Anda di halaman 1dari 29

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Persyaratan dasar suatu jalan pada hakikatnya adalah dapat menyediakan
lapisan permukaan yang selalu rata, konstruksi yang kuat sehingga dapat
menjamin kenyamanan dan keamanan yang tinggi untuk masa pelayanan (umur
jalan) yang cukup lama yang memerlukan pemeliharaan sekecil kecilnya dalam
berbagai keadaan. Konstruksi perkerasan yang lazim pada saat sekarang ini adalah
konstruksi perkerasan yang terdiri dari berberapa lapis bahan dengan kualitas
yang berbeda, di mana bahan yang paling kuat biasanya diletakkan di lapisan
yang paling atas. Bentuk kontruksi perkerasan seperti ini untuk pembangunan
jalan-jalan yang ada di seluruh Indonesia pada umumnya menggunakan apa yang
dikenal dengan jenis konstruksi perkerasan lentur (Flexible Pavement).
Oleh karena itu penulis mencoba memberi suatu alternatif perencaan lentur tebal
perkerasan jalan menggunakan Metode AASHTO1993, . Akan tetapi, metode ini
mempunyai tahapan-tahapan dan pengembangan-pengembangan dari tahun ke
tahun sehingga hanya akan dikhususkan untuk menggunakan Metode AASHTO
1993. Dalam hal ini Metode AASHTO 1993 akan dikomparasi dengan Metode
Bina Marga yang mengacu pada Standart Nasional Indonesia (SNI) untuk
perencanaan lentur perkerasan jalan. Adapun objek yang diteliti untuk
membandingkan hasil perencanaan dari ke dua metode tersebut adalah Jalan
Matang Sijuk Trieng Pantang Kecamatan Baktiya Barat Kabupaten Aceh Utara
sepanjang 7.537 meter, lebar pekerasan 6 meter, bahu jalan 2 x 1 meter, jalan ini
2
merupakan jalan lama yang tidak layak pakai lagi, bahan yang digunakan lapisan
dasar kelas C, lapisan pondasi bawah sirtu kelas B, lapisan pondasi atas batu
pecah kelas A dan lapisan permukaan adalah laston. Panjang keseluruhan ruas
jalan yang penulis tinjau adalah 2.000 meter dari Sta 0
+000
s/d Sta 2
+600
. Jalan
ini merupakan jalan kolektor.
1.2 Rumusan Masalah
Pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah untuk membandingkan
karakteristik yang terdapat dalam Metode AASHTO 1993 dan Metode Bina
Marga. Dari kedua metode ini diperoleh persamaan dan perbedaan ataupun
diketahui parameter apa saja yang digunakan dalam merencanakan tebal
perkerasan lentur jalan raya dengan menggunakan data pada Jalan Matang Sijuk
Trieng Pantang Kecamatan Baktiya Barat Kabupaten Aceh Utara sebagai objek
penelitian.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan perencanaan tebal
perkerasan lentur jalan raya antara Metode AASHTO 1993 dan Metode Bina
Marga yang mengacu pada Standart Nasional Indonesia (SNI) untuk perencanaan
lentur perkerasan jalan.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah penulis dapat mengetahui alternatif lain
perencanaan tebal perkerasan lentur jalan raya dengan menggunakan Metode
AASHTO 1993 yang meninjau beberapa parameter, antara lain : Structural
Number, Lalu Lintas, Reliability, Faktor Lingkungan, Serviceablity.
3
1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Perencanaan tebal perkerasan lentur jalan raya menggunakan Metode
AASHTO 1993 meliputi tebal perkerasan masing masing lapisan struktur jalan,
diantaranya : Subbase Course, Base Course, Surface Course . Selanjutnya hasil
perencanaan Metode AASHTO 1993 akan dibandingkan dengan hasil
perencanaan Konsultan.
4
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Definisi Jalan
Wignall dkk (1999), jalan (road) adalah kata yang baru digunakan sejak
Perang Saudara. Kata tersebut berasal dari kata mengendarai (Ride dan Rode).
Bangsa Romawi menyebut jalan mereka sebagai Via Straeta yang berarti rute atau
jalan yang terbuat dari berbagai bahan secara berlapis-lapis. Seiring perjalanan
waktu, kata via dihilangkan, dan straeta menjadi street. Jalan dalam kota
cenderung disebut street karena pada zaman pertengahan (antara tahun 1100-
1500), dan sampai abad ke-16, jalan diperkeras hanya dikota-kota saja. Secara
sederhana jalan didefinisikan sebagai jalur di mana masyarakat mempunyai hak
untuk melewatinya tanpa diperlukannya izin khusus untuk itu. Dengan pernyataan
ini jalan air (waterway) dapat juga disebut sebagai jalan raya.
2.2 Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)
Sukirman (1999), perkerasan lentur adalah perkerasan yang menggunakan
aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan-lapisan perkerasannya bersifat memikul
dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar yang telah dipadatkan.
2.2.1 Lapisan Permukaan (Surface Course)
Sukirman (1999), lapisan permukaan adalah lapisan yang terletak paling
atas. Lapisan tersebut mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Lapisan perkerasan penahan beban roda, yang mempunyai stabilitas tinggi
untuk menahan beban roda selama masa pelayanan.
2. Lapisan kedap air, sehingga air hujan yang jatuh di atasnya tidak meresap ke
lapisan di bawahnya dan melemahkan lapisan-lapisan tersebut.
3. Lapis aus (wearing course), lapisan yang langsung menderita gesekan akibat
rem kendaraan sehingga mudah menjadi aus.
5
4. Lapis yang menyebarkan beban ke lapisan bawah, sehingga dapat dipikul oleh
lapisan lain yang mempunyai daya dukung yang lebih jelek.
2.2.2 Lapisan Pondasi Atas (Base Course)
Sukirman (1999), lapisan pondasi atas adalah lapisan perkerasan yang
terletak di antara lapis pondasi bawah dan lapis permukaan. Fungsi lapisan
pondasi atas ini antara lain sebagai :
1. Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan
menyebarkan beban ke lapisan di bawahnya.
2. Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah.
3. Bantalan terhadap lapisan permukaan.
Material yang akan digunakan untuk lapis pondasi atas adalah material
yang cukup kuat seperti batu pecah, kerikil pecah, stabilisasi tanah dengan semen
dan kapur dapat digunakan sebagai lapis pondasi atas.
2.2.3 Lapisan Pondasi Bawah (Subbase Course)
Sukirman (1999), lapisan pondasi bawah adalah lapisan perkerasan yang
terletak antara lapis pondasi atas dan tanah dasar. Lapis pondasi bawah ini
berfungsi sebagai :
1. Bagian dari konstruksi perkerasan untuk menyebarkan beban roda ke tanah
dasar.
2. Efisiensi penggunaan material. Material pondasi bawah relatif murah
dibandingkan dengan lapisan perkerasan diatasnya.
3. Mengurangi tebal lapisan di atasnya yang lebih mahal.
4. Lapis peresapan, agar air tanah tidak berkumpul dipondasi.
5. Lapisan untuk mencegah partikel-partikel halus dari tanah dasar naik ke lapis
pondasi atas.
2.2.4 Lapisan Tanah Dasar (Subgrade)
Sukirman (1999), lapisan tanah dasar adalah lapisan tanah setebal 50-100
cm yang di atasnya akan diletakkan lapisan pondasi bawah. Lapisan tanah dasar
6
dapat berupa tanah asli yang dipadatkan jika tanah aslinya baik, tanah yang
didatangkan dari tempat lain dan dipadatkan atau tanah yang distabilisasi dengan
kapur atau bahan lainnya.
2.2.4.1 Daya Dukung Tanah Dasar (DDT)
Sukirman (1999), daya dukung tanah dasar (DDT), adalah
merupakan salah satu parameter yang dipakai dalam nomogram penetapan
Indeks Tebal Perkerasan (ITP). Nilai daya dukung tanah dasar didapat dari
hasil grafik korelasi CBR tanah dasar tehadap DDT, secara analitis nilai DDT
dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :
DDT = 1,6649 + 4,3592 log CBR ..... (2.1)
Di mana :
DDT = Daya dukung tanah dasar.
CBR = nilai CBR tanah dasar.
2.2.4.2 CBR (California Bearing Ratio)
Alamsyah (1999), metode ini mula-mula diciptakan oleh O.J. Porter,
kemudian dikembangkan oleh California State Highway Department, tetapi
kemudian dikembangkan dan dimodifikasi oleh corps insinyur-insinyur
tentara Amerika Serikat (U.S. Army Corps of Engineers). Metode ini
mengkombinasikan percobaan pembebanan penetrasi di laboratorium atau di
lapangan dengan rencana empiris (empirical design charts) untuk menentukan
tebal lapisan perkerasan. Hal ini digunakan sebagai metode perencanaan
perkerasan lentur (flexible pavement) jalan raya dan lapangan terbang. Tebal
bagian perkerasan ditentukan oleh nilai CBR. CBR merupakan suatu
perbandingan antara beban percobaan (test load) dengan beban standar
(standard load) dan dinyatakan dalam persentase. Nilai CBR dapat ditentukan
dengan mempergunakan cara analitis atau dengan cara grafis.
7
A. CBR Secara Analitis
Alamsyah (2001), agar mempermudah dalam menentukan nilai CBR,
maka cara penentuannya dapat dibagi dalam beberapa segmen. Cara analitis
dapat mempergunakan rumus sebagai berikut:

,
_




R
CBR CBR
CBR CBR
maks
rata rata segmen
min
..
(2.2)
di mana :
CBR
segmen
= CBR masing-masing
CBR
rata-rata
= CBR rata-rata keseluruhan
CBR
maks
= Nilai CBR tertinggi
CBR
min
= Nilai CBR terendah
R = Nilai tergantung jumlah data
Besarnya nilai R diperlihatkan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Nilai R Untuk Perhitungan CBR Segmen
Jumlah Titik Pengamatan Nilai R
2 1,41
3 1,91
4 2,24
5 2,48
6 2,67
7 2,83
8 2,96
9 3,08
> 10 3,18
Sumber : Alamsyah, 2001
B. CBR Secara Grafis
Alamsyah (2001), dalam menentukan nilai CBR dengan cara ini,
prosedurnya adalah sebagai berikut :
1. Tentukan nilai CBR yang terendah.
2. Tentukan berapa banyak nilai CBR yang sama atau lebih besar dari
masing-masing nilai CBR dan kemudian disusun secara tabelaris mulai
dari nilai CBR yang terkecil sampai yang terbesar.
8
3. Angka terbanyak diberi nilai 100%, angka yang lain merupakan persentase
dari 100%.
4. Dibuat grafik hubungan antara harga CBR dan persentase jumlah.
5. Nilai CBR segmen adalah nilai pada keadaan 90%.
2.3 Umur Rencana
Alamsyah (2001), umur rencana perkerasan jalan adalah jumlah tahun dari
saat jalan tersebut dibuka untuk lalu lintas kendaraan sampai diperlukan suatu
perbaikan yang bersifat struktural. Selama umur rencana tersebut pemeliharaan
perkerasan jalan tetap harus dilakukan, seperti pelapisan nonstruktural yang
berfungsi sebagai lapis aus.
Umur rencana untuk perkerasan jalan baru umumnya diambil 20 tahun dan
untuk peningkatan jalan 10 tahun. Umur rencana yang lebih besar dari 20 tahun
tidak lagi ekonomis karena perkembangan lalu lintas yang terlalu besar dan sukar
mendapatkan ketelitian yang memadai.
2.4 Lalu Lintas
Sukirman (1999), tebal lapisan perkerasan jalan ditentukan dari beban
yang akan dipikul, berarti dari arus lalu lintas yang hendak memakai jalan
tersebut. Besarnya arus lalu lintas dapat diperoleh dari:
1. Analisa lalu lintas saat ini.
2. Perkiraan faktor pertumbuhan lalu lintas selama umur rencana.
2.4.1 Volume Lalu Lintas
Sukirman (1999), jumlah kendaraan yang hendak memakai jalan
dinyatakan dalam volume lalu lintas. Volume lalu lintas didefinisikan sebagai
jumlah kendaraan yang melewati satu titik pengamatan selama satu tahun waktu.
Untuk perencanaan tebal lapisan perkerasan, volume lalu lintas dinyatakan dalam
kendaraan/hari/2 arah untuk jalan 2 arah tidak terpisah dan kendaraan/hari/1 arah
untuk jalan satu arah atau dua arah terpisah.
Perhitungan volume lalu lintas dapat dilakukan secara manual ditempat-
tempat yang dianggap perlu. Perhitungan dapat dilakukan selama 3 x 24 jam atau
9
3 x 16 jam terus-menerus. Dengan memperhatikan faktor hari, bulan, musim di
mana perhitungan dilakukan, dapat diperoleh data Lalu Lintas Harian Rata-rata
(LHR) yang representatif. Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR) dapat dibedakan
atas:
1. Lalu lintas harian rata-rata (LHR) pada awal umur rencana untuk setiap jenis
kendaraan dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
LHR i LHR
n
rencana umur awal
. ) 1 ( +
........................................................
...... (2.3)
di mana :
i = Pertumbuhan lalu lintas tiap tahun
n = Waktu pelaksanaan
LHR = LHR untuk masing-masing kendaraan
2. Lalu lintas harian rata-rata (LHR) pada akhir umur rencana untuk setiap jenis
kendaraan dihitung dengan menggunakan rumus:
LHR i LHR
n
rencana umur akhir
. ) 1 ( +
........................................................
...... (2.4)
di mana :
i = Pertumbuhan lalu lintas tiap tahun
n = Waktu pelaksanaan
LHR = LHR untuk masing-masing kendaraan
2.4.2 Lintas Ekivalen
Sukirman (1999), kerusakan perkerasan jalan raya pada umumnya
disebabkan oleh terkumpulnya air dibagian perkerasan jalan, dan karena repetisi
dari lintasan kendaraan. Oleh karena itu perlulah ditentukan berapa jumlah
repetisi beban yang akan memakai jalan tersebut. Repetisi beban dinyatakan
dalam lintasan sumbu standar, dikenal dengan nama lintas ekivalen. Lintas
ekivalen dapat dibedakan atas: Volume lalu lintas rata-rata ditentukan oleh besar
lalu lintas lain yang meliputi :
10
1. Lintas Ekivalen Permulaan (LEP), merupakan jumlah lalu lintas rata-rata dari
sumbu tunggal seberat 8,16 ton pada jalur rencana yang diduga terjadi pada
awal umur rencana dan dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :

n
j
E C LHR LEP
1
. .
...................................................................................
... (2.5)
di mana :
LEP = Lintas ekivalen permulaan
C = Koefisien distribusu kendaraan
E = Angka ekivalen dan jenis kendaraan
J = Jenis kendaraan
LHR = LHR pada awal umur rencana
2. Lintas Ekivalen Akhir (LEA), merupakan jumlah lalu lintas rata-rata dari
sumbu tunggal seberat 8,16 ton pada jalur rencana yang diduga terjadi pada
akhir umur rencana dan dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :

+
n
j
ur
E C i n LHR LEA
1
. . ) 1 ( .
.............................................................
.......... (2.6)
di mana :
LEA = Lintas ekivalen akhir
C = Koefisien distribusu kendaraan
E = Angka ekivalen dan jenis kendaraan
J = Jenis kendaraan
LHR = LHR pada awal umur rencana
Ur = Umur rencana
i = Perkembangan lalu lintas
11
3. Lintas Ekivalen Tengah (LET), merupakan jumlah lalu lintas rata-rata dari
sumbu tunggal seberat 8,16 ton pada jalur rencana lintas ekivalen tengah dapat
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
2
LEA LEP
LET
+

.....................................................................................
(2.7)
di mana :
LET = Lintas ekivalen tengah
LEP = Lintas ekivalen permulaan
LEA = Lintas ekivalen akhir
2 = Konstanta
5. Lintas Ekivalen Rencana (LER), merupakan suatu besaran yang dipakai dalam
nomogram penetapan tebal perkerasan untuk menyatakan jumlah lalu lintas.
Ekivalen sumbu tunggal seberat 8,16 ton pada jalur rencana dapat dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
FP LET LER .
.............................................................................................
(2.8)
di mana :
LER = Lintas ekivalen rencana
LET = Lintas ekivalen tengah
FP = Faktor penyesuaian yang didapat dengan Ur/10
2.4.3 Angka Ekivalen Beban Sumbu
Sukirman (1999), konstruksi perkerasan jalan menerima beban lalu lintas
yang dilimpahkan melalui roda-roda kendaraan. Besarnya beban yang
dilimpahkan tersebut tergantung dari berat kendaraan, konfigurasi sumbu, bidang
kontak antara roda dan perkerasan, kecepatan kendaraan dan lain-lain. Dengan
demikian efek dari masing masing kendaraan terdapat kerusakan yang
ditimbulkanya tidak sama. Oleh karena itu diperlukan suatu beban standar
sehingga semua beban lainnya dapat diekivalenkan ke beban standar tersebut.
Beban standar merupakan beban sumbu tunggal beroda ganda seberat 18.000 pon
.
8160
,
4
.(2.10)

,
_

kg tunggal sumbu satu Beban


E
tunggal sumbu
12
(8,16 ton). Semua beban kendaraan lain dengan sumbu berbeda diekivalenkan ke
beban sumbu standar dengan menggunakan angka ekivalen beban sumbu (E).
Jadi angka ekivalen kenderaan adalah angka yang menunjukkan jumlah
lintasan dari sumbu tunggal seberat 8,16 ton yang akan menyebabkan kerusakan
yang sama atau penurunan indeks permukaan yang sama apabila kendaraan lewat
satu kali. Angka ekivalen kenderaan (E) dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan berikut.
SHAPE \* MERGEFORMAT
Berdasarkan rumus di atas maka angka ekivalen kenderaan (E) dapat
dihitung setiap beban sumbu sebesar 1000 kg. Besarnya nilai angka ekivalen
beban sumbu kendaraan diperlihatkan pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Angka Ekivalen Beban Sumbu Kendaraan
Beban Sumbu Angka Ekivalen
Kg Lb Sumbu Tunggal Sumbu Ganda
1000 2205 0,0002 -
2000 4409 0,0036 0,0003
3000 6614 0,0183 0,0016
4000 8818 0,0577 0,0050
5000 11023 0,1410 0,0121
6000 13228 0,2933 0,0251
7000 15432 0,5415 0,0466
8000 17637 0,9328 0,0794
8160 18000 1,0000 0,0860
9000 19841 1,4798 0,1273
10000 22046 2,2555 0,1940
11000 24251 3,3022 0,2840
12000 26455 4,6770 0,4022
13000 28660 6,4419 0,5540
14000 30864 8,6447 0,7452
15000 33069 11,4184 0,9820
16000 35276 14,7815 1,2712
Sumber : Anonim, 1989
.
8160
,
086 , 0
4
(2.9)
,
_

kg ganda sumbu satu Beban


E
ganda sumbu
13
2.4.4 Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas
Sukirman (1999), jumlah kendaraan yang memakai jalan bertambah dari
tahun ke tahun. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan lalu lintas adalah
perkembangan daerah, bertambahnya kesejahteraan masyarakat, naiknya
kemampuan membeli kendaraan dan lain sebagainya. Faktor lalu lintas dinyatakan
dalam persen atau tahun.
2.4.5 Jumlah Jalur Rencana
Anonim (1989), persentase kendaraan yang berada pada lajur rencana ,
yaitu lajur dengan volume kendaraan berat terbesar. Jika ruas jalan tersebut tidak
memiliki batas lajur, maka jumlah lajur dapat ditentukan dengan berpedoman
pada tabel 2.3.
Tabel 2.3 Jumlah Jalur Berdasarkan Lebar Perkerasan
Lebar Perkerasan (L) Jumlah Jalur (n)
L < 5,50 m 1 jalur
5,50 m L < 8,25 m 2 jalur
8,25 m L < 11,25 m 3 jalur
11,25 m L < 15,00 m 4 jalur
15,00 m L < 18,75 m 5 jalur
18,75 m L < 22,00 m 6 jalur
Sumber : Anonim, 1989
2.4.6 Koefisien Distribusi Kendaraan
Sukirman (1999), persentase kendaraan pada lajur rencana dapat
ditentukan dengan menggunakan koefisien distribusi kendaraan. Koefisien
distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat pada lajur
rencana ditentukan menurut tabel 2.4.
Tabel 2.4 Koefisien Distribusi Kendaraan
Jumlah Jalur
Kendaraan Ringan
*
) Kendaraan Berat
**
)
1 arah 2 arah 1 arah 2 arah
1 jalur 1,00 1,00 1,00 1,00
2 jalur 0,60 0,50 0,70 0,50
3 jalur 0,40 0,40 0,50 0,475
14
4 jalur 0,30 0,45
5 jalur 0,25 0,425
6 jalur 0,20 0,40
*
) Berat total < 5 ton, misalnya : mobil penumpang, pick up.
**
) Berat total 5 ton, misalnya : bus, truk, traktor, dan lain-lain.
Sumber : Sukirman
2.5 Faktor Regional (FR)
Anonim (1989), keadaan lapangan mencakup permeabilitas tanah, bentuk
alinyemen serta persentase keadaan dengan berat 13 ton, dan kendaraan yang
berhenti, sedangkan keadaan iklim mencakup curah hujan rata-rata pertahun.
Wesli (2008), besarnya kemungkinan curah hujan rata-rata pertahun yang
terjadi dalam T tahun mendatang dihitung dengan menggunakan persamaan
berikut:
X
T
=
a

+
Sd
Sn
Yn Yt
.
,
_


.........................
(2.11)
di mana :
X
T
= besar curah hujan per tahun periode T tahun (mm/tahun)
X
a
= besar curah hujan rata-rata per tahun (mm/tahun)
Y
T
= variasi nilai tahun
Y
n
= angka reduksi rata-rata
Sn = angka reduksi standar deviasi
n = banyak data curah hujan tahunan yang dianalisis
Wesli (2008), besarnya curah hujan rata-rata dihitung berdasarkan
persamaan berikut:
X
a
=

n
i
i
n
x
1
.. (2.12)
di mana :
15
X
a
= besar curah hujan rata-rata per tahun (mm/tahun)
X
i
= besar curah hujan per tahun i (mm/tahun)
n = banyak data curah hujan tahunan yang dianalisis
Wesli (2008), besarnya nilai standar deviasi dihitung berdasarkan
persamaan berikut :
Sd =
1
) (
2

n
X X
a i
.
(2.13)
di mana:
Sd = standar deviasi
X
a
= besar curah hujan rata-rata per tahun (mm/tahun)
X
i
= besar curah hujan per tahun i (mm/tahun)
n = banyak data curah hujan tahunan yang dianalisis.
Wesli (2008), besarnya nilai variasi nilai tahun dihitung berdasarkan
persamaan berikut:
Y
T
=

,
_

+
1
. . 303 , 2 834 , 0
T
T
Log Log
...(2.14)
di mana:
Y
T
= variasi nilai tahun
T = jumlah tahun
Dalam nilai X
T
dan persentase kendaraan berat yang lewat pada suatu
lintasan jalan dapat ditentukan besar faktor regional (FR) seperti yang
diperlihatkan pada table 2.5.
Tabel 2.5 Faktor Regional (FR)
Curah Kelandaian I (< 6 %) Kelandaian II (6-10 %) Kelandaian III (> 10 %)
16
Hujan
% Kendaraan Berat % Kendaraan Berat % Kendaraan Berat
30 % > 30 % 30 % > 30 % 30 % > 30 %
Iklim I <
900 mm/thn
0,5 1,0 1,5 1,0 1,5 2,0 1,5 2,0 2,5
Iklim II >
900 mm/thn
1,5 2,0 2,5 2,0 2,5 3,0 2,5 3,0 3,5
Sumber : Anonim, 1989
2.6 Indeks Permukaan
Anonim (1989), indeks permukaan ini menyatakan nilai dari pada kerataan
atau kehalusan serta kekokohan permukaan yang bertalian dengan tingkat
pelayanan bagi lalu lintas yang lewat. Indeks permukaan ini dibedakan atas indeks
permukaan pada awal umur rencana (IPo) dan indeks permukaan pada akhir umur
rencana (IPt). Dalam menentukan indeks permukaan awal umur rencana (IPo)
perlu diperhatikan jenis lapis permukaan jalan pada awal umur rencana. Nilai
indeks permukaan awal umur rencana ini diperlihatkan pada tabel 2.6.
Tabel 2.6 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IPo)
Jenis Lapis Perkerasan IPo Roughness (mm/km)
Laston 4 1000
3,9 3,5 > 1000
Lasbutag 3,9 3,5 2000
3,4 3,0 > 2000
HRA 3,9 3,5 2000
3,4 3,0 > 2000
Burda 3,9 3,5 < 2000
Burtu 3,4 3,0 < 2000
Lapen 3,4 3,0 3000
2,9 2,5 > 3000
Latasbum 2,9 2,5
17
Buras 2,9 2,5
Latasir 2,9 2,5
Jalan Tanah 24
Jalan Kerikil 24
Sumber : Anonim, 1989
Dalam menentukan indeks permukaan akhir umur rencana (IPt) perlu
dipertimbangkan factor-faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lintas
ekivalen rencana (LER). Nilai indeks permukaan akhir umur rencana ini
diperlihatkan pada tabel 2.7.
Tabel 2.7 Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana (IPt)
LER = Lintas
Ekivalen Rencana
Klasifikasi Jalan
Lokal Kolektor Arteri Tol
< 10 1,0 1,5 1,5 1,5 2,0 -
10 100 1,5 1,5 2,0 2,0 -
100 1000 1,5 2,0 2,0 2,0 2,5 -
> 1000 - 2,0 2,5 2,5 2,5
Sumber : Anonim, 1989
2.7 Koefisien Kekuatan Relatif
Anonim (1989), koefisien kekuatan relatif (a) masing-masing bahan dan
kegunaannya sebagai lapis permukaan, pondasi atas, pondasi bawah, ditentukan
secara korelasi sesuai nilai Marshall Test (untuk bahan dengan aspal), kuat tekan
(untuk bahan yang distabilisasi dengan semen atau kapur), atau CBR (untuk bahan
lapis pondasi bawah). Nilai koefisien kekuatan relatif ini diperlihatkan pada
lampiran B.9.
2.8 Indeks Tebal Perkerasan
Sukirman (1999), perhitungan perencanaan komponen perkerasan relatif
(a) dari masing-masing lapisan perkerasan jangka panjang, di mana penentuan
tebal perkerasan dinyatakan oleh nilai Indeks Tebal Perkerasan (ITP), dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut:
18
ITP = a
1 .
D
1
+ a
2
. D
2
+ a
3
. D
3
(2.15)

Di mana :
ITP = Indeks tebal perkerasan
a
i
= Koefisien relatif lapis ke-i
D
i
= Tebal masing-masing lapis perkerasan ke-i (cm)
Perkiraan besarnya ketebalan masing-masing jenis lapis perkerasan ini
tergantung dari nilai minimum yang disyaratkan oleh Bina Marga.
2.9 Metode AASHTO 1993
Siegfried dan Rosyidi (2007), salah satu metode perencanaan untuk tebal
perkerasan jalan yang sering digunakan adalah metode AASHTO. Metode ini
sudah dipakai secara umum di seluruh dunia untuk perencanaan serta di adopsi
sebagai standar perencanaan di berbagai negara. Metode AASHTO 1993 ini pada
dasarnya adalah metode perencanaan yang didasarkan pada metode empiris.
Parameter yang dibutuhkan pada perencanaan menggunakan Metode AASHTO
1993 ini antara lain adalah :
a. Structural Number (SN)
b. Lalu lintas
c. Reliability
d. Faktor drainase
e. Serviceability
2.9.1 Structural Number
Siegfried dan Rosyidi (2007), stuctural number merupakan fungsi dari
ketebalan lapisan, koefisien relatif lapisan, dan koefisien drainase. Untuk
stuctural number dalam AASHTO 1993 dinyatakan dalam rumus:
3 3 3 2 2 2 1 1
m D a m D a D a SN + +
...................................................................
(2.16)
di mana :
a
i
= koefisien relatif lapis ke-i
19
D
i
= tebal masing-masing lapis perkerasan ke-i (cm)
m
i
= koefisien drainase lapis ke-i
SN = Structural Number
Angka-angka 1,2,3 masing-masing berarti lapis permukaan, lapis pondasi
atas, dan lapis pondasi bawah.
Anonim (1986), ketebalan dari suatu lapisan perkerasan lentur dapat
dibulatkan mendekati inch. Nilai dari tebal lapisan dapat dianggap sudah sesuai,
apabila pertimbangan kebutuhan biaya sudah cukup efektif selama masa
pembangunan dan masa pemeliharaan dalam upaya untuk menghindari
kemungkinan hasil perancangan yang tidak praktis.
Sebagai gambaran biaya yang digunakan sudah dikatakan efektif, jika
perbandingan biaya dari lapis pertama kurang dari lapis kedua kemudian
dihubungkan dengan perbandingan waktu dari koefisien lapisan untuk koefisien
drainase dan biaya perancangan optimum didapat dengan menggunakan tebal
dasar minimum. Nilai dari angka minimum untuk ketebalan dari bagian
perkerasan jalan diperlihatkan pada tabel 2.8.
Tabel 2.8 Nilai Tebal Minimum (Inch)
Lalu Lintas (ESALs) Aspal beton Agregat Pondasi Atas
< 50.000 1,0 4
50.001 150.000 2,0 4
150.001 500.000 2,5 4
500.001 2.000.000 3,0 6
2.000.001 7.000.000 3,5 6
> 7.000.000 4,0 6
Sumber : Anonim, 1986
2.9.2 Lalu lintas
Siegfried dan Rosyidi (2007), prosedur perencanaan untuk parameter lalu
lintas didasarkan pada kumulatif beban gandar standar ekivalen (Equivalent
20
Standard Axle Load, ESAL). Perhitungan untuk ESAL ini didasarkan pada
konversi lalu lintas yang lewat terhadap beban gandar standar 8,16 kN dan
mempertimbangkan umur rencana, volume lalu lintas, faktor distribusi lajur, serta
faktor bangkitan lalu lintas (growth factor).
2.9.2.1 Beban Gandar Standar Ekivalen
Siegfried dan Rosyidi (2007), lalu lintas rencana ini jumlahnya
tergantung dari komposisi lalu lintas, volume lalu lintas yang lewat, beban
aktual yang lewat, serta faktor bangkitan lalu lintas serta jumlah lajur yang
direncanakan. Semua parameter tersebut akan dikonversikan menjadi beban
gandar standar ekivalen (Equivalent Single Axle Load, ESAL). Nilai ESAL
ini dinyatakan dalam rumus:
) 17 . 2 ...( / / / / kendaraan ESALs x thn hari Jlh x D x hari kendaraan Jlh thn ESALs
L

di mana:
D
L
= Faktor Distribusi Lajur
ESALs/kendaraan = Koefisien ESALs/kendaraan
Nilai koefisien ESAL/kendaraan diperlihatkan pada tabel 2.9.
Tabel 2.9 Klasifikasi ESALs per Kendaraan
Kelas Tipe Koefisien ESALs/Kendaraan
1 Motor -
2 Mobil penumpang -
3 Mobil 2 as -
4 Bus 0,57
5 Truk 2 as 0,26
6 Truk 3 as 0,42
7 Truk 4 as atau > 4 0,42
8 Truk trailer 4 as atau < 4 0,30
9 Truk trailer 5 as 1,20
10 Truk trailer 6 as atau > 6 0,93
11 Truk multi trailer 5 as atau < 5 0,82
12 Truk multi trailer 6 as 1,06
21
13 Truk multi trailer 7 as atau > 7 1,39
Sumber : Anonim, 1993

( )
1
]
1

g
g
x thn ESALs thn n untuk ESALs
n
1 1
/
.............................
(2.18)
di mana:
g = Faktor pertumbuhan lalu lintas
n = Umur rencana
2.9.2.2 Umur Rencana
Sukirman (1999), umur rencana dapat sama atau lebih besar dari
umur kinerja jalan. Umur kinerja jalan adalah masa pelayanan jalan dimana
pada akhir masa pelayanan dibutuhkan rehabilitasi atau overlay.
2.9.2.3 Volume Lalu Lintas
Alamsyah (2001), jumlah kendaraan yang hendak memakai jalan
dinyatakan dalam volume lalu lintas. Volume lalu lintas didefinisikan sebagai
jumlah kendaraan yang melewati satu titik pengamatan selama satu tahun
waktu. Untuk perencanaan tebal lapisan perkerasan, volume lalu lintas
dinyatakan dalam kendaraan/hari/2 arah untuk jalan 2 arah tidak terpisah dan
kendaraan/hari/1 arah untuk jalan satu arah atau dua arah terpisah.
Perhitungan volume lalu lintas dapat dilakukan secara manual
ditempat-tempat yang dianggap perlu. Perhitungan dapat dilakukan selama 3 x
24 jam atau 3 x 16 jam terus-menerus. Dengan memperhatikan faktor hari,
bulan, musim di mana perhitungan dilakukan, dapat diperoleh data Lalu
Lintas Harian Rata-rata (LHR) yang representatif.
2.9.2.4 Faktor Distribusi Lajur
Anonim (1986), jumlah beban ekivalen yang dihitung menunjukkan
jumlah beban untuk semua lajur dan kedua arah. Untuk perancangan, jumlah
beban ini harus didistribusikan menurut arah dan lajur rencana. Faktor
22
distribusi arah biasanya 50 % atau ditetapkan secara lain. Faktor distribusi
lajur ditentukan seperti tabel 2.10.
Tabel 2.10 Faktor Distribusi Lajur
Jumlah Lajur Untuk Setiap Arah
Persen dari 18-kip ESAL Untuk
Lajur Rencana
1 100
2 80 100
3 60 80
4 50 - 75
2.9.3 Reliabilitas (Reliability)
Sukirman (1999), reliabilitas adalah nilai probabilitas dari kemungkinan
tingkat pelayanan dapat dipertahankan selama masa pelayanan dipandang dari si
pemakai jalan. Reliabilitas adalah nilai jaminan bahwa perkiraan beban lalu lintas
yang akan memakai jalan tersebut dapat dipenuhi. Reliabilitas dapat dinyatakan
dalam tingkat reliabilitas. Tingkat reliabilitas (level of reliability), R AASHTO
1993 memberikan nilai R seperti diperlihatkan pada tabel 2.11.
Tabel 2.11 Tingkat Reliabilitas
Fungsi Jalan
Tingkat Keandalan (R), %
Urban Rural
Jalan Tol 85 99,9 80 99,9
Arteri 80 99 75 95
Kolektor 80 95 75 95
Lokal 50 80 50 80
Sumber : Sukirman, 1999
Siegfried dan Rosyidi (2007), juga menjelaskan menurut AASHTO 1993
konsep reliabilitas (reliability) untuk perencanaan perkerasan didasarkan pada
beberapa ketidaktentuan (uncertainties) dalam proses perencanaan untuk
meyakinkan alternatif-alternatif berbagai perencanaan. Tingkatan reliabilitas ini
yang digunakan tergantung pada volume lalu lintas ataupun klasifikasi jalan yang
akan direncanakan.
Sumber : Anonim, 1986
23
Reliabilitas didefinisikan sebagai kemungkinan bahwa tingkat pelayanan
dapat tercapai pada tingkatan tertentu dari sisi pandangan para pengguna jalan
sepanjang umur yang direncanakan. Hal ini memberikan implikasi bahwa repetisi
beban yang direncanakan dapat tercapai hingga mencapai tingkatan pelayanan
tertentu. Pengaplikasian dari konsep reliabilitas ini diberikan juga dalam
parameter standar deviasi yang mempresentasikan kondisi-kondisi lokal dari ruas
jalan yang direncanakan serta tipe perkerasan antara lain perkerasan lentur
ataupun perkerasan kaku.
Secara garis besar pengaplikasian dari konsep reliabilitas sebagai berikut:
a. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menentukan klasifikasi dari ruas
jalan yang akan direncanakan. Klasifikasi ini mencakup apakah jalan tersebut
adalah jalan dalam kota (urban) atau jalan antar kota (rural).
b. Tentukan tingkat reliabilitas yang dibutuhkan dengan menggunakan tabel
yang ada pada metoda perencanaan AASHTO 1993. Semakin tinggi tingkat
reliabilitas yang dipilih, maka akan semakin tebal lapisan perkerasan yang
dibutuhkan.
c. Satu nilai standar deviasi (So) harus dipilih. Nilai ini mewakili dari kondisi-
kondisi lokal yang ada. Berdasarkan data dari jalan percobaan AASHTO
ditentukan nilai So sebesar 0,30-0,40 untuk rigid dan 0,40-0,50 untuk flexible
pavement. Hal ini berhubungan dengan total standar deviasi sebesar 0,40 dan
0,50 untuk lalu lintas untuk jenis perkerasan rigid dan flexible.
Dari nilai reliabilitas ini, maka dapat ditentukan nilai standar normal
deviasi. Nilai standar normal deviasi ini diperlihatkan pada tabel 2.12.
Tabel 2.12 Nilai Standar Normal Deviasi (Z
R
)
Reliabilitas (%) Standar Normal Deviasi (Z
R
)
50 -0,000
60 -0,253
70 -0,524
75 -0,674
80 -0,841
85 -1,037
90 -1,282
91 -1,340
92 -1,405
24
93 -1,476
94 -1,555
95 -1,645
96 -1,751
97 -1,881
98 -2,054
99 -2,327
99,9 -3,090
99,99 -3,750
Sumber : Anonim, 1993
2.9.4 Faktor Drainase
Sukirman (1999), dalam Metode AASHTO 1993 sistem drainase dari jalan
sangat mempengaruhi kinerja jalan tersebut. Tingkat kecepatan pengeringan air
yang jatuh atau terdapat pada konstruksi jalan raya bersama-sama dengan beban
lalu lintas dan kondisi permukaan jalan sangat mempengaruhi umur pelayanan
jalan. AASHTO 1993 membagi kualitas drainase ini menjadi lima tingkat seperti
yang diperlihatkan pada tabel 2.13.
Tabel 2.13 Kualitas Drainase
Kualitas drainase
Waktu yang dibutuhkan untuk
mengeringkan air
Baik sekali 2 jam
Baik 1 hari
Cukup 1 minggu
Buruk 1 bulan
Buruk sekali Air tak mungkin dikeringkan
Sumber : Sukirman, 1999
Berdasarkan kualitas dari drainase pada lokasi jalan tersebut maka
dapatlah ditentukan koefisien drainase.dari lapisan perkerasan lentur. AASHTO
1993 memberikan daftar koefisien drainase seperti yang terlihat pada tabel 2.14.
Tabel 2.14 Daftar Koefisien Drainase
25
Kualitas
drainase
Persen waktu perkerasan dalam keadaan lembab-jenuh
< 1 1-5 5-25 > 25
Baik sekali 1,40 1,35 1,35 1,30 1,30 1,20 1,20
Baik 1,35 1,25 1,25 1,15 1,15 1,00 1,00
Cukup 1,25 1,15 1,15 1,05 1,00 0,80 0,80
Buruk 1,15 1,05 1,05 0,80 0,80 0,60 0,60
Buruk Sekali 1,05 0,95 0,95 0,75 0,75 0,40 0,40
Sumber : Sukirman, 1999
2.9.5 Indeks Permukaan (Serviceability)
Siegfried dan Rosyidi (2007), menjelaskan menurut AASHTO 1993
serviceability merupakan tingkat pelayanan yang diberikan oleh sistem perkerasan
yang kemudian dirasakan oleh pengguna jalan. Untuk serviceability ini parameter
utama yang dipertimbangkan adalah nilai Present Serviceability Index (PSI). Nilai
serviceability ini merupakan nilai yang menjadi penentu tingkat pelayanan
fungsional dari suatu sistem perkerasan jalan. Secara numerik serviceability ini
merupakan fungsi dari beberapa parameter antara lain ketidakrataan, jumlah
lobang, luas tambalan, dll.
Nilai serviceability ini diberikan dalam beberapa tingkatan antara lain :
a. Untuk perkerasan yang baru dibuka (open traffic) nilai serviceability ini
diberikan sebesar 4.0 4.2. Nilai ini dalam terminologi perkerasan diberikan
sebagai nilai initial serviceability (Po).
b. Untuk perkerasan yang harus dilakukan perbaikan pelayanannya, nilai
serviceability ini diberikan sebesar 2.0. Nilai ini dalam terminologi perkerasan
diberikan sebagai nilai terminal serviceability (Pt).
c. Untuk perkerasan yang sudah rusak dan tidak bisa dilewati, maka nilai
serviceability ini akan diberikan sebesar 1.5. Nilai ini diberikan dalam
terminologi failure serviceability (Pf).
2.10 Persamaan AASHTO 1993
26
Dari hasil percobaan jalan AASHO untuk berbagai macam variasi kondisi
dan jenis perkerasan, maka disusunlah metoda perencanaan AASHO yang
kemudian berubah menjadi AASHTO. Dasar perencanaan dari metoda AASHTO
baik AASHTO72, AASHTO86, maupun metoda terbaru saat sekarang yaitu
AASHTO93 adalah persamaan seperti yang diberikan dibawah ini:
( )
) 17 . 2 ...( 07 , 8 log 32 , 2
1
1094
40 , 0
log
20 , 0 ) 1 ( log 36 , 9 log
10
19 , 5
10
10 18 10
+
+
+
1
]
1

+ + + Mr
SN
Pf Po
Pt Po
SN So Z W
R
di mana:
W
18
= Kumulatif beban gandar standar selama umur perencanaan (ESAL).
Z
R
= Standard Normal Deviate.
So = Combined standard error dari prediksi lalu lintas dan kinerja.
SN = Structural Number.
Po = Initial serviceability.
Pt = Terminal serviceability.
Pf = Failure serviceability.
Mr = Modulus resilien (psi)
2.11 Langkah-Langkah Perencanaan Dengan Metode AASHTO 1993
Langkah-langkah perencanaan dengan Metode AASHTO 1993 adalah
sebagai berikut:
a. Tentukan lalu lintas rencana yang akan diakomodasi di dalam perencanaan
tebal perkerasan. Lalu lintas rencana ini jumlahnya tergantung dari komposisi
lalu lintas, volume lalu lintas yang lewat, beban aktual yang lewat, serta faktor
bangkitan lalu lintas serta jumlah lajur yang direncanakan. Semua parameter
tersebut akan dikonversikan menjadi kumulatif beban gandar standar ekivalen
(Equivalent Single Axle Load, ESAL).
b. Hitung CBR dari tanah dasar yang mewakili untuk ruas jalan ini. CBR
representatif dari suatu ruas jalan yang direncanakan ini tergantung dari
klasifikasi jalan yang direncanakan. Pengambilan dari data CBR untuk
27
perencanaan jalan biasanya diambil pada jarak 100 meter. Untuk satu ruas
jalan yang panjang biasanya dibagi atas segmen-segmen yang mempunyai
nilai CBR yang relatif sama. Dari nilai CBR representatif ini kemudian
diprediksi modulus elastisitas tanah dasar dengan mengambil persamaan
sebagai berikut:
E = 1500 CBR (psi) . (2.18)
di mana :
CBR = nilai CBR representatif (%).
E = modulus elastisitas tanah dasar (psi).
Untuk nilai modulus elastisitas tanah dasar tiap lapisan perkerasan dapat
dilihat pada tabel 2.15.
Tabel 2.15
Karakteristik Material Lapisan Perkerasan
Material Perkerasan Modulus Elastisitas (psi)
Aspal beton 400.000
Pondasi atas 30.000
Pondasi bawah 11.000
Sumber : Anonim, 1986

c. Kemudian tentukan besaran-besaran fungsional dari sistem perkerasan jalan
yang ada seperti Initial Present Serviceability Index (Po), Terminal
Serviceability Index (Pt), dan Failure Serviceability Index (Pf). Masing-
masing besaran ini nilainya tergantung dari klasifikasi jalan yang akan
direncanakan antara lain urban road, country road, dll.
d. Setelah itu tentukan reliability dan standard normal deviate. Kedua besaran
ini ditentukan berdasarkan beberapa asumsi antara lain tipe perkerasan dan
juga klasifikasi jalan.
e. Menggunakan data lalu lintas, modulus elastisitas tanah dasar serta besaran-
besaran fungsional Po, Pt, dan Pf serta reliability dan standard normal deviate
kemudian bisa dihitung Structural Number yang dibutuhkan untuk
mengakomodasi lalu lintas rencana. Perhitungan ini bisa menggunakan grafik-
Lap. permukaan
Lapis pondasi atas
Lapis pondasi bawah
Tanah dasar
D 1
D 2
D 3
SN 1
SN 2
SN 3
28
grafik yang tersedia atau juga bisa menggunakan rumus AASHTO 1993 seperti
yang diberikan pada persamaan di atas.
f. Langkah selanjutnya adalah menentukan bahan pembentuk lapisan perkerasan.
Masing-masing tipe bahan perkerasan mempunyai koefisien lapisan yang
berbeda. Penentuan koefisien lapisan ini didasarkan pada beberapa hubungan
yang telah diberikan oleh AASHTO 1993.
g. Menggunakan koefisien lapisan yang ada kemudian dihitung tebal lapisan
masing-masing dengan menggunakan hubungan yang diberikan pada
persamaan diatas dengan mengambil koefisien drainase tertentu yang
didasarkan pada tipe pengaliran yang ada.
h. Kemudian didapat tebal masing-masing lapisan. Metode AASHTO 1993
memberikan rekomendasi untuk memeriksa kemampuan masing-masing
lapisan untuk menahan beban yang lewat menggunakan prosedur seperti yang
diberikan pada langkah berikut ini:
Gambar 2.1. Ketentuan Perencanaan Menurut AASHTO 1993
29

Anda mungkin juga menyukai