Anda di halaman 1dari 26

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/329208801

STUDI PEMIKIRAN ISLAM

Article · November 2018

CITATIONS READS

0 19,947

1 author:

Nuril Qamariyah
IAIN Madura
8 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Peranan Ilmu Pengetahuan dalam mengembangkan Kebudayaan View project

Nuril Qamariyah View project

All content following this page was uploaded by Nuril Qamariyah on 27 November 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


STUDI PEMIKIRAN ISLAM: FIQH

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Pendekatan Studi Islam yang dibina oleh

Dr. Mohammad Hasan, M.Ag.

Oleh:

NURIL QAMARIYAH
NIM. 18380012034

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
NOVEMBER 2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama yang dimaksudkan Allah SWT untuk mengatur relasi
antara manusia dengan Allah SWT dan relasi antara manusia dengan manusia
lainnya. Karena itu, ajaran Islam memuat aturan-aturan yang terkait dengan
dua jenis tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa hukum yang berlaku dalam
Islam adalah berdasarkan wahyu Allah SWT yang dikodifikasikan dalam Al-
Qur’an. Ayat Al-Qur’an yang mengandung dasar-dasar hukum, baik mengenai
ibadah maupun hidup bermasyarakat kemudian disebut dengan ayat ahkam.1

Fiqh atau hukum Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang
terkait langsung dengan kehidupan masyarakat. Tak heran, jika fiqh termasuk
ilmu yang pertama kali diajarkan kepada anak-anak dari sejak dini.2

Oleh karena itu, dalam pembahasan makalah ini, kami akan menyajikan
bahan seminar kelas yang berjudul “Sejarah Pemikiran Islam: Fiqh” agar kita
memahami lebih mendalam tentang materi tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Syari‟ah, Tasyri‟ dan Fiqh?
2. Apa saja prinsip-prinsip Hukum Islam?
3. Apa saja ruang lingkup Fiqh Islam?
4. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan Hukum Islam?
5. Bagaimana pembentukan Mazhab Fiqh Islam?
6. Apa saja hikmah ikhtilaf dan implikasinya terhadap kehidupan
masyarakat?

1
Ajat Sudrajat, Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat (Malang: Intrans Publishing, 2015), 87.
2
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 294-296.

2
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Syari‟ah, Tasyri‟ dan Fiqh
2. Untuk mengetahui prinsip-prinsip Hukum Islam
3. Untuk mengetahui ruang lingkup Fiqh Islam
4. Untuk mendeskripsikan pertumbuhan dan perkembangan Hukum Islam
5. Untuk mendeskripsikan pembentukan Mazhab Fiqh Islam
6. Untuk mengetahui hikmah ikhtilaf dan implikasinya terhadap
kehidupan masyarakat

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Syari’ah, Tasyri’ dan Fiqh


1. Pengertian Syari’ah

Secara etimologis (harfiah) syari‟ah berarti al-utbah (liku-liku


lembah), maurid al-Syaribah (jalan menuju ke tempat air), dan al-thariqah
al-mustaqimah (jalan yang lurus).3 Orang Arab menggunakan istilah ini
khususnya dengan pengertian jalan setapak menuju sumber air yang tetap
dan diberi tanda yang jelas sehingga tampak oleh mata. Dengan demikian,
syariah berarti suatu jalan yang harus dilalui.4

Adapun secara terminologis, syari‟ah menurut Sya’ban Muhammad


Isma’il adalah apa yang telah ditetapkan Allah SWT untuk hamba-Nya,
baik dalam bidang keyakinan, perbuatan, maupun akhlak.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan syari‟ah adalah peraturan


yang telah ditetapkan dan diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW untuk sekalian umat manusia, yang meliputi bidang
keyakinan, perbuatan, dan akhlak. 5

2. Pengertian Tasyri’

Kata tasyri’ memiliki akar kata yang sama dengan syari‟ah. Secara
terminologis, tasyri‟ adalah penetapan peraturan, penjelasan hukum-
hukum dan penyusunan perundang-undangan.6 Perbedaan syari‟ah dengan
tasyri‟ adalah kalau syari‟ah itu terkait dengan materi hukumnya,
sedangkan tasyri‟ berkenaan dengan penetapan syari’ahnya.

3
Ajat Sudrajat, Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat (Malang: Intrans Publishing, 2015), 88.
4
Ali Anwar Yusuf, Islam dan Sains Modern; Sentuhan Islam terhadap berbagai Disiplin Ilmu
(Bandung: Pustaka Setia, 2006), 235.
5
Ibid, Ajat Sudrajat, 88.
6
Moh. Zaini, Himpunan Intisari Kuliah Tarikh Tasyri‟ (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press,
2009), 2.

4
3. Pengertian Fiqh

Kata fiqh secara etimologis berarti paham yang mendalam. Secara


istilah, fiqh adalah ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syara’
yang bersifat amaliyah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang
tafsili.

Dalam hal ini, kaitan antara syari‟ah dan fiqh sangat erat, yakni untuk
mengetahui dan menjalankan keseluruhan apa yang dikehendaki Allah
SWT harus ada pemahaman yang mendalam terhadap syari‟ah, sehingga
secara amaliyah syari‟ah itu dapat dilaksanakan dalam kondisi dan situasi
apapun. Hasil dari pemahaman itu kemudian dituangkan dalam bentuk
ketentuan yang terperinci yang juga menjadi sandaran manusia (mukallaf),
itulah yang dinamakan fiqh. Jadi, fiqh adalah hasil formulasi dari
pemahaman para ulama (mujtahid) terhadap syari‟ah. Karena itulah
kemudian dikenal adalah fiqh Maliki, fiqh Hanafi, fiqh Syafi’I, dan fiqh
Hanbali.7

Namun, Yusuf Musa yang setelah mengutip beberapa rujukan seperti


uraian Al-Jurjani dalam Al-Ta’rifat, uraian Al-Ghazali dalam Al-
Mustasyfa, ia menjelaskan perbedaan antara syariah dan fiqh dalam tiga
aspek, yaitu:

a. Perbedaan ruang lingkup, cakupannya. Syariah lebih luas meliputi


seluruh ajaran agama, sedangkan fiqh hanya mencakup hukum-
hukum perbuatan manusia.
b. Perbedaan dalam hal subjek. Subjek syariah adalah syar’i yakni
Allah (terdiri dari wahyu Allah dan sunah Nabi Muhammad SAW),
sedangkan subjek fiqh adalah manusia (hasil pemahaman manusia).
c. Perbedaan mengenai asal mula digunakannya kedua istilah tersebut
dalam pengertian teknis. Kata syariah telah digunakan sejak awal
sejarah Islam seperti yang terdapat dalam Qs. Al-Maidah ayat 48.8

7
Ajat Sudrajat, Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat, 89.
8
Ali Anwar Yusuf, Islam dan Sains Modern; Sentuhan Islam terhadap berbagai Disiplin Ilmu,
235.

5
Di dalam fiqh terdapat ketentuan hukum dalam Islam, seperti:

a. Wajib, yaitu perintah yang mesti dikerjakan. Jika perintah tersebut


dipatuhi (dikerjakan), maka yang mengerjakannya mendapat pahala,
jika tidak dikerjakan, maka ia berdosa. Contoh: sholat lima waktu,
membayar zakat fitrah.
b. Sunnah, yaitu anjuran. Jika dikerjakan dapat pahala, jika tidak
dikerjakan tidak berdosa. Contoh: puasa senin kamis, sholat
tahajjud.
c. Haram, yaitu larangan keras. Kalau dikerjakan berdosa, jika tidak
dikerjakan mendapat pahala. Contoh: zina, minum minuman keras.
d. Makruh, yaitu larangan yang tidak keras. Kalau dilanggar tidak
dihukum (tidak berdosa), dan jika ditinggalkan diberi pahala.
Contoh: jangan berbicara ketika berwudhu’, makan sambil berdiri.
e. Mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula
ditinggalkan. Contoh: belanja, makan dan minum.9

Ketentuan fiqh tersebut diproses melalui ijtihad dengan menggunakan


bantuan berbagai ilmu sebagai berikut:

1) Bahasa Arab: ilmu nahwu (sintaksis, ilmu tata kalimat), tasrif


(konjugasi; sistem perubahan bentuk kata kerja yang berhubungan
dengan jumlah, jenis kelamin, modus, dan waktu), kosakata, semantik
(ilmu tentang makna kata; pengetahuan tentang seluk beluk dan
pergeseran arti kata), dan balaghah.
2) Logika: dalam setiap cabang ilmu dimana penalaran digunakan, maka
disana ada kebutuhan terhadap logika.
3) Kajian hadis: faqih harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang
hadis dan harus mampu membedakan berbagai jenis hadis, dan
mereka sangat mengenal bahasa hadis itu sebagai akibat dari aplikasi
yang terus-menerus.
4) Kajian perawi: kajian tentang perawi berarti mengetahui identitas dan
sifat-sifat mereka yang meriwayatkan hadis.
9
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012), 1.

6
5) Ushul fiqh: sebagai cabang yang paling penting untuk melahirkan
fiqh. Yaitu kajian tentang kaidah-kaidah yang digunakan dalam
menyimpulkan hukum-hukum Islam, dan ilmu ini mengajarkan
kepada kita cara menyimpulkan dengan benar dan sah dari sumber-
sumber yang relevan dalam fiqh.
6) Ilmu qawaid fiqhiyah, yaitu ilmu yang membahas tentang hakikat
fiqh, sumber pengambilannya, rahasia serta perbedaannya dalam
memahami dan menyajikan serta menentukan hubungan dan
pengecualiannya, serta mengetahui hukum-hukum mengenai berbagai
masalah yang tidak tamak dalam tulisan, pembicaraan, dan kejadian
yang tidak akan berakhir sepanjang zaman.10

B. Prinsip-Prinsip Hukum Islam


Adapun prinsip-prinsip yang ada dalam hukum Islam sebagai berikut:
1. Menegakkan Maslahat

Maslahat berasal dari kata al-shulh atau al-islah yang berarti damai
dan tentram. Secara terminology, maslahat adalah perolehan manfaat dan
penolakan terhadap kesulitan. Sebagaimana yang terdapat dalam Qs. Al-
Anbiya’ ayat 107:

     

Artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)


rahmat bagi semesta alam.” (Qs. Al-Anbiya: 107).
Ditinjau dari segi pemeliharaan al-Maslahah ada 3 tingkatan, yaitu:
a. Maslahat dlaruriyah adalh kemaslahatan yang berkaitan dengan
tujuan agama (maqashid al-syari‟iyah), yaitu pemeliharaan agama,
keturunan, jiwa, akal, dan harta. Contoh: sholat, puasa, zakat, dan
haji disyariatkan untuk memelihara keberadaan agama. Untuk
menghindarkan ancaman terhadap keberadaan jiwa dan harta
disyariatkan pula, seperti hukuman qishash dan diyat terhadap

10
Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif (Jakarta: Kencana, 2011), 242.

7
pembunuh, hukuman had terhadap pencuri, dan mewajibkan
seseorang untuk mengganti harta orang lain yang dirusak.
b. Maslahat hajiyyah adalah kemaslahatan yang mengandung manfaat
bagi manusia tetapi tidak tergolong pokok. Contoh: terdapatnya
ketentuan tentang rukhshah (keringanan) dalam ibadah, seperti
rukhshah shalat dan puasa bagi orang yang sedang sakit atau sedang
bepergian (musafir). Contoh yang lain seperti nikah bagi laki-laki
yang belum ba‟at yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW untuk
berpuasa.
c. Maslahat tahsiniyah adalah kemaslahatan yang bersifat memperindah
atau berhias bagi manusia. Contoh: menggunakan pakaian yang rapi,
adanya syariat menghilangkan najis, bersuci, menutup aurat,
mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) dengan bersedekah, sopan
santun dalam makan dan minum, menghindarkan diri dari sikap
boros.11

2. Menegakkan Keadilan (Tahqiq al-‘Adalah)

Secara bahasa, adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya.


Menurut Murtadla Muthahari sebagaimana dikutip oleh Nurcholish
Madjid menjelaskan bahwa pengertian pokok keadilan adalah sebagai
berikut:

a. Perimbangan atau keadaan seimbang (mauzun).


b. Persamaan (musawah) atau ketidak adanya diskriminasi dalam
bentuk apapun.
c. Penunaian hak sesuai dengan kewajiban yang diemban
d. Keadilan Allah SWT, yaitu berupa kemurahan Allah SWT dalam
melimpahkan rahmat-Nya kepada manusia.

Dalam beberapa ayat Al-Qur’an dijumpai perintah berlaku adil, di


antaranya sebagai berikut12:

11
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2014), 308-311.
12
Moh. Zaini, Himpunan Intisari Kuliah Tarikh Tasyri‟, 5-6.

8
1) Qs. Al-Maidah ayat 8:

         

         

          


Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-
orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena
adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

2) Qs. An-Nahl ayat 90:

        

       


Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

3) Qs. Al-Hujurat ayat 9:

         

         

           

 
Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang
satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan,

9
dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-
orang yang berlaku adil.

3. Tidak Menyulitkan (‘Adam al-Haraj)

Shalih Ibn Hamid menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sesuatu


yang tidak menyulitkan adalah segala sesuatu yang menyulitkan badan,
jiwa, atau harta secara berlebihan, baik sekarang maupun di kemudian
hari. Diantara meniadakan kesulitan adalah:

a. Pengguguran kewajiban, yaitu dalam keadaan tertentu kewajiban


ditiadakan, seperti ketidakwajiban haji apabila tidak memiliki
kecukupan biaya dan tidak aman.
b. Pengurangan kadar yang telah ditentukan, seperti shalat dalam
perjalanan (qashar).
c. Penukaran, yaitu penukaran kewajiban yang satu dengan yang
lainnya, seperti kewajiban wudhu’ dan mandi (junub) diganti dengan
tayammum.
d. Mendahulukan, yaitu mengerjakan sesuatu sebelum waktu yang
ditentukan (jama‟ taqdim).
e. Menangguhkan, yaitu mengerjakan sesuatu setelah waktu yang
ditentukan (jama‟ takhir).
f. Perubahan, yaitu bentuk perbuatan berubah-ubah sesuai dengan
situasi yang sedang dihadapi, seperti shalat Khauf.

4. Menyedikitkan Beban (Taqlil al-Taklif)

Secara etimologi, taklif berarti menyedikitkan. Adapun secara


terminology adalah tuntutan Allah SWT untuk berbuat dan tuntutan untuk
menjauhi larangan-Nya, sehingga dipandang taat. Sedangkan yang
dimaksud dengan menyedikitkan beban adalah menyedikitkan tuntutan
Allah SWT untuk berbuat, mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya.

10
5. Berangsur-Angsur (tadrij)

Hukum Islam dibentuk secara berangsur-angsur didasarkan pada


turunnya Al-Qur’an dimana juga secara berangsur-angsur. Di antara
bidang hukum Islam yang dibentuk secara berangsur-angsur antara lain
Shalat (Qs. Hud: 114 dan Qs. Al-Isra: 78), pengharaman riba (Qs. Rum:
39, Qs. Ali-Imran: 130, Qs. Al-Baqarah: 275-278), dan pengharaman
khamr (Qs. Al-Baqarah: 219, Qs. An-Nisa’: 43, Qs. Al-Maidah: 90).

Prinsip tadrij memberikan jalan kepada umat Islam untuk melakukan


pembaruan, karena hidup manusia mengalami perubahan. Karena itulah,
hendaknya setiap perubahan menggunakan standar kemaslahatan.13

C. Ruang Lingkup Fiqh Islam

Secara umum, pembahasan fiqh Islam mencakup dua bidang, yakni:

1. Fiqh ibadah adalah mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT,


seperti shalat, zakat, puasa, haji, memenuhi nazar, dan membayar
kifarat terhadap pelanggaran sumpah.
2. Fiqh mu‟amalah adalah mengatur hubungan manusia dengan manusia
lainnya, seperti jual-beli, perkawinan, perceraian, jinayah, dan
seterusnya.

Menurut Mustafa Zarqa, pembahasan fiqh Islam meliputi enam bidang,


yakni:

a. Fiqh ibadah adalah ketentuan hukum yang berkaitan dengan bidang


ubudiyah, seperti zakat, puasa, dan haji.
b. Ahwal al-syakhsiyah adalah ketentuan hukum yang berkaitan dengan
kehidupan keluarga, seperti pernikahan, perceraian, nafakah,
kewarisan.
c. Fiqh mu‟amalah adalah ketentuan hukum yang berkaitan dengan
hubungan social umat Islam, seperti jual beli, gadai, sewa menyewa,
dan seterusnya.
d. Fiqh jinayah adalah ketentuan hukum yang berkaitan dengan sangsi-
sangsi terhadap pelaku tindak criminal, seperti qishah, diyat, kifarat,
dan hudud.

13
Ajat Sudrajat, Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat, 89-92.

11
e. Fiqh siyasah adalah ketentuan hukum yang mengatur masalah
hubungan warga Negara dalam suatu Negara dan warga Negara
dengan pemerintahnya, serta Negara dengan Negara lainnya seperti
perang, perdamaian di antara Negara, tawanan perang, dan
seterusnya.
f. Al-ahkam al-khuluqiyah adalah ketentuan yang mengatur etika
pergaulan antara seorang Muslim dengan lainnya dalam tatanan
kehidupan sosial.14

D. Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam


1. Hukum Islam Masa Rasulullah SAW

Hukum Islam pada masa ini dibedakan menjadi dua fase, yakni fase
Makkah dan Madinah.

a. Pada fase Makkah, yang dilakukan Rasulullah SAW terhadap


umatnya adalah pembinaan di bidang aqidah. Hal ini diharapkan akan
menyelamatkan umat manusia dari kebiasaan sebelumnya, seperti
kebiasaan berperang antar suku, zina, dan mengubur anak perempuan
hidup-hidup. Pada saat yang sama, umat manusia diarahkan untuk
menegakkan keadilan, kebaikan, saling tolong menolong, menjauhi
perbuatan dosa.
b. Pada fase Madinah, umat Islam telah terorganisasi dengan baik. Ciri-
ciri fase Madinah, yaitu:
1) Islam tidak lagi lemah karena jumlahnya bertambah banyak dan
semakin berkualitas
2) Berkurangnya sikap saling bermusuhan antar suku yang ada
3) Adanya kebersamaan untuk menegakkan ajaran Islam sebagai pijakan
hidup beragama dan bermasyarakat
4) Terjalin perjanjian perdamaian dengan pihak-pihak yang memusuhi
Islam.

14
Ajat Sudrajat, Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat, 92.

12
2. Hukum Islam Masa Khulafa’ Rasyidin

Sepeninggal Rasulullah SAW, para sahabat melanjutkan misi


kerasulan dengan terus mensyiarkan ajaran Islam. Sehingga persoalan
penting yang dihadapi para sahabat dalam masa ini adalah:

a. Kekhawatiran para sahabat terhadap Al-Qur’an sebagai sumber


hukum Islam dengan banyaknya para sahabat yang hafal Al-Qur’an
meninggal dunia dalam perang melawan orang-orang murtad dan
kafir.
b. Para sahabat mengkhawatirkan terjadinya ikhtilaf (perbedaan) di
antara mereka terhadap Al-Qur’an. Mereka khawatir dengan
peristiwa yang terjadi dan menimpa kitab suci umat Yahudi dan
Nasrani.
c. Para sahabat takut akan terjadi pembohongan dan pendustaan
terhadap hadis.
d. Munculnya kekhawatiran akan penyimpangan yang dilakukan umat
Islam
e. Para sahabat menghadapi perkembangan kehidpan yang memerlukan
ketentuan syari’at.

Solusi untuk menghindari kekhawatiran itu, Abu Bakar atas usul Umar
ibn al-Khattab, yakni mengumpulkan Al-Qur’an berupa hafalan dan
catatan para sahabat. Sahabat yang paling banyak terlibat dalam
penyusunan Al-Qur’an adalah Zaid ibn Tsabit, karena beliau adalah
penulis wahyu Nabi Muhammad SAW. penulisan yang kedua dilakukan
pada masa khalifah Utsman ibn Affan dalam rangka penyeragaman qira’at
Al-Qur’an dengan bacaan Quraisy. Al-Qur’an yang dikodifikasikan pada
masa Utsman dikenal dengan sebutan Mushaf Utsmani.

Adapun langkah-langkah menetapkan hukum yang dilakukan para


sahabat, di antaranya Abu Bakar, adalah:

1) Mencari ketentuan hukum dalam Al-Qur’an

13
2) Apabila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, ia mencari ketentuan
hukum dalam hadis Rasulullah SAW.
3) Apabila tidak menemukannya dalam keduanya, ia bertanya kepada
sahabat lain apakah Nabi Muhammad SAW telah memutuskan
persoalan yang sama pada zamannya. Jika ada yang tahu, ia akan
memutuskan perkara itu berdasarkan keterangan itu dengan
mempertimbangkan beberapa syarat.
4) Jika tidak ada sahabat yang memberikan keterangan, ia
mengumpulkan para sahabat dengan bermusyawarah untuk
memutuskan persoalan yang dihadapi. Jika ada kesepakatan di antara
mereka, ia jadikan kesepakatan itu sebagai keputusan (ijma‟).

Dengan demikian, sumber hukum Islam yang digunakan pada zaman


ini adalah Al-Qur’an, hadis, dan ijtihad (al-Ra’yu).

Di antara ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat antara lain:

a) Memerangi orang yang tidak mau membayar zakat. Ijtihad ini


dilakukan oleh Abu Bakar. Umar ibn al-Khattab menegur Abu Bakar
dengan mengatakan bahwa mereka adalah orang yang mengucapkan
laa ilaaha illallah. Tetapi Abu Bakar berkata; Demi Allah SWT,
sungguh saya akan memerangi siapa saja yang membedakan shalat
dengan zakat. Sebab zakat termasuk haknya atas harta.
b) Pembagian harta rampasan perang. Ijtihad yang dilakukan Umar ibn
al-Khattab adalah dengan tidak membagikan tanah hasil rampasan
perang kepada para tetnara. Ia mengembalikan tanah itu kepada
pemiliknya, dengan catatan pemilik tersebut harus membayar pajak.

14
3. Hukum Islam Masa Tabi’in

Masa tabi’in yang berlangsung sekitar 70 atau 80 tahun, dimulai sejak


tahun 100 H. Pada masa ini terdapat tiga wilayah dalam pengembangan
hukum Islam, yaitu Iraq, Hijaz, dan Syria.15

Adapun langkah-langkah yang dilakukan para tabi’in dalam penetapan


hukum ialah:

a. Mencari ketentuan dalam Al-Qur’an


b. Apabila ketentuan itu tidak didapatkan dalam Al-Qur’an lalu
mencarinya dalam hadis.
c. Apabila tidak di keduanya, mereka kembali pada pendapat para
sahabat
d. Apabila tidak kesemuanya, mereka melakukan ijtihad.

Dengan demikian, sumber penetapan hukum pada masa tabi’in


meliputi (1). Al-Qur’an, (2). hadis, (3). ijma’ dan pendapat sahabat dan
(4). ijtihad.16

E. Pembentukan Mazhab Fiqh Islam


1. Mazhab Fiqh Hanafiah

Tokoh Mazhab Fiqh Hanafiah, yaitu Abu Hanifah al-Nu’man ibn


Tsabit ibn Zuhti (80-150 H). Abu Hanifah mengalami kekuasaan dua
dinasti Islam, yaitu dinasti Umayyah (52 tahun) dan Abbasiyah (18 tahun).
Pada awalnya, ia adalah seorang pedagang, tetapi atas anjuran seorang
ulama (al-Sya’bi), kemudian beralih menjadi pengembang ilmu. Ia
tergolong generasi ketiga setelah Nabi Muhammad SAW (atba’ al-tabi’in).
ia juga belajar fiqh kepada ulama aliran Irak (ahli ra’yu), karena itulah
dalam perkembangan pemikiran fiqhnya ia merepresentasikan aliran al-
ra’yu.

15
Akmal Hawi, Dasar-dasar Studi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 143.
16
Ajat Sudrjat, Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat, 93-98.

15
Thaha Jabir Fayadl al-Ulwani, membagi cara ijtihad Abu Hanifah
menjadi dua cara, yaitu:

a. Cara ijtihad yang pokok yang dilakukan Abu Hanifah sebagai


berikut:
1) Sumber utama adalah dengan meujuk kepada Al-Qur’an
2) Apabila tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an, ia merujuk kepada
hadis dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang-orang yang
tsiqoh.
3) Apabila tidak mendapatkan pada keduanya, ia mencari qaul para
sahabat.
b. Cara ijtihad yang tambahan adalah:
1) Dilalah lafad umum („am) adalah qath‟i, seperti lafad khash.
2) Pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum bersifat
khusus.
3) Banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (rajah).
4) Adanya penolakan terhadap mafhum (makna tersirat) syarat dan
shifat.
5) Apabila perbuatan rawi menyalahi riwayatnya, yang dijadikan dalil
adalah perbuatannya bukan riwayatnya.
6) Mendahulukan qiyas jali atas khabar ahad yang dipertentangkan
7) Menggunakan istihsan dan meninggalkan qiyas apabila diperlukan.

2. Mazhab Fiqh Malikiah

Tokoh Mazhab Malikiah, yaitu Imam Malik ibn Anas ibn Malik ibn
Abi Amir ibn Amr (93-179 H). Ia adalah seorang faqih kelahiran Madinah.
Ayahnya bernama Anas ibn Malik berasal dari kabilah Ashbah, sedangkan
ibunya bernama al’Aliyah dari kabilah Azad. Mereka merupakan keluarga
pengrajin panah.

Pada usia remaja, Malik ibn Anas belajar dan menghafal al-Qur’an.
Kemudian ibunya mendorong Malik untuk belajar fiqh aliran rasional
kepada Imam Rabi’ah al-Ra’yu daan Yahya ibn Sa’ad. Di samping itu,
Malik juga belajar hadis Rasulullah SAW kepada Abdurrahman ibn
Hurmuz, Nafi Maula ibn Umar, Ibn Syihab al-Zuhri, dan Sa’id ibn
Musayyab. Hadis yang ia terima dari gurunya dituangkan dalam suatu
kitab yang bernama al-Muwaththa‟.

16
Adapun langkah-langkah ijtihad Imam Malik, antara lain:

a. Menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang pertama.


b. Hadis adalah sumber hukum Islam kedua, yang digunakan yaitu hadis
mutawatir, kemudian yang masyhur.
c. Menggunakan tradisi masyarakat Madinah karena punya akar pada
tradisi Rasulullah SAW dan sahabat.
d. Menggunakan fatwa sahabat. Namun apabila fatwa sahabat
bertentangan dengan hadis marfu’, maka secara otomatis fatwa itu
tidak digunakan.
e. Menggunakan qiyas17, maslahah al-mursalah18, dan istihsan19.
f. Menggunakan al-Dzari’ah. Al-Dzari’ah adalah sarana atau jalan yang
akan mengantarkan pada suatu tujuan. Imam Malik seing menetapkan
hukum dengan melihat kemungkinan akibat yang akan timbul dari
suatu perbuatan.

3. Mazhab Fiqh Syafi’iyah

Tokoh Mazhab Fiqh Syafi’iyah adalah Muhammad ibn Idris ibn Abbas
ibn Utsman ibn Syafi’i (150-204 H). Ia ddilahirkan di Ghuzah, suatu
perkampungan di luar kota Makkah. Pada usia 9 tahun telah hafal al-
Qur’an. Setelah itu ia belajar bahasa Arab, hadis, dan fiqh. Gurunya adalah
Imam Malik.

Setelah Imam Malik wafat, Imam Syafi’i mulai melakukan kajian


hukum dan mengeluarkan fatwa fiqh, bahkan menyusun metodologi kajian
fiqh. Dalam kajian fiqhnya ia mengemukakan bahwa hukum Islam harus
bersumber pada Al-Qur’an, hadis dan ijma’. Jika ketiganya belum

17
Secara terminologis, qiyas berarti suatu proses mempersamakan, yaitu menyamakan hal baru
yang ditemukan mujtahid dan belum diterangkan ketentuan hukumnya secara eksplisit dalam nash,
terhadap hal-hal yang telah dinyatakan ketentuan hukumnya oleh nash.
18
Secara istilah, maslahah al-mursalah adalah menetapkan hukum bagi suatu persoalan yang
belum ada nashnya dengan memperhatikan kepentingan mashlahah, yakni memelihara agama,
jiwa, akal, harta, dan keturunan.
19
Secara istilah, istihsan adalah beralih dari satu ketetapan qiyas pada hasil qiyas yang lebih kuat,
atau dengan kata lain mentakhsis qiyas dengan dalil yang lebih kuat.

17
memaparkan ketentuan hukum yang jelas dan pasti, maka dengan qaul
sahabat, kemudian melakukan qiyas dan istihshab.

Adapun langkah-langkah penetapan hukum yang dilakukan Imam


Syafi’i antara lain:

a. Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang pertama


b. Menempatkan hadis sebagai sumber hukum kedua
c. Menggunakan ijma’.
d. Menggunakan qaul sahabat. Karena qaul sahabat lebih baik dari
pendapat para mujtahid. Produk ijtihad sahabat yang dinyatakan
melalui ijma’ harus diterima secara mutlak.
e. Menggunakan qiyas. Untuk persoalan furu‟ (kejadian yang belum
diketahui ketentuan hukumnya dan belum terangkat dalam nash)
menggunakan qiyas bila tidak bisa pada keempatnya.
f. Menggunakan Istishab. Istishab yaitu memberlakukan hukum ashal
(suatu kejadian yang telah dinyatakan ketentuan hukumnya oleh
nash) sebelum ada hukum baru yang merubahnya.

4. Mazhab Fiqh Hanbaliah

Tokoh Mazhab Fiqh Hanbaliah adalah Ahmad ibn Muhammad ibn


Hanbal ibn Hilal. Ia lahir dan meninggal dunia di kota Baghdad. Di antara
gurunya adalah Abu Yusuf dan Imam Syafi’i. Dalam pemikiran fiqhnya, ia
banyak menggunakan hadis Rasulullah SAW sebagai rujukan dan
kemudian disusun berdasarkan sistematika isnad, sehingga karyanya
dikenal dengan sebutan Musnad Ahmad ibn Hanbal. Ia tergolong orang
yang mengembangkan fiqh tradisional.

Adapun langkah-langkah penetapan hukumnya adalah:

a. Menggunakan Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber hukum utama.


b. Menggunakan qaul sahabat.
c. Menggunakan hadis mursal. Hadis mursal adalah tiadanya perawi di
tingkat sahabat. Karena ia tergolong mujtahid yang berani, tanpa ragu

18
ia menjadikan hadis mursal sebagai rujukan dalam menetapkan
hukum.
d. Menggunakan qiyas.20

F. Sebab-sebab terjadinya Perbedaan Mazhab

Munculnya perbedaan mazhab, terutama mazhab sunni dan syi’ah


disebabkan oleh pemikiran teologi dan politik. Perbedaannya yaitu Mazhab
Syi’ah dalam menetapkan hukum hanya berpegang kepada hadis Rasulullah
SAW yang disampaikan oleh pihak keluarga. Sedangkan mazhab Sunni tidak
dikenal prinsip jalur keluarga.

Dalam perkembangannya, perbedaan itu disebabkan oleh:

1. Dasar pijakan yang berbeda, yakni ada yang mendahulukan Al-Qur’an


dan hadis secara ideal, dan ada pula yang mendahulukan rasionalitas
dalam memahami nash.
2. Pemahaman makna ayat yang berbeda, terutama ketika menghadapi
lafad yang musytarak (lafad yang memiliki makna hakiki dan majazi).
3. Berbeda dalam pemakaian hadis. Para mujtahid sering berbeda dalam
menilai sebuah hadis.
4. Berbeda dalam pemakaian kaidah ushul fiqh. Kalangan ulama
tradisionalis cenderung menggunakan qiyas dalam ijtihadnya, sementara
kalangan rasionalis berdasarkan keduanya lalu disertai istihsan dan
maslahah mursalah.21

20
Ajat Sudrajat, Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat, 99-102.
21
Ajat Sudrajat, Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat, 103-104.

19
G. Hikmah Adanya Perbedaan Pendapat dan Implikasinya dalam
Kehidupan Masyarakat

Allah SWT lebih tegas menjelaskan bahwa perbedaan itu adalah alami,
bahkan menjadi rahmat.22 Sebagaimana yang termaktub dalam Qs. Hud ayat
118-119:

          

           

      

Artinya: “ Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia


umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, Kecuali orang-
orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan
mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) Telah ditetapkan: Sesungguhnya
Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang
durhaka) semuanya.” (Qs. Hud: 118-119).
Lalu dilanjutkan lagi, bahwa adanya perbedaan pendapat untuk berlomba-
lomba dalam berbuat kebaikan, sebagaimana yang termaktub dalam Qs. Al-
Maidah ayat 48:

        

           

           

           

22
Dedi Supriayadi, Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru (Bandung: Pustaka Setia,
2008), 284.

20
         

  

Artinya: “Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa


kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang
diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu;
Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu,
kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki,
niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji
kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu,” (Qs.
Al-Maidah: 48).
Dengan demikian, ada tiga faedah atau hikmah yang dapat diambil dari
perbedaan pendapat, diantaranya adalah:

1. Menghargai/menghormati: apabila niatnya benar mengetahui segala


sesuatu yang mungkin meskipun hanya satu dalil dari berbagai dalil yang
ada
2. Melatih pemahaman/intelektualitas: saling mengasah pemikiran,
terbukanya bahan pemikiran (materi) sampai kepada semua persoalan
individu sesuai dengan kemampuan intelektual masing-masing.
3. Beraneka ragam tujuan/maksud di setiap waktu atau peristiwa untuk
sampai kepada tujuan yang disandarkan kepada agama dan berbagai
rahasia agama yang dapat dicari oleh manusia selama hidupnya.23

Selain itu, implikasi perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam kehidupan


masyarakat dapat melahirkan dua kemungkinan, yakni:

a. Perbedaan pendapat yang disertai kesadaran intelektual akan melahirkan


individu dan masyarakat berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan.

23
Ibid, Dedi Supriayadi, 287.

21
b. Perbedaan pendapat yang disertai fanatic yang berlebihan sehingga
beranggapan bahwa pendapatnya benar, biasanya pada saat yang sama
yang bersangkutan memandang bahwa selain pendapatnya adalah salah.24

24
Dedi Supriayadi, Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru, 291.

22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa:

Pengertian Syari‟ah adalah peraturan yang telah ditetapkan dan


diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW untuk sekalian
umat manusia, yang meliputi bidang keyakinan, perbuatan, dan akhlak.
Tasyri‟ adalah penetapan peraturan, penjelasan hukum-hukum dan
penyusunan perundang-undangan. Sedangkan fiqh adalah ilmu yang
membahas tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang
digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili.
Prinsip-Prinsip yang ada dalam Hukum Islam antara lain; menegakkan
maslahat, menegakkan keadilan, tidak menyulitkan, menyedikitkan beban,
dan berangsur-agsur (tadrij).
Ruang Lingkup Fiqh Islam, secara umum ada fiqh ibadah dan fiqh
muamalah. Sedangkan menurut Mustafa Zarqa ada 6 bidang, yakni fiqh
ibadah, ahwal al-syakhsiyah, fiqh muamalah, fiqh jinayah, fiqh siyasah,
dan al-ahkam al-khuluqiyah.
Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam ada beberapa fase,
yaitu fase Rasulullah SAW, fase Khulafa’ Rasyidin, dan fase Tabi’in.
Pembentukan Mazhab Fiqh Islam ada beberapa mazhab yaitu: Mazhab
Fiqh Hanafiah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanbaliah.
Hikmah Ikhtilaf dan Implikasinya terhadap Kehidupan Masyarakat
antara lain:
a. Menghargai/menghormati: apabila niatnya benar mengetahui segala
sesuatu yang mungkin meskipun hanya satu dalil dari berbagai dalil
yang ada

23
b. Melatih pemahaman/intelektualitas: saling mengasah pemikiran,
terbukanya bahan pemikiran (materi) sampai kepada semua persoalan
individu sesuai dengan kemampuan intelektual masing-masing.
c. Beraneka ragama tujuan/maksud di setiap waktu atau peristiwa untuk
sampai kepada tujuan yang disandarkan kepada agama dan berbagai
rahasia agama yang dapat dicari oleh manusia selama hidupnya
Implikasi perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam kehidupan masyarakat
dapat melahirkan dua kemungkinan, yakni: Pertama, Perbedaan pendapat
yang disertai kesadaran intelektual akan melahirkan individu dan
masyarakat berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan. Kedua, Perbedaan
pendapat yang disertai fanatic yang berlebihan sehingga beranggapan
bahwa pendapatnya benar, biasanya pada saat yang sama yang
bersangkutan memandang bahwa selain pendapatnya adalah salah.

24
DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Abd. Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2014.

Hawi, Akmal. Dasar-dasar Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Nata, Abuddin. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana, 2011.

Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012.

Sudrajat, Ajat. Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat. Malang: Intrans
Publishing, 2015.
Supriayadi, Dedi. Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru. Bandung:
Pustaka Setia, 2008.
Yusuf, Ali Anwar. Islam dan Sains Modern; Sentuhan Islam terhadap berbagai
Disiplin Ilmu. Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Zaini, Moh. Himpunan Intisari Kuliah Tarikh Tasyri‟. Pamekasan: STAIN
Pamekasan Press, 2009.

25

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai