Anda di halaman 1dari 16

Bermain-main dengan Kebenaran Sejarah:

Kontestasi Kedudukan dan Produksi Sosial Narasi Awal Mula

Geger Riyanto
Koperasi Riset Purusha
Email: geger255@gmail.com

Abstrak

Dalam pemahaman umum, kebenaran adalah hal yang lekat dengan kemasukakalan. Asumsi ini pun
mempengaruhi satu tren pemikiran dalam antropologi sebagaimana terlihat dari adanya kecenderungan
di antara beberapa pengkaji untuk menyejajarkan cara kerja mitos dengan ilmu pengetahuan atau
memperlakukan subjek kajian sebagai pihak yang rasional dan terobsesi memecahkan kontradiksi.
Berkaca dari dua kasus yakni mitos asal-usul orang Buton di Pulau Seram dan diskursus Indonesia
peradaban tua, saya ingin mengajukan bahwa pondasi kebenaran sejarah dalam konteks sosial
bukanlah semata koherensi atau plausibilitasnya melainkan juga faedahnya untuk mengangkat atau
mempertahankan harkat satu kolektivitas di antara kolektivitas-kolektivitas lainnya. Perbandingan
saya memperlihatkan hal ini berlaku, menariknya, baik pada komunitas etnisitas maupun komunitas
kebangsaan. Kebenaran sejarah mereka, artinya, akan sulit untuk benar-benar dipisahkan dari klaim
politis yang disampaikan atau disampaikan ulang di tengah-tengah kontestasi para pelaku kehidupan
sosial. Kerangka berpikir bermain yang dicetuskan oleh Johan Huizinga ditemukan pula sangat relevan
menggambarkan situasi ini.

Kata kunci: Kebenaran sejarah, mitos asal-usul, kontestasi, kemasukakalan, Buton, Indonesia
peradaban tua

Abstract

In common understanding, truth is inseparable from plausibility. This particular notion had
influenced a strand of thinking in anthropology as well. This is evident from the inclination of some
notable scholars to draw parallel comparisons between myth-making and scientific inquiry or depict their
subject as a rational being predisposed toward overcoming contradictions. Reflecting on the myths of
origin of the Butonese people in Seram Island and the notion of Indonesia as ancient civilization, I would
like to propose that in social context the foundation of historical truths is never simply their coherence
or plausibility but also their benefit in exalting or defending the prestige of a particular collectivity
among the others. The comparison carried in this paper shows that this tendency, interestingly, applies
to both ethnic and national communities. Their historical truths tend to be inextricable from political
claims articulated and rearticulated amidst contestations with other actors in their social life. Johan
Huizinga’s theory of play also found to be a sound framework in depicting this situation.

Keywords: Historical truth, myths of origins, contestation, plausibility, Buton, notion of Indonesia
as ancient civilization

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 2016 1


“Apa Mas Percaya?” Pendirian yang saya jumpai dari Deddy pun
saya dapati dari warga lain pada kesempatan-
Ketika harus menyelusuri mitos asal-usul kesempatan berbeda. Mereka tak selalu
orang-orang Buton di sebuah desa kantung segamblang Deddy yang menyampaikan bahwa
komunitas ini di Seram Utara, saya didampingi dirinya dituntut percaya dengan asal-usul
oleh seorang anak muda yang bersemangat dan spektakuler komunitas etnisnya karena terlahir
ringan tangan dari desa. Deddy, nama sang dalam komunitas etnis tersebut. Yang biasanya
anak muda, berkuliah di sebuah perguruan terjadi, di tengah-tengah pembicaraan serius
tinggi yang cukup dikenal di Jawa, dan sewaktu perihal mitos-mitos mereka, satu-dua orang tua
saya penelitian lapangan ia tengah menikmati desa yang tengah bercerita berceletuk iseng.
masa liburan sambil bersiap untuk mengerjakan “Tidak masuk akal kan, Mas?” Para orang
tugas akhirnya. Sepanjang menemani saya, ia tua ini, pada satu waktu, bisa mendiskusikan
nampak tak pernah mengendurkan keseriusannya saga pendahulu mereka dari Buton dengan
mendengar para tetua desa menuturkan cerita- sungguh-sungguh. Ketika serius, mereka akan
cerita yang tak habis dalam satu-dua jam. Untuk menandaskan berapi-api bahwa kebenaran
beberapa waktu, saya hanya bisa menerka ia asal-usul orang Buton ini telah disembunyikan.
antusias dan terpikat dengan cerita-cerita yang Orang-orang Buton, yang sejatinya bukan
didapatinya. pendatang baru-baru ini, seharusnya mempunyai
Akhirnya, setelah beberapa hari menemani hak atas tanah yang selama ini dikuasai orang-
saya, Deddy mengambil satu kesempatan untuk orang yang mengaku asli Seram. Lantas,
meluahkan isi kepalanya. “Apa Mas percaya berselang beberapa saat belaka mereka meminta
dengan cerita-cerita yang Mas dengar?” tanyanya saya untuk tidak mempercayai narasi asal-usul
kepada saya. Saya tak siap. Saya, tentu saja, tak yang saya dengar karena ceritanya yang terlalu
mudah mempercayai secara harfiah cerita bahwa sukar untuk dicerna dengan akal sehat.
pangeran dari Buton adalah orang pertama Apa yang saya jumpai dalam pengalaman
mendatangi Pulau Seram dengan menumpangi berada di kantung komunitas Buton Seram Utara
batok kelapa dan penduduk lain pulau ini tersebut bagi sebagian orang, dapat dipastikan,
merupakan prajurit yang dibawanya dari tempat akan terasa janggal. Bagaimana seseorang
asalnya. Namun, sewaktu saya masih berusaha atau sekelompok orang bisa mempercayai
meramu tanggapan yang tak menyinggung sesuatu yang bahkan mereka ragukan sendiri
perasaan, Deddy menimpalinya sendiri dengan kemasukakalannya? Bagaimana mereka bisa
jawaban yang tak saya antisipasi. “Tidak masuk menerima saga asal-usul yang sulit mereka
akal ya, Mas.” Kendati demikian, hal yang paling pastikan dapat terjadi secara nyata sebagai
tak terduga bagi saya bukanlah jawabannya kebenaran sejarah? Namun, kala dicermati
tersebut melainkan apa yang diimbuhkan Deddy dengan saksama, kecenderungan tersebut harus
setelahnya. Deddy menegaskan bahwa betapapun diakui mempunyai kesepadanan dengan wacana-
cerita-cerita tersebut tidak masuk di akal, ia wacana yang melingkupi keseharian kita. Di
harus mempercayainya. Alasannya? Dirinya medan wacana nasional, hal yang paling pertama
adalah orang Buton. Ia mempunyai kewajiban terbayang kala idiom “kebenaran sejarah”
moral untuk meyakini bahwa nenek moyangnya tercetus hampir selalu tuntutan mengungkap
adalah sosok yang disegani di pulau ini meskipun tragedi masa lampau yang melibatkan intrik
ia, di satu sisi, tak berbeda dengan saya. Ia pun elite atau rezim yang tengah berkuasa. Satu
bingung bagaimana menjelaskan bagaimana contohnya, tentu, adalah tuntutan mengungkap
peristiwa gaib demi peristiwa gaib bisa terjadi dan sejarah G30S. Contoh lainnya yang juga jamak
akhirnya mengantarkan mengantarkan Pangeran mengemuka adalah pengungkapan dalang
La Ode Wuna menjadi penguasa di Seram. kerusuhan yang banyak menyasar etnis Tionghoa

2 ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 2016


mengikuti krisis 1998. Pembicaraan kebenaran Tujuan Penulisan
sejarah, dalam kedua hal ini, bukanlah sekadar
urusan fakta masa silam atau usaha pencarian Apa yang ingin saya lakukan dalam paper ini,
apa yang pernah benar-benar terjadi waktu itu. karenanya, adalah memperlihatkan bagaimana
Pada saat dihadapkan dengan wacana-wacana ini, dalam kehidupan sosial produksi kebenaran
kita tengah dihadapkan juga dengan situasi alot sejarah bukanlah sebuah proses yang selalu
yang tak absen dari drama, konflik, kontestasi, bisa dipahami dengan memaku pandangan pada
dan tentu saja, pertaruhan harga diri. kemasukakalan atau ketidakmasukakalannya.
Kendati kita tak akan banyak menjumpai Metode yang lazim dipakai di ranah akademik
aktor-aktor yang menggugat klaim sejarah dalam memastikan kebenaran adalah menguji
rezim blak-blakan menunjuk kan mereka koherensinya. Persoalannya, asumsi ini tak
mengambil posisi demikian utamanya karena terkecuali membayangi pula penjelasan teori-teori
mengidentifikasi dirinya bagian dari kelompok antropologi perihal produksi kebenaran sejarah.
yang dizalimi, kebenaran sejarah cukup jelas Apabila kita menengok literatur ihwal mitos
menjadi wahana artikulasi aktor-aktor ini untuk asal-usul yang berkembang dalam antropologi
mengangkat harkat kelompok yang diinjak- (Levi-Strauss 1966), misalnya, aspek yang
injak oleh kebijakan sistematis negara yang selalu menjadi perhatian adalah keteraturan serta
disahkan narasi resmi rezim. Bagi pihak yang kebermaknaan yang disediakan pengetahuan
terposisikan sebagai rezim berkuasa, hal yang bersangkutan. Pengetahuan bersangkutan
sama pun berlaku. Mereka menepis gugatan- bergulir tak lepas karena ia menyediakan
gugatan kepada mereka dengan argumentasi eksplanasi terhadap kesenjangan-kesenjangan
merekalah yang bersandar pada sejarah yang yang dialami insan sosial dalam kondisi
benar. Mungkin hal ini akan terdengar aneh eksistensialnya. Pesan ini sangat terasa ketika
bagi sebagian orang namun, kenyataannya, di Levi-Strauss mengelaborasi sejarah sebagai
Museum Pancasila Sakti terpampang satu papan satu sistem penataan yang memungkinkan apa-
bertuliskan pepatah latin, “sejarah adalah guru apa yang kita cerap dalam kehidupan sosial tak
kehidupan.” Disadari atau tidak, situasi ini berakhir tercerai-berai tak karuan. Kejadian-
tak terlalu berbeda dengan drama kebenaran kejadian, yang tak mempunyai makna apa-apa
sejarah yang menggeluti komunitas Buton di pada dirinya sendiri, berkat imajinasi historis
Seram Utara. Mereka pun, bila kita cermati rekat menjadi satu sekuensi historis—masa
konteks kehidupannya yang lebih luas, terusik silam, masa kini, masa mendatang (hal 256-258).
dengan perlakuan kelompok-kelompok lain di Kita, tentu, tak bisa mengatakan pemikiran
sekeliling yang menganggap mereka tak lebih Levi-Strauss hanya menempati kedudukan
dari pendatang kemarin sore meskipun, dalam minor dalam teori antropologi. Strukturalisme
argumentasi mereka, mereka bekerja lebih keras merupakan paradigma yang pengaruhnya sentral
dari yang lain untuk memperoleh hak yang sama dan bertebarannya literatur otoritatif perihal
sebagai penduduk di tanah tersebut. Dalam mitos, kosmologi, klasifikasi yang mengadopsi
kondisi yang demikian, para warga Buton ini gaya penalarannya menjadi buktinya (Sahlins
mendapati cerita asal-usul bahwa leluhurnya 1985; Andaya 1993; Valeri 2001). Selain itu,
merupakan orang pertama di Seram. Bukan hal kita juga tak bisa melupakan teori yang cukup
yang seharusnya mengherankan bila mereka mempunyai suara dalam diskursus sejarah,
teramanahi mempercayainya, betapapun janggal yang menerangkan sejarah sebagai metanarasi
cerita yang didapatinya. dan ditata mengikuti susunan-susunan tertentu,
Mereka sudah memiliki alasan untuk percaya terinspirasi secara mendalam oleh Levi-Strauss
bahkan sebelum mereka mendengar cerita asal- (White 1973). Artinya, kendati koherensi
usul itu sendiri. merupakan asas pihak pengkaji untuk menguji

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 2016 3


kesahihan pengetahuannya, dalam wacana selaku kebenaran dan, sejujurnya, hal ini
yang berkembang di pihak antropologi kita bukannya tak akan kita temukan di sekeliling kita.
dibiasakan untuk membayangkan pembentukan Sayangnya, agaknya tak keliru untuk dikatakan,
serta pelanggengan kebenaran sejarah di antara saya tak pernah benar-benar dipersiapkan
komunitas yang dikaji sebagai proses yang juga oleh diskursus antropologi untuk menghadapi
berciri intelektual. Orientasinya yakni meredakan komunitas subjek penelitian yang secara terbuka
kontradiksi dalam pengategorian-pengategorian merengkuh “ketidakmasukakalan” kebenaran
para pelaku dan memastikan kehidupan sosial yang dianutnya.
terpahami secara teratur. Melalui beberapa komparasi yang akan saya
D i si si l a i n , ke c e n d e r u n g a n u nt u k ajukan dalam paper ini, saya karenanya ingin
memperlakukan subjek kajian sebagai pihak lebih jauh menyelisik aspek “ketakmasukakalan”
yang rasional pun tak mengherankan apabila kita dalam pembentukan kebenaran sejarah dan
menengok animo yang mencerminkan semangat berharap memperoleh satu rumusan teoretik yang
kajian-kajian antropologi. Tokoh-tokoh rujukan memuat kebaruan tersendiri tentangnya. Secara
sejak lama terus-menerus mengingatkan para khusus, alih-alih plausibilitas, koherensi, atau
penulis agar tidak memperlakukan komunitas kebermaknaan, saya merasa aspek “bermain”
yang dikaji lebih terbelakang dibandingkan mempunyai peranan yang lebih patut disorot dalam
masyarakat Eropa. Bila dikaji pada konteks memantapkan narasi kebenaran sejarah tertentu.
kehidupannya secara utuh, tradisi, kebiasaan, “Bermain” itu sendiri adalah satu elemen yang,
tingkah polah eksentrik yang dilakoni oleh para merujuk kepada telaah ekstensif Johan Huizinga
insan dari komunitas bukan hanya menjadi dapat (1949), mengonstitusi dinamika pusparagam
dipahami melainkan juga masuk akal. Levi- kebudayaan. Ia, memang, belum menjadi
Strauss sendiri tercatat pernah menandaskan satu konsep yang mengisap perhatian banyak
bahwa baik peneliti maupun komunitas yang antropolog, tetapi saya pun belum mempunyai
ditelitinya membangun gugus klasifikasinya alasan untuk mengatakan “bermain” bukanlah
berangkat dari obsesi yang tak berbeda pada aspek yang esensial dalam menggerakkan
satu sisi yakni untuk mengatasi paradoks. perguliran sosial yang menjadi perhatian kita.
Dalam satu kesempatan berangkat dari pikiran Dalam impresi sekelebat sekalipun, kita tak
ini, Levi-Strauss menyebut baik penalaran bisa menampik kentalnya unsur kompetisi baik
“primitif” maupun penalaran modern sama-sama di antara warga Buton dengan kelompok asli
ilmu dan apa yang dicari keduanya sama-sama maupun kubu-kubu yang memiliki narasi sejarah
pengetahuan yang utuh. G30S. Menang atau kalah, unggul atau tersingkir
Namun, saya mengajukan kenyataan bahwa nampak menjadi piala yang menggugah para
kebenaran sejarah tak selalu masuk akal karena, aktor untuk tergulung di dalam medannya.
pada praktiknya, kita tak bisa memaksakan Terlepas Huizinga sendiri tak pernah secara
diri untuk memahami pengetahuan perihal panjang-lebar mengelaborasi topik “kebenaran,”
asal-usul semata hasil dari proses penalaran ia sempat berkomentar begini soal para sofis dan
atau abstraksi intelektual. Kebenaran sejarah retoris (Huizinga 1949:152):
sekalipun, bahkan, kalau kita lihat dari situasi-
Untuk kawula sofis serta retoris pada umumnya,
situasi semacam yang melibatkan Deddy dan kendati demikian, tujuan mereka [berdebat]
para kerabatnya, tak mensyaratkan dirinya bukanlah kebenaran atau hasrat untuk mencapainya
mengemban bobot ontologis tertentu untuk namun kepuasan pribadi karena benar. Mereka
tergerak oleh insting primitif berkompetisi, berjuang
diterima. Satu hal yang menakjubkan dari memperoleh kemenangan.
sikap para warga Buton tersebut tak lain ialah
sedemikian ringan dan leluasanya orang-orang Dan argumentasi dari paper ini, ganjilnya,
menerima dan memperlakukan satu pengetahuan boleh dikatakan, teringkas dalam paparan

4 ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 2016


selintas Huizinga di atas. Kebenaran sejarah di hadapan suku-suku lain. Dalam situasi ini,
satu kelompok muncul sebagai akibat dari kebenaran atau keutuhan naratif sejarah, alih-
kontestasinya dengan kelompok lain. Apa yang alih menjadi sesuatu yang dengan sendirinya
menggugah dan mendorong para pelaku bukan diobsesikan insan manusia beserta aparatus
lagi kebenaran atau kebermaknaannya pada logisnya, lebih patut dikatakan mempunyai
dirinya sendiri melainkan bagaimana diri dapat peranan menyerupai bidak ontologis (Graeber
mengungguli kontestan lain atau menghindari 2013). Sebagaimana sebuah permainan catur,
pihaknya dipermalukan dan direndahkan. ia sekadar pembuka jalan untuk merealisasikan
Kendati konsep permainan Huizinga sendiri tujuan yang dianggap lebih penting, mendesak,
mungkin bukan satu konsep yang menempati mulia bagi pemainnya. Kepaduan, kemasukakalan
kedudukan terpandang dalam perdebatan- dari cerita sejarah, artinya, bukanlah pilar dari
perdebatan antropologi, pada kajian-kajian drama ini melainkan sesuatu yang nantinya
perihal martabat—satu tema yang sangat marak mengetengah kala ia dapat dimanfaatkan untuk
didiskusikan dalam disiplin ini—kita sebenarnya menggugat pihak lawan atau mempertahankan
akan menemukan bahwa martabat merupakan diri. Dengan demikian, saya seharusnya tidak
anasir kebudayaan yang senantiasa dihadirkan takjub bilamana pada momen-momen rileks,
melalui dinamika insani yang mengambil beberapa orang Buton dapat secara komikal
rupa permainan. Mereka yang menjaga kukuh memperlihatkan ketidakyakinannya dengan
martabat komunitasnya lewat beraneka ragam narasi sejarah mereka sendiri. Satu pengetahuan
tindakan dan manuver ekstrem (Baker dkk. tidak menjadi kebenaran tanpa preseden sosial
1999; Parla 2000), misalnya, jelas, bukan semata serta historis. Dan satu pengetahuan yang tak
tersulut untuk melansirnya lantaran semata masuk akal sekalipun dapat menjadi kebenaran
diinstruksikan oleh ajaran kebudayaannya. di tengah-tengah pertaruhan harga diri, harkat
Kebutuhan melakoni tindakan tersebut menguat martabat, privilese.
mengikuti ketakutan akan kehilangan nilai Saya akan menggambarkannya dengan
yang sudah dimiliki oleh diri atau komunitas perbandingan sejumlah kasus. Per tama,
diri. Praktik pemberian, yang menjadi sumber komunitas Buton di Seram Utara.
perdebatan enigmatik dalam antropologi, adalah
contoh lain keakraban tersembunyi disiplin ini Terpikat La Ode Wuna
dengan permainan. Dalam tradisi potlach di
antara orang-orang Kwakiutl, menyitir contoh Mengapa, kini pertanyaannya, menjadi
yang disajikan Huizinga sendiri menariknya, penting bagi komunitas Buton bersangkutan
seseorang harus merelakan kekayaan miliknya untuk berpanutan kepada satu narasi tertentu
dibakar untuk mematri reputasi sosialnya. sebagai kebenaran sejarahnya? Saya sudah
Mereka yang menghamburkan paling banyak sempat menyinggung ini sekilas dan pendirian
pada ajang ini akan menuai martabat yang paling mereka tak bisa dilepaskan dari diskriminasi
harum di antara yang lainnya. yang mereka peroleh sebagai pendatang. Kini,
Dinamika permainan yang ingin ditilik perkenankan saya menjelaskannya dalam konteks
paper ini secara khusus adalah dinamika di utuhnya.
mana martabat sudah bertaut rapat dengan Kampung Talaga, Kampung Parigi, dan Desa
pengetahuan sejarah. Pada situasi di mana Malaku, kantung penduduk Buton di daerah
Deddy hidup, narasi asal-muasal orang Buton, ini, berdiri sebelum paruh pertama abad ke-
yang memungkinkan dirinya mengklaim 20. Beberapa dari penduduk pertama ketiga
komunitasnya juga mempunyai hak asali atas permukiman ini merupakan budak perkebunan
tanah yang ditinggali, menjadi pengetahuan yang kopra yang dibebaskan. Mereka memperoleh hak
baginya menentukan kedudukan kulturalnya kepemilikan atas lahan dari Raja Wahai, Ibu Kota

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 2016 5


Kecamatan Seram Utara, dan sebagian lainnya asli” yang merasa lapangan pekerjaan dan hajat
yang datang belakangan mendapatkan hak untuk hidupnya diserobot.
mengelola dan membagi hasil yang didapat dari Komunitas Buton bersangkutan, artinya,
tanah tersebut dengan keluarga raja. Mereka pun hidup di tengah-tengah pembedaan dengan
membuka perkebunan kopra dan, mendapati kelompok lainnya yang, pada kala tertentu, sangat
usahanya berjalan, para penduduk pertama ini menyakitkan. Pada konteks ini, kita seharusnya
mengundang kerabat Butonnya untuk turut tak sulit menjelaskan mengapa ada satu perasaan
bermukim di tempat ini. yang sama menghinggapi berbagai insan
Orang-orang yang tinggal di permukiman- yang memukimi kampung-kampung tersebut.
per mu k iman tersebut, kecuali sebagian Tatkala mengenang perlakuan yang diterima
yang datang karena menikah dengan warga kelompoknya dari kelompok yang mengaku asli,
setempat atau kerabat dari luar yang terpikat dari satu orang ke orang lain satu penegasan
kesempatan mengail tuna atau bekerja di yang secara seragam mengemuka adalah mereka
pabrik udang, merupakan generasi kedua dan bekerja lebih keras ketimbang para penduduk
ketiga dari penduduk pertama tersebut. Kendati yang mengklaim asli. Desa mereka lebih makmur
sebagian besar orang Buton yang saat ini hidup dibandingkan desa-desa lainnya yang ditempati
permukiman-permukiman tersebut merupakan orang-orang asli. Orang asli, dalam bayangan
kelahiran Seram Utara, mereka tak pernah benar- mereka, pada dasarnya pemalas. Kerja dan
benar bisa menanggalkan label pendatang yang pencapaian di sini menjadi penanda yang mereka
melekati mereka sejak awal kedatangan ayah dan paku untuk menegaskan mereka tidak dengan
kakeknya. Label ini acap mereka peroleh seiring sendirinya patut direndahkan dibandingkan
perlakuan menistakan dari kelompok-kelompok penduduk yang telah lebih lama menempati
lain. Pada beberapa kesempatan, misalnya, Pulau Seram. Keaslian bukanlah penanda terberi
mereka tidak mendapatkan bantuan sosial yang satu kelompok lebih tinggi ketimbang kelompok
disalurkan baik perusahaan maupun pemerintah lainnya.
kepada elite pemerintahan setempat. Dan satu Mitologi asal-usul orang Buton, yang mereka
momen klimatiknya adalah kala Seram Utara pegang menjadi kebenaran sejarah, dalam
tersambar efek domino dari konflik Ambon. Pada konteks ini, adalah satu penegasan lain yang
saat itu, berkembang kasak-kusuk orang-orang menjadi pegangan mereka untuk menghadapi
Wahai merasa terancam dengan keberadaan perlakuan yang mereka alami. Cerita La
orang-orang Buton yang tinggal di sekelilingnya. Ode Wuna yang marak diperbincangkan di
Mereka siaga apabila harus mengusir orang- permukiman-permukiman Buton Seram Utara,
orang Buton yang dianggap pendatang belaka ambil saja. La Ode Wuna diceritakan adalah
dari tanah yang mereka kira miliknya. Dalam pangeran dari Pulau Muna yang sebagian
kesehariannya, orang-orang Buton pun acap tubuhnya dari pinggang ke bawah menyerupai
memelihara sendiri perasaan terpinggir sebagai ekor ular. Ayah La Ode Wuna, Raja Pulau
pendatang ini. Tentu, konteksnya sangat wajar. Muna, awalnya, tak kunjung mendapatkan anak
Pada waktu senggangnya, para warga desa kendati sangat menginginkannya. Akhirnya, ia
acap berbagi cerita satu sama lain. Salah satu bernazar agar mendapatkan anak “biar sepenggal
topik yang tak jarang mengemuka lantaran ular.” Beberapa waktu berselang lahirlah La
kental dengan drama adalah perlakuan tak Ode Wuna yang, sebagaimana sumpah sang
mengenakkan yang dialami sanak-saudaranya ayah, “sepenggal ular.” Selepas kelahirannya,
maupun diri mereka sendiri di daerah lain sang ayah malu dengan wujud La Ode Wuna. Ia
Maluku. Dan banyak dari antaranya sangat disembunyikan sepanjang hidupnya oleh sang
meneror lantaran bentuk perlakuan yang mereka ayah dari keramaian dan diperlakukan dengan
terima adalah ancaman pengusiran “penduduk sangat buruk. Setelah beranjak dewasa, La Ode

6 ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 2016


Wuna pun tak tahan dan memutuskan pergi cerita meminta agar orang-orang tak terburu-buru
dari pulaunya. Ia mengarungi sebatok kelapa mendirikan kerajaan Alifuru. Orang Buton yang
bersama seorang pembantu wanita. Ia diiringi bekerja sebagai sekretaris di kecamatan, kendati
oleh batok kelapa lainnya yang, menurut cerita tak mengekspresikannya secara terbuka pada
sebagian, dinaiki oleh para prajuritnya. Setibanya saat itu juga, kontan takzim dengan pengakuan
di satu pulau—yang sebenarnya adalah Pulau tersebut. Ia merasa bahwa orang-orang asli,
Buru—ia menoleh ke belakang dan ia masih yang selama ini memojokkan orang-orang Buton
bisa menemukan asap dari Pulau Muna. Ia sebagai pendatang, mengungkap kesilapan
lantas melanjutkan perjalanan hingga tiba di mereka dengan kata-kata mereka sendiri. Leluhur
Gunung Binaya, puncak tertinggi Pulau Seram. orang-orang Buton, cerita tersebut membuktikan,
Di gunung ini, ia tak bisa lagi melihat asap dari sudah ada di Seram sejak masa lampau yang tak
pulau asalnya lantas memutuskan untuk tinggal terbilang lamanya.
dan mendirikan kerajaan. La Ode Wuna menjadi topik yang, meski
Di dalam buku terbitan Departemen Pendidikan tak benar-benar acap mengemuka, senantiasa
dan Kebudayaan (1984) yang menginventarisasi mengundang perhatian pada saat ia mencuat.
cerita-cerita rakyat di Sulawesi Tenggara, Ada sebuah lukisan di satu desa orang-orang
memang, cerita La Ode Wuna, yang asalnya asli bernama Pasahari yang menggambarkan
nampaknya dari sana alih-alih dikembangkan Per janjian Supamarai na. Per janjian i n i
di Seram, tak bisa dikatakan sebagai mitologi diceritakan mengakhiri zaman peperangan di
yang punya kedudukan sentral. Ia hanyalah satu antara kelompok-kelompok dan memungkinkan
di antara banyak cerita perihal drama dan intrik terwujudnya Seram sebagaimana ia ada sekarang.
Kerajaan Muna yang didengar, diteruskan—dan Dibandingkan dengan sebagian kelompok orang
tentu saja dimodifikasi—orang-orang tua di asli, orang-orang Buton, tak terkecuali mereka
Pulau Muna. Dalam kisah para juru cerita yang yang getol bercerita, tak terlalu mawas dengan
dirujuk di Seram dan pengembangan mitos ini mitos penting yang berkembang di antara
yang menyebabkan munculnya berbagai “kiprah” kelompok lain. Tetapi, lukisan perjanjian ini
La Ode Wuna di Pulau Seram, La Ode Wuna meninggalkan kesan yang sangat kuat di antara
pun hanya satu di antara serenteng sosok yang orang-orang Buton dan mereka akan selalu
meramaikan drama kekuasaan di Seram masa mengingatnya selagi ada kesempatan. Mengapa?
lampau. Tetapi, apa pun itu, ia tak menggerus Ada sosok La Ode Wuna tergambar di antara
signifikansi sosok mitologis ini bagi orang-orang leluhur-leluhur orang-orang Seram lainnya. Ia
Buton di Seram Utara. Hal yang terpenting berenang menyeberangi lautan menuju meja
adalah mereka mendapati dari sebuah cerita yang perjanjian yang sudah dikelilingi oleh sejumlah
tak mereka buat-buat sendiri sebuah pembenaran pihak.
sejarah bahwa mereka bukanlah pendatang di Di antara orang-orang tua, La Ode Wuna,
tanah yang kini mereka mukimi. tentu saja, tak pernah absen ketika mereka
Pada satu kesempatan, misalnya, La Ode diminta untuk menceritakan asal-usul mereka
Wuna sempat tersebut ketika orang-orang di di pulau ini. Namun, menariknya, di antara
Kecamatan Wahai memperdebatkan matarumah orang-orang berusia relatif muda, yang biasanya
atau marga mana yang berhak ikut serta dalam tak hafal dengan detail cerita-cerita La Ode
pemilihan raja mendatang. Kala perwakilan salah Wuna sekalipun, keterpikatan dengan sosok
satu marga menceritakan silsilah mereka untuk mitologis ini tetap terasa. Seseorang dari antara
memperlihatkan leluhurnya mempunyai peranan mereka satu waktu memperlihatkan kepada
yang patut dikenang dalam sejarah Wahai, nama saya di telepon genggamnya ia menyimpan
La Ode Wuna tercetus. Ia adalah sosok yang lukisan La Ode Wuna. Satu hal yang seketika
memerintah di Manusela dan dalam satu bagian mengundang perhatian saya adalah nama

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 2016 7


yang diberikannya kepada foto tersebut. Ia Buton dalam sejarah dan kosmologi Seram
menamainya, “leluhurku.” Keesokan harinya, Utara. Hal-hal yang mengganggu bahkan nalar
semakin membuktikan antusiasmenya, ia bahkan paling mendasar dapat mereka kesampingkan
langsung mengantar saya untuk menemui “orang untuk satu obsesi memperoleh sosok yang dapat
pintar” Seram di desa yang cukup jauh yang bisa mendudukkan orang-orang Buton sederajat
menceritakan tentang La Ode Wuna. dengan orang-orang asli Seram. Beberapa klaim
Bila kita pertegas kembali, mengapa La yang mencuat di antara orang-orang Buton,
Ode Wuna menjadi satu figur mitologis yang bahkan, lebih jauh, menyatakan La Ode Wuna
sedemikian memantik ketertarikan orang-orang merupakan orang pertama yang datang ke pulau
Buton Seram Utara? Jawabannya, saya kira, Seram.
sudah kita dapati dan tinggal digamblangkan. Ia Proses orang-orang Buton mengabstraksikan
adalah penandasan bahwa mereka merupakan variasi mitos yang berkembang di sana-
bagian dari masa lampau Pulau Seram dan, sini perihal La Ode Wuna, karenanya, tak
karenanya, mereka mempunyai tempat yang mu ng k i n k it a pa ha m i seca r a mema d ai
sederajat dengan orang-orang yang mengaku bilamana kita menggambarkannya dengan
asli dari Seram. Kehadiran La Ode Wuna proses logis menyusun dan mengembangkan
dalam Perjanjian Supamaraina, katakanlah, satu badan pengetahuan yang utuh, apalagi
bukan hanya menengarai bagi para juru cerita menganalogikannya dengan proses berpikir
yang meyakininya bahwa orang-orang Buton keilmuan. Terlalu banyak kontradiksi yang tak
merupakan kekuatan di masa silam yang mereka indahkan dalam mengartikulasikan
harus diperhitungkan dalam perjanjian yang pengetahuannya dan, tentu, hal ini tidak
bertujuan mendamaikan kekuatan-kekuatan yang dengan sendirinya buruk. Satu orang tua,
berperang di Seram. Ia pun menjadi bukti yang semisal, kendati baru saja terlibat obrolan yang
digenggam orang-orang Buton bahwa mereka menyiratkan mereka kesulitan membayangkan
adalah bagian dari satu peristiwa masa lalu yang bagaimana bisa La Ode Wuna mengarungi laut
menjadikan Pulau Seram ada. dengan dua batok kelapa, tiba-tiba menjelaskan
Pertanyaan saya, lantas, apakah mereka peduli kepada saya bahwa batok kelapa yang tidak
dengan kemasukakalan atau keutuhan cerita- dinaiki La Ode Wuna membawa para prajuritnya.
cerita asal-usul mereka secara keseluruhan? Para prajuritnya inilah yang lantas menjadi nenek
Sebagian besar yang saya temui, tidak. Semua yang moyang dari orang-orang asli Seram saat ini. Ia,
saya jumpai saja, lucunya, tak pernah mengingat artinya, bahkan belum bisa memecahkan satu
lukisan Perjanjian Supamaraina dengan namanya. bagian cerita yang menggelitik akal sehatnya
Mereka mengingatnya sebagai lukisan “La Ode namun tak ragu untuk menafsirkan elemen lain
Wuna” atau lukisan “leluhur Buton.” Padahal, dari bagian cerita yang sama untuk “mengungkap
apabila memahami dunia secara teratur dan kenyataan terselubung” bahwa leluhur mereka
bermakna merupakan imperatif yang tak bisa merupakan tuan dari orang-orang asli.
ditangguhkan dan menjadi alasan mengapa Tentu pula, adalah hal yang keliru untuk
mitologi atau “kebenaran sejarah” berkembang, mengatakan aparatus logis sama sekali absen
mereka tak akan mengesampingkan Perjanjian ketika orang-orang Buton mengartikulasikan
Supamaraina karena ia akan menjelaskan sejarah asal-usulnya. Cara berpikir mereka tak
peristiwa-peristiwa yang memungkinkan leluhur padan untuk dideskripsikan dengan gambaran
mereka mempunyai kedudukan sosial yang Levy-Bruhl (1925) atas mentalitas primitif—
mantap di tanah ini. Namun, itu tak terjadi. Apa pralogis. Kita tak bisa menampik momen-
yang secara telanjang mereka kejar tak lain dari momen seperti ketika satu orang tua menggugat
pengakuan. Keinginan mereka adalah untuk kedudukan orang Buton sebagai adik perempuan
mempunyai representasi absah orang-orang orang Huaulu, suku gunung yang cukup disegani

8 ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 2016


di Seram Utara. Dalam satu mitos Huaulu Apakah orang-orang bingung bagaimana
diceritakan bahwa orang Buton keluar rumah dari caranya La Ode Wuna menyeberangi laut
pintu belakang membawa pisau dan orang Huaulu Seram? Tidak masalah. Sepanjang belum
keluar rumah dari pintu depan membawa parang. ada kelompok orang asli yang secara vokal
Karenanya, orang-orang Huaulu berkesimpulan mempertanyakannya.
orang Buton mer upakan adik perempuan
mereka. Ia keluar dari pintu dapur dan membawa Bangsa yang Besar adalah Bangsa dengan
perkakas dapur yang identik dengan persona Sejarah Panjang...
feminin. Namun, menurut orang tua Buton
bersangkutan, dalam peperangan senjata dan Untuk mempertegas argumentasi bahwa
posisi memperlihatkan pangkat. Pemimpin produksi sosial kebenaran sejarah digeliatkan
pasukan biasanya berada di garis belakang, oleh proses kompetisi, kini saya ajukan satu
menenteng senjata kecil. Prajurit berada di pembanding lain yaitu diskursus sejarah
depan, menggenggam senjata besar. Membawa Indonesia sebagai peradaban tua.
pisau dan berada di belakang, karenanya, justru Klaim-klaim bahwa Indonesia, di balik
menunjukkan bahwa orang Buton merupakan pemahaman sejarah yang jamak diketahui
pemimpin atas orang-orang Huaulu. dan diajarkan, sebenarnya peradaban yang
Apakah kita dapat mengatakan bahwa jauh lebih tua dibandingkan kebanyakan
penjelasan juru cerita Buton tersebut tak peradaban lainnya, merupakan diskursus yang
bercelah? Pastinya, tidak. Namun, kita pun tak tak pernah lekang mengetengah dari waktu
bisa sepenuhnya menyangkal ia terasa logis. ke waktu. Diskursus ini jauh dari kata baru
Ia menunjukkan kontradiksi yang ada pada dan bukan tidak mungkin pula sama tuanya
kesimpulan yang ditarik orang-orang Huaulu dengan gagasan Indonesia itu sendiri. Dalam
dan mengajukan kesimpulannya sendiri yang satu tulisan yang membuka perdebatan tersohor
meredakan ketegangan pengategorian tersebut. pada awal abad ke-20, Polemik Kebudayaan,
Satu hal yang patut kita tekankan, karenanya, Sutan Takdir Alisjahbana menegaskan bahwa
adalah dorongan-dorongan menalar tak pernah “Indonesia yang dicita-citakan oleh generasi baru
lepas dari situasi yang lebih luas dan, dalam situasi bukan kelanjutan Mataram, bukan kelanjutan
lebih luas yang menaungi kehidupan kantung- kerajaan Banten, bukan kerajaan Minangkabau,
kantung Buton di Pulau Seram, artikulasi harga atau Banjarmasin” (Mihardja 2008:7). STA,
diri secara sosial menjadi kebutuhan yang lebih memang, pada waktu itu berbicara dalam konteks
mendesak. Dalam kondisi di mana orang-orang menggugah orang-orang untuk menanggalkan
Buton dihadang dengan eksklusi dan penistaan, sentimen kedaerahan. Cara pertama yang dapat
sejarah tak bisa menjadi ruang yang bersih mereka lakukan adalah dengan memahami
dari hasrat mereka untuk membuktikan diri bahwa Indonesia merupakan entitas negara
sebagai insan yang juga berhak menyatakan diri bangsa yang baru ada berkat keberadaan Barat,
penduduk Pulau Seram. Artikulasi pengetahuan dan strategi-strategi mengenang masa lalu tak
menjadi performa yang tak bisa dilepaskan akan berkontribusi untuk persatuan Indonesia
dari tuntutan mengangkat harkat martabat karena akan selalu berorientasi kedaerahan.
kelompok diri di antara kelompok-kelompok Namun, argumentasi STA juga mengisyaratkan
lainnya. Kontradiksi dapat dikesampingkan ia tak jarang menjumpai pandangan-pandangan
atau dikompartemenkan (Berliner dkk. 2016) yang menautkan Indonesia mempunyai masa lalu
sepanjang ia tak mengganggu artikulasi ini. Di yang merentang jauh ke masa kerajaan-kerajaan.
sisi lain, kontradiksi dapat diketengahkan ketika Tokoh yang saat ini paling diingat dengan
ia memungkinkan pihak diri untuk menggugat pikiran yang mengumbar panjangnya sejarah
klaim-klaim pihak lawannya. masa silam Indonesia baru menyeruak ke

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 2016 9


perhatian yang lebih luas nyaris dua dekade tahun 2010, misalnya, di Indonesia terbit satu
selepas Polemik Kebudayaan. Muhammad Yamin, buku berjudul Atlantis: The Lost Continent
tokoh tersebut, pada tahun 1951 mengeluarkan Finally Found karangan seorang fisikawan
buku berjudul 6000 tahun Sang Merah-Putih. nuklir, Arysio Santos. Dalam terbitan bahasa
Di dalamnya, ia menaksir bahwa enam ribu Inggrisnya yang diluncurkan tahun 2005, apa
tahun silam penduduk yang menjadi warga yang nampak jelas menjadi nilai jual dari buku
Indonesia hari ini datang dari Asia Tenggara ini adalah klaim bahwa satu peradaban yang
melalui Sumatra dan Sulawesi. Para pendatang selama ini menjadi misteri di antara banyak orang
nenek moyang orang Indonesia ini mempunyai akhirnya diketahui ada di mana. Menariknya,
kepercayaan yang mensakralkan matahari yang dalam terjemahan bahasa Indonesianya bukan
berwarna merah serta bulan yang berwarna hal tersebut yang dikedepankan oleh penerbitnya
putih. Bendera kebangsaan Indonesia, merah melainkan, sebagaimana yang dipampangkan
putih, walhasil, terinspirasi dari kepercayaan ini pihak penerbit di sampul versi terjemahannya,
dan mempunyai usia yang sebenarnya jauh lebih “Indonesia ternyata tempat lahir peradaban
panjang yang bisa diduga. Tetapi, gagasan Yamin dunia!”
yang jauh lebih dikenal adalah pemahaman Pihak penerbit, memang, tidak keliru dalam
bahwa kesatuan di wilayah yang kini menjadi mengartikan temuan Santos kendati menyatakan
Indonesia sudah ada sejak lama sebelumnya. Indonesia sebagai peradaban pertama bukanlah
Sebelum Indonesia, menurutnya, kerajaan tujuan utama sang penulis. Namun, dengan
Majapahit dan Sriwijaya telah mempersatukan membungkusnya demikian, penerbit lebih-
wilayah ini dan menjadikannya suatu kesatuan. lebih tidak keliru dalam membaca selera pasar
Gagasan ini saat ini sudah diterima banyak pembaca buku di Indonesia. Argumentasi yang
kalangan. Dalam pidato guru besar Nazaruddin nampak cakap dan canggih dari seorang guru
Syamsudin di UI, salah satunya, Republik besar asing bahwa peradaban pertama bertempat
Indonesia dinyatakan merupakan republik ketiga di wilayah yang sekarang menjadi bagian dari
setelah Sriwijaya dan Majapahit yang merupakan negara Indonesia bukanlah hal yang sulit diterka
republik pertama serta republik kedua (Adam akan mengundang perhatian banyak orang untuk
2005:251; Adam 2010:171). membaca buku bersangkutan. Terkaan tersebut
sama sekali tak meleset. Atlantis menjadi buku
Kian kemari, diskursus ini tidak kian redup. yang bukan hanya laris keras melainkan juga
Semangat persatuan yang melecut aksentuasi segera disusul pusparagam terbitan lainnya
diskursus ini mungkin sudah tidak sekental di serta seminar, diskusi, dan perbincangan.
masa silam. Namun, hal ini tak dengan sendirinya Tanggapan publik yang tertangkap secara
berarti diskursus ini kehilangan relevansinya. seragam mengekspresikan satu emosi. Ada
Perkembangan kontemporer yang berlangsung kebanggaan luar biasa yang didapat khalayak
adalah temuan, publikasi, maupun kasak- Indonesia dari membaca buku ini. Seorang
kusuk terbaru perihal sejarah Indonesia kian resensor yang cukup sering mengisi media
menyemarakkan dan memperkaya diskursus massa, salah satunya, menulis di blognya,
yang berwatak mengisap penanda-penanda “Dengan penemuan Arysio Santos ini, bangsa
lain ini (Riyanto 2015). Gagasan-gagasan baru Indonesia patut berbangga hati: ternyata moyang
tersebut dicerna secara selektif oleh pelaku- kita adalah asal-usul semua bangsa di dunia, dan
pelaku berkepentingan, entah budayawan, Indonesia menjadi tempat awal mula bersemainya
politisi, birokrat, penerbit, dan difabrikasi peradaban dunia.”
menjadi satu materi yang menurut mereka Satu buku yang menyusul terbit dan terbukti
memikat publik luas di Indonesia yang nantinya tak kalah pamor dari Atlantis adalah Eden in
berfaedah untuk para pelaku ini sendiri. Pada The East yang disusun Stephen Oppenheimer,

10 ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 2016


praktisi medis berkebangsaan Inggris. Buku membuktikan bahwa suku Jawa merupakan suku
ini mempunyai keserupaan yang menonjol pertama yang ada di dunia ini.
dengan Atlantis. Keduanya sama-sama disusun Pengalaman tersebut bukanlah pengalaman
oleh pihak yang dianggap mempunyai otoritas pertama sang budayawan menghadapi situasi
akademik, argumentasinya terkesan taat kaidah semacam dan, sebagaimana kelarisan buku-
keilmuan, serta jumlah halamannya tebal. buku yang dianggap bukti sejarah peradaban di
Klaim Oppenheimer berbeda dengan Santos Indonesia lebih tua dibandingkan peradaban-
tetapi, di mata pembaca Indonesia, keduanya peradaban lainnya, ia menggambarkan ekspektasi
masih berkutat dalam tema yang tak berbeda. kuat khalayak yang ingin diyakinkan bahwa
Klaim Oppenheimer, yang disangganya melalui komunitasnya lebih unggul dibandingkan
analisis terhadap DNA, mitos, cerita penciptaan, komunitas-komunitas lain dalam hal durasi sejarah
data arkeologis, oseanografis, serta etnografis, yang mereka lewati selaku sebuah kesatuan.
adalah peradaban besar paling pertama dunia Ekspektasi mengungguli kolektivitas lain inilah
ada di benua yang disebutnya Sundaland. yang menggugah maraknya narasi sejarah
Peradaban ini lantas hancur akibat kenaikan air Indonesia peradaban tua yang cukup populer. Di
laut. Peradaban-peradaban lain muncul selepas sisi produsen, penerbit merupakan pihak yang
orang-orang di Sundaland bermigrasi ke berbagai memanfaatkan hasrat ini untuk memperoleh
penjuru selepas banjir tersebut. Di manakah letak keuntungan finansial dengan memublikasikan
Sundaland saat ini? Asia Tenggara. Namun, buku-buku yang merespons tema terkait.
sebagaimana yang mungkin sudah dapat ditaksir, Budayawan bersangkutan, sementara itu, menuai
para pembaca Indonesia kontan mengidentikkan reputasinya dengan mengungkap dari seminar
Sundaland dengan Indonesia dan menafsirkan ke seminar dan dari tulisan ke tulisan bahwa
argumentasinya sebagai pesan bahwa Indonesia Indonesia merupakan peradaban maritim yang
merupakan tempat asal mula peradaban dunia. keunggulannya terbukti dari kemampuannya
Tajuk-tajuk liputan media massa terhadap bedah menjelajah dunia bahkan beberapa milenium
buku Eden in The East yang diselenggarakan sebelum Masehi. Sang budayawan, cukup jelas,
LIPI pada 28 Oktober 2010 tak pernah jauh-jauh sama-sama menunggangi dahaga khalayak untuk
dari kata-kata “Indonesia induk peradaban dunia” mendapati narasi sejarah yang mengagung-
atau “peradaban dunia berasal dari Indonesia.” agungkan bangsanya.
Apa yang diperlihatkan oleh kepopuleran Lucunya, kendati saat ini dikenal sebagai
sekaligus pembelokan gagasan para penulis sosok yang terus-menerus mengangkat gagasan
asing tersebut adalah ada satu hasrat kolektif Indonesia peradaban maritim, sang budayawan
yang selalu menggebu untuk memperoleh narasi bukanlah sosok yang sejak pertama lekat dengan
Indonesia sebagai peradaban yang mendahului gagasan ini. Sang budayawan acap menulis
peradaban-peradaban lainnya. Saya kira, melacak di media-media sedari lama. Namun, belum
manifestasi dari hasrat ini bukanlah hal yang sepuluh tahun terakhir gaya artikulasinya serta-
terlampau sulit. Namun, satu pengalaman seorang merta bergeser. Hampir di setiap tulisannya,
budayawan kala hasrat ini menampakkan dirinya ia tiba-tiba mengampanyekan agar masyarakat
secara telanjang tak salah untuk disinggung menemukan kembali watak Indonesia yang
sepintas di sini. Ceritanya, pada satu waktu, sejatinya adalah peradaban maritim. Pada esai-
sang budayawan menerima sekelompok santri di esainya, ia akan mengajukan serenteng bukti
kediamannya di Pamulang, Ciputat. Para santri sejarah bahwa eksistensi Indonesia sudah ada
ini datang dari sebuah pesantren di Jawa Tengah. jauh lebih lama dari yang akrab dibayangkan
Mereka secara khusus datang mengunjunginya publik dan pada masa lampau tersebut para
untuk meminta pencerahan darinya karena kyai penduduk sudah mahir memanfaatkan kondisi
mereka menyampaikan, sang budayawan dapat geograf isnya sebagai neger i kepulauan.

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 2016 11


Mereka merampungkan satu peradaban yang komunitas pihak diri alih-alih komunitas agama
berbeda dari peradaban kontinental dengan tertentu. Namun, kendati tak keliru untuk
membangun bandar-bandar yang terbuka mengatakan ia dimungkinkan karena adanya
terhadap para pedagang ser ta membuka perasaan nasionalisme yang dicangkokkan oleh
jaringan perdagangan ke seluruh penjuru aparatus negara-bangsa, diskursus ini dalam
dunia dengan mengembangkan kemampuan keseharian terasa menggoda karena imajinasi
melaut yang luar biasa. Segenap carut-marut keunggulan dalam kompetisi imajiner dengan
yang terjadi hari ini, merentang dari konflik, bangsa-bangsa lain yang disediakannya. Apakah,
korupsi, ketimpangan, ketidakberdaulatan, toh, terma yang secara ganjil bukan hanya terus-
ketidakberesan pemerintahan, sang budayawan menerus disebutkan melainkan dikedepankan
akhirnya akan selalu berargumentasi, menyeruak dalam pusparagam buku, tulisan, maupun
karena Indonesia amnesia dengan khitahnya pembicaraan berkenaan dengan Indonesia
sebagai negeri bahari. peradaban tua? Indonesia peradaban “paling
Ada pelbagai aspek, dipastikan, yang pertama,” “asal mula,” “induk.” Ini adalah
mendorong sang budayawan beralih menjadi idiom-idiom yang hanya bermakna apabila
advokat Indonesia peradaban maritim. Kendati kita memperbincangkan Indonesia dalam
demikian, hal yang cukup menonjol di antaranya perbandingan dengan bangsa-bangsa lain, dan
adalah gagasannya tersebut menempatkannya dengannya kita menyiratkan Indonesia lebih baik
menjadi budayawan yang lebih mempunyai tinimbang yang lainnya.
posisi dalam benak khalayak. Ia lebih banyak Kita dapat menyimak bagaimana hasrat ini
memperoleh kesempatan mengisi forum-forum bekerja pula dari pernyataan yang dicetuskan
maupun terlibat dalam lingkaran-lingkaran yang oleh Ji m ly Assh idd iqie, ma nt a n Ket u a
melibatkan para peminat gagasan Indonesia Mahkamah Konstitusi dan, jelas, masih sosok
peradaban tua dengan posisi strategis. Ia yang mengemban pengaruh dalam jaringan
pun, berkat gagasan ini, dapat membedakan politik di Tanah Air, ketika membuka diskusi
dirinya dari kolega-koleganya dengan bangga. bedah buku Eden in The East dan Atlantis.
Dalam berbagai kesempatan terlibat pertemuan “Saya yakin,” ujarnya, “bahwa apa yang
cendekiawan dan budayawan, misalnya, sang ditemukan oleh Professor Oppenheimer maupun
budayawan dapat menegaskan bahwa identifikasi- Professor Arysio Santos dalam tesisnya semakin
identifikasi para koleganya terhadap persoalan mendekatkan pada kebenaran bahwa bumi
bangsa belum menyambangi tataran yang “lebih Nusantara ini tempat bermukim pusat peradaban
fundamental.” Ia menyiratkan, mereka masih dunia yang mengagumkan.” Penelusuran sejarah
melihat permasalahan di tingkatan permukaan, Oppenheimer maupun Santos, artinya, menjadi
tidak seperti dirinya yang menelusur lebih dalam berharga bukan karena terobosan keilmuannya
hingga tingkatan peradaban. melainkan lantaran kontan ditafsirkan sebagai
Dari paparan di atas, kita, paling kurang, pembenaran terhadap kepertamaan peradaban
tak bisa dengan enteng menisbikan daya pikat di Indonesia dibandingkan peradaban di tempat-
diskursus Indonesia peradaban tua. Ia adalah tempat lainnya. Indonesia, dalam bayangan yang
satu diskursus yang membangkitkan gairah demikian, berarti lebih punya sesuatu yang
banyak orang dan mengundang berbagai pelaku melampaui negara lain yang dianggap paling
untuk terus mereproduksi gagasan-gagasan maju sekalipun. Lantas, dalam retorika-retorika
yang melanggengkannya. Apakah kita bisa Indonesia peradaban maritim sang budayawan,
menjelaskan pesona diskursus ini sebagai kita juga dapat menyimak bahwa peradaban
bentukan ideologi nasionalisme? Saya tak akan maritim selalu dikedepankannya sebagai
menampiknya pasalnya bukan tanpa alasan tandingan peradaban kontinental atau daratan.
diskursus ini mengangkat Indonesia sebagai Peradaban kontinental, yang direpresentasikan

12 ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 2016


oleh kekuatan-kekuatan disegani hari ini seperti dipastikan, bahwa “para sejarawan” semacam
Barat dan China, memerintah dengan kekuasaan, Osmanagich bermain-main dengan kebenaran
kekerasan, kompetisi, pelenyapan yang lain. sejarah. Persoalannya, unsur bermain-main inilah
Berbeda halnya dengan peradaban kontinental, yang dalam pengertian lain justru menjadikan
peradaban maritim berwatak terbuka, egaliter, narasi sejarah kolektivitas mereka hidup. Ia
menerima perbedaan. memungkinkan orang-orang terisap ke dalam
Disk u r sus I ndonesia perad aba n t u a , hiruk-pikuknya karena di sana, dalam kontestasi
karenanya, aman kini untuk dikatakan, menjadi imajiner yang dimainkan dengan kelompok lain,
riuh diperbincangkan lantaran ada elemen harkat kelompoknya dipertaruhkan.
komparasi dan kompetisi diimajinasikan di
dalamnya. Betapapun imajinernya kontestasi Kebenaran Sejarah atau Pembenaran Sejarah?
ini—sekilas terasa kontras dengan situasi yang
kita temukan di Seram di mana kelompok satu Kita telah menjumpai bagaimana narasi sejarah
dapat secara frontal mengemukakan klaim awal mula bergulir di dua situs sosial yang, dalam
sejarahnya di hadapan kelompok lain—kita tetap penglihatan sekelebat, berbeda tajam. Di satu sisi,
tak bisa menampik bahwa dampaknya mengisap kita dihadapkan dengan perkampungan berbasis
perhatian orang-orang serta menguras waktu kekerabatan dan, di sisi lain, jaringan diskursif
dan emosi mereka tetaplah riil. Bahkan, bila di lingkup urban yang renggang dan menuntut
kita mau berargumentasi perihal daya gugah peneliti melakukan etnografi situs jamak untuk
kompetisi imajiner ini, kita dapat mulai dengan dapat menggambarkannya. Namun, ada satu
bertanya secara retoris mengapa situasi serupa, kesepadanan menggelitik yang dapat kita untai
menariknya, berkembang pula di negara-negara dari keduanya. Narasi sejarah kolektivitas para
lain. Di Bosnia, Osmanagich, seorang arkeolog pelaku senantiasa diproduksi dalam bayangan
amatir, mengklaim di bawah satu area perbukitan mereka berkontestasi dengan kolektivitas
besar di negerinya sebenarnya terkubur piramida lainnya. Baik pada situs yang terkonotasi lokal
paling besar dalam sejarah manusia. Tak hanya di mana perdebatan sejarah bisa berlangsung
paling megah, Osmanagich juga menaksir ia tatap muka maupun situs yang identik dengan
berusia 12.000 tahun yang, artinya, jauh lebih kata nasional di mana kompetisi yang bergulir
tua dari piramida Giza di Mesir. Taksiran lebih mengambil tempat dalam imajinasi para
Osmanagich ini diyakini oleh sebagian besar pelakunya, agonisme menjadi unsur sentral yang
pejabat Bosnia termasuk perdana menteri dan menggeliatkan diskursus bersangkutan.
presidennya. BUMN-BUMN mengucurkan
sumbangan untuk yayasan yang didirikan Apakah arti dari temuan ini bagi diskursus
Osmanagich. Osmanagich sendiri menjadi sosok antropologi?
selebritas yang mempunyai banyak penggemar,
dan mereka yang meragukan teorinya rentan Ia menegaskan bahwa permainan atau
dianggap anti-Bosnia. Apakah sebuah kebetulan kontestasi untuk martabat bukanlah unsur
pada satu waktu Indonesia pernah diramaikan yang bisa kita kesampingkan begitu saja dalam
dengan wacana piramida Gunung Padang yang pembentukan serta pelanggengan satu narasi
ditaksir dibangun 4.700-10.900 tahun sebelum sejarah di antara sekelompok orang. Ada satu
Masehi? Rasanya tidak. Dan dari fakta ini kita kecenderungan di antara kita untuk menafsirkan
dapat mengatakan bahwa kompetisi mengungguli proses konstruksi sosial sejarah sebagai aktivitas
bangsa lain melalui klaim kepurbaan sejarah yang berciri intelektual—memecahkan paradoks
tak hanya diimajinasikan oleh orang-orang pengategorian atau membangun penjelasan yang
Indonesia. logis, sebut saja. Namun, sejauh kasus yang saya
Ada bayangan di antara sejumlah pihak, dapat paparkan memperlihatkan, kemasukakalan atau

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 2016 13


keutuhan logis tak pernah dengan sendirinya kita membaca temuan paper ini adalah saya
menjadi kriteria yang dipegang oleh para pelaku seakan menyiratkan kebenaran sejarah dengan
dalam meyakini suatu pengetahuan ihwal sengaja dikonstruksi untuk melayani satu tujuan
masa lalu sebagai kebenaran. Godaan untuk penguasaan.
mempercayai pengetahuan sejarah tertentu di Namun, pertanyaan untuk cara baca yang
antara orang-orang Buton di Seram Utara meruap seperti itu sederhana. Benarkah di balik
jelas bukan dari kemasukakalan pengetahuan reproduksi-reproduksi mitos yang dilakoni oleh
bersangkutan kendati, ironisnya, fitur yang orang-orang perkampungan Buton bersemayam
kemudian mereka anggap mengisyaratkan kepentingan mengejar penguasaan sumber
pengetahuan sejarahnya lebih terandalkan daya, jabatan, akses sebagai pialanya? Saya
dibanding pengetahuan sejarah komunitas lain meragukannya. Paling kurang, sejauh yang
adalah ia lebih “benar.” sanggup saya pastikan, apa yang mereka lakukan
Kemasukakalan, tentu saja, bukannya sulit untuk menuai apa pun yang berfaedah
tak berfaedah sama sekali bagi para pelaku konkret untuk mereka sendiri. Hal serupa dapat
pengetahuan ini. Peranannya, kendati demikian, kita berlakukan dengan perayaan-perayaan
lebih tepat untuk digambarkan sebagai pion Indonesia peradaban tua. Bagi beberapa pihak
untuk memuluskan permainannya. Orang- seperti penerbit, pengusaha, cendekiawan yang
orang kampung Buton selalu merasa mesti memperoleh ketenaran serta keuntungan darinya,
menyiapkan berbagai argumentasi untuk memang, gagasan ini menghasilkan sesuatu.
melucuti sejarah Pulau Seram dari suku-suku Akan tetapi, satu hal yang tak boleh kita lupakan,
asli, dan untuk melakukan ini sandaran mereka pengetahuan sejarah ini bergulir berkat dinikmati
tak lain adalah akal sehat. Dan, bukan tanpa oleh orang-orang awam yang menghasrati ide
alasan, adalah buku Oppenheimer atau Santos Indonesia peradaban tua dan motifnya berhenti
yang dirayakan dengan gegap gempita alih- di sana. Motifnya semata adalah hasratnya
alih setiap buku tentang Indonesia peradaban mendapati komunitas terbayangnya berdiri
tua. Pembuktian-pembuktian mereka rumit, lebih tinggi dibandingkan komunitas-komunitas
kompleks, terasa memenuhi segenap kaidah terbayang lain.
saintifik, dan untuk merayakannya secara gegap Karenanya, apa yang menyangga permainan
gempita adalah memamerkan bukti ilmiah kebenaran sejarah ini, saya lebih yakin, bukanlah
keunggulan bangsanya kepada bangsa-bangsa piala itu sendiri. Apa yang menggulirkannya
lain. Kemasukakalan, artinya, mempunyai andil adalah para pelakunya—keberadaan para insan
tetapi senantiasa dipekerjakan dalam bingkai di dalamnya. Permainan dijalani, pada dasarnya,
proyek politik komunitasnya. Pemberlakuannya bukan untuk memancangkan penguasaan
dapat ditunda sekaligus dialihkan ke sasaran terhadap pundi-pundi uang serta sumber kekuatan
yang diperlukan berdasarkan keperluan untuk melainkan untuk membuktikan diri sederajat
memenangkan permainan. atau lebih berarti dibandingkan yang lainnya.
Lebih jauh, kedua kasus ini memberikan kita Dan pada akhirnya, tujuan pelaku melibatkan
kesempatan untuk memeriksa pemahaman kita dan mendedikasikan diri di dalamnya adalah
tentang pertautan di antara pengetahuan sejarah memperoleh kedudukan yang bermartabat.
dan politik. Sejak lama, kebenaran, mitos, Tentu saja, pada kasus yang saya gambarkan,
tradisi, adat kebiasaan identik dengan sesuatu intrik-intrik yang memperkeruh kompleksitas
yang rentan dieksploitasi untuk melanggengkan seperti pertaruhan sumber daya strategis relatif
kepentingan-kepentingan politik (Hobsbawm absen. Maksud saya, saya tak bisa memastikan
1983; Keesing 1989; Henley & Davidson 2007). sejauh apa bingkai teoretis yang ditetaskan di
Bukan hal yang mengherankan pula sebenarnya sini berlaku pada situasi lain di mana kebenaran
kalau bayangan yang segera terbersit ketika sejarah menjadi klaim dalam pertarungan

14 ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 2016


semrawut menguasai sebuah aset, misalnya.
Namun, kita perlu memasang pikiran yang
luas yakni membuka peluang bahwa elemen
permainan mungkin ada di sana.

Daftar Pustaka

Adam, Asvi Warman.


2005 “History, Nationalism and Power.” Dalam Social Science and Power, disunting oleh Vedi
Hadiz and Daniel Dhakidae, 247-73. Jakarta: Equinox Publishing.
2010 Menguak Misteri Sejarah. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Andaya, Leonard
1993 The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period. Hawaii: University of
Hawaii Press.
Baker, Nancy, Gregware, Peter R. dan Cassidy, Margery A.
1999 “Family Killing Fields: Honor Rationales in the Murder of Women.” Violence Against Women,
5 (2): 164-184.
Berliner, David et al.
2016 “Anthropology and the Study of Contradictions.” HAU: Journal of Ethnographic Theories, 6
(1). doi:10.14318/hau6.1.002.
Graeber, David
2013 “It’s Value that Brings Universe into Being.” HAU: Journal of Ethnographic Theories, 3 (2).
doi:10.14318/hau3.2.012.
Henley, David dan Davidson, Jamie. S.
2007 “Introduction: Radical Conservatism – The Protean Politics of Adat.” Dalam The revival
of tradition in Indonesian politics: The deployment of adat from colonialism to indigenism,
disunting oleh David Henley dan Jamie S. Davidson, 1-49. London: Routledge.
Hobsbawm, Eric
1983 “Introduction: Inventing Traditions.” Dalam The Invention of Tradition, disunting oleh Eric
Hobsbawm dan Terrence Ranger, 1-14. Cambridge: Cambridge University Press.
Huizinga, Johan
1949 Homo Ludens: A Study of the Play-Element in Culture. London: Routledge & Kegan Paul.
Keesing, Roger M.
1989. “Creating the Past: Custom and Identity in the Contemporary Pacific.” The Contemporary
Pacific, 1(1/2): 19-42.
Levi-Strauss, Claude
1966 The Savage Mind. Chicago: The University of Chicago Press.
Levy-Bruhl, Lucien
1925 Primitive Mentality. New York: MacMillan.

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 2016 15


McGregor, Katharine
2007 History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia’s Past. Singapura:
NUS Press.
Mihardja, Achdiat K.
2008 Polemik Kebudayaan: Pergulatan Pemikiran Terbesar dalam Sejarah Kebangsaan. Jakarta:
Balai Pustaka.
Oppenheimer, Stephen
2010 Eden in the East: Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara. Jakarta: Ufuk Press.
Parla, Ayse
2000 “The ‘Honor’ of the State: Virginity Examinations in Turkey.” Political and Legal Anthropology
Review, 23 (1): 185-186.
Riyanto, Geger
2015 Budaya dan Budayawan: Peran Penalaran Asosiatif Mengkonstitusi Keberguliran Diskursus
Kebudayaan Indonesia. Tesis antropologi tidak diterbitkan. Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Sahlins, Marshall
1985 Islands of History. Chicago: The University of Chicago Press.
Santos, Arysio
2009 Atlantis: The Lost Continent Finally Found. Jakarta: Ufuk Press.
Scott, James
2009 The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia. New Haven:
Yale University Press.
Valeri, Valerio
2001 Fragments from Forests and Libraries. Carolina: Carolina Academic Press.
White, Hayden
1973 “Historicism, History, and the Figurative Imagination.” History and Theory 14 (4): 48-67.

16 ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 2016

Anda mungkin juga menyukai