juga didudukkan Keraton sebagai bentuk tari maka tari keraton
dalam konsepsinya yaitu keluhuran budaya. Sapardi adalah ekspresi jiwa yang bersifat kolektif.
Yosodipuro mengingatkan bahwa bagi keraton b. perilaku tari atau gerakan tari keraton itu
Surakarta, kerajaan dan kebudayaannya itu ibarat meninggalkan lukisan kesan-kesan yang
madu dan manisnya. Budaya tanpa tata krama dan mencerminkan jiwa kepribadian orang Jawa.
kesusilaan, sama saja dengan bunga tanpa sarinya, Lukisan kesan-kesan yang berupa lintasan-
maka keharuman nama bangsa itu bergantung pada lintasan dan alur gerakan tubuh yang dalam hal
keluhuran budayanya (Sapardi Yosodipuro, 1987, 15). ini berperan menjadi stempel yang merefleksikan
karakter peran.
C. Karakter Tari Gaya Surakarta c. tari keraton sebagai bentuk ekspresi kolektif atau
komunal berkaitan dengan kepentingan-
Kata ‘karakter’ dalam bahasa Inggris character kepentingan pranatan adat oleh karena itu
dapat berarti watak, sifat, peran. Apabila dikaitkan gerakan-gerakan tari keraton dari seluruh bagian
tubuh itu mempunyai maksud tertentu yaitu berbentuk alur gerakan seluruh tubuh yang
mencerminkan bentuk-bentuk yang berguna merefleksikan karakter-karakter untuk membangun
untuk membangun watak/jiwa luhur. budi pekerti dari watak dan jiwa luhur.Karakter-
karakter yang terstruktur dalam bentuk gerakan tari
Ketiga macam uraian di atas menunjukkan tersebut, difungsikan sebagai nilai-nilai tuntunan untuk
bahwa karakter tari keraton itu memiliki konstruksi membangun budi pekerti luhur melalui penghayatan
yang terdiri dari 3 elemen yaitu peran, perilaku, terhadap tabiat dan gerak laku peranan yang dapat
perwatakan sejalan dengan pernyataan A. Tasman mununjukkan ajaran-ajaran mana yang baik dan
bahwa karakter paling tidak bisa dibedakan menjadi buruk.
3 yaitu karakter berdasarkan konstruksi jasmaniah Tabiat baik buruk tersebut dalam tari keraton
(tipologi), temperamen dan watak, dengan penjelasan terbagi menjadi 10 macam peran yaitu Panji Sepuh,
sebagai berikut. Panji Enèm, Wukirsari, Tandang, Buta, Bogis,
a. Tipologi. Dugang, Wanudya, Wanara dan Sudira (Sastrakartika,
Karakter ini mempunyai ciri berdasarkan kondisi (tt): 8), yang tercermin dari vokabuler-vokabuler, alur
jasmaniah ialah keadaan individu secara fisiologis gerakan dan teknik-teknik gerak yang mendasari
dikarenakan ada sifat-sifat yang dibawa sejak karakternya masing-masing. Setiap peranan akan
lahir. Sifat orang yang bertubuh langsing berbeda memiliki tingkah laku atau perilaku, gerak-gerik,
dengan sifat-sifat orang yang bertubuh gemuk. perbuatan-perbuat an dan sikap t ari yang
b. Temperamen. mengekspresikan karakternya, sejalan dengan
Karakter dalam arti temperamen adalah sifat-sifat pandangan A. Tasman tentang karakter berikut ini.
dan kejiwaan seseorang disebabkan oleh adanya Karakter ialah tingkah laku atau perilaku,
zat di dalam tubuhnya sehingga mempengaruhi gerak-gerik, perbuatan-perbuatan, cara
tingkah laku. Temperamen adalah bagian khusus bersikap yang selama hidupnya tetap dan
dari kepribadian yang diberi definisi : Temperamen berakar dalam jiwa-raga seseorang
adalah gejala karakteristik daripada sifat individu menimbulkan kesan keseluruhan, bahwa
kena rangsangan emosi, kekuatan serta orang itu berbeda dari orang lain (A. Tasman,
kecepatan bereaksi, kwalitas kekuatan suasana 2008: 20).
hatinya, segala cara dari fluktuasi dan intensitas
suasana hati, gejala ini tergantung kepada faktor Pranatan adat Jawa yang memandang akan
konstitusional terutama berasal dari keturunan. pentingnya memberikan tuntunan budi pekerti melalui
c. Watak. adat dan kebiasaan tari tersebut sejalan dengan
Karakter dalam arti watak ialah pribadi jiwa yang pendapat A. Tasman berikut ini.
menyatakan dirinya dalam segala tindakan dan Karakter sering disamakan dengan tabiat,
pernyataan. Karakter ditinjau dari ilmu watak dalam ajaran ini karakter lebih merupakan
anugerah Tuhan tentang suatu tabiat yang
adalah tingkah laku atau perilaku tindakan sebagai
direstui-Nya dan karenanya beribadat kepada-
pernyataan pribadi jiwanya (A. Tasman, 2008: 19-
Nya.Pembangunan karakter itulah pekerjaan
21).
yang terpenting pernah diamanatkan kepada
manusia setelah banyak celah-celah yang
Bertolak dari paparan di atas maka karakter
membahayakan kebiasaan-kebiasaan yang
tari keraton memiliki konstruksi yang terdiri dari sudah baik.Perolehan suatu karakter yang
tipologi, temperamen dan perwatakan yang diturunkan mul ia ti daklah terjadi dengan secara
atau merupakan transformasi dari bentuk-bentuk kebetulan.Karakter itu merupakan hasil dari
wayang kulit. Bentuk wayang kulit memiliki ukuran adat kebiasaan dan sikap yang dikembangkan
fisik (tipologi), permainan gerak wayang (temperamen) oleh seseorang.Dalam sejarah kita dapat
dan wanda (karakter) dalam bentuk rupa perwajahan memperoleh satu nilai karakter yang sangat
wayang kulit yang berbeda-beda pada setiap tokoh mulia (Isa Almasih) (A. Tasman, 2008: 23).
atau peran. Dengan kata lain tari keraton merupakan
transformasi dari bentuk karakter wayang kulit menjadi Terkait dengan paparan di atas, pengertian
bentuk karakter yang dimainkan orang. watak secara berangsur-angsur mengalami perubahan
Selanjutnya apabila didudukkan sebagai yaitu pada awalnya watak dikatakan sebagai alat
bagian dari Pranatan Adat maka tari keraton adalah untuk membuat stempel, kemudian stempel itu
merupakan pola gerak terstruktur atas suatu peran sendiri, misalnya watak pemberani dan perilaku berani,
menurut A. Tasman sebenarnya sebagai gambaran gerakan tari seperti halnya ketika tanjak dan juga
manusia tertentu titik perhatiannya pada etis dan pada saat beksan sekaran yang memainkan senjata.
estetis tindakan seseorang dalam ukuran kepentingan Dalam pembagian tersebut maka muncul adanya
bersama. Watak karakter juga berarti struktur batin penggolongan sebagai berikut.
yang tampak pada kelakuan dan perbuatannya dalam a. Alus : untuk karakter Panji Sepuh, Panji enèm
prinsip-prinsip yang tetap (A. Tasman, 2008: 20-21). dan Wukir Sari, termasuk Wanudya.
Implementasinya dalam tari keraton karakter watak b. Madya : untuk karakter Tandang, Dugang, Sudira
pemberani dan perilaku berani itu dapat dijelaskan c.Kasar : untuk karakter Buta, Bogis, Wanara
sebagai berikut. (Sastrakartika, (tt) : 15)
Peran : Arjuna
a. Tipologi: ukuran dedeg (ketinggian badan) Ket iga macam bentuk tari di atas
cukupan/sedang; ukuran kegemukan badan sebagaimana dijelaskan dalam Pakem Beksa Serat
cukupan/sedang; ukuran bentuk tubuh cukupan/ Kridwayangga berikut.
sedang. Patokan beksa: alus, madya, kasar punika
b. Temperamen: Alus Luruh dengan alur gerakan kenging katitik saking olah solahipun darijining asta,
yang mengalir tanpa putus (mbanyumili). Dalam kadosta:
adegan perang apabila musuhnya terjatuh tidak 1. Beksa alus, punika darijining asta sadasa
boleh menyerang dahulu, harus menunggu sampai mboten kenging angungkuli arah leres susu,
musuhnya dapat bangkit kembali untuk kajawi wonten kalanipun anandukkaken
melanjutkan peperangan lagi (N. Supardjan & I dedamel utawi beksan sekaran.
Gusti Ngurah Supartha, 1982: 87). 2. Beksa madya punika darijining asta sadasa
c. Perwatakan: watak dan jiwa luhur seorang ingkang gangsal sowang saget lelébotan,
ksatria. ngandap susu nginggil susu, ugi kajawi
wonten kalaning kados kasebat ing nginggil.
Karakter peran Arjuna di atas memberikan 3. Beksa kasar, darijining asta sadasa mboten
gambaran adanya ajaran nilai-nilai watak dan jiwa kenging wonten sangandaping susu, ugi
luhur dalam tari keraton menurut pranatan adat Jawa. kajawi wonten kalanipun kados ing nginggil,
Kekuatan karakter dari setiap peranan itulah dalam punapa malih manawi pinuju mboten
kajian ini selanjutnya dapat dikatakan sebagai tumandang beksa (Sastrakartika, (tt): 10-11)
identitas tari keraton. Dalam implementasinya,
karakter tari keraton itu direfleksikan melalui bentuk- (Dasar tari: halus, madya, kasar bisa dilihat
bentuk vokabuler dan teknik-teknik gerak tari yang dari gerakan jari tangan, seperti:
menurut Pakem Beksa Serat Kridwayangga terdiri 1. Tari halus, kesepuluh jari-jari tangan tidak
dari: namaning beksa, larasing beksa, adegan boleh lebih tinggi dari dada, kecuali suatu saat
beksa, patraping beksa, ulat-ulatanipun beksa, dibutuhkan untuk tarian.
namaning tanjak, namaning pacak gulu, ukuran 2. Tari madya kesepuluh jari tangan yang lima
tungkak kekalih, namanining traping dariji asta, bisa bergantian di bawah dan di atas dada,
namining léyot, ulahipun jaja yang secara umum dan juga kecuali dibut uhkan seperti
didasarkan pada adanya patokan beksa: alus, madya disebutkan di atas.
dan kasar (Sastrakartika, (tt): 8-11). 3. Tari kasar, kesepuluh jari tangan tidak boleh
Ketiga macam bentuk tari yaitu alus, madya di bawah dada, kecuali suatu saat dibutuhkan
dan kasar tersebut pembedaannya didasarkan pada seperti tersebut di atas. Apalagi ketika tidak
adanya batasan rentangan gerakan tangan dari bergerak menari).
masing-masing bentuk tari tersebut.Batasan gerakan
tangan untuk bentuk tari alus yaitu gerakan kedua Atas adanya ketiga macam penggolongan tari
tangannya tidak boleh melebihi t inggi nya di atas pembedaan karakternya memiliki ketentuan-
payudara.Pada bentuk tari madya gerakan tangannya ketentuan yang didasarkan pada tipologi, temperamen
secara bergantian dapat bergerak di atas dan di bawah dan perwatakan sebagaimana dijelaskan di atas yaitu
payudara. Adapun pada bentuk tari kasar rentangan keadaan dan karakter orang dalam keseharian
kedua tangannya selalu berada di atas payudara. dijadikan dasar pertimbangan terhadap pemeranan
Gerak tangan pada masing-masing bentuk tari tarinya.
tersebut dikecualikan pada saat tidak melakukan
Hal pemeranan karakter tari di atas sejalan ibarat burung merak yang sedang mengembangkan
dengan keterangan di dalam Pakem Beksa Serat bulu dan membuka ekornya maka kelihatan sangat
Kridwayangga sebagai berikut. indah dan megah. Berdasarkan uraian tersebut maka
Ukuran pasikonipun badan sakojur (saujud= dapat dikatakan bahwa Laras Panji Sepuh atau
sakojur) punapa malih kahanan, ingkang saged daup keindahan tari Panji Sepuh terletak pada karakter
kaliyan pratingkahing beksa, badé dedapukanipun Hendrayawedi yaitu seperti seorang raja yang
(dedapuranipun). mempunyai kebijaksanaan dengan cara halus dapat
1. Ukuran dedeg : inggil, cekapan, andap. menciptakan kedamaian dengan penuh kewibawaan
2. Ukuran badan : lema, cekapan, kera. dan kemegahannya.
3. Ukuran wangunipun badan : gilig, cekapan, Secara bentuk dan teknik gerakannya
gèpèng. mempunyai batasan-batasan sebagai berikut; Gerak
4. Ukuran greng : ageng, cekapan, alit. muka dan pandangan mata: anglirik midangan
5. Ukuran kulitan : jené, abang, cemeng. (pundak);Sikap berdiri :tanjak tajem;Gerakan kepala:
6. Ukuran kekiyatan : santosa, cekapan, ringkih. pacak gulu panggil;Jarak kaki tanjak: dèngkèt;Bentuk
7. Ukuran sembada : ageng, inggil, lema. jari: ambaya mangap;Gerakan badan: léyot
8. Ukuran pideksa : sarwa, cekapan, sadaya. wangking;Sikap dada: mungal samantra.
9. Ukuran kuciwa : kosokwangsulipun Karakter Hendrayawedi ini tergolong peranan
sembada. Panji Sepuh seperti misalnya Arjuna untuk peran tua,
10. Ukuran paraéyan : bunder, cekapan, lonjong. mempunyai sifat-sifat tari putra Alus Luruh.Pada sikap
11. Ukuran pasemon : ruruh, lanyap, regu. berdiri posisi kaki tidak terlalu lebar, mimik tajam dan
12. Ukuran ulatan : liyep, tajem, teleng. wingit. Gerak tari tidak terputus-putus sehingga terasa
13. Tandang (pratingkah) : klemer, sigrak, dugang. ada kontinuitas gerakan tari yang bersambungan,
14. Antawecana : semanak, ladak, prasaja. dapat diibaratkan dan dinamakan mbanyumili yaitu
gerakan seperti air mengalir yang tiada putus-
Adapun tentang adanya 10 macam bentuk putusnya. Dalam adegan peperangan seperti halnya
karakter tari keraton sebagaimana telah disebutkan dalam Beksan Tandingan, maka apabila musuhnya
di atas, dalam implementasi tarinya dapat dijelaskan terjatuh tidak boleh menyerang dahulu, harus
sebagai berikut. menunggu sampai musuhnya dapat bangkit kembali
1. Karakter Panji Sepuh. untuk melanjutkan peperangan lagi. Sikap ini dalam
Dalam Pakem Beksa Serat Kridwayangga tarian keraton disebut Ekastakawacabeksa8yang
karakter peran Panji Sepuh ini dijelaskan sebagai berarti pola gerak tariannya dapat terlihat dari gerakan
berikut. tangannya yang menunjukkan kesatuan sikap.9
Namaning beksa: Hendrayawedi; Larasing
beksa: Panji Sepuh; Adegipun beksa: 2. Karakter Panji Enèm.
Tambak Westi; Patraping beksa: Beksa Dalam Pakem Beksa Serat Kridwayangga
merak ngigel; Ulat-ulatanipun beksa: Anglirik karakter peran Panji Enèm ini dijelaskan sebagai
midangan (pundak); Namaning tanjak: Tajem; berikut.
Namaning pacak gulu: Panggil; Ukuran tebih Namaning beksa: Hendrayawerdu; Larasing
celaking tungkak kekalih: dengket; beksa: Panji Enèm; Adegipun beksa: Tambak
Namanining traping dariji ast: Ambaya Baya; Patraping beksa: Sata Ngatap Suwiwi;
mangap; Namining léyot: wangking; Ulahipun Ulat-ulatanipun beksa: Anglirik siku (sikut);
jaja: mungal samantra. Namaning tanjak: Tajug; Namaning pacak gulu:
Panggung; Ukuran tebih celaking tungkak
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat kekalih: benggang sekaki; Namanining traping
dijelaskan tentang karakter tari Panji Sepuh sebagai dariji asta: Karah Bedat, Purnama Sidi,
berikut. Kontabaskoro; Namining léyot: kalpika;
Peran Panji Sepuh ini mempunyai karakter Ulahipun jaja: mungal samadya.
Hendrayawedi,4 bentuknya tergolong tari alus. Secara
harfiah dapat diartikan ‘raja sanggup mewujudkan,’ Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat
Adegipun5Tambak Westhi6 yang secara harfiah dijelaskan tentang karakter tari Panji Enem sebagai
mempunyai arti bahwa ‘gagasan utamanya menolak berikut.
bahaya.’ Sikap pembawaannya merak ngigel7 yaitu
Peran Panji Enèm ini mempunyai karakter Namining léyot : kartika mabangun; Ulahipun
Hendrayawerdu10, bentuknya tergolong tari alus. jaja : mungal semuladak.
Secara harfiah dapat diartikan ‘raja yang masih dapat
berubah wujud,’ adegipuntambak baya11 yang secara Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat
harfiah mempunyai arti bahwa ‘gagasan utamanya dijelaskan tentang karakter tari Wukirsari sebagai
penolak bahaya.’ Sikap pembawaannya sata ngatap berikut.
suwiwi 12 yaitu ibarat ayam yang sedang Peran Wukirsari ini mempunyai karakter
mengembangkan atau memanjangkan sayapnya. Hendrayamerdu14, bentuknya tergolong tari alus.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dikatakan Secara harfiah dapat diartikan ‘raja yang halus dan
bahwa Laras Panji Enèm atau keindahan tari Panji menyenangkan,’ adeganTambak Pringga15 yang
Enèm terletak pada karakter Hendrayawerdu yaitu secara harfiah mempunyai arti bahwa ‘gagasan
seperti seorang raja yang masih mengembangkan utamanya sebagai penol ak bahaya.’ Si kap
atau memanjangkan kemampuannya (sayap) dengan pembawaannya Kukila Tumiling16 yaitu ibarat burung
cara halus dapat menciptakan kedamaian atau yang sedang menolehatau melihat-lihat mencari
menolak bahaya. sesuatu. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat
Secara bentuk dan teknik gerakannya dikatakan bahwa Laras Wukirsari atau keindahan tari
mempunyai batasan-batasan yaitu; Gerak muka dan Wukirsari terletak pada karakter Hendrayamerdu yaitu
pandangan mata: anglirik siku (sikut); Sikap berdiri: seperti seorang raja yang masih mengembangkan diri
tanjak tajug;Gerakan kepala: pacak gulu: atau mencari-cari jati diri (melihat-lihat) dengan cara
panggung;Jarak kaki tanjak: benggang sekaki;Bentuk halus akan tetapi lanyap atau lincah dan dapat
jari: karah bedat, purnama sidi, kontabaskoro; menciptakan kedamaian atau menolak bahaya.
Gerakan badan: léyot kalpika;Sikap dada: mungal Secara bentuk dan teknik gerakannya mempunyai
samadya. batasan-batasan sebagai berikut; Gerak muka dan
Karakter Hendrayawerdu ini tergolong peranan pandangan mata: anglirik jentikan; Sikap berdiri:
Panji Enèm yang mempunyai sifat-sifat tari putra alus tanjak tawing simpir; Gerakan kepala: pacak gulu:
luruh.Akan tetapi untuk peranan muda seperti panggih; Jarak kaki tanjak: benggang kalih kaki;
Abimanyu anaknya Arjuna. Pola gerakan Bentuk jari: naga ngelak; Gerakan badan: léyot
Hendrayawerdu ini pada dasarnya tidak banyak kartika mabangun; Sikap dada: mungal semuladak.
berbeda dengan sifat-sifat yang terdapat pada tari alus Karakter Hendrayamerdu ini tergolong peranan
untuk peran tua.Hanya saja dalam tandingan, oleh Wukirsari yang mempunyai sifat-sifat tari putra Alus
karena masih muda karakternya dipengaruhi oleh Lanyap. Peran yang memiliki sifat ini misalnya Irawan.
gejolak darah mudanya maka pola gerakannya dapat Tata gerak dari sifat Hendrayamerdu ini dapat lebih
lebih agresif dalam menghadapi lawan. Sikap ini agresif lagi dibandingkan dengan si f at
disebut Dwiastakawacabeksa13 yang berarti pola gerak Hendrayamerdu; Si kap ini disebut
tarinya dapat terlihat dari gerakan kedua tangannya “Triastakawacabeksa”17 yang berarti tarinya telah
yang menunjukkan dan terkesan pamer yaitu terlihat dari gerak tangan yang mendasarkan pada
memamerkan kelebihannya (N. Supardjan & I Gusti Wilet, Trajang dan Sigrak. Untuk ini dalam tandingan
Ngurah Supartha, 1982 : 87) harus ada unsur mengejek lawan18.
Ketiga macam karakter tari di atas yaitu
3.Karakter Wukirsari. Hendrayawèdi, Hendrayawerdu, dan Hendrayamerdu
Dalam Pakem Beksa Serat Kridwayangga adalah khasanah tarian keraton yang dapat dikatakan
karakter peran Wukirsari ini dijelaskan sebagai menjadi bagi an ut ama dan m enjadi dasar
berikut. pengembangan gerak baik tari alus, madya dan kasar
Namaning beksa: Hendrayamerdu; Larasing yang disebut Hastakawaca yang berisi 8 macam
beksa: Wukirsari; Adegipun beksa: Tambak perabot tari yaitu: laras, adeg, ulat-ulatan, tanjak,
Pringga; Patraping beksa: Kukila Tumiling; pacak gulu, léyot, dada, dariji. Sekalipun ketiganya
Ulat-ulatanipun beksa: Anglirik jentikan; pada dasarnya merupakan bentuk tari alus, akan tetapi
Namaning tanjak: Tawing Simpir; Namaning dapat merambah ke semua bentuk tari keraton seperti
pacak gulu: Panggih; Ukuran tebih celaking halnya wireng, petilan, wayang orang, dan lain-lain,
tungkak kekalih: benggang kalih kaki; sebagaimana diterangkan berikut ini.
Namanining traping dariji asta: Naga Ngelak;
Peran But a ini mempunyai karakter sesuatu hal. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat
Kridaniscaya23, bentuknya tergolong kasar sifatnya dikatakan bahwa Laras Bogis atau keindahan tari
tidak ragu-ragu (taha-taha). Secara harfiah dapat Bogis terletak pada karakter Kridanukarta yaitu sikap
diartikan sikap pembawaan dengan tidak ada orang yang suka mengolok-ngolok dan menentang
kepastian, artinya gerakan tarinya menunjukkan sikap dengan pikiran yang tidak jelas.
yang tidak ada kepastiannya,’ adeganTambak Secara bentuk dan teknik gerakannya
Durgama24 yang secara harfiah mempunyai arti bahwa mempunyai batasan-batasan sebagai berikut; Gerak
‘gagasan utamanya berupa sikap yang tidak punya muka dan pandangan mata : amawas mengsah; Sikap
perasaan hat i atau éwuh-pakéwuh.’ Sikap berdiri : tanjak giro; Gerakan kepala : pacak gulu
pembawaannya Wreksa Sol25 yaitu ibarat pohon gèbès; Jarak kaki tanjak : benggang kalih kaki;
tumbang sampai ke akar-akarnya. Berdasarkan uraian Bentuk jari : blarak sempal; Gerakan badan : tidak
tersebut maka dapat dikatakan bahwa Laras Buta atau menggunakan léyot; Sikap dada: pajeg (jejeg) semu
kei ndahan tari But a terlet ak pada karakter tanggap.
Kridaniscaya yaitu sikap orang yang bertumbangan
berjatuhan atau bergulung-gulung tanpa punya 7. Karakter Dugang.
perasaan hati atau rasa éwuh pakéwuh. Dalam Pakem Beksa Serat Kridwayangga
Secara bentuk dan teknik gerakannya karakter peran Dugang ini dijelaskan sebagai berikut.
mempunyai batasan-batasan sebagai berikut; Gerak Namaning beksa: Daryahascarya; Larasing
muka dan pandangan mata : Amawas mengsah; Sikap beksa: Dugang; Adegipun beksa: Tambak
berdiri : tanjak bapangan; Gerakan kepala : pacak Singgun; Patraping beksa: Hanggiri-gora; Ulat-
gulu gélo; Jarak kaki tanjak : benggang kalih kaki; ulatanipun beksa: Amawas mengsah;
Bentuk jari : Bronjongkawat, Kunjarawesi; Gerakan Namaning tanjak: Tambong; Namaning pacak
badan : tidak menggunakan léyot; Sikap dada: pajeg gulu: Godeg; Ukuran tebih celaking tungkak
(jejeg) semu tanggap. kekalih: benggang kalih kaki; Namanining
traping dariji asta: Traju-mas, Pisang-bali;
6. Karakter Bogis. Namining léyot: mboten wawi léyot; Ulahipun
Dalam Pakem Beksa Serat Kridwayangga jaja: pajeg (jejeg) semu tanggap.
karakter peran Bogis ini dijelaskan sebagai berikut.
Namaning beksa: Kridanukarta; Larasing Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat
beksa: Bogis; Adegipun beksa: Tambak dijelaskan tentang karakter tari Dugang sebagai
Durbaya; Patraping beksa: Munding Mangunda; berikut.
Ulat-ulatanipun beksa: Amawas mengsah; Peran Dugang ini mempunyai karakter
Namaning tanjak: Giro; Namaning pacak gulu: Daryahascarya29, bentuknya tergolong madya sifatnya
Gèbès; Ukuran tebih celaking tungkak mengagumkan. Secara harfiah dapat diartikan sikap
kekalih: benggang kalih kaki; Namanining perwatakan yang menyenangkan, artinya gerakan
traping dariji asta: Blarak sempal, Rayung tarinya menunjukkan sikap perwatakan yang
glagah; Namining léyot: mboten wawi léyot; menimbulkan rasa kagum dan menyenangkan,’
Ulahipun jaja: pajeg (jejeg) semu tanggap. adeganTambak Singgun 30 yang secara harfiah
mempunyai arti sikap yang mantap dan tidak
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat canggung.’ Sikap pembawaannya Hanggiri-gora31
dijelaskan tentang karakter tari Bogis sebagai berikut. yaitu ibarat gunung besar yang menakutkan.
Peran Bogis ini mempunyai karakter Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dikatakan
Kridanukarta26, bentuknya tergolong kasar sifatnya bahwa Laras Dugangatau keindahan tari Dugang
rusuh atau penggangu. Secara harfiah dapat diartikan terletak pada karakter Daryahascarya yaitu sikap orang
sikap pembawaan yang suka mengolok-olok dan besar yang mantap dan tidak canggung membuatnya
bersif at menentang, artinya gerakan tarinya ditakuti.
menunjukkan sikap yang selalu menantang dengan Secara bentuk dan teknik gerakannya
penuh ejekan,’ adeganTambak Durbaya27 yang mempunyai batasan-batasan sebagai berikut; Gerak
secara harfiah mempunyai arti sikap yang tidak baik muka dan pandangan mata : amawas mengsah; Sikap
dan membahayakan.’ Sikap pembawaannya Munding berdiri : tanjak tambong; Gerakan kepala : pacak gulu
Mangunda28 yaitu ibarat kerbau yang merindukan godeg; Jarak kaki tanjak : benggang kalih kaki;
Bentuk jari : traju-mas, pisang-bali; Gerakan badan : (3) Beksa Krida Kist a karakter put ri dalam
tidak menggunakan léyot; Sikap dada: pajeg (jejeg) berdandan;
semu tanggap. (4) Beksa Hékatana karakter putri dalam memainkan
jemparing;
8. Karakter Wanudya. (5) Beksa Krida Ruwasta karakter putri dalam gerak
Dalam Pakem Beksa Serat Kridwayangga di tempat;
karakter peran Wanudya ini dijelaskan sebagai berikut. (6) Hanawengi karakter putri untuk memamerkan
Namaning beksa: Daryalaksmi; Larasing kecantikan;
beksa: Wanudya; Adegipun beksa: Tambak (7) Krida Panét ya karakter put ri dalam
Haya; Patraping beksa: Mucang késissan; mengekspresikan praupan atau gerakan bola
Ulat-ulatanipun beksa: Anglirik driji asta; matanya ketika memandang;
Namaning tanjak: Tambak sampur; Namaning (8) Krida Wastra karakter putri dalam memamerkan
pacak gulu: Ganil; Ukuran tebih celaking keanggunan busana atau berkain;
tungkak kekalih: dengket kalih kaki; (9) Krida Swara karakter putri dalam bersuara atau
Namanining traping dariji asta: Baya mangap; olah vocal;
Namining léyot: léyot wangking; Ulahipun jaja: (10)Krida Sréda karakter putri dalam megekspresikan
pajeg (jejeg) semu tanggap. perasaan cinta kasih (Sastrakartika, tt : 18).
Karakter Tari Keraton memiliki konstruksi yang Tati Narawati. 2003. Wajah Tari Sunda dari Masa ke
terdiri dari tipologi, temperamen dan perwatakan yang Masa. Bandung: P4ST UPI.
diturunkan atau merupakan transformasi dari bentuk-
Wahyu Santoso Prabowo. 2002. “Tari Wireng Gaya
bentuk wayang kulit. Bentuk wayang kulit memiliki
Surakarta: Pengkajian Berdasarkan
ukuran fisik (tipologi), permainan gerak wayang
Konsep-konsep Kridhwayangga dan
(temperamen) dan wanda (karakter) dalam bentuk
Wedhataya,” dalam Jurnal Pengkajian &
rupa perwajahan wayang kulit yang berbeda-beda pada
Penciptaan Seni, Vol. 1, No, 1. April 2002,
setiap tokoh atau peran. Karakter-karakter yang
Surakarta : PPS STSI Surakarta.
terstruktur dalam bentuk gerakan tari berfungsi
sebagai nilai tuntunan untuk membangun budi pekerti
Catatan Akhir:
luhur melalui penghayatan terhadap tabiat dan gerak
laku peranan yang mununjukkan ajaran baik dan 1
Yang dimaksud dalam Agami Jawiatau sering disebut
buruk. kejawen, di dalamnya termas uk abangan, priy ayi, atau
sinkretisme Islam dengan berbagai ajaran mistik, s ering
menyelenggarakan upacara yang disebut slametan yaitu sejenis
KEPUSTAKAAN upacara pemujaan atau penyembahan kepada roh-roh nenek
moyang atau roh-roh halus, dengan menghadirkan berbagai
Alasuutari, Pertti. 1996. Researching Culture: unsur seni seperti gerakan mantra, berbagai rupa sajen atau
ses aji yang bahan-bahannya kaya akan simbol seni atau
Qualitat ive Method and Cultural mengandung elemen-elemen estetis. Beberapa upac ara
Studies.London, Thouson Oaks, New Delhi: slametan dengan sesaji seperti itu di Jawa masih banyak
dijumpai, antara lain upacara labuhan atau sedekah laut di laut
SAGE Publication.
selatan sebagai penghormatan atau persembahan kepada roh
Tasman.2008. Analisis Gerak dan Karakter, halus Ratu Kidul; dalam Sumandiyo Hadi, 2005, 87.
2
Pengertiannya : 1. tindak-tanduk, solah tingkah; 2.carane
Surakarta: ISI Press. nindakake (nggarap); 3. cak-c akane anggone nganggo
(migunakake); wiwit tumandang (tumindak); (Kamus Basa
Harya Suryobrongto. 1982. Kawruh Joged Mataram. Jawa, Bausastra Jawa, 2001), 581.
Yogyakarta. Yayasan Siswa Among Beksa. 3
Sukamto adalah asisten RT. Kusumakesawa dalam
Herbert Read.2000. Seni, Arti dan mengajar Tari Sala di Kons ervatori Karawitan Indonesia
Surakarta sampai dengan meninggalnya di tahun 1971, setelah
Problematikanya, terj. Soedarso Sp. itu melanjutkan ajaran tari RT. Kusumakeswa secara fanatik di
Yogyakarta. Duta Wacana University Press. SMKI yang kini menjadi SMK Negeri 8 Surakarta. Wawancara
dengan Budi Santosa, Guru SMK Negeri 8 Surakarta, 1 April
Sastrakartika. Tt. “Serat Kridwayanggo,” transkrip 2014.
4
Kata Hendra berasal dari kata endra artinya sama
Purwasuparta.
dengan ratu. Kata ya artinya sumanggem atau sanggup; wedi
N. Supardjan dan I Gusti Ngurah Supartha, SST. dibaca wèdi maksudnya nyata, temenan atau ada wujudnya,
benar-benar (Kamus Basa Jawa, Bausastra Jawa, 2001),
1982. Pengantar Pengetahuan Tari. 174, 859. 845.
Jakarta: Depdikbud. 5
Kata adegandari kata adeg maksudnya jejer, bebaku,
pokok; menjadi adeganatau jejeran maksudnya bagian yang
Paul Stange. 1992. The Politics of Attention: Intuition menjadi gagasan utama. (Kamus Basa Jawa, Bausastra Jawa,
in Javanese Culture. (Politik Perhatian: 2001), 3, 306.
6
Kata tambak dapat berarti tetulaking atau menolak/
Rasa dalam Kebudayaan Jawa), Terj. menghalau; westhi dibaca wèsthi maksudnya bebaya, alangan,
Hairus Salim H.S. Yogyakarta: LKiS. mungsuh atau bahaya, halangan, lawan (Kamus Basa Jawa,
Bausastra Jawa, 2001), 758, 845
Sapardi Yosodipuro. 1987. “Cirinipun Kabudayan 7
merak ngigel dapat diartikan njegrag wulune sarta
Surakarta”, Makalah Seminar Mencari mbèbèr buntut tumrap merak. (Kamus Basa Jawa, Bausastra
Jawa, 2001), 277
Identitas Kebudayaan Surakarta, 6 Agustus 8
Eka = satu, Asta = tangan, Kawaca = terbaca, Beksa =
1987 di Mangkunegaran, Rekso Pustoko : tariannya.
9
N. Supardjan & I Gusti Ngurah Supartha, 1982, 87.
MN.982. 10
Kata Hendra berasal dari kata endra artinya sama
Soedarsono. 1997. Tari-tarian Indonesia I. Jakarta : dengan ratu. Kata ya artinya sumanggem atau sanggup; werdu
atau uler yaitu hewan yang nantinya setelah tua ngenthung
Dirjen Kebudayaan Depdikbud. atau menjadi kepompong lalu berubah bentuk kupu-kupu (Kamus
Basa Jawa, Bausastra Jawa, 2001), 174, 859. 848. 815)
Soemardjo Hardjoprasonto. 1977. Bunga Rampai Seni 11
Kata tambak baya dapat berarti tetulaking bebaya
Tari Sala. Jakarta: Taman Mini Indonesia atau penolak bahaya (Kamus Basa Jawa, Bausastra Jawa,
Indah. 2001), 758.
12
Kata sata sama dengan jago, pitik; ngatap suwiwi :
Sumaryono. 2007. Jejak dan problematika Seni elaring bangsa iwèn kayata manuk, ayam (Kamus Basa Jawa,
Bausastra Jawa, 2001), 696. 752
Pertunjukan Kita. Yogyakarta: Prasista.
13 29
Dwi = dua, Asta = tangan, Kawaca = diketahui, Beksa = Kata Darya artinya sarana, watak ati, pikukuh, sentosa
tari. atau sikap perwatakan.Kata hascarya dari kata ascarya artinya
14
Kata Hendra berasal dari kata endra artinya sama gumun, éram, menjadi kascarya artinya kasengsem yang berarti
dengan ratu. Kata ya artinya sumanggem atau sanggup; merdu menimbulkan ras a mengagumkan; ( Kamus Basa Jawa,
atau alus, lemes , nyenegeake yaitu halus, lentur dan Bausastra Jawa, 2001), 137, 29.
30
menyenangkan (Kamus Basa Jawa, Bausastra Jawa, 2001), Kata tambak singgun artinya ora wigah-wigih, ora rikuh
174, 859. 848. 509) yang berarti tambak atau kemampuan yang mantap atau tidak
15
Kata tambak pringga dapat berarti tetulaking bebaya canggung(Kamus Basa Jawa, Bausastra Jawa, 2001), 726;
31
atau penolak bahaya (Kamus Basa Jawa, Bausastra Jawa, Kata Hanggiri dari kata giri artinya gunung; menjadi
2001), 758, 633. nggegiri adalah medeni, mbebéda s upaya wedi; gora
16
Kata Kukila maksudnya burung; tumiling dari kata maksudnya gedhé, nggegirisi, medèni, (Kamus Basa Jawa,
miling maksudnya melihat-lihat untuk mencari sesuatu(Kamus Bausastra Jawa, 2001), 240, 254.
32
Basa Jawa, Bausastra Jawa, 2001), 428, 512. Kata Darya artinya sarana, watak ati, pikukuh, sentosa
17
Tri = tiga, Asta=tangan, Kawaca = terbaca, Beksa = tari atau sikap perwatakan.Kata laksmi artinya endah, ayu artinya
18
N. Supardjan & I Gusti Ngurah Supartha, 1982, 87. cantik, indah; (Kamus Basa Jawa, Bausastra Jawa, 2001),
19
Sangkepipun dari kata sangkepsama dengan pepak, 137, 444.
33
miranti maksudnya bermacam-macam kelengkapannya, (Kamus Kata tambak artinya blumbang ing pesisir dienggo ngingu
Basa Jawa, Bausastra Jawa, 2001), 692. iwak bandeng; hayaatau aya dari kata ngaya dapat berarti
20
Kata Krida artinya tumindak, panggawéan, nindakaké melakukan dengan susah payah atau rekasa. Tambah haya
atau sikap pembawaan.Kata nir artinya ilang, tanpa atau dengan artinya menolak perlakuan yangdengan susah payah (Kamus
tidak; wikara yaitu nepsu atau nesu, derenging ati yang berarti Basa Jawa, Bausastra Jawa, 2001), 758, 34.
34
emosi kemarahan (Kamus Basa Jawa, Bausastra Jawa, 2001), KataMucang maksudnya seperti pohon pucang yaitu
174, 422, 850, 534. kecil lurus s eperti pohon kelapa; kesissan dari kata isis
21
Kata tambak Durga dapat berarti tetulaking pakéwuh maksudnya terasa enak badannya karena tiupan angin yang
atau tidak punya perasaan hati (Kamus Basa Jawa, Bausastra lembut atau semilir (Kamus Basa Jawa, Bausastra Jawa, 2001),
Jawa, 2001), 758, 170. 637, 287.
22 35
Kata Branjangan adalah s ebutan nama burung; Kata Darya artinya sarana, watak ati, pikukuh, sentosa
Branjangan Ngumbara maksudnya burung Branjangan yang atau sikap perwatakan.Kata herdaya dari kata her yang berarti
mengembara(Kamus Basa Jawa, Bausastra Jawa, 2001), 76. air dan daya yang berarti kekuatan; (Kamus Basa J awa,
23
Kata Krida artinya tumindak, panggawéan, nindakaké Bausastra Jawa, 2001), 137, 274, 138.
36
atau sikap pembawaan. Kata nisartinya lunga, ilang atau dengan Kata tambak artinya blumbang ing pesisir dienggo ngingu
tidak; niscaya yaitu mesthi yang berarti dengan tidak pasti iwak bandeng(Kamus Basa Jawa, Bausastra Jawa, 2001), 758;
(Kamus Basa Jawa, Bausastra Jawa, 2001), 174, 539. Hépya dari kata heya dapat berarti yang selalu dihindari (Kamus
24
Kata tambak Durgama dapat berarti tetulaking pakéwuh Jawa Kawi Indonesia (Yogyakarta : Pura Pustaka, 2009), 216.
37
atau tidak punya perasaan hati (Kamus Basa Jawa, Bausastra Kata Sikatan yaitu nama burung; mèt maksudnya sama
Jawa, 2001), 758, 170. persis; boga artinya makanan; (Kamus Basa Jawa, Bausastra
25
Kata Wrek sa adalah pohon; Sol maksudnyapohon Jawa, 2001),723, 511, 72.
38
tumbang sampai tercabut akar-akarnya. (Kamus Basa Jawa, Kata Darya artinya sarana, watak ati, pikukuh, sentosa
Bausastra Jawa, 2001), 855, 734. atau sikap perwatakan.Kata hardaya dari kata ardaya yang
26
Kata Krida artinya tumindak, panggawéan, nindakaké berarti ati yaitu tempat rasa atau tempat perasaan; (Kamus
atau sikap pembawaan.Kata nukarta artinya maoni, nyaruwé, Basa Jawa, Bausastra Jawa, 2001), 137, 26.
39
mancahi, madani yang berarti mengejek dan selalu menentang; Kata tambak artinya blumbang ing pesisir dienggo ngingu
(Kamus Basa Jawa, Bausastra Jawa, 2001), 174, 539, 487. iwak bandeng; Pancabaya maksudnya aneka macam bahaya;
27
Kata tambak artinya blumbang ing pesisir dienggo maka Tambak Pancabaya dapat berati penolak bermacam-
ngingu iwak bandeng; Dur artinya ala; (Kamus Basa Jawa, macam bahaya (Kamus Basa Jawa, Bausastra Jawa, 2001),
Bausastra Jawa, 2001), 758, 170; baya dapat berarti bahaya, 758;567.
40
menakutkan (Dr. Maharsi, M.Hum, Kamus Jawa Kawi Indonesia KataNgangrang dari kata ngangkrang yaitu nama semut
(Yogyakarta : Pura Pustaka, 2009), 83. yang disebut semut geni, warnanya merah kalau menggigit sakit
28
Kata Munding adalah kebo; (Kamus Basa Jawa, sekali; Binéda dari kata mbéda yang artinya meledek supaya
Baus as tra J awa, 2001), 526.mangundadari kata mangu marah atau perbuatan mengganggu agar menjadi marah(Kamus
maksudnyatenggelam dalam pikiran rindu, tepekur, memikirkan Basa Jawa, Bausastra Jawa, 2001), 535, 51.
hal (Kamus Jawa Kawi Indonesia, 2009), 376.