Anda di halaman 1dari 55

MATA KULIAH METODE PENGENDALIAN PENYAKIT

MODUL

METODE PENGENDALIAN PENYAKIT


MENULAR

PENYAKIT YANG DITULARKAN DARI


ORANG KE ORANG

NI WAYAN SEPTARINI

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2017

  i  
 
TUBERKULOSIS (TB)………………………………………………….. 2
HEPATITIS B………………….………………………………………… 10
CAMPAK…………………………………………………………………. 25
HIV DAN AIDS…………………………………………………………… 37

i  
 
PENDAHULUAN

1.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman/bakteri yang
menyebar dari orang ke orang melalui udara. TB biasanya mempengaruhi paru-paru,
tetapi juga dapat mempengaruhi bagian lain dari tubuh, seperti otak, ginjal, atau tulang
belakang. Seseorang yang memiliki penyakit TB dapat mati jika mereka tidak
mendapatkan perawatan dengan baik (CDC, 2011). Orang yang terinfeksi bakteri TB
yang tidak sakit mungkin masih perlu pengobatan untuk mencegah penyakit TB yang
bisa berkembang di masa depan. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu ancaman
kesehatan masyarakat yang utama, bersaing dengan human immunodeficiency virus
(HIV) sebagai penyebab kematian akibat penyakit menular di seluruh dunia. Meskipun
kecenderungan telah terjadi penurunan kejadian TB, prevalensi dan kematian yang
diamati selama dekade terakhir.

1.2 Perjalanan alamiah penyakit


Ketika seseorang menghirup udara yang mengandung droplet nuklei yang juga
mengandung M. tuberculosis, Sebagian besar tetesan yang berukuran lebih besar
bersarang didalam saluran pernapasan atas (hidung dan tenggorokan), di mana infeksi
tidak mungkin berkembang. Namun, tetesan yang berukuran kecil dapat mencapai
kantung udara kecil pada paru-paru ( alveoli), di mana infeksi mungkin akan terjadi.
Dalam alveoli, beberapa basil tuberkulum dibunuh, tapi beberapa berkembang biak di
dalam alveoli yang kemudian masuk dalam kelenjar getah bening dan aliran darah serta
menyebar ke seluruh tubuh. Basil yang dapat mencapai setiap bagian dari tubuh,
termasuk daerah-daerah di mana penyakit TBC lebih mungkin untuk berkembang.
Daerah ini termasuk bagian atas dari paru-paru, ginjal, otak, dan tulang. Dalam 2-8
minggu, bagaimanapun sistem kekebalan tubuh biasanya mengintervensi, menghentikan
perkalian dan mencegah penularan lebih lanjut. Sistem kekebalan adalah sistem sel dan
jaringan dalam tubuh yang melindungi tubuh dari zat-zat asing. Pada titik ini, orang
memiliki TB laten (LTBI) (CDC, 2016).

  1  
 
gambar. 1

1.3 Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu penyakit menular di dunia paling
mematikan. Pada tahun 2013, diperkirakan 9,0 juta orang mengembangkan TB dan 1,5
juta meninggal karena disertai penyakit lain, dimana 360.000 di antaranya adalah HIV-
positif. TB secara perlahan menurun setiap tahun dan diperkirakan bahwa 37 juta
kehidupan diselamatkan antara tahun 2000 dan 2013 melalui efektif diagnosis dan
pengobatan(WHO,2014).
Menurut data dari WHO pada tahun 2015 kawasan Asia tenggara merupakan
kawasan yang paling tinggi dalam kasus tuberkolosis yaitu mencapai 2.656.560 kasus
dibandingkan dengan kawasan yang lainnya.

Gambar.2 WHO, Global Tuberculosis Report 2016

  2  
 
Di Indonesia sendiri pada tahun 2015 ditemukan jumlah kasus tuberculosis
sebanyak 330.910 kasus, dimana jumlah kasus itu lebih tinggi dari tahun sebelumnya
yaitu sebesar 324.539 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi
dengan kepadatan penduduk yang tinggi yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah
yang mencapai 38% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia. Menurut jenis kelamin,
kasus pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yaitu 1,5 kali. Menurut
kelompok umur, kasus tuberculosis paling banyak pada kelompok umur 25-34 tahun
yaitu sebesar 18,65% diikuti kelompok umur 45-54 tahun sebesar 17,33% dan pada
kelompok umur 35-44 tahun sebesar 17,18% (KEMENKES RI,2016).

Gambar 3. Proporsi Kasus TB menurut Kelompok Umur Tahun 2011-2015

Berdasarkan CNR Provinsi Bali pada tahun 2015 yaitu 70/100.000 penduduk,
angka ini lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 74/100.000 penduduk.
angka yang dicapai tahun 2015 dibawah target renstra Dinas kesehatan Provinsi Bali pada
tahun 2015 sebesar 73/100.000 penduduk (DINKES PROVINSI BALI).

  3  
 
Gambar 4. CNR Kasusu TB di Provinsi Bali

  4  
 
PENCEGAHAN TUBERKULOSIS

2.1 Pencegahan Primer

a. Promosi kesehatan
penyuluhan dengan melibatkan pasien & masyarakat dalam kampanye
advokasi, penyuluhan rencana pengendalian infeksi, Koleksi dahak Aman,
penyuluhan Etika batuk dan batuk yang higienis, penyuluhan pasien TB triase
dilakukan untuk saluran cepat atau pemisahan, penyuluhan mendiagnosis TB yang
cepat dan pengobatan, Meningkatkan ventilasi udara kamar, Melindungi pekerja
perawat kesehatan, Pengembangan kapasitas dan Memonitor praktek pengendalian
infeksi (WHO)

b. Proteksi spesifik
Vaksinasi BCG secara signifikan yang bisa mengurangi risiko TB dan
penggunaan alat pelindung diri di tempat kerja yang berisiko terkena TB, Terapi
pencegahan isoniazid (IPT) dan Terapi antiretroviral (ART) untuk orang-orang
dengan HIV (WHO).
.

2.2 Pencegahan Sekunder

a. Deteksi dini
Skrining atau penemuan kasus baru yang benar-benar positif TB dengan
melakukan pemerikasaan dahak. melakukan diagnosis TB paru dengan memeriksa
semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam 2 hari, diagnosis TB ekstra
paru dengan gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku
kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran
kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB. Diagnosis TB pada Orang Dengan
HIV AIDS (ODHA) 1.TB Paru BTA Positif, yaitu minimal satu hasil pemeriksaan
dahak positif. 2.TB Paru BTA negatif, yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan
gambaran klinis & radiologis mendukung Tb atau BTA negatif dengan hasil kultur
TB positif. 3.TB Ekstra Paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,

  5  
 
bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena
(KEMENKES RI,2011)

b. Pengobatan tepat
Pada tahap ini, pencegahan sekunder dilakukan dengan pengobatan tepat.
Pengobatan untuk penyakit TB yaitu mengonsumsi obat kombinasi pada orang
dengan TB aktif, dengan jadwal dosis pada anak-anak dan remaja dengan TB aktif
yang tepat, jadwal dosis pada orang dewasa dengan TB aktif yang tepat, Lama
pengobatan pada orang dewasa dengan TB paru aktif yang benar, Lama pengobatan
pada anak-anak dan remaja dengan TB paru aktif dengan benar, Lama pengobatan
pada penderita TB paru aktif dengan benar.

2.3 Pencegahan Tersier

a. Pencegahan ketidakmampuan
Penggunaan kortikosteroid tambahan pada pengobatan TB aktif, Penggunaan
operasi tambahan pada orang dengan TB aktif serta Pengobatan TB aktif pada
orang dengan penyakit penyerta atau kondisi co-ada

b. Rehabilitasi
Pasien paru BTA positif dengan pengobatan ulang kategori 2, bila masih
positif TB maka hentikan pengobatan dan rujuk ke layanan TB-MDR

  6  
 
PENUTUP

Dari ketiga pencegahan diatas menurut saya pencegahan primerlah yang paling
efektif, dimana pencegahan primer bisa memotong rantai penyebaran penularan TB dari
satu orang ke orang lain, dengan melakukan vaksin yang meningkatkan kekebalan tubuh
dan mengendalikan factor penyebab serta menggunakan pelindung agar terhindar dari
penyakit TB, penyuluhan dengan melibatkan pasien & masyarakat dalam kampanye
advokasi, penyuluhan Etika batuk dan batuk yang higienis, penyuluhan pasien TB triase
dilakukan untuk saluran cepat atau pemisahan agar lebih tanggap dalam pencegahan
penyebaran tuberculosis.

  7  
 
  8  
 
DAFTAR PUSTAKA

CDC. (2011). Tuberculosis Elimination: General Information.


https://www.cdc.gov/tb/publications/factsheets/general/tb.pdf. Diakses pada tanggal 23 maret 2017.

CDC. (2016). Self-Study Modules on Tuberculosis: Transmission and Pathogenesis of


Tuberculosis.
https://www.cdc.gov/tb/education/ssmodules/pdfs/tb_selfstudymodules_2015_module01.pdf.
Diakses pada tanggal 23 maret 2017.

DINKES PROVINSI BALI. (2016). Profil Kesehatan Provinsi Bali Tahun 2015.
http://www.diskes.baliprov.go.id/files/subdomain/diskes/Profil%20Kesehatan%20Provinsi%20Bali
/Tahun%202015/Bali_Profil_2015.pdf. Diakses pada tanggal 23 maret 2017.

KEMENKES RI. (2011). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. DIREKTORAT


JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN.
http://www.dokternida.rekansejawat.com/dokumen/DEPKES-Pedoman-Nasional-Penanggulangan-
TBC-2011-Dokternida.com.pdf. Diakses pada tanggal 22 maret 2017.

KEMENKES RI. (2016). Profil Kesehatan Indonesia 2015.


http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-
Indonesia-2015.pdf. Diakses pada tanggal 22 maret 2017.

TB Prevention, Diagnosis and Treatment. Accelerating advocacy on TB/HIV: 15th July,


Vienna.
http://www.who.int/tb/challenges/hiv/07_tb_prevention_diagnosis_and_treatment_eng.pdf.
Diakses pada tanggal 24 maret 2017
WHO. (2014). Global Tuberculosis Report 2014.
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/137094/1/9789241564809_eng.pdf. Diakses pada tanggal
24 maret 2017

  9  
 
PENDAHULUAN

DEFINISI HEPATITIS B
Menurut WHO tahun 2016 menyebutkan bahwa Hepatitis B adalah infeksi virus yang
menyerang hati dan dapat menyebabkan baik penyakit akut dan kronis. Virus ini ditularkan
melalui kontak dengan darah atau cairan tubuh lainnya dari orang yang terinfeksi. hepatitis B
sendiri merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Hepatitis B (VHB), suatu anggota famili
hepadnavirus yang dapat mengakibatkan peradangan hati akut atau kronis yang dapat berlanjut
menjadi sirosis hati atau kanker hati. Hepatitis B akut jika kejadian sakit kurang dari 6 bulan
sedangkan Hepatitis B kronis bila penyakit tidak menyembuh secara klinis atau laboratorium
atau pada gambaran patologi anatomi selama 6 bulan (Mustofa, 2013).

PERJALANAN ALAMIAH PENYAKIT


VHB ditularkan melalui darah dan cairan tubuh seperti air liur, air mani, cairan vagina
dan air susu ibu. Virus masuk ke tubuh lewat kulit atau selaput lendir tubuh yang rusak. Masa
inkubasi dari hepatitis B ini berkisar antar 45-180 hari dan lama masa inkubasi tergantung pada
jumlah virus yang masuk ke dalam tubuh dan cara penularan serta daya tahan pasien. Di daerah
endemic hepatitis B(HBV) penularan sering terjadi pada waktu persalinan atau pada awal
pemberian makanan bayi. Penularan dari ibu ke bayi merupakan penyebab utama yang
menyebabkan hepatitis menahun yang mudah berkembang menjadi kanker hati. (WHO.2016).

Penyakit Hepatitis dibagi menjadi dua klasifikasi yaitu Hepatitis B akut dan Hepatitis B
kronis. Dari kedua jenis HBV memiliki masing – masing fase yang berbeda sampai
menimbulkan sakit pada host yang terinfeksi HBV. Perjalanan hepatitis B akut terjadi dalam

  10  
 
empat (4) tahap yang timbul sebagai akibat dari proses peradangan pada hati yaitu :

1. Masa Inkubasi
Masa inkubasi yang merupakan waktu antara saat terjadi penularan infeksi dan
saat terjadinya gejala, berkisar antara 1-6 bulan, biasanya 60-75 hari. Panjangnya
masa inkubasi tergantung dari dosis inokulum yang ditularkan dan jalur penularan

  11  
 
HBV, makin besar dosis virus yang ditularkan, makin pendek masa inkubasi.
(WHO.2016).

2. Fase Prodormal

Fase ini adalah waktu antara timbulnya keluhan-keluhan awal dan timbulnya gejala dan ikterus.
Keluhan yang sering terjadi seperti : malaise, rasa lemas, lelah, anoreksia, mual, terjadi
perubahan pada indera perasa dan penciuman, panas yang tidak tinggi, nyeri kepala, nyeri otot-
otot, rasa tidak enak/nyeri di abdomen, dan perubahan warna urine menjadi cokelat, dapat dilihat
antara 1-5 hari sebelum timbul ikterus, fase prodromal ini berlangsung antara 3-14 hari.

3. Fase Ikterus

Pada saat munculnya ikterus maka gejala gejala pada fase prodromal akan
berkurang, namun anoreksia dan malaise kadang juga masih berlangsung. Untuk
deteksi ikterus sebaiknya dilihat pada sklera mata. Lama berlangsungnya ikterus
dapat berkisar antara 1-6 minggu.

4. Fase Penyembuhan

Fase penyembuhan diawali dengan mhilangnya ikterus dan keluhan-keluhan


yang terjadi pada fase fase sebelumnya, walaupun rasa malaise dan cepat lelah
kadang masih terus dirasakan, hepatomegali dan rasa nyerinya juga sudah mulai
berkurang. Fase penyembuhan lamanya berkisar antara 2-21 minggu.

Sedangkan pada Hepatitis B kronis didefinisikan sebagai peradangan hati yang berlanjut
lebih dari enam bulan sejak timbul keluhan dan gejala penyakit. Perjalanan hepatitis B kronik
dibagi menjadi tiga (3) fase penting yaitu :

1. Fase Imunotoleransi
Pada masa anak-anak atau pada awal dewasa atau dewasa muda, sistem imun
tubuh toleran terhadap VHB sehingga konsentrasi virus dalam darah tinggi, tetapi
tidak terjadi peradanngan hati yang berarti. Pada fase ini, VHB ada dalam fase
replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tiinggi.

  12  
 
2. Fase Imunoaktif (Fase clearance)
Pada sekitar 30% individu dengan persisten dengan VHB akibat terjadinya replikasi VHB
yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi
Alanine Amino Transferase (ALT). Pada keadaan ini pasien sudah mulai kehilangan
toleransi imun terhadap VHB (WHO, 2016)

3. Fase Residual

Pada fase ini tubuh mulai berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan
pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Sekitar 70% dari individu yang terkena
HBV akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel HBV tanpa ada
kerusakan sel hati yang signfikan.

Adapun cara penularan hepatitis B lainnya diantaranya adalah :

• Melalui transfusi darah atau transplantasi


• Seringnya Berganti-ganti Pasangan Seksual
• Menggunakan Barang Pribadi Secara Bersama-Sama
• Bayi Yang Tertular Ibunya

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT HEPATITIS B


Menurut tingginya angka prevalensi infeksi Hepatitis B, WHO mengelompokan menjadi

3 (tiga) macam daerah yaitu daerah dengan status endemisitas tinggi 10-15%, daerah dengan
endemiditas sedang yaitu 2-10%, dan daerah dengan endemisitas rendah kurang dari 2%. Di
seluruh dunia, sekitar 240 juta orang memiliki virus hepatitis B kronis (HBV), dengan tingkat
infeksi tertinggi di Afrika dan Asia. pemahaman kita tentang sejarah infeksi HBV dan potensi
untuk terapi penyakit yang dihasilkan terus meni ingkat (Sarin, S. K et al. 2016)

Negara endemisitasnya tinggi terutama Asia yaitu Cina,( Zhang, Q.2015) Vietnam,
Korea. Prevalensi VHB berbeda-beda dari satu tempat dengan tempat yang lain. Prevalensi
terendah didapatkan di Amerika Utara dan di Eropa Barat dimana infeksi tersebut didapatkan
pada 0,1-0,5%. Penduduk di Asia Tenggara dan Afrika Sahara 5-20% penduduk mengidap
  13  
 
infeksi ini. Prevalensi infeksi VHB tertinggi didapat di Pulau Rapa di Samudera Atlantik dimana

50% dari penduduk jadi pengidap.

  14  
 
Berdasarkan kondisi data di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2013 secara Nasional
diperkirakan terdapat 1,2 % penduduk di Indonesia mengidap penyakit Hepatitis, dan kondisi ini
meningkat 2 kali lipat dibandingkan tahun 2007, yaitu sekitar 0,6 %. Apabila dikonversikan ke
dalam jumlah absolut penduduk Indonesia tahun 2013 sekitar 248.422.956 jiwa, maka bisa
dikatakan bahwa 2.981.075 jiwa penduduk Indonesia terinfeksi Hepatitis.Dari sejumlah itu

21,8% atau sekitar 649.875 jiwa terindikasi Hepatitis B.(Depkes.2014) Dari grafik di atas juga
dapat dilihat pada tahun 2007, lima provinsi dengan prevalensi Hepatitis tertingggi adalah Nusa
Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Aceh, Gorontalo dan Papua Barat sedangkan pada tahun

2013 ada 13 provinsi yang memiliki angka prevalensi di atas rata-rata Nasional yaitu Nusa
Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Utara, Aceh, Nusa Tengara Barat, Maluku Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara,
Kalimantan Selatan.(Depkes.2014) prevalensi HBsAg sangat bervariasi di Indonesia. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa prevalensi HBsAg ditemukan lebih tinggi dari 10% di luar Pulau
Jawa yaitu : Bali, Lombok, Sumbar, Irian Jaya. Hal ini dapat dimengerti karena Indonesia
memiliki daerah yang sangat luas, dengan perilaku dan budaya yang beraneka-ragam.

  15  
 
  1
PENCEGAHAN HEPATITIS B

Untuk menurunkan angka kesakitan maupun kematian akibat infeksi VHB perlu
dilakukan pencegahan yang meliputi pencegahan primordial, primer, sekunder, dan tersier.

1. Pencegahan Primordial
Pencegahan primordial adalah upaya untuk memberikan edukasi kepada masyarakat
mengenai suat penyakiyt dimana kondisi pada masyarakat yang memungkinkan penyakit tidak
mendapat dukungan dari kebiasaan, gaya hidup, maupun kondisi lain yang merupakan faktor
risiko untuk munculnya suatu penyakit. Pencegahan primordial yang dapat dilakukan adalah :

a. Konsumsi makanan berserat seperti buah dan sayur serta konsumsi makanan dengan gizi
seimbang.

b. Bagi ibu agar memberikan ASI pada bayinya karena ASI mengandung antibodi yang
penting untuk melawan penyakit.

c. Melakukan kegiatan fisik seperti olah raga dan cukup istirahat.

2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan tindakan yang dilakukan saat seseorang belum terserang
penyakit atau ketika seseorang sudah terpapar suatu risiko penyakit. Pencegahan pada tingkat
primer dibagi menjadi dua yaitu melakui promosi kesehatan dan juga proteksi spesifik. Dalam
konteks penyakit hepatitis B proteksi spesifik dilakukan melalui program imunisasi. Pencegahan
primer yang dilakukan antara lain :

a. Program Promosi Kesehatan


Memberikan edukasi dan pendidikan khususnya bagi tenaga kesehatan dalam
menggunakan dan pemakaian alat-alat yang menggunakan produk darah agar dilakukan
sterilisasi dan isolasi. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat umum agar lebih
mengetahui tentang program imunisasi untuk mencegah penularan hepatitis B. serta
dilakukan penceghan secara konservatif yaitu mencegah penularan secara parenteral
dengan cara menghindari pemakaian darah atau produk yang berkaitan dengan darah

  17  
 
yang tercemar VHB, pemakaian alat-alat kedokteran yang harus steril, menghindari
pemakaian peralatan pribadi terutama peralatan yang digunakan bersama sama. (NSW
Ministry of Health.2014)

b. Proteksi Spesifik
Dalam pencegahan di tingkat primer, Pemberian imunisasi hepatitis B dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Menurut NSW Misitry of Health menetapkan beberapa
target sebagai sasaran imunisasi sebagai tindak pencegahan terhadap penyakit hepatitis B
antara lain dengan mentargetkan pencapaian terhadap cakupan vaksinasi anak anak
ditetapkan sebesar 95% dari total populasi anak anak di New South Wales, memastikan
semua bayi yang lahir dari ibu yan positif Hepatitis B mendapatkan HBig atau Hepatitis
B Immunoglobulin dalam 12 jam setelah kelahiran. Secara rinci program imunisasi dasar
yang dilaksanakan di Indonesia adalah sebagai berikut :

  18  
 
Selain Pemberian vaksin hepatitis B pada bayi, pemberian vaksin Hepatitis B
juga dianjurkan kepada pasangan seksual yang kontak langsung dengan penderita HBsAg
positif, kelompok berisiko yang berganti ganti pasangan, terutama yang telah terdiagnosa
terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS), pasangan homoseksual, pasien yang
mendapatkan tindakan pengobatan dengan cuci darah, dan Petugas kesehatan yang
sehari-hari kontak dengan darah atau jaringan tubuh penderita HBsAg positif, seperti
perawat dan petugas laboratorium.

  19  
 
3. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder merupakan upaya yang dilakukan terhadap orang yang sudah
terpapar risiko ata bahkan dilakukan terhadap orang sudah mengalami gejala gejala klinis
terhadap suatu penyakit. Maka dari itu pada tingkat pencegahan sekunder yang dapat dilakukan
adalah deteksi dini atau mengetahui sedini mungkin suatu penyakit serta melakukan pengobatan
tepat yang sesuai dengan penyakit yang telah terdeteksi sehingga dapat mencegah penyakit
menjadi lebih parah serta mempersingkat kesakitan serta mencegah terjadinya kecacatan akibat
sakit. Pada penyakit Hepatitis B deteksi dan pengobatan tepat dilakukan sebagai berikut :

a. Pemeriksaan Laboratorium
Menurut WHO (1994) untuk mendeteksi virus hepatitis digolongkan dengan
tiga (3) cara yaitu : Cara Radioimmunoassay (RIA), Enzim Linked Imunonusorbent
Assay (Elisa), imunofluorensi mempunyai sensitifitas yang tinggi. Untuk
meningkatkan spesifisitas digunakan antibodi monoklonal dan untuk mendeteksi
DNA dalam serum digunakan probe DNA dengan teknik hibridasi. Deteksi dini
terhadap HBV dapat dilakukan melalui tes darah, tes darah dasar untuk HBV terdiri
dari tigas tes skrining. yang pertama adalah tes antigen permukan HBV yang
menentukan apakah seseorang terinfeksi HBV, yang kedua adalah tes anti bodi inti
HBV, yang menentukan apakah seseorang yang pernah terinfeksi, dan yang ketiga
tes antibody permukan HBV yang menentukan apakah seseorang telah bebas dari
virus setelah terinfeksi,atau telah divaksinasi dan sekarang kebal terhadap infeksi di
masa mendatang (SAMHSA.2011). Menganjurkan pada wanita hamil untuk
memastikan wanita hamil melakukan screening terhadap hepatitis B juga diperlukan
sebagai langkah deteksi dini terhadap HBV (NSW Ministry of Health.2014)

  20  
 
 

4. Pencegahan Tersier

Sebagiian besar pencegahan pada penderita hepatitis B akut akan membaik atau sembuh
dengan sempurna tanpa meninggalkan bekas atau kecacatan pada penderita hepatitis B. Tetaapi
sebagian kecil akan menetap dan menjadi kronis, kemudian menjadi buruk atau mengalami
kegagalan faal hati. Biasanya penderita dengan gejala seperti ini akan berakhir dengan
meninggal dunia. Usaha yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut maka perlu diadakan
pemeriksaan berkala. Sebelum dilaksanakan pembedahan, pada waktu pembedahan, dan pasca
pembedahan. Dalam pencegahan di tingkat tersier dapat di bedakan menjadi dua yaitu :

a. Pembatasan Ketidakmampuan.
Pembatasan ketidakmampuan atau kecacatan berusaha untuk menghilangkan
gangguan kemampuan berpikir dan bekerja yang diakibatkan oleh penyakit hepatitis.
Usaha ini merupakan lanjutan dari usaha deteksi dini danpengobatan tepat agar penderita
mampu sembuh sempurna tanpa cacat. Bil sudah terjadi kecacatan maka dicegah agar
kecacatan tidak menimbulkan dampak yang lebih parah terhadap kesehtan penderita
sehingga fungisi tubuh penderita HBV dapat dipertahankan semaksimal mungkin.

b. Rehabilitasi
Tahap rehabilitasi adalah usaha untuk mencegah terjadinya efek samping dai fase
penyembuhan penyakit dan pengembalian fungsi fisik, sosial, dan psikologik.tindakan ini
dilakukan pada seseorang yang proses penakitnya telah berhenti. Tujuannya adalah
mengembalikan penerita pada keadaan semula saat sebelum sakit atau lebih baik daripada
saat sebelum sakit. Dalam proses rehabilitasi meliputi rehabilitasi mental, rehabilitasi
social vokasional, dan rehabiliasi aesthetis (WHO.2014).

  21  
 
 

  22  
 
 

PENUTUP

Kesimpulan
Penyakit hepatitis adalah penyakit yang disebabkan oleh beberapa jenis virus, hepatitis B
sendiri disebabkan oleh HBV atau Hepatitis B Virus yang merupakan family dari hepadnavirus
uang menyerang dan menyebabkan peradangan serta merusak sel atau organ hati manusia.di
Indonesia penderitapenyakit hepatitis umunya cenderung mengalami penyakit Hepatitis A, B,
dan C. berdasarkan bahasan diatas dapat dilihat bahwa Hepatitis dapat DIcegah maupun diobati
pada semua tingkatan pencegahan baik pada tingkat Primordial, Primer, Sekunder, maupun
Tersier. Namun dilihat dari efektifitas dalam pengendalian dan pencegahan penyakitnya fase
sekunder pada tahap pencegahan merupakan fase dimana deteksi dan engobatan secara tepat
dapat dilakukan sehingga kecacatan atau kesakitan dapat diminimalisir.

  23  
 
 

DAFTAR USTAKA

Sarin, S. K., Kumar, M., Lau, G. K., Abbas, Z., Chan, H. L. Y., Chen, C. J., … Kao, J. H. (2016).
Asian-Pacific clinical practice guidelines on the management of hepatitis B: a 2015
update. Hepatology International, 10(1), page : 26-40. http://doi.org/10.1007/s12072-015-
9675-4 diakses pada tanggal : 20 Maret 2017

Substance Abuse and Mental Health Services Administration (US). (2011)Center for Substance
Abuse Treatment. Addressing Viral Hepatitis in People With Substance Use Disorders.):
(Treatment Improvement Protocol (TIP) Series, No. 53.) 2, Screening for Viral
Hepatitis. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK92029/ diakses pada
tanggal : 25 Maret 2017
Zhang, Q., Liao, Y., Chen, J., Cai, B., Su, Z., Ying, B., … Wang, L. (2015). Epidemiology study
of HBV genotypes and antiviral drug resistance in multi-ethnic regions from Western
China. Scientific Reports, 5, 17413. http://doi.org/10.1038/srep17413 diakses pada
tanggal : 25 Maret 2017
World Health Organization. (2016). Hepatitis B.
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs204/en/ diakses pada tanggal : 20 Maret
2017
Mustofa S. 2013. Manajemen gangguan saluran serna : Panduan bagi dokter umum. Bandar
Lampung: Aura Printing & Publishing. hlm.272-
Kementerian Kesehatan RI.(2014). Situasi dan Analisis Hepatitis.
www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-hepatitis.pdf diakses
pada tanggal : 25 Maret 2017
Gerlich, W. H. (2013). Medical Virology Of Hepatitis B: How It Began And Where We Are Now.
Virology Journal, 10, 239. http://doi.org/10.1186/1743-422X-10-239 diakses pada
tanggal : 25 Maret 2017
Spiritia. (2005). Hepatitis Virus dan HIV. http://spiritia.or.id/dokumen/buku-hepatitis.pdf pada
tanggal : 25 Maret 2017

  24  
 
 

PENDAHULUAN

Definisi Campak

Campak juga dikenal dengan nama morbili atau morbillia dan rubeola (bahasa Latin), yang

kemudian dalam bahasa Jerman disebut dengan nama masern, dalam bahasa Islandia dikenal

dengan nama mislingar dan measles dalam bahasa Inggris . Campak adalah penyakit infeksi

yang sangat menular yang disebabkan oleh virus, dengan gejala -gejala eksantem akut,

demam, kadang kataral selaput lendir dan saluran pernapasan, gejala -gejala mata,

kemudian diikuti erupsi makulo papula yang berwarna merah dan diakhiri dengan deskuamasi

dari kulit ( Setya Nigrum , 2013) .

Perjalanan Alamiah Penyakit Campak

Perjalanan alamiah penyakit campak terdiri dari 3 stadium sebagai berikut (Setya
Ningrum, 2013)

1. Stadium kataral (prodormal)


Biasanya stadium ini berlangsung selama 4 -5 hari dengan gejala
demam, malaise, batuk, fotofobia, konjungtivitis dan koriza. Menjelang akhir
stadium kataral dan 24 jam sebelum timbul eksantema, timbul bercak Koplik.
Bercak Koplik berwarna put ih kelabu, sebesar ujung jarum timbul pertama
kali pada mukosa bukal yang menghadap gigi molar dan menjelang kira -kira
hari ke 3 atau 4 dari masa prodormal dapat meluas sampai seluruh mukosa
mulut. Secara klinis, gambaran penyakit menyerupai influenza dan sering
didiagnosis sebagai influenza.

  25  
 
 

2. Stadium erupsi
Stadium ini berlangsung selama 4 -7 hari. Gejala yang biasanya

terjadi adalah koriza dan batuk -batuk bertambah. Timbul eksantema

di durum dan palatummole. Kadang terlihat pula bercak Koplik. Terjadinya

ruam atau eritema yang berbentuk makula-papula disertai naiknya suhu

badan. Mula-mula eritema timbul di belakang telinga, di bagian atas

tengkuk, sepanjang rambut dan bagian belakang bawah. Kadang-kadang

terdapat perdarahan ringan pada kulit. Rasa gatal, muka bengkak.

Ruam kemudian akan menyebar ke dada dan abdomen dan akhirnya

mencapai anggota bagian bawah pada hari ketiga dan akan menghilang

dengan urutan seperti terjadinya yang berakhir dalam 2-3 hari.

3. Stadium Konvalensi
Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua

(hiperpigmentasi) yang lama-kelamaan akan menghilang sendiri. Selain

hiperpigmentasi pada anak Indonesia sering ditemukan pula kulit

yang bersisik. Selanjutnya suhu menurun sampai menjadi normal kecuali

bila ada komplikasi.

Epidemilogi Penyakit Campak


1. Epidemilogi campak di Dunia
Penyakit campak merupakan salah satu penyebab kematian pada

anak- anak di seluruh dunia yang meningkat sepanjang tahun. Pada tahun

2005 terdapat 345.000 kematian di dunia akibat penyakit Campak

dan sekitar

311.000 kematian terjadi pada anak -anak usia dibawah lima tahun.

Pada tahun 2006 terdapat 242.000 kematian karena campak atau 27

  26  
 
 

kematian terjadi setiap jamnya. Menurut laporan World Health

Organization (WHO) tahun

2008 kematian Campak yang meliputi seluruh dunia pada tahun 2007
adalah
197.000 dengan interval 141.000 hingga 267.000 kematian dimana 177.000

kematian terjadi pada anak-anak usia dibawah lima tahun. Lebih dari 95%

kematian Campak terjadi di negara -negara berpenghasilan rendah dengan

infrastruktur kesehatan lemah.

2. Epidemilogi campak di Indonesia


Indonesia termasuk negara berkembang yang insiden kasus campaknya

cukup tinggi. Pada tahun 2008, angka absolut Campak di Indonesia adalah

15.369 kasus. Data dari profil kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2010

dilaporkan Incidence Rate (IR) penyakit Campak di Indonesia sebesar 0,73 per

10.000 penduduk, sedangkan Case Fatality Rate (CFR) pada KLB campak

pada tahun 2010 adalah 0,233. Kasus penyakit Campak tersebar di seluruh

wilayah di Indonesia.Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat,

diketahui bahwa Incidens Rate penyakit Campak di Sumatera Barat tahun

2010 adalah 8,7 per 10.000 penduduk. Sementara itu, pada tahun 2011 terjadi

peningkatan menjadi 10,77 per 10.000 penduduk. Pada tahun 2011 telah

terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) Campak pada Kabupaten/Kota di

Sumatera Barat yaitu di Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Kepulauan

Mentawai, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Tanah

Datar, dan Kota Bukittinggi.

  27  
 
 

3. Epidemilogi campak di Bali


Campak merupakan penyakit infeksi yang sangat menular dan

disebabkan oleh virus, pada umumnya menyerang anak–anak serta merupakan

penyakit endemis di banyak belahan dunia. Di Provinsi Bali Penyakit campak

masih merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapatkan perhatian

karena kasus campak masih cukup tinggi dan masih sering terjadi kejadian

luar biasa. Di Provinsi Bali Penyakit campak masih merupakan masalah

kesehatan yang perlu mendapatkan perhatian karena kasus campak masih

cukup tinggi dan masih sering terjadi KLB. Pada tahun 2010 dilaporkan 256

kasus campak dengan Incidence Rate (IR) sebesar 0,41 per 10.000 penduduk

dan CFR sebesar 0,78%. IR tertinggi terjadi di Kabupaten Karangasem yaitu

sebesar 2,47 per 10.000 penduduk dengan CFR sebesar 2,04%. Sejak bulan

Januari 2010 sampai dengan bulan Desember 2011 di Provinsi Bali telah

terjadi enam kali KLB campak, lima diantaranya terjadi di Kabupaten

Karangasem, ( Adi, 2012)

  28  
 
 

  29  
 
 

  30  
 
 

PENCEGAHAN CAMPAK

Pencegahan Primordial
Pencegahan primordial dilakukan dalam mencegah munculnya faktor

predisposisi/resiko terhadap penyakit Campak. Sasaran dari pencegahan primordial

adalah anak-anak yang masih sehat dan belum memiliki resiko yang tinggi agar tidak

memiliki faktor resiko yang tinggi untuk penyakit Campak. Edukasi kepada orang tua

anak sangat penting peranannya dalam upaya pencegahan primordial. Tindakan yang

perlu dilakukan seperti penyuluhan mengenai pendidikan kesehatan, konselling nutrisi

dan penataan rumah yang baik.

Pencegahan Primer
Sasaran dari pencegahan primer adalah orang -orang yang termasuk kelompok

beresiko, yakni anak yang belum terkena Campak, tetapi berpotensi untuk terkena

penyakit Campak. Pada pencegahan primer ini harus mengenal faktor -faktor yang

berpengaruh terhadap terjadinya Campak dan upaya untuk mengeliminasi faktor-

faktor tersebut. Pencegahan primer dapat dilaukan dengan cara sebagai berikut.

v Promosi kesehatan
Promosi kesehatan dapat dilakukan dengan memberikan edukasi

campak, pendidikan dan latihan mengenai pengetahuan mengenai Campak.

Disamping kepada penderita Campak, edukasi juga diberikan kepada anggota

  31  
 
 

keluarganya, kelompok masyarakat beresiko tinggi dan pihak -pihak

perencana kebijakan kesehatan. Berbagai materi yang perlu diberikan kepada

pasien Campak adalah definisi penyakit Campak, faktor-faktor yang

berpengaruh pada timbulnya Campak dan upaya-upaya menekan Campak,

pengelolaan Campak secara umum, pencega han dan pengenalan komplikasi

Campak.

v Proteksi spesifik
Proteksi spesifik dapat dilakukan dengan pemberian vaksi. vaksin di

diberikan secara subkutan sebanyak 0,5 ml. vaksin campak tidak boleh

diberikan pada wanita hamil, anak dengan TBC yang tidak diobati, penderita

leukemia. Vaksin Campak dapat diberikan sebagai vaksin monovalen atau

polivalen yaitu vaksin measles-mumps-rubella (MMR).vaksin monovalen

diberikan pada bayi usia 9 bulan, sedangkan vaksin polivalen diberikan pada

anak usia 15 bulan. Penting diperhatikan penyimpanan dan transportasi vaksin

harus pada temperature antara 2ºC - 8ºC atau ± 4ºC, vaksin tersebut harus

dihindarkan dari sinar matahari. Mudah rusak oleh zat pengawet atau bahan

kimia dan setelah dibuka hanya tahan 4 jam.

Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya untuk mencegah atau menghambat

timbulnya komplikasi dengan tindakan-tindakan seperti tes penyaringan yang

ditujukan untuk pendeteksian dini Campak serta penanganan segera dan efektif.

Tujuan utama kegiatan-kegiatan pencegahan sekunder adalah untuk mengidentifikasi

orang-orang tanpa gejala yang telah sakit atau penderita yang beresiko tinggi untuk

mengembangkan atau memperparah penyakit. Pencegahan sekunder yang dapat

dilaukan dengan

  32  
 
 

v Deteksi dini
Deteksi dini dilaukan untuk menghindari terjadinya sakit, maka perlu upaya

sedini mungkin untukmengenal kondisi, maka dari itu harap diketahui faktor-

faktor yang menimbulkan gangguan dan gejala-gejalanya sebagai bentuk

deteksi diagnosis. Deteksi yang biasa dilakukan ialah mengenali gejala-gejala

abnormalitas (ketidakwajaran) pada suatu penyakit. Pendekatan diagnosis ini

dilakukan untuk mencegahterjadinya kekalutan yang lebih parah yang dapat

merusak kepribadian. hal tersebut dapat membantu i n d i v i d u d a l a m

m e n ge m b a n gk a n cara berfikir, cara berperasaan, dan cara

b e r p e r i l a k u ya n g b a i k d a n benar, sehingga eksistensi seseorang bisa

diterima dan diakui dalam lingkungan sosialnya sebagai sosokinsan yang sehat

secara sempurna.

v Pengobatan Tepat
Penderita Campak tanpa komplikasi dapat berobat jalan. tidak ada obat

yang secara langsung dapat bekerja pada virus Campak. Anak memerlukan

istirahat di tempat tidur, kompres dengan air hangat bila demam tinggi. Anak

harus diberi cukup cairan dan kalori, sedangkan pasien perlu diperhatikan

dengan memperbaiki kebutuhan cairan, diet disesuaikan dengan kebutuhan

penderita dan berikan vitamin A 100.000 IU per oral satu kali. Apabila

terdapat malnutrisi pemberian vitamin A ditambah dengan 1500 IU tiap hari.

Dan bila terdapat komplikasi, maka dilakukan pengobatan untuk mengatasi

komplikasi yang timbul.

  33  
 
 

Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan

kematian. Adapun tindakan -tindakan yang dilakukan pada pencegahan tertier yaitu

a. Penanganan akibat lanjutan dari komplikasi campak.

b. Pemberian vitamin A dosis tinggi karena cadangan vitamin A akan turun

secara cepat terutama pada anak kurang gizi yang akan menurunkan imunitas

mereka.

  34  
 
 

PENUTUP

Kesimpulan

Campak adalah penyakit infeksi yang sangat menular yang disebabkan oleh virus,

dengan gejala -gejala eksantem akut, demam, kadang kataral selaput lendir dan saluran

pernapasan, gejala -gejala mata, kemudian diikuti erupsi makulo papula yang berwarna merah

dan diakhiri dengan deskuamasi dari kulit Pencegahan penyakit campak dapat dilaukan

dengan pencegahan promdial, pencegahan primer, sekunder dan tersier.

Pencegahan primer merupakan pencegahan yang paling efekti untuk mencegah

terjadinya penyakit campak dikarenakan pencegahan primer merupakan tingkat pertama upaya

untuk mencegah seseorang terkena penyakit campak. Pada pencegahan primer ini harus

mengenal faktor -faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya Campak dan upaya untuk

mengeliminasi faktor-faktor tersebut

  35  
 
 

Daftar Pustaka

Adi. 2012. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Campak di


Kabupaten Karangasem Bali. Tesis. Bali. Universitas Udayana

Setyaningrum. 2013. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Campak di

Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Teras Kabupaten Boyolali. Jurnal. Surakarta

Universitas Muhammadiyah. .

  36  
 
PENDAHULUAN

DEFINISI
Menurut WHO,1981 AIDS atau Acquired Immuno Deficiency Syndrome adalah kumpulan

dari beberapa gejala penurunan kekebalan sistem imunitas manusia yang disebabkan adanya

infeksi dari virus HIV atau Human Immunodeficiency Virus yang masuk kedalam tubuh manusia.

Virus ini menyebar melalui cairan tubuh manusia dan menyerang sistem imunitas tubuh

khususnya pada CD4 + ( atau yang dikenal dengan sel T ) < 200/cu mm atau penderita dengan

CD4 + dan prosentase T Limfosit dari total limfosit < 14 % (Chin & Editor 2000). Virus ini

dapat merusak dan menghancurkan sel-sel tubuh lain dan berakibat mudahnya tubuh terinfeksi

berbagai penyakit lainnya (Kementerian Kesehatan RI 2014). Seiring berkembangnya penyakit

ini, menurut CDC,1987 definisi dari AIDS diperbaharui dengan memasukkan indikator penyakit-

penyakit oportunistik sebagai satu diagnosa presumatif dari hasil tes laboratorium. Kemudian

pada tahun 1994, WHO merubah definisi AIDS yang sebelumnya dari perumusan kasus di afrika

dengan menggabungkan ter serologi HIV dengan penderita yang seropositif.

Penyakit HIV/AIDS pertama kali muncul pada tahun 1978 yang sudah ada di negara

afrika,Haiti, dan Amerika serikat. Dan hingga saat ini penyakit ini telah menjadi beban kesehatan

masyarakat baik negara maju maupun negara berkembang. Hal itu disebabkan karena

perkembangan dan penularan virus HIV ini dalam waktu relatif cepat pada peningkatan jumlah

penderita (K et al. 2010).


37  
 
 

Namun pada tahun 1981, penyakit AIDS ini baru dikenal pertama kali sebagai sebuah

sindroma penyakit yang selama ini menggambarkan pada tahap klinis. Bagi penderita yang

terinfeksi virus ini, mungkin sebagian besar tidak menujukkan gejala atau tanda selama beberapa

tahunan sebelumnya adanya manifestasi klinis penyakit lain yang muncul.

Dari karakteristik virus, Virus HIV terdapat dua tipe yaitu HIV-1 dan HIV-2. Adapun tipe HIV-1

terbagi atas :

-­‐ Grup : terdiri dari 3 grup yaitu grup M atau kelompok terbesar (main,major), grup O atau

kelompok lain (outlier) dan grup N (non grup M dan O). Ternyata grup M yang menjadi

penyebab sering adanya epidemi HIV di seluruh dunia.

-­‐ Subtipe disini adalah penjabaran dari grup M yang dikenal dengan abjad ( Subtipe

A,B,C,D,F,G,H,J dan K )

-­‐ Circulating recombinant form ( CFR ) tersusun akibat dari subtipe –subtipe yang

membentuk rekombinan. Hingga saat ini telah ditemukan CFR sebanyak 34.

Berbeda dengan tipe HIV-2 dimana tipe ini hanya dikenal memiliki 2 subtipe yaitu A dan B. Dan

potensi untuk penyebaran HIV/AIDS lebih berpotensi tipe HIV-1 dibandingkan tipe HIV-2 (Di

et al. n.d.).

Proporsi orang yang terinfeksi virus HIV bisa dipastikan > 90% akan mencapai pada tahap AIDS

karena tidak adanya pengobatan anti-HIV yang efektif. Selain itu penyakit ini memiliki Case

Fatality Rate ( CFR ) sangat tinggi kebanyakan di negara berkembang antara 80 -90% berujung

pada kematian dalam 3 – 5 tahun setelah mendapatkan diagnosa positif AIDS.

  38  
 
 

PERJALANAN ALAMIAH PENYAKIT

Penyakit HIV/AIDS disebabkan adanya penularan oleh virus HIV yang berakibat pada

penurunan dan perusakan sistem imun tubuh manusia. Virus ini memiliki masa inkubasi antara 5

tahun – 10 tahun. Sehingga sekitar 50% orang yang sudah terinfeksi tidak merasakan gejala (An

et al. 2015).

Setelah virus ini menginfeksi tubuh manusia, dibutuhkan waktu selama 3-6 bulan untuk

menunjang hasil lab HIV positif. Dan virus ini awalnya berbentuk RNA akan melepas bungkus

dan merubah bentuk menjadi DNA supaya bisa bersatu dengan DNA sel target. Setelah itu

virus ini akan memproduksi virus-virus HIV baru yang akan siap menyerang sel baru dan begitu

seterusnya hingga seumur hidup. Virus ini dapat dipantau dengan mengukur jumlah virus dalam

serum penderita dan menghitung sel CD4 + T dalam darah perifer (Chin & Editor 2000).

Akibatnya virus ini akan merusak sel limfosit T dan berdampak pada penurunan dan perusakan

sistem imun manusia. Penderita akan mudah terinfeksi penyakit lainnya disebabkan sistem

imunitas tubuh yang sudah diserang dan fungsinya mengalami penurunan. (Chin & Editor 2000)

Setelah itu pada periode tertentu, gejala penyakit seakan berhenti berkembang yang dikenal

dengan masa laten. Beberapa kemudian baru muncul gejala klinis AIDS yang lengkap berupa

kumpulan dari sindrom-sindrom dan penyakit oportunistik yang lainnya (Kakaire et al. 2015).

EPIDEMIOLOGI

  39  
 
 

Bagan 1 Gambaran peningkatan yang dibutuhkan pada tahap kasus tes HIV dan Pelayanan

Pengobatan ( WHO,2015 )

Berdasarkan data dari WHO pada tahun 2015, diestimasikan jumlah kasus ODHA ( Orang

dengan HIV/AIDS ) di seluruh dunia mencapai 36,7 juta orang. Angka tersebut telah mewakili

hampir di seluruh negara di dunia baik negara maju maupun negara berkembang. Angka ini

dipastikan akan mengalami peningkatan terus menerus tiap tahunnya. Akan tetapi hanya ada

sekitar 22,2 juta orang ( 60% ) ODHA sudah mengetahui status HIV. Kasus HIV/AIDS layaknya

seperti fenomena gunung es dimana angka tersebut hanya yang berhasil terlaporkan dan masih

banyak kasus yang belum terungkap.

  40  
 
 

Bagan 2 Gambaran Jumlah Kasus Baru HIV positif sampai tahun 2015 ( Profil Kesehatan

Indonesia,2015 )

Bagan 3 Gambaran Jumlah Kasus Insiden AIDS sampai Tahun 2015 ( Profil Kesehatan

Indonesia,2015 )

Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai beban permasalahan HIV/AIDS yang

menghawatirkan. Didapatkan dara dari Profil Kesehatan Indonesia tahun 2015 menunjukkan

adanya peningkatan yang signifikan tiap tahunnya. Peningkatan itu terlaporkan pada kasus baru

  41  
 
 

atau insiden orang yang terinfeksi HIV positif dan orang yang positif AIDS sampai tahun 2015.

Cukup mengejutkan trend kasus HIV positif di Indonesia dimana pada tahun 2005 Insiden HIV

positif sekitar 859 kasus. Akan tetapi pada tahun 2015, angka tersebut mencapai 30,935 kasus (

sebesar 36% ).

Lain halnya dengan trend pada kasus baru AIDS yang menunjukkan kecenderungan peningkatan

penemuan kasus hingga tahun 2013. Namun pada tahun 2014 dan 2015 trend mengalami

penurunan. Akan tetapi secara kumulatif prevelansi kasus AIDS yang ada sampai tahun 2015

sebesar 77,112 kasus (RI 2015).

Bagan 4 Gambaran Situasi Estimasi Kasus HIV/AIDS di Provinsi Bali Tahun 2010 - 2015 (

Profil Kesehatan Bali,2015 )

  42  
 
 

Bali merupakan provinsi pertama kali ditemukan kasus HIV/AIDS di Indonesia pada tahun 1987.

Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Bali tahun 2015, Provinsi Bali memiliki permasalahan

kasus HIV/AIDS yang cukup tinggi. Bali menduduki peringkat 4 tertinggi kasus HIV/AIDS di

Indonesia. Berdasarkan data dari, dilaporkan ada sebanyak 1563 kasus HIV positif di Bali dan

sebesar 966 kasus AIDS di Bali (Bali 2016).

  43  
 
 

  44  
 
 

PENCEGAHAN HIV/AIDS

Permasalahan HIV/AIDS telah menjadi beban kesehatan masyarakat global dimana kasusnya

telah tercatat peningkatannya terus menerus baik di negara maju maupun negara berkembang.

Sehingga perlu adanya upaya yang lebih efektif untuk menangani penyakit AIDS ini dengan

upaya pencegahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata pencegahan diartikan

sebagai proses, cara, perbuatan mencegah atau penolakan terhadap suatu hal. Bila

dispesialisasikan dalam bahasa kesehatan , pengertian dari pencegahan adalah segala bentuk aksi

yang bertujuan untuk mencegah penyakit agar tidak sampai terjadi. Pencegahan juga bisa berarti

upaya untuk mengeradikasi, eliminasi dan mengurangi dampak dari penyakit dan

ketidakmampuan manusia (Porta 2008).

Macam-macam pencegahan terdiri dari pencegahan primer, pencegahan sekunder dan

pencegahan tersier. Berikut penjelasan dari macam-macam pencegahan penyakit HIV/AIDS :

PENCEGAHAN PRIMER

Pencegahan primer merupakan pencegahan garda terdepan dimana pencegahan ini bertujuan

untuk mengurangi insiden dari suatu penyakit. Pencegahan ini lebih mensasar pada pendekatan

perseorangan dan komunitas seperti promosi kesehatan dan upaya proteksi spesifik (Porta 2008).

Pencegahan ini hanya dapat efektif apabila dilakukan dan dipatuhi dengan komitmen masyarakat

dan dukungan politik yang tinggi

Dalam permasalahan HIV/AIDS , pencegahan primer sangatlah diharapkan untuk menjadi upaya

terbaik dalam menekan peningkatan kejadian kasus HIV/AIDS. Biasanya pencegahan primer

lebih menitikberatkan pada peningkatan pengetahuan,sikap dan perilaku seseorang dan

  45  
 
 

komunitas terhadap penyakit HIV/AIDS dan metode penularannya. Berikut contoh upaya

pencegahan primer untuk penyakit HIV/AIDS yang dapat dilakukan :

PROMOSI KESEHATAN

a) Penyuluhan Kesehatan menjadi upaya yang sering dilaksanakan dalam pencegahan

HIV/AIDS. Upaya ini sebagai upaya pencerdasan bagi sasaran komunitas untuk

memperbaiki pengetahuan dan persepsi tentang penyakit,Faktor risiko,metode penularan

dan pencegahan dari Penyakit HIV/AIDS (Chin & Editor 2000). Kegiatan penyuluhan ini

dilakukan pada kelompok yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV yaitu anak-anak,

remaja, kelompok Penasun ( pengguna Narkoba dan suntik ), Kelompok pekerja seks,

berganti-ganti pasangan seks dan lain lain. Hampir seluruh kelompok umur berisiko

untuk penyakit ini. Akan tetapi sekitar 40% kelompok yang berisiko adalah kelompok

remaja usia 20 – 29 tahun (K et al. 2010).

b) Beberapa survei menyebutkan adanya pemahaman masyarakat yang masih minim terkait

penyakit HIV/AIDS, sehingga upaya penyuluhan ini menjadi langkah awal dalam

pengendalian penyakit HIV/AIDS. Metode penyuluhan sangat bervariasi diantaranya

melalui ceramah dengan media poster dan leaflet, diskusi, Forum Group Discussion dan

membentuk KSPAN ( Kelompok Siswa Peduli HIV/AIDS ) pada tiap sekolah yang

dilatih dan dibina untuk menjadi edukator untuk melakukan penyuluhan kepada teman-

teman sekolah (S et al. 2012).

c) Pada negara afrika tepatnya di morogoro, ada sebuah program sosial yang bersinergi

dengan puskesmas setempat untuk memberikan penyuluhan terkait penyakit HIV/AIDS

kepada kelompok ibu-ibu khususnya ibu hamil pada program Integrated maternal and

newborn health care. Program ini diimplementasikan oleh kementerian kesehatan dan

  46  
 
 

keadilan sosial negara melalui Jhpiego, dan seluruh 18 departemen kesehatan di 4

wilayah rural dan peri-urban. Jadi program ini dilakukan pada daerah rural dan peri-

urban. Jadi program ini diintegrasikan dengan dilakukannya tes HIV dan dilanjutkan pada

upaya edukasi (An et al. 2015).

PROTEKSI SPESIFIK

Penularan virus HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksual dengan orang yang berisiko,

penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan bebarengan, dan penularan dari ibu hamil ke

janinnya. Adapun upaya proteksi spesifik yang sudah direkomendasikan untuk pengendalian

penyakit HIV/AIDS sebagai berikut :

a) Menurut permenkes nomor 21 tahun 2013 telah dijelaskan penanggulangan HIV/AIDS

pada pasal 14 tentang pencegahan HIV/AIDS melalui hubungan seksual dilakukan

melalui :

-­‐ Tidak melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berisiko.

-­‐ Setia dengan pasangan

-­‐ Menggunakan kondom secara konsisten pada saat berhubungan

  47  
 
 

-­‐ Menghindari penyalahgunaan obat atau zat adiktif narkoba

-­‐ Melakukan pencegahan lain seperti melakukan sirkumsisi.

Dalam melakukan hubungan seksual, proteksi penularan HIV/AIDS dapat efektif

dilakukan untuk mengurangi risiko melalui (Men & Estimate 2015) :

-­‐ Mempunyai satu pasangan seks yang berisiko rendah

-­‐ Pasangan seks sesama ODHA ( Orang dengan HIV/AIDS )

-­‐ Dan tidak melakukan hubungan seks

b) Adapun proteksi penularan HIV/AIDS yang tidak melalui hubungan seksual diantaranya

pembuatan program layanan alat suntik steril dan tes darah sebelum melakukan transfusi

darah.

PENCEGAHAN SEKUNDER

Pencegahan sekunder merupakan pencegahan lini kedua dari teori pencegahan penyakit.

Pencegahan sekunder bertujuan untuk mengurangi dan meminimalisir prevalensi penyakit

dengan durasi waktu yang cukup singkat. Pencegahan sekunder terdiri dari deteksi dini dan

pengobatan tepat (Porta 2008). Berikut salah satu contoh upaya pencegahan sekunder sebagai

berikut :

DETEKSI DINI

Salah satu deteksi dini yang dapat diupayakan adalah perlindungan buruh migran Indonesia

khususnya BMI ( Buruh Migran Indonesia ) melalui upaya deteksi dini di bandara dan

pelabuhan. Deteksi dini yang dilakukan berupa mencermati aktivitas oleh BMI ketika proses

pemberangkatan dan kedatangan di bandara dan pelabuhan di Surabaya Jawa timur. Pengamatan

dilakukan dengan pemberian pertanyaan terkait permasalahan kesehatan dan cek kesehatan

  48  
 
 

berdasarkan risiko HIV/AIDS yang ada. Selanjutnya hasil dari pengamatan tersebut di laporkan

oleh petugas di Gedung Pendataan Kepulangan Khusus Tenaga Kerja Indonesia ( GPKTKI ).

Harapannya hasil dari pengamatan tersebut bisa menjadi dasa ran utama untuk intervensi dini

dan pengaturan langkah selanjutnya untuk pengobatan lebih dini (Kinasih et al. 2015).

Contoh dalam upaya deteksi dini HIV/AIDS adalah pada sasaran kelompok berisiko tinggi yaitu

kelompok pekerja seks. Upaya yang dilakukan hampir sama pada penjelasan sebelumnya. Beda

nya dalam pemantauan ini , pihak dari puskesmas setempat yang berwewenang untuk melakukan

pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan mendata tempat-tempat yang digunakan sebagai

lokalisasi masyarakat (Kakaire et al. 2015).

PENGOBATAN TEPAT

Pengobatan yang spesifik merupakan upaya tepat setelah mendapatkan pelaporan dari deteksi

dini. Walaupun HIV/AIDS sampai saat ini belum ditemukan obat paten untuk menyembuhkan

HIV/AIDS, namun peranan obat ini dapat menjadi penghambat dan memperpanjang

perkembangan virus HIV di dalam tubuh.

Sebelum ditemukan pengobatan ARV ( Anti Retrovirus ) yang ada saat ini, pengobatan yang ada

hanya disasarkan pada penyakit opportunistik yang diakibatkan oleh infeksi HIV. Berikut

macam-macam pengobatan yang digunakan :

-­‐ Penggunaan TMP-SMX oral untuk profilaktif

-­‐ Pentamidin aerosol untuk mencegah pneumonia P. Carinii.

-­‐ Tes tuberkulin pada penderita TBC aktif.

  49  
 
 

Pada tahun 1999, telah ditemukan satu-satunya obat yang dapat mengurangi risiko penularan

HIV/AIDS perinatal dengan penggunaan AZT. Obat ini diberikan sesuai dengan panduan yang

sesuai.

Akhirnya WHO merekomendasikan untuk penggunaan Anti retroviral bagi para penderita

HIV/AIDS. Keputusan untuk memulai dan merubah terapi ARV harus dipantau dengan

memonitor hasil pemeriksaan lab baik plasma HIV RNA ( Viral load ) maupun jumlah sel CD4

+ T (Rumah & Sanglah 2011).

PENCEGAHAN TERSIER

Pencegahan tersier merupakan lini terakhir dari tahap pencegahan penyakit. Pencegahan tersier

bertujuan untuk membatasi akibat dari penyakit yang dapat terjadi pada jangka waktu yang

relatif lama dan juga memperbaiki kualitas hidup seseorang untuk bisa lebih membaik (Porta

2008).

Dalam topik penyakit HIV/AIDS hampir dipastikan orang yang terinfeksi HIV/AIDS akan

berujung pada kematian. Beberapa contoh yang bisa diterapkan adalah penggunaan terapi ARV.

Hingga sampai saat ini, hanya ARV yang masih menjadi terapi efektif untuk menghambat

perkembangan virus HIV dalam menyerang CD4+T. Keterlambatan dalam penggunaan terapi

ARV akan meningkatkan mortalitas (Rumah & Sanglah 2011).

  50  
 
 

PENUTUP

Penyakit HIV/AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus HIV yang dapat

menyerang sel limfosit T yang berujung pada penurunan dan kerusakan sistem imunitas manusia.

Penyakit ini tergolong penyakit yang mengkhawatirkan disebabkan jumlah kasus HIV/AIDS

selalu mengalami peningkatan tiap tahunnya.

Penyakit ini dapat ditularkan melaui 3 cara yaitu hubungan seksual, non hubungan seksual dan

dari ibu ke janinnya. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan secara efektif adalah menekan

peningkatan kasus dengan mengintervensi dari metode penularan. Menurut penulis, hingga saat

ini pencegahan prmer merupakan langkah yang diprioritaskan untuk mengendalikan penularan

penyakit HIV/AIDS. Pencegahan primer ini dilakukan pada kelompok-kelompok yang berisiko

tinggi terhadap penularan HIV/AIDS seperti anak-anak remaja, para ibu hamil, pekerja seks,

tenaga medis , dan kelompok yang berinteraksi dengan hubungan seksual.

Pencegahan primer akan berjalan optimal apabila disertai dengan adanya deteksi dini pada setiap

pos-pos kelompok berisiko yang harapannya akan ada upaya tindak lanjut segera untuk

mengintervensi perkembangan virus HIV/AIDS. Setelah mendapatkan kasus HIV positif

perlunya support dari segala pihak untuk penggunaan terapi ARV. Sehingga penyebaran

HIV/AIDS bisa mulai diminimalisir mulai dari diri sendiri, keluarga dan masyarakat sekitar.

  51  
 
 

DAFTAR PUSTAKA

1. An, S.J. et al., 2015. Program synergies and social relations  : implications of integrating

HIV testing and counselling into maternal health care on care seeking. , pp.1–12.

2. Bali, D.K.P., 2016. Profil Ksehatan Provinsi Bali Tahun 2015.

3. Chin, J. & Editor, M.P.H., 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular.

4. Di, S.H.- et al., DINAMIKA EPIDEMI HIV. , 3445.

5. K, E.N., W, L.P.L. & P, D.L.S.G., 2010. PROMOSI KESEHATAN DI SEKOLAH

PADA REMAJA DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT HIV / AIDS DI

KOTA DENAPASAR. , 11(2), pp.55–58.

6. Kakaire, O. et al., 2015. Clinical versus laboratory screening for sexually transmitted

infections prior to insertion of intrauterine contraception among women living with HIV /

AIDS  : a randomized controlled trial. , 30(7), pp.1573–1579.

7. Kementerian Kesehatan RI, 2014. Infodatin AIDS.

8. Kinasih, S.E. et al., 2015. Perlindungan buruh migran Indonesia melalui deteksi dini HIV

/ AIDS pada saat reintegrasi ke daerah asal The protection of Indonesian migrant workers

through early detection of HIV / AIDS at the time of reintegration into the place of

origin. , pp.198–210.

9. Men, H. & Estimate, E., 2015. Effectiveness of Prevention Strategies to Reduce the Risk

of Acquiring or Transmitting HIV. , 365(December), pp.1–7.

10. Porta, M., 2008. A Dictionary of Epidemiology Fifth Edit.,

11. RI, K.K., 2015. Profil Kesehatan Indonesia,

  52  
 
 

12. Rumah, D.I. & Sanglah, S., 2011. PENGARUH PEMBERIAN KOMBINASI ANTI

RETRO VIRUS LEBIH AWAL TERHADAP MORTALITAS PADA KO-INFEKSI TB-

HIV. J Peny Dalam, Volume 12, pp.121–125.

13. S, A.A.S. et al., 2012. PENYULUHAN TENTANG PENCEGAHAN DAN

PENULARAN HIV / AIDS PADA SISWA / I SMP KERTHA WISATA

TEGALALANG GIANYAR. , 11(2), pp.52–54.

  53  
 

Anda mungkin juga menyukai