Anda di halaman 1dari 826

£ r im i $

m p r -

LfNiVEKSliAS
INPOSSSJA

\ A K V l JAN

Kl: D O KTl: RAN

NEUROLOGI
ED ITO R
TIARA ANINDITHA
WINNUOROHO WIRATMAN

D I M 1 T IM IN N E U R O W G I
FA K U LtT A S K I D O K .T E E A N U N IV E X IS IT A S IN I> O N E S lA --
Buku Ajar Neurologi

Hak Cipta Dilindungi Undang-Vndang

Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku
ini dengan cara dan dalam bentuk apapun jug a tanpa seizin editor dan penerbit.

BUKU AJAR NEUROLOGI


18x23
H alam an: i -xli / 3 42

D iterb itk an p ertain a kali oleh :


DEPARTEMEN NEUROLOGI
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah SakitCipto M angunkusumo
Jakarta, 2 0 1 7

Cetakan p e rta m a : Maret, 2 0 1 7

D icetak p e rta m a kali oleh ;


PENERBIT KEDOKTERAN INDONESIA
Tangerang
Email perkisa.indonesia@gmailcom

ISBN: 9 7 8 - 6 0 2 - 7 4 2 0 7 - 4 - 8
Baku Ajar Neurologi

KONTRIBUTOR
Adre Mayza
Ahmad Yanuar Safri
A1 Rasyid
Amanda Tiksnadi
Astri Budikayanti
Darma Imran
Diatri Nari Lastri
Eva Dewati
Fitri Octaviana
Freddy Sitorus
Henry Riyanto Sofyan
Jan Sudir Purba
Luh Ari Indrawati
Manfaluthy Hakim
Mohammad Kurniawan
Ni Nengah Rida Ariarini
Pukovisa Prawiroharjo
Rakhmad Hidayat
Riwanti Estiasari
Salim Harris
Siti Airiza Ahmad
Taufik Mesiano
Teguh AS Ranakusuma
Tiara Aninditha
Winnugroho Wiratman
Yetty Ramli
Zakiah Syeban
Ade Wijaya
Dyah Tunjungsari
Kartika Maharani
Ramdinal Aviesena Zairinal
Rima Anindita Primandari
Wiwit Ida Chahyani

SEKRETARIS
Intan Nurul Azni
Mumfaridah

ILUSTRATOR
Marshal Sumampouw
Ni Nengah Rida Ariarini
Uti Nilam Sari

COVER
Ni Nengah Rida Ariarini

ill
Buku Ajar Neurologi

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT Tuhan Pencipta sem esta alam, karena atas berkat RahmatNya
kita diberi kesem patan dan kemampuan m empelajari ciptaanNya, ilmu Neurologi yang
menakjubkan. Ilmu ini sangat sempurna dan sangat khusus, yaitu susunan saraf pusat,
susunan saraf otonom, dan susunan saraf tepi, serta hubungan timbal balik sistem dan
organ {brain-m ind-behaviour dan brain-neural-vascular-network-system -organs] dal am
keadaan sehat maupun sakit akibat berbagai faktor, yaitu vaskular, inflamasi, trauma,
autoimun, metabolik, iatrogenik, dan neoplasma (VITAMIN).

Para ahli penyandang ilmu saraf atau neurologi, disebut neurolog, mempunyai hak
dan kewajiban dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kedokteran, dan kesehatan
(IPTEKDOKKES). Oleh karena itu, setiap neurolog wajib m em pelajari ilmu itu secara
tuntas, dalam keadaan sehat maupun sakit dan cacat, sebagai upaya m empertahankan
maupun meningkatkan kualitas hidupnya. Proses tersebut perlu mengikutsertakan
semua strata penyedia kesehatan dalam masyarakat, antara lain pasien sendiri, keluarga,
kerabat kerja, perawat, dokter layanan pertama, sistem kedaruratan medis, neurolog
umum dan subspesialis, serta penyandang disiplin ilmu lainnya, dalam tim yang terpadu
struktural dan nonsktuktural di kehidupan m asyarakat dan bernegara.

Maka melalui buku ajar ini, seseorang mendapat kesem patan mengetahui, memahami,
dan menghayati ilmu yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa dan Sang Pencipta
sebagai bekal m enjalani kehidupan yang berguna untuk dirinya, orang lain, dan dunia
ingkungannya.

Mempelajari neurologi bagaikan menyusun kepingan-kepingan puzzle dari anamnesis


dan pem eriksaan fisik neurologis yang sistem atis untuk m embentuk suatu gambar yang
ituh dan memiliki makna. Kepingan kepinganan tersebut berupa simtom (gejala dan
teluhan) serta tanda-tanda berbagai penunjang baik klinis, laboratorium, radiologis, dan
ain-lain sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Gambaran yang utuh akan membawa ke
:egaknya suatu diagnosis, yang tentunya harus diikuti dengan langkah tata laksana yang
:epat, tepat, cerm at, akurat, serta dapat dipertanggungjawabkan.

v
Buku Ajar Neurologi

Semoga melalui buku ajar yang berhasil disusun dari berbagai sum ber aktivitas
profesional di Departemen Neurologi FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo ini dapat
menambah khazanah literatur ilmu kedokteran dan kesehatan serta pengetahuan
pembaca sekalian dalam upaya peningkatan kualitas hidup manusia. Teruslah belajar
jangan pernah berhenti. Karena ilmu berlimpah telah disediakan oleh Tuhan Yang Maha
Kuasa dan Maha Penyayang pada umat dan alam semestaNya.

Belajarlah-bacalah-pikirkanlah... iqra ; iqra. Semoga Allah SWT selalu melindungi kita


aamiin.

Teguh A.S. Ranakusuma

Guru Besar Departemen Neurolog:


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

vi
Bukit Ajar Neurologi

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT karena buku ini dapat selesai atas pertolongan dan
rahmatNya. Kami sangat menghargai kerja keras para penyusun dan pihak-pihak lain
yang berkontribusi terhadap terbitnya buku ini. Untuk semua perjuangan yang panjang,
kami ucapkan terim a kasih, Insya Allah buku ini menjadi investasi amal yang terus
mengalir sepanjang kegunaannya.

Perkembangan ilmu neurologi terus berkem bang setiap saat. Selain itu, anggapan selama
ini yang ada di kalangan mahasiswa atau tem an sejaw at adalah ilmu neurologi sulit untuk
dipahami. Kebutuhan akan ketersediaan sum ber kepustakaan yang mudah dimengerti
merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu, Departemen Neurologi FKUI/RSCM
menyusun buku ajar ini, yang diharapkan setelah membacanya, ilmu neurologi menjadi
lebih dimengerti dan semakin tertarik untuk mendalaminya.

Buku ajar ini adalah persem bahan dari kami untuk seluruh mahasiswa kedokteran,
peserta program studi dokter spesialissaraf, dan tem an sejawat, serta orang yang tertarik
m empelajari ilmu neurologi. Dengan adanya buku ini, semoga kita dapat bersam a-sam a
memajukan ilmu neurologi dan meningkatkan kualitas pelayanan pasien.

Diatri Nari Lastri

Ketua Departemen Neurologi


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Vll
Buku Ajar Neurologi

KATA PENGANTAR G u ru B e s a r
Teguh AS Ranakusuma ................... ......................... v
K etu a D ep a rtem en
Diatri Nari L a s tri................. ............ ................. . vii

1. Pen d ek atan Klinis Gangguan N eu rolo gis..... 3


Tiara Aninditha, Ni Nengah Rida Ariarini,
Pukovisa Prawiroharjo
NEUROLOGI UMUM 2. P en u ru n an K e s a d a r a n ..................................... 16
Tiara Aninditha, Pukovisa Prawiroharjo
3. P en in g k atan T ek an an I n tr a k r a n ia l............. 36
Taufik Mesiano
4 . Pun gsi Lum bal d an A nalisis
C airan S e r e b r o s p in a l......................... 45
Riwanti Estiasari, Ramdinal Aviesena Zairinal,
Kartika Maharani
5. Evaluasi N eurologis P e rio p e ra tif................... 53
Mohammad Kurniawan

6. B an g k itan d an E p ile p s i................................... 75


Fitri Octaviana, Astri Budikayanti,
Winnugroho Wiratman, Luh Ari Indrawati,
EPILEPSI Zakiah Syeban

7. S tatu s E p ile p tik u s .............. ............... 98


Luh Ari Indrawati, Winnugroho Wiratman,
Astri Budikayanti, Fitri Octaviana, Zakiah Syeban

IX
Buku Ajar Neurologi

8. Penyakit Parkinson..................................... 109


Eva Dewati, Dyah TunjungsariNiNengah Rida Ariarini
9. Hemifasial Spasme......... 136
GANGGUANGERAK Amanda Tiksnadi

10. Neurobehavior Dasar dan


Pemeriksaannya.......... . ........ 149
Adre Mayza, Diatri Nari Lastri
NEUROBEBAVIOR 11. A fasia............... ..... . ....... 181
Pukovisa Prawiroharjo, Amanda Tiksnadi,
Diatri Nari Lastri
12. Mild Cognitive Impairment.................. ...... 195
Yetty Ramli
13. Demensia.................... ....... . ....... 205
Diatri Nari Lastri

14. Infeksi Tuberkulosis pada


Susunan Saraf Pusat................ ....... .......... . 227
Darma Imran
NEUROINFEKSI DAN 15. Infeksi Oportunistik
NEUR0IMUN0L0GI Susunan Saraf Pusat pada AIDS......... .... 239
Darma Imran, Riwanti Estiasari, Kartika Maharani
16. Multipel Sklerosis............... ....................... 249
Riwanti Estiasari
17. Neuromielitis Optik.................................. 258
Riwanti Estiasari

x
Buku Ajar Neurologi

18. Vertigo Vestibular Sentral...... ................ 267


Eva Dewati
19. Vertigo Vestibular P erife r ........ . ........ 271
NEUROOTOOMOLOGI- Freddy Sitorus, Ni Nengah Rida Ariarini,
NEURO0TOLOGI Kartika Maharani
20. Gangguan Gerakan Bola Mata........... ....... 285
M Nengah Rida Ariarini

INDEKS

XI
NEU ROLOGfUMUM
Pendekatan Minis Gangguan Neurologis
Penurunan Kesadaran
Peningkatan Tekanan Intrakranial
Pungsi Lumbal dan Analisis Cairan Serebrospinal
Evaluasi Neurologis Perioperatif
PENDEKATAN KLINIS GANGGUAN NEUROLOGIS

1 Tiara Aninditha, Ni Nengah Rida Ariarini,


Pukovisa Prawiroharjo

PENDAHULUAN sistem persarafan itu demikian luas, maka


Seperti halnya di dalam ilmu kedokteran, defisit neurologis dapat bersinggungan di-
pendekatan Minis gangguan neurologis sangat pelajari di disiplin ilmu kedokteran lain.
ditentukan dari anamnesis dan pemeriksaan Bahkan defisit neurologis pada fungsi luhur
fisik. Anamnesis terutama bertujuan untuk dipelajari juga di luar disiplin ilmu kedok­
mendapatkan ada tidaknya defisit neuro­ teran dan kesehatan, seperti Psikologi, Ilmu
logis yang kemudian dibuktikan secara Pendidikan, Ilmu Manajemen, dan sebagainya.
obyektif pada pemeriksaan fisik. Berbeda
Secara umum berdasarkan keterlibatan
dengan organ lainnya, pembuatan diagno­
sistem saraf, defisit neurologis dapat dibagi
sis pada gangguan neurologis juga disertai
menjadi fokal maupun global. Defisit neu­
dengan diagnosis topis untuk dugaan letak
rologis fokal adalah gejala dan tanda akibat
lokasi penyebab munculnya gejala Minis,
kerusakan dari sekelompok sel saraf atau
serta diagnosis etiologi dan patologis untuk
jarasnya di suatu area tertentu (fokal). Misal-
kemungkinan mekanisme penyebab kelainan-
nya pada pasien yang mengalami kelemahan
nya. Hal ini dapat dibuat bahkan sebelum
(paresis) sesisi tubuh kanan, maka kemung­
dilakukan pemeriksaan penunjang dengan
kinan ada gangguan di sistem piramidalis
mengikuti prinsip cara kerja otak yang
mulai dari korteks motorik primer hingga
sangat sistematis. Oleh karena itu, anam­
jarasnya ke otot. Karena sistem piramidalis
nesis dan pemeriksaan fisik yang teliti yang
hanyalah bagian dari seluruh sistem saraf,
menghasilkan diagnosis Minis, topis, etiolo-
maka kelemahan sesisi sebagai gangguan
gis, dan patologis akan sangat membantu
sistem motorik dikategorikan sebagai de­
menentukan pemeriksaan yang dibutuhkan
fisit fokal.
serta tata laksana yang tepat.
Defisit neurologis lainnya yang dapat di­
DEFISIT NEUROLOGIS kategorikan defisit neurologis fokal di an-
Defisit neurologis adalah istilah yang dipakai taranya:
untuk suatu gejala dan tanda yang muncul 1. Paresis dengan berbagai polanya, di an-
pada pasien akibat gangguan di sistem per- taranya hemiparesis sesisi/alternans/
sarafan, baik sel otaknya (neuron/sel glia) dupleks, tetraparesis, paraparesis, pare­
hingga jarasnya (akson) dari reseptor untuk sis pada miotom saraf tertentu, paresis
sistem sensorik, maupun ke target organ pada polineuropati, dan sebagainya.
dalam sistem motorik dan otonom. Karena

3
Baku Ajar Neurologi

2. Gangguan gerak motorik meliputi gerakan Defisit neurologis global adalah jika pada geja-
involunter (misalnya tremor, balismus, fa dan tanda diakibatkan oleh kerusakan saraf
dan sebagainya) dan gangguan koordinasi yang luas, difus, atau menyeluruh. Meskipun
otot (misalnya diskinesia, dismetria, dan nantinya pada analisis lanjutan dari sinte-
sebagainya). sis diagnosis topis yang paling cocok ternyata
3. Gangguan pola pernapasan. hanya suatu lesi fokal tertentu yang mengaki-
batkan gejala dan tanda ini terjadi.
4. Kejang fokal, misal mulut mencong ke satu
sisi, salah satu tangan bergerak-gerak, dan Beberapa gejala dan tanda yang dikategori-
lain-lain. kan defisit neurologis global di antaranya
5. Gangguan sensorik eksteroseptif hipestesi adalah:
atau hiperestesi seperti hiperalgesia dan 1. Penurunan kesadaran, karena salah satu
alodinia, maupun proprioseptif. diagnosis topis bandingnya adalah keru­
6. Gangguan sensorikproprioseptif, misalnya sakan hemisfer serebri bilateral, meskipun
hipestesi untuk sensasi getar dan posisi. dapat pula disebabkan lesi fokal pada as­
7. Gangguan sensorik khusus akibat gang­ cending reticular activating system (ARAS).
guan sistem saraf, seperti sistem visual 2. Delirium, sebagai bagian dari penurunan
(pola hemianopia, kuadranopia, buta kor- kesadaran.
tikal, dan sebagainya), sistem penghidu 3. Kejang umum, misal kaku atau kelojotan
(hipo/anosmia, kakosmia, dan sebagainya), pada kedua sisi ekstremitas secara ber-
sistem pendengaran (tuli perseptif dan samaan.
sebagainya), dan sistem pengecapan.
4. Nyeri kepala yang difus, karena bisa akibat
8. Gangguan keseimbangan misalnya vertigo perangsangan serabut peka nyeri intrakra-
dan ataksia. nial yang difus.
9. Nyeri fokal seperti nyeri leher, punggung 5. Sindrom peningkatan tekanan intrakranial.
bawah, dan sebagainya.
6. Demensia, karena salah satu diagnosis
10. Gangguan otonom misalnya sindrom bandingnya adalah atrofi serebri meny­
Horner, hipo atau hiperhidrosis, hipotensi eluruh.
ortostatik, inkontinensia atau retensi uri
Untuk melatih cara berpikir, pada pembuatan
dan alvi, serta gangguan ereksi dan ejaku-
diagnosis neurologis pada kegiatan akademik,
lasi akibat gangguan sistem saraf.
tidak hanya memerlukan diagnosis klinis,
11. Gangguan fungsi luhur fokal, seperti afasia, tetapi juga dianalisis lebih lanjut menjadi di­
akalkulia, amnesia, dan seterusnya. agnosis yang khas berupa: diagnosis Idinis,
12. Gangguan neuropsikiatrik fokal, misal­ topis, etiologis, dan patologis.
nya agitasi, depresi, dan sebagainya.
Malta langkah-langkah merangkai defisit
13. Sindrom neurologis yang bersifat fokal, neurologis menjadi suatu kajian diagnosis
misalnya sindrom lobus frontal dan se­ yang lengkap diperlukan anamnesis dan
bagainya. pemeriksaan fisik yang teliti.

4
Pendekatan Klinis Gangguan Neurologis

ANAMNESIS pertolongan. Pasien dibiarkan menjelaskan


Pada anamnesis perlu dilakukan beberapa keluhan dengan istilahnya sendiri, kemu-
langkah penting, yaitu: dian diarahkan dengan lebih spesifik oleh
a. Inventarisasi keluhan (gejala yang dira- dokter pemeriksa. Namun dalam neurologi,
sakan secara subyektif oleh pasien). pemeriksa harus bisa mendapatkan 3 hal dari
anamnesis, yaitu durasi dan perjalanan penya­
b. Dari inventarisasi keluhan itu turut dipi-
kit, lesi bersifat fokal atau difus (menyeluruh),
lah jika ada yang masuk ke dalam suspek
serta kemungkinan komponen sistem saraf
(kecurigaan) defisit neurologis.
yang terkena. Hal ini disebabkan oleh kerja
c. Keluhan termasuk defisit neurologis dia- sistem saraf pusat (SSP) yang sangat rapi dan
nalisis dari sisi kronologis waktu (durasi, sistematis. Setiap area di SSP sudah mempu-
awitan/onset), kemunculan (insidens, nyai fungsi tersendiri, sehingga kerusakan di
frekuensi), intensitas gejala (progresivi-
area tertentu sudah pasti akan menyebabkan
tas memburuk, membaik, atau acak), dan
gejala yang khas sesuai dengan fungsinya, apa-
faktor yang memperburuk atau mengu-
pun penyebabnya. Dengan mengetahui durasi
rangi gejala.
waktu, serta daerah dan perldraan luasnya lesi,
d. Riwayat penyakit dahulu, termasuk pada maka anamnesis saja sudah dapat membantu
anak adalah riwayat tumbuh kembang, perldraan diagnosis dan kemungkinan penye­
kehamilan dan persalinan, dan vaksina- bab dengan lebih seksama.
si. Perdalam anamnesis tentang analisis
faktor risiko tertentu, misalnya hiper- Onset yang bersifat akut (dalam hitungan
tensi, diabetes melitus atau penyakit jan- menit atau jam) dimungkinkan oleh kelain-
tung koroner pada pasien yang dicurigai an vaskular atau kejang. Kelainan vaskular
etiologinya vaskular. berupa cerebrovascular disease atau smoke
berlangsung akut saat pasien sedang berakti-
e. Riwayat penyakit keluarga; beberapa pe­
nyakit neurologis bersifat genetik yang vitas atau bangun tidur. Gejala dapat sangat
terdapat riwayat keluraga yang sama, bervariasi tergantung pada pembuluh darah
seperti amyotrophic lateral sclerosis otak yang terkena, hingga menyebabkan
(ALS), epilepsi, migren, dan sebagainya. gangguan pada bagian otak tertentu. Pasien
akan mengalami gejala yang bersifat fokal,
f. Riwayat pajanan, sosial ekonomi, budaya,
seperti kelemahan tubuh sesisi (hemipare-
dan kebiasaan yang relevan; pasien dengan
sis), rasa baal/kesemutan pada tubuh sesisi
keluhan nyeri punggung bawah misalnya,
(hemihipestesia/hemiparestesia), kesulitan
perlu diketahui faktor sosio-ekonomi dan
kebiasaan untuk menentukan penyebab menelan (disfagia), bicara cadel (disartria),
nyerinya serta edukasi untuk pencegahan dan sebagainya secara mendadak.
nyeri berikutnya. Kadang gejala tidak segera disadari baik oleh
Anamnesis neurologi pada dasarnya sama pasien maupun lingkungannya, seperti gang­
dengan anamnesis pada umumnya, dimulai guan fungsi kognitif. Pasien bisa mendadak
dengan gejala yang menyebabkan pasien terlihat linglung atau tidak mengerti pem-
datang atau dibawa untuk mendapatkan bicaraan orang (afasia sensorik) atau tidak

5
Buku Ajar Neurologi

dapat mengeluarkan kata-kata dengan jelas nesis khusus lengkap dapat dilihat pada topik-
(afasia motorik). Apalagi jika gejala bersifat topik yang terkait selanjutnya.
singkat, tidak sampai 24 jam sudah terjadi
Berdasarkan anamnesis, seorang dokter harus
perbaikan sempurna, yang disebut sebagai
sudah dapat memperldrakan apakah kelainan
transient ischemic attack . Namun pada prin-
yang terjadi bersifat lokal atau difus. Hal ini
sipnya, seminimal apapun kelainan yang
cukup mudah dengan mempertimbangkan
muncul selama berlangsung mendadak, baik
prinsip kerja SSP yang bersifat simetris, bahwa
membaik sempurna atau menetap, maka
kedua sisi otak akan bekerja bersama-sama
dapat dicurigai sebagai suatu serangan stroke.
memberi impuls yang sama kuatnya ke kedua
Gejala stroke dapat berat jika meliputi area sisi. Sifat simetris ini yang menyebabkan se-
otak yang luas akibat besarnya pembuluh seorang dapat berdiri tegak di tengah, perge­
darah yang tersumbat pada stroke iskemik rakan bola mata yang seiring dan seirama
atau besarnya hematoma seperti atau stroke saat melirik ke arah manapun, ekspresi wajah
hemoragik. Hal ini menyebabkan pasien bisa yang sama kuatnya saat pasien berbicara atau
mengalami penurunan kesadaran hingga tersenyum, dan sebagainya.
koma. Pada perdarahan subaraknoid pasien
Oleh karena itu, setiap hal yang tidak simetris
didahului dengan sakit kepala hebat yang be-
harus dicurigai sebagai adanya kelainan di satu
lum pernah dialami sebelumnya.
sisi. Adanya defisit neurologis fokal, seperti
Pada onset akut akibat kejang, gejalanya bicara cadel, wajah terlihat mencong, berjalan
biasanya khas berupa pergerakan abnor­ miring ke satu sisi, atau penglihatan dobel
mal tubuh baik sebagian atau kedua sisi tu- (diplopia) menunjukkan lesi di satu sisi/bagian
buh sekaligus secara involunter yang tidak otak Demikian pula jika seseorang dilaporkan
dapat dihentikan oleh pasien. Kejang dapat kejang dengan pergerakan pada hanya satu
didahului dengan aura, seperti halusinasi, sisi tubuh atau wajah tertarik ke satu sisi akan
terlihat bingung, mengecap-ngecap, atau dianggap sebagai suatu lesi fokal.
sensasi aneh di epigastrium. Kalaupun ke­
Sebaliknya jika bersifat difus, kelainan justru
jang berlangsung lama hingga hitungan jam,
akan bersifat simetris. Misalnya pada kejang
maka pasien biasanya akan mengalami penu­
akan terlihat pergerakan pada kedua tangan
runan kesadaran setelah kejang. Harus dibeda-
dan Itakinya sekaligus, yang disebut sebagai ke­
kan juga dengan malingering pada gangguan
jang umum. Kelainan yang difus biasanya lebih
psikiatri, yang biasanya serangan selalu ter­
menyebabkan penurunan kesadaran tanpa
jadi saat ada orang lain yang memerhatikan,
adanya defisit fokal, seperti gangguan meta-
tidak pernah saat pasien sedang sendirian,
bolik (syok hipovolemik, hiper/hipoglikemia,
serta terdapat stresor sebelumnya. Pada onset
hiper/hiponatremia, dan sebagainya) yang
yang subakut (berjam-jam hingga harian) ter­
mengganggu kerja otak secara keseluruhan.
jadi pada reaksi inflamasi (meningitis, abses
serebri, sindrom Guillain Barre) yang biasa­ Terakhir, dalam anamnesis sudah harus
nya didahului oleh demam. Onset yang lebih dapat diperkirakan, sistem SSP bagian mana
kronik mengarah kepada neoplasma. Anam­ yang terkena. Secara umum, sistem saraf ter-

6
Pendekatan Klinis Gangguan Neurologis

bagi dalam 4 area kerja yang berbeda, yaitu: nesis kekuatan ekstremitas yang mengalami
sistem saraf perifer, medula spinalis, intrakra- kelemahan. ]ika kekuatan tangan sama dengan
nial fossa posterior (termasuk batang otak), kaki, maka dipikirkan lesi di daerah subkorteks
dan hemisferserebri (Gambar 1]. Hal ini sangat akibat berkumpulnya jaras motorik dari da­
penting, sebagaimana seorang internis yang erah tangan dan kaki. Namun jika kekuatan
tidak mengetahui organ tubuh pasien yang tangan dan kaki ada yang lebih dominan, ke-
terganggu, apakah di paru, lambung, atau mungldnan lesi di korteks motorik, sesuai
ginjal, sehingga tidak dapat ditentukan di­ dengan homonkulus perbedaan area eks­
agnosis dan tata laksananya. tremitas atas dan bawah. Hal ini ditunjang
dengan adanya kejang akan lebih sesuai untuk
Gejala di intrakranial dapat berupa gang­
lesi di daerah korteks.
guan di hemisfer serebri atau fossa posterior,
Daerah fossa posterior yang terdiri dari Gejala akibat gangguan di sistem saraf peri-
serebelum dan batang otak sangat khas. fer dan medula spinalis biasanya berupa
Serebelum merupakan pusat keseimbangan, kelemahan dan gangguan sensasi di anggota
sehingga akan muncul keluhan seperti pusing gerak tertentu. Gangguan di sistem ini tidak
berputar (vertigo) atau sensasi bergoyang akan menyebabkan keluhan sakit kepala
( dizziness). Pada pasien dengan gangguan atau nervus kranialis yang menunjukkan ke­
batang otak dapat muncul keluhan dari saraf- luhan berasal dari kelainan di intrakranial.
saraf kranialis seperti diplopia, disfagia, atau Gangguan pada medula spinalis bisa disertai
disartria, Kesemua ini sangat berbeda dengan nyeri lokal atau menjalar di area yang ter­
gejala di hemisfer serebri yang biasanya di- ganggu, atau gangguan berkemih dan buang
dominasi dengan nyeri kepala, kelemahan tu­ air besar. Adapun lesi di ssaraf perifer dapat
buh sesisi, atau gangguan fungsi kognitif. menyebabkan paresis yang fokal, misalnya
pada 1 ekstremitas atau area otot tertentu.
Daerah hemisfer serebri dapat disebabkan
Anamnesis khusus selengkapnya dapat di-
oleh lesi di daerah korteks dan subkorteks.
lihat pada Bab Saraf Tepi.
Hal ini dapat dibedakan berdasarkan anam­

Gambar 1. Skema Kemungkinan Topis Berdasarkan Anamnesis

7
Buku Ajar Neurologi

Setelah mendapatkan gejala neurologis Terminologi yang digunakan oleh pasien


yang saat ini muncul, harus ditanyakan pula juga harus dipastikan sama dengan yang
riwayat gangguan neurologis atau penyakit diketahui oleh dokter pemeriksa. Misalnya
lain dan hasil pemeriksaan sebelumnya. istilah 'kepala pusing' yang dimaksud oleh
Pada pasien dewasa dengan kejang, perlu pasien apakah nyeri kepala atau pusing
ditanyakan apakah itu kejang pertama kali berputar. Oleh karena diagnosis banding
atau sudah mengalami kejang sejak kecil. keduanya sangat jauh berbeda. Demikian
Pada pasien dewasa atau tua dengan kejang pula dengan keluhan 'kejang'. Banyak gejala
pertama kali harus dipildrkan adanya lesi yang mirip kejang, namun yang khas pada
struktural baru seperti infeksi, neoplasma, kejang adalah kejadiannya yang mendadak,
atau stroke. Namun jika sudah ada riwayat gerakannya biasanya ritmis sekejap dalam
kejang sejak kecil, maka bisa diperkirakan hitungan menit, serta berpola.
pasien tersebut adalah penderita epilepsi.
Pada penderita seperti ini harus ditanyakan PEMERIKSAAN FISIK
apakah sudah mendapat terapi yang adekuat
1. Pemeriksaan Fisik Umum
serta pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)
a. Pemeriksaan tanda vital; dapat meng-
sebagai penunjangnya.
gambarkan defisit neurologis misal­
Pasien dengan kecurigaan stroke harus nya pola nafas tertentu dan hipotensi
ditanyakan pernah mengalami serangan ortostatik. Informasi tanda vital lain-
serupa sebelumnya atau tidak. Jadi gejala nya dapat membantu penegakan diag­
klinis yang muncul merupakan gejala yang nosis pasien dengan penting.
betul-betul baru pertama kali muncul atau b. Pemeriksaan skrining nyeri misalnya
sudah pernah sebelumnya. Apabila sudah menggunakan Numeric Rating Scale
pernah, juga harus dipastikan apakah gejala (NRS) atau Visual Analogue Scale
sebelumnya segera pulih dalam waktu kurang (VAS), dan risiko jatuh.
dari 24 jam atau menetap lebih dari itu. Jika
c. Pemeriksaan fisik umum lainnya
pasien pernah mengalami stroke sebelumnya,
akan sangat membantu diagnosis.
perlu ditanyakan gejala sisa yang dialami dan
Pada kasus trauma, perlu dilakukan
sejauh apa pasien bisa beraktivitas.
pemeriksaan terkait organ yang ter-
Hal ini penting untuk memastikan apakah kena dampak trauma secara teliti,
gejala yang muncul saat pasien datang sehingga mencegah perburukan yang
merupakan gejala yang sama atau lebih berat biasanya ter jadi secara drastis.
dibanding sisa serangan stroke sebelumnya
d. Inventarisasi beberapa faktor risiko
sehingga dianggap stroke berulang. Jika
dan komplikasinya pada organ non
pasien membawa hasil CT scan atau MRI
neurologis dapat dikonfirmasi dengan
yang memang memastikan adanya riwayat
pemeriksaan fisik ini. Pada pasien
stroke, akan lebih mudah bagi Dokter untuk
dengan stroke, karena etiologinya
menegakkan diagnosis stroke berulang,
vaskular, perlu diperhatikan se­
oleh karena kemungkinannya sangat tinggi
cara umum ada tidaknya efek fak-
pada yang sudah pernah stroke sebelumnya.

8
Pendekatcm Klinis Gangguan Neurologis

tor risiko vaskular terhadap organ tar­ dalamnya distribusi dan karakteristik
get lain. Misalnya pada pasien stroke nyeri seperti hiperalgesia dan alodinia.
dengan hipertensi, perlu diketahui ke- Untuk menilai tingkat baal dan tingkat
lainan pada jantung, ginjal, dan retina. nyeri dapat menggunakan Visual Ana­
Pada pasien trauma, perlu diperiksa logue Scale (VAS] 0-10 dan dilaporkan
kemungkinan trauma di organ lain. per regio yang mengalami baal/nyeri.
Demikian pula pasien neoplasma dan e. Pemeriksaan otonom, seperti adakah
infeksi, sesuai dengan patogenesisnya inkontinensia/retensio uri et alvi, gang­
masing-masing. guan ereksi/ejakulasi terkait neurologi,
2. Pemeriksaan Fisik Neurologis Dasar hipo/hiperhidrosis, dan berbagai sin-
a. Pemeriksaan kesadaran secara kualita- drom defisit otonom lainnya.
tif (kompos mentis, delirium, somnolen, f. Pemeriksaan keseimbangan dan koor-
sopor, atau koma], dan kuantitatif meng- dinasi otot.
gunakan Skala Koma Glasgow (SKG) dan g. Pemeriksaan fungsi luhur, setidaknya
atau Four Score (baca topik Penurunan skrining menggunakan MMSE, Mini Cog,
Kesadaran]. MoCA INA, atau perangkat penapisan
a. Pemeriksaan pupil yang mendeskrip- fungsi luhur lainnya.
sikan bentuk, isokoria/anisokoria, di­
ameter pupil mata kanan dan kiri, serta Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik,
bagaimana reaksinya terhadap cahaya dapat dibuat diagnosis kerja dengan bebe-
langsung dan tak langsung (baca topik rapa diagnosis banding yang bersifat umum
Penurunan Kesadaran]. yang akan jadi acuan pemeriksaan langkah-
b. Pemeriksaan nervus kranialis I sampai langkah selanjutnya, Pemeriksaan penun-
XII. Pada pasien tidak sadar, dapat di- jang termasuk laboratorium dan radiologi,
gantikan pemeriksaan refleks-refieks serta penunjang lain yang akan dijelaskan
batang otak. di bab-bab selanjutnya dari buku ini, dilaku-
kan secara prioritas bergantung pada arah
c. Pemeriksaan motorik lengkap meliputi
diagnosis tersebut. Baru kemudian ber-
kekuatan otot dengan skala 0-5, trofi,
dasarkan hasil-hasil penunjang, dibuat diag­
tonus, refleks fisiologis tendon dalam,
nosis kerja yang lebih akurat dan diagnosis
dan refleks patologis. Dijelaskan pula
banding (jika masih dipertimbangkan] yang
pola distribusi paresisnya, misal hemi-
lebih khusus. Kadang pemeriksaan penun­
paresis, tetra/paraparesis, paresis mio-
jang yang dibutuhkan tidak dapat dilakukan
tom/otot tertentu.
secara lengkap, namun perkiraan diagnosis
d. Pemeriksaan sensorik lengkap beserta tetap diupayakan untuk dibuat.
pola distribusi lesinya (misalnya hemi-
hipestesi, hipestesi setinggi dermatom DIAGNOSIS NEUROLOGIS
medula spinalis tertentu, hipestesi pada Khusus bidang neurologi, dibuat analisis lebih
dermatom saraf tertentu, hipestesi pola lanjutdari diagnosis yang dibuat, yaitu diagno­
sarung tangan & kald]. Termasuk di
sis berdasarkan aspek klinis, topis, patologis,

9
Baku Ajar Neurologi

dan etiologis. Analisis ini penting untuk men- 2. Diagnosis (Aspek) Topis
jaga pola berpikir khas neurologis yang akan Merupakan perldraan lokasi lesi atau topis
memudahkan penentuan tata laksana beri- paling mungkin berdasarkan temuan pada
kutnya. Walaupun biasanya keempat diagno­ diagnosis klinis. Dugaan ini dibuat ber­
sis tersebut hanya ditulis untuk kepentingan dasarkan neuroanatomi dan fisiologi, suatu
akademik, namun analisisnya harus menjadi analisis secara neurologis yang dibuat tanpa
bagian dari manajemen pasien sehari-hari melihat pemeriksaan radiologis dan peme­
dengan prinsip seperti pada Gambar 2. riksaan penunjang lainnya. Pemeriksaan
radiologis dapat membuktikan diagnosis
X. Diagnosis (Aspek) Klinis
topis dan pemeriksaan penunjang lainnya
Berisi semua gejala klinis yang ditemukan
dalam menggambarkan kondisi pasien se­
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Di-
cara lebih tepat.
tuiis secara sistematis mulai dari keluhan
utama dan keluhan lain, lalu dilanjutkan Penentuan diagnosis topis sejak awal
dengan pemeriksaan neurologis beruru- juga akan membantu menentukan diag­
tan dari paresis nervus kranialis dan defisit nosis kerja, bahwa lesi di daerah tertentu
lainnya. Hal ini dimaksudkan agar semua biasanya disebabkan oleh patologis ter­
gejala klinis dapat ditulis lengkap, oleh tentu. Misalnya, sakit kepala yang disertai
karena diagnosis klinis akan berdampak gangguan lapang pandang hemianopia
menentukan diagnosis topis selanjutnya. bitemporal merupakan gajala khas di
daerah sella yang biasanya akibat tumor
Misal pasien dengan tumor di serebe-
sella, seperti adenoma hipofisis. Diplopia
lum akan mengalami gejala sakit kepala
akibat paresis N. VI disertai paresis N.
yang l<ronik progresif dan vertigo, tanpa
VII perifer sisi yang sama, tanpa adanya
lateralisasi atau defisit neurologis lainnya.
gejala lain, menunjukkan topis berupa
Jika pada diagnosis klinis tidalc ditulis
lesi kecil di daerah pons yang umumnya
vertigo, hanya sakit kepala yang kronik
disebabkan oleh stroke.
progresif, maka tidak dapat ditentukan
secara spesifik lokasi lesinya. 3. Diagnosis (Aspek) Patologis
Analisis ini biasanya ditentukan dari
Contoh lain pasien dengan stroke hemor-
gambaran patologi anatomi. Namun, oleh
agik dapat mempunyai diagnosis klinis:
karena pemeriksaan Ini tidak memung-
sakit kepala, riwayat penurunan kesadaran,
kinkan dilakukan pada semua pasien,
paresis nervus VII dan XII sentral dekstra,
maka diagnosis patologi dapat berdasar­
serta hemiparesis delcstra. Gejala Minis
kan pengetahuan secara teoritis maupun
yang sudah dibuktikan dengan pemerik­
bukti ilmiah terhadap kasus-kasus umum,
saan fisik maka cukup ditulis hasil peme­
dengan membayangkan gambaran jika
riksaan fisiknya saja. Misal: keluhan bicara
lesi topis itu dilakukan analisis patologi.
pelo yang sudah dibuktikan dengan adanya
paresis N. XII, tidak perlu ditulis disartria Sebagai contoh, pada kasus tumor in-
lagi. trakranial dengan gejala klinis hemiano-

10
Pendekatan Klinis Gangguan Neurologis

I II 111 IV

Gambar 2. Tahap Pembuatan Diagnosis Neurologis


Sumber: Ropper AH, dkk. Adams and Victor's principles of neuroiogi. 2005.

pia bitemporal dan gangguan endokrin, Pada infeksi intrakranial, diagnosis etiolo­
maka diagnosis patologis yang dapat gis adalah dugaan presumtif kuman penye-
dipikirkan adalah adenoma hipofisis. bab yang dapat dibuktikan dengan hasil
Pemeriksaan penunjang berupa MRI ada- kultur. Misal pada meningitis TB etiologis-
nya dumbell-shape pada daerah sella juga nya adalah M. tuberkulosis, pada ensefali-
dapat membantu menentukan diagnosis tis toksoplasma etiologisnya toksoplasma
patologi, mesldpun belum dilakukan biopsi. gondii, dan pada multipel sklerosis berupa
Contoh lain, pada kasus stroke iskemik, autoimun.
maka diagnosis patologinya adalah infark
Diagnosis klinis, topis, etiologi, dan patolo­
parenkim otak, meningitis yaitu inflamasi,
gi harus saling berkesinambungan. Penu-
dan multipel sklerosis berupa demielinisasi.
lisan keempat diagnosis tersebut murni
4. Diagnosis (Aspek) Etiologis berdasarkan gejala klinis, dan hasil analisis
Menganalisis proses patofisiologi me- topis, etiologis, dan patologis, tanpa men-
kanisme yang mendasari kelainan pada cantumkan nama penyakit Jadi tidak akan
sistem saraf yang terlibat, yaitu proses ada kata 'stroke, meningitis, atau ensefali-
penyakit yang berkontribusi menimbul- tis' di dalam keempat diagnosis itu. Nama-
kan gejala dan tanda klinis. Sebagai contoh, nama penyaldt atau sindrom tersebut akan
pada stroke iskemik dengan klinis hemi- disebutkan secara terpisah dalam diagno­
paresis dektra mendadak dan muncul sis kerja, yang akan menjadi dasar untuk
saat istirahat, maka dipikirkan diagnosis merencanakan pemeriksaan penunjang
etiologinya adalah sumbatan trombus. dan tata laksana selanjutnya.
Contoh lain pada tumor intrakranial
Diagnosis topis memuat lokasi anatomi
dengan klinis penurunan kesadaran dan
yang terlibat pada suatu penyakit sehingga
hemiparesis dekstra, maka dipikirkan
menyebabkan munculnya gejala dan tanda
diagnosis etiologi yakni proses desak
klinis tertentu. Dengan demikian, diagnosis
ruang akibat tumor dan edema.

11
Buku Ajar Neurologi

topis berkorelasi dengan diagnosis klinis. Pada pasien dengan keluhan utama mulut
Diagnosis topis membantu menentukan di­ mencong akibat paresis nervus fasialis
agnosis banding dan merencanakan peme- perifer, jika diduga sebagai kasus Bell's
riksaan penunjang. Sebagai contoh, adanya palsy maka diagnosis kerjanya yakni pa­
klinis paraparesis UMN dengan hipestesi resis nervus fasialis perifer ec Bell's palsy .
setinggi umbilikus ke bawah, maka diagno­ Pada kasus ini, paresis nervus fasialis di-
sis topis yang dipikirkan adalah meduia masukkan dalam diagnosis kerja karena
spinalis segmen torakal 10. Dengan adanya merupakan keluhan utama dan menjadi
klinis tersebut, tentunya tidak akan dipikir­ tujuan utama tata laksana penyakit ini.
kan lesi intrakranial atau saraf perifer seperti b. Gejala dan tanda klinis yang memerlu-
radikulopati atau neuropati. Implikasinya, kan pemantauan khusus dalam terapi
klinisi akan merencanakan MRI torakal Contoh pada pasien sebelumnya dengan
dan somatosensory evoked potential (SSEP), stroke hemoragik, gejala yang perlu di-
dibandingkan MRI kepala atau konduksi Iakukan pemantauan adalah penurunan
hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMGj. kesadaran. Adapun gejala paresis N. VII
dan N. XII sentral kanan, dan hemipa­
DIAGNOSIS KERJA resis kanan bukan merupakan target
Pada akirnya klinisi harus membuat diagnosis pemantauan khusus, karena akan ikut
kerja. Formulanya adalah memuat gejala dan membaik seiring dengan tata laksana
tanda klinis serta nama penyakit Namun hal stroke hemoragik sebagai penyebabnya.
yang perlu ditekankan, tid ak seluruh gejala
dan tanda penyakit dituliskan dalam Oleh karena pada dasarnya diagnosis ker­
ja berfungsi sebagai penentu terapi, maka
diagnosis kerja.
gejala klinis yang ditulis bersifat fleksibel
Pada prinsipnya, gejala dan tanda yang sesuai dengan perjalanan penyakit pasien.
perlu dicantumkan adalah: Misal jika selama perawatan pasien stroke
a. Gejala dan tanda klinis yang menjadi ke- hemoragik tersebut merasakan sakit ke­
luhan utama atau bersifat kegawatdaru- pala setelah perbaikan kesadaran, maka
ratan diagnosis kerja berubah menjadi sefalgia
Sebagai contoh pada stroke hemoragik ec stroke hemoragik. Oleh karena sefalgia
dengan manifestasi penurunan kesadaran, itu merupakan gejala yang dikeluhkan
paresis N. VII dan N. XII sentral kanan, dan pasien dan dapat menjadi indikator tata
hemiparesis kanan, maka dalam diagnosis laksana peningkatan tekanan intrakranial.
kerja cukup dituliskan penurunan kesada­
Berikut ini diberikan beberapa contoh ske-
ran et causa (ec] stroke hemoragik. Dalam
nario klinis dan cara penulisan diagnosis
hal ini, penurunan kesadaran merupakan
klinis, topis, etiologi, patologi dan diagnosis
klinis yang membutuhkan tata laksana
kerja (label 1)
kegawatdaruratan.

12
Tabel 1. Skenario Klinik dan Penullsan Diagnosis
Diagnosis Diagnosis Diagnosis Diagnosis Diagnosis
Skenario Klinik Klinis Etiologi Patologi Kerja
Topis
Laki-laki 25 tahun masuk dengan penurunan kesadaran 4 jam Penurunan kesada­ Epidural di Lesi desak Hematoma EDH trauma-
sebelum masuk rumah sakit (SMRS) pasca-kecelakaan lalu ran dan hemipare­ regio frontal ruang akibat pada epi­ tik dengan
Iintas. Pasien sempat sadar, kesan lucid interval. Pemeriksaan sis sinistra atau temporal perdarahan dural penurunan
fisik ditemukan SKG E2M5 V3 dan hemiparesis sinistra. dekstra epidural kesadaran
■l'i.r ‘[ill'll.HI i-dH'.-i |. Ii-ll.i ■"■ i. ■.iiil-i ■iN P I'Ll' ! .■ l V-.'l l-.'i i Mehingo- - i
idar'.iii i-u n ilr.r- ■■ i ' i r.i-K:- i >.: ■
. i- ■Mil ■■! ■;=■!'■ ....... . = -n ■i! U f a ’ p'lii.l L'l"!! ensoKilitts
ib l.it ■hllMl'l li HI s-'ili’;: I.:- 1 i i'i ■1 j' !. ■x' i■=.!.[< \ni--.i- m> -r TB dengan
H poin. n i'ji. !' '-.I i ; ■ . ■ ■ -m' ■■ =■■'. =■ .1 n v, pesuirunan
Kd'-ln1- . ! .. =1.1.: S.i'ii v:; .i ! kesadatvm
Laki-laki 31 tahun dibawa ke poiildinik dengan keluhan rasa Disekuilibrium, nyeri Sudut serebelo- Lesi desak Neuroma Tumor CPA
bergoyang sejak 1 bulan SMRS yang hanya timbul saat berja- kepala sekunder, pontin ruang tumor akustik dengan
lan. Sejak 2 tahun pasien mengeiuh gangguan pendengaran ataksia serebelar, [cerebellopon­ dan edema diseltuilibrium,
diikuti nyeri kepala yang memberat. Pada pemeriksaan fisik tremor intensi, lesi tine an glej nyeri kepala
ditemukan ataksia serebelar, tremor intensi, lesi nervus Vl-3 nervus Vl-3 kanan, CPA) selamder dan
kanan, serta tuli sensori neural kanan. dan tuli sensori tuli sensori­
neural kanan. neural
L/ib-bb 5.: 1 1 ■'> ■:■■i ..................!.!■! ■> ......I'!'."- 1■ !■ "I,' I- ■ fi! 11! 1!''■IL.l j 1 !ni.., t Stroke
‘Mlii ■■!. d.llr; i- -i '■' .■ k . =' -■'*! ' ■ o. li.ii.ihu-- -! l!.! ■' iskem'ik
i;ip-.ri ■■IJ'.I l i . "1 ! ■•=. ■=i ■ 1 ■■■■■'
• a'!; .! i] ■ il=.:: : i "■ m > ■ ■■■■ ■ ■■■■ -! .: ■
1■■! u.'l.u! ■I - ■■ ■■■ ;.i-' : ‘ ■■= -k-i ■ij
Perempuan 20 tahun dibawa ke IGD dengan kejang beru- Status epileptikus Lobus temporal Peningkatan sklerosis Epilepsi lobus
lang sejak 3 jam SMRS. Kejang berupa kelojotan seluruh dengan bangkitan aktivitas hipokampus temporal
tubuh dan sebelumnya tampak bibir mengecap-ngecap, secondary gen eral­ listrik otak dengan status

Pendekatan Klinis Gangguan Neurologis


frekuensi 3 kali, selama 15 menit, dan tidak sadar di antara ized seizure (SGS) epileptikus
kejang. Sebelum kejang terdapat rasa tidak nyaman di ulu
hati. Kejang seperti ini sudah dialami pasien sejak usia 14
tahun dan pernah kejang demam. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan SKG E2M5V3 dan tanpa defisit neurologis fokal.
iis iia » « a ! ■■ ' ■ h nl.ri Penyaku1
Parkinson . ;

(■>vi! d.;.' 1 ::.U' ; i‘ ' .•■.=.■ * . m ' , ■!' ■; .


i i ".
SKG: skaia koma Glasgow (Glasgow coma sra/e/GCS); EDH: epidurah hematom
Buku Ajar Neurologi

PENUTUP mengalami paresis sisi kanan pada m. Leva­


Pembuatan diagnosis kerja neurologis beserta tor sulci nasolabialis, m. Frontalis, m. Orbi-
keempat aspek diagnosis Minis, topis, etiolo- kularis okuli, dan m. Orbikularis oris dengan
gis, dan patologis terkesan sulit, karena mem- skala House-Brackmann 3. Belum ada hasil
butuhkan pengetahuan Minis, neuroanatomi, pemeriksaan lab dan radiologi.
dan patofisiologi penyaldt-penyaMt neurolo­
Gejala dan tanda Minis yang terkait bidang
gis. Namun hal ini dapat dipelajari dan akan
neurologi adalah:
menjadi suatu ketrampilan tersendiri seiring
dengan banyaknya kasus yang dihadapi, se- 1. Riwayat pingsan pasca onset trauma
lama klinisi memahami pentingnya prinsip kepala 4 jam. Riwayat pingsan setelah
pembuatan diagnosis tersebut. Oleh karena trauma adalah bagian dari patofisiologi
manfaat utamanya adalah bagi Minisi sendiri trauma kepala pada umumnya.
yang akan menjadi terbiasa untuk berpikir 2. Perubahan kepribadian (sering marah
sistematis, sesuai dengan cara kerja otak, padahal awalnya penyabar).
serta memudahkan pemilihan tata laksana 3. Mengucapkan kata-kata kotor.
pasien yang tepat selanjutnya.
4. Disinhibisi sosial termasuk disinhibisi
terhadap BAB, BAK, dan seksual
CONTOH KASUS
Poin 2-4 ini dapat dikelompokkan dalam
Tn. A, 23 tahun mengalami kecelakaan sepeda
sindrom lobus frontal, khususnya bagian
motor berkecepatan tinggi hingga dahi depan-
(dorsolateral) korteks prefrontal dan orbi-
nya terbentur tiang listrik, lalu terbentur aspal.
toffontal.
Pasien tidak sadar sampai 4 jam kemudian
tiba di RS, lalu pasien sadar namun mengalami 5. Amnesia anterograd dan retrograd.
perubahan perilaku. Pasien menjadi sering Amnesia dapat merupakan bagian dari
marah (sebelumnya dikenal penyabar), apati, sindrom lobus frontal dengan kerusakan
mengucapkan kata-kata kotor, BAK dan BAB di bagian mesial inferior. Namun karena
sembarangan (tidak dapat ditahan), tiba-tiba mempertimbangkan kemungkinan lain-
ingin berbuat seks dengan perempuan di nya, lebih baik amnesia ini dipisahkan
dekatnya saat perawatan, serta lupa kejadian dari sindrom lobus frontal, kecuali Minisi
sebelum dan sesudah kecelakaan. sudah berkeyakinan dari pemeriksaan
lanjutan bahwa hal itu akibat sindrom
Pasien juga mengalami perdarahan hidung lobus frontal.
dan telinga. Tiga hari perawatan tampak
6. Rhinorhea dengan kebocoran cairan se-
mulut mencong ke kiri, kerutan dahi kanan
rebrospinal (CSS).
berkurang, dan kelopak mata kanan lebih
tampak terbuka. Pada pemeriksaan fisik di- 7. Otorhea dengan kebocoran CSS.
dapatkan tanda vital normal, jejas trauma 8. Battle sign.
di dahi depan dan wajah serta di temporal 9. Brill hematoma.
kanan, tes halo positif pada darah yang ke- Poin 6-9 dapat dikelompokkan dalam
luar dari hidung dan telinga, serta adanya sindroma fraktur basis kranii, khususnya
battle sign dan brill hematoma. Pasien juga fossa anterior dan os petrosus.

14
Pendekatan Klinis Gangguan Neurologis

10. Paresis m. levator sulci nasolabialis kanan. sindroma fraktur basis kranii, paresis
11. Paresis m. Frontalis kanan. N.VII kanan perifer traumatik House
Brackmann 3 (lebih baik dari hanya
12. Paresis m. Orbikularis okuli kanan.
dituliskan tanpa keterangan tingkat
13. Paresis m. Orbikularis oris kanan.
keparahan penyakit). Klasifikasi House-
Brackmann dapat dilihat pada Topik
Poin 10-13 ini dapat dikelompokkan dalam Komplikasi Pascacedera Kepala.
sindrom paresis N. VII perifer, sehingga cukup
2. Diagnosis topis: korteks dorsolateral pre­
dituliskan dalam diagnosis klinis sebagai
frontal, korteks orbitoffontal (lebih spesi-
paresis N. VII perifer kanan. Meskipun pa­
fik dari hanya dituliskan lobus frontal, akan
resis N. VII perifer kanan yang terjadi dapat
lebih baik]; basis kranii fossa anterior dan
merupakan bagian dari sindroma frak-
os petrosus (lebih spesifik dari hanya ditu­
tur basis kranii di atas yang berhubungan
liskan basis kranii, akan lebih baik]; N.VII
dengan fraktur os petrosus, namun karena
kanan (sementara tak mengapa menulis­
sangat mungkin ada dd/ topis segmen N.
kan N. VII kanan saja, setelah pemeriksaan
Fasialis lain (selanjutnya akan dilakukan
penunjang perlu disempurnakan menjadi
pemeriksaan fisik dan penunjang memasti-
segmen manakah dari N.VII yang terkena:
kan topis segmen N. VII ini], maka lebih baik
intrakranial, meatal, labirin, timpanik,
dipisah dituliskan paresis N. VII perifer kanan
mastoid, atau ekstratemporal].
traumatik ini dari sindrom fraktur basis kranii
os petrosus, kecuali pemeriksa/akademisi su- 3. Diagnosis patologi: kemungkinan sebelum
dah berkeyakinan dari pemeriksaan lanjutan adanya pemeriksaan penunjang adalah:
bahwa memang yang paling tepat menjelas- kontusio (tidak mungkin komosio], axonal
kan amnesia pada pasien adalah semata-mata injury "baik di lobus frontal maupun N. VII",
terkait fraktur os petrosus. Lengkapi paresis dan fraktur (untuk area basis kranii].
n. VII perifer kanan ini dengan keterangan 4. Diagnosis etiologi: trauma.
tingkat keparahannya (dalam hal ini terdapat
keterangan skala House Braclonann 3]. DAFTAR PUSTAKA
1. Aninditha T, Estiasari R, Octaviana F. Pemeriksaan
Maka menuliskan 4 dimensi diagnosis pada sistem saraf. Dalam: Sedati S, Naffialdi, Alwi 1, Fahrial
pasien ini yang baik adalah sebagai berikut: AS, Simadibrata M, editor. Panduan sistematis untulc
diagnosis fisik: anamnesis dan pemeriksaan fisis
1. Diagnosis klinis: sindroma lobus fron­ komprehensif. Jakarta: Interna Publishing; 2013.
tal, amnesia anterograd dan retrograd, 2. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor’s.prin­
ciples of neurologi, Edisi ke-8. New York: Mc-
Graw Hill; 2005.

15
PEMURUNAM KESADARAN

2 Tiara Aninditha, Pukovisa Prawiroharjo

PENDAHULUAN 1. Lintasan sensorik spesifik, menghantar-


Kesadaran merupakan manifestasi dari nor- kan impuls dari reseptor ke satu titik
mainya aktivitas otak. Kesadaran ditandai di korteks sensorik primer. Lintasan ini
dengan adanya awareness (sadar) terhadap melalui traktus spinotalamikus, lemniskus
diri sendiri dan lingkungan, serta memiliki medialis, lemniskus lateralis, atau radi-
kemampuan untuk merespons stimulus in­ asio optika.
ternal maupun eksternal. Menurut Plum dan
2. Lintasan sensorik nonspesifik, terdiri
Posner, kesadaran memiliki dua aspek, yaitu:
atas serabut-serabut yang ada pada for-
derajat dan kualitas., sehingga berhubungan
masio retikularis. Serabut-serabut ini
dengan tingkatkewaspadaan ( alertness ) atau
memanjang di sepanjang batang otak. For-
tingkat keterjagaan [wakefulness].
masio retikularis menerima serabut afe­
Sementara itu, kualitas kesadaran meng- ren, lalu memproyeksikan serabut eferen
gambarkan fungsi kognitif dan afektif mental dari dan ke korda spinalis, nukleus saraf
seseorang. Kualitas kesadaran bergantung kranial, serebelum, dan hemisfer serebri.
pada cara pengelolaan impuls aferen oleh Beberapa nukleus yang ada di formasio
korteks serebri yang kemudian akan meng- retikularis; khususnya yang ada di mid­
hasilkan isi pikir, Jika derajat kesadaran ter- brain, diproyeksikan ke pusat yang lebih
ganggu, secara otomatis kualitas kesadaran tinggi (kedua hemisfer otak) dan mener­
juga akan terganggu. Namun, terganggunya ima input kolateral dari berbagai serabut
kualitas kesadaran tidak selalu diikuti oleh asending (seperti traktus spinotalamikus,
terganggunya derajat kesadaran. traktus spinalis nervus trigeminal, trak­
tus solitarius, dan serabut dari nukleus
PATOFISIOLOGI vestibular serta koklear). Berdasarkan
Terdapat dua struktur anatomi yang mem- beberapa studi diketahui bahwa sistem
pengaruhi derajat kesadaran, yaitu kedua ini memiliki peran meng-atur derajat kes­
hemisfer otak dan brainstem reticular ac­ adaran pada manusia dan menjaga siklus
tivating system [RAS). Kedua struktur ini tidur-bangun [sleep-wake cycle]. Selanjut-
berperan dalam proyeksi dan penerim aan nya sistem tersebut dikenal dengan nama
impuls aferen. Ada dua lintasan yang di- ascending reticular activa-ting system
gunakan untuk menyampaikan impuls aferen (ARAS) (Gambar 1).
ke korteks serebri, yaitu:

16
Penurunan Kesadaran

Gambar 1. Skema Ascending Arousal System


jaras berwarna biru mencakup jaras noradrenergik, serotonergik, histaminergik, dan dopaminergik, Jaras
berwarna merab mencakup jaras kolinergik.

Penurunan kesadaran dapat dibagi ber- Penurunan kesadaran juga dapat disebab­
dasarkan etiologi, lokasi, dan karakteristik kan oleh lesi kompresi dan lesi destruksi.
lesx. Berdasarkan etiologi, penurunan ke­ Penurunan kesadaran akibat lesi kompresi,
sadaran dapat disebabkan oleh kelainan yaitu: 1) lesi secara langsungmengakibatkan
struktural (lesi diskret pada bagian atas distorsi ARAS; 2} lesi menyebabkan pening-
batang otak dan bagian bawah diensefalon katan tekanan intrakranial secara difus se-
atau lesi yang mengenai kedua hemisfer) hingga mengakibatkan terganggunya aliran
dan kelainan metabolik (yang mengakibat- darah ke otak; 3) lesi menyebabkan iskemia
kan gangguan aktivitas neuron). Berdasar­ lokal; 4) lesi menyebabkan edema otak; dan
kan lokasi lesi, penurunan kesadaran dapat 5) lesi menyebabkan herniasi. Contoh lesi
terjadi akibat: a) lesi difus kedua hemisfer; kompresi adalah tumor, hematoma, dan
b) yang bisa diakibatkan oleh kelainan me­ abses. Lesi kompresi umumnya hanya m e­
tabolik; c) lesi di diensefalon atau hipota- ngenai satu bagian korteks atau substansia
lamus di mesensefaion (midbrain) atas; d) alba, namun seringkali menyebabkan keru-
pons atas seperti pada emboli diarteri basi­ sakan struktur yang lebih dalam. Kerusakan
lar; dan e) pons (Gambar 2). struktural ini umumnya diakibatkan oleh

17
Buku Ajar Neurologi

pergeseran salah satu atau beberapa bagian gangguan metabolik, infeksi, dan trauma.
otak akibat efek desak ruang. Pergesaran ini
Ketidakseimbangan alttivitas metabolik pada
mengakibatkan hernias! dan kompresi pada
neuron di korteks serebral dan nukleus sen-
mesensefaion dan RAS.
tral di otak merupakan salah satu jenis gang­
Sementara itu, penurunan kesadaran pada guan yang dapat mengakibatkan penurunan
lesi destruksi disebabkan oleh kerusakan kesadaran. Etiologinya dapat berupa hipok-
langsung struktur RAS, seperti lesi pada di- sia, iskemia global, hipoglikemia, kondisi hip­
ensefalon atau batang otak yang bilateral, atau er- dan hipo-osmolar, asidosis, alkalosis, hi-
dapat juga fokal namun mengenai mesense­ pokalemia, hiperamonemia, hiperkalsemia,
faion atau kaudal diensefalon. Lesi destruksi hiperkarbia, intoksikasi obat, dan defisiensi
kortikal dan subkortikal harus bersifat bila­ vitamin. Penurunan kesadaran tersebut dise­
teral dan difus untuk dapat mengakibatkan babkan oleh reduksi metabolisme akibat
penurunan kesadaran, misalnya lesi akibat menurunnya aliran darah ke otak.

Gambar 2, Lesi-Iesi yang Dapat Menyebabkan Penurunan Kesadaran

18
Penurunan Kesadaran

Sebagai contoh, dalam kasus iskemia, pe­ edema neuron dan hilangnya kalium klorida
nurunan akut aliran darah ke otak hingga intrasel. Beberapa jenis obat seperti sebagian
25mL/menit/100g jaringan otak (nilai besar obat anestesi, alkohol, opiat, barbiturat,
normal: 55mL/menit/100g jaringan otak] fenitoin, antidepresan, dan benzodiazepin
akan mengakibatkan perlambatan gelom- dapat menginduksi koma karena obat-obat
bang elelctroensefalografi (EEG), sinkop, tersebut berkerja langsung pada membran
atau penurunan kesadaran. Sementara itu, neuron serebrum, RAS, atau neurotransmiter
penurunan aliran darah hingga 12-15mL/ dan reseptornya.
menit/lOOg jaringan otak dapat mengaki­
Sebagian besar koma akibat toksin dan pe-
batkan electrocerebral silence, koma, dan
nyakit metabolik umumnya akan melewati
perlambatan proses metabolik neuron serta
beberapa tahapan penurunan kesadaran
fungsi sinaps. Neuron tidak akan bertahan
yang dimulai dari drowsiness, confusion, dan
jika aliran darah otak berkurang di bawah
stupor, namun tiap penyakit memiliki mani-
8-10mL/menit/100g, Berkurangnya aliran
festasi klinis yang khas. Perbedaan mani-
darah ke otak sebanding dengan penurunan
festasi klinis ini diduga berhubungan dengan
kecepatan metabolik sel-sel otak.
mekanisme dan lokus yang terkena efek
Pada kasus koma, penyebab koma seperti gangguan metabolik.
toksin metabolik endogen tidak selalu dapat
Pada pasien dengan epilepsi dengan bang-
teridentifikasi. Pada pasien dengan diabetes,
kitan fokal, umumnya tidak akan menye­
badan keton (asam asetoasetat, asam beta-
babkan hilangnya kesadaran, kecuali bang-
hidroksibutirat, dan aseton) dapat terde-
kitan kejang menyebar dari satu hemisfer ke
teksi dalam konsentrasi yang tinggi. Pada
hemisfer lainnya. Sementara itu, pada bang-
pasien dengan uremia dapat ditemukan
kitan umum (kesadaran menurun sejak awal
akumulasi molekul toksin yang terdialisasi,
kejang], sumber bangkitan diduga berasal
seperti derivat fenol yang merupakan bagian
dari diensefalon. Penurunan kesadaran pada
dari asam amino aromatik. Pada pasien
kasus infeksi intrakranial terjadi karena lesi
dengan koma hepatik, peningkatan lcadar
yang difus pada seluruh hemisfer baik aki­
amonia lima sampai 6 kali di atas normal
bat inflamasi maupun edema yang disebab-
berhubungan dengan peningkatan risiko
kannya. Pada cedera kepala tumpul, getaran
mengalami koma. Pasien dengan asidosis
yang terjadi akibat benturan pada tengkorak
laktat juga berisiko mengalami penurunan
akan ditransmisikan ke otak sehingga meng­
kesadaran jika pH darah arteri kurang dari
akibatkan kerusakan jaringan otak Beberapa
7. Sementara itu, penurunan kesadaran
benturan bahkan mengakibatkan gerakan ro-
pada pasien dengan insufisiensi pulmoner
tasi pada hemisfer di sekitar medula oblongata
dihubungkan dengan kondisi hiperkapnia.
bagian atas, sehingga dapat menyebabkan
Pada pasien dengan hiponatremia (kadar hilangnya kesadaran. Sementara itu cedera
Na<120 meq/L] akibat penyebab apapun, kepala tajam dapat mengakibatkan hilangnya
terjadi penurunan kesadaran akibat per- kesadaran jika mengenai diensefalon dan
pindahan molekul air yang menyebabkan medula oblongata bagian atas.

19
Buku Ajar Neurologi

Secara umum teori ARAS masih berlaku contohnya pasien dengan intoksikasi/over-
untuk kesadaran secara umum. Namun dosis zat A dengan zat B dapat berbeda pro-
dengan semakin detilnya topografi sistem fil klinis kesadarannya dalam hal menang­
saraf karena teknologi pencitraan otak mu- gapi ragam stimulus yang spesifik. Walau
takhir, kini dikenal teori neural correlates demikian, penelitian yang dilakukan Koch
o f consciousness (NCC) sebagai susunan dan Tononi belum sampai pada evaluasi
sistem saraf yang bertanggungjawab pada pasien koma karena berbagai keterbatasan
kesadaran. Pada teori NCC dianut bahwa teknis penelitian.
kesadaran adalah suatu kondisi seseorang
mampu menanggapi stimulus yang adekuat. GEJALA DAN TANDA KLINIS
Stimulus dari lingkungan yang bervariasi Anamnesis merupakan hal terpenting yang
ini memiliki sirkuit yang menerima sampai harus dilakukan terhadap semua riwayat
menanggapinya sendiri, sehingga mampu penurunan kesadaran. Secara klinis, ke­
menjelaskan pasien penurunan kesadaran sadaran dapat dinilai berdasarkan respons
hingga tingkat koma menurut pemeriksaan pasien terhadap pemeriksanya di sisi tempat
CCS sama sekali tidak menanggapi stimulus tidur. Namun pada pasien dengan penu­
tertentu namun masih mampu merespons runan kesadaran, anamnesis hanya dapat
stimulus lainnya. Koch dan Tononi menye- dilakukan pada orang lain yang menge-
butkan hal ini sebagai content-specific NCC. tahui gejala dan riwayat penyakit pasien.
Teori ini menjelaskan bahwa kesadaran Jika tanpa riwayat penyakit sebelumnya,
bukanlah semata-mata berkaitan dengan penurunan kesadaran tiba-tiba umumnya
ARAS dan korteks hemisfer bilateral namun disebabkan oleh keracunan obat, perdara-
jauh lebih kompleks dari itu. Terdapat re- han subaraknoid, atau trauma kepala. Pada
lasi antara batang otak, struktur subkortikal pasien lansia, penurunan kesadaran yang
dan kortikal tertentu pada spesifik konten tiba-tiba seringkali terjadi akibat perdarah-
kesadaran, terutama berbagai struktur jeja- an serebral atau infark. Lesi kompresi pada
ring pusat di frontoparietal bilateral. kasus penurunan kesadaran seringkali ber-
hubungan dengan trauma (perdarahan epi­
Dalam pembahasan content-specific NCC,
dural). Gejala yang sering dikeluhkan pasien
dijelaskan bahwa sekelompok neuron di-
adalah nyeri kepala yang semakin lama se­
mungldnkan memiliki perbedaan daya re-
makin memberat.
sistensi terhadap suatu pajanan zat yang
neurotoksik atau mempengaruhi kesadaran Onset penurunan kesadaran yang gradual
secara umum. Teori ini ke depannya men- merupakan ciri khas kasus penurunan ke­
jadi landasan untuk membantu memahami sadaran yang diakibatkan oleh gangguan
fenomena yang dijumpai pada beberapa metabolik. Jika terdapat riwayat depresi atau
pasien yang dalam pengaruh anestesi umum kelainan psikiatri lainnya bisa diakibatkan
masih dapat menanggapi stimulus spesifik oleh intoksikasi obat. Pasien dengan riwayat
tertentu. Termasuk menjelaskan kemung- penyakit diabetes melitus, gagal ginjal, pe­
kinan perbedaan klinis respons stimulus nyakit jantung, atau penyakit kronik lainnya
spesifik pada suatu ensefalopati metabolik, seringkali mengalami penurunan kesada-

20
Pernrunan Kesadaran

ran akibat gangguan metabolik atau infark pons bilateral; d) Master dan ataxic , pada
batang otak. Riwayat gejala kelemahan tubuh pasien lesi di pontomedullary junction ; dan
atau gangguan sensoris unilateral atau dip- e) apneu, pada lesi di medula sisi ventrola­
lopia umumnya mengarahkan lesi pada se- teral bilateral.
rebral atau batang otak.
Pemeriksaan circulation berfungsi untuk
K e m u n g k in an p en y e b a b p e n u ru n a n k e ­ memastikan ada atau tidaknya hubungan
s a d a r a n b e r d a s a r k a n a n a m n e s is penurunan kesadaran pada pasien dengan
1. Penurunan kesadaran yang tiba-tiba perfusi darah ke jaringan. Pemeriksaan ini
disertai defisit neurologis adalah khas dilakukan dengan melihat warna kulit pasien;
akibat gangguan vaskular, seperti stroke sianosis merupakan tanda kekurangan oksi-
atau perdarahan subaraknoid. Jika ter- gen, kemerahan ( cherry red color) merupa­
dapat riwayat trauma dapat dicurigai kan indikasi adanya intoksikasi gas karbon
perdarahan intrase rebral. monoksida, dan sebagainya. Pemeriksaan
2. Penurunan kesadaran yang gradual oksigenasi yang lebih akurat dapat dilaku­
(dalam hitungan beberapa hari hingga kan dengan menggunakan pulse oximetry di
beberapa minggu atau lebih) sering- ujungjari pasien.
kali disebabkan oleh tumor, abses, atau Pemeriksaan fisik umum dilakukan setelah
perdarahan subdural kronik. yakin pasien telah dalam kondisi stabil (dari
3. Penurunan kesadaran yang didahului segi airway, breathing, dan circulation), untuk
oleh acute confusional state atau delirium, mencari tanda dan gejala kemungkinan pe­
tanpa tanda dan gejala lateralisasi, ke­ nyebab terjadinya penurunan kesadaran.
mungkinan besar disebabkan oleh ke-
1. T e k a n a n D a ra h
lainan metabolik atau infeksi (meningitis
Tekanan darah yang tinggi pada penu­
atau ensefalitis).
runan kesadaran umumnya berhubungan
dengan peningkatan tekanan intrakranial,
Pemeriksaan ini harus dilakukan pertama
seperti perdarahan intraserebral atau lesi
kali sebelum melakukan pemeriksaan lain-
desak ruang. Namun, peningkatan ini bisa
nya. Pemeriksaan airway berfungsi untuk
jadi merupakan suatu konsekuensi dari
memastikan jalan napas pasien terbuka,
proses lain yang menjadi penyebab penu­
sedangkan breathing untuk menilai per-
runan kesadaran.
napasan spontan dan pola pernapasan
pasien, Pola pernapasan dapat menjadi 2 . Suhu
petunjuk etiologi atau topis yang menye- Hipotermia dapat ditemukan pada penu­
babkan pernapasan abnormal, seperti: a] runan kesadaran akibat intoksikasi obat
Cheyne-Stokes, pada ensefalopati metabo­ sedatif atau etanol, hipoglikemia, ense­
lik atau pada lesi yang mengganggu fungsi falopati Wernicke, atau ensefalopati
otak depan atau diensefalon; b) hiperven- hepatikum. Hipertermia umumnya akibat
tilasi neurogenik sentral, pada ensefalopati stroke, status epileptikus, intoksikasi obat
metabolik; c) apneusis, pada pasien lesi di anestesi, intoksikasi obat antikolinergik,

21
Buku Ajar Neurologi

perdarahan pontin, atau lesi pada hipo- miliki riwayat penyalahgunaan obat,
talamus. keringat yang berlebihan dapat menjadi
tanda hipoglikemia atau syok, serta kulit
3 . P e rn a p a s a n
yang sangat kering dapat menjadi tanda
Bertujuan untuk memastikan pernapasan
asidosis diabetik atau uremia. Turgor
pasien adekuat untuk memasok oksigen
kulit akan menurun pada dehidrasi. Se-
jaringan, terutama otak. Hal ini dapat
mentara itu, luka akibat tekanan atau
diketahui dengan cara menilai frekuensi dan
bula dapat menjadi tanda pasien telah
kedalaman pernapasan pasien. Frekuensi
berbaring pada satu posisi dalam waktu
pernapasan normal adalah 14-20 kali
yang cukup lama.
permenit.
P e m e rik s a a n N e u ro lo g is
4. T a n d a T ra u m a :
Pemeriksaan neurologis merupakan peme­
a. Raccoon eyes, suatu ekimosis perior­
riksaan utama untuk menegakkan etiologi
bital.
penurunan kesadaran. Yang penting dicari
b. Tanda Battle, suatu pembengkakan
adalah ada tidaknya tanda-tanda herniasi
dan perubahan warna pada jaringan
sebagai keadaan gawat darurat, serta defisit
yang melapisi tulang mastoid di be-
neurologis untuk menentukan lesi penyebab-
lakang telinga.
nya, yaitu fokal atau difus, dan merupakan
c. Rinorea atau otorea, merupakan suatu
lesi intrakranial atau sistemik, Pemeriksaan
kondisi ketika cairan serebrospinal
yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan
mengalir keluar melalui hidung atau
derajat kesadaran, ukuran dan reaktivitas
telinga. Rinorea cairan serebrospinal
pupil, pergerakan bola mata, dan kekuatan
harus dibedakan dari rinorea aldbat
motorik,
penyakit lain seperti rinitis alergi.
d. Pada palpasi dapat ditemukan tanda 1 . P e m e rik s a a n D e ra ja t K e s a d a ra n
fraktur tulang tengkorak, fraktur tulang Dapat dilakukan secara kualitatif mau-
belakang, atau edema jaringan lunak pun kuantitatif, berdasarkan dua hal,
pada sisi yang mengalami trauma. yaitu: 1) besarnya stimulus yang dibutuh-
kan untuk membangunkan pasien hingga
5 . T a n d a p a d a K ulit
memberikan respons dan 2} kualitas res-
Pada inspeksi kulit dapat ditemukan
pons pasien saat terbangun.
beberapa tanda yang dapat membantu
mencari penyebab turunnya derajat ke- Jika pasien tidak berespons terhadap sti­
sadaran. Selain warna kulit seperti pada mulus suara atau guncangan yang keras,
pemeriksaan circulation , adanya memar selanjutnya diberikan rangsang nyeri.
multipel pada skalp termasuk tanda Nyeri pertama dicoba pada permukaan
fraktur intrakranial, telangiekstasis dan kuku atau supraorbita atau sendi tem­
hiperemia pada wajah dan konjungtiva poromandibular, pada satu sisi dahulu
dapat menjadi tanda keracunan alkohol. disusul pada sisi lainnya. Hal ini dilakukan
Adanya jejak bekas suntikan pada kulit untuk menilai kemungkinan lateralisasi
dapat ditemukan pada pasien yang me- respons motorik. Jika tidak berespons,

22
Penurunan Kesadaran

rangsang nyeri diberikan di sternum. lebih mudah untuk digunakan. ACDU


Pada penurunan kesadaran ringan, rang­ diketahui lebih baik dalam mengidenti-
sang nyeri berupa gesekan pada sternum fikasi tanda awal penurunan kesadaran
seharusnya bisa membangunkan pasien. dibandingkan AVPU. FOUR menyediakan
status neurologis pasien dengan lebih
Pasien yang dapat dibangunkan dengan
detil, sehingga pemeriksaannya juga lebih
stimulus panggilan nama atau guncangan
rumit
ringan pada tubuh, dikatakan berada
dalam kondisi somnolen. Pasien yang Skala koma yang paling sering diguna­
berespons dengan stimulus guncangan kan adalah skala koma Glasgow/SKG
kuat, dikatakan dalam kondisi letargi. [Tabel 1], Hal ini disebabkan karena
Pasien yang baru berespons dengan dapat mendeskripsikan dan menilai
rangsang nyeri pada sternum, kemudian derajat penurunan kesadaran, dapat
berespons dengan cara melokalisir ke digunakan untuk memonitor derajat
arah datangnya rangsang, dikatakan be­ penurunan kesadaran, dan dapat men-
rada dalam kondisi stupor. Sementara jadi indikator tingkat keparahan suatu
itu, jika pasien tidak melokalisir arah penyakit Pasien dengan skor SKG <15
datangnya rangsang dan hanya mem- dikatakan mengalami penurunan ke­
berikan respons motorik yang nonspesi- sadaran, lebih khusus lagi jika skor SKG
fik, pasien dikatakan dalam kondisi semi- <8 berarti pasien berada dalam keadaan
koma. Pasien yang sama sekali tidak koma.
memberikan respons terhadap rangsang
Berikut ini adalah definisi derajat ke­
nyeri, dikatakan berada dalam kondisi
sadaran dimulai dari yang tertinggi hing-
koma. Penentuan tersebut merupakan
ga terendah:
cara penentuan kasar atau hanya bersifat
a. Kompos mentis, merupakan suatu kondi­
kualitatif.
si sadar penuh terhadap isi pikir atau
Penentuan derajat kesadaran secara persepsi dari diri sendiri dan lingkungan
kuantitatif dilakukan dengan menggu- yang dibuktikan dengan respons berupa
nakan skala koma, yang dapat digunakan sikap dan kemampuan berbahasa yang
sebagai prognosis. Terdapat beberapa sesuai dan sama dengan pemeriksa.
macam skala koma, yaitu skala koma b. Kesadaran berkabut, merupakan suatu
Glasgow (SKG), alert; confused, drowsy, kondisi penurunan kesadaran dalam
unresponsive (ACDU), alert, response bentuk hipereksitabilitas dan iritabilitas
to voice, response to pain, unresponsive yang berselang-seling dengan kondisi
(AVPU), dan full outline o f unresponsive mengantuk, Pasien dengan kesadaran
(FOUR). Skala koma Glasgow merupakan berkabut umumnya mengalami disorien-
skala koma yang lebih sering digunakan tasi ringan terhadap waktu dan tempat,
pada cedera kepala. ACDU dan AVPU serta cenderung sulit memusatkan per-
merupakan skala koma yang hampir hatian. Pasien akan mengalami kesulitan
sama akuratnya dengan SKG, namun jika diminta menghitung mundur angka

23
Buku Ajar Neurologi

serta cenderung mengantuk di siang hari d. Letargi, merupakan suatu kondisi ketika
dan agitasi di malam hari. pasien masih bisa dibangunkan oleh
c. Delirium, berdasarkan Diagnostic and stimulus sedang, namun ingin kembali
Statistical Manual o f Mental Disorder tidur saat stimulus hilang.
4tbed (DSM-lVj, didefinisikan sebagai: e. Obtundation, merupakan suatu kondisi
1) gangguan kesadaran yang ditandai oleh mirip letargi, namun respons terhadap
menurunnya kemampuan memusatkan stimulus lebih lambat, lebih banyak ter-
perhatian; 2) perubahan kemampuan kog- tidur serta cenderung mengantuk saat
nitif (seperti: defisit memori, disorientasi, dibangunkan.
dan gangguan berbahasa) atau gangguan f. Stupor, merupakan suatu kondisi tidur
perpsepsi yang tidak didahului oleh de- dalam (deep sleep), sehingga dibutuhkan
mensia; 3) dalam satu hari, gangguan stimulus yang kuat dan berulang-ulang
ke-sadaran bersifat fluktuatif. Pasien untuk membangunkan pasien.
delirium akan mengalami disorientasi
g. Koma, merupakan suatu kondisi ketika
waktu, tempat, dan orang. Pasien juga
pasien tidak bisa dibangunkan atau tidak
cen-derung memberikan respons ber-
berespons terhadap stimulus yang kuat dan
lebihan atau mudah marah terhadap hal-
berulang-ulang. Kadang dapat ditemukan
hal atau tindakan yang sepele. Seringkali
respons wajah meringis dan gerakan tungkai
ditemukan delusi dan halusinasi dalam
serta lengan yang stereotipik, namun tidak
peme-riksaan. Kondisi delirium umum-
melolcalisir atau menghalangi arah stimulus.
nya berlangsung 4-7 hari.

Tabel 1. Skala Koma Glasgow


Kriteria Nilai
Respons mata:
« Mata terbuka spontan 4
• Mata terbuka dengan rangsang suara (perintah) 3
• Mata terbuka dengan rangsang nyeri 2
o Mata tidak terbuka 1
Respons motorik:
• Mengikuti perintah 6
• Melokalisasi nyeri 5
e Menjauh dari rangsang nyeri 4
« Memberikan respons fleksi saat diberikan rangsang nyeri 3
• Memberikan respons ekstensi saat diberikan rangsang nyeri 2
8 Tidak ada respons 1
Respons verbal:
• Menjawab dengan orientasi yang baik 5
• Menjawab namun dengan orientasi yang tidak baik[confused) 4
• Menjawab namun dengan kata-kata tidak sesuai 3
« Menjawab hanya dengan suara (erangan) 2
° Tidak menjawab/tidak ada respons verbal____________________________f
Sumber: Posner JB, dkk. Plum and Posner’s diagnosis of stupor and coma. 2007.

24
Penurunan Kesadaran

Adapun aspek yang dinilai pada skor Selain itu, skor FOUR juga tidak menilai
FOUR tidak hanya respons mata dan mo­ aspek respons verbal yang kadang sulit
tor ik, tetapi juga refleks batang otak dan dievaluasi pada pasien terintubasi. Oleh
respirasi (Tab el 2}. Berbeda dengan SI<G sebab itu, skor FOUR lebih dianjurkan
yang setiap aspek memiliki rentang nilai aplikasinya pada pasien penurunan ke­
berbeda, FOUR terdiri dari empat aspek sadaran dengan bantuan ventilator di
dengan rentang nilai yang sama, antara 0 ruang rawat intensif.
hingga 4. Dalam praktiknya, skor FOUR
Baik SKG maupun Skor FOUR, keduanya
ditulis nilai tiap aspeknya, misalnya
memiliki prinsip yang sama saat menilai
E4M4B4R4=16.
derakat kesadaran, yaitu pemeriksa harus
Skor FOUR memiliki beberapa keunggul- memperhatikan intensitas rangsangan
an daripada SKG, di antaranya lebih dapat yang diberikan dan respons yang ditim-
menjelaskan keadaan pasien dengan nilai bulkan oleh pasien. Jika pasien tidak mem-
SKG yang rendah, bisa mengenali sindrom berikan respons terhadap suara, maka
locked-in, lebih sensitif dalam menunjuk- selanjutnya pemeriksa memberikan rang­
kan perubahan kesadaran pasien, dan lebih sangan nyeri yang dilakukan di lekukan
menggambarkan tahapan herniasi otak supraorbital, bantalan kuku jari tangan,
saat perburukan derajat kesadaran pasien. sternum, atau sendi temporomandibular.

Tab el 2, Deskripsi FOUR


____________________________ Komponen______________________________Nilai
Respons mata (E ye/E]
Mata terbuka spontan, dapat mengikuti atau berkedip saat diperintah 4
Mata terbuka, tetapi tidak mengikuti perintah 3
Mata hanya terbuka terhadap suara keras 2
Mata hanya terbuka terhadap rangsangan nyeri 1
Mata tidak terbuka, watau diberi rangsangan nyeri 0
Respons motorik (Motor respon se/M)
Dapat mengacungkan ibu jari tangan, menggenggam, atau p eace sign 4
Dapat melokalisasi rangsangan nyeri 3
Respons fleksi terhadap rangsangan nyeri 2
Respons ekstensi terhadap rangsangan nyeri 1
Tidak ada respons motorik terhadap nyeri atau status mioklonus umum 0
Refleks batang otak (Brainstem reflex/B)
Refleks pupil dan kornea baik 4
Salah satu pupil midriasi dan terfiksasi 3
Tidak ada refleks pupil atau kornea 2
Tidak ada refleks pupil dan kornea 1
Tidak ada refleks batuk, kornea, dan pupil 0
Respirasi (Respiration/R)
Tidak terintubasi, pola napas teratur 4
Tidak terintubasi, pola napas Cheyne-Stokes 3
Tidak terintubasi, pernapasan tidak teratur 2
Bernapas di atas laju ventilator 1
Bernapas sesuai laju ventilator atau apnea_______________________________ 0
Sumber: Posner JB, dkk. Plum and Posner's diagnosis of stupor and coma. 2007

25
Buku Ajar Neurologi

Pemberian rangsangan nyeri pada lekuk- besar dan lebih kecil pada lansia], Kedua
an supraorbital pada pasien penurunan pupil berukuran sama dan berkonstrik-
kesadaran dapat memberikan respons si secara cepat dan simetris saat diberi-
buka mata dan verbal, serta gerakan kan rangsang cahaya. Jika pemeriksaan
ekstrimitas atas untuk melokalisasi pupil normal dan reaktif, penyebab
nyeri, Bila tangan dapat melewati man- turunnya kesadaran umumnya ber-
dibula, maka respons tergolong dapat hubungan dengan gangguan metabolik.
melokalisasi rangsangan nyeri (SKG mo-
b. Thalamic pupils
torik 5], Respons motorik yang ditimbul-
Pupil yang berukuran lebih kecil
kan juga tidak keliru dengan fleksi terha-
(<2mm), namun masih reaktif terha-
dap rangsangan nyeri (SKG motorik 3).
dap cahaya, dapat ditemui pada kom-
Selain kekeliruan tersebut, pemberian
presi talamus.
rangsangan sebaiknya dilakukan pada
kedua supraorbital untuk memastikan c. Fixed, dilated pupils
respons motorik yang berbeda antara Pupil berukuran lebih dari 7mm dan
sisi kanan dan kiri tubuh aldbat late- terfiksasi (tidak reaktif terhadap ca­
ralisasi. Oleh karena itu, lekukan supra­ haya} dapat ditemukan pada kompresi
orbital lebih dianjurkan sebagai daerah saraf kranial III (nervus okulomotor)
rangsangan nyeri daripada sternum atau atau intoksikasi obat antikolinergik
pilihan lainnya. atau simpatomimetik. Namun penye­
bab tersering pada penurunan ke­
2 . T a n d a R a n g s a n g M en in g eal
sadaran adalah akibat herniasi trans­
Tanda rangsang meningeal akan positif
tentorium oleh massa supratentorial.
jika terjadi iritasi pada meningen, berupa
kaku kuduk dan Brudzinski. Adanya tan­ d. Fixed, midsized pupil
da rangsang tersebut bisa menjadi tanda Pupil yang terfiksasi dan berukuran
bahwa penurunan kesadaran berhubun- sekitar 5mm umumnya ditemukan
gan dengan iritasi selaput meningen, pada pasien dengan kerusakan batang
seperti meningitis atau perdarahan otak di level midbrain. Kerusakan pada
subaraknoid. Tanda ini umumnya mun- regio tersebut akan mengganggu fungsi
cul dalam waktu 12-24 jam sejak onset simpatis, pupilodilator, dan parasimpa-
penurunan kesadaran dan menghilang tis, serta serat saraf pupilokonstriktor.
pada keadaan koma dalam. 1) Pinpoint pupils
3 . P e m e rik s a a n P u p il Pinpoint pupils (berukuran diame­
Pemeriksaan pupil dapat membantu ter 1-1,5mm) pada pasien dengan
menentukan letak dan penyebab lesi penurunan kesadaran, umumnya
(Gambar 3), yaitu: merupakan tanda overdosis opiat
atau lesi struktural fokal pada
a. Pupil normal
pons. Lesi struktural fokal pada
Diameter pupil normal berldsar antara
pons umumnya disertai gangguan
3-4mm (pada anak-anak sedikit lebih

26
Penurunan Kesadaran

pergerakan bola mata. Pembe- oleh kelainan struktural pada mid-


rian nalokson dapat membedakan braili, nervus okulomotor, atau in­
kedua penyebab tersebut, yaitu traorbital.
memberi perbaikan pada overdosis
4. Pem eriksaan Pergerakan Bola Mata
opiat, tidak pada lesi di pons.
Pada pasien dengan penurunan kesa­
2) Asymmetric pupils daran, pergerakan bola mata tetap harus
Perbedaan ukuran pupil <lmm ma- dilakukan karena bernilai penting unutk
sih dapat dianggap fisiologis asalkan mengetahui lesi di batang otak. Hal ini
refleks-nya normal dan simetris ke- dilakukan dengan menstimulasi sistem
tika mendapat rangsang cahaya, tan- vestibular [kanalis semisirkular pada
pa adanya gangguan pergerakan telinga tengah), yaitu merotasi kepala se-
ekstraokular. Namun jika ukuran cara pasif (refleks okulosefalik atau doll's-
pupil berbeda >lmm malm disebut head maneuver) atau memberikan stimulasi
pupil anisokor. Apabila konstrik- yang kuat berupa irigasi air dingin pada
sinya tidak simetris dan tidak membran timpani (refleks okuloVestibular
sama cepat, umumnya disebabkan atau tes kalori air dingin).

Gambar 3. Pola Gambaran Pupil Berdasarkan Lesi di Batang Otak

27
Buku Ajar Neurologi

Doll's-head maneuver dilakukan dengan miliki pergerakan horizontal bola mata


cara merotasi kepala secara horizontal un- yang terkonjugasi. Gerakan ini dapat
tuk menimbulkan gerakan horizontal, ke- muncul secara spontan atau melalui in-
mudian dilakukan juga rotasi vertikal un- duksi dengan doli’s-head maneuver. Se-
tuk menimbulkan gerakan vertikal. Bola lain itu, deviasi bola mata yang terkonju­
mata akan bergerak ke arah yang berla- gasi ke sisi irigasi [pada tes kalori) juga
wanan dengan arah rotasi [Gambar4), merupakan tanda fungsi batang otak
yang intak. Jika terdapat pergerakan bola
Tes kalori air dingin atau cold-water
mata yang horizontal pada pasien penu­
caloric [okulovestibular], merupakan
runan kesadaran, kemungkinan penye-
stimulus yang lebih poten dan dilaku­
babnya bukan akibat lesi struktural di
kan dengan cara mengirigasi membran
batang otak, namun kelainan nonstruk-
timpani oleh air dingin. Sebelum tes ini
tural (seperti gangguan metabolik) atau
dilakukan, membran timpani harus di-
lesi bilateral pada hemisfer.
pastikan intak karena tes ini dikontra-
indikasikan pada perforasi membran Pergerakan bola mata dikatakan tidak normal
timpani. Pada pasien yang sadar, irigasi jikaiPada tes kalori dengan air dingin, jika
membran timpani unilateral dengan air bola mata ipsilateral tidak bisa melakukan
dingin akan memunculkan nistagmus gerakan aduksi, sementara bola mata kon-
fase cepat dengan arah yang menjauh tralateral dapat melakukan gerakan abduksi
dari sisi yang diirigasi. Pada pasien penu- dengan normal, perlu dicurigai adanya lesi
runan kesadaran dengan fungsi batang yang mengenai nervus okulomotor (ner-
otak yang intak, irigasi unilateral mem­ vus III). Lesi tersebut bisa dalam bentuk
bran timpani akan menghasilkan deviasi lesi hemisfer yang mengaldbatkan herniasi
tonik searah dengan sisi yang diirigasi. transtentorium.
Irigasi bilateral dengan air dingin akan
• Jika bola mata tidak berespons ter-
memunculkan deviasi bola mata ke arah
hadap tes kalori dengan air dingin,
bawah, sedangkan irigasi bilateral dengan
perlu dicurigai adanya lesi struktural
air hangat (44°C) akan menginduksi de­
di pons atau kelainan metabolik yang
viasi bola mata ke atas. Jika respons bola
mengenai batang otak, seperti intok-
mata tidak adekuat atau tidak muncul
sikasi obat sedatif.
setelah diberikan stimulasi berupa irigasi
dengan air dingin (sebanyak 50mL) maka ® Deviasi bola mata ke bawah pada
perlu dicurigai adanya lesi struktural salah satu atau kedua mata pada tes
pada fosa posterior (serebelum atau kalori dengan air dingin, umumnya
batang otak), penyakit vestibular perifer, ditemukan pada kasus intoksikasi
atau intolcsikasi obat sedatif. obat sedatif.

Pasien penurunan kesadaran dengan 5. Pemeriksaan Respons Motorik fcerha-


fungsi batang otak yang intak akan me- dap Nyeri

28
Penurunan Kesadaran

Pemeriksaan respons motorik terhadap asimetris umumnya mengindikasikan lesi


nyeri dilakukan dengan cara memberi- struktural pada 1 hemisfer atau batang otak
kan tekanan pada supraorbita, sternum, sisi kontralateral tubuh yang mengalami de-
atau kuku, Respons terhadap stimulus fisit neurologis. Pada pasien dengan lesi di
ini dapat mengindikasikan penyebab pons bawah dan medula, umumnya tidak
penurunan kesadaran di hemisfer secara ada respons terhadap rangsang nyeri, hanya
simetris (gangguan metabolik atau lesi akan ada refleks spinal dalam bentuk fleksi
difus) atau asimetris (lesi struktural uni­ tungkai di lutut Pada penurunan kesadaran
lateral), serta membantu lokalisasi letak akibat gangguan metabolik atau intoksikasi,
disfungsi serebral. refleks tendon umumnya akan tetap dapat
ditemukan, kecuali pada kondisi koma dalam.
Pada disfungsi serebral derajat sedang,
respons pasien terhadap nyeri adalah Satu hemisfer luas, respons abnormal pada
dengan cara melokalisasi ke arah datang- ekstremitas kontralateral berupa dekor­
nya stimulus. Jika lesi mengenai talamus, tikasi (atas); lesi di mesensefalon, berupa
maka respons akan berupa dekortikasi, dekortikasi (tengah); dan di pons atas beru­
yaitu fleksi lengan, aduksi bahu, dan eks- pa deserebrasi (bawah)
tensi tungkai serta kaki yang terjadi se­
6 . F u n d u sk o p i
cara simultan (Gambar 5). Pada disfungsi
Pemeriksaan funduskopi dapat memberi-
otak yang lebih berat, rangsang nyeri
kan gambaran papiledema atau perdara-
akan direspons dalam bentuk deserebrasi,
han retina yang dapat terjadi pada kasus
yaitu ekstensi lengan, rotasi internal
hipertensi akut atau kronik, atau pening-
bahu dan lengan, serta ekstensi tungkai
katan tekanan intrakranial. Sementara itu,
yang terjadi secara simultan (Gambar 5).
perdarahan subhialoid (superficial retina)
Respons postur yang bilateral dan simetris merupaican suatu tanda kuat perdarahan
akan ditemukan pada lesi hemisfer bilateral subaralmoid.
dan metabolik. Postur yang unilateral dan
DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING

Respons okulosefalik Respons kalori


Menghadap Menghadap Mendongak Menunduk Air'hangat Airdingin
kanan kiri Kariah Riri Kanan Kiri

— > <— i > >


Gambar 4. Pola Refleks Okulosefalik dan Tes Kalori pada Lesi di Batang Otak

29
Buku Ajar Neurologi

i. issetsijoffic

2. feraste pasM a£$so£ak

5. Kemsstot: pada bagtsn atss ps&s

Gambar 5. Postur Abnormal Pascarangsang Nyeri Akibat Lesi

Umumnya sebagian besar diagnosis penu- Jika penurunan kesadaran dicurigai akibat
runan kesadaran dapat dibuat segera ber- intoksikasi zat tertentu, dapat dilakukan as-
dasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pirasi dan analisis isi lambung, juga analisis
yangteliti. Pemeriksaan penunjang dibutuh- kromatografi darah dan urin untuk menge-
kan untuk mencari etiologinya. Pada pasien tahui konsentrasi opiat, benzodiazepin, bar-
dengan tanda dan gejala lesi struktural atau biturat, alkohol, dan substansi toksik lain-
peningkatan tekanan intrakranial, memer- nya. Spesimen urin dikumpulkan dengan
lukan pemeriksaan CT scan atau MRI ke- kateter guna menentukan kadar glukosa,
pala. Pungsi lumbal dilakukan jika terdapat keton, dan protein urin. Proteinuria dapat
kecurigaan infeksi intrakranial, asal berhati- ditemukan 2-3 hari pasca perdarahan sub-
hati dengan risiko herniasi. araknoid. Urin dengan kadar glukosa dan
keton tinggi ditemukan pada pasien koma di-

30
Penurunan Kesadaran

abetikum, sedangkan urin dengan glikosuria nia, peritonitis, demam tifoid, malaria,
transien dan hiperglikemia dapat ditemu- septikemia, dan sindrom Waterhouse-
kan pada pasien dengan lesi serebral. Friderichsen.

Pemeriksaan darah terhadap konsentrasi d. Kegagalan sirkulasi (syok).


glukosa, ureum, kreatinin, amonia, elektrolit/ e. Post-seizure state , status epileptikus
SGOT, dan SGPT perlu dilakukan pada evalu- konvuisif dan nonkonvulsif.
asi awal pasien untuk mengeksklusi kemung- f. Ensefalopati hipertensi dan eklampsia.
kinan penurunan kesadaran akibatgangguan
g. Hipertermia dan hipotermia.
metabolik. Begitu juga dengan analisis gas
darah, hanya jika pasien menunjukkan tan- h. Concussion.
da dan gejala insufisiensi pernapasan atau i. Hidrosefalus akut.
gangguan asam-basa. Hitung jenis dan apus j. Penyakit degeneratif stadium akhir
darah tebal-tipis dilakukan pada pasien den­ dan Creutzfeldt-Jakob disease.
gan riwayat berpergian ke daerah endemik 2. Penyakit yang dapat menyebabkan
malaria. Leukositosis neutrofilik ditemukan penurunan kesadaran disertai dengan
pada kasus infeksi bakteri dan perdarahan iritasi selaput meningen dengan atau
serta infark otak. EEG juga dapat dilakukan tanpa demam. Analisis CSS ditemukan
jika pada pemeriksaan awal tidak ditemukan peningkatan sel darah putih, umumnya
bukti yang adekuat, untuk menegakkan sta­ tanpa tanda lateralisasi atau lesi fokal di
tus epileptikus nonkonvulsif yang dapat me- serebral atau batang otak, gambaran CT
nyebabkan penurunan kesadaran. scan atau MRI abnormal.
K lasifik asi a. Perdarahan subaraknoid yang berasal
1. Penyakit yang menyebabkan penurunan dari ruptur aneurisma, malformasi
kesadaran tanpa adanya tanda defisit arteri-vena, atau trauma.
neurologis fokal atau lateralisasi, umum-
b. Meningitis bakterial akut, ensefalitis
nya dengan fungsi batang otak normal.
virus, parasit.
Pemeriksaan CT scan atau MRI dan anali­
sis cairan serebrospinal (CSS) umumnya 3. Penyakit yang dapat menyebabkan penu­
normal. runan kesadaran disertai dengan latera­
lisasi atau tanda fokal batang otak atau
a. Intoksikasi: alkohol, barbiturat, opiat,
serebral dengan atau tanpa abnormali-
dan obat sedatif lainnya.
tas hasil analisis CSS. Hasil pemeriksaan
b. Gangguan metabolik: anoksia, asido- CT scan dan MRI memberikan gambaran
sis metabolik, uremia, gagal hati, hi- abnormal.
perosmolar hiperglikemia nonketotik,
a. Perdarahan hemisfer atau infark masif.
hipo- dan hipernatremia, hipoglike-
mia, krisis adrenal, defisiensi nutrisi, b. infark batang otak akibat trombosis
intoksikasi karbon monoksida, dan arteri basilar atau emboli.
ensefalopati Hashimoto. c. Abses otak, empiema subdural, ense­
c. Infeksi sistemik yang parah: pneumo­ falitis herpes.

31
Buka Ajar Neurologi

d. Perdarahan epidural dan subdural; dapat kembali sadar setelah mengalami


kontusio otak. penurunan kesadaran, namun kembali-
e. Tumor otak. nya tingkat kesadaran tersebut tidak
diikuti dengan kembalinya kewaspadaan
f. Perdarahan serebelar dan pontin.
( awareness ). Jika kondisi ini ter us ber-
g. Lain-lain: trombosis vena korteks, langsung selama >1 bulan, pasien ini di-
ensefalitis virus (herpes), infark em­ katakan berada dalam kondisi vegetatif
boli fokal akibat endokarditis bakteri-
(persistent vegetative state). Pasien yang
al, leukoensefalitis perdarahan akut, berada dalam kondisi vegetatif memi-
ensefalomielitis diseminata, lirhfoma liki kemampuan membuka mata secara
intravaskuiar, trombositopenia pur­ spontan, siklus bangun-tidur yang normal,
pura, emboli lipid difus, dan lainnya. dan fungsi batang otak serta otonom
yang intak.
DIAGNOSIS BANDING
1. Psychogenic unresponsiveness 3. Locked-in syndrome
Diagnosis ini merupakan suatu diagno­ Transeksi fungsional pada batang otak di
sis eksklusi dan ditegakkan hanya jika bawah pons tengah, dapat mengganggu
tidak terdapat bukti yang kuat untuk jalur descending form ation retikularis
menegakkan diagnosis penyakit lainnya. (yang bertanggung jawab mengatur ke­
Psychogenic unresponsiveness merupakan sadaran). Transeksi ini dapat diakibatkan
manifestasi Minis dari skizofrenia (tipe oleh infark pons, perdarahan, mielinolisis
katatonik), kelainan somatoform, atau pontin sentral, tumor, atau ensefalitis. Tran­
malingering . Pa da pemeriksaan fisik seksi ini akan mengakibatkan kondisi
umum tidak ditemukan adanya kelainan akinetik dan mute state, namun dengan
dan pada pemeriksaan fisik neurologis derajat kesadaran penuh. Pasien yang
terdapat penurunan tonus otot simetris, mengalami kondisi ini akan terlihat be­
refleks yang normal, dan respons yang rada dalam kondisi stupor-koma, tetapi
normal terhadap stimulasi plantar. Pada sebenarnya sadar penuh walaupun men-
pemeriksaan tes kalori dengan air dingin galami kuadriplegia dan mutisme. Pada
ditemukan adanya nistagmus fase cepat pemeriksaan fisik akan ditemukan gam­
yang tidak akan ditemukan pada pasien baran pergerakan volunter yang dikenda-
dengan penurunan kesadaran. Selain itu, likan oleh midbrain , seperti kemampuan
pemeriksaan dengan EEG akan mem- membuka mata spontan, pergerakan ver-
berikan gambaran gelombang normal tikal bola mata, dan gerakan konvergen
pada pasien sadar. bola mata. Hasil pemeriksaan EEG akan
menunjukkan gambaran normal.
2. Persistent vegetative state
Beberapa pasien dengan penurunan ke­ 4. Brain death
sadaran akibat hipoksia serebral, iske- Diagnosis brain death ditegakkan jika:
mia serebral global, trauma kepala, atau 1) fungsi respirasi dan sirkulasi berhenti
stroke yang mengenai kedua hemisfer secara ireversibel atau 2) seluruh fungsi

32
Penurunan Kesadaran

otak terhenti secara ireversibel. Pada c. Untuk mencegah kegagalan sirkulasi, pa-
pemeriksaan fisik didapatkan semua re- sang jalur intravena dan lakukan pemer­
fleks batang otak negatif. iksaan darah untuk mengetahui kadar
glukosa, elektrolit, fungsi hati, fungsi gin-
TATA LAKSANA jal, atau kadar obat-obatan tertentu yang
Pada prinsipnya, setiap gangguan di in- dicurigai menyebabkan terjadinya penu­
trakranial yang mendesak ARAS, maupun runan kesadaran.
gangguan sistemik tubuh yang mengganggu d. Jika terdapat tanda dan gejala pening-
neuron secara difus dapat menyebabkan katan tekanan intrakranial akibat stroke
penurunan kesadaran. Maka pada setiap atau perdarahan, dapat diberikan manitol
pasien d e n g an penurunan kesadaran, 25-50m g dalam solusio 20% intravena
yang pertama dicari adalah adanya gangguan selama 10-20 menit, atau deksametason
intrakranial, oleh karena harus ditatalaksana loading lOmg IV jika diperkirakan akibat
segera untuk mencegah kerusakan lebih massa atau infeksi intrakranial.
lanjut. Jika ternyata penyebabnya adalah ke- e. Antibiotik spektrum luas diberikan pada
lainan sistemik, maka penanganannya pun
pasien dengan gejala dan tanda yang
perlu dipertimbangkan dari sudut pandang mengarah pada meningitis atau ensefali-
neurologi agar otak tetap terjaga dan terhin- tis bakterialis, jika pungsi lumbal tidak
dar dari komplikasi ensefalopati yang dapat
dapat dilakukan segera.
bersifat ireversibel di kemudian hark
f. Jika pasien kejang, berikan diazepam in­
Jadi tata laksana akan sangat bergantung travena perlahan.
pada etiologinya. Namun kadang etiologi
g. Jika terdapat tanda dan gejala intoksikasi
tidak dapat langsung ditemukan, sehingga zat atau substansi tertentu, perlu dilaku­
tatalaksananya belum bisa spesifik. Oleh kan bilasan lambung untuk diagnosis dan
karena pada penurunan kesadaran terjadi terapi. Namun, perlu diperhatikan terdapat
penurunan refleks-refleks dasar termasuk beberapa obat (salisilat, opiat, dan obatan-
menelan dan bisa terjadi gangguan napas,
tikolinergik) yang dapat menyebabkan ato-
maka diperlukan tata laksana awal yang nia gaster sehingga bilasan lambung tidak
bersifat suportif, untuk memperbaiki kondi- dapat dilakukan karena dapat mengakibat-
si akutyang mengancam nyawa seperti: kan perforasi. Pada kasus seperti ini, pasien
a. Bebaskan jalan napas dengan suction jika dapat diberikan activated charcoal
terdapat lendir di jalan napas atau posisi- h. Jika pasien mengalami gangguan peng-
kan pasien sehingga menghadap ke lateral. aturan suhu tubuh, perlu dilakukan koreksi
b. Berikan oksigen dengan nasal kanul guna mencegah hipo- atau hipertermia.
atau sungkup dan lakukan pemeriksaan i. Pemasangan kateter urin guna mencegah
analisis gas darah jika dibutuhkan. Jika peningkatan intra-abdomen yang berba-
pasien diketahui terdapat hipoksia atau haya pada kasus penurunan kesadaran
hipoventilasi dan tidak memiliki kemam- dengan peningkatan tekanan intrakra­
puan mencegah aspirasi, maka dapat di­ nial, juga berfungsi untuk memonitor ba-
pertimbangkan intubasi endotrakeal lans cairan pasien.

33
Buku Ajar Neurologi

j. Pemasangan pipa nasogastrik untuk 2. Apakah intervensi awal yang dibutuh-


memudahkan pemberian nutrisi dan kan pasien ketika pasien sampai di IGD?
mencegah aspirasi. 3. Apakah pemeriksaan yang dibutuh-
k. Mobilisasi pasif dengan cara merubah kan pada pasien?
posisi pasien miring ke kiri dan kanan se- 4. Apakah pemeriksaan penunjang yang
cara teratur tiap 2 jam untuk mencegah dibutuhkan pada pasien dalam waktu
uikus dekubitus. 24 jam?
L Jaga kebersihan konjungtiva dan mulut
ja w a b a n :
pasien untuk mencegah pertumbuhan
bakteri. 1. Diagnosis banding etiologi penurunan
kesadaran pada pasien adalah sebagai
Pada dasarnya, prognosis pasien dipengaruhi berikut:
oleh penyakit dasar yang menyebabkan penu-
a. Hipoglikemia karena pasien memiliki
runan kesadaran. Pemulihan akibat gangguan
riwayat mengonsumsi obat-obat untuk
metabolik memiliki prognosis yang lebih baik
hiperglikemia
dibandingkan dengan penurunan kesadaran
aldbat anoksia. Jika dalam pemeriksaan fisik b. Trauma kepala karena pasien memi­
tidak ditemukan adanya respons pupil, kor- liki riwayat trauma kepala tiga hari
nea, atau okulovestibular dalam beberapa jam yang lalu
setelah onset koma, maka sangat kecil kesem- c. Stroke karena pasien memiliki riwayat
patan untuk perbaikan kembali. Hal itu teru- hipertensi dan memiliki riwayat pe­
tama jika tidak terjadi pemulihan dalam 1-3 nyakit keluarga stroke
hari setelah onset penurunan kesadaran. d. Massa intrakranial karena pasien me­
miliki riwayat penyakit keluarga tumor
CONTOH KASUS pada telinga
Wanita, 65 tahun, tiba-tiba tidak sadar- 2. Tata laksana awal pada pasien dengan
kan diri saat bangun tidur di pagi hari. Se- penurunan kesadaran, meliputi:
belumnya ia merasa lemas seluruh badan
a. Bebaskan jalan napas dengan suction
dan sakit kepala, tak lama kemudian suami
(jika terdapat cairan di jalan napas)
pasien menemukannya terjatuh dan tidak
atau posisikan pasien sehingga meng-
memberikan respons. Pasien pernah ter­
hadap ke lateral.
jatuh hingga kepala terbentur tiga hari yang
lalu. Pasien memiliki riwayat mengonsumsi b. Berikan pasien oksigen dengan nasal
obat-obatan untuk hipertensi dan diabetes. kanul atau sungkup dan lakukan pemer­
Riwayat penyakit keluarga pasien meliputi iksaan analisis gas darah jika dibutuhkan.
stroke pada ibu pasien dan tumor telinga c. Untuk menghadapi kemungkinan
tengah pada saudara laki-lakinya. adanya kegagalan sirkulasi, pasang
jalur intravena dan lakukan pemerik­
P e rta n y a a n :
saan darah untuk me-ngetahui kadar
1. Apakah kemungkinan diagnosis pada
glukosa, elektrolit, fungsi hati, fungsi
pasien?

34
Penurunan Kesadar

ginjal, atau kadar obat-obatan ter- 4. Pemeriksaan penunjang yang dibutuh-


tentu yang dicurigai menyebabkan kan, meliputi:
terjadinya penurunan kesadaran. a. CT scan atau MRI kepala mutlak pada
d. Jika terdapat tanda dan gejala pen- penurunan kesadaran akut dengan
ingkatan tekanan intrakranial akibat defisit fokal atau gejala peningkatan
perdarahan intrakranial akibat stroke tekanan intrakranial.
atau trauma, diberikan manitol 25-
b. Spesimen urin dikumpulkan dengan
50mg dalam solusio 20% secara intra­
kateter untuk pemeriksaan urinali-
vena dalam waktu 10-20 menit Jika
sis guna menentukan kadar glukosa,
disebabkan oleh lesi desak ruang aid-
aseton, dan protein.
bat inflamasi atau neoplasma, diberi­
kan deksamethason bolus lOmg IV. c. Pemeriksaan darah guna mengetahui
konsentrasi glukosa, ureum, kreatinin,
e. Jika pasien kejang, berikan antikon-
amonia, elektrolit, SCOT, dan SGPT perlu
vulsan.
dilakukan secara rutin untuk mengek-
f. Lakukan pemasangan kateter urin. sklusi kemungkinan penurunan kesada­
g. Pertimbangkan pemasangan pipa naso- ran akibat gangguan metabolik. Begitu
gastrik untuk memudahkan pemberian juga dengan analisis gas darah, dilaku­
nutrisi dan mencegah aspirasi. kan hanya jika pasien menunjukkan tan­
h. Lakukan imobilisasi dengan cara da dan gejala insufisiensi pernapasan
merubah posisi pasien miring ke ldri atau gangguan asam-basa.
dan kanan secara teratur tiap 2 jam un­
tuk mencegah ulkus dekubitus. DAFTAR PUSTAKA
i. Jaga kebersihan konjungtiva dan mulut 1.Aminoff M, Greenberg D, Simon R. Clinical neuro­
logy. Edisi ke-6. California: Lange; 2005. h. 45-51.
pasien untuk mencegah pertumbuhan
2. McNarry AF, Goldhill DR. Simple bedside assess-
bakteri. mentoflevel ofconciousness: comparison oftwo
simple assessment scales with the Glasgow coma
3. Pemeriksaan fisik: scale. Anaesthesia. 2004;59(l):34-7.
a. Primary survey: airway, breathing, cir­ 3. Posner JB, Saper CB, Schiff ND, Plum F. Plum and
culation. Posner’s diagnosis of stupor and coma. Oxford:
Oxford University Press; 2007;h.38-46, 77-81.
b. Pemeriksaan umum, meliputi tanda 4. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor's prin­
vital, tanda trauma, tanda pada kulit, ciples of neurology. Edisi ke-8. USA: McGraw-Hill;
funduskopi. 2005. h. 302-20.
5. Wijdicks EFM, Varelas PN, Gronseth GS, Greer DM.
c. Pemeriksaan neurologis, meliputi Evidance-based guideline update: determining brain
pemeriksaan derajat kesadaran, death in adults. Neurology, 2010;74(23):1911-18.
tanda rangsang meningeal, pemerik­ 6. Koch C, Massimini M, Bolly M, Tonon i G. Neural
correlates of consciousness; Progress and prob­
saan pupil, pemeriksaan gerakan bola lems. Nature reviews [serial online] 2016. [di-
mata, dan pemeriksaan respons mo- unduh 20 Apr 2016];2016:1038. Tersedia dari:
torik terhadap nyeri. Nature Reviews.

35
PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL

Taufik Mesiano

PENDAHULUAN dan sebagainya dapat menyebabkan pen­


Tempurung kepala manusia dewasa meru- ingkatan TIK yang dapat berlangsung cepat
pakan rongga yang berisi tiga komponen, yai- jika tidak segera ditatalaksana.
tu jaringan otak (serebral serebelum, batang
Oleh karena itu, semua tindakan neuroemer­
otak, dan medula spinalis], darah di dalam
gency pada prinsipnya adalah mengatasi pe­
pembuluh darah, dan cairan serebrospinal
ningkatan TIK untuk mencegah kecacatan
(CSS). Ketiganya terselubungi oleh struktur
dan kematian. Hal ini hanya akan dapat berhasil
jaringan yang kuat dan inelastis, yakni dura-
dengan memahami gejala dan mekanisme pe-
mater. Dengan struktur tersebut, tempurung
rubahan TIK, serta tata laksana peningkatan
kepala manusia dewasa merupakan rongga
TIK berdasarkan patofisiologinya.
yang tertutup dengan volume yang tetap dan
dalam keadaan yang seimbang, yang dikenal
EPIDEMIOLOGI
sebagai doktrin Monro-Kellie.
Penyebab tersering peningkatan TIK pada
Adanya peningkatan salah satu dari kompo­ kasus neurologi adalah trauma otak, stroke,
nen akan dikompensasi dengan penurunan neoplasma, hidrosefalus, ensefalopati hepa-
volume komponen yang lain, sehingga tikum, trombosis vena, ensefalitis, dan ab-
tekanan intrakranial (TIK) akan dipertah- ses. Peningkatan TIK merupakan prediktor
ankan konstan. Contohnya penambahan perburukan keluaran pada banyak kasus
volume otak oleh massa intrakranial, akan neurologi. Pada suatu studi trauma otak,
menyebabkan kompensasi berupa pemin- pada TIK kurang dari 20mmHg perburukan
dahan CSS ke rongga spinal, deformasi otak keluaran terjadi pada 18,4% kasus. Pada
melalui peregangan otak, serta penguran- TIK lebih dari 40mmHg, keluaran membu-
gan produksi CSS, Proses ini dinamakan ruk hingga 3 kali lipatnya.
daya akomodasi tekanan volume otak atau
intracranial compliance. PATOFISIOLOGI
TIK pada orang dewasa normal adalah seki-
Jika kompensasi tersebut gagal, maka akan
tar 100-180mmH20 (8-14mmHg) pada po-
terjadi peningkatan TIK yang menyebabkan
sisi dekubitus lateral, tenang, dan tungkai
gangguan perfusi atau herniasi otak, se­
lurus. Rentang nilai normal TIK ini berubah
hingga berujung pada kematian. Sementara
sesuai dengan keadaan dan posisi tubuh.
berbagai keadaan patologis di otak, seperti
TIK juga berubah seiring mengikuti satu
iskemia, perdarahan, inflamasi, neoplasma,
siklus ritme pernapasan. Pada keadaan se-

36
Peningkatan Tekanan Intrakranial

seorang mengedan dan batuk, TIK akan me- an perfusi serebral [cerebral perfusion pres-
ningkat sementara imtuk kemudian kem- sure/C PP), yang selanjutnya menyebabkan
bali normal. penurunan aliran darah serebral atau cere­
bral blood flow (CBF) dan memicu iskemik
Sebagaimana dijelaskan pada pendahuluan,
global yang berakhir pada kematian. Jantung
terdapat mekanisme kompensasi terha-
dan sistem pembuluh darah juga berusaha
dap perubahan volume intrakranial untuk
mengkompensasi dengan meningkatkan
menjaga TIK dalam rentang fisiologis. Kom­
rerata tekanan darah arteri [mean arterial
pensasi pertama yakni melalui sistem vena
pressure/MA?) agar pada saat peningkatan
yang dapat dengan mudah untuk kolaps
ICP tidak segera menurunkan CPP. Hal ini
mengeluarkan darah melalui vena jugularis,
sesuai dengan formula; CPP= MAP-ICP
vena emisari, dan vena daerah kulit kepala
[scalp). Kompensasi kedua melalui pening­ Mekanisme kedua, peningkatan TIK yang tinggi
katan pemindahan aliran CSS dari foramen aldbat penambahan massa fokal di otak dapat
magnum ke ruang subaraknoid. mendorong sebagian parenkim otak ke daerah
yang lemah yang tidak dibatasi oleh duramater,
Oleh karena itu, penambahan volume intrakra­
seperti folks atau tentorium, yang disebut her-
nial sampai batas tertentu tidak akan segera
niasi otak Pada akhirnya, dorongan parenldm
meningkatkan TIK. Namun jika volume terus
itu akan masuk ke satu-satunya daerah kosong
bertambah sementara mekanisme kompensasi
di intrakranial, yaitu foramen magnum, yang
sudah bekerja maksimal, maka akan terjadi
menuju area batang otak yang sangat vital
peningkatan TIK [intracranial pressure/ICP)
fungsinya, Inilah yang paling ditakutkan dari
(Gambar 1) yang akan menyebabkan kematian
peningkatan TIK, yaitu kematian aldbat her-
melalui gangguan perfusi dan hemiasi otak
niasi ke batang otak sebagai pusat kesadaran,
Peningkatan TIK akan menurunkan tekan­ respirasi, dan kardiovaskular.

Gambar 1. Kurva Hubungan Penambahan Volume dan Tekanan Intrakranial

37
Buku Ajar Neuroiogi

Berdasarkan lokasinya herniasi otak dapat di lobus parietal dari kedua belah hemis­
dibagi menjadi empat, yaitu [Gambar 2): fer akan mendorong diensefalon dan mid­
brain ke bawah melalui insisura tentorium.
1. H e rn ia s i C in g u lata
Terjadi akibat penambahan massa in- 3. H e rn ia s i T e n to ria l (H e rn ia si U n k a l}
trakranial di daerah supratentorial. Merupakan herniasi yang sering terjadi,
Penambahan ini mendorong girus cin- terutama pada perdarahan epidural lo­
guli yang terletak di dekat falks serebri bus temporal. Berbeda dengan herniasi
(lapisan meningen yang memisahkan sentral, herniasi unkal terjadi akibat ada-
kedua hemisfer), sehingga bergeser ke nya penambahan massa intrakranial di
hemisfer kontralateral. daerah temporal. Penambahan massa
tersebut, menekan massa otak di daerah
2. H e rn ia s i S e n tra l
inferomedial (unkus) sehingga terdorong
Terjadi akibat penambahan massa in-
kebawah melalui celah antara tentorium
trakranial yang jauh dari daerah tento­
dengan batang otak. Gejala khas herniasi
rium, seperti pada lobus frontal, parietal,
unkal adalah penurunan kesadaran yang
dan atau oksipital. Sebagai contoh penam­
semakin memberat, dilatasi pupil ipsilat-
bahan massa akibat perdarahan subdural
eral, dan hemiplegia kontralateral

38
Peningkatan Tekanan Intrakranial

4, H e rn ia si T o n sila r Paresis nervus kranialis juga dapat terjadi


Penambahan massa intrakranial di daerah pada keadaan peningkatan TIK yang telah
fossa posterior atau infratentorial dapat menekan nukleus di batang otak Tanda yang
mengakibatkan herniasi tonsilar. Sebagai khas pada herniasi unkal yaitu dilatasi pupil
contoh perdarahan di daerah serebelum ipsilateral akibat penekanan nukleus Edinger-
yang masif dapat menekan serebelum Westphal di mesensefalon, sehingga tampak
dan selanjutnya menekan batang otak, se- pupil anisokor. Adapun nervus kranialis yang
hingga keluar melalui foramen magnum. paling sering terkena adalah nervus abdusens,
yang merupakan nervus terpanjang yang ber-
g e ja l a d a n t a n d a k l in is jalan di daerah subaraknoid, setelah keluar
Efek yang ditimbulkan akibat peningkatan dari batang otak melintas di atas klivus. Maka
TIK tergantung pada patologi dan anatomi hal ini dapat dicari pada pemeriksaan fisik
yang menjadi penyebabnya. Pada kasus tu­ atau ditanyakan Idiusus ada tidaknya diplopia
mor intrakranial yang patologinya terjadi bersamaan dengan gejala saldt kepala.
secara gradual, gejala utama yang dikeluh-
Peningkatan TIK dapat menyebabkan peruba-
kan berupa sakit kepala, sedangkan pada
han tanda vital. Pada fase awal keadaan terse-
kasus perdarahan intraserebral masif akibat
but akan terjadi aktivasi sistem simpatis se­
stroke akut dapat terjadi gejala yang sangat
bagai usaha tubuh untuk meningkatkan suplai
berat, yaitu penurunan kesadaran. Adaka-
darah ke otak, sehingga terjadi peningkatan
lanya peningkatan massa intrakranial tidak
tekanan darah dan takikardi. Jika peningka­
bergejala sampai terjadi kegagalan kompen-
tan TIK terus berlanjut hingga menyebabkan
sasi untuk menurunkan TIK. Lesi desak ru-
penekanan batang otak, maka akan terjadi
ang di serebelum tidak selalu menimbulkan
Trias Cushing, yaitu peningkatan tekanan
gejala, namun pasien dapat datang dengan
darah, bradikardia, dan pola napas ireguler.
peningkatan TIK akibat hidrosefalus dari
Trias ini merupakan gejala khas yang terjadi
obstruksi di ventrikel keempatyang menye-
pada keadaan iskemia general ataupun iske-
babkan kegagalan kompensasi.
mia lokal akibat penekanan pada batang otak
Gejala dan tanda klasik peningkatan tekanan in­
Pola napas akan berbeda sesuai dengan
trakranial adalah adanya salat kepala, muntah,
level batang otak yang mengalami keru-
dan papiledema. Sakit kepala dialdbatkan oleh
sakan (Gambar 3). Lesi di daerah diense-
peregangan struktur peka nyeri di meningen
falon dapat menyebabkan pola napas
pada peningkatan TIK. Muntah biasanya me-
Cheyne-Stokes. Pernapasan hiperventilasi
nyertai saldt kepala tanpa didahului oleh mual,
aldbat kerusakan di midbrain dan pons ba-
karena perangsangan pusat muntah di area
gian atas. Lesi di pons bagian tengah dapat
postrema (di sekitar ventrikel 4, dorsal dan
terjadi napas apneustik. Pola napas klaster
medula oblongata). Papiledema dapat men­
terjadi pada kerusakan terjadi pada bagian
jadi tanda patognomonik adanya peningkatan
bawah pons, sedangkan tipe ataksik pada
TIK dengan spesifisitas yang tinggi. Namun pe­
kerusakan di daerah medula oblongata.
ningkatan TIK tanpa adanya papilledema juga
dapat terjadi pada lesi daerah oksipital.

39
Buku Ajar Neurologi

,~^ij
Pels pematJasai^Cheyraj tmhm
U a i Q k ih t i p a d s a e r a b r u m f p e m g k a l M T t * , p e n s w u li
tifppu^a#3fwtg»{H#Junturg# ^ ii tfflth

/ . » . \ | . . . Q (

^ *"'*3 ^ -w ^ w / Paid pemapassn ttipcruenLildsi Ncuragenik5crrttt£


Lesi [ikls dMar e lk tsrsgeh dirrtefjs'i alas pcr»

.^ S J V
Pola pernapaian Apneuitik
L es i p a d s b s g l s n l e n p h j m s

led p*a1i3 pc*?*

V ■\ Pols pernapasmj?£2tefe
kesijkx» itstwvikliimi nSSulsrdsnf^sduiscfe*jos»t*

Gambar 3. Pola Pernapasan Abnormal pada Penekanan Batang Otak


TIK: tekanan intrakranial

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING sakit kepala, muntah, dan papiledema. Se-
Keadaan intrakranial dapat ditegakkan lain gejala tersebut penting mengetahui
dengan melihat gejala yang timbul pada kumpulan gejala yang menunjukkan tingkat
pasien. Diperlukan anamnesis yang detail herniasi dan lokasi kerusakan yang terjadi
mengenai patofisiologi penyebab terjadinya akibat herniasi tersebut. Kumpulan gejala
peningkatan TIK untuk memastikan patologi perubahan pola napas, refleks pupil, refleks
penyebab. Hal ini bermanfaat dalam memilih okulosefaiik dan okulovestibular, serta res-
modalitas tata laksana penurunan TIK. pons motorik dapat membantu menentukan
topis kerusakan akibat herniasi (Gambar 4).
Tiga gejala kardinal keadaan peningkatan
TIK yang sebelumnya disebutkan adalah

40
Peningkatan Tekanan Intrakranial

Immp
pemapason
r«gi^er
Iq w m en o u
To>i*iV>g O^eyr* -
Stokes
p em jp jso n
Ei^nea* tUsertaJ ftelaon
rVi(WHdm tTKngtup
0 «CYr'C - Slotos

OkuTOO pupH UkunJf) pupil


dan malol dan reofel
PHipa
3
P»*>a U i iptlLjhWt
pcnttaLfr? *dn pmblhVt bcrukurin kerf fnbVnul

Rtspuns
okukKcfs^k QkutacteEik
don dart
clajEovestitKAar ckukjsrtstlbotar

fes kilarl slrdei^n Manuvw Doits h ex l toterl air iS n ^ in ^ ^ MsnuvwOnto head ^

fieipons Rcipont \J . •' ji S:j •‘''■'■•'•u


motodksdat

terhadap
dan
( ' ’<>*
\
•LMdwnteiil motortkoaot
tsOrahat dan V '/ \ . 1 y*?-.
icftvxJop
fpmuktst stlmUasi x "* *
\ ^ L ^ \
'’- S v X
H e r n ia s i U n k a l
/ ^ H e r n ia s i p o n s baw ah - M O ^

Irsma Imma
pem spassn / # W A W M
H^erwrtiati reguier Terbadsng Cbc^T*-
C b v k 'S t e t o terns rneram £i&k«

Ukurw pupil UkurUn pupil


dan reafcsi
pupa
dan reaksf
pupH X Z X X ( tC r i- .t 1 A A

5
Pvipa ix n * ^art teal
Pupa midpojisi 1
/< ^ >^ r Klax ^

Rw poni Respons
Okukre&£k okuloicfoSik
dan
okukM e^atiar :r ' T ; ■" ''r'^P dan
okuEovestibutw =" " J l-: < : Y Y jr ; Hl:' Y c? r'

4
Tes tote** * (Jrrjso f^aouv^Po^ head TfeskaSertairtftngin Manuvcr Do$% head

flcspons ''•J:.: TiOlkadA J VC -V-A-?; -- 4


IMrikH W^Jp* «• •• ^ Itownr* tWafc- (' r .; ••>• s bb rtiwt dn )4
tw>i Wrst*rtixs
m d to r tk w t
IsUratot dan
\V t
petyr+i*aa ■f {^ \ i
1
■••< ! ..-»' '••
hMuovi kt^kd
tkrt^Sh Muldal
Rw poni
motonk
\y._J
"v> «a*s?o»kH A\
~J"'vs s Uwyww K*
V 'o V "* ^ dan \ ••s \ . ’ ••'\ . M f*w n dwt led
terttadap tcrhodap
V i - s “\ v\ '" ,'v , ■ s v v 'A \ <&»u 'y v A \
stknulasl stlmtAisi
'■"^A., 'A ' v ,
H e r n ia s i s e n t r a l ( e a r l y d i e n c e p h a l i c s t a g e ) H e r n i a s r j i o n s a t a s - m id b r a ir r '

pemapasan
^y^A/^JVVV/,A*V^A^ «tau —A_/|— A ^ V a —A— A _ \
Inama
pcmapasan / ' / A w v A / A ^ A A / A w v A / w \ / , 'A fA V 1
Eupneft, nrnfcupun ru p a
(KMldfniian^lilirinKTrui 44
iItti a n t^ i,^ CUmifi*Mo
(fan Urrte^n (« ki£k)

l^OB’pn pi^il Ufcurim pufril


nsaksi dan reoksi
fwp 3 pwpti
£ ' i O ) J.j | •"( -..J© f ^ © j j -v •:© ? •„

Ptipbi n v ^ r ^ i " 4
y ,l^ ^ ^ " T t l k « a pm ri^iw IMP# cenricrung <S&afs$i / ^ O v ^ T U ik te n Js p s tfe ik jl

Fte^ppns X <' ,_ \ j ftespons


okutoMdftE-k ckuloscfe&k
dftn
OkuluvGst^n^ftr okuloyostfeular

TeijLskml tw d n ^ t H « w CWTr head T « tobjrt fttf ffiftgJn


*«MI« p«*ww n * *r**ajp 9
m m * ** Qi&S head
Lcbi* iK+pm* Mri,

_ A -i> , 7<Jjf. rij IritAi'l .•J"]!


y t' r ,
H
TTi ,
. r/r,J
4
*#t#M*fcm* w**«*«*t**i
i
Respons B tap o rti
motorik a^at
btM’phptdpn
m obxik saat
is & a te td a n \ \ j- 'Iwidi fcatitT*** 1 _
tertmdap
j^rwjtaai
\ \ 'v ':<', \
•■-> >.. \
fliatl
x'^’ - 4
rrlpMModtu'ik>
' v * b«whtc Aj<fefnUt
tcrhadap
itkoukisi
*****

\ ^ ■■-. >.v-. '■


A
H e r n ia s i s e n t r i jf (la te d ie n c e p h a lic s t a g e ) ^ ^ H e r n ia s i d o r s a l m id b r a in ^

Gambar 4. Jenis Herniasi Otak Beserta Gambaran Klinis


Tanda herniasi unkal, tahap kompresi ianjut nervus ill (Gambar A). Tanda herniasi transtentorial sentral atau
pergeseran diensefalon ke lateral yaitu early diencephalic stage (Gambar B), late diencephalic stage (Gambar C],
tahap pons bagian bawah-medula oblongata bagian atas (Gambar D), dan tahap midbrain-pons bagian atas (Gam­
bar E). Tanda kompresi dorsal midbrain (Gambar F).

41
Buku Ajar Neurologi

TATA LAKSANA V olum e CSS


Tata laksana terbaik untuk menurunkan TIK Pada peningkatan TIK akibat hidrosefalus,
adalah mengatasi penyebabnya. Namun bila tata laksana bisa dilakukan secara mekanik,
hal tersebut tidak dapat dilakukan, maka yaitu melakukan diversi aliran CSS. Diversi
dilakukan pendekatan lain baik secara me- ini dapat dilakukan secara permanen de­
dikamentosa maupun mekanik. Pada prin- ngan pemasangan pirau ventrikel peritone­
sipnya, tidak ada satu modalitas yang sangat al (VP shunt) ataupun tindakan sementara
sesuai untuk mengatasi peningkatan TIK, seperti drainase eksternal. Hal ini untuk
karena perubahan TIK yang sangat dinamik. mengalihkan aliran CSS dari sistem ven­
Target akhirnya adalah menjaga TIK di trikel ke ekstrakranial ataupun peritoneum.
bawah 20mmHg dan CPP diatas 60mmHg.
Bila tindakan diversi tersebut tidak dapat
Pada pasien dengan peningkatan TIK yang
dilakukan karena faktor dari pasien atau­
memerlukan pengawasan ketat, dapat
pun patologinya, dapat diberikan medika-
menggunakan kateter intrakranial untuk
mentosa untuk mengurangi produksi CSS,
memantau besarnya TIK sekaligus mengu-
seperti asetazolamid, furosemid, dan kor-
ranginya bila terfadi peningkatan.
tikosteroid. Asetazolamid merupakan suatu
Tata laksana umum peningkatan TIK adalah agen karbonik anhidrase yang dapat mengu­
menjaga oksigenasi dengan target saturasi rangi produksi CSS bervariasi hingga 66%.
>94% atau Pa02 >80mmHg serta mem- Namun, asetazolamid juga memiliki efek
pertahankan CBF tetap optimal dengan vasodilator yang dapat juga memperburuk
menjaga tekanan darah sistolik >90mmHg peningkatan TIK, sehingga harus hati-hati
dan CPP >60mmHg. Selain itu diperlukan pada cedera kepala tertutup.
pemantauan keseimbangan cairan dengan
V olum e D a ra h
target mempertahankan status cairan eu-
Peningkatan CBF dapat meningkatkan cere -
volemi serta menurunkan kebutuhan me-
bral blood volume (CBV) yang dapat berkon-
tabolisme dengan mencegah rasa nyeri, de-
tribusi meningkatkan TIK. Peningkatan CBV
mam, dan agitasi.
atau keadaan hiperemia dapat menurunkan
Rumus berikut menggambarkan kompo- compliance pembuluh darah dan pening­
nen/faktor yang memengaruhi perubahan katan TIK. Hiperemia dapat terjadi pada
TIK untuk pertimbangan tata laksana khu- trauma kepala sebagai prediktor buruknya
sus pada peningkatan TIK: keluaran pasien.
VCSS + V d a ra h + V o ta k + V m a s s a lain = Tata laksana peningkatan TIK akibat hiper­
V ru a n g in tra k ra n ia l emia harus secara hati-hati dan dipastikan
K e te ra n g a n : diketahui proses patologi penyebabnya.
VCSS: volume cairan serebrospinal; V darah: vol­ Beberapa tata laksana yang dianggap efek-
ume darah dalam pembuluh darah; V otak: volume tif untuk menurunkan CBV, di antaranya
otak; massa lain: volume massa tambahan; V ruang adalah dengan hiperventilasi dan elevasi
intrakranial: volume ruang intrakranial. kepala 30°. Elevasi kepala akan memperlan-
car drainase vena dan aliran CSS yang di ke-

42
Peningkatan Tekanan Intrakranial

luarkan melalui sistim vena. Dengan tingkat © Edema vasogenik


elevasi kepala hingga 60° tidak mengganggu Akibat peningkatan permeabilitas endo-
perubahan CPP. tel kapiler otak oleh pelepasan sitokin
proinflamasi pada tumor, abses, ensefali-
Hiperventilasi dapat menyebabkan vaso-
tis, dan meningitis.
konstriksi pembuluh darah daerah pial de­
ngan menahan responsivitas C02 pembuluh Perbedaan mekanisme edema tersebut
darah. Responsivitas ini masih terjaga wa- akan memengaruhi tata laksana penu­
laupun terjadi gangguan pada mekanisme runan TIK. Pemberian cairan hiperosmolar
autoregulasi pembuluh darah akibat trauma seperti manitol dan salin hipertonik akan
pada otak. Pada dewasa perubahan lto rr bekerja optimal bila sawar darah otak ma­
PaC02 menurunkan 3% CBF. Dengan me­ sih baik pada edema sitotoksik dan jangan
kanisme vasokonstriksi ini, CBV akan turun, diberikan pada edema vasogenik. Beberapa
diikuti penurunan TIK. Hiperventilasi dapat studi telah melaporkan efikasi pemberian
memicu terjadinya alkalosis pada jaringan, cairan ini pada cedera kepala, perdarahan
sehingga dapat menjadi buffer asidosis in- intraserebral, dan perdarahan subaraknoid.
traseluler dan CSS, yang sering terjadi pada Dosis manitol yang disarankan berkisar
cedera kepala berat. Namun efek tersebut 0,18 hingga 2,5g/kg, sedangkan dosis salin
tidak dapat berlangsung lama. Apabila di- hipertonik belum terdapat pedoman yang
lakukan hiperventilasi berlebihan, maka jelas. Salah satu rekomendasinya adalah
akan menyebabkan iskemia yang berujung salin hipertonik 3% secara infus intravena
pada kematian sel. Hiperventilasi dengan perifer dengan kecepatan 30cc per jam dan
target PaC02 32-35Torr dianggap cukup target konsentrasi sodium 145-155mmol/L
menghindari risiko terjadinya iskemia. dicapai dalam 6 jam.

V olu m e O tak Pemberian steroid seperti deksametason


Faktor ketiga dari volume intrakranial dianjurkan diberikan pada edema va­
adalah penambahan massa otak, Hal ini ter­ sogenik akibat tumor intrakranial yang
jadi karena edema otak yang dapat disebab- menyebabkan kerusakan pada sawar darah
kan oleh berbagai patologi, yaitu: otak, namun harus dihindari pemberiannya
pada keadaan patologi edema sitotoksik
° Edema interstisial
karena tidak terbukti bermanfaat.
Edema akibat peningkatan tekanan CSS,
seperti pada keadaan hidrosefalus atau V olu m e M assa Lain
gangguan penyerapan CSS akibat perda- Peningkatan volume akibat massa lain, se­
rahan intraventrikel perti perdarahan, abses, ataupun tumor
ditatalaksana dengan evakuasi massa ter­
• Edema sitotoksik
sebut.
Merupakan edema neuronal yang ter­
jadi sekunder dari kerusakan sel akibat Semua tindakan tata laksana tersebut meru­
gangguan pompa ATPase, seperti pada pakan keadaan neuroemergency yang harus
keadaan diffuse axonal injury (DAI) atau dilakukan sesegera mungkin dengan mem-
hipoksia pascastroke. pertimbangkan prinsip-prinsip ABC (air­

43
Buku Ajar Neurologi

way, breathing, circulation) seperti halnya 2005.


2. Rengachary SS, Ellenbogen RG. Principles of neu­
pada kegawatdaruratan lain dengan peman-
rosurgery. Edisi ke-2, Edinburg: Elsevier Mosby;
tauan k etat Adapun tata laksana spesifik 2005.
masing-masing dapat dilihat di topik se- 3. Sadoughi AIL Rybinnik Igor. Measurement and
lanjutnya sesuai penyebab (Cedera Kepala, management of increased intracranial pressure.
The Open Critical Critical Care Medicine Journal.
Stroke, Tumor Otak, dan sebagainya) 2013;6(Suppl l:M 4]:56-65.
4. Marmarou A, Beaumont A. Physiology of cere­
DAFTARPUSTAKA brospinal fluid and intracranial pressure. Dalam:
Winn HR. Youmans neurological surgery. Edisi
1. Ropper AH, Brown RH, Adams Victor's principles
ke-6. Elsevier. 2011. h. 176.
of neurology. Edisi ke-8, New York: Me Graw Hill;

44
PUNGSI LUMBAL DAN
ANALISIS CAIMAN SEREBROSPINAL

Riwanti Estiasari, Ramdinal Aviesena Zairinal, Kartika Maharani

PENDAHULUAN produksi sepertiga lainnya belum jelas.


Analisis cairan serebrospinal (CSS) meru- CSS yang diproduksi di ventrikel lateral
pakan salah satu pemeriksaan penunjang akan mengalir ke ventrikel ketiga, melewati
di bidang neurologi, di samping pemerik­ akuaduktus sylvii, dan mencapai ventrikel
saan neurofisiologi (elektroensefalografi/ keempat. Selanjutnya, CSS mengalir melalui
EEG, elektromiografi/EMG, evoked poten­ foramen Luschka dan Magendie untuk dapat
tial} dan pencitraan (CT scan, MRI, ultra- keluar dari serebelum dan masuk ke ruang
sonografi/USG Doppler). Pemeriksaan ini subaraknoid. Di dalam ruang subaraknoid,
bertujuan untuk mendiagnosis beberapa CSS beredar ke atas melalui tentorium se-
penyakit, antara lain meningitis, ensefalitis, rebral dan mencapai ke seluruh konveksitas
perdarahan subaraknoid, sindrom Guillain- serebrum, hingga akhirnya menemui struk-
Barre, dan sindrom paraneoplastik. Analisis tur vili araknoid. Melalui vili araknoid, CSS
cairan serebrospinal juga dilakukan untuk kemudian keluar dari ruang subaraknoid
menyingkirkan diagnosis banding. Untuk menuju sistem sinus serebral untuk diab-
dapat melakukan analisis cairan serebro­ sorpsi, dan bergabung dengan aliran vena.
spinal, klinisi perlu melakukan tindakan Dengan demikian, CSS berasal dari dan
pungsi lumbal dan selanjutnya dianalisis di kembali ke sirkulasi darah.
laboratorium. Bab ini menjelaskan fisiologi
Orang dewasa memiliki volume CSS sekitar
cairan serebrospinal, prosedur pungsi lumbal,
140mL, dengan sebaran 25mL di ventrikel,
dan pemeriksaan cairan serebrospinal.
30mL di ruang subaraknoid medula spina­
lis, dan sisanya 85mL di ruang subaraknoid
CAIRAN SEREBROSPINAL
otak. Laju produksi CSS berkisar antara 20-
Cairan serebrospinal merupakan filtrat
25mL/jam atau 500-600mL/hari. Dengan
jernih dari plasma yang diproduksi oleh
demikian, CSS mengalami pergantian se-
sel-sel pleksus koroid, yang berada di ven-
banyak empat kali sehari, Produksi CSS ini
trikel lateral, ventrikel ketiga, dan ventrikel
tidak bergantung kepada tekanan CSS, ke-
keempat (Gambar 1). Sekitar dua pertiga
cuali pada kondisi tekanan CSS >45cmH20,
volume CSS diproduksi di ventrikel lateral
sedangkan absorpsi CSS berbanding lurus
dan ventrikel keempat, sedangkan sumber
dengan tekanan CSS.

45
Baku A jar Neurologi

Gambar 1. Aliran Cairan Serebrospinal di Dalam Sistem Saraf Pusat

PUNGSI LUMBAL Namun pungsi lumbal juga memiliki kontra-


Secara umum, pungsi lumbal bertujuan untuk indikasi, baik absolut maupun relatif. Kon-
diagnostikdan terapeutik. Pada aspek diagnos­ traindikasi absolut pungsi lumbal adalah
tic tindalcan ini dilakukan untuk mendapat- kondisi kardiopulmonal yang tidak stabil
kan sampel CSS dan pengukuran tekanan dan adanya infeksi kulit di lokasi tindakan.
pembukaan {opening pressure). Selain itu, Sementara kontraindikasi relatif ialah koagu-
pungsi lumbal juga dilakukan untuk injeksi lopati, jumlah trombosit <50,000/mm3, dan
zat kontras pada pemeriksaan mielografi dan peningkatan tekanan intrakranial dengan
agen radioaktif untuk sistemografi radionuk- ancaman herniasi,
lida. Pada aspek terapi, pungsi lumbal dapat
Beberapa komplikasi dapat terjadi pasca-
menurunlcan tekanan intrakranial serta untuk
tindakan pungsi lumbal, antara lain nyeri
memberikan antibiotik, kemoterapi, dan obat
lokal, nyeri kepala pascapungsi (post lumbar
anestesi intratekal.

46
Pungsi Lumbal dan Analis is Cairan Serebrospinal

puncture h ead ach e/ PLPH], infeksi, perda­ Herniasi serebral pada kondisi peningkatan
rahan, nyeri radikular, hingga herniasi se- tekanan intrakranial ialah komplikasi yang
rebral. Nyeri kepala merupakan komplikasi paling dikhawatirkan pada tindakan pungsi
pascatindakan pungsi lumbal yang cukup lumbal. Pada penilaian klinis awal, dapat di-
sering ditemukan, yaitu sekitar 25% dan ber- deteksi gejala dan tanda peningkatan tekanan
langsung hingga 2-8 hari. Hal ini akibat ke- intrakranial yang sebaiknya dikonfirmasi me­
bocoran CSS melalui lubang bekas pungsi lalui pemeriksaan CT scan/MRl. Oleh karena
lumbal yang menyebabkan penurunan itu, pasien dengan kecurigaan lesi desak ruang
tekanan CSS, sehingga dapat dicegah dengan dan ancaman herniasi perlu dilakukan peme­
menggunakan jarum berdiameter kecil dan riksaan CT sran/MRl sebelum tindakan untuk
sebisa mungkin tidak melakukan pungsi meminimalisasi komplikasi ini dengan melihat
berulang-ulang dalam satu kesempatan. Se- seberapa besar edema atau potensi herniasi
lain itu, perlu diatur kemiringan needle bevel serebral yang bisa terjadi.
saat insersi, sehingga paralel dengan sumbu
Beberapa gambaran CT scan yang dapat
longitudinal. Anjuran untuk berbaring posisi
menjadi petunjuk tingginya risiko herniasi
horizontal pascatindakan dan hidrasi yang
pada pasien pascadekompresi kompartemen
cukup tidak terbukti bermanfaat.
spinal ialah: 1) pergeseran garis tengah ( mid­
Ulasan Cochrane terkini menyebutkan pern- line shift), 2) hilangnya sisterna suprasela
berian kafein cukup efektif untuk mengu- dan sisterna basalis, 3] obliterasi ventrikel
rangi nyeri pada PLPH bila dibandingkan keempat, dan 4) obliterasi sisterna serebelar
dengan plasebo, demikian pula gabapentin, superior dan sisterna kuadrigerminalis. Ada-
hidrokortison, dan teofilin. Jika penanganan pun pasien dengan lesi intrakranial difus dan
konservatif tidak berhasil, dapat diberikan tidak dijumpai ancaman herniasi, tidak rutin
blood patch untuk mengatasi tekanan CSS diperiksakan CT scem/MRI sebelum pungsi
yang rendah. lumbal, contohnya pada kondisi ensefa-
lopati metabolik. Pada prinsipnya, klinisi se­
Perdarahan lokal tempat insersi jarum atau
baiknya tidak ragu untuk tetap melakukan
perdarahan di ruang epidural spinal juga
tindakan pungsi lumbal demi kepentingan
merupakan komplikasi yang dapat ter-
pasien.
jadi pascatindakan. Pencegahannya adalah
dengan pemeriksaan hemostasis sebelum Tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan
pungsi lumbal serta memerhatikan penggu- secara steril dan karena berkaitan dengan
naan obat antikoagulan/antiplatelet. Perda­ cairan tubuh pasien, maka operator harus
rahan akibat koagulopati harus dikoreksi, memakai alat pelindung diri serta memper-
bila perlu tindakan operasi untuk evakuasi siapkan alat dan bahan secara seksama se-
bekuan darah. belumnya (Tabel 1).

47
Buku Ajar N eurobgi

Tabel 1. Alat dan Bahan Pungsi lumbal


_______________________ Peraiatan___________________________ lumlah
Baju steril 1.
Masker 1
Topi 1
Jarum spinal no.20/ no.18/ no. 22 2
Sarung tangan steril 2
Kontainer steril (untuk pengiriman spesimen] 3
Jarum suntik 2,5cc 2
jarum suntik See 3
Manometer steril (atau blood set} 1
Penggaris dengan skala ukur panjang 50cm 1
Midazolam* vial 15mg 1
Lidokain ampul 1% 2
Povidon iodin 1
Alkohol 70% 1
Plester 1
Three way stopcock 1
Kantong plastik (untuk pengiriman spesimen) 3
Stiker label identitas-nama pasien_______________________________ 3
*Hanya digunakan bila pasien gelisah dan perlu dilakukan pemantauan fungsi per-
napasan

Setelah alat dan bahan siap, maka prosedur dilakukan jika pasien gelisah dan inko-
pungsi lumbal dapat dimulai. Awalnya, pasien operatif.
diposisikan lateral dekubitus atau duduk di
Selanjutnya, langkah-langkah tindakan pungsi
tempat tidur. Dianjurkan posisi lateral dekubi­
lumbal, sebagai berikut:
tus dengan punggung di pinggir tempat tidur
dan garis vertebra lurus untuk kemudahan 1. Gunakan alat pelindung diri (baju dan sa­
prosedur. Bahu dan pinggul pasien diposisi­ rung tangan steril serta masker dan topi).
kan tegak lurus terhadap bidang datar sumbu 2. Lakukan antisepsis pada lokasi pungsi
vertebra, panggul dan lutut difleksikan. dengan povidone iodin dan alkohol 70%.
Bantal dapat diletakkan di bawah telinga. 3. Pasang duk steril pada lokasi pungsi.
Kemudian lokasi insersi jarum ditentukan
4. Lakukan anestesi lokal dengan lidokain
dengan mengambil perpotongan garis ima-
1% pada kulit dan subkutis lokasi pungsi.
jiner antara kedua krista iliaka dengan sumbu
vertebra. Perpotongan ini biasanya jatuh 5. Dengan menggunakan jarum spinal beser-
pada celah intervertebralis L3-L4 (Gambar ta stilet, lakukan pungsi pada titik tengah
2). Insersi jarum spinal dapat dilakukan celah intervertebralis. Jaga posisi jarum
pada celah tersebut dan dapat bergeser tetap sejajar permukaan tempat tidur dan
satu celah ke arah kaudal atau kranial. Pada mengarah agak ke umbilikus atau kranial.
anak/bayi, lokasi insersi dapat lebih ke arah Pastikan needle bevel tetap menghadap ke
kaudal, mengingat medula spinalisnya masih wajah pemeriksa (atas langit-langit).
ditemukan sampai tingkat celah interver­ 6. Dorong jarum spinal secara perlahan
tebralis L3-L4. Sedasi dengan midazolam hingga menembus ligamentum flavum

48
Pungsi Lumbal dan Ana Iisis Cairan Serebrospinal

Lokass Sumba? pungsi tertetak


pada cslsh intervsrtabro L3-L4
setinggf gads iraaf rsasi
di antara kedua krista iliaka

Gambar 2. Posisi Dekubitus Lateral untuk Pungsi Lumbal

dan menimbulkan sensasi seperti me- Tekanan ini akan sedikit meningkat bila
nembus kertas. Cabut perlahan-Iahan pungsi lumbal dilakukan dalam posisi
stilet untuk mengetahui adanya aliran duduk. Beberapa kondisi yang dapat
CSS. Jika belum ada aliran CSS, maka meningkatkan nilai ini adalah obesitas,
stilet kembali dipasang dan secara per- agitasi, peningkatan tekanan intraab­
lahan dorong lagi jarum spinal hingga dominal (lutut dan perut difleksikan),
ada aliran CSS. Jika jarum tidak dapat dan tingginya tekanan intrakranial.
didorong lagi, maka kemungkinan jarum 8. Jika tekanan CSS sudah didapatkan, tutup
mengenai tulang. Tarik kembali jarum jalur ke arah manometer dan buka jalur
perlahan-lahan dan dorong kembali dengan lainnya untuk mengalirkan CSS ke dalam
sudut insersi yang sedikit berbeda. kontainer. Tampung CSS hingga diper-
7. Setelah ada aliran CSS, masukkan kem­ oleh volume yang dibutuhkan.
bali stilet dan siapkan manometer untuk 9. Tutup jalur ke arah kontainer dan buka
mengukur tekanan pembukaan. Pasang kembali jalur ke arah manometer untuk
three way stopcock , lalu sambungkan mengukur tekanan penutupan (closing
salah satu jalur ke manometer dan tutup pressure ).
jalurlainnya. CSS akan mengalir ke dalam
10.Setelah selesai mengukur tekanan akhir
manometer hingga tidak ada peruba-
CSS, lepaskan three way stopcock dari
han, dan didapatkan nilai tekanan awal
jarum spinal.
CSS. Nilai normal tekanan awal CSS pada
orang dewasa adalah 10-18cm H zO, se- 11, Masukkan kembali stilet ke dalam jarum
spinal. Tarik secara perlahan jarum spinal.
dangkan pada anak adalah 28cmH20.
Tutup lokasi pungsi dengan kassa steril.

49
Buku Ajar Neurologi

12. Ambil darah sebanyak 5cc untuk peme- nai venula di pleksus Batson, sehingga darah
riksaan gula darah sewaktu, untuk me- ikut keluar mengalir bersama CSS. Kedua pe-
nentukan rasio glukosa CSS/darah. nyebab ini harus dibedakan mengingat kon-
13. Kirim sampel CSS dan darah yang telah sekuensi tata laksana yang sangat berbeda
diambil ke laboratorium. satu sama lain. Cara membedakannya dengan
mengambil dua atau tiga serial sampel CSS
ANALISIS CAIRAN SEREBROSPINAL pada satu waktu yang sama. Pada traumatic
Analisis CSS meliputi aspek makroskopik dan tap, terjadi tren penurunan jumlah eritrosit
mikroskopik. Analisis aspek makroskopik pada sampel CSS kedua dan ketiga. Pada
CSS meliputi warna dan kejernihan, karena perdarahan subaraknoid, tren penurunan
CSS yang normal jernih dan tidak berwarna. ini tidak terjadi, oleh adanya hemolisis dan
Perubahan warna dapat dideteksi dengan dilusi darah dengan CSS. Proses sentrifugasi
membandingkan warna CSS pada kontainer CSS juga dapat membedakan CSS berwarna
dengan air pada latar belakang dinding atau merah akibat traumatic tap atau perdarahan
kertas putih dan pencahayaan matahari subaraknoid. Pada traumatic tap, supernatan
siang [daylight). Kelainan warna CSS dapat yang dihasilkan tidak berwarna, sementara
menjadi merah muda akibat hemoglobin, perdarahan subaraknoid menunjukkan war­
loaning akibat bilirubin, atau bahkan hitam na merah muda (awitan beberapa jam] atau
akibat melanin. CSS yang tidak jernih bisa santrokrom (beberapa hari).
disebabkan oleh jumlah leukosit >200/gL. Aspek mikroskopik yang dinilai meliputi
Jika CSS berwarna merah umumnya akibat analisis rutin, kultur, polymerase chain reac­
perdarahan subaraknoid atau kesalahan saat tion (PCR), dan beberapa pemeriksaan spe-
pungsi [traumatic tap). Kesalahan traumatic sifik lain (pita oligoklonal, venereal disease
tap dapat terjadi karena jarum spinal menge- research laboratory/V DRL, sitologi), dengan
nilai normal seperti pada Tabel 2.

Tabel 2, Nilai Normal Pem eriksaan Mikroskopik CSS


Pem eriksaan Nilai normal
Eritrosit <5sel/mm3
Leukosit 5-10sel/mm3
Hitung jenis Dominan sel mononuldear
Protein total <30mg/dL (CSS sisterna] atau<25mg/dL (CSS ventrikel)
atau rata-rata 10-45mg/dL
Glukosa >40mg/dL
Rasio glukosa CSS/darah >60%
Pewarnaan Gram Negatif
Pewarnaan BTA Negatif
Pewarnaan tinta India Negatif

Kultur Sterii untuk bakteri, TB, jamur, dan virus


PCR Negatif untuk TB, jamur, dan virus
CSS: cairan serebrospinal; BTA: basil tahan asam; PCR: polym erase chain reaction; TB: tuberkulosis
SumbenChatterjea MN, dkk. Textbook of medical biochemistry. 2012.

50
Pungsi Lumbal dan Analysis Cairan Serebrospinal

Analisis rutin umumnya terdiri dari hitung obstruksi, peningkatan ini karena terjadi
jenis sel, glukosa dan rasio glukosa CSS/ kebocoran albumin plasma. Pada penyakit
darah, serta protein. Pada orang dewasa, kronik seperti multipel sklerosis, juga ter­
leukosit pada CSS normal ialah <10sel/mm3 jadi peningkatan protein berupa y-globulin
dengan predominan mononuklear atau lim- di CSS. Peningkatan protein umumnya di-
fosit Peningkatan leukosit ditemukan pada sertai dengan peningkatan sel sebagai respons
kondisi infeksi terutama bakteri, keganasan, tubuh akibat proses inflamasi dan infeksi.
atau perdarahan intraserebral, termasuk Namun dapat juga terjadi disproporsi pe­
pada keadaan traumatic tap . ningkatan protein yang tidak sebanding
dengan peningkatan sel, contohnya pada
Kadar glukosa pada CSS lebih rendah dari-
tumor spinal, infark serebral, dan sindrom
pada darah. Namun rasio glukosa CSS/darah
Guillain-Barre.
lebih memiliki makna Minis, sehingga sangat
penting untuk melengkapi pemeriksaan Saat ini analisis protein kebanyakan diker-
glukosa darah sewaktu setelah melakukan jakan secara kuantitatif. Pada keterbatasan
pungsi lumbal. Dalam keadaan normal, rasio fasilitas, pemeriksaan protein kualitatif juga
glukosa CSS yaitu sekitar 60% glukosa darah, dapat membantu mengetahui adanya pe­
karena adanya penetrasi selektif dari sawar ningkatan protein, yaitu dengan tes Pandy
darah otak [SDO] atau blood brain barrier dan tes Nonne-Apelt. Tes Pandy dilakukan
(BBB). Turunnya rasio glukosa ditemukan dengan memberikan 1 tetes CSS pada reagen
pada kondisi patologis, seperti infeksi bak­ Pandy, dinyatakan positif bila cairan men-
teri, tuberkulosis, dan jamur, karena bersifat jadi keruh akibat peningkatan globulin. Tes
glikolisis sehingga terjadi peningkatan kon- Nonne-Apelt dilakukan dengan pemberian
sumsi glukosa. Namun, rasio glukosa yang ImL CSS pada lm L larutan amonium sul-
normal tidak dapat menyingkirkan infeksi. fat dan memberikan hasil positif jika ter-
Adapun peningkatan rasio glukosa umum­ dapat cincin putih pada batas cairan, yang
nya terjadi pada keadaan hiperglikemia. juga mengindikasikan adanya peningkatan
globulin.
Protein pada CSS didominasi oleh albumin,
sedangkan globulin didapatkan dalam jumlah Bila hasil analisis CSS tidak sesuai dengan
kecil. Nilai normal protein pada CSS ialah nilai normal, maka dapat menunjang ke
15-45mg/dL, kadar di CSS ventrikel lebih arah suatu diagnosis. Terdapat beberapa di­
rendah daripada CSS sisterna. Peningkatan agnosis yang memiliki karakteristik tertentu
protein disebabkan oleh kerusakan SDO pada analisis CSS, antara lain perdarahan
pada keadaan inflamasi dan infeksi, namun subaraknoid, multipel sklerosis, metastasis
dapat juga akibat obstruksi aliran CSS baik leptomeningeal, serta infeksi bakteri, TB,
oleh tumor atau kondisi lain. Pada keadaan dan virus [Tabel 3).

51
Buku Ajar Neurologi

Tabel 3. Karakteristik Analisis CSS Berdasarkan Etiologi


Rasio glukosa Keterangan atau pem eriksaan lain/
Diagnosis Sel Protein
CSS:serum laniutan
N ilaijiorm ai <10/pL <45mg/dL >50%
K.ii’nidi'n-ilik ;m Minim1.)
Infeksi bakteri T T I Pewarnaan Gram, kultur CSS, dan cek
[Dominan PMN) resistensi antibiotik

fnfeksi virus =/t =/t =/i Pemeriksaan PCR virus spesifik


Infeksi jamur T T 4 Pewarnaan tinta India untuk kripto-
(Dominan MN) kokus
Kultur jamur
Infeksi TB T T Pewarnaan BTA (■*■)
[Dominan MN) GeneXpert MTB/Rifdan kultur TB
Perdarahan t f Harus dibedakan dengan traumatic tap
subaraknoid (Ditemukan
eritrosit)
Multipel sklerosis =/T =/T =/4 Peningkatan IgG
Pemeriksaan pita oligoldonal
Metastasis T =/4 Sel neoplastik di CSS, peningkatan pro­
leptomeningeal tein tertentu (82-mikroglobulin)
Sindrom = /l t Disosiasi sitoalbumin (peningkatan
Guiilain-Barre protein tanpa disertai peningkatan sel)
CSS: cairanserebrospinal; PMN: polimorfonuldear (neutrofil); MN: mononuklear (limfosit); PCR: polymerase chain reaction;
TB: tuberkulosis; BTA: basil tahan asam; IgG: imunoglobulin G.Tanda: t(meningkat); 4 (menuran); = [dal am batas normal)
Sumber:
^eisenbammer F, dkk. European handbook of neurological management 2010. h. 5-17,
2Ropper AH, dkk. Adams and Victor's principles of neurology. 2009.

DAFTAR PUSTAKA 7. Gower DJ, Baker AL, Bell WO, Ball MR. Contrain­
dications to lumbar puncture as defined by com­
1. Aminoff JA, Greenberg DA, Simon PA. Clinical Neu-
puted cranial tomograpgy. J Neurol Neurosurg
rology.Edisi ke-9. New York: McGraw-Hill; 2015.
Psychiatry. 1987;50(8):1071-4.
2. Ropper AH, Samuels MA, editor. Special techniques
8. Imran D. Lumbal Punksi. Dalam: Imran D, Estiasa-
for neurologic diagnosis. Dalam: Ropper AH, editor.
ri R, editor, Modul Workshop NeuroAIDS; 2011
Adams and Victor’s Principles of Neurology. Edisi
Maret21-22; Jakarta, Indonesia: Departemen Neu­
ke-9. New York: McGraw-Hill; 2009, b. 13-9.
rologi FKUI/RSUPN Dr. Mangunkusumo; 2011.
3. Ellenby MS, Tegtmeyer K, Lai S, Braner DAV. Lum­
9. Chatterjea MN, Shinde R Cerebrospinal fluid (CSF)
bar puncture. N Engl J Med. 2 006;355[13):el2.
chemistry and clinical significance. Dalam: Saxena R
4. Davis LE, KingMK, Schultz JL. Fundamentals of neu­
Textbook of medical biochemistry. Edisi ke-8. New
rologic disease. Demos Medical: New York; 2005.
Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers; 2012.
5. Basurto Ona X, Osorio D, Bonflll Cosp X. Drug therapy
10. Deisenhammer F, Bartos A, Egg R, Gilhus NE,
fortreating post-dural puncture headache. Cochrane
Giovannoni G, Rauer S, dkk. Routine cerebrospi­
Database of Systematic Reviews. 2015;7:14-6.
nal fluid [CSF) analysis. Dalam: Gilhus NE, Barnes
6. Lybecker H, Moller JT, May 0, Nielsen HR. In­
MR, Brainin M, editor. European handbook of
cidence and prediction of postdural puncture
neurological management. Edisi ke-2. London:
headache. Anesth Analg. 1990;70[4):389-94.
Blackwell Publishing; 2010. h.5-17.

52
EVALUASI NEUROLOGIS PERIOPERATIF

Mohammad Kurniawan

pen d ah uluan Konsultasi neurologi juga terjadi di ruang


Sistem saraf amat terkait dan dipengaruhi perawatan intensif atau intensive care unit
oleh sistem organ lain. Seluruh penyakit, (ICU), Studi di Amerika Serikat pada tahun
kelainan, atau cedera pada sistem organ di 2015 menunjukkan bahwa angka konsultasi
bagian tubuh manapun dapat berpenga- neurologi baik di ICU medik maupun bedah
ruh pada sistem saraf dan bermanifestasi mencapai 50% kasus, terutama pada kasus
sebagai gejala neurologis. Hal ini menye- ensefalopati, stroke, dan hypoxic-anoxic brain
babkan seorang neurolog dapat menerima injury.
permintaan konsultasi dari spesialisasi lain,
pada berbagai kondisi pasien. Oleh karena Secara umum, konsultasi neurologi dalam fase
itu, konsultasi dan rawat bersama merupa- perawatan amat bermanfaat dalam manaje-
kan bagian dari tugas sehari-hari seorang men pasien. Konsultasi neurologi membantu
neurolog dalam membantu mengatasi masalah memperpendek lama perawatan pada 65% ka­
kesehatan pasien secara komprehensif. sus, membantu memperbaild diagnosis secara
bermakna pada 55% kasus, dan 70% kasus
Angka konsultasi ke neurolog di negara akan mengalami perubahan manajemen pe­
dengan layanan spesialis emergensi yang rawatan yang signifikan. Di Indonesia, belum
telah mapan adalah berkisar 14,7%. Kon­
ada data pasti mengenai angka konsultasi
sultasi tersebut bermanfaat untuk memban­
neurologi baik di unit gawat darurat (UGD),
tu memastikan diagnosis dan mengubah tata
ruang rawat, maupun ruang intensif. Namun
laksana secara bermakna pada 52,5% kasus.
demikian diyakini angkanya tidak jauh berbeda
Di bangsal atau ruang rawat, angka dibandingkan data tersebut.
perawatan pasien neurologi berkisar 10-
Selain konsultasi di UGD dan perawatan, neu­
20% dari total pasien di RS. Angka tersebut
rolog juga seringkali dikonsulkan oleh spesi­
mencakup tidak hanya pasien yang dirawat
alis bedah untuk mengevaluasi risiko tinda-
dengan kelainan neurologis sebagai masalah
kan sebelum prosedur invasif atau menilai
primer, namun 3-5% kasus merupakan pasien
kondisi pascatindakan operatif. Pada praktek
dengan masalah primer nonneurologis yang
sehari-hari, selain pada kasus bedah saraf,
dikonsultasikan. Konsultasi sebagian besar
berasal dari bidang penyakit dalam, disusul konsultasi untuk menilai risiko maupun kom-
psikiatri, dan onkologi. Masalah tersering plikasi neurologis ini sering dimintakan pada
yang dikonsultasikan ke neurolog adalah pasien operasi jantung, operasi pembuluh
penurunan kesadaran, kejang, dan stroke. darah, serta kasus transplantasi, baik pada

53
Baku Ajar Neurologi

pasien dengan atau tanpa riwayat penyaldt yang dapat dicegah dan saat ini digunakan
neurologis sebelumnya. sebagai salah satu indikator kualitas pe-
rawatan dan keselamatan pasien.
Bab ini akan membahas evaluasi neurologis
perioperatif (periode preoperatif, intraoperatif Mengingat tingginya angka morbiditas
sampai dengan 30 hari pascaoperasi) dengan dan mortalitas delirium, seluruh pasien,
struktur pembahasan dimulai dari komplikasi khususnya pasien lanjut usia, harus di-
neurologi perioperatif yang mungkin terjadi, lakukan penapisan delirium. Penapisan
termasuk komplikasi neurologis pada trans- ini minimal dilakukan 1 kali sehari atau
plantasi, cara melakukan penilaian neurologis lebih sering jika pasien memiliki risiko
tinggi delirium. Algoritma untuk pena­
preoperatif secara umum, dan diakhiri dengan
pisan dan diagnosis delirium yang saat
penilaian preoperatif pada kondisi pasien
ini dianggap reliabel, sensitif, dan spe-
dengan riwayat kelainan neurologis tertentu.
sifik adalah confusion assessment method
[CAM] (Gambar 1). Terdapat 4 fitur yang
KOMPLIKASI NEUROLOGIS PERIOPERATIF
dinilai, yaitu onset akut dan fluktuatif,
Komplikasi neurologis perioperatif tidak
gangguan atensi, gangguan organisasi ber-
jarang terjadi, amat bervariasi, serta memi-
pikir, serta penurunan kesadaran dengan
liki dampak morbiditas dan mortalitas yang
menggunakan alat penilaian yang berbeda.
bermakna. Adapun komplikasi yang paling
banyak dan memiliki dampak prognosis Neurolog memiliki peran penting dalam
yang bermakna pada pasien, serta men- pencegahan dan penanganan delirium,
jadi penyebab tersering konsultasi untuk termasuk delirium pascaoperasi. Salah
evaluasi neurologis intra dan pascaoperasi, satu tujuan utama evaluasi neurologi
adalah delirium, kejang, dan stroke. preoperatif adalah untuk mencegah ter-
jadinya delirium saat dan pascaoperasi
1. Delirium
dengan mengenali faktor risiko delirium,
Delirium atau acute confusional state
baik yang dapat dimodifikasi maupun
merupakan perubahan akut dalam hal
tidak.
kognitif dan atensi yang dapat mencakup
gangguan kesadaran dan organisasi ber- Beberapa faktor risiko yang diidentifi-
pikir. Delirium pada pasien rawat inap kasi terkait erat dengan delirium adalah
menyebabkan mortalitas rawat inap sebe- usia >70 tahun, gangguan fungsi kogni­
sar 4-17%, mortalitas 1 tahun sebesar tif, dan ketergantungan fungsional sebe-
35-40%, dan memperpanjang lama rawat lum operasi, Usia lanjut mengakibatkan
5-10 hari. Delirium pascaoperasi juga berkurangnya neurological reserve dan
merupakan hal yang tidak jarang terjadi, kecenderungan untuk memiliki komorbi-
dengan insidens 10-18% pascaoperasi ditas medis lain seperti stroke, penyaldt
bedah umum, 53% pascaoperasi ortopedi, ginjal atau penyaldt hati kronik, dan pe-
dan 74% pascaoperasi jantung. Meskipun nyakit terminal, sehingga meningkatkan
sering terjadi, delirium merupakan kondisi kerentanan terjadinya delirium.

54
Evaluasi Neurologis Perioperatif

Gambar 1. Algoritma Diagnosis Delirium Berdasarkan Confusion Assessment Method (CAM)


Pasien didiagnosis delirium bila memiiiki gambaran klinis 1 dan 2, serta salah satu dari gambaran Idinis 3 atau 4
Dimodifikasi dari: Ely EW, dkk. JAMA; 2001. h. 2703-10.

Faktor lain adalah penyakit sistemik, de- delirium pascaoperasi, maka perlu dilaku-
hidrasi, dan malnutrisi. Malnutrisi dibuk- kan evaluasi fungsi kognitif. Beberapa
tikan dengan adanya hiponatremia, hipo- pemeriksaan sederhana yang dapat di-
kalemia, kadar glukosa darah abnormal, gunakan adalah tes clock-drawing tasks ,
hipermagnesemia, blood urea nitrogen Mini-Cog, dan Mini-Mental Status Exami­
(BUN)/creatinine ratio >18, dan hipoalbu- nation (MMSE). MMSE merupakan tes
minemia. Adanya hendaya panca indera yang paling banyak dipakai, yaitu skor
yang mengakibatkan gangguan sensorik <24/30 berhubungan dengan peningkatan
(khususnya gangguan pendengaran dan risiko delirium pascaoperasi.
penglihatan) juga merupakan salah satu
Pada pasien dengan demensia harus
faktor risiko kuat terjadinya delirium. Be-
dilakukan evaluasi menyeluruh untuk
berapa faktor risiko delirium yang bersifat
mencari etiologinya. Jika etiologi bersifat
ringan hingga sedang adalah penyalah-
reversibel maka sebaiknya segera diatasi
gunaan alkohol, depresi, penggunaan
sebelum tindakan operasi. Namun jika
psikotropik preoperatif, serta adanya gejala
etiologi bersifat ireversibel, maka pasien
psikopatologi sebelumnya. dan keluarganya harus diberi edukasi
Oleh karena gangguan kognitif dan de- tentang kemungkinan terjadinya delirium
mensia memiliki hubungan kuat dengan pada pasien.

55
Buku Ajar Neurologi

Tabel 1. Obat-obatan yang Memiiiki Hubungan dengan Kejadian Delirium


Yang Memiiiki Hubungan Berm akna Yang Memiiiki Hubungan Kurang Berm akna
Opioid Penghambat histamin (H2)
Antihistamin Antidepresan trisiklilc
Benzodiazepin Obat antiinfiamasi nonsteroid
Antikolinergik Dihydropyridine calcium-channel blockers
Antiparkinson
Sumber:
'■Probasco J, dkk. The Neurohospitalist, 2013. h. 209-20.
2~Clegg A, dkk. Age Ageing. 2011. h. 23-9.

Selain mengenali faktor risiko, jika ter- kan Inouye's Risk Classification , meng-
dapat obat-obat preoperasi yang me­ gunakan 4 parameter yang masing-masing
miiiki hubungan bermakna dengan ke­ diberi skor 1, yakni: gangguan penglihatan,
jadian delirium [Tabel 1), maka harus kondisi penyakit dasar yang berat, adanya
dihentikan untuk mencegah terjadinya gangguan kognitif, dan gangguan fungsi
delirium. Evaluasi pemberian obat ginjal [dapat dinilai dengan meningkat-
tersebut dilakukan terutama bila dikon- nya rasio blood urea nitrogen/kreatinin).
sumsi oleh pasien lanjutusia dan pasien Risiko delirium rendah bila total skor 0,
dengan gangguan fungsi kognitif. risiko sedang bila total skor 1-2, dan risiko
tinggi bila total skor 3-4. Pada pasien risiko
Saat ini terdapat beberapa instrumen
tinggi, setelah dilakukan validasi kohort,
untuk memprediksi delirium baik untuk
kejadian delirium mencapai 32% dengan
operasi kardiak, nonkardiak, serta
angka lcematian 42%.
operasi ortopedi, yang dapat membantu
untuk evaluasi neurologi preoperatif. Pada pasien dengan risiko tinggi delirium
Pada operasi kardiak, penskoran untuk "atau pasien pascaoperasi yang mengalami
menilai risiko delirium adalah sebagai delirium" dapat dilakukan upaya tata lak-
berikut: a) nilai MMSE<24 (skor 2) dan sanapencegahan dengan intervensi nonfar-
nilai MMSE 24-27 [skor 1); b) riwayat makologis [Tabel 2).
stroke/TIA [skor 1); c) depresi [skor
Pemberian obat-obatan untuk delirium
1); dan d] kadar albumin <3 [skor 1).
sebaiknya hanya dilakukan pada kondisi
Jika total skor preoperatif pasien adalah
agitasi berat yang dapat mengakibatkan
1 maka risiko relatif untuk mengalami
gangguan perawatan dan mengancam
delirium adalah 2,4 kali dibandingkan
keselamatan pasien. Antipsikosis atipikal
pasien dengan skor 0 sebagai baseline.
seperti olanzapin atau quetiapin lebih
Jika skor 2, risiko delirium 3,4 kali; dan
dianjurkan dan dapat menjadi alternatif
jika skor >3 menjadi 4,9 kali lipat dari
yang bermanfaat pada kondisi tersebut,
pasien normal.
mengingat efek samping ektrapiramidal
Pada operasi nonkardiak, risiko delirium yang minimal dibandingkan antipsikosis
dapat dipredikasi dengan mengguna- tipikal.

56
Evaluasi Meurologis P erioperatif

Tabel 2. Intervensi Nonfarmakologis Preoperatif Delirium


Faktor Risiko Intervensi
Gangguan kognitif/ Orientasi protokol:
Disorientasi « Berada di daiam ruangan dengan disertai nama anggota kelompok
dan jadwal dalam suatu hari
® Melakukan komunikasi untuk reorientasi keadaan seldtar
® Aktivitas terapeutik; melakukan aktivitas yang dapat menstimulasi
kognitif 3 kali sehari
Deprivasi tidur Protokol nonfarmakologis:
" Minum susu hangat (susu atau teh herbal) sebelum jam tidur
« Memasang musik relaksasi
o Pijatpunggung
Protokol optimalisasi tidur:
® Pengurangan suara bising
® Penjadwalan medikasi dan prosedur untuk membantu proses tidur
Immobilisasi Protokol mobilisasi awal:
® Perpindahan atau latihan ruang gerak aktif 3 kali sehari
* Penggunaan alat-alat yang dapat menyebabkan immobilisasi secara
minimal (contoh: kateter urin, restrain)
Gangguan visual Protokol visual:
® Alat bantu penglihatan (contoh: kaca mata atau lensa)
» Instrumen adaptif (contoh: keypad dan buku dengan tulisan besar,
alat menggunakan bahan fluorescent)
® Latihan adaptasi menggunakan instrumen sehari-hari
Gangguan pendengaran Protokol pendengaran:
® Alat bantu dengarportabel
o Earwax
* Teknik komunikasi khusus
® Latihan adaptasi sehari-hari
Dehidrasi Protokol dehidrasi:
® Pengenalan dini terhadap kondisi dehidrasi dan substitusi cairan
(contoh: menyarankan konsumsi cairan peroral)
Sumber: Probasco J, dkk. The Neurohospitalist. 2013. h. 209-20.

Pada saat pulang, baik obat antipsikotik 2 . K ejan g


tipikal maupun atipikal harus dihentikan Kejang adalah salah satu komplikasi
karena meningkatkan risiko mortalitas, perioperatif yang paling dihindari karena
terutama pada pasien demensia. Penggu- akan mengaldbatkan prognosis yang
naan obat golongan benzodiazepin dalam buruk. Angka kejadian kejang perioperatif
manajemen delirium harus benar-benar nonbedah saraf berkisar antara 2-6%,
dihindari, kecuali pada kondisi khusus sementara pada operasi bedah saraf
seperti efek putus alkohol, penyakit Par­ antara 3% (padd operasi Frazier untuk
kinson, Demensia badan Lewy, neuroleptic kasus trigeminal neuralgia) hingga 92%
malignant syndrome (NMS), atau pasien (pada kasus operasi abses otak).
dengan epilepsi intraktabel.

57
Buku Ajar Neurologi

Berdasarkan waktu kejadiannya, kejang jadwal rutin pengobatan, termasuk pada


pascaoperasi dibagi menjadi 3 kategori, pagi hari menjelang operasi. Dengan per-
yaitu immediate postoperative seizure setujuan dokter bedah dan dokter anes­
yang muncul dalam 24 jam pascaoperasi, tesi, pasien dapat minum obat dengan
early se/zure yang muncul dalam 1 minggu, sedikit air. Segera setelah operasi, OAE
dan late seizure yang muncul setelah 1 juga sebaiknya segera diberikan kern-
minggu pascaoperasi, bali. jika pemberian secara enteral tidak
Faktor risiko yang meningkatkan kemung- memungkinkan, maka pemberian OAE in­
Idnan terjadinya kejang di antaranya adalah travena seperti fenitoin atau fenobarbital
adalah tumor otak, stroke, trauma kepala, dapat dilakukan dengan dosis ekuivalen
gangguan metabolik, serta riwayat kejang terhadap dosis oral yang biasa dikonsumsi.
atau epilepsi sebelumnya. Pada pasien yang Kejang perioperatif pada pasien epilepsi juga
pemah memiliki riwayat kejang, frekuensi berhubungan dengan rendahnya kadar OAE
kejang sebelum operasi berbanding lurus dalam darah. Namun demikian, pemeriksaan
dengan angka kejadian kejang periopera- kadar OAE rutin sebelum operasi tidak
tif. Oleh karena itu, pasien epilepsi memi­ direkomendasikan, kecuali diperkirakan
liki risiko kejang perioperatif lebih tinggi akan terjadi penghentian OAE lama atau
dibandingltan pasien nonepilepsi, terutama altan terjadi perubahan kadar yang signifikan
pasien epilepsi dengan kejang yang tidak akibat adanya pengunaan obat-obat lain
terkontrol sebelum operasi. yang mempengaruhi kadar OAE. Obat-
Dalam literatur disebutkan pula beberapa obatan tersebut antara lain antibiotik beta-
hal yang potensial menjadi penyebab kejang laktam yang mengurangi kadar valproat,
pascaoperasi yakni gangguan elektrolit atau obat golongan penyekat kanal kalsium
(hiponatremia, hipokalsemia), hipoksia, dan penyekat beta yang menurunkan kadar
hipokarbia, hipoglikemia, asidosis, demam, fenitoin, fenobarbital, karbamazepin, dan
penggunaan obat-obatan (anestesi lokal, oksltarbazepin dalam darah.
anestesi inhalasi, opioid, dan reaksi obat), OAE juga dapat memengaruhi obat yang
kejang psikogenik, dan iskemik serebri rutin dikonsumsi pasien, sehingga akan
baik fokal maupun global. Demildan pula meningkatkan risiko preoperatif. Sebagai
beberapa faktor terkait operasi, seperti contoh, valproat memiliki efek hematolo-
terganggunya terapi rumatan obat an- gi seperti trombositopenia, menginhibisi
tiepilepsi (OAEJ karena pasien harus agregasi trombosit, dan mendeplesi kadar
dipuasakan menjelang tindakan, adanya fibrinogen yang menyebabkan risiko
stres fisik dan psikologis akibat operasi, perdarahan pada pasien yang rutin meng­
serta penggunaan obat-obatan anestesi konsumsi antiplatelet dan antikoagulan.
yang bersifat prokonvulsif. Oleh karena itu bila pasien mengkonsumsi
valproat dan warfarin rutin, maka dian-
Mengingat tingginya risiko kejang peri­
jurkan pemantauan INR secara ketat pada
operatif pada pasien epilepsi, maka dian-
periode preoperatif.
jurkan untuk mengkonsumsi OAE sesuai

58
Evaluasi Neurologis P erioperatif

Selain efek epilepsi dan OAE terhadap adalah infark hemoragik, emboli udara,
operasi, operasi sendiri memilild dampak dan lemak, emboli paradoksikal, serta di-
terhadap kejang. Beberapa jenis obat anes- seksi arteri aldbat manipulasi daerah leher.
tesi dapat memengaruhi ambang kejang
Secara umum, risiko stroke perioperatif
pasien. Secara umum obatanestesi seperti
sama dengan faktor risiko tradisional stroke
etomidat dalam dosis rendah cenderung
pada populasi umum, seperti riwayat stroke
bersifat prokonvulsif, sementara dalam
sebelumnya, hipertensi, penyaldt jantung,
dosis tinggi justru bersifat antikonvulsif.
dislipidemia, diabetes melitus, dan rokok.
Sebagai pengecualian adalah golongan
Terdapat pula faktor risiko tambahan,
opioid yang hanya bersifat prokonvulsif
yakni jenis kelamin wanita, gangguan
Namun demikian, studi menunjukkan
fungsi ginjal, penyaldt paru, penghentian
bahwa sebagian besar kejang tidak ber-
obat antitrombotik preoperatif untuk
hubungan dengan jenis obat anestesi
pasien yang pemah mengalami stroke
yang digunakan, namun terkait dengan
sebelumnya, serta komplikasi pascaoperasi
kondisi dasar epilepsi pada pasien.
seperti fibrilasi atrial dan hiperkoagulasi.
Dalam hal kejang pascaoperatif, literatur
belum menyepakati indikasi pemberian Berdasarkan jenis operasinya, risiko
dan jenis antikonvulsan yang dianjur- stroke perioperatif juga berbeda-beda,
kan. Sebagian besar menyarankan agar Risiko stroke pada operasi bedah umum
antikonvulsan diberikan pada pasien rendah (0,08-0,7%), berbanding terbalik
yang memang memiliki riwayat kejang se­ dengan risiko stroke pada operasi jantung,
belumnya, pasien yang mengalami kejang pembuluh darah, dan bedah saraf. Risiko
pascaoperatif, dan pasien yang memi­ stroke preoperatif pada operasi pembuluh
liki risiko tinggi kejang seperti kondisi darah karotis (carotid end-arterectomy/
gangguan kesadaran jangka panjang, CEA) dapat mencapai 6,1%, sementara
kontusio, dan perdarahan intraserebral. pada tindakan coronary artery bypass
Pilihan antikonvulsan yang diberikan grafting (CABG) dan operasi katup dapat
disesuaikan dengan kondisi klinis dan mencapai 8% pada pasien tanpa riwayat
penyulit yang diderita oleh pasien. stroke serta 13% pada pasien yang pernah
menderita serangan stroke atau transient
3. Stroke ischemic attack (TIA).
Stroke perioperatif berkaitan erat dengan
masa rawat yang lebih lama serta morbi- Pada pasien yang akan menjalani operasi
ditas dan mortalitas yang tinggi. Risiko ke- CABG, terdapat model untuk memprediksi
risiko stroke yang terdiri atas 7 variabel
matian meningkat 8 kali lipat jika terjadi
preoperatif (Tabel 3 dan 4). Namun untuk
stroke perioperatif dengan insidens men-
operasi nonkardiak belum ada model
capai 26%. Penyebab stroke pada periode
prediktor seperti ini.
perioperatif umumnya adalah emboli,
disusul hipoperfusi, dan yang lebih jarang

59
Buku Ajar Neurologi

Tabel 3. Variabel Preoperatif Tabel 4. Model Prediktor Risiko Stroke Berdasar-


kan Variabel Preoperatif
Faktor Risiko Skor
Usia Skor Total Risiko Stroke (% )
® 55-59 tahun 1,5 0-1 0,3
« 60-64 tahun 2,5 2 0,4
® 65-69 tahun 3,5
3 0 ,6
® 70-74 tahun 4,0
® 75-79 tahun 4,5 4 0,8
® >80 tahun 5,5 5 1,0
Tindakan bedah nonelektif 6 1,2
o Urgent 1,5
® Emergent 2,5 7 1,6
® Jenis kelamin perempuan 1,0 8 2,1
® Fraksi ejeksi <40% 1,5 9 2,9
® Penyakit vaskular* 2,0
» Diabetes mellitus 1,5 10 5,8
® Kreatinin >2mg/dL atau dialisis 2,0 11 9,8
*termasuk riwayat stroke, transient ischemic attack 12 >10,0
[TIA], stenosis/bruit karotis, atau operasi vaskular Sumber: Charlesworth DC, dkk. Ann Thorac Surg;
termasuk amputasi tungkai 2003. h. 436-43.
Sumber: Charlesworth DC, dkk. Ann Thorac Surg; 2003.
h. 436-43.

Evaluasi preoperatif pasien yang berisiko revaskularisasi sebelum operasi. Pendekatan


stroke mencakup anamnesis untukmenggali pada pasien stenosis karotis bergantung
faktor risiko stroke, evaluasi jantung, dan pada jenis operasi. Pada operasi bedah
pembuluh darah karotis, pencitraan otak umum, tidak terdapat rekomendasi untuk
dan pembuluh darah otak, dan evaluasi melakukan tindakan revaskularisasi karotis,
pengobatan terutama antitrombotik. Pada baik dengan CEA atau carotid artery stenting
operasi elektif, dianjurkan untuk menunda (CAS) sebelum operasi. Pada operasi
tindakan sampai 6 bulan pascastroke atau jantung atau pembuluh darah, pendekatan
TIA, mengingat waktu tersebut adalah preoperatif ditentukan pula berdasarkan
waktu ideal yang dibutuhkan untuk ada tidaknya gejala stenosis tersebut
stabilisasi kondisi hemodinamik dan status
Pada pasien dengan stenosis karotis yang
neurologis. Pertimbangan lainnya terkait
simtomatik (memiliki riwayat stroke atau
dengan penurunan risiko stroke perioperatif
TIA dalam 6 bulan) dapat bermanfoat untuk
menurut waktu, Risiko stroke preoperatif
mencegah stroke preoperatif jika dilaku­
pada pasien yang barn terkena stroke 3
kan tindakan revaskularisasi karotis se­
bulan sebelumnya, lebih tinggi 67 kali lipat
belumnya. Jika terdapat indikasi urgent
dibandingkan pada pasien tanpa riwayat
untuk operasi jantung, tindakan operasi
stroke. Risiko tersebut akan berkurang
yang bersamaan atau simultan dapat
menjadi 24 kali, apabila operasi dilakukan
dikerjakan, namun memiliki risiko mor-
3-6 bulan pascastroke.
biditas lebih tinggi.
Evaluasi jantung dan pembuluh darah Pada kasus stenosis karotis yang
karotis terkait dengan kebutuhan tindakan asimtomatik, pendekatan preoperatif

60
Evaluasi Neurologis P erioperatif

disesuaikan dengan kondisi individual kematian preoperatif lebih bermakna


pasien, Adanya bruit yang asimtomatik ketimbang risiko potensial perdarahan
tidak berhubungan dengan derajat akibat penggunaan antiplatelet dengan
beratnya stenosis dan bukan merupakan rekomendasi sebagai berikut:
prediktor stroke preoperatif. Oleh karena
® Pada sebagian besar operasi, seperti
itu tindakan revaskularisasi karotis tidak
operasi dermatologi, gigi, dan katarak,
dianjurkan pada pasien ini.
direkomendasikan untuk meneruskan
Pemeriksan pencitraan otak bertujuan aspirin tunggal ataupun dual antiplatelet
untuk menyingldrkan ada tidaknya silent [kombinasi aspirin ldopidogrel).
infarct, yang akan menguatkan argumentasi
® Pada operasi besar seperti CABG,
perlu tidaknya revaskularisasi karotis se-
dipertimbangkan penghentian anti­
belum operasi pada pasien dengan stenosis
platelet.
karotis. Selain itu, pemeriksaan pencitraan
pembuluh darah otak, seperti Doppler tran- © Penghentian antiplatelet tidak boleh
skranial (transcranial Doppler/ICQ) dan lebih awal dari 5 hari sebelum tindakan.
computed tomographic atau magnetic reso­ Reinisiasi antiplatelet dapat dilakukan
nance angiography [CTA atau MRA], dapat segera, 6 jam setelah operasi untuk as­
digunakan untuk membantu menilai ada pirin atau 24 jam setelah operasi untuk
tidaknya mikroemboli intrakranial, aliran klopidogrel.
darah intrakranial, serta dampak hemodi-
namik dari stenosis pembuluh darah Adapun rekomendasi pengunaan antiko­
karotis ekstrakranial. agulan warfarin preoperatif adalah sebagai
berikut:
Evaluasi obat antitrombotik [antiplatelet
dan antikoagulan) preoperatif penting di- ® Pada prosedur operasi gigi, katarak,
lakukan, untuk menentukan apakah an­ artrosentesis, dan endoskopi diag-
titrombotik dihentikan atau diteruskan. nostik dengan atau tanpa biopsi di­
Penghentian obat antitrombotik pada rekomendasikan bahwa warfarin aman
periode preoperatif akan meningkatkan diteruskan. Bukti ilmiah juga mendu-
risiko stroke, khususnya pasien dengan kung tidak menghentikan warfarin
riwayat stroke dan penyakit jantung ko- pada prosedur invasif tertentu seperti
roner. Sebaliknya, meneruskan antitrom­ kolonoskopi dan bedah minor.
botik berisiko perdarahan. Oleh karena
® Pada operasi penggantian lutut atau
itu, penting untuk memperhatikan ke-
panggul, warfarin dosis moderat dengan
seimbangan antara risiko perdarahan dan
INR 1,8-2,1 aman dilanjutkan
tromboemboli terkait penggunaan anti­
trombotik. Hal tersebut bersifat individual ® Pada operasi besar, direkomendasikan
pada setiap pasien. penghentian warfarin 5 hari sebelum
tindakan dengan target INR<1,5 dan
Secara umum berdasarkan bukti ilmiah penggunaan vitamin K untuk reversal
terkini, berkurangnya risiko stroke dan dosis warfarin jika diperlukan.

61
Buku Ajar Neurologi

® Untuk mencegah risiko tromboemboli KOMPLIKASI NEUROLOGIS PASCATRANS-


dan stroke pre dan perioperatif, dian- PLANTASI
jurkan bridging therapy dengan heparin Dalam 2 dekade terakhir, perkembangan
intravena atau low-molecular-weight dalam bidang transplantasi organ begitu
heparin (LMWH] subkutan. Bridging signifikan. Teknik operasi serta m anaje­
therapy dapat diberikan hingga 6-12 men preoperatif yang semakin baik, me*
jam sebelum tindakan operasi dan ningkatkan angka keberhasilan sekaligus
dilanjutkan pascaoperasi sebelum di- mengurangi morbiditas dan mortalitas
hentikan kembali dan diganti dengan pascatransplantasi. Namun demikian, kom-
warfarin oral 24 jam pascaoperasi. plikasi neurologis pascatransplantasi masih
umum dijumpai dengan morbiditas yang cu-
Data mengenai penggunaan new oral kup bermakna, yaitu seldtar 10-59%. Kom-
anticoagulant (NOAC], seperti golongan plikasi ini dildasifikasikan menjadi komplikasi
penghambat trombin langsung dan peng- yang bersifat umum pada seluruh kasus tran-
hambat faktor Xa masih minimal. Lai dkk plantasi dan komplikasi yang berhubungan
(2014) mengajukan algoritma manajemen dengan organ tranplantasi.
NOAC preoperatif berdasarkan risiko tin­
dakan bedah yang akan dilakukan, yaitu: KOMPLIKASI NEUROLOGIS UMUM PADA
® Pada prosedur dengan risiko minimal TRANSPLANTASI
seperti prosedur dermatologi, dian- Komplikasi umum transplantasi dapat
jurkan menghentikan NOAC 18-24 berupa kejang, ensefalopati, infeksi opor-
jam sebelum prosedur. tunistik intrakranial, dan stroke. Komplika­
si umum ini terkait erat dengan terapi imu-
® Pada prosedur dengan risiko sedang,
nosupresan yang dikonsumsi oleh pasien.
dianjurkan menghentikan NOAC >24
jam sebelum prosedur. Kejang merupakan salah satu komplika­
• Pada prosedur dengan risiko tinggi, si tersering dengan faktor risiko utama
hentikan >48 jam sebelum prosedur. adalah toksisitas imunosupresan, gang-
guan elektrolit dan osmolaritas akut, infek­
® Reinisiasi NOAC dapat dilakukan se-
si intrakranial, dan lesi iskemik/hemoragik.
lama kondisi hemostasis adekuat,
Pencegahan kejang dilakukan terutama
yaitu 24 jam setelah tindakan dengan
dengan menjaga parameter metabolik
risiko minimal dan 48-72 jam setelah
dalam kondisi normal, sedangkan tata lak-
tindakan dengan risiko tinggi.
sananya dengan pemberian OAE. Pilihan
® Bridging therapy dengan LMWH harus utama OAE pada kejang pascatransplantasi
dipertimbangkan untuk pasien dengan adalah fenitoin intravena, gabapentin, dan
risiko tinggi tromboemboli atau pasien levetirasetam oral. Adanya interaksi antara
yang akan menjalani prosedur yang antikonvulsan dan agen imunosupresan
berhubungan dengan imobilisasi jang- yang dikonsumsi pasien membutuhkan
ka panjang. perhatian khusus, oleh karena itu amat di-

62
Evaluasi Neurologis P erioperatif

anjurkan pemantauan kadar fenitoin dan gangguan mikrovaskular di otak dan keru-
imunosupresan dalam darah. sakan sawar darah otak (blood brain bar­
rier). Adapun gejalanya dapat ringan (28%},
Ensefalopati pascatranplantasi dapat
seperti tremor, neuralgia, dan neuropati perifer,
terjadi akibat efek neurotoksik agen imu­
atau berat (5%} seperti psikosis, halusinasi,
nosupresan, gangguan metabolik, infeksi
kebutaan, kejang, ataksia serebelar, kelemahan
intrakranial, dan stroke. Tata laksananya
motorik dan leukoensefalopati.
mencakup manajemen elektrolit dan gula
darah serta optimasi kadar imunosupresan Tata laksana komplikasi ini dengan mengoreksi
untuk mencegah timbulnya kondisi ensefa­ elektrolit, mengatasi hipertensi, mengurangi
lopati berat berupa reversible posterior leu- dosis obat, dan mengganti takrolimus menjadi
koencephalopathy maupun koma. siklosporin atau sebaliknya. Terapi kombinasi
dengan mycophenolate mofetil dapat mem-
Infeksi oportunistik intrakranial terjadi pada
bantu mengurangi dosis takrolimus atau
5-10% kasus transplantasi, dapat berupa in­
siklosporin.
feksi bakteri, virus atau jamur akibat kondisi
imunokompromais. Komplikasi ini umum- Neurotoksisitas juga dapat terjadi pada peng­
nya terjadi 2-6 bulan pascatransplantasi dan gunaan kortikosteroid (3-4% ) yang bersifat
memiliki angka mortalitas yang tinggi. reversibel dengan pengurangan dosis atau
penghentian kortikosteroid. Komplikasi neu­
Komplikasi umum lainnya adalah stroke.
rologis yang umum adalah gangguan perilaku,
Namun hal ini jarang terjadi, kecuali pada
mencakup confusion, gangguan mood , kondisi
transplantasi ginjal dan hati. Stroke dapat
manik, dan reals! psikosis.
terjadi karena adanya endokarditis bakte-
rial, hiperkoagulasi, aterosklerosis, vasku-
KOMPLIKASI NEUROLOGIS TRANSPLAN­
litis maupun aritmia, serta akibat lepasnya
TASI TERKAIT SPESIFIK ORGAN
emboli dari karotis atau pembuluh darah
Komplikasi neurologis pascatransplantasi
intrakranial. Tata laksana pencegahan yang dapat bersifat spesifik organ. Misal, kom­
utama adalah dengan melakukan deteksi plikasi pascatransplantasi paru umumnya
dan penanganan faktor risiko sebelum, se- kejang, ensefalopati, nyeri kepala, depresi,
lama, dan setelah transplantasi. dan stroke. Pada transplantasi jantung,
Demikian pula dapat muncul komplikasi neu- ginjal dan hati, komplikasi neurologis akan
rotoksisitas yang berhubungan penggunaan berbeda.
imunosupresan golongan penghambat kalsi- Komplikasi neurologis tersering pascatrans­
neurin, seperti takrolimus dan siklosporin. plantasi jantung adalah stroke (50-70% )
Kedua obat ini merupakan vasokonstrik- dengan angka kematian 20%, Stroke yang
tor kuat yang merangsang endotelin dan terjadi dapat berupa stroke iskemik, stroke
tromboksan serta memicu produksi re ­ hemoragik, ataupun stroke hemodinamik
active oxygen species yang berlebihan. Va- akibat henti jantung dan iskemia global
sokonstriksi tersebut juga mengakibatkan berkepanjangan di otak.

63
Buku Ajar Neurologi

Transplantasi ginjal dapat menimbulkan kom- glikemiknya kurang baik, memiliki risiko
plikasi neurologis sekitar 6-21%, terutama komplikasi infeksi perioperatif dan kom­
stroke (8%), disusul neuropati akut (umumnya plikasi neurologis yang tinggi. Pasien
neuropati N. Femoralis) akibat kompresi saraf hipertensi memiliki risiko perdarahan
oleh retraktor saat tindakan operasi, dan poli- pascaoperasi lebih tinggi serta kemung­
neuropati. Prognosis komplikasi ini umumnya kinan terjadinya hipoperfusi serebral
baik dengan kemungkinan pulih yang besar. pascaanestesi akibat terganggunya me-
kanisme autoregulasi serebral. Riwayat
Komplikasi neurologis merupakan kom­
penyakit jantung dan aritmia juga me-
plikasi yang paling sering terjadi pada pas-
ningkatkan risiko terjadinya hypoxic is­
catransplantasi hati, yaitu mencapai 70%.
chemic injury serta kejadian emboli serebral.
Hal ini disebabkan oleh rumitnya prosedur
transplantasi dan buruknya kondisi pasien, Adanya riwayat gangguan darah pen-
sehingga terutama menyebabkan ensefa- ting untuk dideteksi sebelum operasi
lopati, disusul kejang dan stroke. karena dapat menyebabkan komplikasi
perdarahan atau sumbatan pascaoperasi.
EVALUASI NEUROLOGIS Demikian pula ada tidaknya gangguan
Evaluasi neurologis mencakup anamnesis fungsi hati yang mengganggu fungsi ko-
detail mengenai keluhan dan riwayat pe- agulasi penting untuk diketahui, meng-
nyakit pasien, pemeriksaan fisik umum dan ingat akan mempengaruhi pemilihan obat
neurologis, serta pemeriksaan penunjang sedasi, anestesi, dan antibiotik serta ke­
jika diperlukan. mungkinan komplikasi perdarahan pas­
caoperasi
1. Anamnesis
Dalam anamnesis sebaiknya ditanyakan Riwayat gangguan neurologis termasuk
keluhan neurologis, riwayat penyakit non- stroke dan TIA, epilepsi, serta penyaldt
neurologis (seperti diabetes, hipertensi, Parldnson akan memengaruhi kemung­
penyaldt jantung, dan gangguan darah) kinan komplikasi neurologis preoperatif
dan penyaldt neurologis (seperti stroke, pada jenis operasi tertentu serta pemili­
epilepsi, atau penyakit Parkinson}. Hal han obat-obat sedasi dan jenis anestesi.
ini penting untuk mengidentifikasi pasien Riwayat pengobatan pasien juga menjadi
dengan risiko tinggi mengalami komplikasi hal yang penting untuk dievaluasi (Tabel
preoperatif. Selain itu, riwayat pengobatan 5). Termasuk penilaian riwayat diet dan
juga perlu ditanyakan untuk dilakukan perubahan berat badan pasien dapat meng-
evaluasi terhadap pemberiannya. gambarkan status nutrisi pasien, karena
kondisi malnutrisi dapat meningkatkan
Pasien diabetes, terlebih yang kontrol
risiko komplikasi neurologis preoperatif.

64
Evaluasi Neurologis P erioperatif

Tabel 5. Jenis Obat dan Rekomendasi


[enis obat_______________Rekomendasi Preoperatif____________ _____________ K eterangan_____ ______
Antihiper- Seluruh obat dapat dilanjutkan, kecuali golongan angio- ACE Inhibitor dan ARB berpotensi me-
tensi tensin converting enzyme (ACE) inhibitors dan angiotensin nyebabkan hipotensi refrakter intraop e-
receptor blockers (ARB) dihentikan saat hari operas!. ratif, sehingga meningkatkan risiko
cedera otak hipoksik iskemik
Antidiabetes Semua dapat dilanjutkan, kecuali metformin dihentikan 1 Metformin meningkatkan risiko asidosis
hari menjelang operasi dan dilanjutkan kembali 2-3 hari laktat
pascaoperasi
Antiaritmia Dapat dilanjutkan hingga sebeium operasi Kecuali pada pasien miastenia gravis
karena mempengaruhi taut otot saraf
Anti inflama- jika memungldnkan dihentikan 2-3 hari sebeium operasi. AINS meningkatkan risiko perdarahan
si nonsteroid Jika sangat diperlukan, boleh diberikan pada operasi intraoperatif
(A1NS) non bedah saraf
Steroid Suplementasi steroid: Pada pasien yang rutin diberikan steroid
® Operasi ringan (contoh; operasi hernia atau operasi jangka panjang (minimal dalam 3 buian tera-
tangan): 25mg hidrokortison saat induksi khir diberikan prednisolon lOmg, atau setara
• Operasi sedang (contoh: operasi histerektomi): dengan betametason l,5mg/deksametason
2Smg hidrokortison saat induksi (+) lOOmg hidro­ l,5mg/hidrokortison40mg /metilpredniso-
kortison 1 hari setelah operasi lon 8 mg), terdapat kecenderungan supresi
® Operasi berat atau lama: 25mg hidrokortison saat in­ HPA, sehingga meningkatkan risiko instabili-
duksi (+) lOOmg hidrokortison 2-3 hari setelah operasi tas hemodinamik intra dan pascaoperasi.
Antikoagu- « Warfarin dihentikan 5-6 hari sebeium operasi be- Pada operasi ringan seperti operasi kulit
lan sar/operasi bedah saraf. dan ekstraksi gigi, warfarin boleh untuk
o Melakukan bridging therapy dengan heparin atau tidak dihentikan.
heparinoid. Heparin dapat dihentikan 4-6 jam sebeium
operasi dan dilanjutkan kembali setelah operasi. Satu
hari pascaoperasi, heparin dapat dihentiican dan war­
farin dapat diberikan kembali,
Antiplatelet “ Aspirin dihentikan 2-3 hari sebeium operasi besar Pada pasien yang menggunakan klopi-
dan operasi bedah saraf. dogrel, direkomendasikan untuk diganti
® Pada anestesi spinal regional, blok saraf, operasi kulif prose- sementara dengan aspirin hingga 2 hari
dur gigi, prosedur mata, prosedur vaskular perifep operasi menjelang operasi
jantung dan endoskopi, aspirin aman untuk tetap diberikan,
namun Idopidogrel tidak seaman aspirin, sehingga sebai-
Itnya dihentikan 5-7 hari sebeium prosedur bedah
• Obat antiplatelet lain disarankan untuk dihentikan
5-7 hari sebeium prosedur operasi
Antiparkin- • Karbidopa/Ievodopa dapat dilanjutkan hingga pagi Untuk mencegah withdrawal syndrome
son menjelang operasi dan mulai kembali segera setelah operasi
® Selegilin dihentikan 2 minggu sebeium operasi

Antiepilepsi Seluruh jenis obat anti kejang dianjutkan Untuk mencegah kejang preoperatif
Antidepre- ® Amitriptilin dapat dilanjutkan namun hati-hati dan • Meningkatkan risiko terjadinya efek
san, disesuaikan dengan pemilihanobat-obat preoperatif antikolinergik preoperatif
Antipsiko- lainnya • Untuk menghindari interaksi dengan
tik, Mood ® Penghambat MAO dihentikan 2-3 minggu sebeium obat-obat preoperatif lainnya
stabilizers, prosedur » Untuk mencegah withdrawal syndrome
dan Anti « SSRI dapat dilanjutkan terus « Untuk mencegah withdrawal teru-
ansietas * Seluruh jenis obat ini dapat diteruskan sebeium dan tama withdrawal seizure pada peng-
______________ sesudah operasi_________________________________ gunaan benzodiazepin_____________
HPA: hypothalamus hypophysis axis-, MAO: monoamin oksidase; SSRI: selective serotonin re-uptake inhibitors
Sumber: Mercado DL, dkk. Med Clin North Am; 2003. h. 41-57.

65
Buku Ajar Neurologi

2. Pemeriksaan Fisik cedera medula spinalis), dan pada


Pemeriksaan fisik umum terutama pe- operasi urologi.
nilaian sistem kardiovaskular dan per-
Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG)
napasan pending untuk dikerjakan pada
preoperatif diperlukan pada riwayat pe-
evaluasi preoperatif. Pada pasien dengan
nyakit kardioserebrovaskular dan pulmo-
riwayat trauma kepala perlu dipastikan
nar, pasien lald-laki usia >40 tahun atau
bahwa tulang servikal stabil dan tidak ter-
wanita >50 tahun, dan pasien dengan faktor
dapat gejala kompresi medula spinalis.
risiko multipelyang akan menjalani operasi
Oleh karena adanya kelainan tersebut akan
kardiovaskular. Pemeriksaan Rontgen
mengubah manajemen operasi dan sistem
toraks diperlukan pada pasien dengan
pemapasan, seperti kebutuhan tindakan
riwayat merokok, infeksi saluran per-
intubasi khusus dengan serat optik serta
napasan, obstruksi saluran napas kronik,
pengawasan pemapasan yang lebih ketat
dan riwayat penyakit kardioserebro­
Pemeriksaan status neurologis lengkap vaskular.
amat penting untuk mengetahui kondisi
Pemeriksaan penunjang lain yang
klinis terkini pasien, perlu tidaknya tin­
spesifik dengan kondisi klinis pasien
dakan operasi segera, dan menentu-
serta jenis tindakan operasi akan dibahas
kan prognosis pascaoperasi. Sebagai
lebih detail berikut ini.
contoh, pasien dengan skor SKG <9
sebelum operasi memiliki risiko tinggi
EVALUASI PREOPERATIF PADA PASIEN
untuk mengalami hipoksia dan hiper-
DENGAN PENYAKIT NEUROLOGIS SPESIFIK
karbia yang akan meningkatkan tekan-
1. Penyakit Neuromuskular
an intrakranial. Pasien dengan kesada-
Pasien dengan penyakit neuromuskular
ran menurun seperti ini harus segera
seperti distrofi muskular, miotonia,
dilakukan ventilasi mekanik dan stabil-
isasi sebelum prosedur operasi.
amyotrophic lateral sclerosis (ALS), dan
miastenia gravis (MG) memiliki risiko
3. Pemeriksaan Penunjang komplikasi jantung dan paru yang tinggi
Pemeriksaan laboratorium rutin seperti bila akan dilakukan tindakan operasi.
darah perifer, hemostasis, fungsi ginjal, Risiko komplikasi jantung dapat meng-
fungsi hati, elektrolit, dan gula darah ancam nyawa berupa disritmia dan
penting untuk dievaluasi. Pemeriksaan depresi kontraktilitas otot miokard, se-
laboratorium lain dilakukan atas indikasi hingga pemeriksaan fungsi jantung pre­
berdasarkan anamenesis, pemeriksaan operatif seperti EKG dan ekokardiografi
fisik ataupun dari jenis operasi yang harus dilakukan. Bila ditemukan adanya
akan dilakukan. Misal, pemeriksaan gangguan konduksi jantung, maka obat-
albumin perlu dilakukan jika pasien obatan yang dapat memperlambat
dicurigai malnutrisi dan urinalisis jika konduksi jantung (seperti halotan atau
dicurigai terdapat infeksi saluran kemih atropin) serta memiliki efek disritmia
(ISK) atau risiko tinggi ISK (pada pasien jantung (seperti suksinilkolin) harus

66
Evaluasi Neurologis P erioperatif

dihindari. Anestesi umum dengan pro- kanal kalsium, dan diuretik), obat saluran
pofol dan short-acting opioid lebih di- cerna (seperti antasida, laksatif, dan to-
anjurkan pada pasien seperti ini. kolitik intravena), obat psikiatri golongan
litium, obat yang mempengaruhi hormon
Faktoryangmeningkatkan risiko komplikasi
(seperti kortikosteroid, estrogen, dan hor­
paru adalah beratnya penyakit sebelum
mon tiroid) serta obat-obat lain seperti in­
operasi, riwayat krisis miastenia, gejala
terferon, agen kontras iodin, kuinin, opiat/
bulbar yang berat, durasi MG >6 tahun,
narkotika, timolol oftalmik, dan triheksi-
riwayat penyakit saluran napas obstruktif
fenidil.
kronik, dosis piridostigmin >750mg/hari,
dan kapasitas vital paru preoperative <3L. Operasi sebaiknya ditunda pada kondi­
Risiko pneumonia juga meningkat, sehingga si miastenia yang belum stabil. Untuk
penting untuk dievaluasi riwayat penyakit mengoptimalkan status respirasi, memi-
saluran napas dan pemeriksaan fungsi nimalisir kelemahan otot, dan mengurangi
respirasi sebelum operasi. Pada pasien MG, risiko krisis pascaoperasi, dapat dipertim-
risiko komplikasi paru pada fase preoperatif bangkan pemberian imunoglobulin intra­
amat besar aldbat kelemahan otot orofaring vena (IVIG) atau plasmafaresis preoperatif.
dan otot pernapasan, serta prosedur Demildan pula terapi tersebut dapat diberi-
operasi itu sendiri yang merupakan salah kan segera jika teijadi krisis pascaoperasi.
satu pencetus krisis miastenia. Manajemen anestesi dan obat antikolin-
Pada fase preoperatif, harus dipastikan esterase sangat penting diperhatikan.
status respirasi dalam kondisi optimal Obat antikolinesterase harus dihentikan
untuk mencegah krisis pascaoperasi, an- sehari sebelum atau jika memungkinkan
tara lain dengan penghentian rokok, suc­ pada hari operasi dengan komunikasi ke
tion agresif, fisioterapi dada, penggunaan dokter anestesi apabila menggunakan
bronkodilator, ventilasi tekanan positif neuromuscular blocking agent untuk
non-invasif, dan terapi infeksi pernapas­ anestesi. Pasien MG sangat sensitif ter-
an. Obat-obatan yang dapat menyebab- hadap agen anestesi nondepolarisasi.
kan kelemahan otot juga sedapat mung- Oleh karena itu, dianjurkan menggu­
kin dihindari, seperti agen anestesi yang nakan agen nondepolarisasi yang bersi­
bersifat memblok neuromuskular, aneste­ fat kerja cepat (seperti mivakurium atau
si lokal (seperti prokain dan silokain}, anti- atrakurium), menghindari penggunaan
biotik (terutama golongan aminoglikosida, suksinilkolin, dan menurunkan dosis
beta-laktamase, florokuinolon, makrolid, agen anestesi, yaitu 20-50% dari dosis
sulfonamid, tetrasiklin, ldindamisin, po- pasien non-MG untuk mencegah kelema­
limiksin B, dan vankomisin), antikonvul- han otot yang signifikan. Apabila me­
san (seperti barbiturat, benzodiazepin, mungkinkan, sebaiknya menggunakan
gabapentin, fenitoin, dan trimetadion), anestesi inhalasi, anestesi regional, dan
antireumatik (seperti penisilamin dan blok spinal yang dapat mengurangi ke-
klorokuin), obat kardiovaskular (golongan butuhan blok neuromuskular. Blok saraf
anti aritmia, penyekat beta, penyekat tepi dan/atau blok spinal dapat diper-

67
Buku Ajar Neurologi

timbangkan untuk diperpanjang hingga Manajemen antiparkinson juga penting di-


periode preoperatif untuk mencapai perhatikan; golongan penghambat mono-
manaj emen nyeri yang optimal, mengingat amin oksidase (MAO) sebaiknya dihenti­
stres akibat nyeri dapat mempresipitasi kan untuk mencegah sindrom serotonin,
krisis miastenia. golongan dopaminergik dianjurkan untuk
dilanjutkan (Tabel 5). Oleh karena peng-
Kebutuhan pasien akan antikolinesterase
hentian obat dopaminergik meskipun
biasanya berkurang dalam 48 jam pertama
singkat, 6-12 jam, juga meningkatkan
pascaoperasi, sehingga obat ini harus di-
risiko terjadinya parkinsonism-hyperpi-
berikan kembali dengan titrasi bertahap
rexia syndrome (PHS).
untuk mencegah krisis kolinergik. Pern-
berian dimulai dari setengah dosis pre­ PHS memiliki gejala menyerupai neuro­
operatif pada 12 jam pascaprosedur dan leptic malignant syndrome (NMS), yakni
dititrasi hingga dosis penuh dalam 48 jam. hiperpireksia, disautonomia, rigiditas,
Jika kondisi pasien cukup berat sehingga penurunan kesadaran, dan peningkatan
diperlukan antikolinesterase intravena, kadar kreatinin-kinase. Rigiditas pada
maka pasien sebenarnya dalam kondisi PHS dapat amat berat, sehingga meng-
krisis terindikasi pemberian IVIG atau ganggu ventilasi dan mengakibatkan kom­
plasmafaresis. plikasi lanjutan seperti disseminated intra­
vascular coagulation (DIG), tromboemboli
2. Penyakit Parkinson dan Parkinsonism vena, pneumonia aspirasi, dan acute kid­
Penyakit Parkinson dan parldnsonisme ney injury. Apabila dicurigai terjadi PHS,
seperti multiple system atrophy (MSA] dianjurkan pemberian obat dopaminergik
dan progressive supranuclear palsy (PSP) segera serta terapi suportif berupa resusi-
memiliki risiko infeksi saluran kemih tasi cairan, antipiretik, bantuan ventilasi,
(ISK], pneumonia aspirasi, delirium, dan hemodialisis jika diperlukan.
jatuh, serta komplikasi akibat imobilisasi,
seperti ulkus dekubitus, dan trombosis Seperti halnya epilepsi, jangka waktu
vena dalam pascaoperasi. penghentian obat dianjurkan untuk di-
minimalisir. Operasi sebaiknya dilakukan
Pneumonia akibat aspirasi yang sering pada pagi hari dan obat-obat dilanjutkan
terjadi preoperatif terutama saat obat sampai menjelang operasi dan dilanjut­
golongan dopaminergik dihentikan, men- kan kembali segera setelahnya, melalui
jadi penyebab utama kematian. Selain itu, jalur nasogastrilc jika pasien tidak dapat
berkurangnya kapasitas pernapasan juga menelan atau jalur alternatif levodopa
dapat meningkatkan risiko pneumonia, parenteral/topikal,
dan atelektasis pasca operasi. Oleh karena
itu, pada pasien penyakit Parkinson peme- 3. Demensia
riksaan fungsi paru preoperatif harus men- Pada pasien demensia atau gangguan
jadi perhatian ldiusus, dilanjutkan latihan fungsi kognitif, harus dilakukan evaluasi
diagnostik untuk menentukan penyebab
pernapasan pascaoperasi.
dan reversibilitas demensianya. Jika pe-

68
Evaluasi Neurologis P erioperatif

nyebabnya reversibel dianjurkan dikoreksi seperti atropin pada pasien MS yang


sebelum tindakan. Namun jika ireversibel, menggunakan kateter intermiten atau
maka perlu edukasi pasien dan keluarga telah menkonsumsi antikolinergik, mem-
bahwa pemulihan fungsi kognitif pasca- butuhkan kehati-hatian. Pasien MS yang
operasi akan lama atau bahkan tidak pulih mendapatkan kortikosteroid mungkin
total, serta akan ada kemungkinan terjadi memerlukan suplementasi steroid se-
delirium. Oleh karena itu setidaknya diper- lama periode preoperatif. Pasien MS yang
lukan evaluasi diagnostik, seperti pemerik- mendapatkan baklofen dan asupan oralnya
saan fungsi tiroid, kadar vitamin B, penanda terhenti selama periode preoperatif, dapat
infeksi, penanda toksisitas obat, serta pen- diganti sementara dengan diazepam se-
citraan untuk menemukan ada tidaknya cara bertahap. Baklofen tidak tersedia
hematoma subdural, normal pressure hy­ dalam bentuk injeksi, sehingga peng-
drocephalus (NPH), dan tumor intrakranial. hentian secara tiba-tiba dapat mengaki­
batkan kejang atau halusinasi. Terakhir,
Manajemen pengobatan demensia dengan pemberian interferon dan glatiramer
penghambat kolineseterase penting diper- asetat dapat dilanjutkan selama periode
hatikan, karena berpotensi mengalami preoperatif.
gangguan fungsi hati. Oleh karena itu,
sebaiknya berhati-hati menggunakan 5. Stroke dan T ran sien t Isc h em ic At­
anestesi uap yang mengandung halogen, ta c k (TIA)
dianjurkan pemeriksaan fungsi hati se­ Pasien dengan riwayat stroke dan TIA
belum tindakan, dan hindari penggunaan memiliki risiko tinggi untuk mengalami
antikolinergik Namun jika tetap diperlu- stroke pada periode preoperatif khusus-
kan antikolinergik, gunakan glikopirolat nya pada prosedur operasi jantung dan
ketimbang tropin atau skopolamin. Peng­ pembuluh darah besar. Pada prosedur
operasi nonkardiak, pasien dengan fak-
gunaan obat anestesi seperti propofol atau
tor risiko kardiovaskular yang minimal
sevofluran dapat mempercepat pemulihan
biasanya tidak memerlukan evaluasi pre­
status mental pascaanestesi.
operatif yang khusus. Namun pada pasien
4. Multipel Sklerosis dengan riwayat stroke atau TIA dan akan
Beberapa studi mengindikasikan bahwa dikerjakan operasi kardiovaskular, maka
anestesi, terutama anestesi regional dapat evaluasi preoperatif harus dilakukan se­
memperburuk kondisi klinis pasien multi- cara detail, yakni mencakup pemeriksaan
pel sklerosis (MS). Karena itu, penting un­ transesophageal echocardiography (TEE),
tuk mengedukasi pasien sebelum tindakan serta Doppler karotis dan transkranial.
bahwa tindakan bedah dan anestesi dapat
Stroke preoperatif biasanya disebabkan
mengakibatkan relaps meskipun telah di-
kardioemboli, sehingga perlu dilakukan
lakukan manajemen preoperatifyangbaik.
evaluasi fibrilasi atrial. Pemberian amio-
Manajemen pengobatan penting di- daron atau penyekat beta dapat menurun-
perhatikan. Pemberian antikolinergik kan insidens AF dan stroke pascaoperasi.

69
Baku Ajar Neurologi

6. Epilepsi kelainan struktural otak yang mungkin


Pasien epilepsi berisiko tinggi untuk terjadi.
mengalami kejang preoperatif yang ke-
Pasien epilepsi juga berisiko mengalami
mudian meningkatkan risiko hipoksia,
bangkitan nonkonvulsif psikogenik (psy­
menunda perbaikan kesadaran pascaanes-
chogenic nonepiieptic convulsions') pada
tesi, memperpanjang ventilasi mekanik,
periode preoperatif. Komplikasi pas­
dan bahkan meningkatkan kematian
caoperasi lain adalah pneumonia, sepsis,
akibat instabilitas otonom. Risiko ini ter-
perdarahan, gagal ginjal akut, dan infeksi.
utama pada pasien yang kejangnya be-
Pasien epilepsi umumnya memiliki komor-
lum terkontrol baik Untuk itu, meskipun
biditas preoperatif dibandingkan pasien
tidak direkomendasikan secara rutin,
nonepilepsi.
penting memastikan OAE berada dalam
kadar terapeutik selama periode pre­ DAFTARPUSTAKA
operatif. OAE harus harus terus diberi- 1. Moulin T, Sablot D, Vidry E, Belahsen F, Berger E,
kan sampai pagi liari menjelang operasi Lemounaud P, dkk Impact of emergency room neu­
dan jika diperlukan berikan secara intra­ rologists on patient management and outcome. Eur
vena sampai asupan oral dapat diberikan Neurol 2003;50(4]:207-14.
2. Douglas MR, Peake D, Sturman SG, Sivaguru A,
kembali. Selain itu, interaksi OAE dengan Clarke CE, Nicholl DJ. The inpatient neurology con­
agen anestesi juga penting diperhatikan, sultation service: value and cost. Clin Med (Lond].
misal: fenobarbital dapat mempercepat 2 0 1 1 :ll(3}:215-7.
dan meningkatkan biotransformasi obat 3. Garcia-Ramos R, Garcia-Morales I, Vela A, Galan L,
Serna C, Matfas-Guiu J, Analysis of hospital consulta­
anestesi. Obat anestesi juga dapat me­
tions to neurology in a tertiary hospital. Neurologia.
ningkatkan kerentanan terhadap kejang, 2009.;24(10):835-40.
maka pertimbangkan penggunaan obat 4. Liu CY, Chiang HL, Fu SC, Su YC, Hsiao CL, Yang FY,
anestesi seperti barbiturat, benzodia- Lin SKI. Common neurological disorders involving
inpatient liaisons at a secondary referral hospital in
zepin, propofol, halotan, atau isofluran.
Taiwan: a retrospective cross-sectional study. ] Clin
Selain mengatasi kejang, tata laksana Neurol. 2016;12(1):93-100.
5. Mittal MK1, Kashyap R, Herasevich V, Rabinstein
pascaoperasi juga penting untuk meng-
AA, Wijdicks EF. Do patients in a medical or surgi­
identifikasi dan mengatasi pemicu kejang cal ICU benefit from a neurologic consultation? Int j
secara cepat, dapat berupa gangguan Neurosci, 2015;125{7]:512-20.
metabolik, efek obat, atau adanya injury 6. Roberts N, Costelloe D, Hutchinson M, Tubridy
N. What difference does a neurologist make in a
intrakranial. Pada pasien yang tidak per­
general hospital? estimating the impact of neu­
baikan kesadaran pascakejang meskipun rology consultations on in-patient care. Irish
telah diberikan OAE, harus dipertimbang- journal Medical Sciences. 2007;176(3):211-4.
kan kemungkinan nonconvulsive status 7. The American Psychiatric Association. The diagnostic
and statistical manual of mental disorders: DSM-IV
epilepticus (NCSE). Oleh karena itu diper­
American Psychiatric Association [serial online]. 1994
lukan pemeriksaan EEC dan EEC monitor­ [diunduh 19 januari 2017]. Edisi ke-4. Tersedia dan:
ing. Jika disertai defisit neurologis fokal, Psychiatryonline.
dianjurkan pemeriksaan pencitraan otak 8. Allen SR, Frankel HL. Postoperative complications:
untuk memastikan penyebab kejang atau delirium. Surg Clin North Am. 2012:92(2] :409-31.

70
Evaiuasi Neurologis P erioperatif

9. Dyer CB, Ashton CM, Teasdale TA, Postoperative 24. Limburg M, Wijdicks EF, Li H. Ischemic stroke after
delirium: a review of 80 primary data-collection surgical procedures: clinical features, neuroimaging
studies. Arch Intern Med, 1995;155[5):461-65. and risk factors. Neurology. 1998;50(4):895-901.
10. Inouye S. Delirium in older persons. N Engl J Med. 25. Selim M. Pre-operatif stroke. N Engl J Med.
2006;354:1157-65. 2007;356(7]:706-13.
11 . Rudolph ]L, Marcantonio ER Postoperative De­ 26. Chariesworth DC, Likosky DS, Manin CA, Maloney CT,
lirium: Acute change with ongl-term implications. Quinton HB, Morton JR dkk Development and validation
Anesth Analg. 2011; 112:1202-1211. ofa prediction model for strokes after coronary artery by­
12. Ely EW, Inouye SK, Bernard GR, Gordon S, Francis pass grafting Ann Thome Surg 2003;76[2]:436-43.
J, May L, dkk. Delirium in mechanically ventilated 27. Naylor AR, Mehta Z, Rothwell PM, Bell PR Carotid
patients: validity and reliability of the confusion artery disease and stroke during coronary artery
assessment method for the intensive care unit bypass: a critical review of the literature. Eur J
[CAM-ICUJ. JAMA. 2001;286(21):2703-10. Vase Endovasc Surg. 2002;23(4):283-94.
13. Probasco J, Bogachan S, Tran T, Chung TH, Rosenthal 28. Mackey AE, Abrahamowicz M, Langlois Y, Bat­
LS, Mari Z, dkk. The preoperative neurological eval­ tista R, Simard D, Bourque F. Outcome of asymp­
uation. The Neurohospitalist2013:3(4):209-20. tomatic patients with carotid disease. Asymp­
14. Inouye SK, Bogardus ST Jr; Charpentier PA, Leo-Sum- tomatic Cervical Bruit Study Group. Neurology.
mers L, Acampora D, Holford TR, dkk. Amulticompo- 1997;48[4):896-903.
nent intervention to prevent delirium in hospitalized 29. Larson BJ, Zumberg MS, Kitchens CS. A feasibility
older patients. N Engl J Med. 1999;340[9):669-76. study of continuing dose-reduced warfarin for inva­
15. Long LS, Saphiro WA, Leung JM. A brief review of sive procedures in patients with high thromboem­
practical preoperative cognitive screening tools. bolic risk. Chest 2005; 127(3) :9 22-7.
Can J Anaesth. 2012;59(8):798-804. 30. Senzolo M, Ferronato C, Patrizia B. Neurologic
16. Clegg A, Young JB. Which medications to avoid in complication after solid organ transplantation.
people at risk of delirium: a systematic review. Transpl Int. 2009;22(3):269-78.
Age Ageing. 2011;40(l):23-9. 31. Estol CJ, Lopez 0, Brenner RP, Martinez AJ. Seizures
17. Rudolph JL, Jones RN, Levkoff SE, Rockett C, Inouye after liver transplantation: a clinicopathological
SK, Sellke FW, dkk. Derivation and validation of a study. Neurology 1989;39(10):1297-301.
preoperative prediction rule for delirium after cardiac 32. Chabolla DR, Hamois DM, Meschia JF. Levetdracetam
surgery. Circulation. 2009;119(2):229-36. monotherapy for liver transplant patients with sei­
18. Inouye SK, Viscoli CM, Horwitz Rl, Hurst LD, Tinetti zures, Transplant Proc 2003;35{4):1480-1.
ME. A predictive model for delirium in hospitalized 33. Chang SH, Lim CS, Low TS, Chon HT, Tan SY. Cy­
elderly medical patients based on admission closporine associated encephalopathy: a case
characteristics. Ann Intern Med. 1993;119[6):474-81. report and literature review. Transplant Proc.
19. Dasgupta M, Dumbrell AC. Preoperative risk assess­ 2 0 0 1 ;3 3 (7 -8 ):3 7 0 0 -l.
ment for delirium after noncardiac surgery: a system­ 34. Paul LC. Overview of side effects of immu­
atic review. J Am GeriatrSoc 2006;54(10):1578-89. nosuppressive therapy. Transplant Proc.
20. Reuber M, Enright SM, Goulding PJ. Postopera­ 2001;33(3):2089-91.
tive pseudostatus: not everything that shakes is 35. Benchstein WO. Neurotoxicity of calcineurin in­
epilepsy. Anaesthesia. 2000;55(l):74-8, hibitors: Impact and clinical management Trans­
21. Manaka S, Ishijima B, Mayanagi Y. Postoperative plant Int, 2000;13(5):313-26.
seizure: epidemiology, pathology and prophylaxis. 36. Resener M, Martin E, Zipp F, Dichgans J, Martin R
Neurol Med Chir. 2003;43(12):589-600. Neurological side-effects of pharmacologic corti-
22. Kerem E, Gokcen B, Numan K, Emre I, Unal E, coid therapy. Neverarzt 1996;67(12):983-6.
Haluk O, dkk. Unexpected postoperative seizure 37. Perez-Miralles F, Sanchez Manso JC, Almenar Bonet
after mastoid surgery: a case report. Middle East L, Sevilla Montecon T, martinez Dolz L, Vilchez Pa­
J Anesthesiol. 2010;20[4):597-8. dilla JJ. Incidence and risk factors for neurologic
23. Niesen AD, Jacob AK, Aho LE, Botten EJ, Nase KE, Nelson complications after heart transplantation. Transpl
JM. Pre-operatif seizures in patients with a history of a Proceed. 2005;37(9):4067-70.
seizure disorder. Anesth Analg 2010;lll(3):729-35.

71
Buku Ajar Neurologi

38, Wong M, Mallory GB Jr, Goldstein J, Goyal M, Yama- 44. Romero A, Joshi GP. Neuromuscular disease and
da KA Neurologic complications of pediatric lung anesthesia. Muscle Nerve. 2013;48(3}:451-60.
transplantation. Neurology. 1999;53(7):1542-9. 45. Hudson K, Greene j. Pre-operative consultation
39. Ponticelli C, Campise MR. Neurological complica­ for patients with preexisting neurologic disor­
tions in kidney transplant recipients. J Nephrol ders, Semin Neurol. 2015;35(6):690-8.
2005;18(5):521-8. 46. Blichfeldt-Lauridsen L, Hansen BD. Anesthesia
40, Saner FH, Sotiropoulos GC, Gu Y, Paul A, Radtke A, and myasthenia gravis, Acta Anaesthesiol Scand.
Gensicke J, dldc Severe neurological events following 2012;56(T}:17-22.
liver transplantation. Arch Med Res, 2007;38(l):75-9. 47. Juel VC. Myasthenia gravis: management of my­
41. Lieb K, Selim M, Preoperative evaluation of pa­ asthenic crisis and pre-operatif care. Semin Neu­
tients with neurological disease. Semin Neurol. rol. 2004;24(1):75-81.
2008;28{5):603-10. 48. Lai A, Davidson N, Galloway SW, Thachil j. Pre­
42. Mercado DL, Petty BG. Pre-operatif medication man­ operative management of patients on new oral
agement Med Clin North Am. 2003;87(l):41-57. anticoagulants. Br J Surg. 2014;101:742-9.
43, Fleisher LA. Preoperative evaluation. Dalam: 49. Perks A, Cheema S, Mohanraj R. Anaesthesia and
Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, editor. Clini­ epilepsy. Br j Anaesth. 2012;108(4):562-71.
cal anesthesia. Edisi ke-4. Philadelphia PA: Lip-
pincott Williams and Wilkins; 2001. h. 4 7 3 -8 9 .

72
EPILEPSI
Bangkitan dan Epilepsi
Status Epileptikus
BANGKITAN DAN EPILEPSI

Fitri Octaviana, Astri Budikayanti, Winnugroho Wiratman,


Luh Ari Indrawati, Zakiah Syeban

pendahuluan (Pokdi Epilepsi PERDOSSI) di beberapa RS di


Bangkitan epileptik dan epilepsi adalah dua 5 pulau besar di Indonesia [2013) mendapat-
terminologi yang berbeda, namun saling kan 2.288 penyandang epilepsi dengan 21,3%
berkaitan, sehingga harus dipahami dalam merupakan pasien baru. Rerata usia pasien
praktik sehari-hari. Bangkitan epileptik adalah usia produktif dengan etiologi epi­
adalah tanda dan/atau gejala yang timbul lepsi tersering adalah cedera kepala, infeksi
sepintas akibat aktivitas neuron di otak yang susunan saraf pusat (SSP), stroke, dan tumor
berlebihan dan abnormal serta sinkron. Epi­ otak. Riwayatkejang demam didapatkan pada
lepsi adalah gangguan otak yang ditandai 29% pasien. Sebagian besar (83,17%) adalah
oleh adanya faktor predisposisi sec ara terus epilepsi parsial dengan aura yang tersering
menerus untuk terjadinya suatu bangkitan adalah sensasi epigastrium dan gejala au-
epileptik, dan juga ditandai oleh adanya fak­ tonom (60,1%).
tor neurobiologis, kognitif, psikologis, dan
Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM),
konsekuensi sosial akibat kondisi tersebut.
jumiah penyandang epilepsi yang rutin kon-
trol tiap bulan berkisar 30-40 orang; pasien
EPIDEMIOLOGI
epilepsi yang baru berobat ke RSCM seldtar
Menurut WHO, diperldrakan terdapat 50
5-6 orang tiap bulannya; rerata usia pasien
juta orang di seluruh dunia yang menderita
adalah usia produktif yaitu 35,2 (16-76)
epilepsi. Populasi yang menderita epilepsi
tahun. Riwayat kejang demam pada 37,9%,
aktif (terjadi bangkitan terus menerus dan
gangguan perilaku didapatkan pada 29,1%.
memerlukan pengobatan) diperkirakan
Sebagian besar penyandang mengalami bang­
antara 4 -1 0 per 1 0 0 0 penduduk. Namun,
kitan fokal (64,15% ) dan sebanyak 15,5%
angka ini jauh lebih tinggi di negera dengan
mengalami bebas bangkitan.
pendapatan perkapita menengah dan ren-
dah yaitu antara 7-14 per 1000 penduduk.
PATOFISIOLOGI BANGKITAN EPILEPTIK
Secara umum diperkirakan terdapat 2,4
Secara normal aktivitas otak terjadi oleh
juta pasien yang didiagnosis epilepsi setiap
karena perpindahan sinyal dari satu neu­
tahunnya.
ron ke neuron yang lain. Perpindahan ini
Angka prevalensi dan insidens epilepsi di terjadi antara akson terminal suatu neuron
Indonesia belum diketahui secara pasti. Ha- dengan dendrit neuron yang lain melalui
sil penelitian Kelompok Studi Epilepsi Per- sinaps (Gambar 1). Sinaps merupakan area
himpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia yang penting untuk perpindahan elektrolit

75
Buku Ajar Neurologi

dan sekresi neurotransmiter yang berada Elektrolit yang berperan penting dalam ak­
di dalam vesikel presinaps. Komposisi elek- tivitas otak adalah natrium (Na+), kalsium
trolit dan neurotransmiter saling mempe- (Ca2+), kalium (IC), magnesium (Mg2+), dan
ngaruhi satu sama lain untuk menfaga ke- klorida (Cl'). Neuro transmiter utama pada
seimbangan gradien ion di dalam dan luar proses eksitasi adalah glutamat yang akan
sel melalui ikatan antara neurotransmiter berikatan dengan reseptornya, yaitu N-
dengan reseptornya serta keluar masuknya metil-D-aspartat (NMDA) dan non-NMDA
elektrolit melalui kanalnya masing-masing. (.amino-3-hydroxy-5-methyl-isoxasole pro­
Aktivitas tersebut akan menyebabkan ter- pionic a c id /k W k dan kainat). Sementara
jadinya depolarisasi, hiperpolarisasi, dan pada proses inhibisi, neurotransmiter utama
repolarisasi, sehingga terjadi potensial eksi- adalah HS-asam aminobutirik (GABA) yang
tasi dan inhibisi pada sel neuron. Potensial akan berikatan dengan reseptornya GABAa
eksitasi diproyeksikan oleh sel-sel neuron dan GABAb (Gambar 2b). GABA merupakan
yang berada di korteks yang kemudian neurotransmiter yang disintesis dari gluta­
diteruskan oleh akson, sementara sel inter­ mat oleh enzim glutamic acid decarboxylase
neuron berfungsi sebagai inhibisi. (GAD) dengan bantuan piridoksin (vitamin
B6) di terminal presinaps.

Neurotransmiter

Akson dari neuron pengirim sinya! Reseptor


j j) Vesikel presinaps
Kanai katsium
Kanai natrium
Kanai klorida
| l Kana! katium

Gambar 1. Penampang Sinaps Normal

76
Bangkitan dan Epilepsi

Gambar 2. Proses Eksitasi (a) dan Inhibisi (b)


GAD: glutamic acid decarboxylase; GABA: gamma-aminobutyric acid; NMDA: N-methyl-D-aspartate;
Glu: glutamat, Gli: glisin

Saat potensial eksitasi dihantarkan oleh ak- GABAa pascasinaps dan mencetuskan po­
son menuju celah sinaps, akan terjadi sekre- tensial inhibisi, Cl' akan masuk ke dalam
si glutamat ke celah sinaps. Glutamat akan sel dan menurunkan ambang potensial
berikatan dengan reseptor non-NMDA, dan membran sel sampai kembali ke ambang
Na* akan masuk ke dalam sel menyebabkan istirahat pada -70pV yang disebut sebagai
terjadinya depolarisasi cepat [Gambar 2a). hiperpolarisasi. Reseptor GABAe di presin-
Apabila depolarisasi mencapai ambang po­ aps berperan memperpanjang potensial
tensial 10-20mV, maka Mg2+yang mendudu- inhibisi. Hasil akhir aksi potensial yang di-
ki reseptor NMDA yang sudah berikatan hasilkan merupakan sumasi dari potensial
dengan glutamat dan ko-agonisnya (glisin) eksitasi dan inhibisi yang dipengaruhi oleh
dikeluarkan ke celah sinaps (Gambar 2a), jarak dan waktu.
sehingga Na+akan masuk ke dalam sel diikuti Setelah hiperpolarisasi, selama beberapa saat
oleh Ca2+. Masuknya Na+ dan Ca2+akan mem- membran sel terhiperpolarisasi dibawah
perpanjang potensial eksitasi, disebut seb- ambang istirahatnya, disebut sebagai after
agai depolarisasi lambat Setelah Na+mencapai hyperpolaritation (AHP). AHP terjadi se­
ambang batas depolarisasi, K+ akan keluar bagai hasil dari keseimbangan antara Ca2+
dari dalam sel, yang disebut sebagai repolari- di dalam sel dan I<+ di luar sel. Pada masa
sasi (Gambar 2a). ini sel neuron mengalami fase refrakter dan
Sementara itu, Ca2+ yang masuk ke dalam tidak dapat terstimuli, sampai terjadi per-
sel juga akan mendorong pelepasan neu- tukaran Ca2+ke luar sel dan K+ ke dalam sel
rotrasmiter GABA ke celah sinaps (Gambar melalui kanal yang tidak dipengaruhi oleh
2b). Saat GABA berikatan dengan reseptor gradien voltase. Keseimbangan ion di dalam

77
Baku Ajar Neurologi

dan luar sel dikembalikan oleh pompa Na+-I<+ nyebabkan kematian sel. Hal ini merangsang
dengan bantuan adenosin triphosphate (ATP}. keluarnya berbagai faktor inflamasi yang
akan meningkatkan permeabilitas sel, gang-
Sel giia turut berperan dalam menjaga ke-
guan keseimbangan elektrolit, edema otak,
seimbangan eksitasi dan inhibisi dengan ber­
kerusakan sawar darah otak (SDO) atau blood
peran sebagai spons yang berfungsi untuk
brain barrier (BBB}, dan sebagainya.
'menghisap1IC dan glutamat yang berlebihan
di celah sinaps untuk kemudian disintesis Faktor eksternal terjadi aldbat berbagai pe-
dan dikembalikan lagi ke neuron presinaps. nyakit, baik penyakit otak maupun sistemik.
Penyakit-penyakit tersebut dapat menye­
Adanya ketidakseimbangan antara eksitasi dan
babkan kerusakan sel neuron, glia, dan SDO
inhibisi akan menyebabkan hipereksitabilitas
(Gambar 3). Kerusakan sel glia akan menye­
yang pada akhimya akan menyebabkan bang-
babkan kelebihan K+ dan glutamat di celah
Idtan epileptik. Ketidak seimbangan tersebut
sinaps karena tidak 'terhisap', sehingga sel
dapat disebabkan oleh faktor internal dan
neuron akan mudah tereksitasi. Keadaan
elcstemal. Penyebab internal antara lain be-
tersebut juga akan mengaktivasi faktor-
rupa mutasi atau kelainan pada kanal-kanal
faktor inflamasi, kemudian merangsang pe­
elektrolit sel neuron. Beberapa mutasi yang
ningkatan eksitasi dan akhirnya membentuk
sudah diketahui adalah mutasi kanal Nak Ca2+,
lingkaran yang berkepanjangan. Kerusakan
dan K+, Mutasi ini menyebabkan masuknya Na+
yang terjadi secara terus menerus dalam
dan Ca2* ke dalam sel secara terus menerus
jangka waktu yang lama akan menyebabkan
sehingga terjadi paroxymal depolaritation shift
perubahan aktivitas otak, struktur neuron,
(PDS). PDS diinisiasi oleh reseptor non-NMDA,
dan ekspresi gen.
aldbat peningkatan jumlah Na+yang masuk ke
dalam sel, pada mutasi kanal Na+, dan dapat Hipereksitabilitas satu sel neuron akan
diperlama saat reseptor NMDA terbuka diikuti memengaruhi sel neuron di sekitamya. Seke-
masuknya Na+ sehingga semaldn banyak Na+ lompok neuron yang mencetuskan aktivitas
di dalam sel. Pada mutasi kanal Ca2+, PDS ter- abnomal secara bersamaan disebut sebagai
jadi karena depolarisasi lambat semaldn lama hipersinkroni. Pada saat satu sel neuron ter-
aldbat peningkatan Ca2+ di dalam sel. Semen- aktivasi maka sel-sel neuron di sekitarnya
tara mutasi pada kanal K+akan menghambat juga akan ikut teraktivasi. Jika sel-sel neu­
keluamya K+ ke ekstrasel yang justru akan ron sekitarnya teraktivasi pada waktu yang
menghambat terjadinya repolarisasi, mem- hampir bersamaan, maka akan terbentuk
perpanjang depolarisasi, dan akhimya menye­ suatu potensial eksitasi yang besar dan me-
babkan PDS. nimbulkan gejala klinis. Penyebaran PDS
hipersinkroni ke seluruh hemisfer saat iktal
Pada hipereksitabilitas akan terjadi pe­
maupun interiktal tergantung pada aktivitas
ningkatan sekresi glutamat ke celah sinaps,
interneuron di talamus yang sebagian besar
sehingga terjadi peningkatan jumlah Ca2+ di
bersifat inhibisi.
dalam sel. Jumlah Ca2+yang berlebihan ini
akan mengaktifkan enzim intrasel yang me­ Status epileptikus terjadi karena kegagalan

78
Bangkitan dan Epilepsi

® gerubahan dPsa^agdarah otak ©


o ©
,
mm 5 3 4■ i tsjgtflppiil

T me3! l l! a> ° t Tobin Infeksi Edtna


A \ Tv / l PerSarah ----- P-Heme
Abnormalitas
elektrolit Ft -
m i
3H j ■' ' Radikal bebas
I
Peroksidasi lipid

ieuron
/ ' ' r

Edema . 3 O..-
_
Sjelgeiitumor,;

Gambar 3. Berbagai Penyebab Bangkitan Epileptik

proses inhibisi di otak. Salah satunya dise- GABA terhadap peningkatan aktivitas GABA,
babkan oleh sifat reseptor glutamat dan reseptor-reseptor tersebut justru akan ter-
GABA dalam merespons jumlah neurotrans­ sublimasi dan menjadi bentuk yang tidak sen-
miter di celah sinaps. Reseptor glutamat sitif terhadap neurotransmiternya. Ini yang
merupakan reseptor yang peka terhadap menyebabkan pada status epileptikus yang
perubahan jumlah glutamat. Pada keadaan berkepanjangan, reseptor glutamat akan se-
eksitasi berlebihan maka reseptor akan makin meningkat dan reseptor GABA akan
meningkatkan kepekaan atau jumlah resep- semakin berkurang (Gambar 4).
tor. Sebaliknya dengan respons reseptor

79
Baku Ajar Neurologi

Gambar 4. Perbedaan Respons Reseptor GABA £Atas) dan Giutamat (Bawah)


Model hipotesis transisi reseptor pada bangkitan tunggal menjadi status epileptikus. Gambar atas: setelah
bangkitan berulang, reseptor GABAapada membran sinaps membentuk clathrin-coatedpits, yang diinternalisasi
menjadi clathrin-coated vesicles (C). Terjadi inaktivasi reseptor karena sudah berada di luar jangkauan neu­
rotransmiter. Vesikel ini berubah menjadi endosom (E), mengantarkan reseptor ke lisosom (L) untuk dihancur-
kan, atau ke badan Golgi (G) untuk dibentuk kembali ke membran. Gambar bawah: pada sinaps NMDA, subunit
dimobilisasi ke membran sinaps dan dibentuk kembali menjadi reseptor tambahan. Sebagai hasil dari proses ini,
jumlah reseptor NMDA yang fungsional bertambah, sedangkan jumlah reseptor GABA berkurang. GABA: gam m a-
aminobutyric acid; NMDA: N-metil-D-aspartat

KLASIFIKASI EPILEPSI klonik, mioklonik, dan absans tipikal atau


Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut tipe atipikal]
bangkitan (sesuai International League Against 3. Bangkitan epileptik tidak terklasifikasi
Epilepsi/1LAE tahun 1981] dan menurut sin-
4. Bangkitan berkepanjangan atau beru­
drom epilepsi [ldasifikasi ILAE 1989]. Secara
lang (status epileptikus]
garis besar menurut klasifikasi ILAE tahun
1981, bangkitan epileptik dibagi menjadi: Klasifikasi bangkitan dapat dilihat pada Ta-
bel 1 untuk bangkitan parsial danTabel 2 un­
1. Bangkitan parsial (fokal atau lokal] tuk bangkitan umum.
2. Bangkitan umum (tonik, klonik atau tonik-

80
Bangkitan dan Epiiepsi

Tabel 1. Klasifikasi Bangkitan Parsial (1LAE 1981)


_________________________________ Klasifikasi Bangkitan Parsial___________________________________
1. Bangkitan parsial sederhana (kesadaran tidak terganggu)
a. Dengan gejala m otorik
o Motorik fokal tanpa gerakan march
« Motorik fokal dengan gerakan march (Jacksonian)
® Versive
® Postural
o Fonasi (vokalisasi atau speech arrest)
b. Dengan gejala som atosensori atau sensori spesial (halusinasi, seperti: rasa keserautan, kilat-
an cahaya, telinga berdenging)
* Somatosensori
« Visual
o Auditori
• Olfaktori
* Gustatori
a Vertigo
c. Dengan gejala autonom ik (sensasi epigastrik, pucat, berkeringat, wajah kemerahan, bulu
kuduk berdiri, dilatasi pupil)
d. Dengan gejala psikis (gangguan fungsi kortikal luhur)
» Disfasia
o Dismnesia (misal: deja ra)
• Kognitif (misal: seperti bermimpi, disorientasi waktu)
« AFektif (misal: rasa takut, rasa marah)
® Ilusi (misal: makropsia)
« Halusinasi terstruktur (misal: mendengar musik, melihat pemandangan)
2. Bangkitan parsial kompleks (disertai gangguan kesadaran; dapat didahului bangkitan parsial
sederhana)
a. Parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
® Dengan bangkitan parsial sederhana (la -ld ) diikuti gangguan kesadaran
® Dengan automatisme
b. Gangguan kesadaran sejak awai onset bangkitan
® Dengan gangguan kesadaran saja
® Dengan automatisme
3. Bangkitan parsial berkem bang menjadi bangkitan umum sekunder (tonik-klonik umum, tonik
atau klonik)
a. Bangkitan parsial sederhana (1) berkembang menjadi bangkitan umum
b. Bangkitan parsial kompleks (2) berkembang menjadi bangkitan umum
c. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan parsial kompleks dan kemudian
________ berkembang menjadi bangkitan umum________________________________________________________
Sumber: Panayiotopoulos CP. A clinical guide to epileptic syndromes and their treatment 2010.

81
Buku Ajar Neurologi

Tab el 2. Klasifikasi Bangkitan Umum (ILAE 1981)


______________________________ Klasifikasi Bangkitan Umum______________________________
1. Bangkitan absans
a. Bangkitan absans
« Hanya gangguan kesadaran
® Dengan komponen klonik ringan
® Dengan komponen atonik
® Dengan komponen tonik
® Dengan automatisme
® Dengan komponen autonomi
b. Bangkitan absans atipikai
Dapat disertai:
® Perubahan tonus otot yang lebih jelas dibandingkan la
o Awal mulai bangkitan dan berhentinya bangkitan tidak terjadi mendadak
2. Bangkitan mioklonik
3. Bangkitan klonik
4. Bangkitan tonik
5. Bangkitan tonik-klonik
6. Bangkitan atonik (astatik)_________________________________________________________
Pada bangkitan umum dapat terjadi kombinasi beberapa bangkitan, misal: kombinasi antara mioklonik
dengan atonik, atau absans dengan mioklonik
Sumber: Panayiotopoulos CP, A clinical guide to epileptic syndromes and their treatment. 2010.

Klasifikasi sindrom epilepsi (ILAE 1989] menjadi 4, yaitu:


dibuat berdasarkan tipe bangkitan dan etiolo-
1. Epilepsi dan sindrom localization-relat­
gi epilepsi. Penegakan diagnosis berdasarkan
ed (fokal, lokal, dan parsial)
sindrom dapat mengarahkan ke tata laksana
yang lebih spesifik dan dapat menentukan 2. Epilepsi dan sindrom generalized atau
prognosis pasien. Klasifikasi sindrom epi­ umum
lepsi dapat dilihat pada Tabel 3. 3. Epilepsi dan sindrom yang tidak dapat
ditentukan apakah fokal atau umum
Klasifikasi sindrom secara garis besar dibagi
4. Sindrom spesial

82
Bangkitan dan Epileps

Tabel 3. Klasifikasi Sindrom Epilepsi (ILAE 1989)


______________________________________Sindrom Epilepsi______________________________________ _ _ _
1. localization -related (fokal, lokal, parsial)
a. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
® Benign childhood epilepsy with centrotemporal spike
o Childhood epilepsy with occipital paroxysm
° Primary reading epilepsy
b. Simtomatik
« Chronik progressive epilepsia partialis continua o f childhood (sindrom Kozhevnikov)
• Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oieh faktor tertentu
® Epilepsi lobus temporal
• Epilepsi lobus frontal
« Epilepsi lobus parietal
® Epilepsi lobus oksipital
c. Kriptogenik
Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai simtomatik namun etiologi masih belum diketahui secara pasti
2. Generalised/umum
a. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
® Benign neonatal fam ilial convulsions
® Benign neonatal convulsions
® Benign myoclonic epilepsy in infancy
® Childhood absence epilepsy (pyknolepsy)
® Juvenile absence epilepsy
® Juvenile myoclonic epilepsy
• Epilepsi dengan bangkitan tonik-klonik umum saat bangun
• Epilepsi umum lainnya
« Epilepsi dengan bangkitan yang dipresipitasi oieh faktor tertentu
b. Kriptogenik atau simtomatik
® Sindrom West (spasme infant'll)
® Sindrom Lennox-Gastaut
® Epilepsi dengan bangkitan mioklonik-astatik
® Epilepsi dengan absans mioldonik
c, Simtomatik
® Etiologi nonspesifik
- Ensefalopati early myoclonic
- Ensefalopati epileptik early infantile dengan gambaran suppression burst
- Epilepsi umum simtomatik lainnya
® Sindrom spesifik
Bangkitan epileptik dapat menyebabkan komplikasi beberapa penyakit lainnya. Pada sub-klasifi-
kasi ini termasuk penyakit dengan gejala bangkitan sebagai manifestasi klinis utama.
3. Epilepsi dan sindrom yang tidak dapat ditentukan apakah fokal atau umum
a. Dengan bangkitan umum dan fokal
® Bangkitan neonatus
® Severe myoclonic epilepsy pada infant
® Epilepsi dengan gelombang paku-ombang kontinu saat tidur slow-wave
® Acquired epileptic aphasia (Sindrom Landau-Kleffner)
® Epilepsi yang tidak dapat ditentukan lainnya
b. Tanpa bentuk bangkitan umum atau fokal
Semua kasus bangkitan umum tonik-klonik dengan gambaran elektroensefalografi (EEG) yang tidak
jelas apakah berhubungan dengan umum atau fokal, misal: bangkitan umum tonik ldonik saat tidur
dianggap tidak menunjukkan gambaran khas untuk bangkitan umum atau fokal.
4. Sindrom spesial
a. Kejangdemam
b. Bangkitan tunggal atau status epileptikus tunggal
c. Bangkitan yang hanya timbul saat terjadi kelainan metabolik akut atau intoksikasi zat seperti alkohol,
_________obat, eklamsia, hiperglikemia non-ketosis.______________________________________________________
Sumber: Epilepsia. 1989. h. 389-99.

83
Buku Ajar Neurologi

GEJALA DAN TANDA KLINIS aktivitas epileptiform umum berupa gelom­


1. Bangldtan Umum Tonik-klonik bang paku, paku multipel, atau kombinasi
Bangkitan ini secara etiologi dapat berupa gelombang irama cepat dan lambat.
idiopatik, kriptogenik, atau simtomatik.
4. Bangkitan Mioldonik
Tipe bangkitan ini dapat terjadi pada
Mioklonik adalah gerakan kontraksi invo-
semua usia kecuali neonatus. Manifestasi
lunter mendadak dan berlangsung sangat
klinis: hilang kesadaran sejak awal bang­
singkat (jerk) tanpa disertai hilangnya ke­
kitan hingga akhir bangkitan, bangkitan
sadaran. Biasanya berlangsung 10-50mi-
tonik-klonik umum, dapat disertai gejala
lidetik, durasi dapat mencapai lebih dari
autonom seperti mengompol dan mulut
lOOmilidetik. Otot yang berkontraksi
berbusa. Gambaran iktal: tiba-tiba mata
dapat tunggal atau multipel atau berupa
meiotot dan tertarik ke atas, seluruh tu-
sekumpulan otot yang agonis dari berbagai
buh kontraksi tonik, dapat disertai suara
topografi, Mioklonik dapat berlangsung
teriakan dan nyaring, selanjutnya diikuti
fokal, segmental, multifokal, atau umum.
gerakan Idonik berulang simetris di selu­
Gambaran EEG berupa gelombang poly­
ruh tubuh, lidah dapat tergigit dan mulut
spikes yang bersifat umum dan singkat.
berbusa serta diikuti mengompol. Setelah
iktal, tubuh pasien menjadi hipotonus, 5. Bangkitan Atonik
pasien dapat tertidur dan terasa lemah. Bangkitan ditandai oleh hilangnya tonus
otot secara mendadak. Bangkitan atonik
Pada pemeriksaan elektroensefalografi
dapat didahului oleh bangkitan mio­
(EEG) saat inter iktal didapatkan aktivi-
klonik atau tonik. Bentuk bangkitan bisa
tas epileptiform umum berupa kompleks
berupa "jatuh" atau "kepala menunduk".
gelombang paku-ombak [spike wave) ter-
Pemulihan pascaiktal cepat, sekitar 1-2
utama pada saat tidur stadium non-REM.
detik. Gambaran EEG dapat berupa ge­
2. Bangldtan Tonik lombang paku [spikes) atau polyspikes
Bangkitan tonik ditandai oleh kontraksi se­ yang bersifat umum dengan frekuensi
luruh otot yang berlangsung terus menerus, 2-3Hz dan gelombang lambat.
berlangsung selama 2-10 detik namun
6. Bangkitan Absans Tipikal
dapat hingga beberapa menit, di-sertai hi-
Bangkitan absans [petit mal) berlang­
langnya kesadaran. Dapat disertai gejala
sung sangat singkat (dalam hitungan
autonom seperti apnea. Gambaran EEG in-
detik) dengan onset mendadak dan ber-
teriktal menunjukkan irama cepat dan ge­
henti mendadak, Bentuk bangkitan beru­
lombang paltu atau kompleks paku-ombak
pa hilang kesadaran atau "pandangan
frekuensi lambat yang bersifat umum.
kosong". Dapat pula disertai komponen
3. Bangkitan Klonik motorik yang minimal (dapat berupa
Bangkitan ini ditandai oleh gerakan kon­ mioklonik, atonik, tonik, automatisme).
traksi klonik yang ritmik (1-5 Hz) di seluruh Pada pemeriksaan EEG didapatkan ak-
tubuh disertai hilangnya kesadaran sejak tifitas epileptiform umum berupa kom­
awal bangldtan. Pada EEG iktal didapatkan pleks paku-ombak 3Hz (>2,5Hz).

84
Bangkitan dan Epilepsi

7. B a n g k ita n A b sa n s A tip ik al 2. Satu kali bangkitan tanpa provokasi


Bangkitan berupa gangguan kesadaran [atau refleks] dan kemungkinan ter­
disertai perubahan tonus otot [hipoto- jadinya bangkitan berikutnya hampir
nia atau atonia], tonik, atau automatisme. sama dengan risiko timbulnya bangki­
Pasien dengan bangkitan absans atipikal tan [paling sedikit 60% ) setelah terjadi
sering mengalami kesulitan belajar akibat 2 kali bangkitan tanpa provokasi, dalam
seringnya disertai terjadinya bangkitan 10 tahun ke depan.
tipe lain seperti atonik, tonik, dan mio- 3. Diagnosis sindrom epilepsi,
ldonik. Pada absans atipikal, onset dan
berhentinya bangkitan tidak semendadak Penegakkan diagnosis pada epilepsi dilaku-
bangkitan absans tipikal, dan peruba­ kan secara bertahap dan sedapat mungldn
han tonus otot lebih sering terjadi pada ditegakkan sindrom epilepsi yang dialami
bangkitan tipe absans atipikal. Pada EEG oleh pasien, Karena tiap sindrom epilepsi
didapatkan gambaran kompleks paku- tertentu memiliki tata laksana dan progno­
ombak frekuensi lambat [1-2,5Hz atau sis yang berbeda-beda.
<2,5Hz) yang iregular dan heterogen dan Langkah-langkah menegakkan diagnosis:
dapat bercampur dengan irama cepat.
1. Apakah gejala paroksismal tersebut
8. B a n g k ita n F o k a l/P a r s ia l merupakan bangkitan epileptik?
Bentuk bangkitan yang terjadi tergan- 2. Apakah tipe bangkitan epileptik yang di­
tung dari letak fokus epileptik di otak. alami pasien?
Fokus epileptik berasal dari area terten-
3. Apakah etiologinya?
tu yang kemudian mengalami propagasi
dan menyebar ke bagian otak yang lain, 4. Apakah sindrom epilepsi yang dialami
oleh pasien?
Bentuk bangkitan dapat berupa gejala
motorik, sensorik (kesemutan, baal), Id en tifik a si B a n g k ita n E p ile p tik
sensorik spesial [halusinasi visual, halusi- Anamnesis memegang peranan terbesar
nasi auditorik), emosi [rasa takut, marah), dalam mengidentifikasi bangkitan epileptik.
autonom [kulit pucat, merinding, rasa Anamnesis dimulai dengan menggali semi-
mual). Bangkitan parsial sederhana yang ologi bangkitan epileptik, yang paling utama
diikuti dengan bangkitan parsial kom­ adalah semiologi iktal.
pleks atau bangkitan umum sekunder
disebut sebagai aura. Semiologi iktal antara lain adalah aura, latera-
lisasi, kesadaran, dan perkembangan bang­
DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING kitan menjadi umum. Aura, yaitu gejala yang
Epilepsi adalah suatu penyakit atau gang­ dirasakan pasien saat masih sadar dan ter­
guan di otak yang ditegakkan jika terdapat: jadi dalam hitungan detik sebelum pasien
kehilangan kesadarannya, merupakan pe-
1. Paling sedikit 2 kali bangkitan tanpa pro- tunjuk fokus bangkitan. Aura sensorik
vokasi [atau refleks) dengan jarak antar menunjukkan fokus pada korteks sensorik
2 bangkitan tersebut >24 jam. sesuai homenkulus di lobus parietal, aura

85
Baku Ajar Neurologi

auditorik pada Iobus temporal lateral, aura utama. Bila terdapat lebih dari satu kali,
visual pada jaras visual tergantung pada maka bentuk bangkitan akan selalu sama.
kompleksitasnya dapat berasal dari lobus Frekuensi bangkitan, durasi antar bangki­
temporal atau oksipital, dan lain sebagai- tan dan waktu terjadi bangkitan mempunyai
nya. Kemudian lateralisasi, beberapa ben- kekhasan pada tiap lobus.
tuk bangkitan seperti arah gerakan mata,
P e n e g a k a n S in d ro m E p ilep si
mulut, wajah, kepala, postur distonik dapat
Sindrom epilepsi ditegakkan selain ber-
menunjukkan hemisfer yang terlibat.
dasarkan semiologi bangkitan dan EEG, juga
Lirikan mata saat pasien mulai kehilang- pemeriksaan fisik, topis, pemeriksaan penun-
an kesadaran akan menunjukkan keter- jang lainnya serta usia. Pemeriksaan EEG di-
libatan hemisfer kontralateral dari arah lakukan untuk memastikan adanya aktivitas
mata, sementara arah kepala tertarik saat epileptiform yang bersifat fokal atau umum.
pasien masih sadar biasanya menunjukkan Pada EEG juga perlu diperhatikan latar be-
hemisfer ipsilateral. Kesadaran dan perkem- lakang serta ada tidaknya perlambatan fokal
bangan bangkitan menjadi umum biasanya monomorfik atau polimorfik.
sejalan, kesadaran akan menghilang dengan Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menge-
berkembangnya bangkitan menjadi umum, tahui adanya defisit neurologis fokal maupun
apabila kesadaran masih intak saat bangkitan global. Bila didapatkan defisit neurologis
menjadi umum, maka perlu dipikirkan diag­ maka ditegakkan diagnosis epilepsi sim-
nosis banding bangkitan non-epileptik. tomatik, bahkan pada bangkitan epilep-
tik pertama kali. Pada epilepsi simtomatik
Semiologi pascaiktal terutama kesadaran
pencarian etiologi merupakan keharusan,
setelah bangkitan selesai juga dapat men­
Pemeriksaan penunjang seperti pemerik­
jadi petunjuk etiologi dan topis. Kesadaran
saan laboratorium, pencitraan otak, dan
yang langsung kembali intak dapat terjadi
pungsi lumbal sangat membantu dalam
pada epilepsi idiopatik dan lobus frontal, se­
menemukan etiologi.
mentara kebingungan yang terjadi sebagai
gejala pascaiktal merupakan patognomonik Bila pada pemeriksaan fisik dan penunjang
epilepsi lobus temporal. tidak ditemukan kelainan maka kemungkinan
diagnosis adalah epilepsi kriptogenik atau
Pada bangkitan fokal/parsial, durasi bang­
idiopatik. Pada bayi, anak-anak, dan remaja,
kitan dapat terjadi sampai dengan 5 menit,
idiopatik dipikirkan apabila terdapat riwayat
sementara pada bangkitan umum tonik
keluarga terutama pada orangtua dan sau-
klonik berkisar antara 1-2 menit. Apabila
dara kandung.
terjadi lebih lama pikirkan kemungkinan
status epileptikus. Namun apabila dipadu-
TATALAKSANA
kan dengan semiologi bangkitan tidak di-
M e d ik a m e n to s a
dapatkan kesesuaian, maka pertimbangkan
Titik berat tata laksana epilepsi adalah pence-
diagnosis banding bangkitan non-epileptik.
gahan bangkitan berulang dan pencarian eti­
Kesesuaian antara runutan semiologi bang­ ologi. Bangkitan epileptik dapat merupakan
kitan dengan asal fokus merupakan kunci gejala dari suatu penyakit sistemik maupun

86
Bangkitan dan Epilepsi

akibat kelainan intrakranial. Bangkitan epi- tanda intoksikasi tersebut muncul. Namun
leptik pertama yang terjadi pada fase akut apabila terjadi intoksikasi berat seperti penu-
akibat penyakit yang mendasarinya, biasa- runan kesadaran pada intoksikasi valproat
nya tidak memerlukan terapi jangka panjang. maka obat harus langsung dihentikan dan di-
Sementara bangkitan epileptik yang terjadi ganti dengan obat yang tidak mempunyai pro-
akibat suatu kelainan intrakranial yang kro- fil efek samping yang sama serta waktu steady
nis diperlukan terapi jangka panjang. state cepat untuk mencegah status epileptikus
akibat efek withdrawal
Pada bangkitan epileptik pertama, terapi obat
anti epilepsi [OAE) dapat langsung diberikan Selain tipe bangkitan, pemilihan OAE perlu
bila terdapat risiko yang tinggi untuk terjadi- memperhatikan faktor-faktor individual se­
nya bangkitan berulang. Misalnya pada status perti komorbiditas, usia, ekonomi, interaksi
epileptikus sebagai bangkitan epileptik per­ obat, ketersediaan, dan lain sebagainya. Ko-
tama, ditemukannya lesi intrakranial sebagai munikasi, edukasi, dan informasi merupa-
penyebab bangkitan, riwayat keluarga epilep­ kan salah satu falctor penting untuk mening-
si dan beberapa indikasi lainnya, katkan kemungkinan bebas serangan.
OAE diberikan berdasarkan tipe bangkitan. Prinsip pengobatan epilepsi adalah monote-
OAE pilihan pada kejang tipe parsial berdasar­ rapi dengan target pengobatan 3 tahun bebas
kan pedoman ILAE 2013 antara lain adalah bangkitan. Bila pemberian monoterapi tidak
karbamazepin, levetirasetam, zonisamid, dan dapat mencegah bangkitan berulang, poli-
fenitoin. Pilihan OAE pada anak adalah okskar- terapi dapat diberikan dengan pertimbangan
bazepin dan pada lanjut usia adalah lamotrigin profil obat yang akan dikombinasikan. Apa­
dan gabapentin. Sementara pada bangkitan bila masih tidak dapat diatasi, maka perlu di-
pertama umum tonik klonik pada dewasa dan pertimbangkan tindakan pembedahan untuk
anak adalah karbamazepin, okskarbazepin, menghilangkan fokus epileptik.
fenitoin, dan lamotrigin (Tabel 4).
N o n m e d ik a m e n to sa
Dosis obat dimulai dari dosis kecil dan dinai- Tata laksana nonmedikamentosa pada epi­
kkan secara bertahap sampai mencapai dosis lepsi antara lain:
terapi. Pantau efek samping jangka pendek, 1. Pembedahan epilepsi
seperti mengantuk, gangguan emosi dan 2. Stimulasi nervus vagus
perilaku, gangguan hematologi, fungsi hepar, 3. Diet ketogenik
atau alergi. Jika tidak ditemukan efek samp­
ing dan pasien merasa nyaman dengan obat Pembedahan epilepsi adalah salah satu tata
tersebut, dosis obat dapat dinaikkan bertahap laksana nonmedikamentosa yang efektif pada
sampai tercapai bebas bangkitan atau terjadi pasien epilepsi fokal resisten obat. Angka ke-
intoksikasi. Gejala dan tanda intoksikasi dapat berhasilan pembedahan epilepsi antara lain
muncul ringan sampai berat. Bila muncul ge­ 66% pasien bebas bangkitan pada epilepsi
jala dan tanda intoksikasi ringan, serperti diz­ lobus temporal, 46% pada epilepsi lobus ok-
ziness dan nistagmus pada intoksikasi fenito­ sipital dan parietal, serta 27% pada epilepsi
in, dosis dapat diturunkan ke dosis sebelum lobus frontal

87
Buku Ajar Neurologi

Stimulasi nervus vagus [SNV) merupakan a. Gambaran klinis dan semiologi


metode invasif pada terapi pasien epilepsi Onset terjadinya BECTS rerata 8 tahun
yang resisten obat. Metode ini menggunakan [3-13 tahun) dan akan remisi pada hampir
suatu elektroda yang ditanam di bawah kulit semua pasien menjelang usia 16 tahun. Se-
pada dada kiri dan berhubungan dengan rangan paling sering terjadi pada malam
elektroda stimulator yang diletakkan pada hari, dan dikatakan terjadi saat peralihan
nervus vagus kiri. Stimulator ini menge- dari kondisi sadar menuju tidur dan dari
luarkan impuls dengan berbagai frekuensi tidur ke kondisi sadar. Durasi serangan
sesuai dengan kebutuhan pasien. Frekuensi berkisar antara beberapa detik sampai
bangkitan sangat menurun setelah penggu- menit. Status epileptikus dilaporkan
naan stimulasi nervus vagus ini. Penurunan pada beberapa pasien [17% ).
frekuensi bangkitan sekitar 35-75% setelah
Aura sensori hemifasial sering mengawali
10 tahun penggunaan SNV.
serangan. Aura ini digambarkan seperti
Diet ketogenik sampai saat ini terbukti sensasi parastesi [kesemutan) atau baal
efektif pada pasien epilepsi anak-anak. Diet pada perioral maupun intraoral, rahang dan
ketogenik adalah diet dengan tinggi lemak, lidah kaku, dan kadang sensasi terceldk. Na­
rendah protein, dan rendah karbohidrat. mun aura ini mungkin sulit untuk didapat­
Angka bebas bangkitan pada anak-anak kan dalam anamnesis karena keterbatasan
mencapai 16%, penurunan >90% frekuensi kemampuan anak untuk mendeskripsikan-
bangkitan sebesar 32% , penurunan >50% nya tergantung usia mereka.
frekuensi bangkitan sebesar 56% . Namun
Sebagian pasien mengalami serangan mo-
diet ketogenik ini belum terbukti efektif
torik berupa klonik, tonik, maupun tonik
pada pasien dewasa.
klonik pada ekstremitas maupun daerah
kepala unilateral yaitu pada bibir, wajah,
SIN D R O M E P IL E P S I
dan lidah. Sebagian pasien mengalami se­
Berikut adalah sindrom yang tersering di-
rangan yang melibatkan orofaring, laring,
jumpai pada klinis:
dan orofaringeal. Keterlibatan bagian ini
1. Benign Focal Epilepsy with Centrotem- ditandai dengan guttural noises, gargling,
poral Spikes (B E C T S ) grunting, maupun "death rattle " Speech
BECTS merupakan sindroma epilepsi fokal arrest atau ketidakmampuan berbicara
yang paling sering didapatkan pada anak- merupakan gejala yang dapat muncul
anak. Insidens pada anak di bawah 16 ta­ pada serangan laring dan orofaringeal,
hun sekitar 21 per 100.000. Sedikit lebih namun komprehensi dan kemampuan
sering terjadi pada laki-laki dengan per- memahami sign language pada pasien
bandingan 3:2. Sebagian kecil pasien me- masih baik, Gambaran klinis lainnya
milild faktor predisposisi kejang demam yang sering dianggap penting oleh orang
[16% ) dan bangkitan pada saat infant tua adalah adanya liur yang keluar dari
( 1 - 8 % ). mulut pasien, dan sering terjadi muntah
pascaiktal.

88
Bangkitan dan Epilepsi

Tabel 4. Rangkuman Studi dan Peringkat Bukti Efikasi dan Efektivitas Obat Anti-epilepsi Berdasarkan
Tipe Bangkitan dan Sindrom Epilepsi ILAE 201 3
Tipe Bangkitan atau Sindrom
Penelitian Kelas Peringkat Bukti Efikasi dan Efektivitas
Epilepsi
1 II II
Bangkitan parsial pada dewasa 4 1 34 Level A: CBZ, LEV, PHT, ZNS
Level B : VPA
Level C: GBP, LTG, OXC, PB, TPM, VGB
Level D: CZP, PRM
Bangkitan parsial pada anak 1 0 19 Level A: OXC
Level B: tidak ada
Level C: CBZ, PB, PHT, TPM, VPA, VGB
Level D: CLB, CZP, LTG, ZNS
Bangkitan parsial pada lansia 1 1 3 Level A:GBP, LTG
Level B: Tidak ada
Level C: CBZ
Level D: TPM, VPA
Bangkitan umum tonik lclonik 0 0 27 Level A: Tidak ada
pada dewasa Level B: Tidak ada
Level C: CBZ, LTG, OXC, PB, PHT, TPM, VPA
Level D: GBP, LEV, VGB
Bangkitan umum tonik klonik 0 0 14 Level A: Tidak ada
pada anak Level B: Tidak ada
Level C: CBZ, PB, PHT, TPM, VPA
Level D: OXC
Bangkitan absans pada anak 1 0 7 Level A: ESM, VPA
Level B: Tidak ada
Level C: LTG
Level D: Tidak ada
Benign epilepsy with centrotem­ 0 0 3 Level A: Tidak ada
poral spikes(BECTS) Level B: Tidak ada
Level C: CBZ, VPA
Level D: GBP, LEV, OXC, STM
Epilepsi mioklonik pada dewasa 0 0 1 Level A: Tidak ada
Level B: Tidak ada
Level C: Tidak ada
Level D: TPM, VPA
CBZ; carbamazepine; LEV: levetiracetam; PHT: phenytoin; ZNS; zonisamide; VPA: valproic acid; GBP: gabapentine; OXC:
oxcarbazepine; PB: phenobarbital; TPM; topiramate; VGB: vigabatrin; CZP: clonazepams; PRM: primidone; CLB: clobazame;
LTG; lamotrigine; STM: sulthiame, ESM; ethosuximide.
Sumber: Glauser T, dkk, Epilepsia, 2013. h. 551-63.

89
Bulat Ajar Neurologi

Pasien sadar saat fase awal serangan ke- c. Genetik dan patofisiologi
cuali bila serangan dengan cepat berubah Secara patofisiologi, gambaran klinis yang
menjadi umum-sekunder. Sebanyak 54% berkaitan dengan umur, gambaran klinis
pasien mengalami evolusi serangan men­ yang self-limiting dengan remisi saat pu-
jadi tonik-klonik. Manifestasi fungsi luhur bertas, dan riwayat penyakit dalam ke-
dapat terjadi pada pasien BECTS dianta- luarga yang serupa merupakan indikasi
ranya gangguan memori auditori-verbal yang sangat kuat bahwa sindrom BECTS
dan visospasial, fungsi eksekutif, bahasa, merupakan sindrom "gangguan matu-
dan atensi. rasi otak herediter". Dugaan ini diperkuat
dengan ditemukannya beberapa gen yang
b. Pemeriksaan penunjang
terkait. Keterlibatan gen brain-derived neu­
Pencitraan tidak rutin dilakukan pada
rotrophic factor (BDNF] dan elongator pro­
pasien ini kecuali jika terdapat gejala-gejala
tein complex 4 (ELP4) yang diperldrakan
yang atipilcal atau dicurigai karena keterli-
berperan pada motilitas sel, migrasi, dan
batan atau etiologi lain. Namun, bila fasilitas
adesi memberikan pandangan yang lebih
dan kondisi memungldnkan pemeriksaan
baik tentang dasar molekuler yang kom-
pencitraan dapat dilakukan tidak hanya
pleks tentang epilepsi fokal pada anak.
untuk menyingldrkan faktor simptomatik
lainnya atau perkembangan ilmu, namun, d. Tata laksana dan prognosis
sekali diagnosis ini telah tegak, pencitraan Karena dianggap sebagai suatu yang b e­
juga dapat dilakukan untuk membuat orang nign dan dapat remisi {self-limiting course},
tua menjadi lebih tenang. banyak ahli berpendapat BECTS tidak me-
merlukan pengobatan secara farmakologi.
EEG interiktal wajib dilakukan pada
Namun keputusan tata laksana memerlu-
pasien ini karena salah satu penyingkir
kan berbagai pertimbangan antara risiko,
dan kadang menjadi penegak diagnosis.
keutungan, dan alternatif obat antiepilep-
Gambaran EEG ditandai dengan gelom-
si yang ada. Jika serangan jarang terjadi
bang paku difasik amplitudo tinggi {high
mungkin saja terapi farmakologis tidak
voltage ] diikuti gelombang lam bat Dis-
perlu diberikan.
tribusi gelombang ini paling jelas terlihat
di centrotemporal (elektroda C3/T3 atau Pada kasus dengan onset kurang dari 4
C4/T4), namun sebagian kecil kadang tahun, pasien dengan serangan di siang
dapat ditemukan pada centroparietal hari, serangan tonik klonik umum yang
dan midtemporal. Contoh gambaran EEG berulang, atau status epileptikus pem-
interiktal BECTS dapat dilihat pada buku berian terapi farmakologis sangat disa-
Atlas EEG dan suplemen evoked potential rankan. Terapi farmakologis yang men­
yang dikeluarkan Departemen Neurologi jadi obat pilihan untuk BECTS adalah
FKUI/RSCM. Pemeriksaan fungsi luhur asam valproat. Adapun karbamazepin
sebaiknya juga dilakukan pada pasien menyebabkan perburukan klinis dan
BECTS mengingat adanya gangguan elektrofisiologis (EEG).
memori pada beberapa pasien.

90
Bangkitan dan Epilepsi

2, Childhood Absence Epilepsy (C A E ) klinik. Riwayat keluarga dan riwayat


CAE merupakan salah satu subtipe bang­ penyakit dahulu harus ditanyakan.
kitan umum idiopatik yang paling sering Sebagian pasien memiliki riwayat ke-
ditemukan dengan prevalensi sekitar 5,9- jang demam.
12,3% anak-anak dengan epilepsi di bawah
b. Pemeriksaan penunjang
16 tahun. Onset CAE biasanya antara 4-10
EEG CAE iktal menunjukkan gamba­
tahun dengan puncak usia 5-7 tahun. Pasien
ran 3-hertz (Hz) kompleks gelombang
biasanya tidak memiliki gangguan neuro-
paku dan lambatberamplitudo tinggi di
logis lainnya dan fungsi luhur baik de­
seluruh elektroda (generalisata), fron­
ngan tingkat intelegensia yang baik pula,
tal biasanya lebih dominan. Cetusan
namun dari anamnesis kadang gangguan
yang muncul ini biasanya sangat regu­
atensi di kelas merupakan kunci untuk
lar. Cetusan biasanya muncul tiba-tiba
eksplorasi lebih lanjutberikutnya.
dan berakhir tiba-tiba seperti gamba­
a. Gambaran klinis dan semiologi ran klinis yang didapatkan pada CAE.
Semiologi CAE dimulai dengan serang- Latar belakang biasanya normal, walau
an absans tipikal yang muncul tiba-tiba sebagian pasien dapat muncul occipi­
disertai dengan hilangnya kesadaran tal intermittent rhythmic delta activity
dan pasien terlihat terhenti melakukan (OIRDA).
aktivitas yang sedang dikerjakannya.
Pada EEG interiktal gambaran yang
Serangan ini berlangsung singkat anta­
muncul dapat berupa gelombang paku
ra 4-20 detik, diikuti perbaikan kesada­
dan lambat sesekali terutama saat tidur.
ran yang tiba-tiba pula dan kembali ke
Keasimetrisan yang muncul tidak regu­
aktivitas yang dilakukan sebelumnya.
lar atau tidak konsisten dapat muncul
Namun, dibutuhkan bebe-rapa detik
pada EEG iktal maupun interiktal. Apa-
untuk kembali ke perilaku yang nor­
bila keasimetrisan ini muncul lebih
mal, dan pasien dapat menyadari ter-
persisten atau konsisten di regio
dapat jeda waktu yang hilang cukup
frontal, maka diagnosis banding yang
panjang bagi dirinya. Meskipun demiki-
harus dipikirkan adalah frontal lobe
an tidak ada perubahan pascaiktal yang
epilepsy. Contoh gambaran EEG CAE
signifikan.
dapat dilihat dalam buku atlas EEG
Gejala motor seperti kedipan mata dan suplemen evoked potential yang
yang random, atau klonus pada diterbitkan Departemen Neurologi
kelopak mata, sedikit deviasi mata ke FKUI/RSCM.
atas, dan automatisme ringan dapat
Pemeriksaan MR1 tidak rutin namun
terjadi pada saat iktal terjadi. Namun
dapat dilakukan untuk menyingkirkan
mioklonus tidak mungkin terjadi pada
diagnosis banding lainnya. Saat ini ba-
CAE. CAE yang tipikal dapat diprovoka-
nyak studi MRI fungsional (fMRI) yang
si dengan hiperventilasi 3 menit diang-
dikombinasikan dengan EEG untuk
gap cukup untuk diagnosis di setting
menilai mekanisme patofisiologi yang

91
Buku Ajar Neurologi

melatarbelakangi bangldtan umum topiramat, zonisamid, lamotrigin, leveti-


idiopatik Terdapat variabilitas regio rasetam, dan klonazepam.
yang mengalami peningkatan aktivitas.
Bangldtan absans tipikal memiliki
Hal ini disimpulkan sebagai variabilitas
prognosis yang baik. Pada pasien yang
fenotip dan genetik
hanya memiliki bangkitan absans, 90%
c. Genetik di antaranya akan remisi. Namun seba-
Sekitar 15-44% pasien memiliki riwa- gian lainnya dapat berlanjut menjadi
yat yang sama dalam keluarga. Walau- bangkitan umum tonik Idonik. Faktor-
pun gen yang diturunkan masih belum faktor yang memperburuk prognosis
konklusif, hal ini jelas menunjukkan diantaranya gangguan kognitif saat
adanya hu-bungan antara genetik dan onset, latar belakang EEG abnormal,
CAE. Kandidat gen yang berperan di- riwayat status epileptikus, adanya bang­
antaranya chloride voltage-gated chan­ kitan umum tonik klonik, atau mio-
nel 2 (CLCN2), gamma-aminobutyric klonik saat serangan absans.
acid type A receptor gamma-2 subunit
3. Juvenile Absence Epilepsy (JA E )
(GABRG2], gamma-aminobutyric acid
a. Gambaran klinis
type A receptor gamma-3 subunit (GA-
CAE dan JAE memiliki semiologi yang
BRG3), calcium voltage-gated channel
hampir sama. Bahkan beberapa ahli
subunit alpha-1 H (CACNA1H), adenos­
menganggap JAE tidak perlu dibedakan
ine deaminase acting on RNA (ADAR),
dengan CAE. Perbedaan mendasar an­
trafficking kinesin-binding protein 1
tara CAE dan JAE adalah onsetnya. On­
[TRAK1), calcium voltage-gated chan­
set JAE adalah saat pubertas atau sekitar
nel auxiliary subunit alpha-2 delta-2
9-13 tahun. Frekuensi serangan absans
[CACNA2D2], calcium voltage-gated
lebih jarang dibandingkan CAE, namun
channel auxiliary subunit gamma 2
durasinya lebih panjang. JAE tidak mu-
(CACNG2), calcium voltage-gated chan­
dah dipicu dengan hiperventilasi.
nel subunit alpha-1 A (CACNAla), dan
calcium voltage-gated channel auxilary b. Pemeriksaan penunjang
subunit beta- 4 (CACNB4J. Latar belakang EEG interiktal pasien
JAE dalam batas normal. Tampak
d. Tata laksana dan prognosis
gelombang tajam atau polyspike and
CAE perlu dikontrol karena absans
slow-wave yang dapat muncul pada
sering terjadi sepanjang siang hari se-
EEG interiktal maupun iktal. Frekuensi
hingga dapat memengaruhi fungsi kog-
gelombang lebih cepat dibandingkan
nitif. Obat pilihan untuk CAE dianta-
CAE yaitu sebesar 3,5-4Hz. Secara
ranya etosuksimid atau asam valproat.
umum gambaran EEG lebih regular
Asam valproat lebih disarankan jika
jika dibanding JME namun lebih ter-
terdapat bangldtan umum tonik-klonik
fragmentasi bila dibandingkan CAE.
yang menyertai. Pilihan OAE lainnya
Durasi gelombang iktal lebih lama
adalah yang berspektrum luas yaitu
dibandingkan CAE dan JME.

92
Bangkitan dan Epilepsi

c. Genetik bentuk epilepsi yang paling sering pada ke-


Pasien JAE sering kali memiliki riwa- lompok epilepsi umum idiopatik Seldtar
yat keluarga epilepsi. CAE lebih sering 5-10% dari seluruh epilepsi adalah JME,
didapatkan dalam riwayat keluarga dan sekitar 20-27% dari seluruh epilepsi
pasien dibandingkan riwayat keluarga umum idiopatik merupakan JME. Sebagian
yang mengalami JME. Hal ini menggam- besar onset pasien antara 12-18 tahun,
barkan bahwa JAE kemungkinkan be- dengan rentang 7-26 tahun. Walaupun
sar memiliki kesamaan genetik dengan termasuk sindroma yang sering, namun
CAE dibandingkan JAE dengan JME. masih banyak kasus yang terlambat untuk
Terdapathubungan antara JAE dengan terdiagnosis dengan tepat.
mutasi gen glutamate ionotropic re­
a. Gambaran klinis dan semiologi
ceptor kainate type subunit 1 (GRIK1)
Pada prinsipnya JME mudah didiag­
pada kainite-selective glutamate re-
nosis karena memiliki karakteristik
cep to ray a dan gen subunit kanal
yang khas. Gejala utama sindrom ini
kalsium, namun temuan ini belum
adalah morning jerks . Sesuai nama-
konsisten dengan temuan-temuan
nya gerakan ini sering muncul pada
lainnya. Gen lainnya yang berkaitan
pagi hari. Ge-rakan ini jarang dike-
dengan JAE adalah inhibin alpha sub­
luhkan oleh pasien, sehingga harus
unit (INHA).
ditanyakan khusus oleh ldinisi. Se-
d. Tata laksana dan prognosis lain myoclonic jerk, bangkitan umum
JAE memiliki respons yang baik ter- tonik klonik, dan absans tipikal juga
hadap pengobatan walaupun disertai dapat muncul pada pasien.
dengan bangkitan umum tonik klonik.
Bangkitan mioklonik yang muncul ini
Namun pasien JAE yang tanpa disertai
sifatnya bilateral, dapat tunggal mau-
kejang umum tonik klonik memiliki
pun repetitif, artimik, iregular, dan pre-
prognosis bebas bangkitan yang lebih
dominan pada tangan. Gerakan teru-
kecil. Sedangkan mioklonik tidak mem-
tama pada bagian proksimal, kadang
pengaruhi renspon terhadap pengo­
dapat juga muncul pada fleksi dan ab-
batan.
duksi paha atau pada otot-otot spinal.
Uni pertama OAE untuk JAE adalah Serangan jerk yang muncul dapat me-
asam valproat. Jika tidak respon terha­ nyebabkan pasien terjatuh tiba-tiba
dap asam valproat maka dapat diberi- atau melempar benda yang sedang
kan lamotrigin, topiramat, atau zonisa- dipegangnya. Bangkitan biasanya mun­
mid. Sedangkan karbamazepin dan cul sesaat sampai setengah jam setelah
okskarbazepin dapat memperburuk ba-ngun tidur dan sering dipresipi-
serangan. tasi oleh deprivasi tidur, atau minum
alkohol semalam sebelumnya. Bangki­
4. Juvenile Myoclonic Epilepsy (JM E )
tan dapat juga muncul pada sore hari
JME merupakan salah satu bentuk epilepsi
setelah tidur siang atau saat terbangun
yang paling sering, paling tidak salah satu

93
Buku Ajar Neurologi

di tengah-tengah tidur. Selain itu JME dan simetrik, yang kemudian segera
dikenal sebagai sindrom epilepsi yang diikuti dengan mioklonicjerk (tere-kam
paling fotosensitif. Mioldonik biasa-nya pada elektorda EMG). Cetusan ini ter-
mudah dibangkitkan dengan stimulasi diri dari 5-20 gelombang tajam [spike],
visual berupa kilatan seperti TV, video dengan frekuensi 12-lHz, amplitudo
games, lampu disko, dan sinar matahari makin meningkat di daerah fron­
yang intermiten. Bangkitan mioklonik tal sebesar 200-300mV. Gelombang
ini tidak disertai dengan gangguan ke- lambat dapat muncul sebelum atau
sadaran. sesudah gelombang tajam dengan
frekuensi antara 3-4Hz dan amplitu­
Bentuk bangkitan kedua tersering
do 200-250mV. Gelombang polispike
pada JME adalah bangkitan umum
dan lambat ini membentuk kompleks
tonik-klonik, yaitu sekitar 80-95% ,
gelombang polyispike-and-slow-wave
yang membuat pasien datang ber-
yang durasinya lebih panjang dari mio­
obat. Gerakan mioklonik sering tidak
klonik jerk yang mucul saat dilakukan-
dianggap keluhan oleh pasien diband-
nya perekaman.
ingkan bangkitan umum tonik klonik,
sehingga tidak didapatkan dalam Pencitraan seperti MRI dan CT scan
anamnesis. Bangkitan umum ini me- tidak bermakna dalam penentuan di­
miliki faktor presipitasi dan muncul agnosis melainkan dilakukan untuk
pada waktu-waktu yang sama dengan menyingkirkan diagnosis banding atau
bangkitan mioklonik. Walaupun be- evaluasi. Positron emission tomography
gitu, bangkitan umum jarang kambuh (PET) scan menunjukkan penurunan
pada pasien dengan JME, hanya se­ tingkat fluorodeoksiglukosa di korteks
kitar satu sampai dua kali pertahun, prefrontal dorsolateral saat melakukan
dan biasanya muncul karena peruba- perintah yang berka-itan dengan fungsi
han pola tidur, tidur tidak teratur, worlung memory. Dilaporkan peningka-
atau faktor pencetus lainnya. tan distribusi benzodiazepin dan resep-
tor GABA pada sistem talamo-kortikal.
b. Pemeriksaan penunjang
Magnetic resonance spectroscopy (MRS)
Pemeriksaan EEG interiktal menun-
menunjukkan penurunan tingkat kadar
jukkan latar belakang normal. Ter-
N-acetyl aspartate di daerah prefron­
dapat gelombang polyspike and
tal, sedangkan pada MR! 40% pasien
slow-wave umum [general] kadang
menunjukkan sedildt perubahan struk-
asimetris atau hanya dominan pada
tur menjadi abnormal. Pemeriksaan
daerah anterior, dan lebih sering mun­
fungsi luhur menjadi pemeriksaan stan-
cul pada saat tidur. Gelombang epilep­
dar sebagai data dasar dan evaluasi
tiform ini muncul ireguler dan dengan
pasien-pasien epilepsi.
frekuensi lebih cepat dari 2,5-3,5Hz.
c. Genetik
EEG iktal menunjukkan satu hurst ge­
JME merupakan sindrom epilepsi yang
lombang polispike bilateral, sinkrom,

94
Bangkitan dan Epilepsi

paling sering dipelajari oleh para ahli laki-laki. Levetirasetam, lamotrigin,


genetik. Riwayat bangkitan atau epi­ atau topiramat merupakan terapi pi-
lepsi pada keluarga didapatkan sekitar lihan untuk remaja perempuan karena
30-50% pasien. Mutasi nonsense gen efek teratogenik dari asam valproat
EE-hand domain containing 1 (EFHC1} pada wanita. Walaupun begitu, asam
didapatkan pada JME familial. Gen ini valproat masih merupakan terapi yang
mengkode protein yang meregulasi paling efektif dibandingkan levetirase­
aktivitas kanal kalsium dan mempe- tam, lamotrigin, dan topiramat. Karba-
ngaruhi kematian sel terprogram. Gen mazepin dan okskarbazepin sebaiknya
ini terletak pada 6 p ll-p l2 . Gen bro- dihindari untuk terapi JME. Kedua obat
modomain containing-2 (BRD2) pada ini telah dilaporkan meningkatkan ke-
6p21, glutamate metabotropic recep- jadian bangkitan dan status mioklonik
tor-4 (GRM4) pada Gp21.3 juga ter- pada pasien JME.
dapat pada JME, namun gen-gen terse-
Berbagai studi menunjukkan respon
but tidak hanya ditemukan pada JME,
pengobatan terhadap JME baik. Sekitar
namun juga pada variasi idiopathic
80-90% pasien dapat terkontrol de­
generalized epilepsies [IGE] lainnya
ngan obat, walaupun memerlukan
yang menunjukkan asosiasi antara
pengobatan jangka panjang atau bah-
JME dan IGE lainnya. Kandidat gen
kan seumur hidup. Tingkat kekambu-
lainnya yang berkaitan dengan JME
han biasanya disebabkan karena faktor
diantaranya gamma-aminobutyric
pencetusnya. Namun dalam suatu studi,
acid type A receptor delta subunit
dari 18 pasien yang bebas bangkitan
(GABRD), CLCN2, cholinergic receptor
terdapat 4 pasien yang bebas pengo­
nicotinic alpha-4 subunit (CHRNA4),
batan. Pengontrolan bangkitan pada
dan gamma-aminobutyric acid recep­
JME sangat pending karena gangguan
tor subunit alpha-1 (GBRAl).
fungsi luhur dan gangguan psikiatri lebih
d. Tata laksana dan prognosis sering muncul pada pasien-pasien yang
Hal yang perlu ditekankan saat edu- tidak terkontrol dengan obat.
kasi pada pasien JME adalah meng-
hindari faktor-faktor pencetus seperti DAFTAR PUSTAKA
kilatan dari video gam es dan lain-lain. 1. Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Eogacz A,
Pola tidur juga perlu dijaga kualitas Cross H, Eiger CE, dkk. A practical clinical defini­
tion of epilepsy. Epilepsia. 2014;55(4]:475-82.
dan kuantitasnya. Hindari minuman/ 2. World Health Organization. Epilepsy: Fact sheet
makanan beralkohol. Hindari menye- WHO [serial online] 2016. [diunduh 11 Novenber
tir/menggunakan mesin berat di 2016];2016;999, Tersedia dari: WHO Media Centre.
3. Kusumastuti K, Kustiowati E, Gunadharma S, Mi-
malam hari atau saat baru bangun rawati K, Octaviana F, Aulina S, dkk. Character­
tidur. istics of epilepsy at 5 main islands in Indonesia.
Poster at 10th Asian & Oceanian Epilepsy Con­
Asam valproat merupakan terapi pili- gress; 2014 Agustus 24-27; Singapore: ILAE/1BE
han untuk JME pada pasien remaja Congress: Epilepsy Congress; 2014.

95
Buku Ajar Neurologi

4. Octaviana F, Budikayanti A] Belfas Z, Ayuputri M. 20. Pardoe HR, Berg AT, Archer JS, Fulbright RK, Jack-
Characteristics of epilepsy patients in outpatient son GD. A neurodevelopmental basis for BECTS:
clinic neurology departement Cipto Mangungkusu- evidence from structural MRI. Epilepsy Res.
mo Hospital Jakarta. Poster at 10thAsian & Oceani­ 2013;105(0):139-9.
an Epilepsy Congress; 2014 Agustus 24-27; Singa­ 21. Holmes GL. Rolandic epilepsy: clinical an electro-
pore: 1LAE/1BE Congress: Epilepsy Congress; 2014. encephalographic features. Epilepsy Res Suppl.
5. Engelborghs S, D'Hooge R, De Deyn PP. Pathopysiolo- 1992:6;29-43.
gy of epilepsy. Acta neural belg. 2000;100(4}:201-13. 22. Sarkis RA, Loddenkemper T, Burgess RC. Child­
6. Stafstrom CE. The pathophysiology of epileptic hood absence epilepsy in patients with benign
seizures: a primer for pediatricians. Pediatr Rev focal epileptiform disharges. Pediatr Neurol.
1998;19(10):342-51. 2009:41 (6 ) ;428-34.
7. Penderis J. Pathophysiology of epileptic seizure. 23. Gkampeta A, Pavlou E. Emerging genetic influences
In practice. 2014;36(suppl l):3-9. in benign epilepsy with centro-temporal spikes-
8. Vezzani A. Epilepsy and inflammation in the
BECTS. Epilepsy Res. 2012;101(3):197-201.
brain: overview and pathophysiology. Epilepsy
24. Hughes JR. Benign epilepsy of childhood with
curr. 2014;14(suppl l):l-7 .
centrotemporal spikes (BECTS): to treat or not
9. Proposal for revised classification of epilepsies
to treat, that is the question. Epilepsy Behav.
and epileptic syndromes. Commission on classifi-
2010;19(3):197-203.
cationand terminology of the international league
25. Kao A, Rao PM. Chapter 13: Idiopathic general­
against epilepsy. Epilepsia. 1989;30(4):389-99.
10. Engel J. ILAE classification of epilepsy syn­ ized epilepsies. Dalam: Stefan H, Theodore WH,
dromes, Epilepsy Res. 2006;70(suppl}:5-10. editor. Handbook of clinical neurology. Edisi ke-
11. Panayiotopoulos CP, penyunting. A clinical guide 3. 2012;107:210-24.
to epileptic syndromes and their treatment. Lon­ 26. Berman R, Negishi M, Vestal M, Spann M, Chung
don: Springer Healthcare Ltd; 2010. MH, Bai X, dkk. Simultaneous EEG, fMRI, and
12. Heijbel J, Bloom S, Bergfors. Benign epilepsy of chil­ behavior in typical childhood absence seizures.
dren with temporal EEC foci. A study of incidence Epilepsia. 2010;51(10):2011-22.
rate in ouptaientcare. Epilpesia, 1975;16(5):57-664. 27. Carney PW, Masterton RA, Harvey AS, Scheffer IE,
13. MA CK, Chan KY. Benign childhood epilepsy with Berkovic SF, Jackson GD. The core network in ab­
centrotemporal spikes: a study of 50 Chinese sence epilepsy, differences in cortical and thalamic
children. Brain Dev. 2003;25(6):390-5. BOLD response. Neurology. 2010;75(10):904-11,
14. Chanine LM, Milcati MA. Benign pediatric lo­ 28. Loiseau P, Panayiotopoulos CP, Hirsch E. Chapter 19:
calization-related epilepsies. Epileptic Disord. Childhood absence epilepsy and related syndromes.
2006;8(4):243-58. Dalam: Roger J, Bureau M, Dravet Ch, Genton P, Tas-
15. Gobbi G, Boni A, Filippini M. The spectrum of sinari CA, Wolf P, editor. Epileptic syndromes in in­
idiopatic Rolandic epilepsy syndromes and idio- fancy, childhood and adolescence. Edisi ke-3. Mon-
patic occipital epilepsies: from the benign to the trouge: John Libbey Eurotext Ltd; 2002. h. 285-303,
diabling. Epilepsia. 2006;47(suppl 2):62-6. 29. Sander T, Hildmann T, Krets R, Furst R, Sailer
16. Bouma PA, Bovenkerk A, Westendrop RG, Brou­ U, Schmitz B, dkk. Allelic association of juvenile
wer OF. The course of benign partial epilepsy in absence epilepsy with a GluR5 kainate receptor
childhood with centrotemporal spikes a meta­ gene (GRIK1) polymorphism. Am J Med Genet.
analysis. Neurology. 1997;48(2):430-7. 1997;74(4):416-21.
17. Wirrel EC. Benign epilepsy of childhood with cen­ 30. Izzi C, Barbon A, Kretz R, Sander T, Barlati S. Se­
trotemporal spikes. Epilepsia. 1998;39:S32-41. quencing of the GRIK1 gene in patients with juve­
18. Loddenkemper T, Wyllie E, Hirsch E. Epileptic nile absence epilepsy does not reveal mutations
syndromes with focal sizures of childhood and affecting receptor structure. Am J Med Genet.
adolescence. Dalam: Stefan H, Theodore WH, edi­ 2002;114(3):354-9.
tor. Handbook of Clinical Neurology. Edisi ke-3. 31. Yalfin 0, Baykan B, Agan K, Yapici Z, Yalfin D,
2012;107:195-208. Dizdarer G, dkk. An association analysis at 2q36
19. Panayiotopoulus CP, Michael M, Sanders S, Valeta T, reveals a new candidate susceptibility gene for
Koutroumanidis M. Benign childhood focal epilep­ juvenile absence epilepsy and/or absence sei­
sies: assessment of established and newly recog­ zures associated with generalized tonic-clonic
nized syndromes. Brain. 2008:131(Pt 9);2264-86. seizures. Epilepsia. 2011;52(5):975-83.

96
Bangkitan dan Epilepsi

32. Genton P, Gelisse P, Thomas P. Juvenile myoclonic clonic status epilepticus in juvenile myoclonic
epilepsy today: Current definitions and limits. epilepsy. Epileptic Disord. 2013;15(2]:181-7.
Dalam: Schmits B, Sander T, editor, juvenile myo­ 40. Genton P, Gelisse P, Thomas P, Dravet C. Do carba-
clonic epilepsy: the Janz syndrome. Petersfield: mazepine and phenytoin aggravate juvenile myo­
Wrightson Biomedical Publishing, 2000; h. 11-31. clonic epilepsy? Neurology. 2000;55(8): 1106-9,
3 3 . Thomas P, Genton P Gelisse P, Wolf P. Chapter 41. Glauser T, Ben-Menachem E, Bourgeois B, Cnaan A,
24: Juvenile myoclonic epileps. Dalam: Roger }, Guerreiro C, Kalviainen R, dkk. Updated ILAE evi­
Bureau M, Dravet P, Tassinari CA, Wolf P, editor. dence review of antiepileptic drug efficacy and effec­
Epileptic syndromes in infancy, childhood and tiveness as initial monotherapy for epileptic seizures
adolescence. Edisi ke-3. Montrouge: John Libbey and syndromes. Epilepsia. 2013;54(3):551-63.
Eurotext Ltd; 2002. h. 335-55. 42. Ryvlin P, Cross JH, Rheims S. Epilepsy surgery in chil­
34. Pung T, Schmitz B. Circardian rhythm and per­ dren and adults. Lancet Neurol. 2014;13(11):1114-26.
sonality porfile in juvenile myoclonic epilepsy. 43. Elliot RE, Morsi A, Tanweer O, Grobelny B,
Epilepsia. 2006;47(Suppl 2 } :l ll - 4 . Geller E, Carlson C, dkk. Efficacy of vagus nerve
35. Koepp MJ, Richardson MP, Brooks DJ, Cunning­ stimulation over time: review of 65 consecu­
ham VJ, Duncan JS. Central benzodiazepine/ tive patients with treatment-resistant epilepsy
gamma-amminobutyric acid a receptors in id- treated with VNS>10 years. Epilepsy & Behavior.
iopatic generalized epilepsy: an [nC] flumazenil 2011;20(3):478-83.
positron emission tomography study. Epilepsia. 44. Lefevre F, Aronson N. Ketogenic diet for the treat­
1997;38(10};1089-197. ment of refractory epilepsy in children: a system­
36. Szaflarski JP, Di-Francesco M, Hirschhauer T, atic review of efficacy Pediatrics. 2000; 105 (4): 1-7.
Banks C, Privitera MD, Gotman j, dkk. Cortical 45. Yogaswara R, Octaviana F, Budikayanti A, Prihar-
and subcortical contributions to absence seizure tono J, Syeban Z, Mayza A, dkk. Aktifitas epilep­
onset examined with EEG/fMRI. Epilepsy Behav. tiform pada elektroeesefalografi pasien epilepsi
2010;18(4):404-13. dengan hiperventilasi selama lima menit [tesis].
37. Muhle H, Steinich I, von Spiczak S, Franke A, We­ Jakarta: Universitas Indonesia: 2014.
ber Y, Lerche H, dkk, A duplication in lq21.3 a 46. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter
family with early onset and childhood absence Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Pedoman
epilepsy. Epilepsia, 2010:51{12);2453-6. tatalaksana epilepsi. Surabaya: Airlangga Univer­
38. Brodie MJ. Modern management of juvenile sity Press; 2014.
myoclonic epilepsy. Expert Rev Neurother. 47. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Uni­
2016;16(6):681-8. versitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunku-
39. Fanella M, Egeo G, Fattouch J, Casciato S, Lapenta sumo. Atlas EEG praktis. Jakarta: Badan Penerbit
L, Morano A, dkk. Oxcarbazepine-induced myo­ FKUI; 2016.

97
STATUS EPILEPTIKUS

Luh Ari Indrawati, Winnugroho Wiratman, Astri Budikayanti,


Fitri Octaviana, Zakiah Syeban

PENDAHULUAN motor yang prominen (Tabel 1}.


Status epileptikus (SE) penting untuk dikenali
ILAE juga menentukan definisi operasional
secara dini, sehingga dapat ditatalaksana se-
SE berdasarkan dua dimensi waktu, yaitu 1)
segera mungldn dimulai pada fase prarumah
durasi dan waktu kemungldnan bangkitan
sakit. Tata laksana SE yang tepat akan me-
epileptik menjadi berkepanjangan atau terus
ningkatkan probabilitas terminasi bangkitan
menerus dan 2) durasi dan waktu bangkitan
epileptik dan pada akhirnya menurunkan
epileptik menyebabkan konsekuensi j angka
angka morbiditas dan mortaiitas. Menurut
panjang (kerusakan dan kematian neuronal,
International League Against Epilepsy [ILAE]
perubahan jaringan koneksi neuronal, dan
tahun 2015, terdapat 2 jenis SE berdasarkan
defisit fungsional). Dimensi waktu pertama
bentuk bangldtannya, yaitu 1) SE dengan gejala
merupakan batasan waktu untuk memulai
motor yang prominen dan 2] SE tanpa gejala
protokol tata laksana SE.

Tabel 1. Klasifikasi SE Berdasarkan Bentuk Bangkitan


1, Dengan gejala motor yang prominen
a. SE konvulsif (SE dengan bentuk bangkitan tonik klonik)
b . SE mioklonik
C. SE dengan bentuk bangkitan motorik fokal
d. SE tonik
6. SE hiperkinetik
2. Tanpa gejala motor yang prominen (nonkonvulsif)
a. SE nonkonvulsif dengan koma
b . SE nonkonvulsif tanpa koma
1) Umum
- Status absans tipikal
- Status absans atipikai
- Status absans mioklonik
2) Foltal
- Tanpa gangguan kesadaran (aura kontinua, misalnya gejala otonom,
sensorik, auditorik, visual, olfaktori, gustatori, emosi, atau psilds)
- Status afasia
- Dengan gangguan kesadaran
3) Tidak diketahui umum atau fokal
_______________ - SE otonom___________________________________________________
SE: status epileptikus
Sumber: Trinka E, dkk. Epilepsia, 2015. h. 1515-23.

98
Status Epileptikus

Definisi SE konvulsif tonik klonik adalah tinggi, yaitu 3-50%. Angka ini bervariasi ter-
bangkitan epileptik yang berlangsung se- gantung etiologinya, anglta mortalitas SE re-
cara terus menerus selama minimal 30 menit frakter pada pasien usia tua mencapai 76%.
atau berulang tanpa pulihnya kesadaran di
antara bangkitan. Batasan waktu atau durasi E T IO L O G I
30 menit tersebut merupakan batasan waktu Secara umum etiologi SE terdiri dari etiologi
dimensi kedua, yaitu saat terfadi kerusakan yang diketahui (simtomatik) dan etiologi yang
neuronal. Tetapi batasan waktu atau durasi tidak diketahui (kriptogenik). Berdasarkan
bangkitan epileptik tonik klonik minimal waktu terjadinya abnormalitas penyebabnya,
5 menit digunakan sebagai dasar untuk etiologi SE dibagi menjadi 3, yaitu:
memulai langkah tata laksana SE sehingga
1. Proses A k u t
bangkitan tidak terjadi berkepanjangan.
® Gangguan metabolik: gangguan elektro-
Bangkitan epileptik tonik klonik kemung-
lit, hipoglikemia, dan gangguan ginjal
kinan tidak akan berhenti spontan apabila
® Sepsis
telah terjadi selama 5 menit. Batasan waktu
® Infeksi susunan saraf pusat: meningi­
SE pada bentuk bangkitan yang lain dipapar-
tis, ensefalitis, dan abses
kan pada Tabel 2.
® Stroke: stroke iskemik, perdarahan in-
traserebral, perdarahan subaraknoid,
E P ID E M IO L O G I
dan trombosis sinus serebral.
Insidens SE episode pertama mencapai 42
® Trauma kepala dengan atau tanpa he-
kasus per 100.000 penduduk pertahunnya
matom epidural atau subdural
dengan rasio yang hampir sama pada laki-
® Obat-obatan:
laki dan perempuan. Berdasarkan National
Health Discharge Survey (NHDS) insidens ini - Intoksikasi obat atau alkohol.
bersifat bimodal, yaitu lebih tinggi pada usia - Withdrawal obat golongan opiod,
dekade pertama dan setelah usia 60 tahun. Di benzodiazepin, barbiturat, atau
Amerika Serikat insidensnya berkisar antara alkohol,
6,2-18,3 per 100.000 populasi. • Hipoksia
Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) ® Ensefalopati hipertensif, sindrom
pada bulan Juni 2013 hingga Januari 2014 ter- ensefalopati posterior reversibel
dapat 31 pasien SE di instalasi gawat darurat ® Ensefalitis autoimun
(IGD), 45,2% dengan bangkitan umum, dan 2. Proses Kronik
54,8% dengan bangkitan fokal Sebanyak ® Epilepsi: penghentian atau penu-
22,6% pasien meninggal dan kesemuanya runan obat anti epilepsi (OAE)
mengalami bangkitan umum. Penelitian Loho
® Penyalahgunaan alkohol kronik
2016 di RSCM menunjukkan bahwa 61,8%
kasus ensefalopati metabolik mengalami SE ® Gangguan susunan saraf pusat lampau
nonkonvulsif. (misalnya pascastroke, pascaensefalitis)
® Gangguan metabolisme bawaan pada
SE merupakan kegawatdaruratan medis yang
anak
sering dengan morbiditas dan mortalitas yang

99
Baku Ajar Neurologi

3. Proses Progresif berikutnya, pada beberapa menit hingga jam,


» Tumor susunan saraf pusat terjadi peningkatan substansi P eksitatorik dan
penurunan penggantian neuropeptida Y yang
Etiologi akut SE yang paling sering adalah
bersifat inhibitor! k. Pada stadium keempat,
stroke (22%), diikuti gangguan metabolik
pada beberapa hari hingga minggu, akan terjadi
(15%), hipoksia (13%), infeksi sistemik (7%),
perubahan genetik dan epigenetik berupa pe-
dan anoltsia (5%). Namun yang menyebabkan
rubahan ekspresi gen, metilasi deoxyribonucleic
mortalitas tertinggi adalah anoksia (71%,) dii­
acid (DNA), dan regulasi ribonucieic acid (RNA)
kuti hipoksia (53%), stroke (33%), dan gang­
mikro. Hal-hal tersebut mendasari perubahan
guan metabolik (30%). Etiologi proses kro-
dari suatu bangkitan epileptik tunggal menjadi
nik yang paling sering adalah konsentrasi OAE
keadaan SE (Gambar 1).
yang rendah pada pasien epilepsi (34%) diikuti
penyebab simtomatik seperti tumor, stroke,
KOMPLIKASI
dan trauma (25%). Angka mortalitas SE yang
Berbeda dengan SE nonkonvulsif, SE kon-
disebabkan etiologi akut lebih tinggi diband-
vulsif memiliki dampak sistemik yang luas,
ingkan akibat etiologi kronik.
meliputi susunan saraf pusat (SSP), kardio-
vaskular, respirasi, metabolik, ginjal, en-
PATOFISIOLOGI dokrin, dan lain-lain, yaitu:
Pada umumnya bangkitan epileptik dapat
1. Sistem saraf pusat
berhenti spontan. Namun semakin lama
Edema serebral, narkosis akibat penumpu-
durasi suatu bangkitan epileptik, maka se­
kan C02, hipoksia serebral, dan perdarahan
makin kecil kemungkinan akan berhenti
serebral.
spontan. Pada detik-detik pertama terjadi-
2. Kardiovaskular
nya bangkitan epileptik terjadi fosforilasi
Aritmia, henti jantung, takikardia, bradi-
protein, pembukaan dan penutupan kanal
kardia, gagal jantung kongestif, hipertensi,
ion, serta pelepasan neurotrasmiter. Kemu-
dan hipotensi.
dian pada tahap kedua, pada beberapa detik
3. Respirasi
hingga menit, terjadi penurunan subunit re-
Apneu, edema paru, acute respiratory
septor gamma-aminobutyric acid (GABA) (32,
distress syndrome, infeksi nosokomial,
(33, y2, serta peningkatan reseptor eksitatorik
aspirasi, spasme laring, asidosis respira-
N-metil-D-aspartat (NMDA) dan a-amino-3-hy-
torik, dan emboli paru.
droxy-5-methylisoxazole-4“propionic acid
4. Metabolik
(AMPA). Reseptor GABA di permukaan akan
Asidosis metabolik, hiperkalemia, hipona-
membentuk cekungan yang dilapisi clathrin
tremia, hipomagnesemia, hipermagnese-
kemudian menjadi vesikel yang dilapisi ciath-
mia, dan dehidrasi.
rin sehingga tidak dapat dijangkau oleh neu­
5. Ginjal
rotransmiter. Vesikel tersebut berubah menjadi
Asidosis renal tubular, sindrom nefritik
endosom dan akan dihancurkan oleh lisosom.
akut, oligouria, uremia, rabdomiolisis,
Penelitian imunohistokimia menunjukkan
dan mioglobinuria.
subunit NR1 reseptor NMDA bermigrasi dari
6. Endokrin
subsinaps ke permukaan sinaps. Pada stadium

100
Status Epileptikus

Tabel 2. Dimensi Waktu Status Epileptikus


Dimensi Operasional 1 (Waktu Dimensi Operasional 2 (Waktu saat
saat Bangkitan Epileptik Ke- Bangkitan Epileptik Menyebabkan
Tipe SE
mungkinan Menjadi Berkepan- Konsekuensi Jangka Panjang)
jangan)
“SE tonik ldonik 5 menit 30 menit
SE folcal dengan gangguan 10 menit >60 menit
kesadaran
SE absans 10-15 menit Tidak diketahui
SE; status epileptikus
Sumber; Trinka E, dkk. Epilepsia. 2015. h. 1515-23.

Tahap t (mllidetlk hlngga dctlk)

Fosforllasl protein
Pembukami dan penutupan kanal Ion
Penglepasan neurotransm lter

Tiahap 2 (dctlk hlngga me nit)


Pengaturnn rcseptor
» Penurunan CABA* subunit (53/P3 dan y2 yang berslfot Inhlbltorlk
« Pcnlngkatan rcseptor NMDA yang berslfflt eksltatorlk
• Pcnlngkatan rcseptor AMPA yang b m l fat eksltatorlk

I Tali a p 3 (menlt blngga |am)


I
1 Ekspresl nciiropeptlda
i
j • Pcnlngkatan substansl P yang bersifat cksitatorlk
| • Neuropeptkiay yang bersifat inhlbitoiik tklak cukup tcrgatitlkan

Taltap 4 {barl - rolnggu)


Peru bait an gcnetlk dan eplgenetlk
ft Ekspresi gen
ft MetUasi DNA
Regul.isl RNA mlkro

Gambar 1. Kaslcade dari Mekanisme yang Terlibat pada Transisi dari Bangkitan Tunggal hingga Menjadi
Status Epileptikus
GABA mma - a mmob utynca c/d; NMDA: N-m et i1- D-a spa r ta t; AMPA: a- a mino-3 -hydroxy® 5 fflm ethylisoxazole® ^ p r o ­
pionic acid; DNA: deoxyribonucleic acid; RNA: ribonucleic acid
Dimodifikasi dari: Betjemann JP, dkk. Lancet Neurol. 2015. h, 615-24.

Hipopitutarisme, peningkatan prolaktin, Koagulasi intravaskular diseminata,


vasopresin, dan kortisol, penurunan penurunan motilitas intestinal, pandiso-
berat badan. tonomia, sindrom disfungsi organ multi-
7. Lain-lain pel, dan fraktur.
TATA LAKSANA

101
Buku Ajar Neurologi

\ Stabilises! ABC Termtnasi Stabilises! ABC j


bangkitan
Efcspiorssi etiotogi, manajemen komplikasi, tata laksana penyebab |

Tenminasi bangkitan

Eiftiportass LtniIcctEiKj IGJ ■


Es.'saifeaiE'Xi'K j * fc"I &-
* re’tlaJ |* Ef&lazciaroirs “ !v
* f.tafsasIasK j * FcrssisariKtaShr j * t& ttiiS S Z ii'J & j
sSwasat, j * tcrsiessrej hf * A izm vaspraat i»* I * T^js^Saf:v
* tescfeaiaua'!*k! :i * WjSszc-.-^ y
* Tes&arrsa:ore! :l * tV-KfcvU

Gambar 2. Skema Tata Laksana Status Epileptikus


Dimodifikasi dark Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSL Pedoman tatalaksana epilepsi. 2014. h. 35-45.

Tujuan manajemen SE adalah menghentikan dalam tata laksana SE adalah rute pembe-
bangkitan dengan segera, mengidentifikasi rian yang mudah dan cepat mencapai kadar
dan mengatasi penyebab, serta mengatasi terapeutik, sehingga dapat segera mengon-
komplikasi yang ditimbulkannya dengan trol bangkitan. Tata laksana lini pertama
skema pada Gambar 2. Langkah-langkah dapat dimulai sejak di luar RS sesuai de­
tersebut sudah dapat dimulai jika terjadi ngan kemampuan penolong. Tata laksana
bangkitan konvulsif tonik klonik lebih dari 5 pertama yang dilakukan secara dini akan
menit, oleh karena bangkitan tersebut yang meningkatkan probabilitas terminasi bang­
terjadi 5 menit atau lebih, kemungkinannya kitan dengan protokol seperti pada Tabel 3.
kecil untuk berhenti spontan.
Tabel 3. Protokol Tata Laksana SE

Karakteristik antikonvulsan yang ideal


Status EpHeptikus

Waktu Intervensi
Fase ® Stabilisasi pasien (jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan disabilitas neurologis)
stabilisasi: o Catat waktu mulai bangkitan, monitor tanda vital
0-5 menit ® Evaluasi oksigenasi, berikan oksigen melalui nasal kanul atau masker, pertim-
bangkan intubasi bila diperlukan.
® Monitor EKG
® Pemeriksaan kadar gula darah. Jika kadar gula darah <60mg/dL:
- Dewasa: tiamin lOOmg IV lalu 50mL dekstrosa 50% IV
- Anak >2 tahun: dekstrosa 50% 2mL/kgBB
- Anak <2 tahun: dekstrosa 50% 4mL/kgBB
® Pemasangan akses IV dan mengambil sampel darah untuk pemeriksaan hema-
tologi, elektrolit, skrining toksikologi, dan bila diperlukan kadar OAE
® Vasopresor atau resusitasi cairan dapat diberikan jika TD sistoiik <90mmHg
atau MAP <70mmHg
Fase Benzodiazepin
terapi inisial: Pilih salah satu dari benzodiazepin berikut:
5-20 m enit » Midazolam intramuskular (dosis tunggal lOmg untuk BB >40kg, 5mg untuk
BB13-40kg) atau
® Lorazepam IV* (0,lmg/kgBB/dosis maksimal 4mg/dosis, kecepatan pemberian
2mg/menit, dapat diulang 1 kali) atau
« Diazepam IV (0,15-0,2mg/kgBB/dosis, maksimal lOmg/dosis, dapat diulang 1
kali)
Jika pilihan di atas tidak tersedia maka dapat diberikan:
® Fenobarbital IV (15mg/kgBB/dosis, dosis tunggal) atau
® Diazepam rektal (0,2-0,5mg/kgBB maksimal 20mg/dosis, dosis tunggal) atau
® Midazolam intranasal* atau intrabukal*
Fase Pilih salah satu dari OAE beriltut:
terapi lini ® Fosfenitoin IV* (20mg/kgBB, maksimal 1500mg/dosis, kecepatan pemberian
kedua: maksimal 150 mg/menit, dosis tunggal atau bila perlu dapat diulang 5-10mg/
20-4 0 m enit kgBB) atau
® Fenitoin IV (20mg/kgBB, kecepatan 50mg/menit, dosis tunggal, bila perlu dapat
diulang 5-10mg/kgBB) atau
® Asam valproat IV* (20-40mg/kgBB, maksimal 30Q0mg/dosi$, kecepatan
lOOmg/menit, dosis tunggal) atau
« Levetirasetam IV* (20-60mg/kgBB, maksimal 4500mg/dosis, dosis tunggal)
Jika pilihan di atas tidak tersedia, maka dapat diberikan:
® Fenobarbital IV (15mg/kgBB, kecepatan 50-75mg/menit)____________________
Waktu Intervensi
Buku Ajar Neurologi

Tabel 3. Protokol Tata Laksana SE, (lanjutan)


Fase Pilihan:
terapi lini » Memberikan kembali salah satu terapi Uni kedua atau obat anestesi:
ketiga: - Tiopental (dosis awal 2-7mg/kgBB IV bolus, kecepatan <50mg/menit dilan­
4 0 -6 0 menit jutkan 0,5-5mg/kgBB/jam infus IV kontinu, bila status epileptilcus terjadi
kembali bo!usl-2mg/kgBB dan tingkatkan dosis 0,5-lmg/kgBB/jam setiap
12 jam] atau
- Midazolam (dosis awal 0,2mg/kgBB IV kecepatan 2mg/menit dilanjutkan
0,05-0,2mg/kgBB/jam infus IV kontinu, bila status epileptilcus terjadi kem­
bali bolus 0,l-0,2mg/khBB dan tingkatkan dosis 0,05-0,lmg/kgBB/jam se­
tiap 3-4 jam] atau
- Propofol (dosis awal l-2mg/kgBB IV dilanjutkan 30-200mcg/kgBB/menit
infus IV kontinu, bila status epileptikus terjadi tingkatkan kecepatan infus IV
5-10mcg/kgBB/menit setiap 5 menit atau bolus lmg/kgBB dan titrasi naik
infus IV kontinu] atau
- Pentobarbital (dosis awal 5-15mg/kgBB IV, dapat ditambahkan 5-10mg/
kgBB IV diberikan dengan kecepatan 50mg/menit, dilanjutkan 0,5-Smg/
kgBB/jam infus IV kontinu, bila status epileptilcus terjadi kembali bolus
5mg/kgBB dan tingkatan dosis infus kontinu 0,5-lmg/kgBB/jam setiap 12
jam]
® Pemberian obat anestetik sebaiknya dilalcukan di ruang perawatan intensif
® Lakukan pemantauan EEG
« Setelah penggunaan 2-3 hari kecepatan harus diturunkan karena terjadi satu-
rasi pada jaringan adiposa
q Obat anestesi dilanjutkan hingga 12-24 jam setelah bangkitan klinis atau elek-
trografis berhenti. Dosis obat anestesi kemudian diturunkan perlahan,_________
’"belum tersedia di Indonesia
IV: intravena; TD: tekanan darah; MAP: mean arterial pressure, EEG: elektroensefalografi, EKG: elektrokardiogram
Sumber:
^Iauser T, dkk. Epilepsy Curr. 2016. h. 48-61.
2Brophy GM, dklc. Neurocrit Care. 2012. h. 3-23.

Seiring dengan langkah untuk menghentikan bangkitan epileptik, maka harus dilakukan
eksplorasi etiologi SE dan mendeteksi kom- bel 4).
piikasi yang terjadi dengan pemeriksaan
penunjang yang sesuai dengan indikasi (Ta-
Tabel 4, Pemeriksaan Penunjang pada Kasus SE

104
Status EpUeptikus

Kemungkinan Etiologi atau Komplikasi


pemeriksaan Panel Pemeriksaan
yang Dapat Ditemukan
'Tab orator ium Darah perifer lengkap
Toksikologi Kokain, alkohol, antidepresan trisiklik,
simpatomimetik, teofilin, organofosfat,
siklosporin, INH
Elektrolit (Na, K, Ca, Mg) Hiponatremia, hipernatremia, hipokalsemia,
hipomagnesemia
Gula darah Hipoglikemia, hiperglikemia
Analisis gas darah Hipoksia
Urinalisis Infeksi
Kadar obat antiepileptik dalam darah Kadar obatantiepilepsi rendah
Cairan serebrospinal Infeksi
Tes fungsi hati
Parameter koagulasi
Parameter gangguan metabolisme bawaan
{inborn error metabolism) pada kasus anak
Pencitraan Rontgen toraks Infeksi paru
CT scan atau MR1 kepala Etiologi intrakranial
SE: status epileptikus INH: isoniazid
Sumber: Brophy GM, dkk. Neurocrit Care. 2012. h. 3-23.

PROGNOSIS

Prognosis SE ditentukan oleh beberapa faktor, kali lipat pada usia >80 tahun yang mencapai
yaitu usia, tipe bangkitan SE, durasi, kecepatan 50%. Mortalitas lebih tinggi pada SE mioklonik,
inisiasi tata laksana, dan etiologi. Walaupun durasi SE >60 menit, inisiasi tata laksana 30
SE sering terjadi pada usia dekade pertama, menit sejak onset, dan SE simptomatik akut.
namun angka mortalitasnya lebih rendah Mortalitas SE tertinggi mencapai 60-80%
dibandingkan usia dewasa atau usia tua. kasus pada SE akibat anoksia atau hipoksia
Secara keseluruhan angka mortalitas pada usia akut yang berat (Tabel 5).
dewasa mencapai 26% dan meningkat dua Tabel S. Mortalitas SE

Etiologi Populasi Mortalitas


Stroke Usia tua 20-40%
Penyalahgunaan alkohol Dewasa 0-10%
Penyalahgunaan obat-obatan Dewasa 20%
Penurunan kadar obat antiepilepsi Dewasa <10%
Hipoksia atau anoksia akut berat Dewasa 60-80%
Infeksi susunan saraf pusat Anak 30%
Tumor otak Dewasa 0-20%
Trauma Dewasa 11-25%
Kriptogenik Bervariasi
Sumber: Sanchez S, dkk. J Clin Med. 2016. h. 71.

CONTOH KASUS

105
Buku Ajar Neurologi

Laki-laki usia 50 tahun dibawa ke IGD karena kecepatan 50mg/menit. Pasien tidak meng­
mengalami bangldtan berulang sejak 1 hari alami kejang konvulsif kembali. Contoh kasus
sebelum masuk rumah sakit;. Bentuk bangkitan di atas menunjukan keadaan SE konvulsif.
berupa kepala tertarik ke kanan diilcuti
kekakuan pada lengan kanan, diikuti kaku DAFTARPUSTAKA
dan kelojotan pada keempat ekstremitas. Saat 1. Trinka E, Cock H, Hesdorffer D, Rossetti AO,
bangkitan pasien tidak sadar dengan durasi Scheffer IE, Shinnar S, Shorvon S, dkk. Definition
and classification of status epilepticus-report of
3-4 menit. Pascabangldtan pasien tampak the ILAE task force on classification of status epi-
meracau. Bangldtan berulang lima kali. Sekitar lepticus. Epilepsia. 2015;56[10):1515-23.
3 hari sebelum masuk RS pasien mengalami 2. Glauser T, Shinnar S, Gloss D, Alldredge B, Arya
R, Bainbridge J, dkk. Evidence-based guideline:
saldt kepala, demam tinggi, dan kadang bicara Treatment of convulsive status epilepticus in
kacau. Selama 2 hari terakhir pasien hanya children and adults: report of the guideline com­
makan dan minum dalam jumlah sedikit Saat mittee of the american epilepsy society. Epilepsy
tiba di IGD pasien sedang mengalami bangkitan Curr. 2016;16C1):48-61.
3. Betjemann JP, Lowenstein DH. Status epilepticus in
yang sudah berlangsung selama 5 menit tanpa adults. 2015. Lancet Neurol. 2015;14(6):615-24.
henti dan langsung dibawa ke ruang resusitasi, 4. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter
Pada pemeriksaan fisik tampak saliva di mulut, Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Pedoman
tatalaksana epilepsi. Surabaya: Airlangga Univer­
saturasi oksigen 95%. sity Press; 2014.
5. Sanchez S, Rincon F. Status epilepticus: epidemi­
Pasien dilakukan pembersihan jalan napas,
ology and public health needs. 2016. J Clin Med.
suplementasi oksigen nasal kanul 3 liter/ 2016;5(8):71.
menit, injeksi midazolam lOmg intramus- 6. Loho AM, Budikayanti A, Kurniawan M, Octavi-
kular. Kejang berhenti pascainjeksi mida­ ana F, Sugiarto A, Hakim , dkk Gambaran elek-
troensefalografi dan prevalensi SE non konvul­
zolam. Pemeriksaan fisik menunjukkan TD sif pada ensefalopati metabolik di rumah sakit
130/80mmHg, nadi 98 kali per menit, napas umum pusat nasional Cipto Mangunkusumo [te-
22 kali per menit, suhu 38,2°C, saturasi ok­ sisj. Jakarta: Universitas Indonesia; 2016.
7. Tunjungsari D, Loho AM, Budikayanti A, Octavi-
sigen 97%, SKG E3M5V4, tampak gelisah, ana F. Outcome of acute symptomatic seizure at
turgor kulit menurun, kaku kuduk positif. emergency department in Cipto Mangunkusumo
Berat badan pasien 55kg berdasarkan infor- hospital June 2013-January 2014. Poster pada
10th Asian & Oceanian Epilepsy Congress; 2014;
masi keluarga. EKG menunjukkan irama sinus
24-27 Agustus; Singapore: ILAE/IBE Congress:
dan gula darah sewaktu stik menunjukkan Epilepsy Congress.
kadar 90mg/dL. Sampel darah diambil un- 8. Chen JWY, Wasterlain CG. Status epilepticus:
pathohysiology and management in adults. 2006.
tuk pemeriksaan darah perifer lengkap, elek-
Lancet Neurol. 2006;5:246-56.
trolit, analisis gas darah, fungsi hepar, fungsi 9. Brophy GM, Bell R, Claassen J, Alldredge B, Bleck
ginjal, dan urinalisis. Pasien direncanakan TP, Glauser T, dkk. Guideline for the evaluation
untuk pemeriksaan CT scan kepala dengan and management of status epilepticus. 2012.
Neurocrit Care. 2012;17[l):3-23.
kontras dan pungsi lumbal Pasien kemudian
mendapatkan fenitoin llOOmg intravena
dalam NaCl 0,9% 50cc dan diberikan dengan

106
GAN GGUAN G ERAH
Penyakit Parkinson
Hemifasial Spasme
PENYAKIT PARKINSON

Eva Dewati, Dyah Tunjungsari, Ni Nengah Rida Ariarini

PENDAHULUAN progresif ditandai dengan parldnsonisme.


Nama Parkinson berasal dari James Par­
Parldnsonisme merupakan kumpulan gejala
kinson yang pertama kali mendeskripsikan
yang terdiri dan tremor, rigiditas, bradildnesia,
kelainan ini pada tahun 1817. Penyakit Par­
dan instabilitas postural, Fahn dkk (2011) meng-
kinson ditandai dengan gambaran patologis
usulkan klasifikasi terbaru parldnsonisme yang
berupa degenerasi neuron disertai adanya
digunakan hingga saat ini, yakni: 1) Parldnson
badan Lewy (Lewy bodies ) pada substansia
primer (ekuivalen dengan penyakit Parkinson
nigra pars kompakta.
(PP) atau Parkinson idiopatik atau paralisis agi-
tans); 2) Parldnsonisme sekunder (parldnson- Keberadaan sistem dopaminergik pada
isme aldbat infeksi, toksin, obat-obatan, tumor, batang otak pertama kali dideskripsikan
trauma, vaskular dan metabolik); 3) sindrom oleh Dahlstrom dan Fuxe. Carlsson did-: di
Parkinsonism-Plus (seperti progressive supranu­ akhir tahun 1950 mengajukan teori menge-
clear palsy, multiple system atrophy, corticobasal nai pentingnya deplesi dopamin dalam pato-
degeneration}; dan 4) Gangguan heredodege- fisiologi penyakit Parkinson. Hal ini menun-
neratif (seperti benign parldnsonism). Namun, jukkan bahwa inhibisi ambilan dopamin oleh
tidalc seluruhnya akan dibahas dalam topik ini, reserpin menyebabkan Parkinson-like syn­
melainkan dibatasi hanya pada PP. drome pada hewan percobaan dan keadaan
ini dapat dikembalikan setelah pemberian
Gejala nonmotorik seperti hiposmia, gangguan
levodopa (prekursor dopamin). Tidak lama
tidur, gangguan perilaku, gangguan kognitif,
setelah itu, Ehringer dan Hornykiewicz
dan gangguan otonom termuat pada kriteria
mengidentifikasi adanya defisiensi dopamin
diagnosis penyakit Parkinson menurut United
bermakna di daerah striatum pada pasien PP,
Kingdom Parkinson's Disease Brain Bank
Criteria (UKPDBBC), namun dahulu belum Penyakit ini termasuk ke dalam kelompok
menjadi perhatian. Seiring dengan perubahan a -synucleinopathies, atau kelainan pada
fenotip PP, mulai terdapat peningkatan ke- a -sinuklein, suatu protein yang terlokalisir
waspadaan terhadap gejala nonmotorik ini. di terminal presinaps dan dikoding oleh kro-
Dengan demikian terdapat perubahan dalam mosom 4. Fungsinya belum sepenuhnya di-
mendefinisikan PP yang lebih kompleks mengerti, namun diduga berhubungan dengan
dibandingkan dengan sebelumnya. pembentukan vesikel. Protein ini dapat meng-
alami agregasi dan membentuk kelompok
PP merupakan salah satu kelainan gang­
yang tidak larut, sehingga mengalami deposisi
guan gerak neurodegeneratif yang bersifat

109
Buku Ajar Neurologi

di otak dan menjadi komponen utama dalam dkk menunjukkan insidens laki-laki sebesar
proses pembentukan badan Lewy. 61,21 per 100.000 individu per tahun dan
hampir dua kali lipat dari perempuan, yakni
Selain penyakit Parkinson, deposisi badan
37,55 per 100.000 individu pertahun.
Lewy juga merupakan penanda patologis yang
khas pada kasus lain, seperti demensia badan TerdapatpeningkataninsidensPPseiringdengan
Lewy dan multiple system atrophy. Falctor yang bertambahnya usia, baik pada lald-lald dan
mendasari adanya disregulasi alfa sinuklein perempuan. Pada kelompok laki-laki, insidens
dan pembentukan badan Lewy masih beium berkisar dari 3,59 per 100.000 penduduk pada
diketahui. Terdapat teori adanya peningkatan usia 40-49 tahun yang meningkat menjadi
produksi protein ini aldbat perubahan ekspresi 132,72 per 100.000 penduduk pada usia 70-
mRNA. Teori lain menyatakan bahwa adanya 79 tahun, lalu menurun menjadi 110,48 per
badan Lewy di otak merupakan respons 100.000 penduduk pada usia diatas 80 tahun.
normal dari neuron terhadap fibril toksik hasil Pada kelompok perempuan, insidens mulai
dari disfungsi proteosom. dari 2,94 per 100.000 penduduk (usia 40-49
tahun), mencapai insidens tertinggi 104,99 per
EPIDEMIOLOGI 100.000 penduduk pada usia 70-79 tahun, lalu
Data The Global Burden o f Disease Study (2015) menurun menjadi 66,02 per 100.000 penduduk
mengindikasikan adanya kecenderungan usia (usia di atas 80 tahun). Menurut Dorsey dkk
yang lebih tua pada saat terjadi kematian. berdasarkan peningkatan angka harapan hidup
Fenomena demografik ini menyebabkan ini, proyelcsi jumlah kasus PP meningkat lebih
peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, dari 50% pada tahun 2030.
yaitu penyaldt Alzheimer diilcuti penyakit
Adanya perbedaan metodologi dan latar be-
Parldnson (PP) pada peringkatke-dua terse ring,
lakang geografi menyebabkan perbedaan ha­
Dengan meningl<atnya angka harapan hidup,
sil penelitian yang bermakna dari beberapa
PP menjadi salah satu tantangan terberat yang
studi, terutama perbedaan kriteria klinis
dihadapi dunia kesehatan.
yang digunakan. De Rijk dkk melaporkan
Prevalensi PP bervariasi di beberapa perubahan diagnostik kriteria dapat menye­
benua. Pringsheim dkk menemukan bahwa babkan perubahan identifikasi kasus sekitar
prevalensinya pada usia 70-79 tahun lebih 36%. Sebagai tambahan, banyak penelitian
rendah di Asia (646/100.000 individu), yang menggunakan kuesioner klinis dan tidak
dibandingkan Eropa, Amerika Utara, dan melakukan pemeriksaan langsung yang juga
Australia (p<0,05). Adapun insidens penyakit menyebabkan variabilitas ini. Karakteristik
ini berkisar 16-19 kasus per 100.000 individu geografik juga harus diperhitungkan, karena
pertahun. Savica dlck memperoleh insidens akan berguna untuk mengidentifikasi per­
21 kasus per 100.000 penduduk pertahun di bedaan paparan falctor lingkungan.
Minnesota yang dapat dipengaruhi oleh jenis
kelamin, usia, dan etnis. PP lebih tinggi pada ANATOMI GANGLIA BASAL
laki-laki dibandingkan perempuan dengan Ganglia basal merupakan sekelompok nukleus
rasio 3:2. Studi meta-analisis oleh Hirsch subkortikal yang terdiri dari neostriatum

110
Penyakit Parkinson

(nukleus kaudatus dan putamen), striatum (SNr, SNc). Ganglia basal merupakan
ventral, globus palidus segmen interna dan salah satu bagian dari sirkuit kortikal-
eksterna (GPi, GPe], nukleus subtalamikus subkortikal yang lebih besar, yang berasal
{subthalamic nucleus/STN}, dan substansia dari seluruh korteks dan berkaitan dengan
nigra pars retikulata dan pars kompakta ganglia basal dan talamus [Gambar 1).

_... !&&&$ .
V Tfc&fei'ftus

Ssjgmsn

V&sritet.K /
P3fi

Gambar 1. Anatomi Ganglia Basal

Gambar 2. Hubungan Anatomi Ganglia Basal dengan Korteks, Talamus dan Batang Otak.
GPe: globus palidus ekternus; SNc: substansia nigra pars kompakta; STN: subthalamicus nucleus; GPi: globus
palidus internus; SNr: substansia nigra pars retikulata

111
Buku Ajar Neurologi

Sirkuit ganglia basal-talamokortikal tersu- glutamaergik menuju korteks, dan berperan


sun dalam suatu jaras fungsional, secara dalam proses perencanaan dan inisiasi
garis besar dibagi menjadi sirkuit motorik, gerakan motorik (Gambar 3a). Sirkuit ini
asosiatif, dan limbik, yang bekerja secara in- dikendalikan dan dimo-dulasi oleh proyeksi
dependen satu sama lain (Gambar 2). Stria­ dopamin nigrostriatal.
tum dan STN merupakan titik masuk utama
Pada PP, terjadi n euro degene rasi substansia
bagi input yang menuju ke ganglia basal.
nigra pars kompakta, input dopaminergik
Striatum menerima input dari korteks dan
menuju striatum akan menurun menyebab­
talamus, sedangkan STN menerima input
kan penurunan eksitatorik dopaminergik
dari korteks dan batang otak. Dari nukleus
pada reseptor D1 dan input dopaminergik
tersebut, infomasi diteruskan melalui ber-
inhibitorik pada reseptor D2. Adanya de-
bagai jaras dan masuk ke nukleus keluaran
fisiensi dopamin dan kelainan patologi pada
utama yaitu GPi dan SNr. Keluaran ganglia
reseptor dopamin di striatum akan menye­
basal dari Gpi dan SNr akan diteruskan
babkan perubahan pada dua jaras keluaran
menuju ke talamus serta batang otak (ko-
striatopalidal utama yang menuju GPi se­
likulus superior, nukleus pedunkulopontin
cara monosinaptik melalui jaras langsung
(pedunculopontine nucleus/ PPN), dan par -
atau melewati proyeksi ke GPe melalui jaras
vocellular reticular form ation).
tidak langsung.

PATOFISIOLOGI Hasil akhir dari disfungsi input dopaminer­


Patofisiologi utama yang menyebabkan geja- gik dari kedua neuron striatum tersebut
la motorik kardinal pada PP, khususnya bra- adalah peningkatan aktivitas GPi melalui
dikinesia, dikaitkan dengan disfungsi sirlaiit jalur langsung dan tidak langsung, sehingga
motorik yang menghubungkan korteks pre­ memberikan efek inhibisi ke talamus dan
frontal, ganglia basal, dan talamus. korteks, terjadi disfungsi inisiasi, kecepa-
tan, dan amplitudo gerak (Gambar 3b). Efek
Berdasarkan sirkuit motorik ganglia basal
serupa juga dapat disebabkan oleh adanya
yang diajukan dan dikembangkan oleh Ale­
penurunan aktivitas palidum, talamus ba-
xander dkk, hubungan antara striatum sebagai
gian motorik, atau proyeksi talamokortikal.
titik masuk utama dan GPi/SNr sebagai titik
keluaran utama dari ganglia basal tersusun
Faktor Risiko
menjadi jaras langsung (direct) berupa jaras
Berdasarkan metaanalisis dari 30 faktor
monosinaptik GABA-ergik inhibitorik dan
risiko potensial, ditemukan 11 faktor risiko
jaras tidak langsung (indirect) yang mencakup
yang mempengaruhi penyakit Parkinson se­
GPe dan STN. Striatum memiliki peran utama
cara bermakna (Gambar 4).
dalam memproses informasi sensorimotor
dan meneruskannya ke GPi. Selanjutnya, Risiko PP bersifat multifaktorial yang di-
stimulus akan diteruskan melalui proyeksi duga saling berinteraksi satu sama lain. Se­
GABAergik yang bersifat inhibitorik menuju bagai contoh, paparan terhadap pestisida
segmen motorik talamus anterior ventral, (l,r-d im etl“4,4'-bipiridinium diklorida) dan
yang akan meneruskan stimulus melalui jaras riwayat cedera kepala meningkatkan risiko

112
Penyakit Parkinson

secara sinergis, Terdapat pula pengaruh ini diperoleh lebih sedikit pasien PP yang
faktor risiko genetik terhadap faktor ling- masih merokok dibandingkan kontrol dan
kungan. Sebagai contoh, penurunan risiko pasien PP lebih mudah untuk berhenti
pp dengan konsumsi kopi dikaitkan dengan merokok. Hal ini dipikirkan adanya penu­
polimorfisme single-nucleotide pada CYP1A2 runan respons nikotin pada fase prodromal
(pada encoding isoform sitokrom P450 yang pasien PP.
bertanggung jawab dalam metabolisme ka-
Patologi Penyakit Parkinson
fein) atau GRIN2A (pada encoding subunit
Patologi utama adalah hilangnya neuron do-
rseseptor N-metil-D-aspartat/NMDA).
paminergikpada SNc. Area SNc yang terkena
Satu hal menarik menurut Wijaya dkk bah- adalah ventrolateral tier, yang mengandung
wa merokok sebagai faktor risiko negatif, neuron yang terproyeksi ke putamen dorsal
yang berarti merokok bersifat neuropro- dari striatum. Kerusakan neuron pada PP
tektif, yakni dapat menurunkan risiko PP. juga terjadi pada beberapa regio, termasuk
Namun, sebuah studi kasus kontrol menun- lokus sereolus, nukleus basal Meynert, nu-
jukkan bahwa efek neuroprotektif yang di- kleus pedunkulopontin, nukleus raphe, nu­
periihatkan pada studi epidemiologi dise- kleus motor dorsal nervus vagus, amigdala,
babkan oleh reverse causation. Pada studi dan hipotalamus.

Ketorangaa

|— Dapzmln Clutamat

[A) CB)

Gambar 3. Sirkuit Motorik Ganglia Basal pada Keadaan Normal (A) dan Penyakit Parkinson (B)
SNc: substantia nigra pars kompakta; GPe: globus palidus eksternus; STN: subthalamic nucleus; GPi: globus pali-
dus internus; SNr: substansia nigra pars retikulata; Th: talamus; Glu: glutamat; Enk: enkefalin; SP: substansi P;
MSN: medium spiny neurons; GABA: gamm a-am inobutyric acid

113
Buku Ajar Neurologi

: ----- . _ . — ^ *
* y.t i
* * r_*. !iTS ■»
* :s i i h .i r: f:s■r I/.- ' .i.::
* | -k r . 1 | l % -
H | |
“ j u iii ■ll? *-'..!
H M H j
* I ■*; .MJ

i ^

A := fr/rr.*j*. ■
:
Kj. .■■■'jrr'i k- j■■ 7.M-,
r5..'r ^ ' j r i . : i ■r; - . -l j
iv :.:i;: R fI2
fAM47E*SCARB?
Ivr.^.iur j j i f . : i : - i=:a: .
ij'.-'-'jn;i jli.-s S !/■■ ] SR£BF1=RA!1

Gambar 4. Faktor Risiko pada Penyakit Parkinson

Tanda patologi khas lain pada PP adalah form ation , nukleus raphe posterior),
badan Lewy. Pada penyakit Parkinson, pro­ substansia abu-abu medula spinalis.
tein terbanyak yang menyusun badan Lewy ® Tahap 3: melibatkan Pons (nukleus pe-
adalah a -sinuklein. Protein ini mengalami dunkulopontin), midbrain (substansia
agregasi dan membentuk inklusi intra- nigra pars kompakta), basal forebrain
seluler di dalam badan sel (badan Lewy] (nukleus magnoselular termasuk nukle­
dan pada prosesus neuron (Lewy neurites). us basalis Meynert), sistem limbik (sub-
Braak dkk mengajukan teori progresifitas nukleus sentral amigdala).
penyakit Parkinson berdasarkan distribusi • Tahap 4: melibatkan sistem limbik
topografi a-sinuldein. Pada proses ini, keru- (korteks asesorius dan nukleus basola-
sakan dimulai pada sistem saraf tepi dan teral amigdala, nukleus interstisial stria
berkembang mengenai sistem saraf pusat terminalis, klaustrum ventral), talamus
secara progresif, dari arah kaudal menuju (nukleus intralaminar), korteks temporal
rostral. Progresifitas penyakit Parkinson (mesokorteks temporal anteromedial,
menu rut Braak (Braak Staging) dibagi men- region CA2 hipokampus).
jadi 6 tahap (Gambar 5), yaitu:
© Tahap 5 dan 6: melibatkan regio korteks
® Tahap 1: melibatkan sistem saraf peri- multipel (korteks insula, area korteks
fer (neuron autonomik), sistem olfaktori asosiasi, area korteks primer).
(bulbus olfaktorius, nukleus olfaktorius),
Tahap 1 dan 2 berkaitan dengan onset gejala
medula oblongata (nukleus dorsal motor
premotorik, tahap 3 merupakan tahap mun-
vagal dan nervus glosofaringeus).
culnya gejala motorik akibat defisiensi dopa-
• Tahap 2: melibatkan pons ( locus coeru- min nigrostriatal, dan tahap 4-6 dapat muncul
leus, magnocellular portion o f reticular dengan gejala non-motorik pada tahap lanjut

114
Penyakit Parkinson

Neokorteks
primer,
sekunder

Neokorteks,
asosiasi
tingkat tinggi

Mesokorteks,
thalamus

Substansia
nigra dan
amygdala

Gain setting
nuclei

Nukleus
dorsal
motor X
JJ

Gambar 5. Tahap Patologi pada Penyakit Parkinson (B ra a k S ta g in g )

GEJALA DAN TANDA KLINIS dengan derajat keparahan defisit dopa-


Manifestasi Motorik minergik di striatum.
Gejala motorik utama dari PP adalah bra- Tremor seringkali terjadi pada eks-
dikinesia, rigiditas, tremor, dan instabilitas tremitas, lengan lebih sering dibanding-
postural kan dengan tungkai. Pada awal penyakit,
1. Tremor tremor ber-sifat unilateral, kemudian
Merupakan salah satu gambaran khas PP. seiring perjalanan penyakit, terjadi pada
Namun 30% pasien dapat tidak menge- esktremitas kontralateral. Hal ini juga
luhkan tremor pada awal gejala dan dapat terjadi secara intermiten pada
sekitar 25% kasus tanpa tremor selama rahang, bibir dan lidah. Tremor kepala
perjalanan penyakit. Derajat keparahan biasanya merupa-kan perluasan dari
tremor tidak dikaitkan dengan progress tremor yang melibatkan badan dan eks-
vitas penyakit dan tidak berhubungan tremitas.

115
Baku Ajar Neurologi

Tremor sebagian besar terjadi pada ba- hilang saat melakukan gerakan bertujuan
gian distal dan lebih jelas pada jari-jari atau mempertahankan postur tertentu.
tangan atau kaki. Gerakan berupa fleksi Efek ini hanya bertahan selama beberapa
ekstensi yang melibatkan jari-jari atau detik, kemudian muncul kembali (re­
pronasi-supinasi pergelangan tangan amerges tremor ). Namun menurut Lance
yang disebut “pill-rolling tremor” meski- dkk tremor postural dapat ditemukan
pun tanpa komponen gerakan rota- bersamaan dengan tremor istirahat.
toar seperti saat melakukan pill-rolling .
2. Rigiditas
Tremor mencapai amplitudo maksimal
Merupakan peningkatan tonus otot di
pada saat istirahat, sehingga dikenal se-
seluruh lingkup gerak sendi ( range o f
bagai tremor istirahat atau resting tremor
movement ) dan tidak tergantung dari ke-
Pada otot proksimal, tremor lebih jelas
cepatan otot saat digerakkan. Rigiditas
pada saat mempertahankan postur, se­
dapat ditemukan pada leher, badan, dan
perti pada saat sedang duduk.
ekstremitas dalam keadaan relaksasi.
Tremor parkinson klasik memiliki freku- Pemeriksaan pergelangan tangan dengan
ensi 4-6Hz, bersifat intermiten, sering- gerakan fleksi-ekstensi merupakan salah
kali dicetuskan ketika pasien dilihat oleh satu cara deteksi adanya rigiditas roda
orang Iain, serta dipengaruhi emosi atau gigi ( cogwheel ) dan dapat dilakukan juga
stres. Tremor akan berkurang dan meng- pada sendi siku.

Tremor

Gambar 6. Postur Simian, Khas pada Penyakit Parkinson

116
Penyakit Parkinson

Rigiditas dapat mempengaruhi postur tur, komunikasi, dan gerakan pasien juga
pasien, fieksi pada sebagian besar sendi, berkurang, sehingga menyebabkan ada-
termasuk tulang belakang, dan memben- nya halangan antara pasien, keluarga,
tuk postur simian [simian posture ], suatu dan teman-temannya.
postur yang khas pada PP (Gambar 6].
Akinesia dapat dinilai dengan manual
Bentuk ekstrim dari gangguan postur
agility test yang seringkali abnormal,
ini dikenal sebagai camptocormia . Ab-
yaitu tangan pasien yang terkena cen-
normalitas postur dapat mempengaruhi
derung melambat dan mengalami penu-
ekstremitas bagian distal berupa eksten-
runan amplitudo gerakan secara pro-
si jari-jari dan fleksi dari sendi metakar-
gresif [early fatiguing) atau terhentinya
pofalangeal dan dorsifleksi ibu jari kaki
gerakan atau terputus-putus [freezing ].
[striatal hand atau striatal toe).
Pemeriksaan ini berupa gerakan seperti
Mengangkat salah satu lengan atau bermain piano dengan cepat. Pemerik­
menggenggam salah satu tangan dapat saan akinesia lain dapat dilakukan dengan
menyebabkan rigiditas semakin jelas pada repetitive tapping antara ibu jari dan jari
ekstremitas kontralateral (manuver Fro- telunjuk, atau hand movement dengan
ment]. Tremor yang terus menerus dapat membuka dan menutup tangan, serta
menyulitkan pasien untuk mengalami rapid alternating movement dengan pro-
relaksasi dan menyulitkan pemeriksa nasi dan supinasi secara bergantian.
untuk menemukan rigiditas.
Pasien juga memiliki kesulitan untuk
3. Akinesia melakukan dua gerakan dalam waktu
Akinesia merupakan salah satu gejala yang sama. Sebagai contoh, ketika pasien
yang sangat mempengaruhi kualitas hendak menyambut tamu yang datang,
hidup pasien, karena gerakan volunter pasien dapat bangkit dari kursi dan
pasien menjadi lambat. Pasien menga­ berdiri secara perlahan namun ketika
lami kesulitan dalam melakukan inisiasi hendak mengangkat lengan untuk ber-
gerakan, mempertahankan gerakan, dan salaman, pasien akan jatuh terduduk
mengubah berbagai pola gerakan mo- kembali.
torik. Pada awal perjalanan penyakit,
Terdapat pula gangguan dalam menulis,
akinesia terjadi unilateral dan sering-
huruf menjadi kecil-kecil (mikrografia).
kali bersifat ringan. Pada tahap lanjut,
Pada saat awal menulis bentuknya ma-
akinesia terfadi pada kedua ekstremitas
sih normal, namun semakin lama akan
dan bertambah berat. Derajat keparahan
semakin mengecil. Pada saat menggam-
ini tidak berhubungan dengan derajat
bar spiral, pasien akan kehilangan kelan-
keparahan tremor dan rigiditas. Akine­
caran, yaitu menggambar secara perla­
sia dapat ditemukan pada inspeksi se-
han dengan ukuran spiral yang menjadi
cara umum. Pasien duduk diam dengan
kecil disertai tremor, sehingga garis yang
ekspresi wajah minimal seperti topeng
dibentuk juga tidak mulus.
[facial amimia atau "masked face"). Ges-

117
Baku Ajar Neurologi

4. In s ta b ilita s P o s tu ra l jatuh pada penyakit Parkinson mening-


Pasien dapat mengaiami kesulitan pada kat seiring dengan durasi penyakit Dalam
saat bangkit dari kursi. Posisinya cen- jangka waktu 5 tahun, individu dengan
derung membungkuk ke depan untuk parkinsonisme mengaiami cedera karena
meletakkan pusat gravitasi di atas kaki jatuh 1,3 kali lipat dibandingkan dengan
dan seringkali harus dibantu menggu- tanpa parkinsonisme.
nakan lengan. Hal ini dicoba lakukan be-
M a n ife sta si N o n m o to rik
berapa kali hingga berhasil berdiri dan
Gejala nonmotorik jarang dikenali dalam prak-
seringkali terjatuh.
tik Idinis. Baik klinisi maupun pasien sering­
Pada tahap awal, dapat ditemui gang- kali mengenyampingkan gejala ini dan lebih
guan cara berjalan berupa berkurang- fokus pada gejala motorik yang membawa
nya ayunan lengan. Tahap selanjutnya pasien ke dokter. Shulmann dkkmendapatkan
panjang langkah akan berkurang dan bahwa lebih dari 50% gejala depresi, ansietas,
kaki tidak dapat diangkat secara normal dan fatig, tidak dikenali oleh neurolog. Pada-
pada saat melangkah, sesuai dengan hal sebagian besar pasien penyaldt Parkinson
gambaran shuffling g a it Pasien dengan memiliki gejala nonmotorik, termasuk lebih
penyakit parkinson dapat memodulasi dari 40% gangguan tidur.
frekuensi langkah dan meningkatkan
Berdasarkan studi PRIAMO (PaRkinson
irama jalan, namun tetap berjalan lebih
And nonMotor symptoms] yang melibatkan
lambat dibandingkan normal karena
1072 pasien dengan menggunakan kue-
langkahnya lebih kecil. Sesekali lang-
sioner, 98,6% pasien memiliki setidaknya
kah-langkah pasien juga semakin cepat
satu gejala motorik, terutama gejala psiki-
(festination), bahkan dapat berlari tan-
atrik, sensoris, atau gangguan tidur dan se-
pa bisa ditahan sampai ada halangan di
tiap pasien memiliki rerata delapan gejala
depan pasien. Pasien juga cenderung
motorik. Studi lainnya yang membanding-
jatuh ke depan (propulsi) maupun ke
kan dengan subjek individu sehat menggu­
belakang (retropulsi).
nakan Nonmotor Symptom Questionnaire ,
Pada awal tahap penyakit, postur bisa diperoleh bahwa pasien PP memiliki ge­
normal. Seiring perjalanan penyakit, jala nonmotor yang lebih banyak, berupa
postur akan mengaiami perubahan, se- hipersalivasi, mudah lupa, sulit menahan
hingga leher cenderung mengaiami fleksi berkemih (urinary urgency), hiposmia, dan
dan fdfosis di daerah torakal (Gambar konstipasi.
5). Bahu akan mengaiami aduksi. Siku,
Gejala nonmotorik memiliki spektrum
perge-langan tangan, dan jari akan semi-
yang luas dan mencakup 4 ranah [domain),
fleksi. Sendi panggul dan lutut akan
yakni 1) gangguan autonom; 2) gangguan
tertekuk secara parsial. Berjalan dan
tidur; 3) neuropsikiatrik; dan 4) gangguan
khususnya berjalan memutar menjadi
sensoris (Tabel 1).
semakin sulit, dengan meningkatnya
kekhawatiran terhadap jatuh. Insidens

118
Penyakit Parkinson

Tabel 1, Empat Ranah Gejala Nonmotorik pada Penyakit Parkinson


Domain Nonmotorik Gejala Nonmotorik
Gangguan autonom Saliva menetes,disfagia, mual, konstipasi, urinary frequency and
urgency, nokturia, urinary voiding, disfungsi seksual, hipotensi
ortostatik, supine hypertension (recumbent), keringat berlebihan
Gangguan tidur Excessive daytime sleepiness, vivid dreams/REM behavioral disorder
(RBD), insomnia, sindrom restless legs
Gangguan neuropsikiatri Gangguan kognitif, gangguan mood, apatis, anhedonia, psikosis,
halusinasi, gangguan kompulsif-impulsif
Gangguan sensoris dan gejala Gangguan olfaktori, visual, auditorik, dan nyeri, fatig
nonmotorik lain ________
REM: rapid eye movement
Sumber: Erro R, dkk. Journal of Parkinsonism and Restless Legs Syndrome. 2015. h. 1-10,

Gejala nonmotorik dapat terjadi pada setiap pada stadium awal adalah disautonomia,
tahap dari. perjalanan klinis penyakit Par­ gangguan tidur, dan gangguan sensoris, se-
kinson yang masing-masing memiliki pola dangkan psikosis dan demensia umumnya
onset dan progresifitas tertentu. Oleh kare- pada stadium lanjut. Depresi memiliki kurva
na itu dapat ditemukan kecenderungan ge- bimodal, yakni terdapat dua onset terse-
jala nonmotorik lebih sering dijumpai pada: ring pada stadium awal dan stadium lanjut,
1) fase premotor, sebelum munculnya gejala dengan periode normal di antaranya.
motorik; 2) stadium awal penyakit, dan 3)
Selain onset, perjalanan natural gejala non­
stadium lanjut penyakit. Gejala nonmoto­
motorik ini juga bervariasi dapat progresif
rik yang sering dijumpai pada fase premo­
atau stabil akibat multifaktor, tidak semata
tor adalah rapid eye movement ( REM] sleep
oleh durasi dan tingkat keparahan penyakit.
behavior disorder [RBD], konstipasi, dan hi-
Sebagian besar gejala nonmotorik pada ta­
posmia.
hap awal dikaitkan dengan proses intrinsik
Pada studi multisenter di Spanyol dan Aus­ patogenesis penyakit yang kompleks yang
tria, The Onset o f Nonmotor Symptoms in tidak hanya melibatkan jaras striatonigral
Parkinson's Disease (The ONSET PD Study) dan neurotransmiter dopaminergik, namun
diperoleh interval waktu yang berbeda juga jalur ekstranigral dan berbagai neuron
dari munculnya gejala nonmotorik hingga non-dopaminergik. Hal ini sesuai dengan
terjadi gejala motorik penyakit Parkinson, hipotesis Braak yang mengusung konsep
yaitu dapat mencapai lebih dari 10 tahun. kaudo-rostral asending (Tabel 2}.
Gejala nonmotorik yang sering dijumpai

119
Buku A jar N eurologi
Tabel 2. Gejala Nonmotorik Menurut Substrat Neuropatologis pada Struktur Anatomi dan Stadium Braak
Regio Anatomi Patologi a-sinuklein Stadium Braak Gejala Nonmotor
Sistem saraf otonom
e Ganglion simpatik (paravertebral, celiac} Badan Lewy dan neurit Lewy 1 -6 Gejala autonom
o Pleksus gastroesofageal/enterik Badan Lewy dan neurit Lewy 1 -6 Konstipasi
® Pleksus pelvik Badan Lewy dan Neurit Lewy 1 -6 Nokturia, impotensi, urgensi
® Saraf simpatis kardiak Badan Lewy dan Neurit Lewy Tidak diketahui Hipotensi ortostatik
o Kelenjar adrenal Badan Lewy 1-6 Fatig, adinamia
Kulit
Saraf epidermal Neurit Lewy 2 -6 Sensasi abnormal, nyeri
Bulbus olfaktori
Nukleus olfaktori anterior Badan Lewy dan Neurit Lewy 1 Hiposmia
Medula Oblongata
Nukleus dorsal motor vagus (parasimpatis) Badan Lewy dan Badan Lewy insidental 1 Disautonomia (gastrointestinal,
120

kandung kemih)
Pons
» Lokus seruleus, nukleus raphe, nukleus Badan Lewy dan Neurit Lewy 2 Depresi, gangguan tidur, REM
tegmental lateral behavior disorder (RBD)
M idbrain
® Substansia nigra Badan Lewy dan Neurit Lewy 3 Gejala Motorik ekstrapiramidal
® Diensefalon Badan Lewy dan Neurit Lewy 3-4 Gangguan tidur, perubahan berat
« Talamus badan
® Hipotalamus
Basal F orebrain
® Nukleus basal Meynert Badan Lewy kortikal 4 Gangguan eksekutif, emosional,
® Hipokampus, amigdala Badan Lewy kortikal dan perilaku
Neokorteks
» Korteks prefrontal Badan Lewy kortikal 5 Agnosis, apraksia
» Korteks parieto-temporal Badan Lewy kortikal 6 Demensia, psikosis
Retina Neurit Lewy Tidak diketahui Diplopia, gangguan membaca
Sumber: Jellinger KA. J Neural Transm. 2015. h. 1429-40.
Penyakit Parkinson

Selain akibat proses patogenesis intrinsik, 2. Positron Em ission Tom ography (PET)
beberapa gejala nonmotorik juga dikaitkan dan Single-Photon Em ission Com puted
dengan obat. Obat-obat yang sering dipa- Tom ography (SPECT)
kai di awal penyakit, seperti antikolinergik PET dan SPECT dapat membantu pro­
dan amantadin, inhibitor monoamin oksidase, ses visualisasi bagian pre dan pascasi-
dopamin agonis, dan levodopa dapat menye- naps dari proyeksi nigrostriatal serta
babkan efek samping atau meningkatkan mendapatkan gambaran semikuantitatif
potensi gejala nonmotorik pada PP. Contohnya jaras-jaras tersebut. Hal ini digunakan
gejala hipotensi ortostatik, halusinasi, exces­ untuk membedakan PP dengan sindrom
sive daytime sleepiness (EDS) atau insomnia parkinsonisme atipikal lain atau tremor
akibat agen dopaminergik dan gangguan esensial. Defisit dopaminergik dapat
memori pada penggunaan antikolinergik diidentifikasi melalui dopamine trans­
Oleh karena itu, perubahan modalitas terapi porter single-photon emission computed
dapat mengurangi gejala nonmotorik tersebut. tom ography/ DaT-SPECT (DaTSCAN®)
menggunakan [1231]-FP-CIT yang meng-
DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING ukur penghantar dopamin presinaps di
Terdapat beberapa kriteria diagnosis yang sinaps dopaminergik striatum.
dapat digunakan, di antaranya sesuai de­
3. Ultrasonografi Transkranial
ngan United Kingdom Parkinson's Disease
Untuk mengkonfirmasi gambaran hi-
Society Brain Bank (la b e l 3). Penilaian yang
perekoik di substantia nigra pada ham-
juga sebaiknya dilakukan adalah stadium
pir dua pertiga pasien PP dan dapat
penyakit berdasarkan klasifikasi modified
terdeteksi pada tahap awal penyakit. Na-
Hoehn and Yahr (Tabel 4).
mun hasil tersebut juga dapat ditemukan
Penyakit parkinson didiagnosis berdasar­ pada 10% dari orang normal, sehingga
kan kriteria klinis. Tidak didapatkan pemeriksaan ini hanya bersifat suportif
pemeriksaan yang bersifat definitif untuk dalam penegakan diagnosis.
menegakkan diagnosis, kecuali konfirmasi
histopatologis adanya badan Lewy pada TATALAKSANA
autopsi. Pemeriksaan penunjang dilaku­ Tata Laksana Gejala M otorik
kan untuk membedakan dengan kelainan 1. Stadium Awal
degeneratif lain, terutama parkinsonisme
a. Edukasi
sekunder atau atipikal.
Merupakan hal penting yang harus
1. M agnetic R esonance Im aging (MRI) dilakukan oleh klinisi setelah diag­
Untuk menyingkirkan diagnosis banding nosis PP ditegakkan kepada pasien
lain, seperti parkinsonisme vaskular, Pe­ dan/atau pengasuh (caregiver )-nya
nyakit Wilson, dan sindrom parkinson­ mengenai perjalanan klinis penya­
isme atipikal. kit, tata laksana, dan perubahan gaya
hidup.

121
Buku Ajar Neurologi

Tabel 3. Kriteria Diagnosis Penyakit Parkinson Berdasarkan UKParkinson's Disease Society Brain Bank
Langkah 1 : Langkah 2 : Langkah 3 :
Diagnosis Kriteria Eltskiusi Kriteria Pendulcung Positif
Sindrom Parkinsonisme Penyakit Parkinson untuk Penyakit Parkinson
Bradikinesia Satu atau lebih Tiga atau lebih
ditambah satu atau lebih gambaran berikut gambaran berikut
dari gambaran berikut: mengindikasikan untuk diagnosis definit
diagnosis alternatif: penyakit Parkinson:
• Rigiditas muskular * Riwayat stroke berulang dengan progresi- • Tremor istirahat
• Tremor istirahatfrekuensi 4-6 Hz fitas gejala parkinsonisme yang bertahap • Onset unilateral
• Instabilitas postural yang • Riwayat cedera kepala berulang * Asimetri persisten melibat-
tidak disebabkan oleh • Riwayat ensefalitis definit kan sisi onset lebih hebat
disfungsi visual primer, * Pengobatan neuroleptik pada onset gejala ■ Gejala progresif
vestibular, serebelar, atau * Paparan l-m etil-4 ~phenyl-l,2,3,6-tetra- * Perjalanan klinis penyakit
proprioseptif hidropiridin (MPTP) 10 tahun atau lebih
* Respons negatif levodopa dosis tinggi * Respons sangat baik [70-
[dengan mengeksklusi malabsorbsi) 1 0 0 %) dengan levodopa
• Lebih dari satu anggota keluarga • Respons levodopa selama
terlibat 5 tahun atau lebih
• Remisi menetap • Korea hebat yang diin-
• Gejala tetap unilateral setelah 3 tahun duksi pemberian levodopa
• Gejala autonom berat pada tahap dini
• Demensia berat dengan gangguan
memori, bahasa, dan praksis pada
tahap dini
• Krisis okulogirik
• Tanda Babinski
• Tanda serebelar
• Tumor serebral atau hidrosefalus ko-
munikans pada CT scan atau MRI

Tabel 4. Stadium Penyakit Parkinson Berdasarkan Modified Hoehn and Yahr


Stadium Keterangan
Stadium 0 Tidakada gejala dan tanda penyakit
Stadium 1 Gejala dan tanda yang ringan pada satu sisi yang dapat dikenali oleh orang terdekat [teman),
terdapat gejala yang mengganggu tetapi tidak menimbulkan kecacatan, biasanya tremor pada
satu anggota gerak.
Stadium 1,5 Gejala dan tanda yang ringan pada satu sisi yang dapat dikenali oleh orang terdekat [teman),
terdapat gejala yang mengganggu tetapi tidak menimbulkan kecacatan, biasanya terdapat
tremor pada satu anggota gerak.
Terdapat keterlibatan batang tubuh.
Stadium 2 Terdapat gejala bilateral, kecacatan minimal, sikap/cara jalan terganggu
Stadium 2,5 Terdapat gejala bilateral, kecacatan minimal, sikap/cara jalan terganggu.
Pull test negatif, namun terdapat retropulsi 1-2 langkah.
Stadium 3 Gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai terganggu saat berjalan/berdiri, disfungsi
umum sedang.
Pull test positif, yakni terdapat retropulsi 3 langkah atau lebih.
Stadium 4 Terdapat gejala yang lebih berat, rigiditas, dan bradikinesia, masih dapat berjalan hanya untult
jarak tertentu, tidak mampu berdiri sendiri. Tremor dapat berkurang dibanding sebelumnya.
Stadium 5 Stadium kakhektik (cachetic stage), kecacatan total, tidak mampu berdiri dan berjalan,
memerlukan perawatan tetap_________________________________________________________

122
Penyakit Parkinson

b. Nonfarmakologi neuron yang rusak, CEP-1347 (atau


Latihan regular sangat penting untuk KT7515) sebagai antiinflamasi dan
meningkatkan mobilitas dengan mem- antiapoptotik, TCH346 (atau CGP3466
perbaiki pola berjalan {gait) dan memi- atau CGP3466B] sebagai antiapopto­
nimalisir risiko jatuh, meringankan keti- tik, dan riluzol sebagai inhibitor eksi-
daknyamanan muskuloskeletal, mencegah totoksisitas glutamanergik.
sendi kaku, dan mengurangi kecenderung-
Beberapa agen farmakologis yang
an terjadi-nya kontraktur atau deformitas.
digunakan untuk pengobatan penya­
Keluar-an dari latihan ini dapat memper-
kit Parkinson, juga memiliki properti
baiki kemandirian melalui skor activity
yang berpotensi sebagai neuropro­
daily living (ADL) dan motorik UPDRS
tektor, namun hasilnya pun masih
secara signifikan. Selain itu, terapi wicara
belum memuaskan. Adapun agen far­
serta latihan menelan iuga sangat ber-
makologis yang dimaksud antara lain:
manfaat untuk pasien.
a) Inhibitor MAO-B seperti selegilin dan
c. Farmakologi
rasagilin
1} Neuroprotektor
Kedua agen ini memiliki cincin propar-
Terapi simtomatik pada umumnya
gil yang memiliki efek antiapoptotik.
efektif pada stadium awal penyakit,
Studi DATATOP (selegilin) dan ADA­
Namun dengan berjalannya waktu,
GIO (rasagilin) meragukan keluaran
sebagian besar pasien akan mengalami
balk dari terapi tersebut semata-mata
penyulit yang beragam dan disabilitas
karena efek neuroprotektif.
yang berkelanjutan akibat progresifltas
penyakit Oleh karena itu, perlu pembe- b) Agonis dopamin seperti pramipeksol
rian terapi untuk memperlambat atau Stimulasi pada reseptor dopaminergik
menghentikan progresifitas penyakit presinaps menyebabkan penurunan
distribusi dopamin endogen dan me­
Hingga saat ini belum ada agen far-
ngurangi turnover dopamin pada neu­
makologis yang terbukti efektif untuk
ron dopaminergik. Hal ini menjadi
memodifikasi penyakit, karena belum
perdebatan mengenai potensi neuro­
ada mekanisme yang dapat menjelas-
protektif atau kemampuan memodifi­
kan etiopatogenesisnya dengan tepat.
kasi penyakit dari agonis dopamin.
Berbagai upaya terapi telah dikem-
bangkan berdasarkan stres oksidatif, c) Vitamin D dan koenzim Q10 juga men­
disfungsi mitokondria, perubahan de- jadi kandidat agen neuroprotektif, na­
gradasi protein, inflamasi, eksitotok- mun studinya masih kurang memadai.
sitas, dan apoptosis. Demikian pula 2) Simtomatik
hasil studi hewan percobaan maupun Terapi farmakologis yang ada saat ini
uji klinis kurang memuaskan, yakni masih bersifat simtomatik untuk me­
analog FK-506 sebagai imunosupre- ningkatkan kualitas hidup pasien. Oleh
san selektif meningkatkan regenerasi karena bertujuan simtomatik, pada

123
Buku Ajar Neurologi

umumnya klinisi berupaya mengurangi dingkan levodopa serta memiliki efek


gejala dengan dosis terkecil yang paling samping yang cukup banyak dan lebih
efektif untuk menghindari efek yang ti- berat dibandingkan levodopa, seperti
dak diinginkan. Dengan demikian terapi gangguan kognitif, halusinasi, hipotensi
bersifat individual disesuaikan dengan ortostatik dan gangguan kontrol impuls.
kebutuhan masing-masing pasien,
Meskipun demikian, risiko terjadinya
Terdapat berbagai pendekatan untuk komplikasi motorik lebih rendah diban­
menetapkan kapan waktu yang tepat dingkan levodopa. Oleh karena itu pada
untuk mulai terapi simtomatik. Sebagian pasien usia lanjut dengan gejala yang
besar studi merekomendasikan untuk lebih berat, memiliki gangguan kognitif,
menginisiasi terapi simtomatik secara gangguan kontrol impuls, serta riwayat
dini setelah diagnosis ditegakkan. Namun gangguan psikiatri, levodopa menjadi
sebagian lagi, menunda pemberian terapi pilihan utama. Sebaliknya, pada pasien
dengan pertimbangan efek samping atau usia muda, diberikan agonis dopamin
komplikasi yang akan dihadapi pasien. atau inhbitor MAO-B, dan menunda
pemberian levodopa hingga agen terse-
Hingga saat ini, agen yang dapat
but tidak lagi memberikan kontrol yang
meningkatkan konsentrasi dopamin atau
memuaskan.
menstimulasi reseptor dopamin, yakni
levodopa dan agonis dopamin masih Pertimbangan gejala motorik yang domi-
menjadi terapi utama untuk gejala motorik nan juga mempengaruhi pemilihan te­
pada penyakit Parkinson. Namun keduanya rapi. Pada pasien yang memiliki gejala
memilild kelebihan dan kekurangan ma­ tremor dominan, antikolinergik seperti
sing-masing. Berbagai agen yang sering triheksifenidil dapat dijadikan alternatif.
digunakan sebagai terapi simtomatik dapat Ada hal yang perlu mendapat perhatian
dilihat pada Tabel 5, dengan mekanisme tentang antikolinergik, yaitu 1} belum
kerja pada Gambar 7. jelas superioritas antikolinergik diban­
dingkan dopaminergik untuk mengatasi
Levodopa meskipun merupakan agen
tremor; 2) mekanisme yang mendasari
farmakologis yang paling efektif dan
antikolinergik juga belum dapat dipahami
menjadi balm emas pada studi agen far­
sepenuhnya, namun diperkirakan deplesi
makologis baru, namun memiliki resiko
dopamin menyebabkan hipersensitifitas
tinggi terjadinya komplikasi motorik.
kolinergik, sehingga perlu antikolinergik;
Dosis harian lebih dari 400mg/hari, du-
serta 3) efek samping yang ditimbulkan
rasi lebih dari 5 tahun, serta usia muda
akan memperberat disabilitas, diantara-
memiliki risiko komplikasi motorik yang
nya gangguan kognitif, konstipasi, retensi
lebih tinggi. Sementara, agonis efektifi-
urin, dan gangguan prostat.
tas dopamin masih lebih inferior diban-

124
i

Tirosin
Levodopa
M enlngkatkan
kad ar L- D opa
L- Dopa \
\

Amantadine Dopamin Degrade

m e m a c u p e le p a s a n
DA dan m en g h am b at Rasagil in/Selegil in
/ * *
reuptake $£ /w A ° \ M enqinhlblsi M AO -B

// 1 \ f« D A *
SZl

ffl yf /
f ■
t! DA
\ ! * Mitokondria
' '' '■ • m |
Reuptake r-. ■■■■■■''
M engham bat ............ * , W e p s a n D A
reuptake ♦

MB.

DA Agonis * s Degradasl * Inhibitor COMT


M e n g lk a t w -si J M e n g h a m b a t degradasi
resep to r DA D A d a n L-Dopa
w ft ft

P enyakit Parkinson
"COM T
R eseptor DA

Gambar 7. Mekanisme Kerja Obat-obatan Simtomatik pada Penyakit Parkinson


DA: dopamin, MAO: monoamin oksidase; COMT: catechol-O-methyltransferase
Buku A jar N eurologi
•Anti-oksfdan
i'i Tgrapi Neuroprotekiif
•Agon is Dopamin/Pramipeksol
Gangguan Fungsional

o T i l J i: I ■■i n ■;■]! Tremor Dominan

r v
a ll!! Ya
I
■r"'
I

Anti kolinergik
•Agorij.'iop-jm ir-
^ ram ip ek soi::
126

Responsterhadappengobatan

X
T

3 1 1 3 1
d c ;:.; i
a- ■ ■ :'« = : v ^ .-'

?$r.£i'.£‘'.'.3r' c : '. V: iiii

'" ••-W . ! ", \m


. ."t

J “ ; *1 ;J-. ■.

Gambar 8. Algoritma Tata Laksana Penyaldt Parkinson


Dimodifikasi dari: Husni A, dkk. Buku panduan tatalaksana parldnson dan gangguan gerak lainnya. 2013. h. 7-24.
Penyakit Parkinson

Tabel 5, Terapi Farmakologis Simtomatik Penyakit Parkinson


Kelas Terapi Dosis Efek Samping
Levodopa plus inhibitor Dosis inisial: 3 x 100/25mg/hari Mual, hipotensi ortostatik, diskinesia,
dekarboksilase (karbidopa/ Dosis maksimal: 1500/375mg/ halusinasi
benserazid) hari bergantung gejala

Levodopa bekerja dengan me-


ningkatkan kadar L-dopa
Inhibitor MAO-B
Menghambat metabolisme
dopamin oleh enzim Monoamin
oksidase-B (MAO-B)
■ Rasagilin Img/hari Saldt kepala, artralgia, konjungtivi-
tis, dermatitis, dispepsia, depresi,
diskinesia jika dikombinasi dengan
levodopa
° Selegilin Dosis inisial: 2,5mg/hari Efek stimulan, nausea, saldt kepala,
Dosis maksimal: lOmg/hari dizziness, diskinesia apabila dikombi­
nasi dengan levodopa
Inhibitor COMT
Menghambat degradasi dopamin
dan L-dopa oleh enzim Catechol-
O-methyltransferase (COMT)
H Entakapon 2 0 0 mg pertiap dosis levodopa Perubahan warna urin, diare, diskine-
Dosis maksimal 8 x 200mg/hari sia jika dikombinasi dengan levodopa
H Tolkapon 3 x 200 mg/hari Hepatotoksisitas, perubahan warna
urin, diare, diskinesia jika dikombi­
nasi dengan levodopa
Agonis Dopamin
Berikatan dengan reseptor dopa­
min pascasinaps
H Piribedil Dosis inisial: 3 x 50mg/hari Mual, halusinasi, konfusi, hipotensi
Dosis maksimal: 250mg/hari ortostatik, gangguan kontrol impuls,
edema pergelangan kaki
■ Pramipeksol Sediaan standar Mual, halusinasi, konfusi, hipotensi
Dosis inisial: 3 x 0,125mg/hari ortostatik, gangguan kontrol impuls,
Dosis maksimal: 24mg/hari edema pergelangan kaki, rasa me-
Sediaan prolonged release ngantuk, serangan tidur
Dosis inisial: 0,52mg/hari
Dosis maksimal: 3,15mg/hari
° Ropinirol Sediaan standar Nausea, halusinasi, konfusi, hipotensi
Dosis inisial: 3 x 0,25mg/hari ortostatik, gangguan kontrol impuls,
Dosis maksimal: 24mg/hari edema pergelangan kaki, rasa me-
Sediaan prolonged release ngantuk, serangan tidur
Dosis inisial: 6 mg/hari
Dosis maksimal: 24mg/hari

a Rotigotin Dosis inisial: 2 mg per 24 jam* Nausea, halusinasi, konfusi, hipotensi


Dosis maksimal: 16 mg per 24 ortostatik, gangguan kontrol impuls,
jam* edema pergelangan kaki, rasa me-
*transdermal patch ngantuk, serangan tidur

127
Baku Ajar Neurologi

Tabel S. Terapi Farmakologis Simtomatik Penyakit Parkinson (Lanjutan)


Kelas Terapi Dosis Efek Samping
Antikolinergik
Triheksifenidil Dosis inisial: 1 mg/hari Gangguan kognitif, halusinasi, konfusi,
Dosis maksimal 3 x 2mg/hari mulutkering, retensi urin, konstipasi
Neuroleptik
Klozapin Dosis inisial: 6.25-12,5mg malam Agranulositosis, hipotensi ortostatik,
Dosis maksimal 150mg/hari miokarditis, kejang
Penyekatbeta
Propanolol Dosis inisial: 2 x 40mg/hari Dizziness, fatig
Dosis maksimal 320mg/hari
Lain-lain
Amantadin Dosis inisial: 1 x lOOmg Livedo retikularis, nausea, mulut
Dosis maksimal: 4 x lOOmg leering, halusinasi, konfusi edema
Mekanisme antiparldnson belum pergelangan kaki, konstipasi, gang­
diketahui dengan pasti, namun guan tidur, dizziness, aritmia jantung
dipikirkan dengan meningkat-
kan pelepasan dopamin dan
menghambat reuptake dopamin
MAO: monoamin oksidase; COMT: catechol-O-methyl transferase; NMDA; N-metil-D-aspartat
Sumber:
5 Ossig C, dkk. Neurol Clin. 2015. h. 19-37.
2Spielberger S, dkk. Oxford textbook of movement disorders. 2013. h. 61-72.

Sebagai alternatif, pada gejala tremor domi- kan fluktuasi motorik dan diskinesia,
nan, dapat diberikan klozapin. Namun se- namun lebih sering menimbulkan efek
baiknya pemberian klozapin ditunda un- samping.
tuk kasus yang berat dan resisten dengan c. Inhibitor MAO-B kemungkinan efektif
terapi lainnya, oleh karena menimbulkan pada stadium awal tanpa efek samping
efek samping seperti agranulositosis dan yang signifikan.
leukopeni. Algoritma penatalaksanaan PP d. Berdasarkan studi STalevo Reduction in
berdasarkan Konsensus Kelompok Studi Dyskinesia Evaluation in Parkinson Dis­
Movement Disorder Perdossi tahun 2013 ease (STRIDE-PD], penambahan inhibitor
tercantum pada Gambar 8. COMT pada levodopa di stadium awal ti-
Terdapat beberapa poin rekomendasi praktis dak menunda onset ataupun menurunk-
berdasarkan telaah kritis sejumiah studi, yaitu: an frekuensi diskinesia.

a. Levodopa lebih superior dibandingkan e. Pada tahun 2015, Movement Disorder


agonis dopamin dan agen farmakologis Society (MDS) melakukan rekomendasi
lain dalam semua uji perbandingan yang penggunaan agen farmakologis pada PP
mengevaluasi perbaikan gejala parkin- (Tabel 6).
sonisme motorik. Namun, levodopa me- 2. Stadium Lanjut
miliki insidens fluktuasi motorik dan Pada stadium awal penyakit, respons
diskinesia yang lebih tinggi. terapi simtomatik sangat efektif untuk
b. Agonis dopamin lebih jarang menyebab- mengontrol gejala, baik levodopa dan

128
Penyakit Parkinson

agonis dopamin, secara monoterapi atau Komplikasi motorik dapat terjadi pada peri-
kombinasi. Hal ini disebut juga sebagai ode “off' dan "on". Pasien Parkinson menga-
"honeymoon period yang dapat berlang- lami kembali gejala Parkinson pada saat ka-
sung selama 3-6 tahun. Namun pada saat dar obat mulai berkurang (atau habis), yang
stadium lanjut, respons ini berkurang disebut periode “off”. Jika kembali mengalami
dan muncul komplikasi motorik. Oleh perbaikan gejala motorik sebagai respons
karena itu, fokus tata laksana gejala mo­ terhadap pengobatan disebut periode “on".
torik pada stadium lanjut adalah untuk Fluktuasi motorik adalah suatu kondisi pasien
mengatasi komplikasi motorik. Pada mengalami kedua kondisi tersebut dan ber-
umumnya spektrum komplikasi motorik bagai respons terhadap pemberian levodopa.
terbagi menjadi dua, yaitu fluktuasi mo­ Pada saatbersamaan, pasien seringkali menga­
torik dan diskinesia (Tabel 7]. lami gerakan involunter, yakni diskinesia.

Tabei 6. Rekomendasi Movement Disorder Society Tahun 2 0 1 5 untuk Gejala Motorik pada Penyakit Parkinson
Neuropro- Bukti insufisien dan membutuhkan Inhibitor MAO-B (selegilin, rasagilin), vitamin D, dan
tektor investigasi lebih lanjut ropinirol
Bukti insufisien/kemungkinan ti- Pramipeksol, koenzim Q10, dan pergolid
dak efektif dan kemungkinan tidak
bermanfaat [unlikely useful)
Monoterapi Efektif (efficacious) Levodopa sediaan standar dan lepas lambat, agonis dopa-
dan bermanfaat secara ldinis {clini­ min non-ergot (piribedil, pramipeksol IR dan ER, ropinirol,
cally useful) rotigotin), agonis dopamin ergot (kabergolin, DHEC, per­
golid), inhibitor MAO-B (selegilin dan rasagilin)
Kemungkinan efektif {likely effica­ Agonis dopamin non-ergot (ropinirol PR), agonis dopamin
cious) dan kemungkinan berman­ ergot (bromokriptin, lisurid), dan amantadin
faat {possibly useful)
Kemungkinan efektif {likely effica­ Antikolinergik
cious) dan bermanfaat secara klinis
{clinically useful)
Bukti insufisien dan memerlukan Agonis dopamin non-ergot (apomorfm), levodopa onset
investigasi lebih lanjut cepat, dan zonisamid
Kombinasi Efektif [efficacious) Seluruh agonis dopamine non-ergot, agonis dopamine er­
dengan Le­ dan bermanfaat secara klinis {clini­ got (kabergolin, bromokriptin, pergolid), infus levodopa,
vodopa cally useful) inhibitor COMT (entakapon dan tolkapon), inhibitor MAO
(rasagilin), dan zonisamid
Kemungkinan efektif [likely efficacious) Agonis dopamin ergot (lisurid) dan amantadin
dan kemungkinan bermanfaat {pos­
sibly useful)
Kemungkinan efelctif [likely efficacious) Antikolinergik
dan bermanfaat secara klinis {clini­
cally useful)
Bukti insufisien dan memerlukan Levodopa onset cepat, agonis dopamin ergot (DHEC) dan
_____________ investigasi lebih lanjut______________inhibitor MAO-B (selegilin)____________________________
MAO: monoamin ol^Fdase;IR: immediate release; ER: extended release; PR: prolonged release; COMT: catechol-o-methyl-
transferase; DHEC: dihydroergocryptine; ropinirol PR: prospect
Sumber: Fox SH, dkk. Mov Disord. 2015. h. 1-40.

129
Buku Ajar Neurologi

Tabel 7. Komplikasi Motorik pada Pengobatan Penyakit Parkinson


Fluktuasi motorik Diskinesia
P red ictab le w earin g o f f P eak-d ose d y skin esia
Merupakan flulttuasi motorik yang pertama terjadi, berupa Merupakan diskinesia yang terjadi pada saat mencapai
pemendekan durasi respons terhadap Ievodopa. Pasien puncak dosis.Manifestasinya dapat berupa campuran
merasa bahwa dosis yang sebelumnya dapat mengurangi korea, balismus, dan distonia serta lebih jarang miok-
gejala motorik dalam waktn beberapa jam, terakhir hanya lonus. Manifestasi yang paling sering berupa gerakan
bertahan dalam periode yang lebih singkat, biasanya 4 jam khoreiformis pada ekstremitas dan yang cukup jarang
atau kurang. yakni diskinesia okular dan diskinesia respirasi.
Komplikasi ini biasanya dapat diprediksi waktunya, terjadi
pada saat akhir dosis sebelum dimulainya dosis berikutnya.
U npredictable off, sudden “off" dan o n -o ff D iphasic dyskin esia
Merupakan komplikasi yang tidak dapat diprediksi, Merupakan diskinesia yang terjadi pada saat awal do­
pasien dapat mengalami "wearing off’ secara cepat, tidak sis dan akhir dosis Manifestasinya predominan pada
beraturan dan tidak berhubungan dengan waktu dosis tungkai dan dapat melibatkan gerakan tungkai yang
akhir Ievodopa. Pasien tersebut dapat mengalami seran- berubah-ubah secara cepat dan stereotipik. Diskinesia
gan “off' yang muncul dalam hitungan detik yang men- ini lebih jarang terjadi.
galdbatkan aldnesia beratyang disebut "sudden o ff atm off
freezing’' Selain itu pasien juga dapat mengalami peralihan
periode"on" dengan kondisi mobile disertai disldnesia dan
“o ff’ dengan kondisi imobilitas yang dapat ataupun tidak
dapat diprediksi, yang disebut "on-offfluctuation".
D ose fa ilu re, d ela y ed on, atau p a r tia l on resp o n se D istonia w earin g o f f / o f f p er io d
Levodopa dapat tidak memberikan efek yang disebut merupakan diskinesia yang terjadi selama periode "off'.
"dose failu re” atau memberikan efek terlambat yang Berbeda dengan diskinesia pada kondisi "on" yang
disebut “delayed on”. Kondisi ini dapat dikaitkan den­ lebih sering berupa korea, diskinesia yang terjadi selama
gan sediaan obat seperti sediaan controlled release, per- periode “o ff’ dan “wearing o f f didominasi gambaran
lambatan pengosongan lambung, dan adanya makanan distonia, dan melibatkan tungkai dan kaki. Manifestasi
yang menggangu absorbsi Ievodopa dan berkompetisi distonia yang jarang yakni blefarospasme, ja w opening,
dengan asam amino transporter. distonia servikal, distonia tangan, dan stridor.

Beginning o f d o s e w orsening
Merupakan perburukan transien, biasanya 5-15 menit,
pada awal dosis Ievodopa, dan seringkali bermanifestasi
dengan peningkatan tremor dan setelahnya baru akan
terlihat respon Ievodopa.____________________________

a. Tata laksana farmakologis makologis dengan teknik deep brain


Algoritma tata laksana farmakologis stimulation (DBS) dan operasi ablatif
komplikasi motorik secara umum ber- [lesioning).
dasarkan Konsensus Kelompok Studi
1) Deep brain stimulation (DBS)
Movement Disorder Perdossi tahun
DBS pada umumnya dilakukan un-
2013, telah tercantum pada gambar 7.
tuk penyakit Parkinson stadium
b. Tata laksana bedah lanjut de-ngan komplikasi moto­
Selain famakologis, intervensi be­ rik berat dan tidak terkontrol de­
dah juga dibutuhkan terutama yang ngan terapi farmakologis. Teknik
resisten terhadap tata laksana far­ ini melibatkan implantasi elek-

130
Penyakit Parkinson

trode yang dihubungkan dengan untuk menimbulkan lesi cukup


pulse generator dan memodulasi beragam yakni radiosurgery , ra-
aktivitas neuronal melalui stimula- diofrekuensi, dan ultrasound.
si frekuensi tinggi pada area target. Area target lesioning yang sering
Stimulasi tersbut menyebabkan dikerjakan yakni talamus dan glo­
inhibisi dan normalisasi parsial. bus palidus.
Adapun area target stimulasi yakni
Talamotomi terutama efektif un­
struktur yang termasuk dalam loop
tuk gejala tremor, namun tidak
gang-lia basal-talamokortikal se-
bermanfaat untuk bradikinesia,
perti nukleus subtalamikus, globus
Talamotomi juga dapat mereduk-
palidus interna dan ventral inter-
si diskinesia yang diinduksi le­
medius talamus (VIM). Area tera-
vodopa, namun dibutuhkan lesi
khir, terutama diindikasikan untuk
yang luas. Sementara palidotomi,
gejala tremor dominan.
tidak saja dapat memperbaiki ge­
Perbandingan antara area target jala tremor dan rigiditas, namun
nukleus subtalamikus dan globus juga bradikinesia dan gait. Selain
palidus interna menunjukkan hasil itu, palidotomi juga dapat men­
yang lebih baik pada nukleus sub­ gurangi diskinesia yang diinduksi
talamikus dengan perban-dingan levodopa. Operasi ablatif biasanya
persentase perbaikan 49% vs 37%. dilakukan apabila pasien kontra-
Efekini terbukti berlangsung jangka indikasi terhadap tindakan DBS.
panjang dengan keluaran yang se- Salah satu kekurangan teknik ini
dikit lebih baik pada nukleus sub­ dibandingkan DBS yakni hanya
talamikus (48% vs 39%). Selain itu, dapat dikerjakan unilateral.
DBS nukleus subtalamikus berhasil
c. Tata laksana lain
mengurangi dosis levodopa hingga
Adapun tata laksana lain penyakit Par­
50-60%, yang tidak terjadi pada
kinson selain yang telah disebutkan
DBS dengan area target ganglia ba­
di atas adalah transcranial magnetic
sal. Efek samping DBS pada nukleus
stimulation (TMS), sel punca, trans-
subtalamikus, antara lain: gang-
planstasi brain graft, dan terapi gen.
guan kognitif dan episode psikosis,
depresi, manik, dan perilaku agresif. Terdapatbeberapa poin rekomendasi
Gangguan kognitif juga terjadi pada penting tata laksana penyakit Parkin­
DBS pada globus palidus interna. son pada stadium lanjut:
1) Levodopa sediaan lepas lambat ma-
2) Operasi ablatif (lesioning)
sih belum cukup bukti untuk menun­
Pada umumnya, tindakan ini
jukkan perbaikan pada komplikasi
menggunakan teknik stereotaktik
motorik. Levodopa infus duodenal
untuk menentukan target lesion­
menunjukkan perbaikan yang sig-
ing dan modalitas yang digunakan
nifikan, namun memiliki komplikasi

131
Baku Ajar Neurologi

terapi yang lebih sering. 6) Berikut adalah kategori efektifi-


2) Rasagilin efektif dalam menurun- tas dan implikasi pada praktik Mi­
kan waktu "off" dan meningkat- nis tata laksana nonfarmakologis
kan waktu "on' tanpa menimbul- menurut hasil telaah Movement
kan diskinesia, Disorder Society (MDS) tahun
2015.
3) Agonis dopamin dan entakapon le­
bih efelctif dalam memperbaild fluk- - Efektif [efficacious) dan ber-
tuasi motorik dibandingkan plasebo, manfaat secara Minis [clinically
namun berasosiasi dengan pening- useful)-. DBS subtalamikus bi­
katan frekuensi diskinesia dibanding­ lateral, DBS globus palidus in­
kan plasebo. terna bilateral, dan palidotomi
unilateral.
4) Apomorfin subkutan efektif se-
bagai rescue therapy memperbaiki - Kemungkinan efektif ( likely
kondisi "off" dengan segera. efficacious ) dan kemungkinan
berm anfaat (possibly useful)-.
5) DBS pada nukleus subtalamikus
talamotomi unilateral.
dan globus palidus interna meru-
pakan standard o f care therapy - Bukti insufisien dan membu-
dalam perbaikan gejala motorik, tuhkan investigasi lebih lanjut:
mereduksi waktu "off", dan diski­ subtalamotomi dan repetitive
nesia. TMS CrTMS).
d. Tata laksana gejala nonm otorik
(Tabel 8)

132
Tabel 8. Pilihan Tata Laksana Gejala Nonmotorik pada Parkinson
Geiala Nonmotorik Kelompok Obat Nama Obat Keterangan
Gangguan kognitif Demensia Inhibisi asetilkolinesterase Rivastigmin
Gangguan psikiatrik Depresi Agonis dopamine Pramipeksol
SSRI Citalopram, escitalopram, fluokse-
tin, paroksetin
SNRI Venlafaksin ER
Antidepresan trisiklik Despiramin, nortriptilin
Psikosis Antipsikosis atipikal Klozapin Level A
Quetiapin Quetiapin cenderung
aman, tidak memerlukan
monitor
Inhibisi asetilkolin esterase Rivastigmin Level B [Rivastigmin]
Donepezil Level C (Donepezil]
Gangguan tidur REM sleep behavior Benzodiazepin Kionazepam
disorders Hormonal Melatonin
Insomnia Benzodiazepin Zolpidem
Hormonal Melatonin
EDS Stimulan Modafinil
Disfungsi otonom Konstipasi Laksatif Polietilen glikol
133

Aktivator kanal klorida Lubriproston


Gangguan motilitas Antagnis dopamin perifer Domperidon
gastrointestinal
Hipotensi ortostatik Antagonis dopamin perifer Domperidon

Mineralokortikosteroid Fludrokortison
Vasopresor Midodrin
Inhibitor asetilkolinesterase Piridostigmin
Norepinefrin
Sialorhea Antikolinergik Atropin, glikopirolat
Neurotoksin Injeksi toksin botulinum
Disfungsi seksual Dopaminergik Injeksi apomorfin
Inhibitor fosfodiesterase

Penyakit Parkinson
Nyeri Neurotoksin Injeksi toksin botulinum Untuk nveri fokal distonia
SSRI: selective serotonin reuptake inhibitors; SNRI: Serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors; ER: extended release; EDS: excessive daytime sleepiness; REM:
rapid eye movement
Sumber:
1Kalla LV, dkk. Lancet. 2015. h. 896-912.
zChild ND, dkk. Evidence-based neurology: management of neurological disorders. 2015. h. 358-88.
Buku Ajar Neurologi

D A FTA RPU STA K A BaQhr M. Diagnosis and differential diagnosis of


parkinson's disease, diagnosis and treatment
1. Savica R, Boeve BF, Logroscino G. Epidmiology of
of Parkinson's disease. Mental and Behavioural
alpha-synucleinopathies: from Parkinson disease
Disorders and Disease of The Nervous System,
to dementia with lewy bodies. Daiam: Rosano C,
[serial online], 2011 [diunduh 28 Juni 2016],
Ikram MA, Ganguli M, editors. Handbook of clini­
Tersedia dari: Intech.
cal neurology. Oxford: Elsevier;2016. h. 153-8.
13. Fahn S. Classification of Movement Disorders.
2. Olanow CW, Stocchi F, Lang AE. Dopaminergic and
Mov Disord 2011;26(6):947-57,
non-dopaminergic features of Parkinson's disease,
14. Kalia LV, Lang AE. Parkinson's disease. Lancet.
Daiam: Olanow CW, Stocchi F, Lang AE, editors. Par­
2015;386(9996):896-912.
kinson's disease non motor and non-dopaminergic
15. Wijaya W, Syamsudin T, Panggabean R, Hubungan
features, Oxford: Wiley Blakcwell; 2011. h. 1-5.
status merokok dengan kejadian penyakit
3. Olanow CW, McNaught K. The etiopathogenesis of
Parkinson. Neurona 2015;32(4):244-8.
Parkinson's disease: basic mechanism of neurode­
16. Tolosa E, Gaig C, Santamaria J, Compta Y, non-motor
generation. In: Hallett M, Poewe W. Therapeutics
symptoms in the early motor stages of Parkinson's
of Parkinson's disease and other movement disor­
disease, Chaudhuri KR, Tolosa E, Schapira AHV, Poewe
ders. Oxford: Wiley Blackwell;2008. h. 3-7,
W. Non-motor symptoms of parkinson's disease.
4. Pringsheim T, Jette N, Frolkis A, Steeves TD.
Oxford: Oxford University Press; 2014. h. 24-43
The prevalence of Parkinson's disease: a sys­
17. Rana AQ, Ahmed US, Chaudry ZM, Vasan S. Par­
tematic review and metaanalysis. Mov Disord,
kinson’s disease : a review of non motor symp­
2014;29(13):1583-90.
toms. Expert Rev Neurother. 2015;15(5):549-62.
5. Hirsch L, Jette N, Frolkis A, Steeves T,
18. Erro R, Santangelo G, Barone P, Vitale C. Nonmo­
Pringsheim T. The incidence of Parkinson's
tor symptoms in Parkinson's disease: classifica­
disease: a systematic review and meta analysis.
tion and management. Journal of Parkinsonism
Neuroepidemiology 2016;46(4):292-300.
and Restless Legs Syndrome 2015;2015(5):1-10.
6. Spielberger S, Poewe W. Overview of parkin­
19. Munhoz RP, Moro A, Moriyama LS, Teive HA. Non­
sonism and approach to differential diagnosis.
motor signs in Parkinson’s disease: a review. Arq
Daiam: Burn D, editor. Oxford textbook of move­
Neuro-Psiquiatr. 2015;73(5):454-62.
ment disorders. Oxford: Oxford University Press;
20. Jellinger KA. Neuropathobiology of non-mo­
2013. h. 61-72.
tor symptoms in Parkinson's disease. J Neural
7. Schapira AHV, Gallagher D. Parkinson's
Transm. 2015;122(10):1429-40,
disease: premotor features, diagnosis and
21. Adler CH, Beach TG. Neuropathological basis of
early management. In: Burn D, editor. Oxford
nonmotor manifestations of Parkinson's disease.
Textbook of Movement Disorders. Oxford: Oxford
Mov Disord. 2016;31(8):1114-9.
University Press; 2013. h. 73-81.
22. Lim SY, Lang AE. The nonmotor symptoms of
8. Parkinson's disease. Daiam: Donaldson I, Mars-
Parkinson's disease-an overview. Mov Disord.
den CD, Schneider S, Bhatia K. Marsden's Book of
2010;25(Suppl l):S123-30.
Movement Disorders. Oxford: Oxford University
23. Sunyer CP, Hotter A, Gaig C, Seppi K, Compta Y,
Press; 2012. h. 159-379.
Katzenschlager R, dkk. The Onset of Nonmotor
9. Wichmann T, Delong MR. Anatomy and
Symptoms in Parkinson's Disease (The ONSET
physiology of the basal ganglia: relevance to
PD Study). Mov Disord. 2014:30(2):229-37.
Parkinson's disease and related disorders. Daiam:
24. Chauduri KR, Quinn N, What are the non-motor
Aminoff MJ, Boiler F, Swaab DE, editor. Handbook
symptoms of Parkinson's disease? Daiam: Chaudhuri
of clinical neurology. Parkinson's Disease and
KR, Tolosa E, Schapira AH, Poewe W, editor. Non­
Related Disorders Part 1. Philadelphia: Elsevier.
motor symptoms of Parkinson's disease. Edisi ke-2,
2007. vol 83. h. 3-13.
Oxford: Oxford University Press; 2014. h. 1-9.
10. DeLong MR, Wichmann T. Circuits and Circuit
25. Gallagher DA, Shapira AHV. Non-motor symptoms
Disorders of the Basal Ganglia, Arch Neurol.
and premotor diagnosis of Parkinson's disease.
2007;64(l):20-4.
Daiam: Chaudhuri KR, Tolosa E, Schapira AH,
11. Jankovic J. Parkinson's disease: clinical features
Poewe W, editor. Non-motor symptoms of
and diagnosis. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
Parkinson's disease. Edisi ke-2. Oxford: Oxford
2008;79(4):368-76.
University Press; 2014. h. 10-23.
12. Linger P, Liman J, Kallenberg K, Sahlmann CO,

134
Penyakit Parkinson

26. Goetz CG, Poewe W, Rascol 0, Sampaio C, Steb- Hallett M, Poewe W. Therapeutics of parkinson's
bins GT, Counsell C, dkk. Movement disorder Disease and other, Mov Disord: Willey-Blackwell;
society task force report on the Hoehn and Yahr 2008. h. 71-86.
staging scale: status and recommendations. 32. Fox SH, Katzenschiager R, Lim S-Y, Barton B,
2004;19(9}: 1020-8. De-Bie RMA, Seppi K, dkk. Updates on treat­
27. Ropper AH, Samuels M A, Klein JP, penyunting. ment of motor symptoms of PD. Mov Disord.
Adam and Victor's principles of neurology. Edisi 2015:26[S3):l-40.
ke-10. United States: McGraw-Hill; 2014. h. 65. 33. Fox SH, Shah B, Walsh R, Lang A. Parkinson's
28. Husni A, Suryamiharja A, Ahmad B, Purwasama- disease: advenced disease, motor complications
tra D, Akbar M, Tumewah R, dkk. Buku panduan and management. Dalam: Burn D, editor. Oxford
tatalaksana parkinson dan gangguan gerak lain- Textbook of Movement Disorders. Oxford: Oxford
nya. Jakarta: Kelompok Studi Movement Disor­ University Press; 2013. h. 96-112.
ders Perdossi; 2013. h. 7-24. 34. Aquino CC, Fox SH. Clinical spectrum of
29. Thanvi BR, Lo TCN. Long Term motor complica­ levodopa-indusced complications. Mov Disord.
tions of levodopa: clinical feature, mechanisms, 2015;30(l):80-9.
and management strategies. Postgrad Med J. 35. Ossig C, Reichmann H. Treatment strategies in
2004;80(9):452-8. early and advenced parkinson disease. Neurol
30. Oliver R, Sampaio C. Experimental therapeutics of Clin. 2015;33(T):19-37.
Parkinson's disease and the development of new 36. Child ND, Klassen BT, Evidence-based treatment
symptomatic medicines for Parkinson's disease. of Parkinson's disease. Dalam: Damaerschalk BM,
Dalam : jankovic J, Tolosa E. Parkinson's disease WingerchukD, editors. Evidence-based neurology:
and movement disorders, Edisi ke-5. Philadelpia. management of neurological disorders. Edisi ke-2.
Lippincot William and Wilkins 2007. h. 146-51. Oxford: Willey Blackwell; 2015. h. 358-88.
31. Fox SH, Lang AE. Treatment of motor complica­
tions in advanced Parkinson's disease. Dalam:

135
HEMIFASIAL SPASME

Amanda Tiksnadi

PENDAHULUAN posterior yang menekan N. Fasialis saat ber-


Hemifasial spasme (hemifacial spasm/HFS) jalan keluar dari pons di fossa posterior. Ada-
merupakan suatu gangguan gerak yang ditan- pun HFS sekunder sering dijumpai pasca-
dai dengan kontraksi tonik-ldonik otot-otot paralisis N. Fasialis perifer akibat neoplasma,
wajah bagian atas dan bawah (termasuk M. demielinisasi, atau trauma, dan infeksi (lebih
Platysma} yang diinervasi oleh nervus Fasialis jarang terjadi}.
(N. Fasialis atau N. VII] ipsilateral.
1. H e m if a s ia l S p a s m e P r i m e r
Perjalanan penyakit HFS cenderung bersifat Kasus yang paling banyak dijumpai
progresif cepat, remisi spontan transien ja- adalah akibat distensi, dilatasi, atau deviasi
rang terjadi. Oleh karena itu, HFS dianggap a. Cerebellaris inferior anterior [AICA],
penyakit kronik dengan tingkat komplikasi a. Cerebellaris inferior posterior [PICA],
sosial yang tinggi dan memengaruhi kuali- a. Cerebellaris superior, dan a. Basilaris
tas hidup pasien. (Gambar 1]. Walaupun jarang, kelainan
akibat abnormalitas vena juga dapat
E P ID E M IO L O G 1 dijumpai.
Prevalensi HFS seldtar 7,4-14,5 per 100.000
Proses yang terjadi pada HFS diyakini aki­
populasi, perempuan lebih banyak daripada
bat kerusakan mielin dan transmisi ephap-
laki-laki dengan rasio 1,5-2:1. HFS dapat dite-
tic pada pintu keluar N. Fasialis (nerve
mukan pada rentang usia juvenil hingga usia
root entry zone], sehingga pasase impuls
lanjut, walaupun tersering pada dekade 50
neuronal terhambat. Hal ini menyebabkan
tahun. Poungvarin dkk melaporkan HFS lebih
penurunan ambang rangsang dan terjadi
banyak pada populasi Asia, mesld belum ada
eksitasi ektopik sampai ke taut saraf-otot
studi epidemiologi yang menyokong data ini.
(neuromuscular junction} yang menim-
bulkan gerakan involunter pada otot-otot
P A T O FISIO L O G I
fasialis. Nerve root entry zone tersebut
Penyebab HFS sangat bervariasi, kebanyakan
merupakan area transisi antara sel mielin-
bersifat sporadis, walaupun ada laporan HFS
isasi sentral (oligodendrosit} dan peri­
familial autosomal dominant yang menunjuk-
fer (sel Schwann}. Daerah ini hanya dilapisi
kan kemungldnan faktor genetik sebagai pato-
oleh membran araknoidal serta misldn
fisiologi HFS. Ada 2 jenis HFS, yaitu HFS primer
jaringan interfasikular dan epinerium, se­
dan sekunder. Mayoritas HFS primer terjadi
hingga rentan terhadap kompresi dan me­
akibat abnormalitas pembuluh darah di fossa
nyebabkan kerusakan mielin.

136
Hemifasial Spasme

Nervus kranialis Nervus kranialis VI


VII dan VIII

Nervus kranialis
IX dan X

Gambar 1. Letak Nervus Fasialis dan Nervi Kranialis Sekitarnya Terhadap Pembuluh Darah di Batang Otak

Setidaknya terdapat 3 hipotesis yang dapat kategori, yaitu:


menjelaskan terfadinya eksitasi ektopik. Per-
1. Loop type; pembuluh darah berjalan
tama, teori nuklear/sentral bahwa cedera N.
mengelilingi dan menjepit nervus
Fasialis menyebabkan perubahan medular
(Gambar 2).
regresif dengan reorganisasi fungsional
jaringan pengikat, sehingga mengakibatkan 2. Arachnoid type; trabekula araknoid antara
hipereksitasi nukleus untuk membentuk pembuluh darah dan batang otak sempit
badan sel sarafbaru. Kedua, teori perifer me- yang menjerat nervus.
nyatakan bahwa simptom HFS merupakan 3. Perforator type; jeratan nervus oleh ca-
akibat dari impuls ektopik dan "cross-talld' bang-cabang arteri perforata yang me-
antar serabut saraf di tempat cedera. Ketiga, nempel di batang otak.
hipotesis simpatetik bahwa ujung-ujung se­ 4. Branch type; nervus terperangkap antara
rabut saraf simpatis di lapisan adventisia ar- pembuluh darah dan cabang-cabangnya.
teri turut rusak dan mengakibatkan gangguan 5. Sandwich type; nervus terjepit di antara
neuro transmiter yang menginduksi poten- dua pembuluh darah yang berbeda.
sial aksi ektopik.
6. Tandem type; satu pembuluh darah lain
Berdasarkan polanya, kompresi neuro- menekan pembuluh darah yang meng-
vaskular yang terjadi dibedakan ke dalam 6 kompresi nervus.

137
Buku Ajar Neurologi

Tentu saja kelainan pembuluh darah ini dapat babkan hipertensi. Hal ini ditunjang oleh
pula mempengaruhi fungsi nervi kranialis berbagai studi teknik MRI resolusi tinggi
lain yang letaknya berdekatan, yang paling bahwa penderita HFS dengan hipertensi
seringsering dijumpai bersamaan dengan HFS memiliki risiko kejadian VLM lebih tinggi
adalah neuralgia trigeminal. Selain itu neural­ dibandingkan dengan tanpa hipertensi.
gia gloss ofaringeal, vertigo posisional, dan 2. Hemifasial Spasme Sekunder
tinnitus juga tidak jarang dijumpai. HFS sekunder terjadi bila ada kerusakan,
Kompresi vaskular multipel dijumpai pada dan/atau iritasi N. Fasialis sepanjang
sekitar 38% kasus, namun pada bebera- kanalis auditorik interna dan foramen
pa pasien dapat tidak dijumpai kelainan stilomastoid. HFS sekunder pemah di-
vaskular apapun. Beberapa studi men- laporkan pada kasus tumor cerebello­
jumpai hubungan antara hipertensi dengan pontine angle (CPA), malformasi arterio-
HFS primer. Hipertensi kronis dianggap venosus, paralisis traumatik N. Fasialis,
sebagai faktor predisposisi HFS, karena penyakit demielinisasi, infeksi, dan cedera
dapat menyebabkan deviasi vaskular yang vaskular. Pada usia muda biasanya akibat
merupakan predisposisi terjadinya HFS. malformasi Chiari tipe I, karena area fossa
Kemungkinan lainnya adalah kompresi posterior sempit dan dangkal, sehingga
vaskular pada jaras medula ventro lateral menyebabkan kompresi saraf maupun
(ventrolateral medulla/VLM) yang menye­ pembuluh darah di sisterna CPA.

Nervus fasialis

Nervus
vestibulokoklearis

Anteriorinferior
cerebellarartery
menempel pada saraf

Gambar 2. Gambaran Kompresi Pembuluh Darah pada Nervus Fasialis

138
Hemifasial Spasme

gejala dan tanda klinis jah. Pernah juga dilaporkan keterlibatan


HFS biasanya unilateral, hanya <1% ltasus N. Vestibulokoklearis yang menyebabkan
yang bilateral. Kontraksi otot-otot wajah gejala gangguan pendengaran uni maupun
yang terjadi biasanya bersifat singkat dan bilateral.
repetitif. Spasme yang berlangsung lebih lama
Studi konsekutif dari 214 pasien HFS primer
maupun yang menetap (diselingi dengan
dan sekunder tidak menunjukkan perbedaan
periode singkat hilangnya aktivitas otot).
karakteristik demografik, seperti usia onset,
Gerakan terjadi secara spontan, dapat juga
atau jenis kelamin, serta sisi paresis maupun
terpicu saat upaya merelaksasikan wajah
kinesia. Walaupun demikian karakteristik
setelah melakukan kontraksi otot-otot wajah klinis antara keduanya berbeda. Pada pasien-
secara maksimal. Gejala juga dapat diperberat
pasien HFS primer, kontraksi umumnya
dengan stres, fatig, ansietas, dan perubahan hanya melibatkan otot-otot fasialis bagian
posisi kepala (misal saat berbaring miring bawah, seperti Mm. Periokular saja atau
ke salah satu sisi). Pada HFS tipe sekunder, kadang menyebar ke platisma. Adapun pada
gerakan sinkinesia terutama jelas pada saat mayoritas pasien HFS sekunder (72% ),
pasien berbicara atau makan. Asimetri wajah kontraksi umumnya melibatkan otot-otot
aldbat paralisis N. Fasialis ringan juga dapat wajah bagian atas dan bagian bawah.
terlihat, ter-utama pada kasus HFS sekunder
yang mengalami demielinisasi N. Fasialis. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
HFS dapat terjadi pada wajah bagian atas D iag n osis
maupun bawah, tapi umumnya diawali Diagnosis HFS ditegakkan secara klinis.
dengan kontraksi tonik-klonik di daerah mata Fenomena tanda Babinsky II atau brow-
(90% pada M. Orbikularis okuli), yang tampak lift sign, merupakan manuver pemeriksaan
sebagai tertutupnya kelopak mata dan elevasi yang mempunyai sensitifitas (86% ) dan
ails di sisiyangsama. Seiring dengan perjalanan spesifitas (100% ) tinggi untuk penegakan
penyakitnya, kontraksi abnormal tersebut diagnosis. Fenomena ini dikatakan positif
meluas ke area pipi dan/atau area perioral bila terjadi elevasi alis ipsilateral saat
(Mm. Orbikularis oris dan Mm. Zigomatikus), kontraksi Mm. Frontalis ipsilateral terhadap
serta area frontalis, corrugator, mentalis, spasme fasialis, yang menunjukkan aktivitas
dan platisma. Pada tahap lanjut, kontraksi asinkron antara Mm. Frontalis dan Mm.
ini menetap pada seluruh otot yang terlibat, Orbikularis okuli. Pada keadaan normal saat
sehingga terlihat ekspresi ganjil pasien tampak M. Orbikularis berkontraksi seharusnya M.
seperti menyeringai dengan mata setengah Frontalis sisi yg sama (ipsilateral) rileks,
tertutup yang disebut “tonus phenomenon”. sehingga alis dan dahi-nya turun. Namun
Gerakan involunter ini dapat terus terjadi saat pada HFS, M. Frontalis justru berkontraksi
tidur dan dapat mengaldbatkan insomnia pada ke arah yg berlawanan, sehingga terlihat
beberapa kasus. asinkron (Gambar 3b dan c).

Pada kasus HFS sekunder bilateral, spasme Pemeriksaan fisik neurologis rutin perlu
terjadi secara asinkron pada kedua sisi wa­ dikerjakan pada setiap pasien dengan ke-

139
Buku Ajar Neurologi

luhan HFS untuk menyingkirkan defisit pada populasi umum. Diagnosis yang paling
neurologis fokal. Demikian pula MRI kepala sering menyerupai HFS adalah blefarospasme
untuk menyingkirkan diagnosis banding (blepharospasme/BSP], distonia oromandibu-
proses intrakranial lainnya, atau untuk me- lar, tardif disldnesia (TD), tiks motorik {motor
lihat kompresi neurovaskular (T2 -weighed). tics), spasme hemimastikatorius, miokimia,
Teknik MRI yang lebih advance, seperti bangkitan {seizure) fokal yang melibatkan
fusion magnetic resonance/ MR yang meng- otot-otot wajah, dan regenerasi abberant
gabungkan antara MRI statis dengan MR pascacedera N. Fasialis, serta spasme fasial
angiografi 3 dimensi dapat memvisualisasi- psikogenik.
kan anatomi spesifik pada area pintu keluar
Membedakan HFS dan BSP atau TD sebenar-
N. Fasialis, terutama untuk pasien kandidat
nya cukup mudah. BSP melibatkan kedua sisi
tindakan operatif (bila manajemen konser-
wajah (bilateral), sering disertai penyebaran
vatif tidak berhasil).
aktivitas involunter ke area oromandibular.
Pemeriksaan diagnostik tambahan lainnya Sementara HFS hampir selalu unilateral. Pada
adalah CT angiogram, terutama untuk tinda­ HFS bilateral, yang sangat jarang terjadi, kon-
kan bedah mikro. Studi terbaru juga mulai traksi otot-otot wajah di kedua sisi terjadi
melihat perubahan hemodinamik menggu- secara asimetri berbeda dengan BSP yang
na-kan pemeriksaan ultrasonografi dupleks, terjadi secara bersamaan pada kedua sisi
yaitu rerata kecepatan aliran darah di A1CA wajah (Gambar 3a). Selain itu, pada pasien
dan PICA sisi yang terkena HFS tampak lebih BSP, spasme Mm. Orbikularis okuli (menu-
tinggi dibandingkan dengan sisi kontralateral tupnya kelopak mata) berasosiasi dengan
D iag n o sis B an d in g turunnya alis sampai di bawah garis rima
Gerakan involunter otot-otot wajah bukan orbita superior (tanda Charcot).
merupakan suatu yang jarang ditemukan

Gambar 3. Perbedaan Kontraksi Otot-otot Wajah pada Saat Menutup Mata Kiri
[a) penutupan mata fungsional (alls pada sisi mata yang tertutup akan menurun, sedangkan alis pada sisi
kontralateral akan terangkat); (b) blefarospasm; (c) hemifasial spasme (pada sisi mata yang tertutup, alis
cenderung terangkat)

140
Hemifasial Spasme

Pasien dengan TD mempunyai riwayat menunjukan bahwa pada sinkinesia, setiap


konsumsi obat-obatan neuroleptik atau kontraksi Mm. Orbikularis okuli akan selalu
antagonis dopaminergik. Gerakan-gerakan diikuti penyebaran ke area Orbikularis oris,
involunter yang timbul pada TD merupakan namun tidak demikian dengan HFS.
gerakan stereotipik yang tidak terbatas
pada otot-otot wajah saja, melainkan juga di TATA LAKSANA
leher, badan, lengan, dan tungkai. Manajemen HFS terdiri dari obat-obatan far-
makologis oral, tindakan operatif (dekom-
Aktivitas involunter pada tiks motorik biasanya
presi mikrovaskular), dan injeksi lokal toksin
singkat, cepat, dan nonritmik serta dapat botulinum [Botulinum neurotoxin/BoNT).
disupresi secara volunter selama periode yang
bervariasi. Tiks motorik biasanya disertai Obat-obatan farmakologis oral yang biasa
dengan ciri-ciri lain dari sindrom Tourette. digunakan adalah antikonvulsan (karba-
mazepin, klonazepam, atau golongan ben-
Kejang parsial akibat cetusan di korteks mo­ zodiazepin lainnya) atau golongan gamma-
torik dapat bermanifestasi sebagai gerakan aminobutyric acid (GABA)-ergik (baklofen,
klonik di wajah, kepala, dan leher unilateral, gabapentin, pregabalin). Walaupun beberapa
serupa dengan kontraksi pada HFS. Demikian laporan menyebutkan medikamentosa ini
pula dengan gerakan stereotipik, kontinu, dan membantu mengurangi spasme, namun tidak
repetitif pada wajah dan kepala sesisi yang ada studi randomized controlled trial (RCT)
tampak pada epilepsi fokal sebagai mani- yang sudah dipublikasikan. Selain itu efektifi-
festasi dari status epileptikus nonkonvulsif, tasnya masih belum dapat dibuktikan karena
sangat suiit dibedakan secara klinis dari HFS. pada umumnya terkendala oleh efek samping
Informasi yang mungkin dapat berguna untuk utamanya, yaitu sedasi kuat.
membedakan keduanya adalah pada epilepsi
fokal, kontraksi involunter hilang saat tidur Tindakan operatif yang paling sering dilaku-
serta berespons dengan obat-obatan an- kan adalah dekompresi mikrovaskular, yaitu
tiepilepsi, EEG kadang dapat memberikan tindakan memisahkan pembuluh darah (ar-
informasi tambahan untuk menegakkan di­ teri/vena) yang menekan nervus. Tindakan
agnosis. Gerakan mioklonik otot-otot fasialis ini mempunyai angka keberhasilan yang
pada penyaldt Whipple biasanya bilateral dan tinggi (90%), walaupun dengan tingkat reku-
rensi yang juga cukup tinggi (20%). Selain itu
ritmik.
dekompresi merupakan tindakan yang cukup
Regenerasi aberrant pascacedera N. Fasialis invasif dengan komplikasi pascatindakan yang
atau sinkinesia pascaparalisis berbeda tidak jarang terjadi (gangguan pendengaran,
dari HFS, karena pada umumnya gerakan cedera serebelum, dan kebocoran cairan sere-
sinkinesia selalu dipicu oleh gerakan volunter brospinal). Namun risiko ini dapat diminimal-
(misal kontraksi Mm. Orbikularis okuli saat isir dengan memanfaatkan teknologi intra­
gerakan membuka mulut secara volunter). operative evoked potential monitoring.
Selain itu, sinkinesia ini tidak terjadi pada
BoNT merupakan terapi standar untuk HFS
saat istirahat. Pemeriksaan neurofisiologis
dan telah mengurangi kebutuhan tindakan

141
Buku Ajar Neurologi

operatif secara bermakna. BoNT merupa- Injeksi pada wajah bagian atas umumnya
kan neurotoksin paten yang menghambat culoip untuk mengurangi spasme otot wajah
pelepasan asetilkolin di taut sinaps (synaptic bagian bawah. Namun BoNT juga dapat diin­
junction ) dan menyebabkan kemodenervasi jeksikan pada otot-otot wajah bagian bawah
lokal yang bersifat reversibel. Setelah (Mm. Orbikularis oris, Mm. Levator angularis,
diinjeksikan, BoNT akan dipecah oleh tripsin Mm. Depressor anguli oris, dan Mm. Bucci­
menjadi komponen rantai tunggal dan nator) bila masih ada spasme yang cukup
rantai ganda. Komponen rantai ganda akan berat. Perlu diingat bahwa injeksi BoNT
berikatan dengan protein vesikel sinaptik 2, pada otot-otot bagian bawah wajah umum­
trisialogangliosid lb , dan sinaptotagmin-1. nya tidak ditoleransi oleh pasien karena
Adapun rantai tunggal akan berikatan akan menyebabkan kelumpuhan dan distorsi
dengan kompleks SNARE serta memecah ekspresi wajah. Dosis toksin botulinum yang
protein SNAP-25 dan sinaptobrevin-2 untuk diberikan berbeda-berbeda, tergantung pada
mencegah eksositosis neurotransmiter dari tempat injeksi (Tabel 1)
terminal presinaptik, yang menyebabkan
Simbol bintang dan segitiga menunjukkan
paralisis otot-otot pascasinaps.
lokasi penyuntikan toksin botulinum. Pada
BoNT serotipe A merupakan jenis yang paling kasus blefarospasme, dilakukan penyuntikan
banyak digunakan. Beberapa studi kasus pada kedua daerah periokular (tanda segitiga).
kontrol besar menunjukkan efektifitasnya Pada kasus hemifasial spasme penyuntikan
mencapai 76-100% . Oleh karena aman dan dilakukan pada satu sisi muka yang mengalami
berefektifitas tinggi, BoNT merupakan pilihan gangguan yaitu 6 suntikan periokular dan 2-3
pertama terapi simtomatik untuk HFS primer. suntikan perioral (tanda bintang)
Penggunaan BoNT-A juga dapat mengurangi
Sebagian respons terhadap injeksi BoNT
nyeri kepala yang disebabkan oleh HFS.
bergantung pada dosisnya ( dose-depen­
BoNT tipe A diinjeksikan secara subkutan dent ■}. Pada umumnya efek baru terasa
pada Mm, Orbikularis okuli atau otot-otot 3 -6 hari pascainjeksi, bertahan rerata
wajah bagian bawah. Toksin diencerkan ter- selama 2,8 bulan. Yanni dkk melaporkan
lebih dahulu hingga mencapai konsentrasi te- hasil yang serupa, pasien HFS dengan
rendah untuk meminimalisasi difusi, kemudi- skala Jankovic derajat 2 memperlihatkan
an diinjeksikan (menggunakan jarum no. 30) perbaikan derajat spasme yang signifi-
di beberapa tempat (4-6 tempat) pada Mm. kan sampai bulan ke-3, sementara pasien
Orbikularis okuli bagian palpebral dan orbital, dengan derajat 1 memperlihatkan perbaikan
paling banyak di ujung regio pretarsal. Pe- sampai bulan ke-2. Efek sampingyangbersifat
milihan area yang diinjeksi tergantung dari transien terjadi pada 20% kasus, termasuk
Minis otot-otot yang terlibat, dan pada umum- ptosis, paresis otot-otot wajah ringan, lebam,
nya direkomendasikan menggunakan dosis dan lebih jarang terjadi diplopia, produksi
rendah (Gambar4). air mata yang berlebihan, dan sakit kepala.

142
Hemifasial Spasme

Blefarospasm e

Gambar 4. Lokasi Injeksi Toksin Botulinum pada Blefarospasme dan Hemifasial Spasme
Simbol bintang dan segitiga menunjukkan lokasi penyuntikan toksin botulinum. Pada kasus blefarospasme,
dilakukan penyuntikan pada kedua daerah periokular (tandasegitiga).Pada kasus hemifasialspasme penyuntikan
dtlakukan pada satu sisi wajah yang mengalami gangguan yaitu 6 suntikan periolailar (tanda segitiga di sekitar mata
kanan) dan 2-3 suntikan perioral (tanda bintang di wajah kanan)

Tabel 1. Dosis Injeksi Toksin Botulinum


Lokasi Injeksi Dosis
M. Frontalis 6 -8 unit
M, Procerus 5 unit
Kelopak mata atas (M. Orbikularis okuli), injeksi di kedua sisi 2 unit tiap sisi
Kelopak mata bawah (M. Orbikularis okuli), injeksi di kedua sisi 2 unit tiap sisi
M. Kantus lateral 4-6 unit
M. Zigomatikus major 2 unit
M. Masseter. inieksi di kedua sisi Total 25 unit
Sumber: Singh S. Indian J Plas Surg. 2013. h. 159-60.

143
Buku Ajar Neurologi

Umumnya penderita HFS jarang mengalami riwayat keluhan serupa di keluarga ataupun
remisi spontan, sehingga memerlukan in- adanya keluhan kelemahanpadaekstremitas,
jeksi lanjutan selama bertahun-tahun. Efek- keganasan, Bell's palsy , atau sakit kepala
tifitas dan keamanan BoNT jangka panjang sebelumnya. Terdapat riwayat hipertensi
telah dilaporkan oleh Defazio dkk yang sejak 2 tahun yang lalu, 140-150/90mmHg,
diukur berdasarkan rerata respons, rerata berobat dengan herbal.
durasi respons, sertadosisyangtidakberubah
selama 10 tahun pertama. Angka efek sun- Pertanyaan:
tikan lokal (termasuk ptosis, kelemahan otot 1. Apakah diagnosis pada pasien tersebut?
wajah, dan diplopia) berlcurang drastis dalam
a. Stroke iskemik cabang arteri serebri
10 tahun pertama ini, namun injeksi tetap
anterior
harus diulang setiap 3-6 bulan.
b. Stroke iskemik cabang arteri serebri
Toleransi dapat terjadi pada beberapa kasus, media
tetapi jarang terjadi, Injeksi yang berulang kali c. Miastenia gravis
dapat menyebabkan atrofi otot, sehingga me­ d. Bell's palsy kanan
merlukan injeksi di sisi kontralateral untuk e. Hemifasial spasme
alasan kosmetik. Walaupun jumlah studi RCT Jawaban: e.
tentang BoNT untuk terapi HFS masih subop- 2. Apa yang menjadi dasar diagnosisnya?
timal, BoNT masih tetap dianggap sebagai pen-
a. Mulut mencong dan gangguan berbicara
gobatan paling efektif untuk HFS dengan efek
b. Mata kiri yang terlihat lebih kecil dari-
sampingyang minimal (Kelas II dan Kelas III}.
pada kanan
c. Kedutan yang melibatkan satu sisi wajah
CONTOH KASUS
d. Riwayat hipertensi
Seorang wanita 43 tahun, guru SMA swasta,
e. Riwayat Bell's Palsy sebelumnya disangkal.
datang dengan keluhan mulut mencong dan
Jawaban: c.
mata kiri yang terlihat lebih kecil dibandingkan
mata kanannya. Keluhan mulai dirasakan sejak 3. Pemeriksaan penunjang yang paling
10 bulan yang lalu berupa kedutan di sudut penting dilakukan adalah:
mata kiri, kadang timbul saat pasien sedang a. CT scan kepala dengan kontras
mengajar di kelas. Lama-kelamaan, kedutan b. MRI dan MRA kepala
lebih sering dan selalu muncul pada setiap ak- c. Pemeriksaan refleks kedip
tivitas fisik, ringan maupun berat, tanpa atau d. Pemeriksaan EMG otot-otot wajah
disertai tingkat stres maupun kecemasan ber- e. Pemeriksaan repetitive nerve stimulation
lebih. Dua bulan terakhir kedutan semakin me- Jawaban: b.
luas sampai ke pipi dan bibir yang semakin be­
rat, sehingga menyebabkan mata tertutup dan DAFTARPUSTAKA
mulut mencong, serta bicara sering terganggu. 1. Abbruzzese G, Berardelli A, Defazio G. Hemifacial
spasm. Dalam: Stefan H, Theodore WH, editor Hand­
Pasien menjadi malu untuk mengajar book of clinical neurology. 2012;100:675-9.
maupun bersosialisasi. Pasien menyangkal 2. Nilsen B, Le KD, and Dietrichs E. Prevalence of

144
Hemifasial Spasme

hemifacial spasm in Oslo, Norway, Neurology. study. Neurology. 2000;54(53:1198-200G.


2004;63(8):1532~3. 17. Colosimo C, Bologna M, Lamberti S, Avanzino L, Mari­
3. Lu AY, Yeung JT, Gerrard JL, Michaelides EM, Sekula nelli L, Fabrini G, dkk. A comparative study of pri­
RF, Bulsara KR Hemifacial spasm and neurovas­ mary and secondary hemifacial spasm. Arch Neurol.
cular compression. The Scientific World Journal. 2006;63(3):441-4.
2014;2014:349319:l-7. 18. Felicio AC, De-Godeiro C, Borges V, De-Azedevo SSM,
4. Miwa H, Mizuno Y, Kondo T. Familial hemifacial Ferraz HB. Young onset hemifacial spasm in patient
spasm: report of cases and review of literature. J with Chiari type 1 malformation. Parkinsonism Relat
Neurol Sci. 2002;193(2):97-102. disord 2008:14(l}:66-8.
5. Han IB, Kim NK, Huh R, Shin DA, Moon JY, Park 19. Kamiguchi H, Ohira T, Ochiai M, Kawase T. Com­
HM, and Chung SS. The role of genetic factors in puted tomographic analysis of hemifacial spasm:
the development of hemifacial spasm: preliminary narrowing of the psoterior fossa as a possible fa­
results. Dalam: Chiu WT, Kao MC, Hung CC, editor. cilitating factor for neurovascular compression. J
Reconstructive neurosurgery. New York: Springer Neurol Neurosurg Psychiatry, 1997;62(5):532-4,
Wien New York; 2008, h. 107-10. 20. Nielsen VK. Electrophysiology of the facial nerve
6. Evidente VGH and Adler CH. Hemifacial spasm in hemifacial spasm: ectopic/ephaptic exccitation.
and other craniofacial movement disorders. Mayo Muscle Nerve. 1985;8(7):545-55.
Clinic Proceedings, 1998;73(1):67-71. 21. Pawlowsld M, Gess B, Evers S. The Babinslty-2 sign in
7. Sekula RF, Bhatia S, Frederickson AM, Jannetta PJ, hemifacial spasm. Mov Disord. 2013;28(9]:1298-300.
Quigley MR, Small GA, dkk. Utility of intraoperative 22. lijima K, Horiguchi K, Yoshimoto Y. Microvascular
electromyography in microvascular decompression decompression of the root emerging zone for
for hemifacial spasm: a meta-analysis. Neurosurg hemifacial spasm: evaluation by fusion magnetic
Focus. 20G9;27(4):E10. resonance imaging and technical considerations,
8. Barker FG 2nd, Jannetta PJ, Bissonette DJ, Shields PT, Acta Neurochir (Wien), 2013:155 (5):855-62.
and Larkins MV. Microvascular decompression for 23. Perren F Magistris MR Is hemifacial spasm accompa­
hemifacial spasm. J Neurosurg. 1995;82(2):201-10. nied by hemodynamic changes detectable by ultra­
9. WangA, JankovicJ. Hemifacial spasm: clinical findings sound? Acta Neurochir (Wien). 2014;156(8):1557-60,
and treatment Muscle Nerve. 1998;21(12):1740-7. 24. Husni A, Suiyamiharja A, Ahmad B, Purwasama-
10. Colosimo C, Bologna M, Lamberti S, Avanzino L, tra DPG, Akbar M, Tumewah R, dkk, penyunting.
Marinelli 3, Fabrini G, dkk. A comparative study of pri­ Spasme hemifacial. Dalam: Buku panduan tatal-
mary and secondary hemifacial spasm. Arch Neurol. aksana penyakit parkinson dan gangguan gerak
2006;63(3):441-4. lainnya kelompok studi gangguan gerak Perhim-
11. Sindou MR Icrovascular decompression for pri­ punan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Edisi ke-
mary hemifacial spasm, importance of intraopera­ 1. Depok: Desantra Utama; 2013. h. 156-63.
tive neurophysiological monitoring. Acta Neurochir. 25. Esquenazi A, Albanese A, Chancellor MB. Evidence-
2005:147(103:1019-26. based review and assessment of botulinum neuro­
12. Park JS, Kong DS, Lee JA, and Park K. Hemifacial spasm: toxin for the treatment ofadult spasticity in the upper
neurocascular compressive patterns and surgical sig­ motor neuron syndrome. Toxicon. 2013;67:115-28,
nificance. Acta Neurochir (Wien). 2008;150(3):235-41. 26. Aoki KR, Smith LA, Atassi MZ. Mode of action
13. Campos-Benitez M, Kaufmann AM. Neurovascular of botulinum neurotoxins: Current vaccination
compression findings in heifacial spasm, J Neuro­ strategies and molecular imune recognition. Grit
surg. 2008;109(3]:416-20. Rev Immunol. 2010;30:167-87.
14. Yaltho TC, Jancovic J. The many faces of hemifacial 27. Lim EC, SeetRC. Use of botulinum toxin in the neu­
spasm: differential diagnosis of unilateral facial rology clinic. Nat Rev Neurol. 2 0 10;6(ll):624-36.
spasms. Mov Disord. 2011;26(9):1582-92. 28. Peeraully T, Tan SF, Fook-Chong SM, Prakash KM,
15. Defazio G, Martino D, Aniello MS, Masi G, Logrosci- Tan EK. Headache in hemifacial spasm patients.
no G, Manobianca G, dkk. Influence of age on the Acta Neurol Scand. 2013;127(5):e.24-7.
association between primary hemifacial spasm 29. Yanni, Ong PA, Gunadharma S. Efikasi dan kualitas
and arterial hypertension. J Neurol Neurosurg hidup pasien spasme himifasial dengan suntikan
Psychiatry. 2003;74(7):979-81. toksin botulinum tipe A. Neurona. 2010;27(2).
16. Defazio G, Berardelli A, Abbruzzese G, Coviello V, De- 30. Singh S. Botulinum toxin in hemifacial spasm:
Salvia R, Federico F, dltk. Primary hemifacial spasm revisited. Indian J Plas Surg. 2013;46(l):159-60.
and arterial hypertension: a multicenter case control

145
NEUROBEHAVIOR
N e u ro b e h a v io r Dasar dan Pemeriksaannya
Afasia
M ild Cognitive Im pairm en t
Demensia
NEUROBEHAVIOR DASAR DAN PEMERIKSAANNYA

Adre Mayza, Diatri Nari Lastri

PENDAHULUAN Oleh karena itu, diperlukan pedoman peme-


Fungsi kognitif merupakan modal utama riksaan gangguan fungsi kognitif sebagai acuan
manusia dalam aktivitas kehidupan sehari- dalam melakukan pemerilcsaan fungsi kogni­
hari. Fungsi ini terbagi menjadi lima ranah tif. Diharapkan gangguan fungsi kognitif dapat
[domain) besar, yaitu atensi, memori, visuo- dikenal secara lebih dini [early detection), se­
spasial, bahasa, dan fungsi eksekutif, yang hingga penatalaksanaannya dapat dilakukan
tidak dapat berdiri sendiri melainkan saling lebih terarah untuk hasil yang lebih baik
berhubungan. Penurunan dan gangguan
fungsi kognitif dapat terjadi karena ke- EPIDEMIOLOGI
rusakan struktur dan fungsi otak disebab- Menurut data Riset Kesehatan Dasar (RIS-
kan oleh bertambahnya usia, faktor-faktor KESDAS] 2013 sebanyak 61,7% pasien
risiko yang terjadi sepanjang kehidupan, pascastroke mengalami penurunan fungsi
seperti penyakit hipertensi, diabetes, disli- kognitif. Terjadinya transisi epidemiologi di
pidemia, gangguan gizi, penyakit pembuluh Indonesia dan bertambahnya usia harapan
darah otak (otak, jantung, ginjal, dan lain], hidup dari 65 tahun menjadi 75 tahun diser-
dan penyakit autoimun. tai tidak terkendalinya faktor-faktor risiko
penyakit tidak menular, seperti metabolik,
Kemajuan perkembangan teknologi pen-
kardiovaskular, dan serebrovaskular akan
citraan di bidang neurologi banyak memberi-
meningkatkan penyakit neurodegeneratif
kan kontribusi untuk menjelaskan hubungan
nondemensia di masa yang akan datang.
gangguan fungsi kognitif dengan struktur dan
fungsi otak [brain behaviour interrelationship] Oleh karena itu, diperlukan pedoman
sehingga penegakan diagnostik gangguan pemeriksaan gangguan fungsi kognitif se­
fungsi otak dapat dilakukan dengan lebih te- bagai acuan untuk melakukan pemeriksaan
pat dan cepat. Demikian pula penemuan neu- fungsi kognitif agar penegakan diagnostik
rosains dengan teori plastisitas memberikan gangguan fungsi kognitif dapat dilakukan
harapan baru untuk melakukan intervensi dengan lebih tepat. Dengan adanya buku
non-invasif (neurorestoratif) pada penurunan pedoman ini diharapkan dokter umum dan
dan gangguan fungsi kognitif untuk memper- dokter spesialis dapat bekerjasama melaku­
baiki gangguan fungsi kognitif khususnya aki- kan penilaian gangguan fungsi kognitif di
bat kerusakan otak. berbagai tingkat layanan kesehatan (primer,
sekunder dan tersier].

149
Baku Ajar Neurologi

Gambar 1. Eagan Pembagian Memori


Dimodifikasi dari: Hodges JR, Cognitive assessment for clinicians. 1995. h. 6

MEMORI {working memory), yaitu memori yang


Memori didefinisikan sebagai proses peng- bertanggung jawab untuk mengingat
ambilan, penyimpanan, dan pemunculan kembali hal-hal kecil terkait verbal mau-
kembali informasi yang telah terekam se- pun spasial. Hal ini menyebabkan pada
saat atau dalam waktu yang lama. Secara memori jangka pendek, komponen aten-
garis besar, memori terbagi berdasarkan si akan lebih banyak berperan daripada
durasi tersimpannya informasi menjadi komponen lainnya.
memori jangka pendek {short-term m em o­
Pada praktek klinis, lebih banyak digu-
ry) dan memori jangka panjang {long-term
nakan pembagian memori anterograd,
memory). Adapun klasifikasi memori di tiap
untuk proses memperoleh informasi
kepustakaan dapat berbeda-beda, antara
baru, serta memori retrograd, untuk pe­
lain menurut Hodges [Gambar 1).
manggilan kembali informasi yang telah
1. Memori Jangka Pendelt ada sebelumnya. Kedua komponen ini
Memori jangka pendek disebut sebagai dapat mengalami gangguan tersendiri.
memori primer. Informasi pada memo­
2. Memori Jangka Panjang
ri ini memiliki durasi singkat dengan
Memori jangka panjang disebut sebagai
kapasitas yang terbatas. Istilah "memori
memori sekunder. Informasi yang telah
jangka pendek" pada klinis adalah meng-
tersimpan dalam area penyimpanan di
ingat atau pemanggilan kembali infor­
otak secara permanen dan memiliki kapa­
masi baru yang diterima dalam jangka
sitas yang tidak terbatas. Hal ini memung-
pendek, dalam 5 sampai 30 menithingga
kinkan informasi dalam memori jangka
beberapa hari.
panjang dapat tetap diingat, walaupun
Memori jangka pendek memiliki mak- telah beberapa menit bahkan tahun
na yang sama dengan memori kerja setelah informasi tersebut didapatkan.

150
Neurobehavior Dasar dan Pemerilcsaannya

Memori jangka panjang dapat dibedakan telah tersimpan yang didapat dari:
berdasarkan prosesnya, yaitu memori
Kebiasaan (habit), merupakan pro­
deklaratif dan memori nondeldaratif.
ses pembeiajaran tanpa disadari se­
a. Memori deklaratif cara berulang dalam aktivitas sehari-
Merupakan memori yang diperoleh hari dan sudah menjadi pola yang
dari pembeiajaran deklaratif, Pembe- terotomatisasi.
lajaran ini merupakan basis penge-
Priming , merupakan pemanggilan
tahuan seseorang yang menyiratkan
kembali yang akurat berdasarkan po-
kesadaran dan kemampuan untuk
tongan informasi parsial atau informasi
melaporkan sesuatu secara eksplisit,
yang disajifen sebelumnya, tanpa indi-
yang didapatkan berdasarkan fakta
vidu menyadarinya.
dan peristiwa. Kedua subsistem yang
termasuk dalam memori deklaratif, Contoh:
yaitu: Jika Anda memberi seseorang daf-
tar kata yang mencakup kata kursi
Memori episodik: suatu kapasitas
(ichair ) dan setelahnya didiamkan,
belajar pemanggilan kembali ( recall )
kemudian ditampilkan stimulus kata
pengalaman pribadi dan suatu ke-
"ch_", orang tersebut lebih senang
jadian spesifik yang ditandai dalam
untuk mengatakan “chair" daripada
waktu dan tempat.
mengatakan “chain" atau kata lain
Contoh: mengingat kembali percakapan yang akan cocok dalam susunan,
yang terjadi di pagi hari atau mengenai meskipun ia mungkin tidak ingat per-
liburan tahun lalu. nah melihat kata "chain" tersebut.
Memori semantik; merupakan recall Pembeiajaran prosedural, meru­
kosakata yang terkait dengan penge- pakan memori yang didapat berdasar­
tahuan umum (nama orang, tempat, kan latihan atau pembeiajaran secara
benda), fakta, dan konsep, termasuk prosedural yang berulang-ulang. In-
kata-kata dan maknanya. Memori ini dividu dengan gangguan memori be-
umumnya diperoleh pada usia dini, rat dapat belajar untuk melakukan
namun terus berlanjut dan berkem- beberapa keterampilan, tanpa harus
bang seumur hidup. mengingat saat pelatihannya. Con-
tohnya keterampilan mengendarai
Contoh: mengetahui arti feta 'perime­
mobil, memainkan musik, dan seb-
ter*, ibu kota Perancis, titik didih air, atau
againya.
mampu mengenali burung kecil ber-
wama kuning sebagai burung kenari.
A. Neuroanatomi
b. Memori nondeklaratif Memori, seperti halnya atensi, meru­
Memori nondeklaratif disebut juga pakan sebuah sistem yang terbentuk dari
memori implisit (prosedural), suatu gabungan beberapa subsistem yang saling
pemanggilan kembali ingatan yang berkaitan. Beberapa subsistem ini mem-

151
Buku Ajar Neurologi

bentuk tahapan-tahapan memori dimulai beberapa jaras, termasuk forniks dan gi­
dari atensi, pengkodean [encoding), pe- rus singulata. Bersama-sama memben-
nyimpanan (storage), dan pemanggilan tuk sistem limbik, yang kadang dikenal
kembali (retrieval). Pada setiap tahapan, pula dengan sirk u it Papez (Gambar 2).
terdapat substrat neuroanatomi yang
Secara tradisional, hipokampus diang-
terkait dan akan saling memengaruhi ke-
gap sebagai komponen utama sistem
mampuan memori seseorang.
memori. Sistem ini menerima aferen dan
Struktur yang berperan penting dalam mengirimnya ke area asosiasi sensorik,
memori episodik adalah temporal media seperti visual, auditorik, dan somatosen-
(hipokampus, girus parahipokampus, sorik. Sirkuit internal dari hipokampus
dan korteks entorinal), diensefalon yang juga bekerja terhadap input dari girus
mengelilingi ventrikel ketiga (korpus dentata melalui jalur perforantes; girus
mamilare, nukleus anterior dan dorso- dentata lalu memproyeksikan ke zona
medial talamus, serta jaras penghubung), CA3, lalu ke CA1; yang akan di lanjutkan
dan nukleus pada basal forebrain (nukle­ ke subikulum, yang mengirimkan sinyal
us septal, diagonal band, dan nukleus ba- eferen kembali ke area asosiasi dan ke
salis). Area penting ini dihubungkan oleh badan mamilari melalui forniks.

Gftnus

152
Neurobehavior Dasar dan Pemerii<saannya

Kerusakan dimanapun pada sistem C. Pemeriksaan Gangguan Memori


limbik dapat menghasilkan gangguan Dalam menilai gangguan memori, ada be-
memori, namun hal ini dapat terjadi sub- berapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
klinis dan bersifat "material-spesific". Con- 1. Penilaian Gangguan Memori An­
tohnya reseksi area hipokampus kiri akan te rograd/Retrograd Episodik
menyebabkan gangguan memori verbal. Perlu dipastikan ada tidaknya gang­
Sedangkan reseksi dari hipokampus sisi guan memori anterograd, karena bila
kanan akan menyebabkan gangguan terjadi gangguan tersebut berarti
memori nonverbal, contohnya informasi pasien tidak dapat mengingat informa-
spasial dan fungsi mengenali wajah, yang si-informasi baru dan terjadi hambatan
mungkin tidak tampak bila tidak dilaku- dalam proses komunikasi. Penting juga
kan asesmen yang mendalam. Kerusakan dicatat bahwa pasien tidak mengalami
bilateral kepada baik regio temporal me­ gangguan pemusatan perhatian.
dial dan atau diensefalon, bagaimanapun
akan menghasilkan sindrom amnesia Instrumen yang digunakan:
baik materi verbal ataupun nonverbal. a. Anterograd verbal (auditorik]
Gangguan memori ini dapat di-
B. Gangguan Memori lakukan dengan meminta pasien
Gangguan memori disebut sebagai am­ untuk mengingat nama dan ala-
nesia. Gangguan ini didefinisikan dengan mat, mengingat secara insidentil
kalimat yang berbeda-beda oleh pasien percakapan sebelumnya, per-
maupun pendamping. Pada sindrom am­ jalanan menuju ke RS, kejadian
nesia, pasien hanya terbatas dengan gang­ di bangsal, dan sebagainya. Tes
guan memori murni, sementara fungsi formal dapat dilakukan dengan
intelektual global lainnya masih baik. Ter- mengingat cerita dan daftar kata
dapat pula gangguan jenis memori lain [restricted reminding) (Tabel 2).
berdasarkan neuroanatomi yang berkai-
tan (Tabel 1).

Tabel 1. Gangguan Memori


Jenis Gangguan Substrat Neural yang berkaitan
'V-'jiPsil
Episodik Sulit mengingat pengalaman pribadi dan kejadian spesifik Sistem limbik
yang ditandai dalam waktu dan tempat
Semantik Sulit mengingat pengetahuan umum (nama orang, tempat, Neokorteks temporal
benda), fakta, dan konsep, termasuk kata-kata dan maknanya.
Umumnya diperoleh pada usia dini, berlanjut dan berkem-
bang seumur hidup.

Prosedural * Keterampilan motorik (menyetir, memainkan alat musik) Ganglia basal


* Priming Korteks serebri

153
Buku Ajar Neurologi

Tabel 2. Tes Mengingat Daftar Kata (R estricted Rem inding)


Tanggal:
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Baju © 0 0 0 0 9 0 9 0 0 0 0

Pakaian © 0 0 0 0 0 9 0 0 9 0 9

Mantel 9 0 0 0 9 0 0 0 9 0 9 0

Topi o 9 0 9 0 0 0 9 0 0 0 9

Sepatu 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9 0 9

Rok 9 0 0 0 0 0 0 0 9 0 9 0

Sarung tangan o 9 0 0 0 0 0 9 0 0 0 9

Ikat pinggang G 0 9 0 9 0 9 0 0 0 0 0

Sepatu bot 0 9 0 9 0 9 0 0 0 0 0 0

Jaket 0 9 0 9 0 0 0 9 0 9 0 9

Recall (sum) 0 0 9 0 9 0 9 O 0 0 0 0

Recall without Presentation 0 0 @ 9 0 9 0 0 0 0 0 0

Recall without Presentation 0 0 0 0 0 0 0 9 0 9 0 0

Long term storage (1ST) 0 0 0 0 0 0 0 0 9 0 9 0

List learning
(Consistent LTR) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9 0 6
Random LTR 9 0 0 0 0 0 0 0 9 0 9 0

Gambar 3. Rey-O sterrieth Com plex F igu re Test

b. Anterograd nonverbal [visual) tang bulan, tahun, kejadian yang cu-


® Mempelajari rute kup terkenal, seperti peristiwa olah
• Mengingat wajah raga terbaru, pemilihan umum, atau
® Tes formal: tes Inga tan Mengenali ingatan mengenai orang jauh atau
[wajah), Rey-Osterrieth complex diri sendiri. Memori ini disebut juga
figure test [ROCFT) [Gambar 3). sebagai remote memory.

c. Retrograd Pemeriksaannya dapat dengan me-


Memori retrograd dapat diperiksa nanyakan identitas pribadi tempat
dengan pertanyaan sistematis ten- lahir, informasi sekolah, riwayat

154
' Neurobehavior Dasar dan Pemerilisaannya

pekerjaan, informasi keluarga, dan bilan kembali dari storage (retrieval),


sebagainya. Remote memory juga da-
3. Penilaian Gangguan Memori Seman-
pat diperiksa dengan menanyakan
tik atau Memori Episodik
sejarah yang umum diketahui seperti
Gangguan memori semantik terkait
dua nama presiden, atau kapan pe-
penamaan orang-orang tertentu, tempat
rang terakhir.
dan benda, sedangkan gangguan memori
2. Penilaian Gangguan pada Tahapan episodik adalah gangguan kegiatan prib-
Memori (Atensi, Encoding, Storage, adi dari informasi yang didapatkan sebe-
R etrieval, Recall) lum pemeriksaan.
Gangguan pada tahapan memori dapat
4. Penilaian Gangguan Memori Deklara-
diperiksa dengan skrining yang sudah
tif atau Memori Nondeklaratif
banyak digunakan, diantaranya dengan
Penderita gangguan memori nondeklara­
Mini Mental State Examination (MMSE;
tif tidak dapat mengingat aktivitas sehari-
Gambar 4], Montreal Cognitive Assess­
harinya, sedangkan pada gangguan memo­
ment versi Indonesia (MoCA-Ina] khu-
ri deklaratifmasih dapat mengekspresikan
susnya untuk memori delayed dan re­
pengetahuan-pengetahuannya mengenai
call (Gambar 5), atau menggunakan
hal yang baru ataupun hal lampau, atau
pemeriksaan yang dikembangkan oleh
salah satunya. Penilaiannya menggunak­
Consortium to Establish A Registry fo r Al­
an instrumen indeks Katz.
zheimer's Disease (CERAD) untuk meni-
lai penyimpanan [storage) dan pengam-

155
Baku Ajar Neurologi

Nama Pasien :
Tgl Lahir :
Tgl pemeriksaan :

ORIENTASI 1. Tanggal .............


I, Jawab pertanyaan 1 -1 0 2. Hari .............
3. Bulan .............
4. Tahun .............
5. Musim .............
6. Ruangan (klinik, lantai) .............
7. Rumah Sakit .............
8. Kota .............
9. Propinsi .............
10. Negara .............
II. REGISTRASI (Immediate 11. Bola .............
Recall) 12. Melati .............
(mengingat 3 kata: 11-13) 13. Kursi .............
III. ATENSI/Kalkulasi (Serial 100- 14. 93 U .............
7 atau sebuturutan huruf dari 15. 86 Y .............
belakang kata WAHYU) 16. 79 H .............
17. 72 A .............
18. 65 W .............
IV. REKOL (Delayed recall) 19. Bola .............
(Mengingat kembali 11-13) 20. Melati
21. Kursi .............
V. BAHASA
penyebutan 22. Jam tangan (arloji) .............
23. Pensil
pengulangan 24. Namun, tanpa dan bila .............
pengertian verbal 25. Ambil kertas ini dengan .............
(perintah kalimat 25-27) 26. tangan kanan .............
27. Lipatlah menjadi dua dan .............
membaca + pengertian 28. Letakan di lantai .............
bahasa tulisan Tutup mata anda
menulis 29. (Tulis kalimat lengkap) .............
VI. KONSTRUKSI 30. Tiru gambar ini .............

TUTUP MATAANDA / \ C )
C \ Total Skor:

K /
0
Gambar 4. Mini-Mental State Examination (MMSE)

156
Neurobehavior Dasar dan Pemeriksaamya

NAMA:
MONTREAL COGNITIVE ASSESMENT-Vcrsi Indonesia (MoCA-lna) Pendidikan: Tgl Lahir:
Jon. Kolamin: Tgl Pemoriksaan:
V IS U O S P A S IA U E K S E K U TIF
/ salir)
gambar
: Gambar jam {11 lebih 10 menit)
(3 poin)

4:__ /

PEN® M N

Baca kata berikut dan minta


subjek mengulanginya. lakukan 2 kati, me ski berhast!
pada percobaan ke-1. Sakukan recall setelah 5 menit

Baca daflar angka (1 angka/detik) Subjek harus menguianrji dan awal (


Subjek harus mengulangi dart balakang [

Boca cfoftar huruf. subjek harus mengetuk dengan tongannyo setiap IcafS huruf A muncul. poin no! jika £ 2 kesalahan
[ ] F BAC M NAAJ K L B A F A K D E A A A J A M O F A A B

Pengurangan berurutan dengan angka 7. Mulai darM 00 [ ] 93 [ ] 86 [ ] 79 [ ] 72 [ ] 65


4.5 hasi! benar: 3 potn, 2 atau 3 benar 2 poin; 1 benar: 1 poin, 0 benar: 0 poin ,../3
Ulangi; Wati rmmbontu saya menyapu [onto! hori ini. [ j
Ttkus berssmburtyi ell bar,'ah dlpan ke'.Ska kuclng datang. t ) ... 12.
Sebulkan sebanyok mungkin kata yang dimulai dengan huruf F [ ] ... (N 3:11 kata) ,../1
ABSTR A KSI Kemiripan antara, contoh pi sang - jeruk = buah [ ] kereta - sepeda [ ] jam tangan - penggans , ,/2
Harus mengingat kata; wajah Sutara f.taojid onggrek me rah
T AN PAPETUN JU K I I [ ] t ] ^ ^ poin untuk reca!!
petunjuk kategori tanpa petunjuk
Optional
pelunjuk pliihan ganda ...J5

ORIENTASI [ ] Tangga! Bulan |Tahun [ ] Hari ] Ternpat [ ] Kota ,../6

Normal £ 2 5 / 3 0 : Total ....730


Dilakukan oleh............. ............. ________Tambahkan 1 poin jika pend. 512 tahun

Gambar 5. M on treal Cognitive A ssessm en t Versi Indonesia (MoCA-lna)

157
Buku A jar Neurologi

ATENSI dominan. Sirkuit ini terletak di sisi


Atensi merupakan peningkatan aktivitas ke- kanan (daerah prefrontal kanan) dan
giatan otak berupa pemilahan dan kategori- sistem norepinefrin.
sasi rangsangan yang diterima. Atensi juga
B. Gangguan Atensi
didefinisikan sebagai persiapan fisiologis
Berikut ini adalah beberapa hal yang per-
untuk bertindak atau bereaksi dan proses
lu diperhatikan terkait gangguan atensi:
mempertahankan aktivitas di dalam menca-
pai sasaran. 1. Gangguan yang telah terdiagnostik,
seperti atensi yang terlalu pendek,
A. Neuroanatomi
tidak stabil, mudah teralihkan, dan
Posner dan Petersen (1990) mengemuka-
sebagian disertai hiperaktivitas, se-
kan terdapat tiga bagian sirkuit otak ma-
bagian tidak. Daya perhatian lemah
nusia yang terpisah namun saling terkait
dijumpai pada retardasi mental, de-
dalam mengontrol fungsi atensi, yaitu:
mensia, dan skizofrenia, serta tidak
1. Orientasi Atensi dalam Ruang jarang terdapat pada anak. Perkem-
Orientasi spasial tergantung pada bangan sel atensi dan penghambat
sistem atensi posterior, meliputi lo- refleks atensi tidak normal pada au­
bus parietal posterior, kolikulus su­ tism e, sehingga terjadi pengabaian
perior dan nukleus pulvinar lateral. terhadap banyak rangsangan dari
Sirkuit ini merupakan sistem atensi luar. Apabila perhatian tertarik pada
primitif yang berespons terhadap suatu tindakan, tidak segera dapat
stimulus sederhana. dialihkan.

2. Seleksi Target dan Resolusi Konfiik 2. Gangguan perhatian akibat hal lain,
Merupakan sirkuit kedua untuk pe- seperti penurunan kesadaran yang
milihan target dan resolusi konfiik. timbul di dalam serangan-serangan
Sirkuit ini diolah di daerah anterior pada epilepsi dan pada gangguan
otak (girus cinguli anterior dan area emosional berat.
motoriktambahan). Inti nukleus me-
C. Pemeriksaan Atensi
mainkan peran dalam menganalisis
Kemampuan untuk memelihara perha­
informasi yang diterima dan memilih
tian dan memahami peristiwa yang te-
apa yang akan diteruskan untuk
ngah terjadi dapat dinilai dengan peme­
peng-olahan tingkat yang lebih tinggi.
riksaan:
3. K ew aspadaan/M em pertahankan
1. Substraksi 7 Berantai
Atensi
Pasien dengan kerusakan hemisfer
Adalah sirkuit ketiga yang bertujuan
ldri fokal melakukan kesalahan pengu-
menjaga kewaspadaan dengan cara
rangan berantai, namun banyak juga
mempertahankan perhatian utama
lansia normal yang melakukan ke­
dari rangsangan eksternal baru yang
salahan ini.

158
Neurobehavior Dasar dan Pemeriicsaannya

Contoh: hasil pengurangan dan pen- Teknik yang persis sama dilakukan pada
jumlahan angka (100 dikurangi 7 tes rentang digit terbalik, pasien di-
sampai 5 kali). minta untuk mengulangi angka-angka
secara terbalik. Nilai normal tes rentang
2. Tes Rentang Digit (Digit Span)
digit adalah 6±1. Seorang dewasa muda
Tes ini berupa tes rentang digit maju
cerdas diharapkan mampu melakukan
{forw ard span ) dan tes rentang digit ter-
minimal 6, sedangkan nilai 5 dapat di-
balik ( backward span). Berkurangnya ke-
anggap normal pada lansia atau individu
mampuan dalam tes ini merupakan gam-
dengan kemampuan intelektual rendah.
baran gangguan perhatian seperti yang
Jika pasien hanya mampu mengulang
ditemukan pada kondisi kebingungan
kurang dari lima digit mengindikasikan
akut {acute confusional state], demensia
gangguan atensi. Nilai normal tes ren­
sedang ke berat, dan pasien dengan lesi
tang digit terbalik biasanya lebih rendah
hemisfer kiri fokal.
1 poin dibanding tes rentang digit maju.
Hasil pemeriksaan yang adekuat menun-
D, Diagnosis Banding
jukkan pasien mampu memperhatikan
Sindrom klinis yang menggambarkan
stimulus verbal dan mempertahankan
gangguan atensi ialah acute confusional
atensi untuk periode waktu tertentu de­
state , yang juga sering disebut sebagai
ngan cara mengulang beberapa digit.
sindrom psikiatrik organik akut atau de­
Pada pasien afasia, pemeriksaan tidak
lirium. Namun pada delirium, kesadaran
dapat dilakukan jika terdapat gangguan
berkabut merupakan tanda yang utama
modalitas pemahaman dan pengulangan.
dibandingkan gangguan atensi.
Katakan kepada pasien, "Saya akan me-
nyebutkan beberapa angka, dengarkan VISUOSPASIAL
baik-baik. Jika saya selesai, sebutkan Kemampuan visuospasial didefinisikan
angka-angka tersebut." Bacakan setiap sebagai kemampuan pengenalan bagian-
digit dengan suara intonasi normal, satu bagian tubuh, dan kesadaran posisi tubuh
digit per satu detik. Jangan menyebutkan terhadap ruang pada kedua belahan otak.
digit dalam kelompok.
A. Neuroanatomi dan Fisiologi
Contoh rentang digit maju: Proses visual dan visuospasial melibat-
3 -7 kan banyak area di korteks dan area sub-
korteks, tergantung aspek fungsional apa
7 - 4 -9
yang terlibat. Korteks visual primer yang
8 - S-2-7 bertanggung j awab terhadap banyak
2- 9-6-S-3 fungsi visual dasar adalah lobus oksipi-
5- 7_2- 9- 4- 6 tal. Stimulus dari lapang pandang perifer
diproses oleh korteks bagian anterior
8-1-5-9-3-6-2
lobus oksipital, medial dari fisura kalka-
3- 9-8-2-5-1-4-7
rina, sedangkan stimulus pada lapang
7-2-8-S-4-6-7-3-9

159
Buku Ajar Neurologi

pandang sentral diproses oieh korteks di sepsi visual, atau yang dikenal. Sistem
korteks visual bagian posterior. Bagian "What" juga dimulai dari korteks vi­
otak yang berkaitan langsung dengan ke- sual primer (VI) dan diproyeksikan
jadian pengabaian tubuh ( body neglect) menuju V2 dan V3 ke V4 dan berjalan
adalah lobus frontal. Sementara itu, ke- di bagian ventral dan inferior terhadap
jadian pengabaian yang berhubungan lobus temporal inferior dan posterior.
dengan lingkungan/sparia/ neglect [en­
2. Sistem “W here”
vironment-centered neglect) berkaitan
Sistem “Where" (atau dorsal stream)
langsung dengan lesi pada lobus parietal.
merupakan sistem untuk mengenali
Prosesi pemrosesan stimulus visual, infor- letak stimulus. Sistem ini dimulai di
masi yang ditangkap oleh retina dihantar- lobus oksipital melibatkan korteks vi­
kan melalui nervus optikus secara lang­ sual primer (area V I) menuju V2 dan
sung ke korteks visual primer atau korpus V3 terproyeksi menuju area middle
genikulatum lateral. Sebagai tambahan, se- temporal (MT) dan berjalan di bagian
bagian informasi visual diproyeksikan ke dorsal dan superior terhadap area
kolikulus superior yang dapat membantu medial superior dan lobus parietal.
orientasi visual terhadap pergerakan di
Proses visuokonstruksi dan gerakan
dalam lapang pandang tersebut.
kompleks telah diidentifikasi melibat­
Secara garis besar proses visual dibagi kan sistem superior temporal sulcus
menjadi dua sistem, yaitu (Gambar 6): (STS) yang berjalan lateral dari korteks
oksipital primer (area VI), lateral dari
1. Sistem “W h at’
sulkus temporal superior yang melibat­
Disebut juga ventral stream , meru-
kan girus temporal superior.
pakan sistem untuk memproses per-

Korteks parietal

Gambar 6. Proses Visual “DorsalStream" dan “Ventral Streams” pada Korteks Serebri
KMT: middle temporal; STS: sulcus temporalis superior

160
Neurobehavior Dasar dan Pemerifaaannya

B. Gangguan Visuospasial b. Neglect dyslexia dan neglect dysgraphia


Gangguan visuospasial meliputi fenomena Keadaan mengabaikan situasi pada area
pengabaian {neglect), didefmisikan sebagai tertentu berkaitan dengan kerusakan
kesulitan untuk bereaksi, dan mengalihkan hemisfer otak kanan. Disleksia abai
orientasi menuju stimulus barn atau stimu­ dapat dinilai dengan membaca teks yang
lus bermakna. Stimulus baru atau stimulus terdiri dari barisan kata-kata. Pasien
bermakna tersebut berasal dari lesi kon- dengan kelainan ini akan menghilang-
tralateral (sisi yang berseberangan dengan kan bagian inisial (kiri] dari setiap baris,
gangguan]. Fenomena ini terdiri dari peng­ sehingga mengangap teks tersebut ti­
abaian personal dan ekstrapersonal. Peng­ dak ada artinya sama sekali. Sebaliknya
abaian personal berkaitan dengan satu dalam tulisan, pasien menulis pada ba­
bagian tubuh dengan bagian tubuh yang gian kanan halaman, dan sering mem-
lainnya, sedangkan pengabaian ekstraper- buat batas yang semakin melebar.
sonal berhubungan dengan posisi tubuh
c. Pemeriksaan kemampuan konstruksional
terhadap lingkungan di seldtamya.
Kemampuan konstruksi (kemampuan
C. Pemeriksaan Gangguan Visuospasial persepsi] lebih sering ditemukan pada
Sebelum melakukan pemeriksaan sebaik- pasien dengan profesi yang membu-
nya pemeriksa sudah mengenal gambaran tuhkan kemampuan khusus dalam hal
Minis gangguan visuospasial. Pasien tidak konstruksi (arsitek, pembuat model ma-
boleh mengalami gangguan sensorik, taktil, ket) dengan keluhan berupa kesulitan
visual maupun pendengaran. Oleh karena menggambar dalam sudut pandang tiga
itu perlu dilakukan pemeriksaan pada se- dimensi, yang mengindikasikan adanya
tiap modalitas tersebut, misalnya dengan gangguan parietal kanan. Penurunan ke­
sentuhan, penglihatan, dan pendengaran mampuan dalam hal merakit benda atau
satu sisi tubuh secara bergantian. Selanjut- kehilangan kemampuan menggambar
nya dibedakan antara gangguan personal dapat mengindikasikan adanya patologi
atau ekstrapersonal secara terarah dengan pada sisi kanan.
menggunakan instrumen-instrumen ter- Mendeteksi gangguan kemampuan kon­
tentu, yaitu: struksi yang terbaik adalah dengan meng-
1. Pemeriksaan Pengabaian [N eglect} ajak pasien untuk menyalin gambar 3
Ekstrapersonal dimensi, seperti kubus, atau bentuk 2 di­
a. Apraksia berpakaian {dressing apraxia ) mensi yang kompleks, seperti segilima
Gangguan pada kemampuan berpakaian yang saling terkait yang merupakan ba­
secara mandiri, disebut juga dressing gian dari MMSE. Pasien dengan gang­
apraxia, biasanya merefleksikan gangguan guan kemampuan konstrksi yang cukup
visuo-spasial yang kompleks. Gerakan ber­ berat masih dapat menyalin bentuk yang
pakaian melibatkan keselarasan bagian lebih sederhana, seperti pada Gambar 7.
tubuh dan rotasi mental yang bergantung
pada hemisfer nondominan.

161
Buku Ajar Neurologi

Gambar 7. Salinan Gambar Pasien dengan Lesi Otak Kanan


Menunjukkan kemampuan menyalin gambar sederhana tetapi tidak mampu untuk menyalin kubus 3 Dimensi.

Gambar 8.1 lustrasi Contoh Salinan Rey-Osterrieth Complex Figure Test pada Kondisi Gangguan
Kemampuan Konstruksi
[a] Salinan normal; [b) ringan; (c) sedang; [d) berat

Direkomendasikan menggunakan ROCFT bat ( delayed) terhadap gambar, biasanya


untuk tes yang lebih ketat dan kuantitatif, setelah 30-40 menit, juga dapat digunakan
karena salinan gambar pasien dapat di- sebagai sebuah ukuran memori nonverbal.
berikan skor nilai dengan menggunakan
d. Kemampuan visuopersepsi kompleks
kriteria standar (Gambar 8). Ingatan lam-
Jika pasien tidak mampu mengenali obyek

162
Neurobehavior Dasar dan Pemeriksaannya

yang sederhana atau gambar mesldpun ket- asosiatif ditandai dengan adanya ketidak-
ajaman visual baik dan kemampuan bahasa mampuan dalam identifikasi visual, dan
utuh, patut diduga merupakan satu bentuk biasanya pada pengetahuan terhadap
agnosia visual yang terdiri dan agnosia vi­ benda serta penamaan benda melalui sen-
sual aperseptif dan agnosia visual asosiatif. tuhan.
Pemeriksaannya dapat dilakukan dengan
f. Prosopagnosia
cara meminta pasien mendeskripsi obyek-
Prosopagnosia adalah hilangnya kemam­
obyek yang disajikan secara visual, menco-
puan deskipsi, pengenalan, dan penco-
cokkan benda dalam susunan-susunan, me-
cokan wajah. Pemeriksaan yang dapat
nyalin gambar obyek, mencocokkan obyek,
dilakukan, antara lain memberikan
menanyakan pengetahuan lisan tentang
potongan-potongan wajah orang-orang
benda-benda, atau menamai sebuah benda
yang pernah dikenal. Biasanya pada
dengan cara menyentuh {tactile naming).
gangguan klasik akan terdapat retensi
Uji formal yang dapat digunakan adalah
pengetahuan mengenai orang-orang ter-
Visual Object and Space Perception (VOSP)
kenal, teman, dan kerabat, terlepas dari
Battery.
ketidakmampuannya untuk menyebut-
e. Agnosia benda visual kan nama mereka berdasarkan foto.
Defisit dalam pengenalan obyek/benda
g. Menyalin bebas gambar representasional
dan wajah sulit dinilai secara bedside tanpa
Jika pasien diminta untuk menyalin se­
material-material uji khusus, tetapi de­
buah susunan benda (misalnya, rumah,
ngan melakukan tugas-tugas sederhana
pohon, dan seorang pria) mereka menye-
disertai petunjuk berikut, dapat dicurigai
lesaikan hanya setengah dari setiap item
adanya agnosia. Terdapat dua bentuk ag­
(lihat Gambar 9). Fenomena ini disebut
nosia visual, yaitu aperseptif dan asosiatif.
sebagai pengabaian yang berpusat pada
Pada agnosia aperseptif, terdapat gangguan
benda {object-centered neglect). Kelain-
dalam mendeskripsikan gambar obyektif
an ini menunjukkan bahwa defisit bukan
(relatif), identifikasi visual, menyalin gam­
berupa pengabaian secara umum pada
bar garis, dan mencocokan benda, tetapi
ruang kiri, melainkan kerusakan/defek
kemampuan pengetahuannya akan suatu
khusus dalam menyusun kembali/me-
benda dan penamaan benda melalui sen-
rekonstruksi representasi internal dari
tuhan. Gangguan yang terjadi pada agnosia
obyek-obyek individual.

Hustrasi salinan gambar pasien pengabaian terhadap tiga item dalam sebuah susunan tunggal

163
Buku Ajar Neurologi

h. Orientasi spasial (kemampuan orientasi tidurnya, misalnya dengan mengajak


ruang) pasien berbicara dari sisi kiri tempat ti­
Merupakan disorientasi topografi, mera- durnya. Harus dibedakan antara pasien
sa asing pada lingkungan yang familiar, mengalami pengabaian hemispasial murni
biasanya merupakan bagian dari gejala atau hemianopia murni atau kombinasi
demensia. Hal ini dapat pula mengindi- keduanya. Cara membedakannya dapat
kasikan adanya patologi pada hemisfer dilihat dari posisi kepala dan mata pasien
dekstra yang bersifat fokal Hal ini dapat dengan infark pada arteri serebri media
pula terjadi akibat kurangnya memori kanan akan mengalami deviasi ke kiri
spasial atau ketidakmampuan menge- tanpa berusaha melakukan koreksi.
nali landmark.
2. Pemeriksaan Pengabaian Personal
Pemeriksaan orientasi visospasial dapat Gangguan personal terkadang disebut
juga dilakukan dengan behavioral inatten­ juga sebagai gangguan body schem e yang
tion test (BIT). Pemeriksaan ini menilai didefinisikan sebagai gangguan repre-
kemampuan pasien dalam mengerjakan sentasi hubungan spasial antar bagian
kegiatan sehari-hari yang berkaitan de­ tubuh seseorang. Fungsi ini dibentukoleh
ngan kemampuan visual. Subtes pemer­ integrasi dari proprioseptif, talctil dan
iksaan ini terdiri dari subtes tertulis line tekanan. Body scheme menjadi sebuah
crossing (tes Albert), letter cancelation , pondasi dalam pembentukan persepsi
star cancelation, meniru bentuk dan ban- seseorang terhadap posisi dan hubung­
gun yang diambil dari bagian pemerik­ an antara anggota tubuh satu dengan
saan MMSE, MoCA, dan CERAD, represen­ lainnya. Dalam keadaan intak, fungsi ini
tational drawing, dan line bisection; serta membantu tubuh dalam mengenali ma-
subtes perilaku yang terdiri atas memutar sukan sensori spasial yang kemudian
nomor telepon, membaca menu, mem- akan memicu tubuh untuk menimbulkan
baca artikel, membaca dan mengatur jam gerakan yang bertujuan, Berikut adalah
(clock drawing test), mengelompokkan beberapa gangguan dan pemeriksaan
koin, menyalin alamat dan kalimat, navi- yang digunakan untuk mendiagnosisnya:
gasi, mengelompokkan kartu, dan alter-
a. Somatognosia
na ting sim ultaneous stimuli,
Manifestasi klinis yang dapat dilihat
i. Pengabaian hemispasial ( hem ispatial adalah adanya kesulitan menggunakan
neglect) salah satu sisi alat gerak yang kontrala-
Pasien dengan gangguan ini, akan men- teral dengan lesi, kesulitan dalam mem-
galami kesulitan dalam menyadari ke- bedakan sisi kanan dan kiri, serta tidak
beradaan benda, kata, atau kalimat yang dapat menunjukkan struktur tubuh yang
berada pada lapang pandang kiri. Peme­ diminta baik pada tubuhnya ataupun tu­
riksaan keadaan ini dilakukan dengan buh pemeriksa. Pasien melihat tubuhnya
cara observasi sikap pasien pada saat dalam keadaan terdistorsi.
dilakukan pemeriksaan di sisi tempat

164
Neurobehavior Dasar dan Pemetiicsaannya

Somatognosia dapat dibagi menjadi dua, intak jika mampu meniru seluruh
yaitu m ikrosom atognosia dan m akro- gerakan pemeriksa dalam jangka
som atognosia. Pasien mikrosomatogno­ waktu yang telah ditentukan oleh
sia akan mempersepsikan bagian tubuh pemeriksa.
kontraiateral lesi atau, pada sebagian
® Visualisasi tubuh dan konsep spasial
kasus, seluruh tubuhnya menjadi sangat
Pertanyaan yang diajukan oleh
kecil, sedangkan makrosomatognosia se-
pemeriksa adalah pertanyaan-per-
baiiknya.
tanyaan yang berhubungan dengan
Pemeriksaan somatognosia: posisi bagian tubuh satu terhadap ba­
® Menunjuk bagian tubuh sesuai de- gian tubuh lainnya, seperti:
ngan perintah verbal
"Apakah kaki Anda berada di bawah
Pada pemeriksaan ini, pemeriksa akan
perut Anda?"
meminta pasien menunjuk bagian
tubuhnya sendiri, pada tubuh peme­ "Manakah yang lebih jauh dari hidung
Anda, kaki atau perut Anda?"
riksa, pada replika tubuh manusia,
dan pada puzzle tubuh manusia yang "Apakah mulut Anda berada diatas
telah disediakan sesuai dengan nama mata Anda?", dan sebagainya.
bagian tubuh yang disebutkan oleh Pasien dinyatakan tidak memiliki
pemeriksa. gangguan (intak) jika dapat menjawab
Hasil dari pemeriksaan ini dibagi men­ semua pertanyaan dengan benar (seki-
jadi tidakterganggu [intak] dantergang- tar 14-15 pertanyaan) selama waktu
gu. Pasien dinyatakan tidak mengalami yang telah ditentukan oleh pemeriksa.
somatognosia jika dapat menunjukkan Pasien dengan afasia tidak dianjurkan
seluruh bagian tubuh yang diperin- untuk dilakukan pemeriksaan ini.
tahkan pemeriksa dengan tepat dalam b. Anosognosia
jangka waktu yang telah ditentukan oleh Pasien dengan anosognosia akan me-
pemeriksa (disertai dengan hasil intak nyangkal ada gangguan/penyakit atau
dari 4 pemeriksaan lain). merasa tidak peduli. Pasien tidak mam­
® Menunjuk bagian tubuh sesuai de­ pu membentuk gambaran realita yang
konsisten dari kondisi tubuhnya. Ke-
ngan perintah nonverbal
Pemeriksa akan memberikan aba-aba banyakan pasien juga mempunyai visual
untuk mengikuti gerakannya dalam neglect. Penyangkalan dapat berbentuk
menunjuk bagian tubuh yang akan ia suatu pengalaman yang dibuat secara
tunjuk pada tubuhnya. Proses ini di- imajiner oleh pasien dan pasien akan
sangat teguh untuk percaya hal itu wa-
lakukan pada enam hingga sepuluh
laupun telah diberikan demonstrasi ber-
bagian tubuh.
ulang pada gangguan yang dideritanya
Hasil yang didapatkan adalah intak [disability).
atau tidak intak. Pasien dinyatakan

165
Buku Ajar Neurologi

Tidak ada pemeriksaan spesifik terstan- ditori), atau pun perabaan (taktil), yaitu:
darisasi untuk pemeriksaan anosogno- ® Pengabaian visual (visual neglect)
sia. Pemeriksaan anosognosia kurang Pemeriksaan pada pengabaian visual
Iebih sama dengan pemeriksaan penu- dapat dilakukan dengan pemeriksaan
runan kesadaran [decreased awareness) penglihatan dikotik. Pemeriksaan ini
pada fungsi eksekutif, yang meliputi satu dilakukan dengan cara menunjukkan
bagian yang ditujukan untuk penurunan dua benda yang masing-masing be-
kesadaraan akan sensorik dan motorik. rada pada sisi lapang pandang kanan
c. Pengabaian sensori (sensory neglect) dan kiri selama beberapa saat dengan
Pengabaian sensori biasa terjadi pada menggunakan sebuah kinetoskop.
pasien dengan tingkat gangguan peng­ Pada lesi di hemisfer kanan, pasien
abaian yang tinggi. Pasien ini akan cen- akan mengatakan ia melihat gambar
derung mengabaikan rangsang sensori yang terletak pada sisi lapang pan­
yang diberikan pada sisi tubuh yang dia- dang kiri dan dapat menggambar-
baikan, Iebih sering ditemukan pada sisi kannya. Ketika diperlihatkan gambar
tubuh sebelah kiri. hanya pada sisi lapang pandang kiri,
pasien tidak mampu mengatakan apa
Pengabaian ini dapatberupa pengabaian yang dilihatnya, tetapi dapat meng-
penglihatan (visual), pendengaran (au- gambarkannya (Gambar 10).

Gambar 10. Skema Gangguan Visuospasial

166
Neurobehavior Dasar dan Pemeriltsaannya

© Pengabaian auditori [auditory neglect) BAHASA


Seperti halnya dengan pengabaian Bahasa didefinisikan sebagai proses encod­
visual, pasien dengan pengabaian au­ ing dan decoding dari elemen-elemen se-
ditori akan merasa tidak mendengar mantik dan sintaksis yang digunakan dalam
sumber suara yang berada pada sisi memproduksi dan memahami pemikiran
kontralateral lesi. Pada pengabaian atau ide yang dimiliki seseorang.
auditori dengan lesi di hemisfer
A. Neuroanatomi
kanan, maka suara dapat didengar
oleh telinga kanan namun tidak pada Fungsi bahasa diperankan oleh kedua
telinga kiri. Jika sumber suara diper- hemisfer otak, yaitu:
dengarkan bergantian antara telinga 1. Dominasi pada Hemisfer Sinistra
kanan dan kiri, pasien akan dapat Area pada hemisfer sinistra yang me-
mendengar kedua suara tersebut miliki peran penting dalam fungsi
pemahaman dan pembentukan ba­
© Pengabaian perabaan [tactile neglect)
hasa adalah area posterior-superior
Pasien akan mengabaikan seluruh
lobus temporal (area Wernicke]. De-
rangsang taktil pada sisi kontralateral
fisit pada area ini menyebabkan gang-
lesi. Pada kasus ini, pasien mampu
guan pada proses encoding bahasa
menunjukkan benda yang menyentuh
yang digunakan untuk berbicara dan
atau disentuhnya dengan menggu-
menulis.
nakan tangan kontralateral lesi, namun
pasien tidak dapat menyebutkan nama
benda tersebut

Gambar 11. Area Utama Fungsi Bahasa


BA: Broca's area; WA: Wernicke's area; AF: arcuate fasciculus; SMG: supramarginal gyrus; AG: angular gyrus

167
Buku Ajar Neurologi

Area lain yang berperan penting adalah B. Gangguan Fungsi Berbahasa


inferior lobus frontal (area Broca) dan Gangguan fungsi berbahasa disebut afa­
area sekitarnya (Gambar 11). Lesi pada sia, Kemampuan berbahasa merupakan
daerah ini akan menyebabkan distorsi aktivitas yang kompleks melibatkan
bahasa yang digunakan, gangguan moto- banyak sirkuit-sirkuit, sehingga gang­
rik berupa suara yang terbata-bata, dan guan fungsi berbahasa yang disebut afa­
tata bahasa yang tidak sesuai. Lesi daerah sia, sangat bervariasi tergantung lokasi
ini tidak menimbulkan gangguan pada kerusakan yang didapat. Namun secara
pemahaman bahasa lisan maupun tulisan. umum gangguan tersebut akan ber-
hubungan dengan kelancaran bicara/
Kedua area ini dihubungkan oleh fasiku-
fluensi (fluency), repetisi/pengulangan,
lus arkuata. Lesi yang terjadi pada fasi-
pemahaman, dan penamaan, yang se-
kulus ini akan menimbulkan afasia kon-
lanjutnya dibahas lebih lanjut pada Bab
duksi yang umunya terjadi aldbat adanya
Afasia.
cedera pada girus supramarginal atau
area di sekitarnya. C. Pemeriksaan
Hemisfer sinistra juga berperan sebagai Secara Umum
pusat membaca, di daerah girus angu- Secara garis besar, penilaian gangguan
laris lobus parietal dan pusat menulis berbahasa dilihat dari:
di lobus parietal bersama dengan lobus
a. Artikulasi/pengucapan
frontal (kemampuan motorik menulis).
Pasien menjadi sulit mengeluarkan
Pusat ingatan terhadap benda terletak di
kata-kata atau terpatah-patah dengan
lobus parietal yang berbatasan dengan lo­
ucapan yang tidak jelas. Gangguan ini
bus oksipital meluas hingga perbatasan
terjadi pada lesi yang letaknya ante­
oksipital dengan lobus temporal. Jika ter-
rior atau hemisfer ldri dalam.
dapat lesi pada daerah ini manifestasi-
nya berupa anomia atau afasia nominal. b. Fluensi
Pada keadaan normal seharusnya
2. Hemisfer Dekstra
pseseorang dapat berbicara dua atau
Hemisfer dekstra berperan dalam fungsi
lebih frasa dengan panjang normal
bahasa, walaupun tidak dominan. Hemis­
di antara jeda. Pasien dengan bi­
fer ini bertanggung jawab dalam pemaha­
cara yang kurang lancar mempunyai
man kata-kata sederhana terutama kata
tingkat produksi istilah kata-kata
benda, tetapi tidak disertai dengan ke­
yang selalu rendah per menitnya, dan
mampuan motorik bahasa. Individu de­
hanya menghasilkan frasa pendek.
ngan kerusakan hemisfer ldri tanpa diser­
Panjang frasa seharusnya, dinilai han­
tai kerusakan hemisfer kanan akan dapat
ya setelah mendengar pembicaraan
memahami kata-kata sederhana, namun
selama beberapa menit.
tidak dapat membalas kata-kata tersebut
Fungsi prosodi juga terletak di sini, tepat- Gangguan ringan dapat dideteksi
nya di lobus temporal dan frontal. dengan pemeriksaan verbal fluency

168
' Neurobehavior Dasar dan Pemerilisaannya

test. Cara pemeriksaan adalah dengan terdapat jeda {pause) yang mengikuti
meminta pasien untuk menyebutkan pembicaraan yang bertele-tele. Misal:
nama binatang sebanyak-banyaknya "hal yang anda tubs di kertas dengan_".
dalam 1 menit. Catat jumlah binatang
f. Garis melodik (prosodi)
yang disebutkan berupa jawaban
Gangguan pada prosodi sering meng-
benar dan jawaban parafasik. Indivi-
iringi artikulasi pengucapan yang
du normal dapat menyebutkan nama
buruk dan menurunnya kelancaran
1 8 -2 2 nama binatang dalam 1 menit
bicara. Pasien berbicara dengan me-
dengan standar deviasi 5-7 . Untuk
maksa, canggung, dan tidak mampu
usia <69 tahun menyebutkan 20±4,5
menjaga bentuk melodisnya. Gangguan
nama, usia 7 0 -7 9 tahun dapat me­
prosodi emosional (misal, modulasi su-
nyebutkan 17±2,8 nama, dan usia >80
ara, nada, dan titinada yang digunakan
tahun dapat menyebutkan 15,5±4,8
untuk mengekspresikan kondisi emo­
nama binatang.
sional) dapat terjadi pada kerusakan
c. Bentuk sintaktik (gramatikal) hemisfer kanan.
Saat pasien berbicara, perlu diperha-
Secara Khusus
tikan kesesuaian dengan tata bahasa
Gangguan berbahasa secara khusus berkai­
aslinya. Pembicaraan tanpa memerha-
tan dengan kerusakan pada struktur otak
tikan tata bahasa (agrammatis) adalah
tertentu dan diagnostik gangguan yang di-
pembicaraan yang disederhanakan,
dapat sesuai dengan:
karena kekurangan kata-kata grammatis
(pelafalan, preposisi, dan lain-lain) dan a. Fluensi
mengandung kesalahan tensis. Agram- Hal ini menunjukkan kerusakan berada
matisme berkaitan erat dengan bahasa pada anterior atau posterior dari fisura
nonfluen. sylvii. Ketidakfasihan bahasa yang dimak-
sudkan adalah bicara menjadi lambat,
d. Kesalahan parafasik
nada bicara menjadi tidak normal, dan
Pasien dapat mengalami kesalahan peng-
artikulasi menjadi tidak jelas. Gangguan
gantian kata {word subtitution). Kesala­
jenis ini berkaitan dengan kerusakan pada
han tersebut dapat berasal dari bunyi
fisura sylvii anterior.
(parafasia fonemik) seperti "kursi" dise­
butkan "kudri" atau "fena" pada "pena". b. Repetisi
Atau kesalahannya bisa berupa makna Gangguan ini disebabkan oleh kerusakan
(parafasia verbal), yaitu mengganti arti daerah perisilvian atau disebut sebagai
sebuah kata dengan kata yang mempu- 'zona bahasa'. Gangguan lanjut terjadi
nyai konotasi sama, misalnya "bangku" jika kerusakan mengenai arteri serebri
disebutkan "meja", atau "garpu” disebut­ media, dan menyertakan bagian sekitar
kan "sendok". dari fisura sylvii yang mencakup area
Broca pada sisi anterior, Wernicke pada
e. Penemuan kata {word finding)
sisi posterior, dan fasikulus arkuatus di-
Pada gangguan ini, pembicaraan pasien
antaranya. Ketika pasien tidak menga-

169
Buku Ajar Neurologi

lami gangguan pada fungsi repetisinya, Pasien dengan gangguan pemahaman


tetapi mengalami gangguan pada fungsi umumnya masih dapat melakukan perin-
bicara spontan, dap at dikatakan bahwa tah sederhana, seperti 'tutup mata anda','
kerusakan tidak mengenai bagian-ba- buka mulut anda', dan 'berdiri'. Belum
gian bahasa tersebut, dan diperkirakan diketahui dengan jelas penjelasan terha­
berada di luar area perisylvian. dap respons yang masih bagus tersebut.

Repetisi harus diuji dengan serangkaian Pemeriksaan lain yang lebih kompleks
kata dan kalimat dengan kompleksitas adalah menguji tiga bagian yang sulit,
yang semakin meningkat. Paling baik contohnya, "(1] Sentuh telinga kiri anda
dimulai dengan kata-kata tunggal pendek. dengan (2) jari telunjuk kanan anda, lalu
kemudian dilanjutkan ke kata-kata de­ (3] sentuh tangan saya". Pasien dengan
ngan banyak suku kata, lalu akhirnya ke gangguan pemahaman ringan masih
kalimat-kalimat. dapat melakukan instruksi yang seder­
hana, namun tidak dapat mengikuti in­
c. Pemahaman/komprehensi {com prehen­
struksi yang lebih kompleks. Sementara
sion)
pasien dengan gangguan pemahaman
Secara Minis dapat dilihat pasien den­
yang lebih berat tidak dapat mengikuti
gan gangguan pada tingkat pemahaman
instruksi yang sederhana.
kata dan kalimat, dengan yang tidak ter-
dapat gangguan. Pasien dengan gang­ ® Pemahaman terhadap kata tunggal
guan tingkat pemahaman, berkaitan Dengan menggunakan benda-benda
dengan kerusakan pada lobus temporal, yang ditemui sehari-hari yang biasa
tepatnya pada area Wernicke. Gangguan dimasukkan ke dalam saku (contoh,
pemahaman bahasa sering mempenga- koin, pena, jam, kunci, dan lain-lain]
ruhi pasien dalam bertatabahasa atau dan benda-benda di bangsal atau klinik
sintaks. Hal ini teridentifikasi pertama (ranjang, kursi, meja, bunga, dan lain-
kali pada saat pasien melakukan sebuah lain], pasien diminta untuk menunjuk-
instruksi yang rumit dan saat berusaha kannya satu per satu secara bergiliran.
mengikuti percakapan dalam kelompok. Jangan lupa untuk menggunakan spek-
trum dari benda-benda tersebut yang
Umumnya kemampuan pemahaman
berbeda familiaritasnya dan bagian-
pada pasien afasia terutama didasari
bagian dari benda, karena kemam­
pemahaman mereka terhadap percakap­
puan memahami selalu terpengaruh
an yang tidak berstruktur. Percakapan
oleh variabel ini. Penderita afasik berat
bebas biasa disertai dengan isyarat
mungkin mampu menunjukkan benda
gerak tubuh, mimik wajah, dan proso-
yang umum namun tidak mampu pada
dik [nada suara], Penderita afasia yang
benda yang tidak umum.
lancar seringkali merespons sesuai awal
pembicaraan pembuka ('Apa kabar hari © Pemahaman terhadap kalimat [sintaktik]
ini?'], walaupun memiliki masalah pema­ Tes ini dapat dengan mudah dilakukan
haman yang berat dengan menggunakan sekelompok

170
Neurobehavior Dasar dan Pemeriltsaannya

tiga buah benda yang umum ada di - “Apa nama lapisan keras yang me-
saku. Setelah dipastikan bahwa pasien lin-dungi hewan seperti siput dan
dapat memahami nama benda-benda kura-kura?"
tersebut, tes pemahaman dimulai
menggunakan kisaran sebuah struk- Tes formal yang dapat dilakukan dianta-
tur sintaktik, seperti: ranya uji token, yaitu pasien harus mengi-
kuti perintah yang kerumitan sintaktiknya
- "Letakkan pena di atas jam !”
semakin meningkat Selain itu juga ada uji
- "Sentuh jam dengan pena!” Peabody picture vocabulary, suatu uji pen-
- "Sentuh kunci dan kemudian pena!" cocokan gambar-kata pada pemahaman
- "Sentuhlah pena sebelum me- kata tunggal.
nyentuh kunci!" d. Penamaan
- "Sentuh pena, namun jangan sentuh Kemampuan untuk menyebutkan nama
kunci!" obyek dengan benar atau menggam-
- "Letakkan pena diantara jam dan barkan obyek yang disebutkan akan
kunci!" terganggu pada hampir seluruh pasien
dengan afasia dalam tingkatan yang ber-
- "Ambil jam dan berikan saya
beda-beda. Benda-benda yang memiliki
pena!"
kemiripan yang beragam harus digunakan
- "Sentuhlah tidak hanya pena, na^ karena afasik adalah hal umum terjadi dan
mun juga kunci!" dan sebagainya. menunjukkan efek frekuensi yang jelas.
® Pemahaman konseptual Pasien cenderung menunjukkan kesalahan
Ini dapat diuji dengan mengguna­ menamai/menyebut benda-benda ber-
kan sekelompok benda di saku yang frekuensi rendah (kurang familiar]. Hal
sama dengan uji sebelumnya, dengan ini dapat dinilai menggunakan benda-
menanyakan pertanyaan-pertanyaan benda yang umum ditemui sehari-hari.
berikut:
Harus diingat bahwa identifikasi akurat
- "Tunjuk ke arah benda yang benda-benda yang nampak secara visual
menunjukkan berjalannya waktu!" juga tergantung pada proses persepsial
- "Sentuh benda yang digunakan yang utuh. Terdapat sejumlah tes formal
untukmenulis!" yang mudah dilakukan dalam mengukur
Atau pertanyaan-pertanyaan lain kemampuan penamaan, termasuk Graded
yang serupa berdasarkan konsep, Naming Test dan Boston Naming Test
yaitu: e. Membaca
- "Apa yang Anda sebut debu abu- Berkurangnya minat baca di waktu seng-
abu yang tersisa setelah meng- gang dapat mengindikasikan adanya
hisap rokok?" disleksia ringan, tetapi gangguan memori
- "Apa nama burung yang terbang tetap harus dipikirkan. Gangguan mem­
pada malam hari dan memekik?" baca dapat terjadi paralel dengan gang-

171
Baku Ajar Neurologi

guan berbicara, pada cedera hemisfer baca normal. Berbagai jenis disleksia
dominan. Beberapa kasus dapat diser- telah dikenal, terdiri dari aleksia murni
tai aleksia murni. Manifestasi gangguan [membaca huruf demi huruf), neglect
membaca sangat jelas dan hampir selalu dyslexia, dan disleksia sentral.
disertai sindrom lokal berupa hemiano-
® Identifikasi huruf
pia dekstra, gangguan persepsi warna,
Kesalahan-kesalahan dalam mem­
dan gangguan memori verbal.
baca huruf tunggal dan strategi dalam
Kebanyakan contoh menyebutkan ke- kesusahan menyebut huruf dengan
mampuan membaca sejalan dengan ke- benar (membaca huruf demi huruf),
mampuan bahasa dalam berucap, namun terkadang terbantu dengan melacak
terkadang aleksia dapat terjadi bersama sketsa huruf dengan jari, menunjuk-
dengan agrafia, tanpa defisit afasik lainnya. kan aleksia murni.
Lebih jarang, dapat terjadi aleksia tanpa
® Jenis kesalahan membaca
agrafia atau aleksia murni. Membaca
Kesalahan-kesalahan yang terbatas
dengan keras maupun membaca dengan
pada bagian awal kata terjadi pada
memahami isi bacaan sama-sama penting,
neglect dyslexia (tidak membaca atau
namun harus hati-hati dalam membeda-
salah membaca 1-2 huruf pertama
kannya. Gagal memahami biasanya diiringi
sebuah kata, misal: 'dan' dibaca 'ban',
dengan pembacaan keras (reading aloud )
'malam' menjadi 'alam', 'mulut' menjadi
yang kurang benar. Walaupun demikian,
'lutut') akibat sekunder dari kerusakan
banyak pasien yang tidak dapat membaca
hemisfer kanan. Membaca sebuah kata
lantang dengan benar, tetapi mengerti isi
sebagai sesuatu yang lain terkait kon-
bacaan dengan baik.
septual, namun bukan merupakan kata
Pasien yang berhasil membaca kata yang bunyinya tidak berkaitan (misal,
dan lcalimat, juga harus dinilai kapasi- aksi dan kerja, kakak dan paman, saat
tas membaca dan memahami paragraf dan kesem-patan). Untuk disleksia
pendeknya. Membaca seksama yang dalam, kesalah-an penglihatan san­
simpel dapat diuji dengan menuliskan gat sering terjadi (misal, 'stock' pada
sebuah perintah, seperti "tutup mata ‘shock1, ‘crowd 'pada ‘crown', dll).
Anda” atau "letakkan tangan di atas ke-
® Membaca kata umum/lazim/reguler
pala Anda jika Anda berusia di atas enam
versus eksepsional/tidak lazim/tidak
puluh tahun.” Memahami bacaan dalam
umum
bentuk yang lebih rumit dapat diuji de­
Kesulitan membaca kata-kata terten-
ngan meminta pasien untuk membaca
tu yang tidak mematuhi aturan bu-
sebuah paragraf di koran, kemudian di-
nyi bentuk huruf dalam bahasa Inggris
tanyakan tentang isi paragraf tersebut.
disebut 'kata talc lazim'. Adanya kecen-
Setelah ditemukan permasalahan dalam derungan kesalahan kebiasaan kata
membaca, selanjutnya ditentukan aspek (misal, pint bersajak mint) merupakan
yang telah terganggu pada proses mem­ tanda past! disleksia permukaan.

172
Neurobehavior Dasar dan Pemeriltsaannya

• Membaca nonkata jalanan yang ditempuh atau deskripsi


Pasien dengan disleksia, mengalami tentang rumah mereka. Gangguan dalam
gangguan pada rute membaca yang merangkai huruf, mengeja, dan kom-
berakar dari bunyi, tidak mampu posisi gramatikalnya harusnya sudah
membaca non-kata yang masih terba- tampak. Jika kesalahan terjadi, maka
ca (misal: nek, glem, minth, deak, dan diperlukan analisis terhadap adanya
lain-lain). Terdapat defisit lain pada kemungkinan defisit yang lebih spesi-
disleksia dalam, tetapi pada disleksia fik. Di sisi lain banyak pasien disgrafia
fonologis, satu-satunya permasalahan berat yang masih memiliki kemampuan
utama adalah dengan membaca kata- untuk menuliskan nama mereka sendiri,
kata yang tidak mempunyai arti ini. karena dapat dianggap hampir sebagai
sebuah aktivitas refleks otomatis.
f. Menulis
Jika terdapat gangguan dalam menulis, Menulis mengikuti dikte. Untuk nie-
perlu digali apakah kesulitan pada ke­ nganalisis jenis defisit linguistik dalam
rnampu an mengeja kata-kata atau pada menulis, sebaiknya dibuatkan daftar kata-
kemampuan pengendalian motorik ke- kata dengan penyesuaian bunyi, pengejaan
tika menulis. Gangguan pada kemam­ yang biasa, dan kata-kata dengan peng­
puan membaca dan menulis tidak selalu ejaan yang tidak biasa.
menunjukkan adanya gangguan pada
Rengejaan_lisaiL Jika gangguan dalam
hemisfer dominan. Gangguan lain se-
menulis tampaknya bersifat motorik,
perti disleksia abai, perlu dipikirkan jika
(huruf tidak terbaca jelas), hendaknya
tidak ditemukan gangguan pada aspek
memeriksa pengejaan secara lisan, Hal
bahasa lain.
ini dapat terjadi pada disfraksia dan
Kemampuan menulis dapat dianalisis agrafia abai (neglect agraphia}.^
melalui manual menulis, mengingat ka­
g. Berbicara spontan
ta-kata dan huruf individu, serta kompo-
Analisis bicara spontan merupakan as­
sisi kalimat. Terdapat tiga jenis disgrafia
pek yang paling penting dalam peme-
utama yang telah dikenal, yaitu disgrafia
riksaan bahasa untuk pengelompokkan
disfraksis, disgrafia spasial atau neglect/
afasia. Penilaian dilakukan setelah men-
acuh (acuh terhadap kata dan baris], dan
dengar selamabeberapa menit percakapan
disgrafia sentral (linguistik): permukaan
spontan dan setelah meminta pasien untuk
(leksikal), fonologis, dan dalam. Jenis
menggambarkan sebuah pemandangan
gangguan menulis biasanya dapat dike-
yang rumit. Harus diingat bahwa analisis ini
tahui dengan menulis spontan, mengi-
jauh lebih siap diterapkan pada afasia yang
kuti dikte, dan pengejaan lisan.
dialdbatkan stroke dan lesi-lesi fokal lain-
Menulis spontan. Untuk mendeteksi nya dibandingkan dengan afasia yang
disgrafia, pasien diminta menyusun be- terlihat pada pasien dengan penyakit
berapa kalimat mengenai sesuatu yang otak degeneratif.
mereka suka atau sarankan tentang per-

173
Buku Ajar Neurologi

FUNGSI EKSEKUTIF pada lobus frontal bagian medial.


Fungsi eksekutif berkaitan dengan kemam-
B. Gangguan Fungsi Eksekutif dan
puan kognitif yang lebih kompleks. Secara
Pemeriksaannya
sederhana, Funahashi menyimpulkan bah-
1. Inisiasi
wa fungsi eksekutif merupakan gabungan
Kemampuan inisiasi yang dimaksud
berbagai proses perilaku yang memiliki tu-
mencakup inisiatif untuk memulai per-
juanyang jelas.
cakapan, kegiatan, atau pun melakukan
Fungsi eksekutif adalah sistem yang diregu- tugas yang diembannya.
lasi dan dikontroi oleh dirinya sendiri dalam
a. Observasi klinis dan analisis akti-
mengatur perilaku seseorang dan terdiri
vitas pasien
atas kemampuan perencanaan, pengambil-
Secara umum pemeriksaan ini di-
an keputusan, menentukan tujuan utama,
lakukan dengan melihat performa
penahanan diri, pengawasan diri, evalu-
pasien dalam melakukan kegiatan-
asi diri, penyelesaian masalah serta inisiasi,
kegiatan yang berbeda. Beberapa
dan kesadaran diri. Manifestasi gangguan
hal penting yang perlu diingat
eksekutif terlihat berupa kesulitan dalam
dalam observasi pasien dengan
menjalankan hal-hal yang berkaitan dengan
gangguan fungsi inisiasi, antara lain:
komponen-komponen tersebut.
® Apakah terdapat gangguan kepriba-
A, Neuroanatomi
dian: pasien cenderung tampak da-
Fungsi eksekutif diketahui memiliki
tar atau sering melamun, atau pasien
hubungan dengan struktur korteks pre­
cenderung meledak-ledak?
frontal. Hal ini tampak pada pasien de­
• Apakah pasien cenderung pasif baik
ngan gangguan pada struktur korteks
prefrontal akan mengalami gangguan terhadap aktivitas-aktivitas di seki-
tarnya maupun dalam merespons
dalam hal pengambilan keputusan, mem-
bedakan benar dan salah, pengorganisa- pertanyaan atau masukan dari luar?
sian, dan perencanaan. Dampaknya lebih ® Apakah pasien masih dapat melaku­
lanjut terdapat pada gangguan perilaku kan kegiatan sehari-hari?
yang tidak dapat dikendalikan dan penu- ® Aktivitas seperti apa yang dapat
runan tingkat intelektualitas. Selain pasien lakukan sendiri tanpa bantuan
korteks prefrontal, terdapat struktur lain supervisi baik tertulis maupun lisan?
yang membentang dari korteks frontal • Apakah pasien menyadari bahwa ia
hingga struktur striatal melewati talamus memiliki gangguan inisiasi? Bagaima-
dan globus palidus yang disebut sebagai na respons pasien ketika informasi
sirkuit kortikostriatal. Bagian otak yang ini sampai padanya?
berperan dalam proses inisiasi adalah ba­
® Apakah terdapat gangguan atensi
gian mediosagital dari frontal, terutama
atau memori pada pasien saat ini?
pada girus singulata dan area motorik, se-
dangkan pusat pengendali insiasi berada b. Pemeriksaan khusus gangguan
inisiasi

174
Neurobehavior Dasardan Pemeriltsaannya

® Kelancaran huruf (F, A, S) nye-lesaian-masalah [problem-solving]


Pasien akan diminta untuk untuk dan uji hipotesis. Pasien diminta me-
menghasilkan sebanyak mungkin milih kartu yang berisi bentuk geome-
kata, kecuali nama orang atau tempat tris yang berbeda jumlah, bentuk, dan
dalam satu menit. Huruf awal yang warnanya. Setelah menarik kesimpulan
paling sering digunakan adalah F, A, dimensi pilihan yang benar, pasien ke-
dan S. Pasien muda yang normal ha- mudian diminta untuk beralih ke dimensi
rus menghasilkan sekurangnya 15 lain (contoh, dari warna ke bentuk) pada
kata untuk setiap hurufnya. Jumlah beberapa kesempatan. Pasien dengan lesi
total pada F, A, S yang kurang dari 30 frontal tidak mampu untuk beralih dari
kata dianggap tidak normal, namun satu kriteria penyeleksian ke kriteria lain-
sejumlah keringanan bisa dipertim- nya, dan membuat kesalahan-kesalahan
bangkan mengenai usia dan latar be- perseveratif (sering dan banyak),
lakang intelektualitas.
b. Membuat j ejak/jalur/tra/7 [trail making test)
• Kelancaran menyebutkan nama he- Pengukuran kuantitatif terhadap pera-
wan, buah-buahan, dan sayur-sayuran lihan perhatian [attention-shifting] dan
Pasien akan diminta untuk menye­ respons-cegah [response-inhibition]. Ter-
butkan sebanyak mungkin contoh dapat dua bagian, A dan B, Bagian A meng-
dari kategori semantik seperti he- haruskan pasien menggambar garis yang
wan, buah-buahan, sayur-sayuran, menghubungkan angka secara berurutan
dan lain-lain. Untuk kategori hewan, (1 -2 -3 , dan seterusnya) dari sejumlah
dewasa muda normalnya menghasil­ angka yang tersebar secara acak. Hampir
kan lebih dari 20 item dalam satu me­ sama dengan bagian A, bagian B meru­
nit, 15 adalah batas bawah rata-rata, pakan subtes yang mengharuskan pasien
dan 10 sudah pasti ada gangguan. menghubungkan angka dan huruf secara
Kemampuan menurun sesuai dengan berurutan (1-A -2-B , dan seterusnya)
pertambahan usia dan untuk lansia dari sejumlah angka dan huruf yang terle-
yang sangat tua, angka 10 mungkin tak secara acak. Kemampuan ini dipenga-
masih bisa dimaklumi. ruhi oleh kecerdasan dan usia.
2. Set-shifting 3. Kalkulasi
Merupakan kemampuan untuk beralih Kesulitan dalam menulis, membaca, dan
dari satu modalitas kognitif ke yang lain memahami angka, disebut akalkulia.
dan mencegah respons yang tidak sesuai, Gangguan ini harus dibedakan dari an-
Pemeriksaan tidak mudah diuji bedside. aritmetria yaitu, pasien tidak mampu
Berikut ini adalah beberapa instrumen melakukan perhitungan aritmatika, na­
untuk pemeriksaan set-shifting: mun penomoran dasar masih baik. An-
aritmetria paling sering terjadi terkait
a. Wisconsin card sorting test
afasia, keduanya bisa saja berkaitan.
Pemeriksaan ini juga melibatkan pe-

175
Baku Ajar Neurologi

Penilaian komponen-komponen afasik dibedakan dari memori, atensi dan de-


pada akalkulia dimulai dengan menanyakan fisit fleksibilitas mental.
pasien pertanyaan-pertanyaan berikut:
Pemeriksaan dilakukan dengan melaku­
® Menuliskan serangkaian angka seder- kan observasi klinis dan analisis aktivitas.
hana (7, 2, 9, dan lain-lain) dan kom- Secara umum evaluasi dapat dilakukan
pleks (27, 93, 107, 1226, dan lain- dengan mengamati jumlah pengaturan
lain] yang didiktekan dan aktivitas pasien dalam sehari penuh,
o Menyebutkan angka dengan keras dapatkah pasien merencanakan aktivi­
® Mengingat angka tas yang memerlukan operasi sebanyak
dua langkah? Cara lain dengan meminta
® Menunjukkan angka berdasarkan
pasien untuk mengambil kertas di atas
perintah
meja dengan tangan kanannya, lalu ker­
® Meminta pasien untuk melakukan tas tersebut di lipat menjadi dua, kemu­
penghitungan aritmatika dasar secara dian di taruh di bawah kursi.
oral berupa penambahan, pengurang-
an, pembagian, perkalian, Hasil perhi- Selanjutnya pemeriksaan dilakukan
tungan kemudian diuji dengan memberikan perintah kompleks
tanpa instruksi. Jika pasien memulai pe­
® Memeriksa penalaran aritmatik, se-
rintah tanpa suatu perencanaan, minta
perti ''Jika dibutuhkan dua orang se-
pasien untuk menciptakan suatu tugas
lama tiga had untuk menyelesaikan
dan mulai mengerjakan tugas tersebut
sebuah pekerjaan, berapa lama waktu
Rencana pasien dapat dievaluasi untuk
yang dibutuhkan untuk empat orang
organisasi dan penyelesaiannya.
untuk menyelesaikan pekerjaan yang
sama?" Fungsi perencanaan yang lebih kom­
pleks dapat diperilcsa dengan melakukan
4. Perencanaan dan Organisasi {Se­ pengukuran berbasis fungsional. Menen-
quencing) tukan durasi dan frekuensi suatu masalah.
Kemampuan mempelajari dan men- Memilih tugas fungsional yang relevan
capai tujuan dalam perencanaan dan sebagai dasar evaluasi dan pengkajian.
organisasi. Selain perencanaan, setiap Apakah pasien memunculkan kerangka
individu harus dapat membuat konsep pemikiran untuk suatu rencana atau arah
perubahan dari situasi saat ini. Obyek demonstrasi untuk penyelesaian tugas?
yang berhubungan dengan lingkungan,
Observasi dan pertanyaan-pertanyaan
penyusunan alternatif, pertimbangan
di atas dapat diaplikasikan dalam tugas
alternatif dan membuat pilihan, dan
persepsi motorik fungsional dan kogni-
menyusun struktur untuk memberikan
tif. Pertanyaan-pertanyaan yang familiar
arahan dalam melakukan perencanaan,
dapat dikorelasikan ke dalam checklist
Kelainan dalam perencanaan dan or­
atau digunakan dalam konjungsi dengan
ganisasi pada umumnya berhubungan
skala rating frekuensi (seperti selalu,
dengan disfungsi lobus frontal dan dapat
kadang-kadang, jarang, dan tidak per-

176
Neurobehavior Dasar dan Pemeri!<saannya

nah). Pemeriksaan ini hingga saat ini be- ° Definisi abstraksi. Pasien diminta
lum ada standardisasinya. mendefinisikan kata-kata spesifik
seperti apel, bangku.
5. Fleksibilitas Mental dan Abstraksi
Pasien dengan gangguan fleksibilitas • Komparasi-perbedaan. Pasien di­
mental akan mengalami kesulitan dalam minta menghubungkan sepasang
mengkonsep dan merespons perubahan ide, meliputi:
situasi. Ketika ada perubahan keadaan - Dasar umum seperti, kulkas dan
atau adanya suatu kesalahan, pasien ke­ kompor gas, mesin jahit dan sofa
sulitan mengubah strategi atau detail - Perbedaan, seperti perbedaan an-
dari suatu pelaksanaan tugas. Pasien juga tara anjing dan rubah.
kesulitan dalam membebaskan stimulus
® Hubungan logis. Pasien diminta
tertentu dari perhatiannya. Berikut ini
menghubungkan kata yang di­
ada beberapa pemeriksaan yang dapat
berikan, seperti anjing adalah
dikerfakan untuk menilai fleksibilitas
seekor_____, pisau adalah se­
mental dan abstraksi:
tauah___ .
a. Odd-even cross out ® Lawan kata. Pasien diminta me-
Tes ini mencari tahu apakah pasien nyebutkan lawan kata seperti
dapat berpindah dari satu tugas ke tinggi-rendah, besar-kecil.
tugas lainnya. Pasien diberikan lem-
® Kategori. Pasien diminta menye-
bar kerja pencarian visual dengan
butkan kata yang tidak termasuk
nomor serinya, Pasien kemudian di-
dalam kategori suatu seri, seperti
minta mencoret semua nomor genap
ayah, ibu, saudara laki-laki, sauda-
dan untuk mencoret sebagian hanya
ra perempuan, teman.
nomor ganjil. Instruksi ini kemudian
dibalikkan kembali ke nomor genap Untuk memperbaiki validitas peme­
dan kembali ke nomor ganjil, dan se- riksaan, singkirkan penurunan atensi,
terusnya. Penilaian belum memiliki memori, dan afasia (khususnya kompa-
standar khusus. rasi) sebagai kausa performa yang
buruk.
b. Konsep formasi dan abstraksi
Konsep formasi meliputi kemam- c. Abstraksi
puan mendefinisikan, membanding- ® Peribahasa/pepatah
kan, dan membedakan obyek, meli­ Sejumlah kesan konseptualisasi ab-
puti hubungan logis dan kategorisasi. strak dapat diperoleh dari inter-
Berikut ini merupakan contoh per- pretasi peribahasa dan uji serupa.
tanyaan untuk mengevaluasi bebe­ Interpretasi konkret, dengan ketida-
rapa komponen konsep formasi dan kmampuan untuk membuat analogi,
abstraksi. menandakan pasien memiliki keru-

177
Buku Ajar Neurologi

sakan di lobus frontal. Interpretasi tampak ada gangguan memori persisten


pepatah sangat bergantung pada atau gangguan perilaku. Pasien mengatakan
tingkat pendidikan dan latar be- masih aktif dalam pelayanan di angkatan
lakang budaya. Iaut, dan saat ini memiliki tempat tinggal di
pinggir pantai.
© Similarity test
Tes persamaan termasuk dengan me- Enam bulan sebelumnya, pasien ditemu-
na-nyakan pada pasien dengan cara kan tidak sadarkan diri di atas tempat tidur.
apa dua item berkaitan secara kon- Pasien sadar kembali, namun tampak bi-
septual terlihat serupa. Dimulai den­ ngung, bicara meracau berat dan persisten.
gan yang sederhana antara pasangan Pasien percaya bahwa sekarang ini sedang
seperti 'pisang dan apel' dan ‘kursi masa perang dan masih menjadi anggota
dan meja' dan berlanjut ke pasangan aktif. Tidak ada gangguan memori terhadap
yang lebih abstrak seperti 'puisi dan kejadian 50 tahun yang lalu. Tidak mampu
patung' dan 'pujian dan hukuman'. mengingat hal baru. Pasien kurang motivasi
Respons normal adalah dengan mem- dan dorongan, sebelumnya pasien sangat ak­
bentuk sebuah kategori abstrak, con- tif, sekarang hanya menonton TV setiap hari.
toh buah, perabot, karya seni. Pasien
Riwayat penyakit dahulu: hipertensi dan
dengan gangguan frontal dan demen-
merokok ada. Tidak ada penyakit serebro-
sia bisa membuat interpretasi yang
vaskuler sebelumnya. Konsumsi alkohol ada.
sangat konkret (sebagai contoh, kursi
dan meja, "anda duduk di salah satu- Pem eriksaan fisik: terdapat gangguan ger-
nya, dan makan di yang satunya lagi", ak bola mata ke atas ( vertical gaze palsy).
atau "keduanya mempunyai kaki”) Penilaian kognitif:
dan seringkali monoton meskipun
1. Penilaian umum: apatis dan tidak fokus.
di-minta untuk memildrkan cara lain
Tidak ada insight, perhatian penuh
atau item lain yang serupa,
2. Orientasi: disorientasi berat: mengatakan
Selain itu terdapat Cognitive Esti­ saat ini adalah tahun 1945, gagal meng­
mates Test merupakan uji formal ingat waktu lain
yang dapat dilakukan untuk pemer-
3. Atensi: normal; menghitung bulan ke be-
iksaan abstraksi. Pasien ditanyakan
lakang: cepat dan akurat; Rentang digit
pertanyaan mengenai yang memerlu-
ke depan: 7; Rentang digit ke belakang: 5
kan penilaian wajar untuk menjawab-
nya. Contohnya, "Seberapa cepat kaki 4. Fungsi eksekutif frontal: terdapat gang­
kuda berderap?" "Seberapa berat guan yang ringan
menara kantor pos?” Kelancaran bicara: berkurang, dengan
beberapa perseverasi: F, A, S: 10 kata per
CONTOH KASUS huruf; hewan 12; abstraksi: interpretasi
Pasien, 65 tahun, pensiunan, datang ke IGD normal pada proverb dan persamaan;
dengan bicara tidak nyambung, tetapi tidak respons inhibisi: normal

178
Neurobehavior Dasar dan Pernerilisaannya

5. Memori: terdapat defelc yang buruk; An- • Kerusakan hipokampus anoksik diikuti
terograd: registrasi alamat dan nama: dengan henti jantung, dll
normal: 6/7 pada percobaan pertama; ® Ensefalitis virus herpes simpleks
Incidental recall pada percakapan: sangat
® Cedera kepala tertutup
buruk; Retro grad: recall mengalami de-
fisit berat pada riwayat pribadi dan ke- Kesim pulan
jadian pada tahun 1940 Adanya manifestasi Minis koma, yang
berkembang menjadi amnestic state dengan
5. Bahasa: bicara spontan normal, fasih,
dengan fonologi dan sintaks yang normal; defisit memori anterograd dan retrograd.
tidak ada parafasia; Pemahaman: normal; Merupakan Minis khas untuk infark talamus
bilateral. CT scan pada pascastroke biasanya
Penamaan: normal: 10/10; Pengulangan:
normal, tetapi didapatkan lesi yang klasik
normal; Membaca: normal; Menulis: normal
pada MRI. Semua struktur memori vital di-
7. Kalkulasi: normal
perdarahi oleh A. Serebri posterior. Normal-
8. Praksia: tidak ada apraksia orobukal dan nya, kedua area talamus medial diperdarahi
ekstremitas oleh arteri yang menembus ke daerah terse-
9. Fungsi hemisfer kanan: normal; Neglect but. Perlu penilaian neuropsikologis pada
phenom ena : tidak ada; Visuokonstruksi: kasus ini.
normal dalam meniru figur 3 dimensi
Catatan:
dan ROFCT; Visuo-persepsi: tidak ada
® Memori jangka pendek baik
defisit
Skoruji Mental ® Terdapat disfungsi frontal karena ada
gangguan aferenisasi frontal sekunder
MMSE: 21/30: berkurang pada poin orien-
tasi dan recall 3 benda • Kelainan pergerakan mata khas untuk
sindrom ini
Investigasi
® CT scam normal
DAFTARPUSTAKA
® MRI: infark talamus bilateral dan sime- 1. Hodges JR. Cognitive assessment for clinicians.
tris dengan keikutsertaan grup nuclear. Oxford University Press, New York: 1995.
2. Umarova RM, Saur D, Kailer CP, Vry MS, Glauche
Diagnosis: amnestic stroke : bilateral V, Mader I, etal. Acute visual neglect and extinc­
thalamic infarction (memori) tion: distinct functional state of the visuospatial
attention system. Brain 2011;134(11):3310~25.
Diagnosis banding: onset akut dari sin- 3. Danckert J, Ferber S. Revisiting unilateral neglect.
drom amnestik: Neuropsychologia. 2006;44(6):987-1006.
4. Scott JG, Schoenberg MR. Deficits in visuospa-
® Stroke talamus bilateral atau temporal
tial/visuo constructional skills and motor praxis,
bagian medial Dalam: Schoenberg MR, Scott JG, editor. The little
• Sindrom Wernicke-Korsakoff (defisiensi black book of neuropsychology. Springer: New
York; 2011. h 201-18.
vitamin b l), biasanya berkaitan dengan 5. Weintraub S. Neuropsychological assessment of
alkoholisme mental state in principles of behavioral and cog­
nitive neurology. Edisi kedua. Oxford University

179
Buku Ajar Neurologi

Press, New York: 2000. h 122-62. Press. New York: 2003. h 302-19.
6. Nasreddine ZS, Philips NA, Bedirian V, Charbon- 10. Zillmer EA, Spiers MV, Culbertson WC, Principle
neau S, Whitehead V, Collin I, dkk. The Montreal of neurophysiology. Edisi ke-2, Belmont: Thomp­
cognitive assessment, MoCA: a brief screening son; 2008. h. 62-90.
tool for mild cognitive impairment. J am geriatr 11. Erkinjuntti T, Gauthier S. Vascular cognitive im­
soc.2000;53(4}:695-9. pairment. Martin Duntz. London. 2004.
7. Smith T, Glideh N, Holmes C. The Montreal cogni­ 12. Cozolino L. The neuroscience of psychotherapy,
tive assessment: validity and utility in a memory healing the social Brain. Edisi ke-2. New York: W.
clinic setting. Can j psych. 2007; 52(5]: 329-32. W. Norton & Company; 2010.
8. Husein N, Lumempouw S, Ramli Y, Herqutanto. 13. Pincus JH, Tucker GJ. Behavioral neurology. Edisi
Uji validitas dan reliabilitas Montreal cognitive ke-4. Oxford University Press. Oxford; 2003.
assessment versi Indonesia (MoCA-Ina] untuk 14. Eichenbaum H. The cognitive neuroscience of
Skrining Gangguan Fungsi Kognitif, Neurona. memory, an introduction. Boston: Oxford Univer­
2010; 27(4]. sity Press; 2009.
9. Burgess PW. Assesment of executive function. 15. Smith EE, Kosslyn SM, 2007. Psikologi kognitif;
Dalam: Halligan PW, Marshall JC. Handbook pikiran dan otak. Prajitno HS, Soetjipto SM, pen-
of clinical neuropsychology. Oxford University erjemah. Jakarta: Penerbit Pustaka Pelajar; 2014.
16. Solso RL, Maclin OH, Maclin MK. 2008. Psikologi
kognitif. Rahardanto M, Batuadji K, penerjemah.
Jakarta: Penerbit Erlangga; 200. Terjemahan
dari: Cognitive psychology.
17. Reed SK. 2007. Kognisi; terapi dan aplikasi. Edisi
ke-7, Tusyani A, penerjemah. Jakarta: Penerbit
Salemba Humanika; 2011. Terjemahan dari: Cog­
nition; theory and applications.

180
AFASIA

Pukovisa Prawiroharjo, Amanda Tiksnadi, Diatri Nari Lastri

PENDAHULUAN tute o f Neurological Disorders and Stroke


Bahasa, bersama dengan bicara [speech], (NINDS) menyatakan penderita afasia di
dan pemikiran [thoughts], merupakan kom- Amerika Serikat mencapai 1 juta orang, atau
ponen utama dalam pembentukan proses satu dari 250 warga negara Amerika Serikat
berkomunikasi. Pemikiran merupakan ba- mengalami afasia. Sebanyak 15% diantara-
gian dari aspek bahasa dan bergantung pada nya berusia <65 tahun dan 43% berusia >85
fungsi bahasa, namun bahasa dapat berdiri tahun. Tidak terdapat perbedaan bermakna
sendiri tanpa adanya pemikiran. antar jenis kelamin dengan afasia. Walau-
pun demikian, terdapat kecenderungan
Afasia merupakan gangguan fungsi bahasa
bahwa perempuan lebih banyak mengalami
karena kerusakan pusat bahasa di otak. afasia Wernicke dan global, sedangkan laki-
Kerusakan tersebut dapat disebabkan lang- laki lebih sering mengalami afasia Broca.
sung maupun tidak langsung dari penyakit
otak, ataupun dapat diakibatkan oleh pro­ Studi kohort oleh Pedersen dkk di Copenhagen
ses degeneratif. Stroke merupakan penye- tahun 2004 melaporkan prevalensi sindrom
bab utama terjadinya afasia. Dengan me- afasia pada stroke akut pertama kali yaitu,
ningkatnya insidens stroke, maka semakin afasia global 32%, Broca 12%, transkortikal
tinggi pula penderita afasia di dunia. motorik 2%, Wernicke 16%, transkortikal
sensorik 7%, konduksi 5%, dan anomik 25%.
Ada berbagai jenis afasia yang dapat menu- Setelah diikuti selama satu tahun, didapatkan
runkan kualitas hidup pasien, sehingga perlu afasia global 7%, Broca 13%, transkortikal
pemeriksaan khusus yangteliti. Perkembangan motorik 1%, Wernicke 5%, transkortikal
teknologi pencitraan (imaging] otak memang sensorik 0%, konduksi 6%, dan anomik 29%,
akan sangat membantu, namun dibutuhkan selebihnya fungsi bahasa kembali sempuma.
penilaian ldinis yang lebih spesifik sesuai de­
ngan patologi dan lokasi lesi penyebab afasia. PATGFISIOLOGI
Permukaan otak terdiri atas korteks atau grey
EPIDEMIOLOGY matter, yang menjadi pusat sebagian besar
Afasia merupakan defisit neurologis fokal aktivitas manusia termasuk pengaturan tata
yang dapat memengaruhi hidup penderita- bahasa yang merepresentasikan pula penge-
nya akibat hendaya komunikasi. Insidens tahuan tentang bahasa. Korteks adalah or­
afasia menurut National Stroke Association gan tempat pengambilan keputusan, setelah
tahun 2 0 0 8 terdapat 80.000 kasus baru per- menerima pesan dari seluruh organ sensori
tahunnya di Amerika Serikat. National Insti­ dan melakukan segala aktivitas volunter.

181
Buku Ajar Neurologi

Serabut arkuata serebri

Kcrpus kafoswrt

ScriLuterkuata
""x / Serab u t arkuata

K^psuE»totems

fpsihbus
( r c . i a
/Jh W^VV S G<tnu anterior

vupvrsa’
faiifailw j
fmpiudlm'^ "7
" iu p s u o r
f&m®ura interior

fansktiius
frowjota'ptaiis
superior
Serabut arkuata
Fatlkulusummstus %/
“ ..../ - ------------|

b.

Gambar 1. Fasikulus Arkuata


(a) Serabut fasikulus potongan sagitai, [b) serabut fasikulus potongan koronal

182
Afasia

Gambar2, Hustrasi Sumbatan Arteri Karotis Media Terkait Afasia


a, afasia Broca: oldusi a. serebri media segmen M2 divisi superior; b, afasia Wernicke: oklusi a. serebri media seg-
men M2 divisi inferior; c. afasia global: oklusi total a. serebri media segmen Ml

Otak juga disusun oleh hemisfer serebri kiri Komponen neuroanatomi yang berperan
dan kanan, serta dihubungkan oleh korpus dalam proses produksi bahasa dan pemaha-
kalosum. Secara umum, hemisfer kiri meng- man sangat rumit Komponen ini meliputi
atur bagian tubuh sebelah kanan dan hemis­ masukan (inputj auditori dan pengkodean
fer kanan mengatur bagian tubuh sebelah kiri, bahasa di lobus temporal superior, analisis
Pusat bahasa tradisional adalah pusat bahasa bahasa di lobus parietal, dan ekspresi di lobus
motorik Broca dan pusat bahasa reseptif frontal, Masukan tersebut kemudian nailc ke
Wernicke yang biasanya terletak di hemisfer traktus kortikobulbar menuju kapsula interna
dominan (tersering adalah hemisfer kiri baik dan batang otak, dengan efek modulator dari
pada dominansi tangan kanan maupun kiri], ganglia basal dan serebelum. Terakhir, masuk­
Keduanya dihubungkan oleh jaras transkor- an dimaknai sebagai bahasa lengkap dengan
tikal yang disebut fasikulus arkuata. kosakata, makna sintaksis, dan gramatikal di
interkoneksi antar pusat-pusat bahasa.

183
Buku A jar N eurologi
Tabel 1. Neuroanatomi Klinis Afasia dan Gangguan Bahasa Lainnya
Afasia & Gangguan Lain Lokasi Anatomi Pembuluh Darah Penvuplai Geiala/Tanda Tetangga
Perisylvian

Broca Korteks insula media orbitofrontal MCA M2 superior Apraksia bicara &wajah, agrafia, hemipare-
(AB 44,45] sis kekuatan lengan<tungkai
Wernicke Lobus temporal superior (AB 22] MCA M2 inferior Hemi/kuadranopia homonim superior
kontralateral
Global Lobus fronto-parieto-temporal MCA Ml (oklusi total] Apraksia bukofasial, apraksia ideomotor
teritori MCA
Konduksi Girus supramarginal area superior MCA M2 inferior bagian limb Sama dengan Wernicke
temporal
Nonperisylvian/Ekstra-
sylvian
Transkortikal Ekstrasylvian Tipe I: superior anterior dari MCA M2 Superior (evolusi Hemiparesis tungkaiclengan, abulia,
Motorik Broca (AB 45]. Broca]. mutisme, apraksia extremitas kiri (sindrom
Tipe II: supplementary m otor area ACA diskoneksi anterior], inkontinensia uri,
184

(SMA] disinhibisi

Transkortikal Ekstrasylvian Tipe I: junction PTO, girus angula- MCA M2 inferior I: quadrantopia inferior/hemi-anopia
Sensorik ris bawah (evolusi Wernicke] homonim, Gangguan atensi
Tipe II: multipel: parietal & tem­ Cabang MCA
poral II: sindrom Gertsmann
Transkortikal Area w atershed antara teritori ACA ACA-MCA, hipoksik-iskemik Paralisis UMN bilateral/dupleks (lesi 2
Ekstrasylvian campuran &MCA hemisfer]
Anomik Evolusi terakhir bentuk afasia lain
Anomik dengan aleksia Temporo-oksipital PCA Sindrom Balint (buta kortikal), sindrom
tanpa agrafia Anton, memori, gangguan menyebut warna
Subkortikal Striatokapsular Ganglia basa, nukleus kaudatus MCA cabang lentikulostriata Hemiparesis

Subkortikal talamus Talamus bagian media, anterior, & MCA cabang lentikulostriata Gejala talamus
lateral

MCA: middle cerebral artery (arteri serebri media]; ACA: anterior cerebral artery (arteri serebri anterior]; PCA: posterior cerebral artery (arteri serebri pos­
terior]; Ml dan M2: segmen dari MCA; superior dan inferior; divisi dari segmen M2 MC; PTO: parietotemporooksipital; AB: area Broadmann; UMN: upper
motor neuron
Sumber: Prawiroharjo P. Neurobehavior: kumpulan makalah workshop neurobehavior jAKNEWS 2014. 2014. h. 20.
Afasia

la b e l 2. Jenis Kelancaran Bicara


lenis Kelancaran Bicara
Variabel Tidak Lancar Lancar
Kecepatan Lambat (<50 kata/menit) Normal (>90 kata/menit]
Usaha Meningkat Normal
Artikulasi Disartrofonik Normal
Panjang kalim at Singkat (<5 kata] Normal (>5 kata]
Ritme bicara Abnormal, disprosodik Normal, prosodik
Isi Agramatisme, banyak tambahan Berisi
Kesalahan parafasik Jarang, biasa literal Banyak kesalahan literal dan semantik; neologisme
Sumber: Lastri D N. Scientific full paper JAKNEWS 2016. h. 32.

GEJALA DAN TANDA KLINIS Area Broca bertetangga dengan area


Pengklasifikasian sindrom afasia dapat di- Exner yang merupakan pusat menulis
awali dan dikerjakan secara bedside dengan dan girus presentralis yang merupakan
menilai modalitas dari fungsi bahasa, yaitu: pusat motorik primer sehingga umum-
® Kelancaran bicara {fluency) (Tabel 2}. nya gambaran Minis penderita Afasia
Broca adalah selain adanya afasia juga
© Pemahaman (pemahaman).
disertai hemiparesis berupa kekuatan
© Kemampuan pengulangan (repetisi). lengan lebih lemah dibandingkan tung-
© Kemampuan menemukan kata yang sesuai kai, serta adanya gangguan menulis.
(wordfinding) dan atau penamaan {nam­ Apraksia wajah dan bicara juga sering di-
ing). Semua pasien afasia yang juga diser- jumpai pada pasien dengan afasia Broca.
tai dengan adanya gangguan kemampuan
Gangguan bahasa yang dijumpai adalah
penamaan termasuk dalam parafosia.
gangguan ekspresi bahasa dan repetisi
Klasiflkasi Afasia yang buruk (tingkat kata hingga kalimat].
Kemampuan berbahasa merupakan aktivitas Bicara pasien sangat lambat dan penuh
yang kompleks melibatkan banyak sirkuit, usaha. Pasien juga mengalami kesulitan
sehingga ldasifikasi gangguan fungsi berba­ menamai suatu obyekdan repetisi. Pasien
hasa sangat bervariasi tergantung pada Mi­ dapat mengerti percakapan sehari-hari
nis dan lokasi kerusakan yang terjadi. dan instruksi verbal, namun mulai ke­
Secara umum sindrom afasia terbagi menjadi: sulitan pada sintaksis yang kompleks.
Dalam berbicara pasien terlihat penuh
1. Afasia Broca
usaha untuk mengucapkan setiap kata,
Area Broca berada di korteks insula me­
dengan diiringi jeda dan kata-kata yang
dia dan mendapatkan suplai darah dari
dihasilkan tidakjelas.
arteri serebri media segmen M2 divisi
superior. Sumbatan atau oklusi di arteri 2. Afasia Wernicke
tersebut dapat menyebabkan terjadinya Afasia Wernicke adalah sindrom afasia Ma-
afasia Broca. sik yang berhubungan dengan gangguan

185
Baku Ajar Neurologi

pada pemahaman berbahasa akibat lesi 4. Afasia Transkortikal (Ekstrasylvian)


pada korteks temporoparietal posterior Istilah afasia transkortikal pertama kali
kiri, yang akan memengaruhi elemen uta- dikenalkan oleh Carl Wernicke, 1881
ma sistem fonologi dan semantikyang ber- dan Lichtein, 1885. Goldstein tahun
peran dalam pemahaman bahasa. Kelainan 1917 dalam die transkortikalen aphasien
tersebut disebabkan sumbatan akibat memberi catatan bahwa istilah trans­
trombosis maupun emboli pada arteri sere- kortikal yang disematkan pada afasia itu
bri media segmen M2 divisi inferior pada keliru, karena dapat dipersepsi sebagai
sisi hemisfer dominan (umumnya kiri) yang afasia yang menghubungkan antara dua
memperdarahi lobus superior temporal, area kortikal (Broca dan Wernicke). Ben­
son dan Ardila mengusulkan istilah baru
Gangguan pemahaman bahasa pada yaitu ekstrasylvian untuk menggantikan
afasia Wernicke dimodulasi oleh derajat transkortikal, Afasia ekstrasylvian ini
analisis fonologi. Pemahaman berbahasa memiliki neuroanatomi di luar area peri-
yang diucapkan, yang membutuhkan sylvii. Afasia ekstrasylvian motorik me­
analisis fonologi derajat tinggi, menga- miliki gangguan klinis berupa kesulitan
lami kerusakan yang parah pada afasia dalam mengekspresikan bahasa, namun
Wernicke. Kemampuan pemahaman me- pemahaman relatif baik, dan repetisi
nulls kata, yang dimediasi oleh fonologi yang intak. Menurut Benson dan Ardila
dan proses visual, hanya mengalami se- afasia jenis ini terbagi menjadi dua tipe:
dikit kerusakan dibandingkan pemaha­
man pengucapan kata. a. Tipe I (afasia dinamik), merupakan
bentuk evolusi dari afasia Broca. Afa­
3. Afasia Global sia ekstrasylvian motorik tipe I diper-
Afasia tipe ini terjadi karena adanya lesi kirakan berada di area Broadmann 45
luas yang meliputi area Broca maupun hemisfer dominan, lebih anterior dari
Wernicke, bisa akibat infark luas daerah area Broca.
parenkim otak yang diperdarahi oleh
arteri serebri media. Gangguan terjadi b. Tipe II (afasia supplementary motor
pada seluruh komponen fungsi berba­ a r e a / SMA), berada di supplementary
hasa. Terkadang afasia global juga dapat area hemisfer dominan.
disertai dengan apraksia verbal. Afasia ekstrasylvian sensorik pada konsep
Wemicke-Lichtheim merupakan akibat
Fluensi terganggu dengan produksi kata
putusnya hubungan antara area bahasa
terbatas pada satu-dua kata yang tidak
reseptif/sensorik (Wernicke) dengan
memiliki makna, bahkan pasien tidak
pusat konsep. Afasia ekstrasylvian menu-
dapat berkata-kata sama sekali. Selain
rut Wernicke-Lichteim ini terbagi menjadi
itu, gangguan juga nampak pada kemam­
dua tipe:
puan pemahaman baik verbal maupun
literal, serta kemampuan repetisi, mem- a. Tipe i, terkadang disebut afasia amnes-
baca, dan menulis. tik Afasia jenis ini terletak di perba-
tasan antara lobus temporal, parietal,

186
Afasia

dan oksipital, terutama di girus angula- dekat batas antara lobus temporal dan
ris inferior dan area Broadmann 37. oksipital. Afasia ini juga dapat merupakan
b. Tipe II (afasia semantik). Afasia jenis evolusi/perbaikan dari afasia global atau
ini terletak di korteks bagian posterior, Wernicke. Kuadranopia kanan atas meru­
termasuk girus temporalis posterior pakan gejala lain yang dapat menyertai
superior dan girus temporalis media. keadaan afasia anomik akut

Afasia ekstrasylvian campuran dapat 6. Afasia Konduksi


terjadi pada gangguan perfusi sere- Afasia konduksi memiliki gejala ketidak-
brovaskular akibat hipoksia, keracu- mampuan dalam mengulangi bahasa
nan karbonmonoksida, syok hiperten- yang diucapkan. Afasia ini disebabkan
sif, dan henti jantung, Infark/iskemik adanya diskoneksi antara area Broca dan
akibat gangguan perfusi itu dapat Wernicke, disebabkan oleh rusaknya fa-
melibatkan zona batas otak, yaitu area sikulus arkuata.
yang berada di antara dua teritori Seperti pasien pada afasia Wernicke,
pembuluh darah besar, dalam hal ini pasien afasia konduksi mampu me-
di antara teritori arteri serebri ante­ ngucapkan kata dengan lancar namun
rior dan serebri media. banyak terdapat kesalahan parafrase.
5. Afasia Anomik Pemahaman pada pasien afasia konduksi
Semua pasien dengan afasia tipe anomik, masih bagus, namun karena adanya keru-
memiliki masalah dalam mengingat nama sakan pada jalur yang menghubungkan
sebuah benda. Gangguan penamaan ini area Wernicke dan Broca menyebabkan
disebabkan oleh gangguan dalam kemam- gangguan kemampuan repetisi dan nam­
puan berbahasa. Misalnya saat seorang ing. Pasien afasia konduksi tidak dapat
pasien diminta untuk menyebutkan membaca dengan suara keras, tetapi dapat
nama dari gambar pulpen, pasien akan membaca dalam hati dengan pemahaman
menjawab "Benda yang digunakan untuk yang bagus.
menulis" pasien tidak bisa menyebutkan Kemampuan menulis juga kemungkinan
bahwa benda tersebut bernama pulpen. terganggu, kemampuan mengeja bunik,
Afasia anomik yang terjadi pada se- disertai adanya penghilangan dan penggan-
seorang dapat diakibatkan oleh adanya tian huruf. Banyak pasien afasia konduksi
aneurisma pada pembuluh darah otak, juga terganggu pergerakan voluntemya.
sehingga menghambat aliran darah Secara ringkas gejala klinis sindrom afasia
menuju area berbahasa. Afasia anomik klasik yang dinilai meliputi empat kompo-
biasanya disebabkan oleh adanya lesi nen (Tabel 3 dan Gambar 3] beserta alur
pada Iobus temporal kiri inferior, di

187
Buku Ajar Neurologi

penentuannya pada Gambar 4.


Tabel 3. Perbandingan Gejala Klinis Gangguan Bahasa pada Sindrom Afasia Klasik
Karakteristik
Fluency Pemahaman Repetisi Naming
Khusus
Broca Tidak Baik/menurun Terganggu Terganggu Telegraphic speech
ringan
Wernicke Lancar Terganggu Terganggu Terganggu Parafasia
Global Tidak Terganggu Terganggu Terganggu
Transkortikal Tidak Baik/terganggu Baik Terganggu Repetisi reiatif cukup
Motorik ringan baik
Transkortikal Lancar Terganggu Baik Terganggu Repetisi reiatif cukup
Sensorik baik
Transkortikal Tidak Terganggu Baik Terganggu
Campuran
Konduksi Lancar Baik Terganggu Terganggu Parafasia fonemik
ringan
Anomik Lancar Baik Baik Terganggu Word-finding prob­
lems
Afemia/mutisme/ Mutisme Baik Baik Mutisme, dapat Dapat menulis; for­
apraltsia verbal* menulis eign accent syndrome
*bulcan merupakan bagian dari klasifikasi afasia, tetapi dimasuklcan sebagal perbandingan gejala klinis gangguan berbahasa
Sumber:
^Prawiroharjo P, Neurobehavtor: taimpulan makalah workshop neurobehavior JAKNEWS 2014. 2014. h. 19.
2-Lastri DK. Scientific full paper JAKNEWS. 2016. h. 32.

Broca

Gambar 3. Gambaran Sindrom, Modalitas, dan Gejala Khusus Afasia

188
Afasia

| AFASIA |

Gambar 4. Alur Diagnosis Afasia

Menurut Boston dkk, afasia diklasifikasikan 4. Afasia akustik-amnestik


berdasarkan: 5. Afasia semantik
1. Afasia fluen dan nonfluen
6. Afasia dinamik
2. Afasia kortikal, subkortikal, atau trans-
7. Afasia amnestik
kortikal
3. Afasia konduksi (gangguan repetisi Seperti tel ah dijabarkan sebelumnya, bah-
akibat kerusakan pada lobus parietal wa Benson dan Ardilla menolak adanya
(insular) kiri) terminologi afasia transkortikal. Keduanya
mengintegrasikan teori Boston dan Luria
Adapun berdasarkan teori Luria, subtipe menjadi klasifikasi baru pada dua kriteria
afasia terbagi menjadi: anatomi yang berbeda, yaitu (Tabel 4):
1. Afasia motorik-eferen atau kinetik
1. Afasia pre-Rolandik (anterior, nonfluen)
2. Afasia motor-aferen atau kinestetik atau post-Rolan dik (posterior, fluen)
3. Afasia akustik-agnostik 2. Afasia perisylvian dan ekstrasylvian

189
uku Ajar Neurologi

Tabel 4. Klasifikasi Sindrom Afasia Menurut Benson dan Ardila (1 9 9 6 )


Pre-Rolandik Post-Rolandik
Perisyl- Broca tipe I Konduksi
vian (sindrom triangular) (sindrom parietal-insular)
Broca tipe II Wernicke tipe i
(sindrom triangular-operkular) (sindrom insularis posterior-ismus temporal)
Wernicke tipe II
(sindrom girus temporalis superior dan medial)
Ekstras- Motorik ekstrasylvian tipe 1 Sensorik ekstrasylvian tipe I
ylvian (sindrom prefrontal dorsolateral (sindrom temporooksipital)
kiri) Sensorik ekstrasylvian tipe II
Motorik ekstrasylvian tipe II (sindrom parietooksipital-angularis)
(sindrom supplementary m otor a rea)
Sumber: Ardila A. Aphasiology. 2010;24(3):363-94.

Namun kedua klasifikasi tersebut diang- guan berbahasa primer/sentral maupun


gap masih beium memuaskan untuk peng- sekunder/perifer. Oieh karena itu, Ardila
gunaan sehari-hari. Kenyataannya, istilah (2010) mengajukan klasifikasi baru seperti
"afasia'’ digunakan pada kasus-kasus gang- pada Tabel 5.

Tabel 5. Usulan Interpretasi Klasifikasi Sindrom Afasia oleh Ardila (2 0 1 0 )


Tipe Gangguan
Afasia prim er (sentral) Gangguan sistem berbahasa
O Afasia Wernicke (afasia fluen) Fonologi, leksikal, semantik
e Afasia Broca (afasia nonfluen) Tingkat runtunan ekspresi sintaksis dan fonetik
Afasia sekunder (perifer) Gangguan mekanism e produksi
& Afasia konduksi Apraksia ideomotor verbal
9 Afasia supplementary m otor area Gangguan inisiasi dan mempertahankan produksi bicara
volunter
Afasia diseksekutif Gangguan kontrol ekseloitif berbahasa
9 Afasia motorik ekstrasylvian (trans Kontrol eksekutif berbahasa
kortikal)
Sumber: Ardila A. Aphasiology. 2010;24(3):363-94.

190
Afasi

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING terdapat ranah (domain) gangguan fungsi


Menegakkan diagnosis afasia, sebagaimana luhur lain yang nyata sesuai dengan kriteria
diagnosis pada kasus neurologi pada umum- diagnosis demensia, maka lebih tepat diag-
nya, perlu dikaji dari empat aspek, yaitu aspek nosisnya ditegaMcan sebagai demensia.
Minis, topis, patologis, dan etiologis. Kajian
3. Psikosis
dimulai sejak awal pemeriksaan Minis me-
Gangguan isi pikir atau asosiasi pikir
lalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kajian
pada diagnosis psikiatri perlu dibedakan
diagnostik akan berkembang dan semakin
dari gangguan pemahaman kemampuan
akurat ditunjang oleh pemeriksaan Minis
bahasa. Pasien afasia memiliki tilikan
fungsi luhur lanjutan terutama modalitas
yang baik, menyadari ada yang tidak
bahasa, radiologis otak, dan penunjang lain-
beres dengan komunikasinya. Lain hal-
nya yang relevan. Dalam Minis, diagnosis
nya dengan skizofrenia, kemampuan
afasia dapat berubah dan/atau berkembang
pemahaman bahasa tidak terganggu,
sesuai dengan kelengkapan pemeriksaan
tetapi memiliki tilikan yang buruk.
afasia selama pemantauan.
4. Gangguan Pendengaran (Tuli Resep-
Sebelum menentukan diagnosis afasia,
tif maupun Perseptif)
penting diperhatikan diagnosis banding
Pasien dengan gangguan pendengaran
gangguan bicara atau gangguan komunikasi
yang didapat setelah dewasa, isi bicara-
pada pasien. Hal ini untuk memastikan afasia
nya dapat dimengerti dan terstruktur
atau gangguan Minis lain, yaitu:
baik, meskipun kadangsalah dengar. Pada
X. Disartria Berat gangguan pendengaran sebelum kemam­
Disartria yang dimaksud tidak hanya pa­ puan bahasa matur, ekspresi bicaranya
resis saraf XII, tetapi dapat merupakan de- dapat terganggu, namun dapat berkomu-
fisit neurologis berbagai pusat atau jaras nikasi dengan bahasa isyarat, pertanda ia
motorik otot-otot bicara lainnya. Disartria memahami dan mampu mengekspresi-
dapat disalahartikan sebagai afasia non- kan maksudnya dengan baik. Kiinis ber-
fluen. Pada disartria, gangguan terletak beda yang ditampilkan oleh pasien afasia
pada vokalisasi hurufkonsonan. Jika pasien adalah adanya gangguan pemahaman
mampu menirukan tata urutan hurufvokal yang bermasalah dan pemahamannya.
dari kata atau kalimatyang diberikan, maka Kadang juga muncul hal yang tidak dipa-
lebih diduga suatu disartria. Gangguan pada hami dan pola kalimatnya tidak teratur.
afasia nonfluen lebih diaMbatkan pada
5. Afemia/Mutisme
pemrograman kata, sehingga tata urutan
Pasien afemia atau mutisme bukanlah
huruf vokal tidak dapat benar disebutkan
afasia motorik. Afemia didefinisikan
pasien. Pada tipe yang berat, cenderung
sebagai hilangnya kemampuan artiku-
hanya bicara aaa.. aaa.. saja.
lasi kata tanpa kehilangan kemampuan
2. Demensia untuk menulis dan pemahaman bahasa
Afasia dapat merupakan bagian dari sin- yang diucapkan. Afemia juga mungkin
drom demensia. Namun demikian, jika berkaitan dengan apraksia bukofasial,

191
luku. Ajar Neurologi

sehingga menyebabkan kehilangan ke- medikamentosa yang dinilai efektif. Tata


mampuan untuk menggerakkan mulut laksana medikamentosa afasia akut akibat
dan tidak mampu untuk menghasilkan stroke terbatas pada kesegeraan pengem-
suara, Pada pasien afasia motorik tam- balian perfusi otak dalam satu jam pertama
pak usahanya yang memadai untuk bi- onset. Walaupun demikian, terdapat studi
cara, namun terganggu ekspresi bicaranya, terhdap pirasetam, donepezil, dan bro-
sedangkan pada afemia tidak terlihat mokriptin dapat memberikan luaran yang
usaha tersebut sama sekali, cukup menjanjikan.

Afemia biasanya disebabkan lesi fokal Zhang dkk (2016) memaparkan pada ulasan
hemisfer kiri yang memengaruhi bagian sistematisnya bahwa terdapat variasi pem-
bawah dari korteks motorik primer (gi- berian pirasetam dari 7 studi randomized
rus presentralis) dan korteks premoto- controlled trial (RCT) antara 6 minggu sam-
rik (area 44), serta diasosiasikan dengan pai 6 bulan. Dosis pemberiannya konsisten
penyakit serebral, seperti penyakit Pick, yaitu 4800m g dan dapat diberikan dalam
Alzheimer, dan Creutzfeldt-Jakob. dosis terbagi dua kali perhari. Pirasetam
merupakan turunan siklik dari asam gamma
Pemeriksaan Penunjang
aminobutirat (GABA) serta dianggap dapat
Metode pencitraan dapat mengkonfirmasi
berperan dalam fase akut dan subakut Na­
lokasi gangguan pusat bahasa. Termasuk
mun mekanisme pirasetam belum dipahami
pencitraan pembuluh untuk sistem karotis,
dengan baik. Kasler dkk menduga pirase­
vertebralis, dan intrakranial melalui angio-
tam meningkatkan aliran darah otak di dae-
grafi, CT dan/atau MRI angiografi, USG Dop­
rah bahasa utama yang berkorelasi positif
pler arteri karotis dan vertebra, serta Dop­
dengan pemulihan bahasa. Mekanisme lain
pler transkranial.
adalah melibatkan modulasi kolinergik, glu-
tamatergik, dan dalam sistem neurotrans­
TATA LAKSANA
miter seperti GABA-ergik.
Proses pemulihan afasia cenderung me-
makan waktu lama, dari bulan hingga ta- Donepezil dan agen kolinergik lain, seperti
hunan. Bahkan pada sebagian pasien de­ galantamin, bifeleman, dan fisostigmin
ngan tingkat keparahan afasia berat, dapat menunjukkan beberapa efek terapi positif
menetap sepanjang sisa hidupnya. Maas dkk afasia pascastroke. Donepezil merupakan
menunjukkan hanya 38% penderita afasia penghambat antikolinesterase yang bekerja
yang mengalami resolusi pada 7 hari per- sentral dan selektif. Donepezil diduga mem-
tama pascastroke. Lazar dkk mendapatkan fasilitasi neurotransmisi pada sambungan
bahwa 18 bulan setelah onset stroke, resolusi kolinergik otak ke daerah bahasa. Jalur ini
afasia komplit hanya didapatkan pada 24% , berperan penting untuk plastisitas poten-
sedangkan 43% pasien masih menderita sial jangka panjang meningakatkan atensi,
afasia yang signifikan. pembelajaran dan memori.
Medikamentosa Sebuah studi meneliti efek donepezil pada
Hingga saat ini belum ada penatalaksanaan 11 pasien yang di evaluasi selama 20 minggu.

192
Afasia

(a) (b)
Gambar S. MRI Kepala Potongan Aksial
a, sekuens fluid-attenuated inversion recovery [FLAIR), b. sekuens difussion-weighted imaging (DWI)
(Doit: PribadQ

impat minggu pertama diberikan dosis 5mg, bangkan dasar serta prinsip neurorestorasi
iilanjutkan lOmg selama 12 minggu. Selama tersebut, terutama mekanisme neuroplastis-
)bservasi empat minggu selanjutnya, ter- itas. Untuk tata laksana neurorestorasi bagi
;atat efek perbaikan fungsi berbahasa pada afasia, selengkapnya dapat dilihat pada bab
Dasien, yaitu diskriminasi fonemik, repetisi Prinsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera
sata, mencocokkan gambar, menamai benda Saraf.
ian peningkatan skor proses semantik leksi-
<al, serta luaran fonologi yang signifikan. C O N T O H KASUS
Laki-laki 44 tahun datang dengan keluhan ti-
Vlemantin merupakan agonis reseptor N-
dak nyambung ketika diajalc bicara sejak 4 bu-
netil-d-aspartat (NMDA], juga sudah diuji
lan sebelum masuk RS. Keluhan ini dirasakan
iengan RCT pada afasia dengan dosis lOmg
oleh istri pasien secara mendadak. Pasien
iua kali sehari dan dilaporkan berhubung-
tampak tidak memahami pertanyaan, kesuli-
m dengan efek jangka panjang perbaikan
tan mengulang pertanyaan, dan jawaban inko-
temampuan komunikasi fungsionai.
heren dengan pertanyaan, tetapi pengucapan
M o n m e d ik a m e n to s a kata-katanya jelas. Kadangkala jawaban juga
Kemajuan teknologi mutakhir dan perkem- bercampur dengan kata-kata baru yang tidak
itangan studi neurosains menghasilkan dimengerti. Pasien terkesan sulit mengingat,
nemahaman lebih mendalam tentang neu- berhitung, dan menjalankan suatu kegiatan.
rorestoratologi, yaitu ilmu yang mempela- Pasien masih dapat melakukan alctivitas dasar
ari proses reorganisasi otak dan relearning sehari-hari secara mandiri seperti makan,
pemulihan fungsionai suatu keterampilan mandi dan berpakaian. Tidak didapatkan ke­
pascacedera otak. luhan lain ataupun riwayat penyakit
Dleh karena itu, penatalaksanaan nonmedi- Pada pemeriksaan didapatkan tekanan da-
tamentosa pada afasia perlu mempertim- rah 180/100mmHg, keadaan fisik lain dan
status neurologis dalam batas normal. Di-

193
Buku Ajar Neurologi

lakukan MRI kepala menggunakan kontras 2. National Stroke Association. Aphasia. National
dua minggu kemudian (Gambar 5), Stroke Association [serial online]. 2008 [diun-
duh 28 Oktober 2016]. Tersedia dari: National
P e rta n y a a n :
Stroke Association.
1. Apakah diagnosis yang paling mung- 3. Aphasia Institute. Aphasia. ASHA [serial online]. 2008
kin pada pasien di atas? [diunduh 30 Oktober2016].Tersedia dari: ASHA
2. Komponen bahasa apa sajakah yang 4. Kertesz A, Sheppard A. The epidemiology of
aphasic and cognitive impairment in stroke,
terganggu pada pasien di atas?
age, sex, aphasia type and laterality differences.
3. Jelaskan korelasi Idinis pasien di atas Brain. 1981;104(l]:117-28.
dengan penunjang yang diberikan? 5. Yao ], Han Z, Song Y, Li L, Zhou Y, Chen W, dkk. Rela­
tionship of post-stroke aphasic types with sex, age
4. Berdasarkan lokasi lesi, vaskularisasi and stroke types. World ] Neurosci. 2015;5[l):34-9.
manakah yang paling mungkin ter­ 6. Pedersen PM, Vinter K, Olsen TS. Aphasia after
ganggu? stroke: type, severity and prognosis, the Copenhagen
aphasia study. Cerebrovasc Dis. 2004;17[l):36-43.
5. Tata laksana apakah yang dapat di-
7. Prawiroharjo P, Afasia pada stroke: tinjauan neu-
rekomendasikan? roanatomi Idinis. Dalam: Prawiroharjo P, Lastri
Ja w ab an : DN, Ramli Y, Mayza A. Neurobehavior: kumpulan
makalah workshop neurobehavior jAKNEWS
1. Afasia tipe fluen (afasia Wernicke]
2014. Jakarta: Badan Penerbit FKU1; 2014.
pada stroke iskemik. 8. Ardila A. A proposed reinterpretation and reclas-
2. Repetisi, pemahaman, penamaan, sificaation of aphasic syndromes. Aphasiology.
memori, terdapat neologisme. 2010;24(3):363-94.
10. LaneZP,Singer A, RoffwargDE.MessiasE. Differenti­
3. Lokasi lesi terletak pada lobus tempo­ ating psychosis versus fluent aphasia. Clin Schizophr
ral lari, dapat sesuai dengan hemisfer Relat Psychoses. 2011;4[4]:258-61.
dominan sebagai pusat bahasa. Seba- 11. Fridriksson J, Fillmore P, Guo D, Rorden C. Chronic Br­
gian besar strulctur yang berperan pada oca's aphasia is caused by damage to Broca's and Wer­
nicke’s area. Cerebral Cortex. 2015;25(12):4689-96.
gangguan dari komponen bahasa poin
12. Robson H, Zahn R, Keidel JK, Binney Rj, Sage K
nomor 2 terdapat pada lobus tersebut. Ralph MA The anterior temporal lobes support re­
4. Arteri serebri media (MCA) segmen sidual comprehension in Wernicke's aphasia. Brain.
M2 ldri. 2014;137(3]:931-43.
13. Zhang J, Wei R, Chen Z, Luo B. Piracetam for apha­
5. Medikamentosa terapi sesuai etiologi. sia in post-stroke patients: A systematic review and
Dapat ditambah neuroprotektor sep- meta-analysis of randomized controlled trials. CNS
erti Piracetam, donepezil, atau me- drugs. 2016;30[7):575-87.
mantin. Nonmedikamentosa dapat 14. Cohen L, Benoit N, Van Eeckhout P, Ducame B, Bru­
net P. Pure progressive aphemia. J Neurol Neuro-
dipilih terapi multi mo dalitas bahasa
surg Psychiatry. 1993;56{8):923-24.
dengan variasi sensorik serta rTMS.
15. Zumbansen A, Thiel A Recent advances in the
treatment of post-stroke aphasia. Neural Regen
DA FTARPUSTAKA Res. 2014;9(7):703-6.
1. NINDS. Aphasia. NINDS [serial online]. 2016 [di-
unduh 30 Oktober 2016], Tersedia dari: NINDS
Aphasia Information Page.

194
MILD COGNITIVE IM PAIRM ENT

Yetty Ramli

PENDAHULUAN EPIDEMIOLOGI
Keberhasilan pencapaian pembangunan ke- MCI merupakan kondisi yang sering terjadi
sehatan akan meningkatkan usia harapan pada usia 65 tahun ke atas dengan preva-
hidup. Di Indonesia angka harapan hidup lensi sekitar 10-20% pada orang tanpa de­
meningkat dari 68,6 tahun menjadi 70,8 ta- mensia. Prevalensinya meningkat seiring
hun periode 2 0 0 4 -2015 dan diperkirakan pertambahan usia. Beberapa penelitian me-
akan semakin meningkat pada tahun 2030- nyebutkan bahwa MCI dapat menjadi salah
2035 menjadi 72,2 tahun. Peningkatan usia satu bagian dari stadium prodromal demen­
harapan hidup tentu akan menimbulkan sia Alzheimer (DA). Berdasarkan hasil pene­
masalah kesehatan, termasuk penyakit de- litian yang ad a, MCI berisiko berkembang
generatif yang berdampak terhadap penu- menjadi demensia sebanyak 10-15% per-
runan fungsi kognitif. Adanya penurunan tahun dan 80% setelah 6 tahun.
fungsi kognitif akan mengganggu aktivitas
Insidens terjadinya MCI berkisar antara
sehari-hari bila sudah berlanjut menjadi de-
1-6% per tahunnya, sementara prevalen­
mensia. Perawatan demensia sendiri meru-
sinya diperkirakan antara 3-22% pertahun.
pakan beban berat yang berdampak sosial
Secara umum, prevalensi MCI menurut
dan ekonomi bagi keluarga.
Cardiovascular Health Study adalah 22% .
Gangguan kognitif seringkali dildasifikasi- Sebanyak 6% diantaranya merupakan MCI
kan sebagai gangguan kognitif demensia dan tipe amnestik dan 16% lainnya mengalami
gangguan kognitif nondemensia [mild cogni­ MCI ranah jamak, Prevalensi lebih kecil dite-
tive impairment/MCI). MCI didefinisikan se­ mukan oleh grup peneliti dari Australia. Hal
bagai penurunan fungsi dari satu atau lebih ini diduga berkaitan dengan adanya bias
ranah (domain) kognitif sebanyak 1-1,5 stan- taksiran usia yang lebih rendah dari preva­
dar deviasi di bawah usianya tanpa adanya lensi MCI yang sebenarnya.
gangguan pada aktivitas sehari-hari. Kondisi
ini merupakan transisi antara kondisi nor­ ETIOLOGI, PATOFISIOLGGI, DAN FAKTOR
mal dengan patologis (stadium simptomatik RISIKO
predemensia). Demensia diartikan sebagai Kelainan patologis pada MCI menyerupai pe-
penurunan fungsi dari satu atau lebih ranah rubahan yang didapat pada demensia dan lan-
kognitif dan disertai adanya gangguan fungsi sia dengan kognitif yang masih baik. Penelitian
sosial dan kehidupan sehari-hari. oleh Sidhi (2006) menemukan 89,6% kasus

195
Buku Ajar Neurologi

MCI pada lansia >60 tahun di dua puskesmas MCI menjadi demensia. Faktor terse-
Jakarta yang memiliki faktor risiko terbanyak but mencakup mutasi gen Apoli-
berupa diabetes melitus dan tingkat pendi- poprotein alel-E4 (ApoE4), stroke,
dikan rendah. Oleh karena itu, pengendalian obesitas, diabetes melitus, tingkat
fal<tor risiko merupakan upaya yang harus pendidikan yang rendah, penurunan
dilakukan dalam mencegah tidak terjadinya kemampuan instrumental activities
penurunan fungsi kognitif abnormal. o f daily living (IADL), dan usia. Pada
wanita, penurunan ini lebih berkait-
Secara garis besar faktor risiko pada MCI
an dengan penurunan kemampuan
terbagi menjadi faktor risiko demografis
IADL, ApoE4, tingkat pendidikan
dan biologis, yaitu:
yang rendah, adanya depresi subkli-
1. Faktor Risiko Demografis nis, pemberian obat antikolinergik,
a. Usia dan pertambahan usia. Selain itu,
Merupakan salah satu faktor risiko keterbatasan lingkungan pergaulan
utama penurunan fungsi kognitif. dan insomnia juga dapat memperbu-
Secara umum, semakin tua usia se- ruk fungsi kognitif pada wanita.
seorang, maka semakin tinggi ke- c. Pendidikan
mungkinan untuk mengalami gang- Pendidikan rendah dinilai berhubun-
guan kognitif. Berbagai studi tentang gan dengan peningkatan prevalensi de­
proses penuaan otak menyebutkan mensia, sedangkan pendidikan tinggi
proses degenerasi otak dimulai akan memperlambat timbulnya onset
pada usia 50 tahun dan meningkat demensia. Graves dkk mendapatkan
seiring pertambahan usia. Shankar orang yang berpendidikan tinggi mem-
mendapatkan bahwa volume dan punyai kapasitas otak yang jauh lebih
berat otak berkurang sekitar 5% di besar dengan jumlah sinaps yang lebih
usia 40 tahun dan pengurangan se­ banyak jika dibandingkan dengan yang
makin besar setelah usia 70 tahun. berpendidikan rendah.
Penurunan ini sejalan dengan penu­
2. Faktor Risiko Biologis
runan fungsi kognitif. Penurunan
Faktor biologis dan riwayat penyakit ke-
terjadi terutama pada korteks pre­
luarga juga berperan dalam meningkat-
frontal, sehingga dapat mengganggu
kan risiko demensia. Beberapa di anta-
fungsi kognitif, khususnya fungsi
ranya adalah:
eksekutif.
a. Penyakit dan faktor risiko kardio-
b. Jenis kelamin vaskular
Secara umum, tidak ada perbedaan Baik penyakit maupun faktor risiko
bermakna antara gangguan kognitif kardiovaskular telah banyak dise-
pada perempuan dan pria. Walaupun butkan berperan penting pada pato-
demikian, Artero melaporkan ter- genesis terjadinya penurunan fungsi
dapat faktor risiko bermakna pada kognitif, terutama demensia. Walden-
pria untuk mengalami perburukan stein meneliti mengenai peripheral

196
Mild C ognitive Im p a irm en t

arterial disease (PAD} dan mendapat- b. Cedera kepala


kan bahwa fungsi kognitif pada Terdapat korelasi antara kerusakan
pasien ini lebih buruk dibandingkan otak kronik akibat trauma dengan
pasien normotensi dan hipotensi. terjadinya DA. Sebanyak 60% kasus
Meski demikian, fungsi kognitif pada DA memiliki riwayat pernah menga-
penyakit stroke masih lebih buruk lami cedera kepala di masa lampau.
bila dibandingkan dengan PAD. Studi oleh DeKosky mendapatkan
bahwa 20-30% kelompok dengan Al­
Telah banyak penelitian yang menyim-
zheimer dan Parkinson memiliki ri­
pulkan bahwa gangguan regulasi tekanan
wayat cedera kepala, hanya terdapat
darah, khususnya hipertensi, memiliki
8-10% riwayat cedera kepala saja
hubungan positif terhadap penurunan
pada kelompok kontrol.
fungsi kognitif. Mekanisme utamanya
dipengaruhi oleh tekanan darah sisto- Selain DA, dikenal pula demensia pUgi-
lik Keadaan ini menyebabkan adanya listik atau sindrom punch-drunk yang
gangguan mikrosirkulasi dan disfungsi sering terjadi pada mantan petinju,
endotel. Studi dari Fakhrunnisa dkk pemain bola, dan pegulat. Kedua jenis
mendapatkan prevalensi gangguan demensia ini berkaitan dengan adanya
kognitif pada pasien hipertensi de- disposisi sel (3-amiloid dan plak seni­
rajat II lebih tinggi (62,5% ) daripada lis. Perbedaan keduanya, yaitu pada
derajat I (35,1% ). Namun, hipotensi demensia pugilistik peningkatan dis­
bukanlah merupakan faktor protek- posisi sel p-amiloid tidaklah sebanyak
tif. Tekanan darah rendah kronis juga pada DA, selain itu, distribusinya lebih
akan mengiringi penurunan performa difus dibandingkan pada Alzheimer.
kognitif, terutama atensi dan memori.
c. Penyakit endokrin dan metabolik
Hubungan antara hiperkolesterol- Fellgiebel dkk mendapatkan bahwa
emia dengan gangguan fungsi kognitif gangguan metabolik berperan dalam
masih kontroversi. Dikatakan hiper- percepatan terjadinya aterosklerosis
kolesterolemia memiliki hubungan dan penurunan perfusi darah ke otak
yang kuat sebagai faktor risiko ter- yang berimbas terhadap terjadinya
jadinya DA dan demensia vaskular neurodegenerasi. Gangguan metabo­
(DVa). Sementara itu, pada studi lain lik yang dapat menyebabkan penu­
justru menyebutkan hiperkolesterol- runan fungsi kognitif terutama dikait-
emia merupakan faktor protektif ter- kan dengan gangguan kadar glukosa
hadap kejadian DA. Meski demikian, darah. berupa hiperglikemia maupun
dari beberapa studi eksperimental hipoglikemia.
menyebutkan bahwa metabolisme
Sejumlah bukti menunjukkan bahwa
lipid berasosiasi dengan patogenesis
peningkatan kadar glukosa darah kro­
terjadinya DA dan DVa.
nik dan buruknya kendali glikemik

197
Buku Ajar Neurologi

berkaitan dengan rendahnya performs Beberapa studi melaporkan bahwa


tes memori dan kognitif. Kurniawan estrogen merupakan neuroprotektor
dkk menyebutkan bahwa kejadian yang dapat memperlambat manifestasi
MCI berhubungan erat de-ngan ken- DA. Defisiensi hormon ini mengakibat-
dali glikemik. Semakin buruk kendali kan beberapa gangguan fungsi otak ter-
glikemik, semakin besar kemungki- masuk gangguan transportasi glukosa
nan terjadinya gangguan kognitif. Hal ke hipokampus. Defisiensi juga akan
ini diduga berkaitan dengan adanya berdampak pada gangguan pengambi-
penurunan sintesis dan pelepasan ian kolin sebagai bahan dasar asetilko­
asetilkolin serta neurotransmiter lain lin di presinaptik serta merusak resep-
dalam otak. tor di postsinaptik.

Kelainan pada hormon tiroid disinyalir Menurunnya kadar estrogen di hipo-


menjadi salah satu faktor penyebab talamus mengakibatkan gangguan
gangguan fungsi kognitif. Terdapat vasomotor perubahan selera makan,
dua hipotesis besar yang diterima dan perubahan tekanan darah. Se­
dalam menjelaskan hubungan antar lain itu dapat muncul tanda-tanda
keduanya, Hipotesis pertama dan pa­ gangguan perilaku, seperti depresi,
ling diterima adalah efek toksik hor­ ansietas, stres, dan demensia. Gang­
mon tiroid di SSP. Stres oksidatif otak guan tidak hanya terjadi pada wanita
akibat hormon tiroid berlebih atau menopause, tetapi juga lansia pria
adanya tromboemboli dari jantung pada umumnya.
akibat hipertiroidisme ringan menjadi Beberapa penelitian mendapatkan
mekanisme yang mendasari terjadi­ peningkatan kadar testosteron bebas
nya gangguan fungsi kognitif. berkorelasi dengan fungsi kognitif
Mekanisme kedua terkait adanya per- secara global. Penelitian oleh Moffat
ubahan neurodegeneratif di otak Tu- dkk dan Cherrier dkk menemukan
runnya kadar thyroid releasing hormone bahwa peningkatan kadar testosteron
(TRH) akan menyebabkan penurunan bebas pada usia lanjut berdampak
kadar thyroid stimulating hormone pada perbaikan perilaku yang nyata
(TSH). TRH disekresi tidak hanya oleh serta perbaikan memori visual dan
hipotalamus, tetapi juga bagian lain verbal, atensi, serta kemampuan vi-
dari otak dan berperan dalam produksi suospasial. Sebaliknya, kadar testos­
neurotransmiter sistem saraf pusat. teron rendah berasosiasi dengan pe­
ningkatan faktor risiko DA yang tidak
Penurunan TRH ini dikaitkan dengan
berkaitan dengan kondisi kesehatan,
fosforilase dari protein Tau yang ber­
umur, ataupun pendidikan.
peran dalam patogenesis DA. Selain
itu, penurunan TRH juga diasosiasikan d. Faktor genetik
dengan penurunan sintesis asetilkolin Seperti disebutkan sebelumnya, MCI
yang juga terjadi pada DA. disinyalir merupakan stadium pro­

198
Mild Cognitive Im p airm en t

dromal dari terjadinya DA. ApoE4 neurofilamen. Penanda imun seperti


disebut berperan secara genetik human leukocyte antigen (HLA-B7,
terhadap terjadinya MCI. ApoE4 BW15, dan CW3) juga ditemukan me-
berperan sebagai mediator depo- ningkat sebagaimana pada penyakit
sisi amiloid dan peningkatan depo- autoimun lainnya. Proses inflamasi
sisi ini ditemukan pada stadium dini dapat mengakibatkan kerusakan
DA. Sekitar 70% autosomal dominan neuron pada patofisiologi DA dengan
dari DA presenilis memiliki kesalah- cara peningkatan IL-1 dan penurunan
an pada kromosom 14, 21, dan 1, CD8. Berbeda dengan penyakit Par­
sedang-kan pada DA senilis terletak kinson dan DVa, ditemukan penum-
pada kromosom 19 dari gen ApoE4. pukan sitokin IL-ip, IL-2, dan IL-3
pada jaringan hipokampus pasien DA.
e. Faktor neuropsikiatrik
Canadian Study o f Health dan Aging
g. Radikal bebas
(CSHA) mendapatkan bahwa gang-
Radikal bebas dapat menyebabkan
guan psikiatrik berisiko meningkat-
perubahan ldmiawi yang berimplikasi
kan angka demensia adalah depresi,
terhadap kerusakan berbagai kompo-
kehilangan minat, perubahan kepriba-
nen jaringan tubuh seperti protein, li­
dian, dan mood. Gangguan ini berisiko
pid, karbohidrat, dan nukleotida. Pros­
berkembang menjadi demensia dalam
es peroksidasi lipid pada membran sel
5 tahun. Stres berlebih dan berkelan-
kemudian berlanjut menjadi proses
jutan akan memperburuk fungsi hi-
autokatalisis pada neuron menjadi
pokampus. Ini terjadi akibat intoksi-
penyebab DA. Proses ini secara lang­
kasi kortisol langsung di hipokampus
sung menyebabkan kematian neuron
dapat menyebabkan gangguan me-
yang dapat berdampak pada aktivasi
tabolisme ataupun kematian neuron,
neurotransmiter lainnya, seperti asam
berupa gangguan pembelajaran dan
amino eksitatorik yang bersifat toksik
memori bailt pada hewan percobaan
dan mengganggu produksi ATP.
maupun pada manusia.
f. Proses autoimun dan inflamasi GEJALA DAN TANDA KLINIS
Proses penuaan dan kerusakan sel MCI pertama kali diperkenalkan oleh Peter­
otak dapat dipercepat dengan adanya sen pada tahun 1999, Istilah ini digunakan
proses autoimun maupun inflamasi. untuk menggambarkan suatu keadaan tran-
Autoantibodi yang bereaksi dengan sisi antara stadium normal dan stadium
sel-sel saraf dapat ditemukan pada ringan DA, yaitu adanya gangguan kognitif
plasma hewan percobaan dan juga awal berupa gangguan fungsi memori, na-
usia lanjut. Pada serum pasien DA mun aktivitas sehari-hari masih dalam batas
sering ditemukan antigen terhadap normal.

199
Buku Ajar Neurologi

Tabel 1, Klasifikasi Tipe Mild Cognitive Im pairm ent (MCI) Berdasarkan Dugaan Etiologi
Etiologi
Klasifikasi Klinis
Degeneratif Vaskular Psikiatrik Keadaan Medis
MCI am nestik 00
° Ranah tunggal DA Depr 00
* Ranah jamak DA DVa Depr (0
MCI non-am nestik 00
* Ranah tunggal FTD 00 (-1
• Ranah jamak DLB DVa to
MCI: mild cognitive impairment; DA: demensia Alzheimer; DFT: demensia frontotemporal; DIB:
demensia badan Lewy; Dva: demensia vaskular; Depr: depresi
Sumber: Petersen RC, Journal oflnternal Medicine. 2004. h. 183-94.

Dalam berbagai penelitian, Petersen me- 3. MCI non-amnestik ranah tunggal (MCI
nemukan subyek dengan MCI dapat me- non-amnestic single dom ain/ MCI-NASD)
miliki gangguan pada satu atau beberapa
MCI non-amnestik ranah tunggal adalah
ranah lainnya selain memori. Keadaan ini MCI dengan gangguan pada satu ranah
terutama pada kelompok lanjut usia yang fungsi kognitif selain memori. Etiologi
sudah memiliki faktor risiko vaskular, sep- tipe ini adalah faktor degeneratif, tetapi
erti hipertensi dan diabetes melitus. Pe­ dapat pula vaskular. Mayoritas pasien,
tersen kemudian membagi MCI menjadi akan berkembang menjadi demensia
empat subgrup, yaitu (Tabel 1): lain selain DA.
1. MCI amnestik (MCIa) ranah tunggal 4. MCI non-amnestik ranah jamak (satu
MCIa ialah tipe MCI dengan gangguan atau lebih ranah nonmemori)
memori saja tanpa disertai gangguan fung- MCI tipe ini merupakan MCI dengan
si kognitif lain. Etiologi tipe ini ialah faktor gangguan pada lebih dari satu ranah
degeneratif. Jenis ini diasumsikan sebagai kognitif. Etiologinya adalah campuran
subkelas MCI yang akan berkembang men- antara faktor degeneratif dan vaskular.
jadi DA. Menurut Petersen RC, 10-15% jenis ini diasumsikan akan berkembang
subyek dengan MCIa akan berkonversi menjadi DVa atau demensia badan Lewy.
menjadi DA dalam waktu 3-6 tahun.
2. MCI amnestik ranah jamak (memori di­ DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
sertai gangguan kognitif lain]
Penegakan diagnosis MCI dilakukan ber­
MCI tipe Ini merupakan MCI dengan gang­
dasarkan anamnesis lengkap, pemeriksaan
guan memori sebagai gangguan utama
status neurologi termasuk pemeriksaan
dan disertai gangguan fungsi kognitif
status mental dan neurobehaviour lengkap.
lainnya. MCI tipe amnestik, baik ranah
Berikut ini adalah kriteria yang dibutuhkan
tunggal maupun jamak, berpotensi men­
dalam penegakan MCI:
jadi DA ke depannya.

200
Mild Cognitive Im p a irm en t

1. Keluhan penurunan fungsi memori dari Selain anamnesis yang didapat dari pasien
pasien dan informan dan informan, penegakan diagnosis MCI juga
2. Gangguan memori sesuai dengan usia ditunjang dengan pemeriksaan lanjutan.
dan pendidikan. Pemeriksaannya mencakup pemeriksaan
laboratorium dan pencitraan untuk men-
3. Fungsi kognitifsecara umum masih baik
cari etiologi. Sindrom MCI akibat degeneratif
4. Fungsi aktivitas sehari-hari masih baik
akan memberikan gejala klinis yang sifatnya
5. Tidak demensia bertahap dan progresif, sedangkan apabila
etiologi akibat gangguan pembuluh darah
Secara umum, penegakan diagnosis pada akan bersifat akut, memiliki faktor risiko
MCI, dimuiai dengan ditentukan dari ada/ti- vaskular, riwayat stroke, dan serangan iske-
daknya gangguan memori. Jika hanya ranah mik sepintas/transient ischemic attack (TIA].
memori saja yang terganggu, termasuk MCI
tipe amnestik, namun jika disertai ranah Pada akhirnya gejala dan tanda klinis MCI
yang lain terganggu, maka termasuk MCI dapat berakhir menjadi penyakit degenera­
tipe amnestik ranah jamak. Apabila keluhan tif yang lebih berat. Tabel 2 merupakan ben-
tuk lanjut dari MCI sesuai dengan riwayat,
awal bukan memori, ini merupakan MCI
gejala, ataupun tanda ldinisnya.
tipe non-amnestik (Gambar 2].

Gambar 2. Algoritma Pendefeatan Diagnosis Mild Cognitive Impairment (MCI)


Sumber: Petersen RC, N Engl I Med. 2011. h. 2227-34.

201
Buku Ajar Neurologi

Tabel 2. Diagnosis Banding Menurut Riwayat, Gejala, atau Tanda Minis


Riwayat, Gejala, atau Tanda Minis Diagnosis Banding
Gangguan memori mencolok Penyakit Alzheimer
Kemungkinan lain:
o Efeksampingobat
® Demensia badan Lewy
® Depresi
® Demensia vaskular
® Ensefalopati kronik akibat trauma
Rigiditas, tremor, gangguan gait, dan/atau gejala Demensia badan Lewy
parkinsonisme Kemungkinan lain:
« Penyakit Parkinson
» Progressive supranuclear palsy
® Degenerasi kortikobasal
® Demensia vaskular
® Demensia frontotemporal
* Normal pressure hydrocephalus
® Penyakit Creutzfeldt-Jakob
Halusinasi visual mengenai orang dan/atau hewan
Demensia badan Lewy
Kemungkinaniain:
Penyakit Alzheimer, terutama bila halusinasi berkaitan
dengan distorsi memori atau salah persepsi (contoh: suami
disangka ayah pasien]
Gangguan perilaku dini dan mencolok atau dis- • Penyakit Alzheimer
fungsi eksekutif » Demensia frontotemporal
Kemungkinan lain:
• Demensia vaskular
• Demensia badan Lewy
» Progressive supranuclear palsy
® Degenerasi kortikobasal
® Normal pressure hydrocephalus
Disfungsi dari berbahasa dan/atau bicara yang ® Penyakit Alzheimer
terjadi dini dan mencolok ® Primary progressive aphasia

® Demensia frontotemporal
® Progressive supranuclear palsy
« Degenerasi kortikobasal
« Apraksia bicara progresifprimer
® Demensia vaskular
Riwayat stroke dan/atau transient ischemic at­ Demensia vaskular
tacks (TIA) Penyakit Alzheimer
Riwayat olahraga kontak dan/atau konkusi berulang ® Penyakit Alzheimer
« Ensefalopati kronis akibat trauma
Penurunan kognitif dengan cepat ® Efek samping obat
« Masalah medis akut
® Masalah neurologis akut
Kemungkinan lain:
® Penyakit Creutzfeldt-Jakob
® Riwayat penyakit yang tidak tepat (penurunan sebenar-
^ _____ ______nva lambatl_______ _____________________
dumberbtiudson At, dKit. Memory loss, Alzheimer's disease, and dementia: a practical guide tor clinicians. Z U lb . n. 3y-4-d.

202
Mild Cognitive Im p airm en t

TATA LAKSANA ma/catur/teka teki silang/kartu/sudoku


Tidak ada bukti ilmiah obat-obatan yang secara teratur, kegiatan memasak mandiri,
dapat mencegah MCI menjadi demensia se- mengerjakan hobi, membaca buku/ma-
cara efektif. Strategi utama tata laksana pence- jalah/koran, menonton siaran berita, atau-
gahan terjadinya demensia lebih ditekankan pun menonton siaran televisi/bioskop.
pada pengendalian faktor risiko vaskular dan
prevensi stroke primer maupun sekunder. CONTOH KASUS
Strategi ini mencakup kontrol tekanan darah, Pasien laki-laki-laki 56 tahun berobat ke
berhenti merokok, penggunaan statin, terapi poli fungsi luhur dengan keluhan mulai
antiplatelet, dan antikoagulan. sering lupa dalam aktivitas sehari-hari.
Pasien diketahui menderita hipertensi se-
Meski demikian, selain strategi di atas, bebe-
menjak 5 tahun yang tidak kontrol rutin
rapa kepustakaan masih tetap memberikan
makan obat. Tidak ada riwayat diabetes,
terapi medikamentosa pada pasien-pasien
stroke, penyakit jantung, dan pasien tidak
dengan gangguan kognitif, Penggunaan
merokok. Pasien tidak pernah olahraga ru­
penghambat kolinesterase [memantin] di-
tin sejak pensiun dan lebih banyak diam
rekomendasikan untuk mengatasi gejala
di rumah. Pemeriksaan fisik didapatkan
apati, dan pemberian golongan SSRI untuk
tekanan darah 180/90mmHg, nadi 88x/
mengatasi gejala depresi serta ansietas.
menit, suhu 36,5°C respirasi 18x/menit.
Beberapa penelitian menyebutkan terdapat status neurologi tidak ada defisit neurolo-
hubungan plastisitas otak dengan fungsi kog­ gis saraf kranial funduskopi ditemukan
nitif. Melalui mekanisme ketahanan faktor fundus hipertensi derajat II, motorik, sen-
neurotropik pada otak terutama brain-derived sorik, dan otonom. Pemeriksaan tes MoCA
neurotrophic factor (BDNF). BDNF akan ber- didapatkan skor 25/30.
peran sebagai mediator utama dari efikasi
Pertanyaan
sinaptik, penghubungan sel saraf dan plas­
1. Anamnesis dan pemeriksaan apa yang
tisitas sel saraf. Aktivitas fisik dan mental/
perlu ditambahkan?
kognitif yang rutin dilakukan setiap hari akan
meningkatkan sirkulasi dan oksigenasi otak, 2. Apa diagnosis gangguan kognitif pada
sehingga dapat meningkatkan kemampuan pasien ini?
berpikir. Aktivitas fisik dapat berupa olahraga 3. Bagaimana tata laksana pada pasien ini?
rutin, kendali stres, interaksi sosial yang baik
dengan lingkungan, dan stimulasi kognitif. Pembahasan kasus
X. Anamnesis yang perlu ditanyakan:
Wreksoatmodjo memperlihatkan bahwa
pasien lanjut usia yang melakukan aktivitas ® Pendidikan terakhir pasien
kognitif secara rutin akan mempunyai fungsi • Riwayat penyakit dan obat-obatan
kognitif yang lebih baik dibandingkan yang yang dapat menggangu fungsi kognitif
tidak menggunakan penilaian indeks social ® Riwayat penyakit lain seperti trauma
disengagem ent Aktivitas kognitif tersebut kepala, infeksi otak, tumor otak, epi-
meliputi, kegiatan berupa permainan hal- lepsi, dan lain-lain

203
Buku Ajar Neuro log i

• Riwayat keluarga dengan penurunan 4. Petersen RC. Mild cognitive impairment. N engl j
kognitif seperti DA, vaskular, dan lain-lain med. 2011;364(23];2227-34.
5. Sidhi P. Gambaran gangguan kognitif pada lanjut usia
© Riwayat aktivitas sehari-hari dan nondemensia di puskesmas Tebet dan Pasar Minggu
hobi yang masih disenangi, interaksi [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia; 2003.
aktivitas sosial 6. Rizzi L, Rosset I, Roriz-Cruz M. Global epidemiology
of dementia: Alzheimer's and vascular types. Bio
Pemeriksaan yang perlu ditambahkan: Med Research Ind. 2014:1-8.
® Pemeriksaan fisik 7. Moon JH. Endocrine risk factors for cognitive im­
pairment. Endocrinol metab. 2016;31(2]-.185-92.
® Status emosional 8. Kurniawan M, Mayza A, Harris S, Budiman. Hubun-
® Pemeriksaan laboratorium: laborato- gan hendaya kognitif non demensia dengan kendali
rium darah tepi, hiperlipidemia, hiper- glikemik pada penyandang diabetes melitus tipe 2 .
Neurona. 2010;27(3):1-12
urisemia, gangguan tiroid, fungsi ginjal
9. Fakhrunnisa. Gambaran gangguan kognitif pada
® Pemeriksaan imaging MRI |ika dicuri- penyandang hipertensi dan faktor-faktor yang
gai gangguan akibat hipertensi small mempengaruhi pada beberapa puskesmas di Ja­
vesel disease karta [Tesis], Depok: Universitas Indonesia; 2012.
10. Duschek S, Schandry R. Reduced brain perfusion
2. MCI tipe amnestik and cognitive performance due to constitutional
hypotension. Clin auton res. 2007;17(2):69-76.
3. Tatalaksana 11. Sundman MH, Hall EE, Chen NK. Examining the
® Pengendalian faktor risiko yang di relationship between head trauma and neuro-
dapatkan dan terapi nonmedikamen- degenerative disease: a review of epidemiology
pathology and neuroimaging techniques. J AI-
tosa aktivitas fisik dan mental dengan
zheimers dis Parkinsonism. 2014;4:137-83.
stimulasi kognitif 12. Petersen RC. Mild cognitive impairment: current
® Edukasi research and clinical implications. Semin Neurol.
2007;27(1):22-31.
© Penjelasan tentang perjalanan penya-
13. Prawiroharjo P, Lastri DN, Ramli Y, Mayza A. Neu­
kit dan pentingnya pengendalian fak­ robehavior: kumpulan makaiah workshop neu­
tor risiko hipertensi dengan kognitif robehavior Jaknews 2014. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014.
DAFTAR PUSTAKA 14. Petersen RC. Mild cognitive impairment as a di­
agnostic entity. Journal of Internal Medicine.
1. Mesulam MM. Principal of behavioral and cogni­
2004;256:183-94.
tive neurology. Edisi ke-2. New York. Oxford Uni­
15. Budson AE, Solomon PR. Approach to patient with
versity Press; 2000.
memory loss, mild cognitive impairment, or de­
2. Mayeux R, Stern Y, Epidemiology of Alzheim­
mentia. Dalam: Budson AE, Solomon PR. Memory
er Disease. Cold Spring Harb Perspect Med.
loss, Alzheimer's disease, and dementia: a practical
2012;2(8):a006239.
guide for clinicians. Elsevier Inc; 2016. h. 39-45.
3. Petersen RC, Caracciolo B, Brayne C, Gauthier S, Jel-
ic V, Fratiglioni L. Mild cognitive impairment: a con­
cept in evolution. J o Int Med. 2014;275(3):214-28.

204
DEMENSIA

Diatri Nari Lastri

PENDAHULUAN laksanaan yang komprehensif baik dari segi


Peningkatan pelayanan kesehatan yang di- medis maupun sosial ekonomi.
sertai dengan peningkatan kualitas hidup,
akan meningkatkan usia harapan hidup di EPIDEMIOLOGI
negara maju dan berkembang. Hal ini me­ Data World Health Organization (WHO)
ningkatkan populasi usia lanjut, sehingga menunjukan hampir 48 juta orang di dunia
akan terjadi peningkatan jumlah orang de­ hidup dengan demensia. Terdapat 7,7 juta ka­
ngan demensia. sus baru tiap tahun dan lebih dari setengah-
nya (63%) hidup di negara-negara kelas
Demensia merupakan sindrom penurunan
menengah ke bawah. Prince dkk (2010)
fungsi intelektuai yang cukup berat diban-
mendapatkan 58% orang dengan demen­
dingkan sebelumnya, sehingga mengganggu
sia hidup di negara kelas menengah ke
aktivitas sosial dan profesional dalam akti-
bawah yang diramalkan meningkat hingga
vitas hidup keseharian (actvity o f daily living),
63% di tahun 2030 dan 71% di tahun 2050.
biasanya disertai perubahan perilaku yang
Sayangnya angka ini tidak mencakup studi
bukan disebabkan oleh delirium maupun
dari Indonesia.
gangguan psikiatri mayor. Penyakit ini ter-
utama terjadi pada usia lanjut dan bukan Data statistik mengenai DA secara global
merupakan kondisi normal karena berkai- diperkirakan mencapai 24 juta kasus, yaitu
tan dengan penyakit neurodegeneratif. 60% dari keseluruhan demensia, sedangkan
DVa merupakan tipe demensia terbanyak
Demensia yang paling banyak terjadi adalah
kedua setelah DA (20% ). Hal ini tampak-
demensia Alzheimer [DA), mencapai lebih
nya berkaitan karena kedua tipe demensia
dari setengah kasus demensia. Demensia
ini memiliki faktor risiko yang sama. Pre-
lainnya yang juga umum terjadi adalah de­
valensi DLB maupun DFT belum diketahui
mensia vaskular (DVa), demensia badan
secara pasti. Prevalensi DLB ditaksir antara
Lewy/Lewy bodies [DLB], demensia penya­
satu kasus per 25 kasus demensia di ko-
kit Parkinson (DPP), demensia frontotem­
munitas dan satu per 13 kasus di fasilitas
poral (DFT), dan demensia campuran. Si-
kesehatan sekunder. Angka tersebut diper­
fatnya yang kronik progresif memengaruhi
kirakan dapat lebih tinggi, namun terken-
kapasitas dan kualitas hidup pasien, se­
dala penegakan diagnosisnya. DFT meru­
hingga diagnosis demensia penting ditegak-
pakan bentuk demensia onset dini tersering
kan sejak dini agar dapat dilakukan penata-

205
Buku Ajar Neurologi

kedua setelah DA, dengan prevalensi antara merupakan produk fisiologi normal dari
2,7-15,1 per 100.000 usia dewasa. Preva­ APP dan merupakan komponen solubel
lensi tertinggi DFT dilaporkan dari studi dari plasma dan cairan serebrospinal.
di Inggris dan Italia, yaitu 15-22 kasus per
Terdapat dua varian terminal karboksil
100,000 penduduk berusia 45-65 tahun,
dari Ap, yaitu AP40yang merupakan sekret
spesies utama dari sel kultur dan terdapat
DEMENSIA ALZHEIMER
pada cairan serebrospinal. Varian kedua
A. Patofisiologi adalah Ap42 yang merupakan komponen
Neuropatologinya terutama berhubungan utama amiloid yang berdeposit di otak
dengan peptida beta-amiloid (A(3), serta pada DA. Peningkatan Ap42 lebih sering
neurofibrillary tangles (NFTsj yang berasal mengalami agregasi dan membentuk
dari hiperfosforilasi protein tau, Karak- fibril. Neurotoksin yang dihasilkan oleh
teristik neuropatologi DA adalah berupa agregasi Ap akan menyebabkan beberapa
hilangnya neuronal selektif dan sinaps, mekanisme, seperti akumulasi radikal
adanya plak neuritik yang mengandung bebas, disregulasi dari homeostasis kal-
peptida beta-amiloid (Ap), serta neurofi­ sium, respons inflamasi, dan adanya ak-
brillary tangles (NFTsj yang berasal dari tivasi dari beberapa signaling pathway
hiperfosforilasi protein tau (Gambar 1). Dapat disimpulkan bahwa neuropatologi
Plak neuritik yang terjadi merupakan DA kompleks, multifaktorial, dan meli-
lesi ekstraseluler yang tersusun atas inti batkan berbagai mediator kimiawi yang
sentral dari agregasi Ap peptida yang berkaitan dengan proses degeneratif di
dikelilingi oleh distrofi neuritik, aktiva- otak (Gambar 1).
si mikroglial, dan astrosit reaktif. NFTs
sendiri merupakan buntalan filamen B. Gejala dan Tanda Klinis
dalam sitoplasma sel saraf yang menge- DA ditandai dengan penurunan fungsi
lilingi sel saraf. kognitif yang didahului oleh penurunan
daya ingat dan pada akhirnya akan me-
Deposisi Ap pada otak merupakan salah ngenai seluruh intelektualitas pasien
satu implikasi dari patogenesis DA. Pada dan menyebabkan beban dalam men-
proses neurodegenerasi demensia, aku- jalani aktivitas sehari-hari ringan sekali-
mulasi Ap (khususnya Ap42peptida) pada pun. Ranah kognitif yang paling tergang-
otak merupakan inisiasi terjadinya dis- gu adalah memori dengan kemampuan
fungsi neuron. Adanya mutasi gen amy­ rekognisi terganggu. Gejala ini muncul
loid precursor protein (APP) padakromo- perlahan-lahan dan bertambah berat, se-
som 21, presenilin (PS)1 pada kromosom hingga ranah kognitif lain, seperti visuo-
14, dan PS2 pada kromosom 1 mengarah spasial, fungsi eksekutif, memori, atensi,
pada early-onset DA tipe familial. Pada tipe dan bahasa dapat terganggu.
ini terjadi produksi berlebihan dan/atau
peningkatan agregasi Ap. Beta-amiloid

206
Demensia

Gangguan Disregulasi A(J42


vaskularlsasi otak Agregasi AB clearance Faklorrisifeo
42^ DAfamilial
~ r ~ Mutasi gen APP di kromosom 21
Astrosit Aktivass Mutasi PS1 di kromosom 14
reaktif mlkroglia PlakAp Mutasi PS2 di kromosom 2
-------" 1.......... 1

\;_____
Disregulasi Dlstrofi
toksin
kalsium neuritik

\f
Gsnggu
Red kal Reaksi
signaling
bebt s infiamasi
mthwm?
Jk.
Disfungsi neuronal <:
T
HIperfosforilasi protein tau

HFT

Plak neuritik

D E M E N S IA
ALZHEIMER
Gambar 1. Patofisiologi Demensia Alzheimer
Ap: p-amiloid; DA: demensia Alzheimer; APP: amyloid precursor protein; PS1: presenilin-1; PS2: presenilin-2;
NFT: neurofibrillary tangles

C. Diagnosis dan Diagnosis Banding ditambah satu dari afasia, apraksia, ag­
Diagnosis demensia harus dilakukan nosia, atau disfungsi eksekutif.
melalui evaluasi komprehensif dengan
D. Tata Laksana
tujuan untuk diagnosis dini, penilaian
1. Medikamentosa
komplikasi, dan penegakan penyebab
a. Inhibitor asetilkolinesterase
demensia. Pedoman DSM-IV sering di-
[acetylcholinesterase inhibitor j
gunakan sebagai baku emas, yaitu meng-
AChE-I)
haruskan adanya gangguan memori

207
Buku Ajar Neurologi

AChE-I bekerja sebagai penguat kan efek samping 2/3 Iebih se-
kognisi dengan meningkatkan ka- dikit, berupa mual dan muntah.
dar asetilkolin di otak untuk meng-
b. Antagonis reseptor NMDA (me-
kompensasi hilangnya fungsi kolin-
mantinj
ergik. Ada beberapa pilihan, yaitu:
Penggunaan memantin 20mg/hari
® Donepezil memberikan sedikit perbaikan un­
Donepezil efektif dalam terapi tuk pasien dengan DA ringan-se­
penurunan kognisi DA ringan- dang setelah 24 minggu. Memantin
sedang dan DA sedang-berat. disetujui untuk demensia sedang
Dosis lOmg/hari memberikan hingga berat dengan memberikan
manfaat iebih besar diban- manfaat pada fungsi kognisi, mood,
dingkan 5mg/hari. Insidens dan perilaku.
efek samping donepezil diban-
c. Kombinasi obat golongan AChE-I
dingkan dengan plasebo tidak
dengan memantin
jauh berbeda, efek itupun hanya
Pada penelitian uji klinis terhadap
bersifat sementara, dengan de-
404 subyek dengan demensia se­
rajat ringan atau sedang.
dang sampai berat yang sedang
® Galantamin
menggunakan donepezil, kemudian
Galantamin memberi manfaat,
subyek dibagi menjadi dua kelom-
namun hanya sedildt perbaikan
pok, masing-masing ditambahkan
pada DA ringan-sedang, demiki-
memantin atau plasebo. Kelompok
an pula pada DA sedang-berat
yang memperoleh donepezil plus
Meskipun galantamin dapat
memantin menunjukkan hasil se­
memperbaiki fungsi kognitif,
dikit Iebih baik pada fungsi global,
namun tidak menunjukkan per­
fungsi kognitif, ADL, dan behavioral
baikan dalam aktivitas global
and psychological symptoms o f de­
sehari-hari.
mentia (BPSD).
• Rivastigmin
Bermanfaat untuk DA dengan 2. Nonmedikamentosa
Tujuan terapi nonmedikamentosa
dosis Iebih tinggi (6-12mg/
atau intervensi psikososial adalah
hari}. Patch rivastigmin 17,4mg
meningkatkan kualitas hidup orang
dan 9,5mg menunjukkan efi-
dengan demensia. Apabila pendeka-
kasi yang sama dengan kapsul
(6mg dua kali sehari). Terdapat tan psikososial tunggal tidak opti­
sedildt keuntungan penggunaan mal, diperlukan pendekatan multidi-
rivastigmin pada DA sedang-be­ mensial untuk intervensi yang Iebih
rat, namun tidak ada bukti yang efektif. Pendekatan sebaiknya terfokus
pada individu dan disesuaikan dengan
mendukung pada DA berat. Bila
kebutuhan, kepribadian, kekuatan dan
dibandingkan dengan kapsul,
patch 9,5mg hanya menghasil- preferensi.

208
Demensia

Beberapa hal penting yang harus di- melibatkan kelainan pembuluh darah
perhatikan, yaitu masalah aktivitas dengan manifestasi perdarahan (terma-
sehari-hari agar mandiri, meningkat- suk perdarahan mikro] ataupun iskemia
kan fungsi, beradaptasi dan belajar (hipoksemia], Hipoksemia yang terjadi
keterampilan, serta meminimalkan dapat bersifat akut dan kronik. Hipok­
bantuan. Oleh karena itu, intervensi semia akut dengan lesi lokal, biasanya
dibagi menjadi 3 kelompok: berupa infark, sedangkan hipoksemia
global berbentuk nekrosis korteks lami-
a. Mempertahankan fungsi
ner, sklerosis hipokampus, dan infark
® Mengadopsi strategi untuk
watershed, Pada hipoksemia kronik,
meningkatkan kemandirian
mani-festasinya berupa lesi pada sub-
® Memelihara fungsi kognitif
stansia alba (Gambar 2). Manifestasi Mi­
b. Manajemen perilaku sulit: agitasi, nis tampak lebih jelas
agresi, dan psikosis
pada keterlibatan pembuluh darah be-
c. Mengurangi gangguan emosional sar, sedangkan pada pembuluh darah
komorbid otak yang lebih kecil (perdarahan mikro
dan leukoaraiosis], manifestasinya mini­
DEMENSIA VASKULAR mal atau bahkan asimtomatik {silent in­
A. Patofisiologi farct).
Secara umum patofisiologi terjadinya DVa

Gambar 2. Patofisiologi Utama pada Demensia Vaskular


Dimodifikasi dari: Korczyn AD, dkk. Vascular dementia, J neurol sci. 2012. h. 2-10,

209
Baku Ajar Neurologi

Gambar 3. Patofisiologi Terjadinya Demensia Vaskular


ApoE2: apolipoprotein alel-E2
Dimodifikasi dari:

Berikut beberapa jenis demensia vaskular mengalami kejadian DVa dalam 6 bulan
beserta penyebabnya (Gambar 3): setelah serangan stroke pertama (.single­
infarct dementia ). Kejadian timbulnya
X, Demensia Pascastroke
gejala DVa meningkat seiring dengan
Demensia pascastroke atau post-stroke
besar lesi yang dihasilkan pascastroke
dementia (PSD] didefinisikan sebagai
dan banyaknya riwayat kejadian stroke
demensia yang terjadi setelah stroke
(stroke berulang) yang memungkinkan
dan disebabkan oleh penyakit vaskular,
terjadi lesi yang lebih banyak.
degeneratif, atau keduanya, Pasien den-
gan riwayat stroke akan lebih berisiko a. Single strategic-infarct dementia
mengalami demensia 3-5 kali lebih be- DVa pascastroke dapat terjadi akibat
sar dibandingkan dengan pasien tanpa lesi pada regio kortikal maupun sub-
riwayat stroke sebelumnya. Terdapat kortikal, dan dapat berupa suatu pro­
sekitar 20% pasien yang kemudian akan ses iskemik maupun hemoragik Pada

210
Demensia

lesi di regio kortikal, demensia akan b. Cerebral autosomal dominant arteri -


terjadi jika daerah fungsi heteromodal opathy with subcortical infarcts and
otak ikut terlilbat, termasuk sistem lim- leukoencephalopathy (CADASIL)
bik atau area asosiasi kortikal. Tiga lo-
CADASIL mulai dikenal pada tahun 1993
kasi utama infark terisolasi yang akan
sebagai penyebab baru DVa murni. Pe­
mengacu pada kejadian DVa, yaitu: gi-
nyakit ini merupakan penyakit bawaan
rus angularis pada regio arteri serebri
langka akibat adanya mutasi NOTCH3
media, inferomesial lobus temporal
kromosom 19. Pada pemeriksaan his-
pada regio arteri serebri posterior, dan
topatologisnya, didapatkan deposisi ma­
mesial lobus frontal pada regio arteri
ted granular dalam dinding arteri kecil
serebri anterior.
dan arteriol, sehingga menyebabkan pe-
Lesi subkortikal terutama subcortical- nyempitan lumen dan destruksi sel otot
cortical loops akan memberikan mani- polos dinding pembuluh. Gambaran um-
festasi demensia. Tiga lokasi utama umnya berupa infark lakunar multipel
yang dapat menyebabkan terjadinya dan substansia alba pucatyang luas.
DVa adalah talamus, genu kapsula in-
3. Demensia Terkait Angiopati Amiloid
terna, dan nukleus kaudatus.
Hal ini disebabkan oleh cerebral amy­
b. Demensia multi-infark loid angiopathy akibat deposisi amiloid
Merupakan akumulasi infark berulang di dinding pembuluh darah korteks dan
pada bagian kortikal maupun subkor­ leptomeningen. Apolipoprotein alel-E2
tikal, kejadian demensia meningkat berkontribusi dalam deposisi p-amiloid
seiring dengan kejadian infark beru­ ini yang menyebabkan angiopati amiloid
lang yang terlihat dengan j elas. dan perdarahan mikro. Lokasi perdarah-
2. Demensia Terkait Sm all Vessel D isease an serebral akan menentukan terjadinya
a. Subcortical ischemic vascular disease gangguan kognitif.
(penyakit Binswanger) 4. Demensia Terkait Mekanisme Hemo-
Penyakit ini merupakan stadium final dinamik
dari riwayat panjang penyakit arteri Terjadi kegagalan hemodinamik pada
kecil (.small vessel disease } terkait area perbatasan frontal yang diperda-
hipertensi. Sejak awal 1990, studi rahi oleh cabang distal dan cabang pia-
longitudinal menunjukkan gambaran mater arteri serebri anterior dan media,
abnormalitas pada substansia alba menyebabkan lesi iskemik reversibel
(white matter) pada 95% subyek ber- di lokasi yang berdekatan dengan area
usia di atas 65 tahun, Keadaan ini sangat Sylvii. Proses ini dapat disebabkan oleh
leuat terkait hipertensi dan berkaitan de­ beberapa keadaan sistemik, seperti henti
ngan fungsi eksekutif. jantung, aritmia, gagal jantung, atau hi-
potensi.

211
Buku Ajar Neurologi

A. Gejala dan Tanda Klinis Gangguan kognitif yang lebih berat


1. Demensia Pascastroke dapat terjadi jika terdapat lesi pada
a. Single strategic-infarct dementia talamik-subtalamik paramedian
Stroke mendasari terjadinya DVa bilateral, dengan gejala amnesia
ini. Lesi pada bagian girus angula- dan gangguan eksekutif seperti
ris hemisfer kiri akan memberikan abulia, inersia, serta menurunnya
manifestasi klinis berupa sindrom gerakan spontan. Infark pada genu
afasia, ganggnan fungsi konstrulcsi, kapsula interna hemisfer kiri dapat
dan sindrom Gerstmann. Pada in- mendeaktivasi daerah kortikal
fark di girus angularis nondominan terutama korteks frontal dengan
akan menunjukkan gejala hemine- mengganggu fungsi dari pedunkel
glek spasial dan gangguan visuokon- talamus anterior, sehingga dapat
struktifyang dapatdisertai gangguan memberikan gambaran demensia
memori. Infark pada mediotemporal fokal. Infark pada nukleus kauda­
lobus temporal alcan menunjuldcan tus memberikan gambaran klinis
gejala amnesia, disertai gangguan berupa gangguan fungsi eksekutif
fungsi bahasa, visuospasial, dan yang jelas, yaitu infark pada dorso­
apraksia konstruksional sesuai de- lateral akan menunjukkan menu­
ngan hemisfer yang terlibat runnya aktivitas motorik, abulia,
dan depresi dengan gejala psikotik,
Lesi pada subcortical-cortical loops sedangkan infark pada ventrome­
yang berperan dalam memperta-
dial akan menunjuldcan hiperaktif,
hankan fungsi kortikal dan status dan gangguan pemusatan perha-
kognitif akan memberikan mani­ tian. Demensia dapat ditemukan
festasi demensia. Terdapat tiga pada infark multipel dan/atau leu-
lokasi strategis yang dapat menye- koaraiosis, tetapi tidalc ditemukan
babkan terjadinya DVa adalah ta- pada infark murni di lentikulostria-
lamus, genu kapsula interna, dan turn, serta infark di kaudatus.
nukleus kaudatus.
b. Demensia multi-infark
Infark pada talamus akan berman-
Demensia ini terjadi akibat aku-
ifestasi sebagai gangguan memori mulasi infark berulang baik pada
episodik dan sindrom afasia, teru- bagian kortikal maupun sublcor-
tama afasia transkortikal motorik. tikal. Kejadian demensia mening-
Pada infark talamus paramedian
kat seiring dengan kejadian infark
dengan keterlibatan jaras mami-
berulang. Hal ini disimpulkan dari
lotalamik akan menunjukkan
observasi terhadap onset demen­
penurunan kesadaran, gangguan sia yang mendadak, riwayat stroke
neurofisiologi yang dapat disertai
berulang, dan ditemulcannya ge­
dengan amnesia dengan konfabu- jala fokal dibuktikan dengan lesi
lasi yang jelas.
hipodens pada CT scan.

212
Demertsia

!. Demensia TerkaitSmatf Vessel D isease berupa afasia, apraksia, atau hemineglek


a. Subcortical ischemic vascular disease/ tanpa defisitmotorikyangnyata. Adanya
penyakit Binswanger stenosis berat pada arteri karotis interna
Gejala Minis yang paling menonjol dapat menimbulkan iskemia berulang
adalah disfungsi eksekutif (perenca- tanpa disertai terjadinya infark. Dapat
naan, abstraksi, seri konsep, shifting terjadi manifestasi sindrom demensia
o f idea), perlambatan proses pikir, yang reversibel bila gangguan hemodin-
serta gangguan konsentrasi dan amik ini terkoreksi.
working memory . Gangguan memori B. Diagnosis dan Diagnosis Banding
dapat menyertai, namun fungsi re- Gejala dan tanda Minis dari DVa menurut
kognisi masih terpelihara dan tidak DSM-IV didefinisikan sebagai demensia
seberat pada AD. yang disertai oleh adanya defisit neu-
b. Cerebral and autosomal dominant rologis fokal dan diperkuat dengan buk-
arteriopathy with subcortical infarcts ti Minis dari pemeriksaan penunjang,
and leukoencephalopathy [CADASIL) seperti hasil laboratorium. Kriteria ini
Pada sepertiga pasien CADASIL de- merupakan kriteria yang sensitif namun
ngan usia awitan rata-rata 30 tahun, tidak spesifik.
penyakit diawali dengan serangan Kriteria lain yang digunakan sebagai
mendadak migren dengan aura. Mani- definisi dari DVa lainnya adalah Interna­
festasi Minis yang tersering adalah tional Statistical Classification o f Disease
transient ischemic attack (TIA) sub- and Related Health Problems 10th revi­
kortikal atau stroke pada usia 40-50 sion (ICD-10), Neurological Disorders and
tahun. Gangguan kognitif merupakan Stroke and The Association Internationale
gejala kedua terbanyak, berupa gang­ pour la Recherche et TEnseignement en
guan fungsi eksekutif dan kecepatan Neurosciences (NINDS-AIREN), dan skor
proses pikir. iskemik Hachinski. ICD-10 memiliki ke-
3. Demensia Terkait Angiopati Amiloid dekatan definisi dengan Diagnostic and
Angiopati amiloid merupakan satu aspek Statistical Manual fo r Mental Disorder,
penyaMt serebral dengan deposit amiloid. edisi keempat (DSM-IV), pembedanya
Kebanyakan pasien dengan angiopati berupa bukti lesi fokal di otak. Adapun
skor iskemik Hachinski dikembangkan
amiloid biasanya merupakan tipe spo-
radik dan lebih dari 40% berhubungan untuk membedakan demensia multi in­
dengan DA. Lokasi perdarahan serebral fark terkait lesi iskemik dengan DA.
akibat angiopati amiloid inilah yang Kriteria diagnosis dari NINDS-AIREN le­
akan menentukan terjadinya gangguan bih spesifik dan saat ini banyak diguna­
kognitif. kan dalam keperluan penelitian. Kriteria
4. Demensia Terkait Mekanisme Hemo- probable demensia berdasarkan kriteria
NINDS-AIREN mengharuskan adanya:
dinamik
Manifestasi Minis pada demensia tipe ini

213
Baku Ajar Neurologi

1. Gejala dan tanda demensia. Memantin disetujui untuk demen­


2. Penyakit serebro vaskular, yang ter- sia sedang hingga berat, dengan
bukti secara pemeriksaan fisik dan memberikan manfaat pada fungsi
pencitraan (CT scan dan atau MRI). kognisi, mood dan perilaku.
3. Adanya hubungan dari kondisi 1 dan c. Selain penggunaan obat-obatan
2. (a] onset demensia dalam 3 bulan penguat kognisi di atas, medika­
setelah diketahui memilild stroke dan mentosa pengontrol faktor risiko
£b} penurunan fungsi kognitif yang vaskular juga harus tetap diberi-
drastis atau berfluktuasi. kan. Hal ini diasumsikan dapat
menurunkan risiko perburukan,
Vascular cognitive impairment £VCI)
walaupun belum terbukti memi-
merupakan terminologi yang meng-
liki efek langsung terhadap fungsi
gambarkan gangguan kognisi mulai dari
kognitif.
gangguan kognisi ringan sampai demen­
sia, yang berkaitan dengan faktor risiko d. Pertimbangan terapi lainnya: pro-
vaskular. Keadaan ini biasanya berkaitan pentofilin, nimodipin, dan golong-
dengan terjadinya DVa di kemudian hari. an selective serotonin reuptake in­
C. T ata L a k sa n a
hibitors (SSRI).

1. M e d ik a m e n to s a e. Kombinasi obat golongan AChE-I


a. inhibitor asetilkolinesterase [AChE-I) dengan memantin
Pada penelitian uji Minis terha­
AChE-I bekerja sebagai penguat kog­
dap 404 subyek dengan demensia
nisi dengan meningkatkan kadar
sedang sampai berat yang sedang
asetilkolin di otak untuk mengkom-
menggunakan donepezil, kemudian
pensasi hilangnya fungsi koiinergik
subyek dibagi menjadi dua kelom-
Secara umum penggunaan ACHE-I
pok, masing-masing ditambahkan
(donepezil, galantamin, rivastigmin)
memantin atau plasebo. Kelompok
direkomendasikan untuk demensia
yang memperoleh donepezil plus
ringan hingga sedang, tetapi hanya
memantin menunjukkan hasil se­
donepezil yang disetujui untuk de­
dikit lebih baik pada fungsi global,
mensia berat
fungsi kognitif, ADL, dan BPSD.
b. Antagonis reseptor NMDA [me-
2 . N o n m e d ik a m e n to sa
mantin]
Seperti halnya DA, tujuan terapi nonme­
Selain AchE-I, memantin juga dise-
dikamentosa pada DVa adalah mening-
butkan sebagai salah satu penguat
katkan kualitas hidup orang dengan
kognisi yang direkomendasikan
demensia. Apabila pendekatan psiko-
untuk DVa. Penggunaan memantin
sosial tunggal tidak optimal, diperlukan
20 mg/hari memberikan sedikit
pendekatan multidimensial untuk inter-
perbaikan untuk pasien dengan AD
vensi yang lebih efektif.
ringan-sedang setelah 24 minggu.

214
Demensia

D E M E N SIA F R O N T O T E M P O R A L 43 dalam jumlah lebih besar di neuron


A. P a t o f is i o l o g i Von Economo terkonsentrasi pada insula
Proses patologi pada DFT sifatnya hete­ anterior.
rogen, ditandai dengan gliosis, hilangnya Klasifikasi perubahan patologis pada DFT
neuron, dan degenerasi superfisial spo­ didasari pada pola endapan protein dan
ngiform di korteks frontal dan/atau tem­ terlihat sebagai degenerasi lobus fron­
poral. Neuron yang berbalon {pick cells), totemporal (DLFT}, Perubahan patologis
jumlahnya bervariasi dalam semua sub- yang terlihat secara mikroskopik adalah
tipe. Terdapat bukti beberapa tipe pro- atrofi lobus frontal dan temporal berupa
teinopati abnormal berupa inklusi pro­ hilangnya neuron dengan gambaran mik-
tein ubiquitin pada sitoplasma atau inti rovakuolisasi (seperti spons} atau gliosis
sel glia dan neuronal. Secara garis besar transkortikal. Atrofi biasa terlihat pada
neuropatologi DFT dibagi menjadi va- neokorteks prefrontal dan anterior. Dis-
riasi tau positif dan tau negatif. Sekitar tribusi topografik atrofi yang berbeda
80-95% pasien DFT dengan tau negatif menentukan sindrom Minis dari DFT, yai-
mengandung inklusi transactive response tu varian behavioral atau varian frontal
(TAR} DNA-binding protein 43 kDa (TDP- (bvDFT/fvDFT}, demensia semantik, dan
43}. Menariknya, terdapat inklusi TDP- primary progressive aphasia (PPA}.

Gambar 4. Skema Gambaran Histologi dan Imunohistokimia pada Demensia Frontotemporal


DLFT: demensia lobus frontotemporal; DLDH: dementia lacking distinctive histopathology; TDP-43: transactive
response [TAR) DNA-binding protein 43 kDa; FUS: fu sed in sarcom a; UPS: ubiquitine proteasom e system; N1FID:
neuronal interm ediate filam en t inclusion disease

215
Buku Ajar Neurologi

Secara histologi dan imunohistokimia, 3. Dementia lacking distinctive histo-


kelainan ini dikategorikan sebagai gang- patho-logy (DLDH)
guan protein spesifik berdasarkan inklu- Pada tipe ini ditemukan mikrovakuol-
si utama yang terkandung di dalamnya isasi tanpa inklusi neuron.
(Gambar 4), antara lain:
4. Tipe-tipe lain yang jarang
1. Degenerasi lobus frontotemporal-tau Tipe ini terdiri dari demensia dengan
(DLFT-tau) badan inklusi basofilik dan penyakit
Terdapat inldusi protein tau yang terhi- neuron inklusi filamen menengah
perfosforilasi pada sel neuron dan glia. [neuronal intermediate filam ent inclu­
Kelainan ini dihubungkan dengan DFT sion disease).
dan Parkinsonisme, sindrom progres­
B. Gejala dan Tanda IClinis
sive supranuclear palsy (PSP), degen­
DFT dapat dibedakan menjadi beberapa
erasi kortiko-basal (corticobasal degen­
tipe berdasarkan gejala awal yang mun-
eration/CBD), dan argyrophilic grain
cul dalam perjalanan penyakitnya, yaitu:
disease (AGD).
1) Demensia frontotemporal varian be­
2. DLFT-ubiquitin atau DLFT-U
havior (DFTvb): berupa gangguan ke-
Pada pemeriksaan mikroskopik, lebih
pribadian/perilaku secara progresif.
dari 50% pasien DLFT memperlihat-
Tipe ini memiliki karakteristik gejala
kan adanya inklusi ubiquitin dalam si-
awal berupa perubahan kepribadian,
toplasma atau nukleus sel neuron dan
tingkah laku, emosi, dan perubahan
sel glia. Sebanyak 80-95% inklusi yang
dalam mengambil keputusan.
ditemukan terdiri dari TDP-43 (DLFT-
TDP) atau TDP-43-negatif. Proteinopati 2) Afasia progresif primer: tipe penu-
jenis TDP-43 ditemukan pada pasien runan bahasa secara progresif, sep-
dengan DLFT tanpa protein tau. Selain erti kelancaran berbicara (fluency),
itu, terdapat juga inldusi protein fused kemampuan mengerti sesuatu, mem-
in sarcoma (FUS). Kasus yang memilild baca, dan menulis.
proteinopati jenis ini disebut sebagai 3) Penurunan fungsi motorik secara
DLFT-FUS. Namun, pada jumlah yang progresif dengan karakteristik ke-
sedikit, pasien dengan DLFT memiliki sulitan gerakan fisik, seperti berjabat
protein inldusi yang belum diketahui. tangan, kesulitan berjalan, sering ter-
Kelompok ini disebut sebagai DLFT- jatuh, dan koordinasiyangburuk.
ubiquitin pro tea some system (DLFT-
UPS).

216
Demensia

Tabel 1. Tipe-tipe Kelainan Frontotemporal


Diagnosis Gejala Awal
Penurunanperilaku/kepribadiansecaraprogresif
o Demensia frontotemporal varian ® Apatis, inisiatif menurun
behavioral (DFTvb) » Perilaku yang impulsif dan tidak seharusnya
o DFT varian temporal/frontal « Emosi datar atau berlebihan
(DFTvt, DFTvf) • Memori biasanya intak
• Penyakit Pick
Penurunan ltemampuan bahasa secara progresif
Prim ary progressive aphasia (PPA)
» Semantic dem entia/Sem antic PPA * Pasien tidak dapat mengerti kata-kata, mengenal orang/obyek
(demensia semantik) yang familiar
o Progressive nonfluentAphasia Pasien sering menghilangkan kata sambung, bicara tidak lancar,
(agram m atic PPA] 'gagap' kadang disertai apraksia bukofasial, dan kesulitan menelan

« Logopenic PPA Kesulitan menemukan kata yang tepat ketika berbicara, ragu-ragu,
dan/atau berhenti seeara tiba-tiba pada saat berbicara.
Penurunan fungsi m otorik secara progresif
o Corticobasal syndrome (CBS) • Kekakuan otot
® Kesulitan mengancingkan pakaian, kesulitan mengoperasikan alat
yang sederhana
• Masalah bahasa dan kesulitan orientasi mengenai ruang
• Progressive supranuclear palsy (PSP) * Masalah dengan keseimbangan dan berjalan yang progresif
Gerakan lambat, sering jatuh, dan kekakuan badan
Terbatasnya gerakan mata (upward gaze palsy)
® Frontotem poral disorder with p ar- ® Masalah pergerakan sama dengan penyakit Parkinson, seperti
kinsonism gerakan menjadi lambat dan terdapat kekakuan
® Perubahan pada perilaku atau bahasa
® Frontotem poral disorder with amyo- ® Kombinasi gejala kelainan frontotemporal dan amyotrophic lateral
trophic lateral sclerosis (FTD-ALS) sclerosis (penyakit Lou Gehrig's)
® Perubahan pada perilaku dan/atau bahasa
« Otot menjadi lemah, mengecil, dan menyentak
Sumben The national institute on aging (N1A). Frontotemporal disorder: information for patients, families, and caregivers. 2012. h. 6,

Namun, sulit untuk membedakan ketiga tipe 1. Gejala perilaku


tersebut, karena gejala dapat bervariasi pada Pasien dengan kelainan frontotempo-
setiap pasien. Selain itu, gejala yang sama dapat ral dapat mengalami gejala gangguan
timbul pada tipe yang berbeda [Tabel 1}. perilaku sebagai berikut:

Gejala kelainan frontotemporal berbeda a. Gangguan fungsi eksekutif


pada setiap individu, tergantung keparahan Pasien biasanya mengalami kesulitan
dan lob us otak yang terkena. Perubahan dalam perencanaan, pola pikir, mem-
perilaku umumnya berkaitan dengan keru- prioritaskan sesuatu, pengerjaan tu-
sakan lobus frontal, sedangkan gangguan gas jamak [multitasking), pemantau-
emosi dan bahasa berkaitan dengan lesi di an diri, dan perbaikan perilaku.
lobus tem poral

217
Buku Ajar Neurologi

b. Perseverasi dapat mengerti kata-kata dan/atau


Pasien biasanya memiliki kebiasaan kemampuan menggunakan kata-
mengulang aktivitas atau kata-kata kata berkurang, namun gangguan ini
yang sama [tidak dapat/kesulitan bersifat kronik-progfesif (awalnya
mengubah aktivitas atau kata-kata pasien masih dapat berbicara seperti
dan yang sebelumnya barn dilakukan). orang normal).
c. Disinhibisi b. Disartria
Pasien biasanya bertindak impulsif Disartria adalah ketidakmampuan
tanpa memedulikan bagaimana orang mekanik otot-otot untuk berbicara,
lain melihat/menilai tindakannya namun pesan yang ingin disampaikan
tersebut (tidak ada rasa malu sosial). tidak mengalami gangguan (fungsi
bahasa intak).
d. Perubahan perilaku makan
Sering meraih makanan termasuk 3. Gejala emosional
mengambil makanan dari piring milik a. Apatis
orang lain, terutama makanan yang Perasaan suka atau ketertarikan ter-
mengandung banyak karbohidrat, hadap sesuatu, nafsu, dan inisiatif
seperti roti dan kue kering. berkurang. Seringkali gejala ini di-
e. Perubahan perilaku untuk menggu- anggap sebagai depresi, namun gejala
nakan suatu benda apatis ini tidak memiliki perasaan
Pasien memiliki kesulitan untuk me- sedih. Pasien biasanya mengalami ke­
nahan perasaan untuk menyentuh sulitan untuk memulai suatu aktivitas
atau menggunakan benda yang ia (inisiasi), namun dapat tetap berpar-
dapat gapai atau lihat. tisipasi bila orang lain melakukan
perencanaan.
2. Gejalabahasa
Terjadi perburukan kemampuan berba- b. Perubahan emosional
hasa secara kronik progresif setidaknya Emosi menjadi datar, berlebihan, atau
dalam dua tahun setelah gejala pertama tidak semestinya. Emosi biasanya ti­
muncul. Kemampuan berpikir dan ber- dak sesuai dengan situasi, sehingga
sosialisasi biasanya bertahan lebih lama sering kali diekspresikan pada waktu,
sebelum akhirnya berkurang. Pasien tempat atau keadaan yang salah (ti­
dengan kelainan frontotemporal dapat dak pada tempatnya).
mengalami gejala gangguan kemampuan c. Perubahan sosial-interpersonal
bahasa sebagai berikut: Pasien tidak mampu membaca atau
a. Afasia memahami sinyal sosial, seperti
Afasia merupakan gangguan kemam­ ekspresi wajah dan salah mengerti
puan berbahasa dimana pasien tidak hubungan personal. Pasien terlihat
egois, tidak peduli karena tidak ada
rasa empati.

218
Demensia

d. Perubahan insight Biasanya fungsi memori masih terpelihara


Pasien tidak mampu mengenal per­ pada pemeriksaan neuropsikologi. Orien-
ubahan kondisi dirinya yang dapat tasi dan memori jangka pendek {immedi­
memengaruhi orang Iain. Hal ini akan ate memory) juga baik, namun uji memori
menyulitkan pengasuh karena pasien anterograd (recent memory) dapat berva-
akan menolak bantuan. riasi. Pasien tidak mampu mengingat kem-
bali hal yang baru saja dilakukan atau di-
4. Gejala motorik
ucapkan. Kemampuan berbicara spontan
Pasien dengan kelainan frontotemporal
berkurang dan kemampuan visuospasial
dapat mengalami gejala gangguan gerak
masih terpelihara, walaupun aspek organ-
sebagai berikut:
isasional pasien menurun.
a. Distonia
Neary dkk mengembangkan kriteria di-
Terdapat kelainan postur pada tang-
agnostik dan membagi menjadi tiga sin-
an atau kaki. Anggota gerak dapat
drom, yaitu frontal atau DFTvb, demensia
dibengkokkan secara kaku atau tidak
semantik, dan afasia progresif nonfluen.
digunakan saat melakukan aktivitas
Lain halnya dengan Me Khan dick yang
yang secara normal dilakukan dengan
membagi kriteria diagnosis DPT sebagai
menggunakan dua tangan.
berikut:
b. Kelainan berjalan
1. Perubahan perilaku dan berkurang-
Pasien biasanya berjalan dengan me-
nya kemampuan kognitif dengan
nyeret kaki dan sering terjatuh.
manifestasi:
c. Tremor
a. Perubahan perilaku berupa ke­
Gejala tremor biasanya terjadi pada
sulitan dalam mengatur perilaku,
tangan. Pasien biasanya sering men-
sehingga respons yang diberikan
jatuhkan benda-benda kecil atau Per­ tidak sesuai.
ubahan perilaku berupa kesulitan
dalam mengatur perilaku, sehingga b. Gangguan fungsi bahasa dengan
respons yang diberikan tidak sesuai. karakteristik kesuliltan mengeks-
presikan kata-kata, kesulitan me-
C. Diagnosis dan Diagnosis Banding
namai obyek, dan gangguan pema-
Diagnosis definitif kelainan frontotem­ haman kata dan kalimat.
poral ditegakkan berdasarkan peme-
riksaan patologi anatomi berupa autopsi 2. Gejala yang terjadi pada poin 1, harus
otak setelah pasien meninggal dunia. dapat menyebabkan kelainan dalam
Oleh karena itu, pada pasien yang masih bersosialisasi atau mengganggu fung­
hidup diagnosis ditegakkan berdasarkan si okupasi, dan terlihat penurunan
pemeriksaan neurologis (anamnesis, fungsi dari sebelumnya.
pemeriksaan fisik umum, dan neuro- 3. Gejala tersebut terjadi secara kronik
logi), uji neuropsikologi, neuropsikiatri, progresif.
dan pencitraan.

219
Buku Ajar Neurologi

4. Gejala pada poin 1 bukan disebabkan ® Gejala preseverasi, stereotipik, atau


oleh kelainan atau penyakit sistem kompulsif/ritualistik
saraf maupun sistemik lainnya. ® Perubahan perilaku diet dan hiperoral
5. Penurunan fungsi tidak terjadi saat ® Defisit fungsi eksekutif dan/atau de-
pasien mengalami delirium. fisit kognitif umum ditambah gangguan
rnemori episodik dan fungsi visuospasial
6. Kelainan tersebut bukan disebabkan
oleh gangguan psikiatri. 2. P robable DFTvb, jika didapatkan lebih
dari tiga gejala di atas ditambah dengan
Kriteria tambahan dapat membantu dalam kriteria pencitraan berupa:
menegakkan diagnosis atau mengeliminasi
• MRI atau CT: gambaran atrofi frontal
kemungkinan penyakit lain:
dan atau temporal anterior, atau
1. Onset sebelum usia 65 tahun.
® Positron emission tomography (PET)
2. Memperlihatkan gejala penyakit mo­ atau single photon emission computed
tor neuron . tomography (SPECT): gambaran hi-
3. Gejala dan tanda motorik sama de- poperfusi dan atau hipometabolisme
ngan sindrom kortikobasal dan PSP, frontal dan/atau temporal anterior.
antara lain: 3. Definite DFTvb, jika memenuhi kriteria:
a. Penamaan terganggu ® Possible atau probable DFTvb

b. Penurunan kemampuan motorik ® Terbukti pada pemeriksaan histopa-


berbicara tologis (biopsi atau post-mortem )

c. Penurunan kemampuan tata ba- ® Diketahui adanya mutasi patogen


hasa, seperti berkurangnya kemam­ PPA sebagai salah satu varian dari DFT, memi-
puan mendeskripsikan gambar se- lild alur diagnosis berdasarkan karakteristik
cara lisan maupun tulisan. Pasien fluensi, pemahaman, dan repetisi (Gambar 5).
dapat juga mengalami gangguan Terdapat tiga tipe PPA, yaitu tipe nonfluen/ti-
pemahaman kompleks, dak lancar/agramatik, semantik, dan logope-
nik. Adanya gangguan pada kelancaran bicara
Terdapat kriteria lain yang dikembangkan
atau fluensi (fluency), gangguan pemahaman
oleh Rascovsky dkk, yaitu:
kalimat kompleks sintaksis, dan pengulang-
1. P ossible DFTvb, jika terdapat tiga dari an kata dapat digolongkan sebagai PPA tipe
enam gejala di bawah ini: nonfluen. Jika hanya ada gangguan pada kom-
ponen pemahaman, dikatakan PPA tipe se­
® Perilaku sosial tidak sesuai, hilangnya
mantik. Terakhir, adanya perlambatan bicara
aturan, impulsif, tidak ada perhatian
disertai gangguan pengulangan kalimat, teta-
® Apatis/inersia dini
pi pemahaman relatif terpelihara, merupakan
® Hilangnya rasa simpati dan empati PPA tipe logopenik.

220
Demensia

Fluenty Pemahaman RepeUsI

Gambar 5. Proses Diagnostik Tiga Varian Primary Progressive Aphasia (PPA) Berdasarkan Karakteristik
Fluensi, Pemahaman, dan Repetisi
Dimodifikasi dari: Gorno-Tempini MI dkk, Neurology; 2011. h. 1006-14.

D. Tata Laksana b. Disease modifying therapy


1. Medikamentosa Sampai saat ini belum ada pengo-
batan yang dapat memodifikasi
a. Simtomatik
atau menghambat progresivitas
Neuron kolinergik relatif diper-
degenerasi lobus frontotemporal.
tahankan pada DFT. Penggunaan
inhibitor asetilkolinesterase me- 2. Nonmedikamentosa
nimbulkan gangguan perilaku yang Bertujuan agar pasien memilliki
lebih berat, sehingga tidak direko- kualitas hidup lebih baik; mencakup
mendasikan. Beberapa obat dapat manajemen masalah perilaku, baha-
digunakan untuk mengurangi ma- sa, dan gerak.
salah perilaku. Obat antidepresi
a. Manajemen masalah perilaku
golongan SSRI dapat diberikan
Perilaku pasien dengan DFTvb
untuk mengatasi masalah kognitif,
dapat berupa sedih yang membuat
sosial, dan perilaku impulsif. Ge-
frustrasi keluarganya atau pe-
jala agresi [sikap menyerang) atau
ngasuhnya. Pengertian terhadap
waham dapat diberikan antipsiko-
perubahan kepribadian, perilaku
tik dosis rendah.
dan mengetahui bagaimana cara

221
Buku Ajar Neurologi

untuk memberikan respons yang penggunaan daftar kata-kata dan


baik dapat mengurangi rasa frus- frase pada komputer atau personal
trasi yang pengasuh alami. Bila digital assistant untuk berkomuni­
pengasuh merasa frustrasi dapat kasi dapat dilakukan.
dianjurkan untuk pengambilan
c. Manajemen masalah gerak
napas dalam, menghitung sampai
Terapi fisik dan okupasi dapat
10, kemudian menghembuskan
membantu pasien dengan sin-
napas secara perlahan atau ke-
drom kortikobasal bergerak lebih
luar dari ruangan untuk beberapa
mudah. Pada tipe PSP, latihan fisik
m enit
dengan cara berjalan mengguna-
Bila pasien apatis, sebaiknya beri- kan karung pasir di atas anak tang-
kan pilihan yang spesifik (beri- ga yang lebih rendah, dapat mem-
kan pertanyaan tertutup], hindari buat sendi menjadi lebih lentur
memberikan pilihan. Selain itu dan memelihara keseimbangan.
mempertahankan jadwal yang bi-
Pada tipe FTD-ALS, pergerakan
asa pasien lakukan dan memodifi-
akan berkurang setelah 2-3 tahun
kasi lingkungan dapat membantu.
mengalami penyakit ini. Terapi
Pada pasien dengan gejala perubah- fisik dapat membantu mengurangi
an perilaku makan, pengasuh harus gejala pada otot, dan penggunaan
memperhatikan saat pasien makan, alat bantu berjalan dapat ber-
kurangi pilihan makanan, mengunci manfaat. Perlu penanganan kom-
tempat penyimpanan makanan dan prehensif melalui tim yang ter-
kulkas, serta berikan kegiatan lain diri dari dokter, perawat, pekerja
saat makan. sosial, serta terapis fisik, okupasi
dan bicara yang mengerti kelainan
b. Manajemen masalah bahasa
frontotemporal, agar pasien mem-
Tujuan pengobatan pasien dengan
peroleh kualitas hidup yang baik.
PPA, yaitu memelihara kemam-
puan bahasa serta penggunaan
DAFTAR PUSTAKA
cara lain untuk berkomunikasi.
Pengasuh dapat berbicara de­ 1. Prince M, Bryce R, Albanese E, Wimo A, Ribeiro
W, Ferri CP. The global prevalence of dementia: A
ngan perlahan dan jelas, meng- systematic review and metanalysis. Alzheimer's
gunakan kalimat-kali mat seder- & Dementia. 2013;9[l}:63-75.
hana, menunggu respons dari 2 . Mesulam MM. Principal of behavioral and cogni­
tive neurology. Edisi ke-2. New York: Oxford Uni­
pasien, dan mengklarifikasi pasien
versity Press; 2000.
mengerti atau tidak. Ketidakmam- 3. World Health Organization. The epidemiology
puan berkomunikasi secara verbal and impact of dementia. World Health Organi­
dapat diatasi dengan berkomuni­ zation [serial online]. 2016 [diunduh tanggal 20
Oktober 2016]. Tersedia dari: World Health Or­
kasi melalui bahasa tulisan, gerak ganization.
tubuh, dan gambar. Selain itu, 4. Mayeux R, Stern Y. Epidemiology of alzheim­

222
Demensia

er disease. Cold Spring Harb Perspect Med. Swieten JCV. Clinical, genetic and pathologi­
2012;2(8):a006239. cal heterogeneity of frontotemporal demen­
5. Rizzi L, Rosset I, Roriz-Cruz M. Global epidemiol­ tia: a review. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
ogy of dementia: alzheimer's and vascular types. 2011;82[5):476-86.
Bio Med Research Inti. 2014;908915:1-8. 10 . The national institute on aging. Frontotemporal
6 . Vann Jones SA, O'Brien JT. The prevalence and disorder: information for patients, families, and
incidence of dementia with Lewy bodies: a sys­ caregivers. New York: US Department of health
tematic review of population and clinical studies. and human services; 2 0 1 2 . h. 1-26.
Psychological med. 2013;44(4}:678-83. 1 1 . Rascovsky K, Hodges JR, Knopman D, Mendez
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. MF, Kramer JH, Neuhaus J, dkk. Sensitivity of
Panduan nasional praktik klinik: diagnosis dan revised diagnostic criteria for the behavioural
penatalaksanaan demensia. Jakarta. Perhimpunan variant of frontotemporal dementia. Brain.
Dokter Spesialis Saraf Indonesia; 2014. h. 2-84, 2011; 134(9) :2456-77.
8 . Korczyn AD, Vakhapova V, Grinberg LT. Vascular 1 2 . Gorno-Tempini MI, Hillis AE, Weintraub S,
dementia. J neurol sci. 2012;322(l-2):2-10. Kertesz A, Mendez M, Cappa SF, dkk. Classifica­
9. Seelaar H, Rohrer JD, Pijnenburg YAL, Fox NC, tion of primary progressive aphasia and its vari­
ants. Neurology. 2011;76(11):1006-14.

223
NEUROINFEKSI OC
NEUROIMUNOLOG
Infeksi Tuberkulosis pada Susunan Saraf Pusat
Infeksi Oportunistik Susunan Saraf P u s a t pada AIDS
Multipel Sklerosis
Neuromielitis Optik
IN F E K S ITUBERKULOSIS PADA

14 SUSUNAN SARAF PUSAT


Darma Imran

PENDAHULUAN EPIDEMIOLOGI
Patologi infeksi tuberkulosis (TB) di sistem Meningitis TB merupakan manifestasi infeksi
saraf pusat (SSP) adalah meningitis, ense- tuberkulosis yang paling berat dan menim-
falitis, massa intrakranial, mielitis, vasku- bulkan kematian dan kecatatan pada 50%
litis, dan infark. Patologi lain yang juga di- penderitanya. Angka kejadian meningitis
jumpai adalah hidrosefalus, ventrikulitis, sekitar 1% dari seluruh kasus TB. Berdasar-
araknoiditis, tuberkuloma, dan abses otak. kan WHO Global TB Report 2016, estimasi
Pada tulisan ini istilah meningitis TB akan insidens TB di Indonesia pada tahun 2015
digunakan sebagai nama umum untuk adalah 1.020.000 orang.
semua bentuk patologi infeksi TB di sistem
Enam negara dengan insidens TB tertinggi
saraf pusat.
didunia secara berurutan dari yang paling
Setiap keadaan yang menurunkan imunitas tinggi adalah India, Indonesia, Cina, Nigeria,
akan memudahkan terjadinya reaktivasi Pakistan, dan Afrika Selatan yang menyum-
dan penyebaran infeksi TB. Infeksi human bang 60% dari total insidens TB secara
immunodeficiency virus/acquired immuno­ global. Adapun jumlah kematian akibat TB
deficiency syndrome (HIV/AIDS], diabetes di Indonesia diperkirakan berjumlah 61.000
melitus, dan penggunaan obatyang bersifat per tahunnya, diperkirakan sebagian besar
imunosupresif memudahkan terjadinya in­ disebabkan oleh meningitis TB.
feksi TB.
TB merupakan infeksi oportunistik tersering
Dalam menghadapi kasus meningitis TB, pada pasien HIV, dan merupakan penyebab
dokter spesialis saraf tidak hanya bertang- kematian terbanyak pada pasien dengan
gung jawab pada diagnosis dan kuratif, AIDS. Meningkatnya angka infeksi HIV juga
namun juga memiliki tanggung jawab ke- memiliki kontribusi terhadap peningkatan
sehatan masyarakat oleh karena TB adalah insidens TB di seluruh dunia. Estimasi jum­
penyakit menular yang wajib dilaporkan. lah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia
Kecepatan dalam menegakkan diagnosis sekitar 1 9 0 .0 0 0 -4 0 0 .0 0 0 , sedangkan esti­
meningitis TB merupakan indikator prog­ masi nasional prevalensi HIV pada pasien
nosis yang dapat menurunkan angka kema- TB baru adalah 2,8% . Di RSUPN Cipto
tian dan kecacatan. Mangunkusumo pada bulan Januari 2015

227
Buku Ajar Neurologi

hingga April 2016 didapatkan 116 (40,1%] di parenkim otak. Secara patologi, fokus in­
kasus meningitis TB dari total 289 kasus in- feksi memperlihatkan gambaran lesi fokal
feksi otak (Tabel 1]. berupa peradangan granulomatosa nekrotik.
Fokus infeksi di parenkim otak dapat menjadi
PATOFISIOLOGI infeksi laten atau mengalami aktivasi di kemu-
Bakteri M. tuberculosis bersifat anaerob, ti- dian hari. Fokus infeksi di daerah subkortikal
dak membentuk spora, dengan pewarnaan yang mengalami aktivasi dapat pecah ke dalam
Ziehl Neelsen akan menghasilkan basil tahan ruang subaraknoid dan melepaskan bakteri
asam (BTA) yang berukuran lebar 0,3-0,6 pm TB ke dalam cairan serebrospinal (CSS] dan
dan panjang l-4pm . Bakteri ini tumbuh lam- bermanifestasi sebagai meningitis (Gambar 1].
bat dan tahan terhadap suhu rendah (4-7°C),
Fokus infeksi di parenkim otak dapat
namun peka terhadap panas, sinar matahari,
berkembang menjadi tuberkuloma atau
dan sinar ultraviolet
membesar menjadi abses TB. Selain di pa­
Kuman TB masuk melalui inhalasi bakteri renkim otak, fokus infeksi juga terjadi di
yang berlanjut dengan kolonisasi makrofag dinding pembuluh darah (vaskulitis] dan
dalam alveolus. Pada infeksi TB paru yang dapat bermanifestasi sebagai stroke. Ca-
aktif, bakteri akan mengalami penyebaran ke bang perforata arteri serebri media meru-
kelenjar getah bening dan masuk dalam aliran pakan pembuluh darah yang paling sering
darah sistemik, Secara hematogen bakteri TB terlibat dan menimbulkan infark di ganglia
mencapai SSP dan membentuk fokus infeksi basal dan kapsula interna.

Tabel 1. Etiologi Kasus Infeksi Otak di RSUPN Cipto Mangunkusumo Berdasarkan Stratifikasi HIV
Diagnosis HIV Negatif HIV Positif Total
n= 139 f4 8 % l n=150 f5 2 % l
Meningitis tuberkulosis 75 41 116 [40,1%]
Ensefalitis toksoplasma 0 61 61 [ 2 1 ,2 %]
Ensefalitis virus 5 8 13 [4,5 %]
Meningitis kriptokokus 1 14 15 [5,2%]
Abses otak 13 2 15 [5,2%]
Meningitis bakteri akut 2 0 2 [0,7%]
Neurosifilis 0 1 1 [0,3 %]
Mukormikosis intrakranial 1 0 0 [0,3 %]
Tidak terdiagosis 42 23 65 [22,5%]
HIV: human immunodeficiency virus
Sumber: Imran D, dkk. The 1st Annual International Conference and Exhibition on Indonesian Medical Education and
Research Institute [ICE on IMERI], Jakarta. 2016.

228
-v i- ' i i if. r - c z';i ;KCTOI Ke-ra'.itn i!ji.
;?anM>*»erwaknKi)4lii ; ti&abii.tst
Biktcremla
| i

Cs's; p r.v: i : 1*Lstat CSS


r.i- :c CVS

;
Kuptur foku* 'Rich"
j !n f » n c c t e t v b t r W f c n a |
I- =L^ ;StttfTOWfsiui |
1 Tri'-st:;. ;fcficjrru
-t ;ftrvwfUstibTie
229

l.:~:
■v L a * u :C 5 i
Viin..1: ■. r F r.is.'.C ii
i:v .v j!s c :i;-r i Waktutecw*
l: «i •".Si H i Vi: t d i t
■.-'.if: !■, ;-^CS3
i i "3
V e-
Id-. * ii v

Infeksi Tuberkulosis p a d a Susunan S arafP u sa t


jtUh»tawtCSS J ;
! 4r |r.}>jT-«i b js il
14- V * s f c » s
.i J i.if‘jtCSS
■J c:s
.. I : - : l

Gambar 1. Patofisiologi Meningitis Tuberkulosis


HIV: human immunodeficiency virus; TB: tuberkulosis; IL: interleukin; CSS: cairan serebrospinal; TNF-a: tumor necrosis factor- a; IFN-y: interferon-y;
SDO: sawar darah otak; TIK: tekanan intrakraniai; MMP: matrix metalloproteinase;
Sumber: Thwaites GE, dkk. Lancet Neurol; 2005, h, 160-70.
Buku Ajar Neurologi

Sistem imun di parenkim otak bersifat berkulosis (OAT) secara cepat sangat me-
kurang tanggap dibandingkan pada organ nentukan prognosis meningitis TB. Untuk
lain. Hal ini ditandai oleh minimnya ekspresi membuat diagnosis dini, dokter tidak perlu
antigen presenting cells (APC), rendahnya ke- menunggu gejala klinis meningitis yang kla-
beradaan sel dendrit, dan rendahnya ekspre­ sik menjadi lengkap. Gambaran klinis infek­
si moleku! major histocompatibility com­ si TB pada susunan saraf pusat tidak khas,
plex (MHC) kelas II, Diduga sifat ini penting terutama pada awal penyakit, bergantung
untuk membatasi kerusakan akibat reaksi pada proses patologi yang terjadi dan per-
infiamasi di otak yang memiliki tingkat re- jalanan penyakitnya.
generasi yang minimal. Pada meningitis TB,
Rerata durasi onset gejala meningitis TB
sasaran utama infeksi M. tuberculosis adalah
adalah 5-30 hari, tidak ada perbedaan antara
mikroglia. Mikroglia merupakan makrofag
pasien dengan atau tanpa HIV. Durasi gejala
utama pada parenkim otak yang memiliki
lebih dari 6 hari telah dapat membantu memi-
kemampuan yang rendah dalam pengenalan
lah etiologi meningitis TB dan bakterialis pada
antigen. Pada aktivasi mikroglia yang terin-
pasien anak dan dewasa dengan HIV negatif,
feksi terjadi produksi dan pelepasan sitokin
namun tidak dapat membedakan meningitis
dan kemokin, hal ini bersifat destruktif ter-
TB dengan meningitis kriptokokus yang juga
hadap parenkim otak. Kerusakan mikroglia
bermanifestasi sebagai meningitis subakut.
juga menyebabkan apoptosis dan gangguan
regenerasi sel neuron. TB milier dengan keterlibatan SSP akanber-
manifestasi infeksi sistemik berat dengan de-
Reaktivitas imun yang bersifat selektif menye­
mam beserta tanda infeksi lainnya. Manifestasi
babkan reaksi infiamasi di parenldm otak ti-
stroke akibat fokus infeksi TB di pembuluh da-
dak terjadi segera setelah diseminasi hemato-
rah dapat saja terjadi tanpa disertai manifesta­
gen bakteri TB ke dalam ruang intrakranial.
si meningitis. Demam tidak selalu ditemukan,
Penelitian Rich dan McCordock memperlihat-
baik dalam anamnesis maupun melalui pengu-
kan bahwa respons infiamasi pada meningitis
kuran suhu dengan menggunakan termometer.
terjadi beberapa bulan setelah proses penya-
Infeksi TB pada SSP juga dapat bermanifestasi
kit menjadi aktif. Studi pada tikus menunjuk-
sebagai tuberkuloma, yang dapat terjadi tanpa
kan bahwa tidak segera terlihat respons dari
memperlihatkan gejala klinis yang berarti dan
sel T dan antibodi di parenkim otak setelah
baru menimbulkan keluhan setelah menim-
penyuntikan Bacillus Calmette-Guerin (BCG)
bulkan efek massa kejaringan disekitarnya.
secara intrakranial. Respons intrakranial baru
akan timbul setelah terjadi sensitisasi sistem Secara umum dapat dikatakan bahwa pada
imun di perifer. Fenomena lambatnya respons saat ini di Indonesia, untuk setiap kasus yang
imun intrakranial ini dapat dilihat pada kasus menunjukkan infeksi otak dengan gejala dan
bertambahnya tuberkuloma mesldpun pe- tanda klinis neurologi yang bersifat subakut-
ngobatan meningitis TB telah diberikan. kronik hingga persisten dan pada keadaan
lanjut menjadi progresif, maka harus selalu
GEJALA DAN TANDA KLINIS dipikirkan diferensial diagnosis infeksi TB
Diagnosis dini dan mulainyaobat anti tu- pada sistem saraf pusat. Demikian pula pada

230
Infeksi Tuberkulosis pada Susunan SarafPusat

setiap keadaan demam yang tidak diketahui (SKG) 15, tanpa defisit neurologis fokal
penyebabnya, kemungkinan TB di SSP juga ® MRC derajat I: SKG 11-14, atau SKG 15
harus dipertimbangkan. dengan defisit neurologis fokal
Tingkat keparahan meningitis TB yang di- © MRC derajat III: SKG <10, dengan atau
perkenalkan oleh Medical Research Council tanpa defisit neurologis fokal
(MRC) pada tahun 1948 masih sesuai hingga
Secara berurutan, gambaran pencitraan
saat ini untuk menentukan prognosis, yaitu:
otak yang paling sering dijumpai pada men­
® MRC derajat I: Skala koma Glasgow ingitis TB adalah hidrosefalus, penyangatan

Gambar 2. Pencitraan Otak pada Kasus Meningitis Tuberkulosis


[a) Pemeriksaan CT scan dengan kontras menunjukkan penyangatan leptomeningeal disertai infarkpada iobus
temporal kiri [panah hitam); (b) Hidrosefalus komunikans; (c) Pemeriksaan MR1 sekuens T1 dengan kontras
memperlihatkan tuberkuloma pada area hipokampus kiri [panah putih pendek) dan tuberkuloma pada cerebel­
lopontine angle kiri [panah putih panjang)
(Dok: Pribadi)

231
Buku Ajar Neurologi

meningen, penyangatan pada daerah basal, ® Ditemukannya basil tahan asam (BTA)
tuberkuloma, dan infark (Gambar 2). Sekitar pada CSS.
20-40% pasien meningitis memperlihatkan • M. tuberculosis tumbuh pada kultur CSS.
gambaran infark pada CT scan. MRI otak
® Pemeriksaan asam nukleat M. tuberculo­
jauh lebih sensitif untuk melihat infark pada
sis (GeneXpert® MTB/Rif atau polymerase
meningitis TB dibandingkan CT scan dengan
chain reaction/PCR) positif pada pasien
lokasi tersering di ganglia basal.
dengan klinis meningitis TB.

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING Pada tahun 2014 WHO merekomendasikan


Analisis cairan serebrospinal pada ke- pemeriksaan GeneXpert® MTB/Rif seb-
banyakan kasus meningitis TB m em per­ agai alat diagnositik meningitis TB. Peme­
lihatkan pleiositosis dengan predominan riksaan ini mudah dikerjakan oleh tenaga
limfosit, protein yang tinggi, dan rasio laboratorium dan hasilnya cepat, selain juga
glukosa CSS dibandingkan glukosa serum dapat diperoleh informasi ada tidaknya re-
yang rendah. Walaupun demikian gamba­ sistensi terhadap rifampisin. Namun hasil
ran analisis CSS seperti ini dapat dijumpai GeneXpert® MTB/Rif yang negatif tidak me-
pada keadaan Iain baik itu infeksi otak nyingkirkan diagnosis meningitis TB.
maupun bukan infeksi otak.
Pada bulan Mei 2015 para peneliti TB yang
Pemeriksaan BTA di CSS dengan pewar- berkumpul di Dalat Vietnam merekomenda­
naan Ziehl-Neelsen dapat dikerjakan de­ sikan suatu algoritma pemeriksaan cairan
ngan cepat, namun memiliki sensitivitas yang cocok diterapkan untuk kasus meningi­
yang rendah (10-20% ). Untuk pemerik­ tis dengan onset >5 hari dan pada populasi
saan BTA disarankan menggunakan vol­ daerah endemis infeksi TB dan HIV sedang
ume CSS>6mL dengan sentrifugasi dan sampai tinggi (Gambar 3).
pengamatan mikroskopis yang dikerjakan
Terapi empirik meningitis TB dapat diberikan
selama 20-30 menit.
pada keadaan demam, saldt kepala, gangguan
Pemeriksaan kultur yang merupakan baku kesadaran, kejang dan atau gangguan neurolo-
emas memiliki sensitivitas yang lebih baik gis Iain yang bersifat progresif, dengan onset
(60-70%), namun membutuhkan waktu 2-8 subakut sampai kronik. Pada umumnya, onset
minggu. Walaupun demikian, kultur tidak meningitis TB di atas 7 hari dan diperkuat den­
cukup sensitif untuk menyingldrkan adanya gan ditemukannya salah satu hal di bawah ini:
meningitis TB. Keputusan untuk memberikan
® Adanya pleiositosis (jumlah sel >5) dan
terapi tidak harus menunggu hasil kultur jika
rasio glukosa CSS:darah <50% pada
kemungkinan meningitis TB tinggi.
analisis rutin CSS.
Berdasarkan konsensus International Tu­ ® Pencitraan memperlihatkan gambaran
berculous Meningitis Workshop di Afrika Se- yang sesuai dengan meningitis TB, misal-
Iatan (2009), diagnosis definitif meningitis nya hidrosefalus, obliterasi sisterna basal
TB ditegakkan berdasarkan salah satu dari oleh reaksi peradangan, dan tuberkuloma.
kriteria berikut:
® Foto toraks menunjukkan TB mi Her.

232
Irifeksi Tuberkulosis pada Susunan SarafPusat

Gambaran klinis meningitis kriptokokus- tut perbaikan dalam tatalaksana. Pemerik­


sangat sulit dibedakan dengan meningitis saan laboratorium untuk diagnosis men­
TB, karena keduanya memiliki perjalanan ingitis TB juga belum memiliki sensitivitas
penyakit yang kronik. Waiaupun dapat ter- yang cukup tinggi, sehingga pada keadaan ter-
jadi pada pasien HIV negatif, namun men­ tentu dokter harus memulai pengobatan em-
ingitis kriptokokus umumnya terjadi pada pirik, Waiaupun terapi empirik sudah dimu-
pasien HIV positif. Kedua keadaan ini hanya lai, usaha untuk mendapatkan diagnosis
dapat dibedakan dengan pemeriksaan mik- mikrobiologi dan molekular harus tetap
robiologi atau molekular pada CSS. dilakukan karena pengobatan meningitis TB
yang memakan waktu panjang dan berisiko
TATA LAKSANA menghadapi efeksamping. Diagnosis defini-
Hingga saat ini panduan pengobatan meni­ tif akan membantu dokter membuat pilihan
ngitis TB mengikuti panduan pengobatan yang rasional saat menghadapi komplikasi
TB paru. Tingginya kematian pasien meni­ atau membuat keputusan menghentikan
ngitis TB dan perbedaan daya tembus obat ke OAT karena hepatitis toksik terkait OAT
otak dan CSS dengan jaringan paru menun-

Gejala meningitis >5 hari

Bila manometer ^ [ F in ger stick antigen Kri ptokokus LFA


tidaktersedia, ... --------------------- Ambil S-lO m l CSS
ambil 20mL CSS Pungsi lumbal
Manometer Manom eter

r Antigen Kriptokokus UFA dari CSS


Tint* India CSStldak
adekuat untuk Analisls CSS: Hitung sal, protein,
menyingkirkan kriptokokus glutesa, protein, pewamaan
gram, dan kultur bakterl Hksplorasl adanya gejala
Tatalaksana sebagai tambahan TO {Paru atau
m eningitis kriptokokus CSS dlsentrlfugasl pada ekstfs-paru)
3000g selama 20 menit
Slmpan 3mL
kacurignsr! TB haul,
supematan
Vorteks untuk resu sp en d
iisriya hi-;!'.
[ 2m l »f G m sM p erfi1
r Bi!a GmeXpert® negatif da n ^
0,5mL Kultur TB
diagnosis tidaktegak, ulangi
pungsi lumbal dengan f O.lmL Pewamaan tahan
volume besar ......... ^ asam

Gambar 3. Aigoritma Diagnosis Meningitis Subakutpada Area Endemik HIV dan Tuberkulosis
CSS: cairan serebrospinal; TBituberkulosis; LFA: lateral flow assay
Sumber: Bahr NC, dkk. Clin Infect Dis; 2016. h.1133-5.

233
Baku Ajar Neurologi

Tabel 2. Rekomendasi OAT Lini Pertam a pada Pasien Anak dan Dewasa dengan Meningitis Tuberkulosis
Obat Dosis Harian (Anak <12 Tahun) Dosis Harian (Dewasa)
Isoniazid (INH) lOmg/kgBB 5mg/kgBB
(ldsaran 6-15mg/kgBB) (kisaran 4-6mg/kgBB)
Rifampisin (RIF] 15mg/kgBB lOmg/kgBB
(kisaran 10-20mg/kgBB) (kisaran 8-12mg/kgBB)
Pirazinamid (PZA) 35mg/kgBB 25mg/kgBB
(kisaran 30-40mg/kgBB) (kisaran 20-30mg/kgBB)
Streptomisin (SM) 17,5mg/kgBB 15mg/kgBB
(kisaran 15-20mg/kgBB} (kisaran 12-18mg/kgBB)
Etambutol (EMB) 20mg/kgBB 15mg/kgBB
f kisaran 15-25mg/keBB1 fkisaran IS-ZOms/keBBI
Sumber: Thwaites G, dkk. ] Infect; 2009. h. 167-87.

Tata Laksana Medikamentosa pemberian oral. Obat ini memiliki early bac­
Agar berhasil dalam fungsinya, OAT harus tericidal activity (EBA)tertinggi diantara
dapat menembus CSS serta mencapai fokus semua obat lini satu.
infelcsi TB di parenldm dan selaput otak. Ada
Rifampisin merupakan salah satu tulang
dua penghalang untuk mencapai hal ini, yaitu
punggung dalam pengobatan meningitis
sawar darah-otak (SDO) atau blood brain barri­
TB. Hal ini diperlihatkan dengan tingginya
er (BBB) dan sawar darah-CSS.SDO terdiri dari
angka kematian pasien meningitis TB yang
kapiler di parenldm otak dan sel glia, sedang-
memiliki resistensi terhadap rifampisin.
kan sawar darah-CSS adalah pleksus koroid
Sayangnya, daya tembus rifampisin ke CSS
dan sel epitel yang meliputinya. Sudah banyak
tidak terlalu baik, sehingga beberapa pene-
studi yang mempelajari daya tembus OAT me-
litian berusaha memperbaiki ldnerja terse-
lalui sawar darah-CSS, namun pengetahuan
but. Ganiem, dkk di Bandung mendapatkan
tentang daya tembus OAT melalui sawar darah-
perbedaan keluaran tingkat kematian pada
otak dan cara kerja OAT di jaringan parenldm
pasien yang mendapatkan pengobatan stan-
otak masih belum banyak diketahui.
dar dibandingkan dengan rifampisin dosis
Tatalaksana OAT lini satu untuk meningitis tinggi intravena yang dikombinasikan de­
TB diberikan selama 12 bulan yang dibagi ngan moksifloksasin. Penelitian pada TB
menjadi 2 fase, yaitu pengobatan 2 bulan paru di Afrika Selatan melaporkan dosis
pertama dan pengobatan 10 bulan beri- rifampisin sampai 35mg/kg cukup aman
kutnya. Untuk 2 bulan pertama digunakan dan dapat ditoleransi oleh pasien selama 2
kombinasi 4 obat yaitu isoniazid, rifampi- minggu.
sin, pirazinamid, dan etambutol atau strep-
Pirazinamid memiliki daya tembus yang sa­
tomisin, sedangkan untuk 10 bulan selan-
ngat baik ke CSS. EBA pirazinamid rendah
jutnya hanya 2 obat yaitu isoniazid dan
pada beberapa hari di awal pengobataan, na­
rifampisin (Tabel 2),
mun pada hari ke 4 sampai 14, kemampuan-
Isoniazid merupakan obat yang memiliki nya menjadi setara dengan rifampisin dan
daya tembus yang sangat baik ke CSS de­ isoniazid. Pirazinamid juga bersifat aktif terha­
ngan kadar puncak tercapai 6 jam setelah dap bakteri ekstra selular, Mengingat tingginya

234
Infeksi Tuberkulosis pada Susunan Sara/Pusat

resistensi isoniazid dan daya tembus rifampi- dengan rekomendasi dosis seperti pada Tab el
sin yang tidak terlalu baik, peran pirazinamid 3. Untuk pasien HIV positif, manfaat deksam­
dalam pengobatan meningitis TB perlu untuk etason belum jelas. Efek samping yang dapat
mendapatkan penelitian lebih lanjut. terjadi akibat pemberian deksametason
adalah perdarahan gastrointestinal. Bila ter­
Etambutol sedikit lebih baik daya tembus-
jadi perdarahan gastrointestinal direkomen-
nya ke otak bila dibandingkan dengan strep-
dasikan untuk rnenghentikan deksametason.
tomisin. Peningkatan dosis etambutol dapat
Tidak dianjurkan pemberian obat pengham-
meningkatkan kadarnya di CSS, namun hal
bat reseptor H2 dengan tujuan untuk mence-
ini akan meningkatkan risiko toksisitas reti­
gah perdarahan gastrointestinal akibat pem­
nitis retrobulbar,
berian deksametason.
Streptomisin merupakan obat dengan daya
tembus ke otak sangat buruk, pada keadaan KOMPLIKASI
tidak ada inflamasi di otak, obat ini tidak Hiponatremia merupakan salah satu kom-
dapat tembus ke CSS sama sekali. Walaupun plikasi yang cukup sering dijumpai pada
demildan obat ini masih mendapat tempat meningitis TB dan merupakan penyebab
sebagai obat ke empat bila ada kontraindika- perburukan yang harus dicari karena ke­
si etambutol. Untuk pasien HIV disarankan ti­ adaan ini sebagian besar dapat ditatalaksana
dak menggunakan streptomisin, karena obat dengan baik. Hiponatremia pada meningitis
ini harus disuntikkan secara intramuskular. TB dapat disebabkan oleh insufisiensi adre­
Penambahan deksametason pada pengo­ nal, syndrome o f inappropriate secretion o f
batan meningitis TB dapat menurunkan antidiuretic h orm on e(S IADH), dan cerebral
mortalitas pada kelompok pasien HIV negatif salt wasting syndrome (CSWS).

Tabel 3. Rekomendasi Dosis D eksam etason pada Pasien Meningitis Tuberkulosis

M RCDerajatl MRC D erajat II dan III


Minggu
Dosis dan Rute Deksametason Dosis dan Rute Deksametason
Minggu 1 0,3mg/kgBB/24 jam, intravena 0,4mg/kgBB/24jam, intravena
Minggu 2 0,2mg/kgBB/24 jam, intravena 0,3mg/kgBB/24 jam, intravena
Minggu 3 0,lmg/kgBB/24 jam, intravena 0,2mg/kgBB/24 jam, intravena
Minggu 4 3mg/24 jam, peroral 0,lmg/kgBB/24 jam, intravena
Minggu 5 2mg/24 jam, peroral 4mg/24 jam,peroral
Minggu 6 lmg/24jam, peroral 3mg/24 jam,peroral
Minggu 7 Stop 2mg/24 jam,peroral
Minggu 8 lmg/24 jam,peroral
Sumber: Thwaites GE, dfck. N Engl J Med; 2004. h. 1741-51.

235
Buku Ajar Neurologi

Tabel 4. Rekomendasi Re-introduksi Regimen OAT pada Hepatotoksisitas Imbas Obat


Isoniazid Rifamplsin Pirazinamid
Hari
Dewasa Anak Dewasa Anak
Hari ke-1 ISOmg Smg/kgBB - - -
Hari ke-2 ISOmg Smg/kgBB - - -
Hari ke-3 300mg lOmg/kgBB - - -
Hari ke-4 300mg lOmg/kgBB 150mg Smg/kgBB
Hari ke-5 300mg 10-20mg/kgBB 300mg Smg/kgBB
[maks 500 mg]
Hari ke-6 300mg 10-20mg/kgBB 4 5 0 mg lOmg/kgBB
[maks 500mg]
Hari ke-7 300mg 10-20mg/kgBB 450mg 10-20mg/kgBB Pertimbangkan reintroduksi
[maks SOOmg] C<50 kg) [males 60 mg) bertahan setelah 14 hari
600mg pemberian isoniazid dan
[S50 kg) rifampisin. Bila pirazinamid
tidak diberikan, terapi
selama 18 bulan
Sumber: Ramappa V, dkk. J Clin Exp Hepatol;2013.h. 37-49.

Komplikasi lain yang juga banyak ditemukan tampaknya tidak dapat mencegah kejadian
ialah hidrosefalus, baik komunikans maupun infark pada meningitis TB. Suatu penelitian
nonkomunikans, Tindakan pirau ventrikulo- meningitis TB dengan komplikasi vaskulitis
peritoneal (yentriculo-peritoneal shunt) di- di India memperlihatkan manfaat aspirin
anjurkan sedini mungkin untuk pasien de- dosis ISOmg terhadap mortalitas dan per­
ngan hidrosefalus obstruktif. Selain itu dapat baikan gambaran MRI.
juga dipertimbangkan pemasangan drainase
Peningkatan enzim transaminase terjadi
ventrikel eksternal dan ventrikulostomi ven-
pada 20% pasien yang mendapatkan OAT
trikel III perendoskopik. Untuk pasien de-
lini pertama. Hal ini dapat terjadi sebe-
ngan hidrosefalus komunikans, pada tahap
lum atau setelah pengobatan dimulai, dan
awal dapat diberikan furosemid (40mg/24
seringkali akan membaik dengan sendiri-
jam pada pasien dewasa; lmg/kgBB pada
nya. Penghentian pemberian OAT akibat
pasien anak), pemberian asetazolamid (10-
efek hepatotoksisitas imbas obatpada men­
20mg/kg8B pada pasien dewasa; 30-50mg/
ingitis TB sangat mempengaruhi keluaran-
kgBB pada pasien anak), atau pungsi lum­
meningitis TB. Sampai saat ini belum ada
bal berulang. Bila pengobatan tersebut ti-
suatu penelitian yang cukup baik dalam tata-
dak menunjukkan perbaikan Minis dengan
laksana hepatotoksisitas imbas OAT. Gejala
pengobatan medikamentosa, tindakan pirau
klinisnya sangat bervariasi dari yang tanpa
tersebut juga dianjurkan.
gejala sama sekali sampai terjadi kegagalan
Stroke pada meningitis TB merupakan hati, seperti ikterus, anoreksia, mual, dan
prediktor yang buruk. Deksametason saja nyeri abdomen.

236
Infeksi Tuberkulosis pada Susunan SarafPusat

Gejala Minis gangguan fungsi hati aMbat OAT 2005;4(3);160-70,


2. Thwaites G, Fisher M, Hemingway C, Scott G, Solo­
tidak spesifik. Diperlukan monitor peme­
mon T, Innes J. British Infection Society guidelines for
riksaan iaboratorium secara berkala, oleh the diagnosis and treatment of tuberculosis of the
karena hepatotoksisitas imbas OAT sangat central nervous system in adults and children.J In­
sulit diprediksi. Faktor-faktor yang berpe- fect. 2009;59(3):167-87.
ran diantaranya kerentanan secara genetik, 3. Thwaites G, Chau TT, Mai NT, Drobniewsla F, Mc-
Adam K, Farrar J.Tuberculous meningitis. J Neurol
adanya malnutrisi, serta hepatitis C dan B. Neurosurg Psychiatry,2000;68:289-99.
Penting untuk menerangkan kepada pasien 4. WHO. Global tuberculosis report 2016. Geneva:WHO
mengenai masalah inidan menekankan pen- Library Catalouging-in-PublicationData;2016.
tingnya pemeriksaan rutin untuk memantau 5. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyaldt dan
Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan
perkembangan penyakit Manajemen hepa- Republik Indonesia. Strategi nasional pengendalian
totoksisitas imbas OAT pada panduan men­ TB di Indonesia 2010-2014. Jakarta: Kementerian
ingitis TB dari British Infection Association Kesehatan Republik Indonesia; 2011.
adalah sebagai berikut: 6. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Pe­
nyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Re­
® Bila serum transaminase meningkat le- publik IndonesiaPedoman nasional pengendalian
bih dari 5 kali normal, direkomendasi- tuberculosis, Jakarta:Kementerian Kesehatan Re­
kan untuk menghentikan pirazinamid, publik Indonesia; 2014.
7. Rock RB, Olin M, Baker CA, Molitor TW, Peterson
tetap melanjutkan isoniazid dan rifam- PK. Central nervous system tuberculosis patho­
pisin dengan melakukan pemeriksaan genesis and clinical aspects.Clin Microbiol Rev.
fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin, albu­ 2008;2(2):243-61.
8. Be NA, Kim KS, Bishai WRJain SKPathogenesis of
min, dan waktu protrombin) setiap hari. central nervous system tuberculosis.Curr Mol Med.
® Bila serum albumin turun dan waktu 2009;9(2):94-9.
protrombin meningkat, atau enzim 9. Maty$2ak MK, Periy VH. Bacillus Calmette-Guerin se­
questered in the brain parenchyma escapes immune
transaminase meningkat terus, iso­ recognition.J Neuroimmunol. 1998;82(l]:73-80.
niazid dan rifampisin juga diberhenti- 10. Galea I, Bechmann I, Perry VH.What is immune privi­
kan. Selanjutnya diberikan etambutol, lege (notJTTrends Immunol. 2007;28(l):12-8.
11. Ford AL, Foulcher E, Lemckert FA, Sedgwick JD. Mi­
streptomisin, dan levofloksasin. croglia induce CD4T lymphocyte final effecto function
® Rifampisin dan isoniazid harus segera and deathj Exp Med. 1996;184(5J:1737-45.
12. Jain SK, Kwon P, Moss WJ. Management and out­
diberikan kembali secara bertahap
comes of intracranial tuberculomas developing dur­
setelah fungsi hati menjadi normal. ing antituberculous therapy: case report and review,
Setelah dosis terapi rifampisin dan iso­ Clin. Pediatr. CPhila). 2005;44{5);443-50.
13. Imran D, Estiasari R, Karuniawati A, Timan IS, Muly-
niazid tercapai, barulah pirazinamid
adi R, Yunus RE, dkk. Clinical presentation, etiology
diberikan. and outcome of central nervous system infections in
® Pemberian kembali OAT setelah dihen- RSCM Hospital. Dipresentasikan pada The 1st Annual
International Conference and Exhibition on Indone­
tikan akibat hepatotoksitas imbas OAT sian Medical Education and Research Institute (ICE on
dapat dilihat pada Tabel 4. 1MERI), November 14-16; Jakarta, Indonesia; 2016.
14. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat Republik Indonesia, Komisi Penanggulan-
DAFTARPUSTAKA
gan AIDS Indonesia. Ringkasan eksekutif: strategi
1. Thwaites GE, Tran TH. Tuberculous meningi­ dan rencana aksi nasional penanggulangan HIV dan
tis: many questions, too few answers. Lancet Neurol.

237
Buku Ajar Neurolog i

AIDS 2010-2014, Komisi Penanggulangan AIDS In­ 25. Ruslami R, Ganiem AR, Dian S, Apriani L, Achmai
donesia [serial online], 2010 [diunduh 30 Oktober TH,van Crevel R, dkk Intensified regimen contain
2016] :2 010:1-8, Tersedia dari:AIDS Indonesia. ing rifampicin an moxifloxacin for tuberculou;
15. Thwaites GE, van Toorn R Schoeman J.Tuberculous meningitis: an open-label, randomised controllec
meningitis: more questions, still too few answers. phase 2 trial. Lancet infect Dis. 2013;13[l):27-35
Lancet Neurol 2013;12(10):999-1010. 26. Boeree MJ, Diacon AH, Dawson R A dose-ranginj
16. Rich AR, McCordock HA. The pathogenesis of trial to optimize the dose of rifampin in the treat
tuberculous meningitis. Bull Johns Hopkins ment of tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med
Hosp,1933;52:5~37. 20l5;191(9]:l058-65.
17. Ho J, Marais BJ, Gilbert GL, Ralph AP. Diagnosing tu­ 27. Thwaites GE, Due Bang N, Huy Dung NH, Thi Qu}
berculous meningitis - have we made any progress? H, Tuoang Oanh DT, Farrar JD, dkk Dexametha
Trap Med Int Health. 2013;18(6):783~93. sone for the treatment of tuberculous meningiti:
18. Marais S, Thwaites G, Schoeman JR Torok ME, Kisra in adolescents and adults. Thwaites N Engl J Med
UK, Prasad K, dkk Tuberculous meningitis: a uni­ 2004;351(17):1741-51.
form case definition for use in clinical research. Lan­ 28. Lawn SD, Zumla Al, Diagnosis of extrapulmonary tu­
cet Infect Dis. 2010;10(11]:803-12. berculosis using the Xpert® MTB-RIF assay. Experl
19. Patel VB, Theron G, Lenders L, Matinyenya B, Con­ Rev Anti Infect Ther. 2012;10(6):631-35.
nolly C. Diagnostic accuracy of quantitative PCR 29. Burrill J, Williams CJ, Bain G, Conder G, Hine AL
[Xpert MTB/RIF) for tuberculous meningitis in a Misra RR Tuberculosis: a radiological review. Radio-
high burden setting: a prospective study. PLoS Med. graphics.2007;27[5):1255~73,
2013;10(l0):el001536, 30. Pienaar M, Andronikou S, van Toorn R MRI to demon­
20. WorldHealthOrganization, Automated real-time strate diagnostic features and complications of TBM
nucleic acid amplification technology for rapid and not seen with CT. Childs Nerv Syst 2009;25[8):941-*7,
simultaneous detection of tuberculosis and rifompi- 31. Misra UK, Kalita J, Nair, PP. Role of aspirin in tuber­
cin resistance: XpertMTB/RIFassayforthediagnosis culous meningitis: a randomized open label placebo
of pulmonary and extrapulmonary TB in adults and controlled trial. Journal of the Neurological Sciences.
children. WHO [serial online]. 2013 [diunduh 7 Juni 2010;293(l-2):12-7.
2015]. Tersedia dari: WHO. 32. Kalita J, Misra UK, Ranjan R Predictors of long-term
21. World Health Organization. Xpert MTB/RIF imple­ neurological sequelae of tuberculous meningitis: a
mentation manuaktechnical and operational 'how-to': multivariate analysis. Eur J Neurol. 2007; 14(1) :33-7,
Practical considerations. WHO [serial online], 2014 33. Zeier G. Hyponatraemic syndrome in a patient with
[diunduh 30 Oktober 2016]. Tersedia dari: WHO, tuberculosis—always the adrenals?Nephrol Dial
22. Bahr NC, Marais S, Caws M, van Crevel R, Wilkinson Transplant 2008;23(l);393-5.
RJ, Tyagi JS, dkk GeneXpert MTB/Rif to diagnose tu­ 34. Marais S, Pepper DJ, Schutz C, Wilkinson RJ, Meintjes
berculous meningitis: perhaps the first test but not G. Presentation and outcome of tuberculous men­
the last Clin Infect Dis. 2016;62(9):1133-5. ingitis in a high HIV prevalence setting. PLoS
23. Donald PR Cerebrospinal fluid concentrations of an­ One.2011;6[5}:e20077,
tituberculosis agents in adults and children. Tuber­ 35. Mitchell JR Zimmerman HJ, Ishak KG. Isoniazid liver in­
culosis [Edinb). 2010;90[5):279-92. jury: clinical spectrum, pathology and probable patho­
24. Cecchini D, Ambrosioni J, Brezzo C, Corrt M, Rybko A, genesis. Ann Intern Med. 1976;84(2}:181-92.
Perez M, dkk Tuberculous meningitis in HlV-infect- 36. Ramappa V, Aithal GP. Hepatotoxicity related to
ed patients: drug susceptibility and clinical outcome, anti-tuberculosis drugs: mechanisms and man­
AIDS, 2007;21(3}:373-4. agement. J Clin Exp Hepatol. 2 013;3(l):37-49.

238
INFEKSI OPORTUNISTIK SUSUNAN SARAF PUSAT
PADA AIDS
Darma Imran, Riwanti Estiasari, Kartika Maharani

MENINGITIS KRIPTOKOKUS infeksi otak paling banyak pada pasien


Pendahuluan HIV Prevalensinya bervariasi antara 10-
Meningitis kriptokokus merupakan salah 30% , tertinggi ditemukan di benua Af-
satu infeksi oportunistik tersering pada rika. Ganiem dkk di Bandung menemukan
pasien imunokompromais. Sebagian besar prevalensi meningitis kriptokokus sebe-
bermanifestasi sebagai meningitis subakut/ sar 29,8% pada pasien HIV positif, dan
kronik, meskipun temuan patologis menun- 8,1% dari keseluruhan pasien dengan ge-
jukkan adanya invasi jaringan yang luas pada jala meningitis subakut. Meskipun insidens
parenkim otak dan meningen. Penyakit ini meningitis kriptokokus telah mengalami
memiliki angka mortalitas yang sangat tinggi, penurunan setelah diperkenalkannya terapi
meskipun dengan pemberian kombinasi anti- antiretroviral (ARV), namun masih menjadi
jamur. Pada uji klinis di Vietnam, angka ke- penyebab kematian terbanyak terutama
matiannya mencapai 35,9%; sedangkan pada pada negara dengan keterbatasan fasilitas
studi Cryptodex, angka kematian 10 minggu kesehatan.
pada subyek dari Indonesia mencapai 52,7%. Patofisiologi
Tata laksana segera berdasarkan diagnosis Jamur penyebab berasal dari genus Crypto­
yang cepat dan tepat merupakan kunci dalam coccus, dengan spesies terbanyak ialah Cryp­
menghadapi infeksi fatal ini. Oleh karena itu tococcus neoformans var, grubii {serotipe A).
kemungkinan meningitis kriptokokus ha- Spesies ini memiliki distribusi paling luas
rus selalu dipertimbangkan dalam meng­ di seluruh belahan dunia dan merupakan
hadapi pasien imunokopromais, terutama etiologi tersering meningitis kriptokokus
pada pasien human immunodeficiency virus/ pada pasien imunokompromais. Subspesies
acquired immunodeficiency syndrome (HIV/ yang juga dapat menjadi penyebab ialah C.
AIDS). Manajemen kasus meningitis kripto­ neoformans gatii (serotipe B dan C) dan C.
kokus merupakan suatu tantangan bagi para neoformans neoformans.
klinisi di Indonesia, terutama akibat terba- Kriptokokus ialah jamur berkapsul yang
tasnya akses ke fasilitas diagnostik dan obat- banyak ditemukan di negara tropis dan
obatan yang tidak selalu tersedia. subtropis, Jamur berbentuk bulat, memi­
Epidemiologi liki diameter 3 -6pm, dengan binding berupa
Meningitis kriptokokus merupakan infeksi kapsul polisakarida saat berada di tubuh inang
jamur sistemik tersering dan penyebab atau ditumbuhkan di media kultur. Jamur ini

239
Buku Ajar Neurologi

dapat tumbuh pada media dengan suhu 20- bentuk tight junction di SDO. Kedua proses
37°C, padahal sebagian besar strain kripto- ini menyebabkan gangguan atau longgarnya
kokus yang nonpatogen tidak dapat berta- tight junction sehingga jamur dapat mele-
han hidup pada suhu ini. wati SDO. Pada model “Trojan horse ", sel
ragi dapat menginvasi sel-sel fagosit, teru-
Organisme ini memiliki predileksi khusus
tama makrofag, sehingga dapat terhindar
ke otak, diduga melalui melalui kerja enzim
dari fagositosis. Selain itu, faktor virulensi
laccase yang menyebabkan produksi mela­
jamur juga diduga memiliki kontribusi pada
nin dari 1-dopa. Masuknya kriptokokus ke
diseminasi ekstrapulmoner.
tubuh inang dimulai dari inhalasi ragi dan
basiodiospora ke alveoli paru. Respons tu­ Proses inflamasi pada infeksi kriptokokus
buh terhadap infeksi kriptokokus melibat- di susunan saraf pusat (SSP) melibatkan
kan komponen seluler dan humoral, meli- imunitas selular dan banyak sitokin. Seperti
puti sel natural killer, limfosit T, makrofag, halnya pada infeksi kronik lainnya, proteksi
dan terbentuknya antibodi antikriptokokus. sistem imun dikaitkan dengan pembentu-
Infeksi primer ini pada umumnya asimto- kan jaringan granulomatosa yang bertujuan
matik, kemudian dapat berlanjut menjadi membatasi perluasan infeksi dan inflama­
infeksi laten atau dorman. Reaktivasi infeksi si. Sitokin seperti tumor necrosis facto r-a
laten merupakan proses yang mendasari (TNF-a), IL-12, dan IL-6, dan interferon-y
terjadinya meningitis kriptokokus pada (IFN-y) juga memiliki sifat protektif.
pasien HIV. Melalui beberapa mekanisme Tingginya konsentrasi ketiga sitokin terse-
imunologis, organisme ini dapat terhindar but dikaitkan dengan kesintasan pasien.
dari proses fagositosis. Gagalnya proses fa- Namun mekanisme proteksi ini tidak terjadi
gositosis inilah yang menyebabkan disemi- pada pasien HIV, karena adanya gangguan
nasi sistemik jamur kriptokokus. sistem imunitas selular.
Penetrasi jamur terhadap sawar darah- Munculnya gejala klinis pada meningitis
otak (SDO) atau blood brain barrier (BBB) kriptokokus bukan hanya akibat proses
merupakan proses kunci terjadinya men­ inflamasi, namun juga akibat replikasi C.
ingitis kriptokokus. Terdapat dua hipote- neoformans pada SSP yang menyebabkan
sis mekanisme invasi jamur, yaitu model gangguan reabsorpsi cairan serebrospinal
transmigrasi transselular dan model "Tro­ (CSS). Gangguan reabsorbsi ini terjadi di vili
jan horse”. Pada model transselular, invasi C. subaraknoid dan pembuluh darah limfatik
neoformans terjadi melalui kapiler serebral, akibat peningkatan viskositas CSS oleh aku-
bukan pleksus koroid. Organisme ini dapat mulasi polisakarida jamur yang memben-
menginvasi human brain microvascular en­ tuk sumbatan mikroskopik, serta sumbatan
dothelial cells (HBMECs) dan mengalami akibat sel jamur itu sendiri. Hal inilah yang
diseminasi aktif pada parenkim otak. Pada menyebabkan manifestasi Minis yang mun-
hipotesis ini juga dijelaskan bahwa terjadi cul pada meningitis kriptokokus didominasi
degradasi dari okludin, protein utama pem- oleh tanda dan gejala akibat peningkatan
tekanan intrakranial (T1K).

240
lnfeksi Oportunistik Susunan S arafP u satpada AIDS

Gejala dan Tanda Klinis infeksi, maka dapat pula bermanifestasi se­
Pada umumnya, pasien dengan meningitis bagai gangguan kognitif atau gangguan gait.
kriptokokus menunjukkan kondisi infeksi
Diagnosis dan Diagnosis Banding
berat. Terutama pada AIDS, penyakit ini di-
Penegakan diagnosis definit meningitis
kaitkan dengan kondisi imunosupresi lanjut
kriptokokus umumnya tidak sulit selama
yaitu CD4 <100sel/|uL. Gambaran klinis kla-
dapat dilakukan pungsi lumbal Masalah-
sik yang ditemukan pada meningitis krip­
nya pungsi lumbal tidak selalu dapat di-
tokokus ialah gejala infeksi berupa demam
kerjakan pada pasien dengan kecurigaan
dan adanya tanda peningkatan TIK akibat
klinis me-ningitis. Oleh karena itu, diagnosis
gangguan penyerapan CSS. Gejala pening­
meningitis kriptokokus ditegakkan melalui
katan TIK terbanyak yang dikeluhkan ialah
beberapa metode, yaitu 1} pemeriksaan mik-
nyeri kepala (73-81% }, sehingga dianggap
roskopik langsung pada cairan serebrospi-
sebagai common practice bahwa setiap ke-
nal [CSS], 2} deteksi antigen kriptokokus, 3}
luhan nyeri kepala pada pasien imunokom-
kultur, dan 4} pemeriksaan histopatologi.
promais terutama HIV, diagnosis meningitis
kriptokokus harus selalu dipertimbangkan. Pemeriksaan mikroskopik CSS menggunak-
an tinta india masih merupakan standar di­
Adanya peningkatan TIK pada pasien me­
agnosis meningitis kriptokokus (Gambar 1).
ningitis kriptokokus juga dapat muncul
Hal ini bertujuan untuk menemukan jamur
se-bagai gejala gangguan penglihatan, dip­
di CSS, namun memilild keterbatasan berupa
lopia, muntah proyektil, hingga penurunan
berkurangnya sensitivitas pada pasien de­
ke-sadaran yang menandai bahwa TIK su-
ngan konsentrasi jamur {fungal burden ]
dah semakin tinggi. Tanda klinis yang dapat
yang rendah di dalam CSS. Pungsi lumbal
ditemukan antara lain meningismus, papil-
dapat diulang kembali bila kecurigaan klinis
edema, paresis saraf kranial, ataupun kejang.
sangat kuat, namun pemeriksaan tinta india
Jika terjadi hidrosefalus sebagai komplikasi
memberikan hasil yang negatif.

Gambar 1, Gambaran Mikroskopik Cryptococcus N eofor mans


Tanda panah hitam menunjukkan gambaran Cryptococcus neoformans pada pemeriksaan tinta India (Gambar a)
dan pewarnaan Wright (Gambar b)
(Dok. (a) Departemen Parasitologi FKUI, (b) Departemen Patologi Klinik FKUI/RSCM]

241
Buku Ajar Neurologi

Metode kedua untuk mendeteksi jamur Tata Laksana Medikamentosa


kriptokokus adalah dengan deteksi antigen Suatu tinjauan sistematik terkini menyatakan
kriptokokus [Cryptococcal Antigen/Qrbg] skrining antigen kriptokokus dikombinasi tata
melalui teknik lateral flow immunochro- laksana dini dengan fiukonazol dapat mence-
m atographic assay (LFA) di CSS. Pemerik- gah meningitis kriptokokus dan menekan ang­
saan ini dapat dilakukan dengan cepat dan ka kematian pada pasien HIV secara bermakna.
juga dapat dideteksi dari cairan tubuh lain, Pedoman Nasional Tata Laksana Meningitis
seperti serum dan bilasan bronkoalveolar. Kriptokokus saat ini merekomendasikan terapi
LFA juga dapat digunakan sebagai skrining induksi amfoterisin B (0,7-lmg/kgBB perhari)
adanya kriptokokosis subklinis pada pasien. intravena selama 2 minggu dikombinasikan
Suatu studi pada populasi pasien HIV di In­ dengan fiukonazol 800-1200mg/hari peroral.
donesia mendeteksi antigen kriptokokus Setelah 2 minggu, terapi dilanjutkan fase kon-
dalam darah (antigenemia kriptokokus) solidasi dengan fiukonazol 800mg/hari per­
sebanyak 7,1% dari 810 pasien HIV yang oral selama 8 minggu. Pemberian profilaksis
belum mendapatkan ARV. Hal ini berkaitan sekunder dengan fiukonazol 200mg/hari tetap
dengan peningkatan kejadian meningitis dilanjutkan hingga CD4 >200sel/pL.
kriptokokus dan angka kematian.
Rekomendasi tersebut belum sejalan dengan
Pemeriksaan kultur jamur merupakan stan- pedoman Infectious Disease Society o f America
dar baku emas diagnosis meningitis kripto­ bahwa terapi induksi lini pertama untuk
kokus dan umumnya membutuhkan waktu meningitis kriptokokus ialah amfoterisin B
3-8 hari untuk tumbuh. Semakin besar vol­ dikombinasi dengan flusitosin (5TC), namun
ume CSS yang digunakan semakin mening- hingga saat ini flusitosin belum tersedia di
katkan nilai diagnosis dari kultur. Selain di Indonesia. Segala usaha harus diupayakan
CSS, kultur juga dapat dilakukan di darah, untuk menyediakan flusitosin di Indonesia
sputum, dan bilasan bronkoalveolar. demi standar terapi yang optimal.
Kultur jamur kuantitatif saat ini dapat dilaku­ Penggunaan steroid yang awalnya diduga
kan di dua RS pendidikan di Jakarta dan Ban­ dapat memperbaiki keluaran pasien men­
dung yang sekaligus dapat digunakan untuk ingitis kriptokokus, berdasarkan studi ber-
evaluasi respons terapi serta membedakan an- skala besar di Afrika dan Asia Tenggara
tara meningitis kriptokokus relaps dan immune menunjukkan bahwa deksametason tidak
reconstitution inflammatory syndrome (IRIS). berhasil menurunkan angka kematian. Studi
ini bahkan dihentikan karena lebih banyak
Gambaran pencitraan yang dapat ditemukan
efek samping yang ditemukan pada kelom-
pada pasien meningitis kriptokokus di antara-
pok deksametason dibandingkan lcelompok
nya adalah penyangatan pada meningen, massa
plasebo, Oleh karena itu disimpulkan bahwa
padat/granuloma, atrofi, edema serebri, atau
deksametason tidak efektif dalam menu­
hidrosefalus. Bila dicurigai adanya gambaran
runkan mortalitas dan memperbaiki kelu­
massa atau kriptokokoma, maka diagnosis
aran pasien HIV positif dengan meningitis
toksoplasmosis otak atau limfoma susunan
kriptokokus.
saraf pusat (SSP) harus dipertimbangkan.

242
In/eksi Oportunistik Susunan SarafP usatpada AIDS

Gangguan fungsi ginjal merupakan efek sam- lumbal, dengan pengukuran yang dilakukan
ping terbanyak yang dikaitkan dengan peng- sejajar posisi kepala pasien. Pengukuran
gunaan amfoterisin B. Efek tersebut pada ini dilakukan dengan manometer, namun
umumnya dapat diprediksi, namun dapat seringkali tidak tersedia pada fasilitas
berkembang menjadi kondisi yang serius jika kesehatan yang terbatas. Oleh karena itu
tidak dilakukan pemantauan ketat. Hal ini dapat diantisipasi dengan alat pengukur
merupakan tantangan tersendiri bagi RS de­ lain yang dinilai cukup akurat seperti blood
ngan keterbatasan jumlah tenaga kesehatan. set (intravenous tubing sets).
Hipokalemia juga seringkali menjadi efek Pungsi lumbal dapat menjadi pilihan terapi
samping amfoterisin B yang cukup sulit un- pada peningkatan TIK dan dapat diker-
tuk dikoreksi. Hipokalemia berat bahkan jakan berulang jika peningkatan TIK masih
seringkali ireversibel meskipun amfoteri­ berlangsung, sehingga dapat memperbaiki
sin B tidak lagi diberikan, Oleh karena itu, keluaran pasien. Direkomendasikan untuk
pemantauan balans cairan dan elektrolit mengeluarkan CSS sebanyak 20-30m L pada
sangat penting baik sebelum ataupun saat pasien dengan tekanan pembukaan lebih
pemberian terapi. dari 25cm H20.
Terapi ARV dini pada meningitis kripto-
ENSEFALITIS TOKSOPLASMA
kokus justru dikaitkan dengan peningkatan
angka mortalitas dibandingkan penundaan Pendahuluan
pemberian ARV, Satu studi di Zimbabwe Ensefalitis toksoplasma atau toxoplasma en­
menunjukkan durasi kesintasan pasien de­ cephalitis (TE) merupakan etiologi infeksi in-
ngan penundaan ARV secara signifikan lebih trakranial terseringyang muncul sebagai lesi
tinggi dari pada pasien dengan pemberian desak ruang di otak pada pasien HIV. Sero-
dini ARV (637 hari vs 28 hari). Risiko mor­ prevalensi toksoplasma di Indonesia sangat
talitas juga meningkat 2,85 kali lebih besar. tinggi dan pernah dilaporkan sebesar 80%
Oleh karena itu pemberian ARV dini tidak pada populasi orang Indonesia sehat. Pasien
direkomendasikan dan harus dihindari HIV yang seropositif terhadap infeksi tokso­
pada pasien dengan meningitis kriptokokus. plasma memiliki peningkatan risiko reakti-
vasi infeksi dan dapat berkembang menjadi
Komplikasi TE. Adanya defisit neurologis yang bersifat
Peningkatan TIK sering ditemukan dan di­ progresif pada pasien HIV positif dengan
kaitkan dengan mortalitas. Gejala peningka­ CD4 <100sel/|iL serta pencitraan yang se-
tan TIK ialah nyeri kepala, gangguan pengli- suai dengan lesi fokal multipel di otak harus
hatan, hingga muntah proyektil. Terjadinya dicurigai ke arah infeksi toksoplasma.
peningkatan TIK pada meningitis kripto­
kokus diperkirakan akibat obstruksi yang Epidemiologi
menyebabkan gangguan reabsorpsi CSS Data dari studi infeksi otak di RSCM tahun
pada granulasi araknoid oleh kapsul poli- 2011 mendapatkan angka kejadian TE sebe­
sakarida jamur. Hal ini dibuktikan dengan sar 48,5% dari keseluruhan 470 kasus in­
tingginya tekanan pembukaan saat pungsi feksi oportunistik pada HIV. Dari penelitian

243
Buku Ajar Neurologi

tersebut juga didapatkan bahwa case fa ta l­ buh pejamu, toksoplasma dapat kembali ber­
ity ratio pada TE (0,31) lebih rendah dari transformasi menjadi takizoit dan bermani-
tuberkulosis otak (0,6) dan meningitis krip- festasi sebagai infeksi sistemik.
tokokus (0,51). Hal ini menekankan bahwa
Gejala dan Tanda Klinis
angka kejadian toksoplasmosis otak sebagai
Sebagian besar toksoplasmosis pada pasien
infeksi oportunistik pada HIV sangat tinggi,
HIV terjadi karena reaktivasi infeksi kro-
namun apabila ditatalaksana secara cepat
nik dan bermanifestasi sebagai TE. Pasien
akan menghasilkan keluaran yang baik.
HIV dengan CD4 <50sel/pL memiliki risiko
Patofisiologi tertinggi. Gejala lclinis pada TE umumnya
Toksoplasmosis merupakan penyakit zoo­ memiliki onset subakut dengan gejala dan
nosis yang disebabkan oleh Toxoplasma gon­ tanda yang tersering dikeluhkan ialah nyeri
dii. Protozoa ini terdapat di intraselular yang kepala (85% ), hemiparesis (48% ), demam
masuk ke dalam tubuh manusia melalui jalur (47% ), penurunan kesadaran (37% ), dan
ingesti (per oral) atau transplasental. T. gon­ kejang (37% ). Namun pasien dapat pula
dii bereplikasi pada manusia sebagai inter­ hanya mengeluhkan nyeri kepala tidak spesi-
mediate host dan kucing sebagai tubuh inang fik ataupun gejala psikiatri. Bila tidak segera
definitif. Manusia umumnya terinfeksi setelah ditatalaksana, infeksi dapat berlanjut men­
mengonsumsi ookista T. gondii yang terdapat jadi infeksi berat yang menimbulkan afasia,
pada daging yang tidak matang, air yang ter- kejang, hingga koma. Toksoplasmosis juga
kontaminasi feses kucing, atau pada sayuran dapat menginfeksi organ ekstraserebral,
yang tidak dicuci. Ookista yang teringesti yang tersering ialah mata (korioretinitis tok­
berubah menjadi takizoit, mengalami replika- soplasma) dan paru.
si yang sangat cepat, lalu menginvasi sel Sel
tersebut kemudian mati, namun takizoit terus Diagnosis dan Diagnosis Banding
menyebar ke seluruh tubuh dan menyebab- 1. Serologi
kan respons inflamasi sistemik. Mengingat tingginya seroprevalensi tok­
Pada keadaan imunokompeten, infeksi tok- soplasma terutama pada negara berkem-
soplasma dikendalikan oleh sistem imunitas bang seperti Indonesia, maka aplikasi
selular. Terdeteksinya takizoit akan meng- pemeriksaan serologi toksoplasma hanya
aktivasi sel T CD4+ untuk mengekspresikan untuk mengetahui adanya infeksi laten
CD154, menstimulasi sel dendritik dan mak- toksoplasma pada pasien. Pasien HIV
rofag untuk mensekresi interleuldn (IL)-12, dengan kecurigaan toksoplasma dapat
serta meningkatkan produksi interferon diperiksa IgG anti toksoplasma, dan bila
gamma (IFN-y). Sitokin ini akan menstimu­ hasilnya didapatkan negatif maka di­
lasi makrofag dan sel nonfagositik untuk agnosis toksoplasma dapat dikesam-
bereaksi terhadap infeksi. Sebagai respons, pingkan terlebih dahulu. Namun hasil
takizoit bertransformasi menjadi bradizoit, IgG yang negatif juga dapat ditemukan
yang secara morfologis serupa namun memi- pada toksoplasmosis akut. Titer antibodi
liki laju replikasi lebih rendah dari takizoit kuantitatif tidak memberikan manfaat
Bila terjadi kondisi imunosupresi pada tu­ terhadap diagnosis toksoplasma.

244
Infeksi Oportunistik Susunan SarafPusat pada AIDS

Gambar 2. Gambaran CT Scan pada Ensefalitis Toksoplasma


Pada CT scan otak potongan aksial pasca pemberian kontras, tanda panah putih menunjukkan massa yang
menyangat kontras (ring enhanced lesion), disertai edema vasogenik di sekitarnya
(Dok: Pribadi)

2 . A n a lisis C airan O tak dengan kecurigaan TE. Sebanyak 80%


Pungsi lumbal jarang dilakukan pada pasien akan menunjukkan adanya lesi
pasien HIV yang memiliki defisit neu- multipel menyangat kontras di korteks
rologis fokal dan lesi fokal multipel pada serebri atau ganglia basal, namun lesi
pencitraan. Hal ini disebabkan karena tunggal juga cukup banyak ditemukan.
cukup kuatnya kemungkinan diagno­ Gambaran khas pada toksoplasmosis
sis TE dan juga adanya risiko herniasi otak ialah adanya asymmetric target sign,
apabila pungsi lumbal tetap dikerjakan, yaitu abses menyangat kontras berben-
terutama pada pasien yang ditemukan tuk cincin yang dapat tervisualisasi pada
papiledema dan lesi desak ruang yang CT scan atau MRI [Gambar 2).
disertai herniasi. Pungsi lumbal umum-
Pada CT scan nonkontras yang tampak
nya dikerjakan pada pasien HIV dengan
hanyalah lesi hipodens atau edema yang
CD4 dOOsel/pLyangmemiliki kecurigaan
dapat menyerupai lesi fokal otak lainnya.
infeksi otak lain atau pada pasien dengan
Pada MR! sekuens T l, dapat terlihat ada­
kecurigaan toksoplasma yang tidak beres-
nya lesi hipointens yang berubah men-
pons baik setelah pemberian terapi em-
jadi hiperintens pada sekuens T2. MRI
pirik. Polymerase chain reaction (PCR)
merupakan modalitas utama yang dapat
toksoplasma pada CSS dapat dikerjakan
mendiagnosis sekaligus mengevalu-
untuk mengetahui adanya infeksi tokso­
asi terapi TE karena dinilai lebih sensitif
plasma, namun hal ini tidak dikerjakan
daripada CT scan untuk mendeteksi lesi
secara rutin.
multipel.
3 . P e n c itr a a n O tak
Salah satu diagnosis banding yang perlu
CT scan atau MRI dengan kontras sebaik-
dipertimbangkan ialah limfoma SSP yang
nya dikerjakan bila menemui pasien
juga berupa lesi multipel dikelilingi edema

245
Baku Ajar Neurologi

dan efek massa. Diagnosis banding lain menerima ARV dan CD4 >200sel/pL se-
yang pada lesi mutipel menyangat kon- lama 3 bulan berturut-turut Oleh karena
tras pada pasien HIV adalah toksoplas- pemberian profilaksis terns menerus hanya
mosis akut, tumor primer otak, metasta­ memiliki sedikit manfaat dalam mence-
sis otak, penyaldt demielinisasi [multipel gah toksoplasmosis, memiliki potensi ter­
sklerosis, vaskulitis}, malformasi arterio- jadinya toksisitas dan interaksi obat, serta
vena, infark multifokal, lesi kongenital dapat menciptakan patogen resisten obat,
[hemangioblastoma pada penyakit von selain juga pertimbangan biaya.
Hippel-Lindau), atau infeksi otak lain
3 . T a ta L a k sa n a M e d ik a m e n to s a
[abses bakteri, tuberkuloma).
Terapi fase akut adalah pirimetamin di-
T a ta L a k s a n a tambah dengan sulfadiazin dan leukovo-
1 . P e n c e g a h a n P a p a ra n T o k so p la s m a rin [Tabel 1). Pirimetamin memiliki ke-
Individu yang baru terdiagnosis HIV mampuan penetrasi terhadap parenkim
direkomendasikan untuk melakukan otak secara efisien, sedangkan leukovo-
pemeriksaan IgG toksoplasma untuk rin mengurangi kemungkinan toksisitas
mengetahui adanya infeksi laten ter- hematologi akibat pirimetamin. Terapi
hadap T. gondii. Guna meminimalisasi alternatif yang direkomendasikan pada
terjadinya infeksi toksoplasma, perlu di- pasien yang tidak dapat menerima sul­
berikan penjelasan untuk menghindari fadiazin atau tidak berespons terhadap
daging mentah atau setengah matang. terapi lini pertama adalah pirimetamin,
Pasien harus mencuci tangan setelah klindamisin, dan leukovorin. Namun
berkontak dengan daging mentah atau kombinasi ini tidak dapat sekaligus men­
tanah, serta selalu mencuci buah dan jadi profilaksis PCP, sehingga tetap perlu
sayur sebelum dimakan. Kucing sebagai penambahan obat. Pada suatu uji klinis
binatang peliharaan juga harus diberi dilaporkan bahwa pemberian TMP-SMX
perhatian khusus supaya tidak menjadi lebih mudah ditolerir dan cukup efektif
hewan pejamu yang dapat menularkan dibandingkan pirimetamin-sulfadiazin.
toksoplasma. Apabila pemberian pirimetamin harus
ditunda, mayoritas karena anemia, maka
2 . P e m b e ria n P ro fila k sis P r i m e r
TMP-SMX harus diberikan.
Pasien HIV dengan CD4 <100sel/pL de­
Pasien umumnya memberikan respons
ngan serologi toksoplasma yang positif
klinis yang baik setelah 14 hari terapi fase
perlu mendapatkan profilaksis primer,
akut Pemberian terapi akut sebaiknya ti­
yaitu trimetoprim-sulfametoksazol (TMP-
dak dihentikan selama minimal 3-6 min-
SMX) 960m g satu kali hari, yang juga
ggu. Setelah menyelesaikan terapi akut,
efektif sebagai profilaksis pneumocystis
pasien sebaiknya melanjutkan dengan do-
jirovecii pneumonia (PCP).
sis rumatan kronik. Dosis rumatan kronik
Pemberian profilaksis terhadap TE dapat yang direkomendasikan adalah setengah
dihentikan pada pasien dewasa yang telah dari dosis yang diberikan saat terapi fase

246
Infeksi Oportunistik Susunan SarafPusat pada AIDS

Tabel 1. Rekomendasi Tata Laltsana Medikamentosa pada Ensefalitis Toksoplasma


Nama Obat Dosis Awal Dosis Rumatan Efelc Samping
Sulfadiazin l - 2 g/6 jam l - 2 g/6 jam Gangguan fungsi hari, fungsi ginjal,
(sediaan tablet 50Omg) selama 6 minggu gangguan hematologi
Pirimetamin 2 0 0 mg, satu kali BB <60kg: Ruam kulit, depresi sumsum tulang
[sediaan tablet 25mg) 50mg/hari; (neutropenia, trombositopenia)
BB >60kg:
75mg/hari
Asam folinat 1 0 ~2 0 mg/hari 1 0 -2 0 mg/hari Alergi
(sediaan tablet 5 dan lOmg)
Klindamisin 600mg/6 jam 600mg/6 jam Demam, ruam kulit, muntah, diare
[sediaan tablet 300 mg) (kolitis pseudomembran)
Trimetoprim-sulfa- 960mg/12 jam 960mg/12 jam Ruam kulit, demam, leukopenia, trom-
metoksazol [sediaan tablet 480mel bositouenia. gangguan fungsi had
Sumber: Kaplan JE, dkk, CDC. 2009. h. 1-198.

akut. Terapi rumatan diberikan hingga Br Med Bull. 2010;72(1):99-118.


3. Sun HY, Hung CC, Chang SC. Management of cryp­
CD4 >200sel/jiL selama 6 bulan berturut-
tococcal meningitis with extremely high intracra­
turut setelah pemberian ARV. nial pressure in HIV-infected patients. Clin Infect
Terapi tambahan berupa kortikosteroid D is.2004;38[12):1790-2.
4. Loyse A, Wainwright H, Jarvis JN, Bicanic T, Rebe K,
seperti deksametason dapat diberikan
Meintjes G, dkk. Histopathology of the arachnoid
pada pasien yang memiliki lesi fokal di- granulations and brain in HIV-associated crypto­
sertai edema dan tanda herniasi. Pembe- coccal meningitis: correlation with cerebrospinal
riannya harus dievaluasi dan dihentikan fluid pressure. AIDS. 2010;24(3):405-10.
sesegera mungkin karena adanya potensi 5. Meda J, Kalluvya S, Downs JA, Chofle AA, Seni J,
Kidenya B, dkk. Cryptococcal meningitis man­
imunosupresi. Pasien dengan steroid harus
agement in Tanzania with strict schedule of se­
dimonitor ketat untuk menghindari infek­ rial lumber punctures using intravenous tubing
si oportunistik lain, seperti tuberkuiosis sets: an operational research study. J Acquir Im­
dan cytomegalovirus. mune Defic Syndr. 2014;66(2}:e31-6.
6 . Day JN, Chau TT, Wolbers M, Mai PP, Dung NT,
Hingga saat ini, belum ada rekomendasi Mai NH, dkk. Combination antifungal thera­
waktu yang tepat untuk memulai ARV py for cryptococcal meningitis. N Engl J Med.
pada pasien TE. Laporan mengenai IRIS 2013;368:1291-302.
pada TE sangat jarang. Para klinisi umum- 7. Beardsley J, Wolbers M, Kibengo FM, Ggayi AB,
nya memulai inisiasi ARV pada 2-3 minggu Kamali A, Cue NT, dkk. Adjunctive Dexametha-
sone in HIV-Associated Cryptococcal Meningitis.
setelah diagnosis.
N Engl J Med. 2016;374:542-54.
8 . Day J, Imran D, Ganiem AR, Tjahjani N, Wahyun-
DAFTAR PUSTAKA ingsih R, Adawiyah R, dkk. CryptoDex: a ran­
1. Lee SC, Dickson DW, Casadevall A. Pathology of domised, double-blind, placebo-controlled phase
cryptococcal meningoencephalitis: analysis of III trial of adjunctive dexamethasone in HlV-in-
27 patients with pathogenetic implications. Hum fected adults with cryptococcal meningitis: study
Pathol. 1996;27[8):839-47. protocol for a randomised control trial. Trials.
2. Bicanic T, Harrison TS. Cryptococcal meningitis. 2014;15:441.

247
Btiku Ajar Neurologi

9. Kaplan JE, Vailabhaneni S, Smith RM, Chideya- 2014 Mei 21-24; Fukuoka, Jepang; 2014.
Chihota S, Chehab J, Park B. Cryptococcai anti­ 14. Nissapatorn V. Toxoplasmosis in HIV/AIDS: a
gen screening and early antifungal treatment to living legacy. Southeast Asian J Trop Med Public
prevent cryptococcai meningitis: a review of the Health. 2009;40[6):1158-78,
literature, j Acquir immune Defic Syndr, 2015;68 15. Haryati S, Prasetyo AA, Sariyatun R, Sari Y, Mur-
(Suppl 3]:S331-9. kati. Interferon-y +874A/T polymorphism as­
10. Abassi M, Boulware DR, Rhein J. Cryptococcai sociated with Toxoplasma gondii seropositivity
meningitis: diagnosis and management update. in HIV patients. Asian Pacific Journal of Tropical
Curr Trop Med Rep. 2015;2(2):90-9. Disease. 2015;5(1O):798-8O3.
11. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 16. Jayawardena S, Singh S, Burzyantseva O, Clarke
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indone­ H. Cerebral toxoplasmosis in adult patients with
sia nomor 87 tahun 2014 tentang pedoman pen- HIV infection. Hospital Physician. 2008;7:17-24.
gobatan antiretroviral. Kemenkes [serial online]. 17. Kaplan JE, Benson C, Holmes KK, Brooks JT, Pau
2015 [diunduh 27 Februari 2017], Tersedia dari: A, Masur H, dkk. Guidelines for prevention and
ditjenpp.kemenkumham.go.id. treatment of opportunistic infections in HlV-in-
12. Terazawa A, Muljono R, Susanto L, Margono SS, fected adults and adolescents: recommendation
Konishi E. High toxoplasma antibody prevalence from CDC, the National Institute of Health, and the
among inhabitants in Jakarta, Indonesia. Jpn J In­ HIV Medicine Association of the Infectious Dis­
fect Dis. 2003;56[3):107-9. eases Society of America. MMWR [serial online].
13. Octaviani D, Imran D, Estiasari E. Response to empir­ 2009 [diunduh 21 Oktober 2016]:2009;58:1-
ical therapy in AIDS patients suspected Toxoplasma 198. Tersedia dari: CDC.
Encephalitis. Dipresentasikan pada: The 55th An­
nual Meeting of The Japanese Society of Neurology,

248
MULTIPEL SKLEROSIS

Riwanti Estiasari

PENDAHULUAN nia tahun 2008 sekitar 2,1 juta orang dan


Multipel sklerosis (MS] adalah penyakit au- bertambah menjadi 2,3 juta orang di ta­
toimun berupa inflamasi kronik pada sistem hun 2013. MS ditemukan di semua negara
saraf pusat (SSP]. Pada MS terjadi proses dengan prevalensi yang sangat bervariasi.
demielinisasi pada SSP yang dapat mengaki- Di Amerika Utara dan Eropa prevalensi MS
batkan kecacatan. MS umumnya menyerang merupakan yang tertinggi di dunia yaitu
perempuan usia muda dengan rasio kekera- 140/100.000 dan 108/100.000. Adapun
pan dibandingkan dengan laki-laki sebesar prevalensi terendah didapatkan di Afrika
2:1 sampai 4:1. dan Asia Timur yaitu 2,1/100.000 dan
2, 2 / 100 . 000 .
Etiologi MS hingga saat ini belum diketahui
dengan pasti. Banyakstudi memperlihatkan Berdasarkan peta tersebut prevalensi MS di
interaksi antara kerentanan genetik dan Indonesia berkisar antara 0-5/100.000. Di
faktor lingkungan menjadi pemicu proses RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Rusmana
imunologis yang mengakibatkan demielin­ mencatat 20 kasus MS selama tahun 2014
isasi. Faktor lingkungan yang banyak diteliti sampai dengan pertengahan tahun 2016.
adalah letak lintang, paparan sinar matahari
dan vitamin D, riwayat infeksi virus Epstein- P A T O FISIO L O G I
Barr (EBV) dan respons imun adaptif terha- Karakteristik patologi MS adalah ditemu-
dap infeksi EBV, merokok, serta higiene. kannya plak yang merupakan hasil dari
demielinisasi, degradasi neuronal dan ak-
MS di Indonesia masih tergolong penyakit
sonal, serta jaringan parut astrosit. Pada se-
yang langka mesldpun jumlahnya terus ber-
seorang yang memiliki kerentanan genetik
tambah. Sulitnya penegakan diagnosis MS
terhadap MS akan terjadi reaksi silang an­
dan masih sangat mahalnya harga obat-obat
tara antigen lingkungan dengan komponen
MS mengakibatkan tingginya beban ekono-
mielin dan atau oligodendrosit atau protein
mi pada penyakit ini.
mielin seperti protein S-100, fosfodiester-
ase, dan lain-lain. Hal ini memicu sensitisasi
E P ID E M IO L O G I
iimfosit T sehingga bersifat autoreaktif ter­
Berdasarkan atlas MS 2013 yang dike-
hadap mielin dan oligodendrosit yang telah
luarkan oleh Multiple Sclerosis International
mengalamai reaksi silang tersebut .
Federation, jumlah penyandang MS di du-
fika antigen [yang bereaksi silang dengan

249
Buku Ajar Neurologi

mielin) memasuki tubuh, makrofag akan GEJALA DAN TANDA KLINIS


memfagositosis antigen tersebut (Gambar Terdapat 3 subtipe MS yaitu:
1). Antigen presenting cells (APC) seperti 1. R elapsin g R em itting M ultiple S clerosis
sel dendritik mempresentasikan antigen (RRMS)
atau protein antigen ini dengan memben- Merupakan tipe MS yang tersering (85-
tuk kompleks antara antigen dengan m a­ 90% ). Karakteristik subtipe ini adalah
jo r histocompatibility complex (MHC) pada adanya pola relaps remisi. Periode re-
permukaan sel. Kompleks antigen dengan misi dapat berlangsung beberapa bulan
MHC akan dikenali oleh reseptor pada per­ atau tahun tanpa ada gejala baru. Sekitar
mukaan sel limfosit T CD4. Akibatnya sel 65% pasien dengan RRMS akan berkem-
terebut akan teraktivasi dan berdiferensiasi bang menjadi secondary progressive MS.
menjadi sel T helper 1 (T hl). T h l akan me-
micu sitokin proinflamasi yang selanjutnya 2. S econ dary Progressive M ultiple S cle­
akan mengakitivasi reseptor molekul adhesi ro sis (SPMS)
endotel pembuluh darah sawar darah otak, Subtipe ini merupakan kelanjutan dari
Akibatnya sawar darah otak menjadi lebih RRMS. Median waktu antara diagnosis
mudah dilalui oleh sel T. RRMS dan progresivitas menjadi SPMS
adalah 19 tahun. Laki-laki lebih cepat
Setelah menembus sawar darah otak, T h l mengalami progresivitas. Selain itu se­
akan mengalami reaktivasi oleh APC, hanya makin tua usia saat terdiagnosis akan se­
saja antigen yang dibawa APC kali ini adalah makin cepat mencapai tahap progresif.
protein mielin. Reaktivasi akan memicu si­ Pada SPMS pola relaps remisi menjadi
tokin proinflamasi, nitrit oksida, antibodi, semakin jarang dan digantikan oleh ge­
komplemen juga molekul-molekul yang jala neurologis yang progresif.
memediasi apoptosis. Sitokin proinflamasi
juga akan menstimulasi mikroglia dan as- 3. P rim ary P rog ressiv e M ultiple S clero­
trosit sehingga permeabilitas sawar darah sis (PPMS)
otak menjadi semakin meningkat, Molekul PPMS ditemukan pada 10-15% kasus.
kemotaksis yang memfasilitasi masuknya Subtipe ini tidak melalui fase relaps re­
sel T, antibodi, dan juga makrofag juga ikut misi seperti SPMS. Progresivitas penya-
terstimulasi. Kaskade imun akan beraldbat ldt berlangsung sejak gejala pertama dan
pada edema, demielinisasi juga kematian terjadi akumulasi disabilitas pada ka­
akson. sus ini. Kondisi ini bisa mengalami fase
plateau untuk periode waktu tertentu.
Pasien PPMS umumnya lebih tua diban­
ding subtipe lainnya dan lebih sering
ditemukan pada laki-laki.

250
Multipel Skierosis

A n t i g e n
Se) T perietrasi SISTEH
mefewati sawar S A R A F
Presenting:Gel!
(Astrosrt,Mikro
darahctok P U S A T
glia, Bdkrofag)

AkfcvasiAPC
v%
-s

5dTCD4

Aktivasisei
limfosit B

TNF-a t 4 i™-T
f "
* ■. s ' ■■■.: fl . ; ■■■. -

a Produksi
SR(^dn anti AnUbodi
irvflamasi *»
- ■«* ■ ■'

ji Jp
** i
ARtfeasi Mskrofag ^ ® v2Si ss! T %s

Aktfvasi
kompfemen KOTsaten pada seHsbung mieBn
atanpun pada oBgodendrogfe

K E R U S A K A F i
QINEDIASI AKTIB0D1
KERUSAKAN
B1HED1ASI IMUN

Gambar 1. Patogenesis Terjadinya Demieltnisasi pada Multipel Slderosis


APC: antigen presenting cell; T h l: limfositT helper 1; Th2: limfositT helper 2; MHC: major histocompatibility com ­
plex; IFN-y: interferon gamma; TNF-a: tumor necrosis factor- a

251
Buku Ajar Neurologi

Gambar 2. Pola Subtipe Multipel Sklerosis


MS: multipei slderosis; CIS: clinically isolated syndrome; RRMS: relaps-remitting multiple sclerosis; SPMS:
secondary progressive multiple sclerosis

Gejala MS merupakan gambaran kerusakan DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


mielin pada SSP. Pasien seringkali lupa atau Diagnosis
tidak mengenali gejala awal sebagai gejala Diagnosis awal MS terutama berdasarkan
neuroiogis. Gejala awal dapat berupa gejala gambaran klinis. Kriteria diagnostik yang
tunggal atau kombinasi dengan gejala lain- banyak digunakan saat ini adalah kriteria
nya. Gejala muncul dengan onset subakut McDonald revisi tahun 2010.
dalam hitungan hari hingga minggu. Meski-
1. Untuk menegakkan diagnosis MS dibu-
pun demikian pada beberapa kasus gejala
tuhkan 2 atau lebih serangan yang di-
muncul dengan onset akut. Apabila gejala
sertai dengan bukti klinis obyektif yang
awal yang muncul ringan, seringkali pasien
menunjukkan adanya 2 lesi atau lebih
tidak berobat dan ini dapat berlangsung
atau hanya 1 bukti klinis obyektif namun
beberapa bulan hingga tahun. Gejala awal
umumnya akan membaik dalam waktu 6-12 terdapat riwayat bukti klinis obyektif
minggu. dari serangan sebelumnya.
2. Apabila didapatkan 2 serangan atau le­
Manifestasi MS dapat sangat bervariasi. Ge­
bih namun hanya terdapat 1 bukti klinis
jala yang cukup tipikal adalah letih, depresi,
obyektif maka dibutuhkan:
disfungsi kognitif, spastisitas, nyeri, gang-
@ Dissemination in space (DIS), yaitu
guan BAB dan BAK, disfungsi ereksi, dan
apabila pada gambaran MRI didapat­
gangguan penglihatan. Gejala lainnya dapat
kan lebih atau sama dengan 1 lesi
berupa tremor, ataksia, vertigo, kelemahan,
pada minimal 2 dari 4 area tipikal MS
gejala ekstrapiramidal, gangguan sensorik,
(periventrikular, jukstakortikal, in­
dan gangguan gerak.
fratentorial, dan medula spinalis}.

252
Multipel Sklerosis

® Jika tidak didapatkan DIS, maka tung- mengakibatkan manifestasi Minis tersebut
gu serangan berikutnya. maka diagnosis MS dapat ditegakkan. Apa­
bila terdapat kecurigaan MS namun kriteria
3. Apabila baru terjadi 1 kali serangan na-
belum terpenuhi maka disebut possible MS.
mun disertai dengan 2 bukti Minis obyektif
Namun apabila masih ada kecurigaan pe-
maka dibutuhkan:
nyebab lain (misal infeksi, neoplasma, me-
® Dissemination in time (DIT), yaitu apa­
tabolik) pada proses penegakan diagnosis
bila pada gambaran MRI didapatkan
maka diagnosis kasus tersebut bukan MS.
lesi lain yang asimtomatik yang me-
nyangat atau tidak menyangat kontras.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Atau adanya lesi baru pada T2 atau
M agnetic R eson an ce Im agin g (MRI)
yang menyangat kontras yang dilaku-
MRI menjadi bagian yang sangat penting
kan pada saat follow up, tanpa melihat
pada penegakan diagnosis MS setelah Mi­
waktu pelaksanaan MRI sebelumnya
nis. Sekuens T2 mampu mendeteksi lesi di
® Jika tidak didapatkan DIT, maka tung- infratentorial lebih baik sedangkan sekuens
gu serangan berikutnya, fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR)
4. Apabila baru terjadi 1 kali serangan dan memiliki sensitivitas yang tinggi untuk lesi
hanya 1 bukti Minis obyektif (clinically iso­ di jukstakortikal dan periventrikuler sub-
lated syndrome/CIS} yang menunjukkan stansia alba. Penyangatan kontras umum-
adanya 1 lesi, maka dibutuhkan DIS dan DIT nya terlihat pada lesi aktif. Bentuk lesi dan
Untuk PPMS, kriteria diagnosis yang diper- letak lesi dapat membantu mengenali lesi
gunakan adalah sebagai berikut: MS pada gambaran MRI. Lesi berbentuk
ovoid di bagian dalam substansia alba atau
Adanya progresivitas penyakit dalam 1 ta-
dengan perpanjangan ke korpus kalosum
hun terakhir disertai 2 dari 3 kriteria di
(,Dawson's finger ) merupakan lesi yang cu-
bawah ini:
kup khas ditemukan pada MS (Gambar 3).
1. Terdapat DIS pada otak berdasarkan ada­
nya 1 atau lebih lesi pada potongan T2 Pemeriksaan Penunjang Lainnya
pada area khas MS (periventrikuler, juks- Pemeriksaan penunjang lain yang dapat
takortikal, atau infratentorial). membantu dalam penegakan diagnosis MS
adalah evoked potential dan pemeriksaan
2. Terdapat DIS pada medula spinalis ber­
CSS namun kedua pemeriksaan ini tidak
dasarkan adanya 2 atau lebih lesi T2
spesifik untuk MS. Pemeriksaan evoked po­
pada medula spinalis.
tential yang dapat digunakan dan memiliki
3. Pita oligoklonal pada cairan serebrospi- sensitivitas yang cukup baik adalah visual
nal (CSS) positif atau terdapat peningka- evoked potential (VEP). Hasil VEP yang se-
tan IgG pada CSS. suai dengan lesi demielinisasi dapat men­
Apabila seluruh kriteria dapat terpenuhi jadi bukti Minis obyektif.
dan tidak ada penjelasan lain yang dapat

253
Buku Ajar Neurologi

Gambar 3. Gambaran MRI pada Multipel Sklerosis


(a) MRI kepala potongan alcsial sekuens T1 FLAIR, tampak lesi hiperintens periventrikular dan jukstakortikal; fb)
MRI kepala potongan sagital sekuens T2, tampak lesi di substansia alba berupa lesi ovoid dan Dawson's finger, (c)
MRI servikal potongan sagital sekuens T2, tampak beberapa lesi ireguler hiperintens pada medula spinalis servikal

Pemeriksaan CSS membantu menyingkir- isasi. Selain itu infeksi seperti tuberku-
kan diagnosis banding terutama infeksi otak, losis, HIV, dan virus lain juga sebaiknya
Pemeriksaan IgG dan pita oligoklonal memi- disingkirkan terlebih dahulu.
liki sensitivitas yang tinggi tetapi tidak spe- • Penyakit vaskular otak, seperti cerebral
sifik untuk MS. Pita oligoklonal juga dapat autosomal dominant arteriopathy with sub­
ditemukan pada penyakit lain seperti lupus cortical infarcts and leukoencephalopathy
eritematosus sistemik, neurosarkoidosis, (CADASIL), vaskulitis, dan infark lakunar.
perdarahan intrakranial, dan Iain-lain.
© Penyakit autoimun lainnya, seperti neu-
romielitis optik (NMO), acute disseminat­
DIAGNOSIS BANDING
ed encephalomyelitis , lupus eritematosus
MS dapat menyerupai banyak penyakit lain
sistemik sindrom Sjogren, dan sarkoidosis.
sehingga sebelum sampai pada diagnosis
MS maka diagnosis banding harus dising- ® Neoplasma SSP, seperti limfoma, glioma,
kirkan terlebih dahulu. ensefalomielitis paraneoplastik, dan kom-
presi medula spinalis akibat metastasis.
® Infeksi SSP, sangat penting untuk dis-
ingkirkan sebelum memulai terapi. ® Metabolik/toksik, seperti defisiensi vita­
Oleh karena itu pungsi lumbal perlu min B12, central pontine myelinolysis.
dikerj akan pada kasus-kasus dengan ® Penyakit idiopatik/genetik, seperti de-
kecurigaan MS. Pada infeksi seperti pro­ generasi spinoserebelar, ataksia Fried­
gressive multifocal leukoencephalopathy reich, malformasi Arnold-ChiarL
yang disebabkan oleh virus JC (John Cun­ ® Gangguan psikiatri berupa reaksi kon-
ningham] juga terjadi proses demielin- versi.

254
Multipel Sklerosis

Tabel 1. Indikasi Pemberian Disease Modifying Drugs pada Multipel Sklerosis


Nama Obat CIS RRMS SPMS PPMS
i.iili i : i: : ! i
IFN-fila + +
IFN-filb + + + -
Glatiramer asetat - _______ :_______ -
i.llii j\!’ij 1i.i
Fingolimod + +
(Highly active)
Natalizumab +
CIS: clinically isolated syndrome; PPMS: primary progressive multiple sclerosis; RRMS: relapsing-remitting multiple
sclerosis; SPMS=S: Secondary progressive multiple sclerosis
Diadaptasi dan dimodifikasi dart: Buttman M, dkk. Exper Rev Neurother. 2008. h. 433-55.

Tabel 2. Terapi Disease Modifying Drugs (DMD) pada Multipel Sklerosis


Dosis dan Cara Pem­
Nama Obat Mekanisme Kerja Efek Samping
berian
IFN-fila 44pg subkutan Inhibisi migrasi sel-T dan Reaksi lokasi injeksi
3 kali/minggu proliferasi ieukosit. Dapat Flu-like symptoms
memodulasi sitokin
IFN-filb 250pg intramuskular Peningkatan enzim hati
1 kali/minggu Limfopenia
Depresi
Glatiramer asetat 2 0 mg/hari, subkutan Meningkatkan regulasi sel-T, Reaksi lokasi injeksi
supresi sitokin inflamasi, Vasodilatasi, nyeri dada
menghambat APC
Mual
Ansietas
Fingolimod 0,5mg/hari, per oral Mengurangi migrasi limfosit Bradikardi
(Perlu pemantauan keSSP Limfopenia
kardiologi pada awal Edema makula
pemberian fingoli­
Disfungsi paru
mod)
Peningkatan enzim hati
Natalizumab 300mg intravena Berikatan dengan alfa4/fil Progressive multifocal
1 kali/4 minggu integrin pada limfosit dan leukoencephalopathy (jarang)
monosit aktif, menghambat Reaksi alergi
adhesi sel dan migrasi leu-
Cepat lelah, nyeri kepaia
kosit menyeberang sawar
darah otak
MS: multipel sklerosis; CIS: clinically isolated syndrome; PPMS: primary progressive multiple sclerosis; RRMS:
relapsing-remitting multiple sclerosis; SPMS: secondary progressive multiple sclerosis; MMP: matrix metalloprotein­
ase; APC: antigen presenting cells; DNA: deoxyribose nucleic acid.
Sumber:
lEstiasari R, dkk Pedoman diagnosis dan tata laksana multipel sklerosis di Indonesia; 2015.
zFox Ej, Lisak RP, dkk. Medical Education Resources; 2011. h. 23-7.

255
Buku Ajar Neurologi

TATA LAKSANA Fingolimod merupakan DMD dalam bentuk


Tata laksana MS terbagi atas terapi relaps oral dengan dosis 0,5mg/hari. Fingolimod
dan terapi jangka panjang. digunakan pada tipe MS yang sangat aktif
atau pada RRMS yang mengalami kegaga-
Terapi Relaps
lan dengan terapi interferon. Fingolimod
Terapi ini hanya diberikan pada saat relaps,
bekerja dengan mengaktifkan reseptor
tidak untuk jangka panjang. Pilihan per-
sfingosin-1 fosfat sehingga menghambat
tama untuk terapi relaps adalah metilpred-
dilepaskannya limfosit ke dalam sirkulasi
nisolon IV atau oral 500-1000m g selama
dari kelenjar getah bening.
3-5 hari. Penurunan dosis pascapemberian
metilprednisolon SOO-lOOOmg masih men- Pada kondisi di mana DMD tidak dapat di­
jadi kontroversi. Sebuah studi yang mem- berikan maka untuk terapi jangka panjang
bandingkan kelompok dengan dan tanpa dapat diberikan imunosupresan seperti
penurunan dosis metilprednisolon memper- azatioprin. Metilprednisolon tidak dianjur-
lihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan kan untuk terapi jangka panjang.
kesembuhan yang bermakna antara kedua
kelompok tersebut. DAFTAR PUSTAKA
1. Moses H, Picone MA, Smith V. Clinician's primer
Terapi Jangka Panjang on multiple sclerosis: An in-depth overview. Cali­
Terapi jangka panjang disesuaikan dengan fornia. Medical Education Resources; 2011. h.
subtipe MS. Direkomendasikan untuk mem- 1-2 .
2. Minagar A. Current and future therapies for mul­
berikan disease modifying drug (DMD) pada
tiple sclerosis. Scientifica. 2013;2013:1-11.
pasien yang telah terdiagnosis MS sesegera 3. Taylor BV. The major cause of multiple sclerosis
mungkin. Hal Ini bertujuan untuk memper- is environmental: genetics has a minor role-Yes.
lambat progresivitas penyakit. DMD yang Mult Scler J. 2011;17(10):1171-3.
4. Multiple Sclerosis International Federation. Atlas
tersedia di Indonesia saat ini hanya inter- of MS 2013: mapping multiple sclerosis around
feron-Bla, interferon-Blb, dan fingolimod. the world. Multiple Sclerosis International Fed­
Interferon-61 a dan interferon-61 b merupak- eration [serial online]. 2013 [diunduh 7 Oktober
2016]. Tersedia dari: MSIF.
an terapi pilihan untuk CIS dan RRMS. Indi- 5. Buttman M, Rieckmann P. Treating multiple scle­
kasi pemberian dan rekomendasi dosis DMD rosis with monoclonal antibodies. Exper Rev
pada MS dapat dilihat pada Tab el 1 dan 2. Neurother. 2008;8(3):433-55.
6. Rusmana AI, Estiasari R. Clinical feature of mul­
Interferon-6 bekerja dengan berikatan pada
tiple sclerosis in Cipto Mangunkusumo National
reseptor spesifik di permukaan sel sistem Hospital Jakarta, Indonesia. Dipresentasikan
imun dan mengubah ekpresi dari beberapa pada: Pan-Asian Committee for Treatment and
gen yang berakibat pada menurunnya jum- Research in Multiple Sclerosis; 2016.
7. Estiasari R, Machfoed MH, Purba J, Imran D, Su-
lah molekul adhesi, menghambat ekspresi gianto P, Sudewi R, dick. Pedoman diagnosis dan
MHC-II, mengurangi migrasi sel inflamasi ke tata laksana multipel slderosis di Indonesia. Ja­
dalam SSP, menghambat sintesis sitokin pro- karta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indo­
nesia; 2015.
inflamasi dan meningkatkan sintesis sitokin 8. Fox EJ, Lisak RP, Conner CS, Smith V. Clinician's
antiinflamasi. Interferon-6 la diberikan de­ primer on multiple sclerosis: Immunology and
ngan dosis 22-44gg 2-3x/minggu subkutan. the basic mechanisms of action of pharmacologi­
cal and therapeutic agents. Texas. Medical Educa­

256
Multipel Sklerosis

tion Resources; 2011. h. 23-7 sis disease. Iranian journal of Ophthalmology.


9. Arizmendi-Vargas J, Carrillo-Ruiz JD, Lopez- 2009;21(4):37-44,
Lizarraga ME, JL CA-T, Martinez-Menchaca H, 16. Awad A, Hemmer B, Hartung HP, Kieseier B, Ben­
Serrato-Avila JL, dkk. Multiple sclerosis: an nett JL, Stuve 0. Analyses of cerebrospinal fluid in
overview of the disease and current concepts the diagnosis and monitoring of multiple sclero­
of its pathophysiology. J Neurosci Behav Health. sis. J Neuroimmunol. 2 0 1 0 ;2 1 9 (l-2 ):l-7 .
2011;3(4):44-50. 17. Estiasari R, Machfoed MH, Purba J, Imran D, Su-
10. Matsui M. Multiple sclerosis immunology for cli­ gianto P, Sudewi R, dkk. Pedoman diagnosis dan
nicians. Neurol Asia. 2008;13:195-8. tata laksana multipel sklerosis di Indonesia. Ja­
11. Browning V, Joseph M, Sedrak M. Multiple scle­ karta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indo­
rosis: a comprehensive review for the physi­ nesia; 2015.
cian assistant. J Am Acad Physician Assist. 18. National Collaborating Centre for Chronic Condi­
2012;25(8):24-9. tions [Great Britain), Royal College of Physicians
12. Polman CH, Reingold SC, Banwell B, Clanet M, Co­ of London, Chartered Society of Physiotherapy
hen JA, Filippi M, dkk. Diagnostic criteria for mul­ (Great Britain). Multiple sclerosis: national clini­
tiple sclerosis: 2010 revisions to the McDonald cal guideline for diagnosis and management in
criteria. Ann Neurol. 2011;69(2):292-302. primary and secondary care. London: Royal Col­
13. Wattjes MP, Barkhof F. High field MRI in the diag­ lege of Physicians; 2004.
nosis of multiple sclerosis: high field-high yield? 19. Perumal JS, Caon C, Hreha S, Zabad R, Tselis A,
Neuroradiology. 2009;51[5):279~92. Lisak R, dkk. Oral prednisone taper following in­
14. Beer S, Rosier KM, Hess CW. Diagnostic value of travenous steroids fails to improve disability or
paraclinical tests in multiple sclerosis: relative recovery from relapses in multiple sclerosis. Eur
sensitivities and specificities for reclassification J Neurol. 2008;15(7):677-80.
according to the Poser committee criteria. J Neu­ 20. Buttman M, Rieckmann P. Treating multiple scle­
rol Neurosurg Psychiatry. 1995;59(2):152-9. rosis with monoclonal antibodies. Expert Rev
15. Movassat M, Pirri N, Nili-Ahmad-Abadi M. Vi­ Neurother. 2008;8(3):433-55,
sual evoked potential study in multiple sclero­ 21. Jankovic SM, Injectable interferon beta-lb for the
treatment of relapsing forms of multiple sclero­
sis. J Inflamm Res. 2010;3:25-31.

257
NEUROMIELITIS OPTIK

Riwanti Estiasari

PENDAHULUAN PATOFISIOLOGI
Neuromielitis optik (NMO] atau Devic's syn­ Kasus pertama adanya sindrom dengan mani-
drome merupakan penyakit autoimun yang festasi di nervus optikus dan medula spinalis
menyebabkan demielinisasi berat terutama dilaporkan oleh Antoine Postal pada abad
pada nervus optikus dan medula spinalis. Pada ke-19. Penyakit ini terus ditemukan, hingga
awalnya NMO dianggap sebagai bagian (sub­ pada tahun 1894, seorang neurolog Perancis,
group) dari multipel sklerosis (MS] karena Eugene Devic bersama dengan Fernand Dault,
gejalanya yang tumpang tindih. Saat ini telah pertama kali menggunakan terminologi neu­
diketahui bahwa patofisiologi kedua penyaldt romielitis optik untuk sebuah sindrom klinis
ini berbeda. Ditambah lagi dengan penemuan yang terdiri dari neuritis optik dan mielitis
antibodi terhadap anti-aquaporin-4 (AQP4] transversa akut. Penelitian mengenai pato-
mempertegas bahwa yang berperan pada genesis terus dilakukan, dan pada tahun 2004
NMO adalah imunitas humoral. Pengetahuan Lennon dan Wingerchuk mendeteksi adanya
mengenai peran antibodi NMO sangat penting immunoglobulin G neuromielitis optik (IgG-
untuk mengembangkan terapi yang rasional NMO atau IgG-AQP4), antibodi spesifik yang
pada penyaldt ini. membedakan NMO dengan MS. Satu tahun
kemudian, Lennon dkk menemukan bahwa
EPIDEMIOLOGI IgG-NMO berikatan secara spesifik terhadap
Insiden NMO bervariasi di berbagai negara. kanal air AQP4 dan hipotesis inilahyangdianut
Sebuah studi telaah sistematik mendapat- sebagai patogenesis NMO hingga saat ini.
kan insiden NMO berkisar antara 0,053-0,4
AQP4 merupakan protein transmembran
per 100,000 penduduk sedangkan preva-
yang secara selektif mengatur transpor
lensinya 0,52-4,4 per 100,000 penduduk.
air pada sel tertentu di otak. AQP4 paling
Seperti kebanyakan penyakit autoimun lain-
banyak ditemukan di SSP dan diekspresikan
nya, NMO lebih banyak menyerang wanita.
di membran astrosit, berhadapan langsung
Median usia saat onset 30,5-55,2 tahun,
dengan membran darah-otak dan darah-cai-
sedildt lebih tua daripada median usia MS.
ran serebrospinal (CSS], namun dapat juga
Meskipun demildan NMO dapat muncul
ditemukan di otot rangka, sel epitel gin-
pada usia anak maupun usia lanjut. Sero-
jal, dan kelenjar eksokrin. Peran ini sangat
positif antibodi AQP4 juga lebih sering dite-
penting untuk fungsi biologis sel seperti
mukan pada wanita.
transpor air transepitelial, terutama antara

258
Neuromielitis Optik

darah-otak dan darah-CSS, migrasi sel, dan GEJALA DAN TANDA KLINIS
neuroeksitasi. Ditemukannya autoantibodi Saat ini NMO dan MS sudah dapat dibeda-
terhadap AQP4 cukup spesifik dalam men- kan berdasarkan lokasi lesi, perjalanan kli­
diagnosis NMO, dimana IgG-AQP4 akan beri- nis, hingga adanya penanda biologis spesifik
katan dengan podosit astrosit, mengaktifkan yang menjadi karakteristik NMO, NMO lebih
komplemen, menyebabkan sitotoksisitas de- banyak bersifat polifasik, namun dapat juga
penden komplemen (complement-dependent muncul sebagai gejala monofasik. Bentuk po­
cytotoxicity/CDC], inflitrasi leukosit, pelepas- lifasik lebih sering ditemukan [90%] berupa
an sitokin, dan kerusakan sawar darah otak serangan neuritis optik atau mielitis, atau
(Gambar 1), Kaskade ini berakhir sebagai ke- keduanya yang terjadi bersamaan. Bentuk
matian oligodendrosit, hilangnya mielin dan monofasik hanya ditemukan sekitar 10%,
neuron, lalu muncul sebagai gejala dan tanda dan pada bentuk ini umumnya neuritis optik
klinis demielinisasi pada NMO. dan mielitis menyerang bersamaan.

1. Sistem saraf \ 6. Hifangnya astrosit

Gambar 1. Mekanisme Patogenesis NMO


(1) dalam kondisi normal, AQP4 diekspresikan di podosit astrosit, berhubungan langsung dengan sawar darah otak
yang dibentuk oleh sel endotel; [2} pada NMO, IgG-AQP4 masuk ke dalam sawar darah otak dan berikatan dengan
AQP4; (3] hal ini menyebabkan aktivasi komplemen, deposisi MAC, dan terjadi kerusakan astrosit; (4) aktivasi
komplemen menyebabkan berkumpulnya sel inflamasi yang merusak sawar darah otak, sehingga jumlah IgG-AQP4
semakin banyak; (5], (6 ) kaskade terakhir ialah degranulasi sel inflamasi, degenerasi oligodendrosit dan mielin
AQP4: aquaporin-4; NMO: neuromielitis optik; lgG-AQP4: imunoglobulin G terhadap kanal aquaporin-4; MAC:
membrane attack complex

259
Buku Ajar Neurologi

Pada 2015, International Panel fo r NMO Di­ f. Sindrom serebral simtomatik dengan
agnosis (IPND) mempublikasikan konsen- lesi otak tipikal NMOSD
sus internasional kriteria diagnosis untuk 4. Gambaran MRI yang harus terpenuhi
NMOSD, sebagai berikut: pada NMOSD dengan IgG-AQP4 negatif
1. NMOSD dengan IgG-AQP4 positif atau tidak diketahui
a. Minimal terdapat 1 karakteristik Mi­ a. Neuritis optik akut: MRI otak harus
nis utama © Normal atau hanya ada lesi sub-
b. IgG-AQP4 positifmenggunakan metode stansia alba yang nonspesifik, atau
deteksi terbaik [direkomendasikan cell ® Hiperintens pada nervus optikus
based assay) pada MRI sekuens T2 atau lesi me-
c. Diagnosis alternatiftelah dieksklusi nyangat gadolinium pada sekuens
T1 dengan panjang lebih dari Vz
2. NMOSD dengan IgG-AQP4 negatif atau
nervus optikus atau melibatkan
status IgG-AQP4 tidak diketahui
kiasma optikus
a. Minimal terdapat 2 karakteristik Mi­
nis utama yang muncul pada 1 kali b. Mielitis akut:
relaps atau lebih dan memenuhi kri­ © Pada MRI didapatkan lesi pada >3
teria berikut ini: segmen intramedula spinalis yang
® Setidaknya 1 dari karakteristik klinis berdekatan (LETM], atau
utama adalah neuritis optik, mielitis © Atrofi fokal pada >3 segmen me­
altut dengan long extended transverse dula spinalis yang berdekatan pada
myelitis (LETM) atau sindrom area pasien dengan riwayat mielitis akut
postrema c. Sindrom area postrema: Adanya lesi
© Dissemination in space, yaitu >2 sin­ pada area postrema atau dorsal medula
drom Minis yang berbeda. d. Sindrom batang otak akut: Adanya
© Temuan MRI yang mendukung sin­ lesi pada batang otak periependimal
drom tersebut
b. IgG-AQP4 negatif Poin penting pada konsensus tersebut ialah
bahwa diagnosis NMOSD baru dapat ditegak-
c. Diagnosis alternatif telah dieksklusi
kan setelah mengalami satu serangan klinis,
3. Karakteristik klinis utama tidak cukup hanya dibuktikan dengan dite-
a. Neuritis optik mukannya IgG-AQP4 atau temuan MRI yang
b. Mielitis akut sesuai namun asimtomatik.
c. Sindrom area postrema/dorsal medula Gejala klinis tersering yang dikeluhkan
d. Sindrom batang otak/periependimal pasien dengan NMO ialah nyeri okular dan
akut gangguan visus (neuritis optik] dan mielitis
e. Narkolepsi simtomatik atau sindrom transversa akut dengan para/tetraplegia, gang­
Minis diensefalik akut dengan MRI di- guan sensorik di bawah lesi, dan gangguan
ensefalon yang tipikal NMOSD otonom. Serangan neuritis optik maupun

260
Neuromielitis Optik

mielitis pada NMO seringkali lebih berat ini dianggap sebagai penanda biologis spe-
dibandingkan dengan MS. NMO berpotensi sifik yang memainkan peran penting pada
mengancam nyawa jika lesi meluas ke me- patogenesis NMO dan NMOSD. Pemeriksaan
dula spinalis servikal dan batang otak karena ini dapat dilakukan pada CSS maupun se­
berpotensi mengakibatkan gagal napas. rum. Antibodi ini memberikan sensitivitas
sebesar 73% dan spesifisitas 91% untuk
Setelah serangan pertama, sebanyak 60%
pasien dengan gejala NMO. Namun sebanyak
pasien mengalami relaps dalam 1 tahun
10-25% pasien NMO memberikan hasil
dan 90% dalam 3 tahun. Disebutkan pula
yang seronegatif. Kondisi ini menunjukkan
bahwa pasien NMO yang sudah seropositif
adanya faktor lain yang dapat terlibat dalam
sejak awal memiliki risiko lebih besar untuk
patogenesis NMO, diduga ialah autoantibodi
mengalami relaps. Setelah 5 tahun, sebanyak
terhadap aquaporin-1 (AQPl-Abs) dan anti­
50% pasien dengan perjalanan penyakit
bodi terhadap glikoprotein dari mielin oli-
relaps juga mengalami kebutaan unilateral,
godendrosit (IgG-MOG).
bilateral, atau bahkan imobilisasi. Faktor-
faktor yang dapat memperberat prognosis Pemeriksaan Cairan Serebrospinal
di antaranya adalah: 1) sering relaps pada Adanya pleositosis [>50sel/mm3) dengan
2 tahun pertama penyakit, 2) derajat kepa- predominan neutrofil serta peningkatan
rahan sangat berat pada serangan pertama, protein (100-500mg/dl} merupakan hasil
3) koeksistensi penyakit autoimun lain (ter- yang banyak ditemukan pada pasien NMO.
utama lupus eritematosus sistemik/LES). Meskipun jarang, pita oligoklonal juga dapat
Angka kesintasan 5 tahun ialah 90% pada ditemukan pada NMO (15-30% ) namun le­
pasien dengan gejala monofasik dan 68% bih banyak pada MS (85-90% ),
dengan gejala relaps. Penyebab kematian
Pencitraan
terbanyak ialah akibat gagal napas.
Pemeriksaan MRI otak pada awal penyakit
NMO umumnya normal namun dapat juga
DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
ditemukan lesi nonspesifik, umumnya asim-
Penegakan diagnosis NMO dilakukan dengan
tomatik dan perlu dipastikan tidak memenuhi
penilaian gejala dan tanda klinis sesuai kri-
kriteria MS. Nilai diagnostik yang lebih tinggi
teria diagnosis, ditunjang dengan pemerik-
pada NMO adalah temuan pada MRI di medula
saan serologi dan pencitraan yang men-
spinalis, yang tersering berupa lesi longitudi­
dukung ke arah NMO setelah etiologi lain
nal pada tiga atau lebih segmen vertebra [long
disingkirkan.
segment myelopathy), seperti pada Gambar 2.
Pemeriksaan Antibodi NMO Lesi ini 98% sensitif dan 83% spesifik untuk
Autoantibodi terhadap kanal air aquapo- NMO.
rin-4 (IgG-AQP4 atau IgG-NMO) hingga saat

261
Buku Ajar Neurologi

Gambar 2. Gambaran Pencitraan Long Segment Mielopathy pada Neuromielitis Optik


MRI servikal sekuens T2. Terdapat lesi hiperintens patologis mulai segmen C4 hingga torakal atas (tanda panah putih)

Diagnosis Banding pada NMO jam atau >4 minggu], 3} Mielitis transversa
Diagnosis banding utama pada NMO ialah MS, parsial, 4] ditemukannya pita oligoklonal
karena keduanya secara klinis memiliki be- pada cairan serebrospinal (CSS], 5] kondisi
berapa kemiripan. Tidak ada gambaran klinis lain seperti sarkoidosis, keganasan, infeksi
yang dapat mengeksklusi diagnosis NMOSD, kronik (contoh: HIV], dan 6) temuan MRI yang
namun beberapa hal ini dapat mengarahkan atipikal. NMO juga dapat muncul bersama
lata kepada diagnosis banding lainnya, yaitu: dengan penyakit autoimun lain seperti LES,
1) perjalanan klinis progresif tanpa adanya sindrom Sjogren, miastenia gravis, hipertiroid
hubungan antara relaps dan perburukan pe- autoimun, dan lain-lain. Hal ini sangat jarang
nyakit, 2) durasi serangan yang atipikal (<4 ditemukan pada MS.

262
Neuromielitis Optik

Tabel 1. Perbedaan Karakteristik Klinis Multipel Sklerosis dan Neuromielitis Optik


Multipel Sklerosis Neuromielitis Optik
Definisi Gejala dan tanda defisit neurologi pada Neuritis optik dan mielitis trans-
SSP yang dengan bukti keterlibatan versa akut
white m atter Minimal dua kriteria berikut;
Adanya bukti dissemination in space « Temuan MRI tidak sesuai untuk MS
and time, ditunjang dengan temuan « Lesi medula spinalis pada tiga
MRI atau lebih segmen vertebra
o Seropositif IgG-NMO
Onset klinis dan perjalanan 85% remisi-relaps 80-90% relaps
penyakit 15% progresif primer 1 0 - 2 0 % monofasik
Tidak monofasik
Median usia munculnya onset 29 39
(tahun)
Jenis kelamin (perempuan: 2:1 9:1
laki-laki)
MRI otak Lesi substansia alba periventrikular, Biasanya normal atau terdapat lesi
jukstakortikal, infratentorial substansia alba nonspesifik
MRI medula spinalis Lesi perifer di medula spinalis Lesi sentral logitudinal ekstensif
[S3 segmen vertebra)
Temuan pungsi lumbal Pleositosis ringan Pleositosis signifikan
Dominan mononuklear Polimorfonuklear dan
mononuklear sama banyak
Pita oligoklonal pada CSS 85% 15-30%
IgG AQP4 Negatif Positif
SSP: susunan saraf pusat; MS: multipel sklerosis; MRI: magnetic resonance imaging; CSS: cairan serebrospinal
Sumber: Wingerchuk DM, dkk Lancet Neurol. 2007. h. 805-15.

TATA LAKSANA masi, mengurangi sel inflamasi yang ber-


Prinsip tata laksana dibagi menjadi terapi sirkulasi dan juga menekan ekspresi sitokin
pada eksaserbasi akut dan terapi untuk proinflamasi. Awalnya metiprednisolon di­
menurunkan risiko relaps. Terapi yang saat berikan dengan dosis lgram secara intra­
ini banyak digunakan ialah pemberian agen vena selama 3-5 hari, dan bila gejala tidak
imunosupresan, imunomodulator, dan plas- membaik, dilanjutkan dengan plasmaferesis
maferesis. berselang hari selama 5 kali. Semakin cepat
Terapi pada E ksaserbasi Akut terapi diberikan, prognosis akan lebih baik.
Prinsip tata laksana pada fase akut adalah Terapi Pencegahan Relays
untuk menghentikan kaskade inflamasi dan Tingginya angka relaps pada NMO menye-
meminimalkan disabilitas neurologi. Pili- babkan perlunya pemberian terapi rumatan
han utama pada fase ini adalah pemberian untuk pencegahan (Tabel 3}. Terapi imuno-
metilprednisolon intravena serta plasmafer- supresan tetap menjadi pilihan utama pada
esis (Tabel 2). Keduanya diberikan dengan tahap ini. Efek samping jangka pendek dan
tujuan untuk mengurangi jumlah IgG-AQP4 jangka panjang seperti risiko infeksi, kega-
yang terbentuk. Metilprednisolon dan plas- nasan, perlu menjadi pertimbangan pilihan
maferesis dianggap memiliki efek antiinfla- obat yang akan diberikan.

263
Buku Ajar Neurologi

Tabel 2, Terapi NMO pada Eksaserbasi Akut


Pilihan Terapi Dosis Mekanisme Aksi
Metilprednisolon lgram/hari intravena, selama 3-5 hari Multipel
Plasmaferesis 5-7 sildus Deplesi IgG-AQP4 dan sitokin
Imunoglobulin intravena 0,7gram/kgBB selama 3 hari Multipel
Siklofosfamid 2gram/hari selama 4 hari Menghambat mitosis sel
Sumber: Padapoulos M,dkk. Nat Rev Neurol. 2014. h. 493-506.

Tabel 3. Terapi NMO untuk Pencegahan Relaps


Pilihan terapi Dosis Mekanisme Aksi
Prednisolon 2 - 2 0 mg/hari Multipel
Rituksimab lgram/hari pada hari ke-1 dan ke-14, Anti-CD20, deplesi sel limfosit B
diulang setiap 6 bulan
Plasmaferesis 5 kali Deplesi IgG-AQP4 dan sitokin
Siklofosfamid 2gram/hari selama 4 hari Menghambat mitosis sel
Azatioprin 2,5-3mg/kgBB/hari Menghambat sintesis adenin dan guanin
Micofenolat mofetil 750-3000mg/hari Menghambat inosin monofosfat dehidroge-
nase pada sel limfosit T dan limfosit B
Mitoksantron inisasi 12mg/m2 dap bulan selama 3-6 bulan; Interkalasi DNA, menghambat mitosis sel
Dosis rumatan 6-12mg/m2 tiap 3 bulan
Metotreksat 7,5-25mg satu kali seminggu Antagonis asam folat
Siklosporin A 2-5mg/kgBB Menghambat sel T
Sumber: Padapoulos M, dkk. Nat Rev Neurol 2014. h. 493-506.

Terapi target (targeted therapy } yang saat DAFTARPUSTAKA


ini sedang dikembangkan ialah pemberian 1. Jasiak-Zatonska M, Kalinowska-Lyszczarz A, Mi­
inhibitor komplemen antibodi monoklonal chalak S, Kozubski W. The immunology of neu­
romyelitis optica-current knowledge, clinical
[eculizumab] dan antibodi monoklonal
implications, controversies, and future perspec­
dengan afinitas tinggi ke AQP4 [aquapo- tives. Int j MolSci. 2016;17(3J:273.
rumab). Sifatnya yang sangat selektif men- 2. Wingerchuk DM, Lennon VA, Lucchinetti CF, Pit-
jadi keunggulan karena toksisitas obatdapat tock SJ, Weinshenker BG. The spectrum of neuro­
myelitis optica. Lancet Neurol. 2007;6(93:80 5-15.
diminimalkan. Terapi ini masih dalam tahap 3. Wingerchuk DM, Banwall B, Bennet JL, Cabre P,
penelitian dan diharapkan dapat mengu- Carroll W, Chitnis T. International consensus di­
rangi progresivitas penyakit, terutama pada agnostic for neuromyelitis optica spectrum dis­
orders. Neurology 2015;8592:179,
fase akut, namun dapat juga sebagai terapi 4. Ratelade J, Verkman AS. Neuromyelitis optica:
rumatan untuk mencegah relaps. aquaporin-4 based pathogenesis mechanisms
and new therapies. Int J Biochem Cell Biol.
2012;44(9): 1519-30.
5. Padapoulos M, Bennett JL, Verkman AS. Treatment
of neuromyelitis optica: state-of the art and emerg­
ing therapies. Nat Rev Neurol. 2014;10(9}:493-5Q6,

264
NEUROOFTALMOLOGI
NEUROOTOLOGI
Vertigo Vestibular Sentral
Vertigo Vestibular Perifer
Gangguan Gerakan Bola Mata
VERTIGO VESTIBULAR SENTRAL

18 Eva D ew ati

PENDAHULUAN nign paroxysmal positioning vertigo (BPPV)


Keseimbangan adalah kemampuan untuk yang termasuk dalam kelompok vertigo pe-
mempertahankan orientasi tubuh dengan rifer (Tabel 1], sementara vertigo vestibular
lingkungan sekitarnya. Keseimbangan pada sentral menempati urutan ketiga (12,2% ).
manusia diatur oleh input yang bersifat kon-
Vertigo merupakan gejala dengan etiologi
tinu dari sistem vestibular, propioseptif, dan
yang beragam, seperti sehingga seorang
visual. Impuls dari ketiga sistem ini akan
dokter harus mencari etiologi berdasarkan
mengalami proses integrasi dan modulasi di
anamesis dan pemeriksaan klinis yang teliti,
batang otak, serebelum, dan serebral. Lesi
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan se-
atau disfungsi dari sistem yang berperan pada
suai dengan etiologi yang dicurigai.
sistem keseimbangan ini akan menimbulkan
gangguan keseimbangan atau dizziness. Gang- Tabei 1. Prevalensi Etiologi Sindrom Vertigo
guan keseimbangan dibagi dalam 4 kelompok,
Diagnosis N %
yaitu vertigo vestibular, vertigo nonvestibular, Benign Paroxysmal Positioning 2618 17,7
presinkop, dan disekuilibrium. Vertigo (BPPV]
Vertigo postural fobia somato­ 2157 14,6
Vertigo adalah ilusi ketika seseorang merasa
form
dirinya bergerak (berputar) terhadap seki­
Vertigo vestibular sentral 1798 12,2
tarnya atau lingkungan yang bergerak ter­
Migren vestibular 1662 11,2
hadap dirinya. Pembahasan pada bagian ini Penyakit Meniere 1490 10,1
adalah mengenai vertigo sentral, didefinisi- Neuritis vestibularis 1198 8,1
kan sebagai vertigo yang disebabkan oleh lesi Vestibulopati bilateral 1067 7,2
pada jaras vestibular mulai dari nukleus ves­ Vestibular paroxysmia 569 3,9
tibularis di batang otak sampai area proyek- Psikogenik vertigo 453 3,1
sinya di korteks temporoparietal. Fistula perilimfe 83 0,6
Sindroma vertigo (penyebab 408 2,8
EPIDEMIOLOGI tidak diketahui)
Berdasarkan penelitian Brandt dkk yang Penyakit lainnya 1287 8,8

dilakukan secara multiregional, prevalensi Total pasien penelitian 14790


Sumber: Brandt T, dkk. Vertigo and dizziness. Edisi ke-2 .
kasus sindrom vertigo terbanyak adalah b e­
2013. h. 4.

267
Buku Ajar Neurologi

\>,= Korteks

OS Rt

I111
M e s e n s e fa lo n
T

VIII
<E> Pons

A
KSA
KSH< >
KS P

Medula

i ijV 1iVi j ; 1i1"(Vi!


Traktus Traktus
Vestibulospinal Vestibulospinal
lateral medial

Gambar 1. Jaras Vestibulookular-reffeks (VOR)


KSA: kanalis semisirkularis anterior; KSH: kanalis semisirkularis horizontal; KSP: kanalis semisirkularis posterior; RI:
muskulus rektus inferior; OS: muskulus oblik superior; III, IV, dan VIII: nukleus nervus kranialis III, IV, dan VIII

PATOFISIOLOGI di pons dan mesensefalon [nukleus intersti­


Berdasarkan lokasi lesi, maka vertigo dibe- tial Cajal dan rostral interstitial medial longi­
dakan menjadi 2, yaitu: tudinal fasciculus /riMLF), serta serebelum.
1. Vertigo perifer, dengan iokasi lesi pada Pusat integrasi di pons dan serebelum ber­
telinga dalam dan nervus vestibularis. peran pada gerakan mata horizontal, sedang-
2. Vertigo sentral, dengan lokasi lesi pada kan pusat integrasi di mesensefalon ber­
batang otak, serebelum, dan serebrum. peran pada gerakan mata vertikal. Impuls
dari batang otak akan diteruskan melalui
Jaras yang berperan pada refleks vestibu- dua jaras, yakni jaras asendens dan jaras
lookular [ vestibuloocular reflex/VOR) me- desendens. Jaras asendens ialah jaras yang
megang peranan sangat penting pada verti­ menuju korteks parieto-temporal melalui
go sentral [Gambar 1). Jaras ini dimulai dari talamus posterolateral, sedangkan jaras
labirin, kemudian menuju ke nuldeus ves­ desendens menuju ke medula spinalis me­
tibularis, nukleus N III, IV, VI, pusat integrasi lalui traktus vestibulospinal lateral dan me­

268
Vertigo VestibularSentral

dial. Sebagai tambahan, jaras desendens ini tigo sentral dan perifer (Tabel 2], Vertigo
mengatur postur tubuh. Lesi pada jaras-jaras merupakan gejala subyektif yang dikeluh-
tersebut akan menyebabkan vertigo sentral. kan oleh pasien, sedangkan gejala obyektif
Oleh karena itu, pemeriksaan VOR meme- yang dapat ditemukan adalah nistagmus, se-
gang peranan penting untuk membedakan hingga pada kasus vertigo maka pemeriksaan
lesi sentral dan perifer. nistagmus memegang peranan penting pula
untuk menentukan lokasi lesi. Pada vertigo
GEJALA DAN TANDA KLINIS sentral, nistagmus yang dapat ditemukan
Dalam menegakkan diagnosis vertigo maka adalah nistagmus bidireksional, vertikal,
harus dibedakan secara klinis antara ver­ dan rotatoar. Nistagmus sentral dapat beru-
pa downbeat atau upbeat nystagmus.

Tabel 2. Perbedaan Klinis Vertigo Perifer dan Sentral


Gejala dan Tanda Perifer Sentral
Gejala vertigo Berat Ringan
Mual dan muntah Berat Ringan
Gangguan pendengaran Sering Jarang
Defisit neurologis - Sering
Nistagmus Unidireksional Bidireksional, vertikal, rotatoar
Head impulse test Positif Negatif
Kompensasi Cepat Lambat
Sumber: Baloh RW, dkk Baloh and Honrubiah's clinical neurophysiology of the vestibular sys­
tem. Edisi ke-4.2011.

Tabel 3. Diagnosis Banding Vertigo Vestibular Sentral Berdasarkan Durasi Vertigo


Durasi Serangan Vertigo Diagnosis Banding
Detik-menit Transient ischemic attack sistem vertebrobasilar
Migren vestibular
Paroxysmal brainstem attack pada multipel sklerosis
Epilepsi vestibular
Jam-beberapa hari Infark batang otak
Perdarahan batang otak
Multipel sklerosis dengan keterlibatan batang otak
Beberapa hari-be- Malformasi Arnold Chiari
berapa minggu Infark/perdarahan/tumor/intoksikasi pada para-
median pontomedullarv atau pontom esencephalic
Sumber: Strupp M. Clinical presentations of peripheral and central vestibular disorders. 2012.

269
Buku Ajar Neurologi

Pada fase akut vertigo dimana gambaran 1. Upbeat nystagmus


defisit neurologi tidak ditemukan maka di- a. Baklofen: 5-10mg, 3 kali sehari
anjurkan untuk melakukan tiga pemeriksaan
b. 4-aminopiridin lOmg, 3 kali sehari
yang disebut HINTS, yaitu:
2. Downbeat nystagmus
1. Head impulse test
a. 4-aminopiridin lOmg, 3 kali sehari
2. Nistagmus
b. 3,4-diaminopiridin 10-20mg, 3 kali se­
3. Test o f skew hari
Pada vertigo sentral maka akan didapat- c. Baklofen 5-10mg, 3 kali sehari
kan head impulse test negatif (tidak ada d. Klonazepam 0,5mg, 3 kali sehari
sakadik), terdapat nistagmus bidireksion- e. Gabapentin 300mg, 3 kali sehari
al, dan test o f skew positif.
DAFTAR PUSTAKA
DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
1. Bronstein AM, Lempert T. Dizziness: a practical
Etiologi tersering dari vertigo sentral adalah
approach to diagnosis and management New
stroke (infark dan hemoragik], tumor, mul- York: Cambridge University Press; 2007.
tipel sklerosis, migren vestibular, dan pe- 2. Simon RP, Aminoff Mj, Greenberg DA. Clinical
nyakit degeneratif. Oleh karena itu, diperlu- Neurology. Edisi ke-7. USA: Me Graw-Hill; 2009.
kan pemeriksaan pencitraan sesuai dengan 3. Wray SH. Eye movement disorders in clinical practice.
kecurigaan etiologi. Diagnosis banding ver­ New York: Oxford University Press; 2014.
4. Brandt T, Dieterich M, Strupp M. Vertigo and
tigo sentral juga dapat dinilai berdasarkan
dizziness. Edisi ke-2. London: Springer-Verlag; 2013.
lamanya keluhan vertigo (Tabel 3). 5. Strupp M. Clinical presentations of peripheral
and central vestibular disorders, 16th Congress
TATA LAKSANA of European Federation of Neurology Societies;
Pada prinsipnya, tata laksana vertigo ves­ 2012 September 8-11; Stockholm, Sweden.
World Federation of Neurology; 2012.
tibular sentral dibagi menjadi:
6. Baloh RW, Honrubia V, Kerber KA. Baloh and
1. Terapi kausal: sesuai dengan etiologi Honrubiah's Clinical neurophysiology of the
2. Terapi simtomatik: betahistin, flunari- vestibular system. Edisi ke-4. New York: Oxford
University Press; 2011.
zin, cinarizin
7. Celebisoy N. The clinical examination of the dizzy
3. Vestibular rehabilitation therapy (VRT}: patient. Joint Congress of European Neurology;
cawthorne cooksey exercises 2014 Mei 31-Juni 3; Istanbul, Turkey. EFNS dan
ENS; 2014.
Terapi medikamentosa yang dapat dilakukan 8. Kattah JC, Talkad AV, Wang DZ, Hsieh YH,
pada nistagmus sentral ialah: Newman-Toker DE. HINTS to diagnose stroke
in the acute vestibular syndrome. Stroke.
2009;40:3504-10.

270
VERTIGO VESTIBULAR PERIFER

Freddy Sitorus, Ni Nengah RidaAriarini, Kartika Maharani

PENDAHULUAN gejala dan tanda yang hampir serupa meski-


Vertigo merupakan keluhan neurologis pun memiliki dasar patomekanisme yang
terbanyak kedua setelah nyeri kepala yang berbeda.
membawa pasien datang ke fasilitas kese-
hatan. Vertigo merupakan bagian dari gang- EPIDEMIOLOGI
guan keseimbangan ( dizziness) bersama Adanya perbedaan definisi dan konsep
dengan presinkop dan disekuilibrium. Ver­ dari vertigo menyebabkan adanya variasi
tigo dapat disebabkan oleh proses fisiologis frekuensi etiologi vertigo. Studi yang mene-
(misalnya vertigo saat berada di “komidi liti mengenai gejala vertigo pada 14.790
putar”, mabuk perjalanan, adanya gangguan subyek mendapatkan benign paroxysmal
visual) atau oleh karena lesi patologis (mi­ positional vertigo (BPPV) sebagai etiologi
salnya lesi pada labirin atau nukleus nervus terbanyak (Gambar 1).
vestibularis). Keduanya akan menghasilkan

17.7%
14,6% 14.4%
122% 11 .2 % 10, 1%
8.1 % 72%
3.9%
0.6 %

<>
&
\r
.5?
,ovO
$

Gambar 1. Prevalensi Vertigo Berdasarkan Etiologi


BPPV: benign paroxysmal positional vertigo
Sumber: Brandt T. Vertigo and dizziness; 2013. h, 4.

271
Buku Ajar Neurologi

Pada penelitian retrospektif yang lain, dari sakulus berespons terhadap akselerasi linear
4000 kunjungan ke unit gawat darurat neu­ dan gravitasi. Organ vestibular berada dalam
rologi didapatkan dizziness (12% ) merupa- aktivitas tonik simetris, bila tereksitasi akan
kan keluhan ketiga terbanyak setelah nyeri menstimulasi sistem vestibular sentral.
kepala (21% ), dan stroke [13% ). Pada kasus
Pada keadaan normal, sistem saraf pusat
kegawatdaruratan neurologi, kemampuan
memberikan respons terhadap setiap per-
untuk dapat mendiagnosis vertigo sentral
bedaan aktivitas dari kedua kompleks nuk-
dan perifer menjadi penting karena berkai-
leus vestibular. Dalam keadaan statis (tidak
tan dengan tata laksana dan prognosis.
ada pergerakan kepala), aktivitas neural
pada kedua nukleus vestibular simetris
PATOFISIOLOGI
(Gambar 3A). Bila kepala digerakkan, ter-
Sistem vestibular secara umum dibagi men­
jadi aktivitas asimetris pada nukleus ves­
jadi komponen perifer dan sentral. Komponen
tibular, yang diinterpretasikan oleh sistem
perifer terdiri dari kanalis semisirkularis (pos­
saraf pusat sebagai gerakan kepala. Adanya
terior, horizontal, anterior) dan organ otolit
proses patologis juga akan diinterpretasi­
(sakulus dan utrikulus) bilateral (Gambar
kan sebagai aktivitas asimetris oleh sistem
2). Kanalis semisirkularis mendeteksi ge-
saraf pusat (Gambar 3B).
rakan berputar, sedangkan utrikulus dan

Ksntong

Gambar 2. Anatomi Organ Vestibular

272
Vertigo Vestibular Perifer

Nukleus
vestibularis
Polaritas
1 Kiri Kanan
sel rambut

O O
G © oo _° o
o ° «-> ou
G O
Nervus o 0 Nervus
vestibularis
o * vestibularis

Kanaiis semisirku laris Kanaiis semisirkularis


horizontal kiri horizontal kanan

Kanaiis semisirku laris Kanaiis semisirkularis


horizontal kiri horizontal kanan

Gambar 3, Push-Pull T heory pada Reflelcs Vestibular-okular Horizontal


(a) Tanpa gerakan kepala, vestibular sisi kanan dan kiri seimbang (b) Pada gangguan vestibular perifer unilateral
sisi kanan, terjadi hilangnya resting neural activity pada nervus dan nukleus vestibular kanan. Ketidakseimbangan
aktivitas neural ini diinterpretasikan sebagai gerakan kepala cepat, dalam kasus ini ke arah kiri. Kemudian otalc
merespons sebagai pergerakan mata korektif berupa nistagmus vestibular.

Benign P aroxysm al P osition al Vertigo gravitasi. Lepasnya otokonia juga cukup


BPPV terjadi saat otokonia, suatu kalsium sering terjadi pada kanaiis semisirkularis
karbonat yang terbentuk di makula utriku- horizontal, namun keluhan umumnya akan
lus, terlepas dan masuk ke dalam kanaiis spontan membaik dibandingkan dengan ka­
semisirkularis. Hal ini menyebabkan sen- naiis semisirkularis posterior. BPPV jarang
sasi berputar ketika terjadi perubahan po- terjadi pada kanaiis semisirkularis anterior,
sisi kepala. Lokasi tersering BPPV ialah pada dapat disebabkan karena posisi kanal yang
kanaiis semisirkularis posterior, yaitu kanal paling atas, sehingga otokonia jarang masuk
yang paling dipengaruhi oleh perbedaan ke dalamnya.

273
Buku Ajar N eurobgi

Neuritis Vestibular telinga dalam dan bermanifestasi sebagai sin-


Neuritis vestibular merupakan kondisi infla- drom vertigo episodik disertai dengan gang­
masi pada nervus vestibularis yang kemung- guan pendengaran yang fluktuatif. Terdapat
kinan disebabkan oleh virus. Biasanya diawali beberapa pendapat mengenai patofisiologi
gejala prodromal infeksi menyerupai viral-like penyakit Meniere, namun yang paling banyak
illness. Riwayat infeksi saluran napas ditemu- dikenal ialah teori hidrops endolimfatik.
kan sebanyak 23-100% mendahului gejala
Cairan endolimfatik diproduksi di koldea
neuritis vestibular.
dan kanalis semisirkular, dan diabsorbsi di
Gambaran klinis neuritis vestibular meru­ kantong endolimfatik (endolymphatic sac).
pakan gejala keterlibatan nervus vestibular­ Terjadinya hidrops endolimfatik diperkirakan
is cabang superior, yaitu kanalis semisirku- akibat peningkatan volume endolimfe atau
laris horizontal, anterior, serta utrikulus. gangguan mekanisme absorpsi (Gambar 4).
Hal ini disebabkan oleh karena cabang su­ Salah satu pencetus gangguan ini ialah infeksi
perior dari nervus vestibularis melewati atau inflamasi pada kantung endolimfatik, se-
celah yang lebih panjang dan sempit pada os hingga menyebabkan gangguan absorbsi cai­
petrosum dibandingkan cabang inferior, se- ran endolimfatik. Hipotesis lain menyebutkan
hingga lebih rentan mengalami edema dan adanya korelasi dengan kondisi metabolik,
kompresi. Bila disertai dengan gangguan hormon, alergi, genetik, atau stres. Hingga saat
pendengaran telinga, lesi telinga dalam se- ini belum ditemukan etiologi pasti terjadinya
perti labirintitis, infark labirin, dan fistula hidrops endolimfatik pada penyakit Meniere.
perilimfe harus dipertimbangkan. Teori ini masih dalam perdebatan, karena ti-
dak semua pasien dengan gejala penyakit Me­
Penyakit M eniere
niere memilki hidrops, dan pada studi autopsi
Penyakit Meniere merupakan penyakit mul-
didapatkan bahwa individu dengan hidrops
tifaktorial yang menyebabkan kelainan di
tidak semua simtomatik.

Telinga daiam yang sehat Penyakit Meniere ■Arus baiik cairan


menyebabkan edema
J i — Kantong endolimfatik dan peningkatan
tckanaft
Kanal
keseimbangan /
(\ Nervus
vestJbufokokiearis
Edema
mengganggu y
informasi
keseimbangan
■ Informasi yang

(Cana! / terganggu
■' ditransmisskan ke
pendengaran
otak

Gambar 4. Patofisologi Terjadinya Hidrops Limfatik pada Penyakit Meniere

274
Vertigo Vestibular Perifer

GEJALA DAN TANDA KLINIS posisi kepala relatif terhadap gravitasi, se-
B enign P aroxysm al P osition al Vertigo perti berbaring, bangun dari tidur, berguling,
Kanalis Semisirkularis Posterior membungkuk, dan posisi kepala menengadah
Gejala utama BPPV meliputi pusing berputar dalam waktu yang cukup lama. Gejala Minis
(vertigo vestibular/rotatoar) berdurasi sing- BPPV umumnya sangat khas, sehingga sering­
kat (beberapa detik), intensitas berat, dan di- kali diagnosis dapat ditegakkan melalui a-
sertai mual dan muntah. Keluhan ini seringkali namnesis, bahkan sekaligus dapat mengiden-
terjadi pada pagi hari, dipicu oleh perubahan tifikasi sisi telinga yang terkena.

275
Buku Ajar Neurologi

Respons positif pada manuver Dix-Hallpike Neuritis Vestibular dan Labirintitis


(Gambar 5) merupakan standar penegakan Pasien dengan neuritis vestibular umumnya
diagnosis klinis BPPV dengan cara sebagai mengeluh vertigo yang timbul mendadak,
berikut: berlangsung beberapa hari, disertai gejala
1. Pasien duduk di atas tempat tidur otonom, tanpa gejala koklear (gangguan
pendengaran]. Keluhan vertigo akan mem-
2. Kepala dirotasikan 45° ke satu sisi
baik secara bertahap dalam hitungan hari
3. Secara cepat baringkan pasien dengan ke­ hingga minggu, walaupun demikian gang­
pala menggantung pada tepi tempat tidur guan keseimbangan dapat bertahan selama
dengan sudut 20° di bawah garis horizontal beberapa bulan setelah gejala akut vertigo
4. Perhatikan adanya nistagmus menghilang. Gejala klinis neuritis vestibular
akut meliputi (Gambar 6]:
Pada pemeriksaan Dix-Hallpike, saat terjadi
® Vertigo vestibular ( rotatoar } persisten
pergerakan otokonia pada kanalis semi-
dengan osilopsia
sirkularis posterior (kanalolitiasis), endo-
limfe bergerak menjauhi kupula dan merang- © Nistagmus horizontal spontan, makin
sang kanal posterior. Hal ini menimbulkan nyata saat melirik ke sisi telinga yang
upward-beating nystagmus dan nistagmus sehat
torsional. Nistagmus timbul setelah periode © Gangguan gait dan kecenderungan
latensi (2-5 detik] dan menghilang dalam 1 jatuh ke sisi telinga yang sakit
menit (biasanya 30 detik}. Dengan pengu- © Mual dan muntah
langan manuver, nistagmus akan berkurang
© Adanya gangguan fungsi kanalis semi­
[fatig]. Bila otokonia melekat pada kupula
sirkularis horizontal dapat dilakukan
(kupulolitiasis), cetusan nistagmus serupa
dengan head-impulse test
seperti nistagmus pada kanalolitiasis tapi
memiliki durasi yang lebih panjang. Labirintitis merupaltan proses inflamasi yang
melibatkan organ vestibular dan koldea, dapat
B enign P aroxysm al P osition al V ertigo terjadi unilateral atau bilateral. Berbeda de­
Kanalis Semisirkularis Horizontal ngan neuritis vestibular dimana pada labirinti­
Diagnosis BPPV pada kanalis semisirkularis tis didapatkan adanya gangguan pendengaran.
horizontal dilakukan dengan head-roll test Serupa dengan neuritis vestibular, penyakit ini
atau log-roll test, di mana pasien berbaring, ke­ juga didahului dengan proses infelcsi virus, na-
pala diputar 90° ke arah kiri kemudian kanan. mun dapat juga disebabkan oleh bakteri,
Nistagmus horizontal akan timbul saat kepala
diputar ke kedua arah. Bila nistagmus menuju Penyakit Meniere
ke bawah disebut nistagmus geotropik, bila Penyakit Meniere ditandai dengan trias
menuju ke atas disebut nistagmus ageotropik. gejala, yaitu vertigo, tinitus, dan gangguan
Hal ini akan mempengaruhi pilihan terapi re- pendengaran. Adanya keluhan serangan
posisi kanal yang sesuai. berulang dari vertigo vestibular perifer
disertai dengan gejala aural/koklea (penu-

276
Vertigo Vestibular Perifer

runan pendengaran, tinitus, atau rasa Gejala klinis penyakit Meniere dibagi ke
penuh) merupakan dasar penegakan diag­ dalam dua tahap, yaitu: (1) tahap fluktuasi,
nosis klinis penyakit Meniere. Pada awal- yaitu gangguan pendengaran masih menga-
nya, keluhan ini dapat sembuh sendiri lami perbaikan setelah serangan, lalu diikuti
0self-limiting symptoms ). Bentuk atipikal dengan (2) tahap neural, yakni gangguan
penyakit Meniere yang lain dapat berupa pendengaran bersifat menetap dan makin
serangan berulang dari gangguan pende­ memberat Pasien pada tahap fluktuasi umum-
ngaran fluktuatif (hidrops koklea] atau nya masih berespons dengan obat-obatan me-
vertigo (hidrops vestibular). dikamentosa, sedangkan pada tahap neural
membutuhkan terapi yang lebih invasif.

Nistagmus Tendesi jatuh


Vertigo Arah perputaran mata
Subjective visual vertical
Subjective straight ahead

Gambar 6 . Gambaran Klinis Neuritis Vestibular

277
Bukti Ajar Neurologi

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang


Dalam pendekatan diagnosis vertigo ves­ pada tahap awal gejala dan di luar serangan
tibular, sangat penting untulc menentukan umumnya akan memberikan hasil yang nor­
apakah vertigo berasal dari gangguan organ mal. Pemeriksaan penunjang yang dapat di-
vestibular perifer atau sentral. Anamnesis lakukan antara lain:
merupakan kunci utama untuk membe- ® Pemeriksaan audiometri, pada penya­
dakan keduanya. Pokok-pokok yang perlu kit Meniere biasanya akan di-temukan
digali meliputi onset dan durasi vertigo, adanya tuli sensorineural nada rendah
faktor pencetus atau memperberat, dan ge-
• Elektrokokleografi
jala lain yang menyertai, khususnya defisit
neurologis dan gangguan pendengaran. Hal ® Brainstem auditory evoked potentials
ini tercantum pada Tabel 1. (BAEP)

Diagnosis banding pada penyakit Meniere TATA LAKSANA


di antaranya ialah migren basilar. Adanya Tata laksana pada vertigo meliputi terapi
gangguan vaskular kanalis auditorik inter­ kausal, terapi simtomatik, dan terapi rehabili-
nal yang terjadi pada migren basilar dapat tatif. Khusus untuk penyakit Meniere, terdapat
menimbulkan gejala mirip dengan penyakit beberapa rekomendasi tata laksana pada saat
Meniere. Diagnosis banding lain ialah la- serangan, tata laksana pencegahan, hingga
birintitis dan penyakit autoimun lain yang terapi pembedahan. Sebelum memulai tera­
menyerang telinga dalam. pi, pasien perlu mendapat penjelasan bahwa
Diagnosis penyakit Meniere ditegakkan ber- prognosis vertigo vestibular perifer pada u-
dasarkan anamnesis gejala khas penyakit Me­ mumnya baik dan dapat sembuh spontan,
niere dan adanya defisit neurologis melalui melalui perbaikan fungsi vestibular perifer
sebab adanya kompensasi sentral.

Tabel 1. Karakteristik Vertigo Vestibular Perifer dan Sentral


Vertigo Vestibular Perifer Vertigo Vestibular Sentral
Nistagmus » Kombinasi nistagmus hori­ ° Nistagmus vertikal, horizontal, atau
zontal dan torsional torsional murni
* Inhbisi dengan fiksasi peng- * Tidak mengalami inhibisi dengan
lihatan ke satu obyek fiksasi penglihatan
* Unidireksional * Bidireksional
Gangguan keseimbangan Ringan-sedang Berat
Otonom (mual, muntah) Berat Bervariasi
Gangguan pendengaran, tinnitus Sering Jarang
Defisit neurologis jarang Sering
non-auditorik
Latensi pada manuver diagnostik Hingga 20 detik Hingga 5 detik
Sumber: Labuguen RH. Am Fam Physician. 2006. h. 244-51.

278
Vertigo Vestibular Perifer

Tabel 2. Obat-obatan Simtomatik pada Vertigo


Mukosa Ekstra-
Nama Obat Dosis obat Antiemetik Sedasi
Kering piramidal
AiiUbts'i.miiiu
Dimenhidrinat 50mg/4-8 jam + + +
Prometazin 25mg/4-8 jam + ++ ++ -
Cinarizin 25mg/8 jam + -
Ben/mMa/epin
P i .i z e p .u n 2-5mg/8 jam + +++ - -
Klonozepam 0,5mg/4-6 jam + +■!■+
Bttlirolenon
Halopcridol 0,5-2mg/8 jam ++ +++ ++
:>isl:uninik
Betahistin 24mg/12 jam + + - +
Sindrom:
72-144mg/hari
Pi'ijvek.'d koii.ii k;
Flunarizin 5-10mg/12 jam + + - +
Antiepilepsi
Karbamazepin Paroksismia vestibular: - - -
200-600mg/hari
Epilepsi vestibular:
800-2000mg/hari
Topiramat Migren vestibular: - -i- - -
50-150mg/hari
Asam valproat Migren vestibular: + " ■
600-1500mg/hari
IVnyeknl kaii.dk;
4-Aminopiridin 5-10mg/8-12 jam - - - -
Sumber: Tumboimbela M, dkk. Pedoman tata laksana vertigo. 2012. h. 207-13.

Tata laksana Medikamentosa o Profilaksis mual dan muntah dalam tin-


Pemberian obat-obatan simtomatik un- dakan liberatory maneuver pada BPPV
tuk mengobat gejala dizziness, mual, dan
® Profilaksis mabuk perjalanan
muntah pada vertigo meliputi golongan
• Sebagai terapi pada vertigo posisional
antikolinergik, antihistamin, dan benzo-
sentral dengan mual
diazepin (Tabel 2).
Obat-obatan tersebut tidak direkomendasi-
Obat-obatan antivertigo hanya diindikasi-
kan untuk pemberian jangka panjang karena
kan untuk:
akan mengganggu mekanisme kompensasi
e Gejala vertigo vestibular perifer atau
sentral pada gangguan vestibular perifer,
sentral akut (maksimal 3 hari)
bahkan dapat menyebabkan adiksi obat

279
Buku Ajar Neurologi

Berdasarkan studi, betahistin dapat menu- Manuver Epley dilakukan untuk mengem-
runkan frekuensi dan keparahan serangan balikan otokonia dari kanalis semisirkularis
pada penyakit Meniere. Dosis awal yang dapat posterior kembali ke utrikulus untuk kemu-
digunakan ialah 16mg, 3 kali sehari, dititrasi dian akan diresorpsi kembali. Setiap posisi
bertahap hingga dosis 72-144mg/hari. dipertahankan selama minimal 30 detik.

Diuretik juga dapat ditambahkan sebagai Langkah-langkahnya adalah sbeagai berikut


tata laksana Meniere, dengan hipotesis un- (Gambar 7]:
tuk mengurangi hidrops endolimfatik. Ste­
1. Manuver Dix-Hallpike
roid, baik per oral atau intratimpani juga di-
2. Bila positif, pertahankan 30 detik
katakan dapat mengendalikan gejala vertigo
pada penyakit Meniere. 3. Putar kepala 90 derajat ke arah berla-
wanan, pertahankan 30 detik
Modalitas farmakologik terakhir yang dapat
4. Putar kepala 90 derajat ke arah bawah
dikerjakan ialah ablasi telinga dalam de­
(wajah menghadap ke lantai), perta­
ngan aminoglikosida intratimpani. Pengo-
hankan 30 detik
batan ini dikerjakan dengan tujuan untuk
menciptakan kerusakan permanen pada 5. Pasien kembali ke posisi duduk
organ vestibular sehingga dapat mengakhiri
Manuver Semont juga dapat digunakan se­
serangan pada penyakit Meniere. Strepto-
bagai terapi reposisi kanalit pada BPPV
misin merupakan obat pilihan karena sifat kanal sirkular posterior. Manuver ini diker­
ototoksik yang dimiliki. Studi menunjukkan jakan dengan cara (Gambar 8}:
pascapemberian terapi ini, sebanyak 71%
pasien mengalami bebas serangan. Namun 1. Pasien duduk di tepi tempat tidur.
efek samping berupa gangguan pendenga- 2. Memutar kepala pasien sebanyak 45°
ran memberat dan gangguan keseimbangan kesisi telinga yang sehat.
akibat hilangnya kompensasi fungsi vestibu­ 3. Tubuh pasien diputar 90° ke sisi telinga
lar unilateral yang dapat muncul pascapengo- yang sakit, tetap berbaring selama 1
batan ini masih menjadi perdebatan. menit.

T a ta L a k sa n a N o n m e d ik a m e n to sa 4. Secara cepat diikuti posisi tubuh 180°


1. Terapi reposisi kanalit ke sisi telinga yang sehat, dan tetap ber­
Manuver Epley merupakan tindakan yang baring selama 1 m enit
efektif untuk pasien dengan BPPV kanalis Manuver ini memiliki kelebihan dapat diker­
semisirkularis posterior. Keberhasilan terapi jakan pada pasien yang lehernya sulit dieks-
ini dilaporkan 80% pada satu kali terapi, dan tensikan.
92% pada pengulangan. Cochrane systematic
review menyebutkan bahwa manuver Epley Pada saat melakukan terapi reposisi kanal­
aman untuk dikerjakan dan memperbaiki it, pasien perlu mendapatpenjelasan bahwa
tindakan ini dapat disertai dengan mun-
gejala hingga menyebabkan konversi ma­
culnya keluhan mual, muntah, dan vertigo.
nuver Dix-Hallpike dari positif ke negatif.

280
Vertigo Vestibular Perifer

Pasien juga dapat mengeluhkan gangguan hat. Gerakan ini akan menyebabkan
keseimbangan serta dizziness yang dipe- debris otokonia bermigrasi dan keluar
ngaruhi posisi kepala selama beberapa hari dari kanalis semisirkularis horizontal,
setelah manuver dilakukan. Komplikasi lain lalu masuk ke utrikulus (Gambar 9).
dari manuver ini adalah konversi BPPV dari 3. Latihan mandiri di rumah
kanalis semisirkularis posterior ke kanal Latihan Brandt-Daroff (Gambar 10) dapat
horizontal Hal ini dapat di tata laksana de- dikerjakan sendiri oleh pasien apabila ge-
ngan manuver BPPV kanalis semisirkularis jala tidak membaik dengan manuver Ep-
horizontal seperti dijelaskan di bawah ini. ley. Langkah-langkah latihan ini ialah:
2. Terapi reposisikanalitpada BPPV kanalis 1. Latihan dilakukan dengan kedua mata
semisirkularis horizontal terbuka.
Manuver yang dapat dilakukan pada ka- 2. Pasien duduk tegak di tepi tempat ti-
sus BPPV pada kanalis semisirkularis dur, dengan kedua kaki tergantung.
horizontal dengan nistagmus geotropik 3. Kepala diarahkan 45° ke kiri, lalu ba-
adalah rotasi barbecue (manuver Lem- ringkan tubuh dengan cepat ke arah
pert]. Manuver ini dikerjakan dengan kanan, pertahankan posisi selama 30
rotasi kepala 90 derajat ke arah telinga detik.
yang sakit lalu ke arah telinga yang se-

281
Buku Ajar Neurologi

4. Duduk kembali seperti posisi awal se- Pada umumnya, vertigo perifer terutama
lama 30 detik. BPPV memiliki prognosis baik dengan
5. Kepala kembali diarahkan 45° ke kekambuhan 2 tahun sekitar 27% bila lati­
kanan, lalu baringkan tubuh dengan han Brandt-Daroff dikerjakan secara rutin.
cepatke arah kiri, pertahankan posisi Rekurensi tersering terjadi pada 6 bulan
selama 30 detik. pertama. Bila rekurensi vertigo sangat
6. Pasien duduk kembali. sering dengan derajat yang makin berat,
7. Latihan ini dilakukan 3 set/hari, ma- maka perlu dipikirkan diagnosis banding
sing-masing 5 siklus ke ldri dan ke vertigo lainnya.
kanan selama 2 minggu.

282
Vertigo Vestibular Perifer

f f

Gambar 9. Langkah-langltah Manuver Lempert

Gambar 10. Latihan Brandt-Daroff

283
Buku Ajar Neurologi

DAFTAR PUSTAKA 5. Baloh RW. Clinical practice, vestibular neuritis. N


Engl j Med. 2003;348(ll):1027-32.
1. Brandt T, Dieterich M, Strupp M. Vertigo and diz­
6 . Labuguen RH. Initial evaluation of vertigo. Am
ziness. Edisi ke-2. London: Springer; 2013.
Fam Physician. 2006;73(2):244-51.
2. Thompson TL, Amedee R. Vertigo: a review of
7. Tumboimbela M, Nurimaba N, Cahyani A, Bin-
common peripheral and central vestibular disor­
toro AC, Amar A, Suharjanti I, dkk. Terapi farma-
ders. Ochsner J. 200 9 ;9 [l):2 0 -6 .
kologi vertigo. Dalam: Amar A, Suryamihardja A,
3. Furman JM, Cass SP, Whitney SL. Vestibular dis­
Dewati A, Sitorus F, Nurimaba N, Sutarni S, dkk.
orders: a case-study approach to diagnosis and
Pedoman tata laksana vertigo. Kelompok Studi
treatment Edisi ke-3. New York: Oxford Universi-
Vertigo Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf In­
typ Press; 2010.
donesia; 2012. h. 207-13.
4. Kim JS, Zee DS. Benign paroxysmal positional
8 . Jung IE, Kim JS. Approach to dizziness in the
vertigo. N Engl J Med 2014;370(12):1138-47.
emergency department Clin Exp Emerg Med.
2015;2(2):75-88.

284
GANGGUAN GERAKAN BOLA MATA

Ni Nengah RidaAriarini

PENDAHULUAN tertentu, sehingga diperlukan pengetahuan


Gerakan bola mata normal bertujuan untuk anatomi dan patofisiologi yang baik serta
menempatkan dan mempertahankan obyek anamnesis dan pemeriksaan fisikyang detail
visual pada kedua fovea secara simultan untuk untuk menentukan topis gangguannya.
dapat menciptakan satu obyek tunggal yang
Berbagai patologi juga dapat terjadi yang
stabil. Gerakan bola mata yang inadekuat
dapat berbahaya dan mengancam jiwa, se­
seringkali mengakibatkan ocular misalign­
hingga perlu diidentifikasi segera. Contohnya
ment yang akan menyebabkan gejala visual,
aneurisma yang menyebabkan paresis ner-
yakni diplopia.
vus III atau peningkatan tekanan intrakra-
Gangguan gerakan bola mata memiliki spek- nial yang menyebabkan paresis nervus VI
trum yang luas, tidak hanya gangguan ge­ bilateral. Wawasan epidemiologi juga harus
rakan bola mata yang inadekuat atau hipoak- dimilild klinisi untuk dapat mendeteksi ke-
tivitas (oftalmoparesis atau oftalmoplegia], gawatdaruratan yang berkaitan dengan ge­
namun juga dapat berupa gangguan gerakan jala gangguan pergerakan bola mata.
bola mata yang berlebihan atau hiperaktivi-
Pemahaman tentang gangguan pergerakan
tas ( abnorm al spontaneous eye movement),
bola mata akan menentukan tata laksana yang
seperti nistagmus, superior oblique myo-
tepat untuk menghilangkan atau mengurangi
kimia, ocular flutter, dan masih banyak lagi.
gejala yang dapat menjadi hendaya dalam
Gangguan gerakan bola mata yang inadekuat kehidupan sehari-hari. Hal ini juga dapat
dapat disertai dengan atau tanpa ocular mis­ mencegah perburukan ldinis dan komplikasi
alignment Pada ocular misalignment, obyek yang tidak diinginkan akibat tidak teridentifi-
jatuh pada fovea satu mata dan ekstrafovea kasi dan diataAiya penyebab tertentu. Pem-
pada mata lainnya, sehingga obyek yang ter- bahasan dibaMsi pada gangguan gerakan
lihat tidak tunggal dan menimbulkan gejala bola mata inajekuat yang cukup sering ter­
visual, yang tersering adalah diplopia. Gang­ jadi dan banjak dipelajari, sehingga gang­
guan gerakan bola mata dapat terjadi di guan konvergensi dan gangguan fiksasi tidak
sepanjang neuraksis sistem gerakan bola disertakan. Penekanan terutama pada hal-
mata, dari supranuklear hingga otot, dapat hal yang Masik, secara prinsipal, dan aplikatif.
pula akibat masalah okular atau optik, seperti
gangguan refraksi. Masing-masing gangguan EPIDEMIOLOGI
gerakan bola mata memiliki karakteristik Kobashi d kk menelaah 500 kasus gangguan

285
Buku Ajar Neurologi

gerakan bola mata, menunjukkan sebagian kepala sedang-berat (CKS dan CKB) mendapat­
besar disebabkan oleh paresis nervus okular kan gangguan gerakan mata binokular atau
motor (56%), sedangkan supranuklear hanya lirik, seperti sakadik, smooth pursuit, gangguan
10%. Sejak dipublikasikan sekitar 20 tahun vergence, maupun paresis nervus okular
lalu, belum ada studi prevalensi gangguan ge- motor dapat terjadi pada CKR. Dari studi pros­
rakan bola mata secara menyeluruh (supra- pektif pada 20 pasien, 30% mengalami gang­
nuldear hingga otot) tanpa memandang etiolo- guan sakadik dan 60% mengalami gangguan
gi. Kebanyakan studi pada etiologi nonspesifik smooth pursuit Prevalensi gangguan vergence
hanya meneliti gangguan aldbat paresis ner­ yang pernah dilaporkan sekitar 47-64%.
vus okular motor, sedangkan pada studi etiolo­
Studi Coello dkk pada 49 pasien CKR di-
gi yang spesifik, penyebab terbanyak adalah
dapatkan 62 kasus paresis nervus kranialis
stroke, trauma, dan multipel sklerosis.
yang sebagian besar (77,6%) multipel dan
Fowler dkk mendapatkan 54% strabismus sisanya terisolir, lebih dari sepertiganya me­
dan diplopia pasca brain injury, disebab­ ngalami paresis nervus III, IV dan VI. Studi
kan oleh stroke. Dari studi kohort prospektif pada 71 pasien CKS-CKB menunjukan bahwa
multisenter Rowe dkk pada 512 pasien pas- gangguan sakadik (72%) dan gangguan ako-
castroke, 16,5% mengalami strabismus. Tujuh modasi (62%) paling banyak ditemukan.
puluh persen dari jumlah tersebut disebab­ Meskipun multipel sklerosis identik dengan
kan oleh gangguan gerakan bola mata dan gangguan nervus optikus, namun ditemukan
43,5% mengalami gangguan gerakan bola pula gangguan gerakan bola mata yang be-
mata multipel. Gangguan yang paling banyak ragam, mayoritas berupa sakadik dismetria
ditemukan (>20%) adalah gangguan saka- (32-62% ) dan INO (24-53% ).
dik (sakadik dismetria dan saccade palsy].
Untuk etiologi yang nonspesifik, studi yang
Studi Rowe dkk lain yang terbaru dengan
cukup banyak dilaporkan adalah gangguan
subjek lebih besar, yakni 915 pasien stroke,
gerakan bola mata akibat paresis nervus
menunjukkan 54% pasien mengalami gang­
okular motor baik yang terisolir maupun
guan gerakan bola mata, 41,5% mengalami
multipel. Studi Dharmaraju dkk pada 50
gangguan lirik, dan 18% mengalami paresis
kasus oftalmoplegia, terdapat 34% paresis
nervus okular motor. Gangguan lirik yang
nervus okular motor multipel dengan pe­
terbanyak yakni smooth pursuit, gaze hold­
nyebab tersering lesi inflamasi (12% ). Lesi
ing, dan saccade palsy, sedangkan paresis
vaskular, trauma, inflamasi, atau tumor juga
nervus okular motor terbanyak adalah pa­
dapat menyebabkan hal tersebut. Etiologi
resis nervus VI unilateral.
tertentu lebih sering ditemukan pada nervus
Studi retrospektif Ciufredda dkk pada 160 kranial spesifik, pada kelompok usia ter­
pasien cedera kepala menunjukkan bahwa tentu, etiologi paresis nervus okular motor
proporsi gangguan vergence dan version cu- juga dapat berbeda. Sejumlah studi pada
kup besar (>50%) dibandingkan paresis ner­ anak tahun 1990 hingga 2010 menunjukkan
vus kranialis (<10%). Beberapa studi terpisah kecenderungan penyebab tersering adalah
antara cedera kepala ringan (CKR) dan cedera kongenital, trauma dan tumor dengan dis-

286
Gangguan Gerakan Bola Mata

tribusi sebagai berikut: Secara anatomi, gerakan bola mata dapat


© Nervus III: kongenital (2-50% }, trauma melibatkan satu mata (gerakan bola mata mo-
(11-25% ), tumor (5-12,5% ) nokular atau duksi) dan kedua mata (binoku-
© Nervus IV: kongenital (28-38% ), trauma lar). Gerakan duksi (Gambar 1) melibatkan
(4 -2 9 % )Nervus VI: tumor (17-32% ), nervus okular motor, yakni nervus okulomo-
trauma (11- 42% ). tor (N. Ill), nervus troklear (N. IV,), dan nervus
abdusens (N. VI) yang masing-masing meng-
Pada populasi dewasa penyebab pare­
inervasi otot yang berbeda. Secara umum
sis nervus okular motor terbanyak ia-
perjalanan nervus okular motor berawal dari
lah iskemik mikrovaskular dan trauma.
nukleus di batang otak, kemudian memben-
Hanya paresis nervus IV yang dilaporkan
tuk fasikulus, dan keluar dari batang otak se­
cukup banyak penyebab kongenitalnya
cara berurutan melewati ruang subaraknoid,
(38% ) dengan distribusi masing-masing
sinus kavernosus, apeks orbita, hingga intra-
nervus sebagai berikut:
orbita untuk mempersarafi otot ekstraokular
® Nervus III: Iskemik mikrovaskular (42- (Gambar 2 dan 3). Pada beberapa literatur,
49%), aneurisma (6-16%), trauma (6-13%) lesi di batang otak (nukleus dan fasikulus)
© Nervus IV: Kongenital (38% ), trauma disebut sebagai lesi sentral dan lesi di luar
(29-30% ) batang otak sebagai lesi periferatau neuropati
© Nervus VI: Iskemik mikrovaskular (45- perifer. Literatur Iain mengelompokkan dalam
49% ) dan trauma (12-15% ). lesi intraksial (batang otak) dan ekstraaksial
(setelah keluar dari batang otak),
AN A TO M I DAN P A T O FISIO L O G I
Gerakan binokular adalah gerakan kedua
Gerakan bola mata dijalankan oleh sirkuit bola mata secara simultan mengikuti kaidah
multilevel di sepanjang neuroaksis. Sistem Herring [Herring law), bahwa gerakan kon-
ini tersusun secara hierarki dari bagian atas jugat membutuhkan koordinasi otot eks­
sebagai pemberi perintah, serta inhibisi dan traokular yang saling berpasangan [yoked
modulasi jaras desendens di bawahnya. Lesi muscle). Sebagai contoh, untuk melirik ke
di bagian manapun di sepanjang neuraksis kanan dibutuhkan kontraksi simultan otot
tersebut dapat menyebabkan gangguan ge­ rektus lateral kanan dan otot rektus me­
rakan bola mata. Oleh karena itu, gangguan dial kiri. Secara fungsional, terdapat 6 kelas
gerakan bola mata dapat diklasifikasikan gerakan bola mata binokular yang memiliki
berdasarkan lokasi lesi, yaitu: (1) gangguan karakteristik berbeda (Gambar 4) dalam hal
gerakan bola mata supranuklear, (2) inter- tujuan gerakan [gaze shifting dan gaze hold­
nuklear, (3) nuklear, (4) nervus okular motor, ing), arah gerakan [vergence dan version),
(5) taut-ototsaraf, dan (6) otot ekstraokular. dan kecepatan gerakan (gerakan mata lam-
bat dan gerakan mata cepat.

287
Buku Ajar Neurologi

Temp ere! Ne:cl h-'i-'-.: .r-s -■ >

T:3 c:

I ■ ■ .... ■ ■ ■* i'.:l

.1L .

............. :V/J \m I
m OS kSfcftfSi-atCfattKit N. VI

Gambar 1. Gerakan Duksi, Otot yang Bekerja, dan Persarafannya

Intraorbrra

Apeksorbita dan
faura orbital is superior

Sinus kavornostis

Ruartg subaraknoid

Batang otak

Gambar 2. Anatomi Nervus III, IV, dan VI

288
Gangguan Gerakan Bold Mata

Gambar 3.

289
Buku Ajar Neurologi

T u ju a n i V '.li r t p s i K e r e p n ln n A rah

S a k a d ik G aze shifting G e ra k a n k o n ju g a t k ed u a cep at V e r s io n j k o n ju g a t H o riz o n ta l


m a ta seca ra cep at yang d an v e r tik a l
b e r tu ju a n m em baw a o b je k
b a ru k e fo v e a

F ik s a s i G aze h old in g G e ra k a n k ed u a m a ta u n tu k la m b a t V e r sio n j k o n ju g a t


m e m p e rta h a n k a n o b je k y a n g
s ta tis te ta p b e r a d a di fo v e a
p a d a s a a t k e p a la s ta tis

S m o o th p u r su it G aze h old in g G e ra k a n k o n ju g a t k ed u a la m b a t V e rsio n/ k o n ju g a t


m a ta u n tu k
m e m p e rta h a n k a n o b je k y a n g
b e r g e r a k s e c a r a la m b a t te ta p
b e ra d a di fo v e a

O p t o k in e t ik Gaze h old in g G era k a n k o n ju g a t k ed u a K om ponen V e rsio n/ k o n ju g a t


m a ta u n tu k m e r p e r ta h a n k a n la m b a t dan
o b je k yang s ta tis te ta p cep at
b e ra d a di fo v e a p a d a s a a t
k e p a la b e r o t a s i s e c a r a te r u s -
m e n e ru s (su sta in e d }

R e fle k s Gaze h old in g G era k a n k o n ju g a t ked ua la m b a t V e rsio n/ k o n ju g a t


v e s d b u lo o k u l a r m a ta u n tu k m e r p e r ta h a n k a n
(V O R ) o b je k y a n g s ta t is te ta p
b e ra d a di fo v e a pada sa a t
k e p a la b e r o ta s i s in g k a t

K o n v e rg en si Gaze shifting G era k a n d is k o n ju g a t k e d u a la m b a t Verg e n c e / d tsk o n ju g a t


m a ta u n tu k m e m b a w a o b je k
k e fo v e a

Gambar 4. Enam Kelas Fungsional Gerakan Bola Mata

Gaze shifting, terdiri dari sakadik dan kon­ kiri) maupun vertikal (ke atas dan bawah).
vergensi, bertujuan menangkap obyek baru. Keenam gerakan bola mata ini sering dima-
Gaze holding bertujuan mempertahankan sukkan dalam topik gerakan bola mata su-
obyek yang sudah ada, dengan obyek dalam pranuklear dan internuklear. Supranuklear
kondisi diam atau statis (fiksasi), bergerak yakni koneksi aferen serebrum, serebelum,
(smooth pursuit), bergerak secara konstan dan batang otak ke nukleus okular motor. In­
(optokinetik), dan obyek diam namun ke- ternuklear adalah koneksi antar nukleus oku­
pala bergerak (refleks vestibulookular lar motor, misalnya fasikulus longitudinalis
atau vestibuloocular reflex/V OR], Arah ge­ medial (FLM). Gambar 5-7 menggambarkan
rakan mergence menujukkan kedua mata jaras gerakan bola mata supranuklear un-
bergerak berlawanan (diskonjugat), yakni tuk gerakan horizontal (sakadik horizontal,
dapat berupa konvergensi dan divergensi, smooth pursuit horizontal, dan VOR horizon­
sedangkan gerakan version menunjukkan tal) serta gerakan bola mata vertikal, yaitu
kedua mata bergerak dalam arah yang sama sakadik vertikal.
(konjugat), baik horizontal (ke kanan dan

290
Gangguan Gerakan Bola Mata

m tenon

Kortefc* Frontal (Ftf) dan


Eye FI«WKortlkal tain

K e te r a n g a n

RM Otot Sextus Medic!


m Otot Rekty; La tera!
Nuk.lsl Nukieus Cketomotor

NPH Nukieus Propositus


Hipog'osi
M VN Nukleus Vestibularis
Medici
Fk F Frontoi Eye ne.'d

Gambar 5. Jaras Sakadik Horizontal

Gerakan Bola Mata Horizontal diproyeksikan ke subnukleus rektus medial


Struktur supranuklear yang mengontrol ge­ nervus okulomotor kontralateral. Dengan
rakan sakadik horizontal dimulai dari korteks demikian akan terjadi kontraksi simultan
frontal {frontal eyefield/FEF) yang berfungsi otot rektus lateral pada satu mata dan otot
menginisiasi gerakan sakadik [Gambar 5}, rektus medial pada mata yang lainnya un­
hingga level pons {paramedian pontine reticu­ tuk melirik ke satu arah. Terakhir, pada saat
lar form ation fYFRF) yang berfungsi sebagai mencapai posisi eksentrik di orbit, bola mata
burst neuron. Burst neuron mengontrol "the harus melawan kekuatan elastis orbita yang
pulse" dengan memberikan discharge yang berusaha mengembalikan ke posisi primer.
cepat dan meningkat intensif ke nukleus ab- Hal ini membutuhkan aktivitas neural yang
dusens untuk menginisiasi gerakan sakadik disebut "the step".
yangberkecepatan tinggi sekaligus meredam
Arah lirikan sakadik adalah kontralateral
struktur elastis orbita yang bertugas mem-
dari korteks frontal. Hal ini disebabkan ter-
batasi gerakan bola mata. Nukleus abdusens
dapat dekusasio setinggi mesensefalon sebe-
menerima perintah dan meneruskan sinyal
lum menuju ke PPRF. Sebagai contoh, perintah
ke motor neuron dan interneuron. Motor
dari korteks frontal kanan akan menghasil-
neuron berproyeksi ke otot rektus lateral
kan gerakan sakadik ke kiri, sehngga lesi pada
ipsilateral. Interneuron mengirimkan akson
korteks frontal kanan akan menyebabkan dis-
yang meyilang ke FLM kontralateral untuk
fungsi sakadik ke kiri.

291
Buku Ajar Neurologi

Untuk jaras yang lebih kompleks, terdapat ras pursuit (Gambar 6), yaitu adanya dua kali
struktur supranuldear lain, yaitu: dekusasio, dari dorsolateral pontine nuclei
1. Supplementary eye field (SEF), parietal eye (DLPN) ke serebelum dan dari MVN ke nu-
field (PEF), dan dorsolateral prefrontal Meus abdusens. jadi berbeda dengan sakadik,
cortex (DLPC] di korteks serebri. kontrol gerakan smooth pursuit dilakukan se­
cara ipsilateral. Sebagai contoh, perintah dari
2. Subkorteks (nukleus kaudatus dan sub-
stansia nigra pars retikulata). korteks parietal kanan akan menghasilkan
gerakan smooth pursuit ke kanan.
3. Kolikulus superior.
4. Batang otak yang berfungsi sebagai om­ Berbeda dengan gerakan sakadik dan smooth
nipause neuron yang menginhibisi burst pursuit, input VOR bukan berasal dari korteks,
neuron secara tonik agar tidak terjadi namun dari struktur perifer yakni kanal
sakadik berlebihan. semisirkuler. Untuk VOR horizontal, input
berasal dari kanal semisirkuler horizontal/
5. Serebelum (vermis dorsal dan nukleus
lateral. Sedangkan dua kanal semisirkuler lain
fastigial) yang berfungsi mengatur aku-
memberikan input untuk VOR vertikal ke atas
rasi gerakan sakadik.
(kanal semisirkuler anterior) dan VOR verti­
Selain itu terdapat pula neural integrator, kal ke bawah (kanal semisirkuler posterior).
yakni nucleus prepositus hypoglossi (NPH) Pada Gambar 7 terlihat bahwa VOR bersifat
dan medial vestibular nucleus (MVN). Neu­ kontralateral disebabkan adanya dekusasio
ral ini berfungsi mengintegrasikan velocity dari MVN ke nuldeus abdusens. Jadi pada saat
command (the pulse) menjadi position com ­ kepala menoleh ke kanan akan menstimu-
mand (the step). lasi kanal semisirkuler kanan, sehingga meng­
Adanya struktur yang kompleks ini membuat hasilkan gerakan mata ke kiri untuk tetap
gerakan sakadik akan berjalan normal, baik dapat memfiksasi pada target obyek awal.
dalam aspekinisiasi, amplitudo, kecepatan, dan Terdapat beberapa persamaan dan perbe-
akurasi, terhadap berbagai stimulus (obyek daan pada ketiga jaras gerakan mata hori­
visual, auditori, taktil, dan obyek yang diingat) zontal tersebut. Persamaannya terletak pada
maupun tugas (sakadik volunter, sakadik ref- tingkat nuldear dan infranuklear, yakni nu-
leks, antisakadik, sakadik prediktif, dan me­
Meus abdusens, nervus abdusens ipsilateral,
mory-guided saccade ). Demikian pula dalam
dan nervus okulomotor kontralateral. Dengan
praktek Minis, akan ditemui berbagai jenis
demikian lesi nuldear dan infranuMear akan
gangguan sakadik, tergantung pada struktur
menghasilkan gangguan sakadik, smooth pur­
yang terlibat. Jaras sakadik yang kompleks,
suit, dan VOR secara ekual. Berbeda dengan
fiingsi struktur yang terlibat pada jaras terse-
lesi supranuldear, misalnya di korteks frontal
but, serta kelainan yang ditimbulkannya, tidak
dapat hanya menimbulkan gangguan saka­
akan dibahas pada bab ini.
dik saja, namun gerakan smooth pursuit dan
Jaras sakadik telah banyak dipelajari, namun VOR tetap normal. Hal ini menjadi salah satu
jaras smooth pursuit masih memerlukan stu- petunjuk yang dapat membedakan lesi supra­
di lebih lanjut. Menarik diperhatikan pada ja­ nuldear dan infranuklear.

292
Ganggucm Gerakan Bola Mata

CGL Korteks Frontal


(FFFcfanSEF)
Kottek*Oks^pflot
IVJ.V4V3)

EM RM Rl

Mesensofalon

...... f'"
Pons Atas Pons Bawah flM P1

fiofculus Porcilsj^UiUS
Serobelum

Gambar 6. Jaras Smooth Pursuit Horizontal

ktrl knnan

Mesensefalon

Kelerangan
RM Otcf Re ttys Medial
&y. Dior Rekits La'era!
Nutloirs.AM.s-'tns. N'jkjL Nukieu 0<utoTiolor
Pons MVN Nukleu- VesfiDiilari;
Medial
Aran rataii topata
SWXSip- Ami gemfcan rraia

Korxiis Hcnrcnta 1

Gambar 7. Jaras Vestibuloocular Reflex (VOR) Horizontal

293
Buku Ajar Neurologi

oloiodukfuj Keterangan
0! O io i O b lik inferior
OS O to t O b Ik superior
— - -| Rl O f of Rektus inferior
riMLF
j RS O to t Rektus superior
A i Nuk.ill N ukleus O ku lo m o to r
INC ^ 1 Nuk.IV N ukleus Troklecris
!
1 riMLF Rostral intersthial M e d ia l Longitudinal
i ! Fasciculus
S
IN C Inierslhia! N u c le u s o f C a ja l
Nyk.® rip ra p h e interpositus
i FEF Frontal Eye Field
Nukiv I

rip

A B
Gambar 8, Jaras Sakadik Vertikal ke Atas (A) dan ke Bawah (B)

Gerakan Bola Mata Vertikal riMLF menginervasi struktur nukleus okulo-


Dua struktur utama yang bertanggung ja- motor bilateral dan INC bilateral, sedangkan
wab untuk gerakan sakadik vertikal adalah pada sakadik ke bawah, riMLF menginervasi
rostral interstisial medial fasciculus longi- nukleus okulomotor, nukleus troklear, dan
tudinale [riMLF) dan interstisial nucleus o f INC unilateral. Oleh karena inervasinya uni­
Cajal [INC). Struktur riMLF berfungsi se- lateral, maka gerakan vertikal ke bawah lebih
bagai burst neuron, serupa dengan peran rentan mengalami gangguan dibandingkan
PPRF pada gerakan sakadik horizontal Lain dengan gerakan vertikal ke atas.
halnya dengan INC yang berfungsi sebagai
Perbedaan kedua terletak pada struktur
neural integrator, ekual dengan NPH dan
nuklear, nervus, dan ototyangteriibat Pada
MVN pada gerakan sakadik horizontal. Pe-
gerakan vertikal ke atas meliputi nukleus
ranan omnipause neuron dimiliki oleh raphe
okulomotor dan nervus okulomotor yang
interpositus nuclei [struktur ini jarang diba-
menginervasi otot elevator [otot rektus su­
has). Berbeda dengan gerakan sakadik hori­
perior dan oblik inferior), sedangkan ge­
zontal yang memiliki kontrol dari korteks
rakan vertikal ke bawah adalah nuldeus dan
unilateral [kontralateral), perintah sakadik
nervus okulomotor dan troklear yang meng­
vertikal berasal dari korteks bilateral.
inervasi otot depresor [otot rektus, inferior
Terdapat perbedaan antara gerakan sakadik dan otot oblik superior).
vertikal ke atas [Gambar 8A) dan ke bawah
Struktur lain yang juga berperan dalam ge­
[Gambar 8B). Pada gerakan vertikal ke atas,
rakan sakadik vertikal ialah komisura poste­

294
Gangguan Gerakan Bola Mata

rior. Komisura posterior mengandung akson mun berkurang atau hilang apabila menutup
dari INC yang berproyeksi ke INC kontralat- salah satu mata, tidak bergantung pada mata
eral serta nukleus okulomotor dan troklear yang mengalami lesi atau saMt. Gangguan ini
kontralateral, juga nukleus komisura poste­ disebabkan oleh ocular misalignment akibat
rior yang berproyeksi ke riMLF dan INC kon- lesi otot ekstraokular, taut otot saraf, nervus
tralateral (untuk lirik vertikal ke atas) serta okular motor, nukleus, hingga supranuMear
M-group (untuk kordinasi mata-kelopak dan internuklear. Pada diplopia monoku­
mata saat sakadik vertikal). lar, pasien akan mengeluh pandangan dobel
pada saat melihat dengan kedua mata dan
GEJALA DAN TANDA KLINIS menetap saat menutup mata yang sehat,
Anamnesis yang detail dapat membantu namun akan berkurang saat menutup mata
mengidentifikasi jenis gerakan bola mata yang sakit. Diplopia monokular pada umum-
yang mengalami gangguan, lokasi lesi, dan nya bukan disebabkan masalah neurologis,
etiologi gerakan bola mata. Namun harus namun masalah okular atau optik seperti
disertai pemeriksaan fisik yang teliti dan gangguan refraksi. Oleh karena itu, sangat
benar untuk mendiagnosis jenis gangguan penting untuk menanyakan efek dari menu­
gerakan bola mata, diikuti pemeriksaan tup mata terhadap diplopia.
penunjang untuk membantu menegakkan
Jika diketahui bahwa pasien mengalami
diagnosis topis dan etiologi.
diplopia binokular, maka pertanyaan se-
Gejala Minis yang dapat terjadi pada gang­ lanjutnya adalah arah gerakan mata yang
guan gerakan bola mata dengan ocular mis­ menyebabkan diplopia memberat. Pada
alignment yakni visual confusion, visual blur, prinsipnya, diplopia akan memberat ke arah
dan yang tersering ialah diplopia. Visual con­ yang melibatkan kerja otot tertentu dan
fusion disebabkan oleh misalignment aksis nervus okular motor yang mempersarafi-
visual yang membuat makula kedua mata nya. Sebagai contoh, untuk melihat dekat
secara simultan menangkap dua obyek/area dibutuhkan kerja otot rektus medial. Jadi
yang berbeda. Pasien akan mengeluh melihat apabila pandangan dobel memberat saat
obyek saling tumpang tindih atau bertum- melihat dekat, dapat dipikirkan akibat pare­
puk. Kadang, pasien mengintepretasikan sis nervus III yang menginervasi otot rektus
visual confusion hanya dengan ungkapan medial, taut otot saraf rektus medial, dan
obyek tidak jelas atau buram ( visual blur), otot rektus medial. Untuk itu dalam anam­
Kedua gejala visual ini akan menghilang apa- nesis perlu ditanyakan diplopia memberat
bila menutup salah satu mata. Poin inilah saat melihat dekat atau jauh, ke kiri atau ke
yang dapat membedakan dengan gangguan kanan, serta melihat ke atas atau naik tang-
visus. Diplopia tidak selalu disebabkan oleh ga dan melihat ke bawah atau turun tangga.
ocular misalignment. Secara umum, diplopia
Setelah dapat memperkirakan struktur
dibagi menjadi dua, yakni diplopia binoku-
yang mengalami lesi, selanjutnya penting
lar dan diplopia monokular. Pada diplopia
dinilai lesi tersebut terisolir atau multipel,
binokular, pasien akan mengeluh pandangan
karena dapat membantu melokalisasi lesi.
dobel saat melihat dengan kedua mata, na­

295
Buku Ajar Neurologi

Mengingat anatomi nervus HI, IV, dan VI menyebabkan gangguan bola mata binoku­
yang berjalan berdekatan pada lokasi ter- lar yang simetris, sehingga umumnya tidak
tentu seperti di ruang subaraknoid, sinus terjadi ocular misalignment Apabila lesi
kavernosus, dan orbita, maka pada lesi mul- ini melibatkan kedua mata secara berbeda,
tipel dapat dipikirkan topis tersebut. Pada dapat menyebabkan ocular misalignment
paresis nervus yang terisolir, tidak mudah sehingga menimbulkan gejala diplopia bi­
melokalisirnya. nokular, seperti skew deviation.

Perlu juga dieksplorasi karakteristik di­ Pemeriksaan fisikmeliputi pemeriksaan fisik


plopia, seperti periode, onset, pencetus umum, pemeriksaan neurologis umum/
dan pereda, serta progresivitasnya. Pada rutin, dan pemeriksaan neurooftalmologi.
lesi taut-otot saraf seperti miastenia okular, Untuk praktik klinis pemeriksaan neuroof­
diplopia biasanya bersifat fluktuatif, yakni talmologi dibagi dua, yakni pemeriksaan
memberat saat aktivitas dan menghilang neurooftalmologi rutin dan atas indikasi.
saat istirahat atau pagi hari. Diplopia yang Pemeriksaan neurooftalmologi rutin teru-
muncul secara mendadak dapat dipikirkan tama terkait langsung dengan gangguan
lesi vaskular, sedangkan diplopia yang pro- gerakan bola mata adalah pemeriksaan (1)
gresif dapat dipikirkan akibat tumor. Oleh duksi, (2) ocular misalignment, (3) enam
karena itu perlu ditanya gejala penyerta, kelas fungsional gerakan bola mata, dan
baik yang terkait dengan mata (pandangan (4) fungsi nervus III Iain (pupil dan fungsi
buram, kelopak mata tertutup atau ptosis, otot levator palpebral) yang disertai de­
mata menonjol (proptosis), nyeri saat me- ngan pemeriksaan nervus II. Pemeriksaan
lirik (painful oftalm oplegia )) ataupun gejala neurooftalmologi atas indikasi hanya diker-
yang menggambarkan defisit neurologis (fo- jakan dengan dugaan lesi tertentu, meliputi:
kal maupun sistemik) lain, seperti demam, (1) Parks-Bielschowsky three steps test, (2)
penurunan berat badan, dan nyeri sendi. forced duction dan forced generation, (3)
tanda miastenia ocular, dan (4) tanda lesi
Berbeda dengan gangguan gerakan bola
intraorb ita.
mata yang disertai ocular misalignmenty ang
sering menimbulkan gejala klinis, gangguan Pemeriksaan Neurooftalmologi Rutin
gerakan bola mata yang tanpa ocular mis­ Pemeriksaan gerakan duksi dilakukan de­
alignment hampir selalu asimtomatis atau ngan menggerakkan jari pemeriksa atau
kadang diungkapkan dengan gejala yang obyek dengan pola huruf "H" lalu meminta
vague seperti sulit membaca. Gangguan ini pasien untuk melirik mengikuti arah ge­
biasanya akibat lesi supranuklear. rakan jari tersebut. Hal ini bertujuan untuk
menilai jangkauan gerak otot-otot yang di-
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya,
persarafi oleh nervus III, IV dan VI. Untuk
kontrol supranuklear berhubungan dengan
memperoleh hasil yang akurat, pasien di-
gerakan bola mata binokular, Demikian
minta untuk melirik maksimal (Gambar 9).
pula gangguan kontrol supranuklear, akan

296
Gangguan Gerakan Bola Mata

•7> O

O ls t fakluis superior kaiian Otot rektus superior kirs :


Otot olslik inferior kiri Otot oblik inferior kanan;
Otot rektus lateralis kannn Otot rekti
Otot rdiitis m e d ; l i r i Otot rsktt

Gambar 9. Pem eriksaan Gerakan Bola Mata (Duksi)

Pemeriksaan ocular misalignment dapat di- Pemeriksaan Hirschberg pada prinsipnya


lakukan dengan menginspeksi kedudukan menilai kedudukan bola mata, namun
bola mata pada posisi primer, tes Hirsch- menggunakan senter atau peniight y ang di-
berg (corneal light reflex), tes cover uncover, arahkan ke mata pasien. Dengan mengamati
dan tes maddox red. Pemeriksaan pertama jatuhnya cahaya senter pada mata, maka
merupakan pemeriksaan yang paling mu- mengindikasikan bahwa mata tersebut
dah, tanpa alat, namun sering terlewatkan mengalami esotropia, eksotropia atau hip­
oleh klinisi. Padahal pemeriksaan ini pen- ertropia. (Gambar 11).
ting terutama pada kasus pasien tidak ko-
Pemeriksaan cover uncover bertujuan untuk
operatif untuk diminta menggerakkan bola
mengidentifikasi tropia atau foria. Tropia
mata, contohnya pada pasien penurunan ke-
adalah misalignment yang dapat muncul se-
sadaran. Hal yang dibutuhkan hanya menga-
tiap saat, sedangkan foria adalah misalignment
mati kedudukan bola mata pasien, apakah
yang muncul ketika penglihatan binokular di-
terdapat juling ke dalam (esotropia) yang
interupsi. Terminologi cover uncover sering-
dapat mengindikasikan paresis nervus VI,
kali membingungkan dan dapat tertukar. Pada
juling ke luar (eksotropia) yang mengindi­
dasarnya, ada 3 pemeriksaan yang berbeda
kasikan paresis nervus III, atau posisi salah
dengan teknik dan intepretasi yang berbeda:
satu mata lebih tinggi (hipertropia) yang
(1) cover test (single cover), (2) uncover test
mengindikasikan paresis nervus IV atau
(cover-uncover), dan (3) cross cover/alternat­
skew deviation (gambar 10). Pemeriksaan
ing cover test, namun yang biasanya dilakukan
maddox red test jarang dilakukan.

297
Buku Ajar Neurologi

adalah cross cover test Pada pemeriksaan ini riksa menutup mata pasien secara bergantian
pasien diminta melirik ke salah satu sisi dan dengan cepat dan mengamati adanya drifting
fiksasi pada jari pemeriksa. Setelah itu peme- pada mata yang sehat.

Reman Kiri

Ortafropla Normal

Esotropia Paresis N.VI

Ik s e tm p ta Paresis N,III

Hlperirepia Paresis N.IV


atau skew deviation

Gambar 10. Pemerilcsaan Inspeksi Kedudukan Bola Mata pada Posisi Prim er

Kanan Kiri

Ortotiopla

Esotropia

Ikiotropla

Kiperiropla

Gambar 11. Pemeriksaan Hircshberg

298
Gangguan Gerakan Bold Mata

Gambar 12. Pem eriksaan Sakadik

<7 Gerakan jari


sangat lambat

Gambar 13. Pem eriksaan S m ooth Pursuit

■# -0
Kete ran gan :
— > Arah jari
Arah gerakan bola

Gambar 14. Pemeriksaan Konvergensi

299
Buku Ajar Neurologi

Gambar 15. Pemeriksaan Optokinetik


Pemeriksaan optokinetik dilakukan dengan meminta pasien melihat garis hitam pada drum optokinetik, lalu
mengamati adanya gerakan mata fase cepat atau optokinetic nystagmus (OKN) yang berlawanan dengan arah
putaran drum

Pemeriksaan sakadik dilakukan dengan meng- P em eriksaan Neurooftalmologi Atas In-


instruksikan pasien untuk melirik obyek tar­ dikasi
get (misalnya jari pemeriksa) bergantian (re- 1. B ielschow sky T hree Steps Test
fiksasi) secara cepat (Gambar 12}. Pemeriksa Dilakukan untuk mengkonfirmasi ada­
mengamati kecepatan, range o f movement, nya paresis nervus IV, yang terdiri dari 3
dan akurasi gerakan. Meskipun demikian, pa­ langkah, yaitu:
rameter sakadik tersebut lebih akurat dengan
pemeriksaan kuantitatif, misalnya dengan © Langkah pertama; inspeksi untuk meng-
menggunakan eye tracking device. Pemerik­ identifikasi mata yang mengalami hiper-
saan smooth pursuit dilakukan dengan mengin- tropia dan ototyang menyebabkan hiper-
struksikan pasien untuk mengikuti obyek vi­ tropia, yakni dua otot elevator (otot oblik
sual yang berjalan lambat, menggunakan jari inferior dan otot rektus superior} serta
atau bandul (Gambar 13}. Pemeriksaan kon- dua otot depressor (otot oblik superior
vergensi dilakukan dengan menginstruksikan dan otot rektus inferior}.
pasien untuk melihat target akomodatif (se- ® Langkah kedua; pasien diminta melirik
perti pensil atau jari} yang bergerak mendekati ke kanan dan ke kiri dan diidentifikasi
hidung pasien (Gambar 14}. arah lirikan yang menyebabkan keluhan
Pemeriksaan optokinetik menggunakan diplopia atau hipertropia yang membu-
drum optokinetik. Pasien diminta meli­ ruk. Dugaan otot yang mengalami kelainan
hat garis hitam pada drum tersebut yang akan dipersempit menjadi dua yakni satu
digerakkan ke arah kanan dan kiri secara otot elevator (otot rektus superior} dan
bergantian. Pemeriksa mengamati adanya satu otot depresor (otot oblik superior}.
gerakan mata fase cepat atau optokinetic ® Langkah ke-3; meminta pasien untuk
nystagmus (OKN} yang berlawanan dengan memiringkan kepala ( head tilt) ke kanan
arah putaran drum serta simetrisitasnya di dan ke kiri, kemudian diamati arah kepala
kedua sisi (Gambar 15}. yang menyebabkan keluhan diplopia atau

300
Gangguan Gerakan Bold Mata

hipertropia yang memburuk. Akan ter- pemeriksaan Bielschowsicy three steps


identifikasi bahwa yang menimbulkan hi­ test. Selain itu, perbedaan antara hiper­
pertropia adalah otot oblik superior yang tropia yang disebabkan oleh skew devia­
diinervasi oleh nervus IV (Gambar 16} tion dan paresis nervus IV dapat teriihat
pada Tabel 1, Hal ini juga dapat dikon-
2. Test o f Skew
firmasi dengan pemeriksaan alternating
Skew deviation tidak mengikuti kaidah
cover dan funduskopi,
Otot Elevator
■RSf jRoi ■ o\m:
,RM,

liOS OSlP
Otot Dopfoior

^ Ke kiri
A
Ke kanan
Hipertropia atau diplopia O:
memberat saat kepala miring C afaton ;
kanan saai kepala miring ke
%
W. kanan ge rakan kedua
mat a ke kiri

Gambar 16. Pemeriksaan Bielschowsky Three Steps Test

Tabel 1. Perbandingan Paresis Nervus IV dan Skew Deviation


________________ Paresis Nervus IV______________ _________________ Skew Deviation
Hipertropia pada posisi primer Hipertropia pada posisi primer
Hipertropia inkomitan yang memberat saat me- Inkomitan, komitan atau bergantian
lirilt ke kontralateral pada fase akut
Dapat menjadi komitan seiring waktu
Hipertropia yang memburuk dengan head tilt ke Hipertropia dapat memberat ataupun tidak dengan
ipsilateral head tilt
Head tilt kompensasi kontralateral mata yang Head tilt patologis kontralateral mata yang mengalami
mengalami hipertropi hipertropi
Eksiklotorsi pada mata yang hipertropia Insiklotorsi pada mata yang hipertropia (dan eksik­
lotorsi pada mata yang lain]
Tidak ada defisit neurologis lain kecuali jika dise- Biasanya disertai defisit neurologis Iain seperd gaze-evoked
babkan oleh cedera kepala dan lesi batang otak nystagmus, kelumpuhan iirik, ataksia, hemiplegia, disartria
Sumber: Wong AM. J AAP0S; 2010. h. 42.

301
Buku Ajar Neurologi

Tab el 2. Tanda Miastenia Okular


Tanda Klinis ____________________________________Keterangan___________________________________
Cogan's Lid Setelah melihat ke bawah selama beberapa detik, pada saat melirik ke atas (ke posisi prim­
Twitch er) disertai kelopak mata atas terangkat, twitching, dan kembali ptosis
Tanda Peek Menutup mata dalam jangka waktu lama menyebabkan kelemahan otot orbicularis okuli
dan menyebabkan kelopak mata terbuka dan bola mata terpapar, meskipun awalnya dapat
menutup sempurna
Enhanced Ptosis Ptosis bertambah pada mata yang kurang ptosis dengan mengangkat kelopak mata pada
mata yang lebih ptosis secara manual
Retraksi kelopak Inervasi maksimal yang mempertahankan kelopak yang mengalami ptosis tetap terbuka
mata menyebabkan peningkatan inervasi berlebihan dan retraksi kelopak mata
Tes ice Pack Ice pack ditempatkan pada mata yang mengalami ptosis selama 2 menit dan diamati per-
baikan
Rest test___________Perbaikan oftalmoplegia atau ptosis setelah istirahat beberapa saat
Sumben Burachhio T, dkk. Neurology; 2007. h. 37

Gambar 17. Pemeriksaan Proptosis dengan Eksoftaimometer


(Dok: Pribadi)

3. Tanda Miastenia Okular lakukan juga atas indikasi (Tabel 3).


Dilakukan hanya atas indikasi, yakni Salah satu tanda lesi ini adalah proptosis
dugaan adanya miastenia okular (Tabel 2). yang dapat diperiksa dengan menggu-
nakan eksoftalmometri (Gambar 17).
4. Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan tanda lesi intraorbita di­

302
Gangguan Gerakan Bola Mata

Tabel 3, Tanda Lesi Intraorbita


Edema periorbita
Kemosis dan injeksi konjungtiva
Proptosis
Retraksi kelopak mata
Lagoftalmus
Lid lag (kelopak mata lebih tinggi dari posisi normal pada saat melirik ke bawah)
Tanda Von Graefe (perlambatan dinamis gerakan kelopak mata selama mata melirik ke atas dan bawah)
Neuropati optik fakibat kompresi nervus optikus)________________________________________________
Sumber: Burachhio T, dkk, Neurology; 2007. h. 36

Selain tanda di atas, pada lesi intraorbita, VI atau restriksi otot rektus medial yang dii­
diplopia dapat disebabkan oleh kelumpu- nervasi oleh nervus III. Dilakukan pemerik-
han otot (paralisis) atau tahanan pada otot saan forced duction untuk mengkonfirmasi
antagonis (restriksi), Sebagai contoh jika restriksi, sedangkan forced generation un­
mata kanan tidak dapat melirik ke kanan, tuk mengkonfirmasi paralisis. Pemeriksaan
maka dapat disebabkan oleh kelumpuhan ini jarang dilakukan karena cukup invasif
otot rektus lateral yang diinervasi nervus (Gambar 18].
Urikfce kanan Linkt e kanan
PojJsI Primer

II
RasUtensi nagaSf Redstarts! negaflf ■■■--
Forced diicffon negafif Forced gen ©fa Son posfflf

( 8)

Gambar 18. Pemeriksaan Forced Duction (A] dan F orced G eneration (B)
Pemeriksaan fo r c e d duction dan fo r c e d g en eration bertujuan untuk menentukan apakah keterbatasan rotasi
bola mata disebabkan oleh lesi restriksi atau paralisis. Pada fo r c e d duction test, mata digerakkan secara
pasif menggunakan forseps ke arah g a z e yang terganggu. Adanya tahanan/resistensi menunjukkan adanya
restriksi otot rektus mediaiis. Pada fo r c e d gen eration test, pasien diminta menggerakkan mata ke arah g a z e
yang terganggu secara aktif, tidak adanya sensasi kontraksi otot menunjukkan adanya paralisis otot rektus
lateralis.

303
Buku Ajar Neurologi

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING Dua topis utama kelumpuhan lirik horizontal
1. Lesi Supranuklear vs Nukleus dan yakni korteks frontal dan pons (PPRF). De-
Nervus Okular Motor ngan mengingat adanya dekusasio di antara
Dap at dibedakan seperti pada Tabel 4. korteks dan pons [setingkat mesensefalon),
maka lesi di korteks dapat menyebabkan ke­
2. Supranuklear dan Internuklear
lumpuhan lirik ke arah kontralateral lesi dan
Gangguan gerakan bola mata berupa: 1)
sebaliknya pada pons (Gambar 19). Apabila
kelumpuhan lirik horizontal dan deviasi
pasien juga mengalami hemiparesis, maka
konjugat horizontal; 2] INO dan sindrom
kelumpuhan lirik sesisi dengan hemiparesis,
one and a half, 3) gangguan sakadik; 4)
sebaliknya pada pons.Pada kondisi tertentu,
gangguan smooth pursuit, 5} gangguan
manifestasi yang terjadi adalah deviasi kon­
konvergensi; 6) kelumpuhan lirik vertikal;
jugat Pada deviasi konjugat, kedua mata
dan 7) nistagmus dan osilasi okular lain.
mengalami deviasi ke satu arah (kanan atau
Pada bab ini dibatasi pada gangguan 1-4.
kiri). Pada lesi destruktif di korteks, deviasi
A. Kelumpuhan Lirik dan Deviasi Konjugat konjugat ke arah ipsilateral lesi (ipsiversive)
Meskipun secara definisi gerakan bola atau disebut juga "Look at the lesion". Pada
mata horizontal dapat meliputi sakadik lesi iritatif terjadi sebaliknya, yakni deviasi
horizontal, smooth pursuit horizontal, konjugat ke arah kontralateral lesi ( contra -
VOR horizontal, dan konvergensi, namun verszve) atau disebut juga "look away the le­
untuk dapat memahami kelumpuhan sion " Namun, berbeda jika lesi destruktif
lirik horizontal dan deviasi konj'ugat, terjadi di talamus, terjadi deviasi konjugat ke
dapat melihat jaras sakadik horizontal. arah kontralateral lesi ( contraversivej atau
disebut ju ga"wrong way eye" (Gambar 19),

Tabel 4. Perbandingan Lesi Supranuklear dengan Lesi Nukleus dan Nervus Okular Motor
Supranuklear Nukleus dan Nervus Okular m otor
Gejala Umumnyaasimtomatis (kecuali skew Gejala visual seperti diplopia, visual
deviation, spasme konvergensi, dan confusion, visual blur.
lainnya)
Kedudukan bola mata Umumnya ortotropia Esotropia, eksotropia atau hipertro­
(kecuali INO bilateral "wall eyed", skew pia
deviation Hipertropia, atau deviasi
konjugat)
Gangguan gerakan bola Binokular Monokular (duksi) dan Binokular
mata
Keterlibatan Gangguan Keterlibatan tidak sama Keterlibatan tidak sama
gerakan bola mata (misalnya dapat terjadi gangguan
binocular sakadik saja namun smooth pursuit dan
VOR normal)
VOR: vestibuloocular reflex

304
Gangguan Gerakan Bala Mata

fCeiESttJttgan
x
MJXt
*■ a-x^setKan50e-xro
V «s*iiaiif>s3i (sasjL^sa
A KssV-ttldmSi Wikii
3. KaSur-cuiWiSfc
m m C. Deri*na^uye)b>totta*“Seekc'hibar
m C. C e « a i nalugel fas t * 1 « * ir*Oy S'*! klwar
S, faayAjcs! t e te l e e k a fjcy lltt bi^ai'
f. E^fias. kcfak^hsk* ■WeinaWsfEitf'

SJlitPl |Plp|§|f^| 1

'IS
# Ǥ
X

# $ 9 :9
V. " j t V v y V
tct (if trt

Gambar 19. Kelumpuhan Lirik Horizontal dan Deviasi Konjugat

klrl

KehOTipuhan Aduka »HStpgmoid Abduksi :m


n

M e se n se fa k jn

1 Kofom ngan
1
Jaras lirik Ice kin

; Jaras Urikke Kanan

P om : RM Oiot Rektus Media!


[ RM Otot Rektus Latero!
1 Nuk.lii Nuktsus Oku Somatar

kiri kanan

Gambar 20. Oftalmoplegia internuklear


Oftalmoplegia internuklear akan muncul sebagai gangguan aduksi ipsilaterai lesi FLM. Sebagai contoh lesi pada
FLM kiri, akan terdapat oftalmoplegia internuklear kiri. Pada saat pasien diminta melirik lie kanan, akan terjadi
gangguan aduksi mata kiri dan nistagmoid abduksi mata kanan.
FLM: fasikulus longitudinalis medial; PPRF: paramedian pontine reticular form ation

305
Baku Ajar Neurologi

Belum dapat dipahami sepenuhnya me- Penyebab INO yang cukup sering adalah
kanisme deviasi konjugat, namun disebut- lesi demielinasi seperti multipel sklero-
kan bahwa deviasi dapat dialami pada fase sis dan lesi vaskular, yakni oklusi pem-
akut dan akan hilang dengan sendirinya. Stu- buluh darah kecil (contoh penetrating
di lain mengaitkan dengan ukuran lesi dan artery ) atau pembuluh darah besar se­
sisi lesi, lesi berukuran besar dan hemisfer perti arteri serebri posterior {posterior
non-dominan lebih sering mengalami deviasi cerebral artery/?Ch), arteri serebelar
konjugat. superior [superior cerebellar artery /
SCA), atau bahkan arteri basilar. Lesi
B. Oftalmoplegia Internuklear (INO) dan
demielinasi sering menyebabkan INO,
Sindrom One an d a H alf
karena serabut FLM kaya akan mielin.
INO disebabkan oleh lesi internuklear, yak-
ni FLM. Sepeiti diketahui, FLM membawa Sama dengan INO, sindrom one and a
sinyal dari interneuron nukleus abdusens h a lf juga disebabkan oleh lesi di pons,
ke subnukleus rektus medial nervus III, yang meliputi PPRF, nukleus abdusens,
sehingga pada saat melirik memungkin- dan FLM. “One" merujuk pada kelumpu-
kan kontraksi simultan antara otot rektus han abduksi satu mata dan aduksi mata
lateral satu mata dan otor rektus medial yang lain, sehingga kedua mata pasien
mata yang lain. Oleh karena FLM secara tidak dapat melirik ke satu sisi sama
spesifik berproyeksi ke subnukleus rektus sekali (kelumpuhan lirik). Hal ini akibat
medial, maka gambaran INO adalah gang- gangguan PPRF atau nukleus abdusens.
guan aduksi ipsilateral lesi FLM. Sebagai Adapun " h alf hanya merujuk pada ke­
contoh pada lesi FLM kanan akan terdapat lumpuhan aduksi saja, seperti pada INO,
INO kanan berupa gangguan aduksi mata karena lesi pada FLM. Dengan demikian,
kanan (Gambar 20). sindrom one and a h a lf dapat terlihat
berupa "one" atau kelumpuhan lirik ke
Gambaran penyerta lain yang klasik
satu sisi dan "half" atau 'gangguan sepa-
yakni nistagmus abduksi pada mata kon-
ruh lirik' -seperti INO- ke sisi lain.
tralateral [nistagmoid atau dissociated
nystagmus) dengan gerakan konvergensi Sebagai contoh, lesi di pons kiri, akan
normal. Mekanisme nistagmoid belum melibatkan PPRF kiri, nukleus abdu­
diketahui pasti, salah satu teori me- sens kiri, dan FLM kiri. Pada saat melirik
nyatakan sebagai fenomena adaptif. Teo-., ke kiri, maka struktur yang berperan
ri lain akibat disrupsi serabut irihibisi adalah PPRF kiri, nukleus abdusens kiri,
yang berjalan di FLM menuju otot rektus dan FLM kanan. Oleh karena FLM kanan
medial kontralateral, Gerakan konver­ tidak mengalami lesi, maka perhatian
gensi tetap utuh karena sinyal konver­ difokuskan pada PPRF kiri dan nukleus
gensi ke otot rektus medial tidak melalui abdusens kiri. Lesi pada struktur ini me­
FLM. Selain gambaran klasik tersebut, nyebabkan pasien tidak dapat melirik ke
INO memiliki banyak varian, dan lesi kiri. Pada saat melirik ke kanan, struktur
FLM tidak hanya bermanifestasi sebagai yang berperan adalah PPRF kanan, nu-
INO, namun tidak dibahas dalam bab ini.

306
Gangguan Gerakan Bola Mata

kanan kirl
(kelumpuhan in k : od u iii + abdutaij

HALF
{N O : ketumpuhan ad u k ii}

Keterangan

Jaras Lirik ke kiri


.............
Jaras Lirik ke Kanan

RM Otot Rektus Medial


RM Otot Reklus Laterd
NukJII NuVJeus OkUomotor

kin kanan
Gambar 21. Sindrom One an d a H alf
Lesi di pons (TPRF, nukelus abdusens, dan FLM) dapat menimbulkan sindrom One and a half. Contoh lesi
pada pons kiri, saat pasien diminta melirik ke kiri terdapat gangguan abduksi mata kiri dan aduksi mata
kanan, sedangkan saat diminta untuk melirik ke kanan hanya didapatkan kelumpuhan aduksi mata kiri.
FLM: fasikulus longitudinalis medial; PPRF: p aram ed ian pontine reticu lar form a tio n

kleus abdusens kanan dan FLM kiri. Oleh sakadik dismetria, dan sakadik diskine-
karena PPRF kanan dan nukleus abdu­ sia (sakadik intrusi dan sakadik osilasi).
sens kanan tidak mengalami lesi, maka Sakadik insufisiensi dapat disebabkan
perhatian difokuskan pada FLM kiri. Lesi oleh lesi dari korteks frontal dan pari­
pada FLM kiri INO kiri (Gambar 21). etal, hingga burst neuron di pons (PPRF).
Pada lesi korteks terdapat sakadik insu­
Dengan demikian secara sederhana, lesi
fisiensi ke kontralateral, sedangkan pada
pons setidaknya dapat bermanifestasi
lesi di pons terdapat sakadik insufisiensi
menjadi tiga, yaitu: kelumpuhan lirik
ke ipsilateral.
horizontal (lesi di PPRF atau nukleus ab­
dusens), INO (lesi di FLM), dan sindrom Sakadik dismetria disebabkan oleh struk-
one and a h a lf (lesi di PPRF, nukleus ab­ tur yang berperan dalam akurasi saka­
dusens, dan FLM). dik, terutama serebelum, yakni vermis
dorsal dan nukleus fastigial. Lesi pada
C. Gangguan Sakadik
vermis dorsal menyebabkan hypermetric
Adalah gangguan gerakan lirik mata
contraversive saccade atau hypometric
cepat. Secara umum gangguan ini dibe-
ipsiversive saccade , sebaliknya pada nu-
dakan menjadi sakadik insufisiensi,

307
Buku Ajar Neurologi

kleus fastigial berupa hypermetric ipsiver- 3. Nukleus dan Fasikulus Okular Motor
sive saccade atau hypometric contraversive Lesi ini terletak di batang otak, dikelom-
saccade. Sakadik diskinesia seperti ocular pokkan sebagai lesi sentral dan pada lit-
flutter, opsclonus, dan square wave je r k eratur lain sebagai lesi intraaksial. Lesi
merupakan abnorm al spontaneous eye nukleus dan fasikulus relatif lebih jarang
movement; beserta gangguan sakadik terjadi diban-dingkan lesi nervus okular
lain, seperti gangguan antisakadik, saka­ motor, masing-masing memiliki karakter-
dik prediktif dan memory-guided saccade istikyang berbeda.
tidak dibahas dalam bab ini.
a. Nukleus dan fasikulus nervus III
D. Gangguan Sm ooth Pursuit Nuldeus nervus III terdiri dari beberapa
Apabila dibandingkan dengan gangguan subnukleus dengan yang dapat meng-
sakadik, gangguan smooth pursuit lebih inervasi secara bilateral (subnukleus leva­
sulit ditentukan topisnya karena melibat- tor palpebra), kontralateral (subnukleus
kan struktur yang kompleks dan difus. rektus superior), dan sisanya ipsilateral.
Setidaknya ada tiga tipe gangguan smooth Dengan demildan, gambaran ldasik lesi
pursuit, yakni direksional, retinotopik, nukleus adalah berupa: 1) kelumpuhan
dan kraniotopik (Gambar 22). Gangguan depresi, aduksi, eksiklorotasi, dan pupil
smooth pursuit direksional meliputi gang­ abnormal (dilatasi pupil dengan refleks
guan smooth pursuit ke arah ipsilateral cahaya terganggu) ipsilateral; 2) ptosis
lesi. Gangguan ini paling umum terjadi, bilateral; serta 3) kelumpuhan elevasi
akibat lesi di occipito-temporo-parietal bilateral. Namun demildan varian selalu
junction dan korteks frontal atau SEE ada dan tidak dibahas dalam bab ini.
Gangguan smooth pursuit retinotopik,
Fasikulus, yang merupakan serabut yang
yakni gangguan smooth pursuit pada sisi
berasal dari beberapa subnukleus, ber-
kontralateral lesi, tidak bergantung pada
jalan di mesensefalon melalui beberapa
arah lirikan, Struktur yang dipikirkan
struktur. Oleh karena itu petunjuk yang
terlibat adalah occipito-temporo-parietal
paling mudah adalah adanya sindrom
junction dan korteks striatum. Terakhir,
mesensefalon yang terdiri dari paresis
gangguan smooth pursuit kraniotopik
nervus III ditambah defisit lain (Gam-
berupa gangguan smooth pursuit ke arah
bar 23). Selain itu, oleh karena konfi-
kontralateral lesi setelah melewati garis
gurasi serabut yang menyusun fasikulus,
tengah. Dalam hal ini gerakan smooth pur­
kadang ditemukan pola divisional, yakni
suit ke arah kontralateral lesi masih nor­
divisi superior (kelumpuhan otot rektus
mal sebelum mencapai garis tengah.
superior dan otot levator palpebral) atau
divisi inferior yakni fungsi nervus III
yang lain.

308
Gangguan Gerakan Bola Mata

Kanan Kir; Kanan Kin Kanan

X X Keterangan:

^ Lokasi lest

.............. Arah smooth pursuit normal

— -- Arah smooth pursuit yang terganggu

(A) (8 ) (0

Gambar 22. Gangguan Smooth Pursuit


(A) direksionai; (B] retinotopik; dan (C) kraniotopik

A W eber Pedunkutus ssreb ri P c rc rb nervus lit


ipd'ateroi

HemiDoresIs fconlralateral

Benedict Red Nuktsoi Paresis nervus 111


ipiiiatfiral

Gangguan gerak
invotynter
. (kcrca /fc a b mu s/tf emorj
konlralateral

Claude Pedunkulus serebeii Paresis nervus III


superior v' ipsisoterai
+
[kadartg da pat Atafcsta konlralateral
metibatkan red nukieus}

Gambar 23. Sindrom Mesensefalon yang Melibatlcan Fasikulus Nervus III

Gambar 24. Anatomi Nervus IV pada Mesensefalon Potongan Aksial

309
Buku Ajar Neurologi

b. Nukleus dan fasikulus nervus IV (Gambar 25). Dengan demildan lesi nukle­
Lesi pada nukleus memilikl gejala yang us nervus VI akan bermanifestasi sebagai
sama dengan lesi di fasikulus nervus kelumpuhan lirik horizontal, sedangkan
IV, yaitu kelumpuhan otot oblik supe­ lesi fasikulus sama seperti lesi nervus VI
rior kontralateral. Hal disebabkan oleh yakni kelumpuhan abduksi (otot rektus
fasikulus nervus IV yang berasal dari lateral). Petunjuk lain lesi fasikulus adalah
nukleus berjalan menyilang di dorsal umumnya disertai paresis nervus VII yang
mesensefalon saat akan keluar dari letak nukleusnya berdekatan.
mesensefalon (Gambar 24). Petunjuk
4. Nervus Olmlar Motor
lainnya, lesi nukleus dan fasikulus dapat
Lesi nervus okular motor difokuskan pada
disertai sindrom Horner, karena traktus
nervus yang telah keluar dari batang otak,
okulosimpatik berdekatan dengan nu­
yakni yang berada di ruang subaraknoid,
kleus nervus IV.
sinus kavernosus, dan intraorbita. Lesi ini
c. Nukleus dan fasikulus nervus VI disebut juga lesi perifer (neuropati peri-
Nukleus nervus VI memiliki dua neuron, fer) dan pada literatur lain disebut lesi
yakni motor neuron yang berproyeksi ke ekstraaksial. Nervus okular motor dalam
otot rektus lateral (fasikulus) dan inter­ bahasan ini dibedakan menjadi paresis
neuron yang memberikan sinyal ke nu­ nervus okular motor terisolir dan paresis
kleus nervus III kontralateral melalui FLM nervus okular motor multipel.

O io l O to t
refctvs fcjtsral refctus m ed ia l

oSxfusem

Pons
Gambar 25. Anatomi Nervus VI pada Pons Potongan Aksial

310
Gangguan Gerakan Bola Mata

a. Nervus III terisolir Lesi kompresi sering melibatkan pupil


Berdasarkan kelumpuhan otot rektus, karena serabut yang mempersarafinya
oblik, dan levator palpebral, paresis nervus berada di dorsomedial dan paling super-
III terisolir dapat dibagi menjadi dua, yakni fisial, sehingga paling rentan terhadap -
komplet atau inkomplet Paresis dianggap kompresi. Hal ini menjadi tanda yang
komplet jika kelumpuhan melibatkan penting dicari, pada keadaan herniasi un-
seluruh otot tersebut, sedangkan apabila kal, peningkatan TIK yang meregangkan
hanya sebagian yang lumpuh disebut nervus III saat melalui tepi tentorium,
inkomplet Gambaran klinis paresis nervus dan aneurisma. Aneurisma merupakan
III komplet sangat khas, yakni ptosis dan penyebab tersering, karena nervus ill
posisi mata down and out ipsilateral. pada saat keluar dari mesensefalon di-
apit oleh 3 pembuluh darah yakni PCA,
Paresis nervus III terisolir yang hanya
SCA, dan arteri komunikans posterior
melibatkan otot, sementara pupil nor­
[posterior communicating artery{ PCom).
mal [pupil sparing) disebut juga oftal-
moplegia eksternal. Namun jika melibat­ Penyebab tersering paresis nervus III
kan gangguan pupil [pupil involvement) komplet dengan pupil sparing adalah
disebut sebagai oftalmoplegia internal. iskemia mikrovaskular. Berbeda dengan
Penentuan keterlibatan pupil [pupil aneurisma yang mengancam jiwa, iske­
sparing atau involvement) dan komplet mia ini sering pada pasien diabetes meli-
atau inkomplet tidak memiliki nilai lo- tus atau faktor risiko vaskular lain. Dise­
kalisasi, namun sangat penting untuk but juga penyebab tidak berbahaya atau
manajemen tata laksana. benign oleh karena umumnya gejalanya
akan swasirna dalam 8-12 minggu.
Dua etiologi paresis nervus III terisolir
yang paling sering adalah iskemik mi- Kaidah pupil [pupil rule) menyatakan
krovaskular dan lesi kompresi. Ked- bahwa paresis nervus III terisolir dan
uanya sangat berbeda tata laksana dan komplet dengan pupil sparing komplet
prognosisnya, namun dapat ditentukan tidak pernah disebabkan oleh aneuris­
berdasarkan gambaran pupil dan sinki- ma. Jadi jika ditemukan paresis nervus
nesia okulomotor. Sinkinesis okulomo­ III komplet dengan pupil involvement,
tor merupakan kontraksi anomali otot harus dipikirkan aneurisma sampai ter-
akibat regenerasi aberans. Misalnya saat bukti tidak dengan pemeriksaan MRI/
aduksi atau depresi, kelopak mata akan MRA atau CT angiografi segera. Seba­
terangkat atau pupil konstriksi. Pada lesi liknya jika ditemukan paresis nervus III
kompresi dapat ditemukan sinkinesis komplet dengan pupil sparing , paling
okulomotor, dan sebaliknya pada iske­ sering dilakukan "wait and see"
mik jarang terdapat sinkinesis.

311
Buku A jar N eurologi
Paresis n. Ill
terisolir
Keterlibatan otot
{m. Rektus medial/superior/inferior, Komplit In komplit
m. Oblik inferior, m. Levator palpebra)
Pupil involvement/ Pupil involvement/ Pupil sparing/
Keterlibatan pupil
oftalmoplegia oftalmoplegia oftalmoplegia
internal internal eksternal
c
Etiologi: "i j f - . 'j L a t a , a 1
00 Wait and see
90% aneurisms
to
TaiOa aalia, a'
I-!"- r.:!!-:. Usia >50 tahun Usia >50 tahun Usia <50 tahun
. tan pa dengan Riwayat keganasan ■
C: .■ VC v^- faktor risiko vaskular faktor risiko vaskular ■Defisft neurolcgis lain
]
Cek LEO dan CRP Followup perbaikan Tar.da bahavai
r-. j J.-.
"}
(Pertimbangkan klinis gejala dan
giant cell arteritis) progresivitas d ia g n o stic se g e r a J
4-6 minggu
■1

Gambar 26. Pendekatan Klinis pada Paresis N. Ill Terisolir


MRI: magnetic resonance imaging; MRA: magnetic resonance angiography; LED: laju endap darah; CRP: C-reactive protein
Gangguan Gerakan Bola Mata

Berdasarkan studi dilaporkan pupil spa­ tokol menggunakan pendekatan "wait


ring terjadi pada 75% kasus iskemia mi- and see" Sebagian menganjurkan un­
krovaskular dan pupil involvement pada tuk melakukan follow up beberapa hari
>90% aneurisma. Namun pada iskemia hingga 1 minggu untuk melihat adanya
mikrovaskular dapat juga ditemukan pu­ keterlibatan pupil. Ada pula yang meng­
pil involvement. Dhune dkk melaporkan anjurkan follow up minggu ke 4-6 untuk
26% pasien iskemia mikrovaskular dite­ melihat perbaikan atau progresifitas ge-
mukan pupil anisokor l-2mm , sedang- jala. Pada usia lanjut tanpa faktor risiko
kan Jacobson medapatkan 38% mengal- vaskular, dipertimbangkan evaluasi gi­
ami pupil anisokor <lmm. ant cell arteritis (GCA) dengan pemer-
iksaan laju endap darah dan c-reactive
Secara umum disebutkan bahwa pupil
protein (CRP). Usia muda (<50 tahun),
anisokor (<lm m hingga 2,5mm) dapat
riwayat keganasan, disertai defisit neu-
terjadi pada 30-40% pasien dengan iske­
rologis merupakan tanda bahaya untuk
mia mikrovaskular. Studi di Jepang mela­
segera evaluasi diagnostik.
porkan 90% pasien dengan aneurisma
dan 32% pasien dengan iskemia mik­ Apabila ditemukan paresis inkomplet
rovaskular terdapat pupil involvement atau paresis komplet dengan pupil in­
Dengan tambahan, pasien dengan aneu­ volvement, tanpa melihat usia, dianjur-
risma mengalami anisokor >2mm dan kan dilakukan pencitraan segera. Sam-
hanya <lm m pada iskemia mikrovasku­ pai saat ini belum ada protokol baku
lar. Sebaliknya, pada pasien aneurisma- manajemen paresis nervus okular motor,
pun dapat ditemukan pupil sparing. khususnya nervus III, namun dapat di­
Dalam satu studi dilaporkan 14% pasien lakukan pendekatan Minis seperti pada
aneurisma mengalami pupil sparing, na­ Gambar 26.
mun akhirnya mengalami keterlibatan
b. Paresis nervus IV
dalam beberapa hari.
Berbeda dengan lesi nuldeus dan fasi-
Masalah diagnosis lain yang akan mem- kulus, kelumpuhan otot oblik superior
pengaruhi tata laksana, yakni tidak se- pada lesi nervus adalah ipsilateral. Mani-
lalu paresis nervus III komplet dengan festasinya berupa hipertropia ipsilateral
pupil sparing disebabkan oleh penyebab dan dapat disertai head tilt ke kontralat-
yang benign, sehingga diperlukan iden- eral. Penyebab paling sering paresis ner­
tifikasi faktor lain yang dapat menjadi vus IV terisolir yakni cedera kepala yang
tanda bahaya untuk evaluasi diagnostik. dapat diidentifikasi melalui anamnesis.
Persentase iskemia mikrovaskular se-
Pada iskemia mikrovaskular, umumnya
bagai penyebab paresis nervus IV tidak
pasien berusia lanjut (>50 tahun), me-
sebanyak nervus III. Protokol diagnositik
miliki faktor risiko vaskular, dan kejadi-
yang dianjurkan yakni seperti paresis III
annya akut serta sering disertai nyeri.
komplet dengan pupil sparing.
Pada keadaan tersebut, kebanyakan pro-

313
Buku Ajar Neurologi

Gambar 27. Neuropati Kranial Multipel pada Sinus Kavernosus, Fisura Orbitalis Superior (FOS), Apelts
Orbita, dan Intraorbita

c. Paresis nervus VI ang subaraknoid atau basis kranii seperti


Karakteristiknya sama dengan lesi fasi- meningitis atau karsinoma nasofaring de­
kulus, yaitu gangguan abduksi dan eso­ ngan infitrasi basis kranii; 2) lesi di sinus
kavernosus seperti trombosis sinus kav­
tropia ipsilateral Oleh karena etiologi-
ernosus, dan 3) lesi di fisura orbitalis supe­
nya berbeda, perlu dibedakan antara
paresis nervus VI unilateral atau bilat­ rior hingga intraorbita. Terdapat perbedaan
eral. Jika bilateral dipikirkan peningka- nervus kranial yang terlibat pada lesi sinus
tan TIK, akibat dampaknya pada nervus kavernous, fisura orbitalis superior, apeks
orbita (Gambar 27). Selain itu perlu dipikir­
VI saat melalui kanal Dorello, sehingga
perlu pemeriksaan pencitraan. Penye- kan penyebab seperti miastenia gravis (MG)
dan sindrom Miller Fisher (oftalmoplegia,
bab paresis nervus VI unilateral paling
sering yakni iskemia mikrovaskular, per­ ataksia, arefleksia).
lu protokol diagnostik seperti paresis III T a u t O to t S a r a f
komplet dengan pupil sparing. Penyebab tersering lesi taut otot saraf adalah
N e u r o p a t i K r a n ia l M u ltip e l
MG dan botulismus. Miastenia okular dapat
menyerupai gangguan gerakan bola mata
Neuropati nervus okular motor multipel
dapat mempunyai nilai lokalisasi ataupun apapun, seperti INO dan paresis nervus oku­
tidak. Jika ditemukan paresis nervus III, lar motor. Namun yang dapat menjadi pe-
IV, dan VI multipel, terdapat beberapa ke- tunjuk pada paresis nervus III yakni adanya
mungkinan penyebab, yakni: 1} lesi di ru- pupil sparing. Adanya fatig dan diplopia yang

314
Gangguan Gerakan Bola Mata

Dervariasi pada waktu pemeriksaan yang melibatkan insersi tendon pada bola mata,
Derbeda dapat dipikirkan akibat etiologi ini, serta gambaran abnormal pada lemak peri­
iemikian pula tanda-tanda miastenia oku- orbital dan sklera posterior.
ar pada pemeriksaan fisik. Miastenia gravis
Chronic progressive external ophthalmople­
iapat generalisata disertai kelumpuhan otot,
gia (CPEO) tidak memiliki karakteristik
lamun sensoris masih baik. Evaluasi diag-
lesi intraorbita. Manifestasinya berupa
lostik dapat dilakukan pemeriksaan Harvey
gangguan motilitas okular bilateral simer-
Vlasland, pemeriksaan antibodi reseptor
tris, ptosis bilateral, tidak nyeri, dan pupil
isetilkolin (AchR), dan single fib er test
sparing, namun disertai keterlibatan otot
3otulismus terjadi akibat paparan toksin orbikularis okuli. Oleh karena gejalanya bi­
mtikolinergik yang diproduksi Clostridium lateral simetris, biasanya tidak disertai dip­
iotulinum. Manifestasinya berupa oftalmo- lopia. Perjalanan penyakitnya progresif lam-
itaresis subakut dengan pupil involvement, bat, sering merupakan bagian dari sindroiri
;erta gejala khas berupa paralisis akomo- Kearn Sayre (dapat disertai masalah jantung
iasi dan light-near dissociation. dan retinitis pigmentosa) dan MELAS (Mito­
chondrial Encephalomyopathy, Lactic Acido­
3 to t E k s tra o k u la r
sis, and Stroke-like episodes )
<elumpuhan otot ekstraokular terutama
lipikirkan pada kecurigaan lesi intraorbita
TATA LAKSANA
fang telah dibahas sebelumnya. Beberapa
Penentuan etiologi akan memengaruhi
iteratur mengelompokkan sebagai lesi ji-
tata laksana kausatif, sehingga membantu
lak (seperti tiroid oftalmopati atau thyroid
pemulihan dan mencegah perburukan ge­
y e disease/ TED) dan pseudotumor orbita
jala akibat progresifitas penyakit. Misal pa­
fang biasanya berupa lesi inflamasi) dan lesi
resis nervus III akibat kompresi aneurisma
naligna, yakni tumor primer atau sekunder.
PCom yang dilakukan clipping. Pada studi
^ada TED terdapat oftalmoparesis unilat- retrospektif dkk Tan, dilaporkan 98,5%
;ral atau bilateral asimetri yang tidak nyeri. resolusi komplet paresis nervus III, lebih
)tot rektus medialis dan otot rektus infe- tinggi dari Khan dkk (87,5% ). Metaanali-
‘ior pada umumnya terlibat pertama kali, sis dari 11 studi juga menunjukkan adanya
lal ini bisa terjadi pada kondisi eutiroid, resolusi komplet paresis nervus III pada
lipotiroid, dan hipertiroid. Perlu dilakukan 83,7% kasus. Selain itu, penentuan etiologi
7T/MRI orbita berupa gambaran pembe- juga menentukan prognosis kesembuhan
;aran otot ekstraokular yang terlibat tanpa yang bervariasi. Paresis akibat iskemia mi-
nelibatkan insersi tendon pada bola mata. krovaskular umumnya akan swasirna dalam
Jada pseudotumor orbita, dapat terjadi 8-12 minggu, sehingga tidak dibutuhkan
jftalmoparesis unilateral dan nyeri, namun tata laksana khusus.
)tot ekstraokular yang terlibat tidak spesi- Namun, seringkali ocular misalignment atau
ik. Pada CT/MRI orbita ditemukan pembe- gejala diplopia atau visual lainnya mene-
;aran otot ekstraokular yang terlibat yang tap meskipun telah dilakukan tata laksana

315
Buku Ajar Neurologi

kausatif. Pada onset akut sebelum diberikan Namun, prisma pernah digunakan dan
tata laksana kausatif, gangguan ini menim- berespons baik pada kasus strabismus
bulkan rasa tidak nyaman dan hendaya, se- inkomitan dengan sudut deviasi besar. Dalam
hingga dipertimbangkan tata laksana lain. sebuah literatur disebutkan bahwa secara
Studi menunjukkan penurunan kualitas umum prisma efektif untuk pasien dengan
hidup pada pasien dengan ocular misalign­ horizontal misalignment hingga 20-15 prism
ment , terutama pada ranah fisik pada pasien diopters (PD) dan vertical misalignment
yang disertai diplopia dan ranah psikososial Tamhakar dkk melaporkan tingkat kepuasan
yang tidak disertai diplopia. penggunaan prisma sebesar 92% dari 82
pasien hipertropia akibat paresis nervus IV,
Oleh karena itu, tujuan tata laksana gang­
sedangkan Guntn dkk mencapai 80% untuk
guan gerakan bola mata antara lain meng-
semua penyebab diplopia yang diteliti.
hilangkan atau mengurangi ocular mis­
Pasien dengan diplopia vertikal akibat skew
alignment, mengurangi gejala diplopia atau
deviation dan paresis nervus IV memiliki
visual confusion, memperbaiki postur head
tingkat kepuasan paling tinggi (100% dan
tilt (misalnya pada paresis nervus IV), dan
92% ), sedangkan tiroid oftalmopati dan
akhirnya memperbaiki fungsi visual se-
fraktur orbita blowout paling rendah (55%
maksimal mungkin. Secara umum tata lak­
dan 8%), Diantara diplopia horizontal, pasien
sana tersebut dibagi menjadi non-operatif
anak dengan strabismus dekompensasi
dan operatif. Tata laksana non-operatif an­
kombinasi deviasi horizontal dan vertikal
tara lain oklusi, prisma, dan injeksi toksin
serta pasien dengan insufisiensi konvergensi
botulinum, bergantung pada penyebab dan
memiliki tingkat kepuasan paling rendah,
tingkat keparahan.
yakni masing-masing 71 % dan 50%.
Oklusi dilakukan dengan menutup salah
Terdapat dua jenis prisma yakni prisma
satu mata menggunakan olduder (occluder)
Fresnel yang bersifat temporer dan prisma
berupa patch atau plester pada mata atau
permanen, dengan kelebihan dan kekurang-
kacamata. Hal ini dapat pada mata yang
an masing-masing. Prisma Fresnel meng­
sakit, namun literatur lain menyebutkan
gunakan prinsip bahwa kekuatan prismatik
bahwa oklusi, baik dilakukan pada mata
dapat tercapai menggunakan cincin pris­
yang sakit atau sehat akan efektif untuk
matik konsentrik dengan permukaan tiap
mengeliminasi diplopia. Pilihan olduder
cincin memiliki kekuatan prismatik. Prisma
dipertimbangkan yang tranlusen atau satin
ini tipis, diaplikasikan seperti stiker yang
sehingga masih memungkinkan cahaya ma-
dilekatkan pada kaca mata dengan keteba-
suk. Oklusi dapat ditawarkan pada fase akut
lan hanya 1,00mm dan tidak bergantung
paresis okular motor atau pada pasien yang
pada kekuatan prismatik.
merupakan kandidat buruk untuk tata lak­
sana non-operatif lain dan operatif. Oleh karena tipisnya, prisma Fresnel ringan
dan dapat melakukan koreksi dengan kisa-
Prisma terutama bermanfaat pada kasus
ran yang lebih luas atau sudut deviasi yang
strabismus komitan, deviasi relatif kecil,
besar (hingga 25D) meskipun dilekatkan
stabil, dan memiliki potensi fusi yang baik.

316
Gangguan Gerakan Bola Mata

pada kacamata. Selain itu, dibandingkan ment serta mencegah kontraktur pada otot
prisma permanen, biayanya lebih murah antagonis. Dengan demikian diharapkan
dan lebih fleksibel dalam mengubah kekua- dapat memperbaiki ocular alignment seiring
tan prisma pada kasus dengan deviasi yang dengan perbaikan fungsi otot yang mengalami
bervariasi farak dekat atau jauh. Kekuran- kelumpuhan. Terapi ini terutama bermanfaat
gannya yakni penggunaan prisma Fresnel pada kondisi operasi strabismus tidak me-
dapat menyebabkan penurunan visus, ter- mungkinkan seperti pada usia lanjut, kondisi
utama Jika kekuatan prismatik lebih dari Minis tidak stabil atau operasi tidak berhasil.
12D. Berkurangnya kejernihan visualisasi Efek toksin botulinum terlihat dalam 2 -4 hari
obyek juga disebabkan karena prisma Fres­ pascainjeksi dan biasanya akan hilang setelah
nel dapat meningkatkan aberasi optik, atau 8 -12 minggu.
adanya debu dan partikel yang terakumula-
Tata laksana operatif merupakan tata
si pada alur prisma. Selain itu dari segi kos-
laksana utama pada strabismus dewasa
metik juga kurang diminati.
dengan ocular misalignment besar dan
Prisma permanen biasanya ditanamkan stabil dalam beberapa bulan (sekitar 6-12
pada lensa kacamata. Dengan demikian, bulan). Tindakan ini efektif dan aman pada
kurang fleksibel untuk merubah kekuatan sebagian besar pasien. Angka keberhasilan
prismatik, terutama pada kasus dengan de­ operasi strabismus dengan luaran ocular
viasi yang bervariasi menurut jarak. Kele- alignment dapat mencapai 80% kasus.
bihan dibandingkan prisma Fresnel adalah Mills dkk melaporkan angka keberhasilan
dapat memvisualisasikan obyek lebih ditinjau dari perbaikan gejala diplopia,
jernih, mudah dibersihkan, dan tidak mu- yakni sebesar 72% , Meskipun efektifitasnya
dah terlepas. baik, tindakan operatif jarang dikerjakan.
Repka dkk mengestimasi insidens operasi
Pada prakteknya, prisma Fresnel biasanya
hanya 1 dari 5000 pasien.
digunakan pada kasus ocular misalignment
temporer, seperti pasien dengan paresis ner- Pemah dilaporkan pula kegagalan dan kom-
vus IV dan VI akibat iskemia mikrovaskular plikasi operasi strabismus, hingga seper-
atau sebagai uji awak efektivitas prisma se- tiga pasien mengalami diplopia temporer
belum meresepkan prisma permanen atau pasca operasi, dan diplopia persisten <1%.
pada kasus yang tidak diketahui kekuatan Komplikasi yang paling sering adalah mis­
prisma yang dibutuhkan. Pasien biasanya alignment yang tidak diharapkan, sehingga
diminta untuk kontrol 2 minggu untuk me- membutuhkan operasi ulang. Mills dick mela­
mastikan dapat beradaptasi dengan prisma. porkan tingkat operasi ulang bervariasi dari
Ketika pasien dapat beradaptasi, maka akan 6% hingga 21%, bergantung pada durasi
diaplikasikan prisma permanen. follow-up dan kompleksitas strabismus.
Injeksi toksin botulinum digunakan un­ Terdapat beberapa prosedur operasi stra­
tuk memperbaiki ocular alignment dengan bismus, antara lain reseksi, resesi, dan
melemahkan otot ekstraokular yang turut transposisi. Reseksi berguna memperkuat
berkontribusi memperburuk ocular align­ otot yang mengalami kelumpuhan dengan

317
Buku Ajar Neurologi

memendekkan tendon otot dan menjahit resesi otot rektus medial dan reseksi otot
otot di bagian belakang insersi awal. Re- rektus lateral menjadi pilihan. Adapun pada
sesi bertujuan melemahkan otot antagonis gangguan abduksi berat dengan tonus otot
dan yoke muscle dengan cara diinsersi otot rektus lateral yang sangat minim, diper-
dan menjahitkan pada posisi yang sulit se- timbangkan transposisi vertikal otot rektus
cara mekanik untuk bekerja, misalnya pada kombinasi dengan resesi otot rektus medial.
bagian posterior bola mata. Adapun trans-
posisi melibatkan transfer tendon tanpa DAFTAR PUSTAKA
disinsersi. Hal ini cukup sulit dan akan 1. Rucker JC. Acquired ocular motility disorders
meningkatkan potensi komplikasi. Pilihan and nystagmus. Dalam: Kidd DP, Newman Nj, Bi-
prosedur operasi dapat berbeda bergan- ousse V, editor. Neuro-Opththalmology. Philadel­
phia: Butterworth Heinemann; 2008. h. 312-31.
tung penyebab kelumpuhan, tingkat kepa- 2. Buracchio T, Rucker JC. Pearls and oysters of
rahan, dan faktor lain. localization in ophthalmoparesis. Neurology
2007;69:E35-40.
Pada kasus paresis nervus III, prosedur 3. Liu G, Volpe NJ, Galetta SL, penyunting. Neuro-
operasi bergantung pada jenis kelumpuhan ophthalmology diagnosis and management. Ed-
isi ke-2. Philadelphia: Sauders; 2010. h. 491-550.
[komplet atau inkomplet), tingkat keparahan
4. Liu G, Volpe NJ, Galetta SL, penyunting. Neuro­
kelumpuhan atau keterbatasan duksi, dan ophthalmology diagnosis and management. Ed-
faktor terkait lain. Pada paresis komplet, isi ke-2. Philadelphia: Saunders; 2010. h. 551-86.
beberapa prosedur yang dapat dipilih adalah 5. Liu G, Volpe NJ, Galetta SL, penyunting. Neuro­
ophthalmology diagnosis and management, Ed-
large recession and resection, globe anchoring isi ke-2, Philadelphia: Sauders; 2010. h. 589-610.
procedure, transposisi oblik superior, dan 6. Wong AMF. Eye movement disorders. Oxford: Ox­
transposisi rektus lateral. Pada kasus ford University Press; 2007,
7. Sharpe J, Wong AMF. Anatomy and physiol­
inkomplet, lebih banyak lagi prosedur yang ogy of ocular motor systems. Dalam: Miller NR,
dapat dipilih bergantung otot ekstraokular Newmann NJ, Biousse V. Kerrison JB. Walsh and
yang mengalami kelumpuhan. Contoh pada Hoyt's clinical neuro-ophthalmology. Edisi ke-6 .
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins;
paresis divisi superior dapat dilakukan
2005. h. 809-85.
prosedur Knapp dan prosedur Kushner pada 8. Peragallo JH, Newmann NJ. Diplopia-an update.
paresis divisi inferior. Semin Neurol. 2016;36:357-61.
9. Borchert MS. Principles and techniques of the
Berbeda dengan paresis nervus IIII, pilihan examination of ocular motility and alignment.
prosedur lebih terbatas pada paresis nervus Dalam: Miller NR, Newmann NJ, Biousse V. Ker­
rison JB. Walsh and Hoyt's clinical neuro-oph­
IV dan VI. Prosedur pada paresis nervus IV
thalmology. Edisi ke-6 . Philadelphia: Lippincott
adalah penguatan otot oblik superior ipsi- Williams and Wilkins; 2005. h. 887-905.
lateral, pelemahan otot oblik inferior ipsi- 10 . Corbett JJ. The bedside and office neuro-oph­
thalmology examination. Seminaes in Neurology
lateral, resesi rektus inferior kontralateral
2003;23(l):63-76.
atau resesi otot rektus superior ipsilateral. 11. Kobashi R, Ohtsuki H, Hasebe S. Clinical studies
Untuk mengoreksi eksiklotorsi dapat diper- of ocular motility disturbances. Part 1. Ocular
timbangkan prosedur Harada-Ito yang di- motility disturbances: causes and incidence. Jpn
J Ophthalmol 1996;40(4):502-10.
modifikasi. Pada paresis nervus VI dengan 12. Dharmaraju B, Giridhar B, Chetana L. A Clinical
fungsi abduksi masih cukup baik, kombinasi study of etiological factors contributing to third,

318
Gangguan Gerakan Bola Mata

fourth, and sixth cranial nerve palsies. Asian Pac. 29. Eggenberger ER. Supranuclear eye movement
J. Health Sci. 2016;3(3):10-7. abnormalities. Continuum (Minneap Minn).
13. Cornblath WT. Diplopia due to ocular motor cra­ 2014;20(4):981-92.
nial neuropathies. Continuum (Minneap Minn) 30. Prasad S, Galetta SL. Eye movement abnor­
2014;20(4):966-80. malities in multiple sclerosis, Neurol Clin.
14. Barton JJS. Ocular motor nervers and internucle- 2010;28[3):641-55.
ar causes. Continuum Lifelong Learning Neurol 31. Sargent JC. Nuclear and intranuclear ocular mo­
2009;15(4): 168-87. tility disorders. Dalam: Miller NR, Newmann NJ,
15. Woodruff MM, Edlow JA. Evaluation of third nerve Biousse V. Kerrison JB. Walsh and Hoyt's clinical
palsy in the emergency department. The Journal neuro-ophthalmology. Edisi ke-6 . Philadelpia: Lip-
of Emergency Medicine 2008,*35(3):239-46. pincott Williams and Wilkins; 2005. h. 969-1039.
16. Fowler MS, Wade DT, Richardson AJ, Stein JE. 32. Kung NH, Stavern GP. Isolated ocular motor nerve
Squints and diplopia seen after brain damage. J palsies. Semin Neurol 2015;35:539-48,
Neurol 199 6 ;2 4 3 (l):8 6 -9 0 . 33. Tamhakar MA, Biousse V, Ying GS, Prasad S, Sub-
17. Ciuffreda KJ, Kapoor N, Rutner D, Suchoff IB, Han ramanian P, Lee MS. Isolated third, fourth, and
ME, Craig S. Occurrence f oculopmotor dysfunc­ sixth cranial nerve palsies from presumed mi-
tions in acquired brain injury: a retrospective crovascular versus other causes: a prospective
analysis. Optometry. 2007;78(4): 155-61. study. Ophthalmology. 2013;120(11):1-13.
18. Rowe F, VIS group UK Prevalence of ocular mo­ 34. Prasad S, Volpe NJ. Paralytic strabismus third, fourth,
tor cranial nerve palsy and associatopn following and sixth nerve palsy. Neurol Clin, 2010;28(3):l-8.
stroke. Eye 2011;25(7):881-7. 35. Galtrey CM, Schon F, Nitkunan A. Microvascular
19. Rowe F and VIS group UK The profile of strabis­ non-arteritic ocular motor nerve palsies-what
mus in stroke survivors. Eye 2010;24(4):682-5. we know and how should we treat. Neuro-Oph­
20. Rowe F, Wright D, Brand D, Jackson C, Harrison S, thalmology. 2015;39(1):1-11.
Maan T dkk Profile of gaze dysfunction following 36. Volpe N. The work up of isolated ocular motor
cerebrovascular accident Ophthalmology 2013;l-7. palsy: who to scan and why. North American-
21. Ventura RE, Baker LJ, Galetta SL. The neuro­ Neuro-Ophthalmology Society Annual Meeting
ophthalmology of head trauma. Lancet Neurol Syllabus; 2009 Februari 21-26; Lake Tahoe, Unit­
2014;13(10):1006-16. ed States of America; 2009.
22. Fernandez A, Canals AG, Gonzalez JM, Martin JJA. 37. Woodruff NN, Edlow JA. Evaluation of third nerve
Cranial nerve injury after minor head trauma. J palsy in the emergency department. The journal
Neurosurg 2010;113(3):547-55, of emergency medicine. 2008;35(3):239-46.
23. Capo-Aponte JE, Urosevich TG, Temme LA, Tarbett 38. Gold DR, Shin RK, Galetta S. Pearls and oys­
AK, Sanghera NIC. Visual dysfunctions and symptoms ter: central fourth nerve palsies. Neurology.
during the subacute stage of blast-induced mild trau­ 2012;79:el93~6.
matic brain injury. Mil Med 2012;177(7):804~13. 39. Elder C, Hain C, Galetta SL, Balcer LJ, Rucker JC.
24. Hoh AE, Beisse C. Okulomotorik und multiple Isolated abducens nerve palsy: update on evalu­
sklerose. Ophthalmologe 2 0 1 4 ;lll(8 ):7 2 7 -3 2 . ation and diagnosis. Curr Neurol Neurosci Rep.
25. Auxiliadora M, Frazao M, Lui ACF, Tilbery 2016;16(8):l-7.
CP, Ejzenbaum F, Cohen R. Diplopia as first 40. Eggenberger ER, Calvert PC. Neuromuscu­
symptom of multiple sclerosis. Rev Bras Oftal lar junction and mechanical causes of dip­
2015;74(2):73-5. lopia. Continuum Lifelong Learning Neurol.
26. Liu G, Volpe NJ, Galetta SL, penyunting. Neuro­ 2009;15(4): 188-99.
ophthalmology diagnosis and management 41. Ganger A, Yadav S, Singh A, Saxena R. A Compre­
Edisi ke-2. Philadelphia: Sauders; 2010. h. 7-36. hensive review on the management of III nerve
27. Rucker JC. Diplopia - supranuclear and nuclear palsy. DJO. 2016;27(2):86-91.
causes. Continuum Lifelong Learning Neurol, 42. Starger S, Starger J, Beauchamp G. Treat­
2009;15(4): 150-67, ment options for adult strabismus. Therapy.
28. Karatas M. Internuclear and supranuclear disorders 2 0 0 7 ;4 (3 ):3 0 7 -ll,
of eye movement: clinical features and causes. Euro­ 43. Jivraj I, Patel V. Treatment of ocular motor palsies.
pean journal of Neurology. 2009;16(12}:1265-77. Curr Treat Options Neurol. 2015; 17(3): 10-24.

319
Buku Ajar Neurologi

44. Singman EL, Matta NS, Silbert Df. Nonsurgical 50. Khan SA, Agrawal A, Hailey CE, Smith TP, Gokhale
treatment of neurologic diplopia. American or­ S, Alexander Mj, dkk. Effect of surgical clipping
thoptic journal 2013;63:63-8. versus endovascular coiling recovery from ocu­
45. Gunton KB, Brown A, Prism use in adult diplopia. lomotor nerve palsy in patients with posterior
Curr Op Ophthalmol. 2012;23(5):400-4. communicating artery aneurysms: A retrospec­
46. Tamhakar MA. Ying GS, Volpe NJ. Prisms are ef­ tive comparative study and metaanalysis. Asian
fective in resolving diplopia from incomitant, lar- J Neurosurg 2013:8(33:117-24.
eg, and combined strabismus. Eur j Ophthalmol 51. Sadagopan KA, Wasserman BN. Managing the
2012;22(6}:890-7, patient with oculomotor nerve palsy. Curr Opin
47. Repka MX. Strabismus surgery among medicare Ophthalmol 2013;24(5):438-47.
beneficiaries. jAAPOS. 1997;l(4):231-4. 52. Cho JH, Joo SP, Kim TS, Lee JK, Kim JH, Kim SH.
48. Mills MD, Coats DK, Donahue SP, Wheeler DT. An analysis of prognostic factors for recovery
Strabismus surgery for adults. Ophthalmology. from oculopmotor nerve palsy in patients with
2 0 0 4 ;lll(6 ):1 2 5 5 -6 2 . posterior communicating artery aneurysms. Kor
49. Tan H, Huang G, Zhang T, Liu J, Li Z, Wang Z. A J cerebrovascular surgery. 2007:9(2}:105-10.
Retrospective comparisson of the influence of 53. Kushner Bj. Intractable diplopia after stra­
surgical clipping and endovascular emboliza­ bismus surgery in adults. Arch Ophthalmol.
tion on recovery of oculomotor nerve palsy in 2002; 120(113:1498-504.
patients with posterior communicating artery
aneurysms. Neurosurgery. 2015;76(6):687-94.

320
I
Indeks

IND EKS

3,4-diaminopiridin 270 Agregasi trombosit 454 adjuvan 567, 655


4-aminopiridin 270, 279 AIDS (Acquired immunodeficiency non-opioid 646, 649, 653
a-syn uclein apathies 109 syndrome) 239 Analgetik 575, 638, 703
a-amino-3-hydroxy-5-methyiisoxa- Airway 398,411 Analisis
zole-4-propionic acid (AMPA) 100 Akalkulia 175 isi lambung 30
P Amiloid 197,211,488 Akinesia 117 kromatografi 30
Aksonopati 663 Anamnesis 5
A Aksonotmesis 716 Aneurisma
Abai, lihat neglect Akuaduktus Sylvii 45 Charcot-Bouchard 453,515
ABCD, lihat skor Alatpenilaiannyeri 559 familial 529
Abnormal spontaneous eye movement Alberta stroke programme early CT intrakranial 529
308 score (ASPECTS) 465 anatomi 529
Ablasi telinga dalam 280 Albumin 51 mikotik 533, 537
Absesotak 227,228 Aleksia 172 Angiogenesis 324
Abstraksi 177 murni 172 Angiopati
Abulia 212 tanpaagrafia 172 amiloid 211,213,478
ACDU (alert,confused,drowsy, unresp Alertness 16 pascaradiasi 480,481
onsive) 23 Algoritma stroke Gajah Mada, lihat Angioplasti balon transluminal 543
Acetyhlcoline, lihat asetilkolin skor Angiotensin-II receptor blocker (ARB)
Acethylcholinesterase inhibitor 751 Alodinia 548 449, 578
Activated charcoal 33 Alpha-amino -3-hydroxy-5-m e thyl- Angiotensin-converting enzyme inhibi­
Activity o f daily living (ADL) 123, 4-isoxazolepropionic Acid (AMPA), tor (ACE-I) 449,578
208 lihat a-amino-3-hydroxy-5-methyl- Anosmia 396, 425
Acute confusionalstate, lihat delirium isoxazoie-4-propionic acid (AMPA) Anosognosia 165
Acute disseminated encephalomyelitis Alteplase 463 Antagonis
254 Alzheimer, lihat demensia reseptorNMDA 208,214
Acute inflammatory demyelinating Amantadin 128,129,424 vitamin K(VKA) 524
polyneuropathy (AIDP) 679 Ambang batas nyeri 548,549 Antecendentinfection 677
Acute motor axonal neuropathy Ambulasi 371 Antiansietas 585
(AMAN) 679 American Heart Association (AHA) Antibodi
Afasia 181 452, 541 gangliosida 678
amnestik 186,189 American Spinal Injury Association mimikri 677
anomik 187 (ASIA) 403 Antidepresan trisiklik 577,584
Broca 185 American Stroke Association (ASA) Antiedema 333
dinamik 186,189 452,541 Antigen kriptokokus 241, 242
global 186 Amfoterisin B 242 Antigen presenting cells (APC) 230,
konduksi 187,188 efeksamping 243 250
nonfluen, lihat afasia Broca Amigdala 113,114,552 Antihistamin 279
progresif primer 216 Amiotrofi diabetik 714 Antikoagulan 467, 511
semantik 187,189 Amitriptilin 566, 577, 584, 607 Antikoagulan lupus 506
supplementary motor area Amnesia 153,422 Antikolinergik 124,128
(SMA) 186 pascatrauma 393, 395 Antikolinesterase 58, 751
transkortikal campuran 188, Amonia 19,31 Antikonvulsan 102, 566, 655
190 AMPLE (alergy, medication, past ill­ Anti-myelin-associated glycoprotein
transkortikal motorik 188,189 ness, last meal, exposure) 405,412 (anti-MAG) 669
transkortikal sensorik 188,189 Amyloidfibrils 482 Antiplatelet 497
Wernicke 185 Amyloid precursor protein (APP) Antipsikosis atipikal 56,133
\fter hyperpolaritation (AHP) 77 206,485 Antiretroviral (ARV) 239
\gen osmotik 439,540 Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) Antisakadik 292,308
\gitasi psikomotor 510 755 Antitrombotik 449
Ignosia 163 ANA 594 Anton, sindrom, lihat sindrom
\gonis dopamin 123 Analgesik Apatis 218

323
Buku Ajar Neurologi

Apeks orbita 287, 314 atensi terbagi 422 gejala dan tanda klinis 84
Apneu 21 distraktibilitas 422 patofisiologi 75
Apneusis 21 konsentrasi 419 tata laksana 86
Apneustik, pola nafas 39 set shifting 422 Bangkitan pascacedera kepala 435
ApoE4 196 sustained attention 422 Diagnosis 436
Apolipoprotein a!eI-E2 211 Ateroskierosis 446, 455 diagnosis banding 436
Apolipoprotein E (APO-E) 486 Aterotrombotik 448, 449 gejala dan tanda klinis 436
Apomorfin 129,132 Atoniagaster 33 patofisiologi 436
Apopleksi hipofisis 533, 534 Atrial fibrilasi 449, 455 tata laksana 437
Apoptosis 123, 324 Atrofi Basil tahan asam (BTA) 228
Apraksia otak 387,479,494 Battle sign, lihat tanda
berpakaian 161 otot 665, 727, 756 Bedah dekompresif 462bedah
bukofasial 184,191 Audiometri 278,433 Bedah mikro 140
ideomotor 184 Augmentative alternative communi­ Beginning o f dose worsening 130
konstruksional 2 1 2 cation (AAC) 375 Behavioral and psychological symp­
verbal 186 Aura 85, 573 toms o f dementia 208
Aquaporin-4 (AQP4) 258 Aurapersistentanpainfark 571 Behavioral pain scale (BPS) 563
Aquaporumab 264 Autoimun 199, 249, 678, 743 Behavioral pain scale-nonintubated
Araknoidltis 227 Autoregulasi 453,491,515,541 (BPS-N1) 563
Area homolog 367 AVPU (alert, response to voice, re­ Behavioral therapy, lihat terapi
Argyrophiiicgrain disease (AGD) 216 sponse to pain, unresponsive) 23 perilaku
Arteri Awareness 16 Bell's palsy 671
basilaris 446,466,536 Axonal transport 665 Benign focal epilepsy with centrotem-
komunikans anterior 534,535 Azatioprin 256, 264, 751, 752 poral spikes (BECTS) 88
perforator 478,489 Benign paroxysmal positional vertigo
serebellaris inferior anterior B (BPPV) 273
136 Bacillus Calmette-Guerin (BCG) 230 Benzodiazepin 56,103,141, 279,
serebellaris inferior posterior Back exercise 584 425,263, 523,585
136,536 Badanketon 19 Bernhard-Vulpian, lihat sindrom
serebellaris superior 136 Badan Lewy 110,118 Beta amiloid, lihat (J Amiloid
Arteriosklerosis 481 Bahasa 167 Beta blocker, lihat penghambat beta
Arteriovenous malformation (AVM), Baklofen 270, 592 Beta-endorfin 552
lihat malformasi arteriovena Balint, sindrom, lihat sindrom Betahistin 270, 279
spinal Baltsmus 4,130 Bevacizumab 335
Arteritis temporal 588, 594 Balloon microcompression 592 Bevel, needle bevel 47,48
Asam mefenamat 584, 651 Bamboo spine 629 Bickerstaff’s brainstem encephalitis
Asam piruvat 580 Bangkitan (BBE) 682
Asam traneksamat 441 absans 84 Bidai servikal 405,408,618
Asam valproat 90 tipikal 84 Bilasan lambung 33
Ascending reticular activating system atipikal 85 Binswanger, lihat penyakit
(ARAS) 16 akibatgegar 436 Biopsi
Asetazolamid 42,236,511 astatik, lihat bangkitan atonik kulit 668
Asetilkolin (ACh) 198, 741 atonik 84 saraf 668
Asetilkoiinesterase (AChE) 743 fokal, lihat bangkitan parsial stereotaktik334
Asidosis klonik 84 Bleeding risk analysis in stroke imag­
Laktat 19, 65 mioklonik 84 ing before thrombolysis (BRASIL) 496
Aspirin 449,468,497,575,584 parsial 85 Blefarospasme 140
Astrosit 249, 324 kompleks 85 Blink reflex 673
reaktif 206 sederhana 85 Blokkonduksi 683
Astrositoma 329, 342 parsial sederhana berkem- Blok saraf 608, 638, 645,649
Asymmetric target sign, lihat tanda bangmenjadiumumsekunder 85 Blood brain barrier (BBB), lihat
Ataksia 534, 592, 662, 680 tonik 84 sawar darah otak
Ataksik, pola nafas 39 tonik-klonik 84 Bobath 371
Atenolol 578 umum 84 Bone scan 350
Atensi 158 Bangkitan epileptik 75 Bone window, lihat CT scan dengan
alternating attention 422 diagnosis 85 bone window
atensi fokus 422 diagnosis banding 85 Boston, lihat kriteria
atensi selektif 422 epidemiologi 75 Boston naming test 171

324
Indeks

Braak, staging 114 kepala 383 tata laksana 439


Bradikinin 642 berat 393 Cerebral small vessel disease 476
Brandt-Daroff, lihat manuver minimal 392 definisi 477
Brain death 32 ringan 392 diagnosis 494
Braingraft 131 sedang 393 diagnosis banding 494
Brain resident cells 458 medula spinalis 401 epidemiologi 479
Brainstem auditory evoked potentials diagnosis 405 gejala dan tanda klinis 493
[BAEP) 278 diagnosis banding 405 klasifikasi 479
Bragard's sign, lihat tanda epidemiologi 401 patogenesis 491
Breaking the bad news 332 gejala dan tanda klinis 402 tata laksana 496
Breakthrough pain, lihat nyeri sontak komplikasi 419 Cervical
Breathing 398,411 tata laksana 408 sprain 610-12
Broadmann, area patofisiologi 401 strain 610-12
37 186 kerusakan primer Channelopathy 727
45 186 401 Charcot-Bouchard, lihat aneurisma
Brown-Sequard, lihat sindrom kerusakan sekunder Charcot-Marie-Tooth disease, lihat
Bridging therapy, lihat terapi 402 hereditary motor and sensory neu­
Brief Pain Inventory (BPi) 562 otak ropathy
Brief Peripheral Neuropathy Screen primer 384 Cheyne-Stokes 21, 25, 39
(BPNS) 602 sekunder 384 Childhood absence epilepsy (CAE) 91
Broca, lihat afasia Broca tembus 384 Chronic inflamatory demyielinating
Bromokriptin 129,191 tumpul 384 polineuropathy (CIDP) 680
Brunnstrom 371 whiplash 613 Chronic progressive external ophthal­
Bruns-Gariand, lihat sindrom Cedera kepala 383 moplegia (CPEO) 315
Burst neuron, lihat neuron diagnosis 395 Cilostazol 497
Butakortikal 184 diagnosis banding 397 Circulation 398
Butorfanol spray 576 epidemiologi 383 Classic migraine, lihat migren dengan
C gejala dan tanda klinis 392 aura
Cairan serebrospinal 45 patofisiologi 383 Clinically isolated syndrome (CIS)
absorpsi 45 tata laksana 397 253
anaiisis rutin 50 farmakologis 398 Code stroke 464,471
glukosa 50 operatif 398 Cognitive-behavioral therapy, lihat
hitungjenissel 50 Celah intervertebralis 48 terapi perifaku kognitif
protein 50 Central pontine myelinolysis (CPM) Cogwheel, rigidity, lihat rigiditas roda
rasio glukosa CSS : serum 439 gigi
50 Cerebral arterial small vessels 478 Cogan's lid twitch 302
laju produksi 45 cabang superfisial 478 Coiling 539
obstruksi aliran 51 cabang profunda 478 Cold-water caloric 28
tekanan 45 Cerebral amyloid angiopathy (CAA) Common migraine, lihat migren tanpa
volume 45 482 aura
Calcitonin gene-related peptide herediter 484 Complement-dependent cytotoxicity
(CGRP) 572, 287, 626 sporadik 484 (CDC) 259
Calcium channel blocker, lihat peng- Cerebral autosomal dominant arteri- Complex regional pain syndrome
hambat kanal kalsium o pa thy with subcortical Infarcts and (CRPS) 556,598
Camptocormia 117 leukoencephalopathy (CADASIL) 211, Conccusion 426
Campylobacterjejuni (C. jejuni) 677 213,289 Confusion 63, 447
Candesartan 578 Cerebral blood flow (CBF) 456 Confusion assestment method (CAM)
Cardiac dysautonomia 671 Cerebral blood volume (CBV) 42 54
Cardiac monitoring 461 Cerebral demyelinisation 482 Congo red 487
Carotid arteiy stenting (CAS) 468 Cerebral microbleeds 479,493 Constraint-therapy, lihat terapi
Carotid endarterectomy (CEA) 468 Cerebral perfusion pressure (CPF] Contraversive 304
Carpal tunnel syndrome 703 369,524 Convulsive conccusion 436
Cascading degeneration 362 Cerebral salt wasting syndrome Cord sign, lihat tanda
Cawthorne cooksey exercises 270 (CSWS) 438 Corneal light reflex, lihat refleks
CD4 241-50 diagnosis 438 cahaya
CDP-choline, lihat sitikolin diagnosis banding 438 Corrugator 139
Cedera gejala dan tanda klinis 438 Cortical branch artery A ll
aksonal difus 390 patofisiologi 438 Cortical spreading depression (CSD)

325
Buku Ajar Neuroiogi

572 Deksametason 43, 235, 333 Deselerasi 384, 419


Corticobasa! degeneration (CBD) 216 Dekubitus lateral 49 Deserebrasi 29
Corticobasa! syndrome (CBS) 217 Delay cerebral ischemia 532 Deviasitonik 28
Countercoup 387 Delayed on 130 Diabetes mellitus 446
Counting test, lihat tes hitung Delirium 54 Diagnosis 9
Coup 387 Demensia 205 etiologis 11
Coupling 599 Alzheimer (DA) 206 kerja 12
Cover test (single cover), lihat tes- diagnosis 207 klinis 10
Cover uncover, lihat tes diagnosis banding 207 patologis 10
Craniocervicaljunction 433 early onset AD tipe familial topis 10
Critical care pain observational tools 206 Diaskisis 367
(CPOT) 563 gejala dan tanda klinis Diatermi 566, 722
Cross cover, lihat tes 206 Diazepam 103
Crossed straight leg raising test, lihat patofisiologi 206 Diet ketogenik 87
tes tatalaksana 207 Diffuse leucoencephalopathy 381
Cryptococcal antigen 242 badan Lewy 200 Diffuse skeletal hyperostosis (DISH)
Cryptococcus neoformans 239 campuran 205 613
var.grubii 239 dengan badan inklusi basofilik216 Digit span, lihat tes
gatii 239 frontotemporal (DFT) 215 Digital subtraction angiography
neoformans 239 diagnosis 219 (DSA) 506, 538
Cryptodex 239 diagnosis banding 219 Dihidroergotamin 575, 588
CSVD non-amyloid 481 gejala dan tanda klinis Dilatasi pupil 39,308
CT angiografi 537 216 Diltiazem 578
CT angiogram 140 patofisiologi 215 Dinorfin 552
CT scan 8 varian perilaku 216 Diphasic dyskinesia, lihat diskinesia
CT scan dengan bone window 399, possible 220 Diplopia
425 probable 220 binokular 295
CTvenografi 506 definite 220 monokuiar 295
Cyclic vomiting 571 varian behavioral (DFTvb) Direct sign, lihat tanda
Cytidine 5-diphosphocholine, lihat , lihat DFT varian perilaku Direct swallowing therapy, lihat
sitikolin lacking distinctive histopathol- terapi
ogy (DLDH) 216 Disabilitas 367
D pascastroke 210 Disartria 5, 744
Dawson's finger 253 single-infarct dementia 210 Disautonomia 119
D-dimer 440,506 multi-infarct dementia 211 Disease modifying drug (DMD) 256
Decoding 167 penyakit parldnson 205 Discharge planning 463,523
Deep brain stimulation (DBS) 130 semantik 217 Diseksi arteri intrakranial 531
Defisiensi terkait amyloid angiopathy 211 Disekuilibrium 267,271
: Antitrombin 501 terkait mekanisme hemodin- Disestesia 403,549, 598
protein C 506 amik 211 Disfagia 5, 744
proteinS 506 terkait small vessel disease 211 Disfoni 5,744
Defisit neurologis fokal 3 subcortical ischaemic Disfungsi eksekutif 207
Deformabilitas eritrosit 482 vascular disease, lihat penyakit Disgrafia 173
Deformitas Binswanger disfraksis 173
clawhand 718 vaskular (DVa) 209 spasial 173
Waiters 717 gejala dan tanda klinis sentral 173
Degenerasi 212 Disinhibisi 218
aksonal 670, 679, 697 patofisiologi 209 Diskinesia
berantai 362 tatalaksana 214 difasik 130
kortiko-basal, lihat corticobasal Demielinisasi 249, 362, 678 Diskonjugat 290
degeneration Dense triangle sign, lihat tanda Diskus intervertebralis 625
lobus frontotemporal-tau Depolarisasi 78 Disleksia 171,172
(DLFT-tau) 216 Deposisi amiloid 199,485 Dislipidemia 454,496
retrograd 362 Depresi, okular 308 Dismetria 286
superficial spongiform 215 Derivat ergot 576 Disosiasi sitoalbumin 52,684
transneuronal 362 Dermatom 405, 694 Dispersi temporal 683
Wallerian 361 Dermatomiositis (DM] 725 Dissemination in space (DIS) 252
Dekompresi mikrovaskular 141 Descending formation retikularis 32 Dissemination in time (DIT) 253

326
Indeks

Distonia 130 Early recruitment 736 Epineural 715


Distonia wearing o ff 130 Early seizure 58 Epley, lihat manuver
DistorsiARAS 17 Ectopic discharges 599 Erasmus GBS Outcome Score (EGOS)
Distrofi fasioskapulohumeral 724 Eculizumab 264 686
Distrofi muskular Becker [Becker Edema Erb'spoint 717
muscular dystrophy/BMD) 724 interstisial 43 Erb-Duchenne, lihat sindrom
Distrofi muskular Duchenne [DMD) intrasel 458 Ergotamin 576
724 otak 392 Esotropia 297, 314
Distrofi muskular Limb Girdle palpebra 587 Estrogen 198, 455
(LGMD) 728 periorbita 303 Etambutol 234
Distrofi neuritik 206 peritumoral 324 European Stroke Organisation (ESO)
Distrofin serebri 43 460
gen 725 sitotoksik 43 Evaluasi neurologis perioperatif 53
protein 725 vasogenik 43 Eye tracking device 300
Diuretik 280,439,540 Efek desak ruang 18,325,514
Diuretik osmotik 511 Ehlers-Dalos tipe IV, lihat penyakit F
Dix-Hallpike, lihat manuver Eksekutif, fungsi, lihat fungsi ekse- F-wave, lihat gelombang F
Divisi, pleksus brakialis kutif Fabry's disease, lihat penyakit Fabry
anterior 706 Eksiklorotasi 308 Faces pain scale [FPS) 560
posterior 706 Eksitasi ektopik 136 Facet arthrosis 637
Dizziness 267, 271 Eksitatorik 550, 566 Facial amimia 117
DLFT-ubiquitin [DLFT-U) 216 Eksoftalmometri 302 Factor eight inhibitor bypass activity
DLFT-ubiquitin proteasome system Eksotropia 297 (FEIBA) 524
[DLFT-UPS) 216 Ekstraaksial 334 Fajersztajn, tanda, lihat Crossed
DNA repair enzyme 756 Etetra nigral 119 straight leg raising test
Doksepin 577 Ekstrasylvian 186 Faktor reumatoid 558,715
Doktrin Monro-Kellie 36 Ekuivalensi dosis 652, 654 Family meeting 332
Doll's-head maneuver 28 El escorial, revised, kriteria 758 Fasikulasi 714,756
Domain 149 Elektrokokleografi 278 Fasikulus
Donepezii 208 Elektromiografi [EMG) 12 arkuata 168,183,187
Dopamin Elevasi, okuiar 308 lateral, lihat korda lateral
nigrostriatal 112 Ely1s test, lihat tes medial, lihat korda medial
Dopaminergik 112 Emboli 446, 455 posterior, lihat korda posterior
Doppler Embolus 455 FAST, gejala stroke 459
karotis 448,459 Empty delta sign, lihat tanda Fazekas, scale 495
transkranial 448,459 Empty triangle sign, lihat tanda Fenitoin 103
vertebralis 459 Encoding 167 Fenobarbital 103
Dorsolateral prefrontal cortex (DLPC) End arteries 478 Fenomena
292 Endoneural 715 Bonnet 701
Dose failure, parkinson 130 Endotelin 63, 642 on-off 130
Double Barrel 487 Endovaskular 464 sudden o ff 130
Douleur Neuropathique en 4 Ques­ Enhanced ptosis 302 unpredictable o ff 130
tions [DN4) 602 Ensefalitis 227 wearing o ff 130
Drainase Ensefalitis Toksoplasma 243 Fenoprofen 584
CSS 542, 544 diagnosis 244 Fentanil (transdermal) 651, 652
ventrikel eksternal 543 diagnosis banding 244 Festination 118
Dressing apraxia, lihat apraksia epidemiologi 243 Fibrilasi atrial, lihat atrial fibrilasi
berpakaian gejala dan tanda klinis 244 Fiksasi 290
Drifting 298 patofisiologi 244 Fingolimod 255, 256
Drop attacks 448 tata laksana 246 Fisioterapi 370,417, 722
Drop fo o t 757 Entrapment neuropathy 703 Fistula dural arteriovena 533
Drowsiness 19 Ependimoma 324,338 Fisura
Duksi 287 Ephaptic, transmisi 136 orbitalis superior 314
Duloksetin 566, 604 Ephaptic condition 599 Sylvii 169
Duramater 36 Epidermal growth factor receptor FLACC [face, legs activity, cry, conso-
335 lability) Scale 648
£ Epilepsi 75 Flail arm syndrome, lihat sindrom
Earlyfatiguing 117 pascacedera kepala 435 Flail leg syndrome, lihat sindrom

327
Buku Ajar Neurolog i

Fluensi 168 fungsional 327,367,586,706,715 Guillain- Barre syndrome, lihat sin­


Flukonazol 242 gait 202 drom Guillain-Barre (SGB)
Fluoksetin 566, 577 gerakan bola mata 285 Guillain-Barre syndrome disability
Fiusitosin (5TC) 242 anatomi 287 score (GBS disability score)
Fokalitas denervasi 366 diagnosis 304 Guillain-Barre syndrome with treat­
Fonofobia 574,582 diagnosis banding 304 ment-related fluctuation (GBS-TRF),
Foramen epidemiologi 285 lihat sindrom Guillain-Barre (SGB)
Luschka 45 gejala dan tanda ldinis
Magendie 45 295 H
neuralis 343 patofisiologi 287 Hachinski, lihat skor
obturator 708 tatalaksana 315 Halo sign 396
stilomastoid 138, kognitif 195 Head-impulse test, lihat tes
Forced duction 303 menelan 367 Head-roll test, lihat tes
Forced generation 303 metabolik 6,18, 21, 31 Headache diary 586
Formasio retikularis 16, 550 pemusatanperhatian 153 Hemangioblastoma 343
Fosa posterior 28 pendengaran 274, 276,279 Hematogen 228,344
Fosfenitoin 103 pengosongan kandung kemih Hematom 393
Fotofobia 574, 582 370 serebelar 525
FOUR (full outline o f unresponsive) perfusi 447,456 Hemianopia 4,164,172
score 23 sensorik proprioseptif 4 Hemifasial spasme 136
Fralttur Ganglia basal 110 diagnosis 139
basis kranii 387, 396 Ganglion radiks dorsalis 550, 663, diagnosis banding 140
anterior 396 691 epidemiologi 136
posterior 396 Gaze holding 287 gejala dan tanda ldinis 139
kompresi 350, 644 Gaze shifting 287 patofisiologi 136
Free muscle transfer 723 GelombangF 720 primer 136
Freezing 117 GeneXperm MTB/Rif 52 sekunder 138
Fresh frozen plasma (FFP) 441, 524 Genu kapsula interna 211,212 tata laksana 141
Froment, libat manuver Gerakan bola mata Hemikrania kontinua 586
Frontal battery assessment (FBA) binokular 287 Hemineglect, lihat hemineglek spasial
423 horizontal 291 Hemineglek spasial 212
Frontal eye field (FEF) 291 monokular 287 Hemisfer
Frontalis 139 vertikal 294 dominan 173, 186
Frontotemporal disorder with parkin­ Gertsmann, sindrom, lihat sindrom kiri 183,191
sonism 217 Giant cell arteritis 313 serebri 16,183
Frontotemporal disorder with amyo­ Girus angularis 168,186, 212 Hemodilusi 541, 542
trophic lateral sclerosis (FTD-ALS) Glikolisis 51,642,729 Hemoreologik 468
217 Glioblastoma 323,329,331 Hemosiderin 493, 537
Functional training 370 Glioma 324 Heparin 463,511
Fungal burden 241 Gliosis 215,490 low-molecular weight heparin
Fungsi Transkortikal 215 (LMWH) 511
bahasa 167 Globulin 51 unfractioned heparin 511
eksekutif 174 Globus palidus 111 Hepatitis 233, 237
konstruksi 212 segmen interna 111 Hepatotoksisitas imbas obat 236
luhur 190 segmen eksterna 111 Heredodegeneratif 109
Furosemid 280,439,540 Glutamat 457, 550 Herniasi
Fused in sarcoma (FUS%protein 756 Gower, lihat tanda cingulata 38
Fusion magnetic resonance 140 Graded naming test, lihat tes nukleus pulposus 631
Faset, lihatsendi Granular osmiophillic material (GOM) otak 38
489 sentral 38
G Granulasio araknoid, Pacchioni 501 serebral 38
Gabapentin 566, 579, 605, 655 Granulocyte-macrophage colony- tentorial 38
Galantamin 208, 214 stimulating factor (GM-CSF) 642 tonsilar 39
Gamma knife radiosurgery 592 Granulomatosa nekrotik, peradangan transtentorium 38
Gamma-aminobutyric acid (GABA) 228 unkal 38
76,100 Greater sciatic foramen 710 Herring law 287
Gangguan Green birefringent 487 Hialinisasi 490, 515
autoregulasi 453, 541 Growth factor 529 Hidromorfon 651-3

328
Indeks

idrops Hypoxic ischemic injury Insufficient reserve 359


endolimfatik 274 Insula
koldea 277 I anterior 215
vestibuler T il latrogenik 414, 434, 531, 542 posterior 551
idrosefalus 42, 231, 543 Ibuprofen 575,584,617,651 Integrin very late activation antigen
igh density lipoprotein (HDL) 454 ice pack eye test, lihat tes (VLA>4 725
INTS 270 ID-migraineTM 574 Intercellular adhesion molecule
iperakusis 431, 672 IgG-AQP4 258, 261 (ICAM) 725
iperalgesia 5, 548, 549 IgG-MOG 261 Interferon-Fla 256
iperdensitas 519 Immediate memory 219 Interferon-Bib 256
iperestesia 549 Immediate postoperative seizure 58 lnterleukin-6 (IL-6 ) 642
iperglikemia 670 Immune reconstitutional inflamma­ Intermediate host 244
iperkapnia 19 tory syndrome (IRIS) 242,247 Intermitten catheterization (IMC)
iperkoagulasi 440 Immunofixation electrophoresis (IFE) 370
iperlipidemia 449,455 669 International Association fo r the
iperosmolar 31,43 Imunoglobulin intravena (IVIG) 6 8 6 , Study o f Pain (IASP) 547,648
ipertensi 453. 515 723, 751 International Medical Society o f
ipertensi intrakranial 503, 505. Imunokompromais 239, 241 Paraplegia (IMSOP) 403,414
10 Imunomodulator 263 International Panel fo r NMO Diagno- ‘
ipertermia 21,31,33,400 Imunosupresan 263, 752 sis (IPND), kriteria 260
ipertrigliserida 454 Inclusion body myositis 724 International Study on Cerebral Vein
ipertropia 297, 300, 301 Indirect sign, lihat tanda and Dural Sinus Trombosis 501
iperurisemia 454 Indonesia Stroke Registry 452 International Study on Cerebral
iperventilasi 91,92 Inersia 2 1 2 ,2 2 0 Venous Trombosis 500
neurogenik sentral 21 Infark 456 International Subarachnoid Aneurysm
ipervolemia 542 batangotak 21,31,269 Trial (ISAT) 540
ipestesi 4,9 hemoragik 499, 507 Internuclearophtalmoplegia (INO),
ipoalgesia 549 inkomplet 493 lihat oftamoplegia internuklear
ipoestesia 549 komplet 493 Interval lusid 393
ipoglikemia 6,18, 22, 31 lakunar 477, 494 Intoksikasi 20,31,33,87
ipokampus 152 miokard 456 Intraaksial 308
ipoksia 33, 58 subkortikal 479, 493 Intracranial pressure, lihat tekanan
iponatremia 19,235,438 Infeksi intrakranial
ipoperfiisi 447, 491 oportunistik 239 Intradural ekstramedula 338
iposmia 118,425 saluran napas 274 Intramedula 338
ipotalamus 17,113 sistemik 31,244, 328, 501, 569 Intraorbita 287,303
ipotensi 4 Infratentorial 252, 253 Intratekal 46
Inhibitor antibiotik 46
ortosEatik 8 ,121 asetilkolinesterase 207,214, kemoterapi 46
irschberg, lihat tes 221 obatbius 46
oneymoon period 129 MAO-B 123,128 Intravenous immunoglobulin (Ivlg),
orner, lihat sindrom Inhibitorik 566, 600 lihat imunoglobulin intravena
ouse-Brackmann, grading Initial Pain Assessment Inventory Intubasi 411, 460, 521, 540
ughesscore, lihat GuiUain-Barre (IPA!) 562 iPad-based speech therapy, lihat
’ndrome Disability Score [GBS Dis­ Injeksi konjungtiva 303, 574, 588 terapi
unity Score) Injeksi /psiVers/Ve 304
•jman brain microvascuiar endothe- gliserol 592 Irigasi 28,542
d cells (HBMECs) 240 toksin botulinum 133,143 Iskemia 456
jman immunodeficiency virus (HIV] Inklusi neuron 216 Isoniazid 234
!7, 239 Inkontinensia Isotonik 398,521
ant and Hess, lihat skor alvi 4, 9, 349 Isotonis 462
/ndman's sign, lihat tanda uri 4, 9, 349
/permetric contraversive saccade Inouye's Risk Classification 56 I
)7 Instabilitas
/permetric ipsiversive saccade 308 postural 118 Jalan napas 21,33, 398
/pometric contraversive saccade spinal 352 Japan alteplase clinical trial 464
)8 Instrumental activity o f daily living jaras
/pometric ipsiversive saccade 307 (IADL) 196 asendens 268

329
Buku Ajar Neurologi

desendens 268 berkabut 23,159 Kongesti nasal 587, 588


Iangsung (direct] 112 derajat kesadaran 22, 23 Konjugat 287, 290
mamilotalamik 212 kualitas kesadaran 16 Konkusio, lihat concussion
tidalc langsung (indirect) 112 patofisiologi 16 Konsultasi 53
Jaw thrust 409,411 Keseimbangan 267 Kontraktur 368, 372
Jointfitsions and rotational 723 Keterjagaan 16 Kontrol trunkal 368
Jukstakortikal 252, 253 Ketorolak 575, 651 Kontusio 387
Jump sign, lihat tanda Kewaspadaan, lihat alertness Konus dystrophic growth 365
juvenile absence epilepsy (JAE) 92 Klaster, nyeri kepala, lihat nyeri Konvergensi 285, 290,304
juvenile myoclonic epilepsy (JME) 93 lcepala tipe klaster Korda
Klaster, pola nafas 39,518 lateral 707
K Klonazepam 92,141 medial 707
Kafein 113, 584, 653 Klopidogrel 449,497 posterior 707
Kakosmia 4 Klumpke, lihat sindrom Korioretinitis toksoplasma 244
Kakukuduk 26,517,533 Koagulopati 523 Korpuskalosum 183,253
Kaiium diklofenak 575 Koagulopati pascacedera kepala 440 Korpus vertebra 343, 624
Kalsium intraselular 457 diagnosis 440 Korteks
Kanabinoid 606, 642 diagnosis banding 440 frontal 215, 291
Kanalis gejala dan tanda klinis serebri 16,160
auditorik interna 138,278,431 440 cingulata anterior 551
Dorello 314 patofisiologi 440 temporoparietal 185, 267
semisirkular anterior 272 tata laksana 441 Kortikosteroid, lihat steroid
semisirkular horizontal 272 Kodein 650-9 Kraniektomi dekompresi 469
semisirlcular posterior 272 Koklea 274, 277 Kreatinin kinase 735
spinalis 338, 624 Kolikulus superior 112,158,292 Krikotiroidektomi 410
Kanalolitiasis 276 Kolinergik 17,424 Kriopresipitat 441
Kanker 324, 641 Koma 24 Kriptokokoma 242
Kantus lateral 143 Komisura posterior 295 Krisis miastenia 6 8 , 751
Kapasitas fungsional 359 Komosio 393 Kriteria Boston 488
Karbamazepin 58, 87, 606 Kompensasi sentral 278, 279 Kuadranopia 4
Karbonik anhidrase 42,579 Komplikasi neurologis Kuitur
Kardioemboli 446-8 pascacedera kepala 419 jamur 242
Karnofsky performance score 332 perioperatif 54 tuberkulosis (TB) 52
Kaskade koagulasi 440,455 kognitif 419 Kupulolitiasis 276
Katekolamin 420, 424 diagnosis 423
Kateterurin 417,540 diagnosis banding L
Kauda elcuina 338, 349, 635, 692 423 Labirin 268,431
Kaudo-rostral asending 119 gejala dan tanda Labirintitis 276
Kearn Sayre, lihat sindrom klinis 422 Labyrinthine concussion 432
Kecepatanhantarsaraf(KHS) 602, patofisiologi 419 Laccase, enzim 240
665, 683, 736 tata laksana 423 lacunar syndrome 493
Kecepatan proses pikir 422 nonkognitif 425 Lagoftalmus 303, 674
Kejang metabolik 438 Laju endap darah 448, 594, 637,
fokal, lihat kejang parsial Kompos mentis 23 669, 720
parsial 141, 448 Komprehensi 170 Lakrimasi 431, 588, 672
pascaoperatif 59 Kompresi Laktat 580,642
perioperatif 57 neurovaskular 137 Lambert-Eaton myasthenic syndrome,
umum 4, 6 ,93, 505 arachnoid type lihat sindrom
Kelancaran bicara, lihat fluensi 137 Lamina
Kelumpuhan lirik branch type 137 terminalis 535
horizontal 304 loop type 137 Laminar cortical neuronal apoptosis
vertikal 304 perforator type 489
Kemosis 303 137 Lamotrigin 87, 592, 604
Kemoterapi 334,353 sandwich type LANSS, lihat Leeds assessment o f
Keracunan alkohol 22 137 neuropathic symptoms and signs
Kernig, lihat tanda tandem type 137 Language impairment-based treat­
Kerusakan sekunder 402 Kondisi stres oksidatif 458 ment 373
Kesadaran Konduksi lompatan 665 Large subcortical hemorrhages 494

330
Indeks

Laserasi 387 Logroll 405,412 Manitol 33,43,333-334,398,439,


Laseque, lihat tes Long extended transverse myelitis 461, 521, 540
Late seizure 58 [LETM) 260 Manometer 48-49, 243
Latensi distal 683, 736 Long segment myelopathy 261-262 Manual agility test 117
Lateral flow immunochromatog raph ic Lorazepam 103, 605 Manuver
assay (LFA) 242 Lou Gehrig's disease, lihat amyo­ Brandt-Daroff 281-283
Leeds assessment o f neuropathic trophic lateral sclerosis [ALS) Epley 280-281
symptoms and signs [LANSS) 602 Low-density lipoprotein (LDL) 496 Froment 117
Lemniskus Low-molecular weight heparin Lempert 283
lateralis 16, 776 (LMWH), lihat heparin Semont 280, 282
medialis 16 Lupus eritematosus sistemik 254, Valsava 531, 699
Lempert, manuver, lihat manuver 261, 558 Masked face 117
Lentikulostriatum 212 Masseter 143
Leptomeningeal 594, 647 M
Lesi M, Platysma 136 Maternal birth palsy 712
desalt ruang 243,323,326 M. tuberculosis 245, 247, 249 Maternal obstetric paralysis 712
destruksi 17 Maddox rod, lihat tes Maternal peroneal palsy 712
fokal muitipel 243, 245 Magnetic Resonance Imaging (MR!) Matriks ekstraseluler 529
kompresi 17 padaafasia 191 Matrix metalloprotease (MMP) 229,
miogenik 736 padacederakepala 393-394,397,437 255,497
neurogenik 736 padacederamedula spinalis 407-408 Me Gill Pain Questionnaire 561-562,
ovoid 253 pada cerebral smalt vessel disease 602,
pan-supraklavikular 718 488,490,493-495,497 McDonald, kriteria 252,257
Lesioning 130,131 pada childhood absance epilepsy 91 Mean arterial pressure [MAP), lihat
Letargi 24 padademensia 214,220 rerata tekanan darah arteri
Leucocyte function-associated antigen pada gangguan gerak bola mata Medial vestibular nucleus (MVN) 292
(LFA>1 725 311,315 Medical Research Council [MRC) 231
Leukoaraiosis 490 pada hemifasial spasme 140 MELAS [mitochondrial encephalomy-
Leukovorin 246 pada infeksi oportunistik 245 opathy, lactic acidosis, and strokelike
Leusin-enkefaiin 552 pada juvenile absance epilepsy 94 episodes) 315,480
Levetirasetam 87, 95, 334 pada meningitis tuberkulosis 231,236 Melodic intonation therapy [MIT),
Levodopa 65,124,127-131 pada miastenia gravis [MR] toraks) 750 lihat terapi
Levofloksasin 237 pada muitipel sklerosis 252-254
Leivy neurites 114 pada neuromielitis optik 260-263 Memantin 192, 203, 208, 214, 424,
Lhermittes, lihat tes pada nyeri kepala 594 605
Lid lag 303,749, pada nyeri leher 616 Membrane attack complex [MAC)
Lidokain 48-49, 588, 620, 656, pada nyeri punggung bawah 629- 259, 678, 725, 743-744, 777
Lifelong reinforcement 359 630, 636-637 Memori
Ligamentum pada penyakit Parkinson 121-122 anterograd 150,153,179, 219
flavum 48, 624-625, 692 padaperdarabansubaraknoid 537 deklaratif 151
inguinal 708 pada radikulopati 702-703 eksplisit 151
interspinosus 624-625 padasindromGuillain-Barre 682,684 episodik 151
intertransversal 625 pada status epileptikus 105 gangguan 153,422
longitudinal pada stroke iskemik 459 implisit 151
anterior 624 pada trombosis vena serebral 506, jangka panjang 150-151
posterior 624 508,510,519 jangkapendek 219
supraspinosus pada tumor otak 327,331 long-term 150
LimfositT 240,249-251,264 pada tumor spinal 350,352,354 nondeklaratif 151
Limited regeneration 359 sebelum pungsi lumbal 47 nonverbal 153,162
Lintasan sensorik Magnetic resonance spectroscopy 94, prosedural 151,153,
nonspesifik 16 328 remote 154-155
spesifik 16 Major histocompatibility complex retrograd 150,153,219
Lipohialinosis 447,480,498,508, [MHC) 230,251 semantik 151
Low-density lipoprotein receptor- Malformasi arteriovena 534,594, shortterm 150
related protein 4 (LRP4) 741, 745 764, working 94,150,213,424,
Lisinopril 578 Malformasi Chiari tipe 1 138 Memorial Pain Assessment Card 562
Litium 67, 589 Malingering 6,32,423 Meniere, lihat penyakit
Locked-in syndrome 32 Froment, lihat manuver Meningen

331
Buku Ajar Neurologi

medula spinalis 338-339 Midline shift 47, 339,391, miopati endokrin 727,730
Meningioma 323-325,328,330-331, Mielin 249,259,491,549,590,663, miopati herediter 727
337-338, 342,589 716 miopati inflamasi 727,
Meningitis Mielinopati 663-664, 668 729-731, 735-738
kriptokokus 239 Mielitis 227,258-263,349,685 miopati metabolik 727,
diagnosis 45, Mielopati 349, 614-618, 685, 704- 729-733
diagnosis banding 241 705 miopati mitokondrial 727
epidemiologi 239 Migraine screen questionnaire (MS- miopati terkait penyakit
gejala dan tanda Minis Q), lihat questionnaire sistemik 727
241 Migrainous infarct 571 miopati toksik 727
komplikasi 243 Migrain-triggered seizure 571 patofisiologi 724
patofisiologi 239 Migren Miosis 587-588, 752
tata laksana 242 diagnosis 574 Miositis 724, 727, 738
tuberkulosis (TB) 11, 227-236 diagnosis banding 575 Miotom 3, 405, 694, 697, 720
Meperidin 651,654 gejala dan tanda Minis 573 Miotonia 6 6 , 727, 728, 730, 732, 737
Merokok 66,113, 446,454, 482, Masifikasi Misdirection sprouting 366
531, abdominal 571 Mm.
Mesensefalon 17, 39, 268, 289, 304, basiler 278 Orbicularis okuli 139-142,
531, 684, denganaura 213,448, Orbikularis oris 139
Metabolisme anaerob 386,458 571, 574 Periokular 139
Metadon 651-653 kronis 571 Zigomatikus 139
Metastasis 328, 338, 341, 627, 643- retinal 571 Mobilisasi 34, 57, 354, 368,
647, 656, 696 tanpa aura 571, 574 Modified Hoehn and Yahr 121,122
Metilfenidat 424, 653, vestibular 267, 269, 279, Modified rankin scale (mRS) 465, 496
Metilprednisolon 256, 263-264,412- komplikasi 571 Mofetil Mycophenolate 63, 264, 752
413,434 patofisiologi 571 Moksifloksasin 234
profilaksts 576 Momen inersia 419
Metisergid 589 indikasi 576 Mononeuritis multipleks diabetik
Metode ABC 519-520 tujuan 577 714
Metoklopramid 575, 653 stadium 573 Mononeuropati multipleks 667
Metoprolol 578 tata laksana 575 Monroe-Kellie, lihat doktrin Monroe-
Miastenia gravis (MG) Mikroaneurisma 453,480-482,515 Kellie
anatomi 741-742 Mikroglia 230,250,362,458,485, Montreal cognitive assessment
diagnosis 740 600 (MoCA) 9,155,157,327
diagnosis banding 740 Mikrografia 117 Morfinsulfat 65 It
epidemiologi 741 Mikrovakuolisasi 215 Morning jerks 93
fisiologi 741 Mikrovaskular 63,141,287,311, Moth-eaten appearance 350
gejala dan tanda Minis 743,746 317,426 Motor neuron disease (MNDj 663,
Masifikasi 745,747 Mikrovaskulitis inflamasi 716 73 7t
subtipe Mild cognitive impairment acquired 756
EOMG: early onset myas- amnestik ranah jamak 200 bentukmonomelik 757t
tenia gravis 746 amnestik ranah tunggal 200 diagnosis 758
LOMG: late onset myasthe­ nonamnestik ranah jamak 200 diagnosis banding 759
nia gravis 746 nonamnestik ranah tunggal 200 epidemiologi 755
MAMG: anti-MuSK-Ab- Mild hypothermia 469 gejala dan tanda Minis 756
associated myastenia Miller-Fischer, lihat sindrom herediter 756
gravis 746 Mini-mental status examination paraneoplastik 759
OMG: ocular myastenia (MMSE) 9, 55-56,155-156, 423 patofisiologi 756
gravis 746 Miokimia 140, 665, 714 tata laksana 759
SNMG: seronegative myas­ Miopati Motor unit 756
tenia gravis 746 Diagnosis 726 Motor unit action potential (MUAP)
TAMG: thymoma-associat­ diagnosis banding 733 736
ed myastenia gravis 746 epidemiologi 724 Motorik 3 ,4 ,9 ,3 0 ,3 1
tata laksana 751 jenis Movement Disorder Society (MDS)
Microbleeding 482,494 distrofi muskular 724 128,129,132
Microhemorrhages 489 miopati didapat 727 MR venografi 506, 508, 510, 594,
Microvascular decompression 592 miopati diinduksi obat Multifocal motor neuropathy (MMN)
Midazolam 48,103-106, 511, 659 727 669, 733, 757,759

332
Indeks

Multipel mononeuropati, lihat mono­ object-centered 163 epidemiologi 258


neuropati multiplies sensory-164,166 gejala dan tanda klinis
Multipel sklerosis spatial-160 259
diagnosis 252 tactile 167 patofisiologi 258
diagnosis banding visual-165, 166 Neuromodulasi 359,371,469,
252,253, 254 Nekrosis fibrinoid 453, 480,481, Neuromuscular blocking agent 67,
epidemiologi 249 482,486,515 Neuromuscular electrical stimulation
gejala dan tanda klinis 250 Neokorteks (NMES) 722,
patofisiologi 249, Anterior 215 Neuromuscular-junction, lihat taut
primary progressive mul­ Prefrontal 215 saraf-otot
tiple sclerosis (PPMS) 250 Neologisme 185 Neuromyelitis optica spectrum disor­
prevalensi 249 Neostriatum 111 ders (NMOSD) 260,262
progresivitas 250,253,256 Nerve grafting 723 Neuron
relapsing remitting mul­ Nerve growth factor (NGF] 641, 642 burst neuron 291, 294, 307
tiple sclerosis (RRMS) 250 Nerve root entry zone 136, pascasinaps 361, 362, 366
secondary progressive mul­ Nerve sprouting 641, 642 presinaps 78, 361
tiple sclerosis (SPMS) 250 Nervus von Economo 215
tata laksana 256 abdusens 39, 287, 292, 326 nosiseptif 549, 572, 623
Muscle relaxant, lihat pelemas otot fasialis 12,136,137,138, 672,
461 673, 680, 681 ordo satu 548, 550
Muscle-specific kinase (MuSK] 741 meningeal rekuren 692 ordokedua 550,551,552
Musical speech stimulation (MUSTIM) okulomotor 26, 27, 28, 287, ordoketiga 551
375 291, 292,294 wide dynamic range neurons
Mutisme 32,184,188,191 optikus 162, 258, 260 550
Myasthenia Gravis Composite Scale trigeminus 587, Neuronal intermediate filament inclu­
748 troklear 287 sion disease 216
Myasthenic snarl 744 vestibularis 268, 271, 274 Neuronopati 663
Myelin pallor 490 vestibulokoklearis 139, Neuropathic pain questionnaire
431,433,435 (NPQ), lihat questionnaire 602
N Neural integrator 292, 294 Neuropati
Nadolol 578 Neural structural repair o f replace­ diabetik 598, 607
Nalokson 412, 653 ment 359, diabetik proksimal 714
Naming, lihat penamaan 171,187, Neuralgia trigeminal diagnosis banding 667
188, 374 diagnosis 591 diagnosis klinis 667
Narkolepsi 260 gejala klinis 590 epidemiologi 663
NASCIS (National Acute Spi­ ldasifikasi gejala dan tanda klinis 665
nal Cord Injury Study} II 412 ldasik 589 jenis
Nasopharyngeal airway 409, simtomatik 589 polineuropati 666,667,
Natalizumab 255 patofisiologi 590 668
National Comprehensive Cancer Net­ pemeriksaan penunjang 592 multifokal 667, 670
work (NCCN) 641, 651, 655 tata laksana 592 multipel mononeu-
National Institute o f Neurological Neuritis ropati atau mononeuropa-
Disorders and Stroke (NINDS) puerperalis 712 ti multipleks 667
National institutes o f health stroke vestibular 267, 274, 276, 277 neuropati foka! 667
scale (NIHSS) 465,468, 471,472 Neurodegenerasi 112,197, 206 mononeuropati 667
Natrium naproksen 575 Neurofibrillary tangles 206,207 kranial multipel 314
Neck stretch 618, 619 Neurofibroma 330,341, 342 optik 303,426
Neck tilting 618, 619 Neurokinin A 572 patofisiologi 663
Neck turn 618, 619 Neuroleptic malignant syndrome 57, radikulopleksus lumbosakrai
Neglect 68 diabetik 714
agraphia 173 Neurolisis 722, 759, tata laksana 668
auditory 167 Neurology music therapy (NMT), lihat Neuropatologis 120, 548, 758
body-160 terapi Neuropeptiday 100
dysgraphia-161,173 Neurological reserve 54, Neuroplastisitas 359,360,425
dyslexia-161,172 Neuroma 599,641,645,723, Neuropraksia 716,723
environment-centered-160 Neuromielitis optik (NMO) Neuroprotektor 123,193,468
hemi-, lihat hemineglek spasial diagnosis 261 Neurorecovery 468
hemispatial neglect 164 diagnosis banding 262 Neuroregenerasi 359,

333
Baku Ajar Neurologi

Neurorehabilitasi 359,469 subtalamikus 111, 131 ldasifikasi 611-614


Neurorepair 359 vestibular/vestibularis 268, patofisiologi 609-614
Neurorestorasi 359, 368,469 273 red flags 616
Neurorestorasi Numeric rating scale (NRS) 8 , tata laksana 616-620
fungsional 366, 371 560,561, 602, 648, lokal 548, 628, 634
pada afasia 373 Nutrisi enteral 462, 522 maladaptif 548
pascastroke 367, 469 Nyeri miofasial 614, 628, 629,
rehabilitatif 368,371, adaptif 548 neuroanatomi 548
372,469 aksial 347,611 neuropatik 549
Neurorestoratologi 192, 359 akut 632, 647 diagnosis 602
Neurotization, intraplexua! 723 alih 614,622,628,632,633, epidemiologi 598
Neurotmesis 716 campur (mixed painJ 646, 648, gejala dan tanda klinis
Neurotoksisitas 63,486 649 601
Neurotransmiter 76,119,142,198, dasar 646 patofisiologi 598-600
419, 550,566, 606 definisi 547 mekanisme perifer 599
Neurovascular coupling 491 diskogenik 613, 620 mekanisme sentral 599
New oral anticoagulant (NOAC) 62, evaluasi 552, 559, 594, 615, tata laksana 604-608
468 648 nosiseptif 548, 623
Nifedipin 578, 589 anamnesis 552 okular 260
Nikardipin 524, 578 pemeriksaan fisik 557, patofisiologi 548
Nikotin 113, 454 pemeriksaan penunjang prinsip manajemen 564-567
Nimodipin 541, 578,589 594 punggung bawah
Nimotuzumab 335 fantom 598 anatomi 624-626
Nistagmoid 306 inflamasi 600, 617 diagnosis 634-637
Nistagmus 28, 87, 269, 276, 304 intervensi 567, 617, 619, 620 epidemiologi 622
ageotropik 276 kanker etiologi 626-634
dissociated nystagmus 306 akut 641 spesifik 626
geotropik 276, 281 diagnosis 647,648 nonspesifik/idiopatik
torsional 276 epidemiologi 641 626
sentral 269, 270 gejala ldinis 645, 646 gejala dan tanda klinis
upbeat 269, 270 kronik 641, 648 632-637
downbeat 269, 270 patofisiologi 641-645 patofisiologi 623
N-methyi-D-aspartate (NMDA) 76,77, tata laksana 648-656 red flags 635
386,440, 600, 604,645 kepala tata laksana 637-639
Nonconvulsive status epilepticus pascapungsi 46 radikular 349, 633, 646, 697,
(NCSE), iihat status epileptikus non- definisi 569 699
konvulsivus primer 569 sentral/pusat 606
Nonmotor symptom questionnaire, sekunder 570 somatik 395, 554, 645, 646
iihat questionnaire tipe Idaster sontak 641, 645, 646,655, 656
Non-motorik 109,118,119,133 diagnosis 588 tajam 428, 633
Nonperisylvian 184 ldasifikasi 587 tumpul 554
Norepinefrin 133,158, 525, 565, episodik 587 viseral 646
572,577 kronik 587 O
Nortriptilin 133, 655 patofisiologi 587 Obat
Nosiseptif 353,548-550, 552,623, tata laksana 588 antiepiiepsi (OAE) 58, 87,92,
634, 645, 650, 656 tipe tegang 525
Nosiseptor 548, 626, 641, 642 diagnosis 582 antiinflamasi non steroid
NOTCH3 211,489 gejala klinis 582 (OAINS) 564,638,650,
Noxious stimulus 549,552,556 ldasifikasi 579 antituberkulosis [OAT) 230,
Nucleus prepositus hypoglossi (NPH) patofisiologi 580 234, 236, 237
292 tata laksana 584 dayatembus 234,235
Nukleus kronik 564, 604,606, 637, 648 linisatu 234
fastigial 292,307,308 leher Obtundation 24
interstitial Cajal 268 diagnosis banding 615- Occipito-temporo-parietaljunction
kaudatus 111, 184, 211, 212, 616 308
292 epidemiologi 609 Ocularflutter 308
pulposus 403, 626, 631 gejala dan tanda klinis Ocular misalignment 285, 295
salivatorius superior 572 614-616 horizontal 316

334
Indeks

vertical 316 Painful face scale 602 Pembedahan 722, 723


Oftalmoparesis 285, 315, 734 Paliatif 332, 335, 355 primer, pada pleksopati 722
Oftalmoplegia 285, 286 679-82, Palidotomi 131,132 sekunder, pada pleksopati 723
eksternal 311 Palidum 112 Pemeriksaan
internal 311 Pannecrosis 491 cover uncover 297,429
internuklear 306 Papiledema 29, 39, 505, 511 fungsiluhur 9,90,94
painful 296 Parafasia 169,179,185,188 keseimbangan dan koordinasi 9
0 kludin 240, 324 Parafrase 187 motorik 9,405,666
Oklusi parsial 446 Paralisis nervus kranialis 9
Oksigen 33,411,416,460,476,580 agitans 109 neuropsikologi 219
100% 588 Klumpke, lihat sindrom otonom 9, 518
Oksikodon 605,651,652,654 lower motor neuron (LMNJ 677 pupil 9, 26
Oksimorfon 651,652 neuromuskular 461 sensorik 9,402, 518, 688
Okskarbazepin 87, 606 Paramedian pontine reticular form a­ Pemulihan fungsional 192, 359, 368,
Oligodendroglioma 324,327-9,331, tion (PPRF) 291, 294, 306, 307 514
342 Paramiotonia 724, 727, 730, 737 Penamaan 171
Oligodendrosit 136, 249, 259, 261, Paraneoplastic motor neuron disease, Penapisan delirium 54
324,491 lihat motor neuron disease Pendekatan klinis 3, 312, 337
Oligoklonal, pita, lihat pita oligok- Paraneoplastik, lihat sindrom Penetrating artery A ll, 516,
lonal Parasetamol 521, 575, 584, 650, 656 Penetrating vessels A ll
Omnipause neuron 292,294 Parent artery A ll Penggantian opioid 652, 654
One and a half, lihat sindrom Paresis Pengguna opioid baru 651
Onkogenesis 324 nervus III 308,311,313 Pengguna opioid rutin 651,652,
On-off, fenomena, lihat fenomena komplet 313, 317 Penghambat 68,578
Ookista 244 terisolir 311,312,317 Beta 578
Open-mouth odontoid 407 nervus IV 297, 313, 316 kanal kalsium 578
Operkulum parietal 551 nervus VI 286,297,314,318 monoamin oksidase (MAO) 68
Opioid 552, 564, 604-7, 650-6 Parietal eye field (PEF) 292 Pengkodean 152,183
lepas cepat [immediate release) Parkinson 109 Pengulangan 159,168,185, 220
654 anatomi 110 Peningkatan
switching, lihat penggantian diagnosis 121 enzim transaminase 236
opioid diagnosis banding 121 tekanan intrakranial 36
Opioid-naive, lihat pengguna opioid epidemiologi 110 epidemiologi 36
baru gejala dan tanda klinis 115 gejala dan tanda klinis 39
Opioid-tolerant, lihat pengguna Idiopatik 109 patofisiologi 36
opioid rutin patofisiologi 112 tatalaksana 42
Optokinetic nystagmus (OKN) 300 plus, lihat sindrom Pentobarbital 104
Optokinetik 290, 300 primer 109 Penumbra 366,456,457,458,512
Oral Reading fo r Language in Aphasia tatalaksana 121 Penumbra system 512
(ORLA) 376 Parkinsonisme 68,109,121,122, Penurunan kesadaran 16-34
Organized stroke care 368 216 diagnosis 30
Oropharyngeal airway 398,407 Parkinsonism-hyperpirexia syndrome diagnosis banding 32
Ortosis 371,722 (PHS) 68 gejala dan tanda klinis 20
Ospetrosum 274 Parks-Biefschowsky three steps test, anamnesis 20
Osilasi okular 304 lihat tes onset 20
Osilopsia 276 Paroksismal hemikrania 586,588 klasifikasi 31
Osmoterapi 400,461,521 Parsonage turner syndrome 712 pemeriksaan penunjang
Osteoklas 344,643,644,656 Partial on response 130 30
Osteoporosis 631 Partner approaches 376 tatalaksana 33
Otokonia 273, 276, 280 281 Parvocellular reticularformation 112 Penyakit
Otorea 22,395,396,433, Pascatransplantasi 62, 63, 64 Binswanger 211,213,481,490
Otorrhea, lihat otorea Peak dose dyskinesia 130 degeneratif 31,110,195, 201,
Otot Pediatric migraine disability assest- 270
ekstraokular 287, 295, 315 ment (PedMlDAS) 574 Ehlers-Danlos tipe IV 530
hamstring 710 Pedikel 344, 624, 644, 692 Fabry 480,481
Pedunculopontine nucleus (PPN) 112 ginjal polikistik autosom domi-
P Pelemas otot, lihat obatpelemas otot nan (PGPAD) 530
PainDetect 602, 603 Pelvicoutlet 710,712 Kennedy 733, 759

335
Buku Ajar Neurologi

Meniere 274, 276 390,511 Posttraumatic positional vertigo 433


neuromuskular 66 , 735 Pirazinamid 234, 235, 236, Posttraumatic seizure (PTS)
neuron inklusi filamen menen- 237 early 436-437
gah 216 Piridostigmin 750, 751 immediate 436-437
Penyangatan Pirimetamin 246, 247 late 436-437
meningen 242 Pita oligoklonal 253, 254. 261-3 Postur simian 116-117
pada daerah basal 232 Plak Posturing 368, 372
Penyekat kanal kalsium, lihat peng- Aterosklerosis 446,455 Pramipeksoi 123,127,129,133
hambat kanal kalsium Neuritik 206 Prednisolon 65, 264, 412, 589, 751-
Peptida 485, 572 Senilis 197 752
Ap 485 Plasma exchange, lihat plasmaferesis Prednison 673,703,751-752
intestinal vasoaktif 572 Plasmaferesis 263-264, 685-686, Pregabalin 141,566,604-607,655,
Percutaneus endoscopic 751 671, 704, 722
gastrotromy(PEG) 522 Pleksitis iumbosakral idiopatik 712, Prekursor opioid endogen 552
Perdarahan 714 Premotorik 114,119, 367
batangotak 269 Pleksopati Presenilin
epidural 389 anatomi 706,708 (PS)1 206,483,486
hemisfer 31 brakialis 717,720 (PS)2 206,483
intraserebral [PIS) 482,514 diagnosis 720 Presinkop 267, 271, 671,
intraventrikular 390,521,535 diagnosis banding 647,666 PRIAMO (parkinson and non motor
lobar 483, 484,488, 510,525 epidemiologi 706 symptoms) 118
mikro 209,211,477 etiologi 711 Primary lateral sclerosis 757
parenkim 503, 505, 510 gejala dan tanda klinis 717 Primary progressive aphasia 202,
perimesensefalik 536 infraklavikular 215,217, 221,375
pontin 22,32 lesi di fasikulus lateral Agramatik 220
serebelar 32,488 719 Primary progressive multiple sclerosis
subaraknoid 390, 527 lesi di fasikulus medial [PPMS), lihat multipel sklerosis,
diagnosis 535 719 subtipe
etiologi 528 lesi di fasikulus posterior Prisma
gejala dan tanda klinis 719 Fresnel 316,317
532 Iumbosakral 719 Permanen 316, 317
patofisiologi 528 patofisiologi 715 Probable migrain 571
tatalaksana 539 prognosis 723 Probable TAC 586
subdural 394 radiasi 714 Prodromal 113,195, 274, 573, 574
subhialoid 29, 533 supraklavikular Progesteron 331
tatalaksana 722 Progressive amyotrophic diplegia 757
Perencanaan 174,176,213,217, Pleksus Progressive bulbar palsy (PBP) 757
423, Batson 50, 343 Progressive multifocal leukoencepha-
Periaqueductal gray (PAG) 550 brakialis 706,710 lopathy 254, 255, 752
Periependimal 260 koroid 45, 234,240, 329, 337 Progressive muscluaratrophy(PMA) 757
Perihematomal 517 lumbal 708,712, Progressive nonfluent aphasia 217
Perindopril Protection Against Recur­ Iumbosakral 693, 706, 710-714 Logopenic 217
rent Stroke Study [PROGRESS) 489 sakral 710 Progressive Supranuclear Palsy [PSP)
Perineural 703,715,716,717 Pleositosis 232,261,263 68,109, 202, 216, 217
Perioral 88,139,143 Polifasik 259, 687, 736 Proklorperazin 576, 653
Perisylvian 170,184,188,189 Polimiositis [PM) 729-731, 737 Proksimitas 366
Periventrikuler 253 Poliomielitis 685, 759 Promoting aphasics' Communication
Perseverasi 178,218 Poliradikulopati diabetik 714 Effectiveness (PACE) 376
Persistent vegetative state 32 Polisitemia sekunder 454 Propanolol 128,578
Pharyngeal-cervical-brachial weak­ Polymerase chain reaction [PCR) 50, Propentofilin 214
ness, lihat sindrom Guillain-Barre 52, 232, 246 Propofol 67,69,70,104,400,463,
Pick cells 215 Post herpetic neuralgia (PHN) 598 523
Pictorial scale 602 Post-concussion syndrome 424 Proprioseptif 4
Pill-rolling tremor 116 Postdromal 574 Proprioseptive neuromuscular facili­
Pipa nasogastrik 34,416,462,519, Post seizure state 31 tation (PFN) 372
522 Posttraumatic amnesia (PTA) 422, Proptosis 296,302,303,427
Pirasetam 191,192 Posttraumatic epilepsy, lihat epilepsi Propulsi 118
Pirau ventrikuloperitoneal 236,333, pascatrauma Proses

336
Indeks

akselerasi-deselerasi 419, Neuropathic pain questionnaire (ROCAS) 497


modulasi nyeri 551, 552 (NPQ) 602 Rehabiiitasi kognitif 425
persepsi nyeri 552 Nonmotor symptom question­ Reinervasi 365, 366, 674, 722, 756
pikir 213,419,422,424 naire 118 Rekognisi 106,203,424
transduksi nyeri 551 Rekombinan faktor VHa 441,524
transmisi nyeri 551 R Relapsing remitting multiple sclerosis
Prosesus Racoon eyes 22, 396, 399 (RRMS], lihat multipel sklerosis
spinosus 345,407,616,624, Radiasio optika 16,326 subtipe
625, 628 Radikal bebas 199,206,386,457, Relearningl92, 359
transversus 624, 625 458 Renjatan
Prosopagnosia 163 Radiks neurogenik 402,411, 413
Protease 457, 529, 632, 642 dorsalis 706, 708 spinal 402,404,405,410
Protein ventralis 706, 708 Reorganisasi
amiloid tipe p 482,486 Radikulopati lokal 366
C-reaktif 594 anatomi 691 somatotropik 366
tau 198,206,216, diagnosis 697 bihemisfer 367
Prothrombin complex concentrates diagnosis banding 703 Reperfusi 447,456
(PCC) 524 epidemiologi 696 Repetisi 169,188
Protoonkogen 324 etiologi 697 Repetitive nerve stimulation (RNS)
Protrusi diskus 614, 625, 697, 703 patofisiologi 697 750, 753,
Pruning synapses 368, tatalaksana 703 Repetitive tapping 117
Pruning-relatedsprouting 364,365 Radiofrequency electrocoagulation 592 Repetitive trancranial magnetic
Pseudohipertrofi otot 728, 739 Radiosensitizer 335 stimulations 368,377
Pseudotumor orbita 315,506,594 Radiosurgery 131,334,592 Rerata tekanan darah arteri 37,518
Psikosis 63,118,190 Radioterapi 334, 352, 645, 656, Rescue therapy, lihat terapi
Psikotik 212 Range o f motion 614,635 Reseksi luas 334
Psychogenic unresponsiveness 32, 70 Range o f movement 116,300 Reseptor
Ptosis 142, 296, 308, 311, 315, 679, Rangsang nyeri 23,24,29 asetilkolin 315, 741-743, 745
681, 744 Raphe interpositus nuclei 294 nosiseptif 548, 551
Pulse oximetry 21 Rafemagnus 552 Resistensi 232, 234, 303,372,459,
Pungsi lumbal Rasagilin 123,127,129,132, 670,
alatdanbahan 48 Rasio glukosa CSS 51,52,232, Respons motorik terhadap nyeri 25,
indikasi Rawat bersama 53 29,35
diagnosis 46 Reactive oxygen species (ROSJ 63, Responsivitas C02 43
terapi 46 386,387 Resting tremor 116
kontraindikasi 46 Reaktivasi infeksi 240, 243, 244 Restriksi 303,353,439,491,544
komplikasi 46-47 Rebleeding 486, 536, 540 Retensi
prosedur Rebound phenomenon 333 alvi 4, 518
lokasi insersi 48 Recall 151,155,156,178, 423 uri 4,128,349,370,415,417,518
Pupil Recombinant tissue plasminogen Retinitis retrobulbar 235
asymmetric pupils 27 activator (rTPA) 463,488,542 Retraction ball 362
fixed, dilated pupils 26 Reemerges tremor 116 Retraksi kelopak mata 302,303
fixed, midsized pupils 26 Refleks Retrieval 152,155,373,374,423
pinpoint pupils 26 cahaya 308,426 Retropulsi 118,122
Marcus Gunn 426 Cushing 393, 399 Reverse straight leg raise test, lihat
thalamic pupils 26 kornea 429, 518 tes
Pupil involvement 311,313, 315 okulosefalik 27,29,40 Reversible posterior ieukoencepha-
Pupil sparing 311, 313, 314, 315 okulovestibular 28,34,40 lopathy 63
Fusing berputar 8 , 275,435 pupil 25,40,411 Rey-Osterrieth complex figure test
Putamen 111,113,516,517,536 spinal29,404 154,162
vestibulookular, lihat refleks Rhinorrhea, lihat rinorea
Q okulovestibular Rifampisin 232, 234-237
Quality o f life 334,604 Regenerasi Rigiditas
Questionnaire abberant 140 roda gigi (cogwheel) 13,116
McGill pain questionnaire 561, abortif 363,365 Riluzole 759
562,602 bonafide 365 Rinorea 22,395,396,425
Migraine screen questionnaire neuron 123,359 Riset Kesehatan Dasar (R1SKESDAS)
(MS-Q) 574 Regression o f cerebral artery stenosis 149,323,383, 452,514

337
Buku Ajar Neurologi

Risiko preoperatif 58 perifer 549,580, 599 riasisakut 681


Rituksimab 264 sentral 549, 573, 580, 599, 604, patofisiologi 677
Rivastigmin 133, 208,214,424 623, 642, 645 pharyngeal-cervical-bra-
Rongga perivaskular 479,489 Sensory enhancement techniques 370 chial weakness 681
Rood 371 Sentrifugasi 50,232 prognosis 686
Rostral interstitial medial longitudi­ Serabut SGB hiperrefleks 680
nal fasciculus (riMLF) 268, 294, 295 A-delta 549-551, 553, 722 SGB paraparesis 681
Ruang subaraknoid 37,45,287,310, C 550, 559,722 tatalaksana 685
390,507,527 sarafaferen 549,550,552,553 terkait pengobatan 680
Rupturaneurisma 528,531,536- Serebelum 7, 39, 267, 268, 290, 292, Horner 4,310,494
538, 540 307, 469 Kearn-Sayre 315
Serikonsep 213 kompartemen gluteal 712, 714
S Seroprevalensi 243 Lambert-Eaton 751
Saccadepalsy 286 Serotonin 420,564-566,572,577, lobus frontal 14
Sacra! sparing 402,403 656 medula spinalis 403
Saddle anesthesia 349,635, 702 Serotonin norepinephrine reuptake Miller Fischer 678
Sakadik inhibitor (SNRQ 133,564,566,578, MND-demensia 757
dismetria 286, 307 604 nyeri kanker 641
gangguan 286,292,304,307, Serum penanda tumor 352 nyeri miofasial 628
308 Serum transaminase 237 one and a h alf 304-307
memory-guided 292, 308 Shifting o f idea 213 paralisis Klumpke 718
prediktif 292, 308 Short-lasting unilateral neuralgiaform paraneoplastilc 45
refleks 292 headache attacks (SUNCT) 586,588 Parkinsonism-Plus 109
volunter 292 Shoulder abduction reflief sign, lihat serotonin 68
Sakulus 272 tes abduksi bahu shoulder hand 372
Salin hipertonik 43,400,439 Shoulder hand syndrome, lihat spinalis anterior 403
Saltatory conduction, lihat konduksi sindrom spinalis posterior 403
lompatan Shuffling gait 118 spinalis sentral 403
Sandbag 408 Sianosis 21,556 Single fiber electromyography
Santokrom 50 Sicard's sign, lihat tanda (SFEMGJ 750
Sawar darah otak (SDO) 51,78,234, Sign, lihat tanda Sinkinesia 139,141
324,456,491, Siklus bangun tidur 32 Sinkop 19,447
Schwannoma 328, 332, 341, 342, Silent infarct 61,209 Sintaktik 169-171
711 Simpatomimetik 26,105 Sinus
Secondary insult, lihat kerusakan Sindrom anterior inferior 501
sekunder antifosfolipid 501, 506 dura 501
Secondary Prevention o f Small Sub­ Anton 184 kavernosus 501,502
cortical Strokes (.SPS3j 496,497 area postrema 260 lateral 501,502
Secondary progressive mulitple sclero­ Balint 184 oksipital 501, 502
sis (SPMS), lihat multipel sklerosis Bernhard-Vulpian 757 petrosalis
subtipe Brown-Sequard 403 inferior 501, 502
Sel Bruns-Garland 714 superior 501,502
punca 131 Erb-Duchenne 717 posterior superior
Schwann 136, 678, 679 faset servikal 613 sagitalis
stromal 641, 644,645 flail arm 757 inferior 501-503
target 361, 362,365, 366 flail leg 757 superior 501-503
Selegilin 65,123,127,129 Gertsmann 212 transversus, lihat sinus lateral
Selekoksib 651 Guillain-Barre Siriraj, lihat skor
Selective serotonin reuptake inhibitors Bickerstaff's brainstem en­ Sirkuit
(SSR1) 133,214,221, 564, 606,704 cephalitis (BBEJ 682 Frontal 420,421
Semi-koma 23 diagnosis 682 medial frontal-subkortikal
Semioiogi 85,86,88,91-93 diagnosis banding 685 anterior 420,421
Sendi epidemiologi 677 orbitofrontal-subkortikal lateral
faset 613,624 kelemahan bifasial dengan 420, 421
sakroiliaka 627,628,630,634, parestesia 681 Papez 152
712 neuropati ataksia akut prefrontal-subkortikal dorsolat­
Sensasiberputar 273 682 eral, lihat sirkuit frontal
Sensitisasi oftalmoplegia/ptosis/mid- Sistem

338
Indeks

noradrenergik 17, 552 Somnolen 9, 23, 519 Striatal toe 117


opioid 552 Sorbitol 453 Striatopalidal 112,113
saraf Spasme 83,139, 634 Striatum ventral 111
perifer 7, 663, 667 Spastisitas 372 String sign 507
simpatis 413,434,438 Spinal bulbar muscular atrophy 759 Stroke 59-62,69,445-449,452-473,
otonom 663, 667, 683 Spinal cord injury without radiologi­ 514-526
serotonergik 552 cal abnormality (SCIWORA) 408 Stroke
sinus serebral 45, 501, 502 Spina! muscular atrophy 759 perioperatif 59-62
ventrikel 42,516,527 Spine board 405, 408,409, 411 preoperatif 69
vestibular 272 Spondilitis tuberkulosis 629, 630 Stroke hemoragik
Sisterna Spondilosis 612,620,697 diagnosis 517-519
interpedunkulus 531 Sprouting aksonal 365 diagnsosis banding 517-519
kuadrigeminal 531 Spur 613 epidemiologi 514-515
Sitokin Spurling, lihat tes gejala dan tanda klinis 516-517
cedera kepala 436 Square wave jerk 308 lobaris 516
demensia Alzheimer 199 Stalevo Reduction in Dyskinesia patofisiologi 515-516
edema peritumoral 324 Evaluation in Parkinson Disease tata laksana 519-526
kriptokokus 240 (STRIDE-PD) 128 Stroke iskemik
miopati 725 Standard fo r reporting vascular diagnosis 459-460
multipel slderosis 259 changes on neuroimaging (STRIVE) diagnosis banding 459-460
neuromielitis 250 479 epidemiologi 452-453
nyer anker Status epileptikus (SE) 79, 80,83, gejala dan tanda klinis 458-459
643 98- patofisiologi 453-458
Sitologi 50, 352 epidemiologi 99 tata laksana 460-473
Skala etiologi 99-100 Stroke mimic 445
Jankovic 142 simtomatik 99 Stroke Prevention by Aggressive
koma Glasgow (SKG) 9, 23, 24, kriptogenik 99 Reduction in Cholesterol Levels
392 klasifikasi 98 (SPARCL) 496, 497
Skew deviation 296,301,304, komplikasi 100-101 Stroke-like syndrome 328
Skor konvulsif 98 Strulcturpeka nyeri 39,569,632
ABCD 448 nonkonvulsif 98 Stupor 19, 24, 25, 535
disabilitas GBS, lihat GBS dis­ patofisiologi 100 Subakut-kronik 230, 239,434
ability score prognosis 105 Subcortical white matter 478, 490
Hunt and Hess 534-535 tata laksana 102-104 Subcortical-cortical loops 212
iskemik Hachinski 213 Status migrenosus 571, 576 Subkortikal 211-213,420-421
preoperatif 56 Stenosis Substansi P 100,113, 550, 572, 587,
stroke Karotis 60, 61,468 626
Djunaedi 518 spinalis Iumbalis 631 Substansia
Gajah Mada 518 Stent retriever 465,466,472,473, alba 17, 209, 211, 253,260, 263
Siriraj 518-519 512 nigra 112,289
World Federation ofNeurologi- Stereotactic radiotherapy 334 pars kompakta (SNc) 13,
alSurgeons (WFNS) 534 Steroid 42, 242, 247, 334, 353,413, 109,111-14
krining aspirasi 369 704,722 pars retikulata 111,113,
reep-wake cycle, lihat siklus tidur Stimulus 292
angun nosiseptif 549 Substraksi 7 berantai 158
mall perforating arteries 478 Stimulasi Sudden off, lihat fenomena
mall vessel disease 211, 213,448, nervus vagus (SNV) 87,88 Suhu 21,462, 521
76, 497 sensoris multimodal 371 Sulfadiazin 246, 247
mooth pursuit 286, 290 Stocking Sumatriptan 576,588
gangguan 308-309 anti trombotik 372 Superficial middle cerebral vein 501
direksional Stocking-and-glove 668 Superior oblique myokimia 285
308, 309 Storage disease 730, 738 Supernumerary collaterals 364,365
kraniotopik 308, 309 Strabismus 286,316 Superoxide dismutase 1 (SOD1) 756
retinotopik 308. 309 Straight leg raising test (SLR), lihat Supersensitifitas denervasionaf 362
)dium valproat 578-579 tes Supplementary eye field (SEF) 292
>matognosia 164-165 Straight sinus 501, 502, 503, 505 Supplementary motor area (SMA)
makro- 165 Streptomisin 234,235,237,280 184,186,189,367
mikro- 165 Striata! hand 117 Supranuklear 285-92, 304

339
Buku Ajar Neuroiogi

Swimmer's position 407 intrakrania! 36-44 radiasi 531,641


Synaptic stripping 362 pembukaan, pungsi lumbal 46, rescue 132
Syndrome o f inappropriate secretion 49, 243 reposisi kanalit 280-283
o f antidiuretic hormone (SIADH) venasentrai 411,461,522,543 target 264, 355
235,438-439, 544 Telangiekstasis 22 vestibular rehabilitation therapy
diagnosis 438-439 Temozolamid 334, 335 270
diagnosis banding 438-439 Tendon transfer 723 Termometer nyeri 602
gejala dan tanda klinis 438 Tension-type headache (TTH) 579- Tes
patofisiologi 438 586 abduksibahu 700
tata laksana 439 frequent alternating cover test 297
Syok 6,31,398,408,409 dengan nyeri tekan perikra- cover test (single cover)
niai 579 297cover uncover 297
T tidak berhubungan dengan cross cover 297, 298
T helper 1 (Till) 250,251 nyeri tekan perikranial distraksi leher 700
Tahap 579 graded naming test 171
fluktuasi, Meniere 277 infrequent head-impulse test 276
neural, Meniere 277 dengan nyeri tekan perikra­ head-roll test 276
nial 579 Hirschberg 297, 298
Takizoit 244 tidak berhubungan dengan bitung 749
Talamik-subtalamik paramedian 112 nyeri tekan perikranial ice pack 302, 749
Talamokortikal 112-113,131 579 kalori 28,29,32,433
Talamotomi 131,132 kronik kemampuan menelan 369
Talamus dengan nyeri tekan perikra­ Laseque 700,701, 719
pedunkel anterior 212 nial 579 Lhermitte 699
ventral posterolateral 550 tidak berhubungan dengan maddox rod 297
ventromedial 212 nyeri tekan perikranial orientasi dan amnesia Galvas-
Tanda 579 ton (TOAG) 423
asymmetric target 245 probable 580 Parks-Bielschowsky three steps
battle 14,32,386,396 Teori test 296
Bragard's 701 neurovaskular, pada migren rentang digit 159,178
cord 507 571 digit maju 159,178
dense triangle 507-508 nuklear/sentra! 137 digit terbalik 159,178
direct 507-508 perifer 137 rest 302
empty delta 507-508 vaskular, pada migren 571 reverse straight leg raise test
empty triangle 507-508 Terapi 636
Gowers 728 abortif, migren 575-576 Spurling 699
Halo 396 bridging therapy 62, 65 straight leg raising test, lihatTes
Hyndman's 701 direct swallowing therapy 370 Laseque
Indirect 507, 508 constraint-therapy test o f skew 270,301
jump 629 constraint-induced aphasia uncover test (cover-uncover)
Kernig 701 therapy (CIAT) 374 297
lesi intraorbita 302-303 constraint-induced lan­ upper limb tension test 700
peek 302 guage therapy (CILT) 374 Wartenberg 749-750
rangsang meningeal 26 constraint-induced move­ The Global Burden o f Disease Study
Sicard's 701 ment therapy {CIMT) 374 110
String 507 fisik 566,585,617,637-639 Thermal tactile oral stimulation 370
vonGraefe 303 iPad-based speech therapy Thioflavin S 487
winking owl 350 376-377 Thoracic outlet syndrome 712
Tapering o ff 333 melodic intonation therapy Threshold o f neuronal death 456
TAR DNA-binding protein 43 (TAR- (MIT) 374-375 Thunderclap headache 532,593
DBP) 756 modalitas bahasa 373-374 Thyroid eye disease (TED) 315
Tardive dyskinesia 140 neurointervensi 464-467 Tic douloureux 589
Target availability 366 neurologic music therapy (NMT) Tight junction 240,324
Targeted therapy 264,355 375 Tilts motorik 140,141
Taut saraf otot 733,741-743 nonedikamentosa, migren 576 Timektomi 746, 751
Tuberkulosismilier 230,232 olaipasi 354, 417, 566 Timolol 67, 578
Tekanan perilaku 566, 606 Timoma 745, 749
darah 524, 534, 539 perilaku kognitif 566 Tingkattoleransi nyeri 548, 549

340
Indeks

Tinitus 276,277,433,435 Trigonum femoral 708 pineal 330-331,334,328


Tinta india 50, 52, 241 Triheksifenidil 67,124,128 serebelum 333
Tiopental 104 Trimetoprim-sulfametoksazol (TMP- spinal 51, 337-
Tirah baring 368, 540 SMX] 246-247 diagnosis 349-352
Tiroid oftaimopati 315, 316 Triple M 539-544 diagnosis banding 349-
Toksin botulinum (SoNTJ 133, Tripod position 744 352
141-144 Triptans 576 epidemiologi 337-338
dosis 143 Trojan horse 240 gejala dan tanda klinis
Toksoplasmosis 242, 244-246 Trombektomi mekanik 464-466, 512 346-349
Tonus phenomenon 139 Tromboemboli 446, 506, 523-524 klasifikasi 338-343
Topiramat 89,92, 279, 579 Trombofilia 501,506,512 patofisiologi 343-346
Towel roll 408, 409 Trombolisis tata laksana 352-354
Toxoplasma encephalitis (TEJ 243- intravena 463-465,468, 472 Tumor necrosis factor-a (TNF-aj 229,
247 intraarterial 464-466 240, 642-643
Toxoplasma gondii 244 Trombosis
Trakeostomi 410, 411,460 Septik 499,508 U
Traksi servikal 618, 703, 704 venadalam 416,460,471,518 Uji
Traktus vena serebral prostigmin (neostigmin] 750
neospinotalamikus 550 diagnosis 506-510 tensilon 750
paleospinotalamikus 550-551 diagnosis banding 506- Ulkus decubitus 34-35,68,372,
spinoretikular 550 510 413-414
spinotalamikus 16, 348, 550- epidemiologi 500 Ultrasonografi
553, 599-600 gejala dan tanda ldinis dupleks 140, 510
vestibulospinal 268 503-505 Unfractionated heparin, lihat heparin
Tramadol 511,604-606,652,656 patofisiologi 501-504 United Kingdom Parkinson’s Disease
Tranquilizer 463, 523 tata laksana 510-512 Society Brain Bank 109,121-122
Transcranial doppler (TCD], lihat Trombotik 453,454,481 Unpredictable off, lihat fenomena
Doppler transkranial Trombus 446, 455, 507-508, 511 Upward gaze pa tsy 217
Transcranial magnetic stimulation Trunkus Uremia 19,22,31,101
(TMS) 131,193,368,367,377, inferior 706-707,709,718-721 Utrikulus 272-274, 280-281, 433
Transcutaneus electrical nerve stimu­ medial 706-707,709,720-721
lation (TENS] 704 superior 706-707,709,717- V
Transesophageal echocardiography 718, 720-721 Vascular cell adhesion molecuie
69 Tuberkuloma 227-228,230-232, (VCAM) 725
Transient global amnesia 448 246 Vascular cognitive impairment (VCI)
Transient ischemic attack [TIA] 445 Tuberkulosis, infeksi 227 214
diagnosis 447 diagnosis 232-233 Vascular endothelial growth factor
diagnosis banding 447 diagnosis banding 232-233 (VEGF) 324, 335, 642
epidemiologi 445 epidemiologi 227-228 Vaskulitis 227,480,501,714
gejalaklinis 447 gejala dan tanda klinis 230-232 Vaskulopati 480-481,488-489
patofisiologi 446 komplikasi 235-237 Vasodilatasi 515,571-572,643,722
prognosis 449 patofisiologi 228-230 Vasodilator 42, 541, 543, 587
tata laksana 449 tata laksana 233-236 Vasokonstriktor 63
Transneuronal 362 Tuli perseptif 4 Vasopresin 101, 439
Transpor Tumor Vasopresor 103,113,414-415,461
air 258 cerebellopontine angle 13, 138, Vasospasme 531,541
akson 670, 756 590 Vena
Traumatic perilymph fistula 433 hipofisis 328, 330, 333, 533 basal Rosenthal 501
Traumatic optic neuropathy 426 otak primer 323-335 greater anastomotic vein, lihat
Tremor diagnosis 327-329 vena Trolard
intensi 13 diagnosis banding 327- insula 501
istirahat 13,116,122 329 kapiler 477-478
Trias Cushing 39 epidemiologi 323 medularis 501
Trigeminal autonomic cephalalgias gejala dan tanda klinis profunda 501,510
(TAC) 586 324-327 rolandik 501
Trigeminovaskular 572,587 kfasifikasi 329-332 serebri magna Galen 501, 503
Trigger point 576,582,590, 612,620, patofisiologi 324 striata 501
629 tata laksana 332-335 subependim 501

341
Buku Ajar Neurologi

superfisial 500-501 gejala dan tanda Vitamin D 123,129, 249, 731


Trolard 501 ldinis 275-277 Vitamins to Prevent Stroke
Venereal disease research laboratory patofisiologi 272 (VITATOPS)-MRI 479
(VDRL) 50 tata laksana 279-283 Von Graefe, lihat tanda
Venlafaxin 578 sentral 267-270
Vehous collagenosis 477, 480-481, diagnosis 270 W
490-491 diagnosis banding 270 Waiter's tip position 717
Ventilator-associated pneumonia epidemiologi 267 Wakefulness, lihat keterjagaan
(VAP) 416 gejala dan tanda Warfarin 440, 467-468,511
Minis 269-270 preoperatif 61-62, 65
Ventrieulo-peritonea! shunt (VP patofisiologi 268-269 Warning leaks 533
shunt), lihatpirau ventrikuloperi- tata laksana 270 Watershed area 478
toneai Vestibular rehabilitation therapy, Wearing o ff lihat fenomena
Ventrikel lihat terapi Wernicke, lihat afasia
keempat 39, 45, 47 Vicariation 366 West Nile Virus, lihatvirus
ketiga 45,152 Vili Whiplash injury, lihat cedera
lateral 45 araknoid 25 Wide dynamic range neurons, lihat
Ventrolateral tier 113 subaraknoid 240 neuron
Verapamil 578, 589 Virchow Robin space 489,491 White matter 211,263
Verbal scale 602 Virus White matter hyperintense lesions
Vertigo Epstein-Barr (EBV) 249,678,715 495
non vestibular 267 JC (John Cunningham) 254 White matter lesion 477-479,481,
paroksismalbenignapadaanak 571 West Nile 715 482,489-494
vestibular Visual action therapy (VAT) 375-376 WHO stepladder 567, 649-650
perifer 271-283 Visual analog scale (VAS) 559-561, Winking owl sign, lihat tanda
diagnosis 269-270 602, 616, 648 Working memory, lihat memori
diagnosis banding 278 Visual evoked potential (VEP) 253,426
epidemiologi 270-271 Visuokonstruksi 160,179, 422 X
Visuospasial 161,166 Y
Z
Ziehl-Neelsen 232

342
U NivntsnAS
IN D D N U SI a

\ A K \ n fAS

K liD O K X H R A N

XVJor* V\h^o/| O.

ED ITO R
TIARA ANINDITHA
WINNUGROHO WIRATMAN

D E P A R T E M E N N E U lO iO G I
F A K U & T A S K E D O K T E R A N U N IY E R S IT A S IN D O N E S IA
Buku Ajar Neurologi

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

D ilarang m em perban yak, m en cetak, dan m en erbitkan sebag ian atau seluruh isi buku
ini dengan cava dan dalam ben tu k apapun ju g a tan pa seizin ed ito r dan pen erbit.

BUKU AJAR NEUROLOGI


18x23
Halaman: i -xii / 1-782

Diterbitkan pertama kali oleh:


DEPARTEMEN NEUROLOGI
Fakultas Kedokteran (Jniversitas Indonesia
Rumah SakitCipto Mangunkusumo
Ja k a rta , 2 0 1 7

Cetakan pertama: Maret, 2017

Dicetak pertama kali oleh:


PENERBIT KEDOKTERAN INDONESIA
Tangerang
Email perkisa.indonesia@gmail.com

ISBN: 978-602-74207-4-8

ii
Buku Ajar Neurologi

KONTRIBUTOR
Adre Mayza
Ahmad Yanuar Safri
A1 Rasyid
Amanda Tiksnadi
Astri Budikayanti
Darma Imran
Diatri Nari Lastri
Eva Dewati
Fitri Octaviana
Freddy Sitorus
Henry Riyanto Sofyan
Jan Sudir Purba
Luh Ari Indrawati
Manfaluthy Hakim
Mohammad Kurniawan
Ni Nengah Rida Ariarini
Pukovisa Prawiroharjo
Rakhmad Hidayat
Riwanti Estiasari
Salim Harris
Siti Airiza Ahmad
Taufik Mesiano
Teguh AS Ranakusuma
Tiara Aninditha
Winnugroho Wiratman
Yetty Ramli
Zakiah Syeban
Ade Wijaya
Dyah Tunjungsari
Kartika Ma ha rani
Ramdinal Aviesena Zairinal
Rima Anindita Primandari
Wiwit Ida Chahyani

SEKRETARIS
Intan Nurul Azni
Mumfaridah

ILUSTRATOR
Marshal Sumampouw
Ni Nengah Rida Ariarini
Uti Nilam Sari

COVER
Ni Nengah Rida Ariarini

ill
Buku Ajar Neurologi

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT karena buku ini dapat selesai atas pertolongan dan
rahmatNya. Kami sangat menghargai kerja keras para penyusun dan pihak-pihak lain
yang berkontribusi terhadap terbitnya buku ini. Untuk semua perjuangan yang panjang,
kami ucapkan terim a kasih. Insya Allah buku ini menjadi investasi amal yang terus
m engalir sepanjang kegunaannya.

Perkembangan ilmu neurologi terus berkem bang setiap saat. Selain itu, anggapan selama
ini yang ada di kalangan mahasiswa atau tem an sejaw at adalah ilmu neurologi sulit untuk
dipahami. Kebutuhan akan ketersediaan sum ber kepustakaan yang mudah dimengerti
merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu, Departemen Neurologi FKUI/RSCM
menyusun buku ajar ini, yang diharapkan setelah membacanya, ilmu neurologi menjadi
lebih dimengerti dan semakin tertarik untuk mendalaminya.

Buku ajar ini adalah persem bahan dari kami untuk seluruh mahasiswa kedokteran,
peserta program studi dokter spesialis saraf, dan tem an sejawat, serta orang yang tertarik
m em pelajari ilmu neurologi. Dengan adanya buku ini, semoga kita dapat bersam a-sam a
memajukan ilmu neurologi dan meningkatkan kualitas pelayanan pasien.

Diatri Nari Lastri

Ketua Departemen Neurologi


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

VII
Bulat Ajar Neurologi

W f f l l

KATA PEMGANTAR Guru Besar


Teguh AS Ranakiisuma...................... ........... ..... V
Ketua Departemen
Diatri Nari Lastri...... .......... ................................... vii

21. Tum or Otak Prim er «........ .......................... . 323


Tiara Aninditha, Teguh AS Ranakusuma
22. Tumor S p in al........... ...................................... 337
NE0ROONKOLOGI Tiara Aninditha, Ramdinal Aviesena Zairinal
Teguh AS Ranakusuma

23. Prlnsip D asar N eurorestorasi


Pascaeedera S a ra f......................................... 359
Amanda Tiksnadi, Siti Airiza Ahmad,
NEURORESTORASI Pukovisa Prawiroharjo

24. Cedera K epala.................................................. 383


Yetty Ramli, Ramdinal Aviesena Zairinal
2 5 . Cedera Medula S p in alis................................ 4 0 1
NEUROTRAUMA Adre Mayza, Yetty Ramli
26, Kom plikasi Pascaeedera Kepala............... 4 1 9
Diatri Nari Lastri

IX
Buku Ajar Neurologi

27. Transient Ischem ic A ttack...................... 445


A1 Rasyid, Salim Harris, Mohammad Kurniawan,
--------- Taufik Mesiano, Rakhmad Hidayat

NEUROVASKULAR 28. Stroke Iskemik............................................ 452


Al Rasyid, Rakhmad Hidayat, Salim Harris,
Mohammad Kurniawan, Taufik Mesiano
29. Cerebral Small Vessel D isease................... 476
Salim Harris, Al Rasyid, Mohammad Kurniawan,
Taufik Mesiano, Rakhmad Hidayat
30. Trombosis Vena Serebral.................. . 499
Mohammad Kurniawan, Salim Harris,
Al Rasyid, Taufik Mesiano, Rakhmad Hidayat
31. Stroke Hemoragik............... .................. . 514
Taufik Mesiano, Salim Harris, Al Rasyid,
Mohammad Kurniawan, Rakhmad Hidayat
32. Perdarahan Subaraknoid................ . 527
Rakhmad Hidayat, Salim Harris,
Al Rasyid, Mohammad Kurniawan, Taufik Mesiano

33. Pengantar Nyeri............. ...... .................. . 547


Henry Riyanto Sofyan, RamdinalAviesena Zairinal,
Tiara Aninditha
34. Nyeri Kepala..................................... 569
NYERI
Tiara Aninditha, Al Rasyid
35. Nyeri Neuropatik.......... . 598
Jan SudirPurba, Tiara Aninditha
36. Nyeri Leher..... ...................................... 609
Mohammad Kurniawan
37. Nyeri Punggung Bawah....... ............. 622
Salim Harris, Winnugroho Wiratman,
Ramdinal Aviesena Zairinal
38. Nyeri Ranker.................................... .......... 641
Henry Riyanto Sofyan, Tiara Aninditha

X
Buku Ajar Neurologi

39 . Neuropati ............................. . 663


Winnugroho Wiratman, Ahmad YanuarSafri,
Luh Ari Indrawati, Fitri Octaviana; Manfaluthy Hakim
SARAF TEPI 40. Sindrom Guillain B arre....................... 677
Ahmad YanuarSafri
41. Radikulopati ................ 691
Luh Ari Indrawati, Winnugroho Wiratman,
Ahmad Yanuar Safri, Fitri Octaviana; Manfaluthy Hakim

42. Pleksopati............... ............... .................. . 706


Manfaluthy Hakim, Luh Ari Indrawati,
Winnugroho Wiratman
43. Pendekatan Diagnosis Miopati................ 724
Luh Ari Indrawati, Winnugroho Wiratman,
Ahmad YanuarSafri, Fitri Octaviana, Manfaluthy Hakim
44. Miastenia Gravis....... ............. .................. 741
Manfaluthy Hakim, Ahmad Yanuar Safri,
Winnugroho Wiratman
45. Motor Neuron Disease........................... 755
Fitri Octaviana, Ahmad Yanuar, Luh Ari Indrawati,
Winnugroho Wiratman, Manfaluthy Hakim

INDEKS
NEURO O NKOLOGI
Tumor Otak Primei
Tumor Spinal
TUMOR OTAK PRIM ER

Tiara Aninditha, Teguh AS Ranakusuma

PENDAHULUAN lakukan, ter utama jika tumor berada di area


Insidens tumor di susunan saraf pusat tidak- yang fungsionai, ukurannya terlalu besar,
lah setinggi tumor-tumor sistemik lainnya, atau sulit dijangkau. Adanya sawar darah
tetapi merupakan 10 terbesar penyebab otak juga membatasi pilihan kemoterapi,
kematian akibat keganasan sistemik. Pasien tidak seperti pada keganasan lain yang bisa
sering datang dalam keadaan tumor yang diberikan secara sistemik, Sementara otak
sudah sangat besar, padahal tumor yang dan vertebra merupakan organ yang sering
ideal adalah pada ukuran yang seminimal menjadi target m etastasis dari tumor lain.
mungkin sehingga akan memberikan luaran Hal-hal tersebut mendasari pentingnya de-
yang baik. teksi dini klinis kecurigaan adanya tumor
di SSP, baik primer maupun sekunder, oleh
Tumor otak mempunyai beberapa keunik-
karena tata laksana pada massa yang ber-
an sehingga memerlukan pendekatan yang
ukuran kecil akan memberi prognosis yang
berbeda dibanding keganasan di tempat
jauh lebih baik dibandingkan saat tumor su­
lain. Dengan lokasinya yang berada di rong-
dah menimbulkan berbagai defisit neurologis.
ga yang tertutup, maka semua jenis tumor
yang menyebabkan lesi desak ruang akan
EP1DEMIOLOGI
menyebabkan defisit neurologis. Massa tu­
Secara umum berdasarkan data Central Brain
mor juga dapat tumbuh di mana saja, se­
Tumor Registry o f the United States (C8TRUS)
hingga walaupun ukurannya kecil, tetapi
tahun 2007-2011, meningioma merupakan
jika berada di lokasi yang fungsionai harus
tumor tersering hingga lebih dari 35% dari
segera ditatalaksana tanpa memperhatikan
seluruh tumor otak primer usia dewasa,
derajat keganasannya. Selain itu, massa tu­
diikuti glioblastoma [16% ]. Di Amerika
mor juga menyebabkan edema di sekitarnya
Serikat, tumor otak termasuk dalam 10 pe­
serta dapat menekan sistem ventrikel se­
nyebab kematian tersering yaitu 1,4% dari
hingga terjadi hidrosefalus, yang kesemua-
seluruh keganasan dan 2,4% dari seluruh ke­
nya akan meningkatkan tekanan intrakranial
matian akibat keganasan. Data Riset Kesehatan
(T1K] dan mengancam nyawa.
Dasar (Riskesdas] 2013 tidak memberikan
Prinsip utama tumor secara umum adalah keterangan spesifik mengenai angka kejadian
reseksi semaksimal mungkin, bahkan sam- tumor otak di Indonesia. Namun, di Departe-
pai tepi sayatan bebas tumor. Namun pada men Neurologi RSUPN Cipto Mangunkusumo,
tumor otak, hal ini tidak selalu dapat di- selama tahun 2011-2015 didapatkan rerata

323
Buku Ajar Neurologi

usia pasien 48 (18-74) tahun dengan proporsi flamasi yang menyebabkan kerusakan pada
perempuan sedildt lebih banyak dibandingkan okludin, suatu protein tight junction antar
laki-laki (55,6% vs 44,4%). Mayoritas tumor endotel. Hal ini menyebabkan pembuluh da­
primer adalah astrositoma (47%) diikuti me­ rah yang terbentuk tidak sama morfologinya
ningioma (26%). Data di RS Kanker Dharmais dengan yang normal, antara lain hilangnya
pada tahun 1993-2012 menunjukkan insidens tight junction antar endotel dan tidak utuh-
tumor otak sebesar 1% dari seluruh kegana- nya membran basalis, yang disebut sebagai
san, juga terutama golongan glioma (67,4%) keadaan rusaknya sawar darah otak (SDO)
dan meningioma (16,3%). atau blood brain barrier (BBB). Pada ke­
adaan tersebut, terjadi ekstravasasi cairan
PATOFISIOLOGI ke sekitar jaringan tumor (edema peritu-
Pada prinsipnya tumor otak merupakan ha- moral), sebagai suatu edema vasogenik. Hal
sil akhir dari onkogenesis, yaitu suatu proses inilah yang menyebabkan lesi desalt ruang
transformasi sel normal menjadi kanker. Hal menjadi peningkatan tekanan intrakranial,
ini diakibatkan oleh ketidakseimbangan an- adanya edema seiring dengan penambahan
tara pembuatan sei-sel baru pada sildus sel ukuran massa tumornya.
dengan hilangnya sel-sel lama akibat kema-
Tumor glia atau glioma merupakan tumor
tian terprogram (apoptosis). Ketidakseim­
dari jaringan penunjang, seperti astrosito­
bangan ini merupakan hasil dari mutasi
ma berasal dari sel astrosit, oligodendrogli­
genetik pada 3 kelompok protein, yaitu 1)
oma dari oligodendrosit, dan ependimoma
protoonkogen, yang berperan pada pencetus
dari sel ependim. Adapun meningioma ber­
pertumbuhan dan diferensiasi sel normal,
asal dari sel meningotel araknoid. Deraj at
2) tumor suppressor genes, penghambat per­
keganasan masing-masing tumor dinilai
tumbuhan dan pengatur apoptosis, serta 3)
menurut kriteria WHO berdasarkan tingkat
kelompok gen perbaikan DNA. Mutasi pro­
proliferasi dan keaktifan bermitosis, muiai
toonkogen disebut sebagai onkogen, meng-
dari derajat I yang tingkat proliferasinya
hasilkan protein yang jumlahnya dalam batas
paling rendah hingga derajat IV yang paling
normal tetapi molekulnya mengalami mutasi
aktif bermitosis dan dianggap ganas.
sehingga efek biologiknya tidak sama dengan
yang normal, atau dapat fungsinya normal GEJALA DAN TANDA KLINIS
tetapi jumlahnya berlebihan. Gambaran klinis memang sangat bervariasi
tergantung pada letak tumor. Namun ber­
Pertumbuhan sel yang abnormal secara
dasarkan prinsip adanya efek desak ruang
terus menerus akan menyebabkan vasku-
dari massa yang tumbuh progresif di rongga
larisasi dari pembuluh darah host tidak
kompartemen tertutup, maka sebenarnya
mencukupi, sehingga terjadi hipoksia. Hal
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti
ini memicu sel tumor mensekresi vascu­
dapat menjadi alat deteksi dini yang efektif.
lar endothelial growth factor (VEGF) untuk
Alarm utama sistem saraf kita adalah nyeri.
merangsang pembentukan pembuluh darah
Dengan bertambahnya tekanan di intrakra­
baru atau angiogenesis (Gambar 1). Selain
nial akibat massa di manapun letaknya, akan
itu sel tumor memnsekresi sitokin proin-

324
Tumor Otak Primer

0 Fftklor-fektof angiogerek

Gambar 1. Proses Terjadinya Edema Peritumoral

terjadi peregangan meningen yang merang- dan sinus, sehingga bisa jadi nyeri hebat ti-
sang reseptor nyeri di sekitarnya dan menye- dak sesuai dengan efek desak yang minimal.
babkan nyeri kepala. Gejala ini merupakan
Nyeri kepala akibat tumor intrakranial harus
gejala utama [90% ] pada tumor intrakranial.
bisa dibedakan dengan nyeri kepala primer.
Semua gejala klinis tumor otak adalah ber- Sesuai dengan pertumbuhan massa, maka
landaskan pada efek desak ruang. Tekanan nyeri akan terasa makin lama maldn berat,
di intrakranial dipertahankan konstan se- terutama jika ada penambahan volume ke
suai dengan hukum Monroe Kelly dengan intrakranial seperti setelah aktivitas fisik,
memodifikasi aliran darah dan cairan se- malam atau pagi hari, dan saat batuk atau
rebrospinal. Oleh karena itu, penambahan mengedan. Pada awal nyeri kepala masih hi-
massa yang minimal masih dapat ditoleran- lang timbul, kemudian nyeri akan lebih sering,
si oleh otak dan belum menyebabkan gejala. terlokalisir pada satu area tertentu. Saat nyeri
fika massa terus membesar, meningen akan menetap dan memberat berarti daya kom-
meregang sehingga merangsang reseptor pensasi otak sudah berkurang, biasanya mu-
nyeri. Efek desak ruang bukan hanya ditim- lai muncul defisit neurologis. Jika hal ini ma­
bulkan oleh massa, namun juga oleh edema sih belum terdeteksi, maka bisa jadi pasien
di sekitarnya, sehingga lebih mudah menye­ datang dengan gejala peningkatan tekanan in­
babkan peningkatan tekanan intrakranial trakranial, nyeri kepala hebat disertai muntah
(Gambar 2]. Selain itu, nyeri juga dapat me­ serta penurunan kesadaran yang merupakan
nyebabkan regangan pada pembuluh darah tanda-tanda herniasi serebi (Gambar 2].

325
Bukit Ajar Neurolog i

Falks serebrl
Grrus cmgulr
Ventrlkel otak

Tentorium y /C
serebeir

Sim s hfpokampus
Tam il screbelum Perdarahan
M«fufa oblongata Herniasi transforaminal

Gambar 2. Efek Lesi Desak Ruang dari Tumor Otak

Pada peningkatan volume intrakranial, di yang begitu keluar dari rongga orbita lang-
manapun massanya, tekanan akan diter- sung diselimuti oleh meningen. Tekanan
uskan ke segala arah, sehingga meregang- yang mulai meningkat secara progresif akan
kan meningen, termasuk saraf kranial yang menyebabkan jeratan pada nervus tersebut
melintasinya. Nervus abdusens merupakan sehingga terjadi papiledema.
saraf yang terpanjang melewati area subarak-
Penilaian jaras visual dapat menjadi salah
noid di antara saraf kranial lainnya. Maka
satu alat penapis klinis oleh karena letaknya
pada pasien-pasien dengan keluhan nyeri
yang membentang mulai dari bola mata di
kepala berulang bisa ditanyakan adanya ke-
bagian anterior hingga lobus oksipital di dae-
iuhan pandangan ganda atau diplopia teru-
rah posterior sebagai area persepsi visual.
tama saat melihat jauh, dilanjutkan dengan
Selain itu, terdapat pula radiasio optika yang
pemeriksaan nervus VI yang teliti untuk
'mengisi’ parenkim dari bagian tengah ke be-
mencari adanya paresis secara minimal.
lakang, ke arah superior dan inferior. Maka
Demikian pula dengan nasib nervus optikus
keluhan pandangan buram, pemeriksaan

326
Tumor Otak Primer

visual, fundus, dan lapang pandang merupa- membutuhkan pemeriksaan pencitraan le­
kan paketyang wajib dinilai untukmendeteksi bih lanjut dengan pemberian kontras. Hal
adanya massa kecil di intrakranial ini biasanyaterjadi pada tumor jenis oligoden­
droglioma atau astrositoma derajatrendah.
Fungsi otak utama adalah fungsi kognitif
yang bisa terlihat pada hampir semua area DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
di setiap lobus baik depan belakang, kanan Diagnosis pasti tumor otak adalah dengan
dan kiri mempunyai peran dalam fungsi biopsi. Namun diperlukan anamnesis dan
tersebut. Oleh karena itu, perubahan fungsi pemeriksaan fisik untuk dapat membuat
kognitif sebenarnya dapat menjadi penapis dugaan tumor otak agar sebelumnya dapat
yang sering terlupakan oleh defisit neu- dilakukan pemeriksaan pencitraan baik CT
rologis lain yang terlihat secara kasat mata. scan maupun MRI dengan pemberian zat kon­
Gangguan kognitif sebagai awal gejala mun- tras. Sesuai dengan patofisiologi terjadinya
cul hingga 30%, setara dengan sakit kepala, kerusakan sawar darah otak oleh sel tumor,
lebih tinggi dibanding kelemahan motorik. maka zat kontras akan keluar dari pembu-
Pada pasien yang berpendidikan tinggi atau luh darah dan menunjukkan gambaran pe-
masih aktif bekerja dapat ditanyakan kapan nyangatan pada pencitraan. Oleh karena itu,
mulai merasa aktivitasnya 'terganggu' atau jika pencitraan dilakukan tanpa pemberian
keluarga melihat adanya 'perbedaan' dalam zat kontras, maka gambaran lesinya menjadi
kegiatan sehari-hari, yang seminimal mung- kurang jelas karakteristiknya untuk menentu-
kin seperti gangguan atensi, perubahan kan dugaan tumor atau bahkan lesinya menjadi
emosi, dan sebagainya. Hal ini dapat ditin- tidak terlihat
daklanjuti minimal dengan pemeriksaan
Anamnesis yang khas pada dugaan tumor
Mini Mental Status Examination (MMSE),
otak adalah adanya gejala yang kronik pro-
Montreal Cognitive Assessment [MoCA] versi
gresif. Berdasarkan patofisiologinya juga,
Indonesia (MoCA-Ina] atau pemeriksaan
terdapat perbedaan gejala Minis pada tu­
fungsi kognitif lengkap untuk memastikan
mor yang menyebabkan efek desak ruang
gangguannya.
dengan tumor yang terutama menyebabkan
Area otak yang juga cukup luas untuk dica- gangguan fungsional. Pada tumor yang me­
ri adanya efek desak ruang adalah korteks nyebabkan efek desak ruang, seperti me­
yang melapisi seluruh parenkim. Sesuai ningioma atau astrositoma derajat tinggi,
dengan patofisiologinya, adanya lesi di gejala klinis biasanya dimulai dengan sakit
korteks dapat menimbulkan kejang. Kelu- kepala dan diikuti defisit neurologis lain-
han ini bisa tidak disadari oleh pasien atau nya. Namun pada tumor yang terutama
keluarga karena bentuk kejang yang bisa menyebabkan gangguan fungsional seperti
berbeda-beda sesuai dengan area yang ter­ astrositoma derajat rendah, gejala biasanya
ganggu sehingga perlu anamnesis tersendi- berupa kejang atau gangguan fungsi luhur
ri. Oleh karena itu, kejang pertama kali pada setelah beberapa lama, baru diikuti dengan
usia dewasa atau tua tanpa demam harus sakit kepala atau defisit neurologis lainnya.
dicurigai adanya tumor di intrakranial yang

327
Buku Ajar Neurologi

Pemeriksaan fisik perlu dimulai dari tanda Berdasarkan efek desak ruangnya, maka di­
vital untuk menentukan ada tidaknya tanda agnosis banding tumor otak tersering adalah
peningkatan tekanan intrakranial. Peme­ lesi lain yang menyebabkan proses pening­
riksaan neurologis juga hams disertai fun- katan tekanan intrakranial secara progresif,
duskopi untuk menilai papiledema. Pada seperti tuberkuloma, abses intrakranial, atau
tumor-tumor daerah khusus, seperti tumor toksoplasma ensefalitis. Oleh karena itu per­
hipofisis, pineal atau serebelum, diperlukan lu dicari adanya tanda-tanda infeksi sistemik,
pemeriksaan neurooftalmologi untuk me­ seperti tuberkulosis, human immunodefi­
nilai adanya gangguan visus dan lapangan ciency virus (HIV), atau sumber infeksi lain­
pandang, deviasi konjugat, atau nistagmus. nya dari telinga, hidung, gigi, dan sebagainya.
Sistem lainnya yang juga penting mencakup Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
hampir seluruh area otak adalah gangguan teliti, dapat dilakukan pemeriksaan magnetic
fungsi luhur yang biasanya sering tidak ter- resonance spectroscopy [MRS] bersamaan
deteksi. Pada meningioma lobus frontal yang dengan MRI untuk menilai metabolit infeksi
tumbuh perlahan-lahan, gangguan fungsi dan neoplasma berdasarkan rasio cholin dan
luhur merupakan gejala utama sebelum N-as eti 1-asp artat (NAAj di area lesi.
munculnya defisit neurologis klasik lainnya.
Pada tumor juga dapat terjadi perdarahan
Pemeriksaan pencitraan merupakan peme­ akibat hipervaskularisasi yang rentan, se-
riksaan penunjang yang paling penting untuk hingga menyebabkan gejala klinis dan gam­
mempertajam dugaan diagnosis. MRI dengan baran CT scan seperti stroke hemoragik. Na­
segala fiturnya dapat membantu memberi- mun hal ini dapat dikenali jika didapatkan
kan gambaran tumor dengan kecurigaan ga- anamnesis adanya sakit kepala sebelumnya,
nas berdasarkan kuatnya penyangatan kon- sehingga dilakukan CT scan kepala dengan
tras, densitas yang inhomogen, serta luasnya kontras. Demikian pula adanya hiperkoagu-
edema peritumoral di sekitarnya. Demildan lasi pada keganasan dapat menyebabkan
pula berdasarkan letaknya di intraparenkim gejala akut seperti stroke [stroke-like syn­
(intra-aksial) dapat ditentukan kemung- drome ). Adanya hiperkoagulasi semacam itu
kinan suatu astrositoma atau di luar pa- biasanya ditemukan pada tumor metastasis
renkim (ekstra-aksial] sebagai meningioma, yang juga terdapat tumor primer di organ
schwannoma, dan metastasis leptomeningeal. lain, sehingga dapat dideteksi dari anamne­
sis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Gejala
MRI lebih unggul dalam menggambarkan
akut pada tumor otak primer juga dapat dite­
kelainan struktural secara detil terutama
mukan pada pasien pascakejang yang menga-
untuk lesi yang kecil, bukan hanya untuk
Iami edema peritumoral, sehingga didapatkan
diagnosis, namun juga penilaian pascara-
defisit neurologis seolah-olah mendadak. Na­
dioterapi dan adanya rekurensi. Walaupun
mun hal ini juga dapat ditelaah dari anamne­
demikian, pada tumor-tumor yang menun-
sis dengan menanyakan gejala soft sign yang
jukkan gambaran kalsifikasi, seperti pada
mungkin sudah ada sebelum kejang, seperti
oligodendroglioma, akan terlihat lebih jelas
gangguan fungsi luhur.
pada CT scan dibanding MRI.

328
Tumor Otak Primer

Kesemua analisis tersebut penting dilakukan KLASIFIKASI


untuk mendapat dugaan yang lebih jelas, bu- Berdasarkan Idasifikasi WHO tahun 2007,
kan hanya tumor otak secara umum, namun tumor otak digolongkan menurut temuan
termasuk kemungkinan jenisnya walaupun histopatologis (Tabel 1). Namun saat ini Ida­
belum dipastikan dengan biopsi. Hal itu ter- sifikasi WHO tahun 2016 dibedakan secara
utama untuk edukasi terhadap pasien agar biomolekular untuk kepentingan tata laksana
mau dilakukan tindakan operatif. Dugaan ini dan prognosis, seperti adanya mutasi isoci­
juga diperlukan termasuk untuk memper- trate dehydrogenase (IDH)-l dan 2, serta p53.
siapkan pasien jika harus dirujuk ke kota be- Pada oligodendroglioma anaplastik dengan
sar yang membutuhkan dana dan dukungan delesi kromosom lp mempunyai prognosis
dari keluarga. yang lebih baik terhadap terapi dibandingkan
yang kromosom lpnya intak (Tabel 2}.

Tabel 1. Klasifikasi Tumor Otak (WHO Tahun 2 0 0 7 )


I 11 III IV
Tum or Astrosit
Astrositoma sel subependimal besar X
Astrositoma pilositik X
Astrositoma pilomiksoid X
Astrositoma difus X
Xantoastrositoma pleomorfik X
Astrositoma anaplastik X
Glioblastoma X
Glioblastoma sel besar X
Gliosarkoma X
Tum or Oligondendroglia
Oligodendroglioma X
Oligodendroglioma anaplastik X
Tumor Oligoastrosit
Oligoastrositoma X
Tumor Ependim
Subependimoma X
Ependimoma miksopapilari X
Ependimoma X
Ependimoma anaplastik X
Tumor Pleksus Koroid
Papiloma pleksus koroid X
Papiloma pleksus koroid atipikal X
Karsinoma pleksus koroid X
Tum or Neuroepitel lain
Glioma angiosentrik X
Glioma koroid ventrikel tiga X

329
Baku Ajar Neurologi

T abel 1. K lasifikasi T u m or O tak (WHO Tahun 2 0 0 7 ), (Lanjutan)


I II III IV
T u m or N euron dan Cam puran Neuron-Glia
Gangliositoma X
Ganglioglioma X
Ganglioma anaplastik X
Ganglioma dan astrositoma desmoplastik X
infantil
Tumor neuroepitel disembroplastik X
Neurositoma sentral X
Neurositoma ekstaventrikular X
Liponeurositoma serebelum X

Paraganglioma medula spinalis X


Tumor glioneuron papilari X
Tumor glioneuron bentuk roset ventrikel X
empat
T u m or Pineal
Pineositoma X
Tumor parenkim pineal diferensiasi X X
menengah
Pineoblastoma X
Tumor papilari region pineal X X
T u m or Em brional
Meduloblastoma X
Tumor neuroektodermal primitif sistem X
saraf pusat
Tumor teratoid/rabdoid atipikal
T u m o r S a ra f P arasp in al dan K ranial
Schwanoma X
Neurofibroma X
Perineurioma X X X
Tumor selubung saraf perifer ganas X X X
T u m or M eningen
Meningioma X
Meningioma atipikal X
Meningioma anapiastik/ganas X
Hemangioperisitoma X
Hemangioperisitoma anaplastik X
Hemangioblastoma X
T u m or Regio Sella
Kraniofaringioma X
Tumor sel granula neurohipofisis X
Pituisitoma X
Onkositoma sel spindel adenohipofisis X
Sumber: Molnar P. Intech. 2011. h. 3-22.

330
Tumor Otak Primer

Tabel 2. Klasifikasi Tumor Otak (WHO, 20 1 6 )


A strositik Difus dan Tumor , Tumor Glial Neuronal dan Neuronal Campuran
Kode
__________Olieodendrogliai______________ ° e __________________________________________________
Astrositoma Difus, IDH-mutan 9400/3 Tumor neuroepitelial disembrioplastik 9413/0
Astrositoma Gemistositik, IDH-mutan 9411/3 Gangliositoma 9492/0
Astrositoma Difus, IDH-tipe liar 9400/3 Ganglioglioma 9505/1
Astrositoma Difus, NOS 9400/3 Ganglioglioma anaplastik 9505/3
Gangliositoma serebelar displastik (Lhermitte-Duclos) 9493/0
Astrositoma anaplastik, IDH-mutan 9401/3 Astrositoma desmoplastik infantil dan ganglioglioma 9412/1
Astrositoma anaplastik, IDH-tipe liar 9401/3 Tumor glioneuronal papilar 9509/1
Astrositoma anaplastik, NOS 9401/3 Tumor glioneuronal Rosette-forming 9509/1
Tumor glioneuronal leptomeningeal difus
Glioblastoma, IDH-tipe liar 9440/3 Neurositoma sentral 9506/1
Glioblastoma sel raksasa 9441/3 Neurositoma ekstraventrikular 9506/1
Gliosarkoma 9442/3 Liponeurositoma serebelar 9506/1
Glioblastoma epiteloid 9440/3 Paraganglioma 8693/1
Glioblastoma, IDH-mutan 9445/3*
Glioblastoma, NOS 9440/3 Tumor Pineal
Pinesitoma 9361/1
Glioma menengah terdifusi, H3 K27M- 9385/3* Tumor parenkimal pineal diferensiasi intermediat 9362/3
mutan
Pineoblastoma 9362/3
Oligodendroglioma, IDH-mutan dan 9450/3 Tumor papilari pineal 9395/3
lp/19q-code/eted
Oligodendroglioma, NOS 9450/3
Tumor Embrional
Oligodendroglioma anaplastik, IDH- 9451/3 Medulloblastoma, genetik
mutan dan lp/19q-code/eted
Oligodendroglioma anaplastik, NOS 9451/3 Medulloblastoma, WNT-teraktivasi 9475/3*
Medulloblastoma, SHH teraktivasi dan TP53-mutan 9476/3*
Oligoastrositoma, NOS 9382/3 Medulloblastoma, SHH teraktivasi dan TP53-tipe liar 9471/3
Oligoastrositoma anaplastik, NOS 9382/3 Medulloblastoma, non-WNT/non-SHH 9477/3*
Medulloblastoma, grup 3
Tumor A strositik Lain Medulloblastoma, grup 4
Astrositoma pilositik 9421/1 Medulloblastoma, histologis
Astrositoma pilomiksoid 9425/3 Medulloblastoma, klasik 9470/3
Astrositoma sel raksasa subependimal 9384/1 Medulloblastoma, desmoplastik/nodular 9471/3
Xantoastrositoma pleomorfik 9424/3 Medulloblastoma dengan nodul yang iuas 9471/3
Xantoastrositoma pleomorfik anaplastik 9424/3 Medulloblastoma, sel besar/ anaplastik 9474/3
Medulloblastoma, NOS 9470/3
Tumor Ependimal
Subependimoma 9383/1 Tumor embrional dengan rossette berlapis, C19MC-berubah 9478/3*
Ependimoma miksopapilari 9394/1 Tumor embrional dengan rossette berlapis, NOS 9478/3
Ependimoma 9391/3 Meduloepitelioma 9501/3
Ependimoma papilari 9393/3 Neuroblastoma CNS 9500/3
Ependimoma clear cell 9391/3 Ganglioneuroblastoma CNS 9490/3
Ependimoma tanisitik 9391/3 Tumor embrional CNS, NOS 9473/3
Ependimoma, RELA fusi-positif 9396/3* Teratoid atipikal/tumor rhabdoid 9508/3
Ependimoma anaplastik 9392/3 Tumor embrional CNS dengan rhabdoid 9508/3
Glioma Iain Tum or Kranial dan saraf Paraspinal
Glioma kordoid pada ventrikel ketiga 9444/1 Schwannoma 9560/0
Glioma angiosentrik 9431/1 Schwannoma selular 9560/0
Astroblastoma 9430/3 Schwannoma plexiform 9560/0

Tumor Pleksus Koroid


Papiloma pleksus koroid 9390/0
Papiloma pleksus koroid atipikal 9390/1
Karsinoma pleksus koroid 9390/3
Sumber: Louis DN, dkk. Acta Neuropathol. 2016. h. 803-20.

331
Buka Ajar Neurologi

Berdasarkan epidemiologinya, tumor ter- dapat bertahan cukup lama dengan gejala
sering adalah astrositoma dan meningioma. sisa yang minimal.
Goiongan astrositoma tersering adalah de-
TATA LAKSANA
rajat tinggi [high grade), terutama glioblas­
Pada prinsipnya pada tumor otak terbagi
toma, sekitar 38% dari tumor otak keselu-
atas terapi simtomatik, definitif, dan paliatif.
ruhan. Tumor ini termasuk ganas, sehingga
Hal ini dilakukan secara bersama dalam tim
gejala klinis biasanya dalam waktu hitungan
yang multidisiplin disertai pembicaraan un-
bulan dengan defisit neurologis yang berat,
tuk menentukan kesepakatan bersama. Un-
serta gambaran MRI yang khas bisa berupa
tuk menjalani itu semua, pasien harus kuat
kistik, nekrosis, atau perdarahan, dan ede­
secara mental dengan dukungan penuh dari
ma yang luas. Prognosis biasanya buruk,
keluarga. Pasien dengan tumor otak dapat
kecuali jika dapat dideteksi dini dan ditata
mengalami gangguan psikiatri hingga 78%,
laksana segera dikatakan dapat memper-
baik bersifat organik akibat tumornya atau
panjang kesintasan.
fungsional yang berupa gangguan penye-
Meningioma merupakan tumor kedua ter­ suaian, depresi, dan ansietas. Hal ini dapat
sering, terutama pada perempuan, dikatakan menghambat proses terhadap pasien.
berkaitan dengan hormon estrogen dan pro-
Oleh karena itu, diperlukan pendampingan
gesteron. Mayoritas (90% ) tumor ini jinak
bersama dengan sejawat Psikiatri mulai
(derajat I) dan mempunyai prognosis yang
dari menyampaikan informasi tentang diag­
baik jika dapat direseksi total. Mengingat le-
nosis dan keadaan pasien [breaking the bad
taknya yang dapat jauh di dalam, seperti dae-
news) melalui pertemuan keluarga [family
rah basis kranii atau klivus, maka kadang ter-
meeting) dan pada tahap-tahap pengobatan
jadi residu tumor yang dapat menyebabkan
selanjutnya. Perlu juga dilakukan penilaian
rekurensi. Sejauh ini belum ada kemoterapi
fungsional menggunakan Karnofsl<y perfor­
yang tepat dan tumor juga tidak terlalu bere-
mance score (Tabel 3), saat awal masuk dan
spons terhadap radioterapi. laju tumbuhnya
keluar dari perawatan, untuk menentukan
yang sangat lambat, maka kadang pasien
prioritas terapi yang akan diberikan.
Tabel 3, Nilai Kinerja Karnofsky
Skor________________________________________ Keterangan_________________________________ ___
100 Normal, tidak ada keiuhan, tidak ada penyakit
90 Mampu beraktivitas normal, tanda dan gejala penyakit sedikit
80 Aktivitas normal dengan sedikit kesukaran, menunjukkan beberapa tanda dan gejala penyakit
70 Mampu menjalankan keperluan sendiri, tidak mampu beraktivitas
normal/melakukan pekerjaan
60 Kadang memerlukan bantuan, namun mampu menjalankan keperluan sendiri
50 Memerlukan bantuan dan pertolongan medis yang cukup sering
40 Tidak mampu merawat diri sendiri, butuh perawatan, dan bantuan khusus
30 Sakitberat, indikasi perawatan di rumah saldt
20 Sakit sangat berat, butuh dirawat inap, dibutuhkan bantuan aktif
10 Sekarat, proses fatal, berkembang cepat
0 Meningeal________________________________________________________________________________ _
Sumber: Yates ]W, dkk. Cancer. 1980. h. 2220-4.

332
Tumor Otak Primer

Terapi Simtomatik nomenon , sehingga dilakukan penurunan


Pasien dengan tumor otak bisa datang secara bertahap ( tapering off), Penurunan
dalam keadaan peningkatan TIK, sehingga dilakukan sebanyak 20% dari dosis harian
harus ditatalaksana segera. Perlu dilakukan setiap 3-5 hari tergantung keadaan klinis.
analisis penyebab peningkatan tekanannya Sebaliknya dosis juga dapat dinaikkan jika
segera berdasarkan gambaran klinis dan dianggap terjadi perburukan klinis akibat
imajing, karena berbeda tatalaksananya. edemanya. Manitol tidak dianjurkan diberi-
Gejala peningkatan TIK akibat ukuran masa kan karena dapat memperburuk edema,
tumor yang besar biasanya berlangsung kecuali bersamaan dengan deksametason
secara perlahan dalam durasi yang lama pada situasi yang berat atau pascaoperasi.
dalam hitungan minggu atau bulan, memer-
Hidrosefalus biasanya ditemukan akibat
lukan tindakan operatif segera. Namun jika
penekanan ventrikel oleh tumor di daerah
gejala berlangsung singkat dalam hitungan
sella, pineal, serebelum, atau intraventrikel
jam atau hark maka peningkatan TIK bi­
itu sendiri. Dapat dilakukan pemasangan
asanya disebabkan oleh edema peritumoral
pirau ventrikuloperitoneal ( ventriculoperi-
atau hidrosefalus akibat sumbatan sistem
toneal/V P shunt) segera untuk menurun-
ventrikel. Bahkan peningkatannya juga bisa
kan TIK sebelum kemudian dilakukan reseksi
berlangsung mendadak menyerupai gejala
tumor penyebabnya. Pada tumor berdarah,
stroke, yang ditemukan pada tumor berda-
dapat terjadi edema sitotoksik bercampur
rah seperti apopleksia hipofisis, astrosito-
dengan edema vasogenik, sehingga jika belum
ma derajat tinggi yang kaya akan pembuluh
terjadi perbaikan klinis yang signifikan setelah
darah yang rapuh, atau tumor metastasis.
pemberian deksametason dapat dilanjutkan
Penyebab peningkatan TIK tersering adalah dengan pemberian manitol 25-50mg dalam
edema vasogenik, sesuai dengan patofisiologi solusio 20% intravena selama 10-20 menit.
tumor untuk cenderung menyebabkan ede­
Efek samping pemberian steroid yakni gang-
ma di sekitarnya. Obat pilihan utama adalah
guan toleransi glukosa, stress-ulcer , miopati,
kortikosteroid golongan deksametason dosis
perubahan mood, peningkatan nafsu makan,
tinggi, loading lOmg IV dilanjutkan dosis ru-
Cushingoid, dan sebagainya. Sebagian besar
matan 16-20mg/hari dan dapat dinaikkan
dari efek samping tersebut bersifat reversi-
dosisnya. Secara teori dosis maksimal bisa
bel apabila steroid dihentikan. Selain efek
hingga 96mg/hari, namun kenyataannya do­
samping, hal-hal yang perlu diperhatikan
sis 30mg/hari juga sudah berefek bermakna.
dalam pemberian steroid yakni interaksi
Pemberian antiedema ini sebenarnya bersifat
obat. Kadar antikonvulsan serum, seperti
sementara sambil mempersiapkan pasien
fenitoin dan karbamazepin dapat dipenga-
untuk tindakan operatif. Namun kenyataan­
ruhi oleh deksametason, sehingga membu-
nya persiapannya sering cukup lama.
tuhkan pemantauan.
Pada pemberian lebih lebih dari 5-7 hari,
Epilepsi merupakan kelainan yang sering
steroid tidak boleh dihentikan tiba-tiba
ditemukan, 30% sebagai manifestasi awal
karena dapat menyebabkan rebound phe­
dengan bentuk bangkitan tersering adalah

333
Buku Ajar Neurologi

bangkitan fokal dengan atau tanpa perubah- sensitif seperti tumor pineal, germ cell, as­
an menjadi umum sekunder. Oleh karena trositoma derajat tinggi, dan metastasis
tingginya tingkat rekurensi bangkitan, maka otak. Pada tumor yang letak dalam dilakukan
harus diberikan obat antiepilepsi (OAE) steretotactic radiotherapy atau radiosurgery.
yang ditentukan berdasarkan pertimbangan
Kemoterapi untuk tumor otak lebih terbatas
profil efelt samping, interaksi obat, dan bi-
pilihannya, karena harus dapat menembus
aya. OAE golongan lama seperti fenitoin dan
sawar darah otak. Tujuannya untuk meng-
karbamazepin kurang dianjurkan karena
hambat pertumbuhan tumor dan mening-
dapat berinteraksi dengan deksametason
katkan kualitas hidup [quality o f life) pasien
dan kemoterapi. Alternatif lain mencakup
semaksimal mungkin. Sejauh ini yang men­
Ievetirasetam, asam valproat, lamotrigin,
jadi pilihan adalah temozolamid, untuk
klobazam, topiramat, atau okskarbazepin.
glioblastoma dan metastasis. Kemoterapi
Levetirasetam lebih dianjurkan (Level A]
jenis allylating agent ini dapat diberikan
dan memiliki profil efek samping yang lebih
tunggal sebagai kemoterapi dengan dosis
baik dengan dosis antara 20-40mg/kgBB,
200mg/m2/hari selama 5 hari yang dapat
serta dapat digunakan pascakraniotomi.
diulang setiap 28 hari selama 6 siklus. Cara
Terapi Definitif pemberian dapat juga bersamaan dengan
Tumor otak adalah biopsi dan reseksi tumor. radioterapi, yang berfungsi sebagai radio­
Terutama pada tumor-tumor di ekstraaksial sensitizer dengan dosis 75mg/m2/hari se­
seperti meningioma, tata laksana utamanya lama 6 minggu. Selanjutnya dosis mening-
hanya reseksi luas beserta kapsulnya. Untuk kat kenjadi 150-200mg/m2/hari setiap 28
lokasi yang lebih dalam, dapat dilakukan hari selama 6 siklus. Namun temozolamide
biopsi stereotaktik, Semakin banyak tumor ini hanya akan berespons baik jika jaringan
yang dapat direseksi maka keluarannya tumor termasuk metilasi (bertambahnya
akan lebih baik. Selain efek desak ruangnya gugus metil) pada promotor O-6-methylgua-
teratasi, kemungkinan untuk rekuren juga nine-methyltransferase (MGMT), yang harus
lebih kecil. Oleh karena itu lebih disukai jika dibuktikan dulu pada pemeriksaan jaringan
tumor dapat didiagnosis dalam ukuran kecil sebelum diberikan agen yang tersebut.
berdasarkan deteksi dini.
Selain kemoterapi, terdapat beberapa agen
Pada golongan astrositoma biasanya agak golongan targeted therapy yang bekerja
sulit untuk menentukan batas tumor dengan spesifik menghambat reseptor vascular en­
jaringan yang sehat, selalu ada sisa tumor dothelial growth factor (VEGF), yaitu bevaci-
yang perlu ditidaklanjuti dengan radioterapi zumab, dan epidermal growth facto r recep­
atau kemoterapi, terutama pada astrositoma tor (EGFR), yaitu nimotuzumab. Terapi ini
derajat tinggi. Saat ini dengan perkembang- juga baru dapat diberikan pada astrositoma
an teknik operasi, pengambilan massa tu­ derajat tinggi dengan mutasi EGFR yang
mor bisa menggunakan neuronavigasi atau signifikan. Oleh karena cara kerjanya yang
zat fluoresens agar lebih akurat. Radioterapi spesifik, maka efek sampingnya juga lebih
terutama dilakukan pada tumor-tumor yang minimal dibandingkan kemoterapi.

334
Tumor Otak Primer

Terapi Paliatif umum dalam batas normal, namun fundus-


Kata paliatif berasal dari bahasa Yunani kopi didapatkan kesan early papiledem a bi­
'pallium' yang berarti 'cloak ' dalam bahasa lateral dan nilai MMSE=24,
Inggris atau 'mantel' yang dimaksudkan un-
Pertanyaan;
tuk menutupi hal-hal yang tidak nyaman. Bi-
1. Apa kemungkinan diagnosis pada pasien
asanya dilakukan setelah pasien menjalani
di atas?
terapi definitif namun masih terdapat kelu-
han akibat gejala sisa tumornya. Terapi ini 2. Apa pemeriksaan yang selanjutnya dibu-
juga diindikasikan jika pasien tidak dapat tuhkan pada pasien?
dilakukan terapi definitif oleh karena ukur- 3. Tata laksana apa yang dibutuhkan pada
an tumor yang terlalu besar, kondisi buruk, pasien?
dan terlalu berisiko untuk dilakukan terapi Jawaban:
definitif. Penetapan terapi ini perlu disepakati 1. Tumor intrakranial jika tidak terdapat
oleh semua tim secara multidisiplin bersama keluhan sistemik dan dipikirkan to­
dokter penanggung jawab utama, serta dok- pis lesi soliter, maka dapat dianggap
ter gizi, rehabilitasi medik, psikiatri, dan suatu tumor primer. Secara epidemi-
ahli terapi paliatif. ologi tumor primer tersering adalah
Pasien perlu penyesuaian terhadap gejala astrositoma dan meningioma. Namun
sisanya untuk bisa kembali minimal berak- mengingat onsetnya yang cepat, bi­
tivitas mandiri. Biasanya gangguan berupa asanya bukan meningioma, melainkan
kejang, nyeri, atau gangguan fungsi luhur astrositoma yang maligna, seperti de­
yang dapat diberikan terapi yang sesuai. raj at III atau IV (glioblastoma).
Dapat diberikan juga diberikan psikoterapi 2. Pemeriksaan MRI kepala dengan kon-
suportif dan relaksasi yang akan membantu tras dan foto polos dada unutk me-
pasien dan keluarga. nyingkirkan kemungkinan metastasis,
walaupun tetap bisa normal. Jika foto
CONTOH KASUS polos ada kelainan, dilanjutkan de­
Laki-Iaki, usia 59 tahun mengeluh sakit ngan CT thoraks.
kepala dan kesulitan berkonsentrasi sejak 3. Kortikosteroid sesegera mungkin,
enam minggu sebeluninya, Sakit kepala di- sementara menunggu biopsi dan re-
rasakan pada bagian kanan, terutama saat seksi massa tumor. Penilaian neu-
malam hari setelah beraktivitas. Pasien juga rooftalmologi dan fungsi luhur sam-
mengeluh sulit berkonsentrasi dan menu- bil menunggu jadwal operasi, sebagai
rut istrinya, pasien menjadi lebih mudah data dasar sebelum dilakukan terapi.
tersinggung dan terlihat bingung sejak se-
bulan terakhir ini. Tidak ada riwayat me- DAFTARPUSTAKA
ngonsumsi minuman beralkohol atau ri­ 1. Cavaliere R Headache. Dalam: SchiffD, Kesari S, Wen
wayat terpapar dengan toksin sebelumnya. PY, editor. Cancer neurology in clinical practice. Neu­
rologic complications of cancer and its treatment
Pada pemeriksaan fisik dan neurologis New Jersey: Humana Press; 2008. h. 57-64.

335
Baku Ajar Neurologi

2. De-Angelis L, Posner JB. Neurologic complica­ editor. Cancer neurology in clinical practice. Neu­
tions of cancer. Oxford: Oxford University Press; rologic complications of cancer and its treatment
2009. h. 4-15. New Jersey: Humana Press; 2008. h. 33-46.
3. Ostrom QT, Gittleman H, Liao P, Rouse C, Chen Y, 11. Newman SA. Neuroophthalmic evaluations in
Dowling J, dkk. CBTRUS statistical report: prima­ patients with meningioma. Dalam: Lee JH, edi­
ry brain and central nerve system tumors diag­ tor. Meningiomas; diagnosis, treatment, and out­
nosed in the United States in 2007-2011. Neuro come. London: Springer; 2008. h. 101-36.
Oncol. 2014;16(suppl 5]:ivl-63. 12. Wen PY, Glantz MJ. Neurologic complications of
4. DoIecekTA, Propp JM, Stroup NE, Kruchko C. CBTRUS cancer. Neurol Clin N Am. 2003;21(1]:11-13.
statistical report: primaiy brain and central nervous 13. Toy EC, Simpson E, Pleitez M, Rosenfield D, Tint-
system tumors diagnosed in the United States in ner R. Case Files Neurology. United State: Me
2005-2009. Neuro Oncol. 2012;14(suppl 5):vl-49. Graw Hill; 2008. h. 441-2.
5. Kautzky R, Zulch KJ, Wende S, Tanzer A, Bohm 14. Maddocks I, Brew B, Waddy H, Williams I. Pal­
WM. Neuro radiology: a neuropathological ap­ liative neurology. Cambridge: Cambridge Univer­
proach. New York: Springer; 2012. sity Press; 2005.
6. Booth S, Bruera E. Palliative Care Consultations 15. Berger MS, Prados MD. Textbook of neuro-oncol­
in Primary and Metastatic Brain Tumours. Ox­ ogy. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005.
ford University Press. New York; 2004. 16. Mendelsohn AC, Howley A, Israel S, Gray JE, Lind-
7. Molnar P. Classification of primary brain tumors: sen T. The molecular basis of cancer. Philadel­
molecular aspects in management of CNS tu­ phia: Elsevier Saunders; 2008.
mors. Intech [serial online]. 2011 [diunduh 13 17. Louis DN, Perry A, Reifenberger G, von Deimling
Januari 2017]; 3-22. Tersedia dari: Intech. A, Figarella-Branger D, Cavence WK, dkk. The
8. Louis DN, Perry A, Reifenberger G, von Deimling, 2016 World Health Organization classification
Figarella-Branger D, Cavanee WK, dkk. The 2016 of tumors of the central nervous system: a sum­
World Health Organization classification of tu­ mary. Acta Neuropathol. 2016;131[6):803-20.
mors of the central nervous system: a summary. 18. Yates JW, Chalmer B, McKegney P. Evalua­
Acta Neuropathol. 2016;131(6}:803-20. tion of patients with advanced cancer using
9. Farace E, Melikyan Z. Cognitive dysfunction, mood the Karnofsky Performance Status. Cancer.
disorders, and fatigue. Dalam: Schiff D, Kesari S, Wen 1980;45(8):2220-4.
PY, editor. Cancer neurology in clinical practice. Neu­ 19. Kurniawan M, Suharjanti 1, Pinzon RT, penyunt-
rologic complications of cancer and its treatment ing. Acuan panduan praktik ldinis neurologi.
New Jersey: Humana Press; 2008. h. 91-112. Edisi ke-2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
10. Glantz MJ, Batten J. Seizures and antiepileptic drugs Indonesia; 2016, h, 198-200.
in neurooncology. Dalam: Schiff D, Kesari S, Wen PY,

336
TUMOR SPINAL
Tiara Aninditha, Ramdinal Aviesena Zairinal,
Teguh AS Ranakusuma

PENDAHULUAN saraf pusat. Insidens tumor ini menurut


Tumor spinal dapat diklasifikasikan ke Central Brain Tumor Registry o f the United
dalam beberapa kelompok. Tumor spinal States (CBTRUS) antara tahun 1998-2002
dapat merupakan tumor primer atau meta­ adalah 0,74/100.000 penduduk pertahun.
stasis. Tumor primer di spinal bisa berasal Studi ini juga menunjukkan bahwa sebesar
dari jaringan tulang atau medula spinalis, 69% tumor primer medula spinalis ber-
sedangkan metastasis berasal dari lokasi sifat jinak (nonmalignantf Distribusi tiga
di luar spinal, seperti payudara, paru, dan besar gambaran histologi dari tumor primer
prostat medula spinalis adalah meningioma (29% ),
tumor selubung saraf (24% ), dan ependi-
Secara anatomi, tumor spinal dapat dikla­
moma (23% ]. Astrositoma hanya memiliki
sifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu
frekuensi 6% pada studi ini. Selain itu, studi
tumor ekstradural, ekstramedula, dan in-
ini juga menunjukkan bahwa menurut jenis
tramedula. Adanya klasifikasi tumor spi­
kelamin dan lokasi tumornya, insidens tumor
nal secara anatomi harus dipahami oleh
intradural ekstramedula lebih besar pada
setiap klinisi karena sangat berguna dalam
perempuan (0,29/100.000) daripada lald-
melakukan pemeriksaan klinis, memilih
laki (0,09/100.000). Keadaan ini sebaliknya
pemeriksaan penunjang yang tepat, menyu-
ditemukan pada tumor intramedula, yaitu
sun rencana terapi, dan menentukan prog­
insidens laki-laki (0,57/100.000) lebih besar
nosis pasien.
daripada perempuan (0,45/100.000).
Bab ini akan membahas tumor spinal secara
Studi epidemiologi lain di Jepang yang meng-
rinci, mulai dari ldasifikasi tumor spinal,
ambil data pasien antara tahun 2000-2009
jenis-jenis tumor beserta karakteristiknya,
menunjukkan hasil yang berbeda dengan
pendekatan klinis yang harus dilakukan bila
studi CBTRUS di atas. Pada studi ini, tiga besar
bertemu pasien dengan diagnosis klinis tu­
gambaran histologi yang paling sering ditemu­
mor spinal, dan tata laksananya.
kan adalah schwannoma (57,2%), meningioma
(11,6%), dan ependimoma (8%). Frekuensi
EPIDEMIOLOGI
astrositoma hanya 1,3%. Berdasarkan lo-
Tumor primer medula spinalis tergolong
kasinya, frekuensi tumor intradural ekstra­
jarang ditemukan. Prevalensinya sekitar
medula (54,7% ) lebih besar daripada tumor
4-8% dari total semua tumor di susunan
intramedula (18,1% ).

337
Buku Ajar Neurologi

Selain tumor primer, terdapat puia tumor dimasukkan dalam kategori tumor ekstra­
metastasis di spinal. Spinal merupakan dural pada pembahasan selanjutnya.
tempat sasaran paling sering perihal me­
Pemahaman mengenai anatomi meningen
tastasis tumor primer. Sebanyak 95% dari
medula spinalis, terutama dura mater (Gam-
total keseluruhan pasien dengan tumor spi­
bar 3), sangat penting dalam kaitannya de­
nal adalah tergolong metastasis. Sebanyak
ngan klasifikasi tumor spinal berdasarkan
500.000 pasien diperkirakan mengalami
letak lesinya. Dura mater spinalis berasal
metastasis tumor di spinal tiap tahunnya.
dari dua lapisan dura mater yang menyatu
Sayangnya, hanya 64% pasien metastasis
pada rongga kranium, tetapi terpisah saat
tumor spinal yang simptomatik, sedangkan
memasuki kanalis spinalis.
sisanya tidak memiliki keluhan dan ditemu-
kan secara insidental. Pada kanalis spinalis, dura mater terluar
menjadi periosteium kanalis spinalis. Ada-
KLASIFIKASI TUMOR SPINAL pun lapisan dalamnya membentuk sakus
Tumor spinal dapat diklasifikasikan men- duralis yang menyelubungi medula spina­
jadi tiga kategori menurut letak lesinya, lis. Kedua lapisan dura mater ini kembali
yaitu ekstradural, intradural ekstramedula, menyatu di tempat keluarnya radiks nervi
dan intramedula (Gambar 1 dan 2], Masing- spinalis dari kanalis spinalis. Ujung bawah
masing kategori dapat berupa tumor primer sakus duralis mengeliiingi kauda ekuina
atau metastasis. Namun, oleh karena tumor dan berakhir pada level S2. Selanjutnya,
metastasis spinal paling sering tergolong sakus duralis membentuk filum terminal
ekstradural, maka tumor metastasis spinal dura mater (Gambar 4).

It
|

Gambar 1. Klasifikasi Tumor Spinal Beserta Contohnya

338
Tumor Spinal

Gambar 2. Klasifiltasi Tumor Spinal


(A) ekstradural; [B] intradural ekstramedula; (C) intramedula

ilofigga epkkiral dengan


iemakdan vena

Tumor Ekstradural koma. Sebagian lain memiliki karak-


1. Tumor Primer teristik jinak, tetapi bisa berkembang
Tumor primer ekstradural termasuk menjadi ganas, misalnya osteoblastoma,
dalam kumpulan tumor tulang. Tumor osteokondroma, dan giant ceil tumor.
primer tulang di spinal ini dapat bersi- Lokasi tumor juga merupakan petunjuk
fat jinak (hemangioma, osteoma osteoid, untuk lebih mengarahkan jenis tumor,
dan kista tulang aneurism a) atau ganas mengingat tumor primer ini dapat berlo-
(plasm asitom a, kordoma, sarkoma kasi di segmen anterior, eksentrik, atau
Ewing, osteosarkoma, dan kondrosar- segmen posterior (Tabel 1).

339
Buku Ajar Neurologi

■Gambar 4. Hubungan Struktur Dura mater, Filum Terminal, Radiks Nervi Spinalis, dan Medula Spinalis

Tabel 1. Preferensi Lokasi Tumor Prim er Spinal


Kelompok Usia Segmen Anterior Eksentrik Segmen Posterior
Anak-anak Granuloma eosinofilik Osteokondroma Kista tulang aneurisma
Osteosarkoma Kondroblastoma Osteoma osteoid
Sarkoma Ewing Osteoblastoma Kondroblastoma
Kondrosarkoma

Dewasa Mieloma multiple Kondrosarkoma Kista tulang aneurisma


Giant cell tumor
Kordoma
Fibrous dvsolasia
Sumber: Lewandrowski KU, dkk, penyunting. Cancer in the spine: comprehensive care. 2006.

340
Tumor Spinal

Tumor-tumor primer ini pada umumnya Lokasi metastasis tumor di spinal dapat
akan mendestruksi tulang vertebra dan ditemukan di korpus vertebra [85% ),
menyebabkan deformitas pada tulang ruang paravertebra [10-15% ), dan ru-
belakang (Gambar 2A), Selain deformi­ ang epidural [<5%). Oleh sebab itu, me­
tas, tumor primer ini juga menimbulkan tastasis tumor di spinal secara anatomis
nyeri di tulang belakang. Nyeri ini biasa tergolong tumor ekstradural. Sepanjang
dirasakan di malam hari dan tidak di- vertebra, metastasis tumor di spinal pa­
pengaruhi perubahan posisi dan tetap ling sering ditemukan di segmen torakal
dirasakan saat pasien beristirahat. De- [70% ), kemudian diikuti lumbosakral
fisit neurologis baru terjadi bila terjadi (20% ), dan servikal (10% ).
ekstensi tumor yang mengkompresi me-
dula spinalis atau radiks. Pada tumor- Tabel 2. Insidens M etastasis Spinal Ekstradural
pada Beberapa Tumor Prim er
tumor yang tergolong jinak, perjalanan
lenis Tumor Prim er r% i
penyakitnya relatif lebih lama daripada
Payudara 13-22
tumor yang ganas. Hal ini menyebabkan Paru 15-19
pasien jarang datang menemui dokter di Prostat 10-18
awal perjalanan penyakit. Limfoma 8-10
Sarkoma 7,5-9
2. Metastasis Ginjal 6-7
Sebagian besar pasien dengan tumor spi­ Mieloma 4,5-5
nal merupakan metastasis. Oleh sebab Gastrointestinal 4-5
Melanoma 2-4
itu, klinisi harus memikirkan metastasis
Tidak diketahui 4-11
dahulu ketimbang tumor primer pada S u m b e r : S c h i f f D, d k k . C a n c e r n e u r o l o g y in c l i n i c a l
pasien tumor spinal. Metastasis tidak p r a c tic e : n e u ro lo g ic c o m p lic a tio n s o f c a n c e r a n d its t r e a t ­

hanya berlokasi di ekstradural, tetapi m e n t. 2 0 0 8 .

juga di intradural ekstramedula dan in-


tramedula dalam persentase yang kecil. Tumor Intradural Ekstramedula
Oleh karena lokasi yang paling sering Kategori tumor ini berlokasi di dalam (in-
menjadi tujuan metastasis adalah ekstra­ tra) dura mater, tetapi di luar (ekstra) me-
dural, maka tumor metastasis dimasuk- dula spinalis (Gambar 2B). Tumor intra­
kan dalam kelompok tumor ekstradural. dural ekstramedula memiliki kekerapan
Tumor primer yang sering bermetastasis sekitar dua pertiga kasus tumor intradural.
ke spinal antara lain, payudara [21% ), Dari keseluruhan kategori tumor spinal ini,
paru-paru [14% ), prostat [7,5% ), ginjal sekitar 95% memiliki jenis schwannoma,
[5,5% ), gastrointestinal [5% ), dan tiroid neurofibroma, meningioma, dan ependi-
[2,5% ). Namun, ada pula hasil penelitian moma filum terminal. Sisanya bisa berupa
lain dengan komposisi urutan yang ber- metastasis, kista, dan paraganglioma.
beda, tetapi kanker payudara dan paru 1. Tumor Selubung Saraf [Nerve S heath
yang selalu mendominasi dari setiap Tum or )
studi epidemiologi [Tabel 2). Neurofibroma dan schwannoma terma-

341
Baku Ajar Neurologi

suk dalam jenis tumor selubung saraf fiium terminal, pertumbuhan tumor ini
yang berlokasi di dalam dura mater, tetapi dapat melibatkan radiks dari kauda ekuina.
di luar medula spinalis. Neurofibroma Karakteristik lain dari tumor ini adalah si­
biasa terjadi pada pasien dengan neurofi­ fatnya yang bisa menyebarkan sel tumor ke
bromatosis tipe 1. Tumor ini membentuk dalam ruang cairan spinal.
massa fusiformis yang bercampur dengan
4. Tumor Ekstramedula Lainnya
serabut saraf yang sehat, sehingga sulit
Kondisi patologis lain yang bisa terjadi
untuk melakukan diseksi tumor ini dari
di ruang intradural ekstramedula adalah
jaringan saraf. Bila neurofibroma ditemu-
kista (epidermoid, dermoid, dan lipoma),
kan multipel, maka diagnosis neurofibro­
paraganglioma, malformasi vaskular,
matosis dapat ditegakkan. Berbeda de­
dan metastasis. Penelusuran ke arah me­
ngan neurofibroma, tumor schwannoma
tastasis leptomeningeal perlu dilakukan
lebih sering ditemukan pada pasien de­
bila ada pasien dengan diagnosis kanker
ngan neurofibromatosis tipe 2.
sebelumnya dan terdapat massa di ruang
2. Meningioma intradural ekstramedula.
Meningioma spinal biasanya tumbuh di
Tumor Intramedula
lateral kanalis spinalis, terutama daerah
Tumor intramedula merupakan tumor yang
dekat radiks dan ganglion radiks dorsalis.
berasal dari medula spinalis (Gambar 2C).
Sekitar 40% tumor ekstramedula meru-
Sekitar 80% tumor intramedula tergolong
pakan meningioma. Sepanjang vertebra,
dalam tumor glial (astrositoma, ependi­
tumor ini paling sering terjadi di segmen
moma, ganglioma, dan oligodendroglioma).
torakal (sekitar 80%), kemudian diikuti
Tumor intramedula yang paling sering dite­
segmen servikal, dan lumbosakral. Tumor
mukan adalah astrositoma, kemudian dii­
ini biasanya tumbuh membentuk konfi-
kuti ependimoma, dan hemangioblastoma.
gurasi seperti bolayangmemiliki perlekatan
dura mater. Oleh karena sifatnya yang cen- 1. Astrositoma
derung tidak menginvasi pia mater, maka Angka kejadian astrositoma di spinal
tumor ini dapat direseksi dengan aman. tergolong jarang, yaitu sekitar 3% dari
seluruh kasus astrositoma susunan saraf
3. Ependimoma Fiium Terminal
pusat. Tumor ini dapat terjadi di segala
Selain tumor selubung saraf dan meningi­
usia, tetapi paling sering terjadi pada
oma, sekitar 15% tumor ekstramedula
anak dan usia kurang dari 30 tahun.
dapat berupa ependimoma miksopapilar.
Sepanjang tulang vertebra, tumor intra­
Jenis tumor ini merupakan tumor yang pa­
medula ini memiliki predileksi di seg­
ling sering tumbuh di daerah fiium terminal.
men servikal atau servikotorakal.
Sesuai dengan namamnya, tumor ini memi-
iika tampilan susunan papilar dari sel epitel 2. Ependimoma
kubus atau batang dengan kandungan kaya Berbeda dengan astrositoma yang meru­
musin. Walaupun tumor ini berasal dari pakan tumor intramedula tersering di
anak, ependimoma adalah tumor intra-

342
Tumor Spinal

medula yang sering ditemukan pada vertebra, yang berhubungan dengan pleksus
orang dewasa. Hampir semua epen- vena epidural. Pleksus vena epidural ini berada
dimoma termasuk tumor jinak, dengan di dalam kanalis spinalis dan tidak memiliM
karakteristik berbatas tegas dan tidak katup. Batson pertama kali mengemukakan
menginfiltrasi area sekitar. bahwa pleksus vena epidural merupakan jalur
potensial penyebaran metastasis tumor primer
3. Hemangioblastoma
di spinal. Oleh sebab itu, Pleksus ini disebut juga
Sekitar 3-8% tumor intramedula meru-
pleksus Batson. Pleksus vena epidural (Batson)
pakan hemangioblastoma. Tumor ini ber-
ini terletak di ruang epidural, di antara kolum-
asal dari pembuluh darah yang berbatas
na spinalis dan dura mater medula spinalis. Ali-
tegas, tetapi tidak berkapsul. Sebanyak
ran dari pleksus vena ini berhubungan dengan
15-25% kasus berhubungan dengan pe-
vena kava superior dan inferior yang kemudian
nyakit von Hippel-Lindau yang diturun-
membawa darah menuju jantung. Oleh karena
kan secara autosom dominan.
tidak ada katup di pleksus vena epidural, maka
4. Tumor Intramedula Lainnya setiap peningkatan tekanan di sistem vena
Selain dari ketiga jenis tumor yang sering kava dapat menyebabkan aliran balik ke plek­
ditemukan di atas, ltelainan patologis sus vena epidural.
lain yang bisa terjadi adalah metastasis,
Selain metastasis melalui sistem vena, sel
kista, dan malformasi vaskular. Meta­
tumor bisa juga menyebar ke spinal me­
stasis tumor paru dan payudara adalah
lalui sistem arteri dan limfatik. Penyebaran
yang paling sering ditemukan di medula
melalui arteri dapat terjadi melalui arteri-
spinalis, dengan kekerapan kurang dari
arteri yang memperdarahi korpus vertebra.
5% dari total tumor intramedula.
Contoh kasus pada tumor di paru yang bisa
menyebar ke spinal melalui arteri-arteri seg­
PATOFISIOLOGI mental. Berbeda dengan sistem arteri, pe­
Tumor Metastasis nyebaran metastasis tumor melalui sistem
Tumor metastasis di spinal sebagian besar limfatik terjadi karena adanya saluran limfe
terletak di ekstradural Oleh sebab itu, pem- di dalam tulang vertebra. Sayangnya, penye­
bahasan kali ini menjelaskan bagaimana baran tumor melalui sistem ini masih perlu
tumor metastasis spinal ekstradural dapat diteliti lagi kepentingan klinisnya.
menyebabkan keadaan patologis yang ber- Selain cara-cara di atas, penyebaran langsung
manifestasi Minis. tumor primer ke spinal sering juga ditemukan,
Sel tumor primer paling sering menyebar ke terutama untuk kasus tumor prostat. Tumor
yang berada di bagian retroperitoneal atau me­
spinal melalui sistem vena. Untuk dapat men-
diastinum dapat mengerosi korpus vertebra
capai spinal, sel tumor sebelumnya melalui
secara langsung, atau masuk ke kanalis spinalis
sirkulasi di had dan paru. Pada kondisi normal,
melalui foramen neuralis.
5-10% darah yang berada dalam sistem vena
porta dan vena kava mengalir ke sistem vena

343
Buku Ajar Neurologi

Terjadinya metastasis ini tidak lepas dari struk- lainnya (Gambar 5). Walaupun gambaran
tur sumsum tulang yang berada di dalam kor- awal metastasis pada radiografi foto polos
pus vertebra. Sumsum tulang memilild sistem berupa kerusakan pedikel, sebenarnya kor­
pembuluh darah sinusoid yang biasanya memi- pus vertebra merupakan struktur pertama
liki tekanan rendah, sehingga darah cenderung yang biasa-nya lebih awal rusak. Hal ini didu-
mengumpul (pooling) di daerah ini. Kondisi ini, loing oleh fakta bahwa sekitar 30-50% korpus
disertai adanya penumpukan fibrin dan proses vertebra telah mengalami kerusakan sebelum
trombosis, sangat mendukung secara biolamia kelainan ini dapatterdeteksi melalui radiografi
dan hemodinamik bagi implantasi dan proli- foto polos.
ferasi sel-sel tumor. Selanjutnya, sel-sel tumor
Proses metastasis tumor spinal berlanjut de­
menjadi mudah untuk keluar dari pembuluh
ngan menginvasi ruang epidural, Invasi ruang
darah dan menginvasi jaringan tulang trabeku-
epidural dapat terjadi melalui ligamen longi­
lar. Selain beberapa kondisi tersebut, terdapat
tudinal posterior (Gambar 6), Ligamen ini
faktor intrinsik dari sel tumor primer yang
adalah struktur yang paling lemah terhadap
mendukung keberhasilan pertumbuhan sel tu­
penyebaran sel-sel tumor di tulang vertebra.
mor di dalam jaringan tulang, misalnya prosta­
Sel-sel tumor metastasis di ruang epidural
glandin dan stimulasi faktor aktivasi osteoklas
menimbulkan efek desak massa yang dapat
pada metastasis sel kanker payudara yang me-
mengkompresi medula spinalis beserta struk­
nyebabkan lesi litik pada tulang.
tur pembuluh darahnya. Efek massa desak
Sel-sel tumor metastasis yang telah meng­ pada medula spinalis ini menimbulkan de-
invasi jaringan tulang trabekular kemudian mielinisasi atau degenerasi aksonal. Adapun
akan menghasilkan beberapa substansi yang komponen vaskular yang turut terkompresi
menyebabkan resorpsi tulang secara lang- menyebabkan kongesti vena dan edema va-
sung ataupun tidak langsung, antara lain hor- sogenik medula spinalis. Adanya demielinisa-
mon paratiroid, faktor aktivasi osteoldas, fak­ si, degenerasi aksonal, dan edema vasogenik
tor pertumbuhan, dan prostaglandin, Dengan pada medula spinalis inilah yang kemudian
adanya sekresi beberapa substansi ini oleh sel bermanifestasi Minis sebagai defisit neurolo-
tumor, maka terjadi peningkatan stimulasi os­ gis akibat metastasis tumor spinal.
teoklas di jaringan tulang trabekular,
Metastasis tumor juga dapat terjadi pada
Setelah sel-sel tumor menginvasi jaringan
daerah leptomeningeal, terutama pada ke-
tulang trabekular, proses selanjutnya adalah
ganasan hematopoietik, seperti limfoma
invasi sel-sel tumor terhadap korteks tulang,
dan leukemia. Penyebaran ini biasanya ter­
Hal ini bermanifestasi dengan adanya keterli-
jadi secara hematogen atau infiltrasi lang­
batan pedikel vertebra pada metastasis tumor
sung ke meningen (Gambar 7), sehingga be­
spinal. Adanya keterlibatan pedikel ini biasa­
rada di ruang epidural/subdural (Gambar 6
nya tidak bersifat primer, tetapi merupakan
(3) & (4)) dan menimbulkan gejala seperti
akibat sekunder dari penyebaran langsung
pada tumor intradural ekstramedula.
dari korpus vertebra atau struktur tulang

344
Tumor Spinal

Gambar 5. Gambaran Tumor M etastasis Vertebra

Gambar 6. Lokasi M etastasis Tersering


(la] korpus vertebra; (lb) prosesus spinosus; (2) foramen intervertebralis; (3) ruang epidural; (4) ruang subdu­
ral; (5) intramedula; (6) arteri radiks saat keluar dari foramen intervertebralis

345
Buku Ajar Neurologi

Sef-seJ tumor

Gambar 7.Mekanisme Metastasis Leptomeningeal

Tumor Primer lis memiliki fungsi aferen dan eferen yang


Tidakjauhberbeda dengan tumor metastasis menghubungkan antara otak dengan saraf
ekstradural, tumor primer spinal yang terle- perifer, maka setiap lesi di medula spinalis
tak intradural ekstramedula dan intramedula akan menimbulkan gangguan fungsi terse-
memiliki efek desak massa jaringan sehat di but. Gangguan fungsi aferen dan eferen ini-
sekitarnya. Pada medula spinalis, invasi ja­ lah yang bermanifestasi klinis sebagai de-
ringan sehat oleh sel-sel tumor mengakibat- fisit neurologis. Misalnya, efek desak massa
kan efek desak massa medula spinalis. Efek oleh sel-sel tumor di daerah jaras kortiko-
desak massa dari sel-sel tumor ini mengald- spinal lateralis akan menimbulkan mani-
batkan demielinisasi dan degenerasi akson di festasi kelemahan motorik.
medula spinalis. Selain itu, terjadi pula stasis
aliran vena dan arteri di medula spinalis aki- GEJA LA DAN TANDA K L IN IS
bat efek desak massa ini. Kondisi ini selanjut- Tumor Ekstradural
nya menjadi edema vasogenik dan infork di Perjalanan penyakit tumor ekstradural
medula spinalis. Adanya edema vasogenik ini seringkali progresif berkembang cepat. Ge-
tentunya akan menambah progresivitas efek jala dan tanda klinis muncul akibat dari
desak massa, sehingga kerusakan medula spi­ kompresi medula spinalis. Karena letaknya
nalis yang ditimbulkan menjadi semakin luas ekstradural (Gambar 8), maka jaringan tu­
dan ekstensif. mor akan mengkompresi dura mater dari
Mengingat setiap area di medula spina­ arah luar ke dalam. Selain itu, fraktur patolo-

346
Tumor Spinal

ekstremitas, tetapi bisa juga terjadi secara


dural yang membuat gejala awal berupa bersamaan.
nyeri yang disebut sebagai nyeri aksial verte­
T u m o r I n tra d u r a l E k s tra m e d u ia
bra. Nyeri ini terasa di sepanjang sumbu ver­
Lokasi tumor ini paling sering di sekitar ra­
tebra yang bersifat gradual, progresif, terus-
diks posterior, kemudian diikuti di sekitar ra­
menerus, tidak bersifat mekanik, dan sering
diks anterior. Oleh sebab lokasinya di sekitar
terjadi di malam hari. Nyeri biasanya ber-
radiks, maka gejala awal yang sering ditemu-
tambah parah saat pasien berbaring telen-
kan adalah nyeri radikular. Sesuai namanya,
tang, apalagi dalam durasi beberapa jam, ke-
nyeri ini memiliki karakteristik penjalaran
mudian membaik saat pasien berdiri. Seiring
nyeri sesuai distribusi radiks sensorik. Nyeri
progresi perkembangan tumor ekstradural,
ini bertambah parah dengan batuk, bersin,
efek desak massa selanjutnya akan mengenai
atau mengedan. Seiring pertumbuhan tumor
struktur radiks dan medula spinalis. Struktur
yang membesar, kompresi akan semakin ber­
radiks yang terkena efek massa tumor me-
tambah pada radiks dan medula spinalis.
nimbulkan gejala klinis nyeri radikular.
Bila letak tumor lebih ke arah posterior, maka
Selain nyeri, pasien dapat mengalami tanda-
proses kompresi akan mengenai kolumna pos­
tanda kompresi lainnya, yaitu kelemahan eks-
terior dan jaras piramidalis. Dengan demikian,
tremitas, gangguan sensorik, dan disfungsi
gejala berikutnya setelah nyeri radikular
otonom. Kelemahan ekstremitas umumnya
adalah gangguan propioseptif dan kelemahan
bersifat UMN pada bagian tubuh yang di-
ekstremitas. Kelemahan ini bersifat asimet-
persarafi oleh medula spinalis pada level di
ris antara lengan dan tungkai (lesi servikal)
bawah lesi. Gangguan sensasi posisi, rasa
dan antara kedua tungkai (lesi torakolumbal).
getar, gangguan diskriminasi dua titik dapat
Gangguan sensorik juga dapat terjadi awalnya
terjadi bila kompresinya berasal dari arah
ipsilateral, kemudian bilateral, dan berjalan
dorsal. Disfungsi miksi dan defekasi lebih
dari kaudal ke kranial hingga setinggi lesi.
sering terjadi kemudian setelah kelemahan

Medula
spinalis Tum or

Vertebra

Gambar 8. Ilustrasi Tumor Spinal Ekstradural (Dorsal) Potongan Aksial

347
Buku Ajar Neurologi

M edula
spinalis

Dura mater

V erteb ra

Gambar 9. Ilustrasi Tumor Spinal Intramedula, Potongan Aksial

Bila letak tumor Iebih ke arah anterior, maka Tumor Intramedula


kompresi dapat mengenai radiks anterior Lokasi tumor spinal di intramedula me-
pada satu sisi atau kedua sisi. Hal ini dapat miliki gambaran yang unik dan berbeda
mengakibatkan kelemahan ekstremitas tipe dengan kedua kategori tumor sebelumnya
LMN. Namun, kelemahan tipe UMN bisa saja (Gambar 9). Tumor intramedula jarang me-
dijumpai apabila kompresinya sudah men­ nimbulkan nyeri. Kalaupun ada, nyeri bersi-
genai jaras piramidalis. Biasanya, kelema­ fat atipikal dengan lokalisasi difus. Gejala
han ekstremitas terjadi pada ipsilateral lesi, awal yang sering ditemukan adalah defisit
kemudian bilateral. Gangguan sensasi raba sensorik terdisosiasi. Gambaran unik lain-
kasar dapat muncul bila ada kompresi pada nya adalah pertumbuhan tumor intramedu­
jaras spinotalamikus anterior. Bila tumor- la sering bersifat longitudinal, sedangkan
nya terletak anterolateral, maka jaras spi­ tumor ekstramedula bersifat transversal.
notalamikus lateral dapat terkompresi dan Hal ini mengakibatkan gangguan sensorik
mengakibatkan gangguan sensasi nyeri dan pada tumor intramedula dapat mengalami
suhu pada kontralateral lesi. Bila tumornya perubahan level (batas atas defisit senso­
terletak di filum terminal dan kauda ekuina, rik}, sedangkan level ini pada tumor ekstra­
maka gejala yang sering ditimbulkan adalah medula tetap konstan.
nyeri punggung yang memberat saat po-
Selain itu, disfungsi miksi dan defekasi
sisi telentang, kemudian disertai kelemahan
dapat timbul di awal perjalanan penyakit.
ekstremitas tungkai dan gangguan otonom
Atrofi otot dapat ditemukan sebagai akibat
buang air besar dan berkemih. Baik lesi intra­
dari keterlibatan dari kornu anterior sub-
dural ekstramedula di daerah anterior mau-
stansia grisea medula spinalis. Spastisitas
pun posterior, disfungsi miksi dan defekasi
pada ekstremitas dapat terjadi, walaupun
biasanya muncul belakangan saat kompresi
tidak seberat tumor ekstramedula.
medula spinalis sudah lanjut dan progresif.

348
Tumor Spina!

T u m o r S p in al di B e b e ra p a L o k asi K h u su s nalis spinalis LI. Lesi konus medularis


Selain ketiga kategori di atas, terdapat be­ terisolasi menimbulkan beberapa defisit
berapa lokasi tumor spinal yang memiliki neurologis, antara lain, arefleksia detrusor
gejala khusus, yaitu di servikal atas, foramen dengan retensi urin dan overflow inconti­
magnum, dan lumbal. Tumor spinal servikal nence, inkontinensia alvi, gangguan fungsi
atas dapat memiliki gejala bulbar dan fasiku- seksual, saddle anaesthesia, dan biasanya
Iasi pada ekstremitas. Tumor spinal setinggi tanpa kelemahan motorik.
foramen magnum dapat memiliki hipeste-
sia setinggi dermatom C2 dan paresis N. XI DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
(nervus aksesorius). Tumor spinal di lumbal Diagnosis tumor spinal secara umum
dapat menimbulkan gejala dan tanda seperti ditegakkan melalui anamnesis, pemerik-
sindrom kauda ekuina atau konus medularis. saan klinis, dan pemeriksaan penunjang,
Pada tumor spinal, sindrom kauda ekuina sekaligus untuk mendapat tanda dan geja­
dapat terjadi karena keterlibatan radiks la klinis sesuai letak lesi (Tabel 3). Adapun
nervi lumbalis dan sakralis di bawah konus pemeriksaan penunjang berguna untuk
medularis. Pasien awalnya mengeluh nyeri lebih memastikan diagnosis dan menying-
radikular sesuai distribusi nervus iskhiadi- kirkan diagnosis banding. Adapun diag­
Itus dan nyeri pada kandung kemih. Setelah nosis banding dari tumor spinal, antara
nyeri, manifestasi klinis berikutnya adalah lain spondilitis, mielitis, multipel sklero-
defisit semua modalitas sensorik pada tung- sis, neuromielitis optik, mielopati akibat
kai, terutama pada perineum [saddle anaes­ proses autoimun, trauma medula spinalis,
thesia'). Selain itu, kelemahan tungkai tipe dan proses degeneratif tulang, Pemerik­
LMN dengan disertai inkontinensia urin dan saan penunjang yang rutin dikerjakan pada
alvi dapat terjadi pada sindrom ini. pasien tumor spinal adalah pencitraan dan
pemeriksaan laboratorium, termasuk ana-
Konus medularis adalah batas bawah dari
lisis cairan otak.
medula spinalis dan terletak setinggi ka-

Tabel 3. Perbandingan Gejala dan Tanda Klinis Tumor Spinal Berdasarkan Letak Lesi
Intradural Ekstra-
Variabel Ekstradural Intramedula
medula
Karakteristik Aksial, bertambah parah di malam Radikular, bertambah Atipikal, difus
utania nyeri hari dan posisi telentang. Nyeri parah saatbatuk,
dapat berkembang dari sifatnya mengedan
aksial menjadi radikular
Defisit sensorik ]arang Jarang Sering terjadi
terdisosiasi
Batas atas defisit Cenderung konstan Cenderung konstan Dapat berubah sesuai
sensorik pertumbuhan longitudinal
tumor
Disfungsi miksi Terjadi pada proses lanjut Terjadi pada proses Dapat menjadi gejala awal
dan defekasi lanjut

\ 349
1
i
Tumor Spinal

tumor primer dan pasien dengan gejala tu­ los. Dengan demikian, pemeriksaan ini bisa
mor spinal, tetapi belum diketahui tumor lebih dini menemukan kelainan destruksi
primernya. Oleh sebab itu, pemeriksaan ini tulang akibat tumor. Namun, pemeriksaan
lebih diutamakan untuk skrining karena ni- foto polos atau bone scan tetap perlu di-
lai spesifisitas yang rendah. Jika bone scan lakukan sebelum CT scan untuk mening-
menunjukkan area terdispersi yang terse- katkan nilai diagnostik. Terapat dua peran
bar di beberapa tulang, maka diagnosisnya yang dimiliki CT scan dalam proses skrining
mengarah ke metastasis tumor. Jika bone pasien dengan dugaan tumor spinal, yaitu
scan hanya menunjukkan sedikit tulang untuk menentukan lokasi, perluasan, dan
yang terlibat, maka klinisi dapat memasti- karakteristik lesi spinal serta menentu­
kan kelainan tersebut dengan pemeriksaan kan apakah tumor telah menyebar ke paru
CT atau MRI. atau hati. Adanya lesi desalt ruang di paru
atau parenkim hati, pembesaran kelenjar
Pemeriksaan CT scan sangat sensitif pada
getah bening, dan infiltrat atau efusi yang
perubahan mineral tulang dan dapat
tidak dapat dijelaskan, menunjukkan ke arah
menunjukkan proses destruksi tulang de­
ada-nya tumor primer yang bermetastasis ke
ngan resolusi lebih tinggi daripada foto po­
spinal.

4 S »*

Gambar 11. Bone Scan Pasien Karsinoma Kolon yang Menunjukkan Penangkapan Radioaktivitas yang Me-
ningkat di Tulang Klavikula Dekstra, Kosta V Hemitoraks Anterior Dekstra, serta Vertebra C6, T hl2, dan LI
(Dole: Pribadi)

351
Buku Ajar Neurologi

Pemeriksaan MRI dapat menunjukkan gam- digunakan untuk menyingldrkan diagnosis


baran struktur saraf dengan jelas, sehingga banding se-perti mielitis dan ensefalomielitis.
dapat ditentukan lokasi lesi ekstradural, Pada kasus limfoma dengan keterlibatan
intradural ekstramedula, dan intradural in- susunan saraf pusat, pungsi lumbal dilakukan
tramedula. Selain itu, pemeriksaan ini dapat untuk peme-riksaan analisis rutin dan sitologi
menunjukkan besarnya kompresi medula cairan otak
spinalis dan perluasan tumor ke jaringan
lunak di sekitar tulang vertebra. MRI dapat TATA LAKSANA
mendeteksi tumor berukuran kecil di dalam Penanganan Gawat Darurat Kompresi
kanalis spinalis karena adanya peningkatan Medula Spinalis
konten cairan intrasel dan ekstrasel akibat Kompresi medula spinalis oleh proses ke­
tumor. Dengan pemeriksaan MRI, klinisi ganasan merupakan keadaan emergensi
dapat membedakan penyebab fraktur pa- yang membutuhkan pertolongan segera
to-Iogis akibat fraktur osteoporosis atau untuk mengatasi nyeri dan mencegah pro-
proses keganasan. Karakteristik sel tumor gresivitas defisit neurologis pasien. Tata lak-
pada MRI adalah hipointens pada T1 dan sananya meliputi pemberian kortikosteroid,
hiperintensi pada T2. Pemberian kontras radioterapi, dan operasi.
gadolinium intravena akan memberi pe-
nyangatan yang kemudian akan membe­ Kortikosteroid masih banyak diberikan pada
dakan jaringan normal dengan tumor. Pada pasien dengan kompresi medula spinalis
akibat keganasan, walaupun dosis idealnya
pemeriksaan MRI, lesi keganasan biasanya
masih diperdebatkan. Pada prinsipnya, kor­
melibatkan struktur pedikel, penyangatan
yang kuat, dan keterlibatan jaringan lunak tikosteroid dapat mengurangi edema va-
sogenikyang terjadi akibat kompresi medula
paravertebral. Di lain pihak, kompresi ver­
spinalis. Adapun dosis deksametason yang
tebra akibat osteoporosis tidak melibatkan
sering diberikan adalah 10-16mg IV bolus,
struktur pedikel dan jaringan lunak para­
vertebral. kemudian dilanjutkan 4-6mg tiap 4 jam. Do­
sis ini kemudian diturunkan selama radiote­
Pemeriksaan Serologi dan Analisis Cairan rapi atau secepatnya pascaradioterapi.
Otak
Radioterapi diberikan pada kasus ini de­
Pemeriksaan serologi yang dapat dilakukan
ngan kombinasi dengan kortikosteroid
pada metastasis tumor spinal antara lain
seperti alinea di atas. Dosis yang diberikan
serum penanda tumor untuk skrining tumor
sebesar 30Gy dalam 10 fraksi. Radioterapi
primer, yaitu PSA (prostat), CEA (kolorektal),
dilakukan pada lesi utama dan diperluas
CA 125 (ovarium), CA 15-3 (payudara), dan
hingga 1 atau 2 korpus vertebra di atas dan
CYFRA 21-1 (paru). Pemeriksaan darah
bawah dari lesi utama. Radiasi yang diberi­
lengkap, albumin, ureum, kreatinin, dan tes
kan lebih dari 30Gy tidak menunjukkan lu-
fungsi liver dapat dikerjakan untuk evaluasi
aran yang semakin baik.
kondisi sistemik pasien. Selain itu, protein
urin Bence-Jones untuk mendeteksi mieloma. Operasi diindikasikan bila terdapat instabi-
Peme-riksaan analisis cairan otak dapat litas spinal. Faktor-faktor yang mengarah ke

352
Tumor Spina!

instabilitas spinal antara lain lokasi di per- Kemoterapi


sambungan (oksiput-C2, C7-Th2, T h ll-L l, Kemoterapi dapat diberikan sebelum atau
L5-S1), terdapat lesi litik, adanya subluksasi/ setelah operasi. Pada keterlibatan sarko-
listesis, kolaps korpus vertebra >50%, dan matosa di spinal, kemoterapi praoperasi
destruksi pedikel bilateral. Beberapa hal perlu dapat memfasilitasi tindakan reseksi tu­
dipertimbangkan sebelum menjalani operasi mor. Pada sebagian besar kasus lain, ke­
pada pasien kompresi medula spinalis akibat moterapi kombinasi pascaoperasi diberi­
keganasan, antara lain kondisi medis lain se- kan pada tumor ganas spinal.
cara umum dan prognosis secara keseluruh-
Rehabilitasi
an. Misalnya, pasien dengan tumor metastasis
Selain tata laksana di atas, aspek rehabili­
spinal yang radiosensitif, metastasis sudah
menyebar ke beberapa tempat, harapan hidup tasi juga perlu diperhatikan demi kualitas
yang pendek, dan kondisi medis yang berat, hidup pasien yang baik. Salah satu ben-
lebih dianjurkan untuk radioterapi dan pem- tuk rehabilitasi yang dapat diberikan pada
berian steroid daripada operasi. pasien kanker adalah korset spinal Korset
memberikan dukungan eksternal tambahan
Penanganan Nyeri pada segmen spinal yang fungsinya tergang-
Nyeri pada tumor spinal merupakan salah gu karena tumor. Tujuan pemakaian korset
satu jenis nyeri kanker yang ditandai dengan spinal antara lain restriksi gerakan, penye-
kombinasi nyeri nosiseptif dan neuropatik. jajaran [alignment ] spinal, dan dukungan
Nyeri pada tumor spinal berhubungan de­ aksial badan. Namun, pemakaian korset
ngan beberapa hal, yaitu proses sekunder bukannya tanpa kontroversi. Kegunaan kor­
dari keterlibatan tumor di korpus vertebra, set dalam mencapai tujuannya dipengaruhi
fraktur kompresi, kompresi medula spina­ oleh ketebalan jaringan lunak yang berada
lis, atau infiltrasi radiks. Tata laksana far-
di sekitar vertebra. Semakin tebal jaringan
makologi nyeri pada tumor spinal ini sama
lunaknya, semakin rendah efektivitas dari
dengan nyeri kanker pada umumnya, yang
korset itu sen dir i. Selain ketebalan jaringan
pembahasannya dapat dilihat pada topik
lunak, panjang korset juga mempengaruhi
nyeri kanker atau nyeri neuropatik.
efektivitas. Korset yang panjang memberi­
Radioterapi kan stabilisasi spinal yang lebih baik dari­
Tumor spinal yang tergolong radiosensitif pada korset yang pendek.
antara lain, plasmasitoma, mieloma multipel,
Selain korset, rehabilitasi yang bisa diberi­
dan metastasis tumor spinal dari payudara,
kan pada pasien tumor spinal adalah terapi
prostat, dan small cell lung cancer. Pada seba-
fisilt dan okupasi. Pasien dengan tumor
gian besar kasus lain, rekomendasinya adalah
spinal biasanya memiliki keterbatasan mo-
radioterapi eksternal pascaoperasi reseksi tu­
bilisasi. Kondisi ini selanjuntnya dapat me-
mor. Radioterapi praoperasi dapat dilakukan
nimbulkan gangguan respitasi, penurunan
bertujuan untuk mengecilkan massa tumor.
fungsi otot, dan gangguan integritas in-
Namun, radioterapi praoperasiharus diper-
tegumen (dekubitus). Terapi fisik meliputi
hatikan karena dapat meningkatkan risiko in-
mobilisasi bertahap, mulai di tempat tidur
feksi dan masalah penyembuhan luka.

353
Baku Ajar N eurohgi

hingga berjalan, dan latihan [exercise) pe- kai dirasakan semakin progresif hingga akhir-
nguatan otot abdomen dan ekstensor. Terapi nya pasien sekarang hanya dapat berbaring di
okupasi meliputi pemberian alat bantu dan tempat tidur dan mulai mengompol. Pasien
pembelajaran untuk bisa ke kamar mandi memiliki riwayat operasi mastektomi mam­
dan mengurus diri sendiri. mae kiri 10 tahun lalu. Hasil patologi anatomi
dikatakan karsinoma mammae duktal inva-
C O N T O H KASUS sif jenis solid tubular, grade II. Pasien sempat
Kasus 1 menjalani kemoterapi 3 tahun lalu.
Perempuan 52 tahun datang dengan kelu- Pemeriksaan neurologi menunjukkan
han nyeri pada punggung sejak 8 bulan lalu. paraplegia UMN, hipestesi setinggi derma-
Nyeri dirasakan di antara kedua tulang be- tom torakal 7 ke bawah, dan retensi uri.
likat. Awalnya, nyeri masih hilang timbul dan Pemeriksaan MRI vertebra dengan kontras
berkurang dengan minum obat penghilang menunjukkan proses metastasis intrakor-
nyeri dari waning. Sejak 2 bulan lalu, nyeri pus vertebra Th 8 (Gambar 12).
punggung bertambah berat dan mengganggu
Pasien didiagnosis tumor spinal metasta­
aktivitas. Selain itu, pasien juga mulai menge-
sis ekstradural dengan primer karsinoma
luhkan kelemahan pada kedua tungkai. Sejak
mammae. Tata laksana pada pasien ini
sebulan lalu, pasien mulai mengeluhkan baal
adalah pemberian korset, radioterapi pali-
pada kedua tungkai. Keluhan nyeri punggung,
atif, dan terapi bisfosfonat.
kelemahan tungkai, dan baal pada kedua tung­

Gambar 12. MRI Vertebra Torakal T2WI Sagital


Tanda panah menunjukkan destruksi di korpus vertebra torakal 8, sehingga menyebabkan fraktur kompresi patologis
sampai memipih dengan edema paravertebra sekitarnya serta menyebabkan konfigurasi kifosis vertebra torakaiis.

354
Tumor Spina!

K asu s2 Pemeriksaan fisik neurologi menunjukkan


Perempuan 60 tahun memiliki keluhan kese- paraparesis UMN (kekuatan 2/5 pada kedua
mutan pada kedua tungkai sejak 8 bulan lalu. tungkai), hipestesi setinggi dermatom tora-
Kesemutan disertai rasa kencang dari perut kal 12 ke bawah, dan inkontinensia uri et
bawah sampai telapak kaki. Keluhan ini dira- alvi. Pemeriksaan MRI vertebra torakal de-
sakan terus menerus. Sejak 7 bulan lalu, pasien ngan kontras menunjukkan tumor intradu­
mengeluhkan kulitnya terasa kering dan jarang ral, ekstramedula setinggi vertebra torakal
berkeringat dari perut bawah sampai kedua 10 yang mendesak dan menekan mielum ke
tungkai. Kedua tungkai mulai terasa berat un- arah kanan (Gambar 13). Pasien kemudian
tuk berjalan. Sejak 3 bulan lalu, kelemahan dilakukan operasi dan hasil patologi ana-
kedua tungkai memberat. Pasien juga menge- tomi menunjukkan meningioma campuran
luh ada rasa terikat di daerah pinggang. Selain jenis meningothelimatosa, transisional dan
itu, pasien juga mengeluhkan sulit menahan jenis psammomatosa (WHO grade I). Diag­
berkemih dan buang air besar. Pasien memiliki nosis pasien ini adalah tumor spinal intra­
riwayatpenggunaan pil KB selama 5 tahun dan dural ekstramedula, yaitu meningioma.
riwayat kanker payudara pada anak pasien.

Gambar 13. MRI Vertebra Torakal T2W I Sagital [Kiri) dan T1WI Kontras Aksial (Kanan)
Tanda panah menunjukkan massa intradural ekstramedula setinggi vertebra torakal 10.

355
Buku Ajar Neurologi

DAFTARPUSTAKA 6. Hirano K, Imagama S, Sato K, Kato F, Yukawa Y, Yo-


shihara H, dkk. Primary spinal cord tumors: review
1. Baehr M, Frotscher M. Duus' Topical Diagnosis
of 678 surgically treated patients in Japan, a mul­
in Neurology: anatomy, physiology, signs, and
ticenter study. Eur Spine J. 2012;21(10):2019-26.
symptoms. Edisi ke-4. Stuttgart: Thieme; 2005,
7. Lewandrowski KU, Markman M, Bukowski RM,
2. Claus EB Abdel-Wahab M, Burger PC, Engelhard
Mack!is R, Benzel EC, penyunting. Cancer in the
HH, Elison DW, Gaiano N, dkk. Defining future di­
spine: comprehensive care. New Jersey: Humana
rections in spinal cord tumor research. J Neurosurg
Press Inc; 2006.
Spine. 2010;12(2):117-21.
3. DeMonte F, Mahajan A, Gilbert MR, McCutcheon
8. Lewis MA, Hendrickson AW, Moynihan TJ. Onco­
logic emergencies: pathophysiology, presenta­
IE. Tumors of the brain and spine. New York:
tion, diagnosis, and treatment CA Cancer J Clin,
Springer Science; 2007.
2011;61(5):287-314.
4. Duong LM, McCarthy BJ, McLendon RE, Docelek TA,
9. Mumenthaler M, Mattie H. Fundamentals of neurol­
Kruchko C, Douglas LL, dkk. Descriptive epidemiology
ogy: an illustrated guide. Stuttgart: Thieme; 2006.
of malignant and nonmalignant primary spinal cord,
10. Schellinger ICA, Propp JM, Villano JL, McCarthy BJ.
spinal meninges, and cauda equina tumors, United
Descriptive epidemiology of primary spinal cord
States, 2004-2007. Cancer. 2011;118(17):4220-7.
tumors. J Neurooncol. 2008;87(2):173-9.
5. Fisher CG, DiPaola CP, Ryken TC, Bilsky MH, Sbaf-
11. Schiff D, Kesari S, Wen PY. Cancer neurology in
frey Cl, Berven SH, dkk. A novel classification sys­
clinical practice: neurologic complications of
tem for spinal instability in neoplastic disease:
cancer and its treatment. Edisi ke-2. New Jersey:
an evidence-based approach and expert consen­
Humana Press; 2008.
sus from the Spine Oncology Study Group. Spine.
2010;35(22):E1221-9,

356
NEURORESTORASI
Prinsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera Saraf
PRINSIP DASAR NEURORESTORASI
PASCACEDERA SARAF

Amanda Tiksnadi, Siti Airiza Ahmad, Pukovisa Prawiroharjo

PENDAHULUAN anggap sudah tercakup dalam definisi neu­


Neurorestorasi berasal dari kata uneuro4og\/} rorestorasi secara umum.
dan " r e s to r e ” yang berarti upaya renova-
Ada 4 prinsip yang penting untuk dipikirkan
si untuk mengembalikan ke kondisi atau
dalam melakukan upaya neurorestorasi,
fungsi semula. Neurorestorasi didefinisikan
yaitu:
sebagai cabang ilmu neurologi yang menerap-
kan prosedur aktif dalam meningkatkan atau 1. Keterbatasan regenerasi neuron [limited
memperbaiki fungsi sistem saraf yang tergang- regeneration )
gu, baik secara fungsional maupun patologis. 2. Tidak instan, melainkan melaiui proses
Pendekatan ini dilakukan melaiui modifikasi pembelajaran ulang ( relearning )
selektif pada struktur dan fungsi saraf yang ab­ 3. Kapasitas reservasi otak/sarafyangkurang
normal berdasarkan mekanisme penyakit, ser- memadai ( insufficient reserve); konsep
ta ekskalasi kapasitas fungsional sistim saraf yang menggambarkan diskrepansi antara
yangtersisa dan/atau aktivasi sistim saraf yang derajat kerusakan saraf secara patologis
sebelumnya masih tersamar (World Congress o f dengan derajat manifestasi Minis.
Neurology Hamburg, 1985). 4. Lifelong reinforcement; sama seperti ke-
Ilmu yang mempelajari neurorestorasi dise- terampilan yang perlu terus dilatih dan
but neurorestoratologi, yang didefinisikan diasah seumur hidup.
sebagai ilmu neurosains yang mempelajari
regenerasi neuron, neural structural repair Ada aturan 4 langkah dalam neurorestora­
o f replacement, neuroplastisitas, dan neuro- tologi yang perlu dilakukan untuk mendapat-
modulasi. Tujuan utama dari pengembangan kan hasil yang efektif, yaitu:
ilmu ini adalah untuk meningkatkan proses 1. Neurorestorasi struktural neuron
pemulihan fungsional neuron yang rusak 2. Signaling neurorestorasi
atau terganggu karena sebab apapun, ter-
3. Neurorestorasi rehabilitatif
masuk akibat penyakit neurodegeneratif.
4. Neurorestorasi fungsional
Ada 5 dogma yang berperan dalam ilmu
neurorestorasi, yang disebut sebagai 5 N's Pada bab ini akan dibahas juga aplikasi neu­
dogma, yaitu neuroregenerasi, neurorepair, rorestorasi pada keadaan khusus yang pa­
ling sering terjadi dan membutuhkan prose­
neuroplastisitas, neuromodulasi, dan neu­
dur tersebut, yaitu pascastroke dan afasia.
rorehab ilitasi. "Neuroproteksi” sendiri di-

359
Buku Ajar Neurologi

NEUROPLASTISITAS Neuroplastisitas, berasal dari kata "neuro" dan


Di masa yang lampau, para ahli berpendapat bahasa Yunani "plastos" yang berarti molded
bahwa otak berhenti tumbuh pada masa atau materi yang bisa dibentuk, seperti tanah
kanak-kanak dan tidak mempunyai kemam- liat. Dengan neuroplastisitas inilah neuron di
puan untuk beregenerasi. Mereka )uga per- otak beradaptasi dan menyesuaikan fungsinya
caya bahwa koneksi antar saraf (sinaps) ha- sebagai respons terhadap situasi baru atau
nya terbentuk pada suatu periode kritis pada perubahan yang terjadi. Adanya paparan ter­
masa kanak-kanak tersebu't dan menetap, hadap stimulus pada umumnya akan menye-
tidak berubah seiring dengan pertambahan babkan penambahan dan perubahan sinaps
umur. Oleh karena itu, pada masa tersebut [Gambar 1), misai saat seseorang mempe-
jika terdapat suatu kerusakan area di otak, lajari keterampilan baru, seperti belajar naik
akibat yang terjadi akan bersifat permanen, sepeda, belajar menyetir, belajar berjalan, atau
karena serabut saraf tidak bisa beregenerasi belajar berbicara. Namun penambahan jum-
maupun membentuk sinaps baru. lah sinaps juga dapat berakibat merugikan,
seperti yang terjadi pada nyeri neuropatik
Namun studi dan eksperimen baik pada
hewan coba maupun pada manusia menun- Sebaliknya pada kondisi hilangnya paparan
jukkan sebaliknya. Otak terbukti memi- suatu stimulus, misalnya akibat kematian sel
iiki kemampuan untuk beregenerasi dan pascastroke, atau adanya suatu keterampilan
melakukan modifikasi bentuk struktural yang pernah dipelajari dan tidak diperguna-
dan sekaligus' fungsinya secara kontinu kan kembali, maka fenomena neuroplastisitas
sepanjang hidupnya. Perubahan struk­ yang terjadi berupa pengurangan sinaps yang
tural dan fungsional ini terjadi melalui me- telah terbentuk sebelumnya. Secara kllinis
kanisme penambahan atau pengurangan hal ini bermanifestasi sebagai hilangnya atau
koneksi sinaps. Fenomena ini dikenal de­ berkurangnya kemampuan seseorang dalam
ngan istilah neuroplastisitas. melakukan keterampilan tersebut

(A) Sebs'um paparan stimulus (3) Seteiah paparan stimulus

Sinaps tunggaS pada Akson baru s a Pembentukan sinaps


dendltrkspine baru dart ujung
Akson 1 i akson baru
\ Akson baru
Akson 1 j Tcm bentukan sinaps
A kso n 2 ~
baru dariujung
A kson 2 i
Akson baru .— — akson oris!nat
Akson 3 ’
Akson 3 ss

/\

(C) Bentuk-bentuk dendritic spines baru yang terbentuk

Gambar 1. Jlustrasi Penambahan Sinaps Pascapaparan Stimulus pada Fenomena Neuroplastisitas

360
Pririsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera S araf

paparan stimulus akan menyebabkan ter- kerusakan akan kehilangan sel target untuk
bentuknya sinaps-sinaps baru: (A) kondisi diinervasi. Akibat proses ini, terdapat be­
sebelum paparan stimulus; (B) kondisi berapa perubahan pada neuron presinaps,
pascapaparan stimulus; (C) variasi bentuk antara lain:
dendrit yang berubah pascaterbentuknya
sinaps-sinaps baru 1. Atrofi dan degenerasi retrograd

Cedera pada susunan saraf pusat (SSP) akan Neuron presinaps mengalami atrofi dan
mempengaruhi balk neuron pre maupun degenerasi (kematian sel) yang dimulai
pascasinaps melalui beberapa mekanisme, dari bagian akson terminal, mundur ke
yaitu perubahan proyeksi aksonal, dener- belakang sampai ke bagian badan sel
vasi, dan eliminasi sebagian neuron. Berikut (Gambar 2).
akan dibahas proses yang terjadi pada neu­ Ada beberapa faktor yang memengaruhi
ron-neuron tersebut pascacedera SSP. derajat atrofi dan degenerasi retrograd,
di antaranya:
PERUBAHAN PADA NEURON PRESINAPS
a. Lokasi trauma; semakin proksimal lesi,
Suatu cedera yang menyebabkan terputusnya
semakin berat atrofi dan degenerasi.
akson (axotomy) akan menyebabkan dege-
nerasi pada bagian distal dari area yang b. Ekstensi serabut proyeksi ke sel tar­
mengalami cedera, yang disebut degenerasi get; semakin banyak proyeksi kolate-
Wallerian. Kontak neuron presinaps dengan ral dari akson yang mengalami cedera,
neuron pascasinaps akan terputus. Neu­ semakin ringan derajat atrofi dan de­
ron presinaps dari sel-sel yang mengalami generasi retrograd yang terjadi.

A, Degenerasi W allerian B, Degenerasi Retrograd

&

Gambar 2, Perbedaan Degenerasi Wallerian dan Degenerasi Retrograd


[A] degenerasi Wallerian terjadi mulai dart titik lesi hingga berakhir di bagian akson terminal;
(B) neuron presinaps mengalami atrofi dan degenerasi [kematian sel] yang dimulai dari bagian akson
terminal, mundur ke belakang sampai ke bagian badan sel [soma)

361
Buku Ajar Neurologi

2. Synaptic stripping pada demielinisasi akson. Proses kematian


Pada kerusakan akson, sinaps-sinaps antar- ini terjadi melalui proses apoptosis yang
neuron diseldtamya juga akan mengalami terus berlangsung selama beberapa hari
gangguan. Sinaps yang mengalami disfimg- sampai beberapa minggu pascacedera.
si tersebut akan dieliminasi oleh mikroglia
sebagai mekanisme alamiah tubuh. Sinaps PERUBAHAN NEURON PASCASINAPS
yang hilang ini dapatterbentuk kembali jika Kematian sel neuron presinaps dapat me-
neuron pascasinaps beregenerasi kembali. nyebabkan perubahan neuron pascasinaps
akibat hilangnya input sinaps normal. Pe­
3. Degenerasi berantai ( cascading dege­
rubahan tersebut dapat bervariasi dari ringan
neration )
sampai berat, antara lain:
Proses kematian sel neuron dapat terjadi
secara retrograd dan mempengaruhi seke- 1. Supersensitifitas denervasional
lompok neuron (transneuronal). Dege­ Pada fenomena ini, sel pascasinaps menjadi
nerasi retrograd dan transneuronal tidak lebih sensitif terhadap neurotransmiter.
selalu terbatas pada satu jaringan sinaps Terdapat peningkatan jumlah dan dis-
saja, melainkan bisa terjadi pada seluruh tribusi reseptor di membran pascasinaps.
jaringan sinaps di neuron tersebut. Bila 2. Atrofi transneuronal
ada neuron yang mengalami denervasi, Denervasi akan menyebabkan ukuran sel
maka neuron sekitar yang menjadi sel pascasinaps mengecil atau mengalami
target juga akan dapat mengalami dener­ kematian sel. Fenomena ini dapat bersifat
vasi dan degenerasi. Proses ini dapat terus reversibel. Sebagai contoh, ukuran neu­
berlanjutdan mempengaruhi neuron-neu­ ron yang mengalami atrofi dapat kembali
ron berikutnya sehingga mengakibatkan seperti semula bila terjadi reinervasi.
kerusakan yang luas. Fenomena ini dikenal
3. Degenerasi transneuronal
sebgai fenomena degenerasi berantai.
Pada degenerasi transneuronal, dener­
4. Delayed neuronal death pascaiskemia vasi menyebabkan kematian neuron
Berdasarkan studi, terdapat sekelompok pascasinaps.
neuron yang dapat bertahan pada iske-
mia akut. Bila iskemia berlanjut, neuron- REORGANISASI KONEKSI NEURONAL
neuron ini akan mengalami kematian PASCACEDERA
dalam waktu beberapa jam hingga be- Proses regenerasi pascakerusakan akson
berapa hari kemudian. Kelompok neuron merupakan bagian dari proses reorganisa-
yang rentan terhadap proses ini terdapat si koneksi neuronal. Saat akson terputus,
di daerah korteks dan hipokampus. bagian distal dari lokasi cedera akan meng­
alami degenerasi Wallerian, sedangkan
5. Demielinisasi
segmen proksimal akan memendek dan
Salah satu bentuk lain degenerasi sebagai
membentuk retraction ball pada bagian
respons terhadap cedera altson adalah ke­
ujungyang terputus [Gambar 3].
matian sel oligodendroglia yang berujung

362
Prinsip Dasar Neuro res to rasi Pascacedera S araf

Neuron Normal

Terminalarborpada
Akson v; se! target

Degenerasi pascaaksonotomi

cedera Degenerasi Wallerian

Retraction bail
\ i I \

Gambar 3. Degenerasi Wallerian Pascakerusakan Akson

R eg e n e rasi a bo rtlf

cedera;
Kan us dystrophicgro w
■Jik,

ce d e ra

Tangled term in a l a rb o r

Gambar 4. Regenerasi Abortif berupa Konus Dystrophic Growth dan Tangled A rbors

363
Buku Ajar Neurologi

Regenerasj produktif

Regenerative s p r o u ting cede.ra

\
k
f x
S u p e r n u m e ra r y c o lla te ra ls

Gambar S. Regenerasi Produktif Berup a Regenerative Sprouting dan Supernumerary Collaterals

Gambar 6. Pruning-related Sprouting


Atas: sinaps neuron dalam keadaan normal; bawah: pruning related sprouting pada kematian neuron pascasinaps

364
Prinsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera S araf

Denervasi difus

100% reinervasi

Denervasi fokal

► 25% reinervasi

Gambar 7. Reinervasi pada Denervasi Difus dan Denervasi Fokal

Proses regenerasi akson dan reorganisasi a. Regenerasi dan sprouting aksonal


koneksi neuronal selanjutnya tergantung Akson beregenerasi dengan menum-
dari situasi dan kondisi yang ada, akan ber- buhkan cabang-cabang akson terminal
bentuk salah satu atau beberapa proses baru (Gambar 5}.
berikut:
b. Regenerasi supernumerary collaterals
1. Regenerasi bonafide: pemanjangan ak­ Regenerasi akson terjadi dengan me-
son saja tanpa cabang-cabanglcolateral numbuhkan cabang-cabang kolateral
2. Regenerasi abortif: ditandai dengan ter- dari badan akson, bukan dari bagian
bentuknya konus dystrophic growth dan akson terminal (Gambar 5).
tangled arbors (Gambar 4). 4. Pruning-related sprouting
3. Regenerasi produktif: terjadi formasi Pada beberapa kasus, neuron yang ke-
cabang-cabang kolateral baru pada hilangan beberapa sel target akan mem-
ujung situs cedera perbanyak jumlah koneksi tambahan di

365
Baku Ajar Neurologi

area lain yang tidak mengalami kerusakan. fik), tetapi bisa pula berupa stimulus yang
Sebagai contoh, pada sebuah neuron yang berbeda dari preferensinya (kompetitif).
memiliki 2 proyeksi kolateral ke sel-sel tar­
4. Target availability
get yang berbeda, kematian salah satu sel
Pembentukan sinaps atau sinaptogenesis,
target akan meningkatkan jumlah proyeksi
baik akibat regenerasi sprouting, pruning-
kolateral sel target yang masih utuh (Gam-
related sprouting, maupun axonal redi­
bar 6). Fenomena ini dikenal pula dengan
rection tidak akan terjadi tanpa peran
istilah ectopic axonal re-direction.
sel target (neuron pascasinaps). Neuron
Sprouting kolateral yang terbentuk aki- pascasinaps harus bisa mengirimkan
bat kematian salah satu neuron pasca- sinyal-sinyal penting untuk "memanggil"
sinaps justru memperkuat innervasi dan merangsang regenerasi agar dapat
neuron pascasinaps lain, yang tidak mencapai sel target, dan meminimalkan
mengalami cedera (normal). proyeksi ektopik (misdirection sprouting ).

Berbagai mekanisme tersebut merupakan 5. Usia


tantangan bagi pengemban ilmu penyakit Regenerasi lebih baik dan lebih cepat
saraf untuk dapat mempergunakan fenomena terjadi pada usia muda bila dibanding-
neruoplastisitas dalam pemulihan lesi saraf. kan usia lebih tua.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi efek-
NEURORESTORASI FUNGSIONAL
tivitas reinervasi dari neuron yang menga­
Proses reorganisasi otak pascastroke
lami denervasi, yaitu:
merupakan contoh yang paling baik untuk
1. Prinsip proksimitas memahami proses neurorestorasi fung-
Semakin kecil jarak antara lokasi cedera, sional pasca suatu cedera SSP. Dari banyak
semakin besar kemungkinan terjadinya studi yang telah dilakukan, terutama yang
reinervasi sinaps. mempelajari fisiologi pemulihan fungsi mo-
2., Fokalitas denervasi yang terjadi torik pascastroke, proses reorganisasi ini
Prognosis reinervasi pada suatu dener­ terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
vasi yang bersifat difus lebih baik dari- 1. Reorganisasi lokal
pada reinervasi pada denervasi yang Salah satu proses reorganisasi otak un­
bersifat fokal (Gambar 7). tuk memulihkan fungsi kontrol motorik
3. Spesifisitas dan kompetisi yang rusak adalah melalui reorganisasi
Bila dua sistem yang homolog sama-sama somatotopik, atau fenomena yang dise-
menginervasi suatu area, hilangnya salah but vikariasi ( vicariation ). Fenomena
satu sistem akan mengakibatkan sprouting ini diajukan oleh Donoghue pada tahun
dari sistem yang masih utuh/sehat. Bila 1990. Area di sekeliling infark (penum­
area tersebut memiliki preferensial terha- bra) akan mengambil alih kontrol mo­
dap suatu stimulus tertentu, maka sprout­ torik dengan mengaktifkan jaras-jaras
ing yang terjadi bisa berupa akson yang dengan representasi motorik yang se-
memberikan stimulus yang sama (spesi- belumnya "tertidur”.

366
Prinsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera S araf

2. Pemulihan diaskisis (dictschisis) duga bahwa aktivasi hemisfer kontralesi


Disebut juga lesi imbas, yaitu gangguan dapat meningkatkan prognosis pemu­
fungsinal pada area yang secara anatomi lihan fungsi motorik. Namun beberapa
terletak jauh dari area yang rusak. Di­ studi terbaru cenderung membuktikan
askisis merupakan respons alamiah akibat hal sebaliknya, yaitu aktivasi hemisfer
terganggunya sistem ‘'network" fimgsional yang sehat cenderung merugikan atau
di otak. Lesi ini umumnya terjadi pada dihubungkan dengan pemulihan fungsi
area-area yang bekerja sama dengan erat, motorik yang lebih buruk.
misalnya pusat menelan dan pusat moto-
Pasien dengan perbaikan fungsi motorik
rik primer untuk ekstremitas. Contohnya,
minimal menunjukkan peningkatan akti­
pada stroke akut yang menunjukkan
vitas pada hemisfer kontralesi dan aktivasi
iskemia hanya pada area korteks moto-
minimal pada hemisfer ipsilesi. Adapun
rik primer (tanpa tanda-tanda iskemia
pasien dengan pemulihan fungsi motorik
di daerah batang otak), sering dijumpai
optimal menunjukkan aktivasi di hemisfer
gangguan menelan (disfagia) akut yang
ipsilesi yang lebih tinggi dibandingkan ak­
menyertai hemiplegia kontralateral, Disfa­
tivasi hemisfer kontralesi. Hingga saat ini,
gia ini terjadi sebagai akibat fenomena
peran area homolog di hemisfer kontralesi
diaskisis tersebut, terjadi gangguan fung-
masih menjadi perdebatan, sebagai penye-
sional tanpa kelainan struktural di area
bab buruknya pemulihan fungsi motorik
yang letaknya jauh dari lesi primer. Hal ini
atau hanya merupakan epifenomena aki­
umumnya hanya berlangsung sebentar
bat ketidakmampuan hemisfer ipsilesi un­
dan dapat pulih seperti sediakala.
tuk mengaktifkan area yang dibutuhkan.
3. Reorganisasi area sekunder
Pada kerusakan luas yang menyebabkan NEURORESTORASI PASCASTROKE
kerusakan sel neuron perilesional (di se- Saat ini, hanya kurang dari 10% penderita
keliling lesi) dengan fungsi somatotopik, stroke iskemik yang bisa mendapatkan
reorganisasi akan terjadi pada area so­ terapi rTPA yang secara bermakna mem-
matotopik sekunder yang letak anatominya perbaiki luaran pasca stroke ini. Sisanya,
berjauhan dengan lesi. Sebagai contoh, stroke survivors harus mengadapi berbagai
aktivasi jaras di area korteks premoto- masalah disabilitas berat, seperti hemipa-
rik dan area motorik suplementer atau resis, disfagia, afasia, dan lain sebagainya.
supplementary motor area (SMA) pada
Kemajuan sains dan teknologi mutakhir telah
kerusakan korteks motorik primer.
membuka jalan bagi perkembangan ilmu neu­
4. Reorganisasi bihemisfer roscience., neurobiologis, neuroprostetik, robotic;
Berbagai studi pencitraan terhadap biomedical engineering untuk program neuro­
masa pemulihan pascastroke memperli- restorasi pasien dengan gangguan neurologis.
hatkan aktivitas sensorimotor yang me- Rangkuman berbagai modalitas neuro­
luas hingga ke hemisfer yang sehat atau restorasi pascastroke yang sedang berkem-
hemisfer kontralesi. Pada awalnya di- bang dapat dilihat pada Tabel 1.

367
Buku Ajar Neurologi

Tab el 1. Gambaran Umum Modalitas Neurorestorasi Pascastroke


Pemulihan Stroke
Tata Laksana Fase Akut Pemulihan Fase Kronik
Pemulihan B rain -m achin e
Neuroproteksi Terapi Sel Neuromodulasi In terfa ce
Aliran Darah
® tPA e Hipotermia * Stem sel endogen ® tDCS e Sinyal korteks
» Trombektomi • PSD-95 • Stem sel endogen « rTMS ® Sinyal medula spinalis
® Stem sel terinduksi ® Stimulasi serebelar
® Stimulasi vagal
o Optogenetik

tPA: tissue plasminogen activator, PSD-95: postsynaptic density protein 95; rTMS: repetitive transcranial magnetic stimula­
tion; tDCS: trancranial direct currentstimulation
Sumber: Azad TD, dkk. Neurosurg Focus. 2016. h. E2,

Adapun tata laksana neurorestorasi mempu- dekubitus, dan stasis sirkulasi hemo-
nyai strategi dan tujuan yang berbeda pada dinamik, mobilisasi-postur/ng-kontrol
stroke fase akut, subakut, dan kronik, yaitu: trunkal berguna untuk mempertahan-
kan fungsi antigravitasi otot trunkal.
Tata laksana atau intervensi pada pasien
Otot trunkal berperan dalam menjaga
pascastroke harus mempertimbangkan pro­
postur tubuh dan merupakan jangkar
ses patologik (sumbatan atau perdarahan),
dari gerak ekstremitas.
onset, serta mekanisme neuroanatomi dan
neurofisiologi. Penatalaltsanaan multidisiplin Pada fase akut, tata laksana pasien
yang terpadu (organized stroke care ] di unit stroke mencakup posisi tirah baring
stroke RSUPN Cipto Mangunkusumo yang untuk menjaga MAP dan CBF yang
sesuai dengan penemuan di kawasan lain di optimal. Pada posisi tirah baring,
dunia berhasil menurunkan angka kematian gravitasi menjadi nol, sehingga otot-
akibat stroke sampai di bawah 5%, otot ekstesor trunkal yang dibutuh-
kan untuk aktivitas yang melawan
t. Tata Laksana Neurorestorasi Rehabili-
gravitasi (misal untuk duduk, bangun,
tatif Fase Akut
berdiri, berjalan, dan seterusnya) sama
Intervensi neurorestorasi rehabilitatif
sekali tidak bekerja. Jika dibiarkan
pada fase akut ditujukan sedini mungkin
berkepanjangan, dapat terjadi feno-
untuk meminimalkan gejala sisa dengan
mena neuroplastisitas negatif, seperti
membantu perbaikan perfusi otak dan
pruning synapses (lihat penjelasan
mencegah komplikasi imobilisasi, se-
bab Neurorestorasi] yang menyebab-
hingga tercapai pemulihan fungsional
kan atrofi otot-otot trunkal.
yang optimal.
Atrofi tersebut akan menyulitkan
a. Mobilisasi, posturing, serta kontrol
aktivitas antigravitasi dan juga gang-
trunkal
guan pada kontrol ekstremitas yang
Selain untuk mencegah kontraktur,
akan menambah perm asalahan

368
Prinsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera S araf

disabilitas dan program terapi fisik akut Oleh karena itu, penting untuk
pada fase kronik. Oleh karena itu, melakukan identifikasi disfagia sejak
pengaturan posisi merupakan hal dini dengan melakukan skrining as­
paling dini yang harus diterapkan pirasi pada pasien stroke untuk segera
pada pasien stroke akut sesudah ke- dilanjutkan dengan terapinya. Tahap
gawatdaruratan teratasi. ini akan dilanjutkan dengan tes ke-
mampuan menelan bila pada skrining
Tindakan elevasi kepala dapat memi-
ditemukan adanya disfagia.
nimalkan gravitasi untuk meningkat-
kan aliran balik vena, mencegah as- Berikut beberapa tahapan dalam melaku­
pirasi, menurunkan TIK, meningkatkan kan skrining aspirasi:
cerebral perfusion pressure (CPP), serta 1) Pasien diposisikan elevasi kepala 60°.
menurunkan tekanan darah rerata
2) Kepala pasien ditekuk ke lateral, ke
arteri (imean arterial blood pressure/
sisi yang sakit.
MABP].
3) Pasien diberikan minum 1 sendok teh air.
Mobilisasi duduk dan latihan gerak
4) Amati tanda batuk atau tersedak, bila
yang lebih bersifat aktif, pada umum-
tersedak, maka skrining dihentikan.
nya baru dilakukan saat hemodinamik
Lakukan suction bila perlu.
& kondisi medis stabil, tekanan rerata
arteri ( mean arterial pressure/MAP) 5} Jika tidak ada batuk atau tersedak,
pada stroke iskemik <130mmHg, gula maka dilanjutkan dengan memberi-
darah >90mg/dL atau <250mg/dL, kan pasien minum setengah gelas air
dan saturasi oksigen >95% (tanpa secara perlahan.
pemberian O J. Karena skrining aspirasi cukup seder-
Latihan ruang lingkup sendi dan pere- hana dan tidak memerlukan keahlian
gangan juga dapat dilakukan secara khusus, maka dapat dilakukan oleh pe-
pasif maupun aktif dengan tujuan rawat atau dokter sesegera mungkin
mencegah atau mengurangi kekakuan saat pasien admisi di ruangan. Skrining
sendi semata, tidakterlalu bermanfaat ini dilanjutkan ke tahap diagnostik de­
bagi untuk tujuan fungsional. ngan menggunakan metoda yang lebih
sensitif oleh terapis wicara [dalam wak-
b. Deteksi dan tata laksana gangguan tu <72 jam setelah admisi] untuk meng-
menelan konfirmasi ada atau tidalaiya disfagia.
Setengah dari pasien stroke akut
dengan kesadaran penuh juga didiag­ Bila hasil skrining menyatakan tidak
nosis dengan disfagia. Disfagia yang ada aspirasi, maka proses dapat di­
tidak ditangani dengan baik dapat me- lanjutkan dengan tes kemampuan
nyebabkan komplikasi berupa pneu­ menelan dengan menggunakan 4 ba-
monia aspirasi, dehidrasi, dan malnu- han yang berbeda, yaitu: air, makanan
trisi. Pneumonia merupakan penyebab setengah cair, makanan setengah pa-
kematian terbanyak pada pasien stroke dat, dan puree. Umumnya tes kemam-

369
Buku Ajar Neurologi

puan menelan ini dilakukan oleh te- ® Sensory enhancement techniques [me-
rapis wicara yang terlatih melakukan ningkatkan tekanan sendok pada lidah
tes fungsi menelan. ketika menyuapkan bolus makanan,
memberikan bolus dengan rasa asam,
Tata laksana yang diberikan pada
bolus dengan temperatur dingin, bolus
pasien disesuaikan dengan hasil tes
yang harus diltunyah, dan sebagainya).
menelan tersebut, yaitu:
• Thermal tactile oral stimulation.
1) Pasien dapat menelan air tanpa
® Deep pharyngeal neuromuscular sti­
tersedak; diet normal.
mulation.
2) Pasien dapat menelan makanan
® Neuromuscular electric stimulation.
setengah encer tanpa tersedak: di­
lakukan pemasangan nasogastric • Transcranial m agnetic stimulation.
tube (NGT) no. 12 (hanya air).
5) Fisioterapi dada {chestphysiotherapy).
3) Pasien dapat menelan makanan
setengah padat tanpa tersedak: c. Gangguan pengosongan kandung kemih
dilakukan pemasangan NGT no.14 Sepertiga sampai dua pertiga pasien
(susu/diet cair komersial, obat). stroke akut, khususnya pasien usia lan-
Setengah porsi diberikan secara jut, mengalami gangguan pengosongan
peroral [PO) dan setengah porsi kandung kemih. Hal ini disebabkan be­
diberikan melalui NGT. berapa macam penyebab yaitu: infeksi,
4) Pasien dapat menelan puree tanpa overflow, impaksi feses, diabetes meli-
tersedak: dilakukan pemasangan tus, dan instabilitas destrusor. Infeksi
NGT no.16. Seluruh porsi diberikan kandung kencing merupakan penyebab
via NGT atau nothing peroral (NPO) komplikasi infeksi terbanyak pasca-
atau % porsi diberikan secara PO, stroke akut
3A porsi diberikan melalui NGT. Tujuan penanganan adalah mensti-
Secara umum, tata laksana disfagia dapat mulasi pusat mikturisi, jika retensi
dilakukan dengan beberapa tindakan urin >100cc akan berisiko infeksi
berikut: dan bila perlu dilakukan intermitten
catheterization (IMC). Ada beberapa
1) Latihan/terapi menelan direk ( direct
teknik penanganan gangguan pengo­
swallowing therapy ).
songan kandung kemih, yaitu dengan
2) Modifikasi konsistensi/tekstur/volume cara pemeriksaan pola buang air kecil,
makanan. ada atau tidak masalah prostat, dan
3) Manuver & pengaturan posisi kepala, melakukan monitor kapasitas bladder(
leher, tubuh ( maneuver & adjusting sisa urin. Beberapa studi menyaran-
body position). kan untuk menggunakan urinal ter-
4) Stimulasi functional training: lebih dahulu dan menghindari pe-
makaian dower kateter.
• Stimulasi pasif.

370
Prinsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera S araf

d. Terapi fisik dada atau komponen berjalan sesuai dengan


Pneumonia dan acute respiratory kemampuan pasien, terus menerus se-
failure termasuk ke dalam kelompok banyak dan sesering mungkin.
komplikasi tersering pada stroke.
Adapun preskripsi latihan berupa:
Studi Morris dkk menunjukkan bahwa
pasien yang mendapatkan terapi fisik • Teknik latihan untuk ambulasi ber­
dada sejak masa perawatan dini dapat jalan terdiri dari latihan dasar per-
menurunkan masa perawatan secara siapan berjalan, ambulasi berjalan,
bermakna. berjalan secara fungsional, dan en­
durance berjalan.
e. Stimulasi sensoris multimodal/stimu-
® Teknik latihan dasar persiapan berjalan.
lasi koma
Teknik menggunakan paparan sen- ® Pemilihan modalitas alatterapi, peng-
sorik eksternal multimodal pada gunaan alat bantu berjalan, ortosis
penderita koma untuk memancing dapat pula diberikan sesuai dengan
arousal dan respons behavior. Walau- preskripsi dokter SpKFR.
pun tingkat efektifitasnya sangat dira- Metode neurorestoratif rehabillitatif
gukan, teknik ini mudah, murah, dan fungsional yang dianggap paling ber-
tidak invasif, sehingga tetap populer manfaat untuk memperbaiki kontrol
untuk dipraktekkan. motorik adalah dengan teknik neuro-
fasilitasi, yaitu berupa:
2. Tata Laksana Neurorestorasi Rehabili-
tatif Fase Subakut (Bisa Saat Rawat Inap a. Bobath
Konsep yang diperkenalkan oleh
Maupun Rawat Jalan)
Berta dan Karel Bobath ini berfokus
Stroke fase subakut ditandai oleh kondisi
kepada respon kontrol yang timbul
hemodinamik dan proses neurologis yang
sebagai respons terhadap kerusakan
telah stabil. Tata laksana neurorestorasi
refleks postural. Prinsip utamanya
pada fase ini mulai ditambah dengan
adalah teknik paparan fasilitasi dan
program neurorestorasi fungsional ter­
pola gerak normal.
masuk aplikasi berbagai teknik neuro-
mo dulasi. b. Brunnstrom
Salah satu konsep terapi neurorehabili-
Gangguan komunikasi seperti afasia, dis-
tatif untuk pasien stroke yang populer
artria, dan kognisi harus ditangani sedini
digunakan di seluruh dunia.
mungkin, Jika ada gangguan menelan
(disfagia) maka dilakukan penanganan c. Rood
gangguan menelan yang lebih intensif, Banyak menerapkan aktifitas dalam
sehingga pasien terbebas dari NGT. Jika fase developmental, stimulasi sensorik
ada gangguan ambulasi berjalan, seperti (terutama jenis stimuli kutaneus),
pada pasien yang belum mampu b e r­ dan klasifikasi kerja otot.
jalan, maka harus dilatih berjalan dan

371
B uku Ajar Neurologi

d. Proprioceptive neuromuscular facili­ ® Subluksasi bahu, nyeri bahu, dan


tation (PFN) shoulder hand syndrome; Perubahan
biomekanik yang berbeda dengan
Banyak menggunakan stimulasi pro-
proses traumatic shoulder problem,
prioseptif perifer seperti peregangan
sehingga diperlukan Rontgen hingga
dan resistensi gerak untuk mening-
USG muskuloskeletal atas indikasi.
katkan respon motorik yang ada.
Penggunaan alat bantu, stimulasi
Jika terdapat gangguan perawatan otot, latihan hingga modalitas alat
diri dan aktivitas sehari-hari, maka yang sesuai kondisi pasien.
penggunaan teknik latihan yang spe-
sifik diberikan sesuai dengan dis- Ulkus dekubitus merupakan salah satu
abilitas yang ada, Jika ada gangguan komplikasi yang sering terjadi. Sebagai
miksi dan defekasi termasuk kon- pencegahan, harus dilakukan positioning,
trolnya, dilakukan latihan khusus
posturing, dan teknik transfer yang tepat
minimal lx/hari. Pencegahan tromboem-
dengan atau tanpa pressure feedback.
Pada penurunan kebugaran kardiore- boli juga hal yang penting untuk diperha-
spirasi, dilakukan program rehabili- tikan dengan cara perubahan posisi dalam
waktu 48 jam terutama pada tungkai
tasi berupa exercise training dibawah
bawah dan memperhatikan antikoagulan
pengawasan ketat dokter rehabilitasi
yang telah/sedang diberikan. Pemakaian
medik dengan memperhatikan he-
modinamik, seperti saturasi 0 2 dan
stocking anti trombotik juga dapat ber-
manfaat pada kasus-kasus tertentu. -
tan da vital). Jika ada gangguan aktivi­
tas sehari-hari akibat masalah visual, 3. Tata Laksana Neurorestorasi Rehabi-
maka setiap pasien stroke sebaiknya litatif Fase Kronik (Saat Rawat j a lan)
dilakukan penapisan gangguan visual Pada stroke fase kronik pada umumnya
agar dapat ditangani secara tepat. sudah terbentuk reorganisasi sistem
. Tata laksana disabilitas lain yang sering saraf yang kuat ( established ), baik yang
berdampak positif, yang negatif. Pada
dijumpai sebagai komplikasi pasca-
stroke adalah: fase ini, tata laksana didasarkan pada
adaptasi dan kompensasi terhadap dis­
® Spastisitas/peningkatan tonus otot
abilitas yang ada.
karena pemulihan sinergis pada eks-
tremitas atas dan bawah; dapat di­ Manajemen rehabilitasi yang dilakukan
berikan intervensi berupa pemberian umumnya meliputi:
toksin botulinum A, kombinasi latihan, ® Memaksimalkan kemampuan fung-
terapi manual, hingga dynamic splinting. sional/melakukan tugas/aktivitas ter­
© Pemendekan otot, kekakuan sendi, tentu.
dan kontraktur; otot harus diposisi- ® Kebugaran kardiorespirasi. Pasien
kan dalam posisi eksentrik, latihan pe­ harus mendapatkan program latihan
regangan, lingkup gerak sendi, hingga penguatan dan aerobik regular yang
casting.

372
Prinsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera S ara/

disesuaikan dengan komorbiditas dan Dasar strategi upaya neurorestorasi afasia


keterbatasan fungsi pasien dan telah dapat memakai alternatif dan gabungan
melewati exercise testing sebelumnya. strategi alternatif sebagai berikut:
® Persiapan kembali ke tempat kerja. Pe- a. Mengembalikan fungsi bahasa dan
kerja pascastroke harus diberi kesem- bicara, dengan fokus pada modalitas
patan untuk mendapatkan pelatihan yang terganggu (language impaired-
ketrampilan yang diperlukan kembali based treatment).
serta kesempatan bekerja yang fleksibel.
b. Membantu restorasi modalitas bahasa
® Kembali ke masyarakat. Pasien stroke yang terganggu dengan modalitas
dengan risiko jatuh di komunitas bahasa lain yang masih intak.
harus mendapatkan intervensi kom-
c. Mengompensasi gangguan bahasa
prehensif, seperti program exercise
yang ada dengan menggunakan mo­
spesifik perindividu untuk mencegah
dalitas fungsi luhur/kognitif yang lain.
atau mengurangi kejadian dan kepa-
rahan akibat jatuh. d. Partisipasi aktif dari caregiver dan
penggunaan aplikasi dan teknologi
NEURORESTORASI PADA AFASIA stimulasi bahasa khusus.
Pada fase akutsampai dengan tahun pertama Dalam menentukan teknis menjalankan
pascacedera otak, kelompok keluaran baik strategi ini meliputi pemilihan program,
memperlihatkan peningkatan aktivitas pada penjadwalan, skala prioritas, dan aspek lain-
area sekeliling lesi di hemisfer dominan nya diperlukan komunikasi, koordinasi, dan
yang lebih tinggi dibandingkan peningkatan evaluasi yang baik antara dokter, terapis,
aktivitas di area homotopik hemisfer non- caregiver , dan keluarga pasien,
dominan. Adapun pada kelompok keluaran
buruk dijumpai hal yang berlawanan, yaitu A. Language Impairm ent-Based Treatment
peningkatan aktivitas lebih banyak pada Yang termasuk ke dalam strategi ber-
area homotopik hemisfer non-dominan. Pada basis fokus pada modalitas bahasa yang
fase kronik, proses pemulihan berlangsung terganggu ini adalah:
lebih lambat dan terjadi secara gradual. Pada
1. Terapi Modalitas Bahasa dari Aspek
kelompok keluaran baik, terjadi peningkatan
Neurokognitif
aktivitas kompensasi gradual pada area
a. Terapi untuk gangguan membaca
homotopikterutamadaerahfrontaldantalamus
di hemisfer nondominan. Pada kelompok b. Terapi untuk gangguan menulis
keluaran buruk, terjadi pula peningkatan c. Terapi untuk gangguan komprehensi
aktivitas di hemisfer nondominan, namun dan produksi kata
dengan intensitas yang jauh lebih rendah. 01 eh d. Terapi untuk gangguan word finding
karena itu, upaya neurorestorasi afasia perlu
memperhatikan onset (fase akut/kronik) dan
1) Word retrieval cueing strategies
fungsi area/hemisfer yang perlu diaktifkan
(semantic & cueing verbs)
atau dideaktivasi. Pendekatan menggunakan "petun-

373
Buku Ajar Neurologi

juk" untuk memancing pasien me- 3. Constraint-therapy


nemukan kata yang diinginkan. Mi­ Constraint-induced aphasia therapy
salnya, suku pertama dari suatu kata (CIATJ atau yang dikenal juga dengan
atau petunjukkontekstual lainnya. constraint-induced language therapy
2) Gesturalfacilitation o f naming (GES] (CILT) merupakan modifikasi dari
Metoda ini memanfaatkan me- constraint-induced movement therapy
kanisme kognitif intak pasien, (GMT), Metode ini meliputi latihan
menggunakan asosisi gestural berbahasa selama periode waktu
ikonik untuk memancing word re­ tertentu (setidaknya 30 jam setiap
trieval secara verbal. latihan selama dua minggu) dengan
meminimalkan komunikasi nonverbal
3) Response elaboration training
yang diharapkan dap at meningkatkan
Terapis wicara berlaborasi dengan
keluaran verbal. Keterlibatan anggota
gumaman/ucapan penderita untuk
keluarga dan teman dalam latihan
memperbaiki kemampuan bicara.
meningkatkan efikasi dari rehabilitasi.
4} Semanticfeature analysis treatment Prinsip dari terapi ini ada tiga yaitu:
Penderita afasia dibantu mengiden-
tifikasi keterangan semantik pent- a. Constraint, berarti menghindari peng-
ingyang berkaitan dengan kata tar­ gunaan strategi berkomunikasi yang
get (misalnya gedung, buku, dan lain, misalnya dengan gerakan, meng-
tenang untuk "perpustakaan"]. gambar dan menulis.
b. Forced use, berarti satu-satunya cara
2. Verb Network Strengthening Treat­
berkomunikasi yang digunakan adalah
ment
dengan berbicara.
Terapi yang didesain terutama untuk
memperbaild kesukaran mencari kata c. Massed practice, yaitu melakukan
dalam suatu kalimat aktif sederhana. latihan terapi sebanyak 2 -4 jam per
Metoda ini menggunakan pasangan kata hari.
yang berhubungan dengan kata target.
B. Membantu Restorasi Gangguan Mo-
a. Chaining (forward & reverse)
dalitas Bahasa dengan Modalitas Ba-
Pendekatan dengan cara memecah
hasa Lain yang Masih Intak
kata/kalimat menjadi pendek-
Program yang menggunakan dasar ini
pendek, kemudian belajar merang-
untuk restorasi kemampuan bahasa
kaikan dari awal (atau akhir).
pasien di antaranya adalah:
b. Sentence production program
f o r aphasia 1. Melodic Intonation Therapy (MIT)
Program terapi spesifik yang didi- Terapi ini memakai kemampuan berse-
sain untuk memfasilitasi produksi nandung dan prosodia pasien yang bi-
kalimat spesifik tertentu. asanya masih intak dari aspek intonasi,
melodi, dan ritme untuk meningkatkan

374
Prinsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera S araf

kemampuan jumlah pengucapan frasa 3. Augmentative Alternative Commu­


dan kalimat. MIT telah lama direkomen- nication (AAC)
dasikan untuk memperbaiki kemam­ Menggunakan alat bantu augmentasi,
puan berbahasa pasien-pasien yang seperti papan gambar dan simbol,
mengalami afasia nonfluen. Kandidat atau alat elektronik, untuk membantu
lain yang menunjukkan respons baik penderita afasia mengekspresikan
menggunakan MIT adalah pasien yang komunikasinya. Umumnya di awal
menunjukkan rasa frustasi karena ke- yang mudah diakses karena banyaknya
sulitan berbicaranya, mengulang jargon penggunaan ponsel dan komputer
tertentu, gagal dalam tes penamaan kon- adalah mengetik di ponsel dan key­
frontasional, gangguan repetisi, menun­ board komputer.
jukkan upaya keras untuk mengkoreksi
C. M en gom p en sasi G angguan B a h a sa
ucapannya, dan memilila komprehensi/
y an g A da d en gan M enggunakan Mo-
kognisi yang relatif baik.
d a lita s Fungsi L u h u r/K o g n itify a n g Lain
Frasa atau kalimat yang digunakan Strategi ini dirancang khusus dengan
dalam metode terapi ini merupakan mempertimbangkan neuroanatomi Mi­
frasa-frasa yang umum dan sering di­ nis pusat bahasa yang terganggu dan
gunakan sehari-hari (misalnya /loveyou; sirkuit-sirkuit stimulasi dan kognitif yang
assalaamu'alaHaun, dan sebagainya). intak, sehingga program berjalan efektif
Walaupun tampaknya mudah, keluarga/ dan efisien. Umumnya dirancang pada
caregiver pasien perlu mendapat in- afasia dengan gangguan komprehensi ba­
struksi spesifik tentang tata cara hasa pasien dan/atau penamaan. Prinsip
latihan atau pengulangan metode ini dasarnya ialah memberi variasi stimulasi
di rumah masing-masing. sensorik (menebak/menceritakan gambar,
menebak benda dengan rabaan sambil
2. Musical Speech Stimulation (MUSTIM)
menutup mata, menebak lagu, menebak
Merupakan teknik lain dari neurology
bau, mempelajari bahasa isyarat, dan se­
music therapy (NMT) yang dapat di­
bagainya) yang kaya serta merangsang
gunakan untuk inisiasi bicara spon-
imajinasi, memori, dan fungsi kognitif
tan. Teknik ini baik digunakan untuk
lain untuk memperbaiki komprehensi
pasien-pasien afasia nonfluen dan
bahasa.
primary progressive aphasia . Berbeda
dengan MIT yang menggunakan into- Yang termasuk ke dalam metode terapi
nasi dalam pengucapan frasa sehari- multimodal berbahasa ini di antaranya
hari, teknik MUSTIM menggunakan adalah:
lagu-lagu yang familier bagi pasien.
1. Visual Action Therapy (VAT)
Umumnya lagu-lagu favorit pasien atau
Program yang digunakan bagi pen­
lagu-lagu hafalan masa kanak-kanak,
derita afasia global. Pendekatan
seperti Naik-naik ke Puncak Gunung,
nonverbal ini m elatih penderita
Garuda Pancasila, dan sebagainya.
untuk menggunakan gestur tangan

375
Baku Ajar Neurologi

untuk menyatakan suatu benda Metode komunikasi multimodal an­


atau aktivitas spesifik. tara penderita, pelatih an bagi lawan
komunikasi primernya, dan dalam
2. Promoting Aphasics ' Communica­
interaksi sosial (termasuk partisipasi
tion Effectiveness (PACE)
dalam grup afasia).
Program yang didesain untuk me-
ningkatkan kemampuan berkomu- c. Social and life participation effectiveness
nikasi menggunakan semua mo- Pendekatan yang berfokus pada penca-
dalitas dalam bertukar pesan, paian target di kehidupan sehari-hari,
Penderita maupun klinisi secara ber- termasuk pertimbangan apakah pasien
gantian mengambil peran sebagai pem- memiliki keluarga yang dapat mendu-
bawa dan penerima pesan. Metode kung dan membantu keseharian hidup
ini akan mendorong penderita afasia penderita.
untuk berperan lebih aktif dalam 2. iP ad - Based Speech Therapy
berkomunikasi. Penelitian pada tahun 1983 menunjuk-
3. Oral Reading fo r Language in Apha­ l<an bahwa latihan bicara sendiri meng-
sia (ORLA) gunaltan aplikasi berbasis komputer
Metoda yang menggunakan petunjuk yang terstandarisasi pada pasien afasia
auditorik, visual, dan tulisan untuk akut dan kronik mendapatkan hasil
membantu penderita afasia membaca yang memuaskan. Terapi ini penting
dengan suara keras ( reading sentences pada pasien-pasien yang membutuhkan
aloud). latihan terapi jangka panjang, sehingga
bisa dilakukan secara mandiri. Tujuan-
D. P artisipasi Aktif dari Caregiver dan nya adalah untuk membiarkan pasien
Penggunaan Aplikasi dan Teknologi berperan penting dalam proses terapin-
Stimulasi Bahasa Kliusus ya sendiri, mulai dari menentukan dosis
Beberapa program yang dapat diterap- latihan, batasan kemampuan maksimal,
kanadalah: dan target keberhasilan terapinya.
1. Partner Approaches Penelitian terhadap 25 pasien afasia
Teknik yang termasuk ke dalam kronik dengan terapi berbasis komputer
metode pendekatan ini adalah: menggunakan aplikasi terapi berbahasa
a. Conversational coaching tactus therapy solutions pada iPad
Terapi yang didesain untuk memper- memperlihatltan perbaikan kemampuan
baiki komunikasi antara penderita bahasa. Aplilcasi ini terbagi menjadi
afasia dengan partner komunikasi empat kategori latihan, yaitu membaca,
primernya. Klinisi berperan sebagai menamai obyek, memahami kalimat,
pelatih ( coach ) bagi penderita sekal- dan menulis, serta menyediakan latihan
igus partnernya. kemampuan fonologi dan semantik
b. Supported communication interven­ pada setiap kategori disertai umpan
tion (SCI) balik Terapi ini berpotensi besar untuk

376
Prinsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera S ara f

disertakan dalam program restorasi menyebutkan hal serupa, bahwa ter-


jangka panjang pasien afasia dengan dapat perbaikan yang cukup signifi-
meneliti serta menerjemahkan sesuai kan terhadap kemampuan berbahasa
kaidah dan budaya bahasa Indonesia. sebelum dan sesudah dilakukan rTMS
pada afasia pascastroke subkortikal.
3. R epetitive Transcranial M agnetic
Didapatkan perbaikan signifikan pada
Sim ulation (rTMS)
semua komponen modalitas bahasa
Saat ini mulai banyak berkembang
pascaaplikasi rTMS harian dengan
prosedur stimulasi langsung [direct)
non-invasif sebagai komplementer te- frekuensi 4Hz selama 2 minggu pada
rapi wicara untuk mempercepat proses hemisfer kontralesi. Secara umum
pemulihan afasia. Salah satu metode terapi ini cukup menjanjikan.
yang saat ini populer adalah stimulasi
menggunakan transcranial magnetic PENUTUP
stimulation secara repetitif (rTMS). Pada masa lampau, tata laksana penyakit-
penyakit neurologi banyak dibatasi oleh
TMS merupakan suatu metode non- dogma kemustahilan yang membuat orang
invasif dalam menginduksi depolari- (bahkan termasuk para neurolog) berpikir
sasi neuron kortikal di bawah tulang bahwa tidak ada harapan untuk "sembuh"
kranium. TMS yang diberikan secara Pada masa kini dengan kemajuan teknologi
repetitif (rTMS) dengan frekuensi
mutakhir, pemahaman mengenai patofisi-
rendah (<5Hz) pada umumnya meng-
ologi penyakit neurologis dan fisiologi pro­
hasilkan inhibisi sinaps yang serupa
ses reorganisasi sistem saraf yang mendasari
dengan fenomena long-term depres­
neurorestoratologi menjadi semakin jelas.
sion (LTD). Pada rTMS frekuensi tinggi
Hal ini turut memacu dan menjadi dasar
(>5Hz) akan menghasilkan fasilitasi/
perkembangan ilmu neurosains, neurobio-
eksitasi sinaps, mirip dengan fenomena
logis, neuroprostetik, robotik, dan biom edi­
long-term potentiation (LTP). Seperti
cal engineering untuk kepentingan program
halnya LTP dan LTD, efek eksitasi dan
neurorestorasi bagi pasien dengan gang-
inhibisi sinaps yang dihasilkan oleh
guan neurologis. Oleh karena itu, sebaiknya
rTMS tetap dapat bertahan beberapa
dipahami dasar dan prinsip neurorestorasi
menit hingga beberapa jam setelah
demi memberikan pelayanan dan tata lak­
stimulus dihentikan.
sana yang paripurna bagi para pasien.
Naesser dkk, Martin dkk, Weiduschat
dkk melaporkan penggunaan rTMS DAFTAR PUSTAKA
frekuensi rendah pada hemisfer non-
1. Meriam-Webster. Definition of store. Meriam
dominan sebagai terapi komplementer Webster [serial online], [diunduh 20 Februari
terhadap terapi wicara konvensional 2017]. Tersedia dari: Meriam-Webster.
pada penderita afasia pascastroke 2. Aho K, Harmsen R Hatano S, Marquardsen J, Smirnov
memberikan hasil yang memuaskan. VE, Strasser T. Cerebrovascular disease in the com­
munity: results of a WHO collaborative study. Bull
Tiksnadi dalam laporan kasusnya World Health Organ. 1980;58(l):113-30.

377
Buku Ajar Neurologi

3. Sacco RL, Kasner SE, Broderick JP, Caplan LR, 2009;47(10):2015-28.


Connors JJ, Culebras A, Elkind MS, George MG, 14. Azad TD, Veeravagu A, Steinberg GK. Neuro­
Hamdan AD, Higashida RT, Hoh BL, Janis LS, Kase restoration after stroke. Neurosurg Focus,
CS, Kleindorfer DO, Lee JM, Moseley ME, Peterson 2016;40(5];E2,
ED, Turan TN, Valderrama AL, Vinters HV. An up­ 15. Morris PE, Goad A, Thompson C, Taylor K, Harry
dated definition of stroke for the 21st century: a B, Passmore L, dkk. Early intensive care unit mo­
statement for healthcare professionals from the bility therapy in the treatment of acute respira­
American Heart Association/American Stroke tory failure. Crit Care Med, 2008;36:2238-43
Association. Stroke. 2013;44(7}:2064-89. 16. Cherney LR. Oral reading for language in aphasia
4. Dimitridjevic MR. Restorative neurology: intro­ (ORLA): evaluating the efficacy of computer-de­
ductory remarks. Dalam: Eccles SJ, Dimitrijevic livered therapy in chronic nonfluent aphasia. Top
MR, editor. Recent achievements in restorative Stroke Rehabil. 2010;17(6J:423-31.
neurology: upper motor neuron functions and 17. Mimura M, Kato M, Sano Y, Kojima T, Naeser M,
dysfunctions (Vol 1], Basel: Karger; 1985. h. 1-9. kashima H. Prospective and retrospective studies of
5. Dimitri MR. Residual motor function after spinal recovery in aphasia: changes in cerebral blood flow
cord injury. Dalam: Dimitrijevic MR, Kakulas and language function. Brain. 1998;121;2083-94.
BA, McKay WB, Vrbova G, editor. Restorative 18. Saur D, Lange R, Baumgaertner A, Schraknepper V,
neurology of spinal cord injury. New York: Oxford Willmes K, Rijntjes, dldc Dynamics of language re­
University Press; 2012. h.1-9. organization after stroke. Brain. 2006;129:1371-84.
6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kementeri- 19. Winhuisen L, Thiel A, Schumacher B, Kessler J,
an Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar Nasional Rudolf J, Haupt WF, Heiss WD. The right inferior
(RISKESDAS] 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan frontal gyrus and poststroke aphasia: a follow-up
Pengembangan Kementerian Kesehatan RI; 2014. investigation. Stroke. 2007;38:1286-92.
7. Carrera E, Tononi G. Diaschisis: past, present, fu­ 20. Lucas TH, Drane DL, Dodrill CB, Ojemann GA,
ture. Brain. 20l4:137(9);2408-22. Language reorganization in aphasics: an electri­
8. Steward 0. Anatomical and biochemical plasticity cal stimulation mapping investigation. Neurosur­
of neurons: regenerative growth of axons, sprout­ gery. 2008;63(3):487-97.
ing, pruning, and denervation supersensitivity, 21. Raymer, A, M. & Thompson, C. I(. (1991]. Effects
Dalam: Selzer M, Clarke S, Cohen L, Duncan PW, of verbal plus gestural treatment in a patient
Gage FH, editor. Textbook of neural repair and reha­ with aphasia and severe apraxia of speech. Clini­
bilitation: Neural repair and plasticity (Vol 1], Cam­ cal Aphasiology. 1991;20:285-97.
bridge: Cambridge University Press; 2006. h. 5-25. 22. Pulvermuller F, Neininger B, Elbert T, Mohr B,
9. Lederman E, Neuromuscular rehabilitation in manual Rockstroh B, Koebbel P, dkk. Constraint-induced
and physical therapy. Edinburg: Elsevier; 2010, therapy of chronic aphasia after stroke. Stroke.
10. Hoyer EH, Celnik PA. Understanding and enhanc­ 2001;32:1621-6.
ing motor recovery after stroke using transcrani- 23. Norton A, Zipse L, Marchina S, Schlaug G. Melodic
al magnetic stimulation. Restor Neurol Neurosci. intonation therapy: shared insights on how it is
2011;29(6):395-409 done and why it might help. Ann N Y Acad Sci.
11. Ahmad SA, Tiksnadi A, Camellia M, Mayza A. Ef­ 2009;1169:431-6.
fectiveness of stroke unit on case fatality rate of 24. Lim KB, Kim YK, Lee HJ, Yoo J, Hwang JY, Kim JA, Kim
stroke patient in Cipto Mangunkusumo Hospital SK. The therapeutic effect of neurologic usic therapy
Jakarta Indonesia. Dipresentasikan pada: PER- and speech language therapy in post-stroke apha-
DOSSI National Scientific Meeting, 2016 Mei 6-9; sic patients, Ann Rehabil Med, 2013;37(4):556-62.
Banten, Indonesia; 2016. 25. Johnson RK, Hough MS, King KA, Vos P, Jeffs T.
12. Chen L, Huang H. Neurorestoratolog: new concept Functional communication in individuals with
and bridge from bench to bedside. Zhongguo Xiu chronic severe aphasia using augmentative com­
Fu Chong JianWiKeZa Zhi. 2009;23(3]:366-70. munication. J Augmentative and alternative com­
13. Stern Y. Cognitive reserve, Neuropsychologia. munication, 2008;24:269-80,.

378
Prinsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera S araf

26. Helm-Estabrooks N, Fitspatrick PM, Barresi B. naming after TMS treatment in a chronic,
Visual action therapy for global aphasia. J Speech global aphasia patient-case report. Neurocase.
Hearing Disorders. 1982;47(40:385-9. 2 0 0 5 ;ll(3 ):1 8 2 -9 3 .
27. Li EC, Kitselman K, Dusatko D, Spinelli C. The ef­ 31. Martin PI, Naeser MA, Ho M, Treglia E, Kaplan E,
ficacy of PACE in the remediation of naming defi­ Baker EH, dkk. Research with transcranial mag­
cits. J Comm Disord, 1988;21(6):491-503. netic stimulation in the treatment of aphasia.
28. Cherney LR. Oral reading for language in aphasia Curr Neur Neurosci Rep. 2009;9(6):451-8.
[ORLA): evaluating the efficacy of computer- 32. Stark BC, Warburton EA. Improved language
delivered therapy in chronic nonfluent aphasia. in chronic aphasia after self-delivered iPad
Top Stroke Rehabil, 2010;17(6]:423-31. speech therapy. Neuropsychological Rehabili­
29. American Speech-Language-Hearing Association. tation. 2016;29:1-14.
Aphasia. American Speech-Language-Hearing 33. Tiksnadi A, Perbaikan afasia pada stroke subkor-
Association [seial online], [diunduh 23 Februari tikal pasca rTMS. Neurona. 2 0 15;33(l):14-8,
2017]. Tersedia dari: American Speech-Language- 34. Weiduschat N, Thiel A, Heiss WD. Repetitive trans­
Hearing Association. cranial magnetic stimulation as a complementary
30. Naeser MA, Martin P, Nicholas M, Baker EH, treatment for post stroke aphasia. European Neu­
Seekins H, Helm-estabrooks N, dick. Impproved rological review. 2008;3(2):64-8.

379
NEUROTRAUMA
Cedera Kepala
Cedera Medula Spinalis
Komplikasi Pascacedera Kepala

mm
CEDERA KERALA

Yetty Ramil Ramdinal Aviesena Zairinal

PENDAHULUAN baikan dalam perawatan, sehingga menu-


Cedera (injury) merupakan suatu keadaan runkan kualitas hidup pasien. Oleh karena
yang ditandai adanya stimulus patologis itu, dibutuhkan peran neurolog dalam diag­
yang melampaui kemampuan pemulihan (re­ nosis dan penanganan tepat sedini mungkin
covery) suatu sel atau jaringan. Bentuk dari untuk merestorasi otak dan mengurangi ke-
stimulus patologis ini bersifat umum, bisa cacatan hidup semaksimal mungkin.
berupa tmuma, infeksi, iskemia, atau neo­
plasma. Dengan demikian, trauma merupakan EPIDEMIOLOGI
salah satu penyebab cedera pada suatu sel Cedera kepala menyebabkan kematian dan
atau jaringan di tubuh manusia. disabilitas di banyak negara di dunia. Ber-
dasarkan data yang didapatkan dari CDC,
Cedera kepala adalah perubahan fungsi otak
sebanyak 1,7 juta orang mengalami cedera
atau terdapat bukti patologi pada otak yang
kepala setiap tahun di Amerika Serikat.
disebabkan oleh kekuatan mekanik ekster-
Prevalensi nasional cedera kepala menurut
nal. Cedera kepala dapat dialdbatkan oleh
Riskesdas 2013 adalah 8,2%, meningkat
trauma mekanik pada kepala baik secara
0,7% dibandingkan tahun 2007. Sebanyak
langsung atau tidak langsung yang menye-
40,6% cedera kepala diakibatkan oleh ke-
babkan gangguan fungsi neurologis berupa
celakaan motor. Menurut sebaran kelom-
gangguan fisik, kognitif, dan fungsi psikoso-
pok usia, cedera kepala lebih banyak terjadi
sial secara sementara maupun permanen.
pada pasien dengan usia produktif. Hal ini
Dalam buku ini, istilah cedera kepala sama
tentunya berdampak besar pada aspek so-
pengertiannya dengan trauma kepala.
sial ekonomi.
Konsekuensi akibat cedera kepala dipe-
ngaruhi beberapa faktor, seperti usia, fak- PATOFISIOLOGI
tor komorbid, sepsis, dan tata laksana yang Patofisiologi cedera kepala diawali dengan
didapatkan. Selain itu, faktor genetik kini pemahaman mengenai biomekanika trau­
diketahui turut mempengaruhi konsekuensi ma. Benturan kepala akan menimbulkan
patologis yang mungkin didapatkan pasien. respons pada tengkorak dan otak, misalnya
Komplikasi tersering pascacedera meliputi perge-rakan (displacement). Secara klinis,
aspek neurologis dan non-neurologis. Ada­ respons ini dapat berupa fraktur dan cedera
nya komplikasi neurologis berupa gangguan otak. Risiko pasien mengalami fraktur dan
kognitif dan cedera saraf kranial sering tera- cedera otak ini bergantung kepada faktor

383
Buku Ajar Neurologi

akselerasi kepala dan durasi gaya mekanik Cedera tumpul umumnya disebabkan oleh
pada kepala. Benturan pada permukaan mekanisme akselerasi atau deselerasi cepat
yang keras memiliki durasi singkat de- pada kepala dengan atau tanpa benturan
ngan akselerasi tinggi. Sementara itu, du­ (Gambar 1). Tipe cedera ini umumnya ter­
rasi yang lebih lama pada permukaan yang jadi pada kasus kecelakaan lalu lintas atau
kurang keras menurunkan risiko fraktur, jatuh dari ketinggian. Di lain pihak, cedera
tetapi tidak untuk cedera otak, asalkan ak- tembus merupakan cedera akibat penetrasi
selerasinya tetap tinggi. Pemahaman inilah tulang tengkorak oleh objek eksternal, mi-
yang menyebabkan ada kasus dengan frak­ salnya tembakan peluru atau tusukan ben-
tur tengkorak tanpa perdarahan otak, atau da tajam. Cedera tembus juga dapat meru­
cedera aksonal difus tanpa fraktur tengkorak. pakan cedera kolateral akibat adanya obyek
eksternal yang mengenai kepala dan me-
Akselerasi kepala memiliki dua komponen
ngakibatkan fraktur impresi hingga terjadi
sesuai arah vektornya, yaitu translasi (sumbu
penetrasi ke dalam rongga kranial.
sagital, koronal, dan aksial) dan rotasi. Ak­
selerasi translasi membuat kepala bergerak Cedera tembus kecepatan rendah menye­
secara sirkular. Sementara itu, akselerasi babkan cedera langsung pada pembuluh
rotasi membuat kepala berubah sudutnya darah, saraf, dan jaringan otak, dengan kom-
terhadap sumbu sentral. Selain akselerasi, plikasi perdarahan dan infeksi. Cedera tem­
kepala juga dapat mengalami deselerasi/ bus kecepatan tinggi, misalnya tembakan
perlambatan yang merupakan bentuk nega- peluru, seringkali mengakibatkan terben-
tif dari akselerasi. Akselerasi timbul karena tuknya luka tembus masuk dan keluar pada
kepala yang bergerak, sedangkan deselerasi tengkorak dan menyebabkan kerusakan
muncul sebagai akibat dari kepala yang ter- otak ekstensif.
bentur. Saat kepala yang sedang bergerak
Gaya mekanik eksternal yang mengenai ke­
lalu terbentur, terjadi kombinasi akselerasi
pala menimbulkan cedera otak primer dan
translasi dan rotasi serta deselerasi. Perge-
sekunder. Cedera otak primer terjadi karena
rakan akibat proses akselerasi dan deselerasi
efek sangat segera (immediate effect ) pada
ini yang menimbulkan tarikan dan regangan
otak akibat gaya mekanik eksternal saat
pada otak dan gesekan antara otak dengan
trauma terjadi. Di lain pihak, cedera otak
tengkorak, sehingga bermanifestasi klinis
sekunder terjadi beberapa saat setelah ke-
dan terlihat kelainan pada pencitraan.
jadian trauma akibat jalur kompleks, yang
Terdapat dua tipe cedera kepala yang ter- berkembang dan mengakibatkan kerusakan
bentuk, yaitu cedera tumpul dan cedera otak lebih luas. Baik cedera otak primer
tembus. Adanya penetrasi dura mater maupun sekunder dapat mengakibatkan
merupakan tolok ukur untuk menentukan lesi patologis fokal atau difus [Tabel 1).
cedera kepala disebut tumpul atau tembus.

384
Cedera Kepala

Gambar 1, Mekanisme Cedera Kepala


(A) cedera akibat tertimpa benda jatuh; (B) cedera tembak; (C) distorsi kranium akibat forsep (cedera lahir); (D)
cedera counter-coup; (E] punch-drunk injury

Tabel 1. Bentuk Lesi Difus dan Foltal pada Cedera Otak Primer dan Sekunder
Klasifikasi Lesi Difus Lesi Fokai
Cedera otak primer Cedera aksonal difus Kontusio fokai
Cedera vaskular difus Perdarahan intraserebral
Perdarahan epidural
Perdarahan subdural
Perdarahan subaraknoid
Cedera otak sekunder Edema otak difus Edema otak fokai
Cedera iskemik difus Cedera iskemik fokai
Cedera hipoksik difus Cedera hipoksik fokai
.......Pisfungs-Lmetabolik difus.......... Disfunesi metabolik fokai
Sumber: Zasler ND, dkk Brain injury medicine. Edisi ke-2. 2013. h. 138,

385
Baku Ajar Neurologi

Pada cedera otak primer, lesi difus dapat duksi penglepasan glutamat yang akhirnya
berupa cedera aksonal difus dan cedera mengaktivasi reseptor N-metil-D-aspartat
vaskular difus, sedangkan lesi fokal berupa (NMDA).
kontusio fokal, perdarahan intraserebral,
Selanjutnya terjadi konsentrasi ion kalsium
perdarahan subdural, dan perdarahan epi­
di mitokondria, sehingga terbentuk banyak
dural. Sementara itu, bentuk cedera otak
radikal bebas (reactive oxygen species/ ROS],
sekunder dapat berupa edema otak, cedera
aktivasi kaspase, apoptosis neuron, dan
iskemik, cedera hipoksik, difus, dan dis-
fosforilasi oksidatif inefisien. Konsekuensi
fungsi metabolik. Sernua bentuk cedera otak
terakhir ini selanjutnya akan menyebabkan
sekunder dapat terjadi secara difus atau fo­
metabolisme anaerob dan pada akhirnya
kal. Pada kenyataannya, beberapa lesi dapat
kegagalan energi. Inilah yang menjadi inti
terjadi pada setiap kasus cedera kepala,
permasalahan karena neuron membutuh-
misalnya perdarahan epidural dan kontusio
kan energi yang cukup pada kondisi cedera.
fokal, atau cedera aksonal difus dan perda­
Neuron dengan kegagalan energi tidak
rahan subaraknoid,
dapat berfungsi normal dan selanjutnya ter­
Di samping cedera otak sekunder terse- jadi asidosis, edema, dan iskemia yang me-
but, konsekuensi lanjutan dari cedera otak nambah berat kerusakan otak.
primer dapat berupa kerusakan sekunder
Berikut adalah beberapa contoh lesi fokal
(secondary insult), seperti hipotensi, hipok-
dan difus akibat cedera kepala:
sia, demam, hipo/hiperglikemia, gangguan
elektrolit, anemia, kejang, dan vasospasme. Lesi Fokal
Di antara semua itu, faktor yang paling ber- 1. Cedera scalp
pengaruh terhadap prognosis buruk adalah Cedera fokal pada scalp dalam bentuk la-
hipotensi dan hipoksia yang akan memper- serasi dan abrasi dapat menjadi penanda
berat cedera otak. penting untuk menentukan tempat ter-
jadinya benturan dan dapat memberi-
Cedera otak primer akibat benturan pada
kan gambaran obyek yang mengenainya.
kepala menimbulkan serangkaian proses
Laserasi scalp merupakan hal penting
yang pada akhirnya menjadi cedera otak
yang harus diperhatikan karena dapat
sekunder (Gambar 2]. Saat benturan ter­
menjadi jalur masuk infeksi dan sum-
jadi, neuron mengalami regangan dan
tarikan yang termasuk dalam cedera otak ber perdarahan. Sementara, adanya me-
primer. Peristiwa ini mengganggu integri- mar tidak selalu menjadi penanda yang
berhubungan dengan lokasi benturan,
tas dan kerja pompa ion membran sel, ter­
jadi perpindahan ion natrium dan kalsium sebagai contoh: (1) memar periorbita
ke intrasel dan ion kalium ke ekstrasel. Hal seringkali berkaitan dengan patah tu-
lang orbita akibat cedera contra-coup
ini akan meningkatkan konsentrasi ion kal­
sium intrasel yang kemudian memiliki kon­ pada oksiput, (2) memar pada mastoid
sekuensi, yaitu aktivasi calpain yang bisa (tanda Battle] dapat disebabkan oleh ali-
ran darah dari fraktur yang terjadi pada
mendegradasi protein sitoskeletai dan in-
tulang temporal pars petrosus.

386
Cedera Kepala

Gambar 2. Patofisiologi Cedera Otak Sekunder


ROS: reactive oxygen species, NMDA: N-metil-D-aspartat

2. Fraktur basis kranii 3. Kontusio dan laserasi serebri


Fraktur basis kranii dapat menjadi in- Robekan (laserasi) pada pia mater
dikasi besarnya energi mekanik yang seringkali berhubungan dengan jejas
mengenai kepala. Energi mekanik yang pada otak (kontusio), Pada kontusio
mengenai daerah yang luas pada teng- serebri, parenkim otak mengalami ede­
korak mengakibatkan fraktur kominu- ma dan perdarahan.
tif, sedangkan pada daerah yang sempit
Jejas yang terdapat tepat di titik trauma
mengakibatkan fraktur impresi. Fraktur
disebut jejas coup, sedangkan yang terdapat
basis kranii dapat mengakibatkan bo-
di sisi kontralateral titik trauma disebut je­
cornya cairan serebrospinal dan men-
jas countercoup (Gambar 4). Sebagai con-
gisi sinus-sinus, sehingga dapat menjadi
toh, benturan di kepala bagian depan akan
sumber infeksi intrakranial (Gambar 3).
menghasilkan jejas coup di lobus frontal
dan jejas countercoup di lobus oksipital

387
Buku Ajar Neurologi

Gambar 3, Fraktur Sphenoid Wing Kiri dan Tuiang Temporal Kiri (panah)
(Dole: Pribadi)

Gambar 4. Mekanisme Kontusio Serebri


(A] kontusio frontotemporal akibat benturan di frontal; (B] kontusio frontotemporal akibat benturan di oksipital;
(c) kontusio lobus temporal akibat cedera counter-coup; (d) kontusio frontotemporal akibat benturan pada tem-
porooksipital kontralateral; (e) kontusio temporooksipital mesial akibat benturan di vertex

Jejas coup umumnya terjadi pada kasus ak- gedung. Saat seseorang jatuh dari suatu
selerasi cepat, misalnya saat kepala dipukul ketinggian, kepala mengalami akselerasi
dengan benda keras. Sementara itu, jejas akibat gravitasi bumi dan diikuti deselerasi
countercoup umumnya terjadi pada kasus cepat akibat menghantam tanah.
deselerasi cepat, misalnya jatuh dari atas

388
Cedera Kepala

Perdarahan pada kontusio serebri dapat menyebabkan robeknya arteri meni-


meningkatkan tekanan intrakranial (TIK}. ngea media. Oleh karena itu predilek-
perdarahan dapat meluas hingga ke sub- si perdarahan epidural di area tempo­
stansia alba dan rongga subdural yang ral atau temporo-parietal (7 0 -8 0 % }.
umumnya terjadi pada lobus frontal dan Perdarahan ini ditandai dengan aku-
temporal (Gambar 5), Dalam beberapa hari, mulasi darah di antara dura mater
perdarahan ini akan diabsorbsi oleh otak, dan tulang tengkorak, sehingga gam­
sehingga menghasilkan kavitas pada girus baran hematomnya khas berbentuk
otak. Perdarahan dapat bersifat asimptoma- cembung atau bilconveks (Gambar 6].
tik, tetapi memiliki risiko mengakibatkan
Volume perdarahan merupakan penanda
epilepsi di kemudian hari. Diskontinuitas ja-
luaran pasien dengan perdarahan epi­
ringan otak akibat kontusio disebut sebagai
dural. Pasien dengan volume darah lebih
laserasi otak.
dari 150mL memiliki prognosis yang
4. Perdarahan intrakranial lebih buruk.
a. Perdarahan epidural b. Perdarahan subdural
Perdarahan ini lebih sering terjadi Perdarahan subdural (Gambar 7}
pada pasien usia muda (1 0 -3 0 ta- merupakan perdarahan akibat robek­
hun). Hal ini dialdbatkan adanya nya vena jembatan (bridging vein) ter­
fraktur linear tengkorak, terutama di utama yang berdekatan dengan sinus
tulang temporal pars skuamosa yang sagital superior. Perdarahan subdural
umumnya disebabkan oleh akselerasi
atau deselerasi kepala dengan atau
tanpa benturan langsung. Perdara­
han subdural seringkali dialami oleh
pasien lanjut usia karena umumnya
telah terjadi atrofi otak yang menye­
babkan meningkatnya kapasitas otak
untuk bergerak di dalam rongga otak.
Perdarahan subdural dapat terjadi
akut (<3 hari), subakut (3 hari - 3 mi-
nggu awitan}, atau kronik (lebih dari 3
minggu awitan}. Perdarahan subdural
akut terdiri atas beltuan darah yang
lembut (seperti gel}. Setelah beberapa
hari, bekuan tersebut akan dipecah
menjadi cairan serosa dan setelah
Gambar 5. Gambaran CT Scan Kontusio Serebri di 1 -2 minggu akan terbentuk jaringan
Lobus Temporal Kiri (panah putih) granulasi dengan fibroblas dan pem-
(Dok: Pribadi)
buluh darah baru.

389
Buku Ajar Neurologi

Walaupun perdarahan biasanya akan


direabsorbsi, seringkali terjadi perda­
rahan ulang akibat pembuluh darah
baruyangimatur. Disampingitu, perda­
rahan subdural kronik seringkali ter­
jadi pada pasien lanjut usia, orang
yang rutin mengonsumsi alkohol, dan
pasien dengan tekanan intrakranial
rendah, seperti pasien hidrosefalus
dengan pirau ventrikuloperitoneal
(yen triculoperitoneal shunt).

Tabel 2. Derajat Cedera Aksonal Difus


Derajat 1 Kerusakan aksonal
Derajat 2 Kerusakan aksonal dan lesi fokal perda­
rahan di korpus kalosum
Derajat 3 Kerusakan aksonal dan lesi fokal perda­ Gambar 6. Gambaran CT Scan Perdarahan Epidural
rahan di korpus kalosum dan batang di Lobus Temporooksipital Kanan (panah putih)
____________otak________________________________ (Dok: Pribadf)
Sumber: Adams jH, dkk. Histopathology. 1989. h. 49-59.

c. Perdarahan subaraknoid kepala biasanya akibat sekunder dari


Akumulasi darah di subaraknoid dapat ter­ perdarahan intraserebral pada daerah
jadi setelah cedera kepala, terutama yang ganglia basal atau kontusio serebri.
berhubungan dengan kontusio dan laserasi. e. Perdarahan intraserebral
Perdarahan subaraknoid seringkali men- Perdarahan intraserebral (Gambar 9]
jadi penyulit pada kasus perdarahan intra- dapat muncul secara sekunder dengan
ventrikular karena kebocoran (leakage) kontusio atau berhubungan dengan cedera
darah ke ruang subaraknoid melalui fora­ akson difiis. Perdarahan ini umumnya ter-
men Luschka dan Magendie. Perdarahan bentuk di daerah ganglia basal, talamus,
subaraknoid karena cedera kepala biasa­ dan substansia alba bagian parasagital.
nya terdistribusi di sulkus-sulkus serebri di
sekitar vertelcs dan tidak mengenai sisterna Lesi Difus
basalis (Gambar 8). Perdarahan subarak­ 1. Cedera aksonal difus
noid seringkali terjadi akibat benturan Cedera aksonal difus memiliki beberapa
pada otak atau leher dan menyebabkan hi- penyebab. Selain cedera kepala, hal ini
langnya kesadaran secara langsung. Kom- juga dapat disebabkan oleh hipoksia,
plikasi itronik perdarahan subaraknoid iskemia, dan hipoglikemia. Karakteris-
adalah terbentuknya hidrosefalus. tik cedera akson yang diakibatkan oleh
cedera kepala berbeda dengan keadaan
d. Perdarahan intraventrikular hipoksik iskemik.
Perdarahan intraventrikular pada cedera

390
Cedera Kepala

Gam bar 7. P erd arah an Subdural Regio F ro n to tem p o ro o ksip ital K iri (p anah hitam ) dengan P erg eseran
Garis Tengah (p anah putih)
(Dok: Pribadi)

Gam bar 8. G am baran CT Scorn Perdarahan Subaraknoid T rau m atik di Lobus Tem poral K anan (panah putih)
(Dok: Pribadi)

G am bar 9. Gam baran CT Scan P erd arah an In tra se re b ra l di Lobus Tem poral K anan (p an ah putih)
(Dok: Pribadi)

391
Buku Ajar Neurologi

Cedera aksonal difus disebabkan oleh yaitu: vasodilatasi pembuluh darah otak
akselerasi atau deselerasi cepat kepala, yang mengakibatkan meningkatnya
terutama jika terdapat gerakan rotasional volume darah ke otak, rusaknya sawar
atau koronal. Umumnya terjadi pada ka- darah otak yang menyebabkan bocornya
sus kecelakaan lalu lintas dan jatuh dari cairan [edema vasogenik), dan mening­
ketinggian. Secara patologi, cedera ak­ katnya kandungan air di dalam sel neu­
sonal difus dicirikan dengan kerusakan ron pada sistem saraf pusat [edema si-
akson dan perdarahan petekie. Petekie totoksik}.
ini muncul secara instan dan menentu-
Edema otak akan meningkatkan TIK
kan derajat cedera aksonal aksonal difus
dan menurunkan tekanan perfusi otak,
[Tabel 2).
sehingga menyebabkan kerusakan otak
Secara Minis, pasien akan kehilangan akibat iskemia. Perbedaan tekanan di an-
kesadaran sejak terjadinya cedera, dis- tara kompartemen otak dapat mengaki­
abilitas berat, dan status vegetatif yang batkan herniasi otak. Herniasi subfalsin
persisten. Oleh karena kerusakan yang girus singulatum akan menyebabkan
terjadi di tingkat akson, maka gambar- kompresi pada arteri serebral anterior.
an CT scan sering tidak menunjukkan Sementara herniasi transtentorial dapat
kelainan, Pada kondisi ini, pemeriksaan menyebabkan kompresi pada arteri se­
MRI dapat dikerj akan untuk melihat lesi rebral posterior, girus parahipokampus,
patologis di parenkim, dan otak tengah. Herniasi transfora­
men batang otak menyebabkan iskemia
2. Cedera vaskular difus
yang berujung pada menurunnya fungsi
Berbeda dengan cedera aksonal difus
batang dan otak atau kematian.
yang melibatkan akson, cedera vaskular
difus didominasi oleh keterlibatan pern-
GEJALA DAN TANDA KLINIS
buluh darah. Beberapa pasien cedera
Cedera kepala dapat diklasifikasikan ber-
kepala yang mengalami akselerasi atau
dasarkan: [1) tingkat kesadaran pasien
deselerasi cepat dan parah dapat meng­
menurut Skala Koma Glasgow [SKG), [2] lo-
alami perdarahan petekie pada otak
kasi lesi, dan [3] patologi.
tanpa sempat mengalami cedera ak­
sonal, akibat besarnya energi mekanik Berdasarkan tingkat kesadaran, cedera ke­
yang menyebabkan pecahnya pembuluh pala dapat dibagi menjadi:
darah. Hal inilah yang dijumpai pada
a. Cedera kepala minimal: SKG 15; tidak
cedera vaskular difus.
ada pingsan, tidak ada defisit neurologis,
3. Edema otak dan iskemia serebral CT scan otak normal.
Edema otak adalah gambaran umum b. Cedera kepala ringan: SKG 1 3 -1 5 , ter­
yang ditemukan pada cedera kepala, dapat pingsan kurang dari 10 menit, ti­
terutama pasien anak-anak dan dewasa dak terdapat defisit neurologis, CT scan
muda. Edema otak pada cedera kepala otak normal.
terjadi melalui beberapa mekanisme,

392
Cedera Kepala

c. Cedera kepala sedang: SKG 9 -1 2 , ter- Pemeriksaan CT scan atau MR! pada komo­
dapat pingsan 10 m enit-6 jam, terdapat sio serebri seringkali menunjukkan hasil
defisit neurologis, CT scan otak abnor­ normal, padahal sebenarnya sudah terjadi
mal. kerusakan secara mikroskopik pada akson.
d, Cedera kepala berat: SKG 3-8, terdapat Jika didapat kelainan pada pemeriksaan
pingsan lebih dari 6 jam, terdapat defisit tersebut, maka ini membuktikan pasien ti­
neurologis, CT scan otak abnormal. dak hanya mengalami komosio serebri.

Berdasarkan lokasi lesi, cedera kepala dapat 2. Perdarahan epidural


dibagi menjadi: Perdarahan epidural secara klinis ditan-
dai dengan adanya interval lusid, yaitu
a. Cedera kepala lesi difus: aksonal dan
periode kesadaran pulih diantara dua
vaskular
penurunan kesadaran. Pada awal terjadi
b. Cedera kepala lesi fokal, yang terbagi cedera kepala, kesadaran pasien akan
menjadi: menurun. Selanjutnya pasien akan sadar
- Kontusio dan laserasi serebri penuh, tetapi kembali kehilangan ke­
sadaran beberapa saat kemudian karena
- Perdarahan (hematom] intrakranial:
adanya akumulasi darah. Sementara itu,
hematom epidural, hematom subdu­
15% pasien diketahui tidak mengalami
ral, hematom intraparenkim (hema­
penurunan kesadaran sesaat setelah
tom subaraknoid, hematom intraser-
cedera kepala terjadi. Dengan demiki-
ebral, hematomintraserebelar].
an, pasien dengan perdarahan epidural
Berdasarkan patologi, cedera kepala membutuhkan pemantauan ketat untuk
dapat diklasifikasikan menjadi ko- mencegah pasien jatuh perburukan.
mosio, kontusio, dan laserasi sere­
Selain interval lusid, juga dapat ditemukan
bri. Pembagian lain dapat berupa
tanda dan gejala peningkatan TIK, di anta-
komosio serebri serta perdarahan
ranya nyeri kepala dan muntah karena aku­
epidural, subdural, subaraknoid, dan
mulasi darah akan meningkatkan volume
intraserebral, dengan penjelasan se-
di dalam tengkorak, sementara tengkorak
bagai berikut:
memliki daya akomodasi yang terbatas.
1. Komosio serebri
Seiring progresifitas penyakit, bebera­
Secara klinis, komosio serebri memi-
pa pasien dapat ditemukan penurunan
liki manifestasi klinis yang tidak berat.
frekuensi nadi, menurunnya frekuensi
Pasien dengan komosio serebri uraum-
pernapasan, dan meningkatnya tekanan
nya mengalami penurunan kesadaran
darah (refleks Cushing). Gejala lain yang
kurang lebih 30 menit. Setelah itu, terjadi
juga dapat menandakan perdarahan epi­
pemulihan hingga seperti sebelum ter-
dural sudah berada dalam tahap lanjut
jadinya cedera kepala. Namun, umumnya
adalah ditemukannya hemiparesis, re­
pasien akan mengalami amnesia pasca-
fleks patologis Babinski positif, dilatasi
trauma.
pupil yang menetap pada satu atau ke-

393
Buku Ajar Neurotogi

T abel 3. P erb ed aan P erdarahan Epidural dengan Subdural

V ariabel P erd arah an Epidural P erd arah an Subdural


Topis Ruang antara epidural dengan Ruang antara dura m ater dengan
tengkorak araknoid
Pembuluh darah yang terkena Arteri (a. meningea media) Vena (bridging vein)
Usia Dominan muda (1 0 -3 0 tahun) Tua (>40 tahun)
Intervallusid Sering dijumpai Jarang dijumpai
Progresivitas ke arah perburukan Cepat Lambat
Kronisitas (-) (+]
Kejang Jarang dijumpai Sering dijumpai
Bentuk perdarahan pada CT scan Bikonveks, cembung Bulan sabit
Letak perdarahan (pada umumnya) Ipsilateral fraktur tengkorak Kontralateral fraktur tengkorak

dua mata, serta deserebrasi. Tanda-tan- Interval Iusid hanya ada pada kurang dari
da tersebut mengindikasikan terjadinya 30% kasus dan seringkali berkaitan dengan
herniasi otak. kasus kontusio dan laserasi otak.

3. Perdarahan subdural Pada perdarahan subdural subakut, hema­


Gejala klinis perdarahan subdural mirip tom terbentuk dalam waktu 3 hari hingga
dengan perdarahan epidural. Namun, 3 minggu pascacedera disertai penurunan
perdarahan subdural memiliki gejala fungsi neurologis sejaian dengan besarnya
klinis yang sering ditemui berupa ke- hematom yang terbentuk. Ditemukan hemi-
jang. Sementara itu, tanda klinis her­ paresis kontralateral pada 50% kasus dan
niasi lebih jarang ditemukan daripada ipsilateral (25% kasus] dengan angka ke-
perdarahan epidural. Pada perdarahan matian sebesar 25%.
subdural, hematom umumnya berada di
Pada perdarahan subdural kronik, hema­
sisi kontralateral fraktur tengkorak, ber-
tom terbentuk 3 minggu bahkan lebih pas­
beda dengan hematom pada perdarahan
cacedera yang diagnosisnya terlihat dari
epidural yang berada di sisi ipsilateral
gambaran CT scan atau MRI. Secara klinis,
(Tabel 3].
gejala perdarahan subdural kronik dapat
berupa perubahan status mental, disfungsi
Perdarahan subdural dapat bersifat akut,
neurologis fokal, peningkatan tekanan in-
subakut, dan kronik. Pada kasus akut, hema­
trakranial, dan kejang fokal. Pasien dapat
tom terbentuk kurang dari 3 hari dan um­
mengalami perubahan tingkat kesadaran
umnya berhubungan dengan cedera kepala
yang fluktuatif, tetapi bukan merupakan ge­
yang lebih hebat. Adanya koinsidensi perda­
jala utama.
rahan intraserebral dan epidural menjadi
penyulit perdarahan subdural akut. Kasus 4. Perdarahan intraserebral
perdarahan subdural akut sering terjadi Perdarahan ini umumnya disebabkan
pada pasien usia muda yang tidak meng- oleh disrupsi parenkim otak akibat pe-
alami perbaikan kesadaran sejak cedera. nonjolan dari patahan tulang tengkorak

394
Cedera Kepala

dan menyebabkan pembuluh darah ter- dua sisi, bingung, diplopia, dan orientasi
kait sehingga terbentuk hematom yang pasien terhadap waktu, tempat, serta
terletak intraparenkim. Klinis yang tarn- orang perlu ditanyakan saat anamnesis.
pak serupa dengan perdarahan intrapa­ Gejala berupa bocornya cairan serebro-
renkim yang sama dengan mekanisme spinal melalui hidung (rinorea) atau telinga
perdarahan otak lainnya, seperti pada (otorea) juga perlu ditanyakan.
ruptur aneurisma. 7. Hal lain yang juga perlu ditanyakan
adalah obat rutin yang sering dikonsum-
d ia g n o s is d a n d ia g n o s is b a n d in g si pasien, riwayat penyakit dahulu, gaya
Diagnosis cedera kepala harus dilakukan hidup (alkohol, rokok, dan narkoba], ser­
secara cepat dan akurat, mengingat kondisi ta riwayat penyakit keluarga.
emergensi. Proses anamnesis dan peme-
Pada pemeriksaan status generalis, peme-
riksaan fisik generalis dan neurologis ha­
rus efektif dan efisien, disesuaikan dengan riksaan kepala harus dilakukan dengan
detail, serta bagian tubuh lain yang dapat
kondisi lapangan yang membutuhkan tin-
menunjukkan beratnya trauma. Berikut ini
dakan segera,
merupakan tanda diagnostik yang dapat di-
Berikut ini adalah hal-hal yang perlu digali jadikan tanda awal untuk mendiagnosis:
dalam anamnesis:
Tanda diagnostik klinik perdarahan epidural:
1. Mekanisme cedera kepala secara de­ © Terdapat interval lusid
tail, meliputi proses terjadinya, posisi
© Kesadaran semakin lama semakin
pasien saat kejadian, bagian tubuh yang
menurun
pertama kali terkena, kecepatan (jika
kecelakaan lalu lintas} atau besarnya © Hemiparesis kontralateral lesi yang ter-
kekuatan (jika pukulan atau barang) jadi belakangan
obyekyang menyebabkan cedera kepala. © Pupil anisokor
2. Tingkat kesadaran, perlu ditanyakan © Adanya refleks Babinsld di kontralateral lesi
kesadaran memang sudah hilang se- ® Fraktur di daerah temporal
jak setelah trauma atau hilang setelah
Tanda diagnostik perdarahan epidural di
pasien sempat sadar.
fossa posterior:
3. Durasi hilangnya kesadaran.
© Interval lusid tidak jelas
4. Amnesia pascatrauma, tanyakan kondisi
© Fraktur kranii oksipital
pasien sebelum, saat, dan setelah trauma.
© Hilang kesadaran dengan cepat
5. Nyeri kepala, perlu dibedakan nyeri aki-
bat peningkatan tekanan intrakranial © Gangguan serebelum, batang otak, dan
atau disebabkan oleh nyeri somatik aki- pernapasan
bat cedera scalp. © Pupil isokor
6. Gejala neurologis lain, seperti anosmia, © Pada CT scan otak didapatkan gambar-
kejang, kelemahan tubuh sesisi atau an hiperdens (perdarahan) di tulang

395
Buku Ajar Neurologi

tengkorak dan dura, umumnya di daerah


temporal, dan tampak bikonveks
Tanda diagnostik perdarahan subdural:
• Nyeri kepala
• Kesadaran bisa menurun atau normal
© Pada CT scan otak didapatkan gambar-
an hiperdens (perdarahan) di antara
dura mater dan araknoid yang tampak
seperti bulan sab it
Tanda diagnostik fraktur basis kranii:
® Anterior
- Keluarnya cairan likuor melalui hi-
dung/rinorea
- Perdarahan bilateral periorbital eki- Gam bar 10. Halo Sign atau Double-Ring Sign yang
mosis/raccoon eye Menyerupai Dua Buah Cincin (panah w arna hitam
dan putih)
- Anosmia
• Media riksaan dengan menggunakan CT scan.
- Keluarnya cairan likuor melalui te-
linga/otorea Tanda diagnostik cedera aksonal difus:
- Gangguan N. VII dan N. VIII ® Pasien mengalam koma dalam waktu
lama pascacedera kepala.
© Posterior
- Bilateral mastoid ekimosis/tanda Battle ® Disfungsi saraf otonom.
• Gambaran CT scan otak di awal cedera
Kebocoran cairan serebrospinal melalui menunjukkan kondisi normal, tidak ada
telinga atau hidung pada fraktur basis kra­ tanda perdarahan dan edema. Namun,
nii dapat dideteksi dengan adanya h alo/ setelah 24 jam hasil CT scan akan mem-
double-ring sign. Hal ini terjadi karena berikan gambaran edema otak yang luas.
prinsip kromatografi yang menunjukkan
P e m e r i k s a a n P e n u n ja n g
bahwa cairan serebrospinal dan darah
1. Pencitraan pada fase akut
akan terpisah sesuai koefisien difusi saat
Seiring dengan perkembangan teknologi,
diteteskan di kassa/kain. Terpisahnya ke-
pemeriksaan rontgen tengkorak telah di-
dua komponen inilah yang membentuk gam-
gantikan oleh adanya CT scan. CT meru-
baran menyerupai dua buah cincin (Gambar
pakan pilihan utama dalam kasus cedera
10). Tanda ini dapat muncul bila konsentrasi
kepala akut. CT scan nonkontras potong-
cairan serebrospinal sekitar 30-90% .
an aksial dapat dengan cepat meng-iden-
Selain itu, untuk menegakkan diagnosis tifikasi massa desak ruang dalam ben-
fraktur basis kranii perlu dilakukan peme- tuk hematom yang membutuhkan tata

396
Cedera Kepala

laksana operatif segera. Kemampuan CT dibanding CT scan untuk mendeteksi


scan untuk memindai jaringan lunak dan cedera aksonal difus.
tulang, membuat CT scan unggul dalam
D ia g n o s i s b a n d in g
mengidentifikasi fraktur tengkorak jenis
Apabila ldinisi telah melakukan prosedur
Impresi atau linier dan fraktur basis kra-
anamnesis dan pemeriksaan dengan cermat,
nii.
penegakan diagnosis cedera kepala tidak me-
Menurut National Institute fo r Health merlukan diagnosis banding. Hanya pada
and Clinical Excellence (NICE), CT scan kasus-kasus tertentu saja perlu dicurigai
perlu dilakukan jika pasien: adanya kemungkinan diagnosis lain. Hampir
semua kelainan intrakranial dapat dijadikan
© Memiliki skor SKG kurang dari 13
diagnosis banding untuk cedera kepala, yaitu
pascacedera
keganasan otak, stroke, dan aneurisma.
© Skor SKG 13 atau 14 dua jam pasca­
cedera Selain pencitraan, pemeriksaan penanda
biokimia, seperti creatine kinase brain type
• Dicurigai mengalami fraktur terbuka
(CK-BB), neuron-specific enolase (NSE),
atau impresi
protein S100, dapat dilakukan pada pasien
© Memiliki tanda-tanda fraktur basis cedera kepala. Penelitian di RSUPN Cipto
kranii
Mangunkusumo menunjukkan bahwa kadar
© Mengalami kejang pascacedera protein S100 yang tinggi cenderung memi­
• Mengalami defisit neurologis sentral liki luaran yang buruk. Sayangnya, penanda
© Mengalami muntah yang lebih dari 1 biokimia ini tidak sensitif hanya terhadap
kali kerusakan otak aldbat cedera kepala, melain-
kan juga pada kondisi stroke, ensefalopati
© Mengalami amnesia tentang kejadian
hepatikum, dan penyaldt neurodegeneratif,
30 menit sebelum cedera kepala
seperti Alzheimer.
2. Pencitraan pada fase subakut
Pemeriksaan MRI tidak rutin dilakukan TATA LAKSANA
pada fase subakut. Hal ini berkaitan de- Dasar tata laksana awal untuk semua kasus
ngan sulitnya mobilisasi pasien yang be- cedera kepala bertujuan untuk menjaga ke-
rada dalam kondisi kritis. Pemeriksaan stabilan hemodinamik, penanganan segera
dengan MRI dilakukan setelah pasien akibat cedera primer, mencegah cedera ja­
dalam keadaan stabil. MRI dapat mem- ringan otaksekunder dengan cara mencegah
berikan gambaran yang lebih jelas dan munculnya faktor-faktor komorbid seperti
dapat menggambarkan luasnya cedera hipotensi dan hipoksia, serta mendapatkan
serta mampu memberikan informasi penilaian neurologis yang akurat.
tentang prognosis pasien ketika berada
Prinsip tata laksana awal pada cedera ke­
di ruang rawat intensif. CT scan lebih
pala secara umum sama seperti cedera di
unggul dibanding MR! untuk mendeteksi
tempat lain. Penanganan didasari pada
perdarahan. Namun, MRI lebih unggul
prinsip emergensi dengan survei primer.

397
Buku Ajar Neurologi

Adapun survei primer meliputi tindakan dibutuhkan tekanan darah arteri rerata ( mean
yang umumnya disingkat ABCD, yaitu: arterial pressure/ MAP] seldtar 70mmHg.
1. A-Airway (jalan napas) Dalam penanganan cedera kepala, perlu
Prinsipnya adalah memastikan jalan diperhatikan adanya tanda-tanda pening-
napas tidak mengalami sumbatan. Apabi- katan TIK karena harus diturunkan segera.
la diperlukan dapat digunakan alat bantu Berdasarkan mekanisme hipoksia yang ter-
seperti oropharyngeal airway (OPA). jadi pada cedera, maka edema yang terjadi
adalah edema sitotoksik, sehingga diguna­
2. B-Breathing (pernapasan adekuat)
kan manitol 20%. Terapi ini menggunakan
Prinsip pernapasan adekuat adalah de-
prinsip osmosis diuresis. Manitol memiliki
ngan memperhatikan pola napas, gerak
efek ekspansi plasma yang dapat menghasil-
dinding perut, dan kesetaraan pengem-
kan gradien osmotik dalam waktu cepat.
bangan dinding dada kanan dan kiri.
Cairan ini dapat meningkatkan aliran darah
Apabila alat tersedia, diharapkan satu-
serebral dan tekanan perfusi serebral yang
rasi oksigen di atas 92% .
akan meningkatkan suplai oksigen.
3. ^-Circulation (sirkulasi)
Dosis pemberian manitol dimulai dari l-2g/
4. D-Disability (melihat adanya disabilitas) kgBB dalam waktu Vz-1 jam tetes cepat.
Berdasarkan konsensus Perhimpunan Setelah 6 jam pemberian dosis pertama,
Dokter Saraf Seluruh Indonesia (PER- dilanjutkan dengan dosis kedua 0,5g/kgBB
DOSSI}, disabilitas mengacu pada ada dalam waktu Vz-1 jam tetes cepat. Selanjut-
tidaknya lateralisasi dan kondisi umum nya 12 jam dan 24 jam kemudian diberikan
dengan memeriksa status umum dan fo- 0. 25g/kgBB selama Vz-1 jam tetes cepat.
kal neurologis.
T a ta L a k s a n a O p e r a tif
Sebagai tambahan, perlu dilakukan imo- Tindakan operatif dilakukan sesuai indikasi.
bilisasi tulang belakang karena cedera ke- Adapun tindakan operatif dilakukan apabila
pala seringkali dibarengi dengan adanya terdapat kasus seperti disebut di bawah ini:
cedera pada medula spinalis. Imobilisasi
dilakukan sampai didapatkan bukti tidak 1. Perdarahan epidural adalah:
terdapat cedera tulang belakang, a. Lebih dari 40cc dengan pergeseran
garis tengah pada daerah temporal/
T a t a L a k s a n a F a r m a k o l o g is
frontal/parietal dengan fungsi batang
Hipotensi adalah salah satu prediktor mortali- masih baik.
tas pada cedera kepala berat. Oleh karena itu,
b. Lebih dari 30cc pada daerah fos­
perlu dilakukan resusitasi dengan cepat begi-
sa posterior dengan tanda-tanda
tu tanda-tanda syok ditemukan. Banyak pusat
penekanan batang otak atau hidrose-
trauma merekomendasikan kristaloid isoto-
falus dengan fungsi batang otak ma­
nik sebagai cairan pengganti. Cairan hipotonik
sih baik.
harus dihindari karena dapat mengeksaser-
basi edema serebral. Untuk mempertahankan c. Perdarahan epidural yang progresif.
tekanan perfusi serebral sebesar SOmmHg,

398
Cedera Kepala

d. Perdarahan epidural tipis dengan RS pasien dalam keadaan tidak sadar. Tidak
penurunan kesadaran. ditemukan perdarahan dari telinga, hidung,
dan mulut maupun kejang, serta tidak di-
2. Perdarahan subdural adalah:
ketahui adanya keluhan lain.
a. SDH luas (>40cc/>5mm) dengan skor
SI<G>6, fungsi batang otak masih baik. Pada pemeriksaan fisik tanda vital stabil.
Ditemukan luka robek di kepala kanan be­
b. SDH tipis dengan penurunan kesadaran.
lakang dengan tepi tidak rata, dasar otot,
c. SDH dengan edema serebri/kontu-
kotor, perdarahan tidak masif, tidak ter­
sio serebri disertai pergeseran garis
dapat nanah, tanda Battle, maupun raccoon
tengah (midline shift) dengan fungsi eyes. Pemeriksaan neurologis didapatkan
batang otak masih baik. SKG E2M5V2, refleks cahaya langsung mau­
3. Perdarahan intraserebral adalah: pun tidak langsung baik, serta kesan tidak
a. Penurunan kesadaran progresif. ada defisit saraf kranial dan motorik.
b. Hipertensi, bradikardi, dan gangguan P e rta n y a a n :
pernapasan (refleks Cushing). 1. Pemeriksaan penunjang apa yang akan
c. Terjadi perburukan pada suatu Anda lakukan?
kondisi defisit neurologis fokal. 2. Apa diagnosis kerja kasus ini?
4. Fraktur impresi. 3. Apa dasar diagnosis Saudara?
5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri. 4. Apa tata laksana awal yang akan Anda
6. Fraktur kranii terbuka. lakukan?

7. Edema serebri berat yang disertai de­ 5. Apa saja kondisi yang harus dihindari
ngan tanda peningkatan tekanan in- dalam perawatan pasien ini?
trakranial (TIK). Ja w a b a n :
1. CT scan kepala tanpa kontras disertai
CONTOH K A SU S bone window, Rontgen vertebra ser-
Laki-laki 42 tahun, dibawa ke IGD dengan vikal proyeksi anteroposterior dan
penurunan kesadaran setelah jatuh dari lateral. Pemeriksaan laboratorium:
motor 1 jam sebelum masuk RS. Pasien di- darah perifer lengkap, gula darah
bonceng temannya dengan kecepatan 50 sewaktu, hemostasis, analisis gas da­
km/jam tanpa menggunakan helm. Sebe­ rah, fungsi ginjal, fungsi hepar, dan
lum kejadian, pasien dalam keadaan sehat, elektrolit.
hanya lebih banyak bicara karena sedang 2. Cedera kepala sedang.
berada di bawah pengaruh alkohol. Pasien
3. Durasi penurunan kesadaran dalam
biasanya mengonsumsi alkohol 1-2 kali per
rentang waktu >10 menit dan <6 jam
minggu. Pasien terjatuh ke belakang dengan
dan nilai SKG 9. Diagnosis patologis
posisi terlentang dan kepala belakang me-
ditegakan setelah dilakukan pen-
ngenai aspal. Terdapat muntah sebanyak
citraan dan/atau biopsy histopatologi,
2x isi makanan, serta terdapat luka robek
di bagian belakang kepala. Saat diantar ke 4. Tata laksana resusitasi awal ABCDE

399
Baku Ajar Neurologi

(airway; breathing, circulation, disabili­ Hutchinson. Traumatic brain injury in adults.


Pract Neurol. 2 0 1 3 ;1 3 (4 ):2 2 8 -3 5 .
ty, exposure}. Manajemen pengendalian
4. Pearn ML, Niesman IR, Egawa J, Sawada A, Ai-
tekanan intrakranial dengan elevasi ke- menar-Queralt A, Shah SB, dkk. Pathophysiology
pala 30°, normoksia (Pa02 sekitar 100 associated with traumatic brain injury: current
mmHg), normokarbia (PaC02 sekitar treatments and potential novel therapeutics. Cell
Mol Neurobio!. 2016.
35mmHg], normotermia, normoglike- 5. PERDOSS1, Konsensus nasional penanganan
mia, analgesia adekuat, nutrisi adekuat, trauma kapitis dan trauma spinal. Jakarta: PER-
osmoterapi dengan manitol atau salin DOSSI; 2006.
6. Raslan A, Bhardwaj A. Cerebral Edema and In­
hipertonik Pada beberapa keadaan,
tracranial Pressure. Dalanr Torbey MT, editor.
dapat dilakukan sedasi, koma barbitu- Neurocritical Care. Cambridge University Press.
rat/propofol, hipotermia terapetik, dan 2010. h.13
7. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor's prin­
dekompresi kraniotomi.
ciples of neurology. Edisi ke-8. New York: Mc­
5. Hipertermia, kejang, hipoksia, hipo- Graw-Hill; 2005.
tensi, hipertensi, hipo/hiperglikemia, 8. Simon RP, Aminoff MJ, Greenberg DA. Clinical
neurology. Edisi ke-7. USA: McGraw-Hill; 2009.
gangguan elektrolit, 9. Sunder R, Tyler K. Basal skull fracture and the
halo sign. CMAJ. 2 0 1 3 ;1 8 5 (5 ):4 1 6 .
DAFTARPUSTAKA 10. Weisberg LA, Garcia C, R Strub. Essential of clini­
cal neurology. Edisi ke-3. Louisiana: Tulene Uni­
1. Adams JH, Doyle D, Ford I, Gennarelli TA, Graham
versity Press; 1997,
DI, McLellan DR. Diffuse axonal injury in head in­
11. Whitfield PC, Thomas EO, Summer F, Whyte M,
jury: definition, diagnosis and grading. Histopa-
Hutchinson PJ. Head injury: a multidisciplinary
thology. 1 9 8 9 ;1 5 (l}:4 9 -5 9 .
approach. New York: Cambridge University
2. Krismanto M. Hubungan Antara Kadar Protein
Press; 2009.
S100B dengan Keluaran Pasien Cedera Kepala
12. Zasler ND, Katz DI, Zaeonte RD, Brain injury med­
Ringan dan Sedang. Tesis. Universitas Indonesia.
Jakarta. 2013. icine. Edisi ke-2. New York: Demosmedical; 2013.
3. Kolias AG, Guilfoyle MR, Helmy A, Allanson JJ,

400
25
CEDERA MEDULA SPINALIS

Adre Mayza, Yetty Ramli

PENDAHULUAN lompok usia tertinggi adalah remaja hingga


Cedera medula spinalis, atau disebut juga dewasa mud a. Penyebab tersering cedera
trauma medula spinalis (spinal cord injury), medula spinalis adalah jatuh, diikuti ke-
adalah trauma langsung atau tidak langsung celakaan sepeda motor.
yang menyebabkan jejas pada medula spi­
Data di Amerika menunjukkan sebanyak
nalis, sehingga dapat menimbulkan gang-
5% pasien cedera kepala juga mengalami
guan fungsi sensorik, motorik, dan otonom.
cedera medula spinalis, dengan sebaran
Selain itu, cedera medula spinalis memiliki
lokasi terutama di servikal (55% ), lalu to-
mortalitas yang tinggi pada tahun pertama
rakal, abdominal, dan lumbosakral masing-
pascacedera.
masing 15% . Data di Indonesia menyatakan
Penanganan cedera medula spinalis harus bahwa kasus cedera kepala dan medula spi­
dilakukan dengan cepat, tepat, dan cermat. nalis mencapai 7,5% dari jumlah populasi.
Kesalahan dalam penanganan awal akan
menyebabkan kerusakan sekunder yang fa­ P A T O FISIO L O G I
tal dan mempengaruhi tindak lanjut serta Patofisiologi cedera medula spinalis terbagi
prognosis pasien. Kecepatan penanganan menjadi dua mekanisme, yaitu primer dan
medis prarumah sakit, sistem transpor- sekunder.
tasi menuju rumah sakit, dan kualitas pe-
1 . M e k a n is m e K e r u s a k a n P r i m e r
rawatan di rumah sakit merupakan faktor
Mekanisme umum dari cedera medula
penting yang menentukan prognosis pen-
spinalis adalah adanya kompresi pada
derita cedera medula spinalis. Di negara
struktur medula spinalis, baik oleh ke-
dengan sistem pra-RS yang sudah baik,
lainan tulang, ligamen, herniasi diskus
seperti Amerika, masih terdapat 5% pasien
intervertebralis, maupun proses hema-
cedera medula spinalis yang disertai cedera
tom pada medula spinalis itu sendiri.
sekunder atau perburukan saat tiba di RS.
Proses kompresi akan memberikan ge-
jala berupa defisit neurologis dan/atau
E P ID E M IG L O G I
rasa sakit yang dirasakan terus menerus.
WHO memperkirakan insidens cedera me­
Mekanisme lain akibat gaya mekanik
dula spinalis global sebanyak 40-80 orang
trauma (axial loading, fleksi, ekstensi,
persejuta populasi setiap tahun. Rasio anta-
rotasi, lateral bending, distraksi) dapat
ra laki-laki dan perempuan 2:1 dengan ke-
berupa luka tembus, peregangan, mau-

401
Buku Ajar Neurologi

pun robekan pada struktur medula spi­ kan tata laksana dan prognosis. Gambaran
nalis dan pembuluh darah. klinis ini diklasifikasikan berdasarkan:
Kerusakan langsung pada pembuluh da­ 1. L e v e l C e d e r a
rah menyebabkan perdarahan pada me­ Level cedera medula spinalis dapat di-
dula spinalis yang berlangsung beberapa tentukan melalui pemeriksaan sensorik
menit pascacedera, diikuti gangguan aliran (sesuai dermatom] dan motorik [mi-
darah. Kejadian ini menyebabkan hipoksia otom) di sepanjang level medula spina­
dan infark iskemik lokal. Area substansia lis. Level cedera neurologis dihitung dari
grisea lebih rentan mengalami kerusakan segmen paling kaudal yang fungsi sen­
yang pertama kali kemudian menyebar ke sorik dan motoriknya masih baik, pada
area seldtarnya (kaudal-kranial). Sel-sel kedua sisi (kanan dan kiri).
saraf pada area ini akan mengalami keru­
Perbedaan gejala paling mencolok terjadi
sakan fisik, penipisan selubung mielin,
pada level di atas dan di bawah T l. Pada
edema, dan menarik makrofag di seldtar
level cedera di atas T l, defisit neurolo­
area sehingga mengganggu transmisi saraf.
gis yang muncul adalah tetraplegi dan
2 . M e k a n is m e K e r u s a k a n S e k u n d e r sering dijumpai gangguan pernapasan,
Kerusakan sekunder pada cedera medula akibat paresis otot interkostalis atau di-
spinalis terbagi menjadi dua mekanisme, afragma, serta renjatan neurogenik. Jika
yaitu efek lokal dan sistemik. Kerusakan cedera terjadi di bawah T l, gejala klinis
sekunder ini terjadi akibat defisit energi yang muncul berupa paraplegi. Penen-
yang disebabkan oleh adanya gangguan tuan level ini penting karena akan mem-
perfusi pada tingkat sel. Kondisi tersebut pengaruhi strategi tata laksana cedera.
dapat diperberat, jika ditemukan keadaan
2. D e r a ja t K e p a r a h a n D e f i s i t N e u r o lo g is
renjatan neurogenik yang menyebabkan
Derajat keparahan defisit neurolo­
hipoperfusi sistemik. Cedera medula spi­
gis pada cedera medula spinalis dapat
nalis yang tidak ditatalaksana optimal
ditegakkan pada saat 72 jam hingga 7
dalam 3-24 jam pertama, akan mengalami
hari pascacedera karena mempertim-
perburukan berupa perdarahan, edema,
bangkan adanya kemungkinan renjatan
demielinisasi, pembentukan rongga pada
spinal Cspinal shock). Secara garis besar,
akson, neltrosis neuronal, peningkatan ka-
derajat keparahan ini dibagi menjadi
dar glutamat, eksitotoksisitas, kerusakan
komplet dan inkomplet. Cedera dise-
oksidatif, adanya iskemik, serta peningkat­
but komplet apabila pasien kehilangan
an produksi nitrit oksida dan peroksidasi
fungsi sensorik dan motorik pada level
lipid pada membran sel yang akan menye­
cedera, sedangkan cedera inkomplet jika
babkan perubahan patologis dan berakhir
pasien hanya kehilangan salah satu fung-
menjadi infark.
si, sensorik atau motorik saja.

GEJALA DAN TANDA KUNIS Cedera inkomplet memberikan prognosis


Gejala dan tanda klinis cedera medula spi­ yang lebih baik dibandingkan cedera kom­
nalis perlu diketahui karena akan menentu- plet. Ditemukan fenomena sacral sparing

402
Cedera Medula Spinalis

yang tidak ditemukan pada cedera kom- 3. S i n d r o m M e d u la S p i n a li s


plet. Sacral sparing menunjukkan fungsi Berbagai mekanisme trauma (gaya axsial
yangtersisa pada cedera inkomplet, beru- loading, fleksi, ekstensi, rotasi, lateral bend­
pa fungsi sensorik di daerah perianal dan ing, distraksi) dapat menyebabkan keru-
atau kontraksi sadar sfingter anus. sakan medula spinalis yang berbeda. Ber-
dasarkan letak lesi dan gejalanya, terdapat
Secara lebih rinci, American Spinal Injury
empat sindrom, yaitu 1) sindrom Brown-
Association (ASlA)/InternationaI Medical
Sequard; 2} sindrom spinalis anterior, 3)
Society o f Paraplegia (IMSOP) membagi
sindrom spinalis sentral, dan 4) sindrom
derajat keparahan defisit neurologis men-
spinalis posterior (Tabel 2 dan Gambar 1].
jadi 5 derajat (Tabel 1].

Tabel X. Klasifikasi Derajat Keparahan Defisit Neurologis Berdasarkan ASIA/IMSOP


Derajat Tipe Keterangan
A Komplet Tidak ada fungsi sensorik maupun motorik sampai segmen S4-5
B Inkomplet Fungsi sensorik masih baik, tetapi fungsi motorik terganggu di bawah level
sensorik cedera dan meluas sampai setinggi segmen S4-S5
C Inkomplet Fungsi sensorik masih baik. Fungsi motorik di bawah level masih ada dan
motorik lebih dari setengah otot-ototdi bawah level memiliki kekuatan <3
D Inkomplet Fungsi sensorik masih baik. Fungsi motorik di bawah level masih ada dan
motorik lebih dari setengah otot-otot di bawah level memiliki kekuatan >3
E Normal Fungsi sensorik dan motorik normal
ASIA; American Spina! Injury Association; IMSOP‘.International Medical Society o f Paraplegia
Sumber: Perhimpunan Dokter SpesiaKs Saraf Indonesia (PERDOSSI). Konsensus nasional penanganan trauma kapitis
dan trauma spinal. 2006.

Tabel 2. Klasifikasi Sindrom Medula Spinalis


Sindrom________ Penyebab Utama Gejala dan Tanda Klitiis
Sindrom Cedera tembus, kom- e Paresis UMN (di bawah lesi] dan LMN (setinggi lesi)
Brown-S6quard presi ekstrinsik » Gangguan sensasi propioseptif (raba dan tekan) ipsi lateral
* Gangguan sensasi eksteroseptif (nyeri dan suhu) kontralateral
Sindrom spina­ Infark spinalis anterior « Paraplegia
lis anterior "watershed" (T4-T6), » Gangguan sensasi eksteroseptif
iskemik akut, dan HNP * Sensasi propioseptif normal
O Disfungsi sfingter
Sindrom spina­ Siringomielia, hypoten- » Paresis anggota gerak atas lebih berat dibandingkan anggota
lis sentral sive spinal cord ischemic gerak bawah
trauma (fleksi-ekstensi), ® Gangguan sensorik bervariasi (disestesia/hiperestesia) di
dan tumor spinal lengan
Disosiasi sensibilitas
Disfungsi miksi, defekasi, dan seksual
Sindrom spina­ Trauma dan infark spi­ Paresis ringan
lis posterior nalis posterior Gangguan propioseptif bilateral
* Gangguan eksteroseptif pada leher, punggung, dan bokong
MN: upper motor neuron-, LMN: lower motor neuron; tiNf: hernia nukieuspuiposus
imber: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Konsensus nasional penanganan trauma kapitis
m trauma spinal. 2006.

403
Buku Ajar Neurologi

Sindrom Brown-
Sequard

Sindrom spinalis
/ r
Sindrom spinalis
sentral posterior
Ih i
r.
/, / \1

Keterangan : Fungsi saraf normal


: ■ G angguan ftmgss motorik
Gangguan fungsi sensorik

Gambar 1. Sindrom Medula Spinalis

Renjatan Spinal dan kelemahan ekstrimitas flaksid. Selain


Selain sindrom-sindrom tersebut di atas, itu, manifestasinya dapat berupa hilangnya
perlu diperhatikan juga apakah defisit neu- tonus vesika urinaria, ileus paralitik, dan
rologis yang ada benar disebabkan oleh pa- hipo/anhidrosis di bawah lesi.
tologis atau renjatan spinal Renjatan spinal
Renjatan spinal ditemukan pada fase akut
adalah keadaan hilangnya fungsi sensorik,
pascacedera. Durasi renjatan spinal bervari-
motorik, dan otonom sementara, karena
asi tergantung pada derajat keparahan dan
sebenarnya tidak terjadi kerusakan struk-
level cedera medula spinalis. Pada sebagian
tur pada segmen medula spinalis tersebut.
besar kasus, aktivitas refleks spinal mulai
Penelitian pada hewan menunjukkan bah-
kembali normal setelah 1-6 minggu pasca­
wa hal ini terjadi lebih kepada proses akut
cedera.
hilangnya pengaruh fasilitasi supraspinal
yang masih belum diketahui secara pasti, Untuk meyakinkan defisit neurologis bukan
daripada proses trauma itu sendiri. aldbat renjatan spinal, maka direkomenda-
sikan agar pemeriksa mengasumsikan bah-
Renjatan spinal ditandai dengan hilang­
wa defisit sensorik dan motorik akibat ren-
nya aktivitas refleks spinal di bawah lesi
jatan spinal hanya berlangsung kurang dari

404
Cedera Medula Spinalis

1 jam pascacedera, sehingga disimpulkan orang penolong bertugas mempertahankan


bahwa defisit sensorik dan motorik yang kesegarisan tulang belakang saat pasien
lebih dari 1 jam merupakan aldbat perubah- dimiringkan/dipindahkan, sedangkan satu
an patologis dan jarangkarena renjatan spi­ lainnya akan menarikspme board dan meng-
nal. Adapun defisit komponen otonom dan evaluasi tulang belakang. Evaluasi untuk
refleks pada renjatan spinal dapat berlang- menemukan deformitas, krepitasi, nyeri
sung dalam beberapa hari hingga beberapa saat palpasi, dan perlukaan kulit (kontusio,
bulan, tergantung beratnya cedera. laserasi, atau penetrasi).
Penentuan level cedera berdasarkan peme­
diagnosis dan diagnosis banding
riksaan sensorik dan motorik. Pemerik­
Penentuan cedera medula spinalis dilakukan
saan sensorik dilakukan dengan memberi-
setelah keadaan mengancam nyawa telah
kan rangsangan nyeri dan menilai respons
diatasi. Oleh karena itu, penanganan awal
pasien sesuai pola dermatom (Gambar 2).
kasus cedera medula spinalis menganut asas
Level cedera ditentukan dari sensorik pola
praduga positif, yang berarti semua pasien
dermatom terbawah yang masih berfungsi
trauma harus dicurigai menderita cedera
baik. Perhatian khusus diberikan pada ke-
sampai terbukti bahwa tidak ada cedera me­
curigaan cedera servikal (C1-C4). Apabila
dula spinalis. Cedera medula spinalis dapat
pasien mengeluh hilangnya sensasi di dae-
dikenali berdasarkan keluhan klinis pada
rah sekitar leher dan klavikula, pemeriksa
pasien yang sadar seperti rasa sakit di sepan-
harus mengkonfirmasi dengan pemeriksaan
jang tulang belakang, sensasi kebas, hingga
motorik.
kelumpuhan pada anggota gerak
Pemeriksaan motorik dilakukan dengan
Anamnesis
memeriksa kekuatan otot (Tabel 3) mengi-
Penting didapatkan informasi berupa 1]
kuti pola miotom dan dibandingkan antara
mekanisme trauma, 2) riwayat penyakit se-
kedua sisi. Level cedera juga ditentukan dari
belumnya, dan 3) riwayat pengobatan yang
segmen paling kaudal.
didapatkan sebelumnya atau dipemudah
dengan akronim AMPLE {Alergy, Medica­ Diutamakan melakukan proteksi kolumna
tion, Past illness, Last meal, Exposure). vertebralis pada pasien tidak sadar agar ti­
dak terjadi cedera sekunder selama mobil-
Pemeriksaan Fisik
isasi dan pemeriksaan. Proteksi ini meliputi
Pemeriksaan neurologis pasien cedera me­
pemasangan bidai servikal {cervical collar
dula spinalis dilakukan secara bertahap un-
neck) dan meletakkan penderita pada papan
tuk menentukan ada atau tidaknya cedera
spinal panjang {long spine board) di tempat
dan level cedera medula spinalis. Penentuan
kejadian, selama transpor hingga sewaktu
adanya cedera dilakukan saat pemindah-
menjalani prosedur pemeriksaan penun-
an pasien dari papan spinal {spine board)
jang. Pada penderita tidak sadar, pemerik­
dengan teknik log roll. Teknik ini aman di-
saan penunjang menjadi alat penapis utama.
lakukan oleh minimal empat penolong. Tiga

405
Buku Ajar Neurologi

SEGM EN:

i' C i*
Servikal

To.'3l;ol

Lumbal

i jm
.‘MV
sS f
r?mM

IF

c i

Gambar 2. Pembagian Dermatom

Tabel 3. Derajat Kekuatan Otot


Derajat_________________________________ Keterangan___________
0 Paralisis total
1 Terdapat kontraksi saat inspeksi atau dipalpasi
2 Dapat digerakkan, namun tidak mampu melawan gravitasi
3 Dapat digerakkan dan dapat melawan gravitasi
4 Dapat digerakkan, namun kekuatan berkurang
5 Dapat digerakkan dan dapat menahan tahanan
S u m b e r : A m e r i c a n C o lle g e o f S u r g e o n . A d v a n c e d t r a u m a l i f e s u p p o r t . 2 0 1 2 .

406
Cedera Medula Spinalis

pemeriksaan Radiologis baik jika basis kranii hingga vertebra ser­


Dibutuhkan kerjasama antara dokter neurologi vikal ke-7 dapat terlihat. Untuk mencapai
dan radiologi untuk mencegah kemungkinan itu, seringkali diperlukan proyeksi khu-
kerusakan sekunder selama pemeriksaan. sus, yakni swimmer's position.
Oleh karena itu seorang dokter neurologi juga
Posisi AP diperlukan untuk mengidenti-
harus mengenal tindakan-tindakan yang perlu
fikasi dislokasi faset unilateral yang ti-
dilakukan selama pemeriksaan. Pada instansi
dak tampak jelas pada foto lateral. Di sisi
dengan fasilitas kesehatan yang lengkap, CT
lain, posisi open-mouth odontoid dilaku­
scan dapat menjadi modalitas penapisan awal
kan khusus untuk melihat area sekitar
cedera pada kasus kecurigaan cedera medula
segmen servikal 1 dan 2.
spinalis, Namun pada instansi dengan fasilitas
terbatas, dapat dilakukan foto Rontgen 2. Foto Segmen Torakolumbal
dengan posisi tertentu sebagai penapisan Perlu diperhatikan kesegarisan korpus
awal, kemudian dilanjutkan CT scan untuk vertebra, jarak antar diskus, pedikel,
memperjelas kelainan pada segmen tertentu. prosesus spinosus, dan foramen inter-
vertebralis. Jika dicurigai adanya kelain­
Pemeriksaan foto rontgen pada kasus ke­
an maka dibuat proyeksi tambahan baik
curigaan cedera medula spinalis, meliputi:
lateral maupun oblik.
1. Foto Segmen Servikal (Gambar 4}
Modalitas radiologis lain, seperti CT dan
Foto segmen servikal dilakukan dengan
MRI [Gambar 3), dapat dipertimbang-
posisi lateral, anteroposterior [AP], dan
kan pada pasien dengan defisit neuro-
open-mouth odontoid Pemeriksaan late­
logis yang jelas tetapi tidak ditemukan
ral dilakukan dengan pasien berada dalam
kelainan pada pemeriksaan radiologis
posisi tidur telentang dan film diletakkan
sebelumnya ([spinal cord injury with­
di samping pasien. Foto servikal dianggap
out radiological abnormality /SCIWORA).

(a) (b) (c)


Gambar 3. Pencitraan Cedera Medula Spinalis
(a) foto Rontgen dengan fraktur vertebra C3-4 (panah); (b) CT scan menunjukkan fraktur vertebra C5 (panah); (c)
MRI dengan fraktur komunutif vertebra C4 disertai subluksasi posterior [panah]
[Dok: Pribadi]

407
Buku Ajar Neurologi

Pemeriksaan ini dilakukan untuk menge- Informasi yang penting diketahui antara
tahui kecurigaan abnormalitas jaringan lu- lain adalah keadaan pasien, waktu terjadi-
nak, seperti herniasi diskus, ekstraaksial nya trauma, dan mekanisme trauma.
hematom, dan abnormalitas ligamen.
Penekanan yang diutamakan pada fase
Akan tetapi mempertimbangkan prosedur
prarumah sakit adalah 1) imobilisasi
pemeriksaan MRI yang sulit dilakukan
pasien; 2] penjagaan jalan napas; 3) kontrol
dan berisiko, maka MRI sebaiknya di­
perdarahan dan syok; dan 4] transfer pasien
lakukan secara elektif.
ke rumah sakit dengan fasilitas memadai se-
segera mungkin.
TATA LAKSAN A
Seperti halnya penegakan diagnosis, konsep 1. Im obilisasi Pasien
penanganan cedera medula spinalis adalah Upaya imobilisasi pada fase prarumah
semua korban trauma harus dicurigai me- sakit, meliputi imobilisasi area servikal dan
ngalami dan ditangani sebagai kasus cedera sepanjang tulang belakang (Gambar 4).
medula spinalis sampai terbukti tidak ada- a. Imobilisasi area servikal
nya cedera. Selama belum terbukti tidak ada Tata laksana yang dapat dilakukan
cedera, pada saat pemeriksaan pasien harus untuk melindungi dan imobilisasi
dilakukan imobilisasi untuk menghindari area servikal, antara lain:
cedera sekunder.
• Stabilisasi m anual dengan mempo-
Terdapat tiga tujuan utama yang perlu dica- sisikan kepala sedikit ekstensi dan
pai dalam tata laksana cedera medula spina­ minimal distraksi, untuk mencegah
lis, yaitu maksimalisasi pemulihan neurolo- terjadinya fleksi dan kompresi spinal
gis, stabilisasi spinal, dan rehabilitasi. Untuk yang lebih Ianjut,
itu, terdapat alur tata laksana yang dimulai ® Memasangkan bidai servikal, atau
sejak fase pra-RS ( prehospital), fase RS (hos­
® Menggunakan san d b ag atau tow el
pital), dan rehabilitasi pascacedera yang
roll pada sisi lateral atau dengan
berkesinambungan.
mengikat (taping) kepala pada spine
T a ta L a k s a n a P ra -R S (prehospital) board .
Terdapat 10-25% pasien cedera medula
spinalis yang mengalami defisit neurologis Kelebihan dalam penggunaan bidai servi­
akibat tata laksana prarumah sakit yang ti­ kal adalah manipulasi minimal pada leher
dak mumpuni. Penanganan fase ini berpe- saat pemasangannya. Bidai servikal dapat
ran penting dalam menentukan prognosis dijadikan sebagai penanda bahwa terdapat
pasien trauma medula spinalis. risiko cedera servikal yang belum dapat
disingkirkan. Kombinasi dengan cara lain,
Dibutuhkan koordinasi yang baik antara
misalnya taping, dapat lebih memfiksasi
petugas di tempat kejadian dan rumah sakit
tujuan. Rumah sakit tujuan harus dipastikan leher (Gambar 4).
dapat melakukan tata laksana Ianjutan pada Yang perlu diperhatikan dalam metode
pasien sebelum dilakukan transfer pasien. taping adalah agitasi pasien. Pasien

408
Cedera Medula Spinalis

dengan agitasi dapat bergerak-gerak menjagakesejajaran (alignment) tulang


yang dapat menimbulkan cedera spinal belakang dengan menggunakan spine
sekunder. Taping daerah dada sebaiknya board. Spine board tidak diperuntuk-
diminimalisasi karena mengurangi ru- kan untuk pemakaian jangka panjang
ang gerak rongga paru, Taping pada po- karena berisiko terjadinya dekubitus
sisi terlentang (supine) meningkatkan akibat penekanan berlebih di bagian
risiko terjadi bronkopneumonia aspirasi. sakrum, belikat, tumit, dan oksipital
Penggunaan sandbag dipikirkan lebih 2 . T in d a k a n R e su sita si
aman dibandingkan taping karena tidak Tindakan resusitasi pada fase pra-RS,
mengganggu jalan napas tetapi dapat meliputi penjagaan jalan napas dan
meminimalisasi timbulnya gerakan yang kontrol perdarahan serta syok, dengan
tidak diinginkan. Sandbag direkomen- tetap mengutamakan imobilisasi pasien.
dasikan pada pemindahan pasien pada Protokol tindakan resusitasi ini telah di­
keadaan yang tidak memungkinkan re ko me ndasikan oleh American College
de-ngan spine board. Selain keadaan o f Surgeon.
tersebut, sandbag kurang praktis untuk
a. Penjagaan jalan napas dan ventilasi
digunakan. Minimalisasi gerakan late­
Penjagaan jalan napas wajib dilakukan
ral kepala pun dapat dilakukan dengan
pada seluruh pasien trauma terutama
pengaplikasian towel roil pada kedua sisi
yang mengalami penurunan kesadar-
kepala. Sebaiknya pengaplikasian sandbag
an. Pasien dengan jalan napas yang
atau towel roll tanpa dikombinasikan de­
tidak adekuat akan mengalami gang­
ngan taping atau pelindung leher tipe rigid.
guan ventilasi yang akan berlanjut
Pada pasien trauma yang menggunakan pada kurangnya oksigenasi jaringan
helm, dapat dipertimbangkan untuk ti­ jika terjadi dalam waktu yang lama.
dak melepaskan helm selama dilakukan
Pembukaan jalan napas pada pasien
tata laksana awal kecuali ditemukan adanya
dengan trauma spinal prarumah sakit
gangguan jalan napas pada pasien. Wa-
dapat dilakukan dengan manuver jaw
laupun hal ini memiliki risiko terjadinya
thrust untuk meminimalisasi perge-
fleksi leher yang mengacu pada kejadian
rakan leher. Pemasangan nasopharyn­
perdarahan yang mengancam nyawa,
geal airway atau oropharyngeal airway
pelepasan helm oleh tenaga yang kurang
dapat dilakukan untuk menjaga jalan
terampil dapat memberikan cedera
napas tetap terbuka, namun perlu di-
yang lebih buruk pada region servikal.
perhatikan bahwa penggunaan ini
Pelepasan helm sebaiknya dilakukan
dapat menginduksi refleks muntah dan
oleh dua orang sesuai dengan prosedur
memberikan efek agitasi pada pasien.
dari American College o f Surgeon.
Pembukaan jalan napas definitif
b. Imobilisasi sepanjang tulang belakang
dilakukan bila alat pembuka jalan
Imobiiisasi tulang belakang bertujuan
napas sementara tidak adekuat.
untuk meminimalisir gerakan serta

409
Baku Ajar Neurologi

Dapat dipertimbangkan tindakan men ke arah kaudal atau terdorong


krikotiroidektomi emergensi atau ke arah rostral, sehingga mengganggu
trakeostomi definitif di rumah sakit kapasitas vital pasien.
bila kondisi tidak memungkinkan un-
b. Kontrol perdarahan dan renjatan
tuk diintubasi.
Renjatan hipovolemik pada trauma
Ventilasi adekuat dilakukan setelah spinal merupakan hal yang rumit.
jalan napas dipastikan adekuat. Perlu Kondisi hipotensi dapat ditemukan
diperhatikan ada-tidaknya kegagalan tanpa disertai dengan adanya hipoper-
respirasi pada pasien trauma medula fusi, atau disebut juga renjatan spinal.
spinal. Kondisi ini ditandai oleh ada-
Cedera setinggi segmen servikalis
nya gerak dinding dada paradoksikal,
atau torakalis tinggi dapat dijumpai
serta kapasitas vital paru yang dipen-
hipotensi dan bradikardi, Keadaan ini
garuhi oieh postur tubuh pasien.
dapat terjadi akibat adanya renjatan
Posisi tegak dan Tredelenburg sebaik- spinal, sehingga tidak disarankan un-
nya dihindari pada pasien cedera me­ tuk dilakukan resusitasi cairan ber-
dula spinalis dengan Minis tetraplegia. lebihan.
Hal ini berkaitan dengan tertariknya
diafragma oleh organ-organ abdo­

Gambar 4. Imobilisasi Area Servikal dan Tulang Vertebra

410
Cedera Medula Spinalis

Tata L a k s a n a di Hu m all S ak it nyawa sudah ditangani.


i, P enanganan gaw at d a ru ra t a. Imobilisasi
Penanganan gawat darurat pasien cedera Imobilisasi pada fase rumah sakit
medula spinalis di unit gawat darurat RS merupakan lanjutan dari tata laksana
tergantung pada penanganan pertama prarumah sakit. Pasien yang datang
pra-RS. Apabila pasien belum mendapat- dalam keadaan terim obilisasi dengan
kan pra-RS sebelumnya, maka protokol spine board dan pelindung leher sebaik-
penanganan gawat darurat cedera me­ nya dipindahkan segera mengingat tin­
dula spinalis harus dilakukan dari awal. dakan imobilisasi juga memberikan
Berbeda jika pasien telah mendapatkan risiko komplikasi. Sebaiknya penilaian
penanganan prarumah sakit yang tepat, dan pemeriksaan penunjang lengkap
maka langkah-langkah dalam protokol dilakukan dalam waktu tidak lebih dari
dapat dilewati atau dimodifikasi setelah dua jam. Apabila dalam dua jam tidak
memastikan kembali bahwa tindakan tercapai, sebaiknya m obilisasi terkontrol
yang dilakukan sebelumnya tepat dan tetap dilakukan dengan memperhatikan
keadaan-keadaan yang mengancam kesegarisan tulang belakang.

Tabel 4. P rim ary Survey *


Airway/jalan * Pembebasan jalan napas tanpa memanipulasi daerah servikai dengan manuver rutin jaw
napas thrust
® Pertimbangkan tindakan definitif pembebasan jalan napas dengan tindakan intubasi oleh
ahii [tanpa mengekstensikan leher), Jika tidak ada kontraindikasi, intubasi nasotrakeal
lebih mudah dan pasien harus bernapas spontan
e Surgical airway access, seperti krikotiroidotomi dan trakeostomi sebaiknya dihindari.
Apabila harus dilakukan, krikotiroidotomi lebih dianjurkan
Breathing/ Per- « Jika pasien datang dengan jalan napas bebas, pasien diberikan suplementasi oksigen me-
napasan lalui nasal kanul atau simple mask
« Penggunaan ventilator pada pasien yang diintubasi
Circulation/ » Bertujuan untuk mempertahankan perfusi adekuat
Sirkulasi » Tekanan darah sistolik dipertahankan tetap >90mmHg
o Hipotensi dapat disebabkan oleh renjatan hipovolemia maupun renjatan neurogenik [efek
simpatektomi)
* Renjatan hipovolemia (hipotensi-takikardi, ekstremitas dingin) resusitasi cairan
kristaloid (NaCl 0,9% atau ringer laktat) kalau perlu kombinasi koloid (albumin 0,5%),
posisi trendelenburg
® Renjatan neurogenik (paradoks hipotensi-bradikardi) -> resusitasi cairan adekuat + agen
vasopressor (phenylephrine hydrochloride, dopamin, atau norepinephrine)
® Bradikardia Atrofin IV 0,5-1 mg
® Tindakan: pemantauan tekanan vena sentral (untuk menghindari kelebihan cairan); ka-
teter foley
Disability « Pemeriksaan neurologis singkat, terdiri dari menentukan tingkat kesadaran (Skala Koma
______________ Glasgow! refleks pupil, dan mengenali kelemahan anggota gerak_______________________
Sumber: American College of Surgeon. Advanced trauma life support. 2 0 1 2 .

411
Buku Ajar Neurologi

Tabel 5. Secondary Survey


Langkah Penielasan
Langkah 1 e Anamnesis AMPLE
e Mekanisme trauma
o Riwayafc penyakit dahulu dan pengobatan
a Identifikasi obat/terapi yang telah diberikan saat prarumah sakit dan primary survey
Langkah 2 Penilaian uiang GCS dan pupil
Langkah 3 Pemeriksaan vertebra
e Palpasi seluruh vertebra dari kranial ke kaudal dengan metode log roll. Perhatian pada
deformitas, krepitus, nyeri, dan luka tembus/laserasi.
e Penilaian level neurologis motorik dan sensorik. Pemeriksaan sensorik mencakup dua
rangsangan, yaitu nyeri (pinprick) dan raba (touch). Catat level sensorik paling kaudal
yang masih ditemukan normal,
o Kekuatan motorik ekstrimitas atas dinilai dengan gerakan
- Abduksi bahu (C5)
Fleksi siku (C6 )
Ekstensi siku (C7)
Fleksi pergelangan tangan (C8 )
- Abduksi jari (T l)
« Kekuatan motorik ekstrimitas bawah dinilai dengan gerakan
Fleksi panggul (L2)
Ekstensi lutut (L3-L4)
Fleksi lutut (L4-L5 dan SI]
Dorsofleksi ibu jari (L5)
Plantarfleksi pergelangan kaki (SI)
o Penilaian refleks fisiologis dan patologis
Langkah 4 Evaiuasi uiang adanva cedera di lokasi lain yang belum tereksplorasi___________________
Sumber: American College of Surgeon. Advanced trauma life support. 2012.

b. Primary survey d. Medikamentosa akut


Tindakan primary survey merupakan Obat-obatan yang dapat diberikan seb-
evaiuasi uiang dari tindakan prarumah agai pengobatan akut, antara lain:
sakit (Tabel 4). Primary survey tetap di-
• Glukokortiko steroid do sis tinggi
lakukan walaupun sudah dilakukan se-
Studi oleh NASCISII menghasilkan bah-
, belum tiba di rumah sakit.
wa pemberian metilprednisolon dosis
c. Secondary survey dan pemeriksaan tinggi dalam 24 jam pertama memberi-
neurologis kan perbaikan fungsi motorik yang
Setelah primary survey pasien dinyatakan signifikan dibandingkan kelompok
aman, maka pemeriksaan dilanjutkan ke kontrol (plasebo atau nalokson). Pene-
secondary survey, meliputi anamnesis dan litian tersebut telah dikembangkan
pemeriksaan dari kepala hingga ujung dan saat ini sudah ditetapkan metil­
kaki, termasuk pemeriksaan neurologis prednisolon dosis tinggi dalam 8 jam
lengkap (Tabel 5]. Tindakan secondary pertama sebagai tata laksana standar
survey ini bertujuan untuk mencari tanda- pasien cedera medula spinalis. Cara
tanda cedera medula spinalis secara klinis. pemberian sebagai berikut:

412
Cedera Medula Spinalis

- Pasien onset <3 jam diberikan metil- a. Perawatan masalah kesehatan yang
prednisolon 30mg/kgBB IV bolus sela- mungkin muncul
ma 15 menit, ditunggu selama 45 me- Selama perawatan di rumah sakit, pasien
nit (tidak diberikan metilprednisolon cedera medula spinalis dapat mengalami
dalam kurun waktu ini}. Dilanjutkan beberapa komplikasi akut atau subakut
dengan infus terus menerus selama 23 (Tabel 6 dan 7). Hal ini harus diperhatikan
jam dengan dosis 5,4mg/kgBB/jam. oleh klinisi. Komplikasi ini bisa mengenai
- Pasien onset 3-8 jam, diberikan de­ sistem kardiovaskular, pernapasan, dan sal-
ngan cara yang sama namun dosis in­ uran cerna.
fus dilakukan selama 47 jam. a] Perawatan masalah kardiopulmoner
- Bila diagnosis baru ditegakkan >8 jam, Masalah kardiopulmuner dapat ter­
maka pemberian steroid tidak dian- jadi pada cedera medula spinalis
jurkan. karena gangguan sistem saraf oto-
© Opiat reseptor antagonis nom simpatis dan parasimpatis serta
© Nonglukokortikoid steroid tirilazad pasien yang dalam kondisi imobi­
© Monosialoganglioside (GM-l} lisasi. Proses cedera pada segmen
1. P e ra w a ta n in te n s if servikal hingga torakal atas (T4)
Perawatan penderita cedera medula spi­ menyebabkan hilangnya efek sim­
nalis di ruang rawat intensif ditekankan patis akibat cedera medula spinalis,
pada upaya mempertahankan pasien sehingga resistensi vaskular sistemik
tetap imobilisasi dan mengevaluasi ma- menurun dan efek parasimpatis me-
salah neurologis maupun kesehatan lain ningkat. Hal ini disebut juga renjatan
yang mungkin timbul sebagai keadaan neurogenik. Manifestasi klinis yang
primer maupun sekunder akibat upaya dijumpai adalah hipotensi dengan
imobilisasi sendiri. Insiden morbiditas selisih tekanan sistolik dan diastolik
dan mortalitas pasien cedera medula yang lebar (wide pulse pressure), bra-
spinalis lebih tinggi terjadi pada dua dikardia, serta ekstrimitas yang hangat.
minggu awal pascacedera. Hal ini berbeda dengan tanda renjatan
pada umumnya yang ditandai dengan
Kriteria tempat tidur yang sesuai dalam
takikardia, hipotensi dengan selisih
perawatan pasien cedera medula spina­ tekanan sistolik dan diastolik yang
lis, antara lain 1) dapat menunjang sta-
sempit (narrow pulse pressure), serta
bilitas dan kesegarisan tulang belakang;
ekstrimitas yang dingin dan pucat.
2} nyaman dan memiliki risiko rendah
Penanganan awal renjatan neuroge­
ulkus dekubitus; 3} memudahkan akses
nik adalah resusitasi cairan kristaloid
perawatan; dan 4} memudahkan upaya
intravena untuk menjaga kecukupan
reposisi pasien untuk mencegah kom-
volume intravascular. Jika hipotensi
plikasi imobilisasi.
tetap terjadi setelah resusitasi, maka

413
Buku Ajar Neurologi

dapat dipertimbangkan penggunaan tauan saturasi oksigen menggunakan


vasopresor. Pemilihan regimen va- oksimeter [pulse oximeter ) perlu di-
sopresor yang terbaik hingga saat ini lakukan selama perawatan.
masih dalam penelitian, tetapi lebih
Selain hipotensi, cedera medula spina­
diutamakan yang memilki aktivitas
lis pada segmen servikal dan torakal
alfa dan beta adrenergik, misalnya
atas dapat menyebabkan disritmia
norepinefrin, dopamin, dan adrenalin.
jantung. Sinus bradikardia yang tim-
Bila pasien mengalami renjatan hipo- bul akibat gangguan simpatis supra­
volemik, maka terapi utamanya adalah spinal merupakan bentuk disritmia
resusitasi cairan dengan kristaloid yang paling sering terjadi. Selain itu,
(NaCl 0,9% atau ringer laktat). Kombi- blok konduksi atrioventrikular (A-V
nasi dengan koloid, misalnya albumin block) serta takikardia supraventrikel
5%, dapat juga dipertimbangkan pada dan ventrikel juga dapat ditemukan.
kemungkinan kondisi overload serta Timbulnya disritmia ini lebih sering
adanya kontraindikasi pemakaian terjadi pada cedera medula spinalis
kristaloid pada cedera kepala. Peman- yangkomplet (ASIA/IMSOP derajat A).

Tabel 6. Komplikasi Fase Akut Cedera Medula Spinalis*•


___________________________ Komplikasi Fase Akut_________________________
Hipotensi/Renjatan
« Efek simpatektomi
e Perdarahan
Bradikardi
Dengan atau tanpa hypovolemia
Hipotermia
Dengan atau tanpa Infeksi
Hipoventilasi/Gagal Napas
* Cedera setinggi oksiput-C2
KehiJangan semua fungsi pernapasan; kelemahan saraf kranial level rendah
® C3-C4
Kelemahan otot interkostalis dan diafragma; fungsi faring/laring baik
«» C5-T1
Kelemahan otot interkostalis; fungsi otot diafragma baik
® T1-T12
Gangguan fungsi otot interkostalis beragam (waspada terhadap ARDS
sekunder akibat aspirasi saat terjadinya trauma)
Komplikasi latrogenik
• Dislokasi dengan cedera medula spnialis sekunder
® Ulkus dekubitus akibat penggunaan spine board terlalu lama
Perdarahan saluran cerna
« Dengan atau tanpa steroid
® Dengan atau tanpa heparin dosis rendah
Ileus
Distensi abdomen/muntah
Aspirasi ___________________ ______________________________
"Dikutip darif Cahill DW, dkk. Neuro trauma. 1996. h. 1229-36,

414
Cedera Medula Spinalis

Bradiaritmia dapat ditatalaksana dengan rentan mengalami retensi mukus ber-


pemberian atrofin. Sebagian kecil pasien ulang. Penggunakan tracheal bronchial
memerlukan pemasangan pacu jantung suctioning berkala, pulmonary toilet,
untuk mengontrol denyut jantungnya. Bila dan fisioterapi dada direkomendasikan
hal ini disertai hipotensi, penggunaan va- untuk masalah ini. Selain itu dapat ter­
sopresor yang hanya memiliki aktivitas alfe jadi atelektasis sebagai salah satu pre-
adrenergik, seperti fenilefrin, sebaiknya disposisi pneumonia. Kombinasi gang­
dihindari karena dapat menyebabkan per- guan refleks batuk dan atelektasis akan
lambatan kerja jantung dan eksaserbasi meningkatkan risiko pneumonia. Oleh
bradikardia. karena itu, pemberian antibiotik dapat
dipertimbangkan sesuai dengan pola ku-
Gangguan pernapasan sekunder ter-
man di RS. Pasien juga berisiko menga­
jadi akibat fungsi otot-otot interkostalis
lami aspirasi terutama bila tidak terintu-
terganggu pada cedera medula spinalis
basi. Salah satu cara pencegahan aspirasi
servikal, sehingga terjadi gangguan re-
adalah pemasangan pipa nasogatrik dan
fleks batuk. Pasien menjadi tidak mam-
dilakukan suctioning berkala.
pu membersihkan sekresi mukus dan

label 7. Kompiikasi Subakut Pascacedera Medula Spinalis


Komplikasi Subakut
Masalah pernapasan sekunder
» Sumbatan lendir
e Atelektasis
* Pneumonia
* Emboli paru
Trombosis vena dalam
Disfungsi berkemih
e Priapismus
e Retensi urin
Dekubitus
Hati-hati penggunaan spine board yang lama untuk prosedur diagnosis atau terapi
Masalah saluran cerna
« Impaksi feses
o Proiaps rekti
o Hemorrhoid
Malnutrisi
Usia dan penyakit kronis meningkatkan
semua risiko dari cedera medula spinalis
s COPD
» ASCVD
« Stenosis spinal degeneratif
® Hipertrofi prostat
» Osteoporosis
Sumber: Cahill DW, dkk. Neurotrauma. 1996, h. 1229-36*

415
Buku Ajar Neurologi

Pasien dengan ventilator harus diper- meningkatkan risiko pneumonia aspirasi.


hatikan antara kebutuhan terhadap Tata laksana akut untuk masalah ileus
ventilator dan kondisi kemampuan per- adalah kompresi dengan pipa nasogas-
napasan pasien sendiri. Penyapihan dari trik atau orogastrik.
ventilator harus segera dilakukan bila
Adanya risiko perdarahan saluran cerna
fungsi pernapasan pasien kembali mem-
pada penderita cedera medula spinalis di-
baik, mengingat penggunaan ventilator
perberat dengan intervensi pengobatan,
juga meningkatkan risiko masalah per­
misalnya pada pemberian steroid dosis
napasan sekunder, seperti ventilator ac­
tinggi. Pilihan agen profilaksis yang dapat
quired pneumonia (VAP), trakeomalasia,
diberikan, antara lain (1) antasid oral dosis
sinusitis, dan intoksisitas oksigen.
tinggi; (2) penyekat H2; atau (3} pelindung
b) Trombosis vena dalam mukosa. Penggunaan kombinasi dua obat
Kejadian trombosis vena dalam dan em­ disarankan untuk pencegahan komplikasi
boli paru merupakan dua kemungkinan perdarahan saluran cerna pada pasien
komplikasi yang harus diwaspadai se- dengan riwayat ulkus saluran cerna.
lama perawatan penderita cedera me-
Selain kedua hal di atas, kebutuhan energi
dula spinalis. Sebanyak 15% penderita
tidak kalah penting untuk diperhatikan.
cedera medula spinalis mengalami trom­
Kebutuhan kalori akan meningkat pada
bosis vena dalam dan setengah di anta-
beberapa hari pertama pascacedera.
ranya menjadi emboli paru. Oleh karena
Oleh karena itu, penurunan berat badan
itu, upaya pencegahan diutamakan dan
penderita cedera medula spinalis pada
harus dilakukan sedini mungkin. Upaya
minggu-minggu awal perawatan men­
yang dapat dilakukan, di antaranya (1)
jadi tidak dapat dihindarkan. Pemberian
pemakaian compression stocking; (2)
nutrisi yang tepat dapat mencegah mal-
pemberian heparin dosis rendah; atau
nutrisi pada kasus ini.
(3) pemasangan filter vena cava inferior
pada kasus kontraindikasi heparin yang Terputusnya persarafan otonom kolon
masih harus imobilisasi dalam jangka dan rektum dan persarafan volunter otot
waktu yang cukup lama. Selain itu, din-ding perut dan pelvis menyebabkan
upaya mobilisasi penderita segera juga kesulitan defekasi. Jika tidak ditangani de­
merupakan langkah untuk menghindari ngan tepat, maka impaksi feses dapat ter-
komplikasi trombosis vena dalam. jadi. Penanganan masalah tersebut dengan
pemberian tambahan asupan makanan
c) Perawatan masalah sistem pencernaan
tinggi serat (10-20g per hari] dan agen
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
pelunak feses. Agen pelunak feses dapat
gangguan saluran pencernaan, yaitu salah
diberikan secara oral Qaktulosa) maupun
satunya ileus. Salah satu gejala ileus adalah
supositoria (gliserin). Selain itu, evakuasi
distensi abdominal yang akan mem-
digital dapat dipertimbangkan 2-3 kali
pengaruhi kinerja diafragma sehingga
dalam seminggu sebagai tata laksana akut.
mempengaruhi fungsi pernapasan dan

416
Cedera Medula Spinalis

d) Perawatan masalah berkemih Prognosis penderita sangat tergantung


Gangguan berkemih yang sering ditemu- dari berat cedera dan lamanya per-
kan pada kasus cedera medula spinalis, tolongan hingga tindakan pembedah­
antara lain (1) retensi urin disertai dis- an. Tindakan operatif dapat dilakukan
tensi berlebih kandung kemih dan (2} dalam rentang waktu 24 jam hingga 3
priapismus yang sering ditemukan pada minggu pascacedera namun tindakan
pasien laki-laki. Retensi urin pada pen- operatif dini (<24 jam) lebih bermakna
derita cedera medula spinalis dapat di- dalam menurunkan risiko komplikasi
akibatkan oleh (1) kelemahan otot detru­ dan perburukan neurologis.
sor; (2) hiperaktivitas sfingter, atau (3) Tata Laksana Rehabilitatif
kerja kandung kemih dan sfingter yang Rehabilitasi bertujuan untuk meningkatkan
tidak sinergi dalam bentuk lain. kualitas individu yang mengalami gangguan
Apapun masalah yang mendasarinya, secara optimal dalam bidang mental, fisik,
tata laksana akut dari retensi urin adalah kognitif, dan sosial. Proses rehabilitasi pada
pemasangan kateter urin. Pemasangan pasien cedera medula spinalis adalah untuk:
kateter urin indwelling direkomenda- ® Memberikan pengertian mengenai cedera
sikan hingga kondisi stabil, dilanjutkan medula spinalis kepada pasien dan keluarga.
dengan pemasangan kateter intermiten
® Memaksimalkan fungsi mobilisasi dan ke-
setiap 6 jam. Pemasangan pipa supra-
mampuan perawatan diri [kemandirian]
pubik dapat dilakukan pada kondisi
pasien.
priapismus untuk menghindari cedera
sekunder saluran kemih. Penanganan se- ® Mencegah masalah kesehatan komorbid,
lanjutnya tergantung dari hasil pemerik- seperti kontraktur, luka decubitus, ma­
saan urodinamik. salah pernapasan, dan seterusnya.
Pencapaian tersebut melibatkan ker-
2. Tata laksana operatif
jasama multidisiplin, yang dimulai se-
Tujuan utama pembedahan adalah
jak fase akut, perawatan, hingga setelah
melakukan dekompresi terhadap me­
perawatan. Adapun tindakan-tindakan
dula spinalis dan melakukan stabilisasi
rehabilitasi sendiri, meliputi fisioterapi,
tulang belakang. Operasi pada pasien
terapi okupasi, latihan miksi dan defeka-
cedera medula spinalis diindikasikan
si rutin, terapi psikologis, dan, konseling.
pada keadaan-keadaan sebagai berikut:

• Terdapat fraktur, pecahan tulang CONTOH KASUS


menekan medula spinalis Wanita usia 39 tahun datang dengan keluhan
® Gambaran neurologis progresif mem- utama kelemahan keempat ekstremitas sejak
buruk 1 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien
diketahui mengalami kecelakaan lalu lintas 1
• Fraktur dan dislokasi yang labil
jam sebelum masuk 1GD. Pasien mengendarai
• Herniasi diskus intrevertebralis yang sepeda motor dengan kecepatan 20-30km /
menekan medula spinalis
jam. Pasien diserempet dari belakang dan ke-

417
Buku Ajar Neurologi

mudian terjatuh ke arah depan dengan posisi ganan trauma kapitis dan trauma spinal. Jakarta:
PERDOSSI Bagian Neurologi FKUI/RSCM; 2006.
tertelungkup dengan dagu terkena aspal dan
2. WHO. Spinal cord injury. World Health Organiza­
helm terlepas. Pasien terseret beberapa me­ tion [serial online]. 2013 [diunduh 10 November
ter ke depan. Pasien sadar dan ingat semua 2016]. Tersedia dari: WHO.
kejadian sebelum, saat, dan sesudah ke- 3. American College of Surgeon. Advanced trauma
life support. Chicago: American College of Sur­
celakaan. Tidalt terdapat darah yang keluar geons; 2 0 1 2 .
dari telinga dan hidung. Pasien menyangkal 4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
adanya benturan pada kepala. Departemen Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar
(RISKESDASJ 2007. Jakarta: Departemen Kes­
Sesaat setelah kejadian, pasien mengeluh- ehatan RI; 2008.
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
kan nyeri hebat pada pada leher belakang
Departemen Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar
disertai dengan kelemahan pada kedua [RISKESDASJ 2013. Jakarta: Departemen Kes­
tangan dan kaki. Kedua lengan masih dapat ehatan RI; 2014.
6 . Yilmaz T, Turan Y, Keles A. Pathophysiology of the
digeser, siku dapat ditekuk, jari-jari tangan
spinal cord injury. JCEI. 2014;5[l]:131-6.
masih dapat digerakkan, lengan kiri terasa 7. Dumont RJ, Okonkwo DO, Verma S, Hurlbert RJ,
lebih berat jika dibandingkan dengan le­ Boulos PT, Ellegala DB, dkk. Acute spinal cord
ngan kanan, Kedua kaki sama sekali tidak injury, part I: Patophysiologic mechanism. Clin
Neuropharmacol. 2001;24(5):254-64.
dapat digerakkan. Pasien juga m eras a baal 8 . Kirshblum SC, Burns SP, Sorensen FB, Dono­
dari setinggi bahu sampai tubuh bagian van W, Graves DE, Jha A, dkk. International
bawah dan ekstremitas bawah. standards for neurological classification of spi­
nal cord injury (ISNCSCIJ. J Spinal Cord Med.
P e rta n y a a n : 2011;34(6):535-46.
1. Ananmnesis apa yang masih kurang? 9. Chesnut RM. Emergency management of spinal
cord injury. Dalam: Narayan RK, Wilberger JE Jr, Pov-
2. Apa saja pemeriksaan fisik yang akan lishock JT, editor. Neurotrauma. New York: Me Graw
dilakukan dan apa hasil yang diharap- Hill; 1996. h. 1121-41.
10. Benzel EC, Doezema D. Prehospital management
kan?
of the spinally injured patient Dalam: Narayan RK,
3. Pemeriksaan penunjang apa yang Wilberger JE Jr, Povlishock JT, editor. Neurotrauma.
akan dilakukan dan apa hasil yang New York: McGraw Hill; 1996. h. 1113-1120.
11. Rodts GE, Haid RW. Intensive care management
akan diharapkan? of spinal cord injury. Dalam: Narayan RK, Wil­
4. Apa diagnosis dan diagnosis banding berger JE Jr, Povlishock JT, editor. Neurotrauma.
New York: Me Graw Hill; 1995. h. 1201-12.
kasus ini? 12. Cahill DW. Rechtine GR. The acute complications
5. Apa tata laksana medikamentosa dan of spinal cord injury. Dalam: Narayan RK, Wil­
berger JE Jr, Povlishock JT, editor. Neurotrauma,
non-medikamentosa yang akan di­
New York: Me Graw Hill; 1996. h. 1229-36.
lakukan? 13. Wilson JR, Cho N, Fehlings MG. Traumatic spi­
6. Bagaimana prognosis wanita pada nal cord injury. Dalam: Smith M, Citerio G, KOfke
WA, editor. Oxford Textbook of Neurocritica
kasus ini? Care. Inggris: Oxford University Press; 2016. h
274-275
14. Byrne TN, Waxman SG. Spinal cord compres­
DAFTARPUSTAKA sion: Diagnosis and Priciples of Manage­
1. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf In­ ment. Philadephia: FA Davis Company; 1990
donesia [PERDOSSIJ. Konsensus nasional penan- h. 41-42.

418
KOMPLIKASI PASCACEDERA KEPALA

Diatri Nari Lastri

pendahuluan nis gangguan ini berbeda-beda tergantung


Komplikasi pascacedera pada kasus-kasus dari berat-ringannya cedera, tetapi secara
neurologi dapat terjadi segera ataupun ke- umum dibagi menjadi adanya perubahan
mudian, Kerusakan sekunder sel saraf aki- ke-sadaran, gangguan atensi/konsentrasi,
bat cedera kepala traumatik dapat ter] ad i memori, dan fungsi eksekutif. Gangguan
dalam hitungan menit hingga hitungan hari atensi, kecepatan proses pikir, memori
setelah cedera awal. Setiap kali jaringan episodik, dan fungsi eksekutif merupa-kan
saraf mengalami cedera, serangkaian per- gangguan yang paling sering terjadi pada
ubahan terjadi pada kompartemen intra periode cedera subakut
maupun ekstraselular. Perubahan inilah
Gangguan kognitif merupakan sekuele yang
yang pada akhirnya akan menimbulkan
akan menghambat proses rehabilitasi dan
komplikasi akut maupun kronis. Semakin
penyembuhan serta memengaruhi keluar-
berat cedera, tentunya akan meningkatkan
an yang buruk. Hal ini dapat mengganggu
risiko serta besar masalah komplikasi yang
kualitas hidup, kemampuan kembali kerja
terjadi.
dan h'ilangnya produktivitas, serta hilang-
Secara garis besar, komplikasi pascacedera di nya komunikasi terhadap keluarga.
bidang neurologi terbagi menjadi komplikasi
Patofisiologi
neurologis yang terdiri dari komplikasi kog-
Trauma kepala menyebabkan otak bersentu-
nitif dan nonkognitif, serta komplikasi me-
han dengan tulang tengkorak atau objek luar,
tabolik. Komplikasi metabolik yang sering
akibat proses akselerasi-deselerasi (Gam-
muncul dan menimbulkan gangguan adalah
bar 1). Momen inersia akibat mekanisme
hiponatremia dan koagulopati pascacedera
akselerasi-deselerasi berhubungan dengan
yang akan dibahas dalam bab ini.
tarikan, robekan, dan penekanan yang me­
nyebabkan kerusakan akson.
KOMPLIKASI NEUROLOGIS
1. Komplikasi Kognitif Pascacedera Kepala Cedera akibat mekanisme tersebut terjadi
Masalah neurobehavior sering terjadi setelah segera (cedera primer) dan berlangsung se-
cedera kepala, di antaranya gejala neurop- terusnya, sehingga menyebabkan pelepasan
sikiatrik, masalah kognitif, dan agresi. Gang­ neurotransmiter yang dipicu oleh kaskade
guan kognitif sering terjadi sekitar 40-60% kerusakan eksitotoksik dan hal lain, seperti
dalam 1 sampai 3 bulan pascacedera. Je- hipoksia, edema, dan peningkatan tekanan
intrakranial (cedera sekunder). Lokasi yang

419
Buku Ajar Neurologi

Gambar 1. Biomekanika Cedera Kepala Akselerasi Linear (A) dan Rotasional (B)
CSS: cairan serebrospinal

paling sering terlibat dalam cedera kepala kan secara sekuensial ke striatum, globus
adalah lobus temporal anterior, inferior, palidus, talamus, dan kembali ke korteks
dan lateral, serta lobus frontal. Terdapat fronatal.
keteriibatan perubahan neurotransmiter
Sirkuit yang terlibat adalah (Gambar 3):
pada sekuele neurobehavior, termasuk
gangguan fungsi kognitif. Perubahan yang ® Frontal/prefrontal-subkotikal dorsolat­
terjadi melibatkan katekolamin, kolinergik, eral akan mengganggu fungsi eksekutif
dan serotonin. seperti memori, pengambilan keputus-
an, penyelesaian masalah, dan fleksibi-
Area frontal-subkortikal dengan tiga
litas mental.
sirkuit utamanya berperan penting pada
pengaturan perilaku. Area ini tumpang ® Orbitofrontal-subkortikal lateral akan
mengganggu intuisi, perilaku sosial, dan
tindih dengan area yang rentan terhadap
mekanisme konrol diri.
cedera yang menyebabkan perubahan
perilaku dan emosional pascacedera (Gam- ® Medial frontal-subkortikal anterior akan
bar 2). Setiap sirkuit memulai perjalanan- menyebabkan gangguan motivasi dan
nya dari korteks di frontal dan diproyeksi- inisiasi.

420
Komplikasi Pascacedera Kepala

Gambar 2, Lokasi Kontusio yang Terjadi pada Cedera Kepala

O rb itofrontal Prefrontal Cingulata


lateral dorsolateral an te rio r
(ko m p a rte m e n {fungsi (perilaku
sosial) eksekutif) term otivasi)

p I i:!i. .

______ __ .'i

:i:!:-ni .ft
V ___________ ....-...J

-> Jalu re k sitatorik

-> Jalur in h ib ito r

Gambar 3. Sirkuit Fr o nta FSubkorti kal

421
Buku Ajar Neurologi

Gambar 4. Gangguan Memori Pada Fase Akut Setelah Cedera Kepala Tertutup
Sumber: Evans RW. Neurology and trauma; 2006.

Gejala dan Tanda Klinis paling sering terkena adalah atensi fokus/
Modalitas atau ranah (domain ) kognitif diba- selektif, sustained attent/on/konsentrasi,
gi menjadi atensi, fungsi eksekutif, memori, atensi terbagi (distrakbilitas), dan alter­
bahasa, visuospasial-visuokonstruksi, dan nating attention/set shifting (kesulitan
keterampilan motorik serta persepsi sen- melakukan tugas jamak pada satu waktu).
sorik. Gangguan fungsi kognitif pada cedera
Renting untuk menilai kemampuan atensi
kepala dapat berupa cedera difus atau fokal karena gangguan atensi mempunyai efek
tergantung dari mekanisme cedera. Cedera pada kemampuan kognitif lain, terutama
otak difus sering mengikuti cedera otak ter­ memori dan fungsi eksekutif.
tutup akibat mekanisme akselerasi-dese-
lerasi, akan melibatkan banyak ranah kog­ 2. Memori
nitif. Gangguan yang bersifat fokal biasanya Gangguan memori merupakan salah satu
akibat cedera kepala penetrasi/laserasi. gangguan tersering pada cedera kepala,
dan hal ini berkaitan dengan kerusakan
Ranah kognitif yang terganggu mengikuti lobus temporal medial, struktur talamus
cedera kepala: medial dan garis tengah, basal frontal,
1. Atensi dan kecepatan proses pikir serta sistem koneksi frontal. Perbedaan
Gangguan atensi sering mengikuti cedera antara amnesia anterograd dan retrograd
kepala dan berkaitan dengan kerusakan penting pada klinis. Amnesia anterograd
difus atau struktur dan sistem otak mul- atau posttraumatic amnesia (PTA) meru­
tipel termasuk korteks parietal inferior, pakan ketidakmampuan atau terbatasnya
korteks frontal, dan sistim limbik. Wa- kemampuan untuk mempelajari informa-
laupun terdapat banyak tipe atensi, yang si baru atau pengetahuan sejak terjadinya

422
KompUkasi Pascacedera Kepala

cedera otak, sedangkan amnesia retro- selaraskan dengan gambaran pencitraan


grad merupakan ketidakmampuan untuk untuk menilai keparahan cedera kepala.
memanggil [recall] kejadian yang menda-
2. Pascacedera
hului onset cedera otak. Fungsi memori
Pemeriksaan kognitif dengan MMSE dan
yang sering terganggu adalah proses
frontal battery assessment (F8A) diperlu­
memori deklaratif, seperti recall kejadian
kan untuk menentukan strategi restorasi
dan waktu, serta subranah yang berkaitan
kognitif.
seperti encoding dan retrieval.
Diagnosis dan Diagnosis Banding
3. Fungsi eksekutif
Evaluasi menyeluruh merupakan prasyarat
Gangguan fungsi eksekutif dapat melipu-
sebelum melakukan penatalaksanaan ter-
ti, (1] gangguan kemampuan penalaran/
hadap gangguan fungsi kognitif pasca­
reasoning [diperlukan untuk mengambil
cedera. Harus dipastikan bahwa gangguan
keputusan), [2] perencanaan, [3] inhi-
tersebut memang terkait cedera otak, bukan
bisi, (4) organisasi, dan (5) sequencing.
oleh penyebab lain karena gangguan kogni­
Gangguan fungsi eksekutif (sindrom
tif yang terjadi pada masa akut dan kronik
diseksekutif) pada awalnya dipikirkan
setelah cedera kepala dapat disebabkan dan
merupakan kerusakan iobus frontal,
dipengaruhi oleh faktor lain, seperti:
namun berdasarkan penelitan saat ini
gejala lobus frontal dapat terjadi pada © Fungsi kognitif dan intelektual premorbid
kerusakan area lain yang mempunyai © Penyakit neurologis lain
hubungan dengan lobus frontal. Hilang- © Masalah metabolik yang menyertai
nya inisiasi dan motivasi, apati, serta
© Masalah psildatrik
hilangnya kemampuan tilikan (insight')
juga berkaitan dengan gangguan fungsi ® Adanya riwayat penggunaan atau peng-
eksekutif yang mengakibatkan masalah hentian tiba-tiba obat dan zat adiktif
keluarga dalam proses rehabilitasi. ® Malingering

Pemeriksaan N eu robehavior Selain melakukan pemeriksaan klinis, baik


1. Pra-tata laksana anamnesis maupun pemeriksaan fisik serta
Derajat keparahan cedera otak, prediksi neuropsikologik yang cermat, penentuan
prognosis jangka pendek dan panjang, gangguan fungsi kognitif pascacedera dapat
dapat ditentukan oleh durasi PTA. PTA ditunjang dengan penggunaan pencitraan.
dan gangguan orientasi dapat dinilai
Tata Laksana
dengan pemeriksaan Tes Orientasi dan
1. Medikamentosa
Amnesia Galvaston (TOAG]. Pada pasien
Belum ada hasil studi yang memadai
rawat inap yang sudah pulih kesadaran-
mengenai efek penggunaan medikamen­
nya, harus dilakukan pemeriksaan TOAG
tosa terhadap gangguan fungsi kognitif
serial (harian) sampai mencapai nilai
pascacedera, namun beberapa penelitian
minimal 75 untuk memperkirakan du­
menunjukkan potensi perbailtan. Dian-
rasi PTA. Hasil pemeriksaan klinis ini di-
jurkan menggunakan pendekatan 'start-

423
Baku Ajar Neurologi

low, go slow, but go'. Selanjutnya perlu Donepezil meningkatkan gangguan


penilaian ulangberkesinambungan untuk atensi dan memori pada periode sub-
mengetahui manfaat, efek samping, dan akut (kelas I). Pada periode kronik,
interaksi obat Titrasi dilakukan sampai meningkatkan gangguan memori dan
tercapai dosis yang diinginkan atau jika atensi (kelas II), gangguan sensori
terdapat efek samping obat. (kelas II), gangguan memori deklara-
tif (kelas III), dan gangguan perilaku
a. Antagonis reseptor n-metil-d-aspartat
yang terkait (kelas IV).
(NMDA-antagonis) nonkompetitif
Antagonis glutamatergic berguna untuk 2) Rivastigmin
menghambat input pada neuron dopa- Rivastigmin menghambat asetilko-
minergik presinaptik dan memperkuat linesterase dan butiril-kolinesterase
neurotransmisi dopaminergik sekunder. yang mempengaruhi kerja fungsi
Memantin dan amantadin merupakan kolinergik serebral. Pengobatan
contoh dari jenis ini dan bekerja secara dengan rivastigmin pada periode
antagonis nonkompetitif terhadap kom- kronik dapat meningkatkan atensi
pleks reseptor NMDA melalui ikatan dan working memory (kelas I). Pada
phencyclidine di dalam kanal ion reseptor. gangguan memori persisten pasca­
cedera, rivastigmin meningkatkan
Pemberian pada beberapa hari pertama
memori deklaratif, juga atensi, ke­
akan meningkatkan kesadaran di minggu
cepatan proses pikir, fungsi eksekutif
pertama setelah cedera (kelas IV]. Pada fase
dan status neuropsikiatrik (kelas IV).
subakut, penggunaan amantadin menun-
Peningkatan subyektif pada atensi,
jukkan perbaikan pada atensi, fungsi visuo-
memori, motivasi, dan fatigue juga di-
spasial (praksis konstruksi), fungsi elcseku-
laporkan (kelas IV).
tif, dan fungsi kognitif umum pascacedera
kepala sedang sampai berat (kelas IV). d. Augmentasi kombinasi katekolamin dan
kolinergik
b. Augmentasi katekolamin
Cytidine 5-diphosphocholine (sitikolin atau
Metilfenidat dapat meningkatkan kadar
CDP-choline) merupakan obat intermedi­
dopamin serebral melalui peningkatan
ate essential dalam jaras biosintetik fosfo-
pelepasannya dan memblokade ambilan
lipid ke dalam membran set Pengobatan
monoamin pada dosis tinggi serta inhi-
dengan sitikolin selama periode awal
bisi monoamin oksidase. (kelas I], aten­
cedera ringan dan sedang dapat menu­
si, kecepatan proses pikir (kelas II) dan
runkan post-concussion syndrome dan me­
fungsi kognitif umum (kelas IV). Selain
ningkatkan memori rekognisi (kelas I).
memperbaiki fungsi kognitif, metilfeni­
dat juga menurunkan rasa kantuk siang e. Pertimbangan penggunaan obat golongan
hari pada depresi (kelas II). lain
Obat antiepilepsi berkontribusi terha­
c. Augmentasi kolinergik
dap gangguan kognitif pada cedera kepala
1) Donepezil
(kelas IV). Pengobatan profilaksis dengan

424
Komplikast Pascacedera Kepala

fenitoin atau karbamazepin setelah minggu 1) N. I (Olfaktorius)


pertama cedera menyebabkan gangguan Lamina kribrosa merupakan bagian dari
kognitif. Valproat memperlihatkan fungsi tulang etmoid yang memiliki foramen-
kognitif yang stabil (kelas I}. foramen kecil tempat keluarnya serabut
saraf dari N. Olfaktorius. Fraktur pada
Benzodiazepin sebagai agonis GABA dapat
daerah ini akan menyebabkan disrupsi se­
menyebabkan eksaserbasi gangguan kog­
rabut saraf halus N. Olfaktorius, sehingga
nitif pada pasien dengan cedera kepala.
terjadi hilangnya kemampuan penghidu.
Agonis GABA dapat berdampak negatif
terhadap neuroplastisitas. Trauma pada daerah oksipital lebih
sering menyebabkan gangguan penci-
2. Nonmedikamentosa
uman dibandingkan trauma langsung di
Rehabilitasi kognitif merupakan program
daerah frontal. Setiap benturan pada ke­
intervensi sistematis yang dirancang un-
pala, bahkan benturan ringan sekalipun,
tuk meningkatkan kemampuan kognitif
tetap akan berpotensi menyebabkan
dan aplikasinya ditujukan untuk aktivitas
gangguan penghidu permanen, tetapi
fungsi sehari-hari. Rehabilitasi neuro-
secara umum insidens anosmia bersifat
psikologi secara komprehensif-holistik
paralel dengan derajat cedera.
direkomendasikan selama pascaakut
untuk memperbaild gangguan kognitif Gejala klinis gangguan penciuman dapat
dan disabilitas fungsional pada pasien berupa anosmia, hiposmia, ataupun par­
cedera kepala sedang dan berat (kelas I]. osmia. Seringkali pasien tidak menyadari
adanya gangguan ini, tetapi mengeluhkan
2. Komplikasi Nonkognitif Pascacedera
adanya perubahan sensasi pengecapan,
A. Cedera Saraf Kranialis
Cedera yang terjadi pada saraf kranial Kecurigaan cedera pada N. Olfaktorius bila
merupakan defisit neurologis yang pal­ didapatkan adanya rinorea karena kebo-
ing sering terjadi akibat trauma kepala. coran cairan serebrospinal (CSS], perdara-
Patel dan Coello menyebutkan bahwa han dari dalam kavum nasi, ekimosis peri­
cedera saraf kranial pascacedera lebih orbital, dan ptosis. Pemeriksaan rinorea
banyak merupakan lesi tunggal (67- akibat kebo coran CSS dilakukan dengan
77,6% ] dibandingkan lesi multipel melakukan tes halo (cara pemeriksaan
(22,4-32% ]. Separuh diantaranya diaki- dapat dilihat di bab Cedera Kepala]. Diper-
batkan oleh cedera kepala ringan. lukan CT scan kepala dengan bone window
pada trauma untuk menilai ada/tidaknya
Insidens cedera saraf kranial bervariasi fraktur tulang kranium, khususnya daerah
antara 5-23%. Secara umum nervus olfak-
basis kranii anterior.
torius, fasialis, dan akustikus merupakan
tiga saraf kranial yang paling sering ter- Seringkali pemeriksaan terhadap fungsi
kena, diikuti nervus optikus dan okulomo- N. Olfaktorius terlewatkan oleh klinisi,
torius. Nervus trigeminus dan saraf-saraf terutama pada pasien dengan penu-
kranial bawah paling jarang terlibat. runan kesadaran. Biasanya gangguan

425
Buku Ajar Neurologi

baru diketahui ketika pasien sadar atau- Gangguan penglihatan yang terjadi dapat
pun saat sudah pulang perawatan. terjadi segera ataupun tertunda, Gangguan
penglihatan tertunda biasanya memiliki
2) N. II (Optikus)
prognosis yang lebih baik karena masih
Cedera pada N. Optikus dikenal dengan
dapat reversibel dibandingkan tipe segera.
nama traumatic optic neuropathy (TON}.
Sebagian kecil kasus mengalami perburu-
Trauma ini dapat akibat trauma Iang-
kan dalam hitungan jam sampai dengan
sung dan tidak langsung. Trauma lang-
hari setelah trauma, diduga akibat edema
sung (direct) pada TON (DTON) umum-
atau iskemia dalam kanal atau kompresi
nya berupa disrupsi anatomis serabut
oleh hematom subperiosteal orbita.
saraf optikus. Sekitar satu dari empatpe-
nyebabnya diakibatkan oleh luka tembus Diagnosis menjadi sulit ditegakkan pada
dan tersering berupa luka tembak. Ben- pasien dengan penurunan kesadaran,
tuk disrupsi yang terjadi dapat berupa tetapi apabila ditemukan kelainan pada
avulsi, kompresi, dan transeksi. refleks cahaya berupa pupil Marcus-
Gunn, dapat dijadikan sebagai penanda
Berbeda dengan trauma langsung, trau­ adanya TON. Pemeriksaan funduskopi di
ma N. Optikus tidak langsung (indirect} awal kejadian dapat tidak menunjukkan
atau ITON diakibatkan oleh transmisi en- kelainan, karena papil atrofi baru dapat
ergi dari trauma tumpul di daerah supra­ terlihat dalam 4-6 minggu. Trauma bola
orbital ipsilateral ke kanalis N. Optikus. mata dengan avulsi N. Optikus dapat
Mekanisme ini secara tidak langsung disertai gambaran funduskopi berupa
akan menyebabkan terjadinya konkusio perdarahan dan disrupsi.
(concussion}, laserasi, maupun kontusio
Pemeriksaan penunjang yang perlu diker-
N. Optikus. Selain itu, edema, iskemia,
jakan adalah visual evoked potential (VEP}
trombosis mikrovaskular, dan infark dari
dan MR! kepala. VEP berperan dalam
N. Optikus juga turut berperan dalam
manajemen penatalaksanaan dan progno­
ITON sebagai faktor cedera sekunder.
sis, sedangkan MRI menunjukkan gamba­
Keluhan utama pada trauma N. Optikus ran perubahan kontinuitas saraf berupa
adalah kebutaan monokular, tetapi gang- peningkatan intensitas sinyal di N. Optikus.
guan visus juga biasa terjadi. Pada cedera
3) N. Ill (Okulomotorius)
parsial, seringkali terdapat defek altitu­
Paralisis N. Okulomotorius akibat trau­
dinal inferior. Gangguan lapang pandang
ma biasanya terjadi pada cedera kepala
terjadi pada 10% kasus akibat kerusakan
yang berat disertai hilang kesadaran,
kiasma pada cedera kepala berat. Banyak
atau fraktur tulang kranium. Penyebab
cedera di daerah kiasma yang sifatnya
tersering adalah peningkatan intrakranial
asimetris, disertai neuropati optikus
disertai herniasi unkus sehingga menye­
unilateral yang berat berkaitan dengan
babkan kompresi saraf kranial ipsilateral.
hemianopia temporal kontralateral.
Pupil abnormal merupakan tanda awal
adanya paralisis saraf ini.

426
Komplikasi Pascacedera Kepala

(a) N. Okulomotorius (b) N. Troklearis (c) N, A b d u se n s


Posisi primer bole mata Posisi primer bo!a mata Posisi primer bo(a mata

Meiirikkekanan

H ead tilt ke sisi paresis


Melirikkeatas klri
(fenomena Bielschowsky)
Diiatasi pupil terfiksirpada
paralisis N. Okulomotorius
(kanan)

Gambar 5. Paralisis Gerak Bola Mata


(a) N. Okulomotorius, (b) N. Troklearis, (c) N. Abdusens

Biasanya N. Okulomotorius terdesak pada merupakan klinis utama yang ditemukan


tepi tulang tengkorakyangtajam dari ten­ pada paralisis N. Okulomotorius, bahkan
torium sisi berlawanan. Paralisis terjadi pada pasien dengan penurunan kesadaran.
pada sisi yang kontralateral dari herniasi,
Pasien dengan penurunan kesadaran
kecuali lesi pada daerah otak tengah ba-
perlu dilakukan pemeriksaan gerak bola
gian rostral, seperti herniasi transtentori­
mata segera setelah perbaikan kesadar­
al dapat mempengaruhi saraf ini bilateral.
an. Pada proptosis yag disertai pembeng-
Secara umum, trauma saraf kranialis III, kakan kelopak mata, sebaiknya beri wak-
IV, dan VI akan memberikan gambaran tu sampai pembengkakan tidak terlalu
gangguan gerak bola mata berupa diplo­ berat, agar penilaian gerakan bola mata
pia. Perbedaan ketiganya terletak pada lebih akurat.
gerakan bola mata ke arah mana yang
4) N. IV (Troklearis)
terganggu (Gambar 5). Adanya pupil
N. Troklearis memiliki struktur anatomis
yang berdilatasi dan eksotropia unilateral

427
Buku Ajar Neurologi

yang ramping dan panjang, sehingga ren- ula. Foramen rotundum dan ovale meru-
tan cedera. Trauma kepala memang meru- pakan tempat keluarnya percabangan N.
pakan penyebab tersering cedera saraf Trigeminus. Trauma tertutup maupun
kranialis ini dan biasanya unilateral. Nuk- trauma tembus juga berpotensi menye-
leus saraf ini terletak di mesensefalon. babkan cedera pada ganglion trigeminal.
Fasikulus menyilang di dorsum mesense­
Gejala yang dikeluhkan oleh pasien bi-
falon pada saat keluar dari batang otak,
asa-nya sensasi nyeri sesuai cabang pen-
sehingga lesi di nukleus dan fasikulus
jalaran dari N. Trigeminus yang termasuk
akan memberi gambaran kontralateral,
dalam neuralgia trigeminal simtomatik.
berbeda dengan lesi di ruang subara-
Terkadang disertai juga keluhan berupa
knoid, sinus kavernosus, ataupun orbita.
hiperpati se-suai distribusi saraf tersebut.
Gejala yang dikeluhkan pasien paralisis N.
Setiap pasien dengan kecurigaan trauma
Troldearis berupa diplopia saat menaiki
kepala di daerah wajah dan sekitar telin-
tangga, membaca koran atau buku. Pasien
ga, perlu diperhatikan kemungkinan ad-
atau keluarga juga mengeluhkan bila saat
anya paralisis saraf ini. Berikut ini meru-
membaca, pasien cenderung memiring-
pakan kriteria diagnosis dari neuralgia
kan kepalanya ke arah yang sehat.
trigeminal simtomatik berdasarkan Kon-
Pemeriksaan cedera N. Troklearis umum- sensus Nyeri Kepala Perdossi dan The
nya hanya dapat dilakukan pada pasien International Classification o f Headache
dengan kesadaran penuh dan koperatif. Disorders:
Pemeriksaan fisik terhadap klinis dip­
1) Serangan nyeri paroksismal beberapa
lopia pada cedera N. Troklearis adalah
detik sampai dua menit dengan atau
dengan memiringkan kepala ke arah
tanpa nyeri persisten diantara serangan,
bawah ipsilateral lesi (Gambar 5b). Ter-
melibatkan satu atau lebih cabang/di-
dapat hipertropia yang memberat saat
visi N. Trigeminus.
melirik ke arah kontralateral.
2) Memenuhi paling sedikit karakteristik
5) N. V (Trigeminus)
nyeri sebagai berikut:
Cedera cabang dari N. Trigeminus sering-
® Kuat, tajam, superfisial atau rasa
kali terlibatpada laserasi wajah dan fraktur
tulang wajah, terutama daerah maksilofa- se-perti ditikam
sial dan basis kranii, karena percabangan ® Dipresipitasi dari area pencetus
N. Trigeminus keluar melalui beberapa atau oleh faktor pencetus
foramen dari tulang kranium (Gambar 6). 3) Jenis serangan stereotipik pada se­
N. Trigeminus cabang infra dan supra- tiap individu.
orbita biasanya mengalami cedera pada 4) Etiologi adalah selain kompresi pem-
trauma daerah dahi, kavum orhita, dan buluh darah, berdasarkan pemerik­
maksila. Cedera cabang ketiga N. Trige­ saan khusus dan atau eksplorasi fossa
minus biasa terjadi pada fraktur mandib- posterior.

428
Komplikasi Pascacedera Kepala

Pemeriksaan refleks kornea perlu diker- seringkali terfiksasi pada posisi aduksi.
jakan. Adanya anestesi kornea atau hi- Diplopia horizontal yang memberat saat
langnya refleks kornea membuat pasien melihat jauh merupakan gejala dari para-
rentan mengalami keratitis eksposur lisis inkomplit yang lebih sering terjadi.
hingga terjadinya ulkus kornea. Selain itu juga didapatkan strabismus
paralitik (nonkonkomitan) yang akan
6) N. V! (Abdusens)
tampak jelas bila melirik ke arah otot yang
paralisis N. Abdusens akibat trauma
terlibat pada pemeriksaan. Kelemahan
cukup sering terjadi dan kebanyakan
ringan akan menunjukkan esotropia pada
dapat pulih sempurna. Kenaikan tekan-
pemeriksaan cover uncover.
an intrakranial pada trauma kepala me-
nyebabkan penekanan batang otak ke Pasien dengan kesadaran penuh akan
bawah berakibat peregangan berlebihan mengeluhkan diplopia saat melihat jauh.
pada N. Abdusens di daerah ujung/tip Pada pemeriksaan gerak bola mata, dalam
petrosus, sehingga terjadi paralisis. posisi primer sisi yang terganggu akan tam­
pak berkonvergensi ke arah aksis. Pada saat
Pada paralisis total saraf VI, bola mata
melirik ke arah lateral, akan terdapat parali­
tidak dapat melakukan abduksi dan
sis di sisi yang terganggu [Gambar 5c).

Gambar 6. Anatomi N. Trigeminus

429
Buku Ajar Neurologi

7) N. VII (Fasialis) longitudinal ke bawah mengikuti aksis


Trauma N. Fasialis terjadi pada sekitar piramid petrosus, ataupun transversal
50% kasus. Cedera pada N. Fasialis ter- melintasi tulang tersebut. Kedua me-
bagi menjadi trauma langsung dan tidak kanisme fraktur tersebut dapat mengaki-
langsung. Pada trauma langsung, kom- batkan perlukaan saraf fasialis. Fraktur
ponen fraktur menyebabkan kerusakan longitudinal lebih sering terjadi, mengaki-
pada saraf. Lain halnya dengan trauma batkan edema pada saraf fasialis.
langsung, trauma tidak langsung diaki-
Gejala yang timbul pada cedera N. Fasi­
batkan oleh adanya edema atau hema-
alis dapat segera setelah trauma maupun
tom jaringan lunak sekitar saraf yang
kemudian. Pada gejala yang tidak tim­
menyebabkan kompresi pada saraf.
bul segera biasanya cenderung sembuh
Fraktur tulang petrosa pada trauma ke- spontan. Berbeda dengan paralisis pada
pala dapat melukai daerah labirin dan fraktur transversal, N. Fasialis seringkali
saraf fasialis. Garis fraktur dapat terjadi mengalami laserasi, kontusio, ataupun

Gambar 7. Anatomi N. Fasialis

430
Komplikasi Pascacedera Kepala

cedera yang berat Paralisis yang timbul 8) N. VIII (Vestibulokoklearis)


biasanya segera pada cedera jenis ini. Cedera saraf ini terutama diakibatkan
oleh trauma tumpul langsung pada
Gejala cedera N. Fasialis bergantung pada
daerah parietal dan temporal Cedera
lokasi lesi berdasarkan anatominya (Gam-
yang terjadi biasanya bersamaan dengan
bar 7]. Hilangnya fungsi pengecapan pada
para-lisis N. VII akibat trauma yang me-
dua pertiga anterior terjadi pada cedera
ngenai kanalis auditorik interna, yaitu
segmen vertikal mastoid. Pada cedera
pada:
segmen horizonal (N. Fasialis segmen te-
linga tengah) akan menyebabkan hilang­ a] Fraktur basis kranii
nya refleks stapedius, sehingga terjadi Fraktur tulang temporal paling sering
hiperakusis (hipersensitivitas terhadap diakibatkan oleh trauma tumpul lang­
bunyi yang keras] dan hilangnya penge­ sung pada tengkorak bagian parietal.
capan ipsila-teral. Meski demikian, hi­ Fraktur biasanya terjadi di sekitar fora­
langnya fungsi gustatorik setelah trauma men mayor basis kranii karena kapsula
kepala sebenarnya jarang terjadi. Gejala otik yang meliputi telinga bagian dalam
Minis lain yang dapat terjadi pada cedera sangat tebal. Fraktur biasanya terjadi di
N. Fasialis, yaitu gangguan lakrimasi ipsi- sekitar akar meatus akustikus ekster-
lateral yang diakibatkan oleh adanya lesi nus dan berjalan paralel dengan apeks
pada segmen labirin. petrosus, kemudian menjalar ke bagian
depan foramen laserum dan arteri karo-
Terdapat beberapa macam penilaian
tis. Kadang kala melibatkan regio sendi
fungsi N. Fasialis, antara lain klasifikasi
temporomadibular.
House-Brackmann (label 1].

label 1. Klasifikasi House-Brackmann


Deraj at 1 Normal
Fungsi motorik wajah normal di semua area.
Derajat 2 Disfungsi ringan
Kelemahan pada otot wajah, saat istirahat tonus otot normal dan simetris, gerakan kerutan
dahi normal atau terdapat gangguan ringan, mata dapat menutup sempurna dengan usaha
minimal, gerakan mulut asimetris minimal.
Derajat 3 Disfungsi sedang
Dapat terlihat sinkinesis, kontraktur, atau spasme hemifasial, saat istirahat tonus otot
normal dan simetris, gerakan kerutan dahi terdapat gangguan ringan sedang, mata dapat
menutup sempurna dengan usaha, gerakan mulut lemah dengan usaha maksimal.
Derajat 4 Disfungsi sedang-berat
Terdapat kelemahan yang jelas pada satu sisi wajah, saat istirahat tonus otot normal dan
simetris, tidak terdapat gerakan kerutan dahi, mata tidak dapat menutup sempurna,
gerakan mulut asimetris dengan usaha maksimal
Derajat 5 Disfungsi berat
Saat istirahat wajah asimetris, tidak terdapat gerakan kerutan dahi, mata tidak dapat
menutup sempurna, gerakan mulut minimal.
Derajat 6 Paralisis total
iumber: Bhatoe HS, IJNT. 2007. h. 89-100.

431
Buku Ajar Neurologi

Fraktur longitudinal terjadi antara 70- b) Labyrinthine concussion


90% dari total fraktur tulang temporal. Mekanisme ini disebabkan oleh energi
Kurang dari 20% diantaranya berupa yang dihasilkan oleh trauma dan kemu-
fraktur transversal, tetapi paling sering dian dihantarkan oleh tulang ke koklea
dikaitkan dengan kerusakan saraf VII seperti gelombang tekanan melalui me­
dan VIII. Biasanya fraktur ini akan melin- kanisme konduksi udara. Sesuai dengan
tas daerah telinga dalam, merobek mem- studi eksperimental pada hewan per-
bran labirin dan menimbulkan laserasi cobaan, terdapat perubahan patologis
saraf vestibularis dan koklearis, sehing- dalam koklea akibat stimulus suara keras.
ga menyebabkan hilangnya fungsi vesti­ Perubahan ini ditandai dengan degen-
bular dan koklear secara komplit. Oleh erasi sel rambut dan neuron koklear pada
karena membran timpani umumnya tengah koklea dan menyebabkan penu-
tetap intak, mekanisme di atas akan me­ runan pendengaran nada murni. Nada
nyebabkan perdarahan tertimbun pada yang hilang biasanya pada 4000-8000Hz.
daerah telinga tengah.

432
Komplikasi Pascacedera Kepala

Gejala dan tan da Minis: tes kalori (bila tidak ditemukan tanda-
« Labyrinthine concussion; berupa keluhan tanda perforasi membran timpani), dan
auditorik dan vestibuler yang menyertai brain auditory evoked potential (BAEP)
fraktur tulang temporal Ketiadaan ke­ dapat dikerjakan bila pasien stabil
luhan dan tanda batang otak, merupakan
9) N. IX, X, XI (Glosofaringeus, Vagus, Aseso-
pembeda terhadap cedera perifer de-
rius)
ngan sentral. Ketulian mendadak dapat
Ketiga saraf ini merupakan 'trio saraf
terjadi tanpa harus disertai dengan ke­
kranial bawah' yang sering mengalami
luhan vestibuler. Hal ini dapat bersifat
cedera secara bersamaan dikarenakan
reversibel, baik parsial maupun total.
kedekatan anatomisnya di foramen jugu-
s Posttraumatic positional vertigo; terjadi laris. Cedera ketiganya biasanya berkaitan
kurang dari satu menit, namun pasien dengan fraktur basis kranii regio poste­
akan merasakan dizziness disertai mual rior, namun jarang terjadi. Cedera N. IX, X,
dan sempoyongan. Sebuah penelitian XI terutama akibat trauma ekstrakranial
melaporkan vertigo posisional terjadi se-perti trauma tusuk ataupun tembak.
pada 47% trauma kepala terkait fraktur Adanya mekanisme cedera akibat hi-
tulang temporal dan 21% trauma kepala perekstensi leher terkadang juga dapat
berat tanpa fraktur tulang tengkorak. menyebabkan cedera di area craniocer­
Mekanisme terjadinya akibat kristal kal- vical junction, terutama pada N. IX dan X.
sium karbonat terlepas dari makula utri- Insidens lebih tinggi pada cedera kepala
kulus, memasuki kanalis semisirkularis berat. Cedera N. Asesorius, khususnya
posterior. akibat trauma kepala terhitung jarang
terjadi. Avulsi yang dapat terjadi lebih
• Traumatic perilymph fistula; trauma ini
banyak dikaitkan dengan trauma spinal
akan mengakibatkan hilangnya pende-
ataupun tindakan operatif.
ngaran, vertigo, atau tinitus segera
setelah trauma kepala, terutama bila ge­ Gejala-gejala yang dapat dikeluhkan atau
jala berfluktuasi dari waktu ke waktu. ditemukan pada pasien dengan cedera
Trauma ini karena disrupsi pada labirin, ketiga saraf kranial ini berupa disfo-
biasanya jendela oval ataupun bulat. nia, disfagia, hilangnya refleks muntah,
kelemahan palatum ipsilateral, dan hi­
Oleh karena itu, perlu dicurigai adanya
langnya kemampuan pengecapan seper-
lesi pada N. Vestibulokoklearis teruta­
tiga posterior lidah. Disfungsi vagal pas­
ma pada pasien dengan ditemukannya
cacedera (trauma N. Vagus) juga harus
gangguan pendengaran, perdarahan dari
dicurigai pada pasien dengan pengoso-
telinga, otorea CSS, dan gambaran tan­
ngan lambung yang terlambat dan hilang­
da Battle Pemeriksaan otoskopi dapat
nya respons kardiak terhadap suction
menunjukkan adanya gambaran keru-
trakeal.
sakan membran timpani, hemotimpa-
num, atau adanya CSS dalam rongga Pasien dengan gejala dan tanda klinis
telinga tengah. Pemeriksaan audiometri, tersebut perlu dilakukan pemeriksaan

433
Buku Ajar Neurologi

menggunakan laringoskop indirek un- saraf kranialis. Secara umum penatalaksa-


tuk menemukan adanya paralisis plika naannya dibagi menjadi penatalaksanaan
vokalis ipsilateral. Dapat juga ditemukan medikamentosa dan non-medikamentosa.
klinis sindrom Horner bila cedera me- Beberapa cedera saraf kranial dapat dilaku-
ngenai saraf simpatis daerah servikal. kan koreksi dengan tindakan pembedahan
maupun konservatif,
10) N. XII (Hipoglosus)
N. Hipoglosus merupakan salahsatu dari Tindakan pembedahan biasanya meliputi
saraf kranial yang paling jarang menga- tindakan dekompresi, penyambungan saraf
lami cedera akibat trauma kepala. Penye- yang mengalami avulsi, dan pembedahan
bab terseringnya adalah akibat trauma korektif (seperti pada cedera N. Okulomoto-
iatrogenik, terutama pascaoperasi ca ­ rius). Penanganan konservatif meliputi tin­
rotid end-arterectomy. Serabut saraf ini dakan rehabilitasi-fisioterapi, penggunaan
keluar dari intrakranial melalui kanalis penutup mata dan kacamata lensa prisma,
hipoglosus, medial dari kondilus oksipi- serta penggunaan alat bantu dengar.
talis. Penyebab akibat trauma biasanya
a. Medikamentosa
akibat hiperekstensi leher dengan atau
1] Kortikosteroid
tanpa fraktur tuberkel hipoglosus mau-
Kortikosteroid dapat diberikan pada
pun kondilus oksipitalis.
trauma akibat benturan, yang pemu-
Penyebab tersering cedera pada N. Hi­ lihannya tergantung pada fungsi res-
poglosus adalah akibat trauma pem- pons imun. Namun terdapat bebera­
bedahan, Tetapi cedera ini dapat dise- pa keadaan yang pemberian steroid
babkan oleh luka tembak ataupun luka tidak memberikan dampak positif
tusuk. Keluhan biasanya berupa kesulit- yang berarti.
an 'mengendalikan' makanan padat di
Beberapa kepustakaan menyebutkan
dalam mulut dan bicara pelo.
penggunaan kortikosteroid pada ITON
Diagnosis ditegakkan bila didapatkan seperti halnya pemberian steroid pada
klinis adanya paresis N. Hipoglosus peri- cedera medula spinalis, yaitu metil-
fen Keadaan ini dibedakan dengan pare­ prednisolon dosis tinggi (regimen
sis sentral dengan menemukan adanya dapat dilihat pada Bab Trauma Medula
tanda-tanda klinis perifer pada lidah Spinalis). Adapula studi lain yang me­
berupa papil atrofi (pada onset paresis nyebutkan penggunaan deksametason
yang subakut-kronis), fasikulasi otot li­ dengan dosis inisial 0,75mg/kg setiap
dah, flaksid, dan lateralisasi lidah ipsi­ 6 jam selama 24 jam.
lateral trauma bila lidah dijulurkan.
Steroid diberikan pada paralisis N.
Tata Laksana Fasialis tipe tunda. Seperti halnya
Seperti halnya penanganan pada cedera penggunaan steroid pada cedera N.
sistem saraf lainnya, tidak ada tata laksana Optikus, tidak ada pedoman khusus
yang dinilai cukup efektif terhadap cedera pemberian dosis steroid. Beberapa

434
Komplikasi Pascacedera Kepala

kepustakaanpun menyebutkan tanpa mengoreksi keluhan diplopia. Tindakan


pemberian steroid Minis dapat mem- pembedahan dapat menjadi pilihan bila
baik dengan sendirinya. pemulihan tidak sempurna.
2) Medikamentosa lainnya Tindakan dekompresi merupakan pilih­
Pada cedera N. Trigeminus yang an utama pada cedera N. Fasialis segera
menetap, biasanya pasien akan mem- dan N. Trigeminus, tetapi prognosis per-
butuhkan pengobatan simtomatik baikannya tergantung dari berat-ringan-
untuk mengurangi atau menghilang- nya cedera saraf yang terjadi. Jika telah
kan gejala hiperalgesia. Dosis dan terjadi avulsi saraf, paralisis yang terjadi
lama penggunaannya dapat berva- biasanya menetap.
riasi pada masing-masing individu.
B. Bangkitan P ascacedera Kepala
}enis obat-obatan yang digunakan bi­
Bangkitan pascacedera kepala (posttraumat-
asanya merupakan golongan antikon-
ic seizure/ PTS] biasanya berkaitan dengan
vulsan dan adjuvan. Dosis pemberian
cedera kepala berat dan dapat terjadi segera
dimulai dari dosis terkecil dikarena-
setelah cedera maupun tertunda. Bangkitan
kan golongan antikonvulsan berisiko
yang terjadi segera setelah trauma kepala
menimbulkan efek samping. jika
dalam waktu 24 jam memerlukan terapi me­
penggunaan antikonvulsan dan ajuvan
dikamentosa segera.
yang tidak berhasil pada hiperalgesia
N. Trigeminus, dapat dipertimbang- Insidens terjadinya epilepsi pascacedera
kan tindakan ablasi ganglion. kepala berat tanpa disrupsi duramater
berkisar antara 7-39% . Angka ini dapat
Adanya tuli sensorineural terkait
lebih tinggi pada kondisi cedera kepala yang
cedera N. Vestibulokoklearis biasa­
disertai disrupsi duramater, yaitu sekitar
nya akan sulit mengalami pemulihan,
20-57% . Berikut adalah faktor-faktor yang
terutama bila ketulian sampai de­
berhubungan dengan pe-ningkatan insidens
ngan nol. Tinitus dan manifestasi Mi­
terjadinya epilepsi tunda (Tabel 2):
nis vertigo (pusing berputar/bergo-
yang, mual, muntah) biasanya dapat Tabel 2. Faktor-faktor Terkait Peningkatan In­
sembuh total. Jika keluhan menetap, sidens Epilepsi Tunda
dapat dipertimbangkan penggunaan Faktnr %
vestibulosupresan (regimen dapat Epilepsi dini
° Tidak ada 3%
dilihat pada bab Vertigo Perifer]. ® Ada 25%
Hematom
b. Nonmedikamentosa
® Tidak ada 3%
Pada cedera saraf kranialis okulomo- ® Ada 35%
tor (N. Ill, N. IV, dan N. VI], digunakan Fraktur impresi
penutup mata secara bergantian dari « Tidak ada 3%
» Ada____________________ ___________12%______
satu mata dengan mata yang lain. Selain
Sumber: Evans RW. Neurology and trauma. 2006.
itu, dapat digunakan lensa prisma untuk

435
Buku Ajar Neurologi

Patofisiologi kan hipersinkronasi.


Bangkitan yang terjadi segera setelah adanya
Peningkatan sitokin proinflamasi dan akti-
cedera kepala (dalam 24 jam) dipikirkan se-
vasi imun pada akhirnya akan menyebab­
bagai bangkitan akibat gegar [convulsive con­
kan serangkaian proses termasuk di dalam-
cussion), Keadaan ini terjadi karena adanya
nya kematian sel, terbentuknya kaskade
mekanisme trauma singkat pada otak yang
inflamasi, dan transkripsi gen baru. Proses
menyebabkan gangguan inhibisi kortikal dan
ini terjadi setelah beberapa hari sampai
bukan merupakan peristiwa epileptik.
dengan minggu, memicu terbentuknya tu­
Epileptogenesis pascacedera kepala terjadi nas aksonal, dan modifikasi dendritik.
akibat adanya perubahan molekular dan se-
Gejala dan Tanda Klinis
luler setelah adanya cedera jaringan otak. Ke-
Bentuk bangkitan pascacedera kepala dapat
jadian ini yang akhirnya meningkatkan proses
berupa bangkitan fokal maupun umum. Ber-
eksitabilitas. Cedera kepala akibat trauma
dasarkan studi Wiedemayer dkk, sebagian
tembus akan menyebabkan terbentuknya si-
besar bentuk bangkitan pascacedera kepala
katriks pada lapisan korteks dan berhubung-
berupa bangkitan umum (63,3% ]. Early -PTS
an dengan peningkatan risiko terjadinya
dapat terjadi berulang pada 53,2% kasus.
epilepsi sampai dengan 50%. Mekanisme
Adanya bangkitan ini dapat menyebabkan
awalnya akan terjadi disrupsi jaringan diser-
peningkatan morbiditas berupa penurunan
tai proses iskemik dan perdarahan.
fungsi neurokognitif, fungsi status pasien
Pada cedera otak nonpenetratif, seperti secara umum, luaran buruk terhadap defisit
kontusio fokal dan perdarahan intrakranial, neurologis yang ada, terjadi status epilepti-
epileptogenesis sebagian terjadi akibat ada­ kus, dan yang terburuk adalah kematian.
nya efek toksik dari pemecahan produk he­
Diagnosis dan Diagnosis Banding
moglobin terhadap fungsi neuron. Cedera
Bangkitan pascacedera dapat dikelompok-
kepala tertutup akan menyebabkan cedera
kan sebagai berikut:
aksonal difus disertai peregangan akson,
edema difus, dan iskemia. Lokasi yang pa­ 1. Early-posttraumatic seizure
ling sering terlibat adalah di gray-white Bangkitan terjadi dalam kurun waktu 7
m atter junction terutama daerah frontal dan hari setelah cedera kepala. Sekitar 25% ka­
temporal. sus berisiko mengalami rekurensi dalam
beberapa bulan atau tahun kemudian.
Proses tersebut di atas akan memicu
pelepasan asam amino, sitokin, lipid bioak- 2. Late-posttraumatic seizure
tif, dan mediator toksik lainnya, sehingga Bangkitan yang terjadi di atas 7 hari
menyebabkan cedera seluler sekunder, Epi­ setelah cedera kepala. Sebagian be-
leptogenesis diduga dipicu oleh hilangnya sar bangkitan yang terjadi (80% ) akan
tipe sel tertentu dan reorganisasi neuronal. berisiko mengalami bangkitan berulang.
Peristiwa tersebut tidakhanya memperting- 3. Posttraumatic epilepsy
gi kejadian eksitasi, tetapi juga menurunkan Didefinisikan seperti epilepsi pada
ambang inhibisi yang akhirnya mengakibat- umumnya berdasarkan definisi menurut

436
Komplikasi Pascacedera Kepala

1LAE. Epilepsi pascacedera terjadi jadinya bangkitan.


biasanya merupakan kelanjutan dari late- © Lain-lain (elektrokardiografi /EKG, pung-
posttraumatic seizure. si lumbal).
^Adapun kriteria lain menurut Brain Injury
Special Interest Group (1998) adalah se- Tata Laksana
bagai berikut: Terdapatbeberapa kontroversi dalam pembe-
rian antikonvulsan sebagai profilaksis bang­
: i, Early-posttraumatic seizure [early- PTS): kitan pascacedera. Sebagian menyebutkan
bangkitan terjadi kurang dari 24 jam pemberian profilaksis karena tingginya in-
pascacedera.
sidens bangkitan pada pasien cedera kepala
2. Im m ed iate-posttra um a tic seizure (imme- berat. Namun hal ini bukanlah tanpa risiko,
diate- PTS): bangkitan terjadi dalam ku- terutama bila pemberian antikonvulsan tidak
run waluu 7 hari pascacedera. efektif dalam mencegah terjadinya bangkitan.
3. Late-posttraumatic seizure (/ate-PTS):
Berdasarkan rekomendasi dari brain trauma
bangldtan terjadi di atas 7 hari pascacedera. foundation, pemberian profilaksis bangkitan
4. Posttraumatic epilepsy : bangkitan beru- pascacedera termasuk dalam level II A:
lang yang merupakan kelanjutan dari
@ Penggunaan fenitoin atau valproat tidak
late-posttraumatic seizure, tetapi ti-
direkomendasikan untuk pencegahan
dak berkaitan dengan penyebab selain
/ate-PTS.
cedera kepala.
5. Non-epileptic seizures : suatu klinis yang © Fenitoin direkomendasikan untuk menu-
bukan termasuk dalam bangkitan aid- runkan insidens early -PTS bila manfaat-
bat adanya aktivitas paroksismal di otak nya dirasa lebih banyak dibandingkan
(brain origin). komplikasi yang dapat terjadi. Obat ini
diberikan selama 7 hari pertama.
Seperti halnya penegakkan diagnosis epi­
lepsi pada umumnya, penegakkan diagnosis Beberapa studi terbaru juga menyatakan
didapatkan dari gejala klinis dan pemerik- bahwa selain fenitoin, levetirasetam
saan penunjang, berupa: dinilai memiliki efektivitas yang sama
dengan fenitoin sebagai profilaksis bang­
® Elektroensefalografi (EEG).
kitan. Adapun penggunaan antikonvul­
® Pencitraan kepala (CT scan dan atau MRI san golongan lama juga dapat diberikan
kepala).
untuk mengurangi terjadinya epilepsi
e Pemeriksaan laboratorium darah; untuk pascacedera yaitu, fentoin, valproat, dan
menyingkirkan gangguan metabolik lain karbamazepin.
yang dapat berkontribusi terhadap ter-

437
Buku Ajar Neurologi

KOMPLIKASI METABOLIK PASCACEDERA 2. Cerebral salt wasting syndrome (CSWS)


A. Hiponatremia Pascacedera Mekanisme yang mendasari CSWS pada
Gangguan elektrolit terjadi pada hampir cedera kepala belum diketahui secara
60% kasus cedera kepala berat, teruta- pasti dan belum ada etiologi yang jelas
ma hiponatremia. Syndrome o f inappro­ bertanggung jawab menyebabkan ke-
priate antidiuretic hormone secretion (SI­ adaan ini. Dihipotesiskan bahwa CSWS
ADH} dan cerebral salt wasting syndrome terjadi aldbat kenaikan peptida natridi-
(CSWS] merupakan dua gangguan yang uretik dan adanya perubahan pasa sistem
umumnya terjadi pada kasus hiponatre­ saraf simpatis, sistem renin-angiotensin-
mia pascacedera kepala. aldosteron, dan adrenomedulin.

Patofisiologi Gejala dan Tanda Klinis


1. Syndrome o f inappropriate antidiuretic Secara umum gejala klinis dari SIADH dan
hormone secretion (SIADH) CSWS dapat berupa letargi, linglung, fatig,
anoreksia, haus, muntah, keram otot, dan
Stres aldbat trauma menyebabkan hilangnya refleks peregangan otot. Pada ke-
pelepasan hormon antidiuretik ( antidi­ adaan lebih berat, dapat ditemukan klinis
uretic hormone/ ADH] dan aldosteron. hipotermia, bangkitan, pernafasan Cheyne-
Peningkatan tekanan intrakranial dan Stokes, stupor, koma, dan yang terburuk
tekanan positif pada pernafasan juga kematian. Manifestasi keduanya sulit untuk
dapat memicu pelepasan ADH. Adanya dibedakan sehingga membutuhkan peme-
pelepasan ADH menyebabkan konsen- riksaan penunjang untuk dapat menegak-
trasi urin dengan meningkatkan reab- kan diagnosis.
sorpsi cairan dari distal tubulus renal
dan duktus kolektifus. SIADH juga me­ Diagnosis dan Diagnosis Banding
nyebabkan terjadinya dilusi hipona­ Kedua jenis hiponatremia ini merupakan
tremia oleh ekspansi volume cairan ke diagnosis banding antara satu dengan
ekstraselular. yang lain. Penegakan diagnosis didapatkan
berdasarkan pemeriksaan kadar natrium
dalam darah dan urin (Tabel 3).

438
Komplikasi Pascacedera Kepala

Tabel 3. Perbedaan Karakteristik SIADH dengan CSWS


SIADH CSWS
Kadar natrium serum (mEq/L) <135 (rendah) <135 (rendah)
Osmolalitas serum (mOsm/kg) <275 (rendah) <275 (rendah)
Osmolalitas urin (mOsm/kg) 0 (> 1 0 0 ) i (> 1 0 0 )
Kadar natrium urin (mEq/L) N/ 0 0
Output urin m 0
Volume cairan ekstraseluler 0 0
Kadar urea nitrogen serum N/rendah (dilusi) 0
Berat badan N/0 i
Denyut nadi Rendah atau normal Takikardi
Tekanan darah N/hipertensi Hipotensi postural
Terapi utama Restriksi cairan (800- • Rehidrasi dan koreksi kadar natrium
1000mL/24 jam) • Koreksi salin hipertonik dalam 24 jam
intravena tetes lambat
0 : m e n i n g k a t ; 0 : m e n u r u n ; N: n o r m a l ; S IA D H : syndrome o f inappropriate antidiuretic hormone secretion;
C SW S: cerebral salt wasting syndrome.
S u m b e r : K ir k m a n M A , d k k . N e u r o c r i t C a r e ; 2 0 1 3 . h . 4 0 6 - 1 6 .

Tata Laksana • Diuretik: golongan loop diuretics (Turo-


Perbedaan temuan Minis dan mekanisme semid), golongan agen osmotik (urea,
yang mendasari antara kedua sindrom manitol).
tersebut menjadi landasan adanya perbe­ a Urea: urea diberikan dalam jangka pan-
daan tata laksana. Pada SIADH, restriksi jang dengan dosis 0,5gr/kgbb. Hati-hati
cairan merupakan penanganan utama, se- dalam pemberian urea.
dangkan rehidrasi dengan normal salin
merupakan penanganan utama terhadap 2. Penatalaksanaan CSWS
CSWS. Kegagalan klinisi dalam menentukan Koreksi cairan dan hiponatremia dengan
terapi yang akan diberikan berakibat kondi- salin hipertonik intravena, diberikan se-
si kedua gangguan tersebut tidak teratasi lama 24 jam tetes lambat. Selama pem­
dan dapat memperburuk kondisi cedera berian salin hipertonik, tetesan infus
otak yang ada. harus dipantau ketat, karena pemberian
salin hipertonik yang terlalu cepat dapat
1. Penatalaksanaan SIADH menyebabkan terjadinya central pon­
Terdapat perbedaan dari kepustakaan tine myelinolysis (CPM). Beberapa studi
mengenai jumlah cairan yang direstriksi, menyebutkan bahwa penggunaan ste­
tetapi diperkirakan jumlahnya berkisar roid golongan mineralokortikoid dinilai
antara 800-1000mL/24jam. Medikamen- memberikan respons yang cukup baik.
tosa lain yang dapat diberikan adalah se- Dapat dipertimbangkan pemberian su-
bagai berikut: plemen garam (NaCl) setelah kondisi
> Vasopresin (belum tersedia di Indonesia). pasien dinilai stabil.

439
Buku Ajar Neurologi

B. Koagulopati Pascacedera dinilai berdasarkan parameter ldinisnya,


Selain gangguan elektrolit, gangguan ko- yaitu:
agulasi juga menjadi salah satu masalah • Perdarahan masif dari lokasi intravena
yang dapat terjadi pada cedera kepala, yaitu dan luka terbuka lainnya.
berkisar 10-90%. Beberapa studi menyatakan
® Adanya tanda perdarahan spontan dan
koagulopati dapat diguna-kan sebagai pre-
mengancam nyawa, termasuk perdarah­
diktor luaran perawatan pascacedera kepala.
an intrakranial.
Koagulopati pascacedera kepala dapat berupa
keadaan hi-perkoagulasi atau hipokoagulasi. • Adanya tanda trombosis difus atau lokal.
Kedua-nya dapat meyebabkan cedera jaringan © Manifestasi pada kulit dapat berupa pe-
sekjnder baik dengan cara menginduksi mik- tekie, purpura, ekimosis, dan Iain-lain.
rotrombosis atau dengan memicu terjadinya Diagnosis dan Diagnosis Banding
lesi perdaraban di otak. Parameter klinis adalah adanya manifestasi
Patofisiologi klinis dan kelainan pada pemeriksaan profil
Cedera otak akibat trauma akan menimbul- hemostasis (hitung jenis platelet, kadar pro-
kan kerusakan endotel pembuluh darah dan thrombine time (PT), activated prothrom-
jaringan otak itu sendiri. Kerusakan endotel bine time (aPTT), international normalized
ini akan mengaktifkan faktor pembekuan ratio (INR), fibrinogen, dan d-Dimer), yaitu:
darah XII dan kaskade koagulasi, sedang- ® Trombositopenia sedang sampai dengan
kan kerusakan jaringan otak akan memicu berat ditemukan pada hitung platelet.
pelepasan tromboplastin di jaringan otak.
© Pemanjangan PT dan aPTT Peningkatan
Kedua mekanisme tersebut mengaktifkan
aPTT ringan diawal pemeriksaan merupa­
faktor pembekuan X yang bekerja sebagai
kan indikator adanya koagulopati dini pada
katalisator pemecah protrombin menjadi
cedera kepala. Meskipun demikian, nilai PT
trombin.
dan aPTT yang normal tidak menyingkir-
Trombin menyebabkan tiga proses: mem- kan kemungkinan terjadinya koagulopati.
bantu pembentukan fibrin, mengaktivasi © Fibrinogen merupakan reaktan fase akut
plasminogen, dan menyebabkan degradasi yang akan meningkat pada keadaan in-
trombosit. Pembentukan fibrin akan me­ flamasi. Kadarnya akan menurun seiring
nyebabkan terjadinya trombosis, sehingga dengan perkembangan penyakit.
terjadi keadaan hiperkoaguiasi. Baik akti-
© Terdapat peningkatan d-Dimer yang
vasi plasminogen dan degradasi trombosit
berkaitan dengan pemecahan fibrin, d-
akan berakibat timbulnya tanda-tanda
Dimer dinilai sebagai parameter terbaik
perdarahan akibat hipokoagulasi. Kedua ke­
untuk mengetahui adanya tanda-tanda
adaan ini merupakan status koagulasi pada
koagulasi atau tidak.
koagulopati (Gambar 9].
© Penilaian terhadap nilai INR biasanya di-
Gejala dan Tanda Klinis gunakan untuk memantau efek dari pe-
Klinis yang tampak pada pasien dengan ko­ makaian antikoagulan warfarin.
agulopati pascacedera kepala secara umum

440
Komplikasi Pascacedera Kepala

Gambar 9, Patofisiologi Terjadinya Koagulopati pada Cedera Kepala


Sumber: Harlean E, dkk. Pengaruh koagulopati dengan keluaran perawatan pasien cedera kepala sedang-berat
dan faktor yang berhubungan (analisis kasus kontrol). 2016,

Tata Laksana gunaan asam traneksamat tidak ber-


1. Fresh frozen plasma (FFP) atau kriopre- manfaat pada pasien trauma kepala.
sipitat. Meski demikian, asam traneksamat ma-
2. Agen antifibrinolitik (asam traneksa­ sih dapat diberikan pada keadaan akut
mat) dapat diberikan, walaupun studi dan dalam waktu singkat
dari Clinical randomization o f an Anti- 3. Rekombinan faktor Vila; akan mengini-
fibrinolytic in Significant Hemorrhage siasi pembentukan trombus dengan
(CRASH-2) menyimpulkan bahwa peng- cara mengikat tissue fa cto r (TF). Sebuah

441
Buku Ajar Neurologi

studi menyebutkan bahwa penggunaan 7. Schofield PW, Moore TM, Gardner A. Traumatic brain
injury and olfaction: a systematic review. Frontiers
rekombinan faktor Vila pada perdarah-
Neurol. 2014;5:1-22.
an aldbat trauma kepala dapat mengu- 8. Wilkinson I, Lennox G. Essential Neurology. Edisi ke-
rang! perkembangan hematom, tetapi 4. Massachusetts: Blackwells; 2005. b. 111-36.
tidak memberikan manfaat klinis. 9. Lamar CD, Hurley RA, Rowland JA, Taber KH. Post-
traumatic epilepsy: review of risks, pathophysiology,
and potential biomarkers, j Neuropsychiatry Clin
DAFTAR PUSTAKA Neursci. 2014;26(2):108-13.
1. Evans RW. Neurology and Trauma. Edisi ke-2. New 10. Carney N, Totten AM, O'Reilly C, Ullman JS, Bell MJ,
York: Oxford; 2006. Bratton SL, dkk. Guidelines for the management of
2. Prawiroharjo P. Patofisiologi peningkatan tekanan severe traumatic brain injury. Brain Trauma Foun­
intrakranial pada cedera otak traumatik in Neu­ dation [serial online]. 2016 [diunduh 20 Januari
rotrauma. Edisi ke-1. Jakarta; Badan penerbit FKUI; 2017]; Edisi ke-4:120-8, Tersedia dari: Brain Trauma
2015. h. 1*41. Foundation,
3. Lastri DN, Pharmacology treatment for improving 11. Szaflarski JP, Nazzal Y, Dreer LE. Post-traumatic epi­
cognitive impairment in post-traumatic brain injury: lepsy: currentand emerging treatment options. Neu-
is it benefit? Dalam: Ramli Y, Lastri DN, Prawiroharjo ropsy Disease and Treatment 2014:10;1469-77.
P. Neurotrauma. Edisi ke-1. Jakarta. Badan penerbit 12 . Kirkman MA, Albert AF, Ibrahim A, Doberenz D.
FKUI; 2015. h. 70-88. Hyponatremia and brain injury: historical and
4. Scanlon VC, Sanders T. Essentials of anatomy and contemporary perspectives. Neurocrit Care.
physiology. Edisi ke-5. Philadelphia. F. A. Davis Com­ 2013;18[3):406-16.
pany; 2007. h. 186-7. 13. Kumar S, Fowler M, Gonzalez-Toledo E, Jaffe SL
5. Bhatoe HS. Trauma to the cranial nerves. IJNT. Centra] pontine myelinolysis, an update. Neurol res.
2007;4(2):89-100, 2006;28(3):360-6.
6. Coello AF, Canals AG, Gonzalez JM, Martin JJA. Cranial 14. Laroche M, Kutcher ME, Huang MC, Cohen Mj, Man-
nerve injury after minor head trauma. J Neurosurg. ley GT. Coagulopathy after traumatic brain injury.
2010;113[3J:547-55. Neurosurgery. 2012;70[6):1334-45.
15. Harlean E. Pengaruh koagulopati dengan keluaran
perawatan pasien cedera kepala sedang-berat dan
falctor yang berhubungan (analisis kasus kontrol)
[tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2016.

442
NEUROVASKULAR
Transient Is c h e m ic A tta ck
Stroke Iskemik
C e re b ra l Sm all V essel D isea se
Trombosis Vena Serebral
Stroke Hemoragik
Perdarahan Subaraknoid
TR A N SIEN T ISCH EM IC ATTACK

Al Rasyid, Salim Harris, Mohammad Kurniawan,


Taufik Mesiano, Rakhmad Hidayat

PENDAHULUAN demiologi TIA kebanyakan berdasarkan data


Transient ischemic attack (TIA) adalah de- insidens dan prevalensi, serta dihubungkan
fisit neurologis akut yang disebabkan oleh dengan faktor risiko stroke. Insidens TIA di-
kelainan vaskular serta pulih dalam jangka pengaruhi usia, jenis kelamin dan suku bangsa.
waktu kurang dari 24 jam. Sementara itu, Lald-lald cenderung lebih tinggi dibandingkan
definisi TIA berdasarkan kondisi jaringan perempuan dan meningkat dengan bertam-
adalah disfungsi neurologis sementara bahnya usia. Insidens TIA di Eropa pada laki-
yang disebabkan oleh iskemia fokal otak, laid dan perempuan masing-masing 0,52-2,37
medula spinalis, atau retina tanpa ada in- dan 0,05-1,14, sedangkan berdasarkan usia
fark akut. Perubahan definisi ini terjadi yakni 0,94-3,39 (usia 55-64 tahun) , 0,71-1,47
karena adanya perkembangan teknologi (usia 65-74 tahun), 3,04-7,20 (usia 65-74 ta­
pemeriksaan pencitraan otak. hun), 2,18-6,06 (usia 75-84 tahun). Insidens
Gejala TIA yang khas adalah onset yang di Amerika hampir sama dengan Eropa, dan
mendadak, terdapatnya defisit neurologi fo­ lebih rendah di Jepang.
kal dan gangguan bicara. Namun, seringkali Kejadian stroke pada penderita TIA dapat
dijumpai gejala yang tidak khas dan onset diprediksi berdasarkan skor ABCD dengan
yang bertahap menyerupai gejala stroke peningkatan kejadian stroke seiring makin
[stroke mimic), atau malah tidak dikenali, se- tingginya skor tersebut. Sebuah penelitian
hingga tidak mendapat terapi yang adekuat. berbasis populasi menunjukkan skor ini
Padahal TIA berpotensi untuk menjadi merupakan prediktor yang cukup kuat ter-
stroke berulang jika tidak dilakukan terapi jadinya stroke dalam 24 jam, yakni 76% dari
pencegahan segera. pasien dengan skor ABCD 5 atau lebih akan
mengalami stroke berulang. Angka progno­
EPIDEMIOLOGI sis kejadian stroke pasca TIA berdasarkan
Setiap tahun, terdapat 200.000-500.000 persentase pada masyarakat umum me­
pasien yang didiagnosis mengalami TIA di ningkat seiring waktu, yakni 1,7 kali setelah
Amerika Serikat. Sementara itu, 300.000- 2 hari, 4,8 kali setelah 1 minggu, 6,6 kali
700.000 pasien diketahui mengalami gejala setelah 1 bulan, 8,5 kali setelah 3 bulan, dan
neurologis yang dicurigai akibat TIA, tetapi mencapai 11,4 kali setelah 6 bulan pascaTIA.
tidak memeriksakan diri ke dokter. Data epi-

445
Buku Ajar Neurologi

PATOFISIOLOGI gejala neurologis fokal. Hal ini disebabkan


Faktor Risiko oleh oklusi parsial atau total akibat trombo-
Berikut ini adalah beberapa kondisi yang emboli akut atau stenosis pembuluh darah,
dapat meningkatkan risiko terjadinya TIA: yang dapat berasal dari plak aterosklerosis
1. Umur; dihubungkan dengan risiko ter­ pada pembuluh darah jantung, pembuluh
jadinya peningkatan terjadinya TIA, kecuali darah besar, dan pembuluh darah ekstrakra-
padaumur >85tahunsedikitmenurun. nial. Manifestasi klinis yang diperlihatkan
2. Jen is kelam in; laki-laki mempunyai fak­ bergantung pada daerah yang diperdarahi
tor risiko TIA dan stroke rata-rata 1,25 pembuluh darah yang terkena,
kali dibandingkan perempuan. Setidaknya terdapat tiga mekanisme yang
3. Hipertensi; berkontribusi sebagai fak­ dapat menyebabkan TIA, yakni: 1) aliran
tor risiko sebesar 50% tergantung pada lambat pada arteri besar ( large artery low
usia pasien. flow TIAj; 2) emboli pembuluh darah atau
4. Fibrilasi atrial (atrial fibrillation /AF); jantung; dan 3) oklusi pembuluh darah kecil
risiko TIA dan stroke pada AF nonvalvular di otak (lacunar or small penetrating vessel
adalah sekitar 3-5% pertahun dengan dua- TIA). TIA akibat aliran lambat pada arteri
pertiga kasus akibat kardioemboli. besar umumnya terjadi dalam hitungan
menit hingga jam, berulang, dan memiliki
5. D iabetes mellitus (DM); merupakan
faktor risiko TIA dan stroke potensiai, karakteristik yang sama. Perlambatan ali­
dengan risiko relatif 1,8-3,0. DM dihubung­ ran berkaitan dengan stenosis akibat lesi ate­
kan dengan perkembangan aterosklerosis, rosklerosis, yang dapat terjadi pada arteri
hipertensi, obesitas, dan kadar lipid darah karotis interna, pembuluh darah kolatera!
yang abnormal. sirkulus Willisi, arteri serebri media, atau-
pun pada pertemuan arteri vertebralis dan
6. Merokok; sekitar 18% TIA dan stroke
arteri basilaris. Prinsipnya, setiap obstruksi
dihubungkan dengan merokok aktif dan
pada arteri ekstrakranial dan intrakranial
risiko ini meningkat pada perokok berat
dapat menyebabkan perlambatan aliran
7. Konsumsi alkohol; dalam jumlah besar
darah dan berpotensi menimbulkan iskemia.
dapat meningkatkan kejadian hipertensi,
hiperkoagulasi, aritmia kardiak, penurunan TIA akibat emboli memiliki gejala yang
aliran darah otak, serta meningkatkan berbeda, umumnya fokal dan episodenya
kejadian stroke. lebih lama. Risiko stroke pada TIA akibat
emboli lebih tinggi dibandingkan kasus
Patofisiologi TIA hampir sama dengan stroke lain. Emboli terbentuk akibat proses pa-
iskemik, akibat berkurang/berhentinya aliran tologis pada arteri yang biasanya berlokasi
darah pada pembuluh darah serebral yang di ekstrakranial atau berkaitan dengan ke-
memperdarahi suatu area tertentu di otak lainan jantung (seperti fibrilasi atrial atau
secara sementara, sehingga menimbulkan trombus ventrikel kiri).

446
Transient Ischemic Attack

Tabel 1. Gejala Transient Ischem ic Attack (TIA)


Gejala Tipikal Gejala Atipikal*
Kelemahan unilateral dari:
e Wajah Merasa bingung [confusion)
o Lengan Gangguan kesadaran atau sinkop
e Tungkai Dizziness atau pusing
Perubahan sensasi unilateral Kelemahan umum atau gejala sensoris
Disfasia Gangguan pengelihatan bilateral atau kerlipan cahaya
[scintillating scotom a)
Hemianopia Inkontinensia alvi dan atau uri
Kebutaan sesisi [monocular blindness) Amnesia
*jika gejala muncul sendiri tanpa adanya gejala tipikal

lacunar or small penetrating vessel TIA dapat hanya pada pasien, namun juga keluarga atau
disebabkan oleh stenosis salah satu penetra­ orang lain yang menyaksikan kejadian. Pada
ting vessel yang berasal dari arteri serebral anamnesis, sebaiknya diperoleh gejala dan
media, arteri basilar, arteri vertebralis, atan karakteristik TIA seperti yang telah dijelas-
arteri yang berasal dari sirkulus Willisi, Oklusi kan sebelumnya.
pembuluh darah kecil ini dapat disebabkan
Pemeriksaan fisik harus lengkap meliputi
oleh lipohialinosis akibat hipertensi atau lesi
tanda vital meliputi tekanan darah, nadi,
aterosklerosis.
napas, suhu, dan saturasi oksigen, serta
Pada TIA, terjadi gangguan perfusi sesaat pemeriksaan fisik umum dan neurologis.
sehingga tidak terdapat kerusakan per- Pada pemeriksaan fisik umum, perlu dicari
manen pada sel neuron. Defisit neurologis penyakityangdapatmenyebabkanterjadinya
yang terjadi akan pulih sempurna seiring TIA, seperti kelainan jantung, DM, dan Iain-
dengan perbaikan fungsi dari sel-sel yang lain. Pemeriksaan fisik neurologis dilakukan
mengalami reperfusi. untuk mencari defisit neurologis yang mung-
kin masih tersisa, meliputi pemeriksaan saraf
GEJALA KLINIS kranial, kekuatan motorik, sensoris, fungsi
Gejala TIA yang khas umumnya terjadi tiba- bahasa, sistem keseimbangan, dan kontrol
tiba, bersifat sementara dan hilang dalam motorik yang diatur oleh serebelum.
waktu 30-60 menit. Gejala tersebut dapat
Pemeriksaan penunjang untuk memastikan
tipikal ataupun atipikal [Tabel 1}, antara
faktor risiko terjadinya TIA, yakni:
lain gangguan perilaku ( behaviour ), bahasa,
gait, memori, dan gerakan (movement). © Mendapatkan bukti tanda dan gejala
pembuluh darah secara langsung atau­
DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING pun tidak langsung. Bukti secara lang­
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan sung, yakni adanya hipoperfusi dan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemerik- atau infark akut, sedangkan bukti tidak
saan penunjang. Anamnesis harus teliti tidak langsung berupa identifikasi kemung-

447
Buku Ajar Neurologi

kinan terjadinya stenosis arteri besar. 9 Hipotensi dan atau sinkop


® Menyingkirkan adanya akibat non- 9 Gejala fokal episodik sementara [misal-
iskemik. nya confusion)
® Mencari faktor risiko mekanisme gang- ® Gangguan keseimbangan perifer [misal-
guan pembuluh darah seperti aterotrom- nya vertigo terisolasi)
botik pembuluh darah besar, kardioem- © Kejang parsial
boli, dan gangguan pembuluh darah
© Ansietas atau hiperventilasi
kecil (small vessel disease).
© Amnesia global sementara (transient
• Menentukan dan meramalkan progno­
global amnesia)
sis pasien terhadap terjadinya stroke di
© Drop attacks, yaitu hilangnya tonus pos­
kemudian hari.
tural sementara yang mengakibatkan
pasien terjatuh
Beberapa pemeriksaan penunjang awal yang
perlu dilakukan adalah kadar glukosa darah © Hipoglikemia
dengan fingerstick, darah perifer lengkap, elek-
trolit serum, profil koagulasi, profil lipid, dan Setelah menegakkan diagnosis TIA, perlu
EKG 12 sadapan. Pemeriksaan laju endap da­ ditentukan prognosis kejadian stroke
rah dan kadar enzim jantung hanya jika ada pascaTIA dengan skor ABCD. Sistem ini
indikasi berhubungan dengan kelainan jan­ mampu memprediksi risiko stroke dalam
tung. Selanjutnya pencitraan otak berupa MRI 2 -9 0 hari pascaTIA melalui penjumlahan
(diutamakan) dan/atau CT scan [jika MRI tidak 5 faktor independen [Tabel 2). Skor ABCD
tersedia), serta Doppler transkranial (transcra- yang lebih tinggi mengindikasikan risiko
nial Doppler/TCD) dan Doppler karotis. terkena stroke yang lebih tinggi dalam
waktu 2, 7, 30, dan 90 hari pascaTIA, se-
TIA dapat menyerupai berbagai penyakit,
hingga direkomendasikan untuk dirawat
antara lain:
di RS [Tabel 3).
® Migren dengan aura

Tabel 2. Sistem Penskoran ABCD Faktor Risiko Stroke PascaTIA


Faktor Risiko Pom
Usia (>60 tahun) 1
Tekanan darah:
Sistolik >140mmHg atau diastolik s90mmHg 1
Manifestasi klinis TIA [pilih salah satu):
Kelemahan sesisi dengan atau tanpa gangguan bahasa atau: 2
Gangguan bahasa tanpa kelemahan sesisi 1
Durasi
e TIA 5:60 menit 2
e TIA 10-59 menit 1
Diabetes___________________________________________________________ 1_
T IA : tran sien t ischem ic a tta c k
S u m b e r : S i m m o n s B B , d ld c A m F a m P h y s i c i a n s ; 2 0 1 2 . h . 5 2 1 - 6 ,

448
Transient Ischemic Attack

Tabel 3. Rekomendasi Rawat Inap Pasien TIA Berdasarkan Skor ABCD


Risiko Terkena Stroke
Skor Rekomendasi
dalam 2 Hari {%)
0-3 1 Tidak terialu dibutuhkan observasi di RS, kecuali
jika ada indikasi lain, seperti; atrial fibrilasi)
4-5 4,1 Perlu dipertimbangkan observasi di RS
6-7 8,1 Perlu dilakukan observasi di RS
T IA : tran sien t ischem ic a tta c k
S u m b e r : S im m o n s B B , d k k . A m F am P h y s ic ia n s ; 2 0 1 2 , h. 5 2 1 - 6 .

TATA LAKSANA ® Hiperlipidemia


1. T a ta L a k sa n a M e d ik a m e n to sa Jika ditemukan hiperlipidemia, mulai
a. Terapi antitrombotik: diberikan statin, dengan target kadar
LDL-kolesterol <100mg/dL.
© Untuk TIA akibat aterotrombotik:
Pemberian antiplatelet yang dikonsum- • DM
si setiap hari dalam jangka panjang, yai- jika ditemukan DM, dilakukan tata
tu kombinasi dipiridamol lepas lambat laksana DM dengan target glukosa
ditambah aspirin [lini pertama), klopi- darah <126mg/dL.
dogrel, atau aspirin. Antikoagulan tidak 2. Tata Laksana Nonmedikamentosa
direkomendasikan. a. Mengatur pola makan dengan gizi
• Untuk TIA akibat kardioembolik: seimbang.
Pemberian antikoagulan jangka panjang b. Berhenti merokok dan membatasi
untuk atrial fibrilasi (terus-menerus konsumsi alkohol (bagi pasien yang
atau intermiten). Pada pasien yang me- merokok dan mengonsumsi alkohol).
miliki intoleransi terhadap antikoagu­ c. Melakukan aktivitas fislk >10 menit
lan, dapat diberikan aspirin 325mg per dalam sehari, seperti bersepeda, jalan
hari, atau jika intoleran terhadap aspirin cepat, berlari, atau berenang.
dapat diberikan klopidogrel 75mg per
hari. PROGNOSIS
Berdasarkan penelitian diketahui 4% pasien
b. Tata laksana penyakit penyerta yakni:
TIA berubah menjadi stroke dalam waktu 2
• Hipertensi hari, 8% pasien dalam waktu 1 bulan, dan 9%
Jika ditemukan hipertensi, dilaku- pasien dalam waktu 90 hari. Sementara itu, ke-
kan penurunan tekanan darah hingga tika pasien diikuti secara prospektif diketahui
<140/90mmHg atau <130/80mmHg bahwa 11% pasien mengalami stroke dalam 7
untuk pasien dengan diabetes dengan hari. Besarnya risiko pasien TIA untuk terkena
pemberian angiotensin converting en­ stroke dalam waktu 5 tahun adalah sebesar
zyme inhibitors (ACE-inhibitor) atau 24-29% . Selain itu, pasien dengan TIA atau
kombinasi ACE-inhibitor dan diuretik stroke memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
atau angiotensin-receptor blocker (ARB). terkena penyakit arteri koroner.

449
Buku Ajar Neurologi

CONTOH KASUS 3. Tata laksana yang dapat diberikan pada


Seorang perempuan umur 61 tahun, datang pasien dengan TIA adalah terapi antitrom-
dengan keluhan utama kelemahan mendadak botik. Selain itu, dilakukan tata laksana pe-
pada anggota gerak kiri. Pasien tidak ada ke­ nyaldt penyerta, seperti hipertensi.
luhan penurunan kesadaran, sakit kepala atau
kejang, serta belum pemah mengalami keluhan DAFTAR PUSTAKA
ini sebelumnya. Pasien segera dibawa ke RS. 1. Kernan WN, Ovbiagele, Henry RB, Dawn MB,
Dalam perjalanan, keluhan pasien membaik. Marc I, Michael D, dkk. Guideline for the preven­
Didapatkan riwayat hipertensi terkontrol dan tion of stroke in Patients with stroke and tran­
sient ischemic attack, Stroke. 2014;45:2160-236.
rutin mengkonsumsi Captopril 2x12,5 mg.
2. Simmons BB, Cirignano B, Gadegbeku AB. Tran­
Tanda vital dan pemeriksaan fisik dalam batas sient ischemic attack: diagnosis and evaluation.
normal Tidak ditemukan hipotensi ortostatik. Am Fam Physicians. 2012;86(6):521-6,
Pasien dikatakan dalam keadaan sehat dan 3. Kokuto Y. Epidemiology of transient ischemic at­
disarankan melanjutkan terapi antihiperten- tack. Front Neurol Neurosci. 2014;33:69-81.
4. Amarenco P, Goldstein LB, Sillesen H, Benavente
si. Tidak ditemukan riwayat keluhan serupa
0, Zweifler RM, Callahan A, dkk. Coronary heart
pada keluarga, riwayat konsumsi alkohol, disease risk in patients with stroke or transient
obat-obatan lain atau riwayat sinkop. ischemic attack and no known coronary heart
disease: findings from the stroke prevention by
Pertanyaan: aggressive reduction in cholesterol levels (SPAR-
CL) trial. Stroke. 2010;41(3}:426-30.
1. Apakah kemungkinan diagnosis pasien?
5. Nadarajan V, Perry RJ, Johson J, Werring DJ. Tran­
2. Apakah pemeriksaan selanjutnya yang sient ischemic attacks: mimics and chameleons.
dibutuhkannya? Pract Neurol. 2014;14(1):23-31.
6 . Easton JD, Saver JL, Albers GW, Alberts Mj, Cbatuverdi
3. Tata laksana apa yang dibutuhkan pasien S, Feldmann S, dkk Definition and evaluation of tran­
tersebut? sient ischemic attack Stroke, 2009;40(6);2276-93.
7. Gorelick PB. Epidemiology of transient ischemic
jawaban:
attack and ischemic stroke in patiens with
1. Transient ischemic attack (TIA) underlying cardiovascular disease. Clin Cardiol
2004;27(5 Suppl 2):1I4-11.
2. Diperlukan pemeriksaan penunjang un-
8 . Giles MF, Rothwell PM. Risk of stroke early after
tuk penapisan faktor risiko TIA, antara transient ischaemic attack: a systematic review and
lain pemeriksaan kadar glukosa darah meta-analysis. Lancet Neurol. 2007;6(12):1063-72.
dengan fingerstick, pemeriksaan darah 9. Johnston SC, Rothwell PM, Huynh-Huynh MN,
perifer lengkap, elektrolit serum, faktor Giles MF, Elkins JS, Sidney S. Validation and re­
koagulasi darah, profil lipid, laju endap finement of scores to predict very early stroke
risk after transient ischemic attack Lancet.
darah, serta EKG 12 sadapan. Selain itu,
2G07;3 69(9558) :283-92.
diperlukan pencitraan pembuluh darah 10. National Institute for Health and Clinical Excellence
intrakranial maupun ekstrakranial beru- (NICE). Stroke and transient ischaemic attack in over
pa pemeriksaan Doppler transkranial dan 16s: diagnosis and initial management NICE [serial
Doppler karotis. Hal lain yang juga perlu online]. 2008 [diunduh 22 September 2010], Terse-
dia dari: National Institute for Health and Clinical
dilakukan adalah menentukan skor risiko
Excellence.
stroke pasca TIA (sistem skor ABCD}.

450
Transient Ischem ic A ttack

11 . Stroke Foundation of New Zealand Guideline for 12. Wu CM, McLaughlin K, Lorenzetti DL, Hill MD, Manns
the assessment and management of people with re­ BJ, Ghali WA. Early risk of stroke after transient
cent transient ischaemic attack (TIA). Wellington: ischemic attack: a systematic review and meta­
Stroke Foundation of New Zealand; 2008. analysis. Arch Intern Med. 2007;167(22}:2417-22.

451
Buka Ajar Neurologi

STROKE ISKEMIK

Al Rasyid, Rakhmad Hidayat, Salim Harris,


Mohammad Kurniawan, Taufik Mesiano

PENDAHULUAN (RISKESDAS] Kementerian Kesehatan ta­


Stroke merupakan penyakit kegawatdaru- hun 2013, prevalensi stroke di Indonesia
ratan neurologi yang bersifat akut dan salah meningkat dari 8,3% pada tahun 2007
satu penyebab kecacatan dan kematian ter- menjadi 12,1% pada tahun 2013. Terdapat
tinggi di beberapa negara di dunia. Pada ta- perbedaan prevalensi di berbagai propinsi
hun 2013, terdapat sekitar 25,7 juta kasus dengan posisi tiga besar secara berurutan,
stroke, dengan hampir separuh kasus (10,3 yakni Sulawesi Selatan (17.9% ), Daerah Is-
juta kasus} merupakan stroke pertama. Se- timewa Yogyakarta (16.9% ], dan Sulawesi
banyak 6,5 juta pasien mengalami kematian Tengah (16.6% ].
dan 11,3 juta pasien mengalami kecacatan.
Prevalensi stroke meningkat seiringbertam-
Di negara berkembang, secara umum angka bahnya usia, dengan puncaknya pada usia
kecacatan dan kematian stroke cukup tinggi >75 tahun. Di Indonesia, prevalensi stroke
yakni 81% dan 75,2%. Di Indonesia, stroke tidak berbeda berdasarkan jenis kelamin.
merupakan penyebab kematian tertinggi Namun di Jepang, insidens stroke pada jenis
berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar kelamin laki-Iaki dua kali lipat dari perem-
tahun 2007, yaitu 15,4%. Data Indonesia puan yakni masing-masing 442 per 100.000
Stroke Registry tahun 2012-2013 mendapat- penduduk dan 212 per 100.000.
kan sebanyak 20,3% kematian pada 48 jam
Persentase stroke iskemik lebih tinggi
pertama pascastroke.
dibandingkan dengan stroke hemoragik.
Kecacatan dapatberupa defisit neurologi yang Laporan American Heart Association (AHA]
berdampak pada gangguan emosional dan tahun 2016 mendapatkan stroke iskemik
sosial, tidak hanya bagi pasien namun juga mencapai 87% serta sisanya adalah perda-
bagi keluarganya. Hal ini diperberat dengan rahan intraserebral dan subaraknoid. Hal
tingginya serangan stroke berulang, jika fak- ini sesuai dengan data Stroke Registry tahun
tor risiko stroke tidak teratasi dengan baik. 2012-2014 terhadap 5.411 pasien stroke di
Indonesia, mayoritas adalah stroke iskemik
E P ID E M IO L O G I (67% }. Demikian pula dari 384 pasien stroke
Insidens stroke di Asia sangat bervariasi, yang menjalani rawat inap di RSUPN Cipto
antara lain Malaysia (67 per 100.000 pen- Mangunkusumo (RSCM] pada tahun 2014,
duduk) dan Taiwan (330 per 100.000 pen- sebanyak 71,4 % adalah stroke iskemik.
duduk). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
Adapun angka kematian akibat stroke iske-

452
Stroke Iskemik

jttik (11,3%) relatif lebih kecil dibandingkan ma kolesterol dan kolesterol oleat pada
stroke perdarahan (17,2%). Secara umum tunika muskularis yang menyebabkan
cjari 61,9% pasien stroke iskemik yang di- lumen pembuluh darah menyempit serta
lakukan pemeriksaan CT scan di Indonesia di- berkelok-kelok.
dapatkan infark terbanyak pada sirkulasi an­
Pada hipertensi kronik akan terbentuk
terior (27%), diikuti infark lakunar (11,7%),
nekrosis fibrinoid yang menyebabkan
dan infark pada sirkulasi posterior (4,2%).
kelemahan dan hernias! dinding arte-
riol, serta ruptur tunika intima, sehingga
patofisiologi
terbentuk suatu mikroaneurisma yang
Secara umum faktor risiko stroke terbagi
disebut Charcot-Bouchard. Kelainan ini
menjadi dua, yaitu (1) faktor risiko yang
terjadi terutama pada arteri yang berdi-
dapat dimodifikasi atau dilakukan tata lak-
ameter 100-300m m (arteriol).
sana, antara lain hipertensi, diabetes meli-
tus (DM), merokok, obesitas, asam urat, dan Pengerasan dinding pembuluh darah
hiperkolesterol, serta (2) faktor risiko yang dapat mengakibatkan gangguan auto-
tidak dapat dimodifikasi, seperti usia, jenis regulasi, berupa kesulitan untukberkon-
kelamin, dan etnis. traksi atau berdilatasi terhadap peruba­
han tekanan darah sistemik. Jika terjadi
1. Hipertensi
penurunan tekanan darah sistemik yang
Hipertensi merupakan faktor risiko
mendadak, tekanan perfusi otak menjadi
stroke tersering, sebanyak 60% pe-
tidak adekuat, sehinggga menyebab­
nyandang hipertensi akan mengalami
kan iskemik jaringan otak. Sebaliknya,
stroke. Hipertensi dapat menimbulkan
jika terjadi peningkatan tekanan darah
stroke iskemik (50% ) maupun stroke
sistemik, maka akan terjadi peningkatan
perdarahan (60% ). Data menunjukkan
tekanan perfusi yang hebat yang akan
bahwa risiko stroke trombotik pada
menyebabkan hiperemia, edema, dan
penyandang hipertensi sekitar 4,5 kali
perdarahan.
lebih tinggi dibandingkan normotensi.
Pada usia >65 tahun, penyandang hiper­ 2. Diabetes Melitus
tensi memiliki risiko 1,5 kali lebih tinggi Sebanyak 10-30% penyandang DM dapat
dibandingkan normotensi. mengalami stroke. Suatu studi terha­
dap 472 pasien stroke selama 10 tahun
Patofisiologi hipertensi menyebabkan
menunjukkan adanya riwayat DM pada
terjadinya perubahan pada pembuluh
10,6% laki-laki dan 7,9% perempuan.
darah. Perubahan dimulai dari peneba-
lan tunika intima dan peningkatan per- Penelitian menunjukan adanya peranan
meabilitas endotel oleh hipertensi lama, hiperglikemi dalam proses aterosklero-
terutama pada arteri dengan ukuran ke­ sis, yaitu gangguan metabolisme berupa
cil, yaitu sekitar 300~500m m (cabang akumulasi sorbitol di dinding pembu­
perforata). Proses akan berlanjut de­ luh darah arteri. Hal ini mennyebabkan
ngan terbentuknya deposit lipid teruta­ gangguan osmotik dan bertambahnya

453
Baku Ajar Neurologi

kandungan air di dalam sel yang dapat prostasiklin dan tromboksan. Hal itu
mengakibatkan kurangnya oksigenisasi. mengakibatkan peningkatan agregasi
trombosit dan penyempitan lumen pem-
Peranan genetik pada DM belum diketahui
buluh darah, sehingga memudahkan
secara pasti. Dipildrkan terdapat abnormal-
terjadinya stroke iskemik. Selain itu,
itas genetik yang dihubungkan dengan ab-
merokok dalam waktu lama akan me-
normalitas seluler secara intrinsik berupa
ningkatkan agregasi trombosit, kadar
pemendekan usia kehidupan (life span) sel
fibrinogen, dan viskositas darah, serta
dan peningkatan proses pergantian [turn­
menurunkan aliran darah ke otak yang
over] sel di dalam jaringan. Proses ini dapat
menyebabkan terjadinya stroke iskemik.
juga terjadi pada sel endotel dan sel otot po­
los dindingpembuluh darah. Karbondioksida juga dipikirkan memi-
liki pengaruh. Ikatan karbondioksida
Penyandang DM sering disertai dengan
di dalam darah 200 kali lebih tinggi
hiperlipidemia yang merupakan faktor
dibandingkan oksigen, sehingga seolah-
risiko terjadinya proses aterosklerosis.
olah oksigen di dalam darah sedikit. Hal
Pada penelitian oleh National Cholesterol
ini menyebabkan peningkatan produksi
Education Program (NCEP), kurang lebih
eritrosit oleh tubuh, sehingga komposisi
40% penyandang DM term as uk dalam
eritrosit plasma tinggi, yang terlihat se-
kriteria hiperlipidemia serta 23% meng-
bagai peningkatan nilai hematokrit yang
alami hipertrigliserida dan kadar high
disebut polisitemia sekunder.
density lipoprotein (HDL) yang rendah.
4 . A sam U rat
3. Merokok
Salah satu penelitian di Jepang terhadap
Secara prospektif merokok dapat me-
usia 5 0 -7 9 tahun selama 8 tahun menun-
ningkatkan perburukan serangan stroke
jukkan hiperurisemia merupakan faktor
sebesar 3,5 kali dan dihubungkan dengan
risiko penting terjadinya stroke. Peneli­
banyaknya konsumsi rokok. Hal ini dapat
tian kohort di Honolulu dengan rentang
disebabkan oleh beberapa mekanisme.
usia 5 5 -6 4 tahun selama 23 tahun mem-
Pertama, aldbat derivat rokok yang sangat
perlihatkan hubungan bermakna antara
berbahaya, yakni nikotin. Nikotin diduga
asam urat, kadar kolesterol, tekanan
berpengaruh pada sistem saraf simpa-
darah sistolik, dan kadar trigliserida ter­
tis dan proses trombotik. Dengan adanya
hadap kejadian aterosklerosis berupa
nikotin, kerja sistem saraf simpatis akan
penyakit jantung dan stroke. Kondisi
meningkat, termasuk jalur simpatis sistem
hiperurisemia diduga merupakan salah
kardiovaskular, sehingga akan terjadi pe­
satu faktor yang dapat meningkatkan
ningkatan tekanan darah, denyut jantung,
agregasi trom bosit
dan meningkatnya aliran darah ke otak.
5. Dislipidemia
Pengaruh nikotin terhadap proses trom­
Meskipun tidak seberat yang dilaporkan
botik melalui enzim siklooksigenase,
sebagai penyebab penyakit jantung, salah
yang menyebabkan penurunan produksi
satu penelitian observasional menunjuk-

454
Stroke Iskemik

kan hubungan peningkatan kadar lipid bral. Dengan demikian, perempuan pada
plasma dan kejadian stroke iskemik. usia produktif memiliki proteksi terhadap
Metaanalisis terhadap studi kohort juga kejadian penyakit vaskular dan ateroskle­
menunjukkan kekuatan hubungan antara rosis yang menyebabkan kejadian stroke
hiperlipidemia dan stroke. Komponen dis- lebih rendah dibandingkan lelaki. Na­
lipidemia yang diduga berperan, yakni ka­ mun, pada keadaan premenopause dan
dar HDL yang rendah dan kadar low den­ menopause yang terjadi pada usia lanjut,
sity lipoprotein (LDL) yang tinggi. Kedua produksi estrogen menurun sehingga
hal tersebut mempercepat aterosklerosis menurunkan efek proteksi tersebut
pembuluh darah koroner dan serebral.
Berdasarkan suku bangsa, didapatkan
6. Usia, Jenis Kelamin, dan Ras/Suku suku kulit hitam Amerika mengalami
Bangsa risiko stroke lebih tinggi dibandingkan
Angka kejadian stroke meningkat seiring kulit putih. Insidens stroke pada kulit hi­
bertambahnya usia, yaitu 0,4% (usia 1 8 - tam sebesar 246 per 100.000 penduduk
44 tahun), 2,4 % (usia 65-74 tahun), hing- dibandingkan 147 per 100.000 pen­
ga 9,7% (usia 75 tahun atau lebih), sesuai duduk untuk kulit putih.
dengan studi Framingham yang berskala
besar. Hal ini disebabkan oleh pening­ Patofisiologi Stroke Iskemik Akut
katan terjadinya aterosklerosis seiring Pada dasarnya, proses terjadinya stroke
peningkatan usia yang dihubungkan pula iskemik diawali oleh adanya sumbatan pem­
dengan faktor risiko stroke lainnya, se- buluh darah oleh trombus atau emboli yang
perti atrial fibrilasi (atria/fibrillation /AF) mengakibatkan sel otak mengalami gang-
guan metabolisme, karena tidak mendapat
dan hipertensi. AF dan hipertensi sering
dijumpai pada usia lanjut. suplai darah, oksigen, dan energi (Gambar
1). Trombus terbentuk oleh adanya proses
Laki-laki memiliki risiko stroke 1,25-2,5 aterosklerosis pada arkus aorta, arteri karo-
kali lebih tinggi dibandingkan perem- tis, maupun pembuluh darah serebral. Pro­
puan. Namun, angka ini berbeda pada usia ses ini diawali oleh cedera endotel dan in-
lanjut. Prevalensi stroke pada penduduk flamasi yang mengakibatkan terbentuknya
Amerika perempuan (tahun 1999-2000) plak pada dinding pembuluh darah. Plak
berusia >75 tahun lebih tinggi (84,9%) akan berkembang semakin lama semakin
dibandingkan laki-laki (70,7%). tebal dan sklerotik. Trombosit kemudian
Data pasien stroke di Indonesia juga akan melekat pada plak serta melepaskan
menunjukkan rerata usia perempuan faktor-faktor yang menginisiasi kaskade ko-
(60,4±13,8 tahun) lebih tua dibandingkan agulasi dan pembentukan trombus.
laki-laki (57,5±12,7 tahun). Hal ini di- Trombus dapat lepas dan menjadi embolus
pikirkan berhubungan dengan estrogen. atau tetap pada lokasi asal dan menyebabkan
Estrogen berperan dalam pencegahan oldusi dalam pembuluh darah tersebut. Em­
plak aterosklerosis seluruh pembuluh boli merupakan bagian dari trombus yang
darah, termasuk pembuluh darah sere­ terlepas dan menyumbat pembuluh darah

455
Buku Ajar Neurologi

di bagian yang lebih distal. Emboli ini dapat disebabkan oleh sumbatan, tetapi juga aki-
berasal dari trombus di pembuluh darah, bat proses inflamasi, gangguan sawar darah
tetapi sebagian besar berasal dari trombus otak (SDO) atau (blood brain barrier/ BBB),
di jantung yang terbentuk pada keadaan ter- zat neurotoksik akibat hipoksia, menurun-
tentu, seperti atrial fibrilasi dan riwayat in- nya aliran darah mikrosirkulasi kolateral,
fark miokard. Bila proses ini berlanjut, akan dan tata laksana untuk reperfusi.
terjadi iskemia jaringan otak yang menye- Pada daerah di sekitar penumbra, terdapat
babkan kerusakan yang bersifat sementara berbagai tingkatan kecepatan aliran darah
atau menjadi permanen yang disebut infark. serebral atau cerebral blood flow (CBF).
Di sekeliling area sel otak yang mengalami Aliran pada jaringan otak normal adalah
infark biasanya hanya mengalami gangguan 40-50cc/100g otak/menit, namun pada
metabolisme dan gangguan perfusi yang daerah infark, tidak ada aliran sama sekali
bersifat sementara yang disebut daerah (CBF OmL/lOOg otak/menit] (Gambar 2],
penumbra (Gambar 2). Daerah ini masih Pada daerah yang dekat dengan infark CBF
bisa diselamatkan jika dilakukan perbaikan adalah sekitar lOcc/lOOg otak/menit. Dae­
aliran darah kembali (reperfusi) segera, se- rah ini disebut juga daerah dengan ambang
hingga mencegah kerusakan sel yang lebih kematian sel (threshold o f neuronal death),
luas, yang berarti mencegah kecacatan oleh karena sel otak tidak dapat hidup bila
dan kematian. Namun jika penumbra tidak CBF di bawah 5cc/100g otak/menit.
dapat diselamatkan, maka akan menjadi
daerah infark. Infark tersebut bukan saja Pada daerah yang lebih jauh dari infark, di-

Gambar 1. Oklusi Pembuluh Darah Otak Akibat Trombus

456
Stroke Iskem ik

D aerah otak norm al


CBF 40-50 cc/1 OOgotak/m snit

D aerah oligem ia
C BF30-40 cc/lOOg otat/ m enit

D aerah dengan aktivifes listrik neuronal teihanii


Daerah penumbra
dan struklur intrasal tidak terintegrasrbaik
CBF ~ 2 0 cc/100gotak/ menit

D aerali am bang kem atian sel


CBF ~ 10 cc/lOOgotafc/menit *

D aerah infark
CBF 0 cc/ lOOg otak/menit

Gambar 2. Area Infark dan Penumbra pada Stroke


(CBF: cerebral blood flow )

dapatkan CBF sekitar 20cc/100g otak/me- katan kadar laktat intraselular. Kegagalan
nit. Pada daerah ini aktivitas listrik neuronal pompa kalium dan natrium menyebabkan
terhenti dan struktur intrasel tidak terinte- depolarisasi dan peningkatan pelepasan
grasi dengan baik. Sel di daerah tersebut neurotrans miter glutamat.
memberikan kontribusi pada terjadinya de-
Depolarisasi meningkatkan kadar kalsi-
fisit neurologis, namun memberikan respons
um intraselular, sedangkan glutamat yang
yang baik jika dilakukan terapi optimal.
dilepaskan akan berikatan dengan resep-
Bagian yang lebih luar mendapatkan CBF tor glutam at yakni N-metil-D-aspartat
30-40cc/100g otak/menit, yang disebut (NMDA) dan a-arhino-3-hydroxy-5-methyi-
dengan daerah oligemia. Bagian terluar 4-isonazolipropionid-acid (AMPA), yang
adalah bagian otak yang normal. Bagian ini selanjutnya akan menyebabkan masuknya
mendapatkan CBF 40-50cc/100g otak/me­ kalsium intraselular. Dengan demikian,
nit Bila kondisi penumbra tidak ditolong hal tersebut semakin meningkatkan kadar
secepatnya maka tidak menutup kemung- kalsium intraselular. Kalsium intraselular
kinan daerah yang mendapat aliran darah memicu terbentuknya radikal bebas, ni-
dengan kecepatan kurang tadi akan berubah trit oksida (NO), inflamasi, dan kerusakan
menjadi daerah yang infark dan infark yang DNA melalui jalur enzimatik seperti Ca2+-
terjadi akan semakin luas. ATPase, calsium-dependent phospholipase,
Pada daerah yang mengalami iskemia, ter­ protease, endonuklease, dan kaspase yang
jadi penurunan kadar adenosine triphos­ keseluruhannya berkontribusi terhadap
phate (ATP), sehingga terjadi kegagalan kematian sel.
pompa kalium dan natrium serta pening-

457
Buku Ajar Neurologi

Faktor Lain yang M em engaruhi Daerah sel. Sel neuron/sel glia akan mengalami
Penum bra penurunan aktivitas bioelektrik, kehilangan
Selain CBF yang sangat berpengaruh pada extracellular ionic gradient, dan masuknya
daerah penumbra, ada beberapa faktor lain Na diikuti Cl ke dalam sel. Seluruh proses ini
yang berperan terhadap perkembangan akan berujung pada edema intrasel.
pasien pada fase akut, antara lain stres oksi- 4. Inflam asi pada daerah penum bra aid-
datif, asidosis derah penumbra, depolarisasi bat adanya iskemia. Respons inflamasi
daerah penumbra, dan faktor inflamasi. ini merupakan respons normal yang ber-
tujuan untuk pembersihan debris sel,
1. Kondisi stres oksidatif, merupakan
namun juga cenderung meningkatkan
kondisi diproduksinya radikal bebas
kerusakan jaringan serebral. Respons in­
berupa 0 2, hidroksil [OH), dan NO pada ke-
flamasi berupa aktivasi brain resident cells
adaan iskemia serebral. Radikal bebas ini
seperti mikroglia dan astrosit, infiltrasi sel-
sangat mempengaruhi daerah penumbra
sel inflamasi ke jaringan iskemik, seperti
akibat pembentukan rantai reaksi yang
neutrofil, monosit, makrofag dan limfosit,
dapat menghancurkan membran sel, de­
serta peningkatan alttivasi mediator in­
oxyribonucleic acid (DNA), dan protein.
flamasi dan infiltrasi mediator inflamasi
Radikal bebas juga menyebabkan gang-
ke jaringan otak. Adapun mediator yang
guan mikrosirkulasi dan merusak sawar
bersifat pro-inflamasi tersebut antara lain
darah otak hingga menyebabkan edema.
tumor necrosis factor (TNF)-a, interleukin
Proses tersebut akan terus berlangsung
(IL)-lp, interferon (IF)-p, serta IL-6) yang
selama keadaan iskemia tidak segera di-
diproduksi oleh limfosit.
tangani, oleh karena radikal bebas bereak-
si ldiususnya dengan lemak tidak jenuh
GEJALA D A N T A N D A K L IN IS
(;unsaturated lipid) yang banyak berada di
Tanda dan gejala ldinis stroke sangat mudah
membran neuron dan sel glia.
dikenali. Hal ini secara praktis mengacu pada
2. Asidosis daerah penum bra terfadi aki­ deflnisi stroke, yaitu kumpulan gejala akibat
bat peningkatan metabolisme anaerob gangguan fungsi otak akut baik fokal mau-
yang disebabkan oleh proses iskemia. pun global yang mendadak, disebabkan oleh
Peningkatan metabolisme ini memicu berkurang atau hilangnya aliran darah pada
pembentukan asam laktat, sehingga ter- parenkim otak, retina, atau medula spinalis,
jadi asidosis. Asidosis menyebabkan ma- yang dapat disebabkan oleh penyumbatan
suknya natrium [Na+] dan Cl‘ke dalam sel atau pecahnya pembuluh darah arteri mau-
melalui ikatan Na+/H+dengan C1/HC03', pun vena yang dibuktikan dengan pemerik-
sehingga terjadi edema intrasel dan pe­ saan pencitraan otak dan/atau patologi.
ningkatan tekanan intrakranial (TIK).
Gejala gangguan fungsi otak pada stroke sa­
3. Depolarisasi daerah penumbra terjadi ngat tergantung pada daerah otak yang ter-
akibat kegagalan pompa Na+/iC dan berald- kena. Defisit neurologis yang ditimbulkannya
bat terjadinya peningkatan kalium ekstra- dapat bersifat fokal maupun global, yaitu:

458
Stroke Iskemik

o Kelumpuhan sesisi/kedua sisi, kelum- DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


puhan satu ekstremitas, kelumpuhan Kriteria diagnosis stroke iskemik adalah
otot-otot penggerak bola mata, kelum­ terdapat gejala defisit neurologis global
puhan otot-otot untuk proses menelan, atau salah satu/beberapa defisit neurologis
bicara, dan sebagainya fokal yang terjadi mendadak dengan bukti
o Gangguan fungsi keseimbangan gambaran pencitraan otak (CT scan atau
MRI]. Adapun diagnosis banding yang pa­
• Gangguan fungsi penghidu
ling sering, yakni stroke hemoragik (bila be-
• Gangguan fungsi penglihatan
lum dilakukan CT/MRI otak].
o Gangguan fungsi pendengaran
Diperlukan pemeriksaan penunjang untuk
® Gangguan fungsi somatik sensoris
memastikan diagnosis serta untuk meng-
® Gangguan fungsi kognitif, seperti: gang­ eksplorasi faktor risiko dan etiologi stroke
guan atensi, memori, bicara verbal, iskemik berupa:
gangguan mengerti pembicaraan, gang­
guan pengenalan ruang, dan sebagainya a. Elektrokardiogram [EKG]

• Gangguan global berupa gangguan ke- b. Pencitraan otak: CT scan kepala non kon-
sadaran tras, CT angiografi atau MRI dengan per-
fusi dan difusi serta magnetic resonance
Pemeriksaan sederhana untuk mengenali angiogram [MRA]
gejala dan tanda stroke yang disusun oleh
c. Doppler karotis dan vertebralis
Cincinnati menggunakan singkatan FAST,
mencakup F yaitu facial droop (mulut men- d. Doppler transkranial ( transcranial dop-
cong/tidak simetris), A yaitu arm weakness p ier/ TCD]
(kelemahan pada tangan), S yaitu speech e. Pemeriksaan laboratorium
difficulties (kesulitan bicara], serta T, yaitu Pemeriksaan laboratorium di IGD yakni
time to seek medical help (waktu tiba di RS hematologi rutin, glukosa darah sewaktu,
secepat mungkin). FAST memiliki sensitivi-
dan fungsi ginjal (ureum, kreatinin]. Selan-
tas 85% dan spesifisitas 68% untuk men-
jutnya di ruang perawatan dilakukan peme­
egakkan stroke, serta reliabilitas yang baik
riksaan rutin glukosa darah puasa dan 2 jam
pada dokter dan paramedis.
pascaprandial, HbAlC, profil lipid, c-reac-
Tanda ldinis stroke juga dapat dilakukan tive protein [CRP], dan laju endap darah.
dengan cara pemeriksaan fisik neurologi Pemeriksaan hemostasis, seperti activated
untuk mengkonfirmasi kembali tanda dan partial thrombin time (APTT], prothrom ­
gejala yang didapatkan berdasarkan anam­ bin time (PT), dan international norm al­
nesis. Pemeriksaan fisik yang utama me- ized ratio [INR], enzim jantung (troponin,
liputi penurunan kesadaran berdasarkan creatine kinase MB/CKMB], fungsi hati, tes
Skala Koma Glasgow (SKG), kelumpuhan uji fungsi trombosit (uji resistensi aspirin
saraf kranial, kelemahan motorik, defisit dan klopidogrel), serta elektrolit dilakukan
sensorik, gangguan otonom, gangguan fung­ atas indikasi.
si kognitif, dan lain-lain.

459
Buku Ajar Neurologi

Pemeriksaan penunjang lain disesuaikan Organisation (ESO) yang terbaru. Acuan ini
dengan indikasi (sebagian dapat dilakukan terbagi dalam kekuatan rekomendasi kelas
di ruang rawat) meliputi: I-III [class] dengan kelas I yang terkuat dan
kualitas bukti [level o f evidence ) dari A-C
1. Digital substraction angiography (DSA)
dengan level A yang tertinggi.
serebral
2. MR difusi dan perfiisi atau CT perfusi otak Tata laksana Umum
1. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
3. Ekokardiografi (transtorakal dan/atau
a. Pemantauan status neurologis, nadi,
transesofageal)
tekanan darah, suhu tubuh, dan satu­
4. Rontgen toraks rasi oksigen secara kontinu dalam 72
5. Saturasi oksigen, dan analisis gas darah jam pertama (ESO kelas IV, good clini­
6. Pungsi lumbal jika dicurigai adanya perda- cal practice/ GCP)
rahan subaraknoid namun pada CT scan b. Pemberian oksigen jika saturasi oksi­
tidak ditemukan gambaran perdarahan gen <95% (ESO kelas IV, GCP)
7. EKG holter, jika dicurigai terdapat AF
c. Perbaikan jalan nafas termasuk pe-
paroksismal
masangan pipa orofaring pada pasien
8. Elektroensefalografi (EEG) jika dicuri­ yang tidak sadar, pemberian bantuan
gai adanya kejang ventilasi pada pasien yang mengalami
9. Penapisan toksikologi (misalnya alko- penurunan kesadaran atau disfungsi
hol, kecanduan obat] bulbar dengan gangguan jalan napas
10. Pemeriksaan antikardiolipin dan anti- (AHA/ASA kelas 1, level C).
bodi antinuklear (ANA) jika dicurigai d. Intubasi endotracheal tube (ETT) atau
adanyalupus laryngeal mask airway (LMA) diper-
11. Pemeriksaan neurobehaviour lukan pada pasien dengan hipoksia
Pemeriksaan Evaluasi Komplikasi (p02 <60mmHg atau pC02 >50mmHg),
syok, atau pada pasien yang berisiko
Komplikasi pada stroke akut dapat berupa
pneumonia, infeksi saluran kemih, trombosis untuk mengalami aspirasi.
vena dalam atau deep vein thrombosis (DVT), e. Pipa endotrakeal diusahakan terpa-
dekubitus, spastisitas dan nyeri, depresi, sang tidak lebih dari 2 minggu, kalau
gangguan fungsi kognitif, serta komplikasi lebih maka dianjurkan dilakukan tra-
metabolik lain seperti gangguan elektrolit. keostomi.
2. Stabilisasi Hemodinamik (Sirkulasi)
TATA LA K S A N A
a. Pemberian cairan kristaloid atau koloid
Tata laksana untuk stroke iskemik akut baik
intravena (IV), dan hindari pemberian
secara umum maupun khusus mengacu dari
cairan hipotonik seperti glukosa.
pedoman yang telah dibuat di berbagai ne-
gara, sebagian besar dari AHA/ASA [Ameri­ b. Dianjurkan pemasangan kateter vena
can Stroke Association) dan European Stroke sentral [central venous catheter/CVQ,

460
Stroke Iskem ik

upayakan tekanan vena sentral [cen­ 1. Meninggikan posisi kepala 20-3 0 °


tral venous pressure/ CVP} 5-12mmHg. 2. Memposisikan pasien dengan meng-
c. Optimalisasi tekanan darah [lihat pe- hindari penekanan vena jugulare
natalaksanaan khusus). 3. Menghindari pemberian cairan glu-
kosa atau cairan hipotonik
d. Bila tekanan darah [TD) sistolik di-
bawah 120mmHg dan cairan sudah 4. Menghindari hipertermia
mencukupi, dapat diberikan agen 5. Menjaga normovolemia
vasopresor secara titrasi, seperti do- 6. Pemberian osmoterapi atas indikasi:
pamin dosis sedang/tinggi, norepine-
frin atau epinefrin dengan target TD • Manitol 0,25-0,50 gr/kgBB,
sistolik berkisar 140mmHg. selama >20 menit, diulangi se-
tiap 4-6 jam dengan target os-
e. Pemantauan jantung (cardiac monito­ molaritas <310mOsm/L [AHA/
ring} harus dilakukan selama 24 jam ASA: kelas V, level C).
pertama setelah awitan serangan stroke
• Jika perlu, berikan furosemid
iskemik [AHA/ASA kelas I, level B).
dengan dosis inisial Img/
f. Bila terdapat adanya penyakit jan- kgBB IV
tung kongestif, segera atasi (konsul
7. Intubasi untuk menjaga normoven-
kardiologi).
tilasi [pC02 35-40mmHg]. Hiper-
3. Pengendalian Peningkatan Tekanan ventilasi mungkin diperlukan bila
Intrakranial (TIK) akan dilakukan tindakan operatif.
a. Pemantauan ketat pada kasus dengan
8. Paralisis neuromuskular yang
risiko edema serebri dengan mem-
dikombinasi dengan sedasi yang
perhatikan perburukan gejala dan
adekuat dapat mengurangi pe­
tanda neurologis pada hari-hari per­
ningkatan TIK dengan cara mengu­
tama setelah serangan stroke (AHA/
rangi naiknya tekanan intratorakal
ASA kelas I, level B).
dan tekanan vena akibat batuk,
b. Monitor TIK harus di pasang pada pa- suction , atau bucking ventilator
sien dengan GCS <9 dan pasien dengan [AHA/ASA: kelas III-V, level C).
penurunan kesadaran karena kenaikan
TIK. [AHA/ASA kelas V, level C). Agen nondepolarisasi seperti ven-
kuronium atau pankuronium yang
c. Sasaran terapi adalah TIK kurang dari
sedikit berefek pada histamin dan
20 mmHg dan tekanan perfusi otak
blok pada ganglion lebih baik di-
(icerebral perfusion pressure/ CPP)
gunakan [AHA/ASA kelas III-V,
>70mmHg.
level C). Pasien dengan kenaikan
d. Penatalaksanaan peningkatan TIK kritis TIK sebaiknya diberikan
meliputi: pelemas otot [ muscle relaxant )

461
Buku Ajar Neurologi

sebelum suction atau lidokain se- volemi. CVP di pertahankan antara


bagai alternatif. 5-12mmHg

9. Drainase ventrikular dianjurkan b. Cairan yang hipotonik atau me-


pada hidrosefalus alait akibat ngandung glukosa hendaldah di-
stroke iskemik serebelar (AHA/ASA hindari, kecuali pada keadaan hi-
kelas I, level B). poglikemia.
10. Tindakan bedah dekompresif 7. Nutrisi
pada keadaan iskemik serebe­ a. Nutrisi enteral paling lambat sudah
lar yang menimbulkan efek masa harus diberikan dalam 48 jam, nutri­
(AHA/ASA kelas I, level B). si oral hanya boleh diberikan setelah
4. Pengendalian Kejang hasil tes fungsi menelan baik.
a. Bila kejang, dilakukan pem berian b. Bila terdapat gangguan menelan
diazepam IV bolus lam bat 5-20mg atau kesadaran menurun makanan
dan diikuti oleh fenitoin dosis bo­ diberikan melalui pipa nasogastrik.
lus 15-20mg/kg dengan kecepatan
c. Pada keadaan akut kebutuhan kalori
maksimum 50mg/menit.
25-30kkal/kg/hari dengan komposisi:
b. Ob at kejang lain yang dap at diberikan
1) Karbohidrat 30-40% dari total
adalah valproat, topiramat, atau leve-
kalori.
tirasetam, sesuai dengan Minis dan
penyulit pada pasien. 2} Lemak 20-35% (pada gangguan
nafas dapat lebih tinggi 35-55% ).
c. Bila kejang belum teratasi, rawat di ICU.
3) Protein 20-30% (pada keadaan
5. Pengendalian Suhu Tubuh stres kebutuhan protein l,4-2,0g/
a. Setiap pasien stroke yang disertai fe- kgBB/hari (pada gangguan fungsi
bris harus diobati dengan antipiretik ginjal <0,8 g/kgBB/hari).
(asetaminofen) dan diatasi penyebab-
d. Apabila kemungkinan pemakaian
nya (AHA/ASA kelas I, level C).
pipa nasogastrik diperkirakan >6
b. Pada pasien demam berisiko ter- minggu, pertimbangkan untuk gas-
jadi infeksi, harus dilakukan kul- trostom i.
tur (trakeal, darah, dan urin) dan
e. Pada keadaan tertentu yaitu pemberi-
diberikan antibiotik. Jika memakai
an nutrisi enteral tidak memungkin-
kateter ventrikular, analisis cairan
kan, dukungan nutrisi boleh diberi­
serebrospinal harus dilakukan un-
kan secara parenteral.
tuk m endeteksi meningitis.
f. Perhatikan diit pasien yang tidak ber-
6. Tata Laksana Cairan
tentangan dengan obat-obatan yang
a. Pem berian cairan isotonis seperti
diberikan (misai: hindarkan makanan
NaCl 0,9% , ringer laktat, dan ringer
yang banyak mengandung vitamin K
asetat, dengan tujuan menjaga eu-
pada pasien yang mendapat warfarin).

462
Stroke lskem ik

8. Fencegahan dan Mengatasi Kom- atau infus glukosa 10-20% .


plikasi c. Manajemen hipertensi sesuai de­
a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk ngan protokol tata laksana hiperten­
mencegah komplikasi subakut (as- si stroke akut.
pirasi, malnutrisi, pneumonia, DVT,
d. Jika gelisah lakukan terapi psikologi,
emboli paru, dekubitus, komplikasi
kalau perlu berikan m ajor atau minor
ortopedik, dan kontraktur perlu di-
tranquilizer, seperti benzodiazepin
lakukan] (AHA/ASA level B dan C).
kerja cepat atau propofol.
b. Berikan antibiotik atas indikasi dan
e. Analgesik dan anti muntah sesuai
usahakan sesuai dengan tes kultur
indikasi.
dan sensitivitas kuman atau minimal
terapi empiris sesuai dengan pola ku­ f. Pemberian antagonis H2 apabila ada
man (AHA/ASA level A}. indikasi (perdarahan lambung].
g. Hati-hati dalam menggerakkan tu-
c. Pencegahan dekubitus dengan mobi­
buh, penyedotan lendir atau meman-
lisasi terbatas dan/atau memakai ka-
dikan pasien karena dapat mempe-
sur anti dekubitus.
ngaruhi TIK.
d. Pada pasien tertentu yang berisiko
h. Mobilisasi bertahap bilahemodi-
menderita DVT seperti pasien dengan
namik dan pernafasan stabil.
trombofilia, perlu diberikan heparin
subkutan 5.000IU dua kali sehari atau i. Kandung kemih yang penuh diko-
10.000IU drip per24 jam, atau LMWH songkan, sebaiknya dengan kateteri-
atau heparinoid. (AHA/ASA level A}. sasi intermitten.
Perlu diperhatikan terjadinya risiko j. Rehabilitasi/restorasi fisik, wicara
perdarahan sistemik dan perdarahan dan okupasi.
intraserebral. Pada pasien yang tidak k. Atasi masalah psikologis (depresi, an-
bisa menerima antikoagulan, untuk sietas, dan lain-lain], jika ada.
mencegah DVT pada pasien imobi-
l. Edukasi keluarga.
lisasi direkomendasikan penggunaan
stoking eksternal atau Aspirin (AHA/ m. Discharge planning (rencana pengelo-
ASA level A dan B). laan pasien di luar RS).

9. Penatalaksanaan Medik Umum Lain Tata Laksana Spesifik


1, Trombolisis Intravena
a. Hiperglikemia (kadar glukosa darah
Terapi trombolisis menggunakan re­
>180mg/dL] pada stroke akut harus
combinant tissue plasminogen activator
diatasi dengan titrasi insulin (AHA/
(rTPA) seperti alteplase dapat diberikan
ASA kelas I, level C}. Target yang ha­
pada stroke iskemik akut dengan onset
rus dicapai adalah normoglikemia.
<6 jam secara intravena dengan mengi-
b. Hipoglikemia berat (<50mg/dL] ha­ kuti protokol serta kriteria inklusi dan
rus diatasi dengan dekstrosa 40% IV eksklusi yang ditetapkan. Dosis yang

463
Buku Ajar Neurologi

dianjurkan adalah 0,6-0,9 mg/kgBB. Di itu terdapat faktor eksklusi yang meng-
RSUPN Cipto Mangunkusumo yang me- halangi pasien untuk mendapatkan tera­
miliki Code Stroke sebagai acuan tatalak- pi definitif rTPA. Oleh karena itu dipikir-
sana trombolisis IV, menggunakan dosis kan tatalaksana yang dapat menjangkau
0,6 mg berdasarkan studi Japan Alteplase emboli atau trombus tepat di arteri yang
Clinical Trial (JACT 2006]. dioklusinya yang disebut sebagai tinda-
kan neurointervensi/endovaskular.
2. Terapi Neurointervensi/Endovaskular
Adalah terapi yang menggunakan ka- Sepanjang sejarah penelitian neurointer­
teterisasi untuk melenyapkan trombus vensi untuk membuang trombus pada
di pembuluh darah dengan cara melisis- stroke iskemik akut, hasilnya mengece-
kan trombus secara langsung (tromboli­ wakan selama 20 tahun terakhir. Dimulai
sis intraarterial) atau dengan menarik dengan penelitian Proact II 1999 berupa
trombus yang menyumbat dengan alat pemberian Prourokinase langsung di lesi
khusus (trombektomi mekanik). oklusi arteri serebri media ( middle ce­
rebral arteryj MCA) gagal mendapatkan
Hal ini bermula dari sejarah digunakan-
persetujuan FDA, hingga penelitian Merci
nya trombolisis untukmelisiskan trombus
(coil retriever ) yang walaupun mendapat­
yang mengobstruksi arteri dalam upaya
kan persetujuan dari FDA, tetapi hasilnya
mengembalikan tekanan perfusi. Pada
belum meyakinkan AHA/ASA untuk me-
1995 Food Drug Administration (FDA)
masukkannya ke dalam guideline.
menyetujui recombinant tissue-type
plasminogen activator (r-tPA) intravena Akhirnya, pada Desember 2014 muncul
(IV) sebagai tatalaksana efektif untuk 4 penelitian RCT sekaligus dalam waktu
stroke akut berdasarkan hasil penelitian berdekatan, bahkan pada April 2015
randomized controlled trial (RCT) yang muncul hasil penelitian RCT ke-5 yang
menunjukkan efektivitas rTPA ini. menjawab teka-teki yang membingung-
kan dalam 20 tahun terakhir ini. Kelima
Sampai 2015, rTPA adalah satu-satunya
penelitian ini adalah Multicenter Ran­
tatalaksana definitif pada pasien stroke
domized Clinical Trial o f Endovascular
dengan onset kurang dari 4,5 jam dan
Treatment fo r Acute Ischemic Stroke in
menjadi tatalaksana tunggal yang ter-
the Netherlands (MR CLEAN), Endovascu­
bukti efektif untuk stroke iskemik. Sela-
lar Treatment fo r Small Core and Anterior
ma 22 tahun terakhir ini rTPA dilakukan
Circulation Proximal Occlusion with Em­
pada sekitar 13% pasien, dengan hasil
phasis on Minimizing CT to Recanalization
sebanyak 30% sembuh tanpa sekuele
Times (ESCAPE), Extending the Time fo r
ataupun sekuele ringan.
Thrombolysis in Emergency Neurological
Namun pada kasus oklusi proksimal dari De-ficits— Intra-Arterial (EXTEND IA),
arteri serebri, keluaran klinis kurang Solitaire with the Intention fo r Thrombec­
baik, karena anglca rekanalisasi awal tomy as Primary Endovascular Treatment
pasca trombolisis IV yang rendah. Selain Trial (SWIFT PRIME), dan Randomized

464
Stroke Iskemik

Trial o f Revascularization with the Soli­ 3) Stroke disebabkan karena oklusi


taire FR Device Versus Best Medical Therapy pada arteri karotis interna atau ar-
in the Treatment o f Acute Stroke Due to An­ teri serebri media cabang proksimal
terior Circulation Large Vessel Occlusion 4} Usia >18 tahun
Presenting within Eight Hours o f Symptom
5) Skor National Institutes o f Health
Onset (REVASCAT} Studies.
Stroke Scale {NIHSS) >6
Basil dari kelima penelitian inilah yang 6) Skor Alberta Stroke Programme
membuat AHA/ASA mengeluarkan pe- Early CT Score (ASPECTS} >6
doman tatalaksana neurointervensi baru
ASPECTS merupakan skor yang di-
pada kasus stroke iskemik akut, yaitu tin-
gunakan untuk membantu meng-
dakan neurointervensi dengan alat stent
identifikasi kandidat terapi trom­
retriever diakui sebagai salah satu tin-
bolisis pada stroke akut. Sistem skor
dakan definitif untuk tatalaksana stroke
ini digunakan untuk mendeteksi pe-
iskemik akut dengan trombus/emboli di
rubahan iskemik awal ( early ische­
pembuluh darah MCA.
mic changes } pada pemeriksaan CT
Trombektomi mekanik merupakan suatu scan di daerah yang diperdarahi oleh
prosedur endovaskular yang dilakukan MCA Gambaran perubahan iskemik
pada pasien yang memenuhi persyaratan ini dapat berupa hipoatenuasi, pe-
sesuai rekomendasi terapi neurointer- nurunan diferensiasi substansia grisea
vensi/endovaskular pada stroke iskemik dan substansia alba, serta edema fokal
akut, yaitu: Skor ASPECTS membagi teritori MCA
a. Pasien yang memenuh kriteria pem- menjadi 10 area (Gambar 3, Tabel 1}.
berian trombolisis IV dan akan di­ Prosedur ini idealnya dilakukan
lakukan terapi endovaskular harus dalam anestesi umum. Tindakan di­
tetap diberikan trombolisis terlebih lakukan bersamaan dengan prosedur
dahulu (AHA/ASA kelas I; level A). angiografi konvensional dengan
b. Pasien harus mendapatkan terapi m ikrokateter sebagai pemandu un­
endovaskular dengan menggunakan tuk menentukan lokasi trombus, ke-
stent retriever jika memenuhi semua mudian alat stent retriever digunakan
kriteria berikut (AHA/ASA kelas I; untuk menghilangkan trombus yang
level A]: menyumbat sehingga diharapkan
terjadi rekanalisasi pembuluh darah
1} Skor modified rankin scale (mRS]
(Gambar 4}.
pre-stroke 0 sampai 1
2) Stroke iskemik akut yang telah 7} Terapi dapat dimulai melalui tin­
mendapatkan terapi trombolisis dakan groin puncture atau pungsi
intravena dalam waktu 4,5 jam arteri femoralis maksimal 6 jam
setelah onset setelah onset stroke

465
Buku Ajar Neurologi

Gambar 3. Pembagian Area MCA pada Skor Alberta Stroke Program m e Early CTScore (ASPECTS)
C: nukJeus kaudatus; L: nuldeus lentiformis; I: insular ribbon; IC: kapsula interna; Ml: korteks MCA anterior;
M2: korteks MCA lateral hingga insular ribbon; M3: korteks MCA posterior; M4: area MCA posterior, superior
dari M l; M5: area MCA posterior, superior dari M2; M6: area MCA posterior, superior dari M3

Tabel 1. Skor Alberta Stroke Program m e Early CT Score (ASPECTS)


Skor
Area
1-normal; 0=abnormal
C - Nukleus kaudatus
L - Nukleus lentiformis
I - Insular ribbon
1C-Kapsula interna
Ml (korteks MCA anterior)
M2 (korteks MCA lateral hingga insular ribbon)
M3 (korteks MCA posterior)
M4 (area MCA posterior, superior dari Ml)
M5 (area MCA posterior, superior dari M2)
M6 (area MCA posterior, superior dari M3)
Total
Sumber: Pexmen W dkk. AJNR AM} Neuroradiol 2001, h, 1534-42.

c. Sejak 2015, AHA/ASA membuat pe- d. Meskipun manfaatnya belum jelas,


doman baru mengenai tatalaksana pada kasus stroke yang disebabkan
trombektomi pada pasien stroke oklusi di arteri serebri media cabang
iskemik akut dengan onset dibawah M2 atau M3, arteri serebri anterior,
6 jam. Pada pasien yang terindikasi arteri vertebralis, arteri basilaris atau
trombektomi, penggunaan stent re­ arteri serebri posterior, penggunaan
triever dapat dijadikan pilihan. terapi endovaskular dengan stent re-

466
Stroke Iskemik

triever dapat dipertimbangkan (AHA/ c. Pemberian antikoagulan tidak dilaku-


ASA: kelas lib; level C). kan sampai ada hasil pemeriksaan
e. Pada stroke yang disebabkan karena pencitraan otak memastikan tidak ada
oklusi pembuluh darah sirkulasi pos­ perdarahan intrakranial primer. Pasien
terior (arteri vertebralis, arteri basi- yang mendapat antikoagulan perlu di-
laris atau arteri serebri posterior), lakukan monitor kadar antikoagulan.
groin puncture maksimal dapat di- d. Tidak ditemukan manfaat pemberian
lakukan 24 jam setelah onset stroke. heparin pada pasien stroke akut de­
ngan AF, walaupun masih dapat diberi-
4. Pemberian Antikoagulan sebagai
kan pada pasien yang selektif. Aspirin
Pencegahan Selkunder
dan dilanjutkan dengan pemberian
a. Pemberian antikoagulan rutin ter- warfarin untuk prevensi jangka pan-
hadap pasien stroke iskemik akut jang dapat diberikan.
dengan tujuan untuk memperbaiki ke-
e. Warfarin merupakan pengobatan lini
luaran atau sebagai pencegahan dini
pertama untuk pencegahan sekunder
terjadinya stroke ulang tidak direko-
stroke iskemik pada kebanyakan ka-
mendasi (AHA/ASA: kelas III, level A).
sus stroke kardio-emboli.
b. Pengobatan antikoagulan dalam 24
f. Penggunaan warfarin harus hati-hati,
jam terhadap pasien yang mendapat
karena dapat meningkatkan resiko
rTPA intravena tidak direkomendasi
perdarahan. Oleh karena itu perlu mon­
(AHA/ASA: kelas 111, level B).
itor INR paling sedikit 1 bulan sekali.

467
Buku Ajar Neuroiogi

g. Warfarin dapat mencegah terjadinya tein Iib/Illa tidak dianjurkan (AHA/


stroke emboli kardiogenik dan mence­ ASA: kelas III, level B).
gah emboli ulang pada keadaan risiko f. Untuk pencegahan kejadian stroke
mayor. Dapat dimulai dari dosis 2mg iskemik, infark jantung, dan kematian
perhari dengan target INR 2,0-3,0. akibat vaskuler, klopidogrel 75mg
Pemeriksaan INR awal adalah rutin per lebih baik dibandingkan dengan as­
3 hari selama 2 minggu. Selanjutnya pe- pirin dan dapat diberikan pada fase
mantauan 1 minggu sekali dan setelah akut atau setelah fase akut selesai.
1 bulan dilakukan 1 bulan sekali.
g. Pemberian klopidogrel dikombina-
h, Selain warfarin, pada stroke kardio- sikan dengan aspirin selama 21 hari
emboli yang disebabkan karena fi- sampai 3 bulan yang dilanjutkan de­
brilasi atrial nonvalvular dapat diberi- ngan pemberian clopidogrel saja, su­
kan new oral anticoagulant (NOAC) perior untuk mencegah stroke pada
seperti dabigatran (2 x 75mg atau 2 x pasien TIA dan stroke iskemik ringan
HOmg), rivaroksaban [1 x lOmg atau (NIHSS <5).
1 x 15 mg), dan apiksaban ( 1 x 5 mg),
sebagai pencegahan sekunder. Tidak 6. Tata Laksana Spesifik Lain dan Neuro-
proteksi
ada pemeriksaan darah untuk peman-
tauan khusus pada pemberian NOAC. a. Hemodilusi tidak dianjurkan dalam
terapi stroke iskemik akut (AHA/
5. Pemberian Antiagregasi Trombosit ASA: kelas III, level A).
a. Pemberian aspirin dengan dosis awal
b. Pemakaian obat hemoreologik seper­
325mg dalam 12 jam setelah onset
ti pentoksifilin dapat dipertimbang-
stroke dianjurkan untuk setiap stroke
kan pada stroke iskemik akut dengan
iskemik akut (AHA/ASA: kelas I, level A).
hiperviskositas.
b. Aspirin diberikan sebagai terapi
c. Tindakan carotid endarterectomy
pencegahan sekunder, sehingga tidak
(CEA) dan carotid artery stenting
boleh digunakan sebagai pengganti
(CAS) dapat dipertimbangkan untuk
tindakan intervensi yang bertujuan
dikerjakan pada pasien stroke iske­
untuk revaskularisasi (seperti trom-
mik dengan stenosis karotis komunis/
bolisis intravena) (AHA/ASA: kelas
interna >50% sebagai upaya pence­
III, level B).
gahan sekunder, Namun demikian,
c. Jika direncanakan pemberian trom- tindakan tersebut dilakukan setalah
bolisis, aspirin jangan diberikan. fase akut (AHA/ASA: kelas I, level A).
d. Tidak direkomendasikan penggunaan d. Meskipun berbagi hasil penelitian
aspirin sebagai terapi ajuvan dalam 24 menunjukkan hasil yang berbeda,
jam setelah pemberian obat trombo- penggunaan agen neuroprotektor dan
litik (AHA/ASA: kelas III, level A). neurorecovery seperti sitikolin, pirace­
e. Pemberian antitrombosit intravena tam, pentoksifilin, neuropeptida Pro8-
yang menghambat reseptor glikopro-

468
Stroke Iskemik

Gly9-Prol0 ACTH (4-10), DLBS 1033, sif, yaitu dengan terapi anti trombotik
dan MLC 601 dapat dipertimbangkan. (terutama antikogulan), terapi simto-
e. Edema serebri adalah penyebab matik, dan terapi penyakit dasar.
utama dari kemunduran dini dan ke- j. Tidak ada data penelitian tentang
matian pada pasien dengan stroke lama pemberian antikoagulan un­
iskemik luas (teritorial). Edema ini tuk trombosis vena serebral. Be-
biasanya berkembang antara hari berapa studi merekomendasikan
ke-2 dan ke-5 dari awitan stroke, pemberian antikoagulan sekurang-
tetapi menjelang hari ke-3, pasien kurangnya 3 bulan, diikuti pem beri­
dapat mengalami kemunduran neu- an terapi antitrom bosit (AHA/ASA:
rologi dalam 24 jam sesudah awitan kelas II A, level C).
keluhan. Direkomendasikan pasien
Neurorehabilitasi/Neurorestorasi Pas-
dengan stroke iskemik luas/terito-
castroke
rial untuk dirawat di ICU/HCU dalam
Tatalaksana neurorehabilitatif pascastroke
1 minggu pertama sejak onset stroke.
mengalami perubahan dalam 15 tahun tera-
f. Kraniektomi dekompresi direkomen­ khir. Konsep masa kini untuk pemulihan de-
dasikan pada pasien stroke iskemik fisit neurologis pascastroke mencakup ranah
luas yang mengalami edema serebri yang lebih luas dan berkembang menjadi
[malignant brain infarction) untuk me- cabang ilmu neurologi yang dikenal sebagai
nyelamatkan jiwa namun dengan risiko neurorestoratologi. Hal ini mencakup neu­
gejala sisa gangguan neurologik yang rorestorasi struktural dan signaling neuron,
berat. Tindakan dilakukan dalam 48 dan neuromodulasi, selain tindakan neuro­
jam sesudah awitan keluhan dan di­ restorasi rehabilitatif. Tindakan neurorestora­
rekomendasikan pada pasien yang si pascastroke diberikan mulai dari fase akut,
berusia <60 tahun (AHA/ASA: kelas sub-akut, sampai dengan fase kronik. Untuk
I, level A). selengkapnya dapat dilihat pada bab Prinsip
g. Mild hypothermia (dengan target tem- Dasar Neurorestorasi Pascacedera Saraf.
peratur otak antara 33-35°C) mengu-
Edultasi
rangi mortalitas pada pasien dengan
Oleh karena stroke menyebabkan keadaan
infark arteri serebri media luas, na­
morbiditas yang tinggi, maka dibutuh-
mun dapat menyebabkan efelc sam-
kan pemahaman dan kerja sama antara
ping yang berat meliputi krisis TIK
pasien dan keluarga dengan klinisi, untuk
sepanjang pengembalian suhu tubuh.
mendapatkan hasil terapi yang maksimal,
h. Direkomendasikan tindakan pirau ven- antara lain dengan pemberian edukasi yang
trikel peritoneal [VPshunt) ataubedah informatif mengenai:
dekompresi untuk terapi infark serebe-
lum luas yang menekan batang otak. o Penjelasan sebelum masuk RS (rencana
rawat, biaya, pengobatan, prosedur, masa
i. Penatalaksanaan trombosis vena se-
dan tindakan pemulihan dan latihan,
rebral dilakukan secara komprehen-
manajemen nyeri, risiko dan komplikasi).

469
Buku Ajar Neurologi

® Penjelasan mengenai stroke iskemik, kan konsul ke bagian hematologi, pasien


risiko dan komplikasi selama perawatan. dikatakan menderita antiphospholipid
® Penjelasan mengenai faktor risiko dan syndrome (APS) dengan kadar ACA 40
pencegahan stroke berulang. unit. Pasien mendapatkan pengobatan
warfarin lx2m g dan asam asetilsalisilat
® Penjelasan program pemulangan pasien
lx80m g. Pada riwayat persalinan, pasien
(discharge planning),
memiliki 2 orang anak laki-laki dengan
® Penjelasan mengenai gejala stroke, dan riwayat kelahiran normal. Selama 8 bu-
yang harus dilakukan sebelum dibawa lan terakhir, pasien tidak minum obat
ke RS. karena tidak merasa ada keluhan.
Adapun prognosis ad vitam, ad sanationam, Pertanyaan:
dan ad fungsionam pasien biasanya dubia a. Apakah yang menyebabkan terjadi-
ad bonam. nya stroke berulang pada pasien?
CONTOH KASUS b. Apakah jenis stroke yang tidak dike-
1. Seorang perempuan umur 42 tahun, tahui penyebabnya?
datang ke IGD dengan keluhan utama c. Bagaimana pencegahan stroke yang
kelemahan anggota gerak kiri sejak 4 paling tepat untuk pasien?
jam sebelum masuk RS. Empat jam se­ d. Apakah tidak terdapat kontraindikasi
belum masuk RS, saat pasien duduk trombolisis pada kasus APS?
nonton televisi di rumah, tiba-tiba
pasien merasa mengalami kelemahan Jawaban:
pada tangan dan kaki sebelah kiri. Ke- a. Faktor risiko terjadinya stroke beru­
luhan disertai bicara pelo dan mulut lang pada pasien adalah APS yang
mencong. Tidak ada keluhan nyeri ke- merupakan suatu kelainan genetik.
pala, muntah, penurunan kesadaran Hal ini terjadi karena pasien tidak
maupun kejang. CT scan kepala dalam mengkonsumsi obat sejak 8 bulan
batas normal. Pasien memenuhi kriteria terakhir. Tanpa tata laksana yang op­
inklusi trombolisis dan diberikan terapi timal, pasien rentan mengalami trom-
tersebut. Setelah pemantauan selama bosis di seluruh tubuh.
24 jam, terdapat perbaikan klinis. Tidak b. Stroke yang tidak diketahui faktor
ditemukan efek samping. risikonya disebut stroke kriptogenik.
Dua belas tahun tahun lalu, didapatkan AHA/ASA tahun 2015 mendapatkan
riwayat kelemahan dan baal tubuh sisi data bahwa angka kejadian stroke
kiri. Keluhan tersebut membaik dalam kriptogenik mencapai 30%, terdiri
waktu kurang dari 8 jam. Basil peme- dari occult paroxysmal atrial fibril­
riksaan MRI menunjukkan adanya in- lation (AF), APS, dan patent foram en
fark multipel. Tidak ditemukan faktor ovale (PFO)
risiko mayor (hipertensi, diabetes meli- c. Tata laksana terbaik untuk pencegah­
tus, atrial fibrilasi, merokok). Berdasar- an stroke berulang adalah pemberian

470
Stroke Iskemik

antikoagulan (warfarin 1x2mg) dan didapatkan hyperdense MCA sign kiri,


antitrombosit (aspilet lx80m g) den- early ischemic changes di kiri (Gambar
gan target INR 2-3. 5), tidak ditemukan perdarahan (skor
d. Kasus APS bukan merupakan kon- ASPECTS-10)
traindikasi trombolisis. Malah APS Berdasarkan gejala klinis dan pencitraan,
merupakan salah satu faktor risiko diduga terdapat emboli pada pembuluh
terjadinya kasus trombosis vena darah besar otak. Pasien direncanakan
dalam yang juga dapat ditatalaksana menjalani terapi trombolisis IV sesuai
dengan trombolisis. pedoman AHA/ASA 2015. Pasien sedang
2. Laki-laki, umur 58 tahun, datang ke IGD dalam terapi warfarin dari dokter sebel­
dengan keluhan kelemahan lengan dan umnya. Hasil INR 1,29 dan tidak menjadi
tungkai kanan mendadak 3 jam sebelum kontraindikasi trombolisis IV (kontrain-
masuk RS. Terdapat riwayat hipertensi, dikasi bila INR>1,5).
DM, dan fibrilasi atrial. Pasien mengkon- Pasien diberikan alteplase dengan dosis
sumsi warfarin 2 mg setiap hari dan tidak 0,6mg/kgBB. Pertama diberikan 10%
terdapat keluhan apapun sebelumnya. dosis melalui bolus IV. Setelah istirahat
Dari pemeriksaan fisik didapatkan TD 15 menit, dilanjutkan 90% dosis sisanya
110/70mmHg dan frekuensi nadi 110x/ dalam waktu 45 menit. Ketika pasien
menit ireguler, dan SKG E4M6Vafasia sedang dalam terapi rumatan tersebut,
global dengan NIHSS 15. EKG didapat­ pasien menjalani persiapan DSA di ruang
kan kesan atrial fibrilasi rapid response tindakan ( catheterization laboratory).
(AFRR). Pasien terindikasi trombolisis Hasil DSA didapatkan oklusi pada MCA
dan code stroke diaktifkan. Pada CT scan kiri di M l (Gambar 6).

Gambar 5. Hyperdense MCA Sign di Sisi Kiri (Kiri] dan Early Ischem ic Changes di Sisi Kiri (Kanan)
(Dok: Pribadi)

471
Buku Ajar Neurologi

Gambar 6. Oklusi Arteri Serebral Media (MCA) Kiri di Ml (Kiri) dan Sesudah Rekanalisasi (Kanan)
(Dok: Pribadi)

Pasien dilakukan trombektomi menggu- bri media dan diletakkan selama 5 menit
nakan stent retriever sesuai dengan kriteria hingga mengembang sempurna (Gambar 7).
AHA/ASA 2015, yaitu: Ketika stent ditarik, seluruh emboli/trombus
dapat ditarik sempurna tanpa meninggalkan
a. Skor mRS prestroke pasien ini = 0
sisa emboli/trombus yang baru ke arah dis­
b. Stroke iskemik akut yang telah tal. Setelah itu, stent ditarik dan dikeluarkan.
mendapatkan terapi trombolisis intra-
vena dalam waktu 4,5 jam setelah onset Pasien menjalani pemeriksaan angiografi
ulang dan didapatkan oklusi MCA kiri telah
c. Stroke aldbat oklusi pada arteri serebri
terbuka. Pada pasien ini terjadi rekanalisasi
media cabang proksimal
dengan skala thrombolysis in cerebral infarc­
d. Usia >18 tahun, yaitu 58 tahun tion (TIC!) perfusion scale 2b j 3 (Gambar 6).
e. Skor NIHSS >6, yaitu 15 Pada stent retriever yang telah ditarik, di­
f. Skor ASPECTS=10 dapatkan bekuan darah emboli yang sudah
g. Pasien dapat dilakukan tindakan pungsi dievakuasi (Gambar 8).
arteri femoralis maksimal 6 jam setelah Pascatindakan, pasien dirawat di ruang rawat
onset stroke intensif. Pada hari kedua, terdapat perbaikan
Alatyang digunakan adalah Solitairetm, salah NIHSS menjadi 10. Pasien pulang setelah
satu pilihan stent retriever yang tersedia di hari perawatan ke-16 dengan NIHSS akhir 8
Indonesia dengan hasil penelitian yang baik. setelah perbaikan kondisi AFRR dan terapi
Stent dimasukkan, kemudian ujung stent di- warfarin sebagai prevensi stroke sekunder.
pasang pada M1-M2 junction di arteri sere­

472
Stroke Iskemik

Gambar 7. Stent Retriever pada Ml-MZ Junction di Arteri Serebri Media (Tanda Panah)
(Dolt: Pribadi)

Gambar 8. Bekuan Darah (Emboli) yang Sudah Dievakuasi (Kiri) pada Stent Retriever (Kanan)
(Dok: Pribadi)

DAFTARPUSTAKA (JAKNEWS); 28 Maret 2 0 1 5 ; Jakarta, Indonesia:


JAKNEWS; 2015.
1. Ramani NV, Yoon BW, Navarro JC. Stroke epide­
3. Yudiarto F, Machfoed M, Darwin A, Ong A,
miology. Stroke in Asia, Asian Stroke Advisory
Karyana M, Siswanto. Indonesia stroke registry
Panel Queensland: John Wiley&Sons; 2016.
Neurology. 2 0 1 4 ;8 2 (1 0 ):S 1 0 -2 .0 0 3 .
2. Fadhli H, Meisadona G, Kurniawan M, Mesiano T.
4. Jauch EC, Saver JL, Adams HP, Bruno A, Connors
Stroke patient mortality in Cipto Mangunkusumo
JJB, Damaerschalk BM. Guidelines for the early
hospital in 2014. Dipresentasikan dalam Jakarta
management of patients with acute ischemic
Neurology Workshop Exhibition and Symposium

473
Buku Ajar Neurologi

stroke. Stroke. 2 0 1 3 ;4 4 :8 7 0 -9 4 7 . 18. Lorenby RB. Handbook of pathophysiology. Edisi ke-


5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 4. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2011.
Departemen Kesehatan Rl. Riset kesehatan 19. Tamariz LJ, Young JH, Pankow JS, Yeh HC, Scmidt
dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta: Departemen MI, Astor B, dkk. Blood viscosity and hematocrit
Kesehatan RI; 2014. as risk factors for type 2 diabetes melitus. The
6. Mozaffarian D, Benjamin EJ, Go AS, Arnett DK, Atherosclerosis Risk in Communities (ARIC)
Blaha MJ, Cushman M, dkk. Heart disease and Study. Am J Epidemio. 2 0 0 8 ;1 6 8 (1 0 ):1 1 5 3 -6 0 ,
stroke statistics-2016 update: a report from 20. Takagi M. Serum uric acid as a risk factor for
the American heart association. Circulation. stroke in a fishing village of rural southerm ja ­
2017; 133 (4):e38-360. pan. Japan Circul J. 1 9 8 2 ;4 6 (2 ):1 3 1 -6 .
7. Kurniawan M, Harris S, A1 Rasyid, Mesiano T, 21. Golberg RJ. Lifestyle and biologic factor associ­
Hidayat R. Current status of stroke thromboly­ ated with atherosclerosis disease in midle aged
sis in Indonesia. Dipresentasikan pada The 1st men 20 year finding from the Honolulu Heart
Annual International Conference and Exhibition Program, Arc Int. Med. 1 9 9 5 ;1 5 5 (7 ):6 8 6 -9 4 .
on Indonesian Medical Education and Research 22. Furie KL, Kelly JP. Hand book of stroke preven­
Institute (ICE on IMERI). 2016 November 14-16; tion in clinical practice. Totowa, New Jersey: Hu­
Jakarta, Indonesia: ICE on IMERI; 2016. mana Press Inc; 2004.
8. Kernan WN, Ovbiagele B, Black HR, Bravata DM, 23. Lubis I. Konsentrasi yang rendah dari high densi­
Chimowitz MI, Ezekowitz MD, dkk. Guideline for the ty lipoprotein cholesterol (HDLc) sebagai faktor
prevention of stroke in patien with stroke or tran­ risiko stroke infark [tesis]. Yogyakarta: Universi­
sient ischemic attack. Stroke. 2014;45:2160-236, tas Gajah Mada;1998.
9. Misbach J, Ali W. Stroke in Indonesia: a first 24. Gorelick PB. Epidemiology of transient ischemic
large prospective hospital based study of acute attack and ischemic stroke in patients with un­
stroke in 28 hospital in Indonesia. J Clin Neuro. derlying cardiovascular disease. Clin Cardiol.
2 0 0 0 ;8 (3 ):2 4 5 -9 . 2 0 0 4 ;2 7 [5 Suppl 2]:II4-11.
10. Wijaya D. Hipertensi pada stroke [tesis]. Sura­ 25. Murphy SJ, McCullough LD, Smith JM. Stroke in
baya: Universitas Airlangga;1996. the female: role of biological sex and estrogen.
11. Brott T, Thalinger K, Hertzberg V. Hypertension ILARJour. 2 0 0 4 ;4 5 (2 ): 147-59.
as a risk factor for spontaneous intracerebral 26. Truelsen T, Bonita R, Advances in ischemic
hemorrhage. Stroke. 1 9 9 8 ;1 7 (6 ]:1 0 7 8 -8 3 . stroke epidemiology. Dalam: Barnett HJM, Bo-
12. Toole JF. Cerebrovascular disorder. Edisi ke-4. gousslavsky, Meldrum H, editor. Ischemic stroke
New York: Raven Press; 1990. (advances in neurology]. Philadelphia: Lipping-
13. Philips SJ, Whisnant JP. Hypertension and the cott Williams&Wilkins; 2003. h.1-20.
brain. Arch Intern Med. 1 9 9 2 ;1 5 2 (5 ):9 3 8 -4 5 . 27. Sharp FR, Lu A, Tang Y, Millhorn DE. Multiple mo­
14. Wolf PA, D Agostino RB, Belanger AJ. Probability lecular penumbras after focal cerebral ischemia.
of stroke: a risk profil from the Framingham J Cereb Blood Flow Metab. 2 0 0 0 ;2 0 (7 ):1 0 1 1 -3 2 .
study. Stroke. 1 9 9 1 ;2 2 (3 ):3 1 2 -1 8 . 28. Caplan LR. Stroke: a clinical approach. Edisi ke-4.
15. Bierman EL, Atherosclerosis and other form of Philadelphia: Saunders Elsevier Inc; 2009.
atherosclerosis. Dalam: Braunwaid E, Isselbac- 29. Cohen SN. Management of ischemic stroke. New
cher Kj, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper AS, York: McGraw-Hill Companies; 2000.
editor. Horrison principles of internal medicine. 30. Warlow CP, Van-Gijn J, Hankey GJ, Sandercock
Edisi ke-13. New York: McGraw-Hill Book Com­ Banford JM, Warlaw J. Stroke a practical guide to
pany; 1994. h. 1106-16. management London: Blackwell Science Ltd; 2007.
16. Slyper AH. Low density lipoprotein and athero­ 31. Donnan AC, Baron JC, Davis SM, Shorp FR. The isch­
sclerosis. JAMA. 1 9 9 4 ;2 7 2 (4 ):3 0 5 -8 . emic penumbra: overview, definition, and criteria,
17. Jalaluddin, Mondal B, Ahmed S. Smoking and New York: Informa Healthcare; 2007.
Ischemic stroke. Bangladesh j of Neurosci. 32. Shenhar-Tsarfaty S, Assayag EB, Bova I, Shopin
20 0 8 ;2 4 :5 0 -4 . L, Fried M, Berliner S, dkk. Interleukin-6 as an

474
Stroke Iskemik

early predictor for one-year survival following 36. Frizzell JP. Acute stroke: pathophysiology, diag­
an ischemic stroke/transient ischemic attack. Int nosis, and treatment, AACN Advanced Critical
J Stroke. 2 0 1 0 ;5 (l):1 6 -2 0 . Care, 2 0 0 S ;1 6 (4 ):4 2 1 -4 0 .
33. Nancy K, Glober, Karl A, Sporer, Kama Z, Gulu- 37. Rohde S, Haehnel S, Herweh C, Pham M,
ma, dkk. Acute stroke: current evidence-based Stampfl S, Ringleb PA, Bendszus M. Me­
recommendations for prehospital care. W est J chanical thrombectomy in acute embolic
Emerg Med. 2 0 1 6 ;1 7 (2 ):1 0 4 -2 8 . stroke. Stroke. 2 0 1 1 ;4 2 (1 0 ):2 9 5 4 -6 .
34. Kurniawan M. Zairinal RA, Mesiano T, Hidayat R, 38. Pexmen W dkk. Use o f the Alberta Stroke Pro­
Harris S, Ranakusuma TAS. Terapi trombolisis in­ gram Early CT score (ASPECTS) for assessing CT
travena pada pasien stroke iskemik dengan awitan scans in patients with acute strokes. AJNR AM j
kurang dari 6 jam. Neurona. 2 0 1 4 ;32(l):53-59. Neuroradiol 2 0 0 1 ;2 2 :1 5 3 4 -4 2 .
35. PowersWj, Derdeyn CP, Biller], Coffey CS, Hoh BL, 39. Azad TD, Veeravagu A, Steinberg GIG Neuro­
Jauch EC, dkk. AHA/ASA Focused update of the restoration after stroke. Neurosurg Focus,
2013 guidelines for the early management of pa­ 2016;40(5);E 2.
tients with acute ischemic stroke regarding endo­ 40. Chen L, Huang H. Neurorestoratology: new concept
vascular treatment. Stroke. 2015;46(10):3020-35. and bridge from bench to bedside. Zhongguo Xiu Fu
Chong Jian Wi Ke za Zhi, 2009;23(3> 366-70.

475
CEREBRAL SM ALL VESSEL D ISEA SE

Salim Harris, A1 Rasyid, Mohammad Kurniawan, Taufik Mesiano,


Rakhmad Hidayat

PENDAHULUAN melakukan komunikasi internal.


Otak manusia adalah organ yang sangat
Energi oksigen yang dibutuhkan otak adalah
menakjubkan. Dengan berat ±1320gram
72L/hari (3,7mL/100gram otak/menit),
(2% berat badan manusia), otak mempu-
dengan kebutuhan glukosa otak sebanyak
nyai kebutuhan besar terhadap energi ok-
107g/hari (5,5mg/100g otak/menit). Ke­
sigen dan glukosa untuk menjalankan fung-
butuhan energi yang berasal dari adeno­
sinya secara normal. Kebutuhan ini akan
sine triphosphate (ATP) adalah 17,4mmoL/
bergantung pada sirkulasi darah yang dike-
hari (l,lm m ol/100g otak/menit). Sebagian
nal dengan cerebral blood flow, mengalir
besar energi (87% ) dibutuhkan untuk alcti-
ke seluruh otak sejumlah 50mL/100gram
vitas potensial aksi membran sel dan 13%
otak/menit (setara dengan 972L/hari) dan
digunakan sebagai rumatan potensial mem­
memberikan energi pada 151,5 milyar sel
bran sel dalam keadaan istirahat.
saraf yang memiliki 150 triliun sinaps untuk

Gambar 1. Pembagian Pembuluh Darah Utama di Otak

476
Cerebral Small Vessel Disease

Distribusi kebutuhan energi dalam sistem umumnya manifestasi ini berupa gangguan
sirkulasi otak disuplai melalui 3 pembuluh pada sel, serabut saraf, maupun pembuluh
darah utama yaitu pembuluh darah parent darah halus. Gambaran dari small vessel
artery dilanjutkan cortical branch artery dan disease dapat berupa infark lakunar, white
diakhiri dengan penetrating artery (Gambar matter lesion atau leukoaraiosis maupun
1). Yang termasuk pembuluh darah parent perdarahan mikro. Penyebab kelainannya
artery adalah a. serebri media, a. serebri an­ juga sangat beragam mulai dari kelainan
terior, a. serebri posterior, a. vertebralis, dan a. vaskular berupa arteri oslderosis, infeksi,
basilaris. Pengembalian aliran darah menuju inflamasi dan autoimun, angiopati genetik
pusat akan melalui pembuluh darah vena, yai­ seperti cerebral amyloid angiopathy dan
tu melalui vena kapiler, dilanjutkan ke venula venous collagenosis, serta penyakit-penyakit
dan selanjutnya ke vena. Penetrating artery pembuluh darah kecil lainnya.
merupakan pembuluh darah kecil yang meru-
pakan bagian terakhir dari sistem arteri yang DEFINISI
akan berhubungan dengan vena-vena kapiler. Cerebral small vessel disease (CSVD) meru­
pakan kondisi klinikopatologis yang sangat
Gangguan pembuluh darah kecil (small vessel
penting karena merupakan 20% dari penye­
disease ) meliputi gangguan yang terjadi pada
bab stroke di seluruh dunia, dan merupakan
penetrating vessels dan vena kapiler yang
penyebab tersering demensia vaskular mau­
dapat menghambat pengembalian sirkulasi
pun demensia campuran (demensia vasku­
darah kotor tersebut (Gambar 2). Manifestasi
lar dan penyakit Alzheimer}. Istilah CSVD
klinis gangguan tersebut berimbang dengan
digunakan dalam berbagai aspek termasuk
lesi yang ditimbulkannya di otak. Pada
aspek klinis, patologis, dan pencitraan.

Vaniila

Pembuluh kapiler
Arteri Vena

Gambar 2. Pembuluh Darah Kecil (Small Vessel Disease) Meliputi Arteriol, Kapiler, dan Venula

477
Buku Ajar Neurologi

Dalam aspek klinis, pengertian CSVD memi- Cerebral arterial small vessels berasal dari 2
liki spektrum yang sangat luas yang dapat cabang, yaitu cabang superfisial dan cabang
memberikan manifestasi klinis maupun ti- profunda. Cabang superfisial adalah cabang
dak. Manifestasi klinis dapat bervariasi se- sirkulasi subaraknoid yang merupakan
perti sakit kepala, gangguan fungsi kognitif, pembuluh darah terminal dari pembuluh
gangguan gait, hingga kelumpuhan. Oleh darah berukuran sedang. Cabang profunda
karena itu, pengertian CSVD lebih mengacu berasal dari bagian basal, yang merupakan
pada gambaran patologis pembuluh darah cabang langsung dari pembuluh darah be-
kecil di otak. termasuk arteri kecil, arteriol, sar yang selanjutnya masuk ke dalam paren-
kapiler, vena kapiler, venula, dan vena, Na­ kim menjadi arteri perforator. Kedua sistem
mun, seringkali istilah ini hanya ditujukan pembuluh darah tersebut berjalan menuju
kepada pembuluh darah arterial, sedangkan bagian dalam dari parenkim. Setelah mele-
kompartemen vena kurang mendapat per- wati lapisan kortikal serta deep gray struc­
hatian, sehingga CSVD disebut juga sebagai tures, kedua sistem pembuluh darah terse­
arterial small vessel disease. but akan bersatu di watershed area, suatu
area terdalam dari subcortical white matter.
Pembuluh darah otak yang terlibat dalam
CSVD adalah pembuluh darah kecil di lep- Hal yang penting diperhatikan yakni pem­
tomeningeal dan intraparenkimal, seperti buluh darah kecil tidak dapat divisualisasi-
pembuluh darah ganglia basal, bagian peri- kan, berbeda dengan pembuluh darah besar.
fer substansia alba ( white matter), arteri Oleh karena itu, lesi parenkim otak sebagai
leptomeningeal, pembuluh darah pada sub­ aldbat perubahan pembuluh darah kecil di-
stansia alba serebelum dan talamus, dan gunakan sebagai penanda CSVD. Selain itu,
pembuluh darah batang otak. Meskipun istilah CSVD seringkali digunakan untuk
umumnya pembuluh darah kortikal tidak menggambarkan komponen iskemik dari
terlibat dalam CSVD, namun CSVD dapat proses patologis pembuluh darah kecil, me-
ditemukan pada korteks bagian dalam [deep liputi infark lakunar dan white matter lesion.
gray matter). Namun yang ada yang perlu diperhatikan
adalah pasien dengan small vessel disease
Pembuluh darah kecil sendiri diartikan se­
juga sangat berisiko untuk terjadi perdara-
bagai pembuluh darah yang berdiameter
han. Jenis patologis yang terjadi juga dipe-
<500|im yang berlokasi di subkortikal (dan
ngaruhi oleh lokasi pembuluh darah yang
merupakan end arteries) atau pembuluh da­
terkena. Kelainan pada pembuluh darah ke­
rah berdiameter <50pm yang berasal dari
cil cabang superfisial dapat menyebabkan
basal (yang disebut sebagai small perfora­
angiopati amiloid serebral [cerebral amyloid
ting arteries). Pembuluh darah kecil seperti
angiopathy/CAA) dan lobar microbleeds. Se-
arteri kecil, arteriol, dan kapiler memiliki
mentara itu, kelainan pada pembuluh darah
perbedaan struktur histologis. Arteriol dan
profunda dikaitkan dengan kelainan berupa
arteri kecil sama-sama mempunyai tunika
arteriosklerosis, deep microbleeds, peruba­
muskularis tetapi arteriol tidak mempunyai
han white matter, dan infark lakunar (Gam-
lamina elastika.
bar 3).

478
Cerebral Small Vessel Disease

Gambar 3. Jenis Kelainan Patologis Cerebral Small Vessel Disease (CSVD)


Dikaitkan dengan Lokasi Pembuluh Darah

KLASIFIKASI DAN EPIDEMIOLOGI CSVD c. White m atter lesion karena gangguan


vaskular
Lesi CSVD sangat bervariasi, dapat menge-
nai daerah tertentu seperti subkortikal, na- d. Virchow Robbin space atau rongga
mun dapat meluas seperti yang terjadi pada perivaskular
white m atter lesion. Klasifikasi CSVD di- e. Cerebral microbleeds
dasarkan pada etiopatologi, antara lain ar- f. Atrofi otak
terioslderosis, cerebral amyloid angiopathy
(CAA), CSVD yang diturunkan secara gene- 2. Penggunaan bahasa dan istilah yang
tik, CSVD akibat inflamasi dan immunologi, sama untuk manifestasi CSVD yang terli-
hat pada gambar MRI
kelainan vena, dan CSVD lainnya (Tabel 1).
3. Penetapan standar minimum image ac­
Penilaian CSVD dinilai berdasarkan konsep
quisition dan analisis pencitraan
pencitraan, oleh karenanya ada standar pe­
nilaian yang disebut standards fo r reporting 4. Kesepakatan standar pelaporan ilmiah
vascular changes on neuroimaging (STRIVE), terhadap perubahan parenkim otak ter-
yang meliputi: kait CSVD pada pencitraan. Selain itu
dilakukan review teknik pencitraan ter-
1. 6 tipe lesi pencitraan: baru untuk mendeteksi dan mengkuanti-
a. Infark subkortikal (infark lakunar) fikasi manifestasi preklinik CSVD.
b. Lacune karena gangguan vaskular

479
Buku Ajar Neurologi

Tabel 1, Klasifikasi Berdasarkan Etiopatoiogi Cerebral Small Vessel Disease (CSVD)


KLASIFIKASI
Tipe 1: Arterioslderosis (usia dan faktor risiko vaskuiar terkait CSVD)
® Nekrosis fibrinoid
« Lipohialinosis
o Mikroaneurisma (sakular, lipohialinosis, fusiformis asimetrik, perdarahan)
• Disorganisasi arterial segmental
Tipe 2: Cerebral amyloid angiopathy sporadik dan herediter
Tipe 3: CSVD yang diturunkan yang berbeda dengan cerebral amyloid angiopathy
* CADASfL
° CARASIL
o Demensia multiinfark genetik tipe Swedia
° MELAS
e Fabry's disease
• Vaskulopati serebroretinal herediter
« Endoteliopati herediter dengan retinopati, nefropati dan stroke
a Small vessel disease akibat mutasi C0L4AX
Tipe 4: CSVD yang dimediasi secara inflamasi dan imunologis
a Wegener's granulomatosis
® Sindrom Churg-Strauss
® Poliangitis mikroskopik
a Purpura Henoch-Schonlein
a Vaskulitis krioglobulinemik
* Angitis leukositoklastik kutaneus
« Angitis primer dari susunan saraf pusat
« Sindroma Sneddon
a Vaskulitis sistem saraf terkait infeksi
a Vaskulitis sistem saraf terkait kelainan jaringan konektif seperti SLE, sindrom
Sjogren, vaskulitis rematoid, skleroderma, dan dermatomyositis
Tipe 5: venous collagenosis
Tipe 6: CSVD lainnya
a Angiopati pascaradiasi
a Non-amyloid microvesse! degeneration pada penyakit Alzheimer

CADASIL: cerebral autosom al dominant arteriopathy with subcortical ischemic strokes and
leukoencephalopathy; CARASIL: cerebral autosom al recessive arteriopathy with subcortical
ischemic strokes and leukoencephalopathy; MELAS: mitochondrial encephalopathy with lac­
tic acidosis and stroke-like episodes.
Sumber: Pantoni L. Lancet Neurol. 2010. h. 689-701.

Kesepakatan standar pelaporart ilmiah ter- CSVD tipe 1 (arteriosklerosis) dan tipe 2
hadap perubahan parenkim otak terkait [Cerebral amyloid angiopathy (CAA) spo­
CSVD pada pencitraan. Selain itu dilakukan radik dan herediter) adalah yang paling
review teknik pencitraan terbaru untuk sering ditemukan, sementara CSVD tipe 3
mendeteksi dan mengkuantifikasi mani- termasuk jarang. Di antara penyakit yang
festasi preklinik CSVD. tergolong dalam tipe ini, cerebral autosomal

480
Cerebral Smal! Vessel Disease

dominant arteriopathy with subcortical isch­ SIL dan white m atter lesion termasuk penya­
emic strokes and leukoencephalopathy (CA- kit Binswanger.
DASIL) dan penyakit Fabry ( Fabry’s disease)
Arteriosklerosis
adalah yang paling banyak ditemukan dan
Arteriosklerosis merupakan gangguan pem­
penting sebagai dasar pemahaman patoge-
buluh darah yang didasari kelainan pada
nesis CSVD sporadik.
dinding pembuluh darah dan berlanjut de­
CSVD dapat dimediasi oleh proses inflamasi ngan komplikasinya pada pembuluh darah.
dan imunologi yang didapat (bukan heredi- Arteriosklerosis bersifat difus, tidak hanya
ter}. Kelainan ini dimasukkan dalam CSVD mengenai pembuluh darah otak, tetapi
tipe 4. CSVD tipe 5 berupa venous collage - dapat juga menimbulkan kerusakan multi
nosis, yang merupakan gambaran patologis organ, seperti pembuluh darah jantung, re­
dari vena dan venula yang berlokasi dekat tina, maupun ginjal.
dengan ventrikel lateral. Abnormalitas kom-
Manifestasi arteriosklerosis yang khas
ponen kolagen menyebabkan penebalan
adalah mikroaneurisma dan lipohialinosis.
dinding vena, sehingga menimbulkan pe-
Mikroaneurisma terjadi akibat penipisan
nyempitan lumen dan terjadi oklusi.
otot polos pada tunika media pembuluh
CSVD tipe 6 {small vessel disease lainnya) darah yang dapat mengakibatkan micro­
mencakup angiopati pasca radiasi dan CSVD bleeding , Lipohialinosis didasarkan adanya
non-amyloid pada kapiler dan membran ba­ deposit material, seperti fibrohialin, yang
sal pasien Alzheimer. Angiopati pascaradia- dapat menyempitkan lumen pembuluh da­
si merupakan efek samping yang tertunda rah, sehingga dapat mengakibatkan infark
dari cerebral irradiation therapy (setelah lacunar. Timbulnya mikroaneurisma dan
bebe-rapa bulan atau tahun). CSVD pas- lipohialinosis ini disebabkan oleh tekanan
caradiasi tersebut paling sering mengenai darah yang tidak terkontrol dan diakse-
pembuluh darah kecil di white m atter yang lerasi oleh adanya penyakit metabolik, seperti
menunjukkan adanya nekrosis fibrinoid, hiperhomosisteinemia, diabetes melitus, dan
penebalan dinding pembuluh darah karena dislipidemia, serta faktor risiko lain seperti
penumpukan hialin, penyempitan lumen, merokok dan imobilisasi. Faktor usia juga
dan sumbatan trombotik sehingga menye­ dipikirkan berperan pada proses terjadinya
babkan diffuse leucoencephalopathy de­ arteriosklerosis ini.
ngan degenerasi serabut hialin yang sangat
Usia yang berkontribusi terhadap munculnya
berat. Pada beberapa kasus terjadi kondisi
arteriosklerosis ini, telah bergeser ke arah
nekrosis koagulatif, Keseluruhan perubah-
yang lebih muda. Hal ini disebabkan karena
an parenkim ini disebabkan proses iskemik,
peranan faktor risiko penyakit metabolik
Pembahasan mengenai CSVD akan dibatasi telah diakselerasi oleh perubahan perilaku,
pada beberapa CSVD yang sering ditemukan yakni kebiasaan merokok Penyandang hiper-
saja, diantaranya adalah arteriosklerosis, tensi dan penyakit metabolik akan mengalami
cerebral amyloid angiopathy (CAAJ, CADA- CSVD pada usia yang lebih muda, jika disertai
faktor risiko tambahan, yakni merokok

481
Buka Ajar Neurologi

Merokok tidak saja berpengaruh pada elas- vena. Dengan demikian, CAA merupakan
tisitas dinding pembuluh darah, tetapi juga salah satu CSVD yang dapat bermanifestasi
pada viskositas darah dan deformabilitas dalam bentuk lesi perdarahan (microbleed
sel darah merah (eritrosit). Berdasarkan dan perdarahan intraserebral (PIS) lobar)
sejumlah penelitian, terjadi peningkatan maupun iskemik (infark lakunar, white m at­
fibrinogen pada perokok. Peningkatan fi­ ter lesion),
brinogen akan memicu sistem prokoagulasi,
Adanya deposit serabut amiloid [amyloid f i ­
sehingga terjadi kondisi hiperkoagulasi.
brils) pada pembuluh darah serebral dapat
Tingginya kadar fibrinogen dalam darah
melemahkan dinding pembuluh darah dan
juga akan meningkatkan viskositas darah.
menyebabkan ruptur, sehingga menimbul-
Efek lain peningkatan fibrinogen ini terkait
kan microbleeds asimtomatis dan perdarah­
dengan deformabilitas eritrosit. Muatan
an intraserebral lobar. Selain itu, deposit
negatif pada dinding eritrosit yang disebut
tersebut juga dapat merusak lumen pem­
zeta potensial akan berkurang akibat beri-
buluh darah yang menimbulkan iskemia
katan dengan fibrinogen yang bermuatan
(infark serebral, 'incomplete infarction ",
positif. Hal ini menyebabkan berkurangnya
leukoaraiosis), Von sattel dkk menggolong-
kemampuan eritrosit untuk berubah bentuk
kan CAA berdasarkan tingkat keparahan
atau disebut juga deformabilitas eritrosit.
perubahan patologis pembuluh darah yaitu:
Selain itu, kandungan karbon monoksida
(1) ringan, jika amiloid terbatas pada tunika
memicu peningkatan produksi eritrosit, se­
media, tanpa kerusakan signifikan sel otot
hingga juga akan meningkatkan viskositas
polos; (2) sedang, jika tunika media di-
darah. Keberadaan arteriosklerosis dan fak-
gantikan oleh amiloid sehingga lebih tebal
tor risiko yang telah disebutkan sebelumnya
dibandingkan kondisi normal; dan (3) be-
akan mempercepat timbulnya CSVD, berupa
rat, apabila terdapat disposisi amiloid yang
infark lakunar dan cerebral demyelinisation,
luas, fragmentasi dinding fokal atau double
dengan segala manifestasi klinisnya
barreling dinding pembuluh darah, pem-
C erebral Am yloid A ngiopathy (CAA) bentukan mikroaneurisma, nekrosis fibri­
CAA menggambarkan sekelompok gang- noid, dan kebocoran plasma melalui dinding
guan susunan saraf pusat (SSP) dengan ber- pembuluh darah.
bagai manifestasi klinis yang didasari ke-
Terdapat lebih dari 25 protein manusiayang
lainan pembuluh darah (angiopati) akibat
ditemukan terlibat dalam benang-benang
deposit amyloid fibrils pada dinding pem­
amiloid [amyloid fibrils) secara in vivo, na-
buluh darah. Deposit tersebut terdistribusi
mun hanya 7 protein yang bermanifestasi
pada dinding pembuluh darah berukuran
sebagai gangguan SSP, diantaranya adalah
kecil hingga sedang, yakni arteri dan arte-
protein amiloid tipe j3 (Ap). Deposit A(3 ini-
riol terutama di ruang leptomeningeal dan
lah pada dinding pembuluh darah inilah
korteks, dan jarang pada kapiler maupun
yang mendasari CAA (Tabel 2).

482
Cerebral Small Vessel Disease

T abel 2. B en tu k CAA S p o rad ik dan H ered iter


Peptida P ro tein S tro k e
K rom osom P enyakit Catatan
Amiloid P re k u rso r H em oragik
A{3 APP CO CAA sporadik (0 M

AP APP CO CAA yang Tidak terdapat peningkatan CO


berhubungan dengan risiko terjadinya ICH lobaris
AD sporadik
Ap APP 21 CAA yang Berhubungan dengan mutasi CO
berhubungan dengan presenilin-1 dan presenilin-2
AD familial
Ap APP 21 CAA pada sindroma ICH lobaris jarang terobser- CO
Down vasi
Ap APP 21 Perdarahan serebral Digambarkan pada 2 famili M
herediter dengan besar dari Belanda
amiloidosis: tipe -Usia onset: 50 tahun
Belanda
-Perdarahan lobaris, defisit
neurologis fokal, demensia,
dan leukoensefalopati
Ap APP 21 Perdarahan serebral Digambarkan pada 3 famili c-o
herediter dengan dari Itali
amiloidosis: tipe Itali -Usia onset: 50 tahun
-Perdarahan lobaris dan
demensia
Ap APP 21 Perdarahan serebral Digambarkan pada 1 famili M /C O
herediter dengan dari Belanda (ditemukan
amiloidosis: tipe di Belgia, oleh karenanya
Flemish dikatakan ''Flemish”) dan 1
famili dari Inggris
-Usia onset: 45 tahun

-Progressive AD-like dem en­


tia, pada beberapa pasien
yang berhubungan dengan
perdarahan lobaris
AP APP 21 Perdarahan serebral Digambarkan pada famili C+D/CO
herediter dengan dari Iowa dan Spanyol
amiloidosis: tipe -Usia onset: 5 0 -66 tahun
Iowa
-Gangguan memori, disfungsi
bahasa ekspresif, perubahan
personalitas, myoclonic jerks,
short- stepped gait, tidak ada
manifestasi Minis ICH (famili
dari Iowa) atau perdarahan
lobaris (famili dari Spanyol)

483
Buku Ajar Neurologi

T abel 2. B en tu k CAA Sp orad ik dan H ered iter (L anjutan )


Peptida P ro tein K rom osom Penyakit Catalan S tro k e
Amiloid P re k u rso r H em oragik
Ap APP 21 Perdarahan serebral Digambarkan pada 1 famili O)
herediter dengan dari Piedmont (Itali)
amiloidosis: tipe -Usia onset: 50- 70 tahun
Piedmont
-Perdarahan lobaris beru-
lang, penurunan kognitif
Ap APP 21 Perdarahan serebral Digambarkan pada 1 famili GO
herediter dengan dari Swedia Utara
amiloidosis: tipe -Usia onset: -60 tahun
Arctic (Islandia) -Penurunan kognitif pro-
gresif
ACys Sistatin C 20 Perdarahan serebral Digambarkan pada 9 sub M
herediter dengan famili dari Islandia (1 kasus
amiloidosis: tipe sporadik pada AS)
islandia -Menyebabkan amiloidosis
sitemik
-Usia onset: 2 0-30 tahun
-Perdarahan lobaris berulang
ATTR Transtire- 18 Amiloidosis Polineuropati merupakan Pada
tin meningovaskular gejala klinis utama beberapa
-Penemuan langka: ataksia, famili
spastisitas, dan demensia (langka)
-Amiloidosis sitemik
AGel Gelsolin 9 Amiloidosis familial Progressive corneal lattice 0)
tipe Finnish dystrophy, neuropati perifer
dan kranial, amiloidosis ku-
taneus
-Amiloidosis sitemik
PrPSc Protein 20 Sindrom Gerstmann- Digambarkan pada 1 famili C-)
Prion Strausser- Scheinker -Penurunan kognitif secara
progresif
ABri Protein 13 Familial British Digambarkan pada 4 famili (-)
prekursor Dementia -Usia onset: 45- 50 tahun
ABri
Adan Protein 13 Familial Danish Digambarkan pada 1 famili 0)
prekursor Dementia dari Denmark
ADan -Usia onset: 30 tahun
-Katarak, tuii, ataksia pro­
gresif, demensia
APP: amyloid precursor protein' AD= Alzheimer's disease, CAA= cerebral amyloid angiopathy, ICH= intracerebral hemorrhage
Sumber: Biffi A, dkk. J Clin Neurol. 2011. h. 1-9.
Cerebral Small Vessel Disease

Terjadinya deposit A[3 dipikirkan oleh lore- peptidase; (2) degradasi oleh astrosit dan
na terjadi gangguan produksi dan eliminasi mikroglia; [3] transportasi aktif melalui
peptida Ap. Peptida A(3 berasal dari sistem sawar darah otak (transendotelial); dan (4}
neuronal, diproduksi oleh protein prekur- drainase perivaskular (Gambar 4). Seiring
sor yakni amyloid precursor protein (APP) pertambahan usia, akan terjadi penurunan
dan disekresi oleh b- and g-secretase. Pep­ fungsi eliminasi ini dan peningkatan depo-
tida ini mengalami eliminasi melalui empat sisi Ap pada pembuluh darah.
jalur: (1) degradasi proteolitik oleh endo-

Degradasi Uptake dan degradasi oleh


proteolitik mikrogiia dan astrosit

Gambar 4, Produksi, Eliminasi, dan Deposisi Amiloid-p (Ap) pada CAA


Protein prekursor APP di sistem neuronal akan memproduksi peptida Ap yang akan mengalami eliminasi melalui
4 jalur: [a) degradasi proteolitik oleh endopeptidase (contoh: Neprilysin, IDE); (b) degradasi oleh astrosit dan
mikroglia melalui mekanisme receptor m ediated clearance pada reseptor LRP1/LDLR di permukaan membran
sel; (c) transportasi aktif melalui sawar darah otak (transendotelial); dan (d) drainase melalui ruang perivaskular
setelah proses ambilan ( uptake ) oleh astro sit Keempat proses ini akan memecah- peptida Ap menjadi oligomer
Ap, yang dapat berkumpu! m em bentukplak amiloid. (APP: amyloid precursor protein, IDE: insulin degrading
enzyme, LDLR: low density lipoprotein receptor, LRP1: LDLR related protein)

485
Buku Ajar Neurologi

Secara umum CAAterbagi menjadi duabentuk, tan (nontraumatik] pada usia lanjut. Smith
yakni CAA herediter dan CAA sporadik. CAA dkk menunjukkan PIS terkait CAA dan PIS
herediter berkaitan dengan mutasi gen yang terkait hipertensi dapat ditemukan ber-
mengkode protein amiloid termasuk prekur- samaan (25% ). PIS terkait CAA seringkali
sornya. Bentuk ini umumnya ditemukan pada berlokasi di lobar, karena keterlibatan pem-
usia muda. CAA sporadik biasanya dikaitkan buluh darah kortikal dan leptomeningeal
dengan polymorphisms o f disease-susceptible superfisial. Sebaliknya PIS terkait hipertensi
genes dan biasanya ditemukan pada usia lan- jarang ditemukan di lobar. PIS terkait CAA
ju t Polimorfisme gen yang berkontribusi pada ini seringkali multipel dan berulang. Selain
pathogenesis penyakit Alzheimer dan diduga tiga hal tersebut, tidak ada ciri khas yang
berkaitan dengan CAA sporadik, yakni apoli- patognomonik untuk perdarahan ini. Gejala
poprotein E (APO-E), presenilin 1 (PS1), a l- seperti nyeri kepala, defisit neurologis fokal,
antichymotrypsin (ACT], dan neprilsin (NEP). kejang dan penurunan kesadaran sama seperti
yang ditemukan pada PIS dengan kausa lain-
Diantara polimorfisme gen tersebut, yang pa­
nya. Namun, hal yangperlu ditekankan, bahwa
ling banyak diteliti adalah ApoE yang diang-
perdarahan intraserebral terkait CAA dapat
gap berkontribusi terhadap patogenesis CAA.
asimtomatis, yakni pada microbleeds.
Selain itu, polimorfisme APO-E juga berkon­
tribusi pada patogenesis penyakit Alzheimer. PIS terkait CAA penting untuk diperhatikan,
Beberapa studi menganalisis hubungan antara karena sering dihubungkan dengan risiko
APO-E, penyakit Alzheimer, dan CAA. Alel ApoE perdarahan terkait trombolisis. Keduanya
memiliki efek yang berbeda terhadap proses memiliki manifestasi serupa, berupa pre-
produksi, eliminasi dan deposisi Ap. Alel APO- disposisi daerah lobar dan superfisial otak,
E e4 dilcaitkan dengan amiloidogenesis, depo­ multipel, peningkatan frekuensi dengan ber-
sisi Af3, dan neurotoksisitas. Alel ApoE e4 juga tambahnya usia, dan berhubungan dengan
di-laporkan berkaitan dengan deposisi Ap demensia. Penelitian in vitro menunjukkan
kapiler yang menyertai neuritis degenera- deposit Ap menyebabkan degenerasi sel
tif positif tau (perivascular plaques/drusige pada dinding pembuluh darah, memengaruhi
Entartung/dysphoric angiopathy ), yang ber- vasoaktivitas, dan meningkatkan mekanisme
manifestasi demensia dan sering disebut se- proteolitik, seperti fibrinolisis, antikoagulasi
bagai variasi vaskular dari penyakit Alzheimer. dan degradasi matriks ekstraselular.
Sebaliknya, alel APO-E s2 merupakan proteksi
PIS terkait CAA juga dikaitkan dengan stroke
penyaldt Alzheimer, namun dikaitkan dengan
hemoragik akibat warfarin dan m icrobleeds
peningkatan risiko perdarahan pada CAA. Hal
dihubungkan dengan risiko rebleeding oleh
ini aldbat kontribusi alel APO-E z2 terhadap
karena terapi antiplatelet. Hal ini dibuk-
terjadinya nekrosis fibrinoid, yang merupa­
tikan oleh Biffi dkk (2010), namun belum
kan dasar neuropatologis perrdarahan intra-
ada modalitas yang dapat digunakan untuk
serebral terkait CAA (Gambar 5].
memprediksi risiko perdarahan terkait te­
PIS terkait CAA berkontribusi sebesar rapi pada kasus tersebut.
5-20% dari perdarahan intraserebral spon-

486
Cerebral Small Vessel Disease

Gambar 5. Peran Alel ApoE pada Berbagai Jalur di Otalc yang dapat Berkontribusi daiam Patogenesis CAA
Peningkatan rasio alel ApoE z4 > s3 disebabkan oleh gangguan eliminasi Ap melalui 4 mekanisme: penurunan Ap
chaperone, penurunan bersihan Ap yang dimediasi reseptor, penurunan degradasi Ap oleh enzim endopeptidase,
dan penurunan drainase perivaskular. Peningkatan rasio alel ApoE e4 > e3 tersebut berkontribusi terhadap
amiloidogenesis, peningkatan rasio Ap 40: Ap 42, dan neurotoksisitas, Alel ApoE €1 berkontribusi daiam
perubahan vaskulopatik, yakni berupa double barreling dan nekrosis fibinoid.

Diagnosis definitif CAA adalah berdasarkan let dengan pewarnaan thioflavin S. Tanda
histologi jaringan otak berupa gambaran khas lainnya adalah gambaran “double bar­
green birefringent di bawah cahaya terpo- r e l yang disebabkan pemisahan lamina
larisasi dengan pewarnaan Congo red dan elastika interna akibat pengendapan materi
gambaran floresen di bawah sinar ultravio­ hialin pada dinding pembuluh darah. Oleh

487
Buku Ajar Neurolog i

karena memerlukan histologi jaringan un- apa kriteria tambahan yang sedang diajukan,
tuk diagnosis definitif, maka seringkali di­ berupa ditemukannya siderosis superfisial
agnosis CAA didapatkan pada postmortem. pada penanda pencitraan CAA. Modalitas
diagnostik non-invasif lain adalah peme-
Saat ini telah dideldarasikan kriteria Kriteria
riksaan positron emission tomography (PET)
Boston, yang meliputi gejala Idinis dan pen-
scan dengan beta-amyloid-binding compound
citraan, selain komponen histologi yang di-
Pittsburgh Compound B yang dapatmemvisu-
peroleh secara invasif. Berdasarkan leriteria
alisasi p-amiloid fibriler pada otak, yang di-
ini, diagnosis CAA dibedakan menjadi 4, yak-
laporkan berkaitan dengan risiko perdarah-
ni definite CAA, probable CAA dengan gamba-
an intraparenkim akibat recombinant tissue
ran patologi atau MRI/CT scan mendukung,
plasminogen activator (r-TPA).
dan possible CAA (Tabel 3). Terdapat beber-

Tabel 3, Kriteria Boston untuk Diagnosis CAA


1. Definite CAA
Pemeriksaan post mortem lengkap menunjukkan:
- Perdarahan lobar, kortikal, atau kortikosubkortikal
- CAA yang berat dengan vaskulopati*
- Ketiadaan dari lesi diagnostik lainnya
2. Probable CAA dengan gambaran patologi yang mendukung
Data klinis dan jaringan patologis (evakuasi hematom atau biopsi kortikal) menunjukkan:
- Perdarahan lobar, kortikal, atau kortikosubkortikal
- Beberapa derajat CAA pada spesimen
- Ketiadaan dari lesi diagnostik lainnya
3. Probable CAA
Data klinis dan MRI atau CT menunjukkan:
- Perdarahan multipel terbatas regio lobar, kortikal, atau kortikosubkortikal [perdarahan serebelar dibolehkan)
- Umur lebih dari sama dengan 55 tahun
- Ketiadaan penyebab perdarahan yang lain**
4. Possible CAA
Data klinis dan MRI atau CT menunjukkan:
- Perdarahan tunggal pada lobar, kortikal, atau kortikosubkortikal
- Umur lebih dari sama dengan 55 tahun
- Ketiadaan penyebab perdarahan yang lain__________________________________________________________
CAA: cerebral amyloid angiopathy
**Penyebab pedarahan intraserebra! lain mencakup penggunaan warfarin dengan dosis berlebih [INR>3.0), riwayat
cedera kepaia dan stroke iskemik sebelumnya, tumor SSP, malformasi vaskular, vaskulitis SSP, blood dyscrasia, serta
koagulopati.
Sumber:
^on Sattel JP,dkk. Ann Neurol. 1991. h. 637-49.
2Knudsen KA dkk, Neurol. 2001. h. 537-9.

488
Cerebral Small Vessel Disease

Tata laksana CAA atau PIS terkait CAA, cortical U-fibres, microhemorrhages terutama
baik pencegahan maupun terapi secara pada gray matter, dan laminar cortical neuro­
evidence based belum ada. Kortikosteroid nal apoptosis. Hal itu berdasarkan perubahan
dalam beberapa laporan kasus menunjuk- morfologis dan fungsional pembuluh darah
kan perbaikan gejala yang berkaitan dengan otak yang juga terlihat pada pembuluh da­
CAA-related inflammation . Hal ini dipikir- rah sistemik.
kan dengan mengurangi edema vasogenik.
Karakteristik histopatologis pada CADASIL
Terapi imunosupresan lain juga dilaporkan
adalah vaskulopati, yang terutama melibat­
memengaruhi proses inflamasi CAA, namun
kan pembuluh darah pial dan arteri per­
masih terdapat sedikit bukti. Laporan dari
forator yang berdiameter kecil (<500pm)
studi perindoprii protection against recur­
serta arteriol, dan tidak disebabkan oleh
rent stroke study (PROGRESS) menunjukkan
hipertensi, aterosklerosis, atau degenerasi
bahwa pengendalian tekanan darah (TD)
amiloid, Gambaran patognomonik CADA­
dapat menurunkan risiko PIS terkait CAA.
SIL berupa akumulasi granular osmiophillic
Cerebra' Autosomal Dominant Arteriopa- m aterial (GOM) di tunika media tepat di
thy with Subcortical Infarcts and Leuko- permukaan membran sel otot polos, diikuti
encephalopathy (CADASIL) degenerasi dan berkurangnya sel otot po­
CADASIL merupakan penyebab penting dari los, fibrosis adventisia dan penebalan mural
stroke dan demensia vaskular usia muda. pembuluh darah, serta pelebaran rongga
Lebih dari 10% pasien berusia kurang dari perivaskular (rongga Virchow-Robin). Pro­
50 tahun dengan stroke dan penyakit white ses patologi tersebut mengakibatkan ste­
m atter ditemukan mutasi CADASIL. Mutasi nosis luminal long penetrating arteries yang
ini diturunkan secara monogenik mengi- memperdarahi white m atter subkortikal.
kuti hukum Mendell pada gen N0TCH3. Gen
Semua kelainan tersebut menimbulkan pe­
tersebut diekspresikan secara eksklusif oleh
rubahan fisiologis, yaitu penurunan ( cere­
sel otot polos pembuluh darah, terutajna ar-
bral blood flow /C BF) dalam kondisi basal
teri berkaliber kecil serta sel pefisit. Pada
atau istirahat, penurunan volume dan dila­
pasien CADASIL terdapat akumulasi ranah
tory reserve, serta peningkatan oxygen ex­
ekstraselular N0TCH3 pada membran sito-
traction fraction yang berkaitan dengan
plasma otot polos pembuluh darah.
usia. Terdapat pula hipoperfusi terbatas
CADASIL dapat bermanifestasi klinis mau­ pada regio white matter, yang memberikan
pun tidak. Manifestasi klinisnya sangat gambaran leukoaraiosis serupa denganleu-
bervariasi, seperti migren, stroke lakunar, koaraiosis dengan kausa lain.
stroke lakunar berulang, leukoaraiosis, gang-
White Matter Lesion (W M L)
guan mood, apatis, dan demensia yang tidak
Prevalensi WML pada populasi kulit putih
harus ditemukan secara bersamaan. Gamba-
sekitar 80% pada >60 tahun dan lebih ba-
ran otak pasien dapat berupa infark lakunar,
nyak pada perempuan. WML dihubungkan
demielinisasi white matter yang difus dan
dengan faktor genetik dan terdapat hubung-
hilangnya akson yang tidak melibatkan sub­
an yang kuat dengan usia dan tekanan da-

489
Baku Ajar Neurologi

rah. WML dapat memberikan manifestasi yang berhubungan dengan sifat-sifat multi-
klinis yang bervariasi ataupun hanya dite- faktoral kompleks seperti WML, yaitu 6 novel
mukan pada pencitraan tanpa gejala klinis. single nucleotide polymorphisme (SNP) pada
Sebelum adanya MRI, white matter lesion satu lokus kromosom 17q25.
[WML} terlihat sebagai suatu x-ray attenu­
WML berkaitan dengan beberapa penyakit,
ation di area white matter pada gambaran
diantaranya penyakit Binswanger. Penya­
CT scan. Hachinski dkk menyatakan lesi itu
kit ini secara patologis tampak sebagai area
disebut sebagai leukoaraiosis. Pada peme-
konfluens atau pengelompokan jaringan
riksaan MRI, WML berupa gambaran hiper-
halus yang berkerut dan berglanulasi pada
intens didaerah white m atter pada sekuens
white m atter di otak, meliputi lobus oksipi-
T2 weighted dan FLAIR di periventrikel dan
tal, periventrikel terutama bagian anterior,
daerah immediate subcortical white matter.
dan serebelum. Volume white m atter men-
Fazekas memberikan gambaran histopa- jadi berkurang dan dapat disertai pembe-
tologis yang sering ditemukan pada WML saran ventrikel serta mengecilnya korpus
adalah perubahan perivaskular ringan kalosum. Selain lesi white matter , dapat pula
hingga melibatkan area yang luas dengan ditemukan lacunae, kavitas berbentuk bulat
kehilangan jumlah serat yang bervariasi, atau lonjong berisi cairan pada daerah sub-
kavitas kecil multipel, serta arteriosklero- kortikal, berdiameter 3-20mm, yang dite­
sis nyata. Hal ini berkaitan dengan berbagai mukan pada CT atau MRI. Terkadang pasien
proses patologis, bergantung pada keru- dengan perubahan white matter Binswanger
sakan jaringan iskemik dapat berupa myelin juga mengalami amyloid angiopthy dan CA-
pallor, gliosis, kehilangan akson, destruksi DASIL, yaitu arteri yang berada di subkorti-
serat saraf komplet, hingga pada kasus be- kal dan leptomeningen mengalami peneba-
rat dapat menimbulkan gangguan sawar lan dan mengandung substansi congophilic
darah otak dan endotel. Selain itu terdapat yang mewarnai amiioid.
patologis lain terjadi juga venous collage -
Studi mikroskopik menunjukan adanya
nosis, yaitu penumpukan kolagen pada din-
myelin pallor, suatu area dengan penurunan
ding venula di pembuluh darah vena kecil
mielinisasi yang dikelilingi oleh jaringan
periventrikular. Namun proses ini kurang
normal. Pada abnormalitas white m atter
mendapatkan perhatian jika dibandingkan
yang berat dapat ditemukan nekrosis dan
dengan kaitan arteriosklerosis terhadap
terbentuk kavitas. Selain itu dapat terjadi
small vessel disease.
gliosis, terutama di area yang mengalami
Proses pembentukan WML serta kompleksi- myelin pallor. Dinding dari penetrating ar­
tas fenotipnya dipikirkan terdapat kontribusi teries menebal dan mengalami hialinisasi,
faktor genetik, antara lain perubahan trans- namun oklusi dari arteri kecil sangat jarang
krip RNA pada berbagai gen yang melibatkan ditemukan.
siklus sel, proteolisis, dan apoptosis pada
Gambaran klinik penyakit Binswanger sa­
WML. Hasil studi Genome Wide Association
ngat bervariasi, umumnya berupa gangguan
Study (GWAS) telah diidentifikasi adanya gen
kognitif berupa perlambatan psikomotor,

490
Cerebral Small Vessel Disease

gangguan memori, bahasa, dan visuospa- lakunar. Kerusakan white m atter dipikir-
sial, serta abulia. Selain itu dapat ditemukan kan merupakan bentuk infark yang tidak
gejala pseudobulbar, gangguan piramidal, lengkap atau nekrosis yang selektif. Me­
dan gait. Manifestasi ini umumnya bertahap kanisme yang mendasarinya dipikirkan
dan memburuk dalam periode hari hingga akibat restriksi lumen yang menyebabkan
minggu, kemudian menetap. Adapula yang hipoperfusi kronik white matter, sehingga
bermanifestasi sebagai stroke lakunar akut. menyebabkan degenerasi serabut mielin
akibat kematian oligodendrosit selektif dan
PATOGENESIS KERUSAKAN SEREBRAL berulang. Bentuk iskemik lain adalah infark
Mekanisme CSVD menyebabkan kerusakan lakunar akibat penyumbatan dan oklusi
parenkim otak bermacam-macam dan belum pembuluh darah kecil yang bersifat akut.
sepenuhnya diketahui, namun pada prin- Hal ini menyebabkan iskemik yang bersifat
sipnya CSVD menyebabkan perubahan patolo- fokal dan akut serta nekrosis jaringan kom-
gis pada pembuluh darah otak. Pada arteriol, plet (pannecrosis ). Dapat terlibat juga me­
perubahan meliputi disfungsi otot pembuluh kanisme lain seperti kerusakan sawar darah
darah, lipohialinosis, vascular remodelling, otak, inflamasi subklinik lokal dan apoptosis
dan penumpukan materi fibrotik. Terjadi juga oligodendrosit yang berkontribusi terhadap
penebalan membran basal, pelebaran ruang gambaran patologis akhir dari penyakit ini.
perivasltular (rongga Virchow-Robin), serta
Selain lesi iskemik, CSVD juga dapat me­
gangguan sistem sawar darah otak (SDO) yang
nyebabkan perdarahan. Perdarahan pada
dapat menyebabkan edema. Hal ini menye­
CSVD dapat berupa perdarahan masif mau­
babkan hipoperfusi kronik akibat penurunan
pun perdarahan kecil (microhaemorrhage).
aliran darah otak dan hilangnya respons
Alasan mengapa beberapa pembuluh darah
adaptif seperti autoregulasi dan neurovascu­
yang mengalami ruptur dapat menyebab­
lar coupling, sehingga terjadi gangguan suplai
kan perdarahan masif, sedangkan pembuluh
nutrisi ke otak secara adekuat yang berlanjut
darah lain hanya menyebabkan perdarahan
pada kerusakan jaringan (Gambar 6). Adapun
kecil tidak diketahui. Perbedaan ketebalan
perubahan pada sistem vena dapat berupa ve­
dinding pembuluh darah pada kasus cerebral
nous collagenosis.
amyloid angiopathy (CAA) sebelumnya di­
Perubahan patologis pada pembuluh darah pikirkan menjelaskan hal tersebut, yakni se-
kecil dapat memberikan dampak iskemik makin tebal dinding pembuluh darah dikait-
maupun hemoragik. Bentuk iskemik CSVD kan dengan lebih banyak perdarahan kecil.
antara lain lesi white matter dan infark

491
Buku A jar N eurologi
Kerusakan dinding Ruptur Perdarahen
pembuiuhdarah, pembuluh makroskopis
mikroaneurisma, Jnflamasi da rah dengandestruksi
deposisiamiioid parenkimiuas

Kerusakansawar Perdarahan Lesimikrohipointens


darah-otak mikroskopik pada MRS sekuens echo

Small vessel
Nekrosis kompiet Kavitasipadastruktur
disease
Apoptosis iskemiaakut, fokalfatau pan* atau pada area white
p matter pada MRS
492

oligodendrosit berat, nekrosis} padagray


terlokaiisir atau white matter sekuens Tl-weighted
(contoh infark atau FLAIR {infark
lakunar) lakunar)
X
Infark in kompiet Hiperintensitasdifus
Hiiangnyaselotot Penurunanaliran
J Sskemia kronik, (demielinasi, pada MR) sekuens 72-
polos, restriksi lumen, darahserebral,
Faktor risiko subklims,difus hilangnya weighted (contoh white
penebaian dinding gangguan
oligodendrosit, matter lesion atau
pembuiuhdarah autoregulasi
kerusakanaksonal) leukoaraiosis)
—>

G am bar 6, P atofisiologi Sm all Vessel D isease


Dimodifikasi dari: Pantom L. Lancet Neurol; 2010, h. 6 8 9 -7 0 1 .
Cerebral Small Vessel Disease

T abel 4 . D efinisi d ari Fenotip Sm all Vessel D isease

Fenotip M ekanism e g en etik yang d iketah ui


D eep B rain In farcts
Akut. Infark subkortikal kecil, berdiam eter 3-ZOmm, Berkaitan dengan SNP rs 2 2 0 8 4 5 4 pada kromosom
yang ditemukan pada CT atau MRI, Lesi ini paling 2 0 p l2 . SNP ini berlokasi pada intron 3 dari domain
baik dideteksi dengan sekuens DWI dan tampak MACRO yang mengandung 2 gen (MACROD2] dan
hiperintens. Pada umumnya berlokasi di salah satu pada regio bawah dari gen fibronectin leucine-
daerah perforating arteriole. Gambaran klinis dan rich transmembrane protein-3 (FLRT3). Regio ini
pencitraan menunjukkan bahwa infark terjadi akut terlibat dalam regulasi dari growth fa c to r signaling,
(segera hingga beberapa minggu) angiogenesis serta neurogenesis, dan berkaitan
dengan penurunan risiko infark serebral yang
K ronik ( Lacune ). Kavitas berbentukbulatatau lonjong
digambarkan dengan MRL
berisi cairan pada daerah subkortikal, berdiameter
3-20mm , yang ditemukan pada CT atau MRI. Lesi ini
paling baik dideteksi dengan sekuens FLAIR dan tampak
hipointens, Terkadang tampak pinggiran hiperintens
yang menglilingi, Lesi ini konsisten dengan infark
subkortikal kecil akut sebelumnya atau perdarahan
pada area dari salah satu perforating arteriol.
W hite M atter Lesions
Pada CT scan lesi ini tampak hipodens, namun Berkaitan dengan 6 SNP yang telah teridentifikasi pada
pada MRI sekuens T2-weighted dan FLAIR tampak 1 iolcus kromosom 17q25, yakni WW domain binding
hiperintens, Distribusi lesi pada periventrikular dan protein gene (WBP2), dua tripartite motif-containing
white m atter hemisfer serebri, ganglia basal [deep gray genes (TRIM65 dan TRIM47), the mitochondrial ribosomai
matter), pons, batang otak, dan serebelum. protein L38 gene (MRPL38), the Fas-binding factor 1 gene
(FBI), dan the acyl-coenzyme A oxidase lgene (ACOX1).
Gen tersebut diketahui terlibat dalam banyak proses
biologis, meliputi innate immunity, cell cycle regulation,
vesicular trafficking, neuroproteksi, dan apoptosis.
C erebral M icrobleeds
Small punctuated areas, berdiameter hingga 10mm, tampak Pola deep subcortical m icrobleeds telah dikaitkan
hipointens pada MRI sekuens T2 -weighted, gradient echo dengan faktor risiko vaskular dan risiko terjadinya
atau susceptibility-weighted imaging (SWI). Lesi tersebut white m atter lesions dan deep brain infarcts. Sedangkan
merupakan loimpulan kecil dari makrofag hemosiderin­ pola lobar berhubungan dengan CAA dan AP0-E4
laden yang mengelilingi small perforating vessels. genotype.
MRI: m agnetic resonance imaging; DWI: diffusion weighted imaging; FLAIR: flu id attenuated inversion recovery;
SNP: single nucleotide polymorphisms; WML: white m atter lesions.
Sumber: Rincon F, dkk. Frontiers in Aging Neurosc. 2014. h. 1-8.

GEJALA DAN TANDA KLINIS peningkatan risiko penurunan fungsi kog-


Infark komplet (lacunar syndrome ) atau nitif, demensia, gangguan gait, gangguan
infark inkomplet [WML] struktur subkor­ keseimbangan, serta parkinsonisme pada
tikal pada CSVD menimbulkan manifestasi individu dengan CSVD, walaupun studi
klinis. Infark lakunar multipel dapat ber- prospektifnya masih sedikit.
manifestasi sebagai gangguan fungsi kogni-
WML juga memberikan gambaran klinis yang
tif, gangguan gait, gangguan mood, maupun
bervariasi, mulai dari tidak adanya keluhan,
gangguan motorik. Terdapat bukti adanya

493
Baku Ajar Neurologi

hingga terdapat gangguan fungsi kognitif dan perivascular {Virchow Robbin space), deep
gangguan motorik, termasuk parkinsonisme. hemorrhage {large subcortical hemorrhages
Variasi ini berhubungan dengan luasnya lesi dan microbleeds), dan atrofi otak. Lesi subkor-
serta perbedaan mekanisme kompensasi un- tikal seperti infark lakunar, WMH, dan deep
tuk mencegah penurunan fungsi kognitif dan hemorrhage {large subcortical hemorrhages
motorik. Gambaran MRI pada sekuens fluid dan microbleeds) juga merupakan penanda
attenuated inversion recovery (FLAIR) juga CSVD, namun tidak spesifik. WMH tidak ha­
tidak khas, karena WML dapat atau tanpa nya ditemukan pada CSVD, infark lakunar
disertai bentuk CSVD lain pada MRI, seperti juga dapat menggambarkan embolisme.
infark lakunar dan cerebral microbleed .
Hal yang penting diperhatikan adalah CSVD ti­
D IA G N O SIS DAN D IA G N O SIS BA N D IN G dak hanya memilild gambaran iskemik, namun
Kerusakan parenkim otak pada CSVD hanya juga dapat memberikan gambaran perdarahan
dapat diidentifikasi dengan CT scan atau berupa macrolesions [large sub-cortical hemor­
MRI, sehingga diagnosisnya sangat bergan- rhages) dan microlesions {microbleeds), Seba-
tung pada temuan pencitraan (Tab el 4 dan gian besar perdarahan dapat dideteksi dengan
Gambar 7). Wardlaw dkk mengidentifikasi pencitraan konvensional termasuk CT scan, mi­
beberapa temuan, seperti infark lakunar, crobleeds membutuhkan MRI dengan sekuens
white matter hyperintensities (WMH) atau khusus yakni gradient echo atau susceptibility-
white matter lesions (WML), dilatasi ruang weighted imaging (SWI).

(A) (B) CC]

Gambar 7. [A) FLAIR Sequence Menggambarkan Dense White Matter Hyperintensities dan; [B) Menggam­
barkan Stroke Lakunar; (C) Cerebral Microbleeds
Sumber: Barkhof F, dkk. Radiology Assistant [serial online].

494
Cerebral Small Vessel Disease

T abel 5. S kala Fazekas


Periventricular White Matter (PVWM) Deep White Matter (DWM)
0 tidak ada gambaran hiperintens 0 tidak ada gambaran hiperintens
1 gambaran hiperintens kecil-kecil 1 gambaran hiperintens yang kecil-kecil dan multipel
2 gambaran hiperintens berbentuk awan di 2 Gambaran hiperintens yang mulai menyatu satu
sekitar ventrikel dengan lainnya
3 gambaran hiperintens ireguiar/regular 3 Gambaran hiperintens besar yang merupakan pe-
mengelilingi periventrikular hingga deep nyatuan dari beberapa lesi kecil
white matter

Terdapat klasifikasi yang digunakan secara cil. Namun dalam praktek sehari-hari hanya
luas untuk mendeskripsikan beratnya WML, digunakan klasifikasi ringan (mild], sedang
yaitu Fazekas Scale yang pertama kali dike- (moderate], dan berat (severe]. Skala Fazekas
mukakan oleh Fazekas dkk (1987). Skor ini membagi white matter menjadi 2 regio, yaitu
menilai secara kuantitatif jumlah white mat­ periventrikular dan deep white matter, dan
ter hyperintense lesions pada MRI sekuens tiap regio dibagi menjadi beberapa kelas ber-
T2/FLAIR yang timbul akibat iskemia kronik dasarkan ukuran dan confluence [penggabun-
terutama oleh gangguan pembuluh darah ke- gan) dari lesi (Tabel 5 dan Gambar 8).

G am bar 8. Skala Fazekaz B e rd asark an G am baran MRI Sekuens FLAIR


Sumber: BarkhofF, dkk. Radiology Assistant [serial online].

495
Buku Ajar Neurologi

TATA LAKSAN A sekunder. Kumpulan data analisis menun-


Manifestasi CSVD sangat spesifik berhubung- jukkan bahwa penurunan TD jangka pan-
an pembuluh darah kecil yang ada di otak, jang menurunkan kejadian stroke hingga
sehingga memungkinkan pencegahan faktor 28% . Uji klinis multisenter Secondary Pre­
risiko untuk menekan disabilitas dan mor- vention o f Small Subcortical Strokes (SPS3)
talitas di kemudian hari. menunjukkan pada kelompok dengan TD
sistolik <130mmHg, terdapat penurunan
T r o m b o lis is
stroke berulang sebanyak 19% dan penu­
Tissue plasminogen activator (t-PA) intra-
runan kejadian perdarahan intrakranial
vena (IV] telah menjadi standar terapi pada
sebesar 63% . Studi Perindopril Protection
stroke iskemik akut dengan time window
against Reccurent Stroke Study (PROGRESS)
0-3 jam (Amerika dan Eropa] dan 0-6 jam
juga menunjukkan bahwa penurunan TD
(Asia). Namun hal ini bukan merupakan
yang intensif dapat menunda progresivi-
pi-Iihan utama pada infark lakunar dan
tas WML pada pasien stroke. Oleh karena
hingga kini efikasi maupun keamanannya
itu, perlu dilakukan penurunan TD sisto­
masih dalam perdebatan. Berdasarkan Na­
lik kurang dari 130mmHg. Namun belum
tional Institute o f Neurological Disorders and
diketahui efek jangka panjang penurunan
Stroke (NINDS) dan penelitan lainnya, luar-
tekanan darah, terutama pada pasien usia
an terapi t-PA pada stroke lakunar tidak le-
lanjut dengan CSVD luas.
bih buruk dibandingkan dengan stroke non-
lakunar. Akan tetapi penelitian Shoba dkk Studi kohort oleh Muller dkk menunjukkan
terhadap 195 pasien dengan infark lakunar, penurunan TD diastolik berkaitan dengan
diperoleh luaran trombolisis yang lebih baik penurunan volume gray matter dan gang-
diban-dingkan plasebo ( modified Rankin guan kognitif pada subjek usia lanjut dengan
Scale 0-2; RR 1,84; IK95%, 1,59-2,13). Oleh riwayat hipertensi dibandingkan subjek
sebab itu, beberapa pedoman terbaru ti­ dengan usia pertengahan. Hal ini dikaitkan
dak membedakan efikasi t-PA menurut tipe dengan kegagalan perfusi serebral akibat
stroke. Terkait keamanan, studi bleeding penurunan mekanisme autoregulasi pada
risk analysis in stroke imaging before throm­ pasien dengan hipertensi jangka panjang.
bolysis (BRASIL) melakukan analisis pen- Dengan demikian, meskipun pada pedoman
citraan pada 570 pasien stroke iskemik akut yang ada direkomendasikan penurunan TD
onset 6 jam yang memperoleh t-PA IV meng- sistolik hingga <130mmHg, namun mana-
gunakan MRI sekuens T2. Tidak didapatkan jemen TD harus lebih diperhatikan pada
peningkatan risiko perdarahan intrakranial pasien usia lanjut, riwayat hipertensi lama,
terkait CMB yang bermakna, namun risiko WML luas, dan gangguan fungsi kognitif.
ini tidak melebihi manfaat yang diterima.
Dislipidemia, terutama peningkatan kadar
P e n g e n d a lia n f a k t o r r is ik o low-density lipoprotein (LDL), memegang pe-
Hipertensi merupakan faktor risiko stroke ranan penting dalam pembentukan ateroskle-
terpenting sehingga penurunan tekanan da­ rosis. Studi Stroke Prevention by Aggressive
rah (TD) bermanfaat untuk prevensi stroke Reduction in Cholesterol Levels (SPARCL)

496
Cerebral Small Vessel Disease

menunjukkan bahwa pasien yang mendapat nifikan, bahkan meningkatkan risiko perda-
atorvastatin mengalami penurunan kejadian rahan dan kematian, Oleh karena itu, kom-
stroke dan penyakit jantung koroner secara binasi klopidogrel dan aspirin tidak boleh
signifikan, namun peningkatan sedikit tetapi diberikan, kecuali dengan indikasi spesifik
signifikan menyebabkan stroke hemoragik. lainnya, sehingga perhatian selanjutnya ditu-
Oleh karena pasien CSVD lebih jarang disertai jukan pada cilostazol dan trifusal.
aterosklerosis pembuluh darah besar, namun
Dari hasil studi pada hewan coba dan ma-
lebih berisiko tinggi mengalami perdarahan,
nusia, didapatkan bahwa cilostazol menye­
sehingga pemberian statin pada infark laku-
babkan komplikasi perdarahan yang lebih
nar masih dipertanyakan. Analisis post-hoc
rendah dibandingkan aspirin, ditandai den­
studi SPARCL pada 1409 pasien infark lakunar
gan pemanjangan bleeding time pada as­
menunjukkan efikasi yang sama pada grup
pirin atau klopidogrel. Sebagai tambahan,
dengan infark lakunar dibandingkan grup
pemanjangan bleeding time juga tidak ter-
yang lain, Studi Regression o f Cerebral Artery
jadi meskipun cilostazol diberikan bersa-
Stenosis (ROCAS) menunjukkan bahwa peng-
maan dengan aspirin atau klopidogrel pada
gunaan statin berhubungan dengan penu­
pasien dengan penyakit arteri perifer. Cilos­
runan progresivitas WML.
tazol juga memiliki efek protektif terhadap
Pada sub-studi Vitamins to Prevent Stroke endotel dan mencegah gangguan SDO pada
(VITATOPS)-MRI, penurunan kadar homo- pasien stroke iskemik. Studi terhadap mu-
sistein dengan vitamin B dikaitkan dengan rin menunjukkan bahwa cilostazol melin-
penurunan peningkatan volume WMH pada dungi mikrovaskulatur otak yang iskemia
pasien dengan CSVD yang berat. Sebagai dengan menurunkan aktivitas matrix me-
tambahan, vitamin E tocotrienols diketa- talloprotease-9 (MMP-9}. Analisis subgroup
hui dapat menghambat progresifitas WMH studi Cilostazol fo r Prevention o f Secondary
pada subjek sehat dengan WMH. Stroke juga menunjukkan bahwa ciloztazol
lebih aman secara bermakna dibandingkan
Antiplatelet
aspirin terkait risiko stroke hemoragik pada
Antiplatelet secara umum digunakan pada
pasien hipertensi dengan stroke lakunar. Ci­
stroke nonkardioembolik. Walaupun studi
lostazol dilaporkan dapat menurunkan high
yang berfokus pada infark lakunar sangat ja­
pulsatile pressure pada pembuluh darah ke-
rang, manfaat dari beberapa antiplatelet di-
cil akibat kekakukan arteri, yang berkontri-
pertimbangkan serupa antara infark lakunar
busi dalam patogenesis WMH.
dengan yang nonlakunar. Satu-satunya studi
yang berfokus pada infark lakunar, yakni stu­ Trifusal memiliki efek yang sama dengan as­
di Secondary Prevention o f Small Subcortical pirin namun dengan komplikasi perdarahan
Strokes (SPS3] yang melibatkan 3020 pasien lebih kecil, sehingga dapat digunakan pada
dari Amerika Utara, Amerika Selatan, dan pasien dengan risiko perdarahan seperti
Spanyol. Pada studi ini disimpulkan bahwa CMB multipel pada CSVD. Hingga kini masih
pada infark lakunar, klopidogrel, dan aspirin diperlukan studi lebih lanjut untuk menemu-
tidak menurunkan risiko stroke secara sig­ kan antiplatelet yang sesuai pada CSVD.

497
Baku Ajar Neurologi

D A FT A R P U ST A K A 8. Biffi A, Greenberg SM. Cerebral amyloid angiopa­


thy: a systemic review. J Clin Neurol. 2 0 1 1 ;7 (l):l-9 .
1. Heiss WD. Imaging the penumbra: pathophysi­
9. Yamada M. Cerebral amyloid angiopathy and gene
ology of ischemic stroke in man. Cologne: Max
polymorphisms. J Neurol Sci. 2 0 0 4 ;2 2 6 (l-2 ):4 1 -4 .
Planck Institute; 2012.
10. Caplan LR, Gomes JA. Binswanger d isease-an
2. Pantoni L. Cerebral small vessel disease: from
update. ] Neurol Sci. 2 0 1 0 ;2 9 9 (l-2 ):9 -1 0 .
pathogenesis and clinical characteristics to thera­
11. De Silva TM, Miller AA. Cerebral small vessel disease:
peutic challenges. Lancet Neurol. 2 0 1 0 ;9 [7 ):6 8 9 -
targeting oxidative stress as a novel therapeutic
701.
strategy? Front Pharmacol. 2016;7(61):1-18.
3. Ayata C. Experimental insights from animal
12. Gaillard F. Fazekas scale for white matter lesions.
models. Stroke. 2 0 1 0 ;41(su p p ll):S 129-34.
Radiopaedia.org [serial online], [diunduh 27 De-
4. Issac TG, Chandra SR, Christopher R, Rajeswaran
sem ber 2016]. Tersedia dari: Radiopedia.
j, Philip M. Cerebral small vessel disease clinical,
13. Mok V, Kim JS. Prevention and management of cere­
neuropsychological and radiological phenotypes,
bral small vessel disease.] Stroke. 2 0 1 5 ;1 7 (2 ):lll-2 2 .
histopathological correlates, and described gen­
14. Von sattel JP, Myers RH, Hedley-Whyte ET,
otypes: a review. J Geriatrics. 2 0 1 5 ;5 6 4 8 7 0 :1 -1 1 .
Ropper AH, Bird ED, Richardson EP Jr. Cerebral
5. van Norden AGW, de Laat KF, Gons RAR, van Uden
amyloid angiopathy without and with cerebral
IWM, van Dijk EJ, van Oudheusden LJB. Causes
hemorrhages: a comparative histological study.
and consequences of cerebral small vessel dis­
Ann Neurol. 1 9 9 1 ;3 0 (5 ):6 3 7 -4 9 .
ease. The RUN DMC study: a prospective cohort
15. Knudsen KA dkk. Clinical diagnosis of cerebral
study. Study rationale and protocol. BMC Neurol.
amyloid angiopathy: validation of the boston
2011;11:29.
criteria. Neurol. 2 0 0 1 ;5 6 :5 3 7 -9 .
6. Rincon F, Wright CB. Current pathophysiological
16. Barkhof F, Hazewinkel M, Binnewijzend M,
concepts in cerebral small vessel disease. Fron­
Smithuis R. Dementia: the role of MR1. Radiology
tiers in Aging Neurosc. 2 0 1 4 ;6 (2 4 ):l-8 .
Assistant [serial online], [diunduh tanggal 14 Feb-
7. Wardlaw JM, Smith C, Dichgans M. Mechanisms
ruari 2017]. Tersedia dari: Radiology Assistant.
underlying sporadic cerebral small vessel dis­
ease: insights from neuroimaging. Lancet Neurol.
2013 ;1 2(5): 1-2 7.

498
TEOM BOSIS VENA SEEEBRAL

Mohammad Kurniawan, Salim Harris, Al Rasyid,


Taufik Mesiano, Rakhmad Hidayat

PENDAHULUAN dapat mengakibatkan koma dan kematian.


Trombosis vena serebral merupakan salah Angka kematian pada tahun tersebut dapat
satu bentuk penyakit serebrovaskular yang mencapai 60%.
jarang terjadi, namun memiliki potensi mor-
Diagnosis trombosis vena serebral biasanya
biditas yang tinggi. Trombosis ini dapat ter­
ditegakkan saat otopsi dengan adanya gam-
jadi pada vena dan sinus dura utama di otak.
baran infark hemoragik. Perdarahan ini meng­
Insidensnya adalah 0,5-3% dari seluruh kasus
akibatkan kontraindikasi pemberian heparin
stroke dan dapat terjadi pada seluruh kelom-
pada masa tersebut Pada 1967, Hugo Kra-
pok usia, termasuk neonatus.
yenbuhl, seorang profesor bedah saraf di Uni­
Observasi dan deskripsi kasus trombosis versity of Zurich, Swiss, adalah orang pertama
vena serebral pertama kali dilaporkan yang menggunakan antikoagulan heparin
oleh MF Ribes pada tahun 1825. Ribes dalam tata laksana trombosis vena serebral.
mengemukakan kasus seorang laki-laki Dalam publikasinya dia mengemukakan bah-
berusia 45 tahun dengan keluhan nyeri wa kombinasi antibiotik dan antikoagulan
kepala yang berkepanjangan, sehingga dapat memberikan hasil optimal. Tidak ada
mengakibatkan kesedihan dan melanko- bukti bahwa perdarahan serebral lebih sering
lia. Keluhan ini diikuti dengan munculnya dan lebih berat pada kasus yang mendapatkan
bangkitan kejang berulang yang semakin antikoagulan.
sering, kemudian pasien mengalami deli-
Dengan perkembangan ilmu dan teknologi
rum sebelum akhirnya meninggal dunia.
medis yang pesat, saat ini berbagai penyebab
Basil otopsi postmortem menunjukkan
trombosis vena serebral lainnya dapat
adanya gumpalan darah di sinus sagitalis
diketahui. Mekanisme trombosis di vena
superior dan sinus lateralis kiri, serta in-
dan sistem sinus telah dapat dideskripsikan
fark di hemisfer kanan.
lebih jelas melalui teknik angiografi serebral,
Hingga awal 1980-an, trombosis vena se­ CT scan, dan MRI, sehingga diagnosis dapat
rebral digambarkan sebagai suatu kondisi ditegakkan lebih cepattanpa perlu menunggu
yang langka. Kondisi ini biasanya terjadi otopsi. Penelitian dalam manajemen terapi
akibat trombosis septik di sinus sagitalis juga menunjukkan hasil yang positif yang
superior dengan gejala klinis stereotipik kesemuanya menyebabkan penurunan angka
berupa nyeri kepala, defisit fokal neurolo- kematian secara drastis, hingga mencapai
gis, kejang, penurunan kesadaran, hingga <5% setelah tahun 2000.

499
Buku Ajar Neurologi

E P ID E M IO L O G I 100.000 penduduk, sedangkan di Australia


Insidens trombosis vena serebral tidak di- sebesar 1,57 per 100.000 penduduk. Pada
ketahui dengan pasti. Secara umum, trom­ anak, insidens trombosis vena serebri sebesar
bosis vena serebral dianggap sebagai salah 0,67 per 100.000 penduduk, sementara pada
satu penyebab stroke yang jarang terjadi, neonatus 1,4-12 per 100.000 penduduk.
dengan perbandingan 1:62,5 dibanding-
Pada penelitian multisenter, International
kan stroke arteri. Pada studi single center
Study on Cerebral Venous Trombosis (ISCVT)
di Indonesia (2015) ditemukan prevalensi
pada 1998-2001, didapatkan rerata usia
sebesar 1,28% .
penderita trombosis vena serebri 39,1 ta-
Daif di Saudi Arabia (1995) melaporkan hun, yang mayoritas (74% ) perempuan,
frekuensi trombosis vena serebral sebesar yaitu 17% pada masa kehamilan dan nifas,
7 kasus per 100,000 pasien di RS. Coutinho serta 47% berhubungan dengan penggu-
dkk dalam studi potong lintang Dutch se­ naan kontrasepsi.
ries (2012) mendapatkan insidens 1,32 per

Gambar 1. Vena Superfisial Otak

500
Trombosis Vena Serebral

P A T O FISIO L O G I berperan dalam fisiologi cairan serebrospi-


Dalam memahami patofisiologi trombosis nal, sehingga sinus dura juga berperan dalam
vena serebral, penting untuk lebih dulu me­ drainase cairan serebrospinal.
mahami anatomi sistem sinus duramater
Secara klasik, sinus dura dibagi menjadi 2
dan vena di otak. Pembuluh darah vena di
kelompok, yakni sinus posterior superior
otak terdiri atas vena superfisial dan pro­
(P-S) dan sinus anterior inferior (A-I). Sinus
funda [deep veins). Terdapat 10-20 vena
P-S mencakup sinus sagitalis superior (SSS),
superfisial yang mengumpulkan darah dari
sinus sagitalis inferior (SSI), sinus lateral/
vena-vena pial yang menutupi permukaan
transversus (SL), straight sinus, dan sinus
hemisfer serebri dan saling beranastomosis
oksipital. Kelompok A-I mencakup sinus pe-
satu sama lain. Di antara vena superfisial, yang
trosalis superior dan inferior serta sinus ka-
terbesar adalah vena Rolandik atau vena sen-
vernous. SSS menjadi drainase bagi seluruh
tralis yang berlokasi di dekat sulkus sentralis,
korteks serebri. Sinus transversus dan sinus
vena Trolard (greater anastomotic vein), dan
menjadi drainase bagi serebelum, batang
superficial middle cerebral vein. Vena superfi­
otak dan bagian posterior hemisfer otak
sial memiliki anastomosis yang amat banyak,
(Gambar 2 dan Tabel 1}.
sehingga oklusi seringkali sulit didiagno­
sis. Sistem vena superfisial akan mengalami Vena dan sinus di otak dapat mengalami ke-
drainase ke sinus sagitalis superior dan sinus lainan akibat trauma kepala maupun pada
lateral (Gambar 1). kasus yang lebih jarang, akibat trombosis.
Pada penelitian kohort International Study
Vena profunda mengalirkan darah dari struk-
on Cerebral Vein and Dural Sinus Trombosis
tur subkortikal telensefalon dan diensefalon.
(ISCVT), penyebab trombosis pada pasien
Vena profunda utama di otak, antara lain
sebagian besar adalah kondisi trombofilia
adalah vena insula dan vena striata, vena
(34% ), seperti defisiensi antitrombin, sin-
subependim, vena medularis, dan vena basal
drom antifosfolipid dan hiperhomosistein-
Rosenthal. Seluruh vena profunda ini akan di-
emia. Faktor risiko lainnya dapat berupa
drainase menuju vena serebri magna Galen.
kehamilan dan nifas, kontrasepsi hormonal,
Sinus dura (sinus serebri atau sinus krania- infeksi lokal (otitis, mastoiditis, sinusitis,
lis) adalah struktur berupa saluran di antara dan meningitis) maupun infeksi sistemik,
lapisan duramater dalam otak. Dinding dari penyakit inflamasi kronik seperti vaskuli-
sinus dura dibentuk dari duramater yang tis, keganasan, dan gangguan darah (seperti
memiliki endotel seperti pembuluh darah. polisitemia). Meskipun jarang, trombosis
Namun berbeda dengan struktur pembuluh vena serebral dapat pula disebabkan oleh
darah, sinus dura tidak memiliki tunika me­ kanulasi vena jugularis, prosedur bedah
dia dan tidak memiliki katup seperti halnya saraf, maupun lumbal pungsi. Pada >85%
pembuluh vena. Di dalam sinus dura ter­ kasus trombosis vena otak, dapat ditemu-
dapat granulasio araknoid Pacchioni yang kan salah satu dari faktor risiko di atas.

501
Buku Ajar Neurologi

Tabel 1. Nama Sinus dan Drainasenya


Nama Sin us D rainase
Sinus sagitalis inferior Straight sinus
Sinus sagitalis superior Menjadi sinus transversus kanan atau sinus konfluens
Straight sinus Menjadi sinus transversus kiri atau sinus konfluens
Sinus oksipital Sinus konfluens
Sinus Iconflue ns Sinus transversus kiri dan kanan
Sinus sfenoparietal Sinus kavemosus
Sinus kavernosis Sinus petrosalis superior dan inferior
Sinus petrosalis superior Sinus transversus
Sinus transversus/lateral Sinus sigmoid
Sinus petrosalis inferior Vena jugularis inferior
Sinus sigmoid Vena jumilaris inferior_______________________________
S u m b e n C a p ra N, K a p p J. C e r e b r a l b lo o d flo w : p h y s io lo g ic a n d c lin ic a l a s p e c ts . 1 9 8 7 . h. 3 7 - 5 8 .

502
Trombosis Vena Serebral

Tabel 2. Faktor Risiko Trombosis Vena Serebral berakumulasi menjadi perdarahan besar di
Trombofilia___________________________________ parenkim.
Defisiensi antitrombin, protein C, dan protein S
Mutasi faktor V Leiden Mekanisme kedua terjadi akibat obstruksi
Mutasi gen protrombin 20210 pada sinus serebri yang mengakibatkan
Antibodi antifosfolipid berkurangnya absorpsi cairan serebrospinal.
Hiperomosistenemia
Pada kondisi normal cairan serebrospinal
Yang berkaitan dengan kesehatan wanita
Kehamilan akan diabsorpsi oleh granulasio araknoid dan
Status pascamelahirkan mengalami drainase menuju sinus sagitalis
Kontrasepsi hormonal dan terapi pengganti superior sebelum akhirnya dialirkan ke vena
Infeksi
jugularis interna. Trombosis vena akan meng­
Infeksi terlokalisasi seperti otitis, mastoiditis,
sinusitis
akibatkan peningkatan tekanan vena dan
Meningitis gangguan absorpsi cairan serebrospinal se­
Kelainan infeksi sistemik hingga terjadi peninggian tekanan intrakrani-
Penyakit Inflamasi Kronik al. Peningkatan ini akan maldn memperburuk
Vaskulitis
tingginya tekanan di vena, venula, dan kapiler,
Inflammatory bowel disease
Kanker sehingga terjadi perdarahan parenkim, edema
Kelainan Hematologi vasogenik, dan edema sitotoksik
Polisitemia
Trombositosis esensial Dalam hal lokasi trombosis, studi ISCVT
Hemoglobinuria paroksimal nokturnal mendapatkan bahwa sinus transversus
Cedera yang tersering (86% } diikuti sinus sagitalis
Cedera kepala superior (62% }, straight sinus (18% ), vena
Cedera lokal pada sinus atau vena serebral
Kanulasi vena jugular
kortikal (superfisial) sebesar 17%, vena
Prosedur bedah saraf jugularis (12% ), vena serebri magna Galen
Pungsi lumbal dan vena internal (profunda) sebesar 11%.
Sindrom nefrotik______________________________
Sumber: Piazza G. Circulation. 2012. h. 1704-9.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Sumbatan pada sinus dan vena di otak akan Gejala klinis trombosis vena serebri amat ber-
mengakibatkan gejala klinis melalui be- variasi, dengan onset yang dapat bersifat akut,
berapa mekanisme (Gambar 3). Terjadinya subakut, atau kronik. Pada 30% kasus, gejala
sumbatan atau okiusi pada vena akan meng­ bersifat akut dan umumnya hilang dalam 48
akibatkan peningkatan tekanan vena dan jam. Pada 50% kasus, gejala bersifat subakut
kapiler. Peningkatan tekanan vena yang ma- (dapat muncul dalam 30 hari) dan sisanya
kin bertambah akan menurunkan perfusi pada 20% kasus gejala bersifat kronik (dira-
serebral, sehingga terjadi iskemia dan edema sakan antara 30 hari hingga 6 bulan).
sitotoksik. Selain itu, terjadi kerusakan sawar
Berdasarkan lokasi dan luas trombosis yang
darah otak yang mengakibatkan edema va-
terjadi, terdapat 4 gejala utama yang dapat sa-
sogenik. Aldbat tekanan yang maldn meningkat,
ling tumpang tindih atau berdiri sendiri-sendiri,
akhimya terjadi ruptur vena dan kapiler; me-
yaitu: gejala hipertensi intrakranial, defisit fokal
nyebabkan perdarahan petekial yang dapat
neurologis, kejang, dan ensefalopati (Gambar 4).

503
B aku A jar N eurologi
504

Gambar 3. Patofisiologi Trombosis Vena Serebral


Dimodiftkasi dari: Stam J. N Engl J Med. 2005.h. 1791-8.
Trombosis Vena Serebral

Gambar 4. Gejala Utama Trom bosis Vena Serebral Berdasarkan Lokasi

Gejala dan tanda hipertensi intrakranial dapat sisi. Meskipun amat jarang, dapat dijumpai
berupa nyeri kepala, papiledema, dan gang- gejala nyeri kepala thunderclap, seperti pada
guan penglihatan, Nyeri kepala merupakan perdarahan subaraknoid. Nyeri kepala yang
gejala trombosis vena serebri yang paling disebabkan trombosis vena serebri seringkali
sering dikeluhkan, Hal ini berbeda dengan keliru didiagnosis sebagai migren.
stroke arterial yang umumnya tidak disertai
Gejala neurologis fokal yang paling sering
nyeri kepala. Lebih dari 90% pasien trombosis muncul adalah defisit motorik [>40% ) dan
vena serebral memiliki keluhan nyeri kepala, kejang, termasuk kejang fokal dan kejang
dan lebih dari 60% kasus bersifat subakut. umum (30-40% ). Kejang umumnya dijumpai
Nyeri kepala dapat merupakan satu-satunya pada trombosis di sinus sagitalis dan vena
gejala pada pasien, tanpa disertai defisit fokal kortikal. Frekuensi kejang pada trombosis
neurologis maupun papilledema. Hal ini ter- vena jauh lebih sering dibandingkan pada
jadi pada 25% -40% pasien. Nyeri ini terjadi stroke arterial. Oleh karena itu, adanya de­
akibat distensi dinding vena, inflamasi lokal fisit neurologis akut disertai kejang, harus
atau akibat leakage darah pada permukaan dipikirkan sebagai trombosis vena serebri.
otak yang mengiritasi area sensitif nyeri di du- Gejala ensefalopati seringkali terjadi pada
ramater, Karakteristik nyeri umumnya bersi­ pasien usia lanjut, trombosis di straight si­
fat difiis, namun dapat juga bersifat unilateral nus, serta pada trombosis berat yang diser­
atau terlokalisir. Nyeri kepala dapat diperberat tai edema serebri, infark luas, dan perdarah­
dengan manuver Valsalva atau perubahan po- an parenkim.

505
Baku Ajar Neurologi

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING Pemeriksaan skrining kondisi trombofilia


Mengingat gejala Minis yang amat bervariasi, mencakup evaluasi mutasi faktor V Leiden,
diagnosis banding trombosis vena serebri cu- mutasi gen protrombin 20210, antikoagu­
kup banyak, antara lain stroke iskemik dan lan lupus, antibodi antikardiolipin, hiper-
hemoragik, pseudotumor serebri, tumor in- homosisteinemia, serta defisiensi protein
trakranial, status epileptikus, dan abses in- C, protein S, dan antitrombin. Kadar Pro­
trakranial. Untuk mencari etiologi, menying- tein C, protein S, dan antitrombin yang
kirkan diagnosis banding, dan memastikan abnormal juga dapat dijumpai pada trom­
diagnosis trombosis vena serebral, diperlukan bosis akut, penggunaan antikoagulan, kon-
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan trasepsi oral maupun kehamilan.
laboratorium dan pencitraan.
P em eriksaan Pencitraan
Pemeriksaan Laboratorium Pencitraan yang menjadi pilihan pada
Kadar D-dimer dalam darah merupakan pe- pasien kecurigaan trom bosis vena sere­
nanda terjadinya proses trombosis. Meski- bral adalah com puted tom ography (CT)
pun demikian, hasil D-dimer yang normal scan, m agnetic resonance im aging (MRI),
tidak dap at digunakan untuk mengeksklusi CT venografi, dan magnetic resonance (MR)
kemungkinan diagnosis trombosis vena se­ venografi. Selain itu, saat ini tengah berkem-
rebral. Dalam beberapa studi D-dimer pada bang pemeriksaan non-invasif menggunakan
kasus trombosis vena serebral, didapatkan ultrasonografi. Prosedur digital subtraction
bahwa pemeriksaan D-dimer memiliki ang- angiography (DSA) merupakan pemerik­
ka positif palsu sebesar 9% dan angka nega- saan baku emas, namun bersifat invasif,
tif palsu 24% . sehingga baru dikerjakan bila hasil pem e­
Mengingat tingginya insidens trombofilia riksaan MR venografi atau CT venografi
pada pasien trombosis vena serebral, maka belum konklusif, atau jika tindakan en-
kondisi ini harus didiagnosis awal. Trombo­ dovaskular dipertimbangkan untuk di­
filia adalah kondisi dimana terdapat kecen- kerjakan.
derungan untuk terjadi trombosis. Kelainan 1. CT Scan
ini ditandai oleh abnormalitas molekular
Pemeriksaan CT scan dengan atau tanpa
atau hemostasis yang menjadi predisposisi
kontras merupakan pencitraan yang pa­
terjadinya tromboemboli. Trombofilia dapat
ling banyak tersedia di fasilitas kesehat-
bersifat herediter akibat defisiensi antitrom-
an dan paling banyak dikerjakan pada
bin, atau defisiensi protein C atau S. Trombo­
kasus neurologi akut, termasuk pasien
filia yang didapat {acquired thrombophilia )
yang dicurigai trombosis vena serebri.
umumnya berhubungan dengan sindrom an-
Pemeriksaan CT scan dapat membantu
tifosfolipid dan adanya antikoagulan lupus.
untuk menyingkirkan beberapa kondisi
Pada beberapa kasus, tidak ditemukan ada­
yang menyerupai trombosis vena serebri.
nya kelainan molekular maupun hemostasis,
namun sering terjadi episode trombosis beru- Gambaran CT scan trombosis vena sere­
lang, yang disebut sebagai trombofilia Minis. bri yang paling banyak dijumpai adalah

506
Trombosis Vena Serebral

area hiperdens umum atau terlokalisir di serebri pada CT scan yakni string sign,
sekitar dalam area hipodens yang menun- dense triangle sign, dan empty delta sign.
jukkan gambaran infark hemoragik di String sign atau cord sign (Gambar 5)
area otak yang tidak khas untuk stroke merupakan gambaran hiperdens me-
arterial. Selain itu dapat dijumpai pula manjang pada CT scan tanpa kontras,
gambaran perdarahan subaraknoid ald- ditemukan pada 25% kasus. Gamba­
bat adanya ektravasasi atau ruptur darah ran ini terjadi akibat adanya trombosis
dari vena tnenuju ruang subaraknoid. pada vena kortikal. Namun dapat dite­
mukan pada kondisi slowflow, sehingga
Sensitivitas CT scan tanpa kontras dalam
tanda ini merupakan tanda yang non-
mendiagnosis trombosis vena serebri cu-
spesifik.
kup rendah, sekitar 25-56%. Mesldpun
demikian, ditemukannya gambaran direct Dense triangle sign (Gambar 6) ditemu­
sign [visualisasi trombus dalam pembuluh kan pada 2% dari seluruh kasus trom­
darah) atau indirect sign (kerusakan pa- bosis vena serebral, dan 60% ditemu­
renk' otak akibat iskemia atau gangguan kan pada 2 minggu pertama. Tanda ini
aliran vena) akan membantu meningkat- terjadi akibat opasifikasi spontan pada
kan spesifisitas diagnosis. SSS akibat proses koaguiasi darah yang
a. Direct sign baru terjadi.
Terdapat 3 direct sign trombosis vena

Gambar 5. Cord Sign yang Menggambarltan Gambar 6 . D ense T rian gle Sign
Trombus pada Sinus Transversus Sumber:Simons B, dkk. Radiology Assistant
Sumber: Simons B, dkk. Radiology Assistant [serial online].
[serial online].

507
Buku Ajar Neurologi

Gambar 7. Delta Sign


Sumber: Sumber: Simons B, dkk. Radiology Assistant [serial online].

Empty delta atau empty triangle sign dapat pula dijumpai erosi struktur telinga
(Gambar 7), dapat dijumpai pada CT scan tengah dan perubahan regio mastoid pada
dengan kontras, sebanyak 10-35% kasus. trombosis septik sinus lateralis (Gambar 9).
Gejala ini terjadi akibat adanya defek
2 . M R I, M R V e n o g r a fi, d a n C T V e n o g r a fi
pengisian kontras intraluminal di bagian
Gambaran MRI trombosis venaserebrijuga
posterior SSS. Pada CT scan , tampak pe-
bervariasi, bergantung pada usia trombus,
nyangatan dinding sinus yang mengel-
bisa normal pada lebih dari 30% pasien.
ilingi area hipodens (gambaran clot)
Sekuens T2 merupakan sekuens terpen-
dalam lumen.
ting pada trombosis fase akut, karena gam­
b. Indirect sign baran pada sekuens lain kurang jelas. Pada
Tanda ini lebih sering ditemukan pada CT fase akut, seltuens T1 menunjukkan gam­
scan dibandingkan direct sign. Meskipun baran isointens, dan gambaran hipointens
tidak spesifik, jika dijumpai adanya indirect pada sekuens T2. Pada fase subakut, trom­
sign maka pemeriksaan venografi perlu di- bus akan terlihat hiperintens pada seltuens
pertimbangkan untuk memastikan diagno­ T1 dan T2. Pada tahap kronik, trombus
sis. Gambarannya antara lain berupa edema kurang jelas terlihat, namun dapat tervi-
serebri, ukuran ventrikel yang mengecil, sualisasi sebagai gambaran heterogen de­
hidrosefalus, penyangatan pada folks atau ngan intensitas yang bervariasi tergantung
tentorium (Gambar 8), serta infark vena jaringan otak sekitarnya.
dengan atau tanpa perdarahan. Selain itu,

508
Trombosis Vena Serebral

Gambar 8 . Penyangatan Falx pada CT Scan Tanpa Kontras


Sumber: Simons B, dkk. Radiology Assistant [serial online].

Gambar 9. CT Scan Tanpa Kontras Menunjukkan Perubahan Erosif pada Telinga Tengah dan M astoid Air
Cells pada Trombosis Sinus Lateral

509
Baku Ajar Neurologi

Pada sekuens T2, dapat ditemukan ede­ dapat membantu menegakkan diagnosis
ma di talamus pada kasus oklusi vena dan membantu follow-up pasien dengan
profunda. Tanda ini merupakan meru- trombosis vena serebral. Namun demikian,
pakan tanda bahaya, mengingat pasien pemerilcsaan ini relatif baru dengan sensi-
dapat memburuk hingga koma. Sekuens tivitas dan spesifisitas yang tidak terlalu
T2 juga sensitif untuk menentukan karak- tinggi. Pada fase akut, oklusi pada sinus
teristik perdarahan parenldmal. dapat didiagnosis dengan menggunakan
transcranial color-coded duplex sonography
Pada trombosis SSS dapat dijumpai perda­
(TCCD). Selain itu, TCCD dan juga Doppler
rahan lobar berbentuk flame-shaped, irre-
transkranial/transcranial Doppler (TCD}
guler, di daerah frontal parasagital dan
dapat membantu mengevaluasi sistem dan
lobus parietal. Pada trombosis sinus trans-
aliran kolateral vena otak.
versus lesi hemoragik dapat ditemukan di
lobus temporal atau oksipital. Adanya gam-
TATA LAKSANA
baran tersebut dapat mengarahkan per-
Manajemen trombosis vena serebri secara
lunya pemeriksaan MR atau CT venografi,
umum dibagi menjadi 2 macam, yakni terapi
mengingat keduanya memilild kemam-
umum simtomatik dan terapi pragmatis,
puan untuk menggambarkan pembuluh
seperti terapi medikamentosa dan neuroin-
darah secara detail. Dibandingkan dengan
tervensi.
pemeriksaan DSA sebagai baku emas, ke-
dua pemeriksaan ini juga memilild sensiti- Tata Laksana Umum dan Simptomatik
vitas dan spesifisitas yang tinggi (mencapai Tata laksana umum terdiri atas elevasi ke-
100%} dalam penegakan diagnosis trom­ pala 30°, oksigenasi, dan proteksi jalan
bosis vena serebral. napas terhadap risiko pneumonia aspirasi.
MR venografi menjadi pilihan utama meng­ Terapi simtomatik mencakup pemberian
ingat keterbatasan CT venografi yang mem- obat antikonvulsan, tata laksana peningkat-
butuhkan walctu pengerjaan lebih lama, an intrakranial, kontrol gejala psikosis dan
bergantung pada kemampuan operator agitasi psikomotor, terapi analgetik serta
dalam hal editing tulang untuk visualisasi pemberian antibiotik jika trombosis vena
pembuluh darah intrakranial, paparan ra- serebri disebabkan karena infeksi (septik}.
diasi, dan masalah penggunaan kontras Kejang dapat terjadi pada lebih dari 30%
pada pasien gagal ginjal atau alergi kon­ pasien dan berisiko berulang selama pe-
tras. American Heart Association (AHA}/ rawatan. Kejang juga meningkatkan risiko
American Stroke Association (ASA) Scien­ kerusakan anoksik. Oleh karena itu, pada
tific Statement 2011 merekomendasikan pasien dengan klinis kejang, terdapat perda­
pemeriksaan MRI dengan seloiens T2 dan rahan, atau trombosis pada vena kortikal
MR venografi sebagai tes diagnostik pilihan atau supratentorial, menjadi kandidat un­
dalam kasus trombosis vena serebral. tuk pemberian antikonvulsan.
3. Ultrasonografi Peningkatan tekanan atau hipertensi intrakra­
Ultrasonografi vena dan sinus serebral nial dapat terjadi pada 50% pasien trombosis

510
Trombosis Vena Serebral

vena serebri, Namun demikian, hanya 20% Terapi Pragm atis


pasien yang biasanya memerlukan terapi anti- 1. Antikoagulan
edema dengan elevasi kepala 30°, dan pembe- Terapi pragmatis medikamentosa dilaku­
rian diuretik osmotik. Mannitol dapat diberi- kan dengan pemberian antikoagulan untuk
kan selama 4-72 jam dengan dosis 4-6xl25m L mencegah propagasi trombus, membuat
intravena. Jika tekanan intrakranial tidak ter- rekanalisasi sinus dan vena yang mengala­
kontrol dan pasien mengalami herniasi sere­ mi oldusi, serta mencegah komplikasi trom­
bri, dapat dilakukan hiperventilasi atau tata bosis vena dalam dan emboli paru.
laksana bedah dekompresi intrakranial.
Meskipun memiliki rekomendasi yang
Pada sebagian besar kasus, hipertensi in­ kuat, pemberian antikoagulan cukup
trakranial bersifat lokal dengan gejala teriso- kontroversial pada kasus trombosis yang
lasi seperti gangguan visual. Pada kasus se- disertai perdarahan intrakranial. Dalam
perti ini dapat dilakukan pungsi lumbal untuk meta-analisis oleh Coutinho dkk, pembe­
mengeluarkan cairan serebrospinal dikom- rian heparin mengurangi risiko kematian
binasi dengan pemberian asetazolamid. Jika absolut sebesar 13% tanpa meningkatkan
tidak berespons sehingga gangguan visus angka perdarahan baru, disertai angka ke-
disertai dengan papiledema semaldn berat, jadian emboli paru yang lebih rendah.
dapat dipertimbangkan tindakan pirau ven-
trikuloperitoneal {ventriculoperitoneal shunt), Heparin aman untuk diberikan pada pasien
trombosis vena serebri dengan perdarah­
Pada kasus dengan gejala psikosis dan agi- an intrakranial. Pada studi kohort Ferro dick,
tasi psikomotor, dapat diberikan haloperi- 83% pasien trombosis vena serebri dengan
dol 5-20m g intravena (IV) atau oral. Terapi perdarahan intrakranial tidak mengalami
ini dapat diberikan sesuai evaluasi klinis. perburukan klinis dengan pemberian hepa­
Alternatif lain adalah pemberian midazolam rin. Studi ini membuktikan hipotesis bahwa
10-20m g IV, suatu obat sedasi yang bersifat perbaikan aliran vena dengan pemberian
short-acting. Obat ini dapat diberikan bila antikoagulan akan mengurangi tekanan
pasien akan menjalani tindakan atau prose- dalam vena dan kapiler sehingga mengu­
dur diagnostik maupun terapeutik. rangi risiko perdarahan lebih lanjut Ber-
Manajemen nyeri kepala dilakukan dengan dasarkan berbagai studi tersebut, dapat
pemberian asetaminofen (500-1000mg 3 disimpulkan bahwa antikoagulan aman un­
kali sehari) pada nyeri ringan atau tramadol tuk diberikan pada trombosis vena serebri
5-100mg 3x sehari pada nyeri kepala berat dengan atau tanpa perdarahan intrakranial.
Jika terdapat mual dapat diberikan antieme- Antikoagulan diberikan segera di fase akut
tik. Pada kasus trombosis vena serebri septik baik dengan unfractionated heparin intra­
direkomendasikan pemberian antibiotik dan vena atau low-molecular weight heparin
drainase fokus infeksi. Penggunaan steroid ti­ (LMWH) subkutan, sebelum dilanjutkan
dak dianjurkan, karena berisiko menyebabkan dengan antikoagulan oral warfarin. Pem­
kondisi hiperkoagulasi lebih lanjut dan ber- berian warfarin dilakukan dengan target
hubungan dengan risiko prognosis yang buruk international normalized ratio (INR) 2,0-

511
Buku Ajar Neurologi

3,0 selama 3-6 bulan pada pasien dengan DAFTAR PUSTAKA


falctor risiko yang jelas atau 6-12 bulan 1. Bousser MGI, Ferro JM. Cerebral venous thrombo­
pada pasien tanpa falctor risiko yang sudah sis: an update. Lancet Neurol. 2007;6(2):162-70.
2. Ruiz-Sandoval JL, Chiquete E, Bahuelos-Becerra LJ,
terdetelcsi. Pada pasien dengan trombo- Torres-Anguiano C, Gonzalez-Padiila C, Arauz A,
sis vena serebri berulang, pasien dengan dick. Cerebral venous thrombosis in a Mexican mul­
trombosis vena dalam atau emboli paru ticenter registry of acute cerebrovascular disease:
The RENAMEVASC study. J Stroke Cerebrovasc Dis.
yang mengalami trombosis vena serebri,
2012;21:395-400.
atau pasien trombosis vena serebri de­ 3. Ribes MF. Des recherches faites sur la phlebite.
ngan trombofilia berat harus mendapat- Revue Medicate Francaise et Etrangere et Jour­
nal de Clinique de l'Hotel Dieu et de la Charite de
kan antikoagulan seumur hidup.
Paris. 1825;3:5-41.
2. Manajemen Neurointervensi 4. Krayenbuhl H. Cerebral venous and sinus throm­
bosis. Clin Neurosurg, 1968;14:1-24.
Manajemen neurointervensi pada lcasus 5. Coutinho JM, Zuurbier SM, Stam J. Declining mor­
trombosis vena serebri antara lain adalah tality in cerebral venous thrombosis: a system­
pemberian trombolisis lokal melalui telcnik atic review. Stroke. 2014;45(5): 1338-41
6 . Daif A, Awada A, al-Rajeh S, Abduljabbar M, al
endovaskular melalui akses jugular dan
Tahan AR, Obeid Malibary T. Cerebral venous
femoral. Telcnik ini pertama lcali dilcerjakan thrombosis in adults. A study of 40 cases from
pada tahun 1971. Trombolisis endovasku­ Saudi Arabia. Stroke. 1995.26(7):1193-5.
lar umumnya dilakukan pada kasus yang 7. Coutinho JM, Zuurbier SM, Aramideh M, Stam J. The
incidence of cerebral venous thrombosis: a cross-
berat. Terdapat penelitian yang menunjuk- sectional study. Stroke. 2012;43(12):3375-7.
lcan bahwa pemberian trombolisis endo­ 8 . Hanifa SN, Chahyani WI, Azahra TA, Kurniawan
vaskular dapat merestorasi aliran darah M, S Harris, Hidayat R. Prevalence and profile of
cerebral venous thrombosis in Indonesia: a single
vena pada 71,4% kasus lebih cepat dan center study in Cipto Mangunkusumo hospital Ja­
lebih efisien dari pemberian heparin in­ karta. Cerebrovascular Diseases. 2015;40:43-4
travena. Namun teknik ini memiliki risiko 9. Devasagayam S, Wyatt B, Leyden J, Kleinig T. Cere­
bral venous sinus thrombosis incidence is higher
perdarahan yang lebih tinggi. Trombekto-
than previously thought: a retrospective popula­
mi mekanik menggunakan stent retriever tion-based study. Stroke. 2016;47(9):2180-2.
maupun Penumbra System mengurangi 1 0 . deVeber G, Andrew M, Adams C, Bjornson B,
Booth F, Buckley DJ, dick. Canadian Pediatric
dosis trombolisis yang digunakan, sehingga
Ischemic Stroke Study Group. Cerebral sino-
mengurangi risiko perdarahan intrakranial. venous thrombosis in children. N Engl J Med.
2001;345(6):417-23.
Hingga saat ini, belum ada uji klinis dalam 11. Berfelo FJ, Kersbergen KJ, van Ommen CH, Govaert P,
slcala besar tentang manajemen neuroin­ van Straaten HL, Poll-The BT, dkk Neonatal cerebral
tervensi (trombolisis endovaskular mau­ sinovenous thrombosis from symptom to outcome.
Stroke. 2010;41(7):1382-8.
pun trombektomi mekanik). Tindakan ini
1 2 . Coutinho JM, Ferro JM, Canhao P, Barinagarre-
hanya dilcerjakan bila terjadi perburuk- menteria F, Cantu C, Bousser MG, dkk. Cerebral
an Minis pasca pemberian antikoagulan venous and sinus thrombosis in women. Stroke.
atau jilca terdapat perburukan perdarah­ 2009;40(7):2356-61.
1 3 . Kilic T, Akakin A. Anatomy of cerebral veins and
an intrakranial meskipun pasien telah sinuses. Front Neurol Neurosci. 2008;23:4-15.
mendapatkan modalitas terapi lain. 1 4 . Capra N, Kapp J. Anatomic and physiologic aspects
of venous system. Dalam: Wood J, editor. Cerebral
blood flow: physiologic and clinical aspects. New

512
Trombosis Vena Serebral

York: Me Graw-Hill; 1987, h. 37-58, 2 9 . Teasdale E. Cerebral venous thrombosis: making


1 5 . Miranda HRA, Leones SMC, Cerra GA, Salazar the most of imaging. J R Soc Med. 2000;93:234-7
LRM. Cerebral sinus venous trombosis. J Neuro- 3 0 . Vijay R. The cord sign. Radiology. 2006;240:299-
sci Rural Pract, 2013;4(4):427-38. 300.
16. Ferro JM, Canhao P, Stam J, Bousser MG, Bari- 3 1 . Simons B, Nijeholt GL, Smithuis R. Cerebral ve­
nagarrementeria F. Prognosis of cerebral vein and nous thrombosis. Radiology Assistant [serial
dural sinus trombosis: results of the International online), [diunduh tanggal 11 November 2016).
Study on Cerebral Vein and Dural Sinus Trombosis Tersedia dari: Radiology Assistant
(ISCVT). Stroke. 2004;35:664-70. 3 2 . Kim BS, Do HM, Marks MP. Diagnosis and Manage­
1 7 . Piazza G. Cerebral venous thrombosis. Circula­ ment of Cerebral Venous and Sinus Trombosis.
tion. 2012; 125(13]: 1704-9, Semin Cerebrovasc Dis Stroke. 2004;42:1158-92.
1 8 . Stam J. Trombosis of the cerebral veins and si­ 3 3 . Holmes EJ, Forrest-Hay AC, Misra RR, Interpreation
nuses. N Engl J Med. 2005;352:1791-8. of emergency head CT: a practical handbook Cam­
1 9 . Guenther G, Arauz A. Cerebral venous trombosis: bridge: Cambridge University Press; 2008.
a diagnostic and treatm ent update. Neurologia. 3 4 . Selim M, Caplan LR. Radiological diagnosis of ce­
2011;26:488-98. rebral venous thrombosis. Front Neurol Neurosci.
2 0 . Tanislav C, Siekmann R, Sieweke N, Allendorfer 2008;23:96-111.
J, Pabst W, Kaps M, d kk Cerebral vein trombosis: 3 5 . El Damarawy EA, El-Nekiedy AE, Fathi AM, Eissa
clinical manifestation and diagnosis. BMC Neu­ AE, Darweesh RM. Role of magnetic resonance
rol. 2011;11:69. venography in evaluation of cerebral veins and
21. Agostoni E. Headache in cerebral venous trombosis. sinuses occlusion. Alex J Med. 2012;48:29-34.
Neurol Sci. 2004;25(SuppI 3):S206 -10. 3 6 . Leach JL, Fortuna RB, Jones BV, Gaskill-Shipley ME
2 2 . Ferro JM, Canhao P, Bousser MG, Stam j, Bari- Imaging of cerebral venous trombosis: Current
nagarrementeria F. Early seizures in cerebral techniques, spectrum of findings, and diagnostic
vein and dural sinus trombosis: risk factors and pitfalls. Radiographics. 2006;26(Suppl 1):S19-41
role of antiepileptics. Stroke. 2008;39:1152-8. 3 7 . Mahmoud M, Elbeblawy M. The role of multidetec­
2 3 . Ferro JM, Canhao P, Bousser MG, Stam J, Bari- tor CT venography in diagnosis of cerebral venous
nagarrementeria F. Cerebral vein and dural sinus trombosis. Res J Med Med Sci. 2009;4:284-9.
sinus trombosis in elderly patients. Stroke. 38.Stolz EP. Role of ultrasound in diagnosis and
2005;36:1927-32. management of cerebral vein and sinus trombo­
2 4. Crassard 1, Soria C, Tzourio C, Woimant F, Drouet sis. Front Neurol Neurosci. 2008;23:112-21.
L, Ducros A, dkk A negative d-dimer assay does 3 9 . Masuhr F, Einhaupl K. Treatment of cerebral ve­
not rule out cerebral venous trombosis: a series of nous and sinus thrombosis. Front Neurol Neuro­
seventy-three patients. Stroke. 2005;36:1716-9. sci. 2008;23:132-43.
2 5 . Kosinski CM, Mull M, Schwarz M, Koch B, Biniek 4 0 . Canhao P, Cortesao A, Cabral M, Ferro JM, Stam J,
R, Schlafer J, dkk. Do normal d-dimer levels re­ Bousser MG, dkk Are steroids useful to treat cere­
liably exclude cerebral sinus trombosis? Stroke. bral venous trombosis? Stroke. 2008;39:105-10.
2004;35:2820-5. 4 1 . Coutinho J, De Bruijn SF, Deveber G, Stam J. Anti­
26.Schved JF. Definition of thrombophilia. Ann Med coagulation for cerebral venous sinus trombosis.
Interne (Paris). 2003;154(5-6):279-82. Cochrane Database Syst Rev, 2011;43:e41-2.
27. Saposnik G, Barinagarrementeria F, Brown RD, 4 2 . Coutinho JM, Seelig R, Bousser MG, Canhao P,
Bushnell CD, Cucchiara B, Cushman M, dkk Diagnosis Ferro JM, Stam J. Treatment variations in cere­
and management of cerebral venous trombosis: bral venous trombosis: an international sur­
a statement for healthcare professionals from the vey. Cerebrovasc Dis. 2 0 1 1 ;3 2 :2 9 8 -3 0 0 .
American Heart Association/American Stroke 4 3 . Weihua L, Yunhai L, Wenping G, Yang J, Changq-
Association. Stroke. 2011;42:1158-92. ing C. Cerebral venous sinus trombosis: success­
2 8 . Fischer C, Goldstein J, Edlow J. Cerebral venous ful treatment of two patients using the penumbra
sinus trombosis in the emergency department: system and review of endovascular approaches.
retrospective analysis of 17 cases and review of Neuroradiol J. 2015;28(2):177-83.
the literature. J Emerg Med, 2010;38:140-7.

513
Buku Ajar Neurologi

STROKE HEMORAGIK
Taufik Mesiano, Salim Harris; Al Rasyid, Mohammad Kurniawan,
Rakhmad Hidayat

PENDAHULUAN menekankan pentingnya tatalaksana yang te-


Stroke merupakan penyakit neurologis utama pat pada unit gawat darurat [UGD).
di usia dewasa, berdasarkan tingginya angka
Stroke hemoragik memilild faktor risiko penye­
kejadian, kegawatdaruratan, penyebab utama
bab yang hampir sama dengan keadaan stroke
kecacatan, dan kematian. Stroke menggam-
iskemik, namun penanganannya sangat ber-
barkan suatu kejadian yang terjadi secara akut
beda dan bahkan berlawanan. Pada stroke
atau tiba-tiba, Berdasarkan patologinya, stroke
iskemik dilakukan terapi trombolisis dan
dibedakan menjadi stroke iskemik [sumbatan]
antiplatelet yang justru tidak boleh dilaku­
dan stroke hemoragik [perdarahan].
kan pada kasus stroke hemoragik, semen-
Stroke hemoragik, atau yang dikenal juga tara stroke hemoragik lebih didominasi oleh
sebagai perdarahan intraserebral [PIS] gejala peningkatan TIK yang membutuhkan
spontan merupakan salah satu jenis patolo- penanganan segera sebagai tindakan life sav­
gi stroke akibat pecahnya pembuluh darah ing. Oleh karena itu, penegakan diagnosis
intraserebral. Kondisi tersebut menimbul- patologi stroke sangat penting untuk mem-
kan gejala neurologis yang terjadi secara berikan tata laksana yang tepat, sehingga
tiba-tiba dan seringkaii diikuti gejala akibat didapat keluaran yang lebih baik.
efek desak ruang atau peningkatan tekanan
intrakranial [TIK]. Itu sebabnya angka ke­ EP1DEMIOLOGI
matian pada stroke hemoragik menjadi le- Secara umum, angka kejadian stroke sema-
bih tinggi dibandingkan stroke iskemik. kin meningkat. Berdasarkan data Riset Ke-
Berdasarkan data American Heart Assocation sehatan Dasar [RISKESDAS] Kementerian
{AUAj/American Stroke Association [ASA] ta- Kesehatan Republik Indonesia terdapat
hun 2009, angka kematian stroke hemoragik peningkatan prevalensi stroke dari 8,3 [ta-
mencapai 49,2%, hampir dua kali lipat stroke hun 2007] menjadi 12,2 [tahun 2013] per
iskemik [25,9%]. Broderick dkk melaporkan 1000 penduduk.
angka kematian stroke hemoragik dalam wak- Angka kejadian stroke hemoragik di Asia lebih
tu 30 hari berkisar 35-52%, dan hanya 20% tinggi di bandingkan di negara barat. Hal ini
pasien yang mengalami pemulihan fimgsional dapat disebabkan tingginya angka kejadian
dalam waktu 6 bulan. Berdasarkan peneli- hipertensi pada populasi Asia. Berdasarkan
tian Elliott, setengah kasus stroke hemoragik data Stroke registry di Indonesia, yang dimu-
mengalami kematian dalam 24 jam pertama, lai sejak tahun 2012 sebagai kerjasama antara

514
Stroke Hemoragik

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indone­ Pada beberapa kasus, pecahnya pembuluh
sia (PERDOSSI] dengan Badan Penelitian Dan darah tidak didahuiui oleh terbentuknya
Pengembangan Kementrian Kesehatan Re- aneurisma, namun semata-mata karena pe-
publik Indonesia, tahun 2014 didapatkan 5411 ningkatan tekanan darah yang mendadak.
kasus stroke akut dari 18 RS dengan angka ke-
Pada kondisi normal, otak mempunyai sistem
jadian stroke hemoragik sebesar 33%.
autoregulasi pembuluh darah serebral untuk
mempertahankan aliran darah ke otak. Jika
PATOFISIOLOGI
tekanan darah sistemik meningkat, sistem ini
Patofisiologi stroke hemoragik umumnya
bekerja melakukan vasokonstriksi pembuluh
didahuiui oleh kerusakan binding pembu-
darah serebral. Sebaliknya, bila tekanan darah
luh darah kecil di otak akibat hipertensi.
sistemik menurun, akan terjadi vasodilatasi
Penelitian membuktikan bahwa hipertensi
pembuluh darah serebral. Pada kasus hiper­
kronik dapat menyebabkan terbentuknya
tensi, tekanan darah meningkat cukup tinggi
aneurisma pada pembuluh darah kecil di
selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun.
otak. Proses turbulensi aliran darah meng-
Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya pro­
akibatkan terbentuknya nekrosis fibrinoid,
ses hialinisasi pada dinding pembuluh darah,
yaitu nekrosis sel/jaringan dengan aku-
sehingga pembuluh darah akan kehilangan
mulasi matriks fibrin. Terjadi pula herniasi
elastisitasnya. Kondisi ini berbahaya karena
dinding arteriol dan ruptur tunika intima, pembuluh darah serebral tidak lagi bisa me-
sehingga terbentuk mikroaneurisma yang nyesuaikan diri dengan fluktuasi tekanan da­
disebut Charcot-Bouchard [Gambar 1}. Mi­ rah sistemik, kenaikan tekanan darah secara
kroaneurisma ini dapat pecah seketika saat mendadak akan dapat menyebabkan pecahn­
tekanan darah arteri meningkat mendadak. ya pembuluh darah.
.. ...k
MWBBIm

4 )

Gambar 1. Proses Pembentukan Mikroaneurisma Charcot-Bouchard pada Hipertensi Kronis

515
Baku Ajar Neurologi

Darah yang keluar akan terakumulasi dan obat-obatan, gangguan pembekuan darah, dan
membentuk bekuan darah (hematom) di proses degeneratif pada pembuluh darah otak.
parenkim otak. Volume hematom tersebut
Stroke hemoragik dapat terjadi melalui ber-
akan bertambah, sehingga memberikan efek
bagai macam mekanisme. Stroke hemoragik
desak ruang, menekan parenkim otak, serta
yang dikaitkan dengan hipertensi biasanya
menyebabkan peningkatan TIK. Hal ini akan
terjadi pada struktur otak bagian dalam
memperburuk kondisi klinis pasien, yang
yang diperdarahi oleh penetrating artery
umumnya berlangsung dalam 24-48 jam
seperti pada area talamus, putamen, pons,
onset, akibat perdarahan yang terus ber­
dan serebelum. Stroke hemoragik lobaris
langsung dengan edema disekitarnya, serta
pada usia lanjut dihubungkan dengan cere­
efek desak ruang hematom yang menggang-
bral amyloid angiopathy, sedangkan pada
gu metabolisme dan aliran darah.
usia muda seringkali disebabkan oleh mal-
Pada hematom yang besar, efek desak ruang formasi pembuluh darah.
menyebabkan pergeseran garis tengah [mid-
Stroke hemoragik juga dapat disebabkan
line shift) dan herniasi otak yang pada akh-
etiologi lain seperti tumor intrakranial, pe-
imya mengakibatkan iskemia dan perdarah­
nyakit Moyamoya, penyalahgunaan alkohol
an sekunder. Pergeseran tersebut juga dapat
dan kokain, penggunaan obat antiplatelet
menekan sistem ventrikel otak dan mengald-
dan antikoagulan, serta gangguan pem-
batkan hidrosefalus sekunder. Kondisi seperti
bekuan darah, seperti trombositopenia, he-
ini sering terjadi pada kasus stroke hemoragik
mofilia, dan leukemia.
aldbat pecahnya pembuluh darah arteri serebri
posterior dan anterior. Keadaan tersebut akan
GEJALA D A N T A N D A K L IN IS
semakin meningkatkan TIK dan meningkatkan
Perjalanan klinis pasien stroke hemoragik
tekanan vena di sinus-sinus duramater.
dapat berkembang dari defisit neurologis
Sebagai kompensasi untuk mempertahankan fokal hingga gejala peningkatan TIK berupa
perfusi otak, tekanan arteri juga akan mening- nyeri kepala, penurunan kesadaran, dan
kat. Dengan demildan, akan didapatkan peni­ muntah, serta perburukan klinis defisit neu­
ngkatan tekanan darah sistemik pascastroke. rologis seiring dengan perluasan lesi perda­
Prinsip ini harus menjadi pertimbangan pen- rahan yang memberikan efek desak ruang.
ting dalam memberikan terapi yang bertu- Perkembangan ini dapat berlangsung dalam
juan menurunkan tekanan darah pascastroke, periode menit, jam, dan bahkan hari.
karena penurunan secara drastis akan menu­
Computed tomography [CT) scan menunjuk-
runkan perfusi darah ke otak dan akan raem-
kan hematom akan membesar dalam enam
bahayakan bagian otak yang masih sehat.
jam pertama. Keadaan klinis kemudian akan
Hematom yang sudah terbentuk dapat menyu- menetap apabila terjadi keseimbangan an-
sut sendiri jika terjadi absorbsi. Darah akan tara TIK, Iuasnya hematom, efek desak ru­
kembali ke peredaran sistemik melalui sistem ang pada jaringan otak, dan berhentinya
ventrikel otak. Selain hipertensi, hematom perdarahan. TIK dapat berkurang seiring
intraserebral dapat disebabkan oleh trauma, dengan berkurangnya volume hematom

516
Stroke Hemoragik

akibat perdarahan yang telah berhenti atau Kaku kuduk dapat terjadi pada perdarahan
hematom masukke ruang ventrikel di talamus, kaudatus, dan serebelum. Arit­
mia jantung dan edema paru biasanya ber-
Selain itu, efek desak ruang juga disebabkan
hubungan dengan peningkatan TIK dan
oleh edema di sekitar hematom (perihema-
pelepasan katekolamin.
tomal). Pada beberapa kasus yang mengala-
mi perburukan setelah kondisi klinis stabil
DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
dalam 24-48 jam pertama, diduga mengala-
Penegakan diagnosis stroke dilakukan ber-
mi perluasan edema perihematomal.
dasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
Beberapa gejala klinis stroke hemoragik an- umum dan neurologis, serta pemeriksaan
tara lain nyeri kepala, penurunan kesadaran, penunjang. Hal terpenting adalah menentu-
muntah, kejang, kaku kuduk, serta gejala lain kan tipe stroke; stroke iskemik atau perda­
seperti aritmia jantung dan edema paru. Nyeri rahan. Hal ini berkaitan dengan tata laksana
kepala merupakan gejala yang paling sering yang sangat berbeda antara keduanya, se-
dikeluhkan, berkaitan dengan lokasi dan luas- hingga kesalahan akan mengakibatkan mor-
nya lesi perdarahan, yaitu pada stroke hemo­ biditas bahkan mortalitas.
ragik di daerah lobaris, serebelum, dan lokasi
Dalam anamnesis, hal yang perlu ditanyakan
yang berdekatan dengan struktur permukaan
meliputi identitas, kronologis terjadinya ke­
meningen. Pada perdarahan kecil di parenldm
luhan, faktor risiko pada pasien maupun kelu-
otak yang tidak memiliki serabut nyeri, tidak
arga, dan kondisi sosial ekonomi pasien. Dari
terdapat nyeri kepala saat fase awal perdarah­
anamnesis seharusnya didapatkan informasi
an. Namun seiring perluasan hematom yang
apakah keluhan terjadi secara tiba-tiba, saat
menyebabkan peningkatan TIK dan efek desak
pasien beraktivitas, atau saat pasien baru
ruang, keluhan nyeri baru muncul yang biasa-
bangun tidur. Pada stroke hemoragik, pasien
nya disertai muntah dan penurunan kesadaran.
umumnya berada dalam kondisi sedang ber­
Penurunan kesadaran terjadi pada stroke aktivitas atau emosi yang tidak terkontrol.
hemoragik yang besar atau berlokasi di batang Durasi sejak serangan hingga dibawa ke
otak Hal ini disebabkan efek desak ruang dan pusat kesehatan juga merupakan hal penting
peningkatan TIK, serta keterlibatan struktur yang turut menentukan prognosis.
reticulating activating system [MS] di batang
Keluhan yang dialami pasien juga dapat
otak Muntah juga akibat peningkatan TIK atau
menuntun proses penegakan diagnosis.
kerusakan lokal di ventrikel keempat, biasanya
Pasien dengan keluhan saldt kepala diser­
pada perdarahan sirkulasi posterior. Kejang
tai muntah (tanpa mual) dan penurunan ke­
merupakan gejala yang dikaitkan dengan lokasi
sadaran, umumnya mengarahkan kecurigaan
perdarahan. Lokasi yang bersifat epileptogenik
kepada stroke hemoragik dengan peningkat­
antara lain perdarahan lobar, gray white matter
an TIK akibat efek desak ruang. Meskipun
junction di korteks serebri, dan putamen.
demildan, pada stroke hemoragik dengan vo­
Gejala lain yang dapat terjadi adalah kaku lume perdarahan kecil, gejala dapat menye-
kuduk, aritmia jantung, dan edema paru. rupai stroke iskemik tanpa ditemukan tanda-

517
Buku Ajar Neurologi

tanda peningkatan TIK. Perlu ditanyakan juga itu dilakukan pemeriksaan nervus kranialis
faktor risiko stroke yang ada pada pasien dan satu persatu serta motorik untuk menilai trofi,
keluarganya, seperti diabetes melitus, hiper- tonus, dan kekuatan otot, dilanjutlcan refleks
tensi, dislipidemia, obesitas, penyaldt jan- fisiologis dan refleks patologis. Hasil peme­
tung, riwayat trauma kepala, serta pola hidup riksaan motorik dibandingkan kanan dan kiri,
(merokok, alkohol, obat-obatan tertentu). serta atas dan bawah guna menentukan luas
dan lokasi lesi. Selanjutnya, pemeriksaan sen-
Pemeriksaan fisik dimulai dengan keadaan
sorik dan pemeriksaan otonom (terutama yang
umum, kesadaran, dan tanda vital. Pada
berkaitan dengan inkontinensia atau retensio
stroke hemoragik, keadaan umum pasien
urin dan alvi).
bisa lebih buruk dibandingkan dengan ka-
sus stroke iskemik. Selanjutnya, dilakukan Penggunaan sistem skor dapat berm an-
pemeriksaan kepala, mata, telinga, hi dung faat bila tidak terdapat fasilitas pencitraan
dan tenggorokan (THT), dada (terutama jan- otak yang dapat membedakan secara jelas
tung), abdomen, dan ekstremitas. Pemerik­ patologi penyebab stroke. Namun sistem
saan ekstremitas bertujuan terutama untuk skor tidak dapat dipastikan pada patolo­
mencari edema tungkai akibat trombosis gi stroke yang terjadi. Hal ini disebabkan
vena dalam atau gagal jantung. karena manifestasi Minis pada stroke
hemoragik dengan volume perdarahan
Pada pemeriksaan tekanan darah, perlu
kecil dapat menyerupai stroke iskemik.
dibandingkan tekanan darah di ekstremi­
Demikian pula manifestasi Minis stroke
tas kiri dan kanan, serta bagian tubuh atas
iskemik luas dengan peningkatan TIK mi-
dan bawah dengan cara menghitung rerata
rip dengan stroke hemoragik.
tekanan darah arteri (mean arterial blood
pressure/ MABP), karena akan mempenga- Sistem penskoran yang dapat digunakan
ruhi tata laksana stroke. Pola pernapasan adalah algoritma stroke Gajah Mada, skor
merupakan hal penting yang harus diper- stroke Djunaedi, dan skor stroke Siriraj. Skor
hatikan, karena dapat menjadi penunjuk lo- stroke Siriraj merupakan sistem penskoran
kasi perdarahan, misalnya: pola pernapasan yang sering digunakan untuk membedakan
Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenik, stroke iskemik atau perdarahan (Tabel 1).
Master, apneustik, atau ataksik (Baca bab
Sistem Penskoran:
Peningkatan Tekanan Intrakranial).
(2,5 x kesadaran) + (2 x vomitus) + (2 x
Pemeriksaan neurologis awal adalah pe- nyeri kepala) + (0,1 x tekanan diastolik) - (3
nilaian tingkat kesadaran dengan skala koma x ateroma) - 1 2
Glasgow (SKG), yang selanjutnya dipantau se-
Intepretasi:
cara berkala. Kemudian diikuti pemeriksaan
refleks batang otak yang meliputi reaksi pupil ® Skor < 1 = stroke iskemik
terhadap cahaya (paling sering dilakukan), re­ ® Skor > 1= perdarahan intraserebral
fleks kornea, dan refleks okulo sefalik, Setelah • Skor 0 = meragukan

518
Stroke Hemoragik

T abel 1. S k o r S tro ke S iriraj 1. Potongan CT scan dihitung 1 bila luas


K om ponen Skor hematom pada potongan tersebut >75%
0 Kesadaran Kompos mentis 0
Somnolen 1 2. Potongan CT scan dihitung 0,5 bila luas he­
Sopor/koma 2 matom pada potongan tersebut 25-75%
0 Vomitus Tidak ada 0
Ada 1 3. Potongan CT scan tidak dihitung bila luas
®Nyeri Tidak ada 0
kepaia Ada 1
hematom pada potongan tersebut <25%
®Ateroma Tidak ada memiliki skor 0 0
Ada DM, angina, atau pe- 1 TATA LA K SA N A
nvakit pembuluh darah_____ Tata laksana stroke hemoragik dapat dibagi
DM: diabetes melitus
menjadi tata laksana umum dan khusus.
Tata laksana umum bertujuan untuk menja-
P e m e rik s a a n P e n u n ja n g ga dan mengoptimalkan metabolisme otak
Pencitraan otak menggunakan CT scan meru- meskipun dalam keadaan patologis. Tata
pakan baku emas dalam diagnosis stroke laksana khusus untuk melakukan koreksi
hemoragik. CT scan lebih unggul dalam men- koagulopati untuk mencegah perdarahan
deteksi perdarahan langsung berdasarkan berlanjut, mengontrol tekanan darah, iden-
gambaran hiperdensitas di parenkim otak tifikasi kondisi yang membutuhkan inter-
dibandingkan MRI yang memerlukan per- vensi bedah, serta melakukan diagnosis dan
bandingan beberapa sekuens gambar (Gam-
terapi terhadap penyebab perdarahan.
bar 2). Selain itu, pemeriksaan CT scan mem-
butuhkan waktu yang lebih singkat dengan T a ta la k s a n a u m u m
harga yang lebih ekonomis. 1. S tab ilisa s i Jalan Napas d a n P e rn a p a s a n
Untuk mencapai tujuan tata laksana
Besarnya volume perdarahan dapat dies-
umum, hal utama adalah melihat serta
timasi dengan menggunakan metode ABC
melakukan stabilisasi jalan dan saluran
(Gambar 3}.
pernapasan untuk menghindari hipoksia.
Volume perdarahan (dalam cc] = (A x B x Cl Apabila terjadi gangguan ventilasi, dapat
2 dilakukan pemasangan pipa endotrakeal
A= diameter terbesar hematom pada salah untuk menjaga patensi jalan nafas pasien.
satu potongan CT scan (dalam cm)
Selain itu juga harus dipastikan ke-
B= diameter perpendikular terhadap A (dalam
mampuan menelan pasien. Jika terjadi
cm)
gangguan menelan atau pasien dalam
C= jumlah potongan CT scan yang terdapat he­
keadaan tidak sadar, perlu dilakukan
matom x tebal potongan CT scan (dalam cm).
pemasangan pipa nasogastrik untuk
Terdapat beberapa ketentuan untuk jum ­ mencegah terjadinya aspirasi pada pem-
lah potongan CT scan dengan hematom berian makanan.
(poin C), yaitu:

519
Buku Ajar Neurologi

k i
G am bar 2. G am baran S tro k e H em oragik pada P em eriksaan CT scan
A: CT scan normal; B: gambaran hiperdensitas pada kasus stroke hemoragik
(Dok: Prtbadi)

G am bar 3. M etode ABC dalam Pengukuran E stim asi Volume P erd arahan
Dok: Pribadi

520
Stroke Hemoragik

2. S ta b ilis a s i H e m o d in a m ik dan evakuasi perdarahan intraven­


Tata laksana yang harus diperhatikan trikular). Target terapi adalah TIK
berikutnya adalah stabilisasi hemodi­ <20mmHg dan CPP >70mmHg.
namik. Keadaan hemodinamik pasien c. Penatalaksanaan peningkatan tekan­
diharapkan tetap stabil dengan tidak an intrakranial meliputi:
menurunkan tekanan perfusi serebral
o Meninggikan posisi kepala 30°
(cerebral perfusion pressure/ CPP) hingga
® Menghindari penekanan vena
menginduksi hipoksia. Untuk menjaga
jugularis
hemodinamik atau mengatasi keadaan
dehidrasi, sebaiknya diperhatikan hal ® Menghindari hipertermia
berikut: ® Pemberian osmoterapi atas indikasi:
a. Pemberian cairan kristaloid atau ko- - Manitol 0,25-0,50g/kgBB, se-
loid intravena (IV], hindari cairan hi- lama >20 menit, diulangi setiap
potonik seperti glukosa. 4 -6 jam dengan target osmolaritas
b. Pemasangan central venous catheter darah <310mOsm/L. Osmolari­
(CVC) bila diperlukan, untuk meman- tas sebaiknya diperiksa 2 kali
tau kecukupan cairan serta sebagai dalam sehari selama pembe­
sarana memasukkan cairan dan nutri- rian osmoterapi. Agen osmote­
si dengan target tekanan 5-12mmHg. rapi lain yang dapat digunakan
c. Optimalisasi tekanan darah (lihat pe- adalah NaCl 3%
natalaksanaan khusus) - Furosemid (atas indikasi) de­
d. Pada pasien dengan defisit neurologis ngan dosis inisial lmg/kgBB IV
nyata, dianjurkan pemantauan berka- • Intubasi (knockdown ) untuk menja­
la status neurologis, nadi, tekanan da­ ga normoventilasi (pC02 35mmHg).
rah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen Hiperventilasi mungkin diperlukan
dalam 72 jam. bila akan dilakukan tindakan operatif.
3. T a ta L a k s a n a P e n in g k a ta n T IK
Merupakan tata laksana yang penting 4. Pengendalian Suhu Tubuh
dengan memerhatikan hal-hal berikut: Peningkatan suhu 1°C akan meningatkan
a. Pemantauan ketat terhadap pasien energi 7%. Oleh karena itu, setiap pasien
yang berisiko mengalami edema sere­ stroke yang disertai febris harus diberikan
bral dengan memperhatikan perbu- antipiretik, yakni parasetamol lOOOmg 3x
rukan gejala dan tanda klinis neuro­ baik peroral atau IV, kemudian dicari dan
logis dalam 48 jam pertama serangan diatasi penyebabnya.
stroke. 5. Tata Laksana Cairan
b. Monitor tekanan intrakranial teru- a, Pada umumnya kebutuhan cairan
tama pada pasien dengan perdarah- 30mL/kgBB/hari (parenteral mau-
an intraventrikular (dilakukan seba­ pun enteral).
gai monitoring tekanan intrakranial b. Pemberian cairan isotonik seperti

521
Buku Ajar Neurologi

NaCl 0,9% untuk menjaga euvolemia. e. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori
Tekanan vena sentral di pertahankan adalah 20-25 kkal/kg/hari dengan
antara 5-12mmHg. komposisi:
c. Perhatikan keseimbangan cairan de- e Karbohidrat 50 -60 % dari total
ngan melakukan pengukuran cairan kalori
masuk dan keluar secara ketat.
© Lemak 2 5 -3 0 %
d. Elektrolit (sodium, kalium, kalsium,
© Protein 10-20%
magnesium) harus selalu diperiksa
dan diatasi bila terjadi kekurangan. - Pada keadaan adanya stresor
pada tubuh, kebutuhan protein
e. Gangguan keseimbangan asam basa
l,4-2,0g/kgBB/hari.
harus segera dikoreksi dengan moni­
tor analisis gas darah. - Kebutuhan protein disesuai­
kan pada gangguan fungsi gin-
6 . N u tr is i jal yaitu 0,6-0,8 g/kgBB/hari,
a. Pemberian nutrisi enteral harus di-
lakukan sedini mungkin bila tidak f. Jika kemungkinan pemakaian pipa
terjadi perdarahan lambung. nasogastrik diperkirakan >6 minggu,
b. Jika terjadi komplikasi perdarahan pertimbangkan untuk percutaneous
lambung, maka pemberian nutrisi en­ endoscopic gastrostomy (PEG).
teral dapat ditunda sampai terjadi per- g. Pada keadaan pemberian nutrisi en­
baikan dan sisa cairan lambung dalam teral tidak memungkinkan, boleh di­
2 jam pertama <150cc. Evaluasi cairan berikan secara parenteral
lambung yang dialirkan setiap 2 jam.
7. Pencegahan dan Penanganan Kom­
c. Bila terdapat gangguan menelan atau plikasi
kesadaran menurun makanan diberi-
a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk
kan melalui pipa nasogastrik.
mencegah komplikasi subakut, se-
d. Jika tidak terdapat gangguan pencer- perti aspirasi, malnutrisi, pneumonia,
naan atau residu lambung <150cc, trombosis vena dalam, emboli paru,
maka dapat diberikan nutrisi enteral dekubitus, komplikasi ortopedik, dan
30cc perjam dalam 3 jam pertama. kontraktur (AHA/ASA, level B dan C).
Jika toleransi baik, berupa tidak ter-
b. Pemberian antibiotik atas indikasi
dapatnya residu pipa nasogastrik
sesuai dengan tes kultur dan sensi-
pada saat jam berikutnya, maka dapat
tivitas human atau minimal terapi
dilanjutkan pemberian makanan en­
empiris sesuai dengan pola kuman
teral. Pemberian nutrisi enteral se-
(AHA/ASA, level A).
lanjutnya disesuaikan dengan target
kebutuhan yang terbagi dalam 6 kali c. Pencegahan dekubitus dengan mobi­
perhari. lisasi terbatas dan/atau memakai ka-
sur antidekubitus.

522
Stroke Hemoragik

d. Pencegahan trombosis vena dalam c. Pemberian analgesik, anti muntah,


dan emboli paru dengan intermittent dan antagonis H2 sesuai indikasi.
pneumatic compression, tidak direko- d. Hati-hati dalam menggerakkan, peng-
mendasikan penggunaan compres­ hisapan lendir [suction), atau me-
sion stocking. mandikan pasien, karena dapat mem-
e. Pencegahan tromboemboli vena pada pengaruhi TIK.
pasien imobilisasi setelah 1-4 hari onset, e. Mobilisasi bertahap bila hemodi-
dapat diberikan low molecular weight namik dan pernapasan stabil.
heparin (LMWH) dosis rendah subkutan
f. Kandung kemih yang penuh diko-
atau unfractionated heparin, setelah ter-
songkan, sebaiknya dengan kateteri-
dokumentasi tidak ada lagi perdarahan
sasi intermiten.
(AHA/ASAkelas lib, level B]
g. Rehabilitasi.
f. Antikoagulan sistemik atau pemasa-
h. Edukasi keluarga.
ngan vena kava filter dapat diindika-
sikan pada pasien dengan gejala trom­ i. Discharge planning (rencana pengelo-
bosis vena dalam atau emboli paru laan pasien di luar RS).
(AHA/ASA kelas Ila, level C]. Pemi-
lihan harus mempertimbangkan bebe- 9. Pengendalian Kejang
rapa faktor, seperti waktu sejak onset 1. Bila kejang, berikan diazepam bo­
stroke, stabilitas hematom, penyebab lus lam bat IV 5-20mg dan diikuti
perdarahan, dan kondisi umum pasien oleh fenitoin loading dose 15-20mg/kg
(AHA/ASA kelas Ila, level C). bolus dengan kecepatan maksimum
50mg/menit.
8. Penatalaksanaan Medik Lain
a. Pemantauan kadar glukosa darah 2. Bila kejang belum teratasi, maka per-
sangat diperlukan. lu dirawat di ruang rawat intensif [in­
® Hiperglikemia (kadar glukosa da­ tensive care unit/ ICU).
rah >180mg/dL) pada stroke akut Tata Lalcsana Khusus
harus diobati dengan titrasi insu­ 1. Perawatan di Unit Stroke
lin (AHA/ASA kelas I, level C). Perawatan di unit stroke akan menurun-
® Target yang harus dicapai adalah kan kematian dan dependensi diban-
normoglikemia. dingkan dengan perawatan di bangsal bi-
• Hipoglikemia berat (<50mg/dL) ha­ asa. Penderita dengan stroke hemoragik
rus diobati dengan dekstrosa 40% di supratentorial seharusnya dirawat di
intravena atau infus glukosa 10-20%. unit stroke (AHA/ASA level B).

b. Jika pasien gelisah, dapat dilakukan 2. Koreksi Koaguiopati


terapi psikologi atau pemberian major a. Melakukan pemeriksaan hemostasis,
and minor tranquilizer, seperti benzo- antara lain prothrombin time (PT), ac­
diazepin short acting atau propofol. tivated partial thrombin time (APTTJ,
international normalized ratio (INRj,

523
Baku Ajar Neurologi

dan trombosit, serta koreksi secepat si perdarahan pada pasien stroke


mungkin jika didapatkan kelainan. hemoragik tanpa gangguan koagulasi,
b. Pasien dengan defisiensi faktor ko- rFVIIa meningkatkan risiko trombo-
agulasi berat atau trombositopenia emboli, sehingga tidak direkomenda­
berat harus diberikan facto r replace­ sikan (AHA/ASA kelas III, level A).
ment therapy atau trombosit (AHA/ 3. T e k a n a n D a ra h
ASA kelas I, level C), Pada stroke hemoragik akut (onset <6
c. Pada pasien dengan peningkatan INR jam), penurunan tekanan darah se-
karena penggunaan antagonis vitamin cara agresif dengan target TD sistolik
K (VKA), maka VKA harus dihentikan. <140mmHg dalam waktu <1 jam aman
Diberikan terapi untuk mengganti- untuk dilakukan dan lebih superior
kan faktor pembekuan yang besifat dibandingkan dengan target TD sistolik
vitamin K-dependent dan memper- <180mmHg. Untuk menurunkan tekan­
baiki INR, serta diberikan vitamin KIV an darah, dapat diberikan antihipertensi
(AHA/ASA kelas I, level C), Prothrom­ intravena seperti nikardipin, labetalol,
bin complex concentrates (PCC) me- atau esmolol maupun antihipertensi
miliki efek samping lebih sedikit dan oral Namun tidak ada antihipertensi
memperbaiki INR lebih cepat diban- yang spesifik.
dingkan fresh frozen plasma (FFP), a. Pada tekanan darah antara sistolik an-
sehingga lebih dianjurkan (AHA/ASA tara 150 sampai 220mmHg dan tanpa
kelas lib, level B). Recombinant factor adanya kontraindikasi terapi penu­
Vila (rFVIIa) tidak direkomendasikan runan tekanan darah alcut, penurunan
(AHA/ASA kelas III, level C). TD sistolik akut 140mmHg aman di­
d. Untuk pasien yang mengkonsumsi lakukan (AHA/ASA kelas I, level A) dan
dabigatran, rivaroksaban, atau apiksa- efektif memperbaiki keluaran fungsio-
ban, terapi dengan factor eight inhibi­ nal (AHA/ASA level B).
tor bypass activity (FEIBA), PCC, atau b. Pada tekanan darah sistolik >220mmHg,
rFVIIa dapat dipertimbangkan sesuai dapat dilakukan penurunan tekanan da­
kondisi individual pasien. Karbon ak- rah secara agresif dengan antihipertensi
tif dapat digunakan jika dosis terakhir IV secara kontinu disertai pemantauan
dabigatran, rivaroksaban, atau apik- rutin (AHA/ASA kelas lib, level C) (reko­
saban diminum <2 jam. Hemodialisis mendasi baru).
dapat dipertimbangkan pada pasien
4. M e m p e r ta h a n k a n C erebral Perfusion
yang diberikan (AHA/ASA kelas lib,
P ressu re (C P P )
level C) (rekomendasi baru).
Pasien stroke hemoragik harus mem-
e. Protamin sulfat dapat dipertimbangkan punyai tekanan darah yang terkontrol
untuk reversal heparin pada perdarahan tanpa melakukan penurunan tekanan
intraserebral akut (AHA/ASA level C). darah yang berlebihan. Usahakan TD si­
f. Meskipun dapat membatasi ekspan- stolik <160mmHg dan CPP dijaga >60-

524
Stroke Hemoragik

70mmHg. Hal ini dapat dicapai dengan masi arteriovena (MAVJ, (AHA/ASA
menurunkan TIK ke nilai normal dengan kelas II1-V, level C).
pemberian mannitol atau operasi. Pada c. Perdarahan lobaris dengan ukuran
kasus diperlukan pemberian vasopres­ sedang-besar yang terletak dekat
sor, bisa diberikan: dengan korteks (<lcm ) pada pasien
a. Phenylephrine 2-10pg/kg/menit berusia <45 tahun dengan SKG 9-12,
b. Dopanvn 2-10pg/kg/menit atau dapat dipertimbangkan evakuasi he­
matom supratentorial dengan kra­
c. Norepinefrin dimulai dengan 0,05-
niotomi standar (AHA/ASA kelas lib,
0,2pg/kg/menit dan dititrasi sampai
level B)
efek yang diinginkan.
d. Evakuasi rutin hematom supraten­
5. P e n a ta la k s a n a a n B e d a h
torial dengan kraniotomi standar
Evakuasi rutin hematom dengan pem-
dalam 96 jam tidak direkomenda-
bedahan seharusnya tidak dilakukan.
sikan (AHA/ASA kelas III, level A),
Tidak didapatkan bukti evakuasi hema­
kecuali pada hematom lobaris 1cm
tom memperbaiki keluaran dan tidak dari korteks.
didapatkan data mengenai kraniektomi
dekompressi memperbaiki keluaran 6. P e m b e ria n O b a tA n tie p ile p s i (O A E )
setelah perdarahan intrakranial (AHA/ Pemberian OAE yang sesuai seharusnya
ASA kelas lib, level B). Kraniotomi yang selalu digunakan untuk terapi bangkitan
sangat dini dapat disertai peningkatan Minis pada pasien dengan stroke hemo­
risiko perdarahan berulang (AHA/ASA ragik (AHA/ASA kelas I, level B). Pembe­
kelas lib, level B). Namun demikian, tin- rian profilaksis OAE tidak direkomendasi-
dakan bedah yang dilakukan lebih awal kan. Pada pasien koma (SKG <8) termasuk
[early surgery) dapat bermanfaat pada pada perdarahan profunda di supratento­
pasien dengan SKG 9-12. Pada prin- rial [intracerebral hemorrhage supratento­
sipnya, pengambilan keputusan tergan- rial profunda) dapat dipertimbangkan elek-
tung lokasi dan ukuran hematom dan troensefalografi (EEG) monitoring 24 jam.
status neurologis penderita. 7. P e n c e g a h a n P e rd a r a h a n In tr a s e r e ­
Secara umum indikasi bedah pada perda­ b r a l B e ru la n g
rahan intraserebral sebagai berikut: Tata laksana hipertensi non-akut merupa-
a. Hematom serebelar dengan diameter kan hal yang sangat penting untuk menu­
>3cm yang disertai penekanan batang runkan risiko perdarahan berulang (AHA/
otak dan atau hidrosefalus akibat ob- ASA kelas I, level A). Kebiasaan merokok,
struksi ventrikel seharusnya dilaku­ alkoholisme berat, dan penggunaan ko-
kan dengan sesegara mungkin (AHA/ kain merupakan faktor risiko perdarahan
ASA kelas I, level B). intraserebral, sehingga direkomendasikan
untuk menghentikan kebiasaan tersebut
b. Pendarahan dengan kelainan struk-
(AHA/ASA kelas 1, level B).
tur seperti aneurisma atau malfor-

525
Bulat Ajar Neurologi

8. Rehabilitasi Medik 8. Samuels MA, Ropper AH. Samuel's manual of


neurologic therapeutics, Edisi ke-8 . Philadelphia:
Selayaknya stroke iskemik, fisioterapi
Lippincott Williams & Walkins; 2010.
dan mobilisasi cepat sangat dianjurkan 9. Biller J. Practical neurology. Philadelphia: Lippin­
pada mereka stabil secara klinis (AHA/ cott Williams & Wilkins; 2009,
10. Lindsay P, Bayley M, Heflings C, Hill M, Woodbury E,
ASA kelas I, level C).
Phillips S, dkk Canadian best practice recommen­
dations for sfroke care (updated 2008], CMAJ. 2008;
DAFTARPUSTAKA 179(12)31-25.
1. Adam RD, Victor M. Principles of neurology. Edisi 11 . Broderick J, Connolly S, Feldmann E, Hanley D, Kase
ke-8 . New York: Me Graw Hill; 2005. C, Krieger D, dkk Guidelines for the management
2 . Flaherty ML, Woo D, Broderick JP. The epide­ of spontaneous intracerebral hemorrhage in adults
miology of intracerebral hemorrhage. Dalam: 2007 update: a guideline from the American Stroke
Carhuapoma JR, Mayer SA, Hanley DF, editor. In­ Association Stroke Council, High Blood Pressure
tracerebral hemorrhage. Cambridge: Cambridge Research Council, and the Quality of Care and Out­
University Press; 2010. h. 1-10. comes in research interdisciplinary working group.
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Stroke. 2007;38:2001-23.
Departemen Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar 12 . OHSU Health Care System. Acute stroke practice
(RISKESDAS) 2013. Jakarta: Departemen Kesehatan guidelines for inpatient management of intracerebral
RI; 2014. hemorrhage. Oregon Health & Science University
4. Yudiarto F, Machfoed M, Darwin A, Ong A, [serial online], 2010 [diunduh 21 Desember 2016].
Karyana M, Siswanto. Indonesia stroke registiy. Tersedia dark Oregon Health & Science University.
Neurology. 2014;82(10): suppl 110-2.003. 13. Dewey HM, Chambers BR, Donnan GA. Stroke.
5. Caplan LR. Stroke: a clinical approach. Edisi ke-4. Dalam: Warlow C, editor. The Lancet handbook
Philadelphia: Saunders Elsevier Inc; 2009. of treatment in neurology. Edisi ke-1. London: El­
6 . Hemphill JC, Greenberg SM, Anderson CS, Becker sevier Ltd; 2006. h. 87-116.
K, Bendok BR, Cushman M, dkk. Guidelines for the 14. Kothari RU, Brott T, Broderick JP, Barsan WG,
management of spontaneous intracerebral hem­ Sauerbeck LR, Zuccarello M, dkk. The ABCs of
orrhage. A guideline for healthcare professionals measuring intracerebral hemorrhage volumes.
from the American heart association/American Stroke. 27:1304-5.
stroke association. Stroke. 2015;46[12):l-34. 15. Broderick J, etal. Guidelines for the Management
7. Steiner T, Al-Shahi SR, Beer R, Christensen H, Cor- of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage in
donnier C, Csiba L, dkk. European Stroke Organisa­ Adults. Stroke. 2007; 38(6):2G01-2023.
tion (ESO) guidelines for the management of spon­ 16. Elliott J, Smith M. The Acute Management of
taneous intracerebral hemorrhage. Int J of Stroke. Intracerebral Hemorrhage: A Clinical Review.
2014; 9(7}:840~55. Anesthesia & Analgesia. 2010; 110(5):1419-1427.
17. Andersen KK, Olsen TS, Dehlendorff C, Kammers-
gaard LP. Hemorrhagic and ischemic strokes
compared: stroke severity, mortality and risk
factors. Stroke. 2009;40(6):2068-72.

526
PERDARAHANSUBARAKNOID

Rakhmad Hidayat, Salim Harris, Al Rasyid,


Mohammad Kurniawan, Taufik Mesiano

PENDAHULUAN sistem ventrikel, sisterna, dan fisura [Gam-


Perdarahan subaraknoid [PSA) adalah bar 1). Istilah PSA ini dapat digunakan un-
ekstravasasi darah menuju ruang suba­ tuk kasus traumatik ataupun nontraumatik,
raknoid di antara membran araknoid dan namun dalam bab ini yang akan dibahas
pial. Perdarahan dapat terdistribusi di adalah nontraumatik.

Ventrikelke-emoat Sisterna
kuadrigeminaiis Ventrikel
Sisterna suprasela
ke-tiga

Fisura Sylvii Kornu fronts le

(bagian basal) ventrikel lateral

Fisura
interhemisferika
anterior

G am bar 1. A natom i Sistem V entrik el S e re b ra l pada P em eriltsaan CT Scan

527
Buku Ajar Neurologi

Tabel 1. Epidemiologi Perdarahan Subaralmoid an, dibutuhkan kolaborasi antara neurolog,


n/100.000 Pasien bedah saraf, ahli neurointervensi, dan inten-
Insidens
per Tahun sivist dalam diagnosis dan manajemen akut
Keseluruhan 10,5 [9,9-11,2)
Finlandia 22,0 [20,0-23,0) dari PSA secara komprehensif.
Jepang 23,0 [19,0-28,0)
Regio lain 7,8 [7,2-8,4)
Pemeriksaan Virtual dengan 5,7
EPIDEMIOLOGI
100% CT scan Insidens PSA secara keseluruhan berdasar­
Perempuan 7,1 [5,4-8,7) kan satu literatur adalah 10,5 per 100.000
Lelaki 4.5 [3.1-5.81
penduduk pertahun di dunia. Insidens ini
Sumben Suarez JI, dkk NEngl J Med 2006. h. 387-96.
berbeda-beda pada tiap literatur, bergan-
tung pada jenis kelamin, ras, wilayah, dan
Tahel 2. Penyebab Perdarahan Subaraknoid
usia. Perempuan memiliki risiko 1,6 kali
Etiologi % lipat lebih tinggi dari pria, kulit hitam 2,1
Ruptur aneurisma 85
kali lipat lebih sering daripada kulit putih,
Perdarahan perimesense- 10
falik nonaneurisma serta Jepang dan Finlandia merupakan ne-
Sumben SuarezJf, dkk NEngl j Med 2006. h. 387-96. gara dengan insidens PSA tinggi, yaitu 22-23
per 100.000 penduduk per-tahun (Tabel 1).
PSA dapat dikenali berdasarkan gejala klinis Insidens PSA meningkat seiring dengan per-
dan pencitraan. Gejala klinis PSA tersering tambahan usia, meskipun demikian, separuh
adalah sakit kepala hebat mendadak, walau- pasien PSA berusia di bawah 55 tahun.
pun banyak pasien mungldn tidak ke dolcter
Angka kejadian fatal PSA akibat aneurisma
pada onset ini. Gejala berikutnya dapat beru-
sekitar 50%; sebanyak 10-15%-nya mening-
pa penurunan kesadaran ataupun kejang,
gal sebelum tiba di RS, sementara 20% yang
yang membuat pasien dilakukan CT scan.
bertahan akan mengalami ketergantungan
Pada masa sebelum CT scan, perdarahan intra- dalam aktivitas sehari-hari.
serebral (PIS) yang minimal masih sering di-
ldasifikasikan sebagai stroke iskemik dan PSA ETIOLOGI
sering sulit didiagnosis dengan benar. Namun Penyebab tersering PSA adalah ruptur aneu­
uniknya, seiring dengan terjangkaunya CT risma (85%), diikuti perdarahan perimesense-
scan hingga semakin banyak proporsi orang falik nonaneurisma (10%), dan 5% sisanya
yang diperiksa dengan CT scan, data epidemi­ aldbat kondisi lainnya (Tabel 2).
ologi terbaru malah menunjukkan penurunan
insidens dalam 30-40 tahun terakhir. PATOFISIOLOGI
PSA diperkirakan terjadi hanya pada 5% PSA disebabkan oleh berbagai macam
dari semua angka kejadian stroke, akan etiologi, sehingga mekanisme terjadinya
tetapi dampaknya terhadap kehilangan usia perdarahan berbeda juga berbeda-beda,
produktifnya serupa dengan infark serebral Berikut dibahas patofisiologi dari bebera-
ataupun PIS. Hal tersebut disebabkan kare- pa etiologi, yakni aneurisma intrakranial,
na PSA menyerang pada usia yang relatif perdarahan perimesensefalik non-aneuris-
muda dan seringkali fatal. Dengan demiki- mal, dan diseksi arteri intrakranial.

528
Perdarahan Subaraknoid

L. Aneurisma Intrakranial Studi menunjukkan adanya penu-


Aneurisma pembuluh darah bukanlah runan protein matriks ekstraseluler
kongenital, namun didapat dalam per- pada dinding arteri intrakranial, yaitu
jalanan hidup, terutama pada dekade ke- kolagen tipe III, kolagen tipe IV, dan
2. Pada kasus tertentu terdapat penye- serat elastin. Penurunan tersebut aki-
bab yang mendasarinya, seperti trauma, bat gangguan degradasi dan sintesis
infeksi, atau penyakit jaringan penun- konstituen protein matriks ekstras­
jang. Penyebab aneurisma tumbuh ti- eluler yang diregulasi oleh protease
dak diketahui dengan pasti, meskipun (seperti matriks me-taloproteinase,
terdapat berbagai faktor risiko ataupun elastase neutrofil atau leukosit), in­
kondisi predisposisi. hibitor protease (seperti tissue inhibi­
Aneurisma lebih sering muncul di intrakra­ tor dari matriks metaloproteinase dan
nial dibandingkan ekstrakranial, karena a l antitripsin), faktor pertumbuhan
dinding arteri intrakranial lebih tipis. Hal (growth factor), dan sitokin. Adanya
tersebut disebabkan tunika media yang me- akselereasi degradasi protein matriks
nipis dan hilangnya lamina elastika ekster- ekstraseluler ini dipikirkan akibat
na yang dibuktikan pada pemeriksaan mi- gangguan keseimbangan protease dan
kroskopik. Dinding aneurisma hanya terdiri inhibitornya.
dari lapisan intima dan adventisia, serta ja­ Disrupsi protein matriks ekstrase­
ringan fibrohialin interposed dengan jumlah luler tidak hanya ditemukan pada an­
bervariasi (Gambar 2a). eurisma, tetapi juga di kulit, serta ti­
Tekanan pulsasi tinggi maksimal di titik dak berbeda antara arteri intrakranial
percabangan di proksimal arteri sekitar atau ekstrakranial. Dengan demikian,
sirkulus willisi. Oleh karena itu, lokasi per­ aneurisma intrakranial tidak hanya
cabangan arteri, biasanya di basis kranii, merepresentasikan penyakit lokal,
baik di sirkulus Willisi ataupun di dekat ti­ namun lebih sesuai dengan gangguan
tik percabangan, merupakan lokasi utama matriks ekstraseluler umum.
dari pembentukan aneurisma ateroskle- b. Aneurisma familial
rosis. Titik ruptur aneurisma biasanya di Sekitar 10% pasien PSA memiliki
kubah lesi (Gambar 2b). 1 atau lebih saudara kandung yang
Beberapa faktor predisposisi yang di- mempunyai aneurisma juga. Risiko
curigai sebagai penyebab munculnya PSA pada keluarga generasi pertama
aneurisma adalah: 5 kali lipat lebih tinggi daripada yang
a. Struktur abnormal dinding pembuluh tidak. Pasien PSA familial pada umum-
darah nya memiliki aneurisma yang lebih
Abnormalitas yang menjadi predispo­ besar daripada PSA spontan, serta
sisi aneurisma dicurigai berupa ae- onset yang lebih muda. Pada keluarga
fek lapisan muskular dinding tunika dengan dua generasi mengalami PSA,
media yang terjadi secara kongenital. onset PSA pada generasi yang lebih
muda pada umumnya lebih dini.

529
Buku Ajar Neurologi

Gambar 2. Patologi Aneurisma Intrakranial


(a) anatomi aneurisma pembuluh darah;
(b) ruptur pembuluh darah

c. Penyakit ginjal polikistik autosom yang diduga sebagai penyebab mun-


dominan (PGPAD) culnya aneurisma.
Aneurisma intrakranial ditemukan
e. Penelitian genetik
pada sekitar 10% pasien PGPAD.
Sejauh ini hubungan positif ditemukan
Meskipun PSA sering terjadi pada
pada gen kolagen tipe III-A1, kolagen
pasien PGPAD, oleh karena kasus PG­
tipe I-A2, a l antitripsin, dan inhibitor
PAD sedikit, maka pasien PSA dengan
serine proteinase (SERPINA3).
PGPAD kurang dari 1%.
f. Aneurisma baru pascaPSA
Pertumbuhan aneurisma pada pasien
Pasien PSA yang dapat bertahan hidup
PGPAD tidak terkait hipertensi, namun
dan memiliki aneurisma yang sudah di-
lebih karena mutasi gen. Terdapat 2 ke-
tataiaksana mempunyai risiko terjadi-
lompok mutasi gen, yaitu PGP 1 (85% )
nya aneurisma baru dan episode PSA
yang mengalami mutasi pada kromo-
baru dalam 10 tahun pascaPSA, yakni
som 16p dan PGP 2 (15% ) yang men­
16%. Risiko PSA rekuren pascaclipping
galami mutasi pada kromosom 4q.
sekitar 2-3% dan 20 kali lebih tinggi
Aneurisma, ditemukan lebih banyak
dibandingkan dengan orang normal.
pada pasien PGP 1.
g. Faktor risiko yang didapat
d. Penyakit Ehlers-Danlos tipe IV
Terdapat beberapa faktor yang didu­
Penyakit ini sangat berhubungan erat
ga meningkatkan risiko pertumbuhan
pertumbuhan aneurisma. Namun
aneurisma secara bermakna, yaitu;
karena sangat jarang, maka jarang
merokok (risk ra tio / RR] 2,2 [IK95%
pula ditemukan pada pasien dengan
1,3-3,6]), hipertensi (RR 2,5 [2,0-
PSA. Penyakit Ehlers-Danlos tipe IV
3,1]), dan konsumsi alkohol (RR 2,1
memiliki defek pada kolagen tipe III

530
Perdarahan Subaraknoid

[1,5-2,8]). Faktor lain seperti etnis 2. Perdarahan P erim esen sefalik


nonkulit putih (RR 1,8 [0,8-4,2]) dan Pada perdarahan perimesensefalik, ter-
kontrasepsi oral (RR 5,4 [0,7-43,5]) dapat distribusi ekstravasasi darah pada
juga meningkatkan risiko, namuntidak CT angiografi, terutama di anterior dari
bermakna. Hormone replacement the­ mesensefalon dan sisterna interpedun-
rapy (RR 0,6 [0,2-l,5]),hiper-kolester- kular, serta di sisterna kua-drigeminal.
olemia (RR 0,8 [0,6-1,2]), dan diabetes
Pola perdarahan tidak spesifik membeda-
(RR 0,3 [0-2,2]) diduga menurunkan
kan PSA akibat perdarahan perimesense­
resiko, namun juga tidak bermakna.
falik atau ruptur aneurisma. Satu dari 20
Selain itu, didapatkan pula penyebab kasus PSA dengan pola perdarahan ini,
iatrogenik, seperti: terapi radiasi, acry­ memiliki aneurisma. Sebaliknya 10-20%
late yang dipasang eksternal ke arteri ruptur aneurisma fossa posterior memiliki
intrakranial untuk dekompresi mikro- pola perdarahan perimesensefalik. Diper-
vaskuler, dan operasi bypass superficial lukan pemeriksaan angiografi untuk mem-
temporal artery-middle cerebral artery bedakan keduanya.
dengan pembentukan aneurisma di lo-
Autopsi postmortem untuk mengeta-
kasi anastomosis.
hui penyebab perdarahan perimesense­
Pemicu Ruptur Aneurisma falik jarang dilakukan, karena umumnya
Penyebab ruptur masih belum banyak pasien memiliki keluaran bagus. Oleh
di-ketahui, yang paling rasional adalah karena itu hingga saat ini tidak diketa-
peningkatan mendadak tekanan da- hui penyebabnya. Namun ada beberapa
rah. Oleh karena itu, faktor-faktor pembuluh darah yang diduga sebagai lo-
yang dapat meningkatkan tekanan da- kasi ruptur, yaitu drainase vena ke batang
rah dipikirkan berhubungan de-ngan otak, aneurisma fossa posterior, dan
onset PSA, antara lain: vaskularisasi abnormal di batang otak.
® Aktivitas fisik (2 -2 0 % ); aktivitas 3. D iseksi Arteri Intrakranial
fisik berat terjadi pada 3% pasien Diseksi umumnya terjadi pada arteri
(RR 15,0; IK95% 4,3-52,2) dan karotis dibandingkan arteri vertebra-
aktivitas fisik menengah hingga lis, tetapi PSA lebih sering pada arteri
maksimal 2 jam sebelum PSA ter­ vertebralis. Beberapa penyebab diseksi
jadi pada 19% (RR 2,7 [1,6-4,6]) adalah rotasi leher berlebihan, trauma
• Hubungan seksual (0-11% ) hiperekstensi, serta iatrogenik akibat
• Aktivitas manuver valsava (4-20% ) manipulasi osteopatik atau pada operasi
bedah saraf.
• Stres (1-2% )
• Merokok 3 jam sebelum onset PSA Vasospasm e
(rasio Odds (RO) 7,0; 1K95% 3,7-13,1) Pada PSA terjadi vasospasme atau penyem-
pitan pembuluh darah, umumnya pada hari
® Konsumsi alkohol lebih dari 5 unit
ke-4, mencapai puncaknya mulai hari ke-7
(RO 4,3 [1,5-12,3)

531
Buku Ajar Neurologi

hingga ke-10, dan menghilang spontan 2. Penurunan Kesadaran


setelah hari ke-21. Hal ini dimulai dengan Penurunan kesadaran terjadi pada lebih
adanya kontak antara oksihemoglobin dari dari setengah pasien dengan PSA aneu­
pembuluh darah yang pecah, dengan din- risma. Beberapa pasien mengeluhkan
ding pembuluh darah bagian luar, Tim- sakit kepala sebelum mereka kehilang-
bulnya vasospasme menyebabkan iskemik an kesadaran. Sebaliknya pada perda­
yang disebut sebagai delay cerebral ische­ rahan perimesensefalik nonaneurisma,
mia, yaitu iskemik luas di daerah vaso­ kesadaran umumnya normal. Meskipun
spasme yang dapat menjadi infarlc dan me- demikian, penurunan kesadaran tidak
nimbulkan kematian sel otak. Vasospasme menyingkirkan diagnosis perdarahan
terjadi pada berbagai level di sirkulasi ar- perimesensefalik, karena hidrosefalus
teri dan arteriol. Penyempitan pembuluh akut dapat memicu koma pada jam per-
darah besar dapat dideteksi menggunakan tama setelah perdarahan.
angiografi pada 50% kasus PSA dengan ge- Onset penurunan kesadaran sangat pen-
jala iskemia. ting diketahui. Penurunan kesadaran yang
munculnya pada awal pemeriksaan perlu
GEJALA DAN TANDA KLINIS dipildrkan dimulai sejak awal onset atau
Adapun gejala dan tanda yang ditemukan tidak. Jika muncul sejak awal onset di-
pada pasien dengan PSA adalah sebagai pikirkan disebabkan oleh arteri, sedang-
berikut: kan jika belakangan berkaitan dengan
1. Sakit Kepala gagalnya perfiisi global akibat peningkatan
Kata kunci pada anamnesis adalah nyeri TIK. Perdarahan yang muncul belakangan,
kepala hebat yang tidak biasa. Rasa nyeri dipikirkan memilild penyebab yang dapat
muncul tiba-tiba dalam waktu sesaat ditangani, seperti hidrosefalus akut atau
atau beberapa menit, menimbulkan pembentukan edema di sekitar PIS.
sensasi kilatan, petir dari langit, atau se-
3. Kejang
perti kepala dibenturkan, sehingga sering
Kejang epileptik saat onset dapat terjadi
disebut sebagai thunderclap headache .
pada 10% pasien PSA aneurisma. Secara
Kecepatan onset dapat membantu mem-
umum, kejang pada pasien berusia <25
bedakan aneurisma dengan perdarah-
tahun dapat dipikirkan PSA aneurisma
an perimesensefalik. Sakit kepala pada
apabila terdapat sakit kepala pascaiktal
perdarahan perimesensefalik muncul
yang tidak biasa, memberat atau me-
dalam hitungan menit (35% ], sementara
manjang. Kejang pada PSA juga dapat di-
aneurisma dalam hitungan detik (20% ).
hubungkan dengan etiologi non-aneuris-
Sakit kepala 9x lebih sering ditemukan
ma, seperti diseksi arteri vertebralis atau
pada aneurisma dibandingkan dengan
malformasi vaskular. Namun, kejang be-
perdarahan perimesensefalik.
lum pernah didokumentasikan pada PSA
perimesensefalik.

532
Perdarahan Subaraknoid

4. Riwayat Tambahan arga inti dengan PSA


Sakit kepala hebat episode sebelumnya
5. Kaku Kuduk
meningkatkan kemungkinan PSA aneu-
Kaku kuduk adalah tanda umum pada
risma, selain sakit kepala yang menda-
PSA tetapi membutuhkan waktu bebe­
dak hebat. Sakit kepala ini dipikirkan
rapa jam untuk terjadi, oleh karena itu
akibat adanya rembesan perlahan dari
tidak dapat digunakan untuk meng-
PSA yang merupakan tanda bahaya yang
eksklusi diagnosis jika pasien ditemui
disebut sebagai warning leaks. Sepertiga
segera setelah onset sakit kepala. Kaku
pasien dapat mengingat episode sakit
kuduk juga akan menghilang pada koma
kepala ini yang umumnya tidak biasa,
dalam. Diagnosis banding lain yang ha-
berat, dan bertahan beberapa jam.
rus dipikirkan pada kaku kuduk adalah
Riwayat tambahan lainnya yang dapat meningitis.
membantu diagnosis adalah riwayat
6. Perdarahan Subhialoid
cedera kepala dipikirkan fistula dural
Perdarahan subhialoid (Gambar 3) se­
arteriovena; gangguan katup jantung
bagai salah satu tanda PSA, merupakan
dipikirkan aneurisma mikotik; serta pe-
perdarahan preretina. Perdarahan ini
nyakit sickle cell, miksoma jantung, apo-
terjadi jika terdapat peningkatan tekan-
pleksi hipofisis, dan gangguan koagulasi.
an cairan serebrospinal [CSS] mendadak
Selain itu, riwayat keluarga dengan PSA
yang masuk ke ruang subaraknoid seld-
dapat membantu memberi petunjuk
tar nervus optikus dan menyekat aliran
pada pasien dengan sakit kepala men-
vena dari retina sehingga memicu ruptur
dadak. Hal ini dikarenakan terdapat pe-
vena retina.
ningkatan risiko PSA pada riwayat kelu­

Gambar 3. Perdarahan Subhialoid pada Funduskopi

533
Buku Ajar Neurologi

7. Demam ® Paresis nervus kranialis akibat


Pada banyak pasien, terjadi peningkatan penekanan aneurisma
suhu pada 2-3 hari pertama PSA. Jika © Defisit neurologis fokal akibat hasil
suhu tidak melebihi 38,5°C dan denyut dari kompresi lokal jaringan otak
nadi tidak meningkat, biasanya tidak
• Defisit neurologis fokal akibat iske-
disebabkan oleh infeksi.
mik jaringan oleh emboli
8. Peningkatan Tekanan Darah • Epilepsi fokal hasil dan reorganisasi sel
Pada pasien dengan PSA terdapat pe­ glia akibat kompresi lokal dan iskemik
ningkatan tekanan darah disertai sakit jaringan oleh penekanan aneurisma
kepala mendadak, sedangkan jika terjadi
© Hemiparesis akibat PSA yang besar di
penurunan tekanan darah maka harus
fisura Sylvii
dipikirkan sebagai apopleksi hipofisis
© Ataksia serebelar akibat diseksi arteri
atau karena kerusakan sekunder miokar-
diak akibat ruptur aneurisma intrakrani- vertebral is
al. Hal ini disebabkan ketika terjadi rup­ © Paraparesis aldbat penekanan aneu­
tur aneurisma, terjadi abnormalitas EKG risma arteri komunikans anterior atau
dan terkadang muncul henti jantung. malformasi arteriovena ( arteriovenous
malformation/AS/M] spinal
Kelainan jantung yang dideteksi pada
© Gangguan melirik ke atas yang mung-
EKG saat PSA adalah dapat berupa depre-
kin disebabkan hidrosefalus atau
si atau elevasi gelombang ST, perubahan
penekanan pada bagian proksimal
gelombang T, munculnya gelombang
dari akuaduktus Sylvii.
Q patologis, dan branch bundle block.
Kelainan jantung ini dapat menambah Selain mengetahui gejala dan tanda ldinis,
risiko terjadinya delayed cerebral ischemia penting untuk mengetahui derajat keparah-
dan keluaran yang buruk. an perdarahan subaraknoid. Penilaian ini
dilakukan dengan menggunakan beberapa
9. Defisit Neurologis Fokal
sistem (Tabel 3), antara lain skor Hunt and
PSA dapat menimbulkan berbagai de­
fisit neurologis fokal dengan mekanisme
Hess dan skor World Federation o f Neuro­
yang beragam, yaitu:
logical Surgeons (WFNS).

<A
0 ^ 0*

yv'
<r m •jV
-3 ^

Wv
/
p* rsV ^ r T

534
Perdarahan Subaraknoid

Tabel 3. Skor Penilaian Derajat Keparahan Perdarahan Subaraknoid


Skor Hunt and Hess
Skor Deskripsi_______________________________________________________________
1 Asimtomatik, atau sakit kepala ringan
2 Sakit kepaia berat dengan tanda rangsang meningeal dan kemungkinan adanya
defisit saraf kranialis
3 Kesadaran menurun dengan defisit fokal neurologi ringan
4 Stupor, hemiparesis sedang berat, deserebrasi dini
5 Koma dalam, deserebrasi
Skor World Federation o f Neurological Surgeons
Skor SKG Gejala Klinis
1 15 Defisit motorik (-]
2 13-14 Defisit motorik (-)
3 13-14 Defisit motorik (+}
4 7-12 Defisit motorik +
5 3-fi Defisit motorik +
SKG: Skala Koma Glasgow

Adapun terjadinya vasospasme tidak selalu spesifisitas yang sangat baik (masing-ma­
menimbulkan gejala. Banyak pasien dengan sing 92,9% dan 100% ). CT scan juga dapat
penyempitan arteri besar yang tidak menge- membantu melihat pola perdarahan dan
luhkan gejala klinis. Di sisi lain, seringkali dite- memperkirakan lokasi aneurisma, yaitu:
mukan pasien dengan gejala iskemia dan infark
a. Perdarahan intraserebral
serebri tanpa adanya vasospasme yang terde-
Perdarahan di sisterna subaraknoid
teksi. Terdapatbeberapa foktor yang berkontri-
kurang spesifik untuk menentukan lo­
busi dalam menimbulkan iskemia dan infark,
kasi aneurisma, karena setelah 5 hari,
antara lain gangguan mikrosirkulasi distal,
50% pasien tidak lagi menunjukkan
anatomi kolateral yang buruk, variasi genetik
ekstravasasi darah. Dengan demikian
ataupun variasi fisiologis pada toleransi seluler
sangat penting pula untuk melihat dila-
terhadap keadaan hipoksia. Delayed cerebral
tasi minimal kornu temporal ventrikel
ischemia pada vasospasme merupakan penye-
lateral serta fisura dan sulkus. Adapun
bab utama kematian dan kecacatan pada kasus
pola perdarahan menurut pembuluh
PSA akibat aneurisma,
darah dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5.

DIAGNOSIS b. Perdarahan intraventrikular


Diagnosis ditegakkan dengan bantuan be- Perdarahan intraventrikular dapat
berapa modalitas beserta kekurangan dan merupakan sekunder dari perdarahan
kelebihannya masing-masing berikut ini: intraserebral. Perdarahan ini umum-
nya berasal dari arteri komunikans
1. CTSca/i
anterior dengan darah masuk ke ven­
CT scan adalah pemeriksa penunjang di-
trikel ke-3 dan ke-4 melalui lamina
agnostik lini pertama untuk PSA, karena
terminalis. Perdarahan pada ventrikel
kemudahannya untuk menilai ekstrava-
ke-3, tetapi tidak pada ventrikel la-
sasi darah serta memiliki sensitivitas dan

535
Buku Ajar Neurologi

Tabel 4. Pola Perdarahan Intraserebral Berdasarkan Pembuluh Darah


Lokasi Pola Perdarahan Intraserebral
Arteri komunikans anterior Perdarahan di garis tengah depan menyebar ke lobus frontal
Arteri perikalosai Perdarahan di perikalosai sisterna
Arteri komunikans posterior Perdarahan di bagian medial lobus temporal
Arteri karotis interna Perdarahan besar median dari temporal menjorok melibatkan lobus
frontal
Origin arteri oftalmika Perdarahan melibatkan lobus frontal tetapi tidak melibatkan garis tengah
Arteri serebri media Lobus temporal, mengikuti garis fisura Sylvii lateral menjorok ke median
ke arah putamen
Arteri sirkulasi posterior Jarang membentuk perdarahan intraserebral

Tabel 5. Pola Perdarahan Ekstravasasi Berdasarkan Pembuluh Darah


Lokasi Pola Perdarahan Ekstravasasi
Arteri serebri anterior Fisura frontal interhemisfer
Arteri perikalosai Fisura interhemisfer sisterna kailosal
Arteri komunikans anterior Perluasan ke fisura interhemisfer sisterna kalosal
Arteri karotis interna, awal percabangan arteri Sisterna supraselar yang bisa meluas ke fisura Sylvii
komunikans posterior
Arteri serebri media Junction bagian basal dan lateral fisura Sylvii yang menyebar
ke fisura lateral
Arteri basilaris Suprasela, sisterna ambiens, sisterna Sylvii basal dan inter­
hemisfer
Arteri serebelar posterior inferior _____________Fossa posterior__________________________________________

feral, mengindikasikan ruptur arteri miliki aneurisma pada pemeriksaan


basilaris, terutama jika bagian pos­ angiografi dan 2/3-nya menunjukkan
terior sisterna basilar terisi dengan perdarahan basal, terutama hanya di
baik. Pengisian darah pada ventrikel sisterna perimesensefalik. Akan tetapi,
keempat dan sedikit pada ventrikel 1 dari 20 perdarahan perimesense­
ketiga dapat dicurigai berasal dari ar­ falik memiliki aneurisma yang berlo-
teri serebelaris posterior inferior (pos­ kasi di posterior. Prediksi ruptur an­
terior inferior cerebellar artery/PICA). eurisma pada pasien PSA dengan pola
perdarahan perimesensefalik yang
c. Perdarahan subdural tidak dilakukan operasi hanya sekitar
Hanya terjadi pada 2-3% kasus, teru­ 5%. Dengan demikian, angiografi di-
tama pada kasus rebleeding. Pasca- anggap tidak perlu diulang jika pada
ruptur aneurisma, dapat terjadi per- angiografi pertama tidak ditemukan
lekatan kubah aneurisma dengan aneurisma. Berbeda dengan pola
membran araknoid serta traksi vena- perdarahan lain, pada perdarahan
vena yang berada di ruang subdural perimesensefalik tetap perlu dilaku­
dan menyebabkan perdarahan. kan digital subtraction angiography
d. Perdarahan perimesensefalik (DSA) walau CT angiografi menunjuk­
Sebanyak 15% pasien PSA tidak me- kan tidak ada aneurisma.

536
Perdarahan Subaraknoid

e. Pola perdarahan lain dan sumbernya simpan di ruang subaraknoid di dekat


Perdarahan basal dapat disebabkan aneurisma pada 3 dari 4 subyek, hingga
oleh diseksi arteri vertebralis, fis­ 3 bulan onset PSA. Oleh karena itu pada
tula dura tentorium, AVM pada dae- pasien dengan sakit kepala beberapa
rah leher, penyalahgunaan kokain minggu, MRI masih dapat dipakai untuk
ataupun aneurisma mikotik dengan mendiagnosis adanya hemosiderin di ru­
aspergillosis. PSA traumatik dapat ang subaraknoid.
mengisi fisura Sylvii, sehingga sulit
Kekurangan MRI adalah tidak semua
dibedakan dengan PSA akibat ruptur
sekuens sensitif dalam mengidentifikasi
aneurisma, Selain itu, trauma lang-
darah, seperti fluid-attenuated inversion
sung pada leher atau trauma kepala
recovery [FLAIR), fast spin echo T2 dan
dengan pergerakan leher yang he-
proton density [PD) weighted images. Pem-
bat dapat menyebabkan perdarahan
berian kontras Gadolinium juga dapat
basal, yang disebabkan robekan atau
memberikan impresi yang salah, terutama
ruptur arteri sirkulasi posterior.
pada sekuens FLAIR. Kekurangan lainnya
2. Magnetic Resonance Imaging (M RI) yakni, pemeriksaan yang lama dan tidak
MRI baik untuk mengindikasikan [ruling semua RS memiliki MRI.
in) tetapi tidak mengeksklusi [ruling out)
3. Pungsi Lumbal
PSA. Pada fase akut, terutama dalam 24
Pungsi Lumbal dapat dilakukan untuk me-
jam pertama, darah dapat diidentifikasi de­
nyingkirkan diagnosis pada pasien dengan
ngan adanya hiperintensitas pada sekuens
klinis PSA tetapi tidak ditemukan perda­
spin echo T2-weighted images [WI) dan
rahan pada CT scan. Untuk membedakan
bahkan lebih baik pada sekuens T2 gradi­
darah pada CSS akibat PSA dengan darah
ent echo dengan gambaran hipointensitas.
akibat trauma jarum pungsi, maka CSS
Sekuens lain yang dapat digunakan adalah
dikumpulkan dalam beberapa tabung, bi-
T1WI yang memberikan gambaran hiper­
asanya mencapai 3 tabung. Apabila warna
intensitas yang dapat menetap hingga 2
darah di CSS menetap pada semua tabung,
minggu. Hal ini kadang tidak membantu
maka pasien dapat didiagnosis PSA.
menunjukkan lokasi aneurisma, walau-
pun dapat menunjang dugaan PSA sudah 4. CTAngiografi
terjadi. Oleh karena kerumitan penilaian Angiografi diperlukan tidak hanya untuk
gambaran hiperintens tersebut sebagai mengidentifikasi ruptur aneurisma atau­
PSA atau bukan, maka pada pasien PSA on­ pun aneurisma yang belum ruptur, tetapi
set 2 minggu, pemeriksaan pungsi lumbal juga memberikan konfigurasi anatomi un­
bisa jadi lebih sensitif daripada MRI untuk tuk membantu menentukan pilihan tata
mendeteksi adanya PSA. laksana optimal [Gambar 4).
Tetapi, pada satu penelitian dengan 58 Sensitivitas CT angiografi sudah men­
subyek, MRI T2WI, masih dapat men­ capai 90% di tahun 1 998 dan me-
deteksi deposisi hemosiderin yang ter- ningkat menjadi 95% pada era teknik

537
Buku Ajar Neurologi

CT scan multislice. Sensitivitas bahkan eurisma kecil [diameter <3mm), angka


mencapai 97% pada arteri serebri m e­ deteksi turun menjadi 38%. Keuntungan
dia. Namun, CT angiografi tidak dapat MRA terutama pada pasien follow up pas-
mendeteksi aneurisma kecil [diameter cacoiling dan pasien dengan aneurisma
2-3m m ). Untuk mendeteksi aneurisma asimtomatis yang dapat dideteksi tanpa
asim tom atik dengan CT angiografi, di- kontras.
perlukan kontras iodin, sehingga dapat
berisiko alergi.
6. Digital Sub traction Angiography (DSA)
Terdapat justifikasi bahwa untuk men-
Kelebihan utama CT angiografi diban-
diagnosis dengan tepat, maka DSA wa-
dingkan magnetic resonance angiography
jib diperiksa pada semua kasus PSA.
[MRA] ataupun DSA adaiah lebih cepat.
Meskipun demildan, pemeriksaan ini
CT angiografi dapat dilakukan segera
membutuhkan pertimbangan manfaat
setelah CT scan, sehingga diagnosis PSA
dan risiko, karena DSA bukan tanpa ba-
aneurisma dapat ditegakkan pada saat
haya. Risiko komplikasi transien atau
pasien masih di mesin CT scan.
permanen mencapai 1,8%. Selain itu
5. MR Angiography (MRA) terdapat risiko ruptur aneurisma selama
Sensivitas MRA biasa sekitar 75% dan prosedur, yakni sebesar 1-2 % dan 6 jam
meningkat menjadi 80-95% jika dilaku­ pascaprosedur meningkat hingga 5%,
kan dengan teknik tiga dimensi. Pada an­

A rte ri perikalosal

A rte ri se reb ri m edia

A rte ri kom unikans anterior

Cabang-cabangarteri karotis

Top o f basilar artery

Cabang-cabangarteri v e rte b ra l is

Gambar 4. Pemeriksaan Angiografi Serebral

538
Perdarahan Subaraknoid

Pemeriksaan DSA semakin awal semakin tauan vasospasme dapat dilakukan de­
baik, apalagi jika pasien direncanakan ngan menggunakan pemeriksaan penun-
tindakan segera coiling atau clipping jang, antara lain Doppler transkranial
dalam 3 hari pertama onset PSA. DSA [transcranial D oppler/ TCD], CT atau MR
dengan teknik 3D rotasional menjadi perfusi. TCD merupakan pemeriksaan
pilihan apabila dengan CT angiografi noninvasif untuk mendiagnosis vaso­
belum memberikan data yang jelas. spasme, khususnya arteri serebri me­
DSA wajib dilakukan apabila terdapat dia. Pemeriksaan ini dianjurkan dilaku­
kecurigaan penyebab lain PSA, seperti kan 1-2 hari sekali. CT atau MR perfusi
diseksi pembuluh darah, namun gagal dapat membantu mengidentifikasi dae-
dikonfirmasi pada CT angiografi dan rah otak yang mengalami iskemia. CT
MRA, Begitu pula pada pola perdarahan perfusi menjanjikan hasil yang lebih
tertentu yang negatif pada CT angiografi maksimal, namun pemeriksaan beru-
awal, maka wajib dilakukan DSA. Bah- lang dan paparan radiasi membatasi pe-
kan jika hasil DSA negatif, diindikasikan makaian CT perfusi.
pemeriksaan DSA ulang.
Teknik pencitraan DSA dapat berbeda TATA LAKSANA
menurut pembuluh darah tertentu. Pada Pada prinsipnya terdapat tata laksana
aneurisma arteri komunikans anterior, umum dan tata laksana komplikasi.
dibutuhkan pencitraan kedua teritori 1. Tata Laksana Umum
arteri karotis untuk mengidentifikasi Secara umum, tata laksana PSA sama
aneurisma dan bagian distal arteri sere- dengan tata laksana stroke perdarahan,
bri anterior yang terisi. Pada aneurisma sebagai berikut:
arteri karotis di bagian proksimal arteri a. Hipertensi
komunikans posterior, sangat penting Tata laksana hipertensi biasanya di-
diketahui pengisian PCA melalui arteri masukkan dalam tata laksana tradi-
basilaris. Pada aneurisma MCA, tidak ter- sional yang disebut triple-H, yaitu
lalu dibutuhkan informasi terkait teritori hipertensi, hipervolemilt, dan hemo-
lain. Pada pola perdarahan sesuai dengan dilusi. Hipertensi dibuat untuk men-
aneurisma sirkulasi posterior, angiogram jaga tekanan darah tetap tinggi agar
tidak boleh disebut negatif hingga kedua otak mendapat perfusi yang cukup,
arteri vertebralis tervisualisasi, karena tetapi tidak boleh terlalu tinggi untuk
aneurisma bisa muncul dari PICA atau- mencegah rebleeding .
pun cabang proksimal arteri vertebralis.
Rekomendasi tekanan darah adalah
Proses diagnosis delayed cerebral ische­ diturunkan jika mean arterial pressure
mia pada vasospasme masih menjadi (MAP) mencapai 130mmHg dengan
masalah tersendiri. Belum ada studi antihipertensi golongan penyekat
komparatif mengenai alur diagnosis beta secara intravena [IV]. Agen ini
yang membandingkan keluaran. Peman- memiliki waktu paruh pendek, dapat

539
Buku Ajar Neurologi

dititrasi dengan mudah, dan tidak 2. Tata Laksana Komplikasi


meningkatkan tekanan intrakranial a. Rebleeding
(TIK). Sebaiknya hindari golongan ni- Rebleeding dapat terjadi sebanyak
trat (nitroprusid atau nitrogliserin), 4,1% dalam 24 jam pertama pasca-
karena dapat menyebabkan pening- ruptur dan risiko kumulatif dalam 14
katan TIK. hari pertama sebesar 19%. Secara ke-
b. Peningkatan Tekanan Intrakranial seluruhan angka mortalitas rebleed -
® Perawatan di ICU dengan tirah ing sangat tinggi (78% ), sehingga
baring total dan intubasi. Pasien perlu ditatalaksana pencegahan, Hal
dapat dilakukan hiperventilasi ini dapat dilakukan dengan dua cara,
dengan pC02 sekitar 30-35mmHg yakni: tindakan bedah berupa clip­
untuk mengurangi risiko vaso- ping dan tindakan intervensi neuro-
spasme dan iskemik. vaskular dengan coiling. Pemilihan
antara coiling atau clipping berdasar-
® Elevasi kepala 30° untuk memasti-
kan lokasi lesi, leher aneurisma, ak­
kan drainase vena berjalan baik.
ses arteri, ketersediaan, pengalaman
® Pemasangan akses arteri, kateter staf medis, serta isu biaya, khususnya
vena sentral, dan kateter urin un­ untuk negara berkembang.
tuk menurunkan TIK.
Tanpa melihat keterbatasan yang ada,
® Pemberian pencahar agar pasien
secara umum coiling lebih diutama-
tidak mengedan.
kan untuk aneurisma bagian poste­
® Pemberian sedasi ringan dan ruang- rior, karena morbiditas dan mortali­
an yang hening, gelap, serta cukup tas yang lebih rendah dibandingkan
privasi jika terdapat agitasi. clipping. International Subarachnoid
® Pemberian tata laksana untuk Aneurysm Trial (ISAT) menunjukkan
menurunkan TIK sep erti: bahwa coiling lebih aman secara sig-
- Agen osmotik, yaitu manitol, nifikan dibandingkan clipping pada
dapat menurunkan TIK secara aneurisma yang ruptur. Studi ini men-
dramatis. Dapat dipakai mani­ jadi dasar coiling sebagai tata laksana
tol 20% dengan dosis awal 0,5- lini pertama ruptur aneurisma.
1 gr/kgBB dilanjutkan dosis Pada prinsipnya, waktu tindakan
rumatan 4-6 x 0,25-0,5 gr/kgBB intervensi yang disarankan yakni
- Diuretik, seperti fiirosemid lebih awal lebih baik, namun dapat
40mg dapat digunakan dosis disesuaikan dengan kondisi pasien.
tunggal Pada pasien dengan kondisi baik, dian-
- Steroid, meskipun kontrover- jurkan 72 jam pertama pascaonset un­
sial tetapi dianfurkan oleh be- tuk mencegah rebleeding. Pada pasien
berapa penulis. yang kondisinya belum baik, bahkan
setelah tata laksana stabilisasi (terma-

540
Perdarahan Subaraknoid

suk pemasangan drainase ventrikel didalam rentang autoregulasi, otak


eksternal), tidak dianjurkan tindakan masih mampu memngatur aliran da-
clipping pada periode akut dan lebih rahnya, tetapi ketika melebihi ren­
dianjurkan coiling. Penundaan inter- tang tersebut, maka dibutuhkan tata-
vensi juga direkomendasikan pada laksana tambahan. Selain itu, diduga
aneurisma raksasa atau rumit. Pada terdapat efek tekanan transluminal
usia lanjut di atas 80 tahun, intervensi langsung yang memicu dilatasi arteri.
dapat dilakukan jika prediksi usia ha- Belum ada penelitian randomized
rapan hidup lebih lama. controlled trial (RCT) yang menga-
nalisis keluaran dari teknik tersebut.
b. Vasospasme
Tata laksana vasospasme cukup kom- Secara umum, hal terpenting untuk
pleks. Berbagai penelitian terakhir mencegah vasospasme adalah men-
menunjukkan nimodipin oral dan jaga normovolemia, normotermia,
euvolemia efektif dalam mencegah dan oksigenasi normal. Status hidrasi
vasospasme. Tindakan prevensi lain harus dimonitor dengan ketat untuk
seperti triple-H (hemodilusi, hiper- menghindari kontraksi volume yang
volemia, dan hipertensi] dan tinda­ dapat memicu vasospasme.
kan endovaskular (vasodilator dan
Berikut tata laksana khusus untuk
angioplasti balon] belum menunjuk­
mencegah vasospasme:
kan keuntungan dalam mencegah de­
layed cerebral ischemia. 1] Nimodipin
Nimodipin oral merupakan penyekat
Pada saat terjadi delayed cerebral
kanal kalsium yang paling banyak
ischemia, tata laksana pertama yang
diteliti dan memiliki rekomendasi pa­
dilakukan adalah induksi hemodi-
ling baik berdasarkan American Heart
namik untuk memperbaiki perfusi
Association/American Stroke Associa­
serebral. Secara konvensional, pe-
tion (AHA/ASA), yakni kelas 1 dengan
ningkatan hemodinamik dilakukan
level o f evidence A untuk mencegah va­
dengan triple- H. Namun saat ini te-
sospasme pascaPSA. Penyekat kanal kal­
rapi difokuskan pada euvolemia dan
sium terbukti menurunkan insidens de-
induksi hipertensi. Peningkatan mean
fisit pascastroke iskemik dan nimodipin
arterial blood pressure [MABP] didu-
menunjukkan peningkatan keluaran
ga dapat meningkatkan aliran darah
keseluruhan dalam 3 bulan pascaPSA
otak ( cerebral blood flo w / CBF) pada
aneurisma. Mekanisme efek protektif ni­
saat terjadi gangguan autoregulasi.
modipin belum terbukti, namun diduga
Autoregulasi mengatur MABP 50- melalui penghambatan influks kalsium
150mmH, jika kurang atau melebihi yang akan merusak neuron.
itu maka akan memicu gangguan
Indikasi pemberian nimodipin adalah
autoregulasi. Oleh karena itu, jika
semua pasien PSA, walaupun belum
rentang tekanan darah masih berada
tentu muncul vasospasme (AHA/ASA

541
Buku Ajar Neurologi

kelas 1, level A) yang diberikan secara noid pada saat tindakan clipping
oral. Hal ini berdasarkan penelitian aneurisma dapat memberikan hasil
Mees SMD dick bahwa pemberian oral yang kurang optimal dan dihubung-
nimodipin membantu mengurangi ke- kan dengan peningkatan risiko
luaran yang buruk pada pasien dengan trauma iatrogenik pada permukaan
PSA, sedangkan pemberian IV tidak pial dan pembuluh darah kecil. Pe-
menunjukkan hasil yang signifikan. nyemprotan NaCl intraoperatif untuk
Dosis IV adalah lmg/jam drip untuk 2 membersihkan darah dari rongga
jam pertama, kemudian jika dapat dito- subaraknoid diduga bermanfaat, na-
leransi dengan baik, dapat dilanjutkan mun efekti vitas nya belum terbukti.
menjadi 2mg per jam drip. Adapun do­
4) Drainase CSS
sis oral adalah 6 X 60mg, dimulai dalam
Drainase CSS melalui drain ventrikel
96 jam dan dilanjutkan hingga 21 hari.
dilakukan setelah tata laksana aneu­
Pada 2010, Food and Drug Administra­ risma untuk menurunkan insidens
tion (FDA) mengeluarkan peringatan vasospasme. Tindakan ini memiliki
bahayanya pemberian nimodipin oral risiko rebleeding aneurisma, sehingga
yang dilarutkan dalam air dan kemu­ disarankan dilakukan jika tekanan in-
dian dimasukkan secara intravena, trakranial melebihi 20mmHg.
karena dapat mengakibatkan henti
5) Statin
jantung, penurunan dramatis teka-
Pemberian statin diajukan untuk
nan darah dan kejadian kardiovaskuler
mencegah vasospasme dan delayed
lainnya. Saat ini, FDA sudah menyetu-
cerebral ischemic dengan meningkat-
jui obat oral nimodipin berbentuk cai-
kan reaktivitas vasomotor serebral
ran. Hal ini diharapkan menjadi solusi
melalui mekanisme dependen dan
terhadap kendala pada pasien yang
independen kolesterol. Penggunaan-
tidak dapat menelan, yang selama ini
nya masih kontroversial, namun be­
menggunakan nimodipin tablet yang
berapa penelitian kecil menunjukkan
digerus atau intravena.
hasil yang menjanjikan.
2) Terapi trombolisis
6) Terapi "triple H”
Beberapa bukti ilmiah mengindika-
Merupakan tata laksana vasospasme
sikan bahwa penghancuran bekuan
tradisional yang terdiri dari induksi
subaraknoid melalui injeksi intrasis-
hipertensi, hipervolemia, dan hemo-
terna dengan recombinant tissue plas­
dilusi. Induksi hipertensi agresif dapat
minogen activator (rTPA) secara dra­
menggunakan agen inotropik dan va­
matis mengurangi risiko vasospasme.
sopressor, jika dibutuhkan, Hipervo­
Hal ini dilakukan setelah tindakan
lemia dapat dicapai dengan transfusi
clipping aneurisma.
eritrosit, infus kristaloid isotonik, serta
3} Aspirasi dan irigasi infus koloid dan albumin bersamaan
Aspirasi dan irigasi bekuan subarak­ dengan injeksi vasopressor. Hemodi-

542
Perdarahan Subaraknoid

lusi dilakukan dengan transfusi untuk buluh darah distal. Hal ini disebabkan
mempertahankan hematrokit tetap karena aliran darah distal dapat me-
30-35% dengan tujuan mengoptimal- ningkat dengan adanya peningkatan
kan viskositas darah dan penghantaran diameter pembuluh darah proksimal.
oksigen. Terapi ini memerlukan pema-
8) Infus vasodilator
sangan kateter arteri pulmoner untuk
Infus vasodilator merupakan salah
mempertahankan tekanan vena sentral
satu pilihan tata laksana untuk pem­
pada j-12mmHg dan pulmonary ar­
buluh darah distal. Dibandingkan
tery wedge pressure (PAWP) pada 14- angioplasti, efek vasodilator ini lebih
20mmHg. singkat. Vasodilator yang sering dipa-
Tata laksana triple H biasanya di­ kai adalah penyekat kanal kalsium.
lakukan pada pasien dengan aneu- Nitrit oksida saat ini mulai digunakan.
risma yang sudah dilakukan operasi Injeksi intraarterial papaverin juga
clipping atau coiling yang bertujuan sering diberikan dengan pengawasan,
n; igurangi risiko rebleeding. Meski- karena menurut sejumlah literatur pa­
pun telah digunakan lama, efektifitas paverin merupakan zat neurotoksik.
terapi ini masih menjadi bahan perde- Magnesium merupakan agen neu-
batan. Kajian beberapa studi menun- roprotektif yang bekerja sebagai an-
jukkan bahwa terapi "triple H" tidak tagonis reseptor N-metil-D-aspartat
memperlihatkan hasil positif ataupun (NMDA) dan penyekat kanal kalsium.
membantu meningkatkan aliran darah Menurut penelitian metaanalisis, mag­
serebral. nesium dapat mengurangi risiko de­
7} Angioplasti balon transluminal layed cerebral ischemic dan keluaran
buruk pada PSA aneurisma. Namun
Angioplasti balon transluminal di-
penggunaan magnesium membutuh-
rekomendasikan untuk tata laksana
kan monitor ketat kadarnya. Sebuah
vasospasme setelah kegagalan terapi
penelitian kecil menunjukkan bahwa
konvensional Sebuah studi menunjuk-
konsentrasi magnesium serum diper-
kan peningkatan keluaran neurologis
tahankan 2-2,5mmol/L untuk me­
hingga 70% pada pasien vasospasme
ngurangi kejadian iskemik serebral
simtomatik pasca-angioplasti translu­
pascaPSA.
minal. Namun tindakan ini dapat me-
nimbulkan komplikasi berupa ruptur Beberapa agen baru sedang dalam
pembuluh darah, diseksi atau oklusi, penelitian untuk menangani vaso­
dan perdarahan intraserebral. spasme. Agen tersebut antara lain
metilprednisolon, tirilazad, dan colfor-
Beberapa laporan serial kasus
sin intraarterial.
mengindikasikan bahwa tindakan ini
efektif untuk tata laksana vasospasme c. Hidrosefalus
pembuluh darah besar proksimal dan Hidrosefalus akut dapat ditatalaksana
tidak efektif untuk vasospasme pem­ dengan drainase ventrikel eksternal, ber-

543
Buku Ajar Neurologi

gantung pada beratnya Minis defisit neu- tanpa faktor resiko seperti hematoma,
rologis atau temuan CT scan. Ukuran hi- infark, atau aneurisma MCA. Fenitoin
drosefalus dinilai secara periodik dengan merupakan agen pilihan karena dapat
menyekat drainase saat memantau TIK. mencapai konsentrasi terapeutik cepat
Penurunan TIK secara cepat sebaiknya di- dengan pemberian intravena dan tidak
hindari karena dihubungkan dengan risiko mengubah kesadaran. Berbeda dengan
tinggi rebleeding. Hidrosefalus simtomatis fenobarbital yang memiliki efek sedasi,
dapat ditatalaksana dengan drainase CSS sehingga jarang digunakan.
lumbal temporer, pungsi lumbal serial, dan
shunting ventrikel permanen. DAFTAR PUSTAKA
1. Suarez JI, Tarr RW, Selman WR. Aneurys­
Ventrikulostomi dihubungkan dengan pe- mal subaraknoid hemorrhage. N Engl J Med.
ningkatan risiko rebleeding dan infeksi. 2006;354(4}:387-96.
Oleh karena itu, pasien dengan dilatasi 2. Flaheily ML, Woo D, Broderick JR The epidemiology
ventrikel tanpa penurunan kesadaran, di- of intracerebral hemorrhage. Dalam: Carhuapoma JR,
Mayer SA, Hanley DF, editor Intracerebral hemorrhage.
anjurkan tata laksana konservatif dengan New York: Cambridge University Press; 20X0. h. 1-16.
monitor ketat status mental dan dilakukan 3. van Gjin J, Rinkel GJ. Subaraknoid haemorrhage:
intervensi jika terdapat penurunan sta­ diagnosis, causes, and management. Brain.
2001;124[Pt 2]:249-78
tus Minis. Ventrikulostomi yang dilakukan 4. van Gijn J, Kerr RS, Rinkel GJE Subaraknoid
dengan tepat merupakan prosedur yang haemorrhage. Lancet. 2007;369(9558):306-18.
berisiko relatif rendah dan dapat memper- 5. Connolly ES, Rabinstein AA, Carhuapoma JR,
Derdeyn CP, Dion J, Higashida RT, dkk. Guidelines
baiM Minis secara cepat dan dramatis pada
for the management of aneurysmal subaraknoid
dua pertiga pasien. Hal ini bermanfaat un- hemorrhagetaguideline for healthcare professionals
tuk penjadwalan tindakan operasi atau in­ from the American Heart Associadon/American
tervensi endovaskular lebih awal. Stroke Association. Stroke. 2012;43:1711-37.
6. Hop JW, Rinkel GJ, Algra A, van Gijn J. Case-
d. Hiponatremia fatality rates and functional outcome after
subaraknoid hemorrhage: a systematic review.
Hiponatremia pascaPSA dapat terjadi
Stroke, 1997;28(3):660-4.
pada 10-34% kasus, akibat peningkatan 7. Warlow CP, van Gjin J, Dennis MS, Wardlaw JM, Bam-
kadar atrial natriuretic fa cto r (ANF) dan ford JM, Hankey GJ. Stroke practical management
syndrome o f inappropriate secretion o f Edisi ke-3. Oxford: Blackwell Publishing; 2007.
8. Silverman IE, Rymer MM, Broderick JP, Spiegel
antidiuretic hormone (SIADH). Tata lak­ GR. Hemorrahagic stroke: an atlas of investiga­
sana yang biasanya cukup bermanfaat tion and treatment hemorrhagic stroke. Oxford:
adalah pemberian NAC1 yang sedikit Clinical Pub Serv; 2010.
9. Gross JG. Subhyaioid hemorrhage. Retina Image
hipertonik [1,5%) dan menghindari res-
Bank [serial online]. 2012 [diunduh 27 Desember
triksi cairan. 2016] . Tersedia dari: Retina Image Bank.
10. Bayer pic. Nimotop 0.02% solution for infusion.
e. Kejang EMC+ [serial online]. 2016 [diunduh 20 Februari
Pemberian antikonvulsan jangka pan- 2017] . Tersedia dari: Medicine.org.uk.
jang tidak direkomendasikan pada 11. Drugs.com. Nimodipine dosage. Drugs.com [seri­
al online], [diunduh 20 Februari 2017]. Tersedia
pasien tanpa kejang sebelumnya atau dari: Drugs.com.

544
NYERi
Pengantar Nyeri
Nyeri Kepala
Nyeri Neuropatik
Nyeri Leher
Nyeri Punggung Bawah
Nyeri Ranker
PENGANTAR NYERI
Henry Riyanto Sofyan, Ramdinal Aviesena Zairinal,
Tiara Aninditha

PENDAHULUAN kan akibat kerusakan jaringan [tissue dam­


Setiap orang di dunia pasti pernah merasakan age) yang aktual maupun potensial, atau yang
nyeri, setidaknya sekali dalam hidupnya. Be- digambarkan dalam bentuk kerusakan terse-
berapa bagian tubuh mulai dari kepala hing- but. Berdasarkan definisi tersebut, terdapat
ga kaki dapat menjadi nyeri dan membuat beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk
pasien datang ke pelayanan kesehatan. Pada mengatakan pasien mengalami nyeri, yaitu
prinsipnya, nyeri bukanlah penyakit, namun pengalaman yang tidak menyenangkan dan
merupakan suatu keluhan atau tanda klinis kerusakan jaringan. Bila individu mengalami
yang dipersepsikan oleh korteks sensorik, Jadi suatu kejadian yang tidak menyenangkan
nyeri sebenarnya merupakan mekanisme per- tanpa ada bukti aktual atau potensi keru­
tahanan tubuh terhadap suatu kerusakan atau sakan jaringan, maka hal itu tidak dikatakan
yang berpotensi menyebabkan kerusakan ja- nyeri. Begitupun sebaliknya bila ada keru­
ringan. Oleh karena itu, setiap keadaan nyeri sakan jaringan, tetapi individu tersebut tidak
harus ditangani dengan cepat dan tepat, menganggap sebagai pengalaman yang tidak
karena bisa bersifat serius dan fatal. American menyenangkan, maka inipun tidak tergolong
Pain Society juga menempatkan pemeriksaan nyeri. Oleh sebab itu, nyeri merupakan suatu
nyeri dalam urutan kelima setelah pemerik­ hal yang bersifat subjektif dan berbeda-beda
saan tanda vital denyut nadi, tekanan darah, interpretasinya antar individu.
frekuensi napas, dan suhu tubuh.
Intensitas dan kualitas nyeri secara umum
Nyeri juga bersifat individual dan dapat juga bergantung pada emosi atau psikologis,
mengganggu kualitas hidup seseorang, se- sehingga gambaran tentang berat ringannya
mentara penanganan nyeri sangatbervariasi kerusakan biologis bervariasi dari satu indivi­
dan perlu mempertimbangkan banyak as- du ke individu lain. Oleh karena itu, dibuatlah
pek. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman klasifikasi mengenai analisis nyeri, baik ber­
dasar mengenai nyeri, meliputi definisi, neu- dasarkan waktu, intensitas, dan patologisnya.
roanatomi, patofisiologi, evaluasi nyeri, dan
Berdasarkan lama dideritanya, nyeri dibagi
prinsip manajemen nyeri.
atas nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut
berlangsung selama 4 -6 minggu, sedangkan
DEFINISI NYERI
yang lebih panjang durasinya termasuk ke
Berdasarkan International Association fo r the
dalam nyeri kronik. Ada pula beberapa pem-
Study o f Pain [IASP), nyeri adalah pengalaman
bagian nyeri berdasarkan durasi nyeri (tran-
sensoris dan emosi yang tidak menyenang-

547
Buku Ajar Neurologi

sien, intermiten, atau persisten); intensitas kondisi peningkatan sensitivitas nyeri. Alo­
(ringan, sedang, dan berat), kualitas (tajam, dinia adalah contoh bentuk dari hiperalgesia
tumpul, dan terbakar), dan penjalarannya yang lebih mengacu untuk rasa nyeri yang
(superfisial, dalam, lokal, atau difus). Di timbul akibat stimulus yang biasanya tidak
samping itu nyeri pada umumnya memi- bersifat nyeri [subthreshold]. Sementara itu,
liki komponen kognitif dan emosional yang hiperalgesia lebih tepat digunakan pada ke-
digambarkan sebagai penderitaan. Nyeri adaan yang ditandai peningkatan respons
juga berhubungan dengan refleks moto- pada tingkat ambang batas nyeri yang nor-
rik menghindar dan gangguan otonom yang mal/meningkat. Di lain pihak, hiperestesi
disebut sebagai pengalaman nyeri. ditandai dengan adanya penurunan ambang
batas terhadap semua stimulus (raba, suhu,
Secara neuropatologis nyeri dikelompokkan
dan tekan) dan peningkatan respons terha­
menjadi 3, yaitu: (1) nyeri nosiseptif, yang
dap stimulus yang dikenali secara normal.
disebut juga nyeri inflamasi atau nyeri adaptif,
(2) nyeri neuropatik, dan (3) nyeri campuran. Ambang batas dan tingkat toleransi nyeri
Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang diaki- sangat bersifat subjektif bergantung pe­
batkan oleh kerusakan jaringan dan dianggap ngalaman dan memori seseorang terhadap
sebagai proses adaptasi untuk perbaikan ja­ intensitas stimulus yang diberikan, sehingga
ringan itu sendiri. Jika jaringan menjadi sem- dianggap sebagai rasa nyeri. Secara kuantita-
buh maka nyeri tidak akan muncul. Kelompok tif, intensitas stimulus dapat diukur. Sebagai
lain adalah nyeri maladaptif seperti nyeri neu­ contoh, jika ambang batas nyeri didefinisi-
ropatik. Nyeri ini sebenarnya memiliki gejala kan sebagai suatu tingkatyang 50% stimulus
yang khas, namun sering terabaikan atau ti­ dikenal sebagai rasa nyeri, maka pada tingkat
dak terdeteksi, sehingga berpotensi menjadi itulah stimulus mulai dianggap nyeri.
kronik dan mengganggu kualitas hidup pen-
deritanya. Terdapat berbagai istilah terkait NEUROANATOMI DAN PATOFISIOLOGI
nyeri [Tabel 1], sehingga dibutuhkan anamne­ Dalam memahami proses nyeri, terlebih
sis dan analisis yang tepat oleh karena nyeri dahulu kita harus mengetahui struktur
neuropatik memiliki penanganan yang ber- anatominya, mulai dari reseptor tempat
beda dengan nyeri nosiseptif. awal penghantaran noxious stimulus hingga
korteks serebri. Jika seseorang mengeluh-
Sensitisasi adalah istilah neurofisiologis yang
kan nyeri, maka hal itu diawali dengan ak-
meliputi turunnya ambang batas nyeri dan
tivasi reseptor nyeri nosiseptif (nosiseptor)
peningkatan respons pada stimulus di atas
oleh noxious stimulus. Reseptor nosiseptif
ambang batas nyeri. Selain itu, terjadi pula
ini dapat diketemukan di kulit, jaringan
cetusan spontan dan perluasan area reseptif,
penunjang, pembuluh darah, periosteum,
Secara klinis, sensitisasi dapat dijumpai pada
dan organ-organ viseral. Reseptor nosisep­
fenomema hiperalgesia atau alodinia.
tif merupakan bagian ujung dari serabut
Istilah alodinia, hiperalgesia, dan hipereste- saraf aferen primer, atau disebut juga neu­
sia sering membingungkan klinisi, Hiperal­ ron ordo I, yang memiliki beberapa bentuk
gesia adalah istilah yang memayungi segala morfologi dan karakteristik (Tabel 2).

548
Peng an tar Nyeri

Tabel 1. Beberapa Istilah Terkait Nyeri


Istilah Definsi
Noxious stimulus Kerusakan jaringan aktual atau potensial
Nosiseptor reseptor sensorik yang dapat menghantarkan dan memroses stimulus yang
merusak (noxious stimulus)
Neuron nosiseptif Neuron sentral atau perifer yang dapat memroses noxious stimulus
Nosisepsi Pemrosesan noxious stimulus
Stimulus nosiseptif Kejadian kerusakan jaringan aktual/potensial yang dihantarkan dan diproses
oleh nosiseptor
Nyeri nosiseptif Nyeri yang berasal dari aktivasi nosiseptor
Nyeri neuropatik Nyeri yang muncul sebagai konsekuensi langsung dari lesi/penyakityang
mengenai sistem somatosensorik
Nyeri neuropatik sentral Nyeri yang muncul akibat lesi/penyakit sistem saraf somatosensorik sentral
Nyeri neuropatik perifer Nyeri yang muncul akibat lesi/penyakit sistem saraf somatosensorik perifer
Sensitisasi perifer Peningkatan respons dan penurunan ambang batas nosiseptor terhadap
stimulasi dari area reseptifnya
Sensitisasi sentral Peningkatan respons neuron nosiseptif di susunan saraf pusat terhadap ma-
sukan aferen yang normal atau di bawah ambang batas ('subthreshold)
Alodinia Nyeri yang dirasakan akibat stimulus non-nosiseptif
Hiperalgesia Peningkatan rasa nyeri pada stimulus yang secara normal bersifat nyeri
Hipoalgesia Penurunan rasa nyeri pada stimulus yang secara normal bersifat nyeri
Analgesia Hilangnya rasa nyeri akibat stimulus yang secara normal bersifat nyeri
Hiperestesia Peningkatan sensitivitas terhadap stimulus, kecuali indera khusus
Hipoestesia Penurunan sensitivitas terhadap stimulus
Parestesia Sensasi abnormal, baik yang bersifat spontan maupun dibangkitkan, yang
tergolong masih menyenangkan (not unpleasant)
Disestesia Sensasi abnormal yang tidak menyenangkan, baik yang bersifat spontan mau­
pun dibangkitkan, yang tidak menyenangkan (unpleasant}
Nyeri sentral Nyeri yang disebabkan oleh lesi primer atau disfungsi susunan saraf pusat
Ambang batas nyeri Intensitas minimal stimulus untuk dianggap sebagai nyeri
Tingkattoieransi nyeri Intensitas maksimal stimulus yang menimbulkan nyeri dan masih dapat
ditolerasi oleh individu pada situasi tertentu______________________________
dumber:
'Ropper AH, dkk. Adams Victor's principles of neurology. 2014. h. 130.
2Current Pain and Headache Reports 2008,12:241-248

Tabel 2. Perbandingan Serabut Saraf Aferen Primer


Jenis Serabut Karakteristik Diameter Se­ Kecepatan Hantar Fungsi
Saraf rabut (pm) (m/s)
A-a dan A-fJ ukuran besar, selubung 5-20 30-70 raba, tekan
mielin tebal
A-y 3-6 15-30 aferen spindle
A-S ukuran kecil, selubung mielin 2-5 12-30 nyeri (tajam, mudah
tipis dilokalisasi) dan suhu
C Ukuran kecil, tidak ada se­ 0,3-1,1 0,5-2 nyeri perlahan (sulit
lubung mielin, polimodalitas dilokalisasi) dan suhu
Sumber: Ropper AH, dkk. Adams Victor's principles of neurology. 2014. h.l 30.

549
Bitku Ajar Neurologi

Serabut saraf aferen primer yang menghan- (wide dynamic range neurons). Akson neuron
tarkan informasi nosiseptif adalah serabut ordo II ini akan menyeberang ke sisi kontra-
saraf A-delta (A-5) dan C. Stimulasi beberapa lateral melalui komisura anterior medula
serabut saraf A-5 menyebabkan sensasi nyeri spinalis, kemudian membentuk traktus spino-
tajam dan terlokalisasi dengan baik, sedang- talamikus lateral yang akan naik ke otak. Trak­
kan aktivasi serabut saraf C akan menyebab­ tus ini memiliki pembagian berdasarkan level
kan sensasi nyeri tumpul, panas, pegal, dan vertebra, dengan bagian sakral terletak pada
tidak terlokalisasi dengan jelas. posterolateral dan bagian servikal berada
pada anteromedial. Selain rasa nyeri, traktus
Serabut saraf aferen primer ini mempunyai
spinotalamikus lateral juga menghantarkan
badan sel pada ganglion radiks dorsalis, yang
sensasi suhu panas atau dingin. Oleh sebab
aksonnya akan mengirimkan sinyal ke lapisan
itu, lesi pada traktus spinotalamikus lateral ti­
tertentu di kornu dorsalis medula spinalis
dak hanya berakibat gangguan penghantaran
(Gambar 1). Sinyal dari serabut saraf A-5 akan
nyeri, tetapi juga sensasi suhu.
sebagian besar menuju lapisan superfisial
(lamina I). Sementara itu, sinyal dari serabut Selain traktus spinotalamikus lateral, ter-
saraf C menuju lapisan profunda (lamina II). dapat pula beberapa traktus lain yang ber-
peran menghantarkan nyeri. Salah satu con-
Setiap unit sensorik yang terdiri dari sel-sel
tohnya, traktus spinoretikularis bermula
saraf sensorik di ganglion radiks dorsalis de­
dari medula spinalis hingga neuron di for-
ngan struktur perpanjangannya ke arah sen-
masio retikularis, dan selanjutnya ke nuk-
tral (medula spinalis) dan perifer (reseptor)
leus intralaminar. Traktus ini terlibat dalam
memiliki distribusi segmental untuk setiap
aktivitas saraf dan kesadaran yang men-
area di tubuh manusia. Bila segmen-segmen
dasari aspek afektif dari suatu nyeri.
ini disusun dari mulai area kepala hingga kaki,
maka akan membentuk suatu peta topografi Contoh lainnya adalah traktus spino-
yang disebut dermatom. Sebagai contoh, area mesensefalika dari medula spinalis, rnele-
wajah dan kepala bagian anterior memiliki wati medula oblongata dan pons bersama
topografi sesuai persarafan saraf trigemina- dengan traktus spinotalamikus lateral dan
lis, sedangkan area deltoid memiliki topografi spinoretikularis, dan berhenti di mesensefalon
sesuai persarafan saraf spinalis C5. dan periaqueductal gray (PAG). Traktus ini ber-
peran mengintegrasikan sensasi nyeri somatik
Pada kornu dorsalis medula spinalis, neuron
dengan informasi visual dan auditorik.
ordo I akan bersinaps dengan neuron ordo II.
Neuro transmiter yang terlibat dalam konduk- Adapun traktus spinotalamikus lateral sen-
si nyeri pada sinaps ini, antara lain kelompok diri terdiri dari dua komponen, yaitu serabut
asam amino eksitatorik (glutamat, aspartat), cepat (traktus neospinotalamikus) dan lam-
adenosine 5B\-triphosphate (ATP), dan neuro- bat (traktus paleospinotalamikus). Traktus
peptida (substansi P). Neuron ordo II terdiri neospinotalamikus berasosiasi dengan nyeri
dari neuron spesifik stimulasi nosiseptif dan terlokalisasi dengan baik, atau disebut juga
neuron nonspesifik stimulasi nosiseptif de­ aspek diskriminatif. Traktus ini berakhir di
ngan rentang stimulus yang lebar dan dinamis talamus bagian nukleus ventral posterolate-

550
Peng an tar Nyeri

Parifsr ffeuron afsran pnmsr Ssr3fl© a sraslks sbrsaSs M sM aiSp M is

Gambar 1. Hustrasi Gambar Serabut Saraf Prim er

ral (VPL). Sementara itu, traktus paleospino- Pada dasarnya jalur nyeri mengikuti dari 4
talamikus berasosiasi dengan nyeri tak terlo- proses utama (Gambar 2], yaitu:
kalisasi dengan baik serta respon emosional
1. Proses Transduksi
terhadap nyeri, atau disebut juga aspek a-
Perubahan stimulus tanda bahaya pada
fektif. Traktus ini berakhir di nukleus intrala­
jaringan yang dirub ah menjadj aru’s de-
minar nonspesifik di thalamus dan formasio
polarisasi dengan bantuan reseptor no-
retikularis di batang otak.
siseptif (mekanik dengan ambang batas
Neuron ordo II yang berakhir di talamus akan tinggi, mekanotermal dan polimodalj
bersinaps dengan neuron ordo ketiga (III] un-
2. Proses Transmisi
tuk selanjutnya diproyeksikan ke korteks sen-
Transmisi arus depolarisasi mulai dari
sorik primer. Selain itu, neuron ordo III juga
neuron ordo kesatu, neuron ordo kedua,
berpoyeksi ke korteks sensori sekunder dan in­
neuron ordo ketiga hingga ke korteks
sula dalam hal yang berhubungan dengan per-
cerebri.
sepsi fungsi luhur dari nyeri. Adapun persep-
si emosional dari nyeri melibatkan struktur 3. Proses Moduiasi
korteks cingulata anterior, insula posterior Adanya perubahan respons inhibisi atau
dan operkulum parietal. fasilitasi terhadap nyeri. Moduiasi ini
bisa asenden atau desenden.

551
Bulat Ajar Neurologi

4. Proses Persepsi stimulus selain nyeri, misalnya usapan, be-


Korteks serebri melakukan diskriminasi laian, garukan, dan kehangatan.
terhadap nyeri. Struktur subkortikal se-
Serabut saraf nosiseptif mengeksitasi neuron
perti korteks cingulata anterior melaku­
ordo II untuk menghantarkan sinyal nyeri. Se­
kan persepsi emosi dari suatu nyeri.
rabut saraf non-nosiseptif dapat menurunkan
Adanya kerusakan jaringan akan menyebab- transmisi sinyal nyeri dengan mengeksitasi
kan stimulus nyeri ( noxious stimulus) yang interneuron inhibitor nosiseptif dan neuron
kemudian ditransduksi dari reseptor nyeri ordo II Hasilnya, terjadi penurunan trans-
menjadi arus depolarisasi. Arus ini akan minsi sinyal nyeri yang diteruskan ke traktus
terhantar mengikuti alur traktus transmisi spinotalamikus. (-]: inhibisi; (+): eksitasi.
nyeri yang berakhir di korteks serebri dan
Sistem inhibisi desenden mempunyai tiga
struktur pusat lain, sehingga timbul proses
mekanisme relasi fungsional dari neu­
persepsi nyeri. Arus depolarisasi yang tim­
rotransmiter, yaitu sistem opioid, noradren-
bul bisa mengalami mekanisme inhibisi
ergik, dan serotonergik. Prekursor opioid
atau mekanisme' fasilitasi sesuai dengan
endogen (beta-endorfin, metionin-enke-
proses modulasi baik secara asenden atau
falin, leusin-enkefalin, dan dinorfin] terletak
desenden.
di amigdala, hipotalamus, PAG, rafe magnus,
Stimulus selain nyeri di lokasi terjadinya dan kornu dorsalis. Neuron noradrenergik
kerusakan jaringan dapat menurunkan diproyeksikan dari lokus seruleus dan sel
transmisi stimulus nyeri ( noxious stimulus) noradrenergik lainnya di medula serta pons,
di kornu dorsalis. Hal ini disebut dengan juga di funikulus dorsolateral yang mengin-
gate control theory yang dikemukakan oleh duksi proses analgesia. Sistem serotonergik
Wall dan Melzack (Gambar 3]. Menurutteori ditemukan pada rafe magnus.
ini, modulasi transmisi nyeri dapat terjadi di
kornu dorsalis dengan melibatkan serabut EVALUASI NYERI
saraf aferen primer, interneuron, serabut Nyeri merupakan tanda vital kelima, selain
saraf aferen selain nyeri, dan neuron ordo II dari tekanan darah, nadi, pernapasan, dan
yang akan mentransmisikan sinyal nyeri ke suhu. Berbeda dengan lainnya, nyeri lebih
otak. Serabut saraf aferen primer akan bersifat bersifat subyektif dan harus selalu ditan-
membuka pintu {opening the gate) transmisi yakan ke pasien adakah nyeri atau tidak.
nyeri, sedangkan serabut saraf aferen selain Kesalahan klinisi yang tidak mengevalu-
nyeri bersifat sebaliknya dengan menutup asi nyeri dengan benar menyebabkan kega-
pintu {closing the gate) melalui aktivasi in­ galan tata laksana nyeri. Oleh karena itu,
terneuron inhibisi nyeri. Mekanisme buka evaluasi sangatlah penting untuk dilakukan
tutup pintu ini juga melibatkan neuron de­ setiap saat memeriksa pasien. Langkah-
senden dari otak. Pada akhirnya, transmisi langkah evaluasi nyeri meliputi anamnesis,
nyeri dapat berkurang dengan pemberian pemeriksaan fisik, uji diagnostik.

552
Pengantar Nyeri

serabut saraf selain nyeri


« garukan
• pijatan
• diatermi

{+)
(_) t t ik neuron ordo II
Interneuron inhibitor —— menuju traktus
nosiseptif spinotalamikus
y
V (-)
(+)

serabut saraf A-8 dan C


(nosiseptif)

Gambar 3. Teori Kontrol Pintu Gerbang Transmisi Nyeri di Kornu Dorsalis


Serabut saraf nosiseptif mengeksitasi neuron ordo II untuk menghantarkan sinyal nyeri. Serabut sarafnon-
nosiseptif dapat menurunkan transmisi sinyal nyeri dengan mengeksitasi interneuron inhibitor nosiseptif dan
neuron ordo II. Hasilnya, terjadi penurunan transminsi sinyal nyeri yang diteruskan ke traktus spinotalamikus.
[-): inhibisi; (+): eksitasi.

553
Buku Ajar Neuroiogi

Tabel 3. Daftar Informasi yang Dieksplorasi dari Anamnesis


Param eter Informasi
Karakteristik nyeri Awitan
Durasi
Kualitas
Intensitas
Gejala penyerta
Faktor memperberat/meringankan
Informasi medis Riwayat operasi
Riwayat gangguan psildatri
Penyakit kronis
Obat yang dikonsumsi
Ketergantungan obat
Riwayat keluarga Nyeri kronik di keluarga
Keluhan serupa di keluarga
Keseharian pasien Aktivitas pekerjaan
Hubungan interpersonal (suami, anak, rekan kerja, keluarga]
Hobi dan kegiatan lain
Pola tidur
Pola makan
Faktor pemicu stres psikis/fisik
Target dan harapan pasien Keadaan yang diharapkan oleh pasien setelah mendapat terapi nyeri
Sumber: National Pharmaceutical Council. American painsociety.org [serial online].

1 . A n a m n e s is bang (wavelikej dengan periode naik dan


Anamnesis secara terarah dan teliti meru- turun. Untuk lebih memudahkan dalam
pakan hal pertama yang harus dilalcukan penilaian durasi, klinisi dapat menggam-
untuk membedakan pasien nyeri atau barkan grafik nyeri yang menandakan
tidak. Informasi yang harus dieksplorasi awal mula nyeri dan progresivitas naik/
dari pasien nyeri tidak hanya mengenai turun seiring waktu (Gambar 4).
karakteristik nyeri, tetapi juga target dan
Nyeri akibat tertusuk jarum biasanya
harapan pasien (Tabel 3}. Dengan demiki-
berlangsung singkat, sedangkan migren
, an, klinisi mendapatkan gambaran awal
memiliki karakteristik pulsatil. Bila pulsa-
pasien yang akan dikelola.
tilitas memiliki durasi lebih lama, maka hal
Karakteristik nyeri merupakan bagian
ini seperti nyeri kolik usus. Adapula nyeri
terpenting dalam langkah-langkah evalu-
pada angina pektoris yang dirasakan me-
asi nyeri. Hal ini mencakup awitan, durasi,
ningkat secara gradual hingga mencapai ti-
kualitas, lokasi dan distribusi, intensitas,
tik tertentu dan bertahan untuk beberapa
gejala penyerta, serta faktor yang mem-
waktu. Nyeri muskuloskeletal cenderung
perberat/meringankan.
bersifat fluktuatif dan kontinu.
Berdasarkan awitannya, klinisi dapatme-
Kualitas nyeri dievaluasi dengan mena-
nilai sejak kapan nyeri tersebut muncul
nyakan ke pasien seperti apa rasa nyeri
dan apakah muncul mendadak atau per-
yang dirasakan. Nyeri somatik yang pro­
lahan-Iahan. Menurut durasinya, nyeri
funda dirasakan tumpul dan sulit diloka-
dapat bersifat terus-menerus, inter-
lisasi, sedangkan yang superfisial bersi-
miten, pulsatil, atau menyerupai gelom-

554
Pengantar Nyeri

nyer; tertusuk jarum

t t i \ i i 1 s

migren

kolik usus

angina pektoris

ny.eri muskuloskeletal

Gambar 4. Grafik Intensitas Nyeri Seiring Waktu

fat tajam dan berbatas jelas. Sementara berasal dari satu segmen. Contohnya,
itu, nyeri neuropatik yang kadang sulit antara lain nyeri diafragma yang dapat
dideskripsikan oleh pasien memiliki muncul sebagai nyeri bahu, atau nyeri
kualitas seperti terbakar, diiris-iris, ditu- pada apendisitis yang awalnya bergejala
suk-tusuk, atau kesetrum listrik. seperti nyeri ulu hati.
Nyeri berdasarkan lokasi dan distribusi- Nyeri proyeksi dirasakan oleh pasien
nya dapat dikelompokkan menjadi nyeri sepanjang distribusi sarafnya, misalnya
lokal, nyeri rujuk, nyeri proyeksi, dan nyeri radikular akibat hernia nukleus
nyeri non-dermatomal. Lesi pada kulit pulposus. Selain itu, nyeri proyeksi de-
dan muskuloskeletal, seperti artritis, ngan distribusi perifer juga dijumpai
tendinitis, dan luka bekas operasi, bi- pada neuralgia trigeminal dan meralgia
asanya dirasakan lokal tidak menjalar ke parestetika.
daerah lain. Proses patologis dari organ
Ada pula nyeri yang tidak memenuhi
dalam dapat menimbulkan nyeri rujuk
distribusi saraf perifer, segmen terten-
ke daerah lain sesuai inervasi saraf yang
tu, atau pola yang mudah dikenali. Hal

555
Baku Ajar Neurologi

ini disebut nyeri nondermatomal yang tujuan mengetahui penyebab nyeri dan
sering dijumpai pada nyeri neuropatik sebagai bentuk perhatian dari klinisi
sentral, fibromialgia, dan sindrom nyeri yang serius menangani keluhannya. Se­
regional kompleks [complex regional lain pemeriksaan fisik umum, pasien
pain syndrome /CRPS). nyeri harus diperiksa terutama di daerah
yang dikeluhkan nyeri, melalui inspeksi,
Setelah lokasi dan distribusi, nyeri juga
palpasi, dan perkusi.
harus diketahui intensitasnya, misalnya
ringan, sedang, atau berat. Untuk men- Saat inspeksi daerah nyeri, Idinisi memper-
getahuinya, klinisi dapat menggunakan hatikan tampilan dan warna kulit di dae­
alat penilaian nyeri [assessment tools ) rah tersebut. Segala bentuk abnormalitas
yang akan dibahas selanjutnya di topik harus didokumentasikan, mi-salnya trofi,
ini. Selain dari alat penilaian nyeri, inten- warna kebiruan (sianosis), kemerahan
sitas nyeri juga dapat tergambarkan me- [flushing), atau hipertrikosis. Adanya kutis
lalui keseharian pasien. Pasien dengan anserina mengindikasikan ada disfungsi
nyeri intensitas berat lebih cenderung otonom karena radikulopati, sedangkan
untuk diam di tempat tidur dan tidak be- sianosis menandakan perfusi jaringan
raktivitas, Sementara itu, pasien yang in­ yang buruk dan iskemia saraf.
tensitasnya lebih ringan mungkin masih
Palpasi dengan menggunakan jari dapat
bisa kegiatan ke luar rumah. Penilaian
memunculkan nyeri dan mengetahui
intensitas sangat penting untuk menen-
penjalarannya bila ada, sehingga Idinisi
tukan terapi nyeri yang akan diberikan
mengetahui luasnya daerah nyeri. Saat
dan memantau keberhasilan terapi.
melakukan palpasi, klinisi harus mem-
Setiap nyeri dapat memiliki faktor yang perhatikan tanda subjektif (meringis, me-
memperberat dan meringkankan kelu- nyeringai, ekspresi verbal dan nonverbal]
han. Aspek mekanik, seperti pengaturan serta tanda obyektif (taldkardia, berke-
posisi tubuh/postur, sikap berdiri, duduk, ringat, dan kaku otot) sebagai manifestasi
berjalan, membungkuk, dan mengangkat nyeri. Adanya ketidaksesuaian antara
barang, dapat mempengaruhi intensitas tanda subjektif dan obyektif harus dido­
nyeri. Aspek psikologis, mi-salnya depre- kumentasikan oleh klinisi.
si, ansietas, masalah emosional, dan stres
Bentuk ekspresi terhadap nyeri dipen-
psilds turut dapat memperberat keluhan
garuhi oleh sensitivitas dasar yang di-
nyeri pasien. Selain itu, pengaruh hor­
miliki oleh seseorang. Oleh karena itu,
monal, lingkungan cuaca, dan diet pasien
palpasi dilakukan tidak hanya pada dae­
juga harus dievaluasi oleh klinisi. Penge-
rah nyeri, tetapi juga pada sisi kontrala-
tahuan akan hal-hal ini sangat penting
teral yang tidak nyeri, Dengan demildan,
dalam menyusun rencana tata laksana
klinisi mengetahui sensitivitas dasar dan
dan edukasi kepada pasien nyeri.
memahami respons pasien terhadap
2 . P e m e r ik s a a n F is ik stimulus yang bersifat noxious dan non -
Pemeriksaan fisik pada pasien nyeri ber- noxious.

556
Pengantar Nyeri

Beberapa tes dengan menggunakan menilai radiks nervus S I dan pada tumit
kapas, cubitan, garukan, dan peniti dapat untuk menilai radiks nervus L5.
menentukan nyeri diprovokasi oleh
Struktur tulang, jaringan lunak, dan sen-
tindakan palpasi pada kulit atau iesi di
di dipalpasi untuk menilai perbedaan
struktur yang lebih dalam. Biia pasien
suhu, edema, krepitus, atau deformitas.
mengeluh nyeri saat digoreskan dengan
Hal ini dilakukan pada sisi kanan dan kiri
kapas di kulit, maka hal ini mengindikasi-
untuk mengetahui adanya perbedaan
kan alodinia yang diduga akibat disfung-
kiri dan kanan dan membandingkan an-
si medula spinalis. Pemeriksaan dengan
tara daerah patologis dan yang sehat.
cubitan, peniti, atau garukan dilakukan
mulai dari daerah yang tidak nyeri, ber- Leher dievaluasi dengan menilai lingkup
tahap ke daerah nyeri hingga melewat- gerak sendi yang meliputi fleksi dan eks-
inya, dan ke daerah yang tidak nyeri. tensi, fleksi lateral, serta rotasional. Pada
Hal ini bertujuan mengetahui sensasi keadaan normal, dagu dapat menyentuh
pasien terhadap nyeri superfisial. Klinisi dada saat fleksi penuh dan jari telunjuk
sebaiknya melakukan hal serupa pada serta jari tengah pemeriksa terletak di
sisi kontralateral yang tidak nyeri untuk antara oksiput dan prosesus spinosis C7
mendapatkan respons dasar pasien dan saat ekstensi penuh. Saat rotasi kepala,
membandingkan responsnya dengan sisi pasien normalnya bisa menoleh lebih
yang nyeri. dari 70° dari potongan sagital. Fleksi
lateral dapat mencapai 45° ke kedua sisi
Selain pemeriksaan di daerah yang dike-
dari posisi netral.
luhkan nyeri, klinisi sebaiknya men-
gevaluasi sistem muskuloskeletal pasien Penilaian ekstrimitas atas dilakukan den­
secara umum. Evaluasi dimulai dengan gan menilai genggaman tangan pasien
inspeksi pasien secara umum, dari sisi (handgrip test); abduksi dan aduksi jari-
depan, belakang, dan samping. Perhatian jari; jari kelingking yang menyentuh ibu
terutama pada postur dan kesimetrisan jari; fleksi dan ekstensi pergelangan ta­
sisi kanan dan kiri di lengan, panggul, ngan; fleksi, ekstensi, supinasi, dan pro-
dan tungkai. Adanya asimetri atau devi- nasi lengan bawah; abduksi lengan atas;
asi dari kesejajaran dapat menyebabkan dan mengangkat bahu. Khusus untuk
kesalahan postur yang bergejala nyeri. daerah bahu, abduksi hingga 90, adduksi,
serta rotasi internal dan eksternal dapat
Setelah inspeksi secara umum, selanjut-
dilakukan untuk menilai lingkup gerak
nya pasien dilakukan pemeriksaan gait.
sendi dan keterlibatan otot pada nyeri
Klinisi memperhatikan ayunan lengan,
bahu. Rotasi internal dan eksternal bahu
langkah-langkah proses berjalan (push
dilakukan bersamaan dengan fiksasi tu­
o ff and heel strike }, dan gerakan abnor­
lang skapulanya, sehingga dapat menilai
mal pada sisi tubuh pasien saat berjalan.
gerakan glenohumeral.
Pasien juga diminta untuk berjalan de­
ngan bertumpu pada jari-jari kaki untuk

557
Buku Ajar Neurologi

Pemeriksaan ekstrimitas bawah dimulai trombosit dan profil hemostasis nanti-


dengan meminta pasien berdiri, mengang- nya bisa diperlukan sebagai pertimban-
kat tungkai, bangkit dari posisi jongkok, gan bila ingin tindakan intervensi nyeri.
serta fleksi dan ekstensi pada tungkai, kaki,
Protein fase akut [C-reactive proteinf
dan jari-jari. Dengan melihat cara pasien
CRP} menunjukkan adanya inflamasi,
duduk dan berdiri, ldinis mendapatkan
misalnya pada kondisi infeksi, trauma,
kesan fungsi otot secara keseluruhan.
luka bakar, dan kanker. Pemeriksaan
Pada sendi panggul, pasien dapat melaku-
kimia darah lainnya, meliputi natrium,
kan gerakan rotasi internal dan e x te r ­
ureum, kreatinin, dan glukosa. Hiponat-
nal, fieksi dan ekstensi, serta abduksi dan
remia dapat menyebabkan nyeri selu-
aduXi. Sendi lutut dapat digeraltkan fieksi
ruh tubuh. Peningkatan hasil ureum
dan ekstensi, sedangkan pergelangan kaki
dan kreatinin menunjukkan insufisiensi
dapat bergerak fieksi dan ekstensi serta
renal dan meningkatkan kemungkinan
eversi internal dan external.
munculnya efek samping opioid, sehing-
Pemeriksaan fisik neurologis juga perlu ga ldinisi harus menyesuaikan dosis obat
dilakukan untuk setiap pasien nyeri, nyeri pada pasien. Pemantauan glukosa,
terutama pasien baru. Hal ini untuk terutama pada pasien diabetes mellitus,
mengetahui adanya lesi struktural pada sangat diperlukan karena pasiennya bisa
susunan saraf pusat atau perifer yang bergejala nyeri neuropatik.
bermanifestasi nyeri.
Penyakit seperti lupus eritematosus
3. Pemeriksaan Penunjang sistemik dan artritis reumatoid ditan-
Pemeriksaan penunjang diperlukan un­ dai dengan inflamasi di beberapa sendi,
tuk lebih memastikan diagnosis dan otot, atau kulit, sehingga dapat menim-
meningkatkan luaran pasien. Pemilihan bulkan nyeri yang difus di seluruh tubuh.
uji diagnostik dilakukan berdasarkan Pemeriksaan autoantibodi, antinuclear
karakteristik nyeri dan kecurigaan pe- antibodies (ANA), anti-Ro, anti-SM, anti­
nyebabnya. Oleh karena itu, hal ini tidak neutrophil cytoplasmic antibody (ANCA),
dapat menggantikan peranan anamnesis dan faktor reumatoid dapat diperiksa
dan pemeriksaan fisik, melainkan hanya bila dicurigai etiologi nyeri ke arah ke-
menjadi tambahan dalam alur diagnosis. lainan autoimun atau reumatologi.

Walaupun terdapat banyak jenis peme­ Beberapa modalitas pencitraan, antara


riksaan laboratorium, ldinisi harus teliti lain Rontgen, CT scan, MRI, dan ultra-
dalam memilihnya. Pem eriXaan darah sonografi (USG), dapat dikerjakan untuk
lengkap bisa menjadi gambaran awal mengetahui etiologi nyeri. Pem eriXaan
kesehatan pasien. Kadar Hb yang ren- Rontgen bisa dilakukan untuk mengeval-
dah pada penyakit sickle cell anemia uasi kelainan tulang (fraktur, osteofit),
bisa bergejala nyeri. Adanya leukositosis ligamentum, dan degenerasi sendi.
bisa mengarah kepada etiologi suatu in- Pemeriksaan CT scan bisa menunjukkan
feksi atau keganasan hematologi. Jumlah dengan lebih jelas abnormalitas tulang

558
Pengantar Nyeri

dan send*, misalnya fraktur baru, subluk- jang, terdapat beberapa alat (too/s) yang
sasi, lesi kistik pada tulang. Selain itu, CT telah dikembangkan untuk menilai in-
scan juga dapat menilai densitas mineral tensitas nyeri. Pada praktiknya, alat ini
tulang. MRI dapat dilakukan terutama digunakan pada awal bertemu pasien
untuk melihat struktur jaringan lunak nyeri dan selanjutnya saat tindak lanjut,
tendon dan Iigamentum, medula spina­ sehingga alat ini juga berfungsi untuk
lis, dan otak dengan lebih jelas daripada memantau keluhan dan keberhasilan
CT scan. USG memiliki keunggulan tidak terapi.
memiliki radiasi dan menyajikan hasil
Secara umum, alat penilaian nyeri (pain
berupa kondisi saat itu juga (real-time as­
assessment tools ) dikategorikan menjadi
sessment). Struktur saraf, pembuluh da-
unidimensi dan multidimensi. Kedua
rah di dalam jaringan lunak, otot, tendon,
kategori ini memiliki karakteristik yang
dan beberapa organ visera dapat dinilai
khas, sehingga setiap alat penilaian me­
dengan USG. Sayangnya, USG memiliki
miliki kelebihan dan kekurangannya ma-
penetrasi tulang yang kurang bagus dan
sing-masing. Klinisi harus mengetahui
kapasitas resolusinya tidak sebaik MRI,
hal ini agar dapat memilih alat penilaian
sehingga tidak dianjurkan untuk melihat
yang tepat dan akurat untuk pasien.
kelainan pada medula spinalis.
Alat unidimensi menilai intensitas nyeri
Pemeriksaan elektromiografi dan ke-
hanya dengan skala untuk satu ukuran
cepatan hantar saraf diindikasikan pada
saja, misalnya skala dengan nilai 0 (tidak
nyeri yang disebabkan oleh kelainan
nyeri) sampai 10 (sangat nyeri sekali).
susunan saraf perifer, mulai dari kornu
Alat ini mudah diaplikasikan dan lebih
anterior medula spinalis, radiks, plek-
melibatkan dokter dalam pengisian
sus, saraf perifer, hingga otot. Berdasar-
datanya, sehingga cocok untuk pasien
kan kedua pemeriksaan ini, klinisi dapat
dengan nyeri akut dan tidak menimbul-
melokalisasi lesi dan menentukan proses
kan dampak psikososial. Contoh dari alat
patologis yang terjadi (demielinisasi, de-
unidimensi antara lain, numeric rating
generasi aksonal, miopati, pleksopati, ra-
scale (NRS), visual analog scale (VAS),
dikulopati].
fa ces pain scale (FPS), dan Wong-Baker
4. Alat Penilaian Nyeri Faces Rating Scale (Tabel 4).
Selain pemeriksaan klinis dan penun-

559
Buku Ajar Neurologi

Tabel 4. Alat Penilaian Nyeri Unidimensi


Cara Pe-
Jenis skala Keuntungan Kelemahan Keterangan
nitaian
Numeric rating Verbal/ ® Mudah diaplikasikan dan Kurang reliabel untuk Paling sering digu-
scale (NRS) visual dijelaskan ke pasien pasien sangat muda/ nakan
• Bisa dilakukan via telepon tua, gangguan visual/
• Valid untuk berbagai tipe nyeri pendengaran, atau
(akut, kanker, kronik nonk- gangguan kognitif
anker)
Visual analog Visual • Efisien dalam pengerjaannya ® Banyakmakan Lebih dipilih dari­
scale (VAS) ® Valid untuk pasien nyeri kronik waktu pada VAS untuk
® Validitas masih penilaian pasien
kontroversial tua
« Dapatmembin-
gungkan pasien
« Kurang reliabel
untuk pasien gang­
guan kognitif
Faces pain Visual ® Dianggap lebih mudah daripada ® Berpotensi untuk Alternatif untuk
scale (FPS) NRS atau VAS salah penilaian, pasien yang sulit
* Tidak dipengaruhi kultur, etnis, misalnya pasien ' berkomunikasi
atau jenis kelamin cenderung memilih
® Berguna pada pasien yang sulit titik tengah dari
komunikasi skala
» Membutuhkan
media cetak
Sumber: National Pharmaceutical Council. American painsociety.org [serial online].

NRS adalah alat penilaian nyeri yang paling (tanda "lOcm”). Pasien lalu memberi tanda
umum dipakai. Pasien memberikan nilai di sepanjang garis itu, di antara kedua ujung
dengan skala 0-10 atau 0-5, dengan nilai 0 tersebut untuk merepresentasikan inten-
merepresentasikan tidak nyeri sama sekali sitas nyerinya. Klinisi kemudian mengukur
dan 5 atau 10 berarti sangat nyeri sekali tanda itu menggunakan penggaris.,
(Gambar 5}. Penilaian ini dilakukan pada
Alat penilaian FPS untuk anak dan dewasa
pertemuan pertama, kemudian saat tindak
serta Wong-Baker Faces Rating Scale (Gambar
lanjut secara periodik sesuai kondisi klinis.
7) untuk anak merupakan skala kategori yang
Berbeda dengan NRS, penilaian nyeri de­ menggunakan penjelasan visual. FPS terdiri
ngan VAS menggunakan garis lurus sepan- dari delapan gambar wajah dengan ekspresi
jang 10cm (Gambar 6}. Kedua ujung dari berbeda-beda, antara lain senyum, sedih, dan
garis diberi tanda, yaitu salah satu ujung meringis. Pasien memilih gambar wajah yang
diberi tanda tidak nyeri (tanda "Ocm”) dan sesuai dengan intensitas nyerinya.
ujung lainnya diberi tanda sangat nyeri

560
Peng an tar Nyeri

m-
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak nyeri Sangat nyeri
sama sekali sekali

G am bar 5. N um eric Rating S cale

Gam bar 6. Visual A nalog S cale

G am bar 7. W ong-Baker F aces Rating S cale

Sementara itu, alat multidimensi menilai in- harian, makan, emosi, hubungan interper­
tensitas nyeri dari beberapa skala dan para­ sonal). Selain itu, terdapat diagram yang
meter, antara lain skala intensitas nyeri, kuali- menunjukkan lokasi nyeri, skala intensitas
tas hidup, derajat disabilitas, dan diagram nyeri, dan kolom untuk pencacatan komen-
lokasi nyeri. Alat ini lebih cocok diaplikasi- tar pasien serta rencana pengobatan.
kan untuk pasien nyeri kronik yang memiliki
BPI merupakan alat multidimensi yang
dampak psikososiai. Pada alat multidimensi,
mudah digunakan untuk mengukur tingkat
pasien seringkali diminta untuk menuliskan
keparahan nyeri dan disabilitas terkait. Se-
laporan (self-report) sehari-hari terkait nyeri,
cara umum, alat ini menggambarkan nyeri
sehingga lebih banyak terlibat dalam pengi-
yang dirasakan oleh pasien selama 24 jam
sian data. Contoh dari alat multidimensi anta­
terakhir. Terdapat empat pertanyaan untuk
ra lain, Initial Pain Assessment Tool, Brief Pain
menilai tingkat keparahan nyeri dan tujuh
Inventory, McGill Pain Questionnaire (Tabel 5).
pertanyaan untuk menilai disabilitas, ma-
Initial Pain Assessment Tool dikembangkan sing-masing berskala 0 (tidak nyeri) sampai
untuk evaluasi awal nyeri pada pasien. Be­ 10 (nyeri sekali). Selain itu, terdapat pula
berapa hal yang dinilai dalam alat ini adalah diagram lokasi nyeri dan pertanyaan menge-
karakteristik nyeri, perilaku pasien dalam nai jenis terapi nyeri yang saat ini didapat
mengekspresikan nyeri, dan dampak nyeri oleh pasien. Lama pengisian data pada alat
terhadap kehidupan pasien (tidur, aktivitas ini sekitar 5-15 menit

561
Buku Ajar Neurologi

T abel 5. A lat P en ilaian Nyeri M ultidim ensi


Cara Pe­
Jen is sk ala K euntungan Catatan
nilaian
B rief Pain Inventory Visual « Reliabel dan valid untuk berbagai kondisi ® Digunakan pada
(BPI) klinis (nyeri kanker, nonkanker) dan lintas praktik klinik dan
budaya serta bahasa penelitian
» Tersedia dalam beberapa bahasa ® Pilihan bagus untuk
o Cepat dalam menilai intensitas nyeri & pasien dengan nyeri
disabilitas yang progresif
Initial Pain Assess­ Visual « Dapat dilakukan oleh pasien atau kiinisi
m ent Inventory o Terdapat diagram ilustrasi lokasi nyeri
(IPA1)
McGill Pain Que$- Verbal o Sudah diuji secara luas « Formulir yang panjang
tionnaire [MPQ) o Menilai aspek sensorik dan afektif nyeri memakan waktu 5-15
® Formulir yang singkat hanya memakan menit
waktu 2-3 menit ® Beberapa pasien bin-
gung dengan kosakata
Memorial Pain As­ Visual e Cepat digunakan
sessm ent Card e Bisa dilipat dan nyaman dilihat oleh pasien
Pain Drawing Tertulis e Dapat menunjukkan gambaran nyeri secara
sekilas, misalnya radikulopati, neuropati,
neuralgia, dan artritis
o Dapat mengantisipasi nyeri yang tidak
terabaikan oleh pasien
S u m b e r : N a t io n a l P h a r m a c e u t i c a l C o u n c il. A m e r i c a n p a i n s o d e t y . o r g [ s e r i a l o n l i n e ] .

MPQ adalah salah satu alat multidimensi pun intensitas nyeri pada alat ini diukur dalam
yang paling sering digunakan. Alat ini me- beberapa skala, yaitu mild, discomforting, dis­
nilai nyeri pada tiga dimensi, yaitu sensorik, tressing, horrible, dan excruciating. Selain itu,
afektif, dan evaluatif, berdasarkan deskripsi pasien juga diminta untuk menyatakan pe-
pasien mengenai nyerinya. Setiap dimensi rubahan nyeri terhadap waktu, misalnya tran-
memiliki aspek masing-masing. Dimensi sien, ritmik, atau kontinu konstan.
sensorik memiliki aspek temporal, spasial,
Beberapa tantangan dalam menilai nyeri
tekanan, suhu, dan sensorik lainnya. Pada
dapat ditemukan pada kelompok usia lan-
aspek afektif, aspeknya meliputi ketegangan,
jut, anak-anak, atau pasien yang berbeda
rasa takut, dan autonom. Sementara itu, di­
budaya dan bahasa, sehingga membutuh-
mensi evaluatif menjelaskan intensitas nyeri
kan pendekatan khusus. Pasien usia lanjut
secara keseluruhan yang dialami pasien.
seringkali tidak melaporkan keluhan nyeri
Setiap aspek memiliki beberapa pilihan ko-
karena rasa takut dan merasa akan merepot-
sakata yang menjelaskan karateristik nyeri.
kan orang lain. Selain itu, adanya gangguan
Pada penilaian nyeri dengan menggunakan pendengaran dan penglihatan membuat
MPQ, pasien diminta untuk memilih kosaka- kesulitan dalam pengerjaan alat penilaian.
ta dalam setiap aspek dimensi yang sesuai Dengan demikian, kiinisi jangan terburu-
menggambarkan karaktersitik nyerinya. Ada- buru dalam melakukan penilaian dan meng-

562
Pengantar Nyeri

gunakan alat penilaian yang mudah dipakai, nilaian nyeri yang telah dibahas sebelumnya
misalnya FPS. Klinisi juga harus memperha- hanya dapat diaplikasikan pada pasien sadar
tikan perubahan parameter pasien usia tua yang dapat melaporkan keluhan nyerinya (self
(aktivitas harian, fungsi sosial, berjalan] report], Oleh sebab itu, terdapatbeberapa alat
yang bisa mengindikasikan nyeri yang tidak lain yang dikembangkan untuk pasien yang ti­
teratasi. dak dapat melaporkan sendiri keluhan nyeri­
nya, seperti di ruang perawatan intensif, anta­
Pada pasien anak-anak, tantangan yang di-
ra lain behavioral pain scale (BPS), behavioral
hadapi berupa kesulitan berkomunikasi dan
pain scale-nonintubated [BPS-NI], dan critical
sulit membedakan antara ansietas dengan
care pain observational tools (CPOT).
nyeri. Klinisi harus memilih pendekatan yang
konsisten dengan tahapan perkembangan BPS terdiri dari tiga indikator, yaitu ekspresi
anak. Khusus untuk bayi dan balita, penilaian wajah, gerakan ekstrimitas atas, dan toleransi
nyeri dapat melihat respons menangis ser- terhadap ventilasi mekanik. Setiap indikator
ta perilaku defensif, misalnya menggigit, berskala 1 sampai 4, sehingga total skornya
memukul, menendang, dan berlari kabur. berkisar 3 hingga 12. Perbedaannya dengan
BPS-NI terdapat pada indikator "toleransi
Pasien yang berbeda bahasa dan budaya
dengan ventilator yang diganti dengan vo-
dapat memiliki perbedaan respons perilaku
kalisasi (Tabel 6). Sementara itu, CPOT ter­
terhadap nyeri dan preferensi terapi. Oleh
diri dari empat aspek, yaitu ekspresi wajah,
karena itu, klinisi sebaiknya menggunakan
pergerakan badan, ketegangan otot, dan
alat penilaian dengan bahasa yang sesuai
"toleransi dengan ventilator (untuk pasien
dan menyediakan materi edukasi pasien
terintubasi] atau vokalisasi (untuk pasien
sesuai bahasa pasien, jika memungkinkan.
tidak terintubasi. Setiap aspek bernilai 0-2,
Bila diperhatikan secara seksama, alat-alat pe­ dengan total nilai mulai dari 0 sampai 8.
T abel 6. In d ik ato r dalam BPS dan BPS-NI
B eh av ioral Pain S caie (BPS] B eh av ioral Pain Scale-N onintuhated (BPS-NI) Nilai
Ekspresi wajah Ekspresi wajah
Tenang Tenang 1
Sebagian muka menegang (dahi mengernyit] Sebagian muka menegang (dahi mengernyit) 2
Seluruh muka menegang (mata menutup] Seluruh muka menegang (mata menutup) 3
Wajah menyeringai Wajah menyeringai 4
Gerakan ekstrimitas atas Gerakan ekstrimitas atas
Tenang Tenang 1
Menekuk sebagian di daerah siku Menekuk sebagian di daerah siku 2
Menekuk total di daerah siku, disertai jari-jari Menekuk total di daerah siku, disertai jari- 3
mengepal jari mengepal
Menekuk total secara terus menerus Menekuk total secara terus menerus 4
Toleransi terhadap ventilasi mekanik Vokalisasi
Dapat mengikuti pola ventilasi Tidak ada vokalisasi nyeri 1
Batuk, tetapi masih bisa mengikuti pola ventilasi Mengerang 3 kali/menit dan 3 detik 2
Melawan pola ventilasi Mengerang >3 kali/menit dan >3 detik 3
Pola ventilasi tidak ditoleransi Tampak menghela napas atau bersuara 4
L i ____ ■raw
, ". "aduh"1_______ ________________________
S u m b e r : C h a n q u e s G, d ick. I n t e n s i v e C a r e M e a . 2 0 0 9 ;3 5 (1 2 }:2 0 6 0 -7

563
Buku Ajar Neurologi

PRINSIP MANAJEMENNYERI atau parsial yang sering bersifat permanen.


Pasien dengan keluhan nyeri membutuh- Oleh karena itu, eliminasi nyeri kronik sa-
kan pertolongan segera. Nyeri yang awal- ngat sulit dan membutuhkan pendekatan
nya dirasakan akut dapat berlanjut menjadi multidisiplin, antara lain neurologi, bedah
kronik bila tidak ditata laksana secara baik. saraf, anestesi, rehabilitasi medik, ortopedi,
Pada keadaan akut, nyeri disebabkan oleh penyakit dalam, dan psikiatri.
kerusakan jaringan dan adanya aktivasi no-
Dengan adanya beberapa disiplin ilmu yang
siseptor di lokasi tersebut. Tujuan tata lak­
terlibat dapat manajemen nyeri, maka modali-
sana nyeri akut adalah eliminasi nyeri dan
tas terapi yang diberikan kepada pasien pun
merestorasi kondisi pasien sesegera mung-
beragam, mulai dari terapi farmakologis hingga
kin melalui terapi yang agresif, sehingga ti­
invasif. Terapi farmakologis merupakan mo-
dak berlanjut menjadi nyeri kronik.
dalitas yang paling sering dilakukan untuk me-
Sementara itu, nyeri kronik ditandai dengan ngontrol nyeri. Jenis obat-obatan yang dapat
kerusakan patologis dengan tingkat kepa- diberikan, antara lain asetaminofen, obat anti-
rahan yang tidak sesuai dengan besarnya inflamasi nonsteroid (OAINS), antikonvulsan,
nyeri yang dirasakan oleh pasien. Nyeri kro­ antidepresan, pelemas otot, anestetik lokal,
nik membuat pasien bolak-balik mengun- dan opioid. Semua jenis obat tersebut mem-
jungi dokter spesialis dan jarang yang ter- punyai tempat lterja tersendiri serta memiliki
tangani secara efektif di pelayanan primer. keunggulan dan efek samping masing-masing,
Sekitar setengah hingga dua pertiga pasien sehingga dapat dipilih kombinasi obat yang
nyeri kronik mengalami disabilitas total efektif dengan efek samping yang lebih ringan
(Gambar 8).

Gambar 8. Letak Kerja Obat Nyeri


OAINS: obat antiinflamasi nonsteroid; SSRI: selective serotonin reuptake inhibitor ; SNRI: serotonin norepinephrine
reuptake inhibitor; TCA: tricyclic antidepressant

564
Pengantar Nyeri

Dengan memperhatikan modulasi inhibisi norepiefrin juga turut dapat menginhibisi


desenden di kornu dorsalis, maka beberapa stimulus nyeri.
golongan obat dapat diberikan untuk me-
Selain keluhan nyeri itu sendiri, pasien dapat
ngurangi nyeri. Sinyal nyeri yang masuk ke
disertai keluhan psikiatri, antara lain depre-
kornu dorsalis menglepaskan neurotrans­
si, ansietas, insomnia, dan gangguan keprib-
miter eksitatorik glutamat. Di samping itu,
adian. Hal ini membutuhkan pendekatan
modulasi inhibisi desenden yang melibatkan
psikoterapi, seperti terapi perilaku [behav­
neuron inhibitor menglepaskan neurotrans­
ioral therapy), terapi perilaku kognitif [cog­
miter inhibitorik, seperti GABA. Selain GABA,
nitive behavioral therapy/C BT), dan terapi
inhibisi sinyal nyeri juga dihasilkan dari pen-
okupasi, Psikoterapi bertujuan tidak secara
ingkatan jumlah serotonin dan norepinefrin
langsung mengurangi intensitas nyeri, teta-
di celah sinaps dan penghambatan kanal kal-
pi lebih membantu pasien untuk belajar
sium prasinaps. Oleh sebab itu, pemberian
memahami keadaan dan menikmati kehidu-
obat antikonvulsan (gabapentin, pregabalin],
pannya, walaupun terdapat nyeri.
selective serotonin reuptake inhibitor (fluok-
setin, sertralin], serotonin norepinephrine Modalitas terapi fisik yang dapat diberi­
reuptake inhibitor (duloksetin), dan tricyclic kan pada pasien nyeri meliputi pemanasan
antidepressant (amitriptilin) dapat diberikan dan terapi dingin [therapeutic heat and
untuk meningkatkan sinyal inhibisi nyeri di cold modalities). Pemanasan memiliki efek
kornu dorsalis (Gambar 9). fisiologis, antara lain analgesia, meningkat­
kan aliran darah ke jaringan, meningkatkan
Dengan demikian, banyaknya sinyal nyeri
ekstensibilitas jaringan ikat, menurunkan
yang ditransmisi ke otak bergantung kepa-
spasme otot dan kekakuan sendi, serta
da dominansi inhibisi atau eksitasi yang ter-
mengurangi edema. Pemberian terapi pe­
jadi. Jika neurotransmiter inhibitorik yang
manasan ini dapat melalui kantong panas
mendominasi, maka terjadi penurunan
[hot packs), bantalan panas [heating pads),
transmisi sinyal nyeri. Sementara itu, jika
hidroterapi, ultrasound (US) dan diatermi.
neurotransmiter eksitatorik yang mendo­
Jenis terapi ini sering diberikan pada beber­
minasi, maka sinyal nyeri akan ditransmisi
apa kondisi, misalnya spasme otot, bursitis,
tanpa ada hambatan.
tenosynovitis, kontraktur, dan fibromialgia.
Modulasi jalur desenden di kornu dorsalis
Adapun terapi dingin memiliki efek vaso-
terjadi melalui adanya interneuron inhibisi
konstriksi, menurunkan aktivitas metabolik
dari otak yang menglepaskan serotonin dan
pada daerah yang diterapi, dan menurunk­
norepifeprin. Stimulus nyeri dapat diinhi-
an tonus otot. Seiring terapi ini berjalan,
bisi oleh golongan obat yang menghambat
spastisitas juga dapat berkurang. Efek analge­
kanal kalsium dan beberapa obat antikon­
sia timbul karena suhu dingin memperlambat
vulsan. Obat-obatan yang menghambat pen-
konduksi saraf. Terapi ini terutama digunakan
gambilan kembali [reuptake) serotonin dan
pada kondisi cedera muskuloskeletal akut.

565
Baku Ajar Neurologi

Pens mpa ng me! Jntsftg


meduUip!n*)it

Gambar 9. Modulasi Jalur Desenden di Kornu Dorsalis


Modulasi jalur desenden di kornu dorsalis terjadi melalui adanya interneuron inhibisi dari otak yang menglepas-
kan serotonin dan norepifeprin. Stimulus nyeri dapat diinhibisi oleh golongan obat yang menghambat kanal
kalsium dan beberapa obat antikonvulsan. Obat-obatan yang menghambat pengambilan kembali (reuptake)
serotonin dan norepiefrin juga turut dapat menginhibisi stimulus nyeri.

566
Pengantar Nyeri

Manajemen nyeri tidak terbatas hanya pada pasien dengan nyeri akut dengan intensitas
farmakoterapi terhadap pasien, namun mem- berat, nyeri kronik yang tidak terkontrol,
punyai makna yang lebih luas dan kompre- dan nyeri sontak, dapat ditangani dengan
hensif pada penetapan diagnosis yang akurat, tahapan dari atas ke bawah {step down )
membuat rencana terapetik yang optimal dengan pertimbangan kegawatannya.
dan pada suatu saat akan menentukan pende-
Pada beberapa literatur, gambar adaptasi
katan terapi intervensi. Sejak kelahiran WHO
tersebut ini tidak dikatakan berupa anak
step-ladder o f pain (1986), banyak usulan
tangga lagi, namun sebuah tata laksana
modifikasi dan adaptasi, termasuk tindakan
nyeri yang kontinu. Pada tata laksana inter­
manajemen intervensi nyeri, baiksecara mini­
vensi nyeri kronik, ada beberapa prosedur
mal invasif hingga terapi bedah (Gambar 10).
yang dapat dilakukan dan tergolong cukup
Anak tangga keempat ini direkomendasikan mumpuni, seperti injeksi trigger point, sin-
kepada grup nyeri kronik yang mengalami drom terowongan karpal, epidural, dan in­
krisis nyeri, walau tidak tertutup kemung- jeksi sendi. Ruang lingkup manajemen inter­
kinan dapat diaplikasikan pada keadaan vensi nyeri akan terus berkembang dengan
nyeri akut gawat darurat seperti kasus beberapa modifikasi atau temuan terbaru.
nyeri pediatrik atau situasi pascaoperasi. Adanya teknik ataupun pendekatan baru
Secara umum, adaptasi terbaru ini memi- yang lebih efektif dan optimal menangani
liki dua kaidah. Pada keadaan nyeri kronik berbagai keluhan nyeri sangat diharapkan
akibat kanker dan nonkanker, manajemen oleh klinisi dalam menata laksana pasien
nyeri dapat dilakukan perlahan bertahap nyeri. Modalitas lain sesuai penyebab dapat
dari bawah ke atas {step up). Sementara itu, dibaca pada topik selanjutnya dari bab ini.

filoS; Viraf
Injeksi epidural
TefapibiokmHirotftifc
Patient-iontfolledanalgmia(PCA)
Stim ulator spinal

NS AID
± adjuvan

. nj
Opioid knot
NSAID
± adjuvan

I'Jfl M.l !—I■1-'.I I


Ui-MO
■: .r li' .j.- i

I
NSAID
Analgesik non opioid
: ± adjuvan

G am bar 10 . A daptasi te rb a ru WHO S tep la d d er o f Pain


Dimodifikasi dari: Vargas-Schaffer G. Canadian Family Physician. 2010, h. 514-7.

567
Buku Ajar Neurologi

D A FTA R P U S TA K A 10. Levin BJ, Janata JW. Psychological interventions


Dalam: Waldman SD, editor. Pain management
1. Pasero C, Me Caffery M. Pain: assessm ent and
Edisi ke-2, USA: Elsevier Saunders; 2007. h, 948-51
pharmacologic management. Mosby, Inc [se­
11. Ringkamp M, Raja SN, Campbell JN, Meyer RA
rial online]. 20 0 8 [diunduh 17 Februari 2017],
Neurobiology of pain: peripheral mechanism:
Tersedia dari: NHMS.org
o f cutaneous nociception. Dalam: McMahon SB
2. International Association for the Study of Pain
Koltzenburg M, Tracey I, Turk D, editor. Wall S
(IASP). IASP taxonomy. IASP [serial online], [di­
Melzack's Textbook of Pain. Edisi ke-6. Philadel
unduh 17 Februari 2017]. Tersedia dari: IASP.
phia: Elsevier; 2013. h.
3. National Pharmaceutical Council. Assesment of
12. Ropper AH, Samuels M, Klein J, penyunting. Ad
pain. National Pharmaceutical Council [serial on­
ams & Victor's principles of neurology. Edisi ke
line]. [diunduh 3 Februari 2017], Tersedia dari:
10. USA: McGraw-Hill; 2014. h. 130-49.
Americanpainsociety.org.
13. Current Pain and Headache Reports. Curren
4. Melzack R, The McGill pain questionnaire:
Medicine Group. 2 0 0 8 ;1 2 :2 4 1 -8 .
major properties and scoring methods. Pain.
14. Dinakar P, Principles in pain management
1 9 7 5 ;l(3 ):2 7 7 -9 9 .
Dalam: Daroff RB, Jankovic J, Mazziotta JC, Pome
5. Poquet N, Lin C. The brief pain inventory (BPI). J
roy SL. Bradley's Neurology of Clinical Practices
Physiother. 2 0 1 6 ;6 2 (1 ):5 2 ,
Edisi ke-7. Elsevier; 2016. h. 720-41.
6. Loeser JD, Treede RD. The Kyoto protocol of IASP
15. Yaksh TL, Luo 2D, Anatomy of pain processing sys
basic pain terminology. Pain. 2 0 0 8 ;1 3 7 (3 ):4 7 3 -7 .
tem. Dalam: Waldman SD, editor. Pain management
7. Chanques G, Payen JF, Mercier G, de Lattre S, Viel
Edisi ke-2. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2007.
S, Jung 8, dkk. Assessing pain in non-intubated
16. Azevedo Sao Leao Ferreira K, Kimura M, Jacob
critically ill patients unable to self report: an ad­
sen-Teixeira M. The WHO analgesic ladder fo:
aptation of the Behavioral Pain Scale. Intensive
cancer pain control, twenty years o f use, Hov
Care Med. 2 0 0 9 ;3 5 [1 2 ):2 0 6 0 -7 .
much pain relief does one get from using it? Sup
8. Gulati A, Loh J. Assessment of pain: complete pa­
port Care Cancer. 2 0 0 6 ;1 4 (ll):1 0 8 6 -9 3 .
tient evaluation. Dalam: Vadivelu N, Urman RD,
17. Vargas-Schaffer G. Is the WHO analgesic ladde:
Hines RL, editor. Essentials of pain management,
still valid?: twenty-four years of experience. Ca
New York: Springer; 2011. h.57-71.
nadian Family Physician. 2 0 1 0 ;5 6 (6 ):5 1 4 -5 1 7 .
9. Correll DJ. The measurem ent of pain: objectifying
18. Katz J, Rosenbloom BN. The golden anniversary
the subjective. Dalam: Waldman SD, editor. Pain
of Melzack and Wall's gate control theory of pain
management. Edisi ke-2. USA: Elsevier Saunders;
Celebrating 50 years of pain research and man
2007. h.191-201.
agement. Pain Res Manag, 2 0 1 5 ;2 0 (6 }:2 8 5 -6 .

568
N Y ERI KEPALA

34 Tiara Aninditha, Al Rasyid

PENDAHULUAN Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala


Hampir setiap orang di seluruh dunia per- yang bukan diakibatkan oleh adanya ke-
nah mengalami nyeri kepala, setidaknya lainan struktural di intrakranial, sebaliknya
sekali dalam hidupnya. Nyeri kepala ter- pada nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala
masuk ke dalam sembilan kasus yang me- sekunder perlu disingkirkan lebih dahulu
nyebabkan pasien datang menemui dokter. karena memerlukan tata laksana khusus
Setidaknya 40% pada konsultasi neurologi untuk mengatasi kelainan struktural yang
adalah akibat nyeri kepala. ada. Bahkan pada nyeri sekunder yang akut
dapat bersifat emergency , seperti halnya
Secara definisi, nyeri kepala adalah sen-
pada stroke hemoragik.
sasi tidak nyaman yang dirasakan di dae-
rah kepala akibat segala hai yang merusak Pada nyeri kepala primer, biasanya nyeri
atau berpotensi mengakibatkan kerusakan berulang dengan pola tertentu dan ada pe-
struktural. Areanya mencakup intrakranial micunya. Yang khas juga pada nyeri kepala
dan ekstranial (termasuk wajah) yang me- primer secara umum adalah di antara se-
mang banyak memiliki struktur peka nyeri. rangan biasanya tidak terdapat gejala sama
Nyeri kepala sebenarnya adalah alarm un- sekali. Nyeri kepala akan dianggap sekunder
tuk melindungi bagian kepala yang terdiri ter utama jilca nyeri itu muncul pada waktu
dari organ-organ vital seperti otak dan pan- yang sangat berdekatan dengan gejala atau
ca indera. Oleh karena itu, pasien dengan penyebab lain sebelumnya.
nyeri kepala harus diperiksa dengan teliti
Selain itu, nyeri kepala yang harus diwaspa-
dan cerm at
dai sebagai nyeri sekunder adalah nyeri
Diagnosis utama nyeri kepala adalah ber- kepala yang pertama kali, belum pernah di­
dasarkan gejala klinis. Anamnesis yang te- rasakan oleh pasien sebelumnya, atau baru
pat akan sangat mengarahkan tipe nyeri muncul secara berulang saat pasien beru-
kepala beserta pilihan dan besarnya terapi sia lebih dari 40 tahun. Kalaupun pasien
yang harus diberikan. Walaupun sebagian pernah mengalami nyeri kepala berulang,
besar nyeri kepala di komunitas biasanya perlu perhatian khusus jika nyeri yang saat
adalah nyeri kepala primer ataupun akibat ini muncul berbeda pola dengan yang biasa
infeksi sistemikyang ringan, namun seorang dialami, misalnya menjadi lebih lama, lebih
dokter harus tetap waspada terhadap nyeri sering, atau lebih mengganggu aktivitas.
kepala sekunder. Apalagi jika nyeri kepala tersebut sangat

569
Buku Ajar Neurologi

terlokalisir pada satu area tertentu saja, MIGREN


atau memburuk pada keadaan tertentu, se- Migren merupakan nyeri kepala yang paling
perti bersin, batuk, mengedan, berhubungan mengganggu, hingga memengaruhi sosio-eko-
seksual, atau posisi ortostatik. nomi dan kehidupan pribadi penderitanya.
World Health Organization (WHO] menem-
Terakhir, nyeri kepala akan sangat dicurigai
patkan migren pada peringkat ke-19 sebagai
sebagai sekunder jika mengidap human im­
penyakit yang menimbulkan kecacatan di se-
munodeficiency virus (HIV} atau terdapat
luruh dunia. Kasus migren di negara maju se­
riwayat trauma kepala, stroke, kejang, atau
perti Inggris mencapai 18% pada perempuan
keganasan sebelumnya. Pemeriksaan fisik
dan 6% pada lelaki. Sementara itu, di Amerika
pada nyeri kepala primer biasanya dalam
diketahui 75% orang yang mengalami mi­
batas normal. Nyeri kepala yang disertai
gren berjenis kelamin perempuan. Sebelum
keluhan demam, kaku kuduk, dan kulit ke-
pubertas, insidens migren lebih tinggi pada
merahan {rash) harus dianggap sebagai
lelaki dibanding perempuan. Setelah puber­
sekunder terlebih dahulu, apalagi jika ter­
tas, insidensnya lebih tinggi pada perempuan.
dapat penurunan kesadaran dan defisit
Serangan umumnya akan berkurang setelah
neurologis yang lain.
berusia 40 tahun. Angka kejadian migren
Oleh karena pada dasarnya nyeri kepala pada bangsa Afrika-Amerika (16,2% perem­
adalah alarm, maka perlu dicari defisit neu­ puan} serta Asia-Amerika (9,2% perempuan}
rologis seminimal mungkin, seperti papil- lebih rendah dibanding bangsa berkulit putih
edema atau gangguan fungsi kognitif yang (20,4% perempuan}.
ringan. Pemeriksaan imajing dilakukan jika
Saat ini WHO memperkirakan prevalensi mi­
ditemukan defisit neurologis atau jika nyeri
gren di dunia telah mencapai 10%, tertinggi
kepala dicurigai sekunder. Pada pasien de-
di Amerika Utara diikuti Amerika Selatan,
ngan nyeri kepala primer juga dapat dilaku­
Amerika, Eropa, Asia, dan Afrika. Di Indone­
kan imajing jika polanya berubah, membe-
sia, didapatkan prevalensi migren sebanyak
rat, atau disertai gejala lain, bahkan gejala
24% dari 1014 subyek mahasiswa dan 54%
psikiatri.
dari semua remaja yang pernah mengalami
Klasifikasi International Headache Society nyeri kepala, terutama perempuan (70% }.
(IHS) 2013 membagi nyeri kepala menjadi
Beberapa faktor risiko yang meningkatkan
nyeri kepala primer, sekunder, dan neural­
risiko migren adalah berat badan berlebih,
gia kranial (Tabel 1). Nyeri kepala primer
tekanan darah tinggi, hiperkolesterolemia,
utama yang akan dibahas adalah migren,
gangguan sensitivitas insulin, kadar homo-
nyeri kepala tipe tegang atau tension-type
sistein tinggi, stroke, dan riwayat penyakit
headache (TTH), dan trigeminal autonomic
jantung koroner.
cephalalgia) serta neuralgia trigeminal.

570
Nyeri Kepala

Tabel 1. Klasifikasi Nyeri Kepala Menurut International H eadache Society (IHS) 2013
Klasifikasi Nyeri Kepala Subldasifikasi
Nyeri kepala primer Migren
Nyeri kepala tipe tegang
Trigeminal autonomic cephalalgia
Nyeri kepala primer lainnya
Nyeri kepala sekunder Nyeri kepala yang berkaitan dengan trauma kepala dan/ atau leher
Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan vaskular kranial atau servika!
Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan nonvaskular intrakranial
Nyeri kepala yang berkaitan dengan substansi atau withdrawal
Nyeri kepala yang berkaitan dengan infeksi
Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan hemostasis
Nyeri kepala atau nyeri vaskuler yang berkaitan dengan kelainan kranium,
leher, mata, telinga, hidung, sinus, gigi, mulut, atau struktur fasial atau kra-
nial lainnya
Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan psildatrik
Neuralgia kranial, sentral, Neuralgia kranial dan penyebab sentral nyeri fasial
atau nyeri fasial primer dan Nyeri kepala lainnya, neuralgia kranial, sentral atau nyeri fasial primer
nyeri kepala lainnya
S u m b e r : H e a d a c h e C la s s ific a tio n S u b c o m m i t t e e o f t h e I n t e r n a t io n a l H e a d a c h e S o c ie ty . T h e In t e r n a t io n a l H e a d a c h e S o c ie t y ; 2 0 0 5 .

Klasifikasi Patofisiologi
Klasifikasi migren berdasarkan konsensus Mekanisme munculnya nyeri pada migren
PERDOSSI tahun 2013 (adaptasi dari [crite­ belum sepenuhnya dimengerti, ada bebera-
ria IHS) adalah: pa teori, yaitu:

a) Migren tanpa aura atau common mi­ 1. Teori Vaskular


graine Berdasarkan teori ini, aura pada migren di-
b) Migren dengan aura atau classic migraine perkirakan akibat vasokonstriksi pembu-
luh darah intralcranial yang menginduksi
c) Sindrom periodik pada anak yang dapat
iskemia jaringan. Selanjutnya, terjadi re­
menjadi prekursor migren, yaitu cyclic
bound vasodilatasi dan mengaktifkan saraf
vomiting, migren abdominal, vertigo
nosiseptif perivaskular yang akhirnya me-
paroksismal benigna pada anak.
nyebabkan nyeri kepala. Namun teori ini
d) Migren retinal memiliki kelemahan, sehingga digantikan
e) Komplikasi migren: oleh teori neurovaskular.
B Migren kronis 2. Teori Neurovaskular
a Status migrenosus (serangan migren Menurut teori ini, migren pada awalnya
>72 jam) merupakan proses neurogenik yang ke-
0 Aura persisten tanpa infark mudian diikuti dengan perubahan perfusi
0 Migrainous infarct serebral (neuro ke vaskular), Pada teori ini,
dikatakan orang dengan migren memiliki
B Migrain-triggered seizure
saraf yang gampang dieksitasi pada korteks
f) Probable migrain serebral, terutama pada daerah oksipital.

571
Baku Ajar Neurologi

3. Cortical Spreading Depression (C S D ) diteruskan ke korteks sensorik sebagai


CSD merupakan teori yang menjelaskan rasa nyeri yang berdenyut (Gambar 1).
mekanisme migren dengan aura. CSD
Sementara itu, selama proses depolarisasi
merupakan gelombang eksitasi neuronal
dilepaskan beberapa neurontransmiter,
pada substansia grisea yang menyebar
seperti kalium dan/atau asam amino glu-
dari satu sisi ke sisi lain otak dengan ke-
tamat dari jaringan saraf. Substansi terse-
cepatan 2-6mm/menit.
but kemudian mendepolarisasikan jari­
Depolarisasi seluler ini menyebabkan ngan sekitarnya. Kondisi ini akan semakin
fenomena korteks primer atau biasa merangsang pelepasan berbagai neuro­
disebut dengan aura. Selanjutnya, proses transmiter tersebut dan menyebabkan
depolarisasi akan menstimulasi aktivasi semakin luasnya depolarisasi yang terjadi.
neuron nosiseptif pada pembuluh darah
Selama penjalaran jaras nyeri dari tri­
dura yang kemudian mengaktivasi saraf
gem inovas kular ke korteks sensorik,
trigeminus dan pada akhirnya meng-
terjadi sinaps di nukleus salivatorius su­
hasilkan nyeri kepala. Aktivasi neuron
perior daerah batang otak, sehingga me-
nosiseptif dilakukan melalui pelepasan
micu gejala mual dan muntah. Terdapat
berbagai protein plasma dan substansi
pula sinaps di daerah nukleus rafe dor­
yang menstimulus inflamasi, seperti cal­
salis yang jika distimulus berulang akan
citonin gene-related peptide (CGRP), sub­
menyebabkan penurunan serotonin dan
stansi P, peptida intestinal vasoaktif, dan
norepinefrin, sehingga menimbulkan
neurokinin A. Proses inflamasi ini kemu­
gangguan konsentrasi, kognitif, depresi,
dian merangsang vasodilatasi dan akan
dan ansietas (Gambar 2}.

572
Nyeri Kepala

Serangan migren yang berlangsung ber- leherkaku, fatig, menguap, fo o d cravings,


ulang-ulang juga akan menyebabkan keru- retensi cairan, dan sering berkemih.
sakan pada periaquaductal greymatter [PAG],
2. Aura
sehingga terjadi sensitisasi sentral dan me­
Aura adalah gejala disfungsi serebral fo-
nyebabkan ambang nyeri menurun. Pasien
kal yang dapat membaik dalam waktu
jadi lebih mudah mengalami migren pada
<60 m enit Aura dapat berbentuk gang-
stimulus yang lebih ringan. Gejala lain, se-
guan visual homonim, parestesia unilat­
perti menguap, iritabel, hipotensi, dan hiper-
eral, kesemutan, kelelahan, atau disfasia.
aktivitas merupakan gejala penyerta migren
Aura visual merupakan aura yang paling
yang muncul melalui jaras dopamin yang
sering terjadi dan umumnya berbentuk
dipercaya mengalami hiperaktivasi sehingga
fotofobia atau fotopsia (kilatan cahaya],
merangsang munculnya gejala tersebut.
bentuk geometrik, atau skotoma. Aura
Gejala dan Tanda Klinis visual umumnya bilateral dan bergerak
Terdapat empat stadium migren sederhana, perlahan di dalam area lapang pandang.
yaitu: Metamorfopsia adalah suatu abnor-
malitas pada persepsi visual yaitu ke-
1. Prodromal
tika gambaran suatu obyek terdistorsi.
Gejala ini dapat berlangsung selama be-
Pasien dengan gangguan ini akan men-
berapa jam hingga hari sebelum terjadi
gatakan suatu benda terlihat lebih kecil
nyeri, yaitu berupa perubahan mental
(mikropsia) atau lebih besar (makrop-
dan mood (depresi, marah, euforia},
sia] dari ukuran sebenarnya.

573
Baku Ajar Neurologi

3. NyeriKepala teksi, oleh karena itu dapat menggunakan


Nyeri kepala memiliki karakteristik Pediatric migraine disability assessment
berdenyut unilateral (terutama pada (PedMIDAS). Penegakan diagnosis migren
daerah fronto-temporal). Umumnya ter- ditegakkan terutama melalui anamnesis
jadi dalam durasi jam hingga hari. Nyeri berdasarkan kriteria diagnosis IHS yang
bersifat progresif dan memburuk pada dibagi menjadi migren tanpa aura dan mi­
malam hari. Dapat diikuti dengan ge- gren dengan aura.
jala penyerta, seperti mual atau muntah,
1. Migren tanpa Aura
fotofobia atau fonofobia, dan aura.
Kriteria diagnostik berdasarkan IHS:
4. P ostdrom al a. Nyeri kepala minimal berlangsung
Gejala prodromal atau postdromal dapat selama 4 -7 2 jam (baik dalam kondisi
berbentuk perubahan nafsu makan, ge­ belum diobati atau sudah diobati na-
jala otonom, perubahan mood, serta agi- mun belum berhasil).
tasi, atau retardasi psikomotor.
b. Nyeri kepala memiliki minimal dua di
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara karakteristik berikut:
tanda-tanda sebagai berikut: 1) Unilateral
® Takikardi atau bradikardi 2) Kualitas berdenyut
® Hipertensi atau hipotensi 3) Intensitasnya nyeri sedang sampai
© Injeksi konjungtiva berat

© Reaksi pupil yang kurang baik terha- 4} Diperberat dengan aktivitas fisik ru­
dap cahaya tin maupun tidak rutin (seperti: ber-
jalan jauh, naik tangga)
® Defisit hemisensorik atau hemipa-
resis (ditemukan pada migren kom- c. Terdapat salah satu gejala penyerta di
pleks) bawah ini:
1) Mual dan/atau muntah
Diagnosis dan Diagnosis Banding 2) Fotofobia dan fonofobia
Terdapat beberapa instrumen yang dapat
digunakan untuk sebagai penyaring adanya d. Nyeri kepala tidak berkaitan dengan
migren pada pasien dengan nyeri kepala, penyakit lain (nyeri kepala sekunder).
termasuk juga untuk menilai derajat kepa- 2. Migren dengan Aura
rahan dan disabilitas yang ditimbulkannya. Migren dengan aura adalah serangan
Instrumen ID-MigraineTM dan Migraine nyeri kepala berulang yang didahului
Screen Questionnaire (MS-Q) telah ter- dengan gejala neurologis fokal yang re-
bukti memiliki sensitivitas dan spesifisitas versibel secara bertahap dalam waktu
yang baik, bahkan MS-Q sudah divalidasi 5 -2 0 menit. Gejala neurologis fokal ini
ke dalam bahasa Indonesia. Migren pada dikenai dengan aura dan berlangsung
anak juga cukup sering dan lebih sulit dide- dalam waktu kurang dari 60 menit.

574
Nyeri Kepala

Kriteria diagnostik berdasarkan IHS: muntah, obat harus diberikan melalui rek-
a. Sekurang-kurangnya telah terjadi 2 tal, nasal, subkutan, atau intravena.
serangan nyeri kepala yang memenuhi
Terapi abortif dapat dibed akan menjadi 2,
kriteria migren tanpa aura.
yaitu: terapi abortif nonspesifik dan terapi
b. Terdapat aura tipikal yang dapat abortif spesifik.
berupa aura visual dan atau sensoris
1. Terapi Abortif Nonspesifik:
dan atau gangguan berbahasa.
Terapi ini diperuntukkan bagi pasien
c. Nyeri kepala tidak berkaitan dengan dengan serangan migren ringan sampai
penyakit lain (nyeri kepala sekunder). sedang atau serangan berat yang be-
respons baik terhadap obat yang sama.
Diagnosis Banding Obat yang digunakan pada terapi abortif
Diagnosis banding migren adalah TTH, nonspesifik adalah obat dari golongan
nyeri kepala klaster, sindrom diseksi, atau obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS]
aneurisma serebral. atau obat nyeri over the counter (OTC].
Tata Laksana Berikut ini adalah beberapa obat yang
Tujuan terapi migren adalah mengurangi menjadi pilihan:
serangan, atau kalaupun muncul, serang-
a. Parasetamol 500-1000m g tiap 6 -8
annya tidak terlalu berat dan tidak meng-
jam, dosis maksimal 4g/hari
ganggu kehidupan sehari-hari, Hal ini teru-
tama dapat dicapai dengan menghindari b. Ibuprofen 400-800m g tiap 6 jam, do­
pencetus dan penggunaan terapi yang se- sis maksimal 2,4g/hari
suai. Perlu edukasi yang jelas kepada pasien, c. Natrium naproksen 275-550m g tiap
karena serangan yang berulang atau terapi 2-6jam , dosis maksimal l,5g/hari
yang tidak adekuat akan membuat ambang d. Kaliumdiklofenak (powder } 50-lOOmg/
nyeri menurun dan lebih susah diatasi. Oleh hari dosis tunggal
karena itu, secara umum terapi migren e. Metoklopramid 10 mg IV atau oral
dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu terapi 2 0 -3 0 menit sebelum atau bersamaan
abortif, nonmedikamentosa, dan profilaksis. dengan pemberian analgetik, OAINS
atau derivat ergotamin. Obat ini efek-
Terapi Abortif tif menghilangkan nyeri yang disertai
Terapi abortif adalah terapi yang dibutuh- mual dan muntah, serta memperbaiki
kan saat pasien sedang dalam serangan akut motilitas lambung, mempertinggi ab-
dan berfungsi untuk menghentikan progresi sorpsi obat dalam usus dan efektif jika
nyeri. Pengobatan harus diberikan sesegera dikombinasikan dengan dihidroergot-
mungkin dengan obat yang bekerja cepat. amin intravena
Pemilihan jenis obat didasarkan pada durasi f. Ketorolak 60mg IM per 1 5 -3 0 m enit
dan intensitas nyeri, gejala penyerta, derajat Dosis maksimal 12mg/hari dan di­
disabilitas, respons terhadap pengobatan, berikan tidak lebih dari 5 hari
dan penyakit komorbid. Jika pasien menga- g. Butorfanol spray lm g dalam sediaan
lami gejala penyerta berupa mual dan atau nostril yang dapat diberikan dan di-

575
Buku Ajar Neurologi

ulang tiap 1 jam. Maksimal 4 spray / yang dapat memicu serangan migren.
hari dan penggunaannya terbatas 2
4. Terapi Profilaksis
kali dalam seminggu
Sebelum memberikan obat sebagai tera­
h. Proklorperazin 25mg oral atau sup-
pi preventif migren, harus diperhatikan
positoria. Dosis maksimal 75mg
perubahan pola hidup untuk mendu-
dalam 24 jam
kung kerja obat profilaksis yang meliputi
i. Steroid seperti deksametason atau
SEEDS, yaitu:
metilprednisolon merupakan obat
pilihan untuk status migrenosus. © Sleep hygiene (tidur cukup dengan
jadwal teratur)
2. Terapi Abortif Spesifik
a. Obatgolongan agonis 5HTIB/[D(triptans) © Eating schedules (makan bergizi dan
seperti sumatriptan 6mg subkutan atau teratur)
sumatriptan 50-100m g peroral. ® Exercise regimen (olahraga teratur)
b. Derivat ergot seperti ergotamin l-2m g © Drinking water (minum cukup air)
yang dapat diberikan secara oral, sub­ ® Stress reduction (kurangi stres)
kutan, maupun per rektal.
Pada prinsipnya pemberian obat profilaksis
Terapi abortif dikatakan berhasil jika: dilakukan dengan cara memberikan dosis
a. Pasien bebas nyeri sesudah 2 jam rendah pada awalnya, kemudian dosis di-
pengobatan naikkan perlahan. Peningkatan dosis di-
b. Terdapat perbaikan nyeri kepala dari hentikan jika dosis dosis yang efektif sudah
skala 2 (sedang) atau 3 (berat) men- didapatkan, dosis maksimal sudah tercapai,
jadi skala 1 (ringan) atau 0 (tidak ada atau muncul efek samping yang tidak bisa
nyeri kepala) sesudah 2 jam ditoleransi. Efek klinis akan terlihat setelah
2 -3 bulan pengobatan, asal teratur dan ra-
c. Efikasi pengobatan konsisten pada
sional agar dapat meminimalisir efek sam­
2 -3 kali serangan
ping obat. Jika setelah 6 -1 2 bulan migren
d. Tidak ada nyeri kepala rekuren atau mulai terkontrol, dosis pengobatan pro­
tidak ada pemakaian obat kembaii filaksis dapat diturunkan perlahan hingga
dalam waktu 24 jam sesudah pengo­ selanjutnya dihentikan.
batan terakhir berhasil.
Indikasi terapi profilaksis, yaitu:
3. Terapi Nonmedikamentosa 1. Terganggunya aktivitas sehari-hari aki-
Pasien harus menghindari faktor pence- bat serangan migren walaupun pasien
tus munculnya migren, seperti: perubah- telah mendapat pengobatan nonmedika­
an pola tidur, makanan/minuman (keju, mentosa maupun abortif
cokelat, monosodium glutamat/MSG,
2. Frekuensi serangan migren terlalu sering
alkohol), stres, cahaya terang, cahaya
sehingga pasien berisiko mengalami
kelap-kelip, perubahan cuaca, tempat
ketergantungan terhadap obat abortif
yang tinggi (seperti: gunung atau pe-
migren ( medication overuse )
sawat udara), dan rutinitas sehari-hari

576
Nyeri Kepala

3. Pasien mengalami serangan nyeri kepala {serotonin uptake), serta menurunkan


migren sedang sampai berat lebih dari 3 regulasi reseptor beta-adrenergik dan
hari dalam 1 bulan dan sudah tidak respon- eksitasi. Obat golongan ini juga menin­
sifdengan pemberian pengobatan abortif gkatkan regulasi reseptor gam m a amino
4. Pasien mengalami serangan nyeri kepala butyric acid-B (GABA-B) dan menginhi-
migren lebih dari 8 kali sehari walaupun bisi ambilan kembali ( reuptake ] adeno-
pengobatan abortifnya efektif sin oleh neuron. Golongan antidepresan
trisiklik yang banyak digunakan adalah
5. Pasien mengalami serangan nyeri kepala
amitriptilin 30-150mg/hari, nortripti-
migren yang berulang >2x/minggu dan
lin 25-100mg/hari, dan doksepin 3 0 -
mengganggu aktivitas, walaupun telah di-
150mg/hari. Obat golongan ini sangat te-
berikan pengobatan abortif yang adekuat
pat diberikan pada pasien migren dengan
6. Nyeri kepala migren yang berlangsung komorbid depresi, ansietas, atau gang-
sering dan >48 jam guan tidur. Efek samping yang sering
7. Pengobatan abortif gagal atau tidak efektif muncul adalah sedasi, penambahan be­
8. Muncuinya gejala-gejala dan kondisi rat badan, konstipasi, mulut kering, dan
yang luar biasa, misalnya migren basiler pandangan kabur.
hemiplegik, aura yang memanjang 2. Serotonin R eu ptake In hibitors
9. Pasien menginginkan obat profilaksis. Bekerja dengan cara menginhibisi am­
Tujuan terapi profilaksis adalah: bilan kembali {reuptake) serotonin, obat
1. Menurunkan frekuensi serangan hingga ini baik untuk terapi profilaksis pada
50% atau lebih pasien dengan komorbid depresi. Obat
ini juga memiliki toleransi yang lebih
2. Menurunkan intensitas dan durasi se­
baik dibanding obat golongan antidepre­
rangan
san trisiklik. Efek samping yang sering
3. Meningkatkan respons terapi abortif muncul adalah ansietas, mual, muntah,
4. Meningkatkan kemampuan fungsional mudah lelah, anoreksia, penambahan be­
pasien dan menurunkan disabilitas rat badan, pusing, dan disfungsi seksual.
5. Mencegah transformasi migren episodik Obat dari golongan ini yang sering digu­
menjadi migren kronik nakan adalah fluoksetin 10-80mg/hari.
Namun, pada guideline terbaru disebut-
6. Mencegah pemakaian obat secara ber-
kan bahwa level o f evidence fluoksetin
lebihan {medication overuse )
berada pada level U, yang berarti tidak
7. Mencegah terjadinya rebound headache cukup bukti untuk membuktikan efikasi
ketika obat abortif dihentikan pemakai-
obat ini sebagai terapi profilaksis.
annya.
3. Serotonin N orepin ephrin e R eu ptake
Berikut golongan obat pilihan: In hibitor
1. Antidepresan Trisiklik Obat dari golongan ini yang sering digu­
Obat ini bekerja dengan cara menginhi- nakan untuk terapi profilaksis adalah
bisi norepinefrin dan ambilan serotonin

577
Buku Ajar Neurologi

venlafaxine dengan dosis efektif 150mg/ dan verapamil memiliki level o f evidence
hari. Umumnya dimulai dengan obat ex­ U.
tended release 37,5mg di minggu pertama,
6. A ngiotensin-converting Enzym e In hib­
75mg di minggu kedua, dan 150mg pada
itor (ACE-I)
minggu-minggu berikutnya. Efek samping
Berdasarkan hasil penelitian, lisinopril
yang sering muncul adalah insomnia, an-
20mg/hari berhasil menurunkan freku-
sietas, gugup, dan disfimgsi seksual.
ensi migren hingga 50% pada 30% pasien
4. Pengham bat B eta (B eta B locker) jika dibandingkan dengan plasebo. Efek
Obat golongan ini bekerja dengan cara sampingnya berupa batuk, cepat lelah,
menurunkan fungsi adrenergik serta sakit kepala, dan diare, serta dikontra-
menghalangi kerja reseptor presinaps indikasikan pada pasien dengan angio-
noradrenergik dan enzim tirosin hi- edema dan kehamilan.
droksilase. Penghambat beta baik digu-
7. Angiotensin-II R eceptor A ntagonist
nakan pada pasien dengan komorbid
(ARB)
hipertensi, namun tidak pada diabetes
Berdasarkan hasil penelitian, cande-
melitus, asma, depresi, dan pasien dengan
sartan 16mg/hari memiliki efek menu­
tekanan darah rendah. Obat ini berpotensi
runkan frekuensi migren dibandingkan
menyebabkan disfungsi ereksi dan kondisi
plasebo. Efek samping yang sering mun­
mudah lelah, sehingga sebaiknya tidak
cul adalah sakit kepala, mual, nyeri pe-
diberikan pada pasien yang berprofesi
rut, mialgia, dan atralgia, serta dikontra-
sebagai a tle t Pilihannya adalah timolol
indikasikan pada kehamilan.
20-30m g/hari, propanolol 120--140mg/
hari, nadolol 4 0 -2 4 0 mg/hari, atenolol 8. Sodium Valproat
50-100m g/hari, dan metoprolol 1 0 0 - Merupakan golongan obat yang bekerja
200mg/hari. dengan cara meningkatkan kadar gam­
ma amino butirat (GABA) di otak, me­
5. Pengham bat Kanal Kalsium (Calcium
ningkatkan sintesis GABA, menginhibisi
Channel B locker }
degradasinya, dan menghiperpolarisasi
Obat golongan ini bekerja dengan me-
membran pascasinaps dengan cara me­
reduksi pelepasan glutamat dan mengin-
ningkatkan konduksi potasium. Golong­
hibisi pelepasan serotonin, pada migren
an ini juga menurunkan respons glu­
dengan aura atau migrainous infarction.
tamat. Sodium valproat 500-1500m g/
Selain itu, obat ini baik diberikan pada
hari terbukti dapat menurunkan frekue­
pasien dengan komorbid hipertensi,
nsi serangan migren. Efek samping yang
asma, dan penyakit Raynaud. Efek sam­
sering muncul adalah mual, dispep-
ping yang sering muncul adalah konsti-
sia, cepat lelah, dan peningkatan berat
pasi, hipotensi, dan edema perifer. Obat
badan. Obat golongan ini bersifat terato-
yang sering digunakan adalah diltiazem
genik, sehingga sebaiknya tidak diberi­
60-90m g sebanyak 4 kali sehari. Semen-
kan pada perempuan usia reproduksi.
tara itu nikardipin, nifedipin, nimodipin,

578
Nyeri Kepala

9. Topiram at primer tersering dengan prevalensi 78% .


Cara kerja obat ini sebagai terapi profilak- Nyeri kepala tipe ini mengenai hampir 1,4
sis migren diduga berkaitan dengan kanal juta orang atau 20,8% populasi di dunia.
natrium dan kalsium, reseptor GABA A, TTH lebih sering dialami oleh pasien de-
dan reseptor glutamat, serta memiliki efek wasa muda (berusia >20 tahun, puncaknya
inhibisi enzim karbonik anhidrase. Topi­ usia 30-39 tahun), terutama perempuan
ramat 50mg dan lOOmg/hari diketahui dua kali lebih banyak dibanding lelaki.
merupakan dosis optimal terapi proftlak-
Klasifikasi
sis migren, walaupun tidak ditemukan
Berdasarkan 1HS, TTH dapat dibagi menjadi
perbedaan efektivitas yang bermakna
TTH episodik tipe jarang ( infrequent ) dan
di antara kedua dosis tersebut. Namun,
sering {frequent ), serta TTH kronik, yaitu:
dalam pemakaiannya obat ini harus di-
berikan dengan dosis awal yang rendah 1. Tension-type H ead ach e Episodik yang
(15-25mg/hari saat jam tidur) dan dinaik- In frequ en t
kan secara perlahan tiap 2-3 minggu. Efek a. Tension-type headache episodik yang
samping yang sering muncul adalah cepat infrequent berhubungan dengan
lelah, kehilangan berat badan, anoreksia, nyeri tekan perikranial
parestesia, dan kesulitan mengingat. b. Tension-type headache episodik
10. Gabapentin yang infrequent tidak berhubungan
Merupakan obat yang bekerja pada neu­ dengan nyeri tekan perikranial
rotransmiter glisin dan glutamat Obat 2. Tension-type H ea d a ch e Episodik yang
golongan ini pada guideline terbaru di- Frequ ent
kategorikan memiliki level o f evidence U. a. Tension-type headache episodik yang
Migren adalah suatu penyakit kronik, frequent berhubungan dengan nyeri
tetapi dapat terjadi remisi dalam waktu tekan perikranial
panjang. Pada suatu studi diketahui bah- b. Tension-type headache yang frequent
wa pada orang-orang yang mengalami mi­ tid ak berhubungan dengan nyeri
gren dengan onset pada masa anak-anak, tekan perikranial
62% akan bebas serangan selama 2 tahun 3. Tension-type H ead ach e Kronik
atau lebih pada saat pubertas. Keparahan a. Tension-type headache kronik ber­
dan frekuensi migren cenderung untuk hubungan dengan nyeri tekan peri­
menurun seiring dengan penambahan kranial
usia. Setelah 15 tahun seringkali menga­
b. Tension-type headache kronik tidak
lami serangan migren, sekitar 30% lelaki
berhubungan dengan nyeri tekan
dan 40% perempuan tidak lagi mengala­
perikranial
mi serangan di usia lanjut.
4. P ro b a b le Tension-type H ead ach e
NYERI KEPALA TIPE TEGANG a. Probable tension-type headache epi­
Nyeri kepala tipe tegang atau tension type sodik yang infrequent
headache (TTH) merupakan nyeri kepala

579
Buku Ajar Neurologi

b. Probable tension-type headache epi- 1. Hipotensi dan Anemia


sodik yang frequent Pasien dengan hipotensi dan anemia
c. Probable tension-type headache kronik lebih sering terkena TTH. Hal ini berkai-
tan dengan rendahnya suplai oksi-
Patofisiologi gen menuju otot yang mengakibatkan
Nyeri kepala akibatTTH muncul lebih sering kondisi iskemia pada otot. Pada kasus
saat pasien terlalu lama dalam posisi kepala hipotensi, nyeri kepala muncul karena
ditekuk ke bawah (misalnya pada saat mem- suplai oksigen berkurang. Berkurangnya
baca dan menulis), sehingga otot belakang suplai oksigen merupakan konsekuensi
leher akan tegang. Sementara itu, pada pasien dari berkurangnya perfusi darah ke otot
yang sering tidur dengan posisi tidak baik, akibat rendahnya tekanan pada pembu-
nyeri kepala muncul akibat mereka sering- luh darah. Sementara itu, suplai oksi­
kali tidur menggunakan bantal yang terlalu gen pada pasien dengan anemia terjadi
tinggi. Hal ini dapat menyebabkan otot leher akibat kurangnya sel darah merah yang
belakang akan tertekan lebih kuat. mengangkut oksigen ke jaringan.

Kontraksi otot yang terus menerus akan 2. Stres dan Depresi


menyebabkan turunnya perfusi darah dan Stres dan depresi bukan merupakan pe­
lepasnya substansi pemicu nyeri (laktat, micu langsung munculnya TTH, melain-
asam piruvat, dan sebagainya}. Substansi- kan menyebabkan munculnya kontraksi
substansi ini kemudian menstimulasi saraf otot yang berlebihan, sehingga terjadi
yang kemudian akan menghasilkan sensasi defisiensi suplai oksigen dan pelepasan
nyeri pada otot dan ligamen yang dipersarafi substansi pemicu nyeri. Selain itu, sirku-
(Gambar 3}. Nyeri ini akan bersifat tumpul lasi darah bisa menurun hingga 50%
Pada TTH, nyeri muncul pada otot leher be­ pada saat stres.
lakang di daerah oksipital. Pada waktu yang 3. Sensitisasi Sentral dan Perifer
bersamaan, nyeri akan menjalar melewati Nyeri dan stres yang berulang terus
sisi kiri dan kanan kepala atau melewati sisi menerus akan menyebabkan sensitisasi
retroorbita. Oleh karena itu, nyeri juga dapat perifer dan sentral sehingga menyebab­
dirasakan pada daerah-derah tersebut. Se­ kan turunnya ambang nyeri. Nyeri akan
mentara itu, pada otot dan ligamen yang lebih mudah muncul oleh penyebab yang
tidak terlalu banyak mendapat persarafan, sederhana sekalipun, dengan durasi
sensasi yang akan dirasakan adalah pegal. yang lebih lama. Hal ini akan memicu
stres dan seterusnya.

580
Nyeri Kepala

Gambar 3. Patofisiologi Nyeri Kepala Tipe Tegang (1)

Gambar 3. Patofisiologi Nyeri Kepala Tipe Tegang £2)

581
Buku Ajar Neurologi

Gejala Klinis 3. Nyeri kepala memiliki paling tidak 2 ge­


Karakteristik nyeri kepala ini adalah bilate­ jala khas, yaitu:
ral, menekan atau mengikat, tidakberdenyut a. Bilateral
dengan intensitas ringan sampai sedang, b. Terasa menekan atau mengikat (bu-
serta rasa tegang di sekitar leher dan kepala kan berdenyut)
belakang. Oleh karena mekanisme kerjanya
c. Intensitasnya ringan hingga sedang
yang berbeda dengan migren, maka pada
d. Tidak diperberat dengan aktivitas ru­
TTH seharusnya tidak ditemukan adanya
tin seperti berjalan atau naik tangga
mual/mimtah dan akan berlangsung lebih
lama. Walaupun durasinya bisa lebih pan- 4. Tidak didapatkan keluhan atau gejala
jang, nyeri pada TTH tidak seberat migren, berupa:
sehingga sering terabaikan. Hal ini yang me- a. Mual atau muntah (walaupun pasien
nyebabkan TTH lebih cenderung kronik dan mengeluh anoreksia}
lebih sulit untuk diterapi secara sederhana. b. Fotofobia atau fonofobia
Pada kasus TTH kronik, pasien juga umum-
nya mengeluh insomnia, nyeri kepala saat 5. Tidak berkaitan dengan kelainan lain
di pagi hari, penurunan berat badan, susah pada kepala atau organ tubuh lainnya
berkonsentrasi, dan mudah lelah. Nyeri bi- (bukan nyeri kepala sekunder).
asanya dipicu pada keadaan stres dan/atau Mirip dengan TTH episodik tipe jarang,
cemas, kelelahan, depresi, posisi tidur atau TTH episodik tipe sering (frequent )
bekerja yang tidak baik, kurang tidur, dan mempunyai frekuensi yang lebih sering
kebiasaan merokok. pada kriteria pertama, yaitu paling ti­
Pemeriksaan fisik secara umum dan neuro- dak terdapat 10 episode serangan dalam
logis seharusnya dalam batas normal, untuk 1-15 hari/bulan selama paling tidak 3
menyingkirkan nyeri kepala sekunder yang bulan (12-180 hari/thn).
memiliki karakteristik yang mirip TTH. Pada Kriteria diagnostic TTH kronik adalah:
keadaan tertentu dapat ditemukan adanya
1. Nyeri kepala yang terjadi >15 hari/bulan
trigger point, yaitu daerah otot yang tegang,
dan berlangsung >3 bulan (>180 hari/
sehingga menimbulkan nyeri tekan di area
tahun).
leher dan kepala.
2. Nyeri kepala ini harus memenuhi krite­
Diagnosis ria berikut:
Kriteria diagnosis TTH episodik tipe jarang
a. Berlangsung beberapa jam atau secara
(infrequent) adalah:
terus menerus
1. Sekurang-kurangnya terdapat 10 epi­ b. Nyeri kepala memiliki sekurangnya 2
sode serangan dengan rerata <1 hari/ karakteristik berikut:
bulan (<12 hari/tahun} dan memenuhi
kriteria 2 -5 ® Lokasi bilateral
2. Nyeri kepala dapat berlangsung 30 me- ® Terasa menekan atau mengikat (bu­
nit hingga 7 hari kan berdenyut)

582
Nyeri Kepala

• Intensitas ringan hingga sedang kepala primer lainnya, seperti migren,


(dapat mengganggu aktivitas tetapi TTH episodik, TTH kronik, nyeri kepala
pasien masih bisa beraktivitas) tipe Master, dan neuralgia trigeminal.
• Tidak memberat dengan aktivitas Walaupun TTH tidak boleh ditegakkan
fisik rutin seperti: berjalan atau naik jika ada gejala-gejala migren, seperti
tangga muntah, fotopsia, dan fonofobia, namun
pada migren kronik dapat menyebab-
3. Tidak didapatkan: kan ansietas sehingga memicu TTH.
a. Lebih dari satu keluhan ini, yaitu foto- Yang penting adalah anamnesis frekue-
fobia, fonofobia, atau mual nsi, karakteristik durasi, dan onset
b. Muntah masing-masing nyeri yang berbeda, se­
4. Tidak berkaitan dengan kelainan lain hingga dapat ditentukan polanya (Gam-
pada kepala atau organ tubuh lainnya bar 4). Intensitas nyeri saat serangan
(bukan nyeri kepala sekunder). migren lebih tinggi dibandingkan TTH
dan lebih singkat, sehingga pasien bisa
Selama tidak ada defisit neurologis, kembali ke kondisi normal.
diagnosis banding TTH adalah nyeri

Gejala:
Muntah prominen

AAJL
Sakit kepala sebelah
Migren kiasik Gejala neurologis foka I
{Classic
migraine)

Migren
umum
{Com m on
migraine)
_A_A_A_

——
Tension-
vascular
headache

Tension Gejala:
headache Nyeri suiit
dideskripsikan
Jarang disertai muntah
Halocephalgia

Gambar 4. Diagnosis Banding Migren dan Nyeri Kepala Tipe Tegang

583
Buku Ajar Neurologi

Tata Laksana Pilihan untuk TTH akut adalah (Tabel 2):


Prinsip tata laksana TTH meliputi: 1. Analgesik, pilihannya adalah: aspirin
1. Modifikasi gaya hidup untuk mengurangi lOOOmg/hari, parasetamol lOOOmg/hari,
faktor pencetus TTH. Mayoritas [80% ] NSAIDs (Naproksen 660-750m g/hari,
penyebab TTH adalah stres dan postur ketoprofen 25-50m g/hari, tol-fenamat
yang tidak benar, terutama saat duduk 200~400mg/hari, asam mefenamat,
atau bekerja di depan komputer selama fenoprofen, ibuprofen 800mg/hari,
berjam-jam. Oleh karena itu perlu pe- diklofenak 50-lOOmg/hari). Pemberian
nguatan otot-otot belakang ( back exer­ analgesik dalam waktu lama memiliki
cise ) dan olah raga rutin. efek samping berupa ulkus gaster, ulkus
duodenum, penyakit ginjal, penyakit
2. Tahap awal tata laksana harus dimulai
hepar, dan gangguan fungsi platelet
dengan edukasi faktor dan mengimple-
mentasikan menejemen stres guna mence- 2. Kafein (analgesik ajuvan) 65mg.
gah atau mengurangi serangan TTH. 3. Kombinasi:
3. TTH akut pada umumnya dapat mem- a. 325mg (aspirin atau asetaminofen] +
baik dengan sendirinya. Namun, jika 40mg kafein
sangat mengganggu bisa dikurangi de­ b. Ibuprofen 400m g + kafein
ngan mengonsumsi analgesikyang dapat
c. Aspirin/asetaminofen 5O0-lOOOmg
dikombinasi dengan kafein.
+ kafein
4. Tata laksana nonfarmakologis berupa
Pemakaian obat analgesik yang dikombinasi
relaksasi, cognitive-behavioral therapy,
dengan kafein dapat memunculkan keter-
serta pemijatan dapat membantu men­
gantungan.
gurangi dan mencegah serangan.
Terapi medikamentosa untuk TTH kronik:
5. Terapi profilaksis diberikan jika nyeri
kepala terjadi secara rutin, berhubungan 1. Antidepresan
dengan pekerjaan, sekolah dan kualitas Antidepresan jenis trisiklik: amitriptilin.
hidup, dan atau penggunaan. Selain berfungsi sebagai obat analgesik,
obat ini juga digunakan sebagai obat
6. Kesemua poin di atas perlu dilakukan
profilaksis TTH, Obat ini memiliki efek
secara adekuat untuk menghindari nyeri
analgesik dengan cara mengurangi firing
berkembang menjadi kronik, karena tata
rate o f trigeminal nucleus caudatus. Pe­
laksana akan menjadi sangat berbeda
makaian obat antidepresan trisiklik me­
akibat telah terjadinya sensitisasi baik
miliki efek samping berupa penambahan
sentral maupun perifer.
berat badan (merangsang nafsu makan),
A. Terapi Medikamentosa mengganggu jantung, hipotensi ortosta-
Terapi medikamentosa diberikan pada tik, dan efek antikolinergik (mulut leering,
serangan akut dan tidak boleh diberikan mata kabur, tremor, disuria, retensi urin,
lebih dari 2 hari/minggu. dan konstipasi.

584
Nyeri Kepala

Tab el 2. O bat Pilihan Nyeri K epala T ipe Tegang A kut

O bat D osis (mg) Level R ekom end asi3 K eterangan

Ibuprofen 2 0 0 -8 0 0 A Efek samping: risiko perdarahan gastrointestinal


Efek samping seperti ibuprofen
Ketoprofen 25 A Efek samping seperti ibuprofen
Aspirin 5 0 0 -1 0 0 0 A Efek samping seperti ibuprofen
Naproksen 3 7 5 -5 5 0 A Efek samping seperti ibuprofen, hanya dosis 1 2 ,5 -
Diklofenak 1 2 ,5 -1 0 0 A 25m g yang diuji pada TTH
Efek samping gastrointestinal lebih sedikit diband-
Parasetamol 1000 (oral) A ing NSAIDsb
Kafein 6 2 -2 0 0 B
alevel rekomendasi mempertimbangkan efek samping dan konsistensi bukti. Penelitian dengan dosis maksimal masih
jarang. Dosis optimal efektif yang ditoleransi dengan baik oleh pasien sebaiknya dtpilih.
bkombinasi dengan kafein 65-2 OOmg meningkatkan efikasi parasetamol dan ibuprofen, tetapi meningkatkan risiko ter-
jadinya medication-overuse headache,
Sumber: Bendtsen L, dkk. European J Neurol. 2010. h. 1318-25.

2. Antiansietas 4. Hindari pemakaian harian obat analge-


Golongan obat ini digunakan untuk pe- sik, sedatif, dan ergotamin.
nyembuhan maupun pencegahan TTH. 5. Behaviour treatment dalam bentuk bio­
Obat ini terutama diberikan pada pasien feedback, manajemen stres, reassurance,
dengan komorbid ansietas. Golongan an­ konseling, terapi relaksasi, atau terapi
tiansietas yang sering digunakan adalah kognitif-sikap.
benzodiazepin.
C. Terapi Profilaksis
B. Terapi Nonmedikamentosa Terapi ini diberikan pada pasien TTH epi-
1. Edukasi: menjelaskan sedildt patofisiologi sodik yang sering mendapat serangan atau
TTH secara sederhana serta pengobatan pasien dengan serangan >15 hari dalam
yang diperlukan. Memastikan pasien me- satu bulan (TTH kronik) (Tabel 3). Prinsip
ngetahui bahwa TTH bukanlah penyakit terapi ini adalah memberikan obattunggal
serius seperti tumor otak, perdarahan otak. yang dititrasi hingga dosis terendah yang
Hal ini akan mengurangi ketegangan pasien. efektif dan dapat ditoleransi dengan baik
2. Kontroldiet. oleh pasien.
3. Terapi fisik: Indikasi:
® Latihan postur dan posisi Pasien yang mengalami disabilitas akibat
® Masase nyeri kepala >4 hari/bulan atau pasien yang
® Ultrasound, manual terapi^ tidak respons terhadap terapi simptomatis
® Kompres panas/dingin walaupun frekuensi nyeri kepalanya lebih
jarang, Terapi profilaksis dikatakan berha-
® Akupuntur transcutaneus electrical
sil jika bisa mengurangi frekuensi serangan
stimulation (TENS)
dan/atau mengurangi derajat keparahan
® Obat anestesi atau bahan lain pada
minimal 50% .
titik pemicu

585
Buku Ajar Neurologi

T a b e l 3. O bat-obatan P ro fllaksis Nyeri K epala T ip e tegang


Obat Dosis H arian [mg) Level Reliom endasi
O bat lin i p ertam a
« Amitriptilin 3 0 -7 5 A
O bat lin i kedua
® Mirtazapin 30 B
® Venafaksin 150 B
O bat lini ketiga
® Klomipramin 7 5 -1 5 0 B
® Maprotilin 75 B
® Mianserin 3 0 -6 0 B
Sumber: Bendtsen L, dkk. J. European J Neurol. 2010. h. 1318-25.

Prinsip pemilihan obat profilaksis adalah: frekuensi, dan durasi nyeri, serta gangguan
1. Harus sesuai lini yang direkomendasikan fungsional, jumlah obat simptomatis yang
(lini pertama lebih diutamakan dari lini dikonsumsi, efikasi terapi profilaksis, dan
kedua), tetapi harus mempertimbangkan efek samping dari obat profilaksis maupun
efek samping dan faktor komorbid pasien obat simptomatis. Oleh karena faktor pen-
2. Dimulai dengan dosis rendah, kemudian ting pencegahan kekambuhan nyeri kepala
dosis dinaikkan perlahan-lahan hingga adalah dengan mengidentifikasi faktor yang
didapatkan dosis maksimal yang efektif mencetuskan dan mengurangi nyeri kepala.
untuk pasien Walaupun tidak berbahaya, TTH dapat
3. Obat diberikan dalam jangka waktu mengganggu aktivitas sehari-hari. Kasus TTH
seminggu/lebih terbanyak adalah kasus TTH episodik, namun
4. Obat dapat diganti dengan obat lain jika akan sangat mudah menjadi kronik akan
obat pilihan pertama gagal meningkat jika pemicu dan stresor tidak bisa
diatasi,
5. Obat lebih utama diberikan dalam ben-
tuk monoterapi
NYERI KEPALA TIPE KLASTER
Sebelum diberikan terapi profilaksis, perlu Kelompok trigeminal autonomic cephalal­
ditanyakan penyakit komorbid lain yang gias (TAC) terdiri dari: (1) nyeri kepala tipe
juga dialami oleh pasien, misalnya: pasien Master, [2) paroksismal hemikrania, (3)
dengan hipertrofi prostat dan glaukoma short-lasting unilateral neuralgiform head­
tidak boleh diberikan amitriptilin. Pasien ache attacks/SUN CT, (4) kontinua hemikra­
harus diinformasikan mengenai cara kerja nia, dan (5) probable TAC. Nyeri kepala tipe
obat dan kapan saja waktu mengonsumsi Master atau cluster headache (CH) meru-
o b at Selain itu, pasien juga perlu mendapat pakan nyeri kepala tersering pada TAC, se-
penjelasan mengenai tingkat efikasi dan hingga fokus pembahasan pada bagian ini
efek samping obat tersebut ialah mengenai CH.
Pasien juga perlu mencatat tiap serangan CH memiliki karakteristik berupa nyeri ke­
nyeri pada catatan harian ( headache diary). pala hebat yang disertai gejala otonom di
Catatan ini berfungsi untuk mengetahui pola, temp at yang spesifik, seperti orbita, supra -

586
Nyeri Kepala

orbita, temporal, atau kombinasi tempat- belum bisa dimengerti secara jelas. Untuk
tempattersebut. Nyeri tersebutberlangsung memudahkan pemahaman penyakit ini,
secara periodik, sehingga disebut sebagai maka dilakukan pendekatan patofisiologis
klaster [cluster), dalam waktu 1 5 -1 8 0 me- berdasarkan gejala yang dialami pasien, yai­
nit dengan frekuensi dari 1 kali tiap 2 hari tu: (1) nyeri kepala; (2} gejala otonom; dan
hingga 8 kali sehari. Serangan nyeri kepala [3) periodisitas yang stereotipik.
selalu disertai satu atau lebih gejala, seperti
Stimulus nyeri kepala disampaikan ke
injeksi konjungtiva, lakrimasi, kongesti na­
sistem saraf pusat melalui cabang nosiseptif
sal, rhinorrhea, berkeringat di kening dan
oftalmikus nervus Trigeminus. Cabang saraf
wajah, miosis, ptosis, dan edema palpebra.
ini menginervasi struktur intrakranial yang
Semua gejala tersebut bersifat ipsilateral.
sensitif terhadap nyeri, seperti: duramater
Pasien sebagian besar gelisah dan agitasi
dan pembuluh darah dural. Ketika saraf
selama serangan CH berlangsung.
atau ganglion trigeminus teraktivasi, sub-
Prevalensi CH sangat jarang, hanya kurang stansi P dan calcitonin gene-related peptide
dari 1%. Penyakit ini lebih banyak ditemu- (CGRP) akan dilepaskan. Pelepasan kedua
kan pada lelaki dibanding perempuan, de­ jenis neuropeptida trigeminovaskular ini
ngan rasio sekitar 6:1, serta berusia lebih merangsang inflamasi neurogenik dan di-
dari 30 tahun. Selain itu faktor risiko juga latasi pembuluh darah yang kemudian me-
jika mengkonsumsi vasodilator seperti nimbulkan sensasi nyeri kepala.
alkohol, riwayat trauma dan operasi kepala,
Gejala otonom pada nyeri kepala klaster
merokok, serta adanya stressor.
merupakan indikasi adanya aktivasi saraf
parasimpatis. Saraf ini merupakan cabang
Klasifikasi
dari neuron orde pertama nukleus salivato-
Terdapat dua jenis CH, yaitu:
rius superior dan memiliki hubungan fung-
1. CH episodik, merupakan serangan nyeri sional dengan nukleus trigeminus. Serabut
kepala klaster yang terjadi periodik dan saraf ini selanjutnya memanjang sejajar
berlangsung tujuh hari sampai satu ta­ nervus fasialis dan bersinaps di ganglion
hun. Setiap periode dipisahkan oleh pterigopalatina. Saraf post-ganglionik ber-
periode bebas nyeri yang akan berlang­ fungsi sebagai vasomotor dan sekretomotor
sung satu bulan atau lebih lama. pembuluh darah serebral, kelenjar lakri-
2. CH kronik, merupakan serangan nyeri mal, dan mukosa hidung. Hal lain yang juga
kepala klaster yang terjadi selama lebih memicu munculnya gejala otonom adalah
dari satu tahun tanpa remisi atau di­ perubahan vaskular yang menginduksi
sertai remisi namun berlangsung hanya gangguan aktivitas saraf simpatis. Muncul­
kurang dari satu bulan. nya gejala sindroma Horner (ptosis, miosis,
injeksi konjungtiva) selama serangan nyeri
Patofisiologi kepala klaster, mengindikasikan adanya
Walaupun penyakit ini sudah dikenal sejak pengaruh pleksus simpatis karotis, teruta-
lama, tetapi patofisiologi yang mendasari ma pleksus di sekitar arteri karotis interna
berbagai gejalanya hingga saat ini masih

587
Buku Ajar Neurologi

segmen kavernosus. headache attack with conjungtival in­


jection and tearing/cranial autonomic
Sementara itu, periode serangan yang epi-
features (SUNCT/SUNA].
sodik diduga berhubungan dengan adanya
disfungsi aktivitas hipotalamus. Hal ini di- c. Migren
buktikan dengan abnormalitas kadar hor- d. Arteritis temporal
mon kelenjar hipofisis yang mengindika-
Tata Laksana
sikan adanya perubahan ritme sekretorik
Pada prinsipnya tata laksana nyeri kepala
hipotalamus.
ldaster bertujuan untuk menekan periode
Diagnosis dan Diagnosis Banding serangan, menghentikan serangan akut,
mengurangi frekuensi serangan, serta me-
1. Diagnosis
ngurangi berat atau intensitas serangan.
Kriteria diagnostik cluster headache
adalah: Terapi untuk serangan akut nyeri kepala
a. Terdapat minimal 5 serangan yang Master:
memenuhi kriteria B-D 1. Inhalasi oksigen 100% 7 L/menit selama
b. Nyeri hebat atau sangat hebat di or- 15 menit dengan sungkup
bita, supraorbita, dan atau temporal 2. Dihidroergotamin (DHE) 0,5-l,5m g se-
yang unilateral, berlangsung 1 5 -1 8 0 cara intravena akan mengurangi nyeri
menit bila tidak diobati dalam 10 m enit Pemberian melalui in-
c. Nyeri kepala disertai setidaknya satu tramuskular atau nasal memeiliki awitan
dari gejala berikut: lebih lama.
3. Sumatriptan injeksi subkutan 6mg akan
1) Injeksi konjungtiva dan atau lakrima-
mengurangi nyeri dalam waktu 5 -1 5 me­
si ipsilateral
n it Dapat diulang setelah 24 jam. Suma­
2) Kongesti nasal dan atau rhinorrhoea triptan dikontraindikasi untuk pasien
ipsilateral dengan penyaldt jantung iskemik dan/
3) Edema palpebra ipsilateral atau hipertensi tidak terkontrol. Suma­
4) Dahi dan wajah berkeringat ipsilateral triptan nasal spray 20mg juga dapat di-
5) Miosis dan atau ptosis ipsilateral berikan, tetapi kurang efektif jika diban-
dingkan sumatriptan injeksi subkutan.
6) Perasaan gelisah atau agitasi
Efek sampingnya adalah pusing, letih,
d. Serangan-serangan tersebut mem- parestesia, dan kelemahan di wajah.
punyai frekuensi: dari 1 kali setiap 2
4. Anestesi lokal lm L lidokain 4% yang
hari sampai 8 kali per hari
diteteskan pada kapas kemudian kapas
e. Tidak berkaitan dengan gangguan lain diletakkan di tiap lubang hidung selama
2. Diagnosis Banding 5 menit.
a. Paroksismal hemikrania Indikasi terapi profilaksis:
b. Short-lasting unilateral neuralgiform

588
Nyeri Kepala

a. Nyeri kepala klaster yang sulit hilang Prognosis pada pasien CH dapat bervariasi,
walaupun telah diberikan terapi abortif mulai dari persistennya serangan yang ber-
(gagal terapi abortif) ulang, memanjangnya masa remisi, hingga
b. Nyeri kepala klaster terjadi setiap hari berubahnya CH episodik menjadi CH kronik.
dan berlangsung selama lebih dari 15 Sekitar 80% pasien CH episodik akan tetap
menit mengalami CH episodik selama hidupnya. Se-
mentara itu, 4 -1 3 % pasien CH episodik dite-
c. Pasien yang bersedia dan mampu me-
mukan mengalami transformasi menjadi CH
ngonsumsi obat setiap hari
kronik. Remisi spontan ditemukan pada 12%
Obat yang dapat digunakan untuk profilaksis: pasien, umumnya pada pasien CH episodik.
1. Verapamil 120-160m g dapat diberikan Tidak ada laporan mortalitas yang diakibat-
3 -4 kali sehari (merupakan pilihan per- kan langsung oleh CH, namun banyak pasien
tama terapi profilaksis). Selain itu dapat dikatakan mengalami depresi dan bunuh diri
juga menggunakan nimodipin 240mg/ akibat serangan CH yang periodik.
hari atau nifedipin 40-120mg/hari.
2. Prednisolon 50-75mg/hari. Dosis di- NEURALGIA TRIGEMINAL
kurangi 10% pada hari ketiga. Obat ini Neuralgia trigeminal atau yang dikenal juga
tidak boleh diberikan dalam jangka wak- dengan tic douloureux adalah nyeri akibat
tu yang lama. Efektif mencegah serangan lesi di sepanjang cabang nervus trigeminus.
pada 8 0 -9 0 % kasus. Insidensnya lebih banyak pada perempuan
3. Litium 300-1500m g/hari per oral (rata- dibanding lelaki (2:1). Pada 90% pasien,
rata pemberian 600-900m g/hari) awitan terjadi ketika pasien berusia di atas
4. Metisergid 4 -1 0 mg/hari per oral usia 40 tahun, terutama usia 6 0 -7 0 tahun.
Jika terjadi. di usia 2 0 -4 0 tahun, penyebab
5. Ergotamin tartrat 2mg diberikan 2 -3
demielinisasi akibat multipel sklerosis per­
kali per hari. Dapat diberikan dengan
lu dipertimbangkan.
cara 2mg per oral atau lm g per rektal,
2 jam sebelum serangan terutama pada Rlasifikasi
malam hari. 1HS membedakan neuralgia trigeminal men­
jadi 2 kategori:
Selain terapi medikamentosa, pasien perlu 1. Neuralgia trigeminal klasik, umumnya
disarankan untuk membiasakan diri hidup idiopatik. Namun seringkali berkaitan
dan istirahat teratur, hindari konsumsi alko- dengan kompresi vaskular pada tempat
hoi, batasi paparan terhadap zat volatil se- masuknya cabang nervus trigeminus di
perti gasolin, hati-hati bila sedang berada di batang otak.
ketinggian, serta hindari paparan terhadap 2. Neuralgia trigeminal simtomatik, sering
produk tembakau dan sinar yang terlalu disebabkan oleh lesi struktural, seperti mul­
terang atau suara yang terlalu gaduh {glare tipel sklerosis, anuerisma arteri basilar, atau
and bright light). tumor (neuroma trigeminal, meningioma,
epidermoid) pada cerebellopontine angle.

589
Buku Ajar Neurologi

Gejala Klinis nyeri. Sebanyak 60% pasien dapat meloka-


Gejala yang paling sering dikeluhkan berupa lisasi titik picu nyeri.
serangan nyeri pada wajah unilateral yang
Patofisiologi
bersifat episodik, spontan, menusuk, dan
Sampai saat ini patofisiologi neuralgia tri­
seperti tersengat listrik pada daerah wajah
geminal masih kontroversial. Etiologinya
yang dipersarafi oleh percabangan nervus
dapat berasal dari sentral, perifer, atau
trigeminus. Nyeri bersifat progresif dalam
keduanya. Nervus trigeminus (N. V} dapat
waktu 20 detik, sehingga pasien terlihat
menghantarkan nyeri karena memiliki se-
kesakitan yang kemudian menghilang dan
rabut saraf sensorik dari ketiga cabangnya
menyisakan rasa terbakar yang bertahan
(Gambar 5), yaitu cabang V I (cabang oksi-
beberapa detik hingga m enit
pital) yang mempersarafi kulit kepala, dahi,
Neuralgia yang klasik biasanya memiliki ti- dan kepala bagian depan; cabang V2 (ca­
tik picu (trigger point ) daerah wajah yang bang maksila] untuk hidung, pipi, serta ra-
dipersarafi nervus trigeminus cabang ked- hang, bibir, gigi, dan gusi atas; serta cabang
ua atau ketiga (terutama daerah pipi dan V3 (cabang mandibula) pada area rahang,
dagu]. Hanya >5% pasien yang memiliki ti- bibir, gigi, dan gusi bawah.
tik picu di daerah nervus trigeminus cabang
Umumnya tidak ada kelainan struktural
pertama. Pada 60% kasus, nyeri berasal dari
(85% ], namun sebagian ditemukan adanya
ujung mulut hingga ke arah sudut rahang,
kompresi nervus trigeminal oleh arteri dan
sedangkan 30% dari bibir atas atau gigi ta­
vena pada tempat masuknya cabang nervus
ring atas hingga ke sekitar mata dan alis.
ini di batang otak. Kompresi ini menyebab-
Nyeri tidak pernah menjalar dari satu sisi kan demielinisasi yang dapat mengakibat-
ke sisi lainnya, tetapi nyeri pada beberapa kan cedera nervus trigeminal, terutama
kasus dapat bilateral, umumnya penyebab pada cabang kedua dan ketiga. Dapat dite­
sentral berupa multipel sklerosis. Umum­ mukan juga penekanan akibat tumor di dae­
nya akan ada periode bebas nyeri yang rah cerebellopontine angle (CPA] yang bi­
dapat berlangsung beberapa minggu hingga asanya disertai adanya baal di daerah wajah
beberapa tahun. Di antara dua serangan pada area ketiga cabang N. V, serta paresis
dapat terasa nyeri tumpul yang bertahan N. VII perifer dan gangguan pendengaran
dan menetap di beberapa kasus. Sesudah pada telinga ipsilateral.
serangan nyeri umumnya akan ada periode
Nyeri neuropatik merupakan penanda uta-
refrakter, yaitu suatu periode bebas rasa
ma dari kerusakan serat saraf aferen kecil
nyeri (kondisi tidak dapat dipicu).
yang tidak bermielinisasi atau bermieli-
Saat nyeri rekuren, titik picu umumnya akan nisasi tipis. Rusaknya mielin (demielinisasi]
berada pada tempat yang sama. Pemerik- ini mengakibatkan hilangnya barrier antara
saan neurologis akan menunjukkan kondisi satu serat saraf dengan serat saraf lainnya,
normal, kecuali jika dilakukan pemerik- sehingga rentan terjadi "korsleting". Hal ini
saan segera setelah nyeri muncul, berupa diperburuk oleh mekanisme re-entry yang
berkurangnya fungsi sensoris pada daerah mengakibatkan amplifikasi stimulus, se-

590
Nyeri Kepala

hingga stimulus akan dihantarkan secara Kriteria diagnostik neuralgia trigeminal


berlebihan. Kondisi lain yang dapat menye- berdasarkan IHS adalah:
babkan kerusakan pada mielin adalah mul- 1. Serangan nyeri paroksismal beberapa
tipel slderosis, kompresi oleh tumor nervus detik hingga dua menit yang melibatkan
V, dan proses degeneratif. 1 atau lebih cabang N, Trigeminal dan
memenuhi kriteria B dan C.
Diagnosis
Diagnosis terutama berdasarkan nyeri yang 2. Nyeri paling sedikit memenuhi 1 karak-
khas pada daerah wajah yang dipersarafi teristik berikut:
nervus trigeminal unilateral. Faktor pence- a. Kuat, tajam, superfisial atau rasa tertikam.
tus nyeri adalah stimulus non-nyeri yang b. Dicetuskan dari satu titik pada zona
merupakan bagian dari aktivitas sehari- nyeri atau oleh satu faktor pencetus.
hari, dapat berupa sentuhan, berbicara,
3. Jenis serangan stereotipik pada tiap in-
makan, minum, mengunyah, menyikat gigi,
dividu.
menyisir rambut, bercukur rambut, terkena
4. Tidak ada defisit neurologis.
air saat mandi. Titik picu nyeri umumnya di
daerah plika nasolabialis. 5. Tidak berkaitan dengan gangguan pada
organ lain.

G am bar 5. P ersarafan Nervus T rigem inu s

591
Buku Ajar Neurologi

Diagnosis banding dari penyakit ini meli- 1. Terapi Nonmedikamentosa


puti sindroma nyeri fasial atipikal, nyeri Tata laksana pembedahan diindikasi-
kepala kluster, neuralgia pascaherpes, dan kan pada nyeri yang sulit dikontrol wa-
nyeri akibat penyakit pada gigi atau orbita. laupun sudah diberikan tata laksana
Pemeriksaan pencitraan yang ideal adalah medikamentosa, atau pada nyeri yang
MRI dengan kontras untuk membedakan simtomatik akibat penekanan oleh arteri
neuralgia trigeminal klasik dan simtomatik, atau tumor. Terdapat 5 prosedur terapi
berupa adanya gambaran kompresi saraf pembedahan pada neuralgia trigeminal,
trigeminal oleh pembuluh darah atau tumor. sesuai dengan etiologinya, yaitu gam m a
knife radiosurgery, radiofrequency elec­
Tata Laksana
trocoagulation, injeksi gliserol, balloon
Prinsip utama tata laksana nyeri trigeminal
microcompression, dan microvascular de­
adalah mencari penyebab utamanya, sebe-
compression. Namun terapi pembedahan
lum memberikan obat-obatan selama jang-
berisiko terjadinya anestesia dolorosa,
ka panjang, dilanjutkan dengan tindakan
yaitu rasa baal di area yang dipersarafi
pembedahan jika memang terjadi kelainan
nervus trigeminus.
struktural.
Walaupun neuralgia trigeminal tidak
1. Terapi Medikamentosa
membahayakan nyawa, namun sangat
Neuralgia trigeminal klasik umumnya
mengganggu kualitas hidup akibat nyeri-
akan responsif dengan terapi medika­
nya yang hebat saat serangan dan dapat
mentosa. Sementara itu, tata laksana
berulang setiap saat. Hal ini dapat me-
neuralgia trigeminal simtomatik harus
nyebabkan sindrom nyeri kronik dan
disesuaikan dengan etiologinya. Terapi
menyebabkan depresi. Pasien akan
alternatif seperti stimulus mekanik, elek-
cenderung membatasi aktivitas yang
trik, atau termal dapat digunakan untuk
merangsang nyeri seperti mengunyah,
mengurangi nyeri dengan efek samping
sehingga akan kehilangan berat badan
yang lebih kecil dibanding dengan terapi
yang signifikan. Bahkan pada kasus nyeri
medikamentosa.
yang parah dapat mendorong pasien un­
Pilihan terapi yang dapat digunakan tuk bunuh diri.
adalah oral berupa:
Pasien perlu diedukasi tentang perjalan-
® Karbamazepin 100-600m g/hari an penyakit bahwa serangan nyeri me-
® Pregabalin 150-300m g/hari miliki kemungkinan remisi beberapa bu-
® Gabapentin 1200-3600m g/hari lan, lalu dapat rekuren dengan frekuensi
® Baklofen 60-80m g/hari lebih sering. Demikian pula tentang efek
samping obat, terutama obat anti-kon-
• Fenitoin 200-400m g/hari
vulsan yang dapat menyebabkan sedasi
® Lamotrigin 100-400m g/hari dan ataksia, serta memengaruhi fungsi
• Topiramat 150-300m g/hari hati, agar pasien dapat mengenali ge-
• Okskarbazepin 300-2400m g/hari jala menurunnya fungsi hati dan segera

592
Nyeri Kepala

berobat jika perlu. Pasien juga sebaiknya ® Nyeri kepala yang terjadi selalu di satu sisi
mengurangi manuver-manuver yang © Nyeri kepala yang terjadi setelah trauma
akan memicu munculnya nyeri. kepala
© Nyeri kepala dengan penyakit sistemik
NYERI KEPALA SEKUNDER
(demam, kaku kuduk, ruam kulit)
Kelompok nyeri kepala sekunder pada
dasarnya berbeda dengan nyeri kepala © Nyeri kepala yang berhubungan dengan
kejang dan aura atipikal
primer karena merupakan sebuah gejala
dari suatu proses organik dan berhubungan © Nyeri kepala dengan defisit neurologis
dengan lebih dari 316 gangguan dan penya- © Nyeri kepala awitan baru pada pasien
k it Oleh karena nyeri kepala sekunder ini imunodefisiensi atau kanker
merepresentasikan suatu proses organik di ® Nyeri kepala yang dicetuskan oleh pe-
tubuh, maka setiap klinisi harus bisa men- rubahan posisi, aktivitas, dan peregangan
deteksi dini masalah ini dengan cara menge-
© Nyeri kepala pada pasien dengan sindroma
nali tanda bahaya nyeri kepala agar pasien
neurokutaneus
tidak jatuh ke dalam kondisi yang mengan-
cam nyawa. Setelah diagnosis nyeri kepala Berbeda dengan orang dewasa, tanda ba­
sekunder ditegakkan, selanjutnya pasien haya nyeri kepala pada anak, antara lain:
harus direncanakan beberapa pemeriksaan ® Nyeri kepala persisten dengan durasi <6
lebih lanjut untuk mengetahui proses or­ bulan yang tidak respon dengan pengo-
ganik penyakit yang mendasarinya. batan

Pengenalan tanda bahaya nyeri kepala akan © Nyeri kepala berhubungan dengan de­
menuntun klinisi untuk memutuskan urgensi fisit neurologis, termasuk edema papil,
pemeriksaan lanjutan (pencitraan otak, anali- nistagmus, dan gangguan gait
sis cairan otak, pemeriksaan darah) pada © Nyeri kepala persisten pada pasien yang
pasien dengan keluhan nyeri kepala. Tanda tidak memiliki riwayat migren di keluarga
bahaya ini berbeda antara orang dewasa dan ® Nyeri kepala persisten yang disertai
anak-anak. Beberapa tanda bahaya nyeri-ke­ gangguan kesadaran, disorientasi, atau
pala pada orang dewasa, antara lain: muntah
© Nyeri kepala pertama kali dan sangat © Nyeri kepala yang sering membangun-
parah (thunderclap headache ) kan anak dari tidurnya, atau terjadi
© Nyeri kepala awitan pertama kali di atas segera setelah anak bangun tidur
usia 50 tahun © Adanya riwayat penyakit saraf sebelum-
® Nyeri kepala dengan peningkatan freku- nya atau riwayat serupa di keluarga yang
ensi dan tingkat keparahan mendukung ke arah kelainan susunan
saraf pusat
® Nyeri kepala kronik sehari-hari yang ti­
dak responsif dengan terapi

593
Buku Ajar Neurologi

T abel 4, Tanda Bahaya pada Evaluasi P asien dengan Nyeri K epala


Tanda Bahaya D iagnosis Banding R encana P em erik saan
Nyeri kepala setelah usia 50 Arteritis temporal, lesi massa Laju endap darah, pencitraan
tahun
Nyeri kepala awitan mendadak Perdarahan subaraknoid, apopleksi pituitari, Pungsi lumbal, pencitraan
malformasi ateriovena, lesi massa (terutama
fossaposterior
Nyeri kepala progresif bertam- Lesi massa, subdural hematom, medication Pencitraan, skrining obat
bah berat overuse medication
Nyeri kepala dengan penyakit Meningitis, ensefalitis, infeksi sistemik, Lyme Tes darah, pungsi lumbal,
sistemik (demam, kaku kuduk, disease pencitraan
ruam kulit]
Defisit neurologis fokal (selain Lesi massa, stroke, penyakit vaskular kolagen Pencitraan, evaluasi kolagen
aura tipikal) (misalnya anterior pituitary-like/ APL) vaskular
Edema papil Lesi massa, pseudotumor, meningitis Pencitraan, pungsi lumbal
Sumber; Newman LC, dkk. Neurologic clinics of North America. 1998. h. 285-303.(

Beberapa pemeriksaan lanjutan yang di- pemeriksaan yang dapat dikerjakan untuk
indikasikan pada nyeri kepala sekunder mengetahui penyakit yang mendasari nyeri
adalah pencitraan otak, laboratorium, anali- kepala. Pungsi lumbal dikerjakan pada kasus
sis cairan otak, dan elektroensefalogram meningitis, ensefalitis, metastasis tumor lep-
(EEG), seperti pada Tabel 4. Pencitraan otak tomeningeal, perdarahan subaraknoid, atau
seperti CT scan dan MRI dapat dilakukan adanya perubahan tekanan cairan otak, se-
untuk mendeteksi kelainan struktural. Ke- dangkan elektroensefalografi (EEG) dilakukan
dua pemeriksaan ini memiliki karakteristik pada nyeri kepala yang berhubungan dengan
masing-masing. CT scan lebih sensitif dari- bangkitan kejang atau epilepsi.
pada MRI pada kasus stroke akut, perda-
Setelah mengetahui penyakit organik yang
rahan subaraknoid (<24 Jam). MRI lebih
mendasari nyeri kepala, tata laksana selan-
sensitif daripada CT scan untuk mendeteksi
jutnya diberikan sesuai etiologinya. Adapun
keganasan, lesi di medulla spinalis, kelainan
pembahasan lebih rinci mengenai beberapa
pituitari, dan malformasi arterivena. CT a-
penyakit yang mendasar ini dapat dilihat di
ngiografi, MR angiografi, dan MR venografi
topik lain dalam buku ini.
merupakan pemeriksaan pencitraan yang
dapat dilakukan untuk mengetahui kelainan
CONTOH KASUS
vaskular.
X. Seorang perempuan berusia 32 tahun
Pemeriksaan laju endap darah dan protein mengeluh nyeri kepala sebelah yang dida-
C-reaktif diindikasikan pada nyeri kepala hului dengan melihat bintik-bintik hitam
sekunder terkait arteritis temporal. Peme­ disertai kilatan cahaya. Penglihatan terse-
riksaan ANA dan faktor reumatoid dikerjakan but berlangsung sekitar 30 menit dan dii-
untuk mengetahui adanya kelainan autoimun. kuti nyeri kepala di sebelah kanan. Nyeri
Skrining toksikologi, darah lengkap, hormon kepala terasa berdenyut dan semakin he-
tiroid, dan tes fungsi hati adalah beberapa bat dengan visual analog scale (VAS) 8. Ti-

594
Nyeri Kepala

dak didapatkan defisit neurologis dalam 4} Keterlibatan mata


pemeriksaan fisik. Pasien sering menga- Jawaban: d. Nyeri kepala Master, d. Ke­
lami nyeri kepala seperti ini sejak remaja. terlibatan mata
Pertanyaan: 3. Seorang perempuan berusia 47 tahun
Apakah diagnosis pada pasien tersebut? datang dengan keluhan nyeri kepala se­
a. Tension headache jak 3 hari sebelumnya. Nyeri dirasakan
b. Nyeri kepala Master seperti terikat di seluruh bagian kepala.
c. Tumor otak Nyeri kepala diperberat dengan aktivi­
d. Migren dengan aura tas, seperti terlalu lama di depan kom-
e. Migren tanpa aura puter atau terlalu lama membaca dan
berkurang dengan istirahat. Pemerik­
Jawaban: d. Migren dengan aura
saan fisik dalam batas normal.
2. Seorang pasien perempuan usia 28 tahun
Pertanyaan:
datang ke IGD dengan keluhan nyeri ke­
Apakah diagnosis pasien tersebut?
pala sebelah kiri disertai nyeri pada mata
a. Tension type-headache
kiri. Intensitas nyeri cukup berat [VAS
b. Nyeri kepala Master
9-10} dengan durasi sekitar 3-4 jam. Nyeri
c. Tumor otak
dirasakan seperti tertekan, berdenyut,
d. Migren dengan aura
atau ditusuk-tusuk Saat serangan mata
e. Migren tanpa aura
kiri menjadi merah, berair, dan sangat si-
Jawaban: a. Tension type-headache
lau melihat cahaya. Nyeri hilang timbul de­
ngan frekuensi hingga 3 kali dalam sehari, 4. Seorang perempuan 78 tahun datang
bahkan membuat terbangun pada malam dengan keluhan nyeri seperti tertusuk
hari karena nyerinya. Pasien pernah me- pada pipi kanan, daerah atas rahang, dan
ngalami nyeri seperti ini kira-kira 7 tahun seldtar hidung sejak 8 bulan sebelumnya.
yang lalu dan berulang setiap tahun. Nyeri terasa berat (VAS 8-9}, hingga meng-
ganggu tidur dan aktivitas sehari-hari
Pertanyaan:
pasien. Nyeri kadang muncul saat mengu-
Apa diagnosis pasien tersebut?
nyah atau menelan, dan menyebar ke arah
a. Migren tanpa aura
telinga dan tenggorokan. Pasien pernah
b. Migren dengan aura
mendapat karbamazepin, tetapi semaMn
c. SOL (space occupaying lesion } in-
lama dikatakan tidak ampuh menghilan-
trakranial
gkan nyeri. Pasien memilild riwayat men-
d. Nyeri kepala Master
galami angina pektoris tidak stabil.
Apa ciri khas yang mengarahkan diagno­
sis terhadap pasien tersebut? Pertanyaan:
1) Nyeri kepala berdenyut Apakah diagnosis pasien tersebut di atas?
2) Nyeri kepala sebelah a. Cluster headache
3} Nyeri kepala hebat b. Nyeri akibat gigi berlubang

595
Buku Ajar Neuroiogi

c. Migren Pertanyaan:
d. Neuralgia trigeminal Apakah diagnosis paling mungkin pada
Jawaban: d. Neuralgia trigeminal pasien ini?
5. Seorang laki-laki 24 tahun datang ke IGD a. HNP servikal
dengan nyeri kepala hebat sejak 1 hari. b. Nyeri kepala servikogenik
Nyeri kepala dirasakan di seluruh ke­
c. Neuralgia trigeminal
pala, terus menerus, dan tidak dipenga-
d. Migren tanpa aura
ruhi aktivitas. Intensitas nyeri VAS 7-8.
Pasien masih sadar penuh, tetapi demam Jawaban: b. Nyeri kepala servikogenik
39°C sejak sehari sebelumnya. Pemerik- 7. Seorang perempuan 37 tahun datang ke
saan neurologis ditemukan kaku kuduk poliklinik dengan keluhan nyeri kepala
dan ruam kulit. Pemeriksaan laborato- sejak setahun lalu. Nyeri kepala terutama
rium terdapat leukositosis 21,000/mm3. dirasakan di sisi kanan kepala. Awalnya,
Pertanyaan: nyeri kepala memiliki frekuensi satu kali
Apakah diagnosis kerja yang paling seminggu, hilang timbul, durasi sekitar
mungkin pada pasien ini? setengah hari, dan intensitas ringan. Na-
a. Perdarahan subaraknoid mun, sejak 1 bulan terakhir, nyeri mun-
b. Ensefalitis viral cul setiap hari, terus menerus, dan inten­
c. Meningitis bakterialis sitas sedang-berat. Saat datang, pasien
d. Epidural hematom sadar, namun terlihat kesakitan (VAS
Jawaban: c. meningitis bakterialis 8-9) dan bingung, serta bicara kadang
tidak sesuai dengan pertanyaan.
6. Seorang perempuan 26 tahun, staf keuan-
gan, datang ke poliklinik dengan keluhan Pertanyaan:
nyeri leher belakang sejak 8 bulan. Nyeri di- Pemeriksaan lanjutan apa yang paling
rasakan hilang timbul dengan intensitas se- utama dikerjakan untuk mengetahui
dang, dan tidak berdenyut, sekitar 1-2 kali penyaldt yang mendasari nyeri kepala
seminggu. Nyeri menjalar ke kepala bagian pasien?
belakang, bahu kanan, dan sekitar wajah sisi a. Analisis cairan otak
kanan, terutama bila pasien sedang banyak b. MRI
kerjaan dan kurang tidur. Tidak ada riwayat c. Angiografi
demam, penurunan berat badan, dan mual d. CT scan
muntah. Pemeriksaan fisik menunjukkan Jawaban: b. MRI
postur kepala ke depan. Saat palpasi leher,
teraba spasme pada m. trapezius bilateral DAFTAR PUSTAKA
dan m. paravertebra servikalis, tidak ada 1. Aminoff MJ, Bolier F, Swaab DF. Headache. Hand­
defisit neurologis. Pasien merasa nyeri saat book of Clinical Neurology. 2 011;97:3-22.
2. Saputra AI, Wibisono Y, Ganiem AG. Gamba-
gerakan hiperekstensi kepala secara pasif. ran disabilitas akibat migren pada remaja
Pemeriksaan Rontgen servikal menunjuk­ dengan menggunakan PedMIDAS. Neurona.
kan hasil straight cervical. 2016;33 (2): 136-40.

596
Nyeri Kepaia

3. Adnyana IMO. Prevalensi, karakteristik dan be- 12. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor’s prin­
berapa faktor yang berkaitan dengan nyeri ke­ ciples o f neurology. Edisi ke-8, USA: McGraw-Hill;
pala migren pada mahasiswa STIKES Bali. Neu- 2005.
rona. 2012;29. 13. Newman LC. Treatment of migraine: preventive
4. Headache Classification Subcommittee of the In­ therapies/clinical pearls. New York: American
ternational Headache Society. The international Academy of Neurology Institute; 2014.
classification of headache disorders. Edisi ke-2. 14. Newman LC, Levin M. Headache and facial pain.
Copenhagen: The International Headache Soci­ New York: Oxford University Press; 2011.
ety; 2005. 15. Locie, Sadeli HA, Nurimaba N. Perbandingan
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia efektivitas topiramat 50mg dan topiramat lOOmg
(PERDOSSI). Diagnostik dan penatalaksanaan pada pasien migren. Neurona. 2 0 1 4 ;3 1 (2 ]:6 8 -7 3 .
nyeri kepala. Surabaya: Airlangga University 16. Sakuta M. Tension-type headache: it's mecha­
Press; 2013. nism and treatment. JMAJ, 2 0 0 4 ;4 7 (3 ):1 3 0 -4 .
6. Peres MFP. Migraine. Dalam: Silberstein SD, Stiles 17. Silberstein SD, Lipton RB, Dalessio DJ. Wollf's
MA, Young WB, editor. Atlas of migraine and headache and other head pain. Edisi Ke-7. New
other headaches. Edisi kedua. Florida: Taylor & York: Oxford University Press; 2001.
Francis; 2005. h. 61-72. 18. Young WB. Tension-type headaches. Dalam: S ih
7. Ketaren RJ, Wibisono Y, Sadeli AH. Validitas berstein SD, Stiles MA, Young WB, editor. Atlas
migraine screen quetionnaire (MS-Q) versi In­ of migraine and other headaches. Edisi kedua.
donesia sebagai alat penapis migren. Neurona. Florida: Taylor & Francis; 2005. h. 95-8.
2 0 1 4 ;3 1 (2 ):8 2 -8 . 19. Ashkenazi A, Schwedt T. Cluster headache:
8. Wibisono Y, Ketaren RJ. Perbandingan antara acute and prophylactic therapy. Headache.
MS-Q (migraine screen questionnare) versi Indo­ 2 0 1 1 ;5 1 (2 ]:2 7 2 -8 6 .
nesia dengan dengan ID-mingraine TM sebagai 20. Halker R, Vargas B, Dodick DW. Cluster headache:
alat skrining migren. 2 0 1 4 ;3 1 (4 ]:1 4 8 -5 2 . diagnosis and treatment. Seminars in Neurology.
9. Ducharme J. Canadian Association of Emer­ 2 0 1 0 ;3 0 (2 ):1 7 5 -8 3 .
gency Physicians guidelines for the acute man­ 21. May A, Cluster headache: pathogenesis, diagnosis,
agement of migraine headache. J Emerg Med. and management Lancet 2005;366(9488): 843-55.
1999; 17(1] :137-44. 22. Furgang FA, Siddiqui M, Siddiqui S, Ranasinghe
10. Bendtsen L, Evers S, Linde M, Mitsikostas DD, JS, Pain management: trigeminal neuralgia. Hos
Sandrini G, Schoenen J. EFNS guideline on Phy. 2003;1:64-7.
the treatm ent of tension-type headache. Re­ 23. Joffroy A, Levivier M, Massager N. Trigeminal
port of an EFNS task force. European J Neurol. neuralgia: pathophysiology and treatm en t Act
2 0 1 0 ;1 7 (ll) :1 3 1 8 - 2 5 . Neurol Belh. 2 0 0 1 ;1 0 1 :2 0 -5 .
11. Gruber HJ, Bernecker C, Lechner A, Weiss S, Wall- 24. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor's prin­
ner-Blazek M, Meinitzer A, dkk. Increased nitric ciples of neurology. Edisi ke-8. New York: Mc­
oxide stress is associated with migraine. Cepha­ Graw-Hill; 2005.
lalgia. 2 0 1 0 ;3 0 (4 ]:4 8 6 -9 2 . 25. Mechtler LL, Stiles MM. Secondary headache.
Dalam: Silberstein SD, Stiles MA, Young WB, edi­
tor. Atlas of migraine and other headaches. Edisi
kedua. Florida: Taylor & Francis; 2 005. h. 99-133.
26. Newman LC, Lipton RB. Emergency department
evaluation of headache. Neurologic clinics of
North America. 1 9 9 8 ;1 6 (2 ]: 285-303.

597
NYERI NEUROPATIK

Jan Sudir Purba, Tiara Aninditha

PENDAHULUAN di antaranya adalah nyeri neuropatik. Ang-


Nyeri neuropatik adalah nyeri yang dise- ka ini meningkat pada tahun 2012 di 13 RS
babkan oleh kerusakan jaringan saraf, baik di Indonesia terhadap 8.160 subjek dengan
di susunan saraf pusat (SSP) maupun peri- instrumen penapis yang lebih sensitif, men-
fer. Nyeri ini dapat muncul walaupun keru­ jadi 21,8%. Mayoritas subyek adalah lelaki
sakan jaringan sudah sembuh atau bahkan (62,1% ) berusia 40-60 tahun dengan nyeri
tanpa adanya kerusakan jaringan. Nyeri punggung bawah (NPB), sindrom terowong-
neuropatik perifer sering digambarkan se- an karpal (STK), frozen shoulder, neuropati
bagai rasa terbakar, serasa sengatan listrik, diabetika, dan brakialgia. Penelitian di
rasa ditusuk, atau rasa kesemutan. Ditemu- Bandung (2013) mendapatkan prevalensi
kan juga gangguan sensorik berupa alodi- yang lebih tinggi (31,6% ), terutama perem-
nia, hiperalgesia dengan lokasi yang kurang puan (66,9% ) dan berusia >40 tahun (91% ).
jelas, tidak pada daerah terluka saja, atau
hiperpatia. Hampir semua proses patologis PATOFISIOLOGS
yang menyebabkan kerusakan/disfungsi ja ­ Munculnya nyeri neuropatik diawali oleh
ringan saraf atau neuropati berpotensi me- lesi atau disfungsi jaringan saraf sebagai
nimbulkan nyeri neuropatik, seperti infeksi sistem somatosensorik. Nyeri ini muncul
virus, bakteri, radang aseptik, tekanan kare- spontan dengan sensasi yang ’tidak biasa',
na neoplasma atau lesi struktural lainnya, seperti disestesia, rasa seperti tusukan, rasa
degeneratif, iskemia, autoimun, zat beracun, terbakar, nyeri seperti tersengat listrik, dan
trauma, dan endokrin/mekanisme metabo- sebagainya. Kerusakan jaringan saraf dite-
lisme. mukan pada penderita neuropati diabeti­
ka, postherpetic neuralgia (PHN), neuralgia
EPIDEMIOLOGI trigeminal, nyeri fantom, complex regional
Nyeri neuropatik dijumpai setidaknya pada pain syndrome (CRPS), pascabedah atau
7-8% populasi di Eropa. Di Indonesia sen- neuropati akibat trauma, toksik, neuropati
diri berdasarkan hasil penelitian multisen- idiopatik, nyeri sentral pascastroke, serta
ter unit rawat jalan 14 RS pendidikan yang akibat tekanan tumor terhadap jaringan sa­
dilakukan Pokdi Nyeri PERDOSSI tahun raf (Gambar 1).
2002 didapatkan 4.456 kasus nyeri, 9,5%

598
Nyeri Neuropatik

Gambar 1. Mekanisme Nyeri Neuropatik

Mekanisme Perifer mengalami kerusakan. Pada lesi saraf perifer,


Dalam keadaan normal, sensasi nyeri dihan- terjadi upregulation adrenoreseptor a, se­
tarkan oleh serabut saraf C dan AS. Lesi ja- hingga terjadi peningkatan sensitivitas ter­
ringan saraf di perifer yang beregenerasi hadap noradrenalin pada neuron aferen di
dapat membentuk neuroma pada puntung ganglion radiks dorsalis. Selain itu terjadi pula
[stump], sehingga neuron menjadi lebih sprouting pada saraf aferen primer tersebut.
sensitif. Akibatnya terjadi sensitisasi perifer
Mekanisme Sentral
yang ditandai oleh adanya aktivitas patolo-
Neuron di komu dorsalis akan memacu trak-
gis secara spontan, eksitabilitas yang tidak
tus spinotalamikus, yaitu bagian besar dari ja-
normal, dan hipersensitif terhadap stimulus
ras asending nosiseptif, Konsekuensi aktivitas
kimiawi, termal, dan mekanik, Mekanisme
spontan secara terus menerus yang berasal
nyeri neuropatik di perifer muncul akibat pe-
dari perifer mengakibatkan meningkatnya ak­
rubahan struktur anatomi berupa kerusakan
tivitas jaras spinotalamikus, meluasnya areal
jaringan saraf atau akibat munculnya regene-
penerima, dan meningkatkan respons terha­
rasi jaringan saraf. Keadaan ini dapat berupa
dap impuls aferen. Fenomena ini disebut se-
a) ectopic discharges dan ephatic condition, b]
bagai sensitisasi sentral. Sensitisasi sentral ini
sprouting neuron kolateral, dan c) coupling
diduga merupakan mekanisme penting terja-
antara sistem saraf sensorik dengan saraf
dinya nyeri neuropatik yang persisten. Pada
simpatis. Coupling ke saraf simpatis diakibat-
saraf sentral ditemukan beberapa perubahan
kan oleh regenerasi jaringan saraf pada lesi
antara lain: a) terjadinya reorganisasi anatomi
yang tumbuh menyimpang dari jalur anato­
medula spinalis, b) hipereksitabilitas medula
mi yang sebenarnya (Gambar 2].
spinalis, serta c) perubahan pada sistem opioid
Pengaruh aktivitas simpatik dan katekola- endogen.
min terjadi pada saraf aferen primer yang

599
Buku Ajar Neurologi

Pada kerusakan jaringan saraf perifer; juga terja- metiI-4-asam isoksaazolepropionat (AMPA)
di aktivasi mikroglia di medula spinalis sehing- dalam memodulasi transmisi nosiseptif si-
ga reseptor purin dan p-38, sebagian dari MAP napsis di susunan saraf pusat.
kinase, turut menjadi alrtif. Hal ini merupakan
Nyeri yang muncul disebabkan oleh ectopic
kunci utama patogenesis dari hipersensitivitas
discharges sebagai akibat dari kerusakan ja­
reseptor di traktus spinotalamikus. Kerusakan
ringan saraf (Gambar 3). Ectopic discharge
di daerah tersebut akan memberikan keluhan
ini merupakan akibat dari kerusakan jaring­
yang sangat spesifik dan didefinisikan sebagai
an saraf baik perifer maupun sentral, yang
keluhan nyeri neuropatik
berkaitan dengan fungsi sistem inhibitorik,
Lesi di jaringan saraf ini menyebabkan ke­ gangguan interaksi antara somatik dan sim-
rusakan mielin, protein membran, atau re­ patis. Terkadang pada inflamasi dan neu­
septor sinaps, sehingga terjadi gangguan ropatik ditemukan perubahan secara fenotip
elektrisitas berupa sensitisasi yang terus me- di sel saraf perifer yang mengakibatkan eksi-
nerus dari jaringan saraf yang rusak dan di- tasi ataupun disinhibisi, baik di kornu dorsalis
sebut sebagai ectopic-discharge . Nyeri neuro­ maupun di jaras nyeri sampai ke areal korteks
patik bisa muncul spontan (tanpa stimulus) sensorik. Keadaan ini memberikan gambaran
maupun dengan stimulus atau juga kombina- umum berupa alodinia dan hiperalgesia yang
si. Kejadian ini berhubungan dengan aktivasi merupakan keluhan spesifik dari nyeri neu­
kanal ion Ca2+ atau Na+ di akson yang berpe- ropatik. Keluhan ini jika tidak diterapi secepat
ran pada reseptor glutamat, yaitu N-metil-D- mungkin akan mengakibatkan kerusakan
aspartat (NMDA) atau a-am m o -3 -h id ro k s i-5- neuron yang bersifat ireversibel.

Gambar 2. Pertumbuhan Sprouting Kolateral Mengakibatkan Coupling antara Sistem Saraf Sensorik den-
gan Saraf Simpatis
Saraf aferen perifer yang beregenerasi (regenerating sprout) tidak tumbuh ke jalur anatomiyang seharusnya,
tetapi tumbuh membentuk kolateral dengan serabut saraf simpatis. Adanya kolateral ini menyebabkan pening-
katan jumlah adrenoreseptor a di saraf aferen perifer. Hal ini kemudian akan meningkatkan respons saraf aferen
primer terhadap noradrenalin yang dilepaskan oleh saraf simpatis.

600
Nyeri Neuropatik

H»e£s&: 5sssssss^ssi
Stimulusttyeri


*>■

Fss&gsi sgiz&arJtLss-rs^ J

Slsss&sls«rs!idSfisaHs

S?E£SS^SSSsSlia
*
S
—> s

F & ^ sIs» 2 *riia ^ a £ l^ f® T t» g *5 s s ^ a ^ a l s a s & s s


Utszgim.s £«®&£8 d i ss^sssjaag s ls a s

Gambar 3. Mekanisme Ectopic Discharge


Lesi di saraf perifer menyebabkan gangguart elelctrisitas yang ditandai dengan adanya sinyal nyeri (digambarkan dengan
simbol petir) yang dihantarltan terus-menerus, walaupun sebenarnya tidak ada stimulus nyeri. Hal ini berhubungan
dengan aktivasi kanal natrium yang berperan dalam modulasi penghantaran sinyal nyeri di susunan saraf

G EJA LA DAN TANDA K U N IS berarti nyeri yang dirasakan ialah nyeri no-
Pada prinsipnya gejala nyeri neuropatik siseptif, bukan nyeri neuropatik. Misalnya
sangat khas, berbeda dengan nyeri nosisep- pada neuralgia trigeminal, rasa nyeri bisa
tif. Pada nyeri neuropatik tidak terdapat ke- berasal dari daerah gusi yang menjalar ke
rusakan jaringan yang dapat menjadi stimu­ daerah wajah hingga ke kepala. Maka perlu
lus, namun pasien merasa nyeri. Sensasinya disingkirkan ada tidaknya abses di daerah
juga tidak 'lazim', tidak sesuai dengan pemi- gusi atau infeksi gigi lainnya yang dapat me­
cu nyerinya (alodinia). Pasien dapat mera- nyebabkan nyeri.
sakan gejala positif, seperti rasa panas/di-
Yang terakhir, rasa nyeri neuropatik bia-
ngin, nyeri seperti ditusuk, disayat, ditikam,
sanya menjalar sesuai dengan area saraf
disetrum, atau kesemutan, disertai gejala
atau radiks yang dipersarafinya. Jadi perlu
negatif, seperti baal atau hipestesia. Sensasi
ditanyakan atau pasien diminta untuk me-
nyeri bisa juga sesuai dengan stimulusnya,
nunjuk area-area nyeri yang dirasakannya.
namun terasa berlebihan (hiperalgesia).
Contohnya pada NPB daerah L5-S1, akan
Oleh karena itu, pada pemeriksaan fisik per- terdapat rasa nyeri dari daerah pinggang ke
lu dicari ada tidaknya daerah yang berpo- tungkai bawah yang dapat dibuktikan den­
tensi menjadi sumber nyeri atau adanya ke- gan adanya gangguan sensorik pada peme­
rusakan jaringan, sehingga bila ditemukan riksaan sensibilitas di area tersebut.

601
Buku Ajar Neurologi

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING digunakan terutama pada pasien-pasien


Rasa nyeri bersifat subyektif, kompleks, dan HIV dan sudah divalidasi ke dalam bahasa
pribadi, yang hanya bisa dinilai secara tidak Indonesia dengan sensitivitas dan spesifitas
langsung melalui laporan si penderita. Se- yang baik.
Iain itu dibutuhkan suatu anamnesis yang
LANSS merupakan instrumen yang diper-
lengkap dari pasien dan keluarga, karena
caya dalam menilai nyeri neuropatik dan
nyeri juga bisa berkaitan dengan masalah
telah divalidasi di berbagai negara dengan
biopsikososial. Anamnesis tersebut meli-
sensitivitas 82-91% dan spesifisitas 80-
puti onset, karakteristik, dan kualitas nyeri,
94%. Instrumen ini dianggap sebagai instru­
serta lokasi, distribusi, dan penjalaran nyeri.
men baku emas karena mampu mendeteksi
Ditanyakan juga faktor yang memperingan
komponen nyeri neuropatik menggunakan
atau memperberat nyeri dan keluhan psi-
pemeriksaan sensibilitas. Namun untuk ke-
kologis yang menyertainya. Lalu dilakukan
pentingan penapisan ada tidaknya kompo­
pemeriksaan fisik umura, terutama lokal di
nen nyeri neuropatik, dapat menggunakan
aera nyeri dan neurologis.
kuesioner yang lebih sederhana seperti pain-
Pengukuran nyeri dapat berdasarkan la­ detect yang sudah divalidasi ke dalam bahasa
poran pribadi pasien atau juga kesimpulan Indonesia dengan sensitivitas dan spesifisitas
yang diambil oleh dokter berdasarkan kelu­ yang cukup baik, yaitu masing-masing 78%.
han pasien dengan menggunakan beberapa
Pemeriksaan fisik pasien nyeri pada prinsip-
perangkat, seperti: verbal scale {Me Gill Pain
nya dilakukan untuk mencari kelainan struk-
Questioners'), numeric scale {numeric rating
tural penyebab nyeri. Dimulai dari pemerik­
scale , termometer nyeri), pictorial scale
saan fisik umum, dilakukan inspeksi, palpasi,
{painful fa c e scale, visual analog scale). Nu­
dan pergerakan di area yang dikeluhkan. Se-
meric rating scale (NRS) merupakan skala
lanjutnya pemeriksaan fisik untuk mencari
yang paling sering digunakan pada nyeri se­
defisit neurologis sebagai analisis penyebab
cara umum, yang dapat membagi tingkat in-
nyeri, terutama membuktikan adanya gang-
tensitas nyeri pasien dalam kelompok nyeri
guan sensibilitas sesuai dengan area nyeri.
ringan (NRS 1-3), sedang (NRS 4-7), atau
berat (NRS 8-10). Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk
memastikan kerusakan jaringan atau gang-
Namun NRS kurang dapat mendeteksi ge-
guan struktural yang menyebabkan pene-
jala nyeri neuropatik yang bervariasi. Oleh
kanan atau iritasi radiks penyebab nyeri
karena itu diperlukan suatu perangkat yang
neuropatik. Hal ini akan menentukan terapi
spesifik untuk nyeri neuropatik, antara lain;
definitif nyeri, bukan hanya bersifat sim-
kuesioner nyeri McGill, Leeds Assessment o f
tomatis. Pada NPB dan semua nyeri yang
Neuropathic Symptoms and Signs (LANSS),
berkaitan dengan saraf perifer, dilakukan
Neuropathic Pain Questionnaire (NPQ), Dou-
pemeriksaan elektromiografi (EMG) dan ke-
leur Neuropathique en 4 Questions (DN4),
cepatan hantar saraf (KHS), dilanjutkan pe­
B rief Peripheral Neuropathy Screen (BPNS),
meriksaan imajing sesuai dengan indikasi.
dan kuesioner PainDetect DN4 dan BPNS

602
Nyeri Neuropatik

IHiinDETECT KUESIONER NYERI

( T an ggal | K am a Panic n:~ U sia;

Twxlu te ilu nyeri pad* lubuh


iiu a t a t b tiiik a A x v fe rK 4*1* sversarstesj, W 0 « Arab
ftsgum a& i pcnslaha » y iri A s ia p&db i&at
iai?__________________________
o I 2 .1 4 5 6 7 I 9 10
T k isk s ^ i m a t*
S ife i^ s a laiaa rasa n v i i xz%% tofcsxai M ta sa 4 i k w ^ sj KnkSur 7
0 1 2 4 -4 5 6 7 % *» t o
T i< b k * b tm ls
S c b c ra p i k u a*" n u - n t t ’ rg.ta n y «n » ) 3 2 » a 4 icrak h if?
o i h '3 4 $ t> i § £ io
T k ta k a d a m aks

Tanin garafca* yaȣ piling tqsn nreaggaffltttraVjm mast nyvn


yang AaJa aUmi
H y sii w a ^ i, terns- ©eseim
SSdila liikJulia □
Ayeis rsesssifap ds»ct&si Krmgsua
nyeri ym$ fcbih ku»? □ Ayiiah r«a awrj nKi^al/» j
Nyeri hib&g daa tttabsd tsapaaiia
raa jakil t&miaranya □ U’hi£^rs Umdm tdbsb And*?
Ya Tkbi
j

Seraaga»-*cfingMi ayeri duAtata


w«v^ri y§sg ^ □ Jjl,i ya,
mt
a ih fsrjib ra / i 1
j

Apakah ArxSa nscraknta senjasi sepetti terbakar (piftK fissayetsgsf) di diersk syeri?
t&kpsnah | j testpie lishk j jicdska □ ^ g D ^ □ SM splki^! □

Apak& And) eagrma kasessubit, w pifti dituitik-tuiuk tfj dscfslt nysri (tcpnti tesrM *nef*y»f> alas
kssmsmp
lak pm iM i j5™” ! Isis^stf l&Jhk | |scdskit j j sedisg ^ | Isst! |"'*:'|

Adakth Krrniww riogan (wperti pskm m fm si %u® > nwmbcri raw »ywi?
« k i * m * [ » j b ia yktN k k j— j * * * Q kaat j— j jaagat kuat j:" :,! j

ApaLs® Aw k mtra&iiksj} r n n p n syeri ssgtt&Klak sepetti Kfigaian Iritis kAci-ctncn?


i^ p a n ris | j tempi? tktok £—jw d & a |'"' ' j i&hzig j | tost j |
-*** □
Apakah <airiaaralj) jsibj dngja atm pan** d ip s tacmmbsstkaa rata nyeri?
tak pemah | | him pf I kSik Q s « S i l □ " * “* □ *“ ' □ s^« | |
LJ
ApaLsfa Arab facaderii* ba'aS&ssa tdfaal stiu raati rasa pada dietah nyeri?
u k pemah p*~| tesf&fifcisk |~~j*cdiiju |**™*| feeding |***"*| fcssi |" j s^f»! |****|
Apakafc tekaaan ringan seperti tcianan jari pada area jaku, roeariabulkaa m 8ytr«?
tzkp a m h p™| tespktkfak | j^cddctf □ Mtlasg |*~~| %ml |” ~~j SigggaSimS jp~~|
(«»£uktlii«okli dakict)
tumpiftHbk fm&fM %*sg»i kmt
tmsi
XO|0 I fxTl.. K2 ML \....rw r fxST
'Jttmlih tA.ar . -sfetri.35

P&fog&snfatit: t-1 ti'neyT&AgiM


, 't-tl ■t)fsa, VM.^£2

Gambar 4. Kuesioner Paindetect Versi Bahasa Indonesia


Sumber: Margaretha K. Uji validitas dan reliabilitas instrumen PainDETECT versi Indonesia untuk mengidentifi-
kasi komponen nyeri neuropatik. 2014.

603
Baku Ajar Neurologi

TATALAKSANA rupakan satu-satunya nyeri atau campuran


Nyeri neuropatik memunculkan masalah ada komponen nyeri nosiseptif, sehingga
bukan hanya menyangkut kerusakan atau perlu diberikan terapi kombinasi. Apalagi
lesi dari jaringan saraf itu sendiri, tetapi ka- jika nyeri sudah berubah menjadi nyeri kro­
rena dapat menyebabkan nyeri kronik yang nik, sehingga yang dibutuhkan adalah terapi
menurunkan quality o f life penderita. Dalam untuk memperbaiki sensitisasi sentral atau
hal pengobatan juga menyulitkan karena perifer, bukan lagi analgesik untuk nyeri akut.
tidak berespons terhadap obat-obatan an-
European Federation o f Neurological Socie­
tinyeri tradisional Oleh sebab itu, penang-
ties (EFNS) merekomendasikan antidepre-
gulangan nyeri neuropatik membutuhkan
san trisiklik, gabapentin, pregabalin, dan
tim yang multidisiplin untuk pemberian
antidepresan golongan selective norepi­
terapi farmakologis maupun nonfarmako-
nephrine re-uptake inhibitors (SNRI) seperti
logis. Penanggulangan secara farmakologis
duloksetin sebagai lini pertama (Level A),
bukan hanya sebatas pada tingkat reseptor
Golongan opioid tramadol merupakan pili-
dan perbaikan lesi jaringan saraf saja, tapi
han lini kedua (Level A) terutama jika terda-
juga yang berkaitan dengan efek kronik dari
pat nyeri eksaserbasi akut atau komponen
nyeri tersebut, yaitu efek psikologis seperti
nyeri nosiseptif, seperti pada Tabel 1. Opioid
depresi dan ansietas.
kerja kuat hanya direkomendasikan sebagai
Patofisologi nyeri neuropatik memiliki ke- lini ketiga, mengingat efek samping yang
samaan dengan epilepsi. Nyeri neuropatik mungkin muncul, Untuk nyeri neuropatik
juga termasuk kindling pada epilepsi, serupa pada HIV direkomendasikan lamotrigin (Le­
halnya dengan kejadian wind-up pada nyeri vel B) jika disertai terapi antiretroviral.
neuropatik. Jadi permasalahan nyeri neuro­
Gabapentin berperan mensupresi volta­
patik adalah di kanal ion sebagaimana pada
ge-gated channels Ca2+dan ectopic-discharge
epilepsi. Oleh sebab itu target terapi tertuju
pada bagian saraf yang rusak, sehingga da­
pada voltage-gate kanal Na+ dan Ca2+. Atas
pat mengatur elektrik potensial dalam hal
dasar ini, maka antikonvulsan dapat diguna-
influks Ca2+berupa depolarisasi dan hiper-
kan karena berkemampuan untuk menekan
polarisasi. Pregabalin dikenal sebagai anti-
kepekaan abnormal neuron-neuron di sis-
nyeri neuropatik, demikian pula lamotrigin
tem saraf pusat dengan memblokade resep­
sebagai antikonvulsan untuk nyeri neuropa­
tor glutamat (NMDA, AMPA, kainat).
tik. Dari hasil uji klinik, obat antikonvulsan
Namun yang paling penting adalah analisis seperti lamotrigin mempunyai sifat anal­
nyeri secara keseluruhan hingga diketahui gesik dalam lingkup yang luas. Mekanisme
penyebab, intensitas, dan karakteristiknya. kerja lamotrigin ialah membatasi influks
Perlu diketahui apakah nyeri neuropatik me- kalsium melalui penekanan voltage-gated.

604
Nyeri Neuropatik

Tabel 1. Pilihan Obat pada Nyeri Neuropatik


Hasil yang Rekoraen-
Tingkat Tingkat
Tingkat Efi­ Tidak Sesuai Rekomen- dasi Kedua
Etiologi Efikasi Efikasi
kasi LevelB atau Inefikasi dasi Awal atau Ketiga
Level A Level C
Level A/B
Neuropati Duloksetin Toksin Botuli- Karbamazepin Krim capsaicin Duloksetin Opioid
diabetikaa num*
Gabapentin- Dekstrometor- Fenitoin Lakosamid Gabapentin TramadoF
mo'Tin fan
TCA Gabapentin/ Lamotrigin Pregabalin
Venlafaksin
Gabapentin Levodopa* Memantin TCA
Agonis niko- Meksiletin Venlafaksin ER
tin**
Turunan Mianserin
nitrat**
Oksikodon Antagonis NK1**
Pregabalin Okskarbazepin
TCAh SSRI
Tramadol Klonidin topikal
tunggal atau
dengan aset-
aminofen
Venlafaksin ER Topiramat
Valproat
Zonisamid

Neuropati Capsaicin 8 % Krim capsaicin Benzidamid Gabapentin Capsaicin


posherpe- topikal
tika
Gabapentin Valproat Dekstrometorfan Pregabalin Opioid
Gabapentin Flufenazin TCA
ER**
Plester lido- Memantin Plester lido-
ltain kaind
Opioid (mor- Lorazepam
fin, oksikodon,
methadon)
Pregabalin Meksiletin
TCAb COX-2 inhibitor
Tramadol

Neuralgia Karbamazepin Okskarbazepin Baklofen* Karbamazepin Operasi


Trigeminal
Klasik
Okskarbazepin

605
Buku Ajar Neurologi

Tabel 1. Pilihan Obat pada Nyeri Neuropatik, (Lanjutan)


Etiologi Tingkat Tingkat Efi- Tingkat Hasil yang Rekomen- Rekomen-
Efikasi kasi Level B Efikasi Tidak Sesuai dasi Awal dasi Kedua
Level A Level C atau Inefikasi atau Ketiga
Level A/B
Nyeri PusatB Kanabinoid (oit> Lamotrigin Karbamazepin Gabapentin Kanabinoid
mucosal^, oral) (CPSP) (MS)
m
TCA (SCI, CPSP) Gabapentin Pregabalin Lamotrigin
Tramadol (SCI)* Lamotrigin (SCI) TCA Opioid
Pregabalin Opioid Levetirasetam Tramadol
(SCI) (SCI)
Meksiletin
S-ketamin iont
Valproat
*terbukti efektif pada studi tunggal kelas il atau II dan secara umum tidak direkomendasikan; **belum tersedia untuk
digunakan; aNeuropati diabetika ada]ah penyakit yang paling sering diteliti; bamitriptilinJ klomipramin, nortriptilin, de-
sipramin, imipramin; 'Tramadol dapat dipertimbangkan sebagai obat lini pertama pada pasien dengan nyeri eksaserbasi
akut, terutama untuk kombinasi tramadol/asetaminofen;dlidokain direkomendasikan pada pasien usia lanjut;'kanabioid
dan lamotrigin dipersiapkan untuk kasus refrakter.
C P S P , central post-stroke pain; E R , extended release; M S , multiple sclerosis; S C I, s p in a / cord injury; T C A , tricyclic antidepres­
sants; S S R I , Selective serotonin reuptake inhibitor
S u m b e r : A t t a l N, d k k . E u r o p e a n J N e u r o l. 2 0 1 0 . h . 1 1 1 3 - 2 3

Tidak semua nyeri kronik mengakibatkan Antidepresan golongan trisiklik, seperti


depresi yang membutuhkan antidepresan, amitriptilin merupakan golongan SSRI yang
akan tetapi banyak diantara penderita nyeri menjadi pilihan utama untuk nyeri neuropa­
kronik menunjukan gejala depresi. Pembe- tik, karena menginhibisi pengambilan kem-
rian obat antidepresan paralel dengan anal- bali 5-HT dan NA di sinaps. Demikian pula
gesik lainnya dilakukan jika terapi perilaltu cara kerja golongan SSRI seperti fluoksetin,
tidak berhasil. Pilihan antidepresan juga di- paroksetin, dan sertralin bekerja mengata-
lihat dari efektivitasnya karena efeknya bisa si nyeri sekaligus memperbaild sensitisasi
berbeda satu penderita dengan penderita sentral yang sering terjadi pada nyeri neu­
lain. Penggunaan obat antidepresan untuk ropatik yang menjadi kronik (Gambar 5).
terapi nyeri neuropatik utamanya, karena Duloksetin, golongan SNRI sering juga digu­
obat ini berfungsi untuk menginhibisi pem- nakan untuk penanggulangan depresi pada
bentukan monoamine oxidase (MAO) yang penderita nyeri neuropatik. Tujuannya ada-
diduga berperan dalam kanal natrium (Na+). lah mencegah (menginhibisi) pengambilan
Penggunaan antidepresan golongan selec­ kembali 5-HT dan NA di sinaps untuk mem-
tive serotonin re-uptake inhibitors (SSRI) dan pertahankan keseimbangan neurotransmi­
selective norepinephrine re-uptake inhibitors ter NA dan dopamin di sentral.
(SNRI) bertujuan untuk menjamin keseim-
Pada neuralgia trigeminal, obat lini pertama
bangan 5-HT dan NA yang spesifik pada jaras
adalah karbamazepin 200-12 OOmg/hari dan
desending di medula spinalis. Antidepresan
okskarbazepin 600-1800mg/hari, sedang-
juga berperan dalam sekresi 5-HT melalui re-
kan lini kedua adalah baklofen, lamotrigin,
septornya, dalam proses modulasi kanal Na+.
dan pregabalin 150-600mg/hari. Lini per-

606
Nyeri Neuropatik

Otak

5HT/NA& opioid:
antidepresan trisiklik
opiat
Inhibisi desendens tramadol

Ca++: gabapentin, okskarbasepin

Sensitisasi perifer Sensitisasi sentral


S a ra f p e r ife r NMDA: ketamine, topiramat,
dekstrometorfan, metadon

trisiklik
- Mexiletin
- Lidokain

Gambar 5. Target Kerja Obat pada Sensitisasi Nyeri Neuropatik

tama neuralgia trigeminal adalah antidep­ patik yang kompleks seperti nyeri kanker.
resan trisiklik (Level A), seperti amitriptilin Adanya kerusakan jaringan dan infiltrasi
lOmg malam titrasi perlahan hingga lOOmg, ke serabut saraf sekitarnya membuat nyeri
gabapentin hingga 1800mg/hari dalam 3 menjadi hebat dan berlangsung lama. Oleh
kali pemberian, atau pregabalin 150-300mg karena itu pilihan utama nyeri kanker ada­
(maksimum 600mg/hari}. Tata laksana nyeri lah opioid kerja sedang sampai kuat bersa-
pada nyeri neuropati diabetika adalah prega­ ma dengan terapi antikankernya. Kombinasi
balin (Level A}, atau gabapentin, duloksetin, opioid dengan gabapentin dapat meningkat-
dan amitriptilin (Level B), Namun yang pa­ kan potensi analgesik opioid, sehingga dosis
ling penting adalah pengendalian kadar gula masing-masing tidak perlu terlalu tinggi
darah agar tetap dalam kadar normal. dan mengurangi efek samping.

Pada nyeri neuropatik daerah punggung Terapi nonfarmakologik diperlukan sesuai


bawah biasanya disertai komponen nyeri dengan penyebab nyerinya. Pada nyeri neu­
nosiseptif -terutam a pada yang akut- se- ropatik akibat sistem muskuloskeletal se­
hingga tetap diperlukan analgesik golon- perti nyeri bahu atau nyeri punggung bawah,
gan nonsteroid serta opioid jika nyeri se- penting dilakukan terapi nonfarmakologis
dang-berat. Kombinasi terapi seperti itu berupa tindakan rehabilitasi, seperti modali-
juga penting pada penyebab nyeri neuro­ tas termal, masase, latihan peregangan, dan

607
Buku Ajar Neurologi

sebagainya secara rutin. Terapi invasif da- 11. International Association for the Study of Pain
(IASP). Pain definition, IASP [serial online], [diun-
pat dilakukan untuk memblok atau memu- duh 10 September 2011]. Tersedia dari; rcpt.org
tus jaras nyeri. Blok saraf dilakukan dengan 12. La Cesa S, Tamburin S, Tugnoli V, Sandrini G,
menyuntikkan anestesi dan steroid Iokal di Paolucci S, Lacerenza M, dkk. How to diagnose
neuropathic pain? the contribution from clinical
daerah nyeri atau pemberian agen neuro-
examination, pain questionnaires and diagnostic
litik seperti alkohol dan bupivakain pada tests. Neurol Sci, 2015;36(12):2169-75.
pleksus tertentu. 13. Leone C, Antonella Biasiotta A, La Cesa S, Di Ste-
fano G, Cruccu G, Truini A. Pathophysiological
mechanisms of neuropathic pain. Future Neurol­
DAFTARPUSTAKA ogy, 2011 ;6[4):497-509.
1. Amir R, Kocsis JD, Devor M. Multiple interacting 14. Lipton SA. Failures and successes of NMDA re­
sites of ectopic spike electrogenesis in primary sen­ ceptor antagonists: molecular basis for the use
sory neurons. J Neurosci. 2005;25(10):2576-85. of open-channel blockers like memantine in the
2. Purwata TE, Sadeli HA, Yudiyanta, Anwar Y, Amir treatment of acute and chronic neurologic in­
D, Asnawi C, dkk. Characteristics of neuropathic sults. Neuro Rx. 2004;1(1):101~10.
pain in Indonesia: a hospital based national clini­ 15. Loeser JD. Pain: the fifth vital sign. APS Bulletin.
cal survey. Neurol Asia, 2015;20(4):389-94. 2003;13.
3. Margaretha K. Uji validitas dan reliabilitas in- 16. Markman JD, Dworldn RH. Ion channel targets
strumen PainDETECT versi Indonesia untuk and treatment efficacy in neuropathic pain. J
mengidentifikasi komponen nyeri neuropatik Pain. 2006;7[1 Suppl l):S38-47.
[tesis], Depok: Universitas Indonesia; 2014. 17. Merksey H, Bogduk N, penyunting. Classification of
4. Bagus DA, Anggraini HS, Dikot Y. Prevalensi dan chronic pain: description of chronic pain syndromes
karakteristik nyeri neuropatik di instalasi rawat and definition of pain terms. Edisi kedua. Seattle: Inter­
jalan neurologi RS dr. Hasan Sadikin Bandung. national Association for the Study of Pain (IASP); 1994,
Neurona. 2015;32(3):200-6, 18. Muir KW, Glutamate-based therapeutic ap­
5. Lestari LKT, Eka PW, Merati KT. Uji reliabilitas dan proaches: clinical trials with NMDA antagonists.
validitas modifikasi Neuropathic Pain DiagHos­ Curr Opin Pharmacol. 2 0 0 6 ;6 (l):5 3 -6 0 ,
tile Quetionare (DN4) terhadap Leeds Assesment 19. Purba ]S, Rumawas AM. Nyeri punggung bawah:
Neuropatic Symptoms and Sign (LANSS) pada studi epidemiologi, patofisiologi dan penanggu-
pasien HIV/AIDS. Neurona. 20l3;30(4):229-33. langan. Berkala Neurosains. 2006;7(2):85-93.
6. Attal N, Cruccu G, Baron R, Haanpaa M, Hansson P, 20. Truini A, Cruccu G. Pathophysiological mech­
jensen T, Nurmikko T. EFNS guidelines on the phar­ anisms of neuropathic pain, Neurol Sci.
macological treatment of neuropathic pain: 2 0 1 0 2006;27(Suppl 2):S179-82,
revision. European J Neurol. 2010;17(19}:1113-23. 21. Marcus DA, Cope DK, Deodhar A, Payne R, pe­
7. Finnerup NB, Otto M, Me Quuay HJ, jensen TS, nyunting. An atlas of investigation and manage­
Sindrup SH. Algorithm for neuropathic pain ment: chronic pain. Oxford: Atlas Medical Pub­
treatment: and evidence based proposal. Pain. lishing Ltd; 2009.
2005;118(3):289-305, 22. Kelompok Studi Nyeri Perhimpunan Dokter Spe-
8. Hackworth RJ, Tokarz KA, Fowler IM, Wallace sialis Saraf Indonesia. Konsensus nasional 1: di-
SC, Stedje-Larsen ET. Profound pain reduction agnostik dan penatalaksanaan nyeri neuropatik.
after induction of memantine treatment in two Surabaya: Airlangga University Press; 2011.
patients with severe phantom limb pain. Anesth 23. Keskinbora K, Pekel AF, Aydinli 1. Gabapentin
Analg. 2008;107(4):1377-9. and an opioid combination versus opioid alone
9. Helme RD. Drug treatment of neuropathic pain. for the management neuropathic cancer pain; a
Austr Prescr. 2006;29(3):72-5. randomized open trial. J Pain & Symptom Man­
10. Holdcroft A, Jagger S. Pain measurement in hu­ agement. 2007;34(2):183-9.
mans in: core topics in pain, London: Cambridge
University Press; 2005.

608
NYERI LEHER

M o h a m m a d K u rn iaw an

PENDAHULUAN muncul biasanya akan hilang sendiri dalam


Nyeri leher adalah keluhan yang sering 1-2 minggu, namun dapat muncul kembali.
dijumpai dalam praktik sehari-hari. Beberapa
Nyeri leher dapat menjadi kronik pada 14%
aktivitas kita seperti bekerja di depan komputer, pasien. Risiko kronisitas meningkat pada
membaca buku, menggunakan gawai, dan pasien lanjut usia, pasien yang sebelumnya
kesalahan posisi tidur, merupakan sebagian memiliki masalah nyeri punggung bawah,
dan penyebab nyeri leher. Namun demildan, dan pasien dengan kelainan diskus interver-
penyebab pasti dari nyeri leher kadang-kadang tebralis. Nyeri leher karena trauma ( whip­
tidak diketahui. lash injury) umumnya juga akan memberat
Seperti halnya nyeri pada umumnya, nyeri dan menjadi kronik, terutama bila benturan
leher dapat pula berlangsung kronik Stres yang terjadi cukup hebat. Pada kondisi
psikologis adalah salahsatu faktoryangmenye- tersebut, pasien cemas berlebihan dengan
babkan nyeri leher menjadi kronik Kelainan konsekuensi akibat cedera yang dialaminya,
pada struktur tulang belakang leher seringkali di samping trauma servikal yang juga serius.
dikaitkan dengan nyeri leher kronik meskipun
PATOFISIOLOGI
pada faktanya tidak selalu demikian.
Struktur anatomi leher dibentuk oleh tujuh
Sebagian pasien nyeri leher menghindari tulang vertebra servikal yang saling tersu-
aktivitas fisik untuk mengurangi nyeri. Hal sun satu sama lain. Bersama ligamen dan
ini sebenarnya tidak perlu dilakukan, kecuali otot-otot leher sebagai jaringan pendukung,
terdapat tan da bahaya [red flags). Pasien tulang belakang servikal membentuk kana-
nyeri leher sebaiknya tetap aktif dan bekerja lis spinalis yang mengelilingi dan melind-
seperti biasa. Latihan spesifik untuk me- ungi medulla spinalis (Gambar 1).
nguatkan regio leher dapat dilakukan untuk
Di antara setiap tulang vertebra servikal ter­
mencegah berulangnya nyeri leher.
dapat diskus intervertebralis yang menjadi
peredam antar tulang [shock absorber) satu
EPIDEMIOLOGI
dengan yang lainnya. Pemberian tekanan yang
Nyeri leher amat sering terjadi. Diperkirakan besar pada diskus akan mengakibatkan ma­
setidaknya 1 dari 3 orang akan mengalami terial yang menyerupai gelatin dalam diskus
nyeri leher setidaknya sekali dalam setahun. mengalami protrusi keluar dari kapsulnya, se-
Perempuan lebih sering mengalami nyeri hingga terjadi hemiasi diskus yang menyebab-
leher dibandingkan lald-laki. Nyeri leher yang kan radikulopaH

609
Buku Ajar Neurologi

Medttls spinalis

Gambar 1. Struktur Vertebra Servikal (Posterior)

Di sekitar tulang dan diskus juga terdapat Terdapat beberapa kemungkinan yang men-
lapisan tebal ligamen yang menegang un- dasari nyeri leher. Namun demikian, sering-
tuk membatasi gerakan antara satu tulang kali sulit untuk memastikan penyebab defini-
servikal dengan lainnya. Trauma leher mau- tif nyeri leher tersebut. Hal ini dikarenakan
pun trauma kepala dapat mengakibatkan pemeriksaan ldinis dan pemeriksaan radi-
whiplash injury yang merobek ligamen ini. ologis seringkali tumpang tindih dan tidak
Selain itu, terdapat pula otot-otot kecil an­ berkorelasi langsung dengan keluhan pasien.
tara tulang vertebra dan otot-otot utama Penting untuk disadari bahwa gambaran
leher yang berfungsi sebagai lapisan pe- radiologis, terutama gambaran degeneratif
lindung berikutnya. Otot-otot ini bertang- pada pencitraan seringkali tidak berhubung-
gungjawab untuk membantu menegakkan an dengan derajat nyeri, disabilitas, atau ge-
kepala, mempertahankan postur normal, jala lain yang dikeluhkan oleh pasien.
serta menyangga dan menggerakkan leher
Secara umum, nyeri leher klasifikasi penye­
[Gambar 2). Iritasi dan overuse pada otot-
bab nyeri leher dapat dibagi menjadi 3 ke-
otot ini mengakibatkan terjadinya cervical
lompok besar yakni:
strain atau ketegangan leher.

610
Nyeri Leher

L NyeriAksial leher yang mengakibatkan terjadi-


Nyeri aksial merupakan nyeri muskulo- nya spasme pada otot-otot leher
skeletal yang dapat disebabkan karena dan punggung atas. Cervical strain
kelainan pada otot, sendi, atau tulang sering timbul akibat stres fisik pada
di daerah leher. Nyeri aksial pada leher kehidupan sehari-hari, termasuk ke-
dapat disebabkan karena hal-hal di biasaan postur yang buruk, ketegan­
bawah ini: gan otot akibat stress psikologis, atau
a. Ketegangan otot leher (cervical strain kebiasaan tidur yang buruk. Cedera
&. sprain] akibat olahraga juga dapat meng­
Ketegangan otot leher dapat terjadi akibatkan ketegangan otot leher.
ketika terjadi cedera pada otot-otot
Buku Ajar Neurologi

gain®

ebBq >fiaH zs’tfz j£cii>iB h jg .^


Nyeri Leher

karena spur atau osteofit. Spur pada yang seringkali menjadi sumber nyeri
tulang terbentuk pada bagian pinggir pada tulang belakang. Sendi yang ter-
atau tepi tulang belakang dan sendi fa- letak pada sisi ldri dan kanan tulang ver­
set, akibat peningkatan tekanan pada tebra ini (Gambar 4] merupakan daerah
jaringan di sekitarnya. Pada sebagian yang paling dipengaruhi oleh nyeri leher
kasus, proses degeneratif merupakan aldbat cedera whiplash, Cedera whiplash
hal yang normal sesuai dengan ber- yang paling sering dalam kehidupan
tambahnya usia. Namun demikian, sehari-hari adalah kecelakaan bermotor
perubahan degeneratif yang berat yang mengakibatkan gerakan kepala ke
merupakan hal yang abnormal dan depan dan ke belakang secara tiba-tiba.
akan mengakibatkan gejala klinis Kemungkinan patofisiologi lain adalah
yang mengganggu. pekerjaan atau aktivitas yang menuntut
penderitanya melakukan gerakan eks-
d. Nyeri diskogenik
tensi leher berulang.
Nyeri diskogenik diduga merupakan pe-
nyebab tersering nyeri leher, terutama f. Diffuse skeletal hyperostosis
pada rentang usia 45-50 tahun. Nyeri Diffuse skeletal hyperostosis (DISH)
ini disebabkan karena adanya perubahan merupakan sindrom Minis akibat kalsi-
struktural pada satu atau beberapa dis- fikasi abnormal pada ligamen dan ten­
kus intervertebralis servikal. Diskus yang don sepanjang tulang belakang leher,
paling sering bermasalah adalah C5-C6 yang mengakibatkan pengerasan pada
dan C6-C7, mencapai 75% kasus. ligamen dan tendon tersebut Kondisi
ini selain terjadi pada tulang belakang
e. Sindrom faset servikal
servikal juga dapat melibatkan tulang
Sendi faset merupakan salah satu daerah
belakang torakal dan lumbal.

613
Buku Ajar Neurologi

2. Radikulopati Servikal Sementara itu, gejala klinis spondilosis


Radikulopati servikal dapat menyebab- servikal mencakup nyeri leher yang
kan nyeri yang menjalar akibat iritasi diperberat dengan gerakan; nyeri alih yang
atau penekanan pada radiks akibat pro- dirasakan di daerah oksiput, di antara
trusi diskus intervertebralis, artritis pada tulang belikat dan lengan atas; nyeri di
tulang belakang, atau adanya massa yang daerah retroorbita atau temporal [dari Cl-
menekan saraf [seperti kista sinovial]. Pe- C2]; kekakuan leher; abnormalitas sensorik
nyebab paling sering radikulopati adalah atau kelemahan pada lengan atas; dizziness
perubahan degeneratif akibat penuaan dan gangguan kese-imbangan; kadang-
atau cedera dan herniasi diskus interver­ kadang terdapat keluhan sinkop, migrain,
tebralis servikal. atau pseudo-angina. Diagnosis spondilosis
servikal seringkali cukup berdasarkan
Nyeri yang menjalar biasanya disertai
gejala dan tanda klinis di atas.
gejala lain seperti gangguan sensorik dan
kelemahan motorik. Pembahasan lebih Pada nyeri diskogenik servikal, gejala ldinis
detail mengenai nyeri radikulopati dibahas mencakup nyeri pada leher pada saat mene-
dalam bab Radikulopati buku ini. ngokkan atau memiringkan kepala. Nyeri
dapat memberat jika leher dipertahankan
3. Mielopati Servikal
pada satu posisi dalam waktu lama, seperti
Mielopati merupakan gangguan pada me-
saat berkendara, membaca atau bekerja
dula spinalis yang umumnya disebabkan
dengan komputer, Seringkali terdapat pula
karena kompresi. Mielopati servikal paling
gejala ketegangan otot dan spasme. Nyeri
sering disebabkan karena spondilosis atau
diskogenik seringkali juga memberikan gejala
perubahan degeneratif yang mengaldbat-
nyeri yang menjalar ke daerah bahu dan
kan penyempitan kanalis spinalis sentral.
lengan,
Penyempitan yang terjadi mengakibatkan
cedera pada medula spinalis. Penyebab Gambaran ldinis nyeri faset servikal umumnya
lain dapat berupa penekanan oleh tumor. berupa nyeri leher hingga nyeri kepala dan
keterbatasan rentang gerak (range o f motion
GEJALA DAN TANDA KL1NIS /ROM] leher. Rasa nyeri dirasakan tumpul dan
Gejala utama nyeri aksial leher adalah nyeri. tidak nyaman, terutama pada bagian posterior
Pada cervical strain dan sprain, gejala nyeri leher dan dapat menjalar hingga pundak
disertai kekakuan dan ketegangan pada otot atau daerah punggung tengah (Gambar 5).
leher, punggung atas dan bahu yang dapat Pemeriksaan fisik yang didapatkan adalah
berlangsung berminggu-minggu, tanpa ke- nyeri palpasi pada daerah faset atau otot
lainan neurologis. Pada nyeri miofasial, nyeri paraspinal dan nyeri pada saat melakukan
disertai oleh kekakuan dan nyeri tekan pada gerakan ekstensi atau rotasi leher tanpa
otot servikal yang sensitif terhadap nyeri. disertai adanya defisit neurologis.

614
Nyeri Leher

G am bar 5. A rea Nyeri Send i Faset S erv ikal

Pasien diffuse skeletal hyperostosis (DISH] DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


memiliki gejala yang amat bervariasi, muiai Evaluasi nyeri leher biasanya dimulai dengan
dari asimtomatik hingga atau memiliki gejala mengamati kemampuan seseorang untuk
berupa kekakuan otot, keterbatasan gerak menggerakkan kepala ke kiri dan kanan,
(mobilitas), dan nyeri. Radikulopati servikal fleksi ke depan dan ekstensi ke belakang,
memiliki gejala Minis nyeri radikular, muiai serta fleksi ke tiap sisi. Amati pula postur dan
dari leher, bahu, lengan atas, hingga jari. Se- gerakan pada leher dan bahu pasien. Lakukan
lain nyeri, pasien radikulopati servikal dapat palpasi dan rasakan otot-otot di leher, kepala,
merasakan hipestesia atau paresthesia sesuai punggung atas, dan bahu untuk mendeteksi
dermatom dan monoparesis tipe LMN. Se- daerah nyeri, adanya kelemahan, atau kete-
mentara itu, gejala mielopati servikal dapat gangan otot. Jika terdapat kelemahan atau
berupa nyeri yang disertai kelemahan moto- gangguan sensorik, lakukan pula evaluasi
rik, gangguan sensorik, gangguan koordinasi, kekuatan motorik dan sensorik di ekstremi-
serta ganggauan otonom (inkontinensia dan tas. Dalam beberapa kasus, tergantung pada
disfungsi ereksi). usia pasien, gejala Minis dan riwayat medis,

615
Buku Ajar Neurologi

diperlukan pemeriksaan lebih lanjut, seper- pakan pencitraan utama untuk mengevalu-
ti foto Rontgen, CT scan , MRI, atau elektro- asi lesi traumatik pada tulang servikal.
miografi (EMG).
Sementara itu, pemeriksaan MRI servikal
Pada kasus dengan kecurigaan cedera leher, diindikasikan pada pasien dengan defisit
pemeriksaan foto Rontgen servikal antero­ neurologis, jika pada foto Rontgen tidak
posterior, lateral, oblik, dan odontoid menjadi ditemukan kelainan yang pasti. MRI ber­
pemeriksaan awal yang rutin di-kerjakan. manfaat dalam mengevaluasi kelainan pada
Seluruh 7 tulang vertebral servikal harus medula spinalis dan radiks, kelainan pada
tervisualisasi dan jarak diskus interverte- soft tissue; herniasi diskus intervertebral is,
bralis antar tulang kurang lebih sama. Foto disrupsi ligamen, dan siringomielia.
lateral bermanfaat untuk menilai kesegari-
san (alignment] dan adanya pembengkakan TATA LAKSANA
jaringan lunak. Jarak normal antara bagian Sebelum memberikan tata laksana, harus
depan C3-C5 dan bayangan trakea adalah ditentukan penyebab nyeri leher. Pasien di-
5mm pada dewasa. Jika jarak tersebut me- haruskan segera ke RS pada kondisi cedera
lebar, diperldrakan adanya pembengkakan kepala atau cedera leher berat, gangguan
jaringan lunak dan cedera yang signifikan. kontrol buang air besar atau buang air kecil,
Sisi posterior korpus vertebral dalam ke- nyeri leher yang sangat berat ( visual analog
adaan normal akan berada dalam satu garis scale/V AS >6], atau jika terdapat kelemahan
yang membentuk kurva lordosis. Garis yang atau gangguan sensorik pada ekstremitas.
ditarik dari aksis horizontal tiap prosesus Demikian pula jika terdapat nyeri leher yang
spinosus tulang vertebra servikal dalam tidak membaik dalam 1 minggu, dianjurkan
kondisi normal akan terjadi konvergensi untuk dibawa ke RS. Kondisi-kondisi terse­
pada 1 titik di posterior. Hilangnya lordosis but merupakan bagian dari tanda bahaya
mengimplikasikan adanya spasme otot, se- (red flags ) yang harus selalu dinilai pada
mentara hilangnya konvergensi menanda- pasien dengan keluhan nyeri leher, selain
kan kemungkinan instabilitas tulang ver­ keadaan berikut:
tebra. Posisi lateral juga bermanfaat dalam a. Tanda keganasan, infeksi, dan inflamasi
menilai stabilitas C l dari C2. Posisi oblik Demam, keringat malam, berat badan yang
paling baik dalam menilai sendi faset dan turun drastis, riwayat tuberkulosis, riwa-
foramen neural. yat infeksi human immunodeficiency virus
Pemeriksaan CT scan servikal dikerjakan [HIV], atau riwayat penggunaan imunosu-
pada pasien yang memilki kelainan pada presan, nyeri yang sangat hebat [VAS 10],
foto Rontgen, atau pada pasien dengan ke­ nyeri yang intraktabel pada malam hari,
curigaan fraktur, namun hasil foto tidak Iimfadenopati servikal, dan nyeri tekan
konklusif. Adanya disrupsi korpus vertebra pada korpus vertebra servikal.
atau lamina, fraktur pada sendi faset, dan b. Mielopati
fragmen tulang intrakanal akan jelas terlihat Gangguan gait, clumsy hand , defisit neu­
dengan CT scan. Karena itu, CT scan meru- rologis yang objektif berupa gejala upper

616
Nyeri le h e r

m otor neuron (UMN) di tungkai dan ge- nance). Terapi fisik fase akut bertujuan
jala lower m otor neuron (LMN) di lengan. untuk mengurangi nyeri dan inflamasi,
mengembalikan ROM daerah yang tidak
c. Kondisi lain
nyeri, memperbaiki kontrol postural
Riwayat osteoporosis berat, riwayat operasi
leher, dan mencegah atrofi otot-otot
leher drop attack saat menengokkan leher,
leher.
serta nyeri yang berat dan menetap atau
makin meningkat. Pada fase pemulihan, terapi fisik bertujuan
untuk menghilangkan nyeri secara sem-
Pada sebagian besar kasus, nyeri leher
purna, memperbaiki dan menormalisasi
cukup diterapi secara konservatif dengan
ROM pasif dan aktif, melanjutkan perbai-
analgesik over-the-counter, dan terapi fisik
kan kontrol postural, dan memulai tahap
menggunakan pemanasan, m assage , dan
agar otot leher dapat digunakan untuk
latihan penguatan dan/atau peregangan
latihan olahraga. Selanjutnya, terapi fisik
yang dapat dikerjakan di rumah. Jika nyeri
fase rumatan bertujuan untuk mening-
tidak menghilang setelah 1-2 minggu
katkan dan memperbaiki keseimbangan,
terapi di rumah, direkomendasikan untuk
meningkatkan kekuatan dan ketahanan
dilakukan evaluasi lebih lanjut di fasilitas
otot leher dalam melakukan gerakan aktif,
kesehatan.
sehingga pasien memiliki postur yang
Secara umum, tata laksana nyeri leher normal dan dapat beraktivitas sehari-hari
di fasilitas kesehatan dapat dibagi men- tanpa nyeri.
jadi terapi konservatif, terapi intervensi
Modalitas yang dapat digunakan dalam
nyeri, dan terapi surgikal. Terapi konser­
terapi fisik mencakup:
vatif terdiri atas:
a. Pendinginan — dengan kantung es
1. Terapi medikamentosa
pada daerah yang nyeri di leher juga
Terapi medikamentosa dapat berupa
dapat membantu mengurangi derajat
pemberian analgesik asetaminofen atau
nyeri.
obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS],
seperti ibuprofen, meloksikam, dan b. Pemanasan — dengan air atau uap
naproksen, dapat membantu mengata- hangat juga dapat membantu mengu­
si nyeri derajat ringan dan sedang. Jika rangi nyeri. Namun demikian, pada
terdapatspasm e otot yang berat, dapat nyeri akut gunakan es lebih dulu se-
diberikan golongan pelemas otot. Jika bagai terapi inisial. Pemanasan boleh
derajat nyeri leher dirasakan berat, di­ dijadikan terapi inisial jika pasien
rekomendasikan pemberian antidepre- tidak sensitif dan tidak dapat mento-
san trisiklik. leransi dingin.

2. Terapi fisik c. Massage — Pemijatan dapat mem­


Terapi fisik dapat dibagi dalam 3 tahap bantu menghilangkan spasme otot
yakni tahap akut, tahap pemulihan [re­ dan dapat dikerjakan setelah pema­
covery), dan tahap rumatan [mainte­ nasan atau pendinginan pada otot

617
Buku Ajar Neurologi

leher. Dapat dilakukan secara manual kanan hingga maksimal dengan po­
dengan tangan atau dengan vibrator sisi dagu sejajar [Gambar 8). Laku­
elektrik, Pada saat dilakukan pemi- kan masing-masing selama 5 detik ke
jatan, otot leher harus dalam keadaan setiap sisi dan ulangi masing-masing
relaks dengan menyangga kepada atau sisi 5 kali
posisi berbaring.
d. Neck stretch
3. Latihan penguatan dan peregangan Anglcat leher ke arah dagu, tahan selama
Setelah mengalami cedera, rentang gerak 5 detik, dan ulangi 5 kali [Gambar 9}.
leher harus direstorasi dan dipertahan-
e. Stimulasi elektrik
kan. Hal ini dilakukan dengan latihan yang
Dengan menggunakan transcuta­
meregangkan dan menguatkan otot-otot
neous electrical nerve stimulation
leher. Latihan ROM dan peregangan dapat
[TENS] dapat membantu mengurangi
membantu mengurangi nyeri pascacedera
nyeri serta meningkatkan mobilisasi
otot. Latihan paling baik dilakukan saat
dan kekuatan otot.
otot dalam keadaan hangat, misalnya
pascapemanasan atau beberapa menit f. Traksi servikal
setelah latihan kardio. Latihan dapat di­ Traksi ini menggunakan beban yang
lakukan pada pagi hari untuk menghilang- bertujuan menarik tulang leher dan
kan kekakuan otot dan malam hari sebe- mengkoreksi kolumna spinalis menjadi
lum tidur. sejajar {good alignment). Sayangnya,
berbagai studi menunjukkan teknik
Beberapa gerakan dibawah ini dapat di­
traksi tidak memilild manfaat yang sig-
lakukan untuk menguatkan dan mere­
nifikan dalam tata laksana nyeri leher.
gangkan otot leher cervical strain yang
merupakan penyebab nyeri leher ter- g. Penggunaan bidai servikal {collar neck)
banyak. Jangan lakukan gerakan tersebut Bidai servikal diindikasikan pada kasus
pada kasus selain cervical strain, terlebih nyeri leher. Penggunaannya harus sesuai
pada radikulopati atau mielopati. anjuran dokter, karena dapat menunda
proses pemulihan dan mengakibat-
a. Neck tilting kan kelemahan leher jika dipakai rutin
Tundukkan leher hingga maksimal
dalam jangka panjang.
dan tahan selama 5 detik sebelum
kembali ke posisi normal (Gambar 6). 4. Kurangistres
Ulangi sebanyak 5 kali. Stres emosional akan dapat mening­
katkan ketegangan otot leher dan akan
b. Neck tilting side to side
mempengaruhi serta memperlambat
Miringkan leher ke arah bahu, tahan
proses pemulihan. Teknik relaksasi akan
selama 5 detik ke setiap sisi dan ulangi
mengatasi ketegangan muskuloskeletal,
masing-masing sisi 5 kali [Gambar 7).
Aktivitas lain yang dapat mengurangi
c. Neck turn stres mencakup meditasi, ibadah, dan
Tengokkan leher ke arah kiri dan hipnosis.

618
Nyeri Leher

Gambar 6. Neck Tilting

Gambar 7. Neck Tilting Side to Side Gambar 9. Neck Stretch

5. Menjaga postur tubuh monitor komputer sejajar dengan mata,


Aktivitas dan posisi tubuh yang dapat agar kepala tidak terlalu menunduk atau
mencegah atau mengurangi nyeri leher mendongak. Hindari menaruh juga beban
adalah posisi leher netral dan memini- berat di punggung atas serta pertahan-
malisir ketegangan sepanjang otot dan kan posisi postur leher yang baik dalam
ligamen pendukung leher. Gerakan leher setiap kondisi termasuk saat tidur.
yang berlebihan, aktivitas, dan posisi
6. Lain-lain
tubuh yang mengakibatkan ketegangan
Adapun modalitas terapi lain, seperti
konstan harus dihindari atau dimini-
akupuntur, biofeedback , dan chiropractic,
malisir. Hindari duduk dalam posisi yang
masih memerlukan beberapa penelitian
sama selama berjam-jam dan lakukan
untuk mengetahui efektivitasnya.
istirahat berkala selama 5 menit, bila pe-
kerjaan mengharuskan kita pada posisi Sementara itu, terapi intervensi nyeri
tertentu dalam waktu lama. Atur posisi mencakup tindakan injeksi untuk men-

619
Buku Ajar Neurologi

gurangi nyeri dengan atau tanpa panduan Nyeri juga hilang timbul, terutama mem-
(guiding tools). Di antara tindakan inter- berat saat posisi tidur.
vensi nyeri leher yang tidak memerlukan Pertanyaan:
panduan adalah injeksi trigger point Menurut karakteristik temporal nyeri,
dengan anestetik lokal, seperti lidokain. apa jenis nyeri yang dialami pasien ini?
Tindakan tersebut dapat direkomendasi-
a. Nyeri akut
kan bila latihan peregangan dan massage
b. Nyeri somatik
tidak mengurangi nyeri secara signifikan
c. Nyeri kronik
pada kasus cervical strain atau nyeri mio-
d. Nyeri kronik eksaserbasi akut
fasial. Sayangnya, tidak terdapat cukup
e. Nyeri viseral
bukti bahwa injeksi trigger point dapat
Jawaban: c. Nyeri kronik
mengurangi nyeri atau mempercepat
penyembuhan dalam jangka panjang. In­ 2. Berdasarkan epidemiologi, apakah pe-
jeksi steroid pada otot leher tidak dian- nyebab tersering dari nyeri leher?
jurkan, karena berisiko mengakibatkan
a. Faktor mekanik
cedera pada otot, Pada kasus nyeri leher
b. Trauma
lainnya, seperti nyeri diskogenik atau
c. Keganasan/ neoplasma
nyeri faset, jika akan dilakukan tinda­
d. Autoimun
kan intervensi nyeri, dapat dipandu de­
e. Idiopatik
ngan menggunakan ultras onografi atau
fluoroskopi/C-arm. Jawaban e. Idiopatik

Modalitas terakhir manajemen nyeri 3. Lanjutan kasus:


leher adalah dengan tindakan surgikal. Sejak 3 bulan lalu, nyeri bertambah parah.
Meskipun tidak diperlukan dalam meng- Nyeri dirasakan ter us menerus dan
atasi mayoritas nyeri leher, tindakan kadang ada rasa kesetrum ke lengan kiri
bedah dapat dipertimbangkan pada ka­ dan kanan. Pasien mulai berobat ke dok-
sus hernias! diskus intervertebralis yang ter umum dan diberikan obat penghilang
mengakibatkan radikulopati servikal atau nyeri, tetapi keluhan hanya membaik se-
pada kasus mielopati akibat spondilosis mentara dan kemudian kambuh sakit lagi.
servikal, setelah terapi konservatif tidak Selanjutnya, pasien berobat ke dokter
mengalami perbaikan. Selain itu pertim- saraf. Hasil pemeriksaan fisik menunjuk-
bangkan tindakan bedah jika terdapat kan terdapat tetraparesis UMN (kekuatan
defisit neurologi yang progresif. motorik 4/5 untuk tiap ekstremitas), re-
fleks patologis Hoffman Tromner (+) bi­
CONTOH KASUS lateral, refleks fisiologis meningkat (+3),
1. Seorang perempuan 63 tahun datang ke serta terdapat hipestesi dan hipohidrosis
klinik dengan keluhan nyeri leher sejak setinggi C6 ke bawah. Berdasarkan data
9 bulan lalu. Nyeri dirasakan lokal di be- klinis saat ini, apakah tanda bahaya yang
lakang leher, seperti pegal, tidak menjalar. ditemukan pada kasus ini?

620
Nyeri Leher

a. Demam DAFTAR PUSTAKA


b. Penurunan berat badan 1. Suryamiharja A, Purwata TE, Suharjanti I, Yudi-
c. Nyeri yang memberat yanta. (Consensus nasional 1 : diagnostik dan pe-
natalaksanaan nyeri neuropatik. Kelompok Studi
d. Terdapat kelemahan elcstremitas Nyeri Perdossi, Surabaya: Airlangga University
e. Pilihan c dan d benar Press; 2011.
Jawaban: e. Pilihan c dan d benar 2. Makela M, Heliovaara M, Sievers K, Impivaraa 0,
Knekt P, Aromaa A. Prevalence, determinants,
4. Lanjutan kasus: and consequences of chronic neck pain in Fin­
Setelah melakukan anamnesis lebih land Am j Epidemiol. 1 9 9 1 ;1 3 4 (ll):1 3 5 6 -6 7 .
3. Bovim G, Schrader H, Sand T. Neck pain in the
lanjut, ternyata pasien memilild riwayat general population. Spine. 1994;19(12):1307-9.
tumor otak pada ayah pasien dan kanker 4. PubMed Health. Neck pain: overview. PubMed
payudara pada kakak kandung. Pasien Health [serial online], 2015 [diunduh 12 Januari
2017J. Tersedia dari: PubMed Health.
juga mengeluh batuk-batuk yang kadang 5. Binder AI. Cervical spondylosis and neck pain,
disertai darah dan berat badan menurun. BMJ. 2007:334(7592):527-31.
Pasien lalu menjalani pemeriksaan paru 6. Bogduk N. The anatomy and pathophysiol­
ogy of neck pain. Phys Med Rehabil Clin N Am.
dan didapatkan diagnosis tumor paru.
2003;14(3):455-72.
Apakah penyebab nyeri leher pada pasien 7. Neck Pain Explained.com, Types of neck pain?
ini? Neck Pain Explained.com [serial online], 2011
[diunduh 12 Januari 2017]. Tersedia dari: neck-
a. Degeneratif usia tua painexplained.com
b. Osteoporosis 8. Simons DG, Mense S. Diagnosis and therapy of myo­
fascial trigger points. Schmerz. 2003;17(6):419-24.
c. Terlalu sering batuk 9. Binder AI. Neck pain syndromes, clinical evidence.
d. Keganasan/neoplasma 2Q06;16. London: BMJ PublishingGroup; 2007.
e. Hernia nukleus pulposus 10. Fukui S, Ohseto K, Shiotani M, Ohno K, Karasawa
H, Naganuma Y, dkk. Referred pain distribution
Jawaban: d. Keganasan/neoplasma of the cervical zygapophyseal joints and cervical
dorsal rami. Pain. 1996;68(l}:79-83.
5. Bila intensitas nyeri pasien adalah VAS 11. Kaiser JA, Holland BA. Imaging of the cervical
6, maka apa pilihan obat yang diberikan spine. Spine. 1998; 23(24}:2701-12.
pada pasien? 12. Eubanks JD. Cervical radiculopathy: nonoperative
management of neck pain and radicular symp­
a. Parasetamol toms. Am Fam Physician 2010; 81(1):33-40.
b. Ibuprofen 13. Arthritis Research UK. Exercies to manage neck
pain. Arthritis Research UK [serial online], [di­
c. Tramadol unduh 12 Januari 2017]. Tersedia dari: Arthritis
d. Fentanil Research UK.
e. Morfin
Jawaban: c. Tramadol

621
NYERI PUNGGUNG BAWAH

Salim Harris; Winnugroho Wiratman,


Ramdinal Aviesena Zairinal

PENDAHULUAN penurunan produktivitas kerja dan berkai-


Nyeri punggung bawah (NPB) merupakan tan dengan beban ekonomi yang besar.
nyeri, ketegangan otot, atau kekakuan yang Secara temporal, NPB terbagi menjadi akut
terlokalisir di antara batas iga bagian bawah
(<6 minggu), subakut (7-12 minggu), kronik
dan lipatan gluteus inferior, dengan atau
(>12 minggu/3 bulan), dan rekuren. Seba-
tanpa penjalaran ke paha dan/atau tungkai gian besar penderita NPB mengalami reku-
{sciatica). NPB dapat terjadi dengan/tanpa rensi, yang sebenarnya merupakan bentuk
nyeri radikular atau nyeri alih yang menan-
eksaserbasi akut pada NPB kronik. Penan-
dakan kerusakan jaringan organ lain. Pada
ganan NPB akut yang tidak cepat dan ade-
prinsipnya, NPB disebabkan oleh kerusakan kuat akan beraldbat progresivitas keluhan
jaringan saraf dan nonsaraf yang sangat di- menjadi kronik dan rekuren. Selain itu, fak-
pengaruhi oleh aspek psikologis.
tor stres psikologis juga turut meningkatkan
Keluhan NPB sering dijumpai pada praktik risiko kronisitas NPB. Kondisi kronik seperti
sehari-hari. Sebanyak 17-31% dari total ini harus dicegah oleh klinisi yang menan-
populasi pernah mengalami NPB semasa gani pasien NPB.
hidupnya. Oleh karena NPB sangat dipe-
ngaruhi oleh aktivitas fisik dan posisi tubuh, EPIDEMIOLOG!
maka pasien NPB memiliki keterbatasan Prevalensi NPB cukup bervariasi, dengan
dalam bergerak (disabilitas). Hal tersebut hasil studi di negara-negara berkembang
menyebabkan penurunan kualitas hidup menunjukkan prevalensi pertahun sekitar
serta memiliki dampak sosial dan ekonomi 22-65% . Data Kelompok Studi Nyeri PER-
yang buruk. DOSSI menyatakan sebesar 18,37% dari
Berdasarkan studi The Global Burden o f Dis­ keseluruhan pasien nyeri adalah NPB. Data
ease tahun 2010, NPB merupakan penyum- epidemiologi lain memperkirakan sekitar
bang terbesar kecacatan global, yang diukur 40% penduduk Jawa Tengah berusia antara
melalui years lived with disability (YLD). 65 tahun pernah menderita nyeri punggung,
Studi di Inggris mengemukakan bahwa dengan prevalensi 18,2% pada laki-laki dan
NPB merupakan penyebab utama disabili­ 13,6% pada perempuan.
tas pada dewasa muda yang menimbulkan Di Amerika Serikat, NPB secara umum
lebih dari 100 juta hari kerja hilang tiap merupakan penyebab kelima tersering
tahun. Dengan demildan, NPB penyebab pasien datang untuk berobat. Data lain me-

622
Nyeri Punggung Bawah

laporkan bahwa 7,6% populasi dewasa di Sensitisasi Sentral (SS)


Amerika Serikat mengalami NPB berat se- Definisi SS adalah amplifikasi dari neuronal
lama 1 tahun terakhir, dan hanya 39% di an- signaling di dalam sistem saraf pusat yang
tara mereka mencari pengobatan. meningkatkan hipersensitivitas terhadap
nyeri, sehingga terjadi peningkatan respons
PATOFISIOLOGI
neuron nosiseptif di dalam sistem saraf
Seperti nyeri pada umumnya, NPB dapat
pusat terhadap input aferen normal atau
terjadi akibat adanya kerusakan jaringan
ambang batas {subthreshold). Dengan kata
saraf dan/atau nonsaraf pada punggung
lain, terdapat augmentasi respons susunan
bawah. Di samping saraf, kerusakan dapat
saraf pusat terhadap terhadap input dari re-
pula mengenai tulang vertebra, kapsul sen-
septor unimodalitas dan polimodalitas. Hal
di apofisial, anulus fibrosus, otot, dan liga-
yang penting diingat dari patofisiologi SS
mentum. Peregangan {stretching), robekan
adalah peningkatan respons neuronal ter­
{tearing), atau kontusio jaringan-jaringan
hadap stimulus di dalam sistem saraf pusat
tersebut dapat terjadi akibat aktivitas se­
(seperti hipereksitabilitas sentral].
perti mengangkat beban berat, gerakan me-
mutar tulang belakang, dan whiplash injury. Gangguan yang diakibatkan oleh SS ter­
hadap sistem saraf pusat tersebut meliputi
Patofisiologi yang mendasari NPB sangat
beberapa hal, yaitu perubahan pemrosesan
berkaitan dengan mekanisme nyeri nosi-
stimulus sensorik di dalam otak, gangguan
septif dan nyeri neuropatik sebagai akibat
fungsi mekanisme antinosiseptif desen-
dari kerusakan jaringan pada alinea sebe-
den, peningkatan aktivitas jalur fasilitator
lumnya. Pada NPB yang kronik dan rekuren,
nosiseptif, dan peningkatan sumasi nyeri
terdapat proses patologis yang disebut sen-
sekunder ( wind up) di temporal. Selain itu,
sitisasi sentral.
SS meningkatkan aktivitas pain neuro m a­
Nyeri Nosiseptif dan Neuropatik trix. SS juga meningkatkan aktivitas otak
Nyeri nosiseptif timbul akibat kerusakan pada area-area yang terlibat dalam sensasi
pada jaringan nonneural dan aktivasi no- nyeri akut (insula, korteks cinguli anterior,
siseptor. Nyeri ini menyertai aktivasi peri­ dan korteks prefrontal] dan yang tidak ter­
pheral receptive terminals dari neuron libat dalam sensasi nyeri akut (berbagai
aferen primer sebagai respons terhadap nukleus di batang otak, korteks dorsolateral
stimulus kimiawi, mekanik, atau termal frontalis, dan korteks asosiasi parietal],
yang berbahaya, Di lain pihak, nyeri neu­
Berbagai studi mengemukakan bahwa SS
ropatik didefinisikan sebagai nyeri yang
ditemukan pada NPB kronik. Hal ini mem-
disebabkan karena lesi primer sistem saraf
pengaruhi tata laksana pasien, mengingat
somatosensorik. Secara klinis, istilah nyeri
pasien NPB dengan SS m embutuhkan
nosiseptif berarti nyeri yang timbul {output)
pengobatan dengan target spesifik pada
sebanding dengan input nosiseptif, berbeda
sistem saraf pusat.
dengan yang terjadi pada nyeri neuropatik.

623
Buku Ajar Neurologi

ANATOMI menghubungkan korpus vertebra yang satu


Tulang belakang bagian lumbal terdiri dari dengan lainnya. Prosesus artikularis superior
5 segmen vertebra lumbalis yang terletak dan inferior dari lamina vertebra yang berdekatan
kranial dari sakrum dan koksigeus. Kelima membentuk sendi faset atau zigapofisial. Sendi
vertebra ini menyokong vertebra torakalis, ini merupakan sendi sinovial di artrodial yang
servikalis, dan tulang kepala yang merupa- berfimgsi menanggung beban kompresif serta
kan sebagian besar dari berat badan tubuh, tekanan biomekanik diskus intervertebralis.
sehingga ukuran korpusnya paling besar
Tulang belakang disokong oleh berbagai
dibandingkan segmen vertebra lainnya,
ligamentum yang merupakan jaringan ikat
Sisi posterior korpus vertebra memiliki yang menghubungkan satu tulang ke tulang
struktur pedikel, lamina, prosesus transver- lainnya. Dari anterior ke posterior, ligamen-
sus, dan prosesus spinosus yang memben- turn tersebut meliputi, ligamentum longi­
tuk lingkaran mengelilingi kanalis spinalis. tudinal anterior, ligamentum longitudinal
Kanalis spinalis dibungkus oleh kantong posterior, ligamentum flavum, ligamentum
dura yang berisi cairan serebrospinal. intertransversal, ligamentum interspinosus,
dan ligamentum supraspinosus (Gambar 1}.
Sendi faset merupakan persendian yang

624
Nyeri Punggung Bawah

Ligamentum longitudinal anterior meru- mentum ini berhubungan dengan flavum,


pakan ligamentum luas dan fibrous yang be- sedangkan pada bagian posterior serat liga­
rasal dari dasar tengkorak, meliputi bagian mentum ini berhubungan dengan ligamen­
anterior dari korpus vertebralis dan diskus tum supraspinosus. Ligamentum ini untuk
vertebralis dari Cl hingga sakrum. Ligamen­ membatasi gerakan fleksi ke depan atau
tum ini berfungsi dalam mempertahankan membungkuk.
stabilitas dari sendi intervertebral is dan
Ligamentum supraspinosus melekat pada
mencegah terjadinya gerakan hiperekstensi.
apeks prosesus spinosus. Ligamentum ini
Ligamentum longitudinals posterior berja- terdiri dari serat yang panjang dan tebal
lan dari dasar tengkorak dan C2 hingga ke yang berjalan secara vertikal, mulai dari
sakrum, berhubungan dengan bagian pos­ C7 hingga sakrum. Di atas C7, ligamentum
terior dari korpus vertebralis dan diskus ini disebut ligamentum nuchae. Bagian in-
intervertebral is, sehingga ligamentum ini ternal/anterior dari serat ini berhubungan
membentuk satu kesatuan dengan dinding dengan ligamentum interspinosus, sehingga
kanalis vertebralis. Hal tersebut berkaitan berperan membatasi gerakan fleksi,
dengan pencegahan terjadinya protrusi dis­
Diskus intervertebralis adalah sendi yang
kus ke arah posterior, tetapi tidak mencegah
terletak di antara korpus vertebralis. Sendi
ke arah posterolateral, serta mencegah ter­
ini berperan dalam hal mekanik dikarena-
jadinya gerakan hiperfleksi kolumna verte­
kan fungsinya dalam menanggung beban
bralis.
berat badan dan aktivitas otot melalui ko­
Di seberang ligamentum longitudinalis pos­ lumna spinalis. Adanya fleksibilitas sendi
terior, terdapat ligamentum flavum. Kedua ini membuat tulang belakang mampu bere-
ligamentum ini membentuk bagian dari ka­ gerak membungkult, fleksi ke lateral, dan
nalis spinalis. Ligamentum flavum berperan memutar.
dalam mempertahankan kontur dan keutu-
Diskus intervertebralis memiliki ketebalan
han posisi tulang belakang saat membung-
sekitar 7-10mm dan diameter 4cm pada re-
kuk dan sebaliknya.
gio lumbalis. Diskus intervertebralis meru-
Ligamentum intertransversal berjalan di- pakan struktur kompleks yang terdiri dari
antara prosesus transversus kolumna ver­ lapisan luar tebal jaringan fibrosa kartilago
tebralis pada tiap segmen, dan biasanya yang disebut anulus fibrosus. Struktur anu-
bergabung dengan muskulus intertransver- lus fibrosus terdiri dari 15 hingga 25 cincin
sarii. Peran ligamentum ini adalah untuk konsentrik atau lamela, dengan serat kola-
membatasi gerakan fleksi lateral ke kiri dan gen yang berada paralel di antara tiap lame­
kanan. la. Selain itu, terdapat serat elastin yang be­
rada di antara lamela, sehingga membantu
Ligamentum interspinosus terdiri dari
diskus untuk kembali ke posisi awal setelah
lapisan-lapisan tipis yang menghubungkan
gerakan. Serat elastin tersebut menyatu
prosesus spinosus Cl hingga S I pada tiap
dengan lamela saat serat tersebut berjalan
segmen. Pada bagian anterior, serat liga­
secara radial antar lapisan lamela. Sel-sel

625
Buku Ajar Neurologi

dari anulus, terutama yang berada di bagian dari nukleus pulposus adalah struktur car­
luar, bersifat fibroblast-like, berukuran pan- tilage endplates. Bagian tengah dari nukleus
jang, tipis, dan teletak paralel dengan serat pulposus mengandung serat kolagen yang
kolagen. Bentuk sel ini menjadi lebih oval tersusun acak, dan serat elastin yang ter­
pada bagian dalam anulus fibrosus. susun secara radial. Di antaranya terdapat
sel menyerupai kondrosit ( chondrocyte-like
Cartilage endplate merupakan lapisan hori­
cells) dengan densitas yang rendah yang be­
zontal tipis dengan ketebalan 1mm, yang
rada di dalam kapsul.
tersusun atas jaringan kartilago hialin.
Struktur ini mempertemukan diskus in­
ETIOLOGI
tervertebral is dengan korpus vertebralis.
Pasien yang datang dengan NPB harus diek-
Pada kondisi normal, diskus intervertebra-
splorasi etiologinya karena sebenarnya NPB
lis memiliki sedikit pembuluh darah dan
adalah suatu gejala, bukan penyakit. NPB
saraf, terutama terbatas pada lamela luar
memiliki beberapa etiologi yang mendasari
yang berakhir pada proprioseptor. Carti­
kondisi patologisnya yang harus ditentukan
lage endplate bersifat avaskular dan aneural
untuk tata laksana dan prognosisnya (Ta-
pada orang dewasa normal. Pembuluh da­
bel 1). Berdasarkan etiologinya, NPB dibagi
rah ada pada ligamentum longitudinal yang
menjadi spesifik dan nonspesifik/idiopa-
berdekatan dengan diskus intervertebralis
tik. NPB yang diketahui etiologinya dengan
dan pada cartilage endplate yang berasal
jelas disebut NPB spesifik. Sayangnya dalam
dari percabangan arteri spinalis.
praktik sehari-hari, sebagian besar NPB ti-
Anulus fibrosus mengelilingi inti yang lebih dak diketahui etiologinya dengan jelas, atau
bersifatgelatin (gelatinous ), disebutnuldeus disebut juga NPB nonspesifik atau idiopatik.
pulposus (Gambar 2). Batas atas dan bawah
Nyeri Sendi Faset
Seperti sendi sinovial lainnya, proses trauma
dan inflamasi yang terjadi pada memiliki mani-
festasi klinis berupa nyeri, kekakuan, disfungsi
sendi, serta spasme otot sekunder, yang kemu-
dian akan menyebabkan kekakuan dan dege-
nerasi sendi yang menyebabkan osteoartritis.
Salah satu struktur yang terlibat pada proses
degenerasi sendi adalah kapsul fibrosa dari
sendi faset yang mengandung ujung saraf en­
capsulated, encapsulated, dan bebas. Studi
imunohistokimia menunjukan bahwa ujung
Gambar 2. Anatomi Diskus Intervertebralis saraf tersebut mengandung neuropeptida yang
memediasi dan memodulasi nosiseptor, misal-
nya substansi P, calcitonin gene related pep ­
tide (CGRP), dan vasoactive intestinal peptide

626
Nyeri Punggung Bawah

Tabel 1. Penyakit yang Berkaitan dengan NPB yang Diklasiflkasikan Berdasarkan Etiologi
Etiologi Penyakit
Trauma * Hernia diskus intervertebralis lumbal
« Nyeri punggung bawah muskular/fasia [nyeri punggung bawah muskular akut
(sprain), nyeri punggung bawah muskular kronik]
» Nyeri punggung bawah yang berkaitan dengan fraktur (fraktur akibat trauma, fraktur
terkait osteoporosis)
Infeksi/inflamasi » Spondilitis tuberkulosis
• Spondilitis puruien
o Anly losing spondylitis
Tumor • M etastasisspinal
o Mieloma multipel
• Tumor medula spinalis
Degeneratif * Spondylosis deformans
° Degenerasi diskus intervertebralis
o Nyeri punggung bawah artikular intervertebralis
« Spondilolistesis nonspondilolitik lumbalis
« Ankylosing spinal hyperostosis
« Stenosis kanalis spinalis lumbalis
* Osteoporosis
* Facet arth rosis/degen era live fa c e t
Organ abdomen • Penyakit hati, saluran empedu, pankreas, dan lain-lain
Psikologis_____________ * NPB psikogenik, fibromialgia, depresi, dan lain-lain__________________________________
NPB: nyeri punggung bawah
Sumber: Hayashi Y. JMAJ. 2004. h. 227-33.

(VIP). Adanya neuropeptida tersebut menan- kebiasaan mengangkut beban berat dan
dakan proses penuaan serta beban biomekanik cedera minor berulang. Stres mekanik tim-
yang kumulatif. Mediator kimiawi dan infla- bul pada faset yang iebih horizontal pada
masi ini berhubungan dengan enzim proteoli- potongan sagital, terutama tingkat L4-L5.
tik dan kolagenolitik yang dapat menyebabkan
Gejala dan tanda klinis fa c e t arthrosis sa-
degradasi matriks kartilago sendi. Bila neuro­
ngat tidak spesifik dan bervariasi tergan-
peptida ini ditemukan bersama dengan jaring-
tung pada progresivitasnya, mulai dari nyeri
an perivaskular dan input aferen nosiseptif,
pada leher atau punggung bawah hingga ti­
maka kombinasi ini dapat menjadi penghasil
dak ada nyeri. Gejala nyeri yang muncul ti­
nyeri {pain generator').
dak menjalar ke bawah lutut dan diperberat
Facet arthrosis merupakan bentuk patologi dengan gerakan ekstensi, serta membaik
sendi faset yang paling banyak ditemukan. dengan gerakan fleksi. Nyeri tidak berkore-
Penyakit ini sering mengenai usia tua di atas lasi dengan tingkat degenerasi.
60 tahun, walaupun pada beberapa kasus
dapat dimulai pada usia sebelum 20 tahun. Nyeri Sendi Sakroiliaka
Tidak ada perbedaan prevalensi antar je- Sendi sakroiliaka merupakan sendi sinovial di-
nis kelamin. Penyakit ini dikaitkan dengan artrodial yang menerima inervasi atau persara-

627
Buku Ajar Neurologi

fan utaraa dari rami dorsalis 4 nervus sakralis Longisimus, M. Multifidus, dan M, Spinalis.
pertama. Artrografi atau injeksi larutan iritan Kondisi salah posisi dapat memicu terjadinya
kedalam sendi sakroiliaka dapat memprovokasi peregangan berlebih pada ligamentum dan
nyeri dengan berbagai pola nyeri lolcal maupun otot-otot ini sehingga menyebabkan robekan,
nyeri alih pada daerah bokong, lumbal bawah, perdarahan kecil dan inflamasi, serta me-
dan paha. Prevalensi nyeri sakroiliaka bervaria- nimbulkan nyeri. Hal ini dikenal dengan
si antara 2-30% pada pasien NPB kronik. strain atau regangan, maupun sprain atau re-
gangan yang menyebabkan kerusakan.
Nyeri Otot
Otot punggung bawah membantu menstabi- Sindrom Nyeri Miofasial
lisasikan tulang belakang serta memungkin- Reseptor nyeri di otot sensitif terhadap berb­
kan gerakan rotasi, fleksi, dan ekstensi. Otot- agai stimulus mekanik, termasuk tekanan, cu-
otot profunda melekat pada rongga-rongga bitan (pinching), irisan (cutting), dan peregan­
yang berada di antara prosesus spinosus gan (stretching. Unit kontraksi otot dan tendon
[Gambar 3). Adapun otot-otot penting yang yang terpapar beban biomekanilc tunggal atau
menyongkong vertebra lumbalis meliputi M. rekuren dapat mengalami cedera dan menim-

Otot-oto? soperfraal O to t-o to t profunda


Otot Intertrsnsversarfi

Otot (Leogfeimj : Otot Spinalis

Ofat Bktfestsls

Otot-otot intermedia

_y
-« ■

m J

Otot Muitifidus

Gambar 3. Aiiatomi Otot yang Menyokong Vertebra Lumbal

628
Nyeri Punggung Bawah

bulkan nyeri. Otot tersebut akan memendek se- tersebut juga dapat menimbulkan herni-
cara abnormal dan disertai peningkatan tonus asi diskus intervertebralis lumbalis dan
akibat spasme atau kontraksi yang berlebihan. mengkompresi saraf.
Otot yang cedera ini merupakan area nyeri ® NPB muskular kronik terjadi akibat
yang dianggap sebagai trigger point (TrP) atau penggunaan otot berulang secara terus
taut band yang menjadi kriteria diagnosis sin- menerus.
drom nyeri miofasial.
® Traumatic vertebral body fractures ter­
Karakteristik yang khas dari sindrom nyeri jadi saatkorpus vertebralis kolaps akibat
miofasial adalah adanya TrP berupa nodul jatuh dan sebagainya.
berukuran 3-6mm, bersifat nyeri dan kaku, © Fragile vertebral body fractures biasanya
dan dapat diidentifikasi melalui palpasi otot. menimbulkan NPB terkait osteoporosis,
Palpasi TrP akan memprovokasi nyeri hebat meskipun tidak terpapar trauma yang
dan menjalar ke zona-zona tertentu, Stimulus hebat
mekanik seperti penusukan atau peraberian
tekanan pada area yang hiperiritasi di TrP akan NPB yang disebabkan oleh Infeksi/Infla-
menyebabkan kedutan otot (muscle twitch). masi
Palpasi TrP kadang-kadang dapat menimbul- Spondilitis tuberkulosis adalah infeksi tu-
kan refleks involunter (jump sign), atau flinch­ lang belakang yang seringkali bermanifesta-
ing yang tidak sesuai dengan tekanan palpasi si sebagai nyeri punggung bawah. Infeksi
yang diberikan. Sindrom nyeri miofasial dapat ini dapat mengenai tulang belakang tora-
menjadi simtomatik akibat trauma langsung kolumbal (50% ), servikal (25% ), dan lum­
atau tidak langsung, paparan strain kumulatif, bal (25% ). Mikroorganisme patogen dapat
disfungsi postural, dan physical deconditioning. menghancurkan korpus vertebralis atau
diskus intervertebralis. Untuk mencegah
Sindrom nyeri miofasial dapat terjadi pada
timbulnya komplikasi neurologis, maka di­
daerah yang mengalami kerusakan jaringan
agnosis harus cepat dan pengobatannya te-
atau daerah tempat penjalaran nyeri neuropa-
pat. Anamnesis mengenai riwayat penyakit
tik/radikular. Otot yang terpengaruh oleh nyeri
tuberkulosis dapat membantu diagnosis pe­
neuropatik dapat mengalami kerusakan akibat
nyakit ini. Pencitraan MRI merupakan salah
spasme berkepanjangan, beban mekanik ber­
satu pemeriksaan penunjang untuk melihat
lebihan atau gangguan metabolik serta nutrisi.
gambaran destruksi tulang, abses, serta ke-
NPB yang disebabkan oleh Trauma terlibatan jaringan lunak seldtar tulang dan
Ada beberapa kondisi patologis NPB yang medulla spinalis (Gambar 4).
disebabkan oleh trauma, antara lain:
Anlylosing spondylitis (Gambar 5) adalah suatu
• NPB muskular akut atau sprain terjadi penyakit rematik dengan faktor rematoid
saat punggung bawah terpapar trauma negatif yang menyebabkan tulang vertebra me-
eksternal, seperti terbentur orang lain nyambung seperti bambu ( bamboo spine), osifi-
atau mengangkat benda berat, sehingga kasi ligamentum supraspinosus dan interspi-
terjadi kerusakan otot dan fasia. Trauma nosus (dagger sign), dan fusi sendi sakroiliaka.

629
Buku Ajar Neurologi

Penyatuan tersebut menyebabkan elastisitas- menjadi sulit untuk bemafas dalam. Penyakit
nya berkurang dan postur tubuh membungkuk ini lebih sering mengenai laki-laki daripada
ke depan. Jika tulang iga terlibat, maka pasien perempuan dengan gejala dan tanda penyakit
dimulai saatusia muda.

Gambar 4. Gambaran MRI Spondilitis Tuberkulosis Gambar 5. Gambaran Foto Rontgen Ankylosing
Tanda panah menunjukkan desktruksi korpus verte­ Spondilitis
bra lumbal L3-4 yang mendesak medula spinalis Gambaran Dagger sign (panah putih) dan fusi sendi
(Dok: Pribadi) sakroiliaka (panah hitam}
(Dok: Pribadi)

Gambar 6. Metastasis Ranker Prostat


Tanda panah menunjukkan iesi multipel di korpus vertebra lumbal.
(Dok: Pribadi)

630
Nyeri Punggung Bawah

Disitus
intervertebraiis

Gambar 7. Diskus Intervertebraiis Normal dan yang Mengalami Herniasi

NPB yang Disebabkan oleh Neoplasma lang belakang disertai fraktur yang me-
Tumor ganas, seperti kanker paru-paru, nyebabkan nyeri di berbagai tingkat. Di
lambung, payudara, dan prostat, dapat ber- lain pihak, osteoporosis kadang-kadang
metastasis ke tulang lumbal sebagai lesi tidak disertai fraktur dan deformitas,
multipel yang berbercak-bercak (Gambar tetapi tetap ada nyeri. Hal ini disebabkan
6). Gambaran ini juga dijumpai pada kega- oleh hipersensitivitas nyeri terkait de­
nasan hematologi, seperti mieloma multi- ngan menopause.
pel. Tumor primer, seperti schwanoma dan
2. Hernia Nukleus Pulposus (HNP)
angioma, dapat berkembang pada daerah
Kehilangan proteoglikan dan disorgan-
lumbal dan menimbulkan nyeri yang hebat.
isasi matriks memiliki dampak mekanik
NPB yang Disebabkan oleh Proses De~ yang penting, yaitu menimbulkan stres
generatif pada cartilage endplate atau anulus fi-
Dengan bertambahnya usia, insidens NPB brosus. Perubahan ini mengakibatkan
akan meningkat dengan terbentuknya lesi diskus intervertebraiis rentan terhadap
akibat degenerasi lumbal dan jaringan seki- cedera dengan menimbulkan perubahan
tarnya. Proses degenerasi tersebut juga osteoarthritik. Kondisi ini dapat menye-
berkaitan dengan terbentuknya spondylo­ babkan herniasi nukleus pulposus, yaitu
sis deforman, degenerasi diskus interver­ prolapsnya diskus intervertebraiis akibat
tebraiis, nyeri punggung bawah artikular robeknya annulus fibrosus (Gambar 7).
intervertebraiis, spondilolistesis nonspon-
Proses degeneratif tersebut akan berdam-
dilolitik, ankylosing spinal hiperostosis, dan
pak pada struktur sekitarnya, misalnya ra-
stenosis spinalis lumbalis.
diks. Kompresi radiks akibat herniasi ini
1. Osteoporosis bukan satu-satunya penyebab timbulnya
Pada osteoporosis terjadi deformitas tu­ gejala nyeri, karena 70% pasien dengan

631
Buku Ajar Neurologi

prolaps diskus yang menekan radiks tidak temporal (akut/kronik), dan faktor yang
mengeluhkan nyeri. Hipotesis yang men- memperberat atau meringankan nyeri.
dasari timbulnya nyeri adalah kompresi
Ada empat jenis nyeri yang harus diiden-
yang ditimbulkan akan meningkatkan sen-
tifikasi pada pasien NPB, yaitu nyeri lokal,
sitisasi radiks. Proses ini terutama disebab-
nyeri alih, nyeri radikular, dan spasme otot
kan oleh molekul-molekul kaskade inflama-
sekunder. Nyeri lokal disebabkan oleh proses
si, seperti asam arakidonat, prostaglandin
patologis yang mengenai struktur peka nyeri
E2, tromboksan, fosfolipase A2, tumor necro­
di tulang belakang, antara lain periosteum
tizing facto r [TNF]a, interleukin, dan matriks
korpus vertebra, kapsul sendi apofisial, an­
metalloprotease.
nulus fibrosus, dan ligamentum-ligamentum.
NPB Akibat Penyebab la in Oleh sebab itu, segala proses patologis yang
NPB dapat timbul akibat nyeri alih dari pe- melibatkan struktur-struktur tersebut akan
nyaldt organ intraabdominal seperti hati, menimbulkan nyeri lokal. Nyeri ini memiliki
kandung empedu, dan pankreas. Nyeri alih intensitas stabil, tetapi kadang-kadang nyeri
ke punggung bawah juga dapat timbul dari terasa lebih berat dan tajam. Batasan nyeri
organ-organ abdomen bagian posterior, se­ tidak terlalu tegas, namun dirasakan di seki-
perti uterus, ovarium, dan kandung kemih. tar struktur peka nyeri pada tulang belakang
yang terkena tersebut.
Kemungkinan adanya nyeri psikogenik yang
berkaitan dengan histeria dan depresi juga ti­ Salah satu contoh proses patologis yang me­
dak boleh dilupakan. Fibromialgia merupak- nimbulkan nyeri lokal adalah strain/sprain
an salah satu bentuk NPB kronikyang paling akut. Penyebabnya adalah cedera minor,
sering ditemukan pada daerah perkotaan. Di­ seperti mengangkat benda berat, kesala-
agnosis fibromialgia ditegakkan secara klinis, han postur (duduk, berkendara], atau per-
ditandai oleh nyeri dengan distribusi yang gerakan punggung yang mendadak. Pasien
luas pada tubuh, terdapat titik-titik nyeri, kadang-kadang merubah postur tubuh aki­
dan seringkali disertai penyakit komorbid bat nyeri yang dirasakan. Otot-otot sakro-
seperti fatig kronik, insomnia, dan depresi. spinalis dan punggung bawah menjadi kaku,
Oleh karena itu, penyakit ini sering dikaitkan sehingga nyeri bertambah berat bila pasien
dengan faktor sosial dan psikologis. melakukan pergerakan punggung.
Nyeri alih pada NPB dapat berupa nyeri
GEJALADAN TANDA KLINIS pada vertebra yang merujuk ke organ dalam
Pasien NPB datang biasanya dengan kelu-
abdomen dan pelvis, atau sebaliknya. Pe-
han utama nyeri. Selain nyeri, keluhan lain
nyakit-penyakit pada organ dalam abdomen
yang dapat timbul adalah rasa kaku, pegal,
atau pelvis dapat menimbulkan nyeri alih
kesulitan bergerak, atau perubahan ben­
pada punggung bawah. Hal ini dapat dibe-
tuk punggung (deformitas). Keluhan utama
dakan dengan NPB akibat proses patologis
nyeri pada NPB harus dieksplorasi karak-
di tulang belakang dan struktur sekitarnya
teristiknya lebih lanjut, antara lain jenis dan
karena intensitas nyerinya tidak berubah
lokasi, durasi [menetap/intermiten], in-
dengan pergerakan punggung.
tensitas (ringan/sedang/berat), hubungan

632
Nyeri Punggung Bawah

Proses patologis pada bagian atas vertebra batuk, bersin, atau mengedan dapat mem-
lumbal dapat menimbulkan nyeri alih pada perberat nyeri radikular. Oleh karena struk­
daerah kostovertebral [flank ) medial, pang- tur saraf yang terkena pada nyeri radikular,
gul sisi lateral, selangkangan, dan paha ba­ maka defisit neurologis, seperti parestesia,
gian anterior. Hal ini terjadi karena iritasi hipestesia, monoparesis, hiporefleks, dan
nervus kluneal superior yang berasal dari di- atrofi otot, dapat ditemukan pada pasien.
visi posterior nervus spinalis L1-L3. Semen- Dengan demikian, nyeri radikular berbeda
tara itu, proses patologis yang terjadi pada dengan nyeri alih. Walaupun nyeri alih juga
bagian bawah vertebra lumbal dapat memi- bisa menjalar, tetapi tidak sampai distal dari
liki nyeri alih ke bagian bawah bokong dan lutut dan tidak disertai defisit neurologis.
paha bagian posterior akibat iritasi nervus
Segala proses patologis yang mengenai ra­
spinalis L4-L5. Nervus spinalis ini mengak-
diks pada punggung bawah akan menim­
tivasi sekumpulan neuron intraspinal yang
bulkan nyeri radikular, contohnya herniasi
sama dengan nervus yang menginervasi
diskus intervertebralis dan kanalis stenosis.
paha bagian posterior. Nyeri alih tersebut
Herniasi diskus intervertebralis memiliki
biasanya difus, tidak lokal, dan terasa dalam.
karakteristik tambahan berupa nyeri yang
Intensitas nyeri alih tidak jauh berbeda de­
bertambah berat saat membungkuk, duduk,
ngan nyeri lokal. Setiap gerakan yang mem-
atau berubah posisi duduk ke berdiri. Nyeri
perberat atau meringankan intensitas nyeri
terasa berkurang saat pasien berbaring
lokal juga dapat memengaruhi nyeri alih.
telentang dengan lulut fleksi untuk mengu-
Contoh proses patologis yang menimbul­ rangi lordosis lumbal.
kan nyeri alih adalah strain pada sendi
Di lain pihak, kanalis stenosis memiliki ciri
sakroiliaka. Pasien dapat merasakan nyeri
tambahan berupa nyeri yang bertambah be­
alih dari punggung bawah ke bokong atau
rat saat duduk lama, berdiri, atau berjalan.
paha bagian posterior. Saat pasien bergerak
Nyeri akan membaik saat istirahat setelah
abduksi paha melawan tahanan, nyeri akan
aktivitas tersebut. Posisi yang paling nya-
bertambah berat dan dapat dirasakan di
man bagi pasien kanalis stenosis adalah
simfisis pubis atau selangkangan.
jongkok, agak membungkuk ke depan, dan
Nyeri radikular berasal dari struktur radiks fleksi panggul dan lulut. Hal ini menyeru-
spinalis yang mengalami proses tarikan, pai posisi pengendara sepeda. Selain itu,
iritasi, atau kompresi. Karakteristik nyeri terdapat fenomena klaudikasio neurogenik
radikular memiliki intensitas yang lebih pada kanalis stenosis, yang ditandai dengan
berat, penjalaran hingga ke tungkai bawah aktivitas berjalan dan berdiri menyebabkan
sesuai perjalanan sarafnya, dengan batas hipestesi dan kelemahan tungkai secara
yang lebih tegas. Penjalaran nyeri radikular bertahap, sehingga memaksa pasien untuk
yang paling khas terjadi pada iskialgia, yang duduk istirahat. Hal ini disebabkan oleh in-
berasal dari bokong menjalar ke sepanjang sufisiensi arteri iliofemoral
posterior paha, betis, hingga ke kaki. Nyeri
Selain itu, nyeri radikular isialgia dapat di-
terasa tajam dan kadang-kadang tumpang
jumpai pada sindrom piriformis. Hal ini dise-
tindih dengan nyeri bersifat tumpul. Perilaku

633
Buku Ajar Neurologi

babkan oleh kompresi saraf iskhiadikus yang membungkuk [bending], memutar ( twist-
mengalami dalam perjalanannya oleh otot. ing), mengangat beban {lifting), atau bahkan
Ciri khas dari sindrom ini adalah nyeri yang hanya dengan bangun dari kondisi berba-
muncul saat otot teregang melalui gerakan ring. Evaluasi keluhan NPB baru pertama kali
fleksi, aduksi, dan endorotasi sendi panggul. atau kambuh berulang penting untuk diketa-
hui. Setiap episode kambuh berulang biasan­
Spasme otot sekunder biasanya terjadi se-
ya memiliki intensitas nyeri yang lebih berat
bagai mekanisme proteksi nosiseptif akibat
disertai peningkatan gejala dari sebelumnya.
iritasi lokal pada struktur tulang belakang.
Kontraksi otot berkepanjangan dapat me- Setiap pasien NPB harus dievaluasi ada/ti-
nimbulkan nyeri lokal yang tumpul dan ter- dak tanda bahaya (red flags). Adanya tanda
asa kram. Pasien kadang-kadang merasakan bahaya mengarah kepada jenis NPB yang
spasme otot ini pada otot-otot sakrospinalis membutuhkan pemeriksaan penunjang le­
dan gluteal. bih lanjut serta pengobatan segera (Tabel 2].
Nyeri yang bers umber dari struktur-struk-
DIAGNOSIS
tur yang membentuk tulang belakang,
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
seperti otot, ligamentum, sendi faset, dan
baik dan fokus dapat mengarahkan NPB ke
diskus dapat beralih ke regio paha bawah,
dalam klasifikasi NPB, yang meliputi NPB
namun jarang ke area di bawah lutut. Nyeri
nonspesifik, NPB yang berkaitan dengan ra-
yang berkaitan dengan sendi sakroiliaka
dikulopati atau stenosis spinalis, dan NPB
seringkali beralih ke paha bawah, tetapi
yang berkaitan dengan penyebab spinal lain
juga dapat menjalar ke bawah lutut. Adanya
yang spesifik. Anamnesis harus disertai pe-
iritasi, benturan, atau kompresi saraf lum-
nilaian faktor risiko psikososial yang ber-
balis akan menyebabkan nyeri yang lebih
guna untuk memprediksi risiko terjadinya
dirasakan pada tungkai dibandingkan pada
NPB kronik dan kekambuhan yang menim-
punggung bawah. Nyeri yang berasal dari
bulkan disabilitas.
radiks atau saraf spinal L1-L3 akan bera-
Klinisi sebaiknya tidak melakukan peme­ diasi ke panggul dan atau paha bawah, se-
riksaan pencitraan atau tes diagnostik lain dangkan nyeri yang berasal dari L4-S1 akan
secara rutin pada pasien NPB nonspesifik. beradiasi di bawah lutut. Herniasi diskus
Pemeriksaan penunjang, seperti MRI, harus sentralis, subsentralis, atau lateralis dapat
sesuai dengan indikasi, misalnya terdapat mengenai saraf yang berbeda-beda pada
defisit neurologis berat dan progresif atau tingkat yang sama, yang dapat dinilai ber-
dicurigai ada kondisi serius yang mendasari dasarkan pemeriksaan neurologis terhadap
(underlying disease). ekstremitas bawah berupa kekuatan moto-
rik, sensorile, dan refleks (Tabel 3}.
Melalui anamnesis, klinisi mendapat data
mengenai pemicu terjadinya NPB, seperti

634
Nyeri Punggung Bawah

Tabel 2. Tanda Bahaya NPB Akut


Kemungkinan
Temuan Anamnesis Temuan Pem eriksaan Fisilt
Etiologi
Keganasan Strong: metastasis kanker ke tuiang Weak: nyeri vertebra, keterbatasan gerakan
Intermediate: penurunan berat badan yang atau range o f motion (ROM) tuiang belakang
tidak dapat dijelaskan
Weak: nyeri kanker meningkat atau tidak
berkurang dengan istirahat
Sindrom Kauda Strong: inkontinensia kandung kemih dan Strong: kelemahan motorik atau defisit sen-
Ekuina pencernaan, kehiiangan motorik atau sensorik sorik yang berat, hilangnya tonus sfingter
yang progresif anus, saddle anesthesia
Fraktur Strong: trauma signifikan yang berkaitan Weak: nyeri vertebra, keterbatasan gerakan
dengan usia* atau range o f motion (ROM) tuiang belakang
Intermediate: penggunaan steroid jangka
panjang
Weak: usia lebih dari 70 tahun, riwayat osteo­
porosis
Infeksi Strong: nyeri berat dan riwayat operasi verte­ Strong: demam, infeksi saluran kemih, ad­
bra lumbalis 1 tahun terakhir anya luka pada daerah tuiang belakang
Interm ediate: penggunaan obat intravena, Weak: nyeri vertebra, keterbatasan gerakan
kondisi imunosupresi, nyeri berat dan riwayat atau range o f motion (ROM) tuiang belakang
operasi vertebra lumbalis yang sudah lama
Weak: nyeri meningkat atau tidak berkurang
dengan istirahat
Satu atau lebih kriteria weak atau intermediate red flags membutuhkan observasi karena akan membahayakan pasien jika
diagnosis dengan etiologi yang cukup serius terlambat ditegakkan dalam waktu 4-6 jam. Adanya kriteria strong red flags
membutuhkan pemeriksaan penunjangsegera, kaiau perlu dikonsulkan ke subspesialis spine; *jatuh dari ketinggian atau
kecelakaan lalu lintas pada pasien usia muda, jatuh ringan, atau mengangkat beban berat pada pasien dengan osteoporo­
sis atau kemungkinan osteoporosis; NPB: nyeri punggung bawah.
Sumber: Cassaza BA. Am Fam Physician. 2012. h, 343-350,

Tabel 3. Pem eriksaan Neurologis Pasien dengan NPB


Saraf yang Defisit Mo- Hernias! Diskus
Defisit Sensorik Refleks
Terkena torik Sentralis Parasentralis Lateralis
L3 Fleksi panggul Paha bawah ante- Patela Diatas L2-L3 L2-L3 L3-L4
rior/medialis
L4 Ekstensi lutut Tungkai anterior/ Patela Diatas L3-L4 L3-L4 L4-L5
kaki medialis
L5 Dorsofleksi ibu Tungkai lateralis/ Medial Diatas L4-L5 L4-L5 L5-S1
jari kaki kaki dorsalis hamstring
SI Fleksi plantaris Tungkai posterior/ Tendon Diatas L5-S1 L5-S1 Tidak ada
kaki lateralis Achilles
NPB: nyeri punggung bawah
Sumber: Cassaza BA. Am Fam Physician. 2012. h. 343-50.

635
Buku Ajar Neurologi

Pemeriksaan fisik pada regio lumbosakral, ekstensi panggul dan fleksi lutut Hasil positif
pelvis, dan abdomen dapat memberikan pe- ditandai dengan nyeri yang menjalar ke ante­
tunjuk etiologi NPB. Beberapa pemeriksaan rior paha bawah, yang menunjukkan keterli-
fisik khusus dilakukan pada pasien NPB batan radiks atau saraf spinal L3.
(Gambar 8}. Pemeriksaan straight leg raise
Jika dicurigai adanya kondisi serius yang men-
test dilakukan dalam posisi terlentang, kedua
dasari NPB, maka MRI merupakan modalitas
tungkai diangkat, dengan kedua lutut dalam
terpilih untuk sebagian besar kasus (Gambar
posisi ekstensi. Basil tes yang positif ditandai
9). CT scan merupakan alternatif jika terdapat
jika terdapat nyeri yang memjalar ke bawah
kontraindikasi atau tidak tersedia fasilitas
lutut, yang menunjukkan sumber nyeri ber-
MRI. Hasil MRI atau CT scan harus disesuai-
asal dari radiks atau saraf spinal L4-S1. Selain
kan dengan Minis pasien, mengingat kemung-
itu, reverse straight leg raise test dikerjakan
Idnan hasil tersebut positif palsu yang sema-
dalam posisi pasien tengkurap, dilakukan
Idn sering sesuai dengan meningkatnya usia.

636
Nyeri Punggung Bawah

Gambar 9. MRI Pasien dengan Gambaran Massa Intramedula Setinggi Vertebra L4-5 (panah)
[Dok: Pribadi)

Pemeriksaan laboratorium seperti peme- kronik. Pada prinsipnya penatalaksanaan


riksaan darah lengkap, laju endap darah dan untuk NPB dibagi menjadi tiga, yaitu pengo­
C-reactive protein berguna jika dicurigai in- batan penyakit yang mendasarinya, tindak-
feksi atau adanya neoplasma di sumsum an operasi, dan terapi konservatif.
tulang. Pemeriksaan ini paling sensitif pada
1. Pada NPB yang berasal dari organ ab­
kasus-kasus infeksi spinal karena pada ka-
domen dan bagian posterior abdomen,
sus tersebut biasanya tidak disertai demam
serta NPB aldbat metastasis spinal, maka
dan pemeriksaan darah lengkap menunjuk-
pengobatan ditujukan pada pengobatan
kan hasil yang normal. Diperlukan pemerik­
penyakit yang mendasari tersebut.
saan MRI dengan kontras serta biopsi pada
kasus-kasus yang memiliki keterbatasan 2. Pada NPB yang dapat disembuhkan de­
dalam pemeriksaan laboratorium. ngan operasi, tentukan indikasi dan un-
tung rugi tindakan operasi pada awal
TATA LAKSANA awitan NPB atau setelah terapi konser­
Tujuan pengobatan NPB akut adalah untuk vatif terlebih dahulu.
mengurangi nyeri, mengembalikan pasien 3. Pada NPB tanpa indikasi operasi:
ke dalam aktivitas sehari-hari, menurunkan a. Istirahat; membatasi aktivitas fisik,
hilangnya waktu kerja, dan mengembang- atau menggunakan korset
kan strategi untuk mengatasi nyeri melalui
b. Terapi fisik; pada prinsipnya dilaku-
edukasi. Optimalisasi pengobatan nyeri
kan termoterapi, namun juga dengan
akut dapat mencegah berkembang menjadi
traksi. Terapi fisik ini harus didahului

637
Buku Ajar Neurologi

dengan penilaian yang tepat oleh ah- 1. Pada kunjungan pertama pasien
linya. a. Edukasi pasien
c. Terapi olah raga: ® Meyakinkan pasien bahwa progno­
® Untuk meningkatkan kekuatan otot sis nyeri punggung bawah seringkali
dan menghasilkan korset alami dari baik, dengan sebagian besar kasus hi-
otot-otot abdomen dan otot-otot lang dengan sendirinya tanpa banyak
punggung intervensi.

® Untuk melakukan latihan peregangan ® Memberi saran kepada pasien untuk


dan relaksasi tetap aktif, sebisa mungkin hindari
bed rest dan kembali ke aktivitas nor­
• Untuk meningkatkan kekuatan tulang
mal secepat mungkin.
dengan memberikan beban mekanik
pada tulang-tulang ® Memberi saran kepada pasien untuk
menghindari gerakan memutar ( twist­
d. Orthoses; sebagai imobilisasi tulang be- ing) dan membungkuk [bending] teru-
lakang serta mengkoreksi kifosis dan tama saat mengangkat barang.
skoliosis.
Tujuan dari edukasi kepada pasien
e. Terapi medikamentosa: adalah untuk mengurangi kekhawatiran
® Terapi kuratif dengan antibiotik, an­ terhadap nyeri punggung bawah yang
tifungal atau obat anti tuberkulosis dialaminya serta mengajarkan cara
untuk kasus-kasus infeksi untuk menghindari nyeri bertambah
® Terapi simptomatik dengan obat- berat atau timbul kembali.
obatan antiinflamasi dan analgetik b. Mulai terapi dengan obat antiinflamasi
© Menghilangkan nyeri dengan blok lo- nonsteroid (OAINS) atau asetaminofen.
kal atau blok saraf OAINS merupakan obat lini pertama un­
f. Psikoterapi; konseling untuk nyeri pung­ tuk terapi NPB.
gung bawah kronik dan nyeri punggung c. Pertimbangkan pemberian pelemas otot
bawah psikogenik berdasarkan keparahan nyeri, misalnya
g. Panduan untuk menjalankan kehidupan diazepam, siklobenzaprin, tizanidin, dan
sehari-hari: panduan gaya hidup dan metaksalon.
kerja yang tidak baik yang dapat mem- d. Pertimbangkan terapi opioid jangka
pengaruhi timbulnya atau memperberat pendek jika intensitas nyeri berat.
nyeri punggung bawah.
e. Pertimbangkan memberikan rujukan
Oleh karena sebagian besar pasien untuk terapi fisik jika ini bukan meru­
dalam praktik sehari-hari tergolong NPB pakan episode pertama. Terapi fisik telah
nonspesifik, maka American Family Phy­ dikatakan dapat menurunkan nyeri, dis-
sician mengemukakan tata laksananya abilitas, dan risiko terjadinya kekambuh-
sebagai berikut: an setelah episode pertama NPB.

638
Nyeri Punggung Bawah

2. Pada kunjungan kedua pasien (2 hingga 4 c. Neuropatik


minggu setelah kunjungan pertama, jika d. Campuran nosiseptif dan neuropatik
pasien belum ada perbaikan yang ber-
e. Breakthrough pain
makna).
a. Pertimbangkan mengganti ke OAINS jawaban: A
lain. 3. Apa saja tanda bahaya yang belum dieks-
b. Pertimbangkan memberikan rujukan plorasi pada kasus ini?
untuk terapi fisik jika belum dilaku- a. Demam
kan pada kunjungan pertama. b. Penurunan berat badan
c. Pertimbangkan untuk dirujuk ke sub- c. Riwayat keganasan
spesialis tulang belakang jika intensi- d. Riwayat infeksi tuberkulosis
tas nyeri hebat atau membatasi akti-
e. Semua benar
vitas sehari-hari.
Jawaban: E
CONTOH KASUS 4. Apa saja tata laksana medikamentosa
Seorang lald-lald 28 tahun datang ke ldinik yang dapat diberikan pada kasus ini?
dengan keluhan nyeri pinggang bawah sejak 5
a. Parasetamol
hari lalu. Nyeri dirasakan setelah pasien men-
gangkat galon air. Karakteristik nyeri seperti b. Ibuprofen
tertekan, hilang timbul, tidak menjalar, dan in- c. Diazepam
tensitas ringan sedang. Nyeri memberat saat d. Hanya a dan b yang benar
membungkuk, berubah posisi dari berbaring
e. Pilihan a, b, dan c benar
ke duduk/berdiri. Nyeri membaik saat istirahat
dan berbaring. Pemeriksaan fisik menunjuk- Jawaban: E
kanspasme ototdan ada trigger point pada otot 5. Enam bulan berikutnya, pasien datang lagi
paravertebral lumbal tanpa defisit neurologis. ke klinik dengan keluhan nyeri pinggang
yang lebih berat dari sebelumnya. Pasien
Pertanyaan
memiliki riwayat demam, batuk kronik,
1. Apakah etiologi NPB yang paling mung-
dan penurunan berat badan. Pemeriksaan
kin pada pasien ini?
fisik terdapat gibbus, deformitas kifo-
a. Tumor
sis pada segmen torakal, dan nyeri tekan
b. Trauma vertebra torakal 11-12. Apakah diagnosis
c. Infeksi/inflamasi yang paling mungkin saat ini?
d. Degeneratif a. Mielitis transversa
e. Idiopatik b. Spondilitis TB
Jawaban: B c. Hernia nukleus pulposus
2. Berdasarkan data kasus, tergolong apa d. Kompresi medula spinalis akibat me­
nyeri yang dialami pasien? tastasis
a. Nosiseptif, akut e. Sindrom konus medularis
b. Nosiseptif, kronik Jawaban: B

639
Buku Ajar Neurologi

D A F T A R P U S TA K A 13. Chanda ML, Alvin MD, Schinitzer TJ, Apkarian AV.


Pain characteristic differences between subacute
1. Chou R. Low back pain (chronic]. Clin Evid Hand­
and chronic back pain. J Pain. 2011;12(7]:792-800.
book. 2011;84:403-5.
14. Wholistic Physical Therapy. Anatomy oflow back
2. Kurniawan M, Suharjanti I, Pinzon RT. Acuan pan-
pain. Wholistic Physical Therapy [serial online],
duan praktek klinis neurologi. Jakarta: Perhimpunan
[diunduh 14 Januari 2017]. Tersedia dari: Mid-
Dolcter Spesialis Saraf Indonesia;2016; h. 101-5.
townmfr.com.
3. MIjs J, Apeldoorn A, Hallegraeff H, Clark j, Msc,
15. Dafhy N. Chapter 3: Anatomy of the spinal cord. Neu­
Smeets R, Malfliet A. Low back pain: guidelines
roscience online [serial online]. 1997 [diunduh 14
for the clinical classification of predominant
Januari 2017]. Tersedia dari: Neuroscience Online.
neuropathic, nociceptive, or central sensitization
16. Phillobeukes Physiotherapy Pathophysiology of
pain. Pain Physician. 2015;18(3):E333-46,
chronic back pain [serial online], [diunduh 14 Janu­
4. Meliala A. Nyeri punggung bawah: asesmen NPB.
ari 2017]. Tersedia dari: Phillobeukes Physiotherapy.
Jakarta: PERDOSS1; 2003.
17. Faure M, Huyskens J, van Goethem JWM, Venster-
5. Meliawan S. Diagnosis dan tatalaksana kegawat-
mans C, Van Den Hauwe L, de Beider F. Radiologic
daruratan tulang belakang: diagnosis dan tatal­
imaging of facet joint. Antwerp University Hospi­
aksana HNP Lumbal, Jakarta: Sagung Seto; 2009.
tal & University of Antwerp [serial online], [di­
6. Chou R, Huffman LH, Guideline for the evalua­
unduh 14 Januari 2017]. Tersedia dari: Antwerp
tion and management of low back pain: evidence
University Hospital & University of Antwerp.
review. American Pain Society [serial online],
18. PhysioAdvisor.com, Ligamentumt of the spine.
[diunduh 14Januari 2017].Tersedia dari: Ameri-
PhysioAdvisor.com [serial online], [diunduh 14
canpainsociety.org.
Januari 2017], Tersedia dari: PhysioAdvisor.com.
7. Hoy D, March L, Brooks P, Blyth F, Woolf A, Bain
19. Healthline Medical Team. Lower back and super­
C, dkk. The global burden of low back pain: es­
ficial muscles. Healthline Media [serial online].
timates from the global burden of disease 2010
2015 [diunduh 14 Januari 2017]. Tersedia dari:
study. Ann Rheum Dis, 2014;73(6):968-74.
Healthline.
8. Delitto A, George SZ, van Dillen L, Whitman J, Sowa
20. Watson JM. Tuberculosis in Britain to­
G, Shekelle P. Low back pain: clinical practice guide­
day BMJ. 1993;306 (6872]:221-2.
lines linked to the international classification offunc-
21. Nakamura T. Low back pain accompanying os­
tioning, disability, and health from the orthopaedic
teoporosis. JMAJ. 2003;46(10]:445-51.
section of the american physical therapy association.
22. Raj PP. Intervertebral disc: anatomy-physiol­
J Orthop Sports PhysTher. 2012;42(4]:Al-57.
ogy-pathophysiology-treatment. Pain Pract.
9. Erlich GE. Low Back Pain. Bulletin of the World
2008;8(l]:18-44.
Health Organization. 2003;81(9}:671-6.
23. Millea PJ, Holloway RL. Treating Fibromyal­
10. Levin KH. Low back pain. The Cleveland Clinic
gia, Am Fam Physician. 2000;62(7):1575-82.
Foundation: Center for Continuing Education
24. Cassaza BA. Diagnosis and treatment of acute low
[serial online]. 2010 [diunduh 14 Januari 2017].
back pain. Am Fam Physician, 2012;85(4]:343-350.
Tersedia dari: Cleveland Clinic Center for Con­
25. BogdukN. Management of chronic low back pain.
tinuing Education.
MJA. 2004;180(2}:79-83.
11. Nijs J, Torres-Cueco R, van Wilgen CP, Girbes EL,
26. Chou R, Snow V, Casey D, Cross JT, Shekelle P, Ow­
Struyf F, Roussel N. Applying modern pain neuro­
ens SK. Diagnosis and treatment oflow back pain:
science in clinical practice: criteria for the classi­
a joint clinical practice guideline from the Ameri­
fication of central sensitization pain. Pain Physi­
can College of Physicians and the American Pain
cian. 2014;17(5):447-57.
Society. Ann Intern Med. 2007;147[7J: 478-91.
12. Hayashi Y. Classification, diagnosis, and treat­
27. Cohen SP, Agroff CE, Carragee EJ. Management of
ment of low back pain. JMAJ. 2004;47(5J:227-33.
low back pain. BMJ. 2008;337:a2718.

640
NYERI RANKER

H enry R iyan to S ofyan , T iara A ninditha

PENDAHULUAN intervensi, sedangkan pada yang kronik


Nyeri kanker merupakan kompiikasi berhubungan langsung dengan kanker itu
kanker yang paling sering ditemui pada sendiri atau terapi antineoplastik.
pasien kanker. Frekuensinya sekitar 30-
EPIDEMIOLOGI
50% pada pasien yang sedang menjalani
WHO World Cancer Report 2014
terapi dan meningkat hingga 70-90% pada
menunjukkan angka insidens kejadian
kanker tahap lanjut. Oleh karena sifat
diagnosis kanker baru dan angka kematian
nyerinya yang bisa memberat secara terus
akibat kanker yang tinggi dan diperkirakan
menerus dalam jangka waktu yang lama,
meningkat sebanyak 70% dalam dua dekade
maka pasien dapat mengalami gangguan
ke depan. Sebanyak 70% pasien kanker
tidur dan nafsu makan hingga depresi. Tak
dapat mengeluhkan keluhan nyeri, yaitu 30-
heran bahwa nyeri kanker menjadi sangat
50% pada suatu saat dalam terapi hingga
ditakuti oleh penderitanya dan merupakan
90% pada stadium kanker lanjut.
salah satu target pada terapi kanker secara
keseluruhan. National Comprehensive
PATOFISIOLOGI
Cancer Network [NCCN] dalam Panduan
Pada awalnya, nyeri kanker dapat berhubung­
Nyeri Kanker 2016 menyatakan bahwa
an dengan terapi kanker itu sendiri, misalnya
kesintasan penderita berhubungan erat
prosedur bedah terkait biopsi diagnostik
dengan manajemen gejala kanker yang baik,
atau terapi, efek samping obat kemoterapi,
termasuk manajemen nyeri kanker, dalam
dan terapi radiasi. Seiring perjalanan penya-
meningkatkan kualitas hidup.
kit, nyeri kanker akan semakin intens. Hal ini
Keluhan nyeri ini dapat dirasakan dalam disebabkan oleh kerusakan nosiseptor akibat
setiap fase perkembangan kanker [Gambar pertumbuhan tumor. Selain itu, nosiseptor
1), mulai dari fase penegakan diagnosis juga menjadi tersensitisasi oleh penglepasan
ataupun staging, fase kemoterapi, fase faktor-faktor dari sel kanker dan sel stromal,
pembedahan, fase remisi, fase relaps, misalnya nerve growth factor. Bila perjalanan
ataupun fase kesintasan {survivorship}. penyakit kanker terus berlanjut, maka terjadi
Sindrom nyeri kanker dapat dibagi secara proses pembentukan nerve sprouting ektopik
luas menjadi tipe akut dan kronik. Sindrom dan neuroma. Hal ini adalah salah satu faktor
nyeri kanker akut biasanya ditemukan yang mendasari terjadinya nyeri sontak pada
dalam proses diagnostik atau terapi pasien kanker [Gambar 1].

641
Buku Ajar Neurologi

Evolusi nyeri Ranker seiring perjalanan transient receptor potential vanilloid 1


penyakitnya ini tidak lepas dari patofisiologi (TRPV1) atau reseptor kapsaisin, Sensasi
dari nyeri kanker. Adapun patofisiologi nyeri sensorik yang ditimbulkan adalah rasa
kanker terdiri dari beberapa proses, yaitu: panas di daerah jaringan tumor.

1. Faktor-faktor Sel Tumor Massa kanker memiliki komposisi sel-sel


Sel tumor mensekresi berbagai faktor yang inflamasi dan pembuluh darah yang sering
diperlukan untuk pertumbuhannya, seper- berdekatan dengan nosiseptor. Sel kanker
ti bradikinin, kanabinoid, endotelin, inter- dan sel inflamasi tersebut melepaskan
leukin-6 (IL-6], granulocyte-macrophage berbagai sitokin, seperti adenosine
colony-stimulating factor (GM-CSF), nerve 5$-triphosphate (ATP], bradikinin, H+, nerve
growth factors (NGF], protease, dan tumor growth facto r (NGF), prostaglandin, dan
necrosis factor-a (TNF-a], yang merang- vascular endothelial growth facto r (VEGF]
sang reseptor nyeri (Gambar 2], yang bisa mengeksitasi atau sensitisasi
nosiseptor. Stimulus nyeri tersebut
2. Asidosis Jaringan Terinduksi Sel Tumor
dihantarkan oleh saraf perifer melalui
Sel kanker secara umum mempunyai
ganglion radiks dorsalis menuju medula
pH yang rendah [6,8] jika dibandingkan
spinalis dan pusat yang lebih tinggi di
dengan sel normal (pH 7,2] akibat sekresi
otak. Aktivasi nosiseptor mengakibatkan
asam laktat hasil glikolisis anaerob.
penglepasan n euro transmiter, antara lain
Jaringan sekitar tumor dengan pH rendah
calcitonin gene-related peptide (CRGP],
ini akan mengaktifkan ujung serabut
endotelin, histamin, glutamat, dan substansi
saraf sensori bebas dan mengaktifkan

Gambar 1. Model Proses Evolusi Intensitas Nyeri pada Kanker


Dimodifikasi dari: Mantyh PW. Wall & Melzack's textbook of pain. 2013. h. 1029-38.

642
Nyeri Ranker

P. Selain itu, terjadi juga penglepasan ningkatkan resoprsi tulang. Peningkatan


prostaglandin dari ujung terminal saraf osteoklas yang matang juga menyebab-
sensorik, sehingga dapat menginduksi kan tulang melepaskan insulin growth
ekstravasasi plasma, aktivasi sel-sel imun, facto r (IGF}-1 dan tumor growth facto r
dan vasodilatasi. (TGF)-(3 yang akan mengaktifkan jalur
kaskade seperti sebelumnya, sehingga
3. Instabilitas Mekanik Skeletal
terjadi proses resorpsi tulang terus-
Terinduksi Sel Tumor
menerus (Gambar 3).
Tulang merupakan daerah yang sering
mengalami metastasis. Untuk menyiap- Sel kanker juga menghasilkan sitokin,
kan tempat tumbuhnya, sel kanker merang- seperti IL-6, IL-11, prostaglandin
sang osteoblas mengekspresikan activator E2, dan tumor necrosis fa cto r alpha
o f nuclear facto r kappa-B (RANK) dan os- (TNF-a), yang berperan menginduksi
teoprotegerin (OPG}. RANKL kemudian pembentukan osteoklas dan supresi
berikatan dengan ligannya (RANKL), osteoblas. Sementara prostaglandin E2
sehingga terjadi pematangan osteoklas. meningkatkan pembentukan osteoklas
Interaksi OPG dengan RANKL akan me- dengan menambah jumlah produksi

643
Buku Ajar Neurologi

RANKL. Aktivasi osteoldas tersebut edema pada jaringan sekitarnya yang


menyebabkan destruksi tulang, sehingga menimbulkan nyeri hebat saat bergerak
mengaktifkan serabut sarafbebas dalam atau menyangga beban dan instabilitas
tulang dan terjadi penekanan serta mekanik tulang.

Gambar 3. Mekanisme Nyeri pada Metastasis Tulang


OPG: osteoprotegerin; OPGL: OPG-ligand; RANK: receptor activator of nuclearfactor kappa-B; RANKL; RANK-ligand

4. Kerusakan Sel Saraf Akibat Tumor


mentasi sel saraf. Selain itu, sel saraf ini
dan Nyeri Neuropatik
juga dapat mengalami kerusakan akibat
Sel tumor dan sel stromal dapat mengin-
kemoterapi, pembedahan, atau radiasi.
filtrasi jaringan ikat di sekitarnya yang
Pada metastasis ke tulang vertebra dapat
mengandung serabut saraf bebas. Sel
terjadi fraktur kompresi yang mengaki-
abnormal ini akan menhancurkan ba-
batkan kerusakan pedikel dan menekan
gian distal dari serabut saraf sensoris
radiks, sehingga menimbulkan nyeri ra-
bebas, dan sejalan dengan waktu akan
dikular.
menyebabkan diskontinuitas dan frag-

644
Nyeri Kanker

| 5. Formasi Neuroma dan Pertumbuhan tusuk, atau tertekan (pressure-like). Nyeri


Saraf Terinduksi Sel Tumor nosiseptif viseral bersifat difus dan sulit
Sel tumor dan sel stromal dapat dilokalisasi. Bila nyeri ini terjadi karena
menginduksi pertumbuhan abnormal obstruksi suatu rongga tubuh, maka
serabut saraf bebas dan formasi neuroma. keluhannya dapat berupa kram atau kolik.
Hal ini menimbulkan perubahan fenotip Nyeri neuropatik dideskripsikan sebagai
sensoris dan serabut saraf simpatis, rasa terbakar, kesemutan, atau seperti
termasuk ketidakseimbangan saluran kesetrum listrik (shock-like ).
ion Natrium, sehingga menyebabkan
Distribusi nyeri kanker biasanya lebih dari
eksitasi spontan dan cetusan ektopik
satu tempat, sehingga perlu ditentukan
terkait pergerakan, yang dirasakan
antara fokal, multifokal, dan generalisata.
sebagai rasa nyeri.
Hal ini berhubungan dengan terapi yang
I 6. Proses Sensitisasi Sentral diambil, yaitu blok saraf, radioterapi, atau
Pada nyeri kanker terjadi reorganisasi operasi bedah. Nyeri terdistribusi fokal bila
struktur yang signifikan di susunan terjadi hanya pada satu tempat, biasanya di
saraf tepi dan pusat akibat perubahan tempat lesi. Nyeri fokal ini perlu dibedakan
komunikasi dari struktur saraf itu dengan nyeri rujuk, yaitu sumber nyeri
sendiri. Sebagai contoh, mediator kimia berasal dari tempat yang berbeda dengan lesi
yang dilepas oleh sel glia teraktifasi patologisnya, seperti nyeri daerah nasofaring
nyeri terus menerus dapat mengontrol yang dapat terasa di puncak kepala.
amplitudo respons sinaptik dengan
Evaluasi waktu kejadian nyeri dapat
mengubah tingkat ekspresi reseptor
menunjukkan nyeri tergolong akut atau
N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan
kronik. Pasien dengan nyeri akut biasanya
a lp h a -a m in o -3 -h y d r o x y -5 -m e thy 1-4-
disertai perilaku nyeri yang nyata, seperti
isoxazolepropionic acid (AMPA), serta
mengerang, meringis, dan cenderung
fosforilasi keduanya.
tidak mau bergerak. Selain itu, terdapat
rasa cemas, berkeringat (diaforesis), dan
GEJALA K L IN IS
berdebar-debar. Berbeda dengan nyeri akut,
: Gejala nyeri yang dialami oleh pasien harus
pasien dengan nyeri kanker kronik biasanya
dipahami berdasarkan karakteristik nyeri,
mengalami gangguan afektif, misalnya
:seperti intensitas, kualitas, distribusi, dan
depresi. Selain itu, pasien terlihat kurus,
hubungan waktu antar kejadian nyeri
nafsu makan menurun, dan gangguan tidur.
(temporal relationship). Evaluasi intensitas
nyeri merupakan hal penting karena Selain nyeri akut dan kronik terdapat pula
menentukan jenis terapi. nyeri sontak. Nyeri ini dirasa tajam dan
hebat, dengan pola eksaserbasi transien
Kualitas nyeri menyiratkan patofisiologi
di antara nyeri dasar yang terkontrol, baik
yang mendasarinya (Tabel 1). Nyeri
pada nyeri kanker akut maupun kronik.
nosiseptif somatik biasanya dapat
Nyeri sontak dapat ditimbulkan pada
dilokalisasi, terasa tajam, seperti ditusuk-
keadaan gerak disadari pasien (seperti pada

645
Buku Ajar Neurologi

pergerakan, batuk, berkemih, dan defekasi) Pada nyeri akibat metastasis tulang vertebra,
maupun pada gerak yang tidak disadari nyeri biasanya dimulai dengan nyeri lokal
(gerakan motilitas usus). Nyeri sontak yang dikatakan pasien sebagai fpegal' atau
ini dapat berdurasi dalam hitungan detik rasa tidak nyaman di daerah lesi. Selanjutnya
ataupun jam (1-240 menit]. jika terjadi penekanan pada radiks akan
muncul nyeri radikular yang menjalar dari
Nyeri sontak harus dapat dibedakan dengan
punggung sesuai dengan daerah radiks yang
eksaserbasi rasa nyeri sebagai akibat dari
terkena. Pada nyeri di daerah torakal, nyeri
kegagalan dosis terapi analgesia sesuai
seperti terikat atau keram ke perut yang
dengan waktu paruh obat tersebut dalam
sering disalah artikan oleh pasien ataupun
tubuh. Untuk membedakannya, dapat
klinisi lain sebagai nyeri abdomen. Pada
dilakukan pencatatan rasa nyeri (buku harian
pemeriksaan fisik biasanya akan ditemukan
nyeri] untuk menentukan bahwa pola yang
nyeri tekan yang menunjukkan adanya
terjadi adalah akibat kegagalan dosis terapi
komponen nyeri nosiseptif bersamaan
analgesia terkait jadwal pemberian, sehingga
dengan nyeri neuropatik.
diperlukan modifikasi pemberian jadwal.

Tabel 1. Terminologi Nyeri Ranker


________ fenis Nyeri_______________________________________ Terminologi
Nyeri dasar Keluhan nyeri yang selalu muncui dan dideskripsikan sebagai kontinus,
[baseline pain) ajek, atau konstan. Nyeri ini bisa hilang secara komplit atau sebagian dengan
manajemen analgesik.
Nyeri sontak Keluhan nyeri yangdirasakan secara transien eksaserbasi/tiba-tiba muncul pada
[breakthrough pain) keadaan nyeri dasar yang sudah relatif terkontrol dengan manajemen analgesik
Nyeri ini dapat merupakan hasil dari eksaserbasi akut nyeri dasar atau nyeri
yang berasal dari penyebab yang berbeda dari nyeri dasar, Nyeri sontak dapat
diprovokasi atau spontan, dapat diprediksi atau tidak dapat diprediksi. Nyeri
sontak susah dibedakan dari nyeri dasar jika nyeri dasar tidak terkontrol,
Nyeri dasar terkontrol Nyeri dasar yang sudah terkontrol dengan jadwal pemberian obat (dengan
[controlled baseline pain) jadwal jam tertentu), baik obat opioid, obat adjuvan, analgesik non-opioid atau
dengan intervensi nyeri lainnya.
Nyeri somatik Nyeri yang berasal, atau dipikirkan dari, struktur kulit, jaringan subkutaneus,
jaringan mukosa (oral, nasal, auditori, genital, anal) atau struktur
muskuloskeletal.
Nyeri viseral Nyeri yang berasal, atau dipikirkan dari, organ sirkulasi dalam, organ
pencernaan, organ urinaria, organ pernafasan, dan organ dalam lainnya.
Nyeri neuropatik Nyeri yang berasal dari kerusakan atau disfungsi dari struktur susunan saraf
pusat atau susunan saraf tepi/perifer.
Nyeri campur Nyeri yang timbul sebagai gabungan dari nyeri somatik, nyeri viseral atau nyeri
[mixed pain) neuropatik.
Catatan tambahan • Nyeri sontak dapat berupa nyeri somatik, viseral, neuropatik atau campuran.
e Nyeri dasar dapat mempunyai klasifikasi yang sama ataupun berbeda,
9 Pasien dapat mempunyai satu jenis nyeri dasar dan beberapa sindrom nyeri
sontak. ____ _
Sumber: Hagen NA, dkk. Current Pain and Headache Reports; 2008, h. 241-8.

646
Nyeri Kanker

DIAGNOSIS dari penyakit kanker atau terapinya


Seperti halnya penyakit lain, diagnosis dikumpulkan ke dalam suatu sindrom, yaitu
nyeri kanker ditegakkan melalui anamnesis, sindrom nyeri kanker.
pemeriksaan fisik, dan penunjang untuk
Sindrom nyeri kanker dapat digolongkan ke
mendapatkan karakteristik nyeri dan
dalam akut dan kronik (Tabel 2). Sindrom
konfirmasi diagnosis nyeri kanker. Untuk
nyeri kanker akut biasanya berhubungan
lebih memudahkan tata laksana, data
dengan intervensi diagnostik atau terapeutik,
karakteristik nyeri dan temuan fisik
sedangkan kronik biasanya disebabkan oleh
yang merupakan konsekuensi spesifik
perkembangan tumor secara langsung.

Tabel 3. Klasifikasi dan Contoh-contoh Sindrom Nyeri Kanker


Akut Kronik
Nyeri akut terkait intervensi diagnostik dan terapetik Nyeri tulang
® Nyeri akut terkait intervensi diagnostik ® Sindrom vertebra
o Nyeri kepala pascapungsi lumbal ® Kompresi tulang punggung dan epidural
o Nyeri pascabiopsi transtorakal ® Sindrom nyeri tulang pelvis dan sendi panggul
o Nyeri pascabiopsi transrekta) Artritis
o Nyeri mammografi « Hypertrophic pulmonary osteoarthropathy
o Nyeri akut terkait infeksi ® Poliartritis terkait kanker
« Nyeri akut terkait intervensi terapetik Nyeri otot
o Nyeri pascaoperasi » Kram otot
o Nyeri terkait ablasi tumor radiofrekuensi ® Tumor otot skeletal
o Nyeri terkait cryosurgery Nyeri kepala dan wajah
® Nyeri akut terkait teknik analgesi Tumor intraserebral
o Nyeri infiltrasi anestesi lokal ® Metastasis leptomeningeal
o Nyeri injeksi opioid ® Metastasis basis kranii
o Nyeri kepala opioid ® Neuralgia kranialis
o Spinal opioid hyperalgesia syndrome Nyeri ® Sindrom nyeri mata dan telinga
infeksi spinal Nyeri neuropatik sa ra f perifer
o Nyeri akut terkait terapi antikanker ® Radikulopati
o Nyeri akut terkait radioterapi ® Neuralgia pascaherpetik
Nyeri akut terkait infeksi (neuralgia herpetik) ® Pleksopati brakialis
Nyeri altut terkait vaskular ® Pleltsopati lumbosakralis
® Trombosis vena dalam ekstrimitas atas dan/ atau ® Mononeuropati
bawah ® Neuropati perifer
® Obstruksi vena kava superior Sindrom nyeri terkait tum or organ dalam
® Trombosis vena mesenterika akut Nyeri kronik terkait terapi kanker
® Tromboflebitis superfisial ® Sindrom nyeri pascakemoterapi
® Nyeri kronik terkait terapi hormonal
® Nyeri kronik terkait terapi bisfosfonat
® Sindrom nyeri kronik pascaoperasi
« Sindrom nyeri kronik pascaradiasi
Sumber: Cherny NI. Wall & Meizack's textbook of pain. 2013, h. 1041-60.

647
Buku Ajar Neurologi

Menurut International Association fo r the tiap kali pasien mengeluhkan nyeri, maka
Study o f Pain (IASP), suatu nyeri dapat kelima proses ini harus dijalankan secara
dikatakan nyeri kronik jika dirasakan ada berurutan.
nyeri yang melewati batas waktu normal
1. Penilaian Nyeri
dari fase penyembuhan jaringan, bisa lebih
Walaupun prevalensinya tinggi, tidak
dari 3 atau 6 bulan. Pada nyeri kanker,
semua pasien mengakui dalam keadaan
lebih dari 3 bulan ditentukan sebagai
nyeri. Hal ini dapat disebabkan oleh karena
nyeri kronik. Pada kenyataannya, banyak
pasien merasa wajar penderita kanker
sindrom nyeri kanker dikategorikan sebagai
mengalami nyeri, atau karena pasien
kronik walaupun belum melewati fase
takut mendapat penambahan obat-obatan
penyembuhan jaringan.
disamping obat-obat utama yang sudah
diterimanya. Jadi nyeri harus ditanyakan
TATA LAKSANA
secara khusus atau diperkirakan dari
Tata laksana nyeri kanker berdasarkan WHO
besarnya massa, adanya daerah yang
diawali dengan penilaian aspek penyakit
ulkus, atau pada pemeriksaan penunjang
kanker itu sendiri dan aspek nyeri yang
tampak gambaran kerusakan tulang atau
dirasakan oleh pasien. Dengan kedua jenis
jaringan saraf di sekitarnya. Demikian pula
penilaianini,dapatdiidentifikasikarakteristik
pada pasien dengan penurunan kesadaran,
dan etiologi nyeri yang dihubungkan dengan
nyeri dapat berupa menyeringai di wajah
kondisi penyakit kankernya. Proses ini
atau gelisah.
berlanjut dengan penentuan target yang
realistis dan modalitas terapi nyeri yang 2. Analisis Nyeri
akan diimplementasikan pada pasien, yaitu: a. Derajat beratnya nyeri: ditentukan
termasuk nyeri ringan, sedang,
1. Terapi simtomatis dan suportif: berupa a-
atau berat Skala yang paling umum
nalgesik beserta adjuvannya, terapi nonfar-
digunakan adalah Visual Analog Scale
makologis (psikososial dan spiritual) atau
(VAS) atau Numeric Rating Scale
radioterapi.
(NRS) untuk pasien yang sadar dan
2. Terapi definitif, dengan menghilangkan kooperatif. Secara kuantitatif, skala
dan mengecilkan ukuran massa tumor nyeri berdasarkan NRS dari 0 (tidak
sebagai sumber nyeri; terutama berupa nyeri) hingga 10 (sangat nyeri). Nyeri
reseksi tumor, atau menggunakan dinyatakan sebagai nyeri ringan jika
kemoterapi dan radioterapi. memiliki nilai NRS 1-3, nyeri sedang
(NRS 4-6), dan nyeri berat (7-10).
Pada prinsipnya, proses tata laksana nyeri
Pada pasien yang tidak kooperatif atau
secara umum terdiri dari 5 tahapan utama,
tidak sadar dapat digunakan Face, Legs
yaitu penilaian (assessment), analisis karak-
Activity, Cry, Consolability (FLACC) Scale.
teristik nyeri, terapi, evaluasi terapi, dan
dokumentasi. Setiap tahapan dibuat ber- b. Tipe nyeri: nyerineuropatik, nosiseptif,
kesinambungan dan berulang-ulang sesuai atau nyeri campuran ( mixed pain).
kondisi pasien. Dengan demikian, bila se­ c. Durasi: akut, kroninyek, atau nyeri

648
Nyeri Kanker

sontak. tidakmahal dan 70-90% efektif.


d. Lokasi: lokal, atau radikular (jika 5. Dokumentasi
menjalar sesuai dengan persarafan dari Kesemua proses harus didokumentasi-
sumber nyeri ke area lain) kan agar memudahkan proses evaluasi,
3. Evaluasi terutama jika nyeri sulit ditangani atau
Pasien yang telah ditentukan target terapi adanya nyeri sontak yang dosis obatnya
dan mendapatkan terapi nyeri harus dihitung berdasarkan dosis harian, serta
dievaluasi dan dipantau keberhasilannya. pada titrasi opioid dari parenteral ke oral.
Evaluasi ini tergantung deraj at nyerinya; Tata laksana tersebut juga harus masuk
pada nyeri ringan dipantau setiap 8 jam, dalam 5 prinsip tata laksana nyeri WHO,
nyeri sedang setiap 2 jam, dan nyeri yaitu:
berat setiap 1 jam. Targetnya adalah
pengurangan nyeri hingga 30% dan 1. Sesuai jalur mulut
perbaikan fungsional. Jika nyeri belum Administrasi obat secara oral nyaman,
berkurangatau muncul nyeri baru, maka non-invasif, dan dapat ditoleransi den­
harus dilakukan penilaian ulang dengan gan baik.
proses yang sama seperti sebelumnya. 2. Sesuai jam pemberian obat
Analgesik yang diperlukan ditaruh
4. Terapi
berdasarkan waktu paruh obat, diper­
Pemberian terapi simptomatis nyeri
lukan untuk menjaga kadar terapeutik
dengan menggunakan WHO stepladder
obattetap konstan dalam darah.
(Gambar 4) mengacu kepada skala nyeri:
nyeri ringan pada anak tangga pertama, 3. Sesuai WHO stepladder
nyeri sedang merupakan anak tangga 4. Sesuai individu
kedua, dan nyeri berat menempati anak Dikhususkan dengan karakteristik ma-
tangga ketiga. Setiap anak tangga memiliki sing-masing pasien, indikasi, kontrain-
golongan obat simptomatis nyeri masing- dikasi, alergi, dosis koreksi gagal ginjal,
masing. Contoh penerapannya, bila dan sebagainya.
pasien tergolong nyeri ringan, maka 5. Sesuai perhatian terhadap detil
golongan obat nyeri yang diberikan Dokumentasi nilai skala nyeri yang
adalah analgesik non-opioid dengan tercatat baik, total obat harus dijum-
atau tanpa adjuvan, Jika pasien masih lahkan dalam 24 jam, memperhatikan
mengeluh nyeri walaupun telah diberikan keluhan nyeri dasar, nyeri dasar ter-
golongan obat pada anak tangga ketiga kontrol dan nyeri sontak.
maka pasien direncanakan mendapat tata Konsep tata laksana nyeri kanker berdasarkan
laksana intervensi nyeri, antara lain blok WHO stepladder memiliki beberapa prinsip,
saraf (somatik, simpatetik), medikasi dan yaitu:
stimulator spinal, serta pembedahan.
® Analgesik harus diberikan secara teratur
Studi menunjukkan terapi farmakologis
dengan dosis adekuat untuk menjaga
dengan kerangka kerja seperti ini relatif

649
Buku Ajar Neurologi

level terapeutik obat dalam darah. Pemberian jenis analgesik ini tergantung
• Analgesik dapat dieskalasi secara berurutan intensitas nyeri pasien. Nyeri dengan in-
sesuai tingkatan tangga WHO stepladder. tensitas ringan dapat diberikan analgesik
non-opioid, misalnya golongan obat antiin-
• Di samping pemberian obat regular,
flamasi nonsteroid (OAINS), dengan dosis
pasien harus mendapat pengobatan
sesuai Tabel 3.
untuk nyeri sontak.
® Efek samping anagesik, terutama Adapun nyeri dengan intensitas sedang/berat
konstipasi dan mual, harus diantisipasi diberikan analgesik opioid (Tabel 4). Pada
dan diberikan pencegahan pada pasien. pasien dengan intensitas ini, penggunaan
OAINS intravena tetap ada indikasinya,
© Pemantauan secara teratur dan cermat
misalnya pada kondisi akut/emergensi dalam
penting dilakukan pada pasien yang
jangka waktu pendek atau nyeri nosiseptif
mendapat analgesik
dengan keterlibatan muskuloskeletal dan
© Pasien harus mendapat akses yang mudah jaringan lunak. Oleh sebab itu, pemberian
untuk memperoleh analgesik saat kapan- analgesik pada nyeri kanker tidak bersifat
pun mengalami nyeri. kaku, melainkan individual sesuai kondisi
Berdasarkan WHO stepladder, terdapat dua patologis yang terjadi.
jenis anaigesik, yaitu opioid dan non-opioid.

G am bar 4 . WHO S tep la d d er (1 9 8 6 )


Dimodifikasi dari: WHO. WHO (serial online].

650
Nyeri Kanker

Tabel 3. Dosis Obat Analgesik Non-opioid


Jenis obat Dosis Maksimum
Asetaminofen 325-1000mg PO Tiap 4-6 jam 4000mg/hari
Diklofenak 50 mg PO 2-3 kali/hari I50mg/hari
Ibuprofen 400-600mg Tiap 6 -8 jam 3200mg/hari
Ketoprofen 25-50mg PO Tiap 6 -8 jam 300mg/hari
Ketorolak* lOmg PO Tiap 4-6 jam 40mg/hari PO
30mg IV/1M Tiap 6 jam 120mg/hari IV/IM
Asam mefenamat 250mg PO Tiap 4-6 jam Untukterapi <1 minggu
Meloksikam 7,5-15mgPO 1 kali/hari 15 mg/hari
Selekoksib 200mg PO 2 kali/hari 400mg/hari
*pemakaian tidak lebih dart 5 hari,
Sutnber: Nersesyan H, dkk. Ther Clin Risk Manag; 2007. h. 381-400.

Tabel 4, Dosis Obat Analgesik Opioid


Jenis Obat Durasi Kerja (jam ) Dosis Rekomendasi
Morfin sulfat 2-4 10-30mg PO tiap 3-4 jam
2,5-10mg IV tiap 2-6 jam
Kodein 2-4 15-60mg PO tiap 4-6 jam
Hidromorfon 2-4 2-Smg PO tiap 3-4 jam
Oksikodon 2-4 5-30mg PO tiap 4 jam
Oksimorfon 4-8 5-10mg PO tiap 4-6 jam
Metadon 4-8 2,5-10mg PO tiap 3-6 jam
Meperidin 2-4 50-150mg PO tiap 3-4 jam
Fentanil ftransdermaV) 72 25us/iam, titrasi naik tiaD 3-6 hari
Sumber: Nersesyan H, dkk. Ther Clin Risk Manag; 2007. h. 381-400.

NCCN 2016 membedakan pasien pengguna 8mg/hari oral, oksimorfon 25mg/hari oral,
opioid baru [opioid-naive] dan pasien atau opioid lain yang setara (Tabel 5).
pengguna opioid rutin {opioid-tolerant).
Sebagai contoh, pasien yang telah mendapat
Definisi pengguna opioid baru adalah
dosis morfin 70mg/hari dengan penggunaan
pasien yang tak pernah menggunakan
lebih dari 1 minggu dapat dikatakan sebagai
opioid secara kronik atau pengguna opioid
pengguna opioid rutin. Pasien dengan
dengan jumlah dosis opioid harian kurang
dosis morfin 40 mg/hari selama kurang
dari ambang batas dosis opioid pengguna
dari 1 minggu disebut pengguna opioid
opioid rutin dan penggunaan dosis tersebut
baru. Sementara itu pada kasus lain, pasien
kurang dari 1 minggu.
pengguna morfin 40mg/hari lebih dari 1
Adapun pengguna opioid rutin adalah pasien minggu dapat termasuk pengguna opioid
yang rutin menggunakan opiod dalam rutin menurut panduan NCCN 2010,
seminggu atau lebih dengan jumlah dosis harian
Tata laksana nyeri kanker pada pasien
melebihi atau sesuai dengan dosis ambang
pengguna opioid baru selanjutnya dibagi
batas, antara lain morfin 60mg/hari oral,
berdasarkan intensitas nyeri. Semakin tinggi
fentanil transdermal 25fig/jam, hidromorfon
skala nyeri, semakin dianjurkan untuksegera

651
Buku Ajar Neurologi

titrasi opioid, Namun, ada beberapa hal yang pasien tersebut.


harus diperhatikan secara umum untuk
Pemberian opioid pada pasien nyeri kanker
semua tingkat intensitas nyeri, antara lain;
harus memperhatikan efek sampingnya
® Penggunaan opioid sesuai prinsip,
juga, karena sering terjadi dan harus dapat
dengan titrasi, dan kontinu
diantisipasi serta ditangani secara agresif
® Antisipasi efek samping analgesik
(Tabel 6]. Mengingat banyaknya pengobatan
• Pemberian dukungan psikososial
yang didapat oleh pasien kanker, maka setiap
® Edukasi pasien dan keluarga/perawat
efek samping opioid yang terjadi harus pula
® Optimatisasi intervensi yang bersifat
dipikirkan penyebab selain opioid. Oleh
integratif
sebab itu, perlu penilaian secara multisistem.
• Pertimbangan penggunaan NSAID atau
asetaminofen Penggantian Opioid (Opioid Switching)
® Untuk nyeri yang akut dan intensitas Adakalanya ter dap at kondisi perlu dilakukan
berat, segera datang ke RS penggantian opioid (opioid switching), yaitu
Berbeda dengan pengguna opioid baru, tata proses penggantian suatu opioid ke opioid
iaksana nyeri kanker untuk pengguna opioid lain untuk mendapatkan efek antinyeri
rutin dapat menggunakan opioid oral atau lebih baik dengan efek samping seminimal
mungkin. Proses penggantian ini bersifat
intravena. Pemberian opioid oral memiliki
individual bergantung respons pasien
efek puncak dalam 60 menit. Di lain pihak,
dengan penilaian yang komprehensif.
pemberian opioid intravena memiliki efek
puncak dalam 15 menit. Dosis opioid yang Parameter keberhasilannya adalah jika
diberikan, baik oral maupun intravena, terjadi penurunan intensitas nyeri >33%
dan/atau berkurangnya efek samping
sebesar 10-20% dari total dosis opioid yang
diterima selama 24 jam terakhir. terkait opioid.

Selanjutnya pasien dievaluasi efikasi dan efek Indikasi penggantian opioid antara lain
sampingyang dirasakan sesuai efekpuncaknya, nyeri yang terkontrol tetapi muncul efek
samping serius, nyeri belum terkontrol
yaitu 15 menit (intravena] dan 60 menit [oral].
Bila nyeri tidak berkurang atau bertambah adekuat namun tidak bisa ekskalasi dosis
berat, malm dosis opioid dinaikkan 50-100%. opioid karena efek samping, atau nyeri yang
belum terkontrol dengan opioid walaupun
Bila nyeri berkurang tetapi belum sepenuhnya
terkontrol, malm opioid dapat diberikan ulang tanpa efek samping.
dengan dosis yang sama dengan sebelumnya. Tabel 5. Ekuivalensi Dosis Setara Morfin lOmg
Kedua hal ini harus dievaluasi lagi dan dapat Jenis Opioid Dosis Ekuivalensi (mg)
diulang hingga 2-3 siklus. Bila kemudian Kodein 90
nyerinya belum terkontrol, maka klinisi harus Tramadol 50
Petidin 100
evaluasi ulang dari awal mengenai nyeri Oksikodon 7,5
[reassessment) secara komprehensif dan Hidromorfon 2
Oksimorfon 1,5
melalcukan penanganan secara integratif. Bila Metadon 1
nyerinya sudah terkontrol, maka dosis opioid Sumber: Schug SA. Opioids: clinical use. Wall & Melzack's
textbook of pain. 2013. h. 429-43.
teridni dilanjutlmn sebagai dosis efektif untuk

652
Nyeri Ranker

Tabel 6 . Tata Laksana Efek Samping Opioid


Jenis Efek Samping Tata Laksana
Konstipasi ® Profilaksis dengan laksatif
• Menjaga asupan cairan dan serat yang cukup
® Penggunaan adjuvan untuk menurunkan dosis opioid
® Eksplorasi penyebab lain, misalnya obstruksi saluran cerna, hiperkalsemia, dan efek
samping obat yang lain.
® Penggunaan enema/supositoria dibatasi hingga 2 kali selama 24 jam, dan
kontraindikasi pada pasien neutropeni atau trombositopeni
® Pada kasus konstipasi kronik intraktabel, penggantian ke fentanil atau metadon
dapat dipertimbangkan
Mual ® Metoklopramid 10-15mg tiap 6 jam, bila perlu
« Proklorperazin lOmg tiap 6 jam, bila perlu
• Ondansetron 4-8mg tiap 8 jam
* Granisetron 2mg/hari
Pruritus ® Pertimbangkan untuk mengganti ke opioid lain jika terapi simtomatik gagal
• Eksplorasi penyebab lain, misalnya obat-obatan lain yang dikonsumsi pasien
® Bila pruritus persisten, pertimbangkan infus nalokson titrasi dosis 0,25-1 mcg/kg/jam
® Pertimbangkan antihistamin, misalnya difenhidramin 25-50mg IV
Delirium « Eksplorasi penyebab delirium selain opioid, misalnya imbalans elektrolit, infeksi,
metastasis otak, obat-obatan lain
® Jika penyebab delirium selain opioid sudah disingkirkan, pertimbangkan untuk
menurunkan dosis opioid yang sedang diberikan
® Pertimbangkan pemberian analgesik non-opioid
® Pertimbangkan pemberian antipsikotik secara titrasi, yaitu haloperidol 0,5-2mg PO/
IV tiap 4-6 jam, olanzapin 2,5-5mg PO/sublingua! tiap 6 -8 jam, atau risperidon 0,25-
0,5mg, 1 -2 kali sehari
Depresi napas Pemberian nalokson ampul (0,4mg/lmL) yang dilarutkan dalam 9mL salin normal.
Berikan l-2mL (0,04-0,08mgj setiap 30-60 detik hingga didapatkan perbaikan Minis.
Jika pengobatan tidak responsif dalam 10 menit dan total nalokson yang diberikan
sudah mencapai Img, pertimbangkan penyebab selain opioid
Sedasi ® Eksplorasi penyebab sedasi yang lain, seperti lesi patologis otak, hiperkalsemia,
dehidrasi, infeksi, hipoksia, dan obat-obatan lain.
® Pertimbangkan dosis opioid lebih rendah, tetapi diberikan lebih sering (small butfiequenf)
® Turunkan dosis opioid hingga dosis optimal mengontrol nyeri
» Pertimbangkan penggantian jenis opioid
« Pertimbangkan analgesik non-opioid untuk menurunkan dosis opioid
® Pertimbangkan stimulan, seperti kafein 100-200mg PO tiap 6 jam, metilfenidat
5-10mg PO 1-3 kali sehari, atau dekstroamfetamin 5-10mg PO 1-3 kali sehari
Dimodifikasi dari: National Comprehensive Cancer Network National Comprehensive Cancer Network [serial online]. 2016.

653
Buku Ajar Neurologi

Tabel 7. Ekuivalensi Dosis Opioid


Ekuivalensi Morfin Satuan Kali Konversi ke Satuan Kali Konversi dari
Jenis Opioid Morfin Oral (mg)
30mg PO [mg) Morfin Oral (mg)
Morfin 30 1 1
Kodein* 200 0,15 6,67
Oksikodon 20 1,5 0,667
Hidromorfon 6 5 0,2
Meperidin 300 0,1 10
Fentanil transder- 60-134mg morfin = 25pg/jam
ma* 180-224mg morfin = 5Gpg/jam
225-269mg morfin = 62gg/jam
270-314mg morfin = 75pg/jam
315-359mg morfin = 87pg/jam
___________________ 360-404mg morfin = lOOpg/jam___________________
Sumber: Jensen K, Saskatchewan Drug information Service [serial online]. 2012.

Tabel 8 . Ekuivalensi Dosis Opioid Oral-parenteral 3. Turunkan total dosis estimasi tersebut
Jenis opioid Dosis oral Dosis parenteral sebesar 50% (jika pasien dalam dosis
(mg) (mg) tinggi opioid) atau 25-40% (jika pasien
Morfin 20-30 10
dalam dosis opioid rendah/sedang).
Hidromorfon 4-6 2
Meperidin 300 75 4. Sesuaikan dosis tergantung kondisi
Sumber: Jensen K, Saskatchewan Drug Information Ser­ individual pasien, misalnya:
vice [serial online], 2012.
® Tipe nyeri akut atau kronik; dosis
Langkah-langkah penggantian opioid adalah lebih tinggi pada nyeri akut.
sebagai berikut:
® Disfungsi hepar/hati; penyesuaian
1. Hitungtotal dosis harian opioid pasien terkini. dosis diperlukan pada gangguan
2. Estimasi total dosis opioid yang ingin kedua organ tersebut
dipakai dengan konversi opioid meng-
® Usia; mulai dengan dosis rendah pada
gunakan tabel ekuivalensi (Tabel 7 dan
pasien usia lanjut karena lebih rentan
8}. Tabel ini memakai morfin oral sebagai
mengalami efek samping.
acuan, sehingga konversi dosis opioid
lainnya harus diubah ke morfin dahulu, • Medikasi; pasien dengan polifarmasi
kemudian baru ke jenis opioid yang dike- mungkin perlu penyesuaian dosis
hendaki. Misalnya, penggantian kodein ke untuk mencegah efek samping akibat
oksikodon dilakukan dengan cara meng- interaksi o bat
konversi kodein ke morfin, kemudian mor­
5. Dosis estimasi yang telah disesuaikan
fin ke oksikodon.
tersebut kemudian diberikan secara

654
Nyeri Ranker

titrasi naik, hingga dapat mengontrol opioid, sehingga efek sampingnya dapat
nyeri. Opioid lepas cepat (immediate berkurang. Antidepresan dan antikonvulsan
release ) bisa diberikan untuk nyeri adalah lini pertama adjuvan analgesik
sontak, terutama saat masa titrasi [Tabel 9). Obat-obatan ini dapat membantu
dengan dosis sebesar 10-15% dari total pasien nyeri kanker yang belum sepenuhnya
dosis harian. terkontrol dengan opioid. Oleh karena
respons yang bervariasi, maka pemilihan
6. Anjurkan kepada pasien/pengasuhnya
jenis obatnya dapat mempertimbangkan
untuk mencatat tanda dan gejala nyeri
kondisi dan komorbiditas pasien. Misalnya
yang belum terkontrol, termasuk jumlah
adjuvan analgesik yang berefek sedasi bisa
dosis untuk nyeri sontak. Selain itu, efek
bermanfaat untuk pasien yang insomnia,
samping sedasi juga perlu didokumenta-
atau yang mengalami kecemasan dapat
sikan.
diberikan amitriptilin. Amitriptilin juga
7. Pantau ulang pasien untuk menilai berguna pada nyeri kronik yang dapat
kontrol nyeri dan efek samping obat. merupakan kelanjutan dari nyeri kanker jika
Hal ini dapat dilakukan 3 hari setelah lama belum mendapatkan terapi definitif.
memulai opioid baru, atau waktu lain
sesuai kondisi pasien.
Pada pasien dengan nyeri kanker biasanya
8. Perubahan opioid dari rule intravena ke oral
akan terdapat komponen nyeri kanker
harus dalam pemantauan dokter, pasien
akibat infiltrasi sel tumor ke serabut saraf di
harus berada dalam perawatan setidaknya
sekitarnya. Namun hal ini sering terabaikan
pada 24 jam pertama perubahan.
oleh klinisi, padahal terapi yang tepat akan
Kombinasi Obat sangat membantu pasien. Oleh karena itu
Di samping opioid, tata laksana nyeri kanker diperlukan adjuvan golongan antikonvulsan
juga melibatkan adjuvan analgesik yang yang dosis antikonvulsan selengkapnya
bertujuan untuk menurunkan kebutuhan dapat dilihat pada bab Nyeri Neuropatik.

Tabel 9. Adjuvan Analgesik pada Nyeri Kanker


___________________Antidepresan__________________ _______________Antikonvulsan_________________
* Antidepresan trisiklik (amitriptilin, imipramin, dan Gabapentin mulai dosis 100-300m g tiap maiam,
nortriptilin) mulai dengan dosis kecil setiap maiam dapat dinaikkan hingga 900-3600mg/hari yang
hari dan ditingkatkan 3-5 hari jika tanpa efek samp­ dibagi dalam 2-3 kali sehari. Titrasi dosis lebih lam-
ing. Efek samping adalah sedasi, mulut kering, dan bat pada lanjut usia dan perlu penyesuaian dosis
rasa ingin berkemih. pada gangguan ginjal.
® Duloksetin mulai dosis 20-30mg/hari, dapat menin- Pregabalin dengan dosis 50-100mg, 3 kali sehari.
gkat sampai 60-120mg/hari. Dosis dapat dititrasi hingga 600mg/hari dibagi
« Veniafaksin mulai dosis 37,5mg/hari, dapat mening- dalam 2-3 kali sehari.
kat sampai 75-225mg/hari.
Sumber: NCCN. NCCN [serial online]. 2016.

655
Buku Ajar Neurologi

Dari kesemua antikonvulsan, kombinasi Adjuvan analgesik nyeri kanker dapat


gabapentin dan opioid menunjukkan berupa obat topikal [lidokain patch 5%)
adanya penambahan kekuatan dan kerja dan kortikosteroid. Deksametason lebih
sinergis, sehingga efektif dalam dosis dipilih karena efek mineralokortikoid yang
opioid yang lebih kecil secara signifikan lebih minimal. Penggunaan kortikosteroid
dibandingkan opioid saja. Hal ini terutama ini terutama bermanfaat pada nyeri akut
pada karakteristik nyeri pan as atau seperti yang melibatkan struktur saraf dan tulang.
ditusuk-tusuk yang tidak terlalu berkurang Hindari kombinasi tramadol dengan ami-
dengan hanya opioid. Demikian pula triptilin atau karbamazepin dapat menye­
kombinasi tersebut dapat mengurangi efek babkan kondisi renjatan [shock) akibat sin-
samping opioid, seperti konstipasi dan mual drom serotonin.
secara bermakna. Dosis gabapentin dapat
Nyeri kanker dapat dikatakan telah
dimulai dari 300mg/hari naik perlahan
terkontrol jika setelah mendapat tata
hingga maksimal 3600mg,
laksana, nyeri dirasakan hilang atau
Opioid juga dapat dikombinasi dengan OAINS, berkurang 50%, dan dapat ditoleransi pada
terutama jika komponen nyeri nosiseptif yang keadaan tertentu. Konsep nyeri terkontrol
dominan, yang ditandai dengan pembesaran ini disampaikan dengan pengertian yang
massa tumor hingga menyebabkan kerusakan sesuai dengan harapan dan pendidikan
jaringan. Parasetamol paling sering dikombi­ pasien.
nasi, baik dengan hidrokodon (kodein sinte-
Patokan kesuksesan terapi yang sesuai dan
tik), oksikodon, maupun tramadol. Kombinasi
secara bertahap adalah:
paracetamol dengan hidrokodon dapat menu-
runkan nyeri lebih dari 50% dengan dosis awal ® Rasa nyeri terkontrol pada saat tidur
2500mg-25mg/24 jam. Dosis dapat ditingkat- malam
kan hingga dosis maksimal 4000mg-50mg/24 ® Rasa nyeri terkontrol pada saat istirahat
jam. Kombinasi parasetamol-tramadol dapat dalam sehari penuh
dilakukan sebagai salah satu pemberian tera- ® Rasa nyeri terkontrol pada saat mobilitas
pi nyeri sontak sebagai adjuvan dengan dosis terbatas
awal 325mg-37,5mg perkali jika penggunaan
® Rasa nyeri terkontrol pada saat mobilitas
dosis harian tramadol <400mg atau dosis ha-
penuh
rian kodein <300mg atau dosis harian morfin
<60mg. Jika dosis harian morfin 60-120mg/24 Terapi Definitif dan Suportif
jam maka pemberian dapat diberikan 2 tablet Pada nyeri yang diakibatkan oleh ukuran
kombinasi parasetamol-tramadol. Tramadol massa yang besar, perlu dilakukan reseksi
sendiri dapat sebagai terapi ajuvan pembe­ atau pengurangan volume tumor untuk
rian pada dosis awal tramadol 200mg/hari mengurangi nyeri dengan tindakan operatif,
dapat menghilangkan keluhan nyeri sebanyak kemoterapi, atau radioterapi. Radioterapi
60% dan dapat diberikan hingga dosis maksi­ juga berperan pada nyeri akibat metastasis
mal 400mg/hari. ke tulang vertebra, dengan menginaktivasi
sel tumor mencegah proses kerusakan lebih

656
Nyeri Kanker

lanjut. Demikian pula pemberian bifosfonat, ke belakang kepala sejak 3 hari lalu. Ke­
suatu agen penghambat osteoklas akan luhan dimulai sejak 5 bulan sebelumnya,
berperan menurunkan resorpsi tulang yang terdapat benjolan di leher kiri. Benjol-
menyebabkan nyeri. Kesemua hal tersebut an tersebut disertai nyeri yang semakin
akan sangat membantu mengurangi dosis memberat, hingga sebulan yang lalu dibi-
obat-obatan terutama opioid, sehingga opsi dengan hasil karsinoma nasofaring
pasien juga bisa terhindar dari efek samping (KNF). Lalu pasien menjalani kemoterapi.
yang berlebihan. Nyeri dirasakan m enjalar dari daerah
benjolan ke leher belakang yang sem a­
CONTOH KASUS kin memberat (NRS=7-8] dan membuat
Seorang laki-laki 52 tahun datang dengan pasien sulit tidur.
keluhan utama nyeri leher yang m enjalar

Gambar 5. Status Lokalis Leher Pasien


(Dok: Pribadi]

Gambar 6. CT Scan Nasofaring Pasien


Garis merah menunjukkan area massa tumor
(Dok: Pribadi)

657
Buku Ajar Neurologi

Pemeriksaan fisik neurologis tidak didapat- nyeri, namun keluhan utama pasien
kan defisit. Status lokalis di regio colli deks- ini adalah nyeri yang menjalar yang
tra teraba massa ukuran 5x4x2 cm dengan menunjukkan adanya infiltrasi sel tumor
nyeri tekan, konsistensi keras, tidak dapat ke serabut saraf, dalam hal ini radiks
digerakkan (Gambar 5). daerah servikal.
Hasil CT scan nasofaring menunjukkan mas­ 3. Apakah analgesik adjuvan pilihan utama
sa di nasofaring sisi kiri yang mengoblite- yang sebaiknya diberikan pada pasien?
rasi fossa Rossenmuller dan torus tubarius
a. Diazepam
kiri, mengisi koana kiri, orofaring, spasium
parafaring kiri, mengobliterasi M. Pterigoid b. Pregabalin
medialis kiri, disertai limfadenopati multi- c. Amitriptilin
pel regio colli bilateral (Gambar 6). d. Asamvalproat
Pertanyaan e. Gabapentin

1. Bagaimana karakteristik nyeri pasien? Jawaban: (E); pemilihan adjuvan disesuai-


a. Nyeri nosiseptif kan dengan kondisi pasien. Adanya nyeri
neuropatik menyebabkan adjuvan diprio-
b. Campuran nyeri neuropatik dan
ritaskan golongan antikonvulsan. Dari
nosiseptif
semua golongan antikonvulsan, yang
c. Akut dapat meningkatkan potensiasi analgesik
d. Bersifat radikular dari opioid adalah gabapentin. Jika pasien
e. Intensitas ringan sedang terdapat kecemasan dapat diberikan
amitriptilin, namun obat ini tidak dapat
Jawaban: (B) terdapat lesi benjolan
dikombinasi dengan tramadol, jika me­
dengan tanda inflamasi dan adanya
mang direncanakan pemberian tramadol
nyeri tekan yang menunjukkan nyeri
selanjutnya pada pasien.
nosiseptif, disertai rasa nyeri menjalar
yang berarti nyeri neuropatik. 4. Bagaimana tata laksana etiologi nyeri
pada pasien ini?
2. Apakah penyebab nyeri pada keluhan
utama pasien? a. Antiinflamasi nonsteroid
b. Akupuntur
a. Peradangan lokal
c. Kemoradiasi
b. Kerusakan jaringan pada kanker
d. Radioterapi
c. Psikogenik
e. Hipnosis
d. Infiltrasi sel tumor ke serabut saraf
e. Spasm eotot Jawaban: (C}; nyeri akibat perluasan
massa tumor harus dikecilkan ukurannya
Jawaban: (D); walaupun memang ada sesuai dengan jenis tumor. Pada KNF
kerusakan jaringan yang menyebabkan terapi utama adalah kemoterapi dan/
atau radioterapi.

658
Nyeri Kanker

5. Apakah tata laksana awal untuk Benoliel R, dkk. A classification of chronic pain
for 1CD-11. Pain. 20l5;156C6):1003-7.
mengatasi nyeri pasien ini?
2. Stewart B W, Wild CP. World cancer report 2014.
a. Ketorolak 30mg IV Geneva: World Health Organization; 2014.
3. Mantyh PW. Cancer pain: causes, consequences,
b. Parasetamol 500mg PO and therapeutic opportunities Dalam: Me Mahon
SB, Koltzenburg M, Tracey I, Turk D, editor.
c. Midazolam 5mg IV Wall & Melzack's textbook of pain. Edisi ke-6 .
Philadelphia: Elsevier Ltd; 2013. h. 1029-38.
d. Kodein20mgPO 4. Craig, D. Adult cancer pain. NCCN Clinical
Practice Guidelines in Oncology [serial online].
e. Gabapentin lOOmg PO 2016 [diunduh 14 Januari 2017]. Tersedia dari:
National Comprehensive Cancer Network.
Jawaban: (A); pasien ini mengalami nyeri 5. Siegel R L, Miller KD, Jemal A. Cancer statistics.
derajat sedang berat yang mengganggu, CA Cancer J Clin. 2 0 l6 ;6 6 (l):7 -3 0 .
sehingga perlu pemberian anti nyeri 6. De Conno F, Neal C, Foubert J, Filbet M, Colett B,
Breivik H, dkk. European pain in cancer (EPIC)
dengan jalur intravena. Adanya tanda- survey: a report. London: Medical Imprint; 2007.
tanda kerusakan jaringan menunjukkan 7. Breivik H, Cherny N, Collett B, de Conno F, Filbet
nyeri nosiseptif, sehingga dapat diberi- M, Foubert AJ, dick. Cancer-related pain: a pan-
European survey of prevalence, treatment, and
kan golongan OAINS seperti ketorolak IV.
patient attitudes. Ann Oncol. 2009;20(8):1420-33.
Lanjutan Kasus 8. Kato Y, Ozawa S, Miyamoto C, Maehata Y, Suzuki A,
Maeda T, dkk. Acidic extracellular microenvironment
Pasien mendapat tata laksana awal ketoro­ and cancer. Cancer Cell Int. 2013;13(1):89.
lak 30 mg/8 jam IV karena dianggap nyeri 9. Portenoy RIC Treatment of cancer pain. Lancet.
akut yang sudah mengganggu aktivitas, NRS 2011;377{9784):2236-47.
10. Cherny Nl. Cancer pain assessment and
turun menjadi 4-5, Nyeri masih terasa teru-
syndromes. Dalam: Me Mahon SB, Koltzenburg
tama menjalar, maka dianggap sebagai nyeri M, Tracey I, Turk D, editor. Wall & Melzack’s
neuropatik sehingga diberikan gabapentin textbook of pain, Edisi ke-6 , Philadelphia:
Elsevier Ltd; 2013. h. 1039-60.
600mg/hari. Oleh karena ketorolak tidak
11. Hoskin P, Forbes K. Cancer pain: treatment
boleh diberikan lebih dari 5 hari, maka di- overview. Dalam: Me Mahon SB, Koltzenburg M,
ganti menjadi tramadol dosis awal lOOmg/ Tracey I, TurkD, editor. Wall & Melzack's textbook
hari, titrasi naik. NRS pasien turun menjadi of pain. Edisi ke-6 . Philadelphia: Elsevier Ltd;
2013. h. 1075-91.
2-3. Pasien lalu menjalani kemoradiasi untuk 12. Broadbent A, Khor K, Heaney A. Palliation and
mengatasi etiologi nyerinya, dan NRS turun chronic renal failure: opioid and other palliative
lagi menjadi 1-2. Tramadol turun bertahap medications-dosage guidelines, 2003. Progress
in Palliative Care, ll(4 ):1 8 3 -9 0 .
diganti paracetamol 2000mg/hari, gabapen­
13. Kurniawan M.Suharjanti 1, Pinzon RT, Acuanpanduan
tin dosis 300mg/hari. Selanjutnya bisa digu- praktek klinis neurologi. Jakarta: Perhimpunan
nakan kombinasi paracetamol dan tramadol Dokter Spesialis Saraf Indonesia;2016,
14. Mercadante S, Bruera E. Opioid switching in
dosis rendah sebagai rumatan, beserta gaba­
cancer pain: from the beginning to nowadays.
pentin jika nyeri masih terasa menjalar. Crit Rev Oncol Hematol. 2016;99:241-48,
15. Mercadante S, Bruera E. Opioid switching: a
DAFTAR PUSTAKA systematic and critical review. Cancer Treatment
Reviews. 2006; 32(4):304-15.
1. Treede RD, Rief W, Barke A, Aziz Q, Bennett MI,

659
Buku Ajar Neurologi

16. Jensen K. Switching opioids using equivalence tables. chronic cancer pain: a double-blind comparative
Saskatchewan Drug Information Service [serial trial. Clin J Pain. 2008; 2 4 (l);l-4 .
online]. 2012 [diunduh 24 Januari 2017]. Tersedia 22. Schug SA. Opioids: clinical use. Dalam: Me Mahon
dari: Saskatchewan Drug Information Service. SB, Koltzenburg M, Tracey I, Turk D, editor. Wall
17. Nersesyan H, Slavin KV. Current aproach to & Melzack's textbook of pain. Edisi ke-6 . Elsevier;
cancer pain management: availability and 2013. h. 429-43.
implications of different treatment options. Ther 23. Selvaggi KJ, Scullion BF, Blinderman CD, Abrahm
Clin Risk Manag. 2007;3(3]:381-400. JL. Pain management and antiemetic therapy
18. Vardy J, Agar M. Nonopioid drugs in the treatment in hematologic disorders. Hoffman R, Benz EJ,
of cancer pain. J Clin Oncol. 2014;32(16):1677-90. Silberstein LE, Heslop H, Weitz J,Anastasi J. Dalam:
19. Keskinbora K, Pekel AF, Aydinli I. Gabapentin Hematology: basic principle and practice. Edisi ke-
and an opioid combination versus opioid alone 6 . Philadelphia: Elsevier; 2013. h. 1429-43.
for the management of neuropathic cancer pain: 24. Hagen NA, Biondo P, Stiles C, Assessment and
a randomized open trial. J Pain and Symptom management of breakthrough pain in cancer
Management. 2007;34[2):183-9, patients: Current approaches and emerging
20. Gilron 1, Bailey JM, Tu D, Holden RR, Weaver research. Current Pain and Headache Reports,
DF, Houlden RL. Morphine, gabapentin, or their 2008;12(4):241-8.
combination for neuropathic pain. N Engl j Med, 25. Foley KM. Acute and chronic cancer pain syndromes:
2005;352 [13): 1324-34. Oxford textbook of palliative medicine, Edisi ke-3.
21. Rodriguez RF, Castillo JM, Castillo MP, Montoya New York: Oxford University Press; 2004.
0, Daza P, Rodriguez MF, dkk. Hydrocodone/ 26. WHO. WHO's cancer pain ladder for adults.
acetaminophen and tramadol chlorhydrate WHO [serial online], [diunduh 27 Januari 2016].
combination tablets for the management of Tersedia dari: WHO.
27. NCCN. Adult cancer pain. NCCN [serial online],
Versi Ke-2. 2016 [diunduh tanggal 27 Januari
2017], Tersedia dari: NCCN.

660
-A is

SARAF TER!
Neuropati
Sindrom Guillain Barre
Radikulopati
Pleksopati
Pendekatan Diagnosis Miopati
Miastenia Gravis
M o to r N e u ro n D isease
NEUROPATI

39 Winnugroho Wiratman, Ahmad Yanuar Safri,


huh Ari Indrawati, Fitri Octaviana, Manfaluthy Hakim

PENDAHULUAN PATOFISIOLOGI
Sistem saraf perifer terdiri dari saraf-saraf Patofisiologi neuropati beragam tergantung
kranial (kecuali nervus olfaktorius dan dari etiologinya, yaitu genetik, metabolik, di-
optikus), saraf-saraf yang berasal dari medula mediasi imunitas, infeksi, toksik, traumatik,
spinalis (radiks, rami, trunkus, pleksus, dan lain-lain. Namun hal ini akan lebih mudah
maupun saraf perifer itu sendiri, seperti dipahami secara umum dengan mengetahui
saraf medianus dan tibialis), dan komponen- kerusakan serabut saraf berdasarkan anatomi-
komponen dari sistem saraf otonom di perifer. histologinya.
Bab ini akan menjelaskan tentang gangguan
Neuropati dapat terjadi karena lesi di badan
pada sistem saraf perifer atau yang secara
sel saraf (neuronopati) maupun pada akson
umum dapat dikelompokkan dalam satu
di serabut saraf perifer (neuropati perifer).
entitas, yaitu neuropati.
Neuronopati dapat terjadi karena kerusakan
pada badan sel saraf di kornu anterior, atau
EPIDEMIOLOGI
sering dikenal dengan motor neuron disease .
Prevalensi neuropati bervariasi antara 2-85%,
Neuronopati juga dapat terjadi karena
tergantung dari prevalensi etiologi penyebab-
kerusakan pada ganglion radiks dorsalis
nya. Di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta
tempat badan sel saraf sensorik orde I, yang
tahun 2012-2014, angka kejadian neuropati
dikenal sebagai neuronopati sensorik atau
yang diinduksi kemoterapi pada pasien
ganglionopati. Adapun neuropati perifer
karsinoma nasofaring sebesar 76%, sedang-
terjadi karena kerusakan pada akson atau
kan sindrom terowongan karpal diperkirakan
mielin di serabut saraf perifer. Oleh karena itu
terjadi pada 3,8% dari populasi umum, dengan
neuropati perifer dapat dibagi menjadi dua
insidens 276 per 100.000 populasi.
kategori, yaitu aksonopati dan mielinopati
(Gambar 1).

663
Buku Ajar Neurologi

Ms®iopa®
Fteg^raw aia D e g g n e K B i S t e ® tKTJSES^i DfetsvpaS

Ktsus^asi
£®±ibads-i
se£sar3f

1
f
i

Atrc£io£s£(-h)

ttstzfcrSft

MzssSc

Gambar 1. Neuron Normal, Aksonopati, Mielinopati, dan Neuronopati

Tabel 1. Patofisiologi Kerusakan Altson dan Mielin


Kerusakan pada Altson Kerusakan pada Mielin
ggr&ts^y
ess&ts&n
£^rae£i$3!S23i

---

-----
<m^i> ""

KHS Kecepatan konduksi dapat normal atau menurun « Kecepatan konduksi menurun
0 Amplitude menurun ® Amplitudo dapat normal atau dispersi
temporal
Contoh ® Neuro pad toksik * Sindrom Guillain-Barre
0 Neuropati metabolik ® Chronic Inflamatory Demyelinating Poly-
- Neuropati diabetik neuropathy
- Defisiensi vitamin B » Charcot-Marie-Tooth
0 Sindrom Guillain-Barre
0 Penyakit Charcot-Marie-Tooth
KHS: Kecepatan hantar saraf
Sumber: Sonoo M. Peripheral neuropathy. Medical disease: an illustrated reference guide: neurology and neurosurgery.
2011. h. 324-5. Jepang.

664
Neuropati

Apabila terjadi kerusakan akson, secara Neuropati juga dapat dibagi berdasarkan
teori akan terjadi hambatan hantaran diameter akson yang mengalami kerusakan,
impuls saraf baik eferen maupun aferen. yaitu:
Kerusakan pada selubung mielin juga dapat
a. Akson berd iam eter besar-berm ielin ;
menyebabkan hambatan impuls saraf. Impuls
di antaranya akson untuk serabut mo-
saraf yang dihantarkan akson bermielin
torik (alpha m otor neuron) dan sensorik
akan dikonduksikan lebih cepat dengan cara
untuk menghantarkan stimulus propio-
saltatory conduction (konduksi lompatan).
septif, vibrasi, dan sentuhan ringan.
Hal ini terjadi karena selubung mielin akson
bertindak sebagai isolator, sehingga konduksi b. Akson berdiam eter kecil-berm ielin;
listrik melompat dari satu nodus Ranvier ke termasuk serabut sensorik yang meng­
nodus berikutnya. Apabila terjadi kerusakan hantarkan stimulus sentuhan ringan,
selubung mielin saraf maka kecepatan nyeri, suhu, dan serabut saraf otonom
koduksi impuls saraf akan jauh menurun preganglion.
atau bahkan terhenti. Patofisiologi kerusakan c. Akson berd iam eter k e c il-t id a k b e r­
ini dapat di-nilai secara klinis dengan bantuan m ielin; membawa stimulus nyeri, suhu,
pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS), dan serabut saraf otonom pascaganglion.
seperti pada Tabel 1. Pemeriksaan konduksi
hantar saraf akan menilai amplitudo, termasuk GEJA LA DAN TANDA K L IN IS
dispersi temporal (lihat Bab Sindrom Guillain- Gejala neuropati cukup beragam, mulai dari
Barre tentang KHS), yang menggambarkan gejala motorik, sensorik, maupun otonom.
seberapa banyak serabut saraf teraktifasi dan Gejala tersebut dapat sama, walaupun aki­
kecepatan hantar saraf (velocity) mulai dari bat etiolologi yang berbeda, Untuk memper-
titik stimulasi sampai tempat perekaman. mudah menegakkan diagnosis, gejala klinis
Lesi di badan sel saraf dan akson akan di- ini dibagi menjadi gejala positif dan negatif,
ikuti oleh proses degenerasi serabut akson baik motorik maupun sensorik. Gejala posi­
yang berada di distal dari lesi, yang disebut tif motorik dapat berupa aktivitas abnormal
sebagai degenerasi Wallerian. Degenerasi ini berlebih dari neuron, di antaranya kekakuan,
terjadi karena pengaturan metabolisme sel twitching, dan miokimia. Gejala positif sen­
saraf berada di badan sel. Pengaturan me­ sorik diantaranya rasa terbakar, tersayat,
tabolisme tersebut diteruskan ke akson yang alodinia atau hiperalgesia, dan parastesia.
lebih distal melalui suatu mekanisme yang Adapun gejala negatif motorik mencermin-
disebut sebagai axonal transport dan terjadi kan berkurangnya aktivitas neuron, misalnya
secara anterograd dan retrograd. Apabila berkurangnya kekuatan motorik, kelelahan,
hubungan antara badan sel dengan akson atrofi otot. Gejala negatif sensorik biasanya
distal terputus akibat kerusakan akson di hipestesia serta gangguan input informasi
antara keduanya maka axonal transport tidak dari luar tubuh lainnya, seperti gangguan
dapat terjadi, sehingga akson bagian distal input posisi tubuh, sehingga terjadi ataksia
tidak dapat mempertahankan metabolisme- dan gangguan keseimbangan.
nya dan mengalami degenerasi.

665
Buku Ajar Neurologi

Gejala otonom dapat berupa konstipasi, di- halus adalah memeriksa batas bawah resep-
are, impotensi, inkontinesia uri, gangguan tor mekanik (mechanoreceptor low thres­
berkeringat karena gangguan vasomotor, hold] yang dihantarkan oleh kedua serabut
dan pusing yang berkaitan dengan perubah- saraf baik besar dan kecil. Pemeriksaan
an posisi (ortostasis). Pasien yang mengalami fungsi serabut saraf kecil yang menghantar-
gangguan vasomotor biasanya mengeluhkan kan rasa nyeri dapat dilakukan dengan me-
telapak tangan atau kaki dingin disertai pe- nyentuhkan benda berujung tajam seperti
rubahan warna kulit. Gangguan vasomotor ini tusuk gigi tanpa tekanan yang signifikan.
disebabkan karena pembuluh darah di kulit
Saat melakukan pemeriksaan fungsi saraf
mengalami gangguan refleks untuk vasokon-
sensorik, harus sudah dipikirkan pola
striksi dan vasodilatasi yang diatur oleh saraf
parastesi/anestesi berdasarkan sebaran
otonom dalam menghadapi perubahan suhu
anatominya, lebih sesuai untuk mononeu-
tubuh.
ropati, polineuropati distal simetrik, length-
Anamnesis aktivitas sehari-hari seperti pe­ dependent polineuropathy, polineuropati
rubahan tulisan tangan, kesulitan mengan- mutifokal, radikulopati, pleksopati, atau
cingkan baju, kesulitan memakai sendal kemungldnan adanya keterlibatan sistem
jepit karena sering terlepas sangat berguna saraf pusat (SSP].
dalam menegakkan diagnosis. Pertanyaan
Pemeriksaan motorik dimulai dari inspeksi
terperinci tentang onset, durasi, dan pro-
ada tidaknya atrofi maupun fasikulasi. Pal-
gresifitas defisit neurologis yang ada juga
pasi dilakukan untuk menilai tonus dan
sangat penting untuk membedakan jenis
rigiditas otot untuk menyingkirkan diag­
neuropati. Perlu ditanyakan juga kepada
nosis banding gangguan SSP. Pemeriksaan
pasien tentang keasimetrisan dan distribusi
kekuatan motorik pada neuropati perlu
gejala klinis saat onset, keterlibatan batang
dilakukan secara spesifik, terperinci sesuai
tubuh atau nervus kranial, dan laju progresi-
dengan otot dan saraf perifer yang terganggu.
fitasnya secara spesifik (monofasik, berfluk-
Misalkan pada neuropati nervus medianus
tuasi, atau berjenjang]. Selanjutnya anamnesis
di pergelangan tangan, otot-otot intrinsik
tersebut dikonfirmasi dengan pemeriksaan
tangan yang dipersarafi oleh N. Medianus
fisik untuk mencari distribusi defisit neuro­
(M. Aduktor Polisis Brevis] harus diperiksa
logis, yang dibagi menjadi defisit fokal, mul-
kekuatannya. Namun otot-otot intrinsik
tifokal, ataupun distal simetrik.
tangan lain yang tidak dipersarafi oleh N.
Pemeriksaan fisik sensorik dapat dibagi dua Medianus, seperti M. Interosesus Digiti I dan
berdasarkan jenis serabut saraf sensorik M. Abduktor Digiti Minimi oleh N. Ulnaris
yang dinilai. Pemeriksaan untuk serabut perlu juga diperiksa untuk menyingkirkan
saraf besar adalah tes vibrasi, posisi sendi diagnosis banding neuropati pada N. Ulna­
[propioseptif], dan raba halus, termasuk tes ris. Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada
Romberg, sedangkan untuk serabut saraf seluruh ekstremitas, khususnya bila neuro­
kecil dilakukan pemeriksaan tes cukit kulit pati yang dicurigai adalah polineuropati.
dan suhu. Sesungguhnya pemeriksaan raba
Pemeriksaan saraf otonom harus dilaku-

666
Neuropati

kan, karena akan memberi informasi lebih neuropati atau mononeuropati multipleks)
banyak mengenai diagnosis banding, etiologi, disebabkan oleh kerusakan lokal di antara-
maupun sindrom pada pasien. Gangguan or- nya penjepitan saraf seperti carpal tunnel
tostatik dapat memberi petunjuk bahwa syndrome (CTS), cedera mekanik (karena
sudah terjadi gangguan otonom karena tekanan, traksi, ledakan, dan penetrasi],
gangguan saraf otonom dapat menyebab- suhu ekstrim (panas maupun dingin), elek-
kan gangguan vasokonstriksi dan vasodi- trik, radiasi, lesi vaskuler, granulomatosa, ke-
latasi pada pembuluh darah. Pemeriksaan ganasan atau proses infiltratif lainnya, dan
saraf otonom juga dapat dilakukan dengan tumor primer saraf perifer.
memeriksa kulit dan membran mukosa
Di Indonesia, salah satu penyebab tersering
karena gangguan saraf otonom dapat me-
mononeuropati multipleks adalah kusta.
nyebabkan gangguan vasomotor pada kulit
Gejala yang sering muncul pada neuropati
Di sisi lain, pemeriksaan kulit yang terkait
kusta adalah gangguan sensorik berupa
mapupun yang tidak terkait otonom dapat
anestesi atau gangguan peraba terutama di
membantu menyingkirkan diagnosis banding.
distal jari-jari termasuk ibu jari dan gang­
Gambaran ruam vaskulitis (purpura, livedo
guan vibrasi yang paling banyak terjadi di
retikularis], hiperpigmentasi bila disertai
telapak kaki. Selain itu secara elektroneu-
dengan polineuropati, organomegali, en-
rofisiologis ternyata neuropati kusta dapat
dokrinopati dapat membantu menegakan
terjadi di ekstremitas maupun di wajah.
diagnosis sindrom [POEM] polineuropati,
Di ektremitas saraf yang sering mengalami
pulmonary disease, organomegali, edema,
gangguan adalah N. Peroneus Superfisialis,
endokrinopati, monoklonal paraprotein. Jika
dan N. Suralis, sedangkan pada wajah adalah
terdapat ulkus pada rongga mulut maka dapat
N. Trigeminal dan N. Fasialis.
dipikirkan adanya neuropati pada penyakit
Behcet atau HIV. Mata dan mulut kering, pem- Beberapa polineuropati dapat menjadi tidak
bengkakan kelenjar saliva dapat ditemui pada jelas polanya karena superimposed dengan
sarkoidosis atau sindrom Sjogren. mononeuropati atau mononeuropati mul­
tipleks, contoh yang paling sering adalah
D IA G N O S IS K L IN IS DAN D IA G N O S IS sindrom terowongan karpal pada polineuro­
B A N D IN G pati diabetes. Neuropati dapat juga dibagi
Neuropati secara klinis dapat dibagi men- berdasarkan distribusinya, yaitu: polineuro­
jadi polineuropati, neuropati fokal, dan mul- pati simetrik distal, polineuropati simetrik
tifokal. Polineuropati disebabkan oleh agen- proksimal, polineuropati dengan predominasi -
agen yang bekerja secara difus terhadap ekstremitas atas, distribusi kompleks, keter-
sistem saraf perifer seperti bahan beracun libatan saraf kranial, serta neuropati fokal
(toksik), defisiensi zat-zat yang diperlukan dan multifokal.
dalam metabolisme saraf perifer, gangguan Polineuropati dengan distribusi gangguan
metabolik, dan beberapa reaksi imun. Ada- motor dan sensorik distal simetrik merupa-
pun lesi fokal (mononeuropati] dan lesi kan pola paling umum dan banyak ditemui.
multifokal yang terisolasi (multipel mono­ Gejala motor ditandai dengan kelemahan

667
Buku Ajar Neurologi

dan atrofi yang dimulai dari ekstremitas oleh sarkoidosis, diabetes melitus, dan yang
bagian distal kemudian menyebar ke proksi- paling sering adalah neuropati pada saraf
mal. Gejala sensorik ditandai dengan adanya fasialis yang dikenal dengan Bell's palsy.
pola distribusi"stocking-and-glove”, yaitu se- Bell's palsy dapat disebabkan berbagai fak-
olah-olah membentuksarungtangan dan kaos tor seperti imunologi, infeksi, vaskuler, dan
kaki, sehingga pasien merasa perabaannya paling banyak adalah idiopatik.
berkurang di daerah yang tertutupi "sarung
tangan" dan "kaos kaki”yang tak nampak mata TATA LA K SA N A
tersebut Pola distribusi ini disebabkan karena Tata laksana neuropati sesuai dengan eti-
saraf yang paling panjang akan mengalami ologinya. Pemeriksaan penunjang dibutuh-
gangguan terlebih dahulu (length-dependent kan sebelum memulai terapi definitif.
polyneuropathy). Pada ekstremitas bawah N. 1. P e m e rik s a a n E le k tr o d ia g n o s tik
Tibialis Anterior dan M. Peroneus biasanya
Pemeriksaan elektrodiagnostik terdiri
akan terganggu terlebih dahulu dibanding-
dari KHS dan elektromiografi (EMG],
kan bagian posterior betis karena panjang
yang standar untuk pemeriksaan neuro­
saraf yang mensarafi bagian anterior betis
pati akibat kerusakan serabut saraf besar.
lebih panjang dibandingkan bagian poste­
EMG dapat membedakan antara poli­
rior. Pola distribusi seperti ini dapat ditemu-
neuropati dengan miopati, neuronopati,
kan pada Charcot-M arie-tooth/hereditary
pleksopati, ataupun poliradikulopati.
m otor and sensory neuropathy [HMSN] tipe
Sebagai kepanjangan pemeriksaan fisik,
I. Polineuropati simetrik distal yang hanya
pemeriksaan elektrodiagnostik mening-
mempengaruhi komponen sensorik juga
katkan ketajaman distribusi disfungsi saraf,
sering ditemukan pada polineuropati dia-
membedakan keterlibatan motor dan sen­
betik tahap awal.
sorik, tingkat keparahan. Lebih dalam lagi,
Contoh polineuropati simetrik proksimal elektrodiagnostik dapat menilai gang­
yang paling umum adalah sindrom Guil- guan saraf berdasarkan aksonopati mau-
lain-Barre (SGB) dan chronic inflammatory pun mielinopati. Elektrodiagnostik juga
demyelinating polyneuropathy (CIDP) yang dapat dilakukan berulang untuk tujuan
dibahas dalam bab tersendiri. Diagnosis evaluasi atau menilai progresifitas pe­
lain yang perlu dipildrkan dengan distribusi nyakit.
seperti ini adalah porfiria, spina muskular
2. B io p s i S a ra f d a n B io p s i K u lit
atrofi, dan penyakit Tangier.
Biopsi saraf dilakukan untuk mencari
Polineuropati dengan predominasi ektremi- etiologi, lokasi patologi, dan tingkat ke­
tas atas dengan gejala sensorik banyak ter- rusakan saraf. Dalam beberapa dekade
jadi pada tahap awal kekurangan vitamin belakang, biopsi saraf sudah jarang di­
B12. Distribusi ini dengan gejala motorik lakukan karena perkembangan elektrodi­
kadang juga terjadi pada beberapa SGB, agnostik, laboratorium, dan tes genetik.
porfiria, dan HMSN. Neuropati dengan ke- Saat ini pemeriksaan biopsi saraf dilaku­
terlibatan saraf kranial dapat disebabkan kan bila etiologi tidak dapat ditemukan

668
Neuropati

setelah berbagai pemeriksaan tambahan pemeriksaan ini lebih mahal dibandingkan


dilakukan. obatnya, maka pemeriksaan ini jarang di­
lakukan.
Lain halnya dengan biopsi saraf, biopsi
kulit meningkat secara dramatis dalam Jika dicurigai suatu neuropati demielin-
dua dekade belakangan, Biopsi ini menjadi isasi, pertimbangkan untuk memeriksa
pemeriksaan baku emas untuk menilai anti-myelin-associated glycoprotein (anti-
inervasi serabut saraf kecil intraepider- MAG]. Jika dicurigai suatu multifocal mo­
mal tidak bermielin yang menghantarkan tor neuropathy (MMN) pertimbangkan
sensasi nyeri dan suhu dari kulit serta ber- pemeriksaan anti-GMl. Pada varian SGB
peran dalam regulasi fungsi otonom. Neu­ diperiksakan antiGQlb, antiGMl, dan
ropati serabut saraf kecil ini dapat hanya antiGD-la. Untuk kecurigaan etiologi in-
mempunyai gejala klinis minimal dan feksi sistemik/gangguan imunitas, perlu
mungkin saja terlewatkan pada pemerik­ dilakukan pemeriksaan cairan serebro-
saan klinis, oleh karena pemeriksaan elek- spinal. Pasien perokok rentan terhadap
trodiagnostik konvensional hanya dapat keganasan. Jika didapatkan neuropati
menilai serabut saraf besar. sensorik pada perokok, pertimbangkan
pemeriksaan antibodi antiHu, yang ber-
3. Pemeriksaan Laboratorium dan Genetik
hubungan dengan neuropati paraneo-
Pemilihan pemeriksaan laboratorium dan
plastik.
genetik memberi tantangan tersendiri.
Banyak sekali pemeriksaan yang dapat Pemeriksaan genetik merupakan peme­
dilakukan, namun karena mahal, perlu riksaan lanjutan jika dicurigai neuropati
analisis mendalam berdasarkan anamnesis herediter secara klinis ditunjang dengan
dan pemeriksaan fisik sebelum menentu- ldasifikasi menurut elektrodiagnostik.
kan pilihan yang tepat. Pemeriksaan stan- Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan
dar yang disarankan American Academy o f lebih efisien secara bertahap dimulai
Neurology (AAN) di antaranya gula darah dari kecurigaan klinis paling besar dan
puasa, elektrolit, pemeriksaan fungsi ginjal, paling sering terjadi.
fungsi hepar, darah lengkap, hitung jenis,
kadar vitamin B12, laju endap darah, fungsi C O N T O H -C O N T O H N E U R O P A T I
tiroid, dan jika memungkinkan immuno- 1. In h erited P erip h eral N eu ropathy/
fixation electrophoresis (IFEJ. Charco t-Marie-Tooth
Salah satu etiologi neuropati perifer
Pemeriksaan toleransi gula 2 jam adalah mutasi genetik yang diturunkan
pascapuasa lebih sensitif dibandingkan dari orang tua ke anaknya. Neuropati
dengan pemeriksaan hemoglobin Ale herediter [inherited neuropathy ) sering
(HbAlc) dan gula darah puasa. Oleh karena disebut dengan penyakit Charcot-Marie-
itu pemeriksaan ini perlu dipikirkan jika Tooth (CMT), Nam a ini diberikan sebagai
pemeriksaan awal normal. Defisiensi vita­ penghormatan tiga orang yang pertama
min B12 merupakan penyebab neuropati kali mendeskripsikan penyakit ini pada
yang mudah diterapi. Di Indonesia karena tahun 1886. Sebagian besar CMT meru-

669
Bulcu Ajar Neurologi

pakan neuropati motorik dan sensorik, sar pada neuropati diabetes terjadi pada
oleh karena itu sering juga disebut serabut saraf perifer di distal, namun
dengan hereditary motor and sensory kerusakan tersebut dapat juga terjadi
neuropathy (HMSNJ. pada proksimal, baik di ganglion radiks
dorsalis ataupun di kornu anterior. Ter­
CMT dibagi menjadi dua: CMT1 yang me-
dapat beberapa teori mekanisme pe­
miliki patologi hypertrophic demyelinat-
nyebab neuropati diabetes, antara lain
ing neuropathy dan terdapat perlambatan
gangguan vaskular, hipotesis metabolik,
KHS (<38m/s pada ekstremitas atas); dan
perubahan sintesis protein dan transpor
CMT 2 yang memiliki patologi degenerasi
aksonal, serta mekanisme imunologi,
aksonal dengan KHS yang relatif normal.
Berbagai mekanisme ini menyebabkan
Untuk mendiagnosis pasien neuropati bentuk-bentuk neuropati yang beragam
herediter kadang cukup mudah. Jika pasien pula, baik neuropati sensorik, otonom,
memiliki kelemahan ektremitas bagian fokal, multifokal, simetrik, maupun poli-
distal disertai hilangnya fungsi sensorik, neuropati.
pes cavus, pemeriksaan KHS dengan
Gangguan vaskular diprediksi dapat me­
hasil melambat, dan riwayat keluarga
nyebabkan penebalan dinding pembuluh
yang cukup kuat, maka pasien tersebut
kemungkinan dapat menderita CMT. Di darah mikro dan menyebabkan iskemia
pada vasa neuronum. Berbagai peneiitian
sisi lain, mungkin saja neuropati herediter
teiah mendukung teori ini, mulai dari studi
muncul sebagai de novo atau baru muncul
in vitro, in vivo pada tikus, serta otopsi
ketika dewasa.
dan biopsi pada N. Suralis. Studi pada
Pada CMT terdapat 4 4 lokus di 50 gen tikus STZ-diabetes menunjukkan penu-
yang dapat bermutasi yang menyebab- runan oksigenasi jaringan dan peningkatan
kan kelainan ini, sehingga gejala klinis- resistensi vaskular. Lesi multifokal pada
nya cukup kompleks dengan pola yang jaringan biopsi dan otopsi manusia juga
bervariasi membuat tes genetik men­ konsisten dengan teori bahwa diabetes
jadi mahal. Pemeriksaan genetik yang menyebabkan iskemik pada jaringan
efisien dapat dilakukan dengan memilah saraf perifer.
kemungkinan jenis CMT berdasarkan
Hipotesis metabolik tentang hiperglike-
pemeriksaan elektrodiagnostik.
mia berdasarkan studi retrospektif yang
2 . N e u r o p a ti D ia b e te s menyatakan bahwa komplikasi neuro­
Diabetes melitus [DM] merupakan salah pati pada diabetes yang lebih dini dan
satu penyebab terbanyak neuropati peri- lebih berat berhubungan dengan kon-
fer di dunia. Lebih dari setengah pasien trol glikemik yang buruk. Di sisi lain,
diabetes mengalami neuropati, dan acute painful diabetic neuropathy juga
setengah orang yang memiliki neuropati membaik dengan penurunan berat badan
adalah pasien diabetes. dan kontrol glikemik yang baik. Hal terse­
Perubahan patologi saraf yang paling be- but sangat mungkin terjadi karena pada

670
Neuropati

kondisi hiperglikemia, perubahan sintesis ereksi maka tidakmenutup kemungkinan


protein dan transpor aksonal akan meng- terdapat penyakit kardiovaskular lainnya
ganggu transpor makromolekul dari akson yang terkait dengan gangguan otonom.
di distal kembali ke zona perinuklear Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi
untuk didaur ulang. Gangguan ini me- jantung menyeluruh pada pasien DM
nyebabkan degenerasi aksonal di distal. dengan gangguan disfungsi ereksi.
Tata laksana neuropati diabetik sangat Diabetes juga meningkatkan risiko ber-
beragam. Oleh karena sifatnya yang bagai jenis neuropati lainnya. Diabetes
sistemik, maka tata laksana yang dilaku- meningkatkan risiko reaktivasi herpes
kan harus menyeluruh tidak berhenti zoster dan painful thoracic radiculopathy.
sampai pengobatan saja, namun juga Baal kedua tangan pada pasien diabetes
evaluasi sepanjang perjalanan penya- juga masih sangat mungkin karena CTS
kit. Pasien diabetes perlu dinilai sensi- atau carpal tunnel syndrome bilateral.
bilitas daerah distal. Pasien yang tidak
Tata laksana neuropati diabetes adalah
dapat merasakan tes monofilamen lOg
dengan kontrol gula darah yang baik
kemungkinan memiliki diagnosis poli-
mendekati normoglikemia atau kadar
neuropati distal simetrik dan cenderung
HbAlc dipertahankan di bawah 7%. Bila
akan mengalami ulserasi pada telapak
terdapat nyeri, maka obat simptomatik
kakinya. Oleh karena itu pasien perlu di-
lakukan tindakan pencegahan dengan edu- pilihan diantaranya adalah gabapentin,
kasi serta penggunaan alas kaki yang sesuai, pregabalin, karbamazepin, maupun oks-
atau dirujukke ahli kaki {podiatrist}. karbazepin. Obat-obat antinyeri neuropa-
tik tersebut dapat dikombinasikan dengan
Pasien diabetes juga rentan terhadap obat anti inftamasi nonsteroid (OA1NS),
gangguan saraf otonom. Jika terdapat analgesik lainnya, ataupun antidepresan.
riwayat hipotensi ortostatik, presinkop, Namun perlu diingat karena DM adalah
dan hasil pemeriksaan EKG-treadmill penyakit sistemik, interaksi obat dan
menunjukkan gambaran intoleran, ke­ fungsi ginjal perlu diperhatikan sebelum
mungkinan pasien mengalami cardiac terapi diberikan.
dysautonomia. Keadaan ini dapat me-
ningkatkan risiko kematian menjadi 3. BeIVs Palsy
2 sampai 5 kali lipat, antara lain akibat Merupakan kelainan saraf fasialis tipe
painless myocardial infarct jika pasien perifer idiopatik dan penyebab terbanyak
mengalami kelelahan yang hebat dan lesi nervus fasial unilateral yang dapat
tiba-tiba disertai kulit yang pucat, mual, mengenai semua jenis kelamin dan usia.
kebingungan, sesalc napas, atau batuk. Prevalensinya sekitar 23 per 100.000
penduduk dan diperkirakan meningkat
Disfungsi ereksi sebagai salah satu
pada pasien DM, hipertensi, serta ibu
gangguan otonom dapat terjadi pada
hamil masa perinatal.
pasien DM. Jika didapatkan disfungsi

671
Bulai Ajar Neurologi

Walaupun Bell's palsy diperkirakan yang merupa-kan tempat tersempit


idio-atik, namun sebenarnya kurang
Nyeri pada area belakang aurikular
tepat karena studi mengaitkannya dengan dapat muncul 1-2 hari sebelum onset
infeksi herpes simplex virus (HSV)-1. Pada Level kerusakan nervus fasialis menentu-
autopsi kasus ini, HSV-1 dapat diisolasi kan manifestasi klinis yang muncul. Ner­
dari ganglion genikulatum serta terdeteksi
vus fasialis memiliki bagian motorik dan
pada cairan endoneurium sebagian be- sensorik (Gambar 2), maka gangguannya
sar pasien dibandingkan dengan kontrol dapat berupa kelumpuhan otot fasialis
sehat. Pada sindrom Ramsay-Hunt dapat ipsilateral (muskulus frontalis, orbiku-
diisolasi virus varicella zoster. laris okuli, bucinator, orbikularis oris, dan
Pada Bell's palsy terjadi inflamasi yang me- platisma], penurunan lakrimasi ipsila­
nyebabkan demielinisasi segmental, bah- teral, hiperakusis (muskulus stapedius]
kan dapat terjadi kerusakan aksonal, se- ipsilateral, penurunan sali-vasi ipsilateral,
hingga terjadi kelainan nervus fasialis tipe dan penurunan indera pengecap ipsila­
perifer yang mencapai m axim al dalam teral pada duapertiga anterior lidah (rasa
48-72 jam pascaonset. Abnormalitas dapat manis, asam, dan asin). Pada beberapa
terjadi pada lokasi sepanjang perjalanan kasus juga dapat disertai hipestesi pada
nervus fasialis sejak keluar dari inti nervus satu atau lebih cabang nervus trigeminal.
fasialis di pons hingga serabutterminalnya Derajat kelumpuhan nervus fasialis dini-
yang menginervasi efektor, Lokasi lesi ter- lai menggunakan sistem grading House-
banyak di bagian proksimal kanalis fasialis Brackmann yang membagi manifestasi
Idinis menjadi 6 derajat (Tabel 2)

Gambar 2. Jaras Nervus Fasialis


End-organ

672
Neuropati

Tabel 2. D erajat Keiumpuhan N. Fasialis Berdasarkan Grading House-Brackmann


Derajat Karakteristik
I (Normal) Tidak ada kelainan
II (Disfungsi ringan) Inspeksi
® Tampak kelemahan otot wajah ringan dengan inspeksi seksama
® Dapat ditemukan sinkinesia
® Tampak simetris dan tonus tampak normal saat istirahat
Gerakan otot wajah
®M. Frontalis: fungsi moderat -baik
• M. Orbikularis okuli: kelopak mata menutup baik dengan usaha minimal
®M. Orbikularis oris: asimetri ringan
III (Disfungsi sedang) Inspeksi
®Tampak asimetri namun tidak memberi kesan jelek pada penampilan
®Tampak sinkinesis, kontraktur, atau hemifacial spasm yang jelas namun ti­
dak berat
®Tampak tonus normal saat istirahat
Gerakan otot wajah
® M, Frontalis: gerakan berkurang
® M. Orbikularis okuli: kelopak mata dapat menutup dengan baik dengan
usaha yang kuat
® M. Orbikularis oris: asimetri ringan dengan usaha maksimal
IV (Disfungsi sedang-be- Inspeksi
rat) ®Tampak asimetri yang jelas dan memberi kesan buruk pada penampilan
« Tampak tonus normal saat istirahat
Gerakan otot wajah
» M. Frontalis: tidak ada gerakan
« M. Orbikularis okuli: kelopak mata menutup tidak sempurna
® M. Orbikularis oris: asimetri dengan usaha maksimal
V (Disfungsi berat) Inspeksi
®Saat istirahat tampak asimetri
Gerakan otot wajah
® M. Frontalis: tidak ada gerakan
® M. Orbikularis okuli: kelopak mata menutup tidak sempurna
VI fParalisis totall Tidak ada eerakan sama sekali
Sumber: House jW, dkk. Otolaryngol Head NeckSurg. 1985. h. 14-7.

Diagnosis Bell's palsy ditegakkan secara fasialis, sehingga belum dapat diperkira-
klinis. Pada pemeriksaan MRI dengan kon- kan derajat kerusakan akhirnya. Diagnosis
tras, didapatkan penyangatan nervus fasialis banding kasus ini adalah penyakit Lyme,
yang merepresentasikan inflamasi. Cairan otitis media, sindrom Ramsay-Hunt, sarkoi-
serebrospinal menunjukkan peningkatan dosis, SGB, tumor kelenjar parotis, multipel
ringan limfosit dan monosit. Pemeriksaan sklerosis, stroke, dan tumor.
elektrofisiologi, yaitu refleks kedip (blink
Inflamasi pada nervus fasialis dapat diatasi
reflex) dapat menentukan topis kerusakan
dengan pemberian glukokortikoid oral,
nervus fasialis. Pemeriksaan ini dilakukan
yaitu prednison 40-60mg perhari selama 10
setelah onset 14 hari, karena pada <14 hari
hari dengan penurunan dosis bertahap. fika
pascaonset masih terjadi kerusakan nervus
diduga infeksi virus sebagai etiologinya, dapat

673
Bulat Ajar Neurologi

ditambahkan antiviral yaitu asildovir 400mg 5 E. BelVs palsy, neuropati diabetes, Char-
kali sehari selama 7 hari atau valasildovir lg 3 cot-Marie-Tooth
kali sehari selama 7 hari dalam waktu 72 jam Jawaban: A.
sejak onset Untukmencegah keratitis paparan
akibat lagoftalmus dapat diberikan air mata Neuropati diabetes dan defisiensi vi­
tamin B12 merupakan neuropati yang
buatan, pelindung mata, dan penutupan mata
disebabkan oleh kondisi metabolik, se­
secara mekanik saat tidur.
hingga kerusakan saraf akan memiliki
Pada kasus degenerasi aksonal berat, dapat distribusi bergantung pada jarak (length
terjadi inervasi aberan sehingga menimbul- dependent ). Demikian pula pada SGB pola
kan komplikasi sinkinesis, Sinkinesis adaiah ini disebabkan karena kegagalan kon-
reinervasi serabut saraf pada organ efek- duksi pada saraf bagian perifer ke distal
tor yang bukan organ efektor sebenarnya. Charco-Marie-Tooth juga memiliki dis­
Terdapat fenomena air mata buaya, yaitu tribusi pada saraf-saraf di distal, namun
terjadinya lakrimasi ipsilateral pada saat sangat jarang disertai gangguan sensorik.
mengunyah. Sindrom Marin-Amat, yaitu pe­
nutupan kelopak mata ipsilateral saat mem- 2. Dari soal no. 1 diketahui keadaan ini
dikeluhkan perlahan namun bertambah
buka rahang. Seldtar 70% pasien mengalami
baal sejak 3 tahun sebelumnya. Tidak
perbaikan dalam 1-2 bulan dan 85% di an-
ada riwayat demam, diare atau flu-like
taranya mengalami perbaikan penuh. Mun-
culnya perbaikan motorik pada hari ke-5 atau syndrome 5 hari sampai 2 minggu sebe­
lumnya, sehingga SGB dapat disingkirkan.
7 menunjukkan prognosis baik, sementara
Pemeriksaan laboratorium tambahan yang
adanya tanda denervasi pada pemeriksaan
dapat dilakukan pada pasien ini adaiah
elektrofisiologi setelah hari ke-10 menun-
jukkan prognosis buruk. A. Kadar gula darah HbAlc
B. Kadar vitamin B12
CONTOH KASUS C. Serologi HSV-1
1. Wanita 49 tahun datang dengan keluhan
D. A dan B benar
baal pada tangan dan kald. Pemeriksaan
klinis menunjukkan hipestesi dengan E. Semua benar
distribusi stocking and gloves . Diagnosis Jawaban paling tepat adaiah D (A dan B
diferensial yang paling mungkin pada benar).
pasien ini adaiah
Pemeriksaan kadar gula darah HbAlc dan
A. Neuropati diabetes, SGB, defisiensi kadar vitamin B12 untuk menyingkirkan
vitamin B12 diagnosis diferensial neuropati diabetes
B. Charcot-Marie Tooth, BelVs palsy, SGB. dan defisiensi vitamin B12. Walaupun
C. Defisiensi Vitamin B12, BelVs palsy, defisiensi tersebut dapat mudah diatasi
cubital tunnel syndrome dengan suplemen vitamin B12, namun
pemberian terapi tanpa alasan yang kuat
D. Defisiensi Vitamin B12, neuropati dia­
tidaklah tepat. Pemeriksaan serologi
betes, cubital tunnel syndrome

674
Neuropati

HSV-1 dapat dilakukan bila dicurigai E. Semua benar


Bell's palsy. Jawaban: A. Bell's palsy
3. Laki-laki usia 39 tahun datang dengan Paresis N. VII perifer masih dapat disebab­
keluhan bicara pelo, wajah tertarik ke kan oleh semua pilihan tersebut, namun
sisi kanan jika senyum atau tertawa, pada kasus ini yang paling tepat adalah
lcelopak mata kiri tidak dapat menutup, Bell's palsy, yaitu didahului oleh gejala in-
dan sering keluar air dari sudut mulut flamasi dan bersifat akut. SGB dapat dida­
saat minum. Tidak ada kelemahan hului oleh gejala inflamasi, namun jika ter-
ektremitas. Kemungkinan besar pasien kena saraf kranial sering kali bilateral. MS
ini mengalami gangguan pada: biasanya terjadi berulang dan gangguan
A. Ganglia basal kanan di sentral. Adapun stroke terjadi hiper-
B. Korteks motorik wajah kanan akut dan tidak berkaitan dengan inflamasi,
serta proses yang terjadi berupa gangguan
C. N. V perifer kiri
sentral, sehingga bukan menyebabkan
D. N. VII perifer kiri
paresis N. VII perifer, melainkan sentral.
E. N. XI sentral kanan
5. Dari soal nomor 3 dan 4, pemeriksaan
Jawaban: D.
penunjangyang dapat dilakukan sehingga
Keluhan bicara pelo dapat disebabkan oleh dapat menunjukkan prognosis pasien ini
paresis N. VII akibat gangguan transmisi di adalah
sentral maupun perifer. Wajah tertarik ke A. Serologi darah
kanan dan keluar air dari sudut mulut di B. Serologi cairan serebrospinal
sebelah kiri menunjukkan adanya paresis
C. Elektroneurofisiologi
di sisi kiri. Kelopak mata sebelah ldri yang
tidak dapat menutup menunjukkan bahwa D. MRI
terdapat lesi di N. VII di perifer, bukan E. House-Brackmann
sentral. Jawaban: C.
4. Dari soal no. 3 diketahui keluhan ini Pemeriksaan elektroneurofisiologi (blink
dimulai sejak 3 hari yang lalu, dengan reflex) dapat dilakukan mulai hari 10-14
sedikit demam disertai nyeri di belakang pascaonset untuk menentukan lokasi
telinga kiri. Terdapat juga rasa baal di dan prognosis pasien Bell's palsy.
wajah sisi kiri dan kering pada mata kiri.
Diagnosis banding yang paling mungkin DAFTAR PUSTAKA
untuk kasus ini adalah: X. Gradner E, Bunge RP. Gross anatomy of the peripheral
nervous system. Dalam: Dyck PJ, Thomas PK, Griffin
A. Bell's palsy JQ, Low PA, Poduslo JF, editor Peripheral neuropathy.
B. Sindrom Guillain Barre Edisi ke-3. Philadelphia: W. B Saunders; 1993, h. 8-27.
2. England JD, Gronseth GS, Franklin G, Carter GT,
C. Multipel sklerosis (MS) Kinsella LJ, Cohen JA, dkk. Practice parameter:
D. Stroke evaluation of distal symetric polyneuropathy:
role of laboratory and genetic teesting (an

675
Buku Ajar Neurologi

evidence-based review). Report of the American nesota: Continuum- American Academy of Neu­
Academy of Neurology, American Association of rology; 2012;18(1).
Neuromuscular and Electrodiagnostic Medicine, 7. Thomas PK, Ochoa J. Clinical features and differential
and American Academy of Physical Medicine and diagnosis, Dalam: Dyck PJ, Thomas PK, Griffin JQ, Low
Rehabilitation, Neurology, 2009;72(2):185-92. PA, Poduslo JF, editor. Peripheral neuropathy. Edisi ke-
3. Wiratman W, Hakim M, Aninditha T, Sudoyo 3. Philadelphia: W B Saunders; 1993. h. 749-74.
AW, Prihartono J. Neuropati perifer pada pasien 8 . Suryamihardja A, Purwata TE, Suharjanti 1, Yudi-
karsinoma nasofaring yang mendapat kemotera- yanta, penyunting. Diagnostik dan penatalaksanaan
pi cisplatin. Neurona. 2013;30(4):258-63. nyeri neuropatik. Surabaya: Kelompok Studi Nyeri
4. Mondelli M, Giannini F, Giacchi M. Carpal tun­ Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
nel syndrome incidence in a general popula­ (PERD0SS1); 2011.
tion. Neurology. 2002;58(2):289-94. 9. House JW, Brackmann DE. Facial nerve grading sys­
5. Atroshil, Gummess on C,Johnsson R,OrnsteinE,Rans- tem. Otolaryngol Head NeckSurg. 1985;93(2):14-7.
tam ], Rosen I. Prevalence of carpal tunnel syndrome 10. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bell's palsy: diag­
in a general population. JAMA. 1999;282(2):153-8. nosis and management. Am Fam Physician.
6 . Simpson DM, editor. Peripheral neuropathy. Min­ 2007;76(7):997-1002,
11. Sonoo M. Peripheral neuropathy. Medical disease: an il­
lustrated reference guide: neurologyand neurosurgery.
Edisi ke-1. Tokyo: Medic Media; 2011. h, 324-5. Jepang.

676
SINDROM GUILLAIN-BARRE

A h m a d Y a n u arS a fri

PENDAHULUAN RSCM sekitar 7,6 kasus/tahun. Penderita SGB


Sindrom Guillain-Barre (SGB) merupakan di RSCM terutama dewasa muda dengan rerata
polineuropati akut yang disebabkan oleh usia 40 tahun dan rasio laki-laki: perempuan
reaksi autoimun terhadap saraf perifer. SGB adalah 1,2:1.
ditandai dengan gejala dan tanda paralisis
lower motor neuron (LMN) akut disertai PATOFISIOLOGI
disosiasi sitoalbumin pada cairan serebro- Pada SGB, dua pertiga kasus didahului in-
spinal [CSS]. Kecuali pada varian tertentu, feksi ( antecendent infection) pada saluran
perjalanan penyakit SGB bersifat monofasik. pernapasan atas atau gastrointestinal dengan
Pada perjalanan penyakit SGB, perburukan keluhan umum berupa demam (52% ), batuk
klinis hingga mencapai titik nadir biasanya (48% ), nyeri tenggorokan (39% ), pilek
tidak lebih dari 28 hari. SGB merupakan (30% ), dan diare (27% ). Pada 31% kasus
penyebab kelumpuhan LMN akut utama di SGB dapat ditemukan Campylobacter jejuni
dunia setelah era eradikasi polio. (C, je ju n i ) pada analisis fesesnya. Adanya
infeksi anteseden ini menjadi dasar patofi-
EPIDEMIOLOGI siologi SGB berupa proses antibodi mimikri.
Insidens SGB berkisar antara 0,81-1,89 kasus Pada proses antibodi mimikri terjadi kemirip-
per 100.000 penduduk per tahun. SGB lebih an struktur antigen patogen dengan struktur
jarang ditemukan pada anak dibandingkan yang terdapat pada dinding sel tubuh, sehing-
dewasa dan insidens SGB meningkat seiring ga antibodi yang dibentuk tubuh untuk me-
bertambahnya usia, proporsi laki-laki lebih lemahkan patogen tersebut dapat berikatan
besar dibandingkan perempuan. Karakter- dengan jaringan tubuh itu sendiri.
istik serta variasi klinis SGB beragam di ber-
Teori ini didukung oleh beberapa penelitian,
bagai tempat. Acute inflammatory demyelinat-
yaitu:
ing polyneuropathy (AIDP) lebih sering terjadi
® Ditemukannya struktur lipooligosakarida
di Amerika Utara, Arab, dan Eropa. Sementara
(LOS) pada dinding sel C. jejuni yang me-
acute motor axonal neuropathy (AMAN) lebih
miliki kemiripan dengan struktur karbo-
sering terjadi di wilayah Amerika Tengah,
hidrat penyusun membran sel saraf yang
Amerika Selatan, Banglades, Jepang, dan
disebut gangliosida.
Meksiko. Di Indonesia, penelitian di RSUPN
Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menun- ® Pada serum pasien SGB ditemukan anti­
jukkan jumlah kasus baru SGB yang dirawat di bodi terhadap gangliosida.

677
Buku Ajar Neurologi

• Penyuntikan antibodi gangliosida pada Patofisiologi sindrom Miller Fischer (SMF)


hewan percobaan mengakibatkan gejala yang merupakan varian SGB sampai saat ini
yang mirip dengan SGB. masih belum jelas. Pasien SMF pada perjala-
nan klinisnya mengalami pemulihan sem-
Paparan terhadap C. jejuni dapat membuat
purna dan jarang ditemukan kasus yang fetal.
sel-sel imunitas tubuh menghasilkan antibodi
Hal ini menunjukkan proses yangterjadi pada
yang juga dapat berikatan dengan struktur
SMF adalah suatu proses demielinisasi dan
gangliosida pada membran sel saraf. Anti­
bukan merupakan proses degenerasi aksonal.
bodi yang berikatan dengan gangliosida ini
akan memicu proses autoimun melalui me- Patogen-patogen lain yang mampu me-
kanisme pengaktifan komplemen dan mem- nimbulkan reaksi-silang antibodi terhadap
bentuk membrane attack complex (MAC) gangliosida adalah Haemophilus influenzae,
pada membran sel Schwann pada AIDP atau Mycoplasma pneumonia, Cytomegalovirus
pada akson pada AMAN, sehingga menim- (CMV), Epstein-Barr virus (EBV), dan Vari­
bulkan efek neurotoksik (Gambar 1). Hal cella Zoster Virus (VZV). Selain dari antece­
ini dibuktikan dengan ditemukannya sel-sel dent infection, risiko kejadian SGB juga me-
makrofag pada jaringan saraf pasien SGB ningkat pada adanya transfer gangliosida
pada pemeriksaan histopatologi. Makrofag parenteral, pascavaksinasi influenza H1N1,
berperan dalam reabsorbsi debris pada kedua adanya kelainan autoimun lain yang diderita
tipe SGB (demielinisasi dan degenerasi ak- sebeiumnya, penggunaan obat-obatan imu-
sonal), namun serbukan sel limfosit hanya nosupresan, dan pascapembedahan.
ditemukan pada SGB tipe demielinisasi.

Gambar 1. Patogenesis Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy

678
Sindrom GuiUain Barre

Sampai saat ini sudah ditemukan beberapa torik dan menimbulkan gejala motorik yang
antibodi gangliosida dalam serum pasien SGB, lebih dominan dibandingkan sensorik.
yaitu antibodi LM1, GM1, GMlb, GM2, GDla,
Pada serum pasien SMF ditemukan antibodi
GalNAc-GDla, GDlb, GD2, GD3, GTla, dan
terhadap gangliosida GD3, GTla, dan GQlb.
GQlb (Tabel 1).
Gangliosida GQlb banyak terdistribusi pada
Adanya perbedaan jenis antibodi pada ber- aksolema nervus okulomotor, troklearis, abdu-
bagai tipe SGB menunjukan distribusi ganglio­ sens, serta muscle spindle, sehingga jika terjadi
sida berbeda* beda pada jaringan saraf perifer. reaksi autoimun terhadap gangliosida GQlb
Jenis antibodi yang terbentuk dan distribusi muncul gejala klinis SMF berupa oftalmople-
gangliosida menentukan tanda dan gejala gia, ataksia, dan arefleksia. Gangliosida GTla
Minis yang terjadi pada SGB. Sebagai contoh, dan GQlb diekspresikan pada aksolema nervus
pada GBS tipe AMAN, ditemukan antibodi ter- glosofaringeus dan vagus, sehingga dihubung-
hadap GMl, GMlb, GDla, dan GalNAc-GDla kan dengan gejala disfagia ditemukan pada se-
pada serum pasien. Gangliosida-gangliosida bagian kasus SMF. Pada SGB tipe demielinisasi,
ini terdistribusi lebih banyak ditemukan pada antibodi spesifik yang menyebabkan kerusakan
aksolema nodus Ranvier serabut saraf moto- membran sel Schwann pada selubung mie-
rik dibandingkan sensorik. Proses autoimun lin masih belum diketahui hingga saat ini dan
lebih banyak terjadi pada serabut saraf mo- membutuhkan penelitian lebih lanjut

Tabel 1. V arlasi Klinis Sindrom Guillain-Barrd dan A ntibodi Terltait


Subtipe dan Varian A ntibodi IgG
Sindrom Guillain- Barre
Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) Belum ditemukan
Varian: Facial diplegia and paresthesia, bifacial weakness with paresthesia
Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) GMl, GDla
1. Acute motor-sensory axonal neuropathy (AMSAN) GMl, GDla
2. Acute motor-conduction block neuropathy GMl, GDla
3. Phatyngeal-cervical-brachiai weakness G Tla > G Q lb » G D la
4. Varian lain: SGB hiper-ref!eks, SGB paraparesis GMl, GDla
Sindrom M iller F ish er
1. Acute ophthalmoparesis/ptosis/mydriasis [without ataxia) 1 GQlb, GTla
2. Acute ataxic neuropathy [without ophthalmoplegia)1 GQlb, GTla
3. Bickerstaff's brain-stem encephalitis2 GQlb, GTla
4. Acute ataxic hypersomnolencea2
‘Manifestasi inkomplet; 2keterlibatan sistem saraf pusat (SSP)
Sumber: Yuki N, dkk. N Engl J Med. 2012. h. 2294-304.

679
Buku Ajar Neurologi

GEJALA DAN TANDA KLINIS TRF defisit neurologis yang terjadi lebih
Pola perjalanan penyakit SGB bersifat berat hingga sampai memerlukan ventilasi
monofasik (Gambar 2}. Pada sebagian besar mekanik.
SGB terdapat infeksi anteseden sebelum
Defisit neurologis SGB pada ekstremitas
munculnya defisit neurologis. Waktu antara
dapat berupa kelemahan motorik tipe LMN,
infeksi anteseden dan munculnya defisit
gangguan sensorik berupa parastesia, hipes-
neurologis bervariasi antara 4 minggu
tesia atau gangguan propioseptif, serta hipore-
sampai 6 bulan. Defisit neurologis ini akan
fleksia maupun arefleksia. Defisit neurologis
mengalami perburukan hingga mencapai titik
ini dapat melibatkan nervus kranialis, ter-
nadir dalam waktu tidak lebih dari 28 hari
utama nervus Fasialis pada AIDP. Varian
[4 minggu). Antibodi antigangliosida dapat
klinis SGB lain yang melibatkan nervus kra­
dideteksi dalam serum pasien selama pro­
nialis adalah SMF dengan trias gejala berupa
ses ini dan kadarnya akan menurun seiring
arefleksia, ataksia, dan oftalmoplegia.
dengan berjalannya waktu.
Fase pemulihan dapat berlangsung bebe-
Pada SGB dapat terjadi fluktuasi defisit
rapa minggu, bulan, bahkan tahun tergantung
neurologis dalam waktu 8 minggu sejak di-
proses patologi yang terjadi. Lesi demielinisasi
berikannya imunoterapi. Hal ini masih di-
(AIDP) mempunyai prognosis yang lebih baik
anggap sebagai suatu pola monofasik SGB.
dibandingkan degenerasi aksonal (AMAN).
Fluktuasi ini disebut sebagai fluktuasi ter-
Pemulihan pada SGB tipe demieliniasasi dan
kait pengobatan [Guiilain-Barre syndrome
degenerasi aksonal akan terjadi secara ber-
with treatment-relatedfluctuation/GBS-TRF').
angsur-angsur sesuai dengan perawatan dan
Perjalanan GBS-TRF mirip dengan chronic
terapi yang adekuat.
inflamatory demyielinating polineuropathy
(CIDP) onset akut, hanya saja progresifitas Terdapat beberapa variasi gambaran klinis
defisit neurologis CIDP berlangsung hingga SGB berdasarkan penelitian dan laporan ka-
lebih dari 8 minggu atau fluktuasi defisit sus yang ada, yaitu:
neurologis terjadi tiga kali atau lebih se- 1. SGB hiperrefleks
dangkan fluktuasi GBS-TRF terjadi tidak SGB umumnya menunjukkan tanda hi-
lebih dari 8 minggu sejak onset dan jarang porefleksia atau arefleksia, namun pada
terjadi fluktuasi lebih dari 2 kali. Dalam 10% kasus dapat ditemukan refleks ten­
perjalanannya, fluktuasi defisit neurolo­ don dalam yang normal atau bahkan me-
gis pada CIDP lebih ringan dibandingkan ningkat dengan tonus otot yang normal.
GBS-TRF. Defisit neurologis pada CIDP tidak Pemeriksaan imunohistokimia pada se­
sampai membutuhkan ventilasi mekanik, rum pasien SGB hiperrefleks menunjukkan
jarang melibatkan gangguan saraf kranial, adanya antibodi antiGMl dan antiGDla,
dan gambaran pemeriksaan elektrofisiologi dengan gambaran neurofisiologi sesuai
proses demielinisasi, sedangkan pada GBS- dengan SGB tipe aksonal.

680
Sindrom Guillain Barre

Gambar 2. Perjalanan Penyaldt Sindrom GuiUain-Barre dengan Keterkaitan


Rivvayat Infeksi dan Pembentukan Antibodi Gangliosida
SGB: sindrom GuiUain-Barre; SGB-FTP: fluktuasi terkait pengobatan; acute ClDP-.acute onset chronic inflammatory
demyelinating polyneuropathy

2. Pharyngeal-cervical-brachial weakness pungsi lumbal serta pemeriksaan MRI


Penegakan diagnosis SGB tipe ini didapat menunjukkan kesesuaian dengan SGB, se-
dengan ditemukannya kelemahan pada dangkan gambaran neurofisiologi sesuai
otot orofaring, leher, dan ekstremitas atas dengan SGB tipe degenerasi aksonal.
akut yang disertai arefleksia. Kelemahan
4. Kelemahan bifasial dengan parestesia
motorilc pada ekstemitas bawah dapat
Gejala dan tanda klinis SGB tipe ini berupa
juga ditemulcan namun lebih ringan.
kelemahan nervus fasialis bilateral akut
3. SGB paraparesis tanpa disertai oftalmoplegia dan kelema­
Pada SGB paraparesis kelemahan motorik han ekstremitas. Pada tipe ini dapat juga
dengan hiporefleksia atau arefleksia akut ditemukan parestesia dari ujung-ujung
hanya terjadi pada ekstremitas bawah jari. Pemeriksaan neurofisiologi lebih lan-
saja, sementara ekstremitas atas normal. jut dapat sesuai dengan gambaran lesi
Berbeda dengan lesi medula spinalis, demielinisasi.
pada SGB paraparesis level gangguan sen-
5. Oftalmoplegia/ptosis/midriasis akut
sorik memiliki batas yang tidak tegas dan
Variasi klinis sindrom SGB ini merupa-
fungsi berkemih masih normal. Analisis

681
Buku Ajar Neurologi

kan bentuk manifestasi SMF inkomplet dapat menggunakan kriteria diagnostik


berupa oftalmoplegia, ptosis, atau mi- menurut National Institute o f Neurological
driasis akut tanpa adanya ataksia, Peme- and Communicative Disorders and Stroke
riksaan imunohistokimia pada serum (NINCDS) sebagai berikut:
pasien ini menunjukkan adanya antibodi
Tanda minimum untuk penegakan diagnosis
terhadap gangliosida GQlb.
1. Kelemahan progresif pada kedua lengan
6. Neuropati ataksia akut
dan tungkai (dapat dimulai dari eks­
Bentuk SMF inkomplet lainnya adalah
tremitas bawah]
ataksia akut tanpa oftalmoplegia. Ter-
2. Hiporefleksia atau arefleksia
dapat dua bentuk manifestasi Minis tipe
ini, yaitu ataksia dengan atau tanpa tan da Tanda yang memperkuat diagnosis
Romberg positif. Pada ataksia tanpa tanda 1. Perburukan gejala yang mencapai titik
Romberg ditemukan antibodi anti-GQlb nadir kurang atau sama dengan 28 hari
serum, sedangkan pada ataksia dengan (4 minggu]
tanda Romberg ditemukan antibodi an-
2. Pola distribusi defisit neurologis yang
tiGDlb serum. Manifestasi Minis ataksia
simetris
ini diduga aldbat antibodi yang terbentuk
menyerang struktur muscle spindle. 3. Gangguan sensorik minimal
4. Gangguan nervus kranial, terutama
1. Bickerstaffs brainstem encephalitis [BBE]
kelemahan otot fasialis bilateral
Diagnosis BBE ditemukan bila ditemu­
kan trias gejala SMF disertai gangguan 5. Disfungsi saraf autonom
kesadaran atau hipersomnolen. BBE 6. Nyeri
merupakan variasi SMF dengan keterli- 7. Peningkatan protein pada CSS
batan sistem saraf pusat (SSP), terutama
8. Gambaran elektrodiagnostik khas yang
pada struktur formasio retikularis. Hal
sesuai dengan kriteria SGB
ini didasarkan pemeriksaan MRI kepala
yaitu ditemukannya penyangatan pada Tanda yang meragukan diagnosis
11% kasus BBE dan gambaran abnor- 1. Disfungsi pernapasan berat lebih domi-
malitas perekaman EEG pada 57% kasus. nan daripada kelemahan ekstremitas
Varian lain dari BBE dengan manifestasi pada awal onset
inkomplet dapat berupa acute ataxic hy­ 2. Gangguan sensorik lebih dominan dari­
persomnolence. pada kelemahan ekstremitas pada awal
onset
DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
3. Gangguan BAK atau BAB pada awal onset
Diagnosis
Diagnosis SGB ditegakkan berdasarkan gejala 4. Demam pada awal onset
dan tanda kelemahan akut progresif pada 5. Defisit sensorik berbatas tegas
ekstremitas bawah dan atas disertai are- 6. Progresivitas lambat dengan gangguan
fleksia atau hiporefleksia. Belum ada uji motorik minimal tanpa keterlibatan
diagnostik yang spesifik untuk SGB, namun

682
Sindrom GuiUain Barre

sistem pernapasan (iebih sesuai dengan 1. Kecepatan hantar saraf (KHS)


subacute atau chronic inflammatory de­ Kriteria elektrodiagnosis yang diguna-
myelinating polyneuropathy) kan secara luas ialah kriteria dari Ho
7. Kelemahan asimetris persisten dkk dan Hadden dkk (Tabel 2). Gambaran
8. Gangguan BAI< atau BAB persisten dispersi temporal Iebih ditekankan oleh
Ho dkk, sedangkan konsep blok konduksi
9. Peningkatan jumlah sel mononuklear pada
dikenalkan kembali oleh Hadden dkk
cairan serebrospinal (CSS) (>50xl06/L)
sebagai kriteria diagnostik SGB tipe
10. Peningkatan sel polimorfonuklear pada CSS demielinisasi. Yang dimaksud dispersi
Disfungsi saraf otonom sering ditemukan temporal di sini adalah terdapatnya pe-
hingga dua pertiga kasus SGB dengan mani- manjangan durasi compund muscle action
festasi berupa aritmia, fluktuasi tekanan potential (CMAP) proksimal Iebih dari
darah, respons hemodinamik yang abnor­ 30% dibandingkan CMAP distal, Batasan
mal terhadap pengobatan, serta gangguan ini dinilai cukup sensitif dan spesifik
miksi, defekasi dan berkeringat dalam membedakan antara dispersi tem­
poral akibat demielinisasi dan dispersi
Berikut pemeriksaan penunjang untuk
temporal yang terjadi secara fisiologis
membantu menegakkan diagnosis SGB:
pada stimulasi proksimal.

Tabel 2. Kriteria Elektrodiagnostik Sindrom Guillain-Barre


Ho, dkkz_______________________________ Hadden, dkk*2_____________
Acute In flam m atory D em yelinat- Ditemukan minimal salah satu tanda di bawah pada dua atau Iebih saraf
ing P olyneuropathy perifer:
1. KHS KHS menurun <90% BBN; atau <85% jika amplitudo CMAP distal
<50% BBN
2. Latensi distal Latensi memanjang >110% BAN; atau >120% jika amplitudo CMAP
distal <50% BBN
3. Dispersi temporal Nyata [unequivocal] Tidak ada kriteria
4. Blok konduksi Tidak ada kriteria Amplitudo proksimal: amplitu­
do distal <0,5 dengan amplitudo
CMAP distal >20% BBN
Latensi F-wave Memanjang >120% BAN
Acute M otor A xonal N europathy Tidak ada tanda demielinisasi Tidak ada tanda demielinisasi
(atau hanya ditemukan pada
satu saraf perifer jika CMAP
distal <10% BBN)
Penurunan amplitudo CMAP distal <80% pada dua saraf perifer
KHS: kecepatan hantar saraf; BAN: batas atas nilai normal; BBN: batas bawah nilai normal; CMAP; compound muscle action
potential
Sumber:
‘Ho TW dkk. Brain. 1995. h. 597-605.
2Hadden RD dkk. Annals of neurology. 1998. h. 780-8.

683
Buku Ajar Neurologi

Pemeriksaan KHS yang dilakukan pada minggu pertama dan meningkat menjadi
minggu pertama onset sering menunjukan 75% kasus pada minggu ketiga. Apabila
hasil yang normal atau tidak memenuhi kri- analisa CSS normal pada SGB dengan on­
teria SGB menurut Ho dkk maupun Hadden set kurang dari 2 minggu, maka hal ini
dkk. Oleh karena itu, temuan KHS minggu tidak mempengaruhi penegakan diag­
pertama ini tidak dapat dijadikan landasan nosis SGB selama ditemukan tanda dan
untuk menunda pemberian imunoterapi gejala Minis yang sesuai dan tidak perlu
jika sudah terdapat gambaran klinis yang khas dilakukan pungsi lumbal ulangan.
SGB. Pemeriksaan KHS pada minggu pertama
Peningkatan jumlah sel dan protein CSS
ini lebih berguna untuk menyingldrkan diag­
dapat ditemukan pascaterapi imuno-
nosis banding neuropati perifer lainnya.
globulin intravena dosis tinggi ( intra­
Pada sebagian awal perjalanan penyaldt SGB venous immunoglobulin/WlG) yang di­
tipe AMAN dapat ditemukan gambaran blok duga akibat mekanisme transudasi atau
konduksi pada pemeriksaan KHS. Gambaran meningitis aseptik. Apabila ditemukan
blok ini akan mengalami perbaikan atau meng- peningkatan jumlah sel CSS pada minggu
hilang dalam hitungan hari disertai peningka- pertama onset gejala, maka kemungkinan
tan amplitudo CMAP distal dan pemendekan diagnosis banding lain harus lebih diper-
latensi motor distal kembali ke nilai normal. timbangkan, seperti infeksi, neuropati
Pada kasus ini tidak lazim ditemukan dis- akibat human immunodeficiency virus
persi temporal dan gelombang CMAP polifa- [HIV], limfoma, dan keganasan.
sik. Fenomena ini dikenal sebagai AMAN with
3. Radiologi
reversible conduction failure [AMAN RCF)
Pemeriksaan radiologi dilakukan jika
dan sering didiagnosis secara keliru sebagai
ditemukan tanda dan gejala klinis SGB
A1DP atau AMAN. Untuk mengurangi kesala-
yang meragukan. Hal ini untuk menying-
han interpretasi dan klasifikasi tipe SGB, maka
ldrkan lesi struktural sebagai penyebab
pemeriksaan KHS harus dilakukan secara se­
defisit neurologis yang ada. Hasil peme­
rial minimal dua kali pada 3 saraf motorik dan
riksaan MRI pada kasus SGB adalah murni
3 saraf sensorik dalam 4 -6 minggu pertama.
normal baik pada otak dan medula spi­
2. Pungsi lumbal nalis, walau dapat dijumpai penyangatan
Tindakan pungsi lumbal rutin dilakukan pada radiks proksimal. Pada 11% kasus
pada pasien yang diduga menderita SGB BBE, dapat ditemukan adanya lesi fokal
untuk menyingldrkan diagnosis banding, pada T2W MRI di mesensefa Ion, thalamus,
dan bukan merupakan kriteria utama serebelum, dan batang otak.
penegakan diagnosis SGB. Pada analisis
4. Antibodi antigangliosida
CSS dapat ditemukan disosiasi sitoal-
Walaupun berbagai studi mengaitkan ke-
bumin, yaitu terdapatnya peningkatan
jadian SGB dengan antibodi seperti yang
kadar protein CSS tanpa disertai pe­
tercantum pada Tabel 1, nilai diagnos-
ningkatan jumlah sel. Disosiasi sitoalbu-
tiknya belum dapat dipastikan. Pemerik­
min adalah temuan khas untuk SGB dan
saan ini bermanfaat, tetapi hasil negatif
dapat ditemukan pada 50% kasus pada

684
Sindrom Guillain Barre

tidak menggugurkan diagnosis SGB dan TATA LAKSANA


pemeriksaan ini belum tersedia di sarana Prinsip tata laksana SGB adalah diagnosis
pemeriksaan laboratorium sehari-hari. dini dan tata laksana multidisiplin yang tepat
Risiko kematian SGB mencapai 5% sebagian
Diagnosis Banding
besar disebabkan komplikasi SGB berupa
Telah disebutkan bahwa pada 10% kasus
sepsis, emboli paru, dan disautonomia.
SGB dapat ditemukan refleks tendon dalam
yang normal bahkan meningkat, oleh karena Guillain-Barre Syndrome Disability Score
itu pada keadaan tersebut adanya lesi SSP (GBS Disability Score) atau Hughes score
harus disingkirkan. Gejala klinis SGB dapat adalah sistem penilaian status fungsional un­
menyerupai gejala lesi medula spinalis akut tuk evaluasi dan pemantauan derajat kepara-
seperti mielitis tranversa, namun pada lesi me- han penyakit dapat dilihat pada Boks 1.
dula spinalis gangguan berkemih muncul lebih
Imunoterapi dapat diberikan sejak onset
awal dan defisit sensorik yang ada mempu-
gejala neuropati pertama kali muncul. Man-
nyai batas yangtegas.
faat terbaik muncul pada pemberian imu­
Jika pada pasien tidak ditemukan adanya de- noterapi dalam 2 minggu pertama onset
fisit sensorik, maka pertimbangkan diagnosis pada pasien dengan GBS Disability Score >3.
banding yang mungkin ialah miastenia gravis, Baik plasmafaresis dan imunoglobulin in­
periodik palalisis hipokalemia, botulisme, travena (IV] memiliki efektifitas yang sama
poliomielitis, dan mielopati akut. Diagnosis dalam perbaikan kekuatan motorik pasien,
banding untuk SMF dan kelemahan faring- peningkatan GBS disability score, dan penu-
servikal-brakialis adalah stroke batang otak, runan kebutuhan penggunaan ventilator pada
miastenia gravis, dan botulisme. pasien dengan gagal napas.

B oks 1. Guillain-Barr& Syndrom e D isability S core (GBS D isability S core) a ta u H ughes Score
Cuilluin -lkin t’ Syndrom e D isability S core (GBS D isability Svoiv)

I -■ l.iiiihi il ln g fiiila unitim .il -a-Flu isiaiitjtu lirri.iri


/■■■ [ii.Hii|)ii lit-ijnl.m I 0 mt'U'i' at an k b ill tan pa bantu, m iMimm iickik man urn bi.:ri.iri
■m;impit fH'i j.slitn i t) tm-ti'i- di'Mg.m bald in n umgiail lari
.ikUvit.fi liM'h.il.t:: pada t■-nif):■£ Eiduratuu luirsi mil.i
mviiibiiluiikui! w i it i 'a m r mckanik unluk bi'i'iinCas
____________________________________________________________________
Sumber: Hughes RAC, dkk. Brain. 2007. h. 2245-57.
Boks 2. Indikasi Pemasangan Alat Bantu Napas pada Sindrom Guillain-Barre (SGB)
I in d ik a si pem usnngnit alat haiiLu napas pada SGif jilta d ite m u kan sa in k rile ria m ayor:
^ j j j
* H ipukse rnin/I’at) o b m in lig p u d a miar.t mangai!
" Kapasil.is vital pam -pani ■: 1fjrnl./kgER)

» lieileks batuk yang tidak el'd-dit'


^ p

Sumber: Yuki N, dkk. Guillain-Barre syndrome. N Engl I Med. 2012. h. 2294-304.

685
Buku A jar Neurologi

Plasmaferesis dilakukan lima kali dalam dapat dilihat pada Boks 2.


waktu 2 minggu dengan jumlah maksimum
Pemasangan m onitor kardiovaskular diper-
pertukaran plasma sebanyak lima kali dari
lukan dalam identifikasi dan antisipasi dis-
volume plasma (200-250mL/kgBB). Dosis
fungsi autonom. Disfungsi autonom dapat
total imunoglobulin IV adalah 2g/kg BB di-
berupa bradiaritmia berat atau terdapat
berikan dalam 5 hari, Pem berian imunote-
variasi tekanan sistolik lebih dari 85mmHg.
rapi pada pasien dengan gejala ringan (GBS
Pada pasien tersebut dapat dipasang alat
disability score <3} tetap dapat memberikan
pacu jantung sem entara atau diberikan at-
manfaat namun perlu memperhitungkan
ropin. Gangguan miksi dapat ditatalaksana
efisiensi pengobatan. Penelitian menunjukan
dengan pemasangan kateter, sementara
pemberian plasmaferesis diikuti pemberian
gangguan defekasi dapat diatasi dengan
imunoglobulin IV memberikan hasil yang
pemberian laksatif.
sama dengan pemberian terapi plasmafere­
sis saja atau imunoglobulin saja oleh karena Nyeri merupakan manifestasi klinis yang
itu tidak dianjurkan untuk melakukan kedua banyak ditemukan pada pasien sejak awal
terapi namun dipilih satu modalitas saja onset sampai dengan masa pemulihan. Lo-
plasmaferesis atau IVIG. Pemberian kor- kasi nyeri yaitu punggung dan ekstremitas
tikosteroid oral maupun IV tidak memberi­ sesuai dengan distribusi kelemahan otot
kan manfaat pada kasus SGB. motoriknya. Nyeri menunjukan adanya ke-
terlibatan serabut saraf berdiameter kecil
Pemantauan fungsi paru dapat dilakukan
dan saraf otonom sedangkan disestesia meli-
setiap 1-4 jam untuk meminimalkan risiko
batkan serabut saraf berdiameter lebar. Tata
gagal napas berupa evaluasi frekuensi serta
laksana nyeri yang dapat diberikan berupa
kedalaman napas, kapasitas vital paru-paru,
penggunaan obat anti nyeri neuropatik berupa
dan kemampuan refleks batuk. Indikasi
gabapentin atau karbamazepin.
pemasangan alat bantu napas pada SGB

B oks 3. E rasm u s GBS Outcome S core (EGOS)_______________


! /V/Vi.MjM.'y C H S ( ii il c iH n r Snir>- iiH iO H j

■ /uliiiiy.: i']'.v,iy.ii fii.sri'

e N il;ii iisJS iliy ih ih ly ::rn rr p .iil.i ki-<Ui:i i n i S ',l

S u m b e r : V a n K o n in g s v e l d R , d k k L a n c e t N e u r o l 2 0 0 7 . h . 5 8 9 - 9 4 .

PROGNOSIS mandiri enam bulan setelah onset. Semaldn


Prognosis SGB dapat ditentukan berdasar- besar nilai EGOS yang didapat, maka semakin
kan Erasmus GBS Outcome Score (EGOS), kecil kemungkinan pasien SGB dapat ber­
dapat dilihat pada Boks 3. jalan setelah 6 bulan dari onset. Penelitian
di RSCM Jakarta pada 2 4 subjek pasien SGB
EGOS ini dapat digunakan untuk menentu-
yang dirawat periode Januari 2012-Desember
kan probabilitas pasien SGB dapat berjalan

686
Sindrom Guillain Barre

2014 menunjukan sebagian besar pasien CONTOH KASUS


mengalami perbaikan klinis pada akhir Seorang anak laki-laki 11 tahun mengalami
perawatan. Kekuatan motorik (MRC sum kelemahan pada kedua tungkai disertai rasa
score) saat masuk berada pada skor <30 baal dan sulit berjalan sejak 3 minggu yang
(50% ) dan meningkat menjadi 50-41 pada lalu. Dua minggu sebelum mengalami kelema­
akhir perawatan (29,2% ). GBS disability han tersebut pasien menderita demam dan
score saat masuk 4 (aktivitas terbatas pada mual selama dua hari yang membaik dengan
tempat tidur atau kursi) 54,2% dan menjadi pemberian obat-obatan simptomatik. Pasien
skor 3 (jalan dengan bantuan) pada akhir tidak mengalami gangguan dalam berkemih.
perawatan (37,5% ). Pada pemeriksaan fisik tanda-tanda vital
dalam batas normal, pemeriksaan neurologis
nervus kranialis dalam batas normal.

M o to r CV
left, Abductor digit! minimi, Ulnaris, C 8II
lo ms lm V

♦ *

4 4 4 4 ♦ * « 4 4

-Jt------------ \ * *
2 i - -------------- -
i m A , 0 .2 0 m s , 1 H *

fs lb - jm

¥ ■» 4 4- ■* < * •4 0

KHS Motorik N. Ulnaris Kiri dengan Perekaman pada M. Abduktor Digiti Minimi

Sisi Stim ulasi Dist, L at, Ampl, Ampl. A m pl Dur., KHS KHS KHS
mm ms mV Norm, dev., ms m /s n orm al, dev.,
mV % m /s %
Pergelangan tangan 80 1 0 ,1 0,948 9,0 -89,5 16,6
Siku 240 19,3 0,29 9,0 -96,8 23,5 25,9 60,0 -56,8

Gambar 3. Pemeriksaan KHS Motorik pada N. Ulnaris


KHS menunjukan pemanjangan distal latensi >120% batas atas normal, penurunan KHS <70% batas bawah
normal, dispersi temporal dan blok konduksi dengan gelombang CMAP yang polifasik
Dist: jarak; Lat: latensi; Ampl; amplitudo; AmpI Norm: amplitudo normal; Ampl dev: deviasi amplitudo; Dur: durasi,
KHS: kecepatan hantar saraf; KHS dev: deviasi kecepatan hantar saraf; CMAP: compand muscle action potential
(Dok: Pribadi]

687
Buku Ajar Neurologi

Pada pemeriksaan motorik ditemukan ada- Gambaran Minis pasien diatas dikaitkan den­
nya paraparesis dengan kelemahan otot- gan ditemukannya gambaran dispersi tem­
otot distal lebih berat dari proksimal dengan poral, blok konduksi, pemanjangan latensi,
poia distribusi yang hampir simetris disertai dan penurunan KHS pada 2 saraf memenuhi
arefleksia pada ekstremitas atas dan bawah kriteria AIDP. Pasien mendapat terapi IV1G de­
bilateral. Pada pemeriksaan sensorik dite­ ngan dosis total 2g/kgBB dalam 5 hari. Pasien
mukan tanda gangguan propioseptif pada mengalami perbaikan klinis kekuatan motorik
kedua kaki pasien, sedangkan pemeriksaan terutama pada kedua tungkai. Pasien dapat
sensorik lainnya dalam batas normal. Pada berjalan tanpa bantuan satu minggu setelah
pemeriksaan KHS ditemukan gambaran pe- pemberian IVIG, namun hasil pemeriksaan
manjangan latensi, penurunan KHS motorik, KHS uiang belum menunjukan perubahan
blok konduksi, dispersi temporal pada N. yang berarti. Hal ini dapat dijumpai sehari-hari
Ulnaris kiri (Gambar 3), dan pemanjangan di mana perbaikan klinis mendahului per­
latensi serta penurunan KHS motorik pada baikan hasil pemeriksaan kecepatan hantar
N, Tibialis (Gambar 4). saraf.

KHS M otorik N.Tibialis Kanan Perekaman pada M. Abduktor Halusis Brevis


Sisi Simuiasi Dist, Lat, Ampl, Ampl. Ampl Dur., Area, KHS KHS KHS
mm ms mV norm. dev., % ms mVxms m/s norm, dev.,
mV m/s %
Maleolus 70 9,15 1,97 3,5 -43,8 1 1,2 11,7
medial
Fosa nonlitea 420 2 0 .6 1.51 3.5 -56.9 1 1 .6 9.0 36 .7 50.0 -26.6

Gambar 4. KHS Motorik N. Tibialis


KHS menunjukan pemanjangan distal latensi distal CMAP >120% batas atas normal, penurunan amplitudo CMAP
dan penurunan KHS motorik
Dist: jarak; Lat: latensi; Ampl: amplitudo; Ampl Norm: amplitudo normal; Ampl dev: deviasi amplitudo; Dur: durasi,
KHS: kecepatan hantar saraf; KHS dev: deviasi kecepatan hantar saraf; CMAP: compund muscle action potential
[Dok: Pribadi)

688
Sindrom Guillain Barre

DAFTAR PUSTAKA 15. WHO. Indonesia launches country's largest-ever


1. Yuki N, Hartung H-P. Guillain-Barre syndrome, N immunization campaign to tackle expanding po­
Engl ] Med. 2012;366(24):2294-304. lio epidemic. WHO [serial online]. 2005 [diunduh
29 Desember 2014]; Tersedia dari: WHO.
2. Chitnis T, Khoury SJ. Neuroimmunology. Dalam:
Daroff RB, Fenichel GM, Jankovic J, Mazziotta 16. Ho TW, Mishu B, Li CY, Gao CY, Cornblath DR, Grif­
JC, editor. Bradley's neurology in clinical prac­ fin JW, dkk. Guillain-Barre syndrome in north­
tice. Edisi ke-6. Philadelphia: Elsevier Saunders: ern China. Relationship to Campylobacter jejuni
2012. h. 750. infection and anti-glycolipid antibodies. Brain.
1995;118(Pt 3):597-605.
3. Sejvar JJ, Baughman AL, Wise M, Morgan OW.
17. Uncini A, Kuwabara S. Electrodiagnostic criteria
Population incidence of Guillain-Barre Syn­
for Guillain-Barre syndrome: a critical revision
drome: a systematic review and meta-analysis.
and the need for an update. Clin Neurophysiol­
Neuroepidemiology. 2011;36[2):123-33.
ogy. 2012;123(8):1487-95.
4. Bae JS, Yuki N, Kuwabara S, Kim JK, Vucic S, Lin
CS, et al. Guillain-Barre syndrome in Asia. J Neu­ 18. Nishimoto Y, Odaka M, Hirata K, Yuki N. Useful­
rol Neurosurg Psychiatry. 2014;85(8):907-13. ness of anti-GQlb IgG antibody testing in Fisher
syndrome compared with cerebrospinal fluid ex­
5. van den Berg B, Walgaard C, Drenthen J, Fokke
amination. J. Neuroimmun. 2004;148(l-2):200-5.
C, Jacobs BC, van Doom PA. Guillain-Barre syn­
19. Khan F, Ng L, Amatya B, Brand C, Turner-Stokes
drome: pathogenesis, diagnosis, treatment and
prognosis, Nat Rev Neurol, 2014;10(8):469-82. L. Multidisciplinary care for Guillain-Barre syn­
6. Benamer HTS, Bredan A. Guillain-Barre syn­ drome. Cochrane Database of Systematic Re­
drome in Arab countries: a systematic review. J views. 2010(10):CD008505.
Neurol Sci. 2014;343(l-2):221-3. 20. Hughes RAC, Swan AV, Raphae JC, Annane D, Kon-
ingsveld Rv, van Doom PA. Immunotherapy for
7. Kuwabara S, Yuki N. Axonal Guillain-Barre syn­
Guillain-Barre syndrome: a systematic review.
drome: concepts and controversies. Lancet Neu­
rol. 2013; 12 (2):1180-8. Brain. 2007;130(Pt9):2245-57.
21. Hughes RA, Newsom-Davis JM, Perkin GD, Pierce
8. Koga M, Yuki N, Hirata K. Antecedent symptoms
JM. Controlled trial prednisolone in acute poly­
in Guillain-Barre syndrome: an important indica­
neuropathy. Lancet. 1978;2(8093):750-3.
tor for clinical and serological subgroups, Acta
Neurologica Scandinavica. 2001;103(5):278-87. 22. Hughes RAC, Swan AV, van Doom PA. Intravenous
immunoglobulin for Guillain-Barre syndrome.
9. Poropatich KO, Walker CLF, Black RE. Quantifying
the association between Campylobacter infec­ Cochrane DatabaseSystRev.2014;(9):CD002063.
tion and Guillain-Barre Syndrome: a systematic 23. Raphael JC, Chevret S, Hughes RAC, Annane D.
Plasma exchange for Guillain-Barre syndrome.
review. J Health Popul Nutr. 2010;28(6):545-52.
10. van Doom PA, Ruts L, Jacobs BC. Clinical features, Cochrane Database Syst Rev. 2012;(7):CD001798.
24. Hughes RAC, van Doom PA, Corticosteroids for
pathogenesis, and treatment of Guillain-Barre
Guillain-Barre syndrome. Cochrane Database
syndrome. Lancet Neurol. 2008;7(10):939-50.
Syst Rev. 2012;(8):CD001446.
11. Wakerley BR, Uncini A, Yuki N. Guillain-Barre and
25. Ruts L, Drenthen J, Jongen JL, Hop WC, Visser
Miller Fisher syndromes-new diagnostic classi­
GH, Jacobs BC, dkk. Pain in Guillain-Barre syn­
fication, Nat Rev Neurol. 2 0 1 4 ;!0 (9 ):S37-44,
drome: a long-term follow-up study. Neurology.
12. Wakerley BR, Yuki N. Mimics and chameleons in
2010;75(16):1439-47.
guillain-barre and miller Fisher syndromes. Prac­
tical neurology. 2014;15(2):90-9. 26. Umapathi T, Yuki N. Pain in Guillain-Barre syn­
13. Ito M, Kuwabara S, Odaka M, Misawa S, Koga M, drome. Expert Review of Neurotherapeutics.
Hirata K, dkk. Bickerstaff's brainstem encephali­ 2 0 1 1 ;ll(3 ):3 3 5 -9 .
27. Liu J, Wang LN, McNicol ED. Pharmacological
tis and Fisher syndrome form a continuous spec­
treatment for pain in Guillain-Barre syndrome. Co­
trum. J Neurol. 2008 ;255(5):674-82.
chrane Database Syst Rev. 2013;(10):CD009950.
14. Hadden RD, Cornblath DR, Hughes RA, ZielasekJ,
28. Van Koningsveld R, Steyerberg EW, Hughes RA,
Hartung HP, Toylta KV, dkk. Electrophysiological
Swan AV, van Doom PA, Jacobs BC. A clinical
classification of Guillain-Barre syndrome: clini­
prognostic scoring system for Guillain-Barre syn­
cal associations and outcome. Plasma exchange/
drome. Lancet Neurol. 2007;6(7):589-94.
sandoglobulin Guillain-Barre syndrome trial
group. Annals of neurology. 1998;44(5):780-8.

689
Buku Ajar Neurologi

29. Zairinal RA, Safri AY, Hakim M, Gambaran sindrom 30. Chahyani WI, Ambarningrum M, Safri AY. Gambaran
Guillain Barre di RS Cipto Mangunkusumo. Scien­ ldinis sindrom Guillain-Barre di RSUPN Ciptoman-
tific Full Paper Jaknews; 2016 Maret 17-20; Jakar­ gunkusumo Jakarta Januari 2012-Desember 2014.
ta, Indonesia: Departemen Neurologi FKUI; 2016. [Presentasi Oral], 5-9 Agustus 2015; Makassar: Kong-
res Nasional PERDOSSIVIII; 2015.

690
RADIKULOPATI

Luh Ah Indrawati, Winnugroho Wiratmcm, Ahmad Yanuar Safri,


Fitri Octaviana, Manfaluthy Hakim

PENDAHULUAN karena letak anatomisnya yang dikelilingi


Radikulopati atau gangguan pada radiks struktur yang kompleks. Radiks merupakan
merupakan salah satu penyebab nyeri leher bagian dari sistem saraf tepi yang keluar dari
dan punggung bawah dan merupakan ruju- kornu anterior dan posterior medula spinalis..
kan terbanyak ke laboratorium elektrodiag- Radiks yang keluar dari komu anterior disebut
nosis. Nyeri leher dan punggung bawah send- radiks anterior/ventral yang terdiri dari sera-
iri merupakan salah satu keluhan yang sering but motorik sedangkan radiks yang keluar dari
ditemui dalam praktekldiniksehari-hari. kornu posterior disebut radiks posterior/dor­
sal yang terdiri dari serabut sensorik. Radiks
ANATOM! dorsal memiliki badan sel yaitu ganglion radiks
Radiks merupakan salah satu bagian dari dorsalis yang terletak di luar medula spinalis.
saraf tepi yang sering mengalami gangguan Badan sel radiks anterior terdapat di komu an­
terior medula spinalis.

Gambar 1, Penampang Melintang Vertebra


Ganglion radiks dorsalis (mistype)

691
Buku Ajar Neurologi

Radiks yang keluar dari medula spinalis per- Radiks berjumlah 31 pasang yang terdiri
tama kali masih berada di dalam kanalis spi­ dari 8 radiks servikal, 12 radiks torakal, 5
nalis lalu setelahnya akan melalui foramen radiks lumbal, 5 radiks sakral, dan 1 radiks
neural yang terbentuk di antara dua vertebra koksigis. Radiks servikal 1 hingga 7 keluar
yang berdekatan. Kanalis spinalis merupa- di atas vertebra servikal yang bersesuaian
kan kanal yang terbentuk di antara vertebra sedangkan radiks servikal 8 keluar di antara
yang berdekatan. Kanalis spinalis dibatasi vertebra servikal 7 dan vertebra torakal 1.
oleh ligamentum flavum dan lamina pada sisi Hal tersebut disebabkan jumlah vertebra
posterior, diskus intervertebralis, dan korpus servikal adalah 7 sedangkan jumlah radiks
vertebra pada sisi anterior, dan pedikel pada servikal adalah 8. Selanjutnya radiks keluar
sisi anterolateral (Gambar 1}. di bawah vertebra yang bersesuaian. Pada
manusia dewasa, medula spinalis berakhir
Foramen neural dibatasi oleh pedikel pada sisi
pada batas bawah vertebra LI dan memben-
anterior, diskus intervertebral dan korpus ver­
tuk konus medularis. Kauda ekuina keluar
tebra pada sisi anterior dan sendi faset pada
dari bagian konus medularis. Kauda ekuina
sisi posterior. Di dalam foramen neural melin-
kemudian secara gradual terpisah menjadi
tas radiks, nervus meningeal rekuren, dan
radiks lumbosakral (Gambar 2}.
pembuluh darah radikular.

Gambar 2. Medula Spinalis, Radiks, dan Vertebra

692
Radikulopati

Ramus dorsalis
cabang medial

G am bar 3. Radiks T o rakal dan Percabangannya

Radiks bercabang menjadi ramus dorsalis dan Kauda ekuina berjalan di dalam kanal spinal
ventralis. Ramus dorsalis menginervasi otot dalam ruang subaraknoid sebelum akhirnya
paraspinal dan kulit di area paraspinal. Ramus keluar dari foramen neural di bawah vertebra
ventralis radiks C5-C8 membentuk pleksus yang bersesuaian. Kanal spinal lebih panjang
brakialis yang menginervasi ekstremitas atas. dari medula spinalis sehingga terdapat per-
Ramus ventral radiks T h l sebagian memben­ bedaan level medula spinalis dan vertebra
tuk pleksus brakialis bersama-sama dengan seldtar 2 segmen pada level torakal dan 3
ramus ventralis radiks C5-C8 dan sebagian segmen pada level lumbosakral.
membentuk nervus interkostalis 1. Ramus
Secara mikroskopik, radiks memiliki perbeda-
ventralis radiks Th2-Th6 membentuk nervus
an dengan saraf perifer lainnya. Radiks tidak
interkostalis dan ramus ventralis radiks Th7-
memiliki epineurium, perineurium, dan lebih
12 membentuk nervus torakoabdominal. Ner­
sedildt kolagen pada endoneuriumnya. Hal
vus interkostalis berjalan mengitari lengkung
tersebut menyebabkan kekuatan tensil radiks
dada di antara otot interkosta dan bercabang
jauh lebih rendah dibandingkan bagian saraf
menjadi cabang kutaneus lateral dan medial.
tepi lainnya dan mudah mengalami avulsi.
Nervus torakoabdominal bercabang menjadi
Tidak adanya perineurium yang berfungsi
cabang kutaneus lateral dan medial serta me­
sebagai sawar menyebabkan radiks rentan
nginervasi otot dinding abdominal (Gambar 3).
mengalami serangan infeksi dan inflamasi.
Radiks lumbosakral membentuk kauda ekuina.
Dalam pembahasan mengenai radikulopati

693
Buku Ajar Neurologi

Gambar 4. Dermatom Segmen Servikal, Torakal, dan Lumbosakral

perlu dipahami istilah miotom dan derma- inervasi oleh beberapa segmen spinal yang
tom. Miotom adalah otot-otot yang diiner- berdekatan dan setiap dermatom mengala-
vasi oleh satu segmen spinal. Dermatom mi tumpang tindih dengan dermatom yang
adalah area kulit yang diinervasi oleh satu berdekatan (Tabel 1].
segmen spinal (Gambar 4). Setiap otot di­

694
Radikulopati

Tabel 1. Inervasi Radiks pada Otot Mayor Ekstrem itas Atas dan Bawah
Ekstrem itas Atas Ekstremitas Bawah
Radiks
Otot Nervus Radiks Otot Nervus
04,5 Rombdoid Skapular dorsalis L.2,3,4 Iliakus Femoralis
C5,6 Supraspinatus Supraskapular 12,3,4 Rektus femoris Femoralis
C5,6 Infraspinatus Supraskapular L2,3,4 Vastus lateral dan medial Femoralis
C5,6 Deltoid Aksilaris L2,3,4 Aduktor Obturator
C5,6 Biseps brakii Muskulokutaneus L4,5 Tibialis anterior Peroneus pro­
fundus
C5,6 Brakioradialis Radialis L4,5 Ekstensor digitorum Peroneus pro­
longus fundus
C5 6,7 Seratus anterior Long thoracic L4,5,S1 Ekstensor halusis longus Peroneus pro­
fundus
C5 6,7 Pektoralis mayor: Pektoralis lateral L4,5,S1 Ekstensor digitorum Peroneus pro­
klavikular brevis fundus
06,7,8, Pektoralis mayor: Pektoralis medial L4,5,S1 Hamstring medial Skiatikus
T1 sternal
C6,7 Fleksor karpi Medianus L4,5,S1 Gluteus medius Gluteus supe­
radialis rior
C6,7 Pronator teres Medianus L4,5,S1 Tensor fasia lata Gluteus supe­
rior
C6,7 Ekstensor karpi Radialis L5,S1 Tibialis posterior Tibialis
radialis longus
C6,7,8 Latisimus dorsi Torakodorsal L5,S1 Fleksor digitorum longus Tibialis
06,7,8 Triseps brakii Radialis L5,S1 Peroneuslongus Peroneus
superfisial
06,7,8 Ankoneus Radialis L5,S1 Hamstring lateral (bi­ Skiatikus
seps femoris)
C7,8 Ekstensor digitorum Radialis L5,S1,2 Gastroknemius lateral Tibialis
komunis
C7,8 Fleksor digitorum Medianus L5,S1,2 Gluteus maksimus Gluteus inferior
sublimis
C7,8 Ekstensor indisis Radialis L5,S1,2 Abduktor halusis brevis
1
Tibialis plantar
proprius medial
07,8 Ekstensor karpi Radialis S I ,2 Abduktor digiti quinti Tibialis plantar
ulnaris pedis lateral
C7,8,T1 Fleksor polisis Medianus S I ,2 Gastroknemius medial Tibialis
longus
C7,8,T1 Fleksor digitorium Medianus/ ulnaris S I ,2 Soleus Tibialis
profundus
08,T1 Fleksor karpi ulnaris Ulnaris
08,T1 Interoseus dorsalis 1 Ulnaris
08,T1 Abduktor digiti Ulnaris
minimi
08,T1 Abduktor polisis Medianus
brevis
Cetaktebal menunjukkan inervasi predominan
Sumber: Misulis KE, dkk. Bradley's neurology in clinical practice. 2016. h. 332-41.

695
Buku Ajar Neurologi

EPIDEMIOLOGI 100.000 penduduk. Studi klinis dan radiologi


Radikulopatl servikal lebih banyak terjadi menunjukkan keterlibatan mayoritas pada
pada perempuan dengan rasio perempuan radiks C7 (70%), diikuti C6 (19-25% ], C8 (4-
dan laki-laki adalah 7:1. Rochester menyebut- 10%), dan C5 (2%) kasus. Radikulopati lum-
kan angka kejadian tahunan berkisar 83,2 per bosakral akibat herniasi diskus melibatkan
100,000 penduduk dan puncaknya pada usia terutama radiks L4-5 (55%), L5-S1 (43%),
50-54 tahun dengan angka kejadian 202,9 per dan L3-4 pada 2% kasus.

Tabel 2. Berbagai Etiologi Radikulopati


Radikulopati Serviltal Radikulopati Torakal________________Radikulopati Lumbosakral
- Herniasi diskus Herpes zoster Monoradikulopati Poliradikulopati atau
- Spondilosis Penyakit Lyme Penyakit tulang belakang sindrom ltauda ekuina

- Trauma Radikulopati degenera tif Penyakit tulang be­


torakoabdominal Herniasi diskus lakang degeneratif
- Neoplasma
diabetik Spondilosis atau stenosis Herniasi diskus
- Kista sinovial ser- (biasanya besar dan
vikal Tumor spinal kanal spinal lumbal
(primer dan metas­ sentral)
- Kondromatosis sino­ Penyakit neoplastik
tasis) Spondilosis atau steno­
vial pada send! faset Tumor spinal primer
Herniasi diskus sis kanal spinal lumbal
- Arteritis giant cell Metastasis epidural dan
Spondilosis Penyakit neoplastik
pada pembuluh da- vertebra
rah radikular servikal Trauma M etastasis lepto-
Infeksi meningeal
- Infeksi Abses epidural Abses epidural spinal
spinal Meningitis karsinoma-
Herpes zoster tosa
Hematoma epidural
Radikuloneuropati lyme Infeksi
spinal
Radikulopati diabetik Poliradikulopati pada
Komplikasi anestesi HIV AIDS
spinal atau epidural CMV, HSV, sifilis
Hematoma epidural Herpes zoster
spinal
Radikuloneuropati
Kistal spinal Lyme
Trauma* Poliradikulopati diabe­
tik (amiotrofi)
Komplikasi anestesi
spinal atau epidural
Araknoiditis spinal
Sindrom tethered cord
Hipertrofi radiks pada
Cl DP, HMSN I
HIV AIDS: human immunodeficiency virus acquired immune deficiency syndrome; CMV: cytomegalovirus; HSV: herpes sim­
plex virus; CIDP: chronic inflammatory demyeiinating polyneuropathy; HMSN I: hereditary motor and sensory neuropathies I
Sumber:
*Levin KH. Neuromuscular disorders in clinical practice. 2014. b. 981-1000.
2Raynor EM, dkk. Neuromuscular disorders in clinical practice. 2014. h. 1001-28.

696
Radikulopati

E tio lo g i Kerusakan saraf yang terjadi dapat berupa


Radikulopati dapat disebabkan oleh lesi demielinasi atau degenerasi aksonal (pada
traumatik dan nontraumatik (Tabel 2). Lesi derajat kerusakan yang lebih berat). Klasifi-
traumatik dapat bersifat langsung pada kasi derajat kerusakan saraf berdasarkan
radiks [direct] maupun tidak langsung (in­ klasifikasi Sheddon dan Sunderland serta
direct) akibat trauma pada struktur di seki- kemungkinan pemulihannya dibahas lebih
tarnya, sehingga terjadi disrupsi mekanik lanjut pada bab pleksopati.
baik berupa regangan atau kompresi radiks.
Lesi nontraumatik dapat berupa lesi struk- DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
tural yang menyebabkan kompresi dan lesi Diagnosis radikulopati ditegakkan ber­
inflamasi atau infiltratif, sehingga terjadi dasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
kerusakan radiks melalui mekanisme iske- pemeriksaan penunjang (pencitraan dan elek-
mik, perubahan metabolik, dan sebagainya. trodiagnosis). Penilaian gejala klinis berupa
Contohnya adalah lesi degeneratif, infeksi, adanya nyeri, distribusi gangguan sensorik,
neoplasma, metabolik, dan vaskular. kelemah-an otot, serta penurunan refleks fi-
siologis (Tabel 3).
Etiologi radikulopati servikal terutama me-
liputi protrusi diskus (22% ) dan 68% akibat Radikulopati ditandai dengan nyeri radikular
spondilosis, abnormalitas disltus, atau ke- atau parestesi yang menjalar sesuai dengan
duanya. Berbagai etiologi radikulopati tersebut distribusi dermatomalnya. Nyeri daerah ser­
pada akhimya akan menyebabkan demielinasi vikal terasa dari leher atau punggung atas
dan atau degenerasi aksonal yang gambaran- ke bahu atau lengan hingga tangan. Pada
nya akan tampak pada pemeriksaan elektro- level torakal nyeri radikular menjalar dari
diagnosis. dinding posterior dada dan punggung ke
arah anterior, terasa seperti terikat. Nyeri
PATOFISIOLOGI radikulopati lumbosakral biasanya men­
Radikulopati dapat disebabkan oleh proses jalar hingga area di bawah lutut.
penjepitan ( entrapment ), kompresi, tran-
Distribusi area yang mengalami abnormali­
seksi, infiltrasi, dan iskemia. Kompresi
tas sensorik sesuai dengan dermatom radiks
merupakan mekanisme radikulopati yang
yang terlibat, tetapi batasnya tidak jelas dan
paling sering. Secara struktural, radiks me-
biasanya tidak berat karena area sensorik
miliki lebih sedikit kolagen endoneurium,
antar radiks yang berdekatan saling tumpang
tidak memiliki epineurium, dan aksonnya
tindih. Hal tersebut berbeda dengan lesi
dilindungi lebih sedikit jaringan lemak serta
saraf terminal yang abnormalitas sensoriknya
jaringan penyambung, sehingga kemam-
berat dan dapat dilokalisasi dengan tepat.
puan tensilnya menurun dan rentan terha-
dap kompresi serta regangan. Tidak adanya Demikian pula keterlibatan motorik ter-
perineurium pada radiks sebagai sawar batas pada otot-otot yang diinervasi oleh
darah-saraf menyebabkan radiks rentan ter- radiks yang terlibat (miotom yang sama).
hadap invasi mediator inflamasi dan agen Radikulopati torakal dapat diidentifikasi
infeksi. dengan menginstruksikan pasien untuk

697
Buku Ajar Neurologi

melakukan gerakan sit-up sehingga otot lopati C7, karena masih mendapat inervasi
abdomen atau interkostal yang lemah akan dari radiks C6 dan C8. Refleks tendon dalam
tampak menonjol. Kelemahan pada radiku- akan menurun pada radikulopati sesuai
lopati biasanya juga tidak be rat, karena satu dengan inervasi radiks pada tendon yang
otot diinervasi oleh 2-3 radiks. Otot triseps diperiksa. Tabel 3 membantu untuk meng-
tidak mengalami paralisis akibat radiku- identifikasi radiks yang terlibat

Tabel 3. Manifestasi Klinis Radikulopati


Abnormaiitas Sen- Penurunan
Radiks Nyeri Kelemahan
sorik Refleks
C3-4 Paraspinal dan bahu bagian Leher Diafragma, otot leher dan Tidak ada
atas strap muscle
C5 Leher dan bahu Distribusi nervus Abduksi bahu, rotasi Biseps, brakio-
aksilaris eksternal, fleksi siku, radialis
supinasi lengan bawah
C6 Leher, bahu, lengan atas sisi Sisi lateral lengan Abduksi bahu, rotasi Biseps, braltio-
lateral, lengan bawah sisi bawah, ibu jari, dan eksternal, fleksi siku, radialis
lateral, ibu jari, dan tangan telunjuk supinasi, dan pronasi
sisi lateral lengan bawah
C7 Leher, bahu, jari tengah dan Jaritelunjuk, jari Ekstensi siku dan pergela­ Triseps
tangan tengah dan telapak ngan tangan (aspek radial),
tangan pronasi lengan bawah,
fleksi pergelangan tangan
C8 Bahu, lengan bawah sisi Sisi medial lengan Ekstensi jari, ekstensi pergela­ Triseps
medial, jari manis, jari bawah, jari manis, ngan tangan (aspek ulnar),
kelingking, dan tangan sisi jari kelingking dan fleksi jari bagian distal, fleksi ibu
medial tangan sisi medial jari bagian distal, abduksi, d van
aduksijari
T1 Lengan atas dan bawah sisi Sisi medial lengan Abduksi ibu jari, fleksi ibu Triseps
medial, dinding dada (axilla­ bawah, jari manis, jari distal, abduksi, dan
ry chest waif] dan jari kelingking aduksi jari
LI Area inguinal Area inguinal Tidak ada Tidak ada
L2 Kemaluan dan tungkai atas Tungkai atas sisi Iliopsoas Tidak ada
sisi anterior anterolateral
L3 Tungkai atas sisi anterior Tungkai atas sisi Kuadriseps, iliopsoas dan Patela
hingga lutut medial dan lutut aduktor panggul
L4 Tungkai atas sisi anterior Tungkai bawah sisi Tibialis anterior, Patela
hingga tungkai atas medial kuadriseps, aduktor
panggul
L5 Tungkai atas sisi lateral, Tungkai bawah sisi Ekstensor jari, dorsofleksor Tidak ada
tungkai bawah hingga dor­ lateral, dorsum pedis, pergelangan kaki, eversi,
sum pedis ibu jari kaki inversi, abduktor panggul
SI Tungkai bawah sisi poste­ Telapak kaki, kaki, Fleksor jari, gastroknemius, Achilles
rior, betis, dan tumit pergelangan kaki sisi hamstring, gluteus
lateral, dan dua jari maksimus
kaki sisi lateral
S2-4 Bokong sisi medial Bokong sisi me­ Tidak ada, kecuali bila Refleks bulbo-
dial, perineum, dan radiks S l-2 terlibat kavernosus &
perianal anal wink

698
Radikulopati

iber: Misulis KE, dkk. Bradley's neurology in clini- disebabkan oleh kompresi karena spon­
practice. 2016. h. 332-41.
dilosis, massa dalam kanal spinal, atau
rikut beberapa manuver pemeriksaan proses intramedular,
k dapat membantu mendiagnosis radi-
3. Tes Spurling (Manuver Kompresi
opati:
Leher atau tes Kompresi Foramen)
Manuver Valsava Dilakukan dengan cara mengeskstensi
Manuver valsava dapat mengeksaserbasi leher, merotasi leher ke arah yang sim­
nyeri radikular dan parestesia yang men- tomatik, dan melakukan penekanan ke
jalar. Manuver valsava menyebabkan bawah pada kepala. Gerakan ekstensi
peregangan pada duramater pada titik akan menyebabkan penonjolan [bulging]
kompresi intraspinal. diskus ke arah posterior, sedangkan ge­
Tes Lhermitte rakan fleksi lateral dan rotasi menyebab­
Dilakukan dengan cara melakukan fleksi kan penyempitan foramen neural (Gam-
pada leher (Gambar 5). Respons positif bar 6). Respons positif berupa nyeri atau
berupa parestesia yang menjalar sepan- parestesi yang menjalar ke ekstremitas
jang vertebra servikal atau menjalar ke atas, namun jika muncul responsnya,
ekstremitas atas yang simtomatik. Hal segera hentikan manuver tersebut. Tes
ini mengindikasikan disfungsi kolumna ini bersifat spesifik tetapi tidak sensitif.
posterior medula spinalis yang dapat

Gambar 5. Tes Lhermitte (a) Tampak Samping, (b) Tampak Depan

699
Buku Ajar Neurologi

4. Upper Lim b Tension Test 6. Tes Distraksi Leher


Tes ini didesain untuk m eregangkan Tes ini dilakukan dengan cara memosisi-
radiks yang terlibat sehingga meng- kan pasien dalam posisi supinasi, lalu
eksaserbasi gejala radikular. melakukan traksi perlahan pada vertebra
servikal (dengan kekuatan hingga 30pon).
5. Shou lder Abduction R elief Sign (Tes
Abduksi Bahu) 7. Tes Laseque {Straight Leg Raising
Dilakukan dengan cara mengangkat Test/SLR)
lengan yang simtomatik ke atas lalu me- Dilakukan ekstensi pada sendi panggul
letakkannya di atas kepala. Manuver ini dalam keadaan ekstensi lutut, sehingga
bersifat terapeutik dan diagnostik untuk terjadi regangan radiks (Gambar 7a).
radikulopati servikal segmen bawah, Hasil tes dikatakan positif jika terdapat
oieh karena menyebabkan pembukaan nyeri pada ekstremitas bawah saat eks­
foramen yang terlibat dan mendekom- tensi <70° menunjukkan etiologi non-
presi radiks sehingga meredakan gejala organik. Terdapat beberapa derajat hasil
radikular pasien. positif pada tes ini, yaitu sensasi kencang

700
Radikulopati

pada otot ekstremitas bawah ipsilateral 8. R eversed SLR Test atau Ely’s Test atau
(signifikansi terendah), nyeri di punggung Tes Tegangan Fem oral
bawah (signifikansi moderate ), nyeri ra- Dilakukan dengan acara memosisikan
dikular (signifikansi tinggi], dan bahkan pasien dalam posisi pronasi, lalu pemeriksa
gangguan sensorik pada distribusi radiks mengangkat ekstremitas bawah dalam ke-
yang terlibat. adaan lutut ekstensi, untuk meregangkan
radiks lumbal atas. Hasil dikatakan positif
Terdapat beberapa modifikasi tes SLR,
jika timbul nyeri pada punggung bawah
yaitu:
atau nyeri radikular.
® Fenomena Bonnet; dilakukan dengan
tambahan gerakan aduksi dan rotasi 9. C rossed Straight l e g Raising Test
internal tungkai atas dan bawah. (Tanda Fajersztajn )
Tes ini dikatakan positif jika saat melaku-
® Bragard’s sign-, modifikasi dengan
kan manuver Laseque timbul nyeri pada
menambahkan gerakan dorsofleksi
ekstremitas kontralateral.
kaki (Gambar 7b).
® Sicard'ssign dengan menambahkan 10. Tanda Kernig
gerakan dorsofleksi ibu jari kaki. Tes ini dilakukan dengan cara mem-
fleksikan sendi panggul pada posisi
® Hyadman's sign, yaitu timbul nyeri
90° lalu mengekstensikan sendi lutut
saat manuver SLR kemudian dilaku­
hingga 135°.
kan fleksi panggul dan fleksi leher.

Gambar 7. (a) Tes Laseque; (b) Tes Laseque dengan Modifikasi Dorsofleksi Kaki (Bragard)

701
Buku Ajar Neurologi

Pemeriksaan fisik lainnya yang diperlukan yang signifikan, penggunaan steroid jangka
adalah observasi posisi tubuh pasien, defor- panjang, retensi urin akut atau inkontinen-
mitas pada vertebra, spasme otot paraspi- sia urin overflow akut, inkontinensia fekal,
nal, dan nyeri tekan area vertebra-paraver- penurunan tonus sfingter anal, saddle anes­
tebra. thesia , dan kelemahan pada ekstremitas.
Radikulopati memerlukan evaluasi lebih Pemeriksaan penunjang yang diperlukan me-
lanjut segera jika ditemukan tanda bahaya, liputi Rontgen, CT scan, atau MRI vertebra,
yaitu terdapat riwayat keganasan, terdapat dan kecepatan hantar saraf-elektromiografi
penurunan berat badan yang tidak dapat [Tabel 4], Rontgen vertebra dilakukan antero­
dijelaskan, keadaan imunosupresi kronik, posterior dan lateral untuk mengevaluasi
infeksi saluran kemih, atau lainnya, riwayat keseluruhan alignment vertebra dan adanya
penyalahgunaan obat-obat intravena, usia perubahan (spondilosis). Rontgen vertebra
di atas 50 tahun, demam, nyeri yang tidak pada posisi fleksi lateral dan ekstensi dapat
membaik dengan istirahat, riwayat trauma mengevaluasi instabilitas vertebra.

702
Radikulopatt

Tabel 4. Pem eriksaan Penunjang Radikulopati


Pem eriksaan Keuntungan Kerugian
MRI Sensitif untuk identifikasi herniasi diskus, Tidak dapat dilakukan pada pasien dengan
stenosis kanai spinal, massa paravertebral, implan metal atau implan aiat elektrik
tumor perineural, dan diskitis
CT scan Dapat menunjukkan osteofit, struktur Tidak dapat mengidentifikasi elemen neu­
atau ekstensi fragmen tulang ke area yang ral tanpa pemberian kontras intratekal,
mengandung elemen neural dengan baik Herniasi diskus tanpa keterlibatan tulang
dapat tidak terdeteksi
CT mielografi Dapat mengidentifikasi herniasi diskus, Invasif dan dapat tidak mendeteksi her­
osteofit, dan stenosis foramen intervertebral niasi diskus ke arah lateral
Kecepatan hantar Sensitif untuk identifikasi radiks yang terli- Radikulopati dengan patologi demielinasi
saraf-elektromio- bat dan dapat membedakan topis kelainan atau yang murni melibatkan radiks dorsa­
grafi saraftepi lis tidak terdeteksi
Diskogram Dapat mengevaluasi anatomi diskus dan Invasif
dapat mengkonfirmasi level diskus yang
terlibat
Sumber: Knuttson B. Acta Orthop Scand. 1961. h. 1-135.

Diagnosis Banding dan manipulasi spinal tidak direkomen-


Diagnosis banding radikulopati meliputi dasikan apabila terdapat tanda kompresi
lesi pleksus, saraf terminal (misalnya en­ medula spinalis atau herniasi diskus
trapment neuropathy), dan medula spi­ yang berat. Traksi servikal dapat di-
nalis. Pada entrapment neuropathy pada lakukan pada radikulopati aldbat stenosis
bagian distal saraf terminal, kadang dapat foramen neuronal oleh patologi faset atau
memberikan gejala yang menjalar hingga ke osteofit uncovertebral Pada radikulopati
bagian proksimal menyerupai radikulopati, akut akibat protrusi diskus atau spon­
namun tanpa nyeri di bahu atau punggung. dilosis dapat diberikan kortikosteroid
Pada carpal tunnel syndrome , nyeri bermula dosis tinggi dengan penurunan cepat,
dari pergelangan tangan hingga ke lengan misalnya prednison 60-80m g per hari
bawah, lengan, dan bahu (jarang). selama 5-7 hari. Radikulopati akut dengan
defisit neurologis selain gangguan sen-
TATA LAKSANA sorik berpotensi menyebabkan disabili-
Tata laksana radikulopati meliputi tata laksana tas yang berat, sehingga perlu dilakukan
simtomatik berupa penggunaan analgetik non- eksplorasi etiologi segera pada fase awal
narkotik, hindari aktivitas provokatif, dan atasi dengan MRI.
kausatif sesuai sesuai etiologinya, antara lain:
2. Radikulopati Servikal Kronik dan
1. Radikulopati Servikal Akut Nyeri Leher Kronik
Tata laksana meliputi menghindari ak­ Jika gejala radikulopati >4 minggu di-
tivitas proaktif, penggunaan analgesik sertai dengan defisit neurologis yang
nonnarkotik. Inaktivitas berkepanjangan me-netap atau progresif maka perlu di­
lakukan evaluasi ulang dan tata laksana.

703
Buku Ajar Neurologi

Modalitas tata laksana yang dapat di- anti inflamasi nonsteroid (OAINS), pelema;
lakukan meliputi: otot, atau analgetik opioid. Obat-obatar
untuk nyeri neuropatik meliputi golongar
- Terapi fisik untuk memperbaiki pos-
antikonvulsan (gabapentin, pregabalin), se­
tur tubuh
rotonin-specific reuptake inhibitors (SSRI)
- Transcutaneus electrical nerve stimu­ atau antidepresan trisiklik (lebih lengkap
lation (TENS) di bab Nyeri Neuropatik).
- Traksi servikal
Injeksi steroid dan obat anestesi epidurai
- Injeksi kortikosteroid atau kombinasi dapat diberikan jika medikamentosa ora]
kortikosteroid dan agen anestesi epi­ tidak efektif. Kortikosteroid sistemik
dural
secara umum tidak direkomendasi-
- Blok radiks selektif untuk diagnostik kan untuk meredakan nyeri. Tata lak­
dan terapeutik pada level servikal sana bedah perlu dilakukan segera jika
dan lumbosakral terdapat defisit motorik progresif dan
- Injeksi kortikosteroid intraartikular sindrom kauda ekuina akut. Demikian
pada sendi faset juga indikasi relatif pada nyeri yang tidak
- Neurotomi radiofrekuensi perkuta- terkontrol dengan medikamentosa. Inter­
neus cabang medial ramus dorsalis vensi bedah dapat berupa laminektomi,
servikal yang menginervasi sendi faset disektomi, eksisi diskus artroskopik, dan
fusi spinal.
3. M anajem en Bedah pada Gangguan
Spinal Servikal 5. Stenosis Lumbalis
Intervensi bedah kemungkinan besar Manajemen konservatif stenosis lum­
dilakukan pada kasus-kasus dengan de- bal secara umum sama dengan herniasi
fisit neurologis yang jelas atau progresif, diskus. Intervensi bedah yang dapat di­
nyeri refrakter, adanya lesi struktural lakukan meliputi laminektomi, fasetek-
sesuai dengan gejala ldinis, dan tanda tomi, foraminotomi, dan laminotomi. Pada
mielopati. Manajemen bedah yang dilaku­ dekompresi yang luas, adanya skoliosis
kan tergantung pada patologi penyebab, degeneratif, kifosis, atau spondilolistesis
antara lain disektomi, laminektomi, dan memerlukan tambahan stabilisasi spinal.
foraminotomi. 6. H erniasi Diskus Torakal
4. H erniasi Diskus Lum bosakral Tata laksana konservatif secara umum
Secara umum pada 4-6 minggu awal di­ sama dengan herniasi diskus. Dekom­
lakukan tata laksana konservatif kemu- presi bedah diperlukan jika terdapat tan­
dian dipertimbangkan tata laksana bedah da kompresi medula spinalis atau terapi
jika tetap simtomatik setelah 6 minggu. konservatif tidak efektif.
Tata laksana konservatif meliputi medika- 7. Spondilosis Torakal
mentosa, terapi fisik, biofeedback , pema- Tata laksana bedah diindikasikan apabi-
sangan korset lumbal, TENS dan akupuntur. Ia terdapat stenosis kanalis yang menye-
Pilihan medikamentosa dapat berupa obat

704
Radikulopati

babkan mielopati, keterlibatan radiks T1 cal examination in the diagnosis of lumbar root
compression syndrome. Acta Orthop Scand.
yang menyebabkan kelemahan motorik
1961;32(Suppl 49):1-135.
tangan atau tidak efektifnya tata laksana 5. Caridi JM, Pumberger M, Hughes AP. Cervical ra­
konservatif. diculopathy; a review. HSSJ. 2011;7(3):265-72.
6. Misulis KE, Murray EL Lower back and lower limb
pain. Dalam: DaroffRB, JankovicJ, Mazziotta JC, Pome­
3AFTAR PUSTAKA roy SL, editor. Bradley’s neurology in clinical practice.
1. Levin KH, Cervical radiculopathy. Dalam: Katirji Edisi ke-7. London: Elsevier; 2016. h. 332-41.
B, Kaminsky HJ, Ruff RL, editor. Neuromuscular 7. Finneruo NB, Attal N, Haroutounian S, Mc-
disorders in clinical practice. Edisi ke-2 vol 2. Nicol E, Baron R, Dworkin RH, dick. Pharmaco­
New York: Springer; 2014, h. 981-1000. therapy for neuropathic pain in adults: a syste­
2. Raynor EM, Boruchow SA, Nardin R, Kleiner- matic review and meta-analysis. Lancet Neurol.
Fisman G. Lumbosacral and thoracic radiculopa­ 2015;14[2):162-75.
thy. Dalam: Katirji B, Kaminsky HJ, Ruff RL. Neu­ 8. Preston DC, Shapiro BE. Radiculopathy. Dalam:
romuscular disorders in clinical practice. Edisi Preston DC, Shapiro BE, editor. Electromyogra­
ke-2 vol 2. New York; Springer, 2014; h. 1001-28. phy and neuromuscular disorders clinical-elec-
3. Levin KH, Maggiano HJ, Wilbourn Aj. Cervical ra­ trophysiologic correlations. Edisi ke-3. London:
diculopathies: comparison of surgical and EMG Elsevier; 2013. h. 448-67.
local;.'ation of single-root lesions. Neurology
1996;46[4):1022-5.
4. Knuttson B. Comparative value of electromyo­
graphic, myelographic, and clinical neurologi­

705
PLEKSOPATI

Manfaluthy Hakim, Luh Ari Indrawati, Winnugroho Wiratman

PENDA HULUA N ANATOM!


Pleksopati adalah suatu kelainan akibat Anatom! Pleksus Brakialis
gangguan pada jaringan saraf secara lang- Pleksus saraf tepi berawal dari radiks ventra-
sung mulai dari radiks saraf hingga saraf lis dan dorsalis yang berasal dari medula spi­
terminal, atau secara tidak langsung akibat nalis. Radiks dorsalis memiliki ganglion yang
kelainan pada jaringan sekitarnya, seperti terdapat neuron sensorik di dalamnya. Ke
pembuluh darah, pembuluh limfe, otot, arah perifer kedua radiks ini menyatu menjadi
dan tulang. Kelainan ini dapat terjadi pada N. Spinalis yang akan menjadi cabang ramus
pleksus brakialis dan pleksus lumbosakral, dorsalis dan ramus ventralis yang kemudian
sehingga disebut sebagai pleksopati braki­ beranyam membentuk pleksus (Gambar 1).
alis dan pleksopati lumbosakral. Gejala Mi­ Pleksus brakialis merupakan serabut saraf
nis utama yang muncul adalah rasa nyeri, yang berasal dari ramus radiks ventralis
kelemahan motorik, serta gangguan sensorik saraf C5-T1. Radiks C5 dan C6 bergabung
dan autonom. membentuk trunkus superior, C7 mejadi
Otot yang mengalami kelemahan dan dis- trunkus medial, serta C8 dan T1 bergabung
tribusi daerah kesemutan tergantung bagian membentuk trunkus inferior. Trunkus berja-
pleksus yang terlibat. Pemulihan pada lesi lan melewati klavikula dan membentuk di-
ini bervariasi, lesi ringan dapat terjadi pemu­ visi anterior dan posterior.
lihan spontan atau menyebabkan gangguan Divisi posterior dari masing-masing trunkus
fungsional yang ringan, namun pada lesi berat tadi akan membentuk fasikulus posterior. Di­
dapat menyebabkan kecacatan. visi anterior dari trunkus superior dan media
membentuk fasikulus lateral. Divisi anterior
E P ID E M IO L O G I dari trunkus inferior membentuk fasikulus
Lesi pleksus brakialis meliputi 10% dari lesi medial. Kemudian fasikulus posterior mem­
saraf perifer dan kira-kira 14% lesi neuro- bentuk N. Radialis dan N. Aksilaris, Fasikulus
logis di anggota gerak atas adalah akibat lesi lateral terbagi dua yaitu cabang yang satu
pleksus brakialis. Penyebabnya beragam membentuk N. Muskulokutaneus dan cabang
dan trauma merupakan penyebab tersering lainnya bergabung dengan fasikulus media
karena letaknya di daerah leher dan bahu untuk membentuk N. Medianus. Fasikulus
yang sering bergerak. media terbagi dua yaitu cabang pertama
yang membentuk N. Medianus dan cabang
lainnya menjadi N. Ulnaris. (Gambar 2).

706
Pleksopati

Medula spiralis

Ganglion radiks dorsalis

Ramus dorsalis
m
Ramus
komunlkans abu^
Ramus
komunlkans putih^

X ./

Ramus ventraiis

Gambar 1. Komponen Proksimal Pleksus

Pleksus brakialis terdiri dari: posterior terhadap klavikula. Divisi anterior


1. Lima radiks memberi inervasi pada otot fieksor, dan di­
2. Tiga trunkus: superior, medial, dan inferior visi posterior memberikan inervasi pada
otot ekstensor. Korda dan cabangnya terletak
3. Enam divisi: yang terbagi berdasarkan
infraklavikular. Penamaan pada korda ber­
posisi dari klavikula menjadi anterior
dasarkan letaknya terhadap arteri aksilaris.
dan posterior, masing-masing 3 divisi
4. Tiga fasikulus/korda: lateral, posterior, Menurut letaknya terhadap klavikula, per-
dan medial cabangan pleksus brakialis dibagi menjadi
pars supraklavikularis dan pars infraklavi-
5. Lima cabang terminal sebagai saraf: N.
kularis. Yang termasuk percabangan pars
Muskulokutaneus, N. Radialis, N. Media-
supraklavikularis adalah N. Torakalis poste­
nus, N. Aksilaris, dan N. Ulnaris
rior, N. Subklavius, dan N. Supraklavikularis.
Pars infraklavikular is mempercabangkan:
Ramus dan trunkus terletak di supraldavi-
Nn. Torakalis anterior, Nn. Subskapularis, N.
kular, terdapat 2 saraf berasal dari ramus
Torakodorsalis, N. Aksilaris [disebut N. Sir-
(N. Frenikus dan N. Dorsoskapularis) dan
kumpleksus], N. Kutaneus brakii medialis,
2 saraf dari trunkus superior (N. Supraska-
dan N. Kutaneus antebrakii medialis.
pularis dan N. Subklavius]. Divisi terletak

707
Buku Ajar Neurologi

Fasikulus lateralis mempercabangkan: N. menginervasi tungkai bawah sisi medial


Muskulokutaneus dan radiks superior N. (N. Safena) dan tungkai atas sisi antero­
Medianus. Fasikulus medialis memperca- medial (N. Kutaneus medial dan interme­
bangkan: N. Ulnaris, N. Kutaneus brakii me- diate).
dialis, N. Kutaneus antebrakii medialis, dan
3. N. Obturator
radiks inferior N. Medianus. Fasikulus pos­
Nervus ini terbentuk dari rami radiks
terior mempercabangkan: N. Aksilaris dan
ventralis L2-L4. Nervus tersebut turun
N. Radialis (Gambar 2],
melalui pelvis dan keluar melalui fora­
Anatomi Pleksus Lumbosakral men obturator untuk menginervasi M.
Pleksus lumbal terbentuk dari radiks L1-L4 Aduktor longus, M. Aduktor brevis, M.
dan terletak di retroperitoneum di posterior Aduktor magnus, dan grasilis serta sen­
M. Psoas (Gambar 3). Pleksus lumbal mem- sorik area tungkai atas medial.
bentuk beberapa nervus terminal, yaitu:
4. N. Genitofemoralis
1. N. Iliohipogastrik dan N. Ilioinguinal Nervus ini berasal dari radiks L1-L2, tu­
Kedua nervus tersebut terbentuk dari ra­ run melalui pelvis kemudian pada liga­
diks LI dan berjalan melalui celah pelvis mentum inguinal medial bercabang men-
untuk menginervasi M. Oblikus internal jadi cabang genital dan femoral. Cabang
dan M. Transversal. Nervus Uiohipogas- genital menginervasi M. Kremaster dan
trik menginervasi sensorik di abdomen sensorik di skrotum bagian bawah atau
anterior bawah, sedangkan N. Ilioingui­ labia. Cabang femoral menyuplai sen­
nal menginervasi sensorik area kulit di sorik di trigonum femoral.
atas ligamentum inguinal, tungkai atas
5. N. Kutaneus Femoralis Lateral
medial rostral, dan bagian atas skro-
Nervus yang murni hanya serabut sen­
tum (pada laki-laki) atau labia (pada
sorik ini berasal dari radiks L2-L3 yang
perempuan).
keluar di lateral M. Psoas kemudian me-
2. N. Femoral is nyilang secara oblik melalui ligamentum
Nervus ini berasal dari ramus radiks inguinal menuju spina iliaka superior
dorsalis L2-L4, berjalan melalui pelvis anterior. Nervus tersebut kemudian ber­
dan keluar di bawah ligamentum inguinal. cabang menjadi cabang anterior dan pos­
Nervus Femoralis menginervasi M. Ilio­ terior untuk menyuplai sensorik pada
psoas, M. Pektineus, M. Sartorius, dan M. tungkai atas bagian anterior dan medial.
Kuadriseps femoris. Cabang sensoriknya

708
Plelcsopati

-Si\RA¥ TERMINAL TASIRULUS/KGRD'A DIVISI TRUfKQS RAOKS .. CC^

03

(E6
ffJ.'ftStsItaiJs m
■C7
£N- ... :'■
g ® t§ |i§ il:
p lH iiiH n SilSllSlsill
f-;;;:Ssgf;K :A:S#^ ..
;. i
ifi’SS!iW3f5.'.-...j *C3

M:fJ-1‘' . -‘At.Ktiis-- iisiferfex

-.7 7 ».w^; T1
■■.. - . . ! r.>. ....
'R:De*aswl'.-

M bant; tortia moCTariof


ffJ.Siibskapii!arisasuperlo r
tN.WrakotiOTsalls —
W.§UbikspiHar&lrif&Hor

B.

Gambar 2.Skema (A) dan Struktur (B) Pleksus Brakialis

709
Buku ija r Neurologi

Pleksus lumbosakral bagian bawah mayori- tendinosus, biseps femoris, aduktor


tas terbentuk dari radiks L5-S3 dan tambahan magnus divisi lateral, dan seluruh otot
komponen dari L4. Komponen L4 bergabung yang diinervasi oleh nervus peroneus
dengan radiks L5 untuk membentuk trunkus dan tibialis. Area sensorik yang diiner­
lumbosakral yang kemudian berjalan turun vasi adalah seluruh area tungkai bawah,
di bawah pelvic outlet untuk bergabung den­ kecuali bagian medial yang sensoriknya
gan pleksus sakral. diperantarai oleh N. Safena.

Pleksus lumbosakral bagian bawah akan 2. N. Gluteus Superior


membentuk saraf-saraf terminal, yaitu Nervus ini berasal dari radiks L4-S1
(Gambar 5): dan menginervasi M. Tensor fasia latae,
M. Gluteus medius, dan M. Gluteus mini­
1. N. Skiatik
mus.
Nervus ini berasal dari radiks L4-S3 dan
keluar dari pelvis melalui greater sciatic 3. N, Gluteus In ferior
foramen. Nervus ini menginervasi otot Nervus ini berasal dari radiks L5-S2 dan
hamstring, semimembranosus, semi- menginervasi M. Gluteus maksimus.

710
Pleksopati

4. N. Kutaneus Posterior Tungkai Atas dapat berupa cedera tertutup, cedera ter-
Nervus ini berasal dari radiks S I -S3 buka, ataupun cedera iatrogenik.
(terutama S2] dan memperantarai
2. Tumor
sensorik area bokong bagian bawah
Dapat berupa tumor neural sheath (neu­
dan tungkai atas sisi posterior. Trauma
roblastoma, schwannoma, malignant
pada N. Skiatika biasanya juga men-
peripheral nerve sheath tumor, dan m e­
cederai nervus ini.
ningioma] atau tumor nonneural yang
jinak (desmoid, lipoma] maupun maligna
ETIOLOGI (kan-ker payudara dan kanker paru].
Lesi pada pleksus brakialis dapat disebab-
kan antara lain: 3. Cedera radiasi
Frekuensi cedera pleksus brakialis yang
1, Trauma
dipicu oleh radiasi diperkirakan sebanyak
Merupakan penyebab terbanyak lesi
1,8-4,9% dari lesi dan paling sering dite-
pleksus brakialis, dapat terjadi pada se-
mukan pada pasien kanker payudara dan
gala usia baik dewasa maupun neonatus,
paru yang mendapatkan terapai radiasi.

Gambar 4. Nervus Terminal Mayor yang Merupakan Cabang Pleksus Lumbosakral

711
Buku Ajar Neurologi

4. Penjepitan (Entrapm ent) proksimal), pleksopati radiasi, pleksitis lumbo­


Cedera pleksus brakialis karena pen­ sakral idiopatik, vaskulitis, infeksi atau parain-
jepitan dapat terjadi karena adanya ab- feksi, dan terkait heroin.
normalitas pada struktur pleksus dan
1. Perdarahan
jaringan sekitarnya, seperti pada thoracic
Perdarahan akibat penggunaan anti-
outlet syndrome. Postur tubuh dengan
koagulan, ruptur aneurisma, maupun
bahu yang lunglai dan dada yang kolaps
hemofilia, yang terjadi di M. Psoas dapat
menyebabkan thoracic outiet menyempit
mengkompresi pleksus lumbal. Manifestasi
sehingga menekan struktur neurovasku-
Minis terutama meliputi N. Femoralis dan
lar. Adanya iga aksesori atau jaringan fi­
dapat juga meluas hingga N. Obturator dan
brosa juga berperan menyempitkan tho­
N. Kutaneus femoralis lateral.
racic outlet Falctor lain yaitu payudara
berulturan besar yang dapat menarik 2. Neoplasma
dinding dada ke depan (anterior dan infe­ Pleksopati lumbosakral dapat disebab­
rior]. Teori ini didukung dengan hilangnya kan oleh invasi tumor dari vesika uri­
gejala setelah operasi mamoplasti reduk- naria, serviks, uterus, ovarium, prostat,
si. Implantasi payudara juga dikatakan kolon, dan rektum. Implantasi jaringan
dapat menyebabkan cedera pleksus bra- abnormal endometriosis pada pleksus
kialis karena dapat meningkatkan tegan- menimbulkan pleksopati dengan gejala
gan di bawah otot dinding dada dan men- intermiten dan mengenai pleksus lum­
giritasi jaringan neurovaskular. bosakral bagian bawah. Limfoma dan
leukimia dapat secara langsung mengin-
5. Idiopatik
filtrasi serabut saraf tanpa adanya massa
Pada parsonage turner syndrome terjadi
di sekitarnya.
pleksitis tanpa diketahui penyebab yang
jelas namun diduga terdapat infeksi virus 3. Kehamilan dan Persalinan
yang mendahului. Manifestasi klasik adalah Pleksopati lumbosakral pascapartus
nyeri dengan onset akut yang berlangsung disebut juga maternal peroneal palsy ,
selama 1 -2 minggu dan diikuti dengan maternal birth palsy, neuritis puerpe-
kelemahan otot. Nyeri biasanya hilang se- ralis, atau maternal obstetric paralysis.
cara spontan dan pemulihan komplit ter­ Pleksopati ini terjadi akibat penekanan
jadi sekitar 2 tahun. Jarang terjadi kelum- kepala bayi pada tulang pelvis dan plek­
puhan yang menetap. sus lumbosakral, serta biasanya menge­
nai trunkus lumbosakral yang terbentuk
Lesi pleksus lumbosakral dapat disebabkan
dari radiks L4-L5 (Gambar 5]. Trunkus
oleh lesi kompresif dan nonkompresif. Lesi
lumbosakral tidak terproteksi lagi oleh
kompresif meliputi perdarahan, neoplas­
M. Psoas saat melintasi pelvic outlet dan
ma, endometriosis, kehamilan, traumatik,
terletak di sakrum dekat sendi sakroiliaka,
pascaoperasi, aneurisma, dan sindrom kom-
sehingga rentan terkompresi pada titik
partemen gluteal. Adapun lesi nonkompresif
tersebut.
meliputi amiotrofi diabetik (neuropati diabetik

712
Pleksopati

Pleksus yang akan bercabang menjadi N. 4. Trauma dan Pascaoperasi


Gluteus superior juga dapat terkompresi. Trauma pleksus lumbosakral umumnya
Nervus Skiatik pars peroneal terletak di terjadi pada kasus kecelakaan yang meli-
posterior dan berdekatan dengan tulang, batkan fraktur pelvis atau sakrum. Selain
sehingga juga rentan mengalami kom- itu, perdarahan dan avulsi radiks dapat
presi. Manifestasi Minis biasanya terjadi pula terjadi. Mayoritas kasus mengenai
dalam beberapa hari pascapartus. Fak- pleksus bagian lumbal dan sakral wa-
tor risiko meliputi kehamilan pertama, laupun dapat terjadi keterlibatan bagian
disproporsi sepalopelvik, ukuran fisik sakral saja. Distribusi kelemahan biasanya
ibu kecil (tinggi badan kurang dari 5 lebih berat pada otot yang di-inervasi N.
kaki atau sekitar kurang dari 150cm ), Peroneus komunis dan N. Gluteus diban-
dan proses persalinan yang lama. Prog­ dingkan distribusi tibial dan N. Femoralis.
nosis pada sebagian besar kasus baik. Pleksopati lumbosakral dapat pula terjadi
Mekanisme yang mendasari kerusakan pascaoperasi, seperti operasi penggantian
saraf adalah iskemia aldbat kompresi panggul, koreksi fraktur femur atau ase-
dan deformitas mekanik saraf yang me- tabulum, operasi pelvis radikal, operasi
nyebabkan demielinasi dan degenerasi vaskular aorta, dan pemasangan alat pacu
aksonal. jantung melalui vena femoralis.

Gambar S. Trauma Pleksus Lumbosakral pada Kehamilan dan Persalinan

713
Baku Ajar Neurologi

5. Aneurisma dan Penyakit Pembuluh Amiotrofi diabetik biasanya melibatkan N.


Darah Besar Femoralis dan N. Obturator serta N. Pero­
Ekspansi aneurisma arteri iliaka komunis, neal. Pada banyakkasus amiotrofi ini terjadi
iliaka internal, atau hipogastrik dapat secara unilateral bersamaan dengan penurunan
langsung mengkompresi pleksus lumbo- berat badan. Sisi kontralateral dapat terkena
sakral. Hematom retroperitoneal dari kebo- setelah beberapa minggu atau bulan sejak
coran aneurisma juga dapat menyebabkan gejala awal. Pemulihan seringkali baik,
pleksopati. Etiologi ini dicurigai apabila ter- tetapi berjalan lama dalam hitungan be­
dapat nyeri punggung atau tungkai disertai berapa bulan hingga 1-2 tahun.
massa pulsatil pada pemeriksaan fisik
9. Pleksopati Radiasi
6. Abses Terjadi akibat paparan radiasi yang di-
Abses psoas atau paraspinal umumnya dapat bertahun-tahun sebelumnya. Ke­
disebabkan oleh infeksi tuberkulosis, jarang lainan ini bersifat progresif lambat, disertai
disebabkan oleh bakteri nonspesifik Abses nyeri minimal. Temuan karakteristik pada
perirektal yang ter jadi pascaoperasirektum pemeriksaan elektromiografi (EMG) adalah
atau pada individu imunokompromi, dapat fasikulasi dan miokimia. Miokimia tidak
menyebabkan pleksopati sakral bilateral, didapatkan pada pleksopati akibat invasi
langsung.
7. Sindrom Kompartemen Gluteal
Sindrom ini disebabkan oleh trauma, 10. Pleksitis Lumbosakral Idiopatik
misalnya jatuh atau komplikasi pasca- Patologi yang mendasari belum sepenuh-
operasi. nya diketahui, diperkirakan berupa in-
flamasi yang terjadi beberapa minggu
8. Amiotrofi Diabetik
setelah kejadian imunologis yang me-
Amiotrofi diabetik dikenal juga dengan
micu, misalnya infeksi saluran nafas atas
nama neuropati diabetik proksimal,
atau imunisasi. Manifestasi klinisnya
sindrom Bruns-Garland, mononeuri­
berupa nyeri dalam yang berat di pelvis
tis multipleks diabetik, poliradikulopati
atau tungkai atas selama 1-2 minggu
diabetik, atau neuropati radikuloplek-
hingga berbulan-bulan, lalu defisit neu-
sus lumbosakral diabetik. Kelainan ini
rologis timbul setelah nyeri mereda.
biasanya mengenai pleksus dan radiks
Perjalanan penyakit ini monofasik tetapi
lumbal. Patofisiologinya berupa vaskuli-
dapat juga men jadi progresif. Tata lak-
tis yang akhirnya menyebabkan iskemia,
sananya berupa pemberian steroid atau
dapat terjadi pada penyandang diabetes
agen imunosupresan.
(umumnya tipe II) lama. Manifestasinya
berupa nyeri dalam yang berat di pelvis 11. Vaskulitis
atau proksimal tungkai atas yang berlang- Manifestasi klinisnya berupa nyeri hebat,
sung selama beberapa minggu (sekitar 6 kelemahan, dan defisit sensorik yang
minggu). Saat nyeri mereda perlahan tam- melibatkan satu atau lebih regio eks-
pak kelemahan yang signifikan. tremitas bawah. Pemeriksaan penunjang
yang mendukung berupa laju endap

714
Pleksopati

darah, antibodi antinuklear, faktor reu- PATOFISIOLOGI


matoid, kadar komplemen, antibodi si- Mekanisme yang menyebabkan pleksopati
toplasmik antineutrofil, hitung eosinofil, cukup beragam, terdiri dark 1) proses re-
dan biopsi saraf. Biopsi saraf menunjuk- gangan [stretch], 2) laserasi, dan 3) kom-
kan inflamasi transmural, nekrosis dinding presi. Setiap trauma yang meningkatkan
vaskular, dan degenerasi akson. jarak antara titik yang relatif terfiksasi pada
fasia prevertebral dengan pertengahan
12.lnfeksi atau Parainfeksi
lengan atas atau ekstremitas bawah akan
Infeksi langsung atau secara tidak lang-
menyebabkan traksi. Traksi yang melebihi
sung melalui mekanisme autoimun
kapasitas regangan saraf yang dikontribusi
dapat menyebabkan pleksopati lumbo-
oleh jaringan kolagen pada selubung saraf
sakral. Terdapat kasus pleksopati lum-
menyebabkan cedera regangan dan bah-
bosakral setelah infeksi Epstein-Barr
kan menyebabkan hilangnya kontinuitas
virus (EBV] klinis disertai bukti serologis
total pada saraf (avulsi). Traksi juga dapat
dengan peningkatan limfosit dan protein
menyebabkan iskemia pada jaringan saraf.
pada cairan serebrospinal. Infeksi lain-
Laserasi atau robekan saraf ini dapat te r­
nya adalah infeksi Lyme, Borellia burg­
jadi misalnya pada kasus trauma benda
dorferi, West Nile, dan herpes zoster.
tajam. Pada kompresi terjadi gangguan
13.Terkait Heroin fungsional akibat kompresi mekanik pada
Patofisiologi yang mendasarinya ke- saraf dan iskemia. Kompresi yang berat
mungkinan adalah efek toksik langsung dapat menyebabkan hematom intraneu-
heroin yang menyebabkan pleksopati ral, dan kemudian akan menjepit jaringan
lumbosakral dan brakialis. Onset gejala saraf sekitarnya.
terjadi sekitar 36 jam setelah injeksi
Derajat Kerusakan
heroin dengan gejala nyeri hebat disertai
Derajat kerusakan pada lesi saraf perifer
kelemahan atau defisit sensorik ringan.
dapat dibagi berdasarkan klasifikasi Shed-
Nyeri mereda dalam beberapa minggu
don (1943) dan Sunderland (1951).
dengan onset pemulihan defisit motorik
yang lebih lama.

Tabel 1. Derajat Kerusakan Lesi Saraf Perifer Berdasarkan Klasifikasi Sunderland


Tipe Keterangan
Tipe I Hambatan dalam konduksi (neuropraksia)
Tipe II Cedera akson tetapi selubung endoneural tetap intak (aksonotmesis)
Tipe III Aksonotmesis yang melibatkan selubung endoneural tetapi perineural dan epineural masih intak
Tipe IV Aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural, tetapi epineural masih baik
Tipe V_______ Aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural, dan epineural (neurotmesis)_______
Sumber: Campbell WW. Evaluation and management of peripheral nerve injury. 1978. h. 133-8.

715
Baku Ajar Neurologi

Normal t

Gambar 6. Klasifikasi Derajat Trauma Saraf Perifer Berdasarkan Sunderland

Klasifikasi Sheddon adalah sebagai berikut: 3. Neurotmesis


1. Neuropraksia Merupakan derajat kerusakan paling
Pada tipe ini terjadi kerusakan mielin, berat, berupa ruptur saraf yang menye­
namun akson tetap intak. Dengan adanya babkan proses pemulihan sangat sulit
kerusakan mielin dapat menyebabkan terjadi meskipun dengan penanganan
hambatan konduksi saraf. Pada tipe bedah. Dibutuhkan waktu yang lama dan
cedera seperti ini tidak terjadi kerusakan biasanya pemulihan yang terjadi tidak
struktur terminal, sehingga proses pe- sempurna.
nyembuhan lebih cepat dan merupakan
Klasifikasi Sunderland lebih merinci keru­
derajat kerusakan paling ringan.
sakan saraf yang terjadi dan membaginya
2. Aksonotmesis dalam 5 tingkat (Tabel 1 dan Gambar 7).
Terjadi kerusakan akson namun semua
Pleksopati diabetik diperkirakan akibat
struktur selubung saraf termasuk endo­
mikrovaskulitis inflamasi yang menyebab­
neural masih tetap intak. Terjadi dege-
kan cedera saraf iskemik. Pada biopsi saraf
nerasi aksonal segmen saraf distal dari
tampak tanda vaskulitis, inflamasi, nek-
lesi (degenerasi Wallerian]. Regenerasi
rosis vaskular, serta infiltrasi limfosit B dan
saraf tergantung dari jarak lesi menca-
T, makrofag, sel polimorfonuklear, dan depo-
pai serabut otot yang denervasi tersebut.
sisi komplemen, hilangnya serabut saraf fokal
Pemulihan sensorik cukup baik bila
dan multifikal, serta penebalan perineural
dibandingkan motorik.

716
Pleksopati

dan neovaskularisasi perineural. Diabetes Erb's point. Jenis lesi ini memberikan
menyebabkan abnormalitas sawar darah- gambaran yang khas disebut deformitas
saraf, sehingga rentan terjadi vaskulitis. De- waiters yang ditandai dengan kelemahan
posisi kompleks imun akan semakin merusak pada otot-otot rotatoar bahu, otot-otot
sawar darah saraf tersebut dan meningkat- fleksor lengan, dan otot-otot ekstensor
kan vaskulitis, sehingga terjadi oklusi pem- tangan.
buluh darah epineural dan perineural dengan
a. Lesi tingkat radiks
hasil akhir iskemia dan infark.
Pada lesi pleksus brakialis ini berkait-
Terjadinya pleksopati radiasi tergantung an dengan avulsi radiks. Gambaran
pada dosis total, dosis fraksi, teknik radiasi, klinis sesuai dengan dermatom dan
kemoterapi yang menyertai radiasi, dan miotomnya. Lesi di tingkat ini dapat
penggunaan brakiterapi intrakavitas. Radiasi terjadi paralisis parsial dan hilangnya
dapat menyebabkan defisiensi mikrosirku- sensorik inkomplit, karena otot-otot
lasi yang menyebabkan iskemia lokal dan fi­ tangan dan lengan biasanya diper-
brosis jaringan lunak, serta perubahan pada sarafi oleh beberapa radiks.
sel Schwann, fibroblas endoneural, sel din-
b. Sindrom Erb-Duchenne
ding pembuluh darah, dan sel perineural
Lesi di radiks servikal atas (C5 dan C6)
GEJALA DAN TANDA KUNIS atau trunkus superior dan biasanya
Gejala yang timbul umumnya unilateral terjadi akibat trauma. Pada bayi terjadi
berupa kelainan motorik, sensorik dan au- karena penarikan kepala saat proses
tonom pada ekstremitas. Gambaran Minis kelahiran dengan penyulit distonia
yang ditemukan dapat menunjukkan letak bahu, sedangkan pada orang dewasa
dan keparahan lesi. terjadi karena jatuh pada bahu dengan
kepala terlampau menekuk ke samping.
Pleksopati Brakialis
Presentasi Minis pasien berupa waiter's
Lesi pleksus brakialis dapat mengenai mulai
tip position, yaitu lengan berada dalam
dari otot bahu sampai tangan, atau hanya se-
posisi aduksi [kelemahan otot deltoid
bagian, yang dibagi atas pleksopati supraMavi-
dan supraspinatus), rotasi internal pada
kular dan pleksopati infraklavikular.
bahu (kelemahan otot teres minor dan
t . Pleksopati Supraklavikular infraspinatus), pronasi (kelemahan
Pada pleksopati supraklavikular lesi ter­ otot supinator dan braldoradialis), dan
jadi di tingkat radiks atau trunkus saraf, pergelangan tangan fleksi (kelemahan
atau kombinasinya. Lesi ditingkat ini otot ekstensor karpi radialis longus
dua hingga tujuh kali lebih sering terjadi dan brevis). Selain itu terdapat pula
dibanding lesi infraklavikular. Pleksopati kelemahan pada otot biseps brakialis,
supraklavikular sering disebabkan oleh brakialis, pektoralis mayor, subskapu-
karena trauma, yaitu terjadi fleksi dari laris, romboid, levator skapula, dan
leher terhadap bahu, sehingga radiks teres mayor. Refleks biseps biasanya
mengalami tarikan antara leher dan menghilang, sedangkan hipestesi ter-

717
Buku Ajar Neurologi

jadi pada bagian luar (lateral) dari le- inferior). Gejala klinis berupa kelema­
ngan atas dan tangan. han otot triseps dan otot-otot yang di-
persarafi N. Radialis (ekstensor tan­
c. Sindrom paralisis Klumpke
gan), serta kelainan sensorik biasanya
Lesi di radiks servikal bawah (C8, T l)
terjadi pada dorsal lengan dan tangan.
atau trunkus inferior akibat penarikan
bahu, sehingga terjadi tarikan pada f. Lesi di trunkus inferior
bahu. Keadaan ini sering terjadi pada Gejala klinisnya yang hampir sama
bayi saat dalam proses kelahiran atau dengan sindrom Klumpke di tingkat
pada orang dewasa yang akan terjatuh radiks. Terdapat kelemahan pada otot-
dan berpegangan pada pada 1 lengan. otot tangan dan jari-jari terutama untuk
Presentasi klinis berupa kelemahan gerakan fleksi, serta kelemahan otot-
pada otot-otot di lengan bawah, otot- otot spinal intrinsik tangan. Gangguan
otot tangan yang khas disebut dengan sensorik terjadi pada aspek medial
deformitas clawhand, sedangkan fungsi dari lengan dan tangan.
otot gelang bahu baik. Selain itu juga
2. Lesi Pan-supraklavikular (radiks C5-
terdapat kelumpuhan pada otot flek-
T1 atau semua trunkus)
sor karpi ulnaris, fleksor digitorum,
Pada lesi ini terjadi kelemahan seluruh
interosei, tenar, dan hipotenar sehingga
otot ekstremitas atas, defisit sensorik
tangan terlihat atrofi. Disabilitas mo-
yang jelas pada seluruh ekstremitas atas,
torik sama dengan kombinasi lesi N.
dan mungkin terdapat nyeri. Otot rom­
Medianus dan N. Ulnaris. Kelainan
boid, seratus anterior, dan otot-otot spi­
sensorik berupa hipestesi pada bagian
nal mungkin tidak lemah tergantung dari
dalam atau sisi ulnar dari lengan dan
letak lesi proksimal (radiks) atau lebih
tangan.
ke distal (trunkus).
d. Lesi di trunkus superior
3. Pleksopati Infraklavikular
Gejala klinisnya sama dengan sindrom
Terjadi lesi di tingkat fasikulus dan/
Erb di tingkat radiks dan sulit dibeda-
atau saraf terminal. Lesi ini jarang ter­
kan. Namun pada lesi di trunkus su­
jadi dibanding supraklavikular, namun
perior tidak didapatkan kelumpuhan
umumnya mempunyai prognosis lebih
otot romboid, seratus anterior, leva­
baik. Penyebab utama pleksopati infra­
tor skapula, dan saraf supraspinatus
klavikular biasanya adalah trauma tertu-
serta infraspinatus. Terdapat gang-
tup (kecelakaan lalu lintas/sepeda motor)
guan sensorik di lateral deltoid, aspek
maupun terbuka (luka tembak). Ma-
lateral lengan atas, dan lengan bawah,
yoritas disertai oleh kerusakan struktur
hingga ibu jari tangan.
didekatnya (dislokasi kaput humerus,
e. Lesi di trunkus media fraktur klavikula, skapula, atau humerus).
Sangat jarang terjadi dan biasanya Gambaran klinis sesuai dengan letak lesi,
melibatkan daerah pleksus lainnya yaitu:
(trunkus superior dan/atau trunkus

718
Pleksopati

a. Lesi di fasikulus lateral umum ditemukan pada pleksopati lumbo­


Dapat terjadi aldbat dislokasi tulang sakral dan merupakan keluhan yang paling
humerus. Lesi disini akan menge- sering mengganggu. Nyeri dapat terlokalisir
nai daerah yang dipersarafi oleh N. di daerah panggul, bokong, dan paha proksi-
Muskulokutaneus dan sebagian dari mal dengan penjalaran ke daerah tungkai.
N. Medianus. Gejala klinisnya yaitu Pada pemeriksaan fisik beberapa gerakan
kelemahan otot fleksor lengan bawah dapat menimbulkan nyeri. Straight leg test
dan pronator lengan bawah, sedang- atau tes Laseque dapat menimbulkan nyeri
kan otot-otot intrinsik tangan tidak pada pleksopati sakral, sementara reversed
terkena. Kelainan sensorik terjadi di la­ straight leg test dapat menimbulkan nyeri
teral lengan bawah dan jari tangan I—III. pada pleksopati lumbal. Berbeda dengan
lesi radiks, nyeri pada pleksopati tidak ber-
b. Lesi di fasikulus medial
tambah dengan batuk atau mengedan. Nyeri
Disebabkan oleh dislokasi bursa sub-
pinggang dapat muncul namun minimal.
korakoid dari humerus. Kelemahan
dr ' gejala sensorik terjadi di daerah Manifestasi klinis pleksopati lumbosakral
motorik dan sensorik N. Ulnaris. Lesi tergantung dari struktur yang terkena dan
disini akan mengenai seluruh fungsi secara umum dibagi menjadi:
otot intrinsik tangan, seperti fleksor, 1. Pleksopati Lumbal
ekstensor, abduktor jari-jari tangan, Pleksopati lumbal menyebabkan defisit
dan fleksor ulnar pergelangan tangan. neurologis pada teritori N. Iliohipogas-
Secara keseluruhan kelainannya trik, N. Genitofemoral, N. Ilionguinal, N.
hampir menyerupai lesi di trunkus Femoral, dan N. Obturator. Gambaran
inferior. Kelainan sensorik terasa pada klinis berupa kelemahan pada fleksi pang­
lengan atas dan bawah medial, tangan, gul, ekstensi lutut, dan adulcsi tungkai atas.
dan 2 jari tangan bagian medial. Gangguan sensorik dapat terjadi di abdo­
c. Lesi di fasikulus posterior men bagian bawah, inguinal, tungkai atas
Lesi ini jarang terjadi, gejala klinis sisi medial, lateral, dan anterior serta
berupa kelemahan dan defisit sen­ tungkai bawah sisi medial. Refleks patela
sorik di area inervasi N. Radialis. Otot menurun atau menghilang.
deltoid (abduksi dan fleksi bahu), 2. Pleksopati Sakral
otot-otot ekstensor lengan, tangan, dan Pada pleksopati sakral tampak defisit
jari-jari tangan mengalami kelemahan. neurologis pada teritori N. Gluteus, N.
Defisit sensorik terjadi pada daerah Skiatik, N. Tibial, dan N. Peroneus sehing-
posterior dan lateral deltoid, aspek ga terdapat defisit motorik pada eksten­
dorsal lengan, tangan, dan jari-jari sor panggul, abduktor panggul, fleksor
tangan. lutut, fleksor plantar kaki, dan dorsoflek-
sor kaki. Defisit sensorik meliputi tung­
Pleksopati Lumbosakral kai atas sisi posterior, tungkai bawah sisi
Nyeri merupakan manifestasi yang paling anterolateral dan posterior, serta hampir

719
Buku Ajar Neurologi

seluruh kaki. Refleks patela normal, se- 1. Laboratorium


dangkan refleks Achilles menurun atau Pemeriksaan laboratorium perlu disesuai-
menghilang. kan dengan etiologi yang diperldrakan, an-
tara lain laju endap darah, glukosa, HbAlc,
DIAGNOSIS dan penanda infeksi,
Diagnosis pleksopati ditegakkan berdasarkan
2. Radiologi
anamnesis yang mencakup waktu onset, waktu
a. Rontgen sendi bahu, servikal, pelvis,
timbulnya gejala. Pemeriksaan frsik umum
untuk melihat struktur tulang dan
seperti posisi leher, bahu lengan, panggul,
sendi.
tungkai, tanda-tanda fraktur, serta pemerik­
b. MRI bahu, leher, pelvis, dan pleksus.
saan neurologi yang teliti meliputi penilaian
kekuatan motorik pada flap segmen miotom 3. Elektrodiagnosis
dan sensorik pada setiap segmen dermatom. Pemeriksaan elektrodiagnosis merupakan
pemeriksaan yang sangat berperan dalam
Pemilihan jenis pemeriksaan penunjang di-
menentukan letak lesi, derajat keparahan,
lakukan berdasarkan klinis yang di dapat-
kan, seperti: dan prognosflk. Pemeriksaan berupa: ke-
cepatan hantar saraf motorik dan senso­
rik, gelombang F, serta EMG jarum.
Tabel 2. Domain Otot Pleksus Brakialis
Trunkus Superior Trunkus Medial Trunkus Inferior
Supraspinatus Pronator teres Abduktor polisis brevis
Infraspinatus Fleksor karpi radialis Fleksor polisis longus
Biseps Triseps Pronator kuadratus
Deltoid Ankoneus Ekstensor indisis propius
Teres minor Ekstensor karpi radialis Ekstensor polisis brevis
Triseps Ekstensor digitorum komunis Ekstensor karpi ulnaris
Pronator teres Seratus anterior First dorsal interosseous
Fleksor karpi radialis Abduktor digit! minimi
Brakioradialis Aduktor polisis
Ekstensor karpi radialis Fleksor digitorum profundus 4,5
Brakialis Fleksor karpi ulnaris
Levalor skapula
Romboid
Seratus anterior
Korda lateral Korda Posterior Korda Medial
Biseps Latisimus dorsi Abduktor polisis brevis
Brakialis Deltoid Oponen polisis
Pronator teres Teres m inor Fleksor polisis longus
Fleksor karpi radialis Triseps First dorsal interosseous
Ankoneus Aduktor polisis
Brakioradialis Abduktor digiti minimi
Ekstensor karpi radialis Fleksor karpi ulnaris
Ekstensor digitorum komunis Fleksor digitorum profundus 3,4
Ekstensor polisis brevis
Ekstensor karpi ulnaris
Ekstensor indisis propius
Sumber: Ferrante MA, dkk. Neuromuscular disorders in clinical practice. 2014. h. 1029-62.

720
Pleksopati

Tabel 3. Domain CMAP Pleksus Brakialis


Domain CMAP Pleksus Brakialis
Trunkus Superior Korda Lateral
N, Muskulokutaneus, perekaman di M, Biseps N. Muskulokutaneus, perekaman di M, Biseps
N. Aksilaris, perekaman di M. Deltoid
Trunkus Medial Korda Posterior
N. Radialis, perekaman di M. Ankoneus N. Aksilaris, perekaman di M, Deltoid
N. Radialis, perekaman di M. Ekstensor digitorum
ko munis
N. Radialis, perekaman di M. Ekstensor indisis proprius
N. Radialis, perekaman di M, Ankoneus
Trunkus Inferior Korda Medial
N. Ulnaris, perekaman di M, Abduktor digit! minimi N. Ulnaris, perekaman di M. Abduktor digiti minimi
N. Ulnaris, perekaman di M. Dorsal interosseous N. Ulnaris, perekaman di M. Dorsal interosseous
pertama pertama s
N. Medianus, perekaman di M. Abduktor polisis brevis N. Medianus, perekaman di M. Abduktor polisis
N. Radialis, perekaman di M. Ekstensor indisis proprius brevis
CMAP: compound muscle action potentials.
Sumber: Ferrante MA, dkk. Neuromuscular disorders in clinical practice, 2014. h. 1029-62.

Tabel 4. Domain SNAP Pleksus B raid a 1is


Domain SNAP Pleksus Brakialis
Trunkus Superior Korda Lateral
LABC (100% ) LABC [100%)
SNAP medianus, perekaman di digiti 1 [100%) SNAP medianus, perekaman di digiti 1 [100%)
SNAP radialis superfisialis [60%) SNAP medianus, perekaman di digiti 2 [100% )
SNAP medianus, perekaman di digiti 2 [20%) SNAP medianus, perekaman di digiti 3 [80%)
SNAP medianus, perekaman di digiti 3 [10%)
Trunkus Medial Korda Posterior
SNAP medianus, perekaman di digiti 2 [80%) SNAP radialis superfisialis [100% )
SNAP medianus, perekaman di digiti 3 [70%)
SNAP radialis superfisialis [40%)

Trunkus Inferior Korda Medial


SNAP ulnaris, perekaman di digiti 5 [100%) SNAP ulnaris, perekaman di digiti 5 [100%)
MABC [100% ) MABC [100% )
SNAP medianus, perekaman di digiti 3 [20%)____________ SNAP medianus, perekaman di digiti 3 [20%)
SNAP: sensory nerve action potential; LABC: lateral antebrachii cutaneous; MABC: medial antebrachii cutaneous.
sumber: Ferrante MA, dkk. Neuromuscular disorders in clinical practice. 2014. h. 1029-62.

721
Baku Ajar Neurologi

TATA LAKSANA A-beta yang akan menginhibisi in­


Tata laksana lesi pleksus sangat bervariasi, terneuron di medula spinalis. Selain
beberapa faktor yang mempengaruhi keber- itu juga akan menginhibisi serabut
hasilan terapi adalah onset, derajat keru- A-delta dan serabut C-delta.
sakan, jenis lesi, dan penyebabnya. ® Neuromuscular electrical stimulation
1. Fase Akut [NMES], dengan cara memberikan
a. Istirahat, pada cedera pleksus brakialis stimulasi listrik pada otot, sehingga
yang berat dapat dilakukann fiksasi menambah kekuatan dan memeli­
lengan yang mengalami kelumpuhan. hara massa otot yang lumpuh.

b. Kompres dingin, untuk mengurani ® Penggunaan ortosis pada lengan


rasa nyeri dan edema yang mungkin yang lumpuh total bertujuan
dapat terjadi. untuk mempertahankan posisi,
mencegah subluksasi bahu, m e­
a Penekanan atau kompresi bila ada
ngurangi kekakuan sendi, dan
edema.
sebagai kosmetik.
d. Elevasi ekstremitas yang terkena (lengan
3. Pembedahan
atau kaki), akan mengurangi edema yang
Operasi dilakukan dengan tujuan untuk
terjadi pada ekstremitas yang terkena.
mengembalikan anatomi dan fungsi dari
e. Medikamentosa, berupa steroid, obat pleksus, pada beberapa kasus yang berat,
anti inflamasi non steroid, dan anal- operasi dilakukan dengan tujuan utama
getik. Obat-obatan untuk nyeri neu- untuk mengembalikan fungsi fleksi atau
ropatik, misalnya antidepresan trisik- ekstensi sendi. Operasi biasanya dilaku­
lik, gabapentin, atau pregabalin dapat kan pada cedera pleksus yang berat dan
membantu. dilakukan 3-4 bulan setelah trauma.
2. Fase Subakut atau Kronik Operasi tidak di anjurkan jika dilakukan
a. Mengatasi rasa nyeri setelah 6 bulan karena umumnya tidak
b. Fisioterapi: memberikan hasil yang optimal. Jenis-
® Latihan memelihara lingkup gerak jenis operasi yang dilakukan:
sendi untuk mencegah kekakuan a. Pembedahan primer
pada sendi dan atrofi otot. Bertujuan untuk memperbaiki saraf
® Ultrasound atau diatermi untuk yang cedera pada pleksus dan mem-
me-ngurangi rasa nyeri dengan percepat proses reinervasi. Teknik
menimbulkan vasodilatasi pem- yang digunakan tergantung dari de­
buluh darah dan menurunkan rajat keparahan lesi, ada beberapa
spasme otot. teknik yang biasa dilakukan, yaitu:
® Transcutaneous electrical nerve ® Neurolisis, membebaskan jari-
stimulation [TENS), memberikan ngan parut yang terjadi di sekitar
stimulasi listrik pada saraf, se- saraf.
hingga akan meng-aktivasi serabut

722
Pleksopati

® Neuroma eksisi, dilakukan eksisi e. Pleksopati radiasi: antikoagulan untuk


pada saraf, kemudian saraf dile- memperbaild aliran darah akibat keru-
katkan kembali atau dengan nerve sakan endotel yang diinduksi radiasi
graft, namun terapi tersebut belum memiliki
® Nerve grafting bukti ilmiah yang kuat.

® Neurotization, biasanya dilakukan f. Pleksitis idiopatik: steroid, IVIG.


pada avulsi radiks, dilakukan peng- g. Pleksopati vaskulitis: obat imunosu-
gantian saraf yang rusak dengan presan.
menggunakan saraf lain. Saraf do­
nor yang dapat digunakan adalah PROGNOSIS
N. hiogosal, N. asesori spinalis, dan Prognosis sangat tergantung dari letak dan
saraf interkostal. Dapat juga dilaku­ jenis lesi. Pemulihan pada avulsi dan ruptur
kan intraplexual neurotization, yaitu radiks yang dioperasi, kadang tidak dapat
donor diambil dari radiks yang ma- sempurna dan membutuhkan waktu yang
sih melekat pada medula spinalis lama. Pada cedera ringan yang menimbulkan
sebagai penggati saraf yang rusak. jaringan sikatrik dan terjadi neuropraksia,
b. Pembedahan sekunder dapat terjadi pemulihan spontan, sekitar
Bertujuan untuk memperbaiki fungsi 90-100 % akan kembali normal.
agar optimal. Teknik yang digunakan,
yaitu: tendon transfer, fre e muscle DAFTAR PUSTAKA
transfers, serta joint fusions and rota­ 1. Ferrante MA, Tsao BE. Brachial plexopathies.
Dalam: Katirji B, Kaminsky HJ, Ruff RL. Neuro­
tional muscular disorders in clinical practice. Edisi ke-
2. New York: Springer; 2014. vol 2. h. 1029-62.
4. Tata Laksana Lainnya Sesuai dengan 2. Rutkove SB, Sax TW. Lumbosacral plexopathies.
Etiologi Pleksopati Dalam: Katirji B, Kaminsky Hj, Ruff RL. Neuro­
a. Pleksopati akibat perdarahan: koreksi muscular disorders in clinical practice. Edisi ke-
2. New York: Springer; 2014;2:1063-71.
abnormalitas hemostasis dan drainase
3. Preston DC, Shapiro BE. Lumbosacral plexopathy.
hematom perkutan. Dalam: Preston DC, Shapiro. Electromyography.
b. Pleksopati neoplastik: radioterapi, Edisi ke-3. London: Elsevier; 2013, h, 501-17.
4. Campbell WW. Evaluation and management of
kemoterapi, dan pembedahan. peripheral nerve injury. 2008. Clin Neurophysiol.,
c. Pleksopati akibat abses: drainase ab- 2008;119:1951-65.
5. Gutierrez A, England JD. Peripheral nerve injury.
ses dan antibiotik.
Dalam: Katirji B, Kaminsky HJ, Ruff RL. Neuro­
d. Pleksopati diabetik: perbaikan kontrol muscular disorders in clinical practice. Edisi ke-
glikemik, intravenous immunoglobulin 2. New York: Springer; 2014. vol 2. h. 863-869.

(IVIG).

723
PENDEKATAN DIAGNOSIS MIOPATI

Luh Ari Indrawati, Winnugroho Wiratman, Ahmad Yanuar Safri,


Fitri Octaviana, Manfaluthy Hakim

PENDAHULUAN sis periodik 1,72/100.000 penduduk; mio-


Penyebab miopati sangat bervariasi mulai tonia kongenital 0,32/100.000 penduduk;
dari kelainan kongenital dalam aspek kanal, paramiotonia kongenital 0,15/ 100.000
struktur, ataupun metabolism e otot, mau- penduduk; dan sporadic inclusion body myo­
pun akibat kelainan yang didapat (inflamasi, sitis sebanyak 11,7/100.000 penduduk. Di
autoimun, dan toksik). Setiap miopati me- Indonesia kasusnya juga tidak sedildt, namun
merlukan manajemen dan prognosis yang minimnya ketertarikan para klinisi maupun
berbeda, sehingga sangat penting ditegak- akademisi untuk memperdalam ilmu ini, me-
kan diagnosis yang spesifik. Sebagian kasus nyebabkan laporan kasusnya sulit didapatkan.
miopati yang memiliki pengobatan kausa-
tif memiiki prognosis baik jika dikenali, PATOFISIOLOGI
sebaliknya pada kasus lainnya yang tidak Untuk menegakkan diagnosis dan menentu-
berespons terhadap pengobatan, maka tata kan tata laksana yang tepat dibutuhkan pe-
laksana lebih ditekankan secara simtomatik ngetahuan patofisiologi kerusakan otot yang
untuk meningkatkan kualitas hidup (paliatif). terjadi. Dalam bab ini akan dibahas dua pato­
fisiologi tersering, yaitu inflamasi dan distrofi.
EPIDEMIOLOGI Miopati yangdisebabkan oleh inflamasi sering
Angka pasti prevalensi miopati sulit diper- dikelompokkan ke dalam miositis, seperti po-
kirakan, oleh karena masih jarangnya studi limiositis (PM), dermatomiositis (DM), dan
epidemiologi berskala besar terhadap ke- inclusion body myositis (IBM). Miopati yang
lompok penyakit ini. Di Jepang terdapat disebabkan oleh distrofi biasanya disebabkan
1 1,521 kasus dari 127 juta penduduk oleh kelainan genetik yang diturunkan.
sepanjang 2 0 0 8 -2 0 1 3 yang mengalami
1. Inflamasi
immune m ediated myopathy.
Penyebab inflamasi pada PM dan DM
Berdasarkan laporan oleh Lefter [2016], adalah autoimun (Gambar 1). Pada DM
di Irlandia terdapat distrofi miotonik tipe I target utama antigen adalah endotel
sebanyak 6,75/100.000 penduduk; distrofi pembuluh darah pada kapiler-kapiler
muskularDuchenne (DMD) 3,0/100.000 pen­ endomisial. Rantai imunopatologi ini di-
duduk; distrofi muskular Becker 2,2/100.000 awali saat komplemen antibodi bekerja
penduduk; distrofi fasioskapulohumeral terhadap sel endotel. Antibodi tersebut
2,59/100.000 penduduk; distrofi muskular akan mengaktivasi komplemen C3 yang
Hmb-girdle 2,88/100.000 penduduk; parali- membentuk C3b dan C4b, kemudian ter-

724
Pendekatan Diagnosis Miopati

bentuldah C5b-9 membrane attack com­ VCAM dan ICAM ini diregulasi oleh sitokin
plex (MAC], suatu komponen litik dari jalur yang dilepaskan oleh rantai komplemen.
komplemen. Kemudian secara berurutan Sel T dan makrofag diperantarai oleh in-
terjadilah pembengkakan sel endotel di- tegrin very late activation antigen (VLA)-4
ikuti valcuolisasi, nekrosis pembuluh darah ; dan leucocyte function-associated antigen
kapiler, inflamasi, perivaskular, iskemia, (LFA)-l yang kemudian berikatan dengan
dan kerusakan serabut otot. Pada akhir- VCAM dan ICAM, lalu masuk ke dalam otot
nya terdapat penurunan jumlah kapiler ; melalui dinding sel endotel,
perserabut otot diikuti kompensasi di-
2. Distrofi
latasi kapiler-kapiler yang tersisa.
Distrofi atau distrofinopati diawali oleh
Selain itu, sel B, sel T (CD4+), dan ma- mutasi gen distrofin Xp21.2 yang meng-
krofag juga berperan dalam patofisiologi kode protein distrofin. Contoh klasik
ini, Mereka masuk ke dalam otot Migrasi kelainan ini adalah penyakit distrofi
sel-sel tersebut difasilitasi oleh vascular muskular Duchene (DMD) dan distrofi
cell adhesion molecule (VCAM) dan intercel­ muskular Becker (Becker muscular dys-
lular adhesion molecule (ICAM). Ekspresi trophyj BMD).

Molecular Endotel
mimicry pembuluh
(tumor, virus ?) darah

Gambar 1. Imunopatologi pada Dermatomiositis


B: sel B; T: sel T; LFA: leucocyte function-associated antigen; VIA: very late activation antigen; ICAM: intercellular
adhesion molecule; MAC: m em brane attack complex; VCAM: vascular cell adhesion molecule; C3: komplemen C3

725
Bukii Ajar Neuroiogi

>i,r----- ib^s
bfstrbplft
py N— *
■■■■ - #
a t S?' <ST
Y ” ‘ t

w r i S m J ^ © '■

/
lab wl HoqdM'M&i

A 'G£J, ... -,
h\ N' !>
* ® « W \ s r-i.g r-*

Mukrotof},

Cot otot normal 8*1 otot tanpa dlttropln

Gambar 2. Patofisiologi Distrofinopati Otot

Protein distrofin memilild empat ranah (do­ ini digantikan oleh sel-sel satelit yang terle-
main) dan merupakan protein kompleks. Mu- tak di antara lamina basal dan membran se­
tasi pada protein ini menyebabkan kerusakan rabut otot. Sel-sel satelit ini berperan seperti
(breakdown) pada keseluruhan struktur yang “stem-cell” yang dapat menumbuhkan sel-sel
kompleks dan penting, Kerusakan ini menye­ otot dan meregenerasi serabut otot yang ru­
babkan sarkolema, yang berfungsi sebagai sak. Seiring berjalannya waktu sel satelit ini
sawar antara sel otot dengan dunia luar la- tidak dapat mengejar kerusakan yang terjadi
yaknya membran sel, menjadi rapuh. Kontraksi sehingga serabut-serabut otot yang rusak di­
otot yang intensif atau bahkan yang biasa saja gantikan oleh jaringan ikat dan lemak.
untuk ukuran orang normal dapat menyebab-
kan kerapuhan sarkolema bertambah parah. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
Kerapuhan ini menyebabkan influks kalsium Langkah penegakan diagnosis miopati me-
yang berlebihan dan mempercepat kerusakan liputi evdluasi klinis, pemeriksaan labora-
serabut otot (Gambar 2). torium dan elektrofisiologi, histopatologi,
dan pemeriksaan yang spesifik pada entitas
Otot yang rusak memiliki kapasitas rege-
miopati tertentu. Untuk penentuan peme-
nerasi yang terbatas. Sel-sel otot yang rusak

726
Pendekatan Diagnosis Miopati

riksaan spesifik yang bersifat konfirmasi, 1. Keluhan


diperlukan penetapan diagnosis kerja dan Keluhan miopati dapat berupa gejala negatif
diagnosis banding melalui evaluasi klinis. dan positif, yaitu kelemahan, mudah lelah,
intoleransi terhadap aktivitas, atrofi otot,
Pada prinsipnya miopati dibagi menjadi
kram, kontraktur, hipertrofi otot, mialgia,
miopati herediter dan miopati yang didapat.
atau kekakuan (Tabel 1). Miopati yang ber-
Miopati yang herediter meliputi channelopa-
hubungan dengan metabolisme dan mito-
thy, miopati kongenital, miopati metabolik,
kondria abnormal dapat menimbulkan
miopati mitokondrial, distrofi muskular,
keluhan kelelahan/fatig setelah aktivitas.
dan miotonia. Miopati yang didapat berupa
Mialgia dapat muncul episodik pada
miopati yang diinduksi obat, miopati en-
miopati metabolik atau muncul kon-
dokrin, miopati inflamasi, miopati terkait
stan misalnya pada miopati inflamasi.
penyakit sistemik, dan miopati toksik.
Kelemahan atau mialgia episodik setelah
Secara umum miopati memberikan keluhan aktivitas dapat berkaitan dengan kejadian
berupa kelemahan otot, atrofi atau hipotrofi mioglobinuria, sehingga periu ditanyakan
otot, refleks regang otot menurun sedildt tentang warna urin pada anamnesis.
atau menghilang pada derajat miopati yang
Kram otot dapat diprovokasi oleh aktivitas
berat dengan pemeriksaan sensorik nor­
pada miopati akibat defek enzim glikolitik
mal, ke-cuali terdapat komorbiditas neu-
Miotonia biasanya diprovokasi oleh akti­
ropati. Untuk menegakkan diagnosis spesi­
vitas atau paparan dingin misalnya pada
fik miopati ada beberapa aspek yang periu
paramiotonia kongenital. Peningkatan kon-
diketahui, yaitu gejala negatif atau positif,
sistensi massa otot dapat disebabkan oleh
evolusi temporal penyakit, riwayat keluarga,
fibrosis pada miopati kronik atau deposit
kondisi pencetus, gejala dan tanda lain yang
amiloid. Abnormalitas lainnya yang dapat
menyertai, serta distribusi otot yang ter-
ditemui adalah mioedema setelah perkusi
lib at Sintesis semua aspek tersebut akan
otot, yaitu berupa pembengkakan otot yang
membantu mempersempit kemungkinan en-
berlangsung selama beberapa detik Mio­
titas miopati, sehingga dapat dipilih peme­
edema ini dapat di-temukan pada miopati
riksaan penunjang yang tepat.
akibat hipotiroid.
Tabel 1, Miopati dan Gejala Penyerta
Mialgia Kontraktur Otot ______ Kekakuan Otot______
» Miopati yang diinduksi obat ® Brody disease ® Miopati hipotiroid
[misalnya statin) atau toksin ® Defek enzim glikogenolitik atau glikolitik ® Miotonia dan paramiotonia
® Sindrom mialgia-eosinofilia ® Defisiensi myophosphotylase {McArdle disease) kongenital
» Miopati hipotiroid ® Defisiensi fosfofruktokinase, fosfogliserat ® Distrofi miotoni tipe 1
® Miopati inflamasi kinase, fosfogliserat mutase, laktat ® Miopati miotonik
® Kelainan miotonik dehidrogenase, enzim pemotong cabang proksimal (distrofi
• Miopati mitokondria * Miopati hipotiroid miotonik tipe 2)
® Miopati agregat tubular ® Rippling muscie disease ® Paralisis periodik
® Distrofi muskular hiperkalemia
® Miositis infeksi
o Defisiensi deaminase mvoadenvlate______________
Sumber: Barohn R], dkk. Neurol Clin. 2014. h. 569-93.

727
Buku Ajar Neurologi

Tanda Gowers
/ -- j -V
A ^ V ■/

^ "i>

f\ A
l^ ii 6 e s£ i4 .
^fm s^afigw m geg^ gfcg^iiiiigsfl:

l.\ A bA
"\'j — / !
A > / r /
1 J
^ j

/ J v
*4^

Gambar 3, Tanda Gowers

Hipertrofi otot dapat teijadi pada miotonia penting diperiksa. Kelemahan otot pada
kongenital, miopati akibat amiloidosis, sar- miopati umumnya lebih terlihat pada
koidosis, dan hipotiroid. Pseudohip ertrofi otot-otot proksimal, namun ada juga
otot (akibat penggantian massa otot dengan yang melibatkan kelumpuhan otot-otot
jaringan ikat dan lemak} terlihat pada distal dan wajah, yang dapat memberi pe-
distrofi muskular Duchenne dan Becker, tunjuk entitas miopati tertentu (Tabel 2).
distrofi muskular limb-gridle (LGMD 2C-F/ Kelemahan pada otot pelvis menyebabkan
sarkoglikanopati], miopati Miyoshi, anocta- kesulitan dalam menaild tangga, bangldt
min-5 defect, LGMD 21 (fiilaitin-related pro­ dan lantai, atau bangkit dari posisi duduk
tein), dan LGMD 2G (teletoninopati). Kesulitan bangkit dari posisi duduk atau
berbaring tanpa bantuan eksremitas atas
2 . D is tr ib u s i O to t y a n g T e r lib a t
menunjukkan kelemahan otot ekstensor
Distribusi keterlibatan otot dapat dinilai
panggul. Tanda Gowers merupakan karak-
dengan pemeriksaan kekuatan otot per-
teristik yang terlihat pada kelemahan otot
segmen, identifikasi aktivitas fungsional
proksimal, yaitu saat pasien berusaha bang­
yang terganggu yang terutama penting
kit dari posisi berbaring, awalnya bertumpu
pada anak, dan atrofi otot. Penilaian
pada tangan dan lutut, kemudian melurus-
kekuatan otot harus meliputi otot yang
kan ekstremitas bawah, melengkungkan
berfungsi pada gerakan ekstensi, fleksi,
badan ke belakang, diikuti dengan menum-
abduksi, aduksi, rotasi internal, dan rotasi
pukan tangan pada lutut lalu paha se-
eksternal. Otot fleksor leher dinilai pada
hingga dapat mengekstensikan trunkus
keadaan supinasi, sedangkan ekstensor
(Gambar 3}. Kelemahan otot kuadriseps
leher dinilai pada posisi pronasi. Otot
menyebabkan kesulitan saat menurun
yang diinervasi oleh nervus kranial juga
tangga dibandingkan menaiki tangga.

728
Pendekatan Diagnosis Miopati

’a bel 2. Miopati dan Distribusi Keterlibatan Otot


Distrihusi ________________________________ Miopati
Dtot ekstraokular Oculopharyngeal muscular dystrophy (OPMD)
Mitochondrial myopathy
Thyroid orbitopathy
Otot wajah Facioscapulohumeral dystrophy (FSH)
Myotonic dystrophy I terutama otot temporalis
OPMD
Otot periskapular FSH
Laminopathy (LGMD IB), calpainopathy (LGMD 2A}fsarcoglycanopathies ( LGMD 2C-F)
Pompe disease
Otot leher Myotonic dystrophy tipe 1
Isolated neck extensor myopathy (INEM)
Otot pernafasart pada awal Pompe's disease
penyakit Myotonic dystrophy I
Keterlibatan otot jantung Dystrophinopathies (Duchenne, Becker, x-linked cardiomyopathy]
Emery-Dreifuss muscular dystrophy
Myotonic dystrophy I
LGMD (tipe IB, 2 C-G)
Miopati infiamasi (keterlibatan ringan tidak umum dan keterlibatan derajat
beratjarang)
Mitochondrial myopathy
Danon disease
Otot distal Myotonic dystrophy 1
Inclusion body myositis (IBM) terutama pada otot fleksor lengan bawah dan M.
Kuadriseps femoris
D^sferiinopathies (Miyoshi, LGMD 2B)
Keterlibatan otot asimetris
FSH
______________________________ Miositis fokai__
LGMD: limb-gridle muscular dystrophy
number: Barohn RJ, dkk Neurol Clin- 2014. h. 569-93.

Pasien dengan kelemahan ekstremitas atas ba- dan distrofi muskular) atau episodik yang
gian proksimal mengalami kesulitan melaku- biasanya disebabkan oleh miopati metabolik,
kan aktivitas yang memerlukan elevasi lengan misalnya akibat gangguan jalur metabolisme
di atas level mata. glikolisis. Kelemahan otot yang bersifat
konstan dapat terjadi pada onset akut atau
3. Onset dan Evolusi Gejala subakut [misalnya pada miopati infiamasi),
Onset penyakit penting untuk memper-
kronik progresifyang berlangsung bertahun-
sempit diagnosis banding miopati (Tabel 3).
tahun (distrofi muskular), atau nonprogresif
Dermatomiositis dapat terjadi pada anak-
dengan sedilat perubahan selama dekade
anak dan dewasa, sedangkan polimiositis
(misalnya miopati kongenital).
dan IBM banyak pada usia tua, DMD biasa-
nya terdeteksi pada usia 3 tahun, sedangkan Selain itu, perjalanan penyakit dapat mono-
FSH dan LGMD mulai terjadi gejala klinis fasik atau relaps-remisi. Miopati dengan
pada usia remaja atau lebih tua. perjalanan monofesik, misalnya pada rabdo-
miolisis akibat intoksikasi kokain. Perjalanan
Kelemahan pada miopati dapat bersifat
penyakit paralisis periodik dan miopati me-
konstan (misalnya pada miopati infiamasi
tabolik biasanya bersifat relaps-remisi.

729
Buku Ajar Neurologi

Tabel 3. Mlopati pada Berbagai Onset


Onset Mlopati
Saat lahir Central core disease
Miopati sentronuldear (miotubular)
Congenital fiber-type disproportion
Distrofi muskular distrofi
Distrofi miotonik kongenital
Penyakit yang berkaitan dengan penyimpanan glikogen [acid maltose and phospho-
rilase deficiencies)
Penyakit yang berkaitan dengan penyimpanan lemak (defisiensi karnitin)
Masa kanak-kanak Miopati kongenital: miopati nemalin, miopati sentronuklear, central core
Endocrine-metabolic disorders: hipokalemia, hipokalsemia, hiperkalsemia
Glycogen storage disease (acid maltose deficiency)
Inflamasi miopati: dermatomiositis, polimiositis (jarang)
Penyakit yang berkaitan dengan penyimpanan lemak (defisiensi karnitin)
Miopati mitokondria
Distrofi muskular: kongenital, Duchenne, Becker, Emery-Dreifuss, FSH, LGMD
Masa dewasa Miopati sentronuklear
Miopati distal
Miopati endokrin: keiainan tiroid, paratiroid, adrenal, hipofisis
Miopati inflamasi: polimiositis, dermatomiositis, IBM, virus (human immunodeficien­
cy virus)
Miopati metabolik: acid maltose deficiency, penyakit yang berkaitan dengan
penyimpanan lemak defisiensi debrancher, defisiensi fosforilase b kinase
Miopati mitokondria
Distrofi muskular: LGMD, FSH, Becker, Emery-Dreifuss
Distrofi miotonik
Miopati nemalin
Mionati toksik: alkohol, kortikosteroid, inieksi lokal narkotik, kolkisin, klorokuin
FSH: facioscapulohumeral dystrophy; LGMD: limb-gridle muscular dystrophy; IBM: inclusion body myositis
Sumber; Barohrt RJ, dkk. Neurol Clin. 2014. h. 569-93.

Tabel 4. Miopati dan Faktor Pencetus


Miopati Faktor Pencetus
Miotonia kongenital tipe Thompsen Tidak ada pencetus atau dapat dicetuskan oleh stres dan
suhu dingin
Miotonia kongenital tipe Becker Pada saat awal latihan fisik
Distrofi miotonik tipe I Suhu dingin
Distrofi miotonik tipe 11 Suhu panas
Paramiotonia Latihan fisik yang berkepanjangan, suhu dingin
Periodik paralisis Latihan fisik dan konsumsi karbohidrat yang banyak
yang diikuti dengan istirahat
Miopati aldbat defisiensi karnitin palmitil transferase Demam
Miopati akibat defek ialur metabolisme erlikolisis Latihan fisik
Sumber: Barohn RJ, dkk. Neurol Clin. 2014. h. 569-93.

730
Pendekatan Diagnosis Miopati

Tabel 5. Miopati dan Tanda Penyerta


Gejala dan Tanda Penyerta Kemungkinan Miopati
Frontal balding Distrofi miotonik
Kemerahan kulit Dermatomiositis
Aritmia Andersen-Tawil syndrome
Kearns-Sayre syndrome
Polimiositis
Distrofi muskular: miotonik, LGMD IB, 2C-F, 2G, Emery-Dreifuss
Gagal jantung kongestif Acid m aitase deficiency
Defisiensi karnitin
Distrofi muskular: Duchenne, Becker, Emery-Dreifuss, miotonik, LGMD IB, 2C-F, 2G
Miopati nemalin
Polimiositis
Insufisiensi pernafasan Distrofi muskular: Becker, Duchenne, kongenital, Emery-Dreifuss, LGMD 2A, 21,
miotonik, FSH
Miopati metabolik; acid maitase deficiency, debrancher deficiency
Miopati mitokondrial
Miopati kongenital: sentronuklear, nemalin
Miopati inflamasi: polimiositis
Penyakit t...ru interstisial Antisynthetase syndrome
Miopati inflamasi lainnya
Katarak Distrofi miotonik
"Mechanic hands" Antisynthetase syndrome
Miopati inflamasi lainnya
Keganasan Miopati inflamasi paraneoplastik
Diabetes Miopati mitokondrial
Gangguan kognitif Miopati kongenital
Distrofi muskular (Duchenne, miotonik]
Keiainan mitokondrial
Distrofi miotonik (tipe I > tipe 11)
FSH pada tipe yang berat
IBM-demensia frontotemporal
Osteomaiasia Defisiensi vitamin D
Penyakit Paget IBM familial
Gambaran fisik dismorfik Miopati kongenital
Abnormalitas retina seperti Miopati mitokondrial
cherry red spot
Coats' disease FSH
Kalsifikasi kulit dan fasia Dermatomiositis
Gottron's papules Dermatomiositis
Keloid Miopati dengan abnormalitas kolagen tipe VI
Striae dan stretch m ark Miopati kortikosteroid
Kontraktur pada awal onset Emery- Dreifuss dystrophy
miopati Abnormalitas kolagen VI
Miopati Bethlem
LGMD IB (laminopati)
Penyakit sistemik difus Miopati akibat amiloidosis, sarkoidosis, gangguan endokrin, penyakit kolagen-
vaskular, nenvaldt infeksi dan keiainan mitokondria
LGMD; Hmb-gridle muscular dystrophy; FSH: facioscapulohumeral dystrophy; IBM: inclusion body myositis
Sumber: Oskarsson B. Neuromuscular disorders in clinical practice, 2014. h. 1159-68.

731
Buku Ajar Neurologi

4 . F a k to r P e n c e tu s K elu h an gali, misalnya riwayat penyakit autoimun


Hanya sebagian miopati yang memilild fak­ dan reumatologis.
tor pencetus yang dapat mengeksaserbasi
Tabel 6 . Obat Penyebab Miopati Toksik
keluhan, sehingga faktor pencetus perlu
diidentifikasi (Tabel 4). Miotonia dapat di- Patofisiologi Kerusakan Obat Penyebab
Otot
cetuskan dengan menginstruksikan pasien Inflamasi Simetidin
untuk menggenggam jari secara maksimal D-penisilamin
selama 15 detik kemudian melepaskannya Prokainamid
L-triptofan
dengan segera. Pada miotonia, relaksasiter-
L-dopa
jadi lambat dan tampak gerakan otot yang Noninflamasi dengan proses Alkohol
tidak Iancar saat melepas genggaman. nekrosis dan vakuolisasi Obat penurun
kolesterol
5. G ejala atari T an d a S iste m ik L ain n y a Klorokuin
Diagnosis miopati dapatberdiri sendiri atau Kolkisin
Siklosporin dan
disertai komorbiditas lainnya yang dapat takrolimus
memberikan petunjuk mengenai penyebab Emetin
miopati tersebut, sehingga sangat penting Asam
e-aminokaproat
untuk mengeksplorasi keterlibatan sistem
Asam isoretinoat
organ lainnya (Tabel 5). (analog vitamin A)
Labetaloi
6 . P e n g g u n a a n O b at Vinkristin
Obat-obatyangdapatmenyebablcanmiopati Rabdomiolisis dan mioglo- Alkohol
toksik cukup banyak dan penggunaannya binuria Amfetamin
Obatpenurun
cukup luas pada berbagai penyakit yang kolesterol
prevalensinya tinggi. Oleh karena itu perlu Kokain
diidentifikasi riwayat konsumsi obat untuk Heroin
Toluen
mencegah kerusakan otot lebih lanjut dapat Asam
dicegah [Tabel 6). E-aminokaproat
Hilangnya miosin Obatblokade
7 . R iw ay at P e n y a k it K e lu a rg a neuromuskular
Sebagian miopati disebabkan kelainan ge- nondepolarisasi
netik yang dapat diwariskan dengan pola Steroid
Sumber: Barohn RJ, dkk. Neurol Clin, 2014. h. 569-93.
pewarisan autosomal maupun terkait
kromosom X [Tabel 7). Untuk mendapat-
Berdasarkan tufuh hal di atas maka dapat
kan pola pewarisan, perlu dibuat pedigree
dikenali 10 pola miopati yang dapat mem-
minimal 3 level, Riwayat keluarga yang
bantu menentukan kemungkinan diagnosis
berkaitan dengan kelainan yang mungkin
miopati [Tabel 8).
berkaitan dengan miopati juga perlu di-

732
Pendekatan Diagnosis Miopati

Tabel 7, Stfat Pewarisan Miopati


Pola Pewarisan Miopati
Autosom dominan LGMD tipe l
Distropi miotonik tipe I dan II
OPMD
FSH
Miopati mitokondria
Autosom resesif LGMD tipe II
Miopati metabolik
Miopati mitokondria
Terkait kromosom X Distrofi muskular Duchenne dan Becker
Distrofi muskular Emery-Dreifuss
Transmisi maternal Miopati mitokondria
Etnik OPMD pada etnik Kanada-Perancis dan Hispanik dari Amerika Barat Daya
I.GMD: limb-gridte muscular dystrophy; OPMD: oculopharyngeal muscular dystrophy, FSH: facioscapulohumeral dystrophy
Sumber: Oskarsson 8 , Neuromuscular disorders in clinical practice. 2014. h. 1159-68.

DIAGNOSIS BANDING b. Miastenia gravis dengan hanya keter-


Diagnosis banding miopati adalah penya- libatan limb-girdle
kit motor neuron, gangguan taut saraf otot, 3. N e u ro p a ti M o to rik
neuropati motorik, dan lesi sistem saraf a. Neuropati perifer demielinasi (varian
pusat. motorik dari chronic inflammatory
Kelainan yang menyerupai miopati: demyelinating polyneuropathy), mul­
tifocal motor neuropathy dengan blok
1. P e n y a k it M o to r N eu ro n (Motor Neu­ konduksi
ron Disease)
b. Neuropati porfiria yang melibatkan
a. Atrofi spinal muskular onset lambat
serabut motorik proksimal
b. Atrofi muskular bulbospinal terkait
c. Amiotrofi diabetik
kromosom X (Penyakit Kennedy)
c. Atrofi muskular progresif (varian 4. L esi s is te m s a r a f p u s a t
sclerosis lateral amiotropik) Stroke pada area watershed arteri sere-
bri media-anterior bilateral.
2. G angguan T a u t S a ra f O tot
a, Sindrom miastenik Lambert-Eaton

733
Buku A jar N eurologi
Tabel 8. Pola Miopati dan Diagnosis Banding
Distribusi Kelemahan otot
Pola Proksi­ Distal Sim etris Asimetris Episodik Diagnosis
tus
mal
Limb-girdle + + Sebagian besar miopati
baik herediter dan
didapat
Distal - + - + - - Miopati distal
Lengan proksimal, tung- + lengan + tungkai + (FSH) + lainnya FSH, Emery-Dreifuss,
kai distal, skapulopero- acid m altase deficiency,
neal congenital scaputope-
roneal
Lengan distal, tungkai + tungkai + lengan + - - - IBM, distropi miotonik
proksimal
Prosis dengan atau tanpa + " + •f " OPMD, miotonik distrofi,
oftalmoparesis mitokondria
734

Otot leher dan ekstensor + - - + - - INEM


Bulbar (lidah, faring) + - - + - - OPMD
Kelemahan, nyeri atau + * + + + McArdle, CPT, obat, dan
rabdomiolisis episodik toksin

Kelemahan episodik, + 4- + +/- Paralisis periodik primer


tidak berhubungan dan sekunder
dengan latihan fisik atau Channelopathies (Na
berhubungan secara dan Ca)
lambat
Kekakuan + v- distrofi miotonik, chan­
nelopathies, PROMM,
rippling (stiff-person,
neuromiotonia)
FSH: facioscapulohumeral dystrophy; IBM: inclusion body myositis-, OPMD: oculopharyngeal muscular dystrophy, 1NEM: isolated neck extensor myopathy;
CPT: carnitine palmitoyltransferase; PROMM: proximal myotonic myopathy
Sumber: Barohn Rj, dkk. Neurol Clin, 2014, h, 569-93.
Pendekatan Diagnosis Miopati

Pemeriksaan Laboratorium beberapa faktor, yaitu:


Konsentrasi kreatinin kinase (creatinine 1. Tingkat Keparahan Penyakit
kinase /CK) terbesar terdapat di otot ske­ Penyakit dengan destruksi otot menye-
letal dan otot jantung (berada dalam jum- bakan peningkatan kadar CI< yang besar,
lah kecil di otak, usus dan paru-paru), serta misalnya pada DMD dan rabdomiolisis
merupa-kan tes laboratorium rutin yang terjadi peningkatan CK hingga >100 kali
bermanfaat untuk evaluasi kelemahan nilai normal.
pada penyakit neuromuskular. CK meru-
pakan enzim sarkolema, sehingga keru- 2. Perjalanan Penyakit
sakan sarkomer akan meningkatkan per- Miopati progresif lebih cepat meningkat­
meabilitas membran dan terjadi kebocoran kan kadar CK, misalnya kadar CK jauh le­
enzim. Kadar CK biasanya meningkat ke- bih tinggi pada polimiositis dibandingkan
tika terjadi nekrosis serabut otot aktif, mi- FSHD atau IBM yang progresif lambat.
salnya pada miopati inflamasi dan distrofi. 3. Massa Otot Absolut
Peningkatan kadar CK pada penyakit Kadar CI< pada miopati tahap lanjut akan
neuromuskular berkorelasi dengan mas- menurun, misalnya kadar CK pada awal
sa otot yang mengalami kerusakan dan onset DMD akan tinggi dan kemudian
mengeluarkan enzim tersebut (Tabel 9). menurun hingga ke kadar normal pada
Namun kadarnya perlu diinterpretasi se- tahap lanjut saat jaringan otot diganti
cara hati-hati dan mempertimbangkan oleh jaringan fibrosis.
beberapa aspek, yaitu jenis kelamin, ras, 4. Nekrosis Serabut Otot
massa otot, status fisiologis, dan abnor- Miopati dengan sarkolema yang intak atau
malitas m etabolik lainnya. Secara fisiolo- tidak berkaitan dengan destruksi serabut
gis kadar CK lebih tinggi pada laki-laki, otot tidak menyebabkan peningkatan CK.
ras Afrika, neonatus, anak, peningkatan
Pemeriksaan enzim CK sebaiknya tidak di-
m assa otot, dan latihan fisik yang teratur
lakukan segera setelah pemeriksaan EMG,
berkepanjangan.
karena pemeriksaan EMG dapat menyebab­
Derajat peningkatan CK dipengaruhi oleh kan peningkatan ringan kadar CK (biasanya
1,5 kali nilai normal).

Tabel 9. Miopati dan Kadar Creatinine K in ase


Miopati dengan Peningkatan CK vane Tinggi* Miopati dengan Kadar CK Normal
Distrofinopati (Duchene and Becker muscular Miopati steroid
dystrophies) Necrotizing autoimmune myopathy (NAM)
Rabdomiolisis dan mioglobinuria Miopati hipertiroid
Hipertermia maligna Miopati mitokondria
Sindrom neuroleptik maligna Channelopathies
Polimiositis
Miopati distal Mivoshi
*Hingga 50-100 kali nilai normal; CK: creatinine kinase
Sumber: Barohn RJ, dkk. Neurol Clin, 2014. h. 569-93.

735
Buku Ajar Neurologi

Pemeriksaan Elektro diagnosis recruitment, yaitu untuk menghasilkan


Walaupun diagnosis spesifik miopati memer- kontraksi otot yang minimal diperlukan ba-
lukan pemeriksaan histopatologi dan genetik, nyak MUAP. Pada miopati tahap lanjut dapat
pemeriksaan studi konduksi saraf, dan elektro- terjadi penurunan rekrutmen MUAP. Pada
miografi masih berperan penting. Pemeriksaan miopati tertentu, misalnya miopati aldbat
studi konduksi saraf dan elektromiografi ber­ steroid, perubahan miogenik pada MUAP
peran dalam mengeksidusi kelainan lain yang dapat sangat minimal atau bahkan normal.
klinisnya menyerupai miopati, misalnya pe-
Pemeriksaan EMG juga bermanfaat untuk
nyakit motor neuron, gangguan taut saraf otot,
membantu pemilihan otot untuk sampel
dan neuropati yang murni melibatkan serabut
histopatologi. Otot yang baik untuk peme­
motorik. Gambaran elektromiografi (distribusi
riksaan histopatologi adalah otot yang ter-
keterlibatan otot, aktivitas spontan) juga dapat
libat dan tidak dalam keadaan kerusakan
mempersempit diagnosis banding miopati.
tahap akhir.
1. Pemeriksaan Kecepatan Hantar Saraf
Pemeriksaan Histopatologi
(KHS)
Pada sebagian besar miopati, pemeriksaan his­
Pada miopati pemeriksaan KHS sensorik
topatologi memberikan informasi diagnostik
normal, kecuali bila terjadi koeksistensi
yang penting. Jika hasil EMG tidak dapat lang-
neuropati. Pemeriksaan KHS motorik bi-
sung memberikan diagnosis akhir miopati spe­
asanya normal karena KHS motorik urn-
sifik, maka pemeriksaan histopatologi dapat
umnya dilaltukan pada otot distal, sedang-
memberikan arahan pemeriksaan lanjutan
kan sebagian besar miopati mengenai otot
yang spesifik Analisis histopatologi dapat
proksimal pada tahap awal. Pada keadaan
mengelompokkan miopati menjadi miopati in-
miopati tahap lanjut saat telah terjadi hi-
flamasi, miopati nekrosis, dan miopati distrofi.
potrofi atau atrofi otot, amplitudo CMAP
Apabila gambaran histopatologi menunjukkan
dapat menurun. Latensi distal dan KHS mo­
miopati inflamasi, maka dapat dipertimbang-
torik dalam batas normal.
kan diagnosis dermatomiositis, polimiositis,
2. Elektromiografi (EMG) atau inclusion body myositis. Ketiganya dapat
Pemeriksaan EMG akan menhasilkan anali- dibedakan dengan telrnik pewamaan histo-
sis motor unit action potential (MUAP) yang kimia dan imunologi tertentu (Gambar 5).
dapat membedakan lesi neurogenik dan
Beberapa miopati distrofi dapat menunjuk­
miogenik (Gambar 4], Gambaran MUAP
kan gambaran inflamasi pada histopatologi.
pada lesi miogenik adalah MUAP berdurasi
Miopati dengan gambaran nekrosis biasanya
pendek, amplitudo rendah, dan polifasik
didapatkan pada miopati toksik walaupun
Pada miopati kronik dapat diperoleh gam­
dapat juga ditemukan pada miopati akibat
baran MUAP berdurasi panjang dan memilild
autoimun. Sampel histopatologi sebaiknya
potensial satelit yang biasanya didapadtan
diambil dari otot kontralateral yang dilaku-
pada lesi neurogenik Pada keadaan miopati
kan pemeriksaan EMG dan skor kekuatan
tahap lanjut gambaran MUAP neurogenik
otot 4. Pemeriksaan EMG dapat menyebab-
dan miogenik mungkin sulit dibedalcan. Pola
kan inflamasi transien yang dapat menga-
rekruitmen MUAP pada miopati adalah early
caukan hasil pemeriksaan histopatologi.

736
Pendekatan Diagnosis Miopati

Proksimai

Distal

Generalisata

Simetrik

Asimetrik

A
Miotonia
- Distropi miotonik
- Miotonia kongenital
- Paramiotonia kongenital
- Periodik paralisis hiperkalemia
- Defisiensi asam maltase
- Miopati sentrotubular/miotubular

y — Denervasi A
- Polimiositis
- Dermatomiositiis
- Inclusion body miositis
- Miopati/polimiositis pada HIV
- Miopati Sarkoidosis
- Defisensi distropin (Duchene dan
Becker)
- Miopati nemalin
- Miopati alkohol
-Miopati akibat penggunaan obat
penurun kolesterol

Gambar 4. Peran Pemeriksaan Elektromiografi


Dimodifikasi dari: Preston DC, dkk. Electromyography and neuromuscular disorders clinical-electrophysiologic
correlations. 2013. h. 549-62.

737
Baku Ajar Neurologi

Gambar 5. Pem eriksaan Lanjutan Berdasarkan Basil Pem eriksaan Histopatologi


SRP: signal recognition particle
Dimodifikasi dark Oskarsson B. Neuromuscular disorders in clinical practice. 2014. h. 1159-68.

Pemeriksaan Spesifik Lainnya Adanya panel antibodi atau inflamasi terkail


Apabila pemeriksaan histopatologi menunjuk- yang positif dapat menunjang diagnosis (spe-
kan inflamasi maka dapat diperiksa panel-pa­ sifisitas cukup tinggi).
nel antibodi atau penanda inflamasi (Tabel 10).

Tabel 10. Penanda Inflamasi Miopati


Penanda inflamasi Kondisi Terkait
Antibodi antinuclear SLE dan kondisi lainnya (nilai patologi tidak jelas bila titer <1:340)
Anti-PM-Scl Skleroderma
Anti-RNP Mixed connective tissue disease
HIV Miopati inflamasi
Angiotensin-converting enzyme Sarkoidosis
LED Penanda inflamasi nonspesifik
CRP Protein fase akut, penanda inflamasi nonspesifik
SLE: systemic lupus erythematosus; anti-PM-ScI: anti-polymyositis scleroderma; anti-RNP: anti-ribonucleoprotein;
HIV: human immunodeficiency virus; LED: laju endap darah; CRP: c-reactive protein
Sumber: Preston DC, dkk. Electromyography and neuromuscular disorders clinical-electro physiologic correla­
tions. 2013. h. 549-62.

738
Pendekatan Diagnosis Miopati

Pemeriksaan Genetik IMM termasuk dermatomiositis (DM)


Jika pada pemeriksaan histopatologi di- memiliki keterlibatan sistemikyaitu pada
dapatkan gambaran miopati distrofi, maka kulit. FSH memiliki distribusi pada otot-
pemeriksaan genetik spesifik dapat ditentu- otot wajah, skapula, dan lengan atas. PPH
kan berdasarkan korelasi klinis atau fenotip. dan myotonic dystrophy dicetuskan oleh
Pada miopati distrofi dengan tampilan klinis aktivitas. PPH biasanya aktivitas yang
yangkhas (misalnya OPMD, DM1, atau FSH}, belebihan, sedangkan myotonic dystro­
pemeriksaan genetik dapat ditentukan bah- phy pada awal aktivitas dan dapat di­
kan sebelum dilakukan pemeriksaan EMG sertai pseudohipertrofi. DMD dan BMD
atau biopsi. Miopati limb-girdle sangat bera- merupakan penyakit kongenital dan
gam dan sulit untuk menentukan diagnosis biasanya pada laki-laki disertai keter-
yang spesifik hanya berdasarkan fenotip. lambatan fungsi motorik sefak usia dini.
Pada keduanya ditemukan tanda Gowers
CONTOH KASUS yaitu membutuhkan bantuan tangan
1. Seorang wanita usia 39 tahun datang saat akan berdiri dari jongkok.
dengan keluhan kelemahan pada otot-
2. Seorang laki-laki usia 26 tahun datang
otot paha. Kelemahan ini mulai dira-
dengan kaku otot-otot tangan. Kekakuan
sakan saat naik tangga sekitar 3 minggu
dirasakan terutama pada pagi hari. Kadang
yang lalu. Kelemahan tidak dicetuskan
siang hari juga muncul namun lama kela-
oleh sesuatu namun bersifat konstan
maan menghilang. Tidak ada penggu­
yang disertai nyeri pada otot, terutama di
naan obat-obat yang signifikan ataupun
lengan dan paha. Tidak terdapat riwayat
penyakit lainnya. Terdapat keluarga yang
penggunaan obat atau penyakit keluarga
memiliki keluhan yang serupa. Dari peme­
yang signifikan. Pasien memiliki riwayat
riksaan fisik tidak ditemukan kelemahan,
atopi dan alergi terhadap penisilin dan
hipertrofi, maupun atrofi, namun terdapat
udang. Pada pemeriksaan fisik kekuatan
relaksasi tangan yang melambat saat di-
motorik keempat ekstremitas menurun
minta melepas genggaman tangan. Dari
walaupun asimetris, kekuatan otot lain-
ilustrasi tersebut, diagnosis banding yang
nya baik. Terdapat warna kemerahan
paling mungkin adalah;
pada kulit di sekitar otot yang nyeri. Dite-
mukan Gottron's papules. Diagnosis yang a. LGMD tipe I
paling mungldn pada kasus ini adalah: b. Miotonia
a. Facioscapulohumeral dystrophy (FSH) c. OPMD
b. Periodik paralisis hiperkalemia (PPH) d. Polimiositis
c. Myotonic dystrophy e. DMD
d. Immune m ediated myopathy (IMM) Jawaban yang paling tepat adalah B
e. Duchene atau Becker muscular dystrophy (miotonia).

Jawaban yang paling tepat adalah D ( Im­ Miotonia adalah penyakit yang berkaitan
mune m ediated myopathy). dengan genetik, dapat berupa autosomal

739
Baku Ajar Neurologi

dominan maupun resesif. Ditandai den- sevier; 2013. h. 549-62.


4. Ohta A, Nagai M, Nishina M, Tomimitsu H, Koh-
gan kram atau kaku yang dicetuskan den-
saka H. Prevalence and incidence of polymyositis
gan aktivitas. Distribusinya tidak spesifik. and dermatomyositis in Japan. Mod Rheumatol.
LGMD memiliki distribusi yang khas di 2014;24(3):477-80.
otot-otot antara tubuh dan ekstremitas 5. Lefter S, Hardiman 0, Ryan AM. A population-
based epidemiologic study of adult neuromus­
(skapula, pelvis). OPMD memiliki dis­ cular disease in the Republic of Ireland. Neurol­
tribusi pada otot-otot okular dan farin- ogy. 2016;10:1212.
geal. Polimiositis merupakan penyakit 6. Dalakas MC. Autoimmune inflammatory myopa­
thies. Dalam: Mastaglia FL, Hilton-Jones D, editor.
otot inflamasi, dapat disertai inflamasi Handbook of clinical neurology. Edisi ke-3. Am­
sistemik. DMD merupakan penyakit kon- sterdam: Elsevier; 2007;86:273-301.
genital dengan gejala Minis dapat diketahui 7. Morrison LA. Dystophinopathies. Dalam: Am­
ato AA, Griggs RC, editor. Handbook of llinical
sejak masa pertumbuhan.
neurology, Edisi ke-3. Amsterdam: Elsevier;
2011;101:11-39.
DAFTAR PUSTAKA 8. Trisnawati SY, Nuartha AABN, Putra IGNP. Miosi-
1. Barohn Rj, Dimachkue MM, Jackson CE, A pattern tis badan inldusi. Neurona. 2013; 30(3): 185-90.
recognition approach to patients with a suspect­ 9. Ansari R, Katirji B. Serum muscle enzyme in neu­
ed myopathy. Neurol Clin. 2014;32(3):569-93. romuscular disease. Dalam: Katirji B, Kaminski
2. Oskarsson B. Approach to myopathies. Dalam: HJ, Ruff RL, editor. Neuromuscular disorders in
Katirji B, Kaminski HJ, Ruff RL, editor. Neuromus­ clinical practice. Edisi ke-2. New York: Springer;
cular disorders in clinical practice. Edisi ke-2 . 2014. h. 39-50.
New York: Springer; 2014. h. 1159-68. 10. Katirji B. Clinical assessment in neuromuscu­
3. Preston DC, Shapiro BE. Myopathy. Dalam: Pres­ lar disease. Dalam: Katirji B, Kaminski HJ, Ruff
ton DC, Shapiro BE, editor. Electromyography RL, editor. Neuromuscular disorders in clinical
and neuromuscular disorders clinical-electro- practice. Edisi ke-2. New York: Springer; 2014.
physiologic correlations. Edisi ke-3. London: El­ h. 3-20.

740
MIASTEMIA GRAVIS

44 Manfaluthy Hakim, Ahmad Yanuar Safri, Winnugroho Wiratman

PENDAHULUAN jenis kelamin dan usia. Pada usia di bawah


Miastenia gravis (MG) adalah penyakit atau sampai usia 50 tahun, lebih banyak
autoimun yang ditandai dengan kelemahan perempuan dengan rasio 7:3, sedangkan
fluktuatif pada otot-otot ekstra okular, bulbar, pada usia di atas 50 tahun ditemukan laki-
dan otot-otot proksimal. Kelemahan otot yang laki dengan rasio 3:2, Prevalensi paling
terjadi akan memburuk saat beraktivitas tinggi pada perempuan usia 20-30 tahun,
dan membaik setelah beristirahat. MG sedangkan laki-laki pada usia 60 tahun.
disebabkan oleh adanya autoantibodi pada
Dengan semakin meningkatnya kemampuan
membran pascasinaps pada taut saraf otot
diagnosis, terapi, dan umur harapan hidup,
(neuromuscular-junction). Autoantibodi yang
prevalensi MG semakin meningkat, yaitu
banyak ditemukan pada serum pasien MG
15-179:1.000,000 dengan sekitar 10%-nya
adalah antibodi terhadap reseptor asetilkolin.
adalah usia anak-anak dan remaja. Risiko
Saat ini diketahui antibodi lain yang terdapat
ini akan meningkat sekitar 4,5% bila dalam
pada pasien MG, yakni muscle-specific kinase
keluarga, saudara kandung, atau orang tua
(MuSK) dan low-density lipoprotein receptor-
memilild riwayat menderita MG atau penya­
related protein (LRP4). Walaupun mekanisme
kit autoimun lainnya.
timbulnya autoimun pada MG masih belum
diketahui secara pasti, diduga beberapa faktor
ANATOMI DAN FISIOLOGI TAUT SARAF
berperan dalam terjadinya reaksi autoimun
OTOT
tersebut, yaitu jenis kelamin, hormon, dan
Akson sel neuron akan berakhir sebagai
kelenjar timus yang abnormal pada hampir
akson terminal pada otot dan membentuk
80% penderita MG.
m otor end plate yang terdiri dari terminal
saraf atau membran presinaps, celah sinaps,
EPIDEMIOLOGI
dan membran pascasinaps. Pada membran
MG termasuk penyakit yang jarang.
pascasinaps terdapat beberapa macam pro­
Insidensnya hanya seldtar 1,7-21,3 per
tein, yaitu: reseptor asetilkolin, RATL, MusK,
1.000.000, dapat terjadi di semua usia dan
Agrin, MASC, dan Rapsyn yang bekerja satu
jenis kelamin, Dari beberapa penelitian
sama lain melancarkan transmisi sinyal ke
diketahui gambaran bimodal berdasarkan
reseptor asetilkolin (Gambar 1).

741
Buku Ajar Neurologi

Motor neuron kolinergik


yang terletak pada kornu
ventralis medula spinalis

Gambar 1. Anatomi Taut Saraf Otot

Saat potensial aksi yang dihantar oleh saraf natrium pada sel otot, terjadi influks Na\ In-
motorik mencapai terminal saraf akan timbul fluks Na+ ini akan menyebabkan terjadinya
depolarisasi yang membuka kanal kalsium di depolarisasi pada membran pascasinaps.
membran presinaps, Terbukanya kanal kalsi­ fika depolarisasi ini mencapai nilai ambang
um akan mencetuskan pelepasan asetilkolin tertentu {firing level], maka akan terjadi po­
[acetylcholin /ACh] ke celah sinaps dan selan- tensial aksi pada sel otot tersebut. Potensial
jutnya berikatan dengan reseptor asetilkolin aksi ini akan dipropagasikan [dirambatkan]
0acetylcholin receptor/ AChR). di membran ke segala arah sesuai dengan karakteristik
pascasinaps. Ikatan antara ACh dan AChR sel eksitabel dan akhirnya akan mengakibat­
akan mengakibatkan terbukanya gerbang kan kontraksi.

742
Miastenia Gravis

ACh yang masih tertempel pada AChR ke- sehingga terjadi degradasi AChR pada mem­
mudian dihidrolisis oleh enzim asetilko- bran pascasinaps. Degradasi ini lebih cepat
linesterase (AChE) yang terdapat dalam daripada pembentukan AChR baru, sehingga
jumlah yang cukup banyak pada membran semakin menurunkan jumlah ACh yang beri­
pascasinaps. ACh akan dipecah menjadi ko- katan dengan AChR.
lin dan asam laktat. Kolin kemudian masuk
Antibodi yang melekat pada AChR akan
ke dalam membran presinaps untuk mem-
memblok ACh, sehingga tidak dapat berikat­
bentuk ACh kembali. Proses hidrolisis ini
an dengan AChR. Kompetisi antara autoanti­
dilakukan untuk dapat mencegah terjadi-
bodi dan ACh untuk dapat berikatan dengan
nya potensial aksi terus menerus yang akan
AChR akan semakin menurunkan jumlah
mengakibatkan kontraksi terus menerus.
ACh yang berikatan dengan AChR.
Keberhasilan transmisi impuls pada taut
Pada 85% pasien MG dapat ditemukan anti­
saraf otot tergantung dari:
bodi terhadap reseptor asetilkolin (antiAChR)
® Kepadatan reseptor asetilkolin pada dalam darah. Namun ternyata tidak hanya
permukaan membran pascasinaps reseptor asetilkolin yang dapat menjadi an­
® Aktivitas asetilkolinesterase tigen target proses autoantibodi pada MG.
® Struktur dan jumlah lekukan pada Terdapat struktur protein lain pada per­
membran pascasinaps mukaan membran pascasinaps yang dapat
menjadi target antigen, seperti pada Gam­
Kelemahan otot yang terjadi pada MG dise- bar 1. Perkembangan terbaru menunjuk-
babkan oleh proses autoimun pada taut kan sebagian pasien MG yang tidak mempu-
saraf o tot Faktor utama dan paling penting nyai antibodi terhadap reseptor asetilkolin
dalam patofisiologi MG adalah terbentuknya ternyata memiliki antibodi terhadap MuSK
autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin atau antibodi LRP4 yang merupakan bagian
(AChR) pada membran pascasinaps. Tedapat dari struktur protein agrin.
tiga proses yang menyebabkan gagalnya kon­
traksi otot akibat proses autoantibodi ini GEJALA DAN TANDA KLINIS
(Gambar 2). Pada MG, kelemahan dan kelelahan ter­
jadi berfluktuasi, tergantung pada aktivitas
Antibodi yang melekat pada AChR akan meng-
pasien, sehingga dapat berbeda-beda setiap
aktifkan kaskade komplemen yang memben-
waktu. Kelemahan memberat setelah akti­
tuk membrane attack compleks (MAC) yang ke­
vitas fisik yang be rat, kenaikan suhu tubuh,
mudian menghancurkan AChR serta merusak
dan lingkungan sekitar, serta akan berkurang
struktur lipatan-lipatan membran pascasinaps,
bahkan menghilang setelah istirahat Pada
sehingga mengurangi luas permukaannya.
sekitar 70% penderita MG, gejala awal yang
Akibatnya asetilkolin yang dapat berikatan de-
dialami adalah keluhan pada mata yang asime-
ngan AChR pada membran pascasinaps men­
tris, yang mengenai otot-otot ekstraokular,
jadi jauh lebih sedildt (Gambar 2).
berupa turunnya kelopak atas (ptosis) dan
Antibodi yang berikatan pada dua AChR penglihatan ganda (diplopia). Dari seluruh
akan mengaktifkan proses endositosis AChR, tipe okular, sekitar 50% berkembang menjadi

743
Buku Ajar Neurologi

tipe generalisata, yaitu kelemahan terjadi pada b. Disfagia (gangguan menelan) muncul
otot-otot bulbar dan otot-otot proksimal, se- setelah penderita memakan makanan
dangkan seldtar 15% tetap sebagai tipe okular. padat. Penderita dapat mengalami ke-
Gejala ldinis yang beratsering ditemukan pada sulitan menggerakan rahang bawah saat
tahun pertama sampai tahun ketiga, jarang mengunyah makanan, sehingga harus
sekali ditemui perbaikan ldinis yang sempuma dibantu oleh tangan (tripod position).
dan permanen.
c. Kelumpuhan otot-otot wajah sering ti­
Gejala ldinis MG dapat berupa: dak disadari oleh penderita, baru diketa-
1. Gejala Okular hui setelah orang lain melihat menurun-
nya ekspresi wajah atau senyumannya
Ptosis dan diplopia yang asimetris meru-
tampak datar (myasthenic snarl).
pakan gejala okular yang paling sering
ditemukan. Gejala okular akan menetap 3. L e h e r d a n E k s t r e m i t a s
pada 10-16% pasien MG dalam masa a. Leher terasa kaku, nyeri, dan sulit
3 tahun pertama dan menjadi sekitar untuk menegakkan kepala (dropped
3-10% setelah 3 tahun. Bila gejala okular head) akibat kelemahan pada otot-
menetap sampai lebih dari 3 tahun, maka otot ekstensor leher.
sekitar 84% tidak mengalami perubahan b. Pada ekstremitas, kelemahan lebih
menjadi tipe general ataupun bulbar. sering terjadi pada ektremitas atas
2. Gejala Bulbar dan mengenai otot-otot proksimal
a. Disfoni dan disartria yang muncul (deltoid dan triseps). Pada keadaan
setelah berbicara beberapa lama, yang berat, kelemahan dapat terjadi
juga pada otot-otot distal.
sering terjadi pada onset pertama kali.

MAC

C5b Y ' ' '

cs^ -

iumui /) inui /i
ii m innnnni
Aktfvasi sistem fcaskade
korrtpJcmen rneftgakit)aS.fcsn
terbcntiiknya MAC

Kenjssten morfologi
FTKmtean Kt otot

Gambar 2. Patofisiologi Miastenia Gravis


ACh: acetylcholin, MAC: m embrane attack compleks

744
Miastenia Gravis

4. Gangguan Pernapasan, sering terjadi nakan, pada umumnya dibagi berdasarkan


pada MG tipe general. Penderita mera- gejala Minis, otot yang terkena, usia saat on­
sakan kesulitan menarik napas akibat set, abnormalitas dari timus, dan jenis anti-
kelemahan otot-otot bulbar dan per­ bodi yang ditemukan (Tabel 1).
napasan.
Pembagian subtipe lain yang lebih lengkap
berdasarkan epidemiologi, imunologi, gene-
Klasifikasi MG sangat penting untuk keber-
tik, kelainan pada timus, serta respons ter-
hasilan tata laksana dan terapi. Terdapat
beberapa klasifikasi MG yang banyak digu- hadap imunoterapi telah banyak di gunakan
untuk penelitian dan praktik ldinis (Tabel 2).

Tabel 1. Klasifikasi Miastenia Gravis Berdasarkan Jenis Autoantibodi yang Ditemukan


Target Autoantibodi
Clustered
Solubilized AChR LRP4
AChR MUSK
Persentase pasien (%) 85% ~5% ~4% ~2%
Populasi target Early on set P>L Perempuan Perempuan
Late onset. P=L usia muda usia muda
Tingkat keparahan MG tipe okular dan generalisata Berat Ringan
penyakit
Patogenisitas In vitro In vitro In vitro In vitro
In vivo In vivo
Isotypes IgGl, IgG3 IgGl IgG4 IgGl
Peran komplemen Ada Kemungkinan Tidak ada Kemungkinan
ada ada
Abnormalitas dari timus EOMG:HiperpIasia Folikular Hiperplasia Fo- Tidak ada ?
LOMG: timoma Iikular ringan
Hubungan titer antibodi Tidakada ? Ada ?
dengan derajat penyakit
P: perempuan, L: laki-laki, EOMG: early onset myasthenia gravis [onset pada usia <40 tahun), LOMG: late onset myasthenia
gravis (onset pada usia >40 tahun), AChR: acetylcholin receptor (reseptor asetilkolin), MuSK; muscle-specific kinase, LRP4:
low-density lipoprotein receptor-related protein 4,
Sumber: Berrih-Aknin S, dkk. J Autoimmun. 2014. h. 90-100.

745
Buku A jar N euroiogi
Tabel 2, Gambaran Klinis Berbagai Subtipe Miastenia Gravis
EOMG LOMGTAMG MAMG OMG SNMG
Frekuensi (%) 20 4510-15 6 15 4
Perjalanan dan mani- Umum, manifestasi Umum, more
Umum, manifestasi Umum, fascio- Okular Umum
festasi penyakit maksimal dalam 3 scarcely, masih
maksimal dalam 3 phary-
tahun pertama tahun pertama
mungkin remisi ngeal focus
komplit
Usia saat onset <45 [50, 60) tahun3 >45 (50, 60) tahun3 Usia berapapun Usia berapapun Usia berapapun Usia berapapun
penyakit (teutama 40-60 (teutama usia
tahun) lebih muda)
Rasio iaki-laki dan 1:3 5:1 1:1 1:3 1 :2 Tidak ada data
perempuan
HLA-association B8 A1 DR3 (strong) B7DR2 DR7 DR14 (strong) Tidak ada data Tidak ada data
(Caucasians) DR16 DR9 (/ess (/ess strong) (/ess strong)
strong) Anti-titin-ab' with A25
DR7 (less strong)
Anti-titin-ab* with
DR3
746

Autoantibodi Anti-AChR-ab Anti-AChR-ab Anti-AChR-ab Anti-MuSK-ab Anti-AChR-ab Anti-LRP4-ab


Anti-Titin-ab Anti-Titin-ab (50-70 %) Anti-Argin-ab
Anti-RyR-ab Anti-RyR-ab
Anti-IL12-ab Anti-JL12-ab
Anti-IFNa-ab Anti-IFNa-ab
Anti-IFNx-ab
Abnormaiitas timus Hiperplasia limfo- Atrophy, involution Thymoma Biasanya normal Tidak ada data Tidak ada data
folikular Type A 5 %
Type AB, B l-3
92%
Respons terhadap Baikjika dilakukan Tidak ada data Biasanya kurang Kurang baik Tidak ada data Tidak ada data
timektomi dalam 1-2 tahun baik
setelah diagnosis
Respon terhadap +++ +(+) +++ +(+)
imunoterapi
early onset myastenia gravis [ o n s e t p a d a u s i a < 4 0 t a h u n ) ; L O M G : late onset myas­
3s a a t in i p e m b a g i a n E O M G d a n L O M G m a s i h d a l a m p e r d e b a t a n . E O M G :
thenia gravis ( o n s e t p a d a u s i a > 4 0 t a h u n ) ; T A M G ; thymoma-associated myastenia gravis; M A M G : a n t i - M u S K - A b - a s s o d a t e d myastenia gravis; O M G : ocular
myastenia gravis; S N M G : s e r o n e ^ n t/ v e m y a s t e n i a gravis
S u m b e r : M e lz e r N, d k k . ] N e u r o l. 2 0 1 6 . h . 1 4 7 3 - 9 4 .
Miastenia Gravis

Terdapat juga klasifikasi oleh Task Force o f the berdasarkan manifestasi Minis dan derajat
Medical Scientific Advisory Board o f the Myas- kelemahan motorik yang sering digunakan un-
thenia Gravis Foundation o f America [Tabel 3} tuk evaluasi pasien dalam praktik sehari had.

Tabel 3. Klasifikasi Klinis Miastenia Gravis


Kelas___________________________________ Deskripsi__________________________________
I Kelemahan motorik terbatas pada okular
Memiliki kesulitan dalam menutup mata
Kekuatan motorik lain normal
II Kelemahan motorik derajat ringan melibatkan otot lain selain okular
Dapat ditemukan kelemahan motorik terbatas pada okular dengan berbagai derajat
Ha Kelemahan motorik lebih berat pada otot ekstremitas, batang tubuh, atau keduanya
lib Kelemahan motorik lebih berat pada otot orofaring, respiratorik, atau keduanya
III Kelemahan motorik derajat sedang melibatkan otot lain selain okular
Dapat ditemukan kelemahan motorik terbatas pada olcular dengan berbagai derajat
Ilia Kelemahan motorik lebih berat pada otot ekstremitas, batang tubuh, atau keduanya
. b Kelemahan motorik lebih berat pada otot orofaring, respiratorik, atau keduanya
IV Kelemahan motorik derajat berat melibatkan otot lain selain okular
Dapat ditemukan kelemahan motorik terbatas pada okular dengan berbagai derajat
IVa Kelemahan motorik lebih berat pada otot ekstremitas, batang tubuh, atau keduanya
IVb Kelemahan motorik lebih berat pada otot orofaring, respiratorik, atau keduanya
V Membutuhkan intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik, terkecuali dilakukan
pascaoperasi
_________ Pemberian nutrisi enteral tanpa intubasi termasuk ke kelompok IVb_______________
Sumber: Howard ]F. Myasthenia gravis: a manual for the health care provider. 2008. h. 13

747
Buku Ajar Neurologi

Tabel 4. Myasthenia Gravis Composite Scale


Derajat
Kriteria
Normal (0) Ringan (1) Sedang (2) B e r a t(3)
Diplopia pada iirikan Ice 61 11-60 1 -1 0 Spontan
kanan (detik)
Ptosis pada Iirikan ke 61 11-60 1 -1 0 Spontan
atas (detik]
Otot fasialis Tahanan kelopak Menutup sempurna, Menutup sem­ Tidak dapat me­
mata normal lemah, tahanan purna, tanpa nutup sempurna
ringan tahanan
Menelan 120cc air Normal Batulc atau mende- Batuk hebat, Tidak dapat
( 1/2 gelas) ham sedikit tersedak, atau menelan (pemer-
regurgitasi nasal ilcsaan tidak
dapat dilakukan)
Menghitung hingga 50 Tidak ada gang- Disartria pada angka Disartria pada Disartria pada
dengan suara lantang guan 30-49 angka 10-29 angka 9
(onset disartria)
Merentangkan tangan 240 90-239 10-89 0-9
kanan pada posisi
duduk tegak 90° (detik)3
Merentangkan tangan 240 9 0 -239 10-89 0-9
kiri pada posisi duduk
tegak 90° (detik) 3
Kapasitas vital (% 80 65 -7 9 50 -6 4 <50
prediksi)
Kekuatan genggaman
tangan kanan (kgW)b
9 Laki-laki 45 15 -4 4 5 -1 4 0 -4
» Perempuan 30 10-29 5-9 0 -4
Kekuatan genggaman
tangan kiri (kgW)b
e Laki-laki 35 15 -3 4 5 -1 4 0 -4
o Perempuan 25 10 -2 4 5-9 0 -4
Menegakkan kepala 120 30-119 1-29 0
(45' supinasi) (detik)c
Flelcsi panful kanan 100 31-99 1-30 0
45-50* (detik)d
Fleksi panggul kiri 100 31-99 1-30 0
45-50* (detik)d
apasien diposisikan duduk dengan kedua kaki menapak ke tanah dan punggung tidak bersandar, lengan kiri dan
kanan direntangkan dan diperiksa bersamaan dengan posisi palmar pronasi; bpasien dalam kondisi duduk dengan
sendi siku ditekuk 90° dan tangan memegang dinamometer; cpasien berada dalam posisi berbaring dengan kepala
tanpa disangga bantal, pemeriksa menilai kemampuan pasien untuk mengangkat kepala dari kasur; dpasien diper-
siapkan dengan posisi berbaring, kedua ekstremitas saraf lurus dan sepatu dilepas.
Sumber: Burns TM. Ann N Y Acad Sci. 2012, h. 99-106.

748
Miastenia Gravis

Penilaian derajat gejala klinis sangat pent- otot deltoid, triseps, dan ekstensor jari-
ing dilakukan saat melakukan pemeriksaan jari), kelemahan/kelumpuhan otot-otot
fisik pasien MG dan memberikan skala yang yang dipersarafi oleh nervus kranialis.
terukur (label 4).
2. Pemeriksaan Fisik; dilakukan peme­
riksaan fisik umum dan neurologis se-
DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
cara menyeluruh untuk menilai kekuatan
Diagnosis MG ditegakkan berdasarkan anam­
motorik dan derajat kelemahan otot-otot
nesis, pemeriksaan neurologis, elektrodiagnos-
yang terkena (Tab el 4 dan Tab el 5).
tik, serologi untuk antibodi AChR dan MuSK,
serta CT scan torak untuk melihat adanya 3. Tes Klinis Sederhana
timoma. a. Tes Wartenberg: penderita diminta
1. Anamnesis untuk melihat ke atas bidang datar de­
Adanya kelemahan/kelumpuhan otot ngan sudut kurang lebih 30 derajat se-
yang berulang setelah aktivitas dan lama 60 detik, positif bila terjadi ptosis.
membaik setelah istirahat. Tersering me- b. Tes hitung, penderita diminta untuk
nyerang otot-otot mata (dengan mani- menghitung 1-100, positif bila suara
festasi diplopi atau ptosis), dapat disertai menjadi sengau (suara nasal) atau su­
kelumpuhan anggota badan (terutama ara menghilang.

Tabel 5. Penilaian Kekuatan Motorik, Fatik dan Fungsi Respirasi


Otot Anamnesis/ Observasi Pemeriksaan
Oltular Diplopia, posisi mata o Pergerakan otot ekstraokular
Ptosis e Lid lag, ptosis fatik [dengan pupil
sebagai acuan)
Bulbar Konsumsi makanan berkonsistensi lunak, * Menghitung hingga 50, menilai
* Mengunyah kesulitan mengunyah makanan berkonsis- pada angka berapa timbul peruba-
« Menelan tensi padat han bicara
« Berbicara Liur menetes, tidak mampu menelan seka- ® Deskripsi bicara [sengau, suara
li dalam satu suapan, regurgitasi nasal nasal, halus)
Fasialis Hilangnya sulkus nasolabialis Tahanan pada kelopakmata dan mulut,
menggembungkan pipi, senyuman
Leher Head drop Kekuatan fleksi dan ekstensi leher
Ekstremitas
• Atas Bahu, triseps, ekstensi pergelangan
tangan
<►Bawah Fleksi panggul, dorsifleksi pergelangan
kaki
Pernapasan Sensasi sesak atau sulit bernapas saat ber- « Frekuensi, pola, dan kedalaman
baring atau membungkuk, peningkatan pernapasan
usaha bernapas, ansietas ® Uji fungsi paru
Sumber: Meriggioli MN, dkk. Semin Neurol. 2004. h. 31-9.

749
Buku Ajar Neurologi

c. Ice pack eye test; celah antara kedua 7. Elektrodiagnostik


kelopak mata yang mengalami ptosis a. Repetitive nerve stimulation (RNS),
akan diukurterlebih dahulu kemudian untuk mendeplesi vesikel ACh se-
dengan es yang terbalut kain akan di- hingga terjadi penurunan com­
tempelkan ke kelopak mata penderita. pound motor action potential
Celah antara kedua kelopak mata yang (CMAP] progresif dan menilai ad-
bertambah lebar setelah penempelan anya blok. Hasil yang diharapkan
es selama 2 menit dianggap positif. pada penderita MG adalah penu­
runan minimal lebih dari 10%.
4. Uji Tensilon, bermanfaat untuk konfir- Nilai sensitivitas dan spesifisitas
masi diagnosis dan respons terhadap bervariasi bergantung dari teknik
pengobatan. Hasil positif bila ditemukan peme-riksaan.
perbaikan gejala kelemahan motorik se-
cara cep at, tetapi dalam waktu singkat. b. Single fiber electromyography
Apabila pemeriksaan ini tidak tersedia, (SFEMG}; mencatat instabilitas
pemberian obat penghambat AChE oral sebelum adanya blok
seperti piridostigmin dapat diberikan, neuromuskular. SFEMG memiliki
namun perbaikan gejala lebih lambat, nilai spesifisitas yang sangat
baru terlihat setelah 1-2 jam. tinggi, tetapi sensitivitasnya tidak
mencapai 100%.
5. Uji Prostigmin (Neostigmin), pada tes
ini disuntikkan l,5m g atau 3cc prostig­ 8. Radiologi, pemeriksaan CT scan ,
min metilsulfat secara intramuskular atau MRI torak dilakukan untuk meli-
(diberikan pula atropin 0,8mg bila per- hat ada atau tidaknya timoma.
lu}. Jika kelemahan itu benar disebab-
kan oleh MG, maka gejala-gejala seperti Diagnosis Banding
ptosis, strabismus, atau kelemahan lain Beberapa diagnosis banding untuk me-
tidak lama kemudian akan lenyap. negakkan diagnosis MG antara lain:

6. Serologi 1. Adanya ptosis atau strabismus dapat


a. Antibodi reseptor anti-asetilkolin, juga disebabkan oleh lesi nervus III pada
postitif pada 70-95% penderita MG beberapa penyakitselain MG, antara lain:
generalisata dan 50-75% penderita a. Meningitis basalis (tuberkulosis atau
miastenia okular murni. Pada pasien luetika]
timoma tanpa MG sering kali terjadi b. Infiltrasi karsinoma anaplastik dari
false posztiVe antibodi antiAChR. nasofaring
b. Anti-Muscle-specific Kinase (MuSK) c. Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisi
antibodies , hampir 50% penderita d. Paralisis pascadifteri
MG yang menunjukkan hasil antiAChR
e. Pseudoptosis pada trakoma
Ab negatif (MG seronegatif), menun­
jukkan hasil yang positif untuk anti- 2. Apabila terdapat suatu diplopia yang
MuSK Ab.

750
Miastenia Gravis

transient maka kemungkinan adanya samping gastrointestinal (efek samping


suatu sklerosis multipleks, muskarinik) berupa kram atau diare.
3. Sindrom Lambert-Eaton [Lambert-Eaton 2. Kortikosteroid
Myasthenic Syndrome) Prednison dimulai dengan dosis awal
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan 10-20mg, dinaikkan bertahap (5-10mg/
adanya kelemahan dan keleiahan pada minggu] lx sehari selang sehari, maksi-
otot anggota tubuh bagian proksimal mal 120mg/6 jam/oral, kemudian ditu-
dan disertai dengan kelemahan relatif runkan sampai dosis minimal efektif.
pada otot-otot ekstraokular dan bulbar.
Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga 3. Azatioprin
pada detik-detik awal suatu kontraksi Merupakan suatu obat imunosupresif,
volunter, terjadi hiporefleksia, mulut dosis 2-3mg/kgBB/hari/oral selama 8
kering, dan sering kali dihubungkan de­ minggu pertama. Setiap minggu harus
ngan suatu karsinoma terutama oat cell dilakukan pemeriksaan darah lengkap
carcinoma pada paru. dan fungsi hati. Sesudah itu pemerik­
saan laboratorium dikerjakan setiap bu-
lan sekali. Direkomendasikan pemberian
TATA LAKSANA
prednisolon bersama-sama dengan aza­
Tujuan tata laksana adalah untuk mengen-
tioprin.
dalikan gejala (simtomatik], mencegah pro-
gresifisitas, dan mencegah komplikasi. Tera- 4. P lasm a Exchange
pi farmakologi mencakup (Tabel 6]: Bertujuan untuk menghilangkan anti-
bodi reseptor dari sirkulasi, sering digu-
1. A cethylcholinesterase In hibitor (Peng-
nakan pada krisis miastenia dan sebe-
hambatAChE)
lum dilakukan operasi timektomi
Penghambat AChE memperlambat de-
gradasi asetilkolin yang memungkinkan 5. Intravenous Im m unoglobulin (IVIG)
berada pada taut saraf otot lebih lama. Dosis 400mg/KgBB/hari selama 5 hari
Dapat diberikan piridostigmin bromida berturut-turut.
(Mestinon®) 30-120m g/3-4 jam/oral.
6. Timektomi
Umumnya regimen ini diberikan pada
Pengangkatan kelenjar timus dapat
awal penyakit dan penatalaksanaan MG
mengurangi gejala pada 70% penderita
ringan (MG klas IIA dan IIB).
dengan timoma atau displasia kelenjar
Efek samping pemberian antikolinester- timus. Manfaat pembedahan pada MG se-
ase disebabkan oleh stimulasi parasimpa- ronegatif, MG nontimoma yang terbatas
tis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, okular, MG seronegatif dengan antibodi
salivasi berlebihan, berkeringat, lakrima- MuSK positif sangat minimal sehingga
si, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek tidak direkomendasikan.

751
Buku Ajar Neurologi

Tabel 6. Farmakoterapi pada Miastenia Gravis


Kontraindikasi dan Keadaan yang
G£ H f n h t t n Dosis Efek Samping Memerlukan Perhatian Khusus
Inhibitor ko- Dosis 30-360mg Stimulasi reseptor AChR muskarinik Kontraindikasi absolut: asma bronkial,
linesterase per hari (otot polos, kelenjar sekresi): kram hipertrofi prostat, insufisiensi fungsi
Pyridostigmin 1 kali penibe- perut, mual, muntah, anoreksia, jantung terdekompensasi, infark mio-
brom ide rian maksimal sering BAK, hipersalivasi, hiperlakri- kard akut, ti rotote iko sis.
1 2 0 mg masi, berkeringat, bradikardi (dapat Kontraindikasi relatif: kehamilan, me-
menjadi AV blok namun sangat ja- nyusui
rang), gangguan akomodasi, miosis,
stimulasi reseptor AChR muskarinik:
fasikulasi otot, spasme otot, kelema-
han otot (blok depolarisasf)
Imunosupre-
san
Glukokor- Terapi oral 0,5- Penambahan berat badan, sindrom Infeksi berat, penyakit keganasan, imu-
tikoid l,5mg/kgBB Cushing, jerawat, diabetes, keren- nodefisiensi, kehamilan, ulkus lambung
Prednison Bolus intravena tanan terhadap infeksi dan trom- dan duodenum, osteoporosis parah,
Prednisolon 500-1000 mg/ bosis, hipertonia, hipokalemia, ede­ gangguan kejiwaan, hipertonia yang ti-
Metilpredniso- Kg BB selama ma, psikosis, osteoporosis dengan dak terkendali, diabetes yang tidak ter-
lon 1-3 hari, perlu risiko patah tulang, nekrosis tulang kontrol
kesiagaan moni­ aseptik, katarak, glaukoma, gang­
toring ICU guan psikologis (euforia/depresi),
insomnia, steroid miopati, lambung
dan duodenum ulsera
Azatioprin Induksi: 2-3mg/ Rentan terhadap infeksi, depresi Kehamilan: azatioprin dapat dir-
kgBB/hari sumsum tulang (leukopenia, trom- esepkan dengan indikasi yang te-
Rumatan: 1,5- bositopenia, anemia jarang), mual, pat. Jika pasien wanita stabil den­
2mg/kgBB/hari muntah, diare, demam, reaksi aler- gan terapi azatioprin maka tidak
gi, hepatotoksisitas, arthralgia, mi- harus dihentikan pada saat kehamilan
algia, alveolitis, pankreatitis, etean- Menyusui: terapi azatioprin tidak dihen­
tema kulit tikan saat menyusui
Vateinasi: tidak boleh dilakukan vatei-
nasi dengan vaksin hidup. Keberhasi-
lan vaksinasi pada umumnya tidak pasti
pemberian bersamaan dengan ailopurinol
atau inhibitor xantin oxidase lainnya dapat
menyebabkan mielototeisitas dan agranu-
lositosis. Perlu pengurangan dosis azatioprin
sampai 25% atau mengganti ailopurinol
dengan probenezid atau benzbromaron bila
teijadi depresi sumsum tulang yang parah
dan kerusakan had dan ginjal
Mofeti! Myco- 0,5-3g/hari Gejala gastrointestinal (mual, Infeksi berat, penyakit keganasan, imu-
phenolate dibagi dalam muntah, diare, ulkus, perdarahan nodefisiensi, kehamilan, menyusui
dua dosis gastrointestinal), depresi sumsum
tulang (leukopenia, anemia, trom-
bositopenia), infeksi, risiko mun-
culnya limfoma pada terapi jangka
panjang, progressive multifocal leu-
koencenhalopathy (PML)__________
AChR: acetylcholin receptor; AV blok; atrioventrikular blok; BAK: buang air kecil
Sumber: Melzer N, dkk. J Neurol 2016. h. 1473-94.

752
Miastenia Gravis

CONTOH KASUS disfonia, dan ja w drop. Pemeriksaan tes


Seorang laki-laki berusia 43 tahun datang repetitive nerve stimulation menunjukan
dengan keluhan kesulitan menelan dan penurunan amplitudo CMAP >10% pada
mengunyah yang hilang timbul sejak 3 bu- stimulasi di otot orbikularis okuli dengan
lan yang lalu. Pasien merasa bila pagi hari frekuensi stimulasi 3Hz (Gambar 3).
sehabis bangun tidur gejala-gejala tersebut
Pasien didiagnosis sebagai miastenia gravis
berkurang, namun bila siang dan sore pasien
late onset dengan kategori MGFA derajat Mb,
harus hati-hati menelan makanan atau
karena kelemahan yang timbul lebih banyak
minuman karena sering tersedak. Pasien
melibatkan otot-otot bulbar dibandingkan
juga merasa lelah bila mengunyah makanan
ekstremitas. Pasien menjalani pemeriksaan
yang konsistensinya padat, bahkan hingga
CT toraks untuk menyingkirkan kemung-
sulit menutup rahang bawah akibat kelema­
kinan timoma. Hasil CT scan tidak menun-
han. Dalam 1 bulan ini kelemahan ber-
jukkan adanya timoma, hiperplasia timus,
tambah menjadi kesulitan untuk membuka
maupun masa mediastinum lainnya. Pasien
kelopak mata dan pandangan ganda bila ke-
diberikan pengobatan simptomatik beru-
capaian atau saat siang hingga malam hari
pa piridostigmin dengan dosis 2x60mg.
yang membaik dengan beristirahat. Pasien
Imunosupresan steroid dimulai pada awal
tidak merasakan kelemahan pada otot-otot
terapi disertai steroid sparring effect imm u­
ekstremitasnya dan tidak merasakan sesak
nosuppressant (SSEI) lainnya, karena efek
napas. Tidak dirasa juga adanya penurunan
terapi golongan SSEI ini memerlukan jangka
berat badan dan tidak terdapat riwayat ke-
waktu lama hingga diharapkan efek terapi-
ganasan. Pada pemeriksaan fisik didapat-
nya sudah muncul pada saat dosis steroid
kan oftalmoplegia, ptosis bilateral, disfagia,
diturunkan.

mV! ! ! I1 1| 5.0 ms
1.0
m s !
1
i i 1
/n ! i i 1i it
/ 1 USp i j t|
1
3H z/ j/T \ 1 | 1 1
/ 1/ 1
/ h / \i/ \ / \ A A A 1
1
/ /!\ /\i Ay AV '/ [ / \ / \\/ \ Li
1
!i |1 l.OmV/ 5 .0 ms
I ^
___ ii:___ ii____ i ___ i___ ii___
Gambar 3. Repetitive Nerve Stimulation Test pada M. Orbikularis Okuli dengan Frekuensi Stimulasi 3Hz
Menunjukan Penurunan Amplitudo CMAP >10%

753
Buku Ajar Neurologi

Respons terapi piridostigmin pada pasien immune neuromuscular transmission disorders.


Eur] Neurol, 2010;17[7):893-902.
cukup adekuat, namun ketika dosis obat
7. Rozmilowska I, Adamczyk-Sowa M, Rutkowska K,
dinaikkan menjadi lebih dari 2x60mg mun-
Pierzchala K, Misiolek H. Improvement of quality
cul efek samping muskarinik yang meng- of life after therapeutic plasma exchange in pa­
ganggu berupa hipersalivasi dan diare yang tients with myasthenic crisis. Neurol Neurochir.
tidak dapat ditoleransi pasien. Pasien usia 2016;50(6):418-24.
>40 tahun dengan gejala otot-otot bulbar 8. Maniaol AH, Elsais A, Lorentzen AR, Owe JF,
Viken MK, Ssether H, dkk. Late onset myasthe­
yang dominan disertai intoleransi terhadap
nia gravis is associated with HLA D RB1*15:01
piridostigmin pada dosis yang tidak terlalu in the Norwegian population. PloS One.
tinggi dapat sesuai dengan gambaran MG 2 0 1 2 ;7[5):e36603.
dengan antiMuSK positif. Pemeriksaan se- 9. Gilhus NE, Verschuuren JJ. Myasthenia gravis:
rologi antiAChR, anti MuSK harus dilakukan subgroup classification and therapeutic strate­
untuk mengkonfirmasi diagnosis ini. Pada gies, Lancet Neurol. 2015;14(10):1023-36.
10. Berrih-Aknin S, Le Panse R. Myasthenia gravis:
MG dengan antiMuSK positif timektomi ti­
a comprehensive review of immune dysregula-
dak memberikan hasil yang baik, namun tion and etiological mechanisms. J Autoimmun.
respons terhadap imunosupresan sama 2014;52:90-100.
baiknya dengan MG dengan antireseptor 11. Sieb JP. Myasthenia gravis: an update for the cli­
asetiikolin positif. nician. Clin Exp Immunol. 2014;175(3):408-18.
12. Jayam TA, Dabi A, Solieman N, Kurukumbi M,
Kalyanam J. Myasthenia gravis: a review. Autoim­
mune Dis. 2012;2012:874680.
DAFTAR PUSTAKA 13. Burns TM. The MG composite: an outcome mea­
1. Melzer N, RuckT, Fuhr P, Gold R, Hohlfeld R, Marx sure for myasthenia gravis for use in clinical
A, dkk. Clinical features, pathogenesis, and treat­ trials and everyday practice. Ann N Y Acad Sci.
ment of myasthenia gravis: a supplement to the 2012;1274:99-106.
guidelines of the German Neurological Society J 14. Godoy DA, Mello LJ, Masotti L, Di Napoli M. The
Neurol. 2 016;263(8):1473-94. myasthenic patient in crisis: an update of the
2. Howard JF. Physician issues. Dalam: Howard JF, management in Neurointensive Care Unit. Arq
editor. Myasthenia gravis: a manual for the health Neuropsiquiatr. 2013;71[9a):627-39.
care provider. St. Paul: Myasthenia Gravis Foun­ 15. Nishikawa N, Nagai M, Tsujii T, Kyaw WT, Tanabe
dation of America; 2008. h. 13. N, Iwaki H, dkk. Treatment of myasthenia gravis
3. Gold R, Schneider-Gold C. Current and future in patients with elderly onset at advanced age.
standards in treatment of myasthenia gravis. japan Clin Med. 2015;6:9-13.
Neurotherapeutics, 2008;5[4):535-41. 16. AANN. Care of the patients with myasthenia Gra­
4. Meriggioli MN, Sanders DB. Myasthenia gravis: vis. AANN clinical practice guideline series [seri­
diagnosis. Semin Neurol. 2004;24[l):31-39. al online] 2013 [diunduh 26 Desember 2016];1-
5. Young WL, Matteo RS, Ornstein E. Duration of 32. Tersedia dari: AANN.
action of neostigmine and pyridostigmine in the 17. Sakai W, Matsui N, Ishida M, Furukawa T, Miyaza­
elderly. Anesth analg. 1988;67(8):775-8. ki Y, Fujita K, dkk, Late-onset myasthenia gravis
6 . Skeie GO, Apostolski S, Evoli A, Gilhus NE, Ilia I, is predisposed to become generalized in the el­
Harms L, dkk. Guidelines for treatment of auto­ derly. eNeurologicalSci. 2016;2:17-20.

754
MOTOR NEURON D ISEA SE

Fitri Octaviana, Ahmad YanuarSafin' Luh Ari Indrawati


Winnugroho Wiratman, Manfaluthy Hakim

PENDAHULUAN insidens MND di Inggris semakin meningkat


Motor neuron diseases (MND) adalah penya- sejak tahun 1998 hingga 2011 yaitu sekitar
kit yang disebabkan oleh degenerasi badan I, 76-4,3 per 100.000 penduduk. Mortalitas
sel neuron motorik. Salah satu tipe MND yang akibat MND di Inggris sekitar 1 tiap 350-450
paling sering terjadi adalah amyotrophic penduduk. Demikian juga halnya di Australia,
lateral sclerosis (ALS), sehingga istilah MND insidens dan mortalitas aldbat MND semakin
dan ALS sering kali digunakan jika mem- meningkat. Pada tahun 2001 didapatkan 592
bicarakan penyakit ini. Sampai saat ini MND pasien meninggal dan 787 pasien meninggal
termasuk dalam penyakit yang belum dapat pada tahun 2013 akibat MND. Angka di
disembuhkan dan mempunyai prognosis Indonesia sendiri sampai saat ini belum ada.
buruk. Belum ditemukan suatu pengobatan Di antara negara-negara Asia, insidens MND
yang bersifat kuratif hingga saat ini. di Jepang tercatat sangat tinggi yaitu sekitar
I I , 3 per 100.000 penduduk, sedangkan di
EPIDEMIOLOGI negara Asia lainnya seperti Cina dan Iran
MND relatif sangat jarang terjadi namun sekitar 1-3 per 100.000 penduduk.

Gambar 1. Gambaran S kem atik Lesi Upper Motor Neuron dan Low er M otor Neuron
Lesi UMN(biru), lesi LMN (merah)

755
Buku Ajar Neurologi

PATOFISIOLOGI serabut otot tersebut berkontraksi secara


Berdasarkan anatomi dan fisiologi, terdapat bersamaan, maka motor unit yang terkait
dua motor neuron yaitu lower m otor neuron akan mengalami fasikulasi. Pada MND yang
(LMN) dan upper m otor neuron (UMN). LMN didapat {acquired], akson saraf m otorik
terletak di kornu anterior medula spinalis terkait akan memeberikan reinervasi ter-
dan di batang otak (nukieus motorik saraf hadap serabut otot sehingga pada gambaran
kranialis} serta menginervasi otot-otot se- pemeriksaan elektromiografi (EMG] akan
cara langsung. UMN terletak di korteks mo­ terlihat gambaran reinervasi.
torik dan memberikan jaras ke kortikospinal
Pada ALS yang bersifat familial, beberapa gen
dan kortikobulbar (Gambar 1).
ternyata berhubungan dengan ALS, khususnya
MND dapat bersifat didapat ( acquired} atau gen superoxide dismutase 1 (SOD1), TAR DNA-
diturunkan (herediter). Neuron motorik binding protein 43 (TARDBP), dan fused in
mengalami apoptosis sehingga terjadi de- sarcoma (FUS].
generasi akson nervus motorik dan pada
akhirnya taut saraf-otot juga ikut mengalami GEJALA DAN TANDA KLINIS
kerusakan (lihat bab Neuropati, Gambar 1 Gejala klinis ALS meliputi gejala UMN dan
mengenai Neuronopati}. Serabut-serabut LMN, namun pada sebagian besar kasus
otot yang dipersarafi oleh akson yang ber- dapat menunjukkan hanya gejala LMN. Tidak
degenerasi akan mengalami atrofi. ada gejala atau gangguan sensorik pada ALS,
Apoptosis di atas terjadi diperkirakan paling karena murni hanya mengenai nukieus mo­
mungkin karena faktor genetik, Hal ini diper- torik.
kuat dengan laporan-laporan ilmiah tentang Gejala klinis LMN pada ALS:
riwayat keluarga pada penderita yang bersifat ® Kelemahan dan atrofi otot-otot eks-
autosomal dominan. Faktor lain yang mungkin
tremitas bagian distal yang asimetri
menyebabkan adanya apoptosis adalah defisit
primer transpor akson. Lambatnya transpor • Fasikulasi
akson menyebabkan pembengkakan akson ® Flaksid atau tonus otot dapat normal
kemudian berujung pada atrofi akson. Selain • Penurunan refleks fisiologis
dua teori di atas, banyak teori yang diper­
kirakan berkaitan dengan apoptosis neuron Gejala klinis UMN pada ALS:
motorik, yaitu metabolisme karbohidrat © Atrofi tidak terlalu jelas terlihat
yang abnormal, neoplasma, deposisi kom- © Spastis
pleks imun, defek DNA repair enzyme, dan ® Peningkatan refleks fisiologis pada otot
lain-lain. yang mengalami atrofi
Secara elektrofisiologi, masing-masing se- ® Terdapat refleks patologis (refleks
rabut otot akan menunjukkan fibrilasi dan Babinski, refleks Hoffmann Tromner]
gelombang positif {positive waves] akibat Sindrom klinis MND beserta gejala klinisnya
tidak stabilnya membran otot. Jika serabut- dapat dilihat pada Tabel 1.

756
Motor Neuron Disease

Tabel 1. Sindrom Klinis M otor Neuron D iseases


Sindrom Gejala klinis
ALS klasik Kelemahan mulai dari ekstremitas (spinal); kelemahan bulbar sering
terjadi; tanda UMN dan LMN
Progressive bulbar palsy (PBP) Mulai dari disartria diikuti gangguan bicara dan meneian
Progressive muscular atrophy (PMAJ Selalu dimulai dari kelemahan ekstremitas; >50% menunjukkan tanda
UMN; 85% menunjukkan tanda bulbar
Flail arm syndrome; progressive Sindrom dengan gejala predominan kelemahan LMN pada kedua
amyotrophic diplegia; Sindrom lengan; tanda UMN terjadi pada 50-70% ; progresif lambat
Bernhard-Vulpian
Flail leg syndrome Sindrom kelemahan tungkai yang progresif, predominan LMN
Bentuk Monomelik MND Varian MND yang jarang terjadi, fokal progresif lambat Harus dibeda-
kan dari multifocal m otor neuropathy
Primary lateral sclerosis (PLS) Sindrom UMN murni yang progresif
Sindrom MND-Demensia Demensia tipe fronto-temnoral, teriadi pada 5% nasien MND
ALS: amyotrophic lateral sclerosis; UMN: upper m otor neuron; LMN: low er m otor neuron.
Sumber: Leigh PM, dkk. J Neurol Neurosurg Psychiatry;2003. h. iv32-47.

Pada saat awitan, biasanya kelemahan dan asimetris, pasien dapat menunjukkan gejala
atrofi otot hanya mengenai sekelompok otot seperti drop foot, atrofi ototinstrinsiktangan,
tertentu. Dapat dimulai dari otot ekstremitas, gangguan menulis, atau gerakan membuka
bulbar, dan otot pernapasan. Kelemahan otot botol. Pada pemeriksaan fisik, sering sekali
ekstremitas bagian distal adalah bentukyang dijumpai atrofi yang jelas pada otot tibialis
paling serlng dijumpai. Kelemahan bersifat anterior.

Gambar 2. Lidah Mengalami Atrofi dan Fasikulasi pada Pasien ALS


[Dok: Pribadi)

757
Buku Ajar Neurologi

Pada bentuk bulbar, gejala yang paling rangka dan lidah, peningkatan refleks fisio-
sering dialami saat awitan adalah gangguan logis, dan perjalanan penyakit berjalan secara
berbicara (pelo, slurred]. Pada pemeriksaan progresif. Pemeriksaan pencitraan dilakukan
fisik tampak jelas lidah mengalami fasi- untuk menyingkirkan adanya kelainan struk­
kulasi dan atrofi [Gambar 2). Disfagia dan tural lain yang dapat menerangkan mani-
kelemahan otot pernapasan biasanya mun- festasi Idinis pasien. Pada pasien yang dicuri-
cul belakangan. gai ALS, sangat penting dilakukan pemeriksaan
elektrofisiologi [kecepatan hantar saraf (KHS}
DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING dan elektromiografi (EMG}] untuk membantu
Diagnosis menegakkan diagnosis. Pemeriksaan EMG
ALS ditegakkan murni secara klinis ber- dapat mengkonfirmasi adanya kelainan LMN
dasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. pada pasien dengan klinis UMN.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk
Pasien yang memenuhi kriteria revised
menyingkirkan penyakit lainnya yang dapat
El Escorial sebaiknya segera dilakukan
disebabkan kelainan struktural.
pemeriksaan KHS dan EMG. Kriteria re­
Tanda klinis yang khas adalah pasien dengan vised El Escorial adalah sebuah panduan
tanda klinis atrofi beberapa kelompok otot di untuk membantu menegakkan diagnosis
beberapa bagian tubuh, fasikulasi di otot-otot ALS (Tabel 2).

Tabei 2. Kriteria R evised El Escorial untuk Membantu Menegakkan ALS


Diagnosis ALS membutuhkan:______________________________________________________________________
1. Terdapatnya/t h e p resen ce o f
e Bukti degenerasi LMN secara pemeriksaan fisik, elektrofisiologi atau neuropatologis
» Bukti degenerasi UMN secara pemeriksaan fisik
e Gejala dan tanda klinis yang menyebar secara progresif dari regio satu ke regio lainnya, yang ditentukan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan elektrofisiologi.
2. Tidak terdapatnya /t h e a b se n ce o f
8 Bukti secara elektrofisiologi dan patologi adanya proses penyakit lainnya yang dapat menerangkan ter-
jadinya tanda degenerasi LMN dan/atau UMN, dan
8 Bukti neuroimaging adanya proses penyakit lain yang dapat menerangkan tanda klinis dan tanda elek­
trofisiologi yang ditemukan
Kriteria Diagnosis
8 Clinically definite ALS: ada bukti secara klinis dan elektrofisiologi tanda LMN dan UMN bersamaan pada regio
bulbar dan paling sedikit 2 regio spinal ATAU tanda LMN dan UMN pada 3 regio spinal
® Clinically probable ALS: ada bukti secara Idinis dan elektrofisiologi tanda LMN dan UMN paling sedikit pada
2 regio dengan gejala UMN pada regio rostral (di atas) gejala LMN
8 Clinically possible ALS: ada bukti secara klinis dan elektrofisiologi tanda UMN dan LMN di satu regio; ATAU
tanda UMN saja pada satu atau lebih regio; ATAU tanda LMN pada bagian rostral terhadap tanda UMN.
Pemeriksaan pencitaan dan laboratorium lainnya telah dilakukan dan kemungkinan diagnosis lainnya ha-
rus dieksklusi.___________________________________________________________________________________
ALS: amyotrophic lateral sclerosis; LMN: low er m otor neuron; UMN: upper m otor neuron
Sumber: de Carvalho M, dkk. Clinical Neurophysiology; 2008. h. 497-503.

758
Motor Neuron Disease

Diagnosis Banding dapat dikurangi dengan pemberian baklofen,


Penyakit gangguan motor neuron ( m otor fisioterapi, atau terapi neurolisis.
neuron disorder) yang sering terjadi dan
mirip dengan MND antara lain: DAFTARPUSTAKA
® Multifocal m otor neuropathy 1. Mitchell ]D, Gatrell AC, Al-Hamad A, Davies RB, Bat-
terby G. Geographical epidemiology of residence of
© Spinal muscular atrophy patient with motor neuron disease in Lancashire
® Spinal bulbar muscular atrophy/penyakit and south Cumbria. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
Kennedy 1998;65(6):842-7.
2. Alonso A, Logroscino G, Jick SS, Hernan MA,
® Poliomielitis Incidence and lifetime risk of motor neuron
® Wes Nile virus disease in the United Kingdom: a population-
based study. Eur J Neurol. 2009,T 6[6):745-51.
® Paraneoplastic motor neuron disease 3. MND Australia. MND in Australia. MND Austra­
lia [serial online]. 2013 [diunduh 12 November
TATA LAKSANA 2016]. Tersedia dari: MND Australia
Tata laksana hanya bersifat simtomatik dan 4. Chiao A, Logroscino G, Traynor B], Collins J, Simeone
bukan bersifat kuratif. Riluzole adalah suatu ]C, Goldstein LA, White LA Global epidemiology of
amyotrophic lateral sclerosis: a systematic review
agen penghambat glutamat yang terbukti
of the published literature. Neuroepidemiology.
dapat memperpanjang angka harapan hidup 2013;41(12):118-30,
pasien ALS. Penggunaan Riluzole telah di- 5. Tiiyaki E, Horak H. ALS and other motor neuron
setujui di Amerika Serikat, Eropa dan Aus­ diseases. Continuum. 2014;20(5):1185-207.
tralia. Penggunaan Riluzole lOOmg/hari dapat 6. Leigh PM, Abrahams S, Al-Chalabi A, Ampong
MA, Goldstein LH, Johnson J, dkk. The manage­
memperpanjang survival sekitar 15 bulan.
ment of motor neuron disease. J Neurol Neuro-
Namun sayangnya Riluzole sampai saat ini surg Psychiatry. 2003;74(Suppl 4):iv32-47.
belum tersedia di Indonesia. 7. McDermott CJ, Shaw PJ. Diagnosis and management of
motor neurone disease. BMJ. 2008;336[7645):658-62.
Penggunaan antioksidan seperti vitamin
8. Orrell RW. Motor neuron disease: systematic
C dan vitamin E banyak digunakan pada reviews of treatment for ALS and SMA. British
pasien ALS. Namun efektivitas penggunaan Medical Bulletin. 2010;93:145-59.
antioksidan ini pada ALS belum terbukti. 9. Williams DB, Windebank AJ, Motor neuron disease,
Terapi exerase/latihan direkomendasikan Di Dyck PJ, Thomas PK, Griffin JW, Low PA, Podulso
JF, editor. Peripheral Neuropathy edisi 3. WB Saun­
agar dapat mempertahankan tonus otot.
ders, Philadelphia, Pennsylvania, 1993; h. 1028-50.
Pasien ALS dapat mengalami nyeri dan 10. de Carvalho M, Dengler R, Eisen A, England JD,
spastis. Obat antiinflamasi nonsteroid dan Kaji R, Kimura J, dkk. Electrodiagnostic criteria
for diagnosis of ALS. Clinical Neurophysiology.
golongan opioid dapat digunakan untuk
2008;119[3):497-503.
mengatasi nyeri. Sedangkan spastisitas

759
INDEKS

3,4-diaminopiridin 270 Agregasi trombosit 454 adjuvan 567, 655


4-aminopiridin 270,279 AIDS [Acquired immunodeficiency non-opioid 646, 649, 653
a-synucleinopathies 109 syndrome) 239 Analgetik 575,638,703
a-amino-3-hydroxy-S-methylisoxa- Airway 398, 411 Analisis
zole-4-propionic acid (AMPA) 100 Akalkulia 175 isi lambung 30
p Amiloid 197,211,488 Akinesia 117 kromatografi 30
Aksonopati 663 Anamnesis 5
A Aksonotmesis 716 Aneurisma
Abai, lihat neglect Akuaduktus Sylvii 45 Charcot-Bouchard 453,515
ABCD, lihat skor Alat penilaian nyeri 559 familial 529
Abnormal spontaneous eye movement Alberta stroke programme early CT intrakranial 529
308 score (ASPECTS) 465 anatomi 529
Ablasi telinga dalam 280 Albumin 51 mikotik 533,537
Abses otak 227, 228 Aleksia 172 Angiogenesis 324
Abstraksi 177 murni 172 Angiopati
Abulia 212 tanpa agrafia 172 amiloid 211,213,478
ACDU ( alert,confused,drowsy,unresp Alertness 16 pascaradiasi 480,481
onsive) 23 Algoritma stroke Gajah Mada, lihat Angioplasti balon transluminal 543
Acetyhlcoline, lihat asetilkolin skor Angiotensin-!! receptor blocker [ARB)
Acethylcholinesterase inhibitor 751 Alodinia 548 449, 578
Activated charcoal 33 Aipha-amino-3-hydroxy-5-methyl- Angiotensin-converting enzyme inhibi­
Activity o f daily living (ADL) 123, 4-lsoxazolepropionic Acid (AMPA), tor (ACE-I) 449,578
208 lihat a-amino-3-hydroxy-5-methyl- Anosmia 396,425
Acute confusiona!state, lihat delirium isoxazole-4-propionic acid (AMPA) Anosognosia 165
Acute disseminated encephalomyelitis Altepiase 463 Antagonis
254 Alzheimer, lihat demensia reseptorNMDA 208,214
Acute inflammatory demyelinating Amantadin 128,129,424 vitamin K (VKA) 524
polyneuropathy (AIDP) 679 Ambang batas nyeri 548, 549 Antecendent infection 677
Acute motor axonal neuropathy Ambulasi 371 Antiansietas 585
(AMAN) 679 American Heart Association (AHA) Antibodi
Afasia 181 452, 541 gangliosida 678
amnestik 186,189 American Spinal Injury Association mimikri 677
anomik 187 (ASIA) 403 Antidepresan trisiklik 577,584
Broca 185 American Stroke Association (ASA) Antiedema 333
dinamik 186,189 452, 541 Antigen kriptokokus 241, 242
global 186 Amfoterisin B 242 Antigen presenting cells (APC) 230,
konduksi 187,188 efeksamping 243 250
nonfluen, lihat afasia Broca Amigdala 113,114, 552 Antihistamin 279
progresif primer 216 Amiotrofi diabetik 714 Antikoagulan 467, 511
semantik 187,189 Amitriptilin 566, 577, 584, 607 Antikoagulan lupus 506
supplementary motor area Amnesia 153, 422 Antikolinergik 124,128
(SMA) 186 pascatrauma 393, 395 Antikolinesterase 58, 751
transkortikal campuran 188, Amonia 19,31 Antikonvulsan 102, 566, 655
190 AMPLE [alergy, medication, past ill­ Anti-myelin-associated glycoprotein
transkortikal motorik 188,189 ness, last meal, exposure) 405,412 (anti-MAG) 669
transkortikal sensorik 188,189 Amyloidfibrils 482 Antiplatelet 497
Wernicke 185 Amyloid precursor protein (APP) Antipsikosis atipikal 56,133
After hyperpolaritation (AHP) 77 206,485 Antiretroviral (ARV) 239
Agen osmotik 439, 540 Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) Antisakadik 292, 308
Agitasi psikomotor 510 755 Antitrombotik 449
Agnosia 163 ANA 594 Anton, sindrom, lihat sindrom
Agonis dopamin 123 Analgesik Apatis 218

763
Buku Ajar Neurologi

Apeks orbita 287, 314 atensi terbagi 422 gejala dan tanda ldinis 84
Apneu 21 distraktibilitas 422 patofisiologi 75
Apneusis 21 konsentrasi 419 tatalaksana 86
Apneustik, pola nafas 39 setshifting 422 Bangkitan pascacedera kepala 435
ApoE4196 sustained attention 422 diagnosis 436
Apolipoprotein alel-E2 211 Aterosklerosis 446, 455 diagnosis banding 436
Apolipoprotein E (APO-E) 486 Aterotrombotik 448, 449 gejala dan tanda klinis 436
Apomorfin 129,132 Atoniagaster 33 patofisiologi 436
Apopleksi hipofisis 533, 534 Atrial fibrilasi 449,455 tata laksana 437
Apoptosis 123, 324 Atrofi Basil tahan asam (BTA) 228
Apraksia otak 387,479,494 Battle sign, lihat tanda
berpakaian 161 otot 665,727,756 Bedah dekompresif 462bedah
bukofasial 184,191 Audiometri 278,433 Bedah mikro 140
ideomotor 184 Augmentative alternative communi­ Beginning o f dose worsening 130
konstruksional 212 cation [AAC) 375 Behavioral and psychological symp­
verbai 186 Aura 85, 573 toms o f dementia 208
Aquaporin-4 (AQP4) 258 Aura persisten tanpa infark 571 Behavioral pain scale [BPS) 563
Aquaporumab 264 Autoimun 199, 249, 678, 743 Behavioral pain scale-nonintubated
Araknoiditis 227 Autoreguiasi 453,491,515,541 [BPS-Ni) 563
Area homolog 367 AVPU (alert, response to voice, re­ Behavioral therapy, lihat terapi
Argyrophilic grain disease (AGD) 216 sponse to pain, unresponsive) 23 perilaku
Arteri Awareness 16 Bell's palsy 671
basilaris 446,466,536 Axonal transport 665 Benign focal epilepsy with centrotem-
komunikans anterior 534, 535 Azatioprin 256, 264, 751, 752 poral spikes [BECTS) 88
perforator 478, 489 Benign paroxysmal positional vertigo
serebellaris inferior anterior B [BPPV) 273
136 Bacillus Calmette-Guerin [BCG) 230 Benzodiazepin 56,103,141, 279,
serebellaris inferior posterior Back exercise 584 425, 263, 523, 585
136, 536 Badan keton 19 Bernhard-Vulpian, lihat sindrom
serebellaris superior 136 Badan Lewy 110,118 Beta amiloid, lihat p Amiloid
Arteri oslderosis 481 Bahasa 167 Beta blocker, lihat penghambat beta
Arteriovenous malformation (AVM), Baklofen 270, 592 Beta-endorfin 552
lihatmalformasi arteriovena Balint, sindrom, lihat sindrom Betahistin 270, 279
spinal Balismus 4,130 Bevacizumab 335
Arteritis temporal 588,594 Balloon microcompression 592 Bevel, needle bevel 47,48
Asam mefenamat 584, 651 Bamboo spine 629 Bickerstaff’s brainstem encephalitis
Asam piruvat 580 Bangkitan [BBE) 682
Asam traneksamat 441 absans 84 Bidai servikal 405,408,618
Asam valproat 90 tipikal 84 Bilasan lambung 33
Ascending reticular activating system atipikal 85 Binswanger, lihat penyakit
[ARAS) 16 akibatgegar 436 Biopsi
Asetazolamid 42,236,511 astatik, lihat bangkitan atonik kulit 668
Asetilkolin (ACh) 198, 741 atonik 84 saraf 668
Asetilkolinesterase [AChE) 743 fokal, lihat bangkitan parsial stereotaktik334
Asidosis klonik 84 Bleeding risk analysis in stroke imag­
Iaktat 19, 65 mioklonik 84 ing before thrombolysis (BRASIL) 496
Aspirin 449,468,497,575,584 parsial 85 Blefarospasme 140
Astrosit 249, 324 kompleks 85 Blink reflex 673
reaktif 206 sederhana 85 Blok konduksi 683
Astrositoma 329, 342 parsial sederhana berkem- Blok saraf 608, 638, 645, 649
Asymmetric target sign, lihat tanda bang menjadi umum sekunder 85 Blood brain barrier [BBB), lihat
Ataksia 534, 592, 662, 680 tonik 84 sawar darah otak
Ataksik, pola nafas 39 tonik-klonik 84 Bobath 371
Atenolol 578 umum 84 Bone scan 350
Atensi 158 Bangkitan epileptik 75 Bone window, lihat CT scan dengan
alternating attention 422 diagnosis 85 bone window
atensi fokus 422 diagnosis banding 85 Boston, lihat kriteria
atensi selektif 422 epidemiologi 75 Boston naming test 171

764
lndeks

Braak, staging 114 kepaia 383 definisi 477


Bradikinin 642 berat 393 diagnosis 494
Brandt-Daroff, lihat manuver minimal 392 diagnosis banding 494
Brain death 32 ringan 392 epidemiologi 479
Brain graft 131 sedang 393 gejala dan tanda klinis 493
Brain resident cells 458 medula spinalis 401 klasifikasi 479
Brainstem auditory evoked potentials diagnosis 405 patogenesis 491
(BAEP) 278 diagnosis banding 405 tata laksana 496
Bragard's sign, lihat tanda epidemiologi 401 Cervical
Breaking the bad news 332 gejala dan tanda ldinis 402 sprain 610-12
Breakthrough pain, lihat nyeri sontak komplikasi 419 strain 610-12
Breathing 398,411 tata laksana 408 Channelopathy 727
Broadmann, area patofisiologi 401 Charcot-Bouchard, lihat aneurisma
37 186 kerusakan primer 401 Charcot-Marie-Tooth disease, lihat
45 186 kerusakan sekunder 402 hereditary motor and sensory neu­
Brown-Sequard, lihat sindrom otak ropathy
Bridging therapy, lihat terapi primer 384 Cheyne-Stokes 21,25,39
Brief Pain Inventory (BPI) 562 sekunder 384 Childhood absence epilepsy (CAE) 91
Brief Peripheral Neuropathy Screen tembus 384 Chronic inflamatory demyielinating
(BPNS) 602 tumpul 384 polineuropathy (CIDP) 680
Broca, lihat afasia Broca whiplash 613 Chronic progressive external ophthal­
Bromokriptin 129,191 Cedera kepaia 383 moplegia (CPEO) 315
Brunnstrom 371 diagnosis 395 Cilostazol 497
Bruns-Garland, lihat sindrom diagnosis banding 397 Circulation 398
Burst neuron, lihat neuron epidemiologi 383 Classic migraine, lihat migren dengan
Butakortikal 184 gejala dan tanda klinis 392 aura
Butorfanol spray 576 patofisiologi 383 Clinically isolated syndrome (CIS)
C tata laksana 397 253
Cairan serebrospinal 45 farmakologis 398 Code stroke 464,471
absorpsi 45 operatif 398 Cognitive-behavioral therapy, lihat
analisis rutin 50 Celah intervertebralis 48 terapi perilaku kognitif
glukosa 50 Central pontine myelinolysis (CPM) Cogwheel, rigidity, lihat rigiditas roda
hitungjenis sel 50 439 gigi
protein 50 Cerebral arterial small vessels 478 Cogan’s lid twitch 302
rasio glukosa CSS : serum cabang superfisial 478 Coiling 539
50 cabang profunda 478 Cold-water caloric 28
lajuproduksi 45 Cerebral amyloid angiopathy (CAA) Common migraine, lihat migren tanpa
obstruksi aliran 51 482 aura
tekanan 45 herediter 484 Complement-dependent cytotoxicity
volume 45 sporadik 484 (CDC) 259
Calcitonin gene-related peptide Cerebral autosomal dominant arteri- Complex regional pain syndrome
(CGRP) 572, 287, 626 opathy with subcortical Infarcts and (CRPS) 556,598
Calcium channel blocker, lihat peng- leukoencephalopathy (CADASIL) 211, Conccusion 426
hambatkanal kalsium 213, 289 Confusion 63, 447
Camptocormia 117 Cerebral blood flow (CBF) 456 Confusion assestment method (CAM)
Campylobacterjejuni (C. jejuni) 677 Cerebral blood volume (CBV) 42 54
Candesartan 578 Cerebral demyelinisation 482 Congo red 487
Cardiac dysautonomia 671 Cerebral microbleeds 479,493 Constraint -therapy, lihat terapi
Cardiac monitoring 461 Cerebral perfusion pressure (CPP) Contraversive 304
Carotid artery stenting (CAS) 468 369, 524 Convulsive conccusion 436
Carotid endarterectomy (CEA) 468 Cerebral salt wasting syndrome Cord sign, lihat tanda
Carpal tunnel syndrome 703 (CSWS) 438 Corneal light reflex, lihat refleks
Cascading degeneration 362 diagnosis 438 cahaya
Cawthorne cooksey exercises 270 diagnosis banding 438 Corrugator 139
CD4 241-50 gejala dan tanda klinis 438 Cortical branch artery A ll
CDP-choline, lihatsitikolin patofisiologi 438 Cortical spreading depression (CSD)
Cedera tata laksana 439 572
aksonaldifus 390 Cerebral small vessel disease 476 Corticobasal degeneration (CBD) 216

765
Buku Ajar Neurologi

Corticobasal syndrome (CBS) 217 Delay cerebral ischemia 532 Deviasitonik 28


Countercoup 387 Delayed on 130 Diabetes mellitus 446
Counting test, lihattes hitung Delirium 54 Diagnosis 9
Coup 387 Demensia 205 etiologis 11
Coupling 599 Alzheimer (DA) 206 kerja 12
Cover test (single cover], lihat tes- diagnosis 207 klinis 10
Cover uncover, lihat tes diagnosis banding 207 patologis 10
Craniocervical junction 433 early onset AD tipe familial topis 10
Critical care pain observational tools 206 Diaskisis 367
(CPOT) 563 gejala dan tanda klinis Diatermi 566, 722
Cross cover, lihat tes 206 Diazepam 103
Crossed straight leg raising test, lihat patofisiologi 206 Diet ketogenik 87
tes ' tata laksana 207 Diffuse leucoencephalopathy 381
Cryptococcal antigen 242 badan Lewy 200 Diffuse skeletal hyperostosis (DISH)
Cryptococcus neoformans 239 campuran 205 613
var.grubii 239 denganbadan inkluss basofltik216 Digit span, lihat tes
gatii 239 frontotemporal (DFT) 215 Digital subtraction angiography
neoformans 239 diagnosis 219 (DSA) 506, 538
Cryptodex 239 diagnosis banding 219 Dihidroergotamin 575, 588
CSVD non-amyloid 481 gejala dan tanda klinis Dilatasi pupil 39,308
CT angiografi 537 216 Diltiazem 578
CT angiogram 140 patofisiologi 215 Dinorfin 552
CT scan 8 varian perilaku 216 Diphasic dyskinesia, lihat diskinesia
CT scan dengan bone window 399, possible 220 Diplopia
425 probable 220 binokular 295
CTvenografi 506 definite 220 monokular 295
Cyclic vomiting 571 varian behavioral (DFTvb) Direct sign, lihat tanda
Cytidine 5-diphosphocholine, lihat , lihat DFT varian perilaku Direct swallowing therapy, lihat
sitikolin lacking distinctive histopa- terapi
thology (DLDH) 216 Disabilitas 367
D pascastroke 210 Disartria 5, 744
Dawson’s finger 253 single-infarct dementia 210 Disautonomia 119
D-dimer 440, 506 multi-infarct dementia 211 Disease modifying drug (DMD) 256
Decoding 167 penyakit parkinson 205 Discharge planning 463,523
Deep brain stimulation (DBS) 130 semantik 217 Diseksi arteri intrakranial 531
Defisiensi terkait amyloid angiopathy 211 Disekuilibrium 267, 271
antitrombin 501 terkait mekanisme hemodin- Disestesia 403, 549, 598
protein C 506 amik 211 Disfagia 5, 744
protein S 506 terkait small vessel disease 211 Disfoni 5, 744
Defisit neurologis fokal 3 subcortical ischaemic Disfungsi eksekutif 207
Deformabilitas eritrosit 482 vascular disease, lihat penyakit Disgrafia 173
Deformitas Binswanger disfraksis 173
clawband 718 vaskular (DVa) 209 spasial 173
Waiters 717 gejala dan tanda klinis sentral 173
Degenerasi 212 Disinhibisi 218
aksonal 670, 679, 697 patofisiologi 209 Diskinesia
berantai 362 tata laksana 214 difasik 130
kortiko-basal, lihat corticobasal Demielinisasi 249, 362, 678 Diskonjugat 290
degeneration Dense triangle sign, lihat tanda Diskus intervertebralis 625
lobus frontotemporal-tau Depolarisasi 78 Disleksia 171,172
(DLFT-tau) 216 Deposisi amiloid 199,485 Dislipidemia 454,496
retrograd 362 Depresi, okular 308 Dismetria 286
superfisial spongiform 215 Derivat ergot 576 Disosiasi sitoalbumin 52,684
transneuronal 362 Dermatom 405, 694 Dispersi temporal 683
Wallerian 361 Dermatomiositis (DM) 725 Dissemination in space (DIS) 252
Dekompresi mikrovaskuiar 141 Descending formation retikularis 32 Dissemination in time (DIT) 253
Deksametason 43,235,333 Deselerasi 384, 419 Distonia 130
Dekubitus lateral 49 Deserebrasi 29 Distonia wearing o ff 130

766
Indeks

DistorsiARAS 17 Ectopic discharges 599 Erasmus GBS Outcome Score (EGOS)


Distrofi fasioskapulohumeral 724 Eculizumab 264 686
Distrofi muskular Becker (Becker Edema Erb's point 717
muscular dystrophy/BMD) 724 interstisial 43 Erb-Duchenne, lihat sindrom
Distrofi muskular Duchenne (DMD) intrasel 458 Ergotamin 576
724 otak 392 Esotropia 297, 314
Distrofi muskular Limb Girdle palpebra 587 Estrogen 198, 455
(LGMD) 728 periorbita 303 Etambutol 234
Distrofi neuritik 206 peritumoral 324 European Stroke Organisation (ESO)
Distrofin serebri 43 460
gen 725 sitotoksik 43 Evaluasi neurologis perioperatif 53
protein 725 vasogenik 43 Eye tracking device 300
Diuretik 280,439, 540 Efek desak ruang 18, 325, 514
Diuretik osmotik 511 Ehlers-Dalos tipe IV, lihat penyakit F
Dix-Hailpike, lihat manuver Eksekutif, fungsi, lihat fungsi ekse- F-wave, lihat gelombang F
Divisi, pleksus brakialis kutif Fabry's disease, lihat penyakit Fabry
anterior 706 Eksiklorotasi 308 Faces pain scale (FPS) 560
posterior 706 Eksitasi ektopik 136 Facet arthrosis 637
Dizziness 267, 271 Eksitatorik 550, 566 Facial amimia 117
DLFT-ubiquitin (DLFT-U) 216 Eksoftalmometri 302 Factor eight inhibitor bypass activity
DLFT-uhfquit/n prateasome system Eksotropia 297 (FEIBAJ 524
CDLFT-UPS) 216 Ekstraaksial 334 Fajersztajn, tanda, lihat Crossed
DNA repair enzyme 756 Ekstranigrai 119 straight leg raising test
Doksepin 577 Ekstra sylvian 186 Faktor reumatoid 558,715
Dolttrin Monro-Kellie 36 Ekuivalensi dosis 652, 654 Family meeting 332
Doll's-head maneuver 28 El escorial, revised, kriteria 758 Fasikulasi 714, 756
Domain 149 Elektrokokleografi 278 Fasikulus
Donepezil 208 Elektromiografi (EMC] 12 arkuata 168,183,187
Dopamin Elevasi, okular 308 lateral, lihat korda lateral
nigrostriatal 112 Ely's test, lihat tes medial, lihat korda medial
Dopaminergik 112 Emboli 446,455 posterior, lihat korda posterior
Doppler Embolus 455 FAST, gejala stroke 459
karotis 448,459 Empty delta sign, lihat tanda Fazekas, scale 495
transkranial 448,459 Empty triangle sign, lihat tanda Fenitoin 103
vertebralis 459 Encoding 167 Fenobarbital 103
Dorsolateral prefrontal cortex (DLPC) End arteries 478 Fenomena
292 Endoneural 715 Bonnet 701
Dose failure, parkinson 130 Endotelin 63, 642 on-off 130
Double Barrel 487 Endovaskular 464 sudden o ff 130
Douleur Neuropathique en 4 Ques­ Enhanced ptosis 302 unpredictable o ff 130
tions (DN4) 602 Ensefalitis 227 wearing o ff 130
Drainase Ensefalitis Toksoplasma 243 Fenoprofen 584
CSS 542, 544 diagnosis 244 Fentanil (transdermal) 651, 652
ventrikef eksternal 543 diagnosis banding 244 Festination 118
Dressing apraxia, lihat apraksia epidemiologi 243 Fibrilasi atrial, lihat atrial fibrilasi
berpakaian gejala dan tanda klinis 244 Fiksasi 290
Drifting 298 patofisiologi 244 Fingolimod 255, 256
Drop attacks 448 tatalaksana 246 Fisioterapi 370,417, 722
Drop fo o t 757 Entrapment neuropathy 703 Fistula dural arteriovena 533
Drowsiness 19 Ependimoma 324,338 Fisura
Duksi 287 Ephaptic, transmisi 136 orbitalis superior 314
Duloksetin 566, 604 Epbaptic condition 599 Sylvii 169
Duramater 36 Epidermal growth factor receptor FLACC [face, legs activity, cry, conso-
335 lability) Scale 648
E Epilepsi 75 Flail arm syndrome, lihat sindrom
Earlyfatiguing 117 pascacedera kepala 435 Flail leg syndrome, lihat sindrom
Early recruitment 736 Epineural 715 Fluensi 168
Early seizure 58 Epley, lihat manuver Flukonazol 242

767
Buku Ajar Neurolog i

Fluoksetin 566, 577 gerakan bola mata 285 Guillain-Barre syndrome disability
Flusitosin (5TC) 242 anatomi 287 score (GBS disability score)
Fokalitas denervasi 366 diagnosis 304 Guillain-Barre syndrome with treat­
Fonofobia 574,582 diagnosis banding 304 ment-related fluctuation (GBS-TRF),
Foramen epidemiologi 285 lihat sindrom Guillain-Barre (SGB)
Luschka 45 gejala dan tanda klinis
Magendie 45 295 H
neuralis 343 patofisiologi 287 Hachinski, lihat skor
obturator 708 tatalaksana 315 Halo sign 396
stilomastoid 138, kognitif 195 Head-impulse test, lihat tes
Forced duction 303 menelan 367 Head-roll test, lihat tes
Forced generation 303 metabolik 6,18, 21, 31 Headache diary 586
Formasio retikularis 16,550 pemusatan perhatian 153 Hemangioblastoma 343
Fosa posterior 28 pendengaran 274, 276, 279 Hematogen 228, 344
Fosfenitoin 103 pengosongan kandung kemih Hematom 393
Fotofobia 574, 582 370 serebelar 525
FOUR (full outline o f unresponsive) perfusi 447,456 Hemianopia 4,164,172
score 23 sensorik proprioseptif 4 Hemifasial spasme 136
Fraktur Ganglia basal 110 diagnosis 139
basis kranii 387, 396 Ganglion radiks dorsalis 550, 663, diagnosis banding 140
anterior 396 691 epidemiologi 136
posterior 396 Gaze holding 287 gejala dan tanda klinis 139
kompresi 350,644 Gaze shifting 287 patofisiologi 136
Free muscle transfer 723 GelombangF 720 primer 136
Freezing 117 GeneXpertE MTB/Rif 52 sekunder 138
Fresh frozen plasma (FFP) 441,524 Genu kapsula interna 211,212 tatalaksana 141
Froment, lihatmanuver Gerakan bola mata Hemikrania kontinua 586
Frontal battery assessment (FBA) binokular 287 Hemineglect, lihat hemineglek spasial
423 horizontal 291 Hemineglek spasial 212
Frontal eye field {FEF} 291 monokular 287 Hemisfer
Frontalis 139 vertikal 294 dominan 173, 186
Frontotemporal disorder with parkin­ Gertsmann, sindrom, lihat sindrom ldri 183,191
sonism 217 Giant cell arteritis 313 serebri 16,183
Frontotemporal disorder with amyo­ Girus angularis 168,186,212 Hemodiiusi 541,542
trophic lateral sclerosis (FTD-ALS) Glikoiisis 51,642,729 Hemoreologik 468
217 Glioblastoma 323,329,331 Hemosiderin 493,537
Functional training 370 Glioma 324 Heparin 463, 511
Fungal burden 241 Gliosis 215,490 low-molecular weight heparin
Fungsi Transkortikal 215 (LMWH) 511
bahasa 167 Globulin 51 unfractioned heparin 511
eksekutif 174 Globus palidus 111 Hepatitis 233, 237
konstruksi 212 segmen interna 111 Hepatotoksisitas imbas obat 236
luhur 190 segmen eksterna 111 Heredodegeneratif 109
Furosemid 280,439, 540 Glutamat 457, 550 Herniasi
Fused in sarcoma (FUS), protein 756 Gower, lihat tanda cingulata 38
Fusion magnetic resonance 140 Graded naming test, lihat tes nukleus pulposus 631
Faset, lihat sendi Granular osmiophillic material (GOM) otak 38
489 sentral 38
G Granulasio araknoid, Pacchioni 501 serebral 38
Gabapentin 566, 579, 605, 655 Granulocyte-macrophage colony- tentorial 38
Galantamin 208, 214 stimulating factor (GM-CSF) 642 tonsilar 39
Gamma knife radiosurgery 592 Granulomatosa nekrotik, peradangan transtentorium 38
Gamma-aminobutyric acid (GABA) 228 unkal 38
76,100 Greater sciatic foramen 710 Herring law 287
Gangguan Green birefringent 487 Hialinisasi 490, 515
autoregulasi 453,541 Growth factor 529 Hidromorfon 651-3
fungsional 327,367,586,706,715 Guillain- Barre syndrome, lihat sin­ Hidrops
gait 202 drom Guillain-Barre (SGB) endolimfatik 274

768
Indeks

koklea 277 I anterior 215


vestibuler 277 Iatrogenik 414,434, 531, 542 posterior 551
Hidrosefalus 42,231,543 Ibuprofen 575, 584, 617, 651 integrin very late activation antigen
High density lipoprotein (HDL) 454 Ice pack eye test, lihat tes (VLA)-4 725
HINTS 270 ID-migraineTM 574 Intercellular adhesion molecule
Hiperakusis 431, 672 IgG-AQP4 258, 261 (ICAM) 725
Hiperalgesia 5, 548, 549 IgG-MOG 261 Interferon-fSla 256
Hiperdensitas 519 Immediate memory 219 Interferon-filb 256
Hiperestesia 549 Immediate postoperative seizure 58 Interleukin-6 (IL-6 ) 642
Hiperglikerma 670 Immune reconstitutional inflamma­ Intermediate host 244
Hiperkapnia 19 tory syndrome (IRIS) 242, 247 Intermitten catheterization (IMC)
Hiperkoagulasi 440 Immunofixation electrophoresis (1FE) 370
Hiperlipidemia 449, 455 669 International Association fo r the
Hiperosmolar 31, 43 Inumoglobulin intravena (IV1G) 6 8 6 , Study o f Pain (IASP) 547,648
Hipertensi 453.515 723, 751 International Medical Society o f
Hipertensi intrakranial 503, 505. Imunokompromais 239, 241 Paraplegia (IMSOP) 403,414
510 Imunomodulator 263 International Panel fo r NMO Diagno­
Hipertermia 21,31,33,400 Imunosupresan 263, 752 sis (IPND), kriteria 260
Hipertrigliserida 454 Inclusion body myositis 724 International Study on Cerebral Vein
Hipertropia 297,300,301 Indirect sign, lihat tanda and Dural Sinus Trombosis 501
Hiperurisemia 454 Indonesia Stroke Registry 452 International Study on Cerebral
Hiperventilasi 91,92 Inersia 2 1 2 , 220 Venous Trombosis 500
neurogenik setitral 21 Infark 456 International Subarachnoid Aneurysm
Hipervolemia 542 batang otak 21, 31, 269 Trial (ISAT) 540
Hipestesi 4,9 hemoragik 499, 507 Internuclear ophtalmoplegia (INO),
Hipoalgesia 549 inkomplet 493 lihat oftamoplegia internuklear
Hipoestesia 549 komplet 493 Interval lusid 393
Hipoglikemia 6,18, 22, 31 lakunar 477, 494 Intoksikasi 20,31,33,87
Hipokampus 152 miokard 456 Intraaksial 308
Hipoksia 33, 58 subkortikal 479,493 Intracranial pressure, lihat tekanan
Hiponatremia 19,235,438 Infeksi intrakranial
Hipoperfusi 447,491 oportunistik 239 Intradural ekstramedula 338
Hiposmia 118, 425 salurannapas 274 Intramedula 338
Hipotalamus 17,113 sistemik 31, 244, 328, 501, 569 Intraorbita 287, 303
Hipotensi 4 Infratentorial 252, 253 Intratekal 46
ortostatik 8 ,1 2 1 Inhibitor antibiotik 46
Hirschberg, lihat tes asetilkolinesterase 207, 214, kemoterapi 46
Honeymoon period 129 221 obatbius 46
Horner, lihat sindrom MAO-B 123,128 Intravenous immunoglobulin (Jvlg),
House-Brackmann, grading Inhibitorik 566, 600 lihat imunoglobulin intravena
Hughes score, lihat Guillain-Barre Initial Pain Assessment Inventory Intubasi 411,460,521,540
Syndrome Disability Score (GBS Dis­ (IPAI) 562 iPad-based speech therapy, lihat
ability Score) Injeksi konjungtiva 303, 574, 588 terapi
Human brain microvascuiar endothe­ Jnjeksi Ipsiversive 304
lial cells (HBMECs) 240 gliserol 592 Irigasi 28, 542
Human immunodeficiency virus (HIV) toksin botulinum 133,143 Iskemia 456
227,239 Inkhisi neuron 216 Isoniazid 234
Hunt and Hess, lihat skor Inkontinensia Isotonik 398, 521
Hyndman's sign, lihat tanda alvi 4, 9, 349 Isotonis 462
Hypermetric contraversive saccade uri 4, 9, 349
307 Inouye's Risk Classification 56 I
Hypermetric ipsiversive saccade 308 Instabiiitas
Hypometric contraversive saccade postural 118 jalannapas 21,33,398
308 spinal 352 Japan alteplase clinical trial 464
Hypometric ipsiversive saccade 307 Instrumental activity o f daily living Jaras
Hypoxic ischemic injury (IADL) 196 asendens 268
Insufficient reserve 359 desendens 268
Insula langsung (direct) 112

769
Buku Ajar Neurologi

mamilotalamik 2 1 2 kualitas kesadaran 16 Kontusio 387


tidak langsung (indirect) 112 patofisiologi 16 Konus dystrophic growth 365
Jaw thrust 409, 411 Keseimbangan 267 Ronvergensi 285, 290, 304
Joint fusions and rotational 723 Keterjagaan 16 Korda
Jukstakortikal 252,253 Ketorolak 575, 651 lateral 707
Jump sign, lihat tanda Kewaspadaan, lihat alertness medial 707
Juvenile absence epilepsy (JAE) 92 Rlaster, nyeri kepala, lihat nyeri posterior 707
Juvenile myoclonic epilepsy QME) 93 kepala tipe klaster Korioretinitis toksoplasma 244
Rlaster, poia nafas 39,518 Rorpus kalosum 183,253
K Rlonazepam 92,141 Korpus vertebra 343, 624
Kafein 113, 584, 653 Klopidogrel 449,497 Korteks
Kakosmia 4 Rlumpke, lihat sindrom frontal 215, 291
Kaku kuduk 26, 517, 533 Roagulopati 523 serebri 16,160
Kalium diklofenak 575 Roagulopati pascacedera kepala 440 cingulata anterior 551
Kalsium intraselular 457 diagnosis 440 temporoparietal 185,267
Kanabinoid 606,642 diagnosis banding 440 Kortikosteroid, lihat steroid
Kanalis gejala dan tanda klinis 440 Eraniektomi dekompresi 469
auditorik interna 138,278,431 patofisiologi 440 Rreatinin kinase 735
Dorello 314 tatalaksana 441 Rrikotiroidektomi 410
semisirkular anterior 272 Rodein 650-9 Rriopresipitat 441
semisirkular horizontal 272 Roklea 274, 277 Kriptokokoma 242
semisirkular posterior 272 Rolikulus superior 112,158,292 Krisis miastenia 68 , 751
spinalis 338, 624 Kolinergik 17,424 Rriteria Boston 488
Kanalolitiasis 276 Roma 24 Ruadranopia 4
Ranker 324, 641 Romisura posterior 295 Kultur
Kantus lateral 143 Romosio 393 jamur 242
Kapasitas fungsional 359 Rompensasi sentral 278,279 tuberkulosis (TBJ 52
Karbamazepin 58,87, 606 Komplikasi neurologis Kupulolitiasis 276
Karbonikanhidrase 42,579 pascacedera kepala 419
Kardioemboli 446-8 perioperatif 54 L
Karnofsky performance score 332 kognitif 419 Labirin 268,431
Kaskade koagulasi 440,455 diagnosis 423 Labirintitis 276
Katekolamin 420, 424 diagnosis banding Labyrinthine concussion 432
Kateterurin 417,540 423 Laccase, enzim 240
Kauda ekuina 338, 349, 635, 692 gejala dan tanda lacunar syndrome 493
Kaudo-rostral asending 119 klinis 422 Lagoftalmus 303, 674
Ream Sayre, lihat sindrom patofisiologi 419 Laju endap darah 448, 594, 637,
Kecepatan hantar saraf [KHS] 602, tatalaksana 423 669, 720
665,683, 736 nonkognitif 425 Lakrimasi 431,588,672
Kecepatan proses pikir 422 metabolik 438 Laktat 580, 642
Rejang Rompos mentis 23 Lambert-Eaton myasthenic syndrome,
fokal, lihat kejang parsial Komprehensi 170 lihat sindrom
parsial 141, 448 Rompresi Lamina
pascaoperatif 59 neurovaskular 137 terminalis 535
perioperatif 57 arachnoid type 137 Laminar cortical neuronal apoptosis
umum 4, 6 , 93,505 branch type 137 489
Kelancaran bicara, lihat fluensi loop type 137 Lamotrigin 87, 592, 604
Kelumpuhan lirik perforator type 137 LANSS, lihat Leeds assessment o f
horizontal 304 sandwich type 137 neuropathic symptoms and signs
vertikal 304 tandem type 137 Language impairment-based treat­
Remosis 303 Kondisi stres oksidatif 458 ment 373
Kemoterapi 334,353 Eonduksi lompatan 665 Large subcortical hemorrhages 494
Reracunan alkohol 22 Rongesti nasal 587,588 Laserasi 387
Rernig, lihat tanda Ronjugat 287, 290 Laseque, lihat tes
Kerusakan sekunder 402 Konkusio, lihat concussion Late seizure 58
Kesadaran Ronsultasi 53 Latensi distal 683,736
berkabut 23,159 Rontraktur 368, 372 Lateral flow immunochromatographic
derajat kesadaran 22,23 Kontrol trunkal 368 assay (LFA) 242

770
Indeks

Leeds assessment o f neuropathic trophic lateral sclerosis (ALS) Epley 280-281


symptoms and signs (LANSS) 602 Low-density lipoprotein (LDL) 496 Froment 117
Lemniskus Low-molecular weight heparin Lempert 283
lateralis 16, 776 (LMWH), lihat heparin Semont 280, 282
medialis 16 Lupus eritematosus sistemik 254, Valsava 531, 699
Lempert, manuver, lihat manuver 261,558 Masked face 117
Lentikulostriatum 212 Masseter 143
Leptomeningeal 594, 647 M
Lesi M. Platysma 136 Maternal birth palsy 712
desakruang 243,323,326 M, tuberculosis 245, 247, 249 Maternal obstetric paralysis 712
destruksi 17 Maddox rod, lihat tes Maternal peroneal palsy 712
folral multipel 243, 245 Magnetic Resonance Imaging (MRI) Matriks ekstraseluler 529
kompresi 17 pada afasia 191 Matrix metalloprotease (MMP) 229,
miogenik 736 padacederakepala 393-394,397,437 255,497
neurogenik 736 pada cedera medula spinalis 407-408 Me Gill Pain Questionnaire 561-562,
ovoid 253 pada cerebral small vessel disease 602,
pan-supraldavikular 718 488,490,493-495,497 McDonald, kriteria 252,257
Lesioning 130,131 pada childhood absance epilepsy 91 Mean arterial pressure [MAP), lihat
Letargi 24 pada demensia 214,220 rerata tekanan darah arteri
Leucocyte function-associated antigen pada gangguan gerak bola mata Medial vestibular nucleus (MVN) 292
[LFA)-1 725 311,315 Medical Research Council (MRC) 231
Leukoaraiosis 490 pada hemifasial spasme 140 MELAS [mitochondrial encephalomy-
Leukovorin 246 pada infeksi oportunistik 245 opathy, lactic acidosis, and strokelike
Leusin-enkefalin 552 pada juvenile absance epilepsy 94 episodes) 315,480
Levetirasetam 87,95,334 padameningitistuberkulosis 231,236 Melodic intonation therapy (MIT},
Levodopa 65,124,127-131 pada miastenia gravis (MRI toraks) 750 lihat terapi
Levofloksasin 237 pada multipel sklerosis 252-254 Memantin 192, 203, 208, 214,424,
Lewy neurites 114 pada neuromielitis optik 260-263 605
Lhermittes, lihat tes pada nyeri kepala 594 Membrane attack complex (MAC)
Lid lag 303,749, pada nyeri leher 616 259, 678, 725, 743-744, 777
Lidokain 48-49, 588, 620, 656, pada nyeri punggung bawah 629- Memori
lifelong reinforcement 359 630, 636-637 anterograd 150,153,179, 219
Ligamentum pada penyakit Parkinson 121-122 deklaratif 151
flavum 48,624-625,692 padaperdarahansubaraknoid 537 eksplisit 151
inguinal 708 pada radikulopati 702-703 episodik 151
interspinosus 624-625 padasindromGuillain-Barre 682,684 gangguan 153, 422
intertransversal 625 pada status epiieptikus 105 implisit 151
longitudinal pada stroke iskemik 459 jangka panjang 150-151
anterior 624 pada trombosis vena serebral 506, jangkapendek 219
posterior 624 508,510,519 long-term 150
supraspinosus pada tumor otak 327,331 nondeklaratif 151
LimfositT 240,249-251,264 pada tumor spinal 350,352,354 nonverbal 153,162
Limited regeneration 359 sebelum pungsi lumbal 47 prosedural 151,153,
Lintasan sensorik Magnetic resonance spectroscopy 94, remote 154-155
nonspesifik 16 328 retrograd 150,153, 219
spesifik 16 Major histocompatibility complex semantik 151
Lipohialinosis 447,480,498,508, (MHC) 230,251 shortterm 150
Low-density lipoprotein receptor- Malformasi arteriovena 534,594, working 94,150, 213,424,
related protein 4 (LRP4) 741, 745 764, Memorial Pain Assessment Card 562
Lisinopril 578 Malformasi Chiari tipe I 138 Meniere, lihat penyakit
Litium 67,589 Malingering 6,32,423 Meningen
Locked-in syndrome 32 Froment, lihat manuver medula spinalis 338-339
Logroll 405,412 Manitol 33,43,333-334,398,439, Meningioma 323-325,328,330-331,
Long extended transverse myelitis 461, 521, 540 337-338, 342, 589
(LETM) 260 Manometer 48-49, 243 Meningitis
Long segment myelopathy 261-262 Manual agility test 117 kriptokokus 239
Lorazepam 103, 605 Manuver diagnosis 45,
Lou Gehrig's disease, lihat amyo­ Brandt-Daroff 281-283 diagnosis banding 241

771
Buku Ajar Neurologi

epidemiologi 239 Q), lihat questionnaire miopati toksik 727


gejala dan tanda klinis Migrainous infarct 571 patofisiologi 724
241 Migrain-triggered seizure 571 Miosis 587-588, 752
komplikasi 243 Migren Miositis 724,727,738
patofisiologi 239 diagnosis 574 Miotom 3,405,694,697,720
tatalaksana 242 diagnosis banding 575 Miotonia 66 , 727, 728, 730, 732, 737
tuberkulosis (TB) 11,227-236 gejala dan tanda klinis 573 Misdirection sprouting 366
Meperidin 651, 654 klasifikasi Mm.
Merokok 66,113,446, 454,482, abdominal 571 Orbicularis okuli 139-142,
531, basiler 278 Orbikularis oris 139
Mesensefalon 17, 39, 268, 289, 304, dengan aura 213,448, Periokular 139
531, 684, 571, 574 Zigomatikus 139
Metabolisme anaerob 386,458 kronis 571 Mobilisasi 34,57,354,368,
Metadon 651-653 retinal 571 Modified Hoehn and Yahr 121,122
Metastasis 328,338,341,627,643- tanpaanra 571,574 Modified ran kin scale (mRSj 465,496
647, 656, 696 vestibular 267, 269, 279, Mofetil Mycophenolate 63, 264, 752
Metilfenidat 424, 653, komplikasi 571 Moksifloksasin 234
Metilprednisolon 256, 263-264, patofisiologi 571 Momen inersia 419
412-413, 434 profilaksis 576 Mononeuritis multipleks diabetik
Metisergid 589 indikasi 576 714
Metode ABC 519-520 tujuan 577 Mononeuropati multipleks 667
Metoldopramid 575, 653 stadium 573 Monroe-Kellie, lihat doktrin Monroe-
Metoprolol 578 tata laksana 575 Kellie
Miastenia gravis (MG) Mikroaneurisma 453,480-482,515 Montreal cognitive assessment
anatomi 741-742 Mikroglia 230, 250, 362, 458,485, (MoCA) 9,155,157,327
diagnosis 740 600 Morfin sulfat 65 It
diagnosis banding 740 Mikrografia 117 Morning jerks 93
epidemiologi 741 Mikrovakuolisasi 215 Moth-eaten appearance 350
fisiologi 741 Mikrovaskular 63,141, 287, 311, Motor neuron disease (MND) 663,
gejala dan tanda klinis 743,746 317,426 737t
klasifikasi 745,747 Mikrovaskulitis inflamasi 716 acquired 756
subtipe Mild cognitive impairment bentuk monomelik 757t
EOMG: early onset myas- amnestik ranah jamak 200 diagnosis 758
tenia gravis 746 amnestik ranah tunggal 200 diagnosis banding 759
LOMG: late onset myasthe­ nonamnestik ranah jamak 200 epidemiologi 755
nia gravis 746 nonamnestik ranah tunggal 200 gejala dan tanda klinis 756
MAMGi anti-MuSK-Ab- Mild hypothermia 469 herediter 756
associated myas tenia Miller-Fischer, lihat sindrom paraneoplastik 759
gravis 746 Mini-mental status examination patofisiologi 756
0 MG: ocular myastenia (MMSE) 9, 55-56,155-156, 423 tatalaksana 759
gravis 746 Miokimia 140,665,714 Motor unit 756
SNMG: seronegative myas­ Miopati Motor unit action potential (MUAP)
ten ia gravis 746 Diagnosis 726 736
TAMG: thymoma-associat­ diagnosis banding 733 Motorik 3 ,4 ,9 ,3 0 ,3 1
ed myastenia gravis 746 epidemiologi 724 Movement Disorder Society (MDS)
tatalaksana 751 jenis 128,129,132
Microbleeding 482,494 distrofi muskuiar 724 MR venografi 506, 508, 510, 594,
Microhemorrhages 489 miopati didapat 727 Multifocal motor neuropathy (MMN)
Microvasculardecompression 592 miopati diinduksi obat 727 669, 733,757, 759
Midazolam 48,103-106, 511, 659 miopati endokrin 727,730 Multipel mononeuropati, lihat mono­
Midline shift 47, 339, 391, miopati herediter 727 neuropati multipleks
Mielin 249,259,491,549,590,663, miopati inflamasi 727, Multipel sklerosis
716 729-731, 735-738 diagnosis 252
Mielinopati 663-664, 668 miopati metabolik 727, diagnosis banding 252,253,
Mielitis 227,258-263, 349, 685 729-733 254
Mielopati 349, 614-618, 685, 704- miopati mitokondriai 727 epidemiologi 249
705 miopati terkait penyakit gejala dan tanda klinis 250
Migraine screen questionnaire (MS- sistemik 727 patofisiologi 249,

772
Indeks

primary progressive multiple Prefrontal 215 Neuromyelitis optica spectrum disor­


sclerosis (PPMS) 250 Neologisme 185 ders (NMOSD) 260,262
prevalensi 249 Neostriatum 111 Neuron
progresivitas 250,253,256 Nerve grafting 723 burst neuron 291, 294, 307
relapsing remitting multiple Nerve growth factor (NGF) 641, 642 pascasinaps 361, 362, 366
sclerosis (RRMS) 250 Nerve root entry zone 136, presinaps 78, 361
secondary progressive multiple Nerve sprouting 641, 642 von Economo 215
sclerosis (SPMS) 250 Nervus nosiseptif 549, 572, 623
tata laksana 256 abdusens 39, 287, 292, 326
Muscle relaxant, lihat pelemas otot fasialis 12,136,137,138, 672, ordo satu 548,550
461 673, 680, 681 ordokedua 550,551,552
Muscle-specific kinase (MuSK) 741 meningeal rekuren 692 ordoketiga 551
Musical speech stimulation (MUSTIM) okulomotor 26, 27, 28, 287, wide dynamic range neurons
375 291, 292, 294 550
Mutisme 32,184,188,191 optikus 162, 258, 260 Neuronal intermediate filament inclu­
Myasthenia Gravis Composite Scale trigeminus 587, sion disease 216
748 troklear 287 Neuronopati 663
Myasthenic snarl 744 vestibularis 268, 271, 274 Neuropathic pain questionnaire
Myelin pallor 490 vestibulokoklearis 139, (NPQ), lihat questionnaire 602
431,433,435 Neuropati
N Neural integrator 292, 294 diabetik 598, 607
Nadolol 578 Neural structural repair o f replace­ diabetikproksimal 714
Nalokson 412, 653 ment 359, diagnosis banding 667
Naming, lihat penamaan 171,187, Neuralgia trigeminal diagnosis klinis 667
188, 374 diagnosis 591 epidemiologi 663
Narkolepsi 260 gejala klinis 590 gejala dan tanda klinis 665
NASCIS (National Acute Spi­ klasifikasi jenis
nal Cord Injury Study) II412 klasik 589 polineuropati 6 6 6 , 667,
Nasopharyngeal airway 409, simtomatik 589 668
Natalizumab 255 patofisiologi 590 multifokal 667, 670
National Comprehensive Cancer Net­ pemeriksaan penunjang 592 multipel mononeu-
work (NCCN) 641, 651, 655 . tata laksana 592 ropati atau mononeuropa-
National Institute o f Neurological Neuritis ti multipleks 667
Disorders and Stroke (NINDS) puerperalis 712 neuropati fokal 667
National institutes o f health stroke vestibular 267, 274, 276, 277 mononeuropati 667
scale (NIHSS) 465,468,471, 472 Neurodegenerasi 112,197, 206 kranial multipe! 314
Natrium naproksen 575 Neurofibrillary tangles 206,207 optik 303,426
Neck stretch 618, 619 Neurofibroma 330, 341, 342 patofisiologi 663
Neck tilting 618, 619 Neurokinin A 572 radikulopleksus lumbosakral
Neck turn 618,619 Neuroleptic malignant syndrome 57, diabetik 714
Neglect 68 tata laksana 668
agraphia 173 Neurolisis 722, 759, Neuropatologis 120, 548, 758
auditory 167 Neurology music therapy (NMT), lihat Neuropeptida y 100
body-160 terapi Neuroplastisitas 359, 360,425
dysgraphia-161,173 Neurological reserve 54, Neuropraksia 716,723
dyslexia-161,172 Neuroma 599, 641, 645, 723, Neuroprotektor 123,193,468
environment-centered-160 Neuromielitis optik (NMO) Neurorecovery 468
hemi-, lihat hemineglek spasial diagnosis 261 Neuroregenerasi 359,
hemispatial neglect 164 diagnosis banding 262 Neurorehabilitasi 359, 469
object-centered 163 epidemiologi 258 Neurorepair 359
sensory-164,166 gejala dan tanda klinis 259 Neurorestorasi 359, 368, 469
spatial-160 patofisiologi 258 Neurorestorasi
tactile 167 Neuromodulasi 359,371,469, fungsional 366, 371
visuaM65,166 Neuromuscular blocking agent 67, pada afasia 373
Nekrosis fibrinoid 453,480,481, Neuromuscular electrical stimulation pascastroke 367, 469
482,486,515 (NMES) 111, rehabilitatif 368, 371, 372,469
Neokorteks Neuromuscular-junction, lihat taut Neurorestoratologi 192, 359
Anterior 215 saraf-otot

773
Buku Ajar Neurologi

Neurotization, intraplexual 723 alih 614,622,628,632,633, gejala dan tanda klinis


Neurotmesis 716 campur (mixedpain) 646, 648, 601
Neurotoksisitas 63, 486 649 patofisiologi 598-600
Neurotransmiter 76,119,142,198, dasar 646 mekanisme perifer 599
419, 550, 566, 606 definisi 547 mekanisme sentral 599
Neurovascular coupling 491 diskogenik 613, 620 tata laksana 604-608
New oral anticoagulant (NOAC) 62, evaluasi 552, 559, 594, 615, nosiseptif 548, 623
468 648 okular 260
Nifedipin 578, 589 anamnesis 552 patofisiologi 548
Nikardipin 524, 578 pemeriksaan fisik 557, prinsip manajemen 564-567
Nikotin 113,454 pemeriksaan penunjang 594 punggung bawah
Nimodipin 541, 578,589 fantom 598 anatomi 624-626
Nimotuzumab 335 inflamasi 600, 617 diagnosis 634-637
Nistagmoid 306 intervensi 567,617,619,620 epidemiologi 622
Nistagmus 28, 87, 269, 276,304 kanker etiologi 626-634
ageotropik 276 akut641 spesifik 626
dissociated nystagmus 306 diagnosis 647, 648 nonspesifik/idiopatik
geotropik 276, 281 epidemiologi 641 626
torsional 276 gejala klinis 645, 646 gejala dan tanda klinis
sentral 269, 270 kronik641, 648 632-637
upbeat 269, 270 patofisiologi 641-645 patofisiologi 623
downbeat 269, 270 tatalaksana 648-656 red flags 635
N-methyl-D-aspartate (NMDA) 76,77, kepala tatalaksana 637-639
386, 440, 600,604, 645 pascapungsi 46 radikular 349, 633, 646,
Nonconvulsive status epilepticus definisi 569 697, 699
(NCSE), lihat status epileptikus non- primer 569 sentral/pusat 606
konvulsivus sekunder 570 somatik 395, 554, 645, 646
Nonmotor symptom questionnaire, tipe klaster sontak 641, 645, 646, 655, 656
lihat questionnaire diagnosis 588 tajam 428,633
Non-motorik 109,118,119,133 ldasifikasi 587 tumpul 554
Nonperisylvian 184 episodik 587 viseral 646
Norepinefrin 133,158, 525, 565, kronik 587 O
572, 577 patofisiologi 587 Obat
Nortriptilin 133, 655 tatalaksana 588 antiepilepsi (OAE) 58, 87,92,
Nosiseptif 353, 548-550, 552, 623, tipe tegang 525
634, 645,650, 656 diagnosis 582 antiinflamasi non steroid
Nosiseptor 548, 626, 641, 642 gejala klinis 582 (OAINS) 564,638,650,
NOTCH3 211, 489 ldasifikasi 579 antituberkulosis (OAT) 230,
Noxious stimulus 549,552,556 patofisiologi 580 234,236,237
Nucleusprepositus hypoglossi (NPH) tata laksana 584 dayatembus 234,235
292 kronik 564, 604, 606, 637, 648 linisatu 234
Nuldeus leher Obtundation 24
fastigial 292,307,308 diagnosis banding 615- Occip ito -temporo-parietal junction
interstitial Cajal 268 616 308
kaudatus 111, 184, 211, 212, epidemiologi 609 Ocularflutter 308
292 gejala dan tanda klinis Ocular misalignment 285, 295
pulposus 403,626,631 614-616 horizontal 316
salivatorius superior 572 ldasifikasi 611-614 vertical 316
subtalamikus 111, 131 patofisiologi 609-614 Oftalmoparesis 285, 315, 734
vestibuiar/vestibularis 268, red flags 616 Oftalmoplegia 285, 286 679-82,
273 tata laksana 616-620 eksternal 311
Numeric rating scale (NRS) 8, lokal 548, 628, 634 internal 311
560,561, 602, 648, maladaptif 548 internuklear 306
Nutrisi enteral 462,522 miofasia! 614, 628, 629, painful 296
Nyeri neuroanatomi 548 Okludin 240, 324
adaptif 548 neuropatik 549 Oklusi parsia!446
aksial 347,611 diagnosis 602 Oksigen 33,411,416,460,476,580
akut 632, 647 epidemiologi 598 100% 588

774
tndeks

Oksikodon 605,651,652,654 lower motor neuron (LMN) 677 pupil 9,26


Oksimorfon 651, 652 neuromuskular 461 sensorik 9,402,518,688
Dkskarbazepin 87, 606 Paramedian pontine reticular form a­ Pemulihan fungsional 192,359,368,
Oligodendroglioma 324, 327-9, 331, tion (PPRF) 291, 294, 306, 307 514
342 Paramiotonia 724, 727, 730, 737 Penamaan 171
Dligodendrosit 136, 249, 259, 261, Paraneoplastic motor neuron disease, Penapisan delirium 54
324,491 lihat motor neuron disease Pendekatan klinis 3,312,337
Dligoklonal, pita, lihat pita oligok- Paraneoplastik, lihat sindrom Penetrating artery 477,516,
tmal Parasetamol 521, 575, 584, 650, 656 Penetrating vessels 477
Dmnipause neuron 292, 294 Parent artery 477 Penggantian opioid 652, 654
One and a half, lihat sindrom Paresis Pengguna opioid baru 651
Dnkogenesis 324 nervus III 308,311,313 Pengguna opioid rutin 651,652,
On-off, fenomena, lihat fenomena komplet 313, 317 Penghambat 68, 578
Dokista 244 terisolir 311,312,317 Beta 578
Open-mouth odontoid 407 nervus IV 297,313,316 kanalkalsium 578
Operkulum parietal 551 nervus VI 286,297,314,318 monoamin oksidase (MAO) 68
Opioid 552, 564, 604-7, 650-6 Parietal eye field (PEF) 292 Pengkodean 152,183
lepas cepat (immediate release) Parkinson 109 Pengulangan 159,168,185, 220
654 anatomi 110 Peningkatan
switching, lihat penggantian diagnosis 121 enzim transaminase 236
apioid diagnosis banding 121 tekanan intrakranial 36
Opioid-naive, lihat pengguna opioid epidemiologi 110 epidemiologi 36
aaru gejala dan tanda ldinis 115 gejala dan tanda klinis 39
Opioid-tolerant, lihat pengguna Idiopatik 109 patofisiologi 36
apioid rutin patofisiologi 112 tata laksana 42
Optokinetic nystagmus (OKN) 300 plus, lihat sindrom Pentobarbital 104
Optokinetik 290,300 primer 109 Penumbra 366,456,457,458,512
Oral Reading fo r Language in Aphasia tatalaksana 121 Penumbra system 512
(ORLA) 376 Parkinsonisme 68,109,121,122, Penurunan kesadaran 16-34
Organized stroke care 368 216 diagnosis 30
Oropharyngeal airway 398,407 Parkinson ism-hyp ernirexia syn drome diagnosis banding 32
Ortosis 371, 722 (F|HS) 68 gejala dan tanda klinis 20
0s petrosum 274 Parks-Bielschowsky three steps test, anamnesis 20
Osilasi okular 304 lihat tes onset 20
Ostlopsia 276 Paroksismal hemikrania 586,588 klasifikasi 31
Osmoterapi 400,461,521 Parsonage turner syndrome 712 pemeriksaan penunjang 30
Osteoklas 344, 643, 644, 656 Partial on response 130 tata laksana 33
Osteoporosis 631 Partner approaches 376 Penyakit
Otokonia 273, 276, 280 281 Parvocellular reticular formation 112 Binswanger 211,213,481,490
Otorea 22,395,396,433, Pascatransplantasi 62,63, 64 degeneratif 31,110,195, 201,
Otorrhea, lihat otorea Peak dose dyskinesia 130 270
Otot Pediatric migraine disability assest- Ehlers-Danlos tipe IV 530
ekstraokular 287,295,315 ment (PedMIDAS) 574 Fabry 480, 481
hamstring 710 Pedikel 344, 624, 644, 692 ginjal polikistikautosom domi-
Pedunculopontine nucleus (PPN) 112 nan (PGPAD) 530
P Pelemas otot, lihat obat pelemas otot Kennedy 733,759
PainDetect 602, 603 Pelvic outlet 710,712 Meniere 274, 276
Painfulface scale 602 Pembedahan 722, 723 neuromuskular 66, 735
Paliatif 332, 335, 355 primer, pada pleksopati 722 neuron inldusi filamen menen-
Palidotomi 131,132 sekunder, pada pleksopati 723 gah 216
Palidum 112 Pemeriksaan Penyangatan
Pannecrosis 491 cover uncover 297,429 meningen 242
Papiledema 29, 39, 505, 511 fungsi luhur 9, 90, 94 pada daerah basal 232
Parafasia 169,179,185,188 keseimbangan dan koordinasi 9 Penyekat kanal kalsium, lihat peng­
Parafrase 187 motorik 9, 405, 666 hambat kanal kalsium
Paralisis nervus kranialis 9 Peptida 485,572
agitans 109 neuropsikologi 219 Ap 485
Klumpke, lihat sindrom otonom 9, 518 intestinal vasoaktif 572

775
Buku Ajar Neurologi

Perctitaneus endoscopic Pleksopati Presenilin


gastrotromy(PEG) 522 anatomi 706, 708 (PS)1 206,483,486
Perdarahan brakialis 717, 720 (PS)2 206,483
batangotak 269 diagnosis 720 Presinkop 267,271,671,
epidural 389 diagnosis banding 647, 666 PRIAMO (parkinson and non motor
hemisfer 31 epidemiologi 706 symptoms) 118
intraserebral (PIS) 482,514 etiologi 711 Primary lateral sclerosis 757
intraventrikular 390, 521, 535 gejala dan tanda klinis 717 Primary progressive aphasia 202,
lobar 483,484,488, 510, 525 infraklavikular 215,217,221, 375
mikro 209,211,477 lesi di fasikulus lateral Agramatik 220
parenkim 503, 505, 510 719 Primary progressive multiple sclerosis
perimesensefalik 536 lesi di fasikulus medial (PPMS), lihat multipel sklerosis,
pontin 22,32 719 subtipe
serebelar 32, 488 lesi di fasikulus posterior Prisma
subaraknoid 390, 527 719 Fresnel 316, 317
diagnosis 535 lumbosakral 719 Permanen 316, 317
etiologi 528 patofisiologi 715 Probable migrain 571
gejala dan tanda klinis prognosis 723 Probable TAC 586
532 radiasi 714 Prodromal 113,195, 274, 573, 574
patofisiologi 528 supraklavikular Progesteron 331
tata laksana 539 tata laksana 722 Progressive amyotrophic diplegia 757
subdural 394 Pleksus Progressive bulbar palsy (PBP) 757
subhialoid 29,533 Batson 50, 343 Progressive multifocal leukoencepha-
Perencanaan 174,176,213,217,423, brakialis 706, 710 lopatby 254, 255, 752
Periaqueductal gray (PAG) 550 koroid 45, 234, 240,329, 337 Progressive muscluar atrophy (PMA) 757
Periependimal 260 lumbal 708,712, Progressive nonfluent aphasia 217
Perihematomal 517 lumbosakral 693,706,710-714 Logopenic 217
Perindoprii Protection /(gainst Recur­ sakral 710 Progressive Supranuclear Palsy (PSP)
rent Stroke Study (PROGRESS) 489 Pleositosis 232, 261, 263 68,109, 202, 216, 217
Perineural 703,715,716,717 Polifasik259, 687, 736 Proldorperazin 576, 653
Perioral 88,139,143 Polimiositis (PM) 729-731, 737 Proksimitas 366
Perisylvian 170,184,188,189 Poliomielitis 685, 759 Promoting aphasias’ Communication
Periventrikuler 253 Poliradikulopati diabetik 714 Effectiveness (PACE) 376
Perseverasi 178, 218 Polisitemia sekunder 454 Propanolol 128, 578
Persistent vegetative state 32 Polymerase chain reaction (PCR) 50, Propentofilin 214
Pharyngeal-cervical-brachial weak­ 52,232, 246 Propofol 67,69,70,104,400,463,
ness, lihat sindrom Guillain-Barre Post herpetic neuralgia (PHN) 598 523
Pick cells 215 Post-concussion syndrome 424 Proprioseptif 4
Pictorial scale 602 Postdromal 574 Proprioseptive neurom uscular facili­
Pill-rolling tremor 116 Post-seizure state 31 tation (PFN) 372
Pipa nasogastrik 34,416,462,519, Posttraumatic amnesia (PTA) 422, Proptosis 296,302,303,427
522 Posttraumatic epilepsy, lihat epilepsi Propulsi 118
Pirasetam 191,192 pascatrauma Proses
Pirau ventrikuloperitoneal 236, 333, Posttraumatic positional vertigo 433 akselerasi-deselerasi 419,
390,511 Posttraumatic seizure (PTS) modulasi nyeri 551, 552
Pirazinamid 234, 235, 236, early 436-437 persepsi nyeri 552
237 immediate 436-437 pikir 213,419,422,424
Piridostigmin 750,751 late 436-437 transduksi nyeri 551
Pirimetamin 246, 247 Postur simian 116-117 transmisi nyeri 551
Pita oligoklonal 253,254.261-3 Posturing 368,372 Prosesus
Plak Pramipeksol 123,127,129,133 spinosus 345,407,616,624,
Aterosklerosis 446,455 Prednisolon 65, 264, 412, 589, 751- 625, 628
Neuritik 206 752 transversus 624, 625
Senilis 197 Prednison 673, 703, 751-752 Prosopagnosia 163
Plasma exchange, lihat plasmaferesis Pregabalin 141,566,604-607,655, Protease 457, 529, 632, 642
Plasmaferesis 263-264,685-686,751 671, 704, 722 Protein
Pleksitis lumbosakral idiopatik 712, Prekursor opioid endogen 552 amiloidtipep 482,486
714 Premotorik 114,119,367 C-reaktif 594

776
Indeks

tau 198, 206, 216, diagnosis 697 bihemisfer 367


7rothrombin complex concentrates diagnosis banding 703 Reperfusi 447, 456
PCC) 524 epidemiologi 696 Repetisi 169,188
’rotoonkogen 324 etiologi 697 Repetitive nerve stimulation (RNS]
’rotrusi diskus 614,625,697,703 patofisiologi 697 750, 753,
Pruning synapses 368, tatalaksana 703 Repetitive tapping 117
^runing-relatedsprouting 364, 365 Radiofrequency electrocoagulation 592 Repetitive trancranial magnetic
’seudohipertrofi otot 728, 739 Radiosensitizer 335 stimulations 368, 377
’seudotumororbita 315,506,594 Radiosurgery 131,334,592 Rerata tekanan darah arteri 37,518
’sikosis 63,118,190 Radioterapi 334, 352, 645, 656, Rescue therapy, lihat terapi
’sikotik 212 Range o f motion 614,635 Reseksi luas 334
Psychogenic unresponsiveness 32, 70 Range o f movement 116, 300 Reseptor
>tosis 142,296,308,311,315,679, Rangsang nyeri 23, 24, 29 asetilkolin 315, 741-743, 745
>81,744 Raphe interpositus nuclei 294 nosiseptif 548, 551
7utse oximetry 21 Rafemagnus 552 Resistensi 232, 234, 303, 372,459,
’ungsi lumbal Rasagilin 123,127,129,132, 670,
alatdanbahan 48 Rasio glukosa CSS 51, 52, 232, Respons motorik terhadap nyeri 25,
indikasi Rawat bersama 53 29,35
diagnosis 46 Reactive oxygen species (ROS) 63, Responsivitas COz 43
terapi 46 386, 387 Resting tremor 116
kontraindikasi 46 Reaktivasi infeksi 240, 243, 244 Restriksi 303,353,439,491,544
komplikasi 46*47 Rebleeding 486, 536,540 Retensi
prosedur Rebound phenomenon 333 alvi 4, 518
lokasi insersi 48 Recall 151,155,156,178, 423 uri 4,128,349,370,415,417,518
’upil Recombinant tissue plasminogen Retinitis retrobulbar 235
asymmetric pupils 27 activator (rTPA) 463,488, 542 Retraction ball 362
fixed, dilated pupils 26 Reemerges tremor 116 Retraksi kelopak mata 302,303
fixed, midsized pupils 26 Refleks Retrieval 152,155, 373, 374,423
pinpoint pupils 26 cahaya 308,426 Retropulsi 118,122
Marcus Gunn 426 Cushing 393, 399 Reverse straight leg raise test, lihat
thalamic pupils 26 kornea 429, 518 tes
Pupil involvement 311,313,315 okulosefalik 27,29,40 Reversible posterior leukoencepha-
Pupil sparing 311,313,314,315 okulovestibular 28, 34,40 iopathy 63
’using berputar 8, 275,435 pupil 25,40,411 Rey-Osterrieth complex figure test
’utamen 111,113,516,517,536 spinal29,404 154,162
vestibulookular, lihat refleks Rhinorrhea, lihat rinorea
okulovestibular Rifampisin 232, 234-237
Quality o f life 334, 604 Regenerasi Rigiditas
Questionnaire abberant 140 roda gigi {cogwheel) 13,116
McGill pain questionnaire 561, abortif 363, 365 Riiuzole 759
562,602 bonafide 365 Rinorea 22, 395, 396, 425
Migraine screen questionnaire neuron 123, 359 Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
(MS-Q) 574 Regression o f cerebral artety stenosis 149, 323,383,452,514
Neuropathic pain questionnaire (ROCAS) 497 Risiko preoperatif 58
(NPQ) 602 Rehabilitasi kognitif 425 Rituksimab 264
Nonmotor symptom question­ Reinervasi 365,366,674,722,756 Rivastigmin 133, 208, 214,424
naire 118 Rekognisi 106,203,424 Rongga perivaskular 479,489
Rekombinan faktor Vila 441,524 Rood 371
3 Relapsing remitting multiple sclerosis Rostral interstitial medial longitudi­
Racoon eyes 22, 396,399 (RRMS), lihat multipel sklerosis nal fasciculus (riMLF) 268,294,295
3adiasio optika 16, 326 subtipe Ruang subaraknoid 37,45,287,310,
ladikal bebas 199,206,386,457, Relearningl92, 359 390,507, 527
158 Renjatan Ruptur aneurisma 528,531,536-
ladiks neurogenik 402,411,413 538, 540
dorsalis 706, 708 spinal 402,404,405,410
ventralis 706, 708 Reorganisasi S
ladikulopati lokal 366 Saccade palsy 286
anatomi 691 somatotropik 366 Sacral sparing 402,403

777
Buku Ajar Neurologi

Saddle anesthesia 349, 635, 702 Serotonin norepinephrine reuptake Miller Fischer 678
Sakadik inhibitor (SNRI) 133, 564,566, 577, MND-demensia 757
dismetria 286, 307 604 nyeri kanker 641
gangguan 286, 292, 304, 307, Serum penanda tumor 352 nyeri miofasial 628
308 Serum transaminase 237 one and a h a lf 304-307
memory-guided 292, 308 Shifting o f idea 213 paralisis Klumpke 718
prediktif 292,308 Short-lasting unilateral neuralgiaform paraneoplastik 45
refleks 292 headache attacks (SUNCTJ 586,588 Parkinsonism-Plus 109
vohmter 292 Shoulder abduction reflief sign, Iihat serotonin 68
Sakulus 272 tes abduksi bahu shoulder hand 372
Salin hipertonik 43,400,439 Shoulder hand syndrome, Iihat spinalis anterior 403
Saltatory conduction, Iihat konduksi sindrom spinalis posterior 403
lompatan Shuffling gait 118 spinalis sentral 403
Sandbag 408 Sianosis 21, 556 Single fiber electromyography
Santo krom 50 Sicard's sign, Iihat tanda (SFEMG) 750
Sawar darah otak (SDO] 51,78,234, Sign, Iihat tanda Sinkinesia 139,141
324, 456,491, Siklus bangun tidur 32 Sinkop 19,447
Schwannoma 328,332,341,342, Silent infarct 61,209 Sintaktik 169-171
711 Simpatomimetik 26,105 Sinus
Secondary insult, Iihat kerusakan Sindrom anterior inferior 501
sekunder antifosfolipid 501, 506 dura 501
Secondary Prevention o f Small Sub­ Anton 184 kavernosus 501,502
cortical Strokes (SPS3) 496,497 areapostrema 260 lateral 501,502
Secondary progressive mulitple sclero­ Balint 184 oksipital 501, 502
sis (SPMS), Iihat multipel sklerosis Bernhard-Vulpian 757 petrosalis
subtipe Brown-Sequard 403 inferior 501,502
Sel Bruns-Garland 714 superior 501, 502
punca 131 Erb-Duchenne 717 posterior superior
Schwann 136, 678, 679 faset servikal 613 sagitalis
stromal 641, 644, 645 flail arm 757 inferior 501-503
target 361,362, 365, 366 flail leg 757 superior 501-503
Selegilin 65,123,127,129 Gertsmann 212 transversus, Iihat sinus lateral
Selekoksib 651 Guillain-Barre Siriraj, Iihat skor
Selective serotonin re uptake inhibitors Bickerstaff's brainstem en­ Sirkuit
(SSRF) 133,214,221,564,606,704 cephalitis [BBE] 682 Frontal 420, 421
Semi-koma 23 diagnosis 682 medial frontal-subkortikal
Semiologi 85, 86, 88,91-93 diagnosis banding 685 anterior 420,421
Sendi epidemiologi 677 orbitofrontal-subkortikal
faset 613, 624 kelemahan bifosial dengan lateral 420,421
sakroiliaka 627, 628, 630, 634, parestesia 681 Papez 152
712 neuropati ataksia akut prefrontal-subkortikal dorsolat­
Sensasi berputar 273 682 eral, Iihat sirkuit frontal
Sensitisasi oftalmoplegia/ptosis/mid- Sistem
perifer 549, 580, 599 riasisakut 681 noradrenergik 17,552
sentral 549,573,580,599,604, patofisiologi 677 opioid 552
623,642, 645 pharyngeal-cervical-bra­ saraf
Sensory enhancement techniques 370 chial weakness 681 perifer 7, 663, 667
Sentrifugasi 50, 232 prognosis 686 simpatis 413,434,438
Serabut SGB hiperrefleks 680 otonom 663, 667, 683
A-delta 549-551,553,722 SGB paraparesis 681 serotonergik 552
C 550,559,722 tata laksana 685 sinus serebral 45,501,502
sarafaferen 549,550,552,553 terkait pengobatan 680 ventrikel 42, 516, 527
Serebelum 7, 39, 267, 268, 290, 292, Horner 4, 310, 494 vestibular 272
307, 469 Kearn-Sayre 315 Sisterna
Serikonsep 213 kompartemen gluteal 712,714 interpedunkulus 531
Seroprevalensi 243 Lambert-Eaton 751 kuadrigeminal 531
Serotonin 420,564-566,572,577, lobus frontal 14 Sitokin
656 medula spinalis 403 cederakepala 436
Indeks

demensia Alzheimer 199 (STRIDE-PD) 128 diagnosis 459-460


edema peritumoral 324 Standardfo r reporting vascular diagnosis banding 459-460
kriptokokus 240 changes on neuroimaging (STRIVE) epidemiologi 452-453
miopati 725 479 gejala dan tanda klinis 458-459
multipel sklerosis 259 Status epileptikus (SE) 79,80,83,98 patofisiologi 453-458
neuromielitis 250 epidemiologi 99 tatalaksana 460-473
nyeri kanker 643 etiologi 99-100 Stroke mimic 445
Sitologi 50, 352 simtomatik 99 Stroke Prevention by Aggressive
Skala kriptogenik 99 Reduction in Cholesterol levels
Jankovic 142 klasifikasi 98 (SPARCL) 496,497
koma Glasgow (SKG) 9, 23, komplikasi 100-101 Stroke-like syndrome 328
24, 392 konvulsif 98 Struktur peka nyeri 39,569,632
Skew deviation 296,301,304, nonkonvulsif 98 Stupor 19,24,25, 535
Skor patofisiologi 100 Subakut-kronik 230, 239, 434
ABCD 448 prognosis 105 Subcortical white matter 478,490
disabilitas GBS, lihat G8S dis­ tatalaksana 102-104 Subcortical-cortical loops 212
ability score Status migrenosus 571, 576 Subkortikal 211-213,420-421
Hunt and Mess 534-535 Stenosis SubstansiP 100,113,550,572,587,
iskemik Hachinski 213 Karotis 60, 61,468 626
preoperatif 56 spinalis lumbalis 631 Substansia
stroke Stent retriever 465,466, 472,473, alba 17, 209, 211, 253, 260, 263
Djunaedi 518 512 nigra 112, 289
GajahMada 518 Stereotactic radiotherapy 334 pars kompakta (SNc) 13,
Siriraj 518-519 Steroid 42, 242, 247, 334,353,413, 109,111-14
World Federation o f Neurologi­ 704, 722 pars retikulata 111,113,
cal Surgeons (WFNS) 534 Stimulus 292
Skrining aspirasi 369 nosiseptif 549 Substraksi 7 berantai 158
sleep-wake cycle, lihat sikius tidur Stimulasi Sudden off, lihat fenomena
bangun nervus vagus (SNV) 87,88 Suhu 21,462,521
Small perforating arteries 478 sensoris multimodal 371 Sulfadiazin 246, 247
Small vessel disease 211,213,448, Stocking Sumatriptan 576, 588
476,497 anti trombotik 372 Superficial middle cerebral vein 501
Smooth pursuit 286, 290 Stocking-and-glove 668 Superior oblique myokimia 285
gangguan 308-309 Storage disease 730, 738 Supernumerary collaterals 364,365
direksional 308, 309 Strabismus 286, 316 Superoxide dismutase 1 (SOD1) 756
kraniotopik 308, 309 Straight leg raising test (SLR), lihat Supersensitifitas denervasional 362
retinotopik 308. 309 tes Supplementary eye field (SEF) 292
Sodium valproat 578-579 Straight sinus 501, 502, 503, 505 Supplementary motor area (SMA)
Somatognosia 164-165 Streptomisin 234,235, 237, 280 184,186,189, 367
makro- 165 Striatal hand 117 Supranuklear 285-92, 304
mikro- 165 Striatal toe 117 Swimmer's position 407
Somnolen 9, 23, 519 Striatopalidal 112,113 Synaptic stripping 362
Sorbitol 453 Striatum ventral 111 Syndrome o f inappropriate secretion
Spasme 83,139, 634 String sign 507 o f antidiuretic hormone (SIADH)
Spastisitas 372 Stroke 59-62,69,445-449,452-473, 235,438-439, 544
Spinal bulbar muscular atrophy 759 514-526 diagnosis 438-439
Spinal cord injury without radiologi­ Stroke diagnosis banding 438-439
cal abnormality (SCIWORA) 408 perioperatif 59-62 gejala dan tanda klinis 438
Spina/ muscular atrophy 759 preoperatif 69 patofisiologi 438
Spine board 405,408,409,411 Stroke hemoragik tata laksana 439
Spondilitis tuberkulosis 629,630 diagnosis 517-519 Syok 6,31, 398,408,409
Spondilosis 612, 620, 697 diagnsosis banding 517-519
Sprouting aksonal 365 epidemiologi 514-515 T
Spur 613 gejala dan tanda klinis 516-517 T helper 1 (Till) 250,251
Spurling, lihat tes lobar is 516 Tahap
Square wave jerk 308 patofisiologi 515-516 fluktuasi, Meniere 277
Stalevo Reduction in Dyskinesia tata laksana 519-526 neural, Mgnilre 277
Evaluation in Parkinson Disease Stroke iskemik

779
Buku Ajar Neurologi

Takizoit 244 tidak berhubungan dengan hitung 749


Talamik-subtalamik paramedian 112 nyeri tekan perikranial ice pack 302,750
Talamokortikal 112-113,131 579 kalori 28,29,32,433
Talamotomi 131,132 kronik kemampuan menelan 369
Talamus dengan nyeri tekan perikra­ Laseque 700, 701, 719
pedunkel anterior 212 nial 579 Lhermitte 699
ventral posterolateral 550 tidak berhubungan dengan maddoxrod 297
ventromedial 212 nyeri tekan perikranial orientasi dan amnesia Galvas-
Tanda 579 ton (TOAGJ 423
asymmetric target 245 probable 580 Parks-Bielschowsky three steps
battle 14, 32, 386, 396 Teori test 296
Bragard's 701 neurovaskular, pada mtgren rentang digit 159,178
cord 507 571 digit maju 159,178
dense triangle 507-508 nuklear/sentral 137 digit terbalik 159,178
direct 507-508 perifer 137 rest 302
empty delta 507-508 vaskular, pada mtgren 571 reverse straight leg raise test
empty triangle 507-508 Terapi 636
Gowers 728 abortif, mtgren 575-576 Spurling 699
Halo 396 bridging therapy 62, 65 straight leg raising test, lihat
Hyndman’s 701 direct swallowing therapy 370 Tes Laseque
Indirect 507, 508 constraint-therapy test o f skew 270,301
jump 629 constraint-induced aphasia uncover test (cover-uncover)
Kernig 701 therapy (CIAT) 374 297
lesi intraorbita 302-303 constraint-induced lan­ upper limb tension test 700
peek 302 guage therapy (CILT) 374 Wartenberg 749-750
rangsang meningeal 26 constraint-induced move­ The Global Burden o f Disease Study
Sicard's 701 ment therapy (CIMT] 374 110
String 507 fisik 566, 585, 617, 637-639 Thermal tactile oral stimulation 370
von Graefe 303 iPad-based speech therapy ThioflavinS 487
winking owl 350 376-377 Thoracic outlet syndrome 712
Tapering o ff 333 melodic intonation therapy Threshold o f neuronal death 456
TAR DNA-binding protein 43 (TAR- (MIT] 374-375 Thunderclap headache 532,593
DBP) 756 modalitas bahasa 373-374 Thyroid eye disease (TED) 315
Tardive dyskinesia 140 neurointervensi 464-467 Tic douloureux 589
Target availability 366 neurologic music therapy (NMT) Tightjunction 240,324
Targeted therapy 264,355 375 Tiks motorik 140,141
Taut saraf otot 733, 741-743 nonedikamentosa, migren 576 Timektomi 746, 751
Tuberkulosis milier 230, 232 okupasi 354,417,566 Timolol 67,578
Tekanan perilaku 566, 606 Timoma 745, 749
darah 524, 534, 539 perilaku kognitif 566 Tingkat toleransi nyeri 548, 549
intrakranial 36-44 radiasi 531, 641 Tinitus 276,277,433,435
pembukaan, pungsi lumbal 46, rescue 132 Tintaindia 50,52,241
49, 243 reposisi kanalit 280-283 Tiopental 104
vena sentral 411,461,522,543 target 264,355 Tirah baring 368,540
Telangiekstasis 22 vestibular rehabilitation Tiroid oftalmopati 315,316
Temozolamid 334, 335 therapy 270 Toksin botuiinum (BoNT) 133,
Tendon transfer 723 Termometer nyeri 602 141-144
Tension-type headache (TTH) 579- Tes dosis 143
586 abduksi bahu 700 Toksoplasmosis 242,244-246
frequent alternating cover test 297 Tonus phenomenon 139
dengan nyeri tekan perikra- cover test (single cover) Topiramat 89, 92, 279,579
nial 579 297cover uncover 297 Towel roll 408,409
tidak berhubungan dengan cross cover 297, 298 Toxoplasma encephalitis (TE) 243-
nyeri tekan perikranial distraksi leher 700 247
579 graded naming test 171 Toxoplasma gondii 244
infrequent head-impulse test 276 Trakeostomi 410, 411,460
dengan nyeri tekan perikra­ head-roll test 276 Traksi servikal 618,703,704
nial 579 Hirschberg 297, 298 Traktus

780
Indeks

neospinotalamikus 550 diagnosis 506-510 tensilon 750


paleospinotalamikus 550-551 diagnosis banding 506- Ulkus decubitus 34-35, 68, 372,
spinoretikular 550 510 413-414
spinotalamikus 16, 348, 550- epidemiologi 500 Ultrasonografi
553, 599-600 gejala dan tanda klinis dupleks 140,510
vestibulospinal 268 503-505 Unfractionated heparin, lihat heparin
Tramadol 511, 604-606, 652, 656 patofisiologi 501-504 United Kingdom Parkinson's Disease
Tranquilizer 463,523 tata Ialtsana 510-512 Society Brain Bank 109,121-122
Transcraniai doppler (TCD), lihat Trombotik 453,454,481 Unpredictable off, lihat fenomena
Doppler transkranial Trombus 446,455, 507-508,511 Upward gaze palsy 217
Transcraniai magnetic stimulation Trunkus Uremia 19,22,31,101
(TMS) 131,193, 368, 367, 377, inferior 706-707, 709, 718-721 Utrikulus 272-274,280-281,433
Transcutaneus electrical nerve stimu­ medial 706-707,709,720-721
lation (TENS) 704 superior 706-707, 709, 717- V
Transesophageal echocardiography 718, 720-721 Vascular cell adhesion molecule
69 Tuberkuloma 227-228,230-232, (VCAM) 725
Transient global amnesia 448 246 Vascular cognitive impairment (VCI)
Transient ischemic attack (TIA) 445 Tuberkulosis, infeksi 227 214
diagnosis 447 diagnosis 232-233 Vascular endothelial growth factor
diagnosis banding 447 diagnosis banding 232-233 (VEGF) 324,335,642
epidemiologi 445 epidemiologi 227-228 Vaskulitis 227,480,501,714
gejalaklinis 447 gejala dan tanda klinis 230-232 Vaskulopati 480-481,488-489
patofisiologi 446 komplikasi 235-237 Vasodilatasi 515, 571-572, 643, 722
prognosis 449 patofisiologi 228-230 Vasodilator 42,541, 543, 587
tatalaksana 449 tatalaksana 233-236 Vasokonstriktor 63
Transneuronal 362 Tuli perseptif 4 Vasopresin 101,439
Transpor Tumor Vasopresor 103,113,414-415,461
air 258 cerebellopontine angle 13,138, Vasospasme 531,541
akson 670, 756 590 Vena
Traumatic perilymph fistula 433 hipofisis 328,330,333, 533 basal Rosenthal 501
Traumatic optic neuropathy 426 otak primer 323-335 greater anastomotic vein, lihat
Tremor diagnosis 327-329 vena Troiard
intensi 13 diagnosis banding 327- insula 501
istirahat 13,116,122 329 kapiler 477-478
Trias Cushing 39 epidemiologi 323 medularis 501
Trigeminal autonomic cephalalgias gejala dan tanda klinis profunda 501,510
(TAC) 586 324-327 rolandik 501
Trigeminovaskular 572, 587 klasifikasi 329-332 serebri magna Galen 501, 503
Trigger point 576,582,590, 612,620, patofisiologi 324 striata 501
629 tatalaksana 332-335 subependim 501
Trigonum femoral 708 pineal 330-331,334,328 superfisiai 500-501
Triheksifenidil 67,124,128 serebelum 333 Troiard 501
Trimetoprim-sulfametoksazol (TMP- spinal 51,337- Venereal disease research laboratory
SMX) 246-247 diagnosis 349-352 (VDRL) 50
Triple H 539-544 diagnosis banding 349- Venlafaxin 578
Tripod position 744 352 Venous collagenosis 477,480-481,
Triptans 576 epidemiologi 337-338 490-491
Trojan horse 240 gejala dan tanda klinis Ventilator-associated pneumonia
Trombektomi mekanik 464-466, 512 346-349 (YAP) 416
Tromboemboli 446,506,523-524 klasifikasi 338-343 Ventriculo-peritonea! shunt (VP
Trombofilia 501,506,512 patofisiologi 343-346 shunt), lihat pirau ventrikuloperi-
Trombolisis tatalaksana 352-354 toneal
intravena 463-465,468, 472 Tumor necrosis factor-a (TNF-a) 229, Ventrikel
intraarterial 464-466 240, 642-643 keempat 39,45,47
Trombosis ketiga 45,152
Septik 499,508 U lateral 45
vena dalam 416, 460,471, 518 Uji Ventrolateral tier 113
vena serebral prostigmin (neostigmin) 750

781
Buku Ajar Neurologi

Verapamil 578, 589 Vicariation 366 Warfarin 440, 467-468,511


Verbal scale 602 Vili preoperatif 61-62, 65
Vertigo araknoid 25 Warning leaks 533
non vestibular 267 subaraknoid 240 Watershed area 478
paroksismalbenignapadaanak 571 Virchow Robin space 489,491 Wearing off, lihat fenomena
vestibular Virus Wernicke, lihat afasia
perifer 271-283 Epstein-Barr (EBV) 249,678,715 West Nile Virus, lihat virus
diagnosis 269-270 JC (John Cunningham) 254 Whiplash injury, lihat cedera
diagnosis banding 278 West Nile 715 Wide dynamic range neurons, lihat
epidemiologi 270-271 Visual action therapy (VAT) 375-376 neuron
gejala dan tanda Visual analog scale (VAS) 559-561, White matter 211,263
klinis 275-277 602, 616, 648 White matter hyperintense lesions
patofisiologi 272 Visual evoked potential (VEP) 253,426 495
tatalaksana 279-283 Visuokonstruksi 160,179, 422 White matter lesion 477-479,481,
sentral 267-270 Visuospasial 161,166 482,489-494
diagnosis 270 Vitamin D 123,129,249,731 WHO stepladder 567, 649-650
diagnosis banding 270 Vitamins to Prevent Stroke Winking owl sign, lihat tanda
epidemiologi 267 (VITATOPS)-MRI 479 Working memory, lihat memori
gejala dan tanda Von Graefe, lihat tanda
klinis 269-270 X
patofisiologi 268-269 W Y
tatalaksana 270 Waiter's tip position 717 Z
Vestibular rehabilitation therapy, Wakefulness, lihat keterjagaan Ziehl-Neelsen 232
lihat terapi

782

Anda mungkin juga menyukai