Anda di halaman 1dari 63

Aksara Senada ; Extra Part ; 3 - 4 - 5

Tiga

Sebelum mereka resmi menikah, Nada dan Aksa


sudah terlebih dahulu membicarakan rencana masa
depan mereka. Tentang pendidikan si kembar, juga
mengenai beberapa hal yang mungkin akan sedikit
berubah di rumah. Seperti menambah gaji untuk
asisten rumah tangga mereka. Tak ketinggalan, juga
menambah beberapa barang. Karena Aksa akan
tinggal bersama, mereka mendiskusikan beberapa
penyesuaian.

Sebenarnya sih, tidak banyak. Karena jauh


sebelumnya, mereka pernah bersama dalam satu
atap. Sedikit banyaknya, keduanya paham betul
bagaimana karakteristik pasangan. Tidak sulit, sebab
mereka saling memahami.

Namun yang perlu diluruskan dalam kehidupan


berumahtangga versi mereka adalah Aksa
menginginkan Nada berada di rumah. Seperti dulu,
seperti waktu itu. Tujuannya, bukan karena ingin
Nada hanya khusus mengurusinya dan anak-anak.
Toh, anak-anak mereka sudah remaja. Aksa pun bisa
mengurus dirinya sendiri. Delapan tahun, ia sudah
membuktikannya. Jadi, alasannya meminta Nada
berada di rumah, tentu saja bukan untuk mengurusi
mereka.

Tentu saja, bukan begitu.

Bagi Aksa, seorang istri adalah ratu di dalam rumah.


Dan sebagaimana pemahamannya, ratu itu tidak
bekerja. Ratu hanya memerintah. Karena, ada dirinya
yang akan bekerja keras memenuhi semua
kebutuhan mereka. Ia lebih menyukai fakta bahwa
istri dan anak-anaknya berada di tempat yang aman.
Supaya, ia pun bisa bekerja dengan tenang.

Beruntung saja, Nada tidak keberatan pada


permintaan tersebut.

Karena bagi Nada, dulu ia terpaksa bekerja karena


statusnya menuntut untuk itu. Ia perlu menafkahi
dirinya. Lingkungan kerja, tidak pernah membuatnya
benar-benar nyaman. Ia kurang suka berinteraksi
dengan banyak orang. Basa-basi dengan orang baru
pun, bukan keahliannya. Jadi, ia menyanggupi
keinginan Aksa waktu itu. Makanya, tepat satu
minggu sebelum mereka menikah, ia menyerahkan
surat pengunduran diri.

Dan setelah satu minggu kembali dari cuti, yang


sebenarnya sangat memakai orang dalam sekali,
Nada pun bekerja seperti biasa.

Ah, tidak seperti biasa sih, karena sudah


mengundurkan diri, Nada hanya menyelesaikan
sisa-sisa pekerjaannya saja. Dan ia berada di sana
selama dua minggu. Hari ini adalah hari terakhirnya.
Sudah ada anak baru yang akan menggantikannya.
Mengingat Nada tidak terlalu suka keramaian, ia
memilih tidak mengadakan makan malam
perpisahan. Sebagai gantinya, ia menyerahkan
bingkisan yang ia beli sendiri untuk rekan-rekan di
divisinya. Tak lupa, ia menambahkan tiga bingkisan
untuk Dira, Pak Adit, juga Fuad. Walau berbeda
divisi, namun mereka pernah menemani hari-hari
Nada di firma ini.

“Padahal, gue udah klop banget lha, sama elo, Nad,”


Uti menerima bingkisan yang Nada bagikan di sore
hari menjelang jam pulang. “Tapi, ya, kalau lo udah
mutusin buat berhenti kerja, gue harus bilang apa?
Mana laki lo bos gue lagi,” celetuk sambil meringis.
Nada hanya menanggapi perkataan itu dengan tawa.
“Iya, Mbak Uti. Aku sama Mas Aksa udah diskusi
panjang. Dan aku sendiri kok yang mutusin buat
berhenti.”

“Tapi kapan-kapan, lo main-main dong ke sini, Nad?”


pinta Uti. “Ya, entah itu pas lagi nganter makan siang
buat Pak Aksa. Atau, lo sendiri inisiatif temu kangen
sama kita-kita.”

“Oke, Mbak. Mudah-mudahan, ada waktunya, ya?” ia


tidak ingin menjanjikan apa-apa. Karena dirinya
bukan tipikal wanita yang senang berpergian.
Namun, sesekali sepertinya boleh juga. “Sekali lagi,
makasih, ya, Mbak Uti, udah jadi rekan kerja aku
selama hampir lima bulan di sini. Dan maaf juga,
kalau aku selalu ngerepotin Mbak Uti.”

Kemudian, mereka berpelukan sejenak.

Setelah itu, Nada kembali membagi bingkisannya


pada yang lain.

“Maaf, ya, Bu July, karena nggak bisa lama kerja di


sini,” ia memeluk kepala divisinya itu dengan hangat.
Menghaturkan penyesalan karena tidak bia
memenuhi ekspektasi wanita tersebut diawal
bergabungnya dirinya pada divisi ini. “Ada tugas baru
yang menanti saya di rumah, Bu.”

Status baru.

Tentu saja, tugas baru.

Walau Aksa tetap memperkerjakan Bu Tina untuk


membantunya mengurus rumah. Namun, hal itu
bukan berarti Nada akan menyerahkan seluruh
pekerjaan rumah pada wanita setengah baya itu. Ia
masih terlampau mampu mengurusi kebutuhan
suami dan anak-anaknya. Kehadiran Bu Tina di
rumah, akan ia anggap sebagai teman setelah ia
resmi menyandang gelar ibu rumah tangga kembali.

“Dari pernikahan pertama dulu, Mas Aksa udah


komit, pengin istrinya di rumah aja, Bu. Makanya,
begitu kami rujuk lagi, dia juga pengin saya tetap
berada di rumah,” Nada menjelaskan singkat.

“Iya, nggak apa-apa,” Bu July menaruh bingkisan


yang diberikan Nada ke atas mejanya. Ia menyentuh
lengan kurus wanita tersebut sambil
menyunggingkan senyum kecil. “Semoga kamu
bahagia selalu, ya, Nad? Saya nggak bermaksud
kepo, tapi berita-berita yang beredar di luaran sana
tentang kamu dan anak-anak kamu, membuat saya
mengerti kalau kalian udah melewatkan hari-hari
yang berat.”

“Terima kasih doanya, Bu,” senyum Nada


tersinggung tulus. “Nggak cuma saya dan anak-anak
yang menghadapi hari-hari berat, Bu. Tapi, Mas Aksa
juga.”

“Duileeh, selama ini yang gue pikir bucin akut tuh,


Pak Aksa ke elo, Nad. Eh, ternyata elo juga cinta
mati, ya?” Uti menggoda telak. “Kaayaknya emang,
dari awal tuh, lo nggak pernah rela banget kalau
bapaknya anak-anak elo, kena sumpah serapah kita,
ya?”

Nada tergelak sambil menutupi tawanya dengan


punggung tangan. Merasa malu dengan perkataan
Uti, ia mencoba bersikap santai, walau kini wajahnya
terasa memanas. “Ya, memang Mas Aksa nggak
pantes kok kena sumpah, Mbak,” ia bela suaminya di
sisa-sisa kekehan geli. “Kisah kami rumit, Mbak.
Cuma, dari dulu aku tahu Mas Aksa itu orang baik.”

“Iya, makanya gue bersyukur banget ada sosmed


sekarang. Karena kalau menantikan elo cerita
tentang kehidupan masa lalu lo sama Pak Aksa,
sampai kita semua ditutup tanah, lo pasti nggak
bakal pernah cerita.”

Nada hanya memberi cengiran.

Ia memang tidak akan menceritakan kisah hidupnya


pada siapa-siapa.

Baginya, kisah yang ia miliki bukanlah dongeng


indah. Terlalu banyak air mata di dalamnya. Walau
akhirnya ia dan Aksa dipertemukan lagi dalam
mahligai rumah tangga. Namun, terlalu banyak liku
untuk sampai ke sana.

Menggeser langkah, Nada masih mempertahankan


senyum kecil ketika ia tiba dihadapan rekan kerjanya
yang lain. Bingkisan yang berada dalam
genggamannya ia serahkan pada wanita muda yang
semenjak fakta mengenai dirinya terungkap, tak
sekali pun wanita muda itu mampu bersikap seperti
biasa lagi kepadanya. Padahal, Nada merasa tak ada
salah. Ia juga tak menuntut permohonan maaf. “Ret?”

Reta menerima bingkisan tersebut dengan


canggung. Senyumnya bahkan terukir riskan.
“Ma—makasih, Mbak Nada.”
Nada mengangguk.

Ia pun tak terlalu mahir berbasa-basi. Jadi, setelah


memberi bingkisan tersebut pada Reta, Nada bersiap
melangkah lagi. Namun, langkah itu harus tertahan
karena tiba-tiba saja Reta menarik sikunya.

“Mbak?”

Dengan kening berkerut, Nada menatap wanita


tersebut. “Ya, Ret?” tak ada prasangka apa-apa.

“Ma—maafin gue, Mbak,” cicit Reta merasa malu. Ia


bahkan menundukkan kepala sejenak. “Maafin gue,
karena pernah ngomongin elo yang nggak-nggak
selama ini, Mbak,” ia mencoba menghadapi Nada
dengan kepala yang pelan-pelan terangkat. “Gue
salah, Mbak. Nggak seharusnya gue ngomong pedes
ke elo.”

“Aku udah maafin kamu kok, Ret,” ungkap Nada tak


perlu berpikir ribuan kali. “Pendapat kamu itu wajar
kok, Ret.”

“Tapi gue udah ngomongin elo jahat banget, Mbak.”


“Hm, jahat menurutku itu, kalau kamu sampai
ngelukain fisik orang lain. Dan selama ini yang aku
tahu, kamu nggak begitu kok ke aku. Jadi, ya, udah
aku nggak masalah. Kita semua boleh beda
pendapat. Dan kita juga nggak harus suka ke semua
orang.”

Nada benar-benar tidak menaruh dendam pada


Reta.

Namun, bila wanita muda itu menjadi sungkan


padanaya, itu bukan urusannya.

Yang jelas, tak sekalipun ia mempermasalahkan


sikap yang ditunjukkan Reta padanya. Karena, jauh
sebelum Reta, Nada sudah mengenal banyak rekan
kerja yang seperti itu. Bahkan, atasannya di tempat
kerja sebelumnya, mengatakan hal yang lebih buruk
untuknya.

Jadi, seperti yang ia lakukan pada mbak Uty dan bu


July tadi, Nada pun memeluk Reta. Ia
menepuk-nepuk punggung wanita tersebut dengan
senyum yang masih menghiasi wajah. “Aku nggak
marah sama kamu, Ret. Dan aku juga nggak naruh
dendam apa-apa. Cuma sedikit masukan dari aku,
kurang-kurangin, ya, ngurusin hidup orang? Karena
hidup kamu jauh lebih berharga daripada hidup orang
lain,” ia beri nasehat singkat. Menepuk pelan
punggung Reta, Nada menghaturkan senyum tulus.
“Jalan hidup kamu masih panjang, Ret. Kembangin
diri aja, supaya kamu jauh lebih produktif.”

Karena, andai diperkenankan mengulang masa


muda, Nada mungkin sudah pergi ke sana sejak
lama. Menyelesaikan kuliahnya jika bisa. Lalu
menikah dengan Aksa di usia yang tepat.
Menghadirkan si kembar dalam bingkai kesiapan
mental serta finansial mereka. Memastikan tak ada
yang terluka, hingga perpisahan yang menyakitkan
itu tak akan pernah ada.

Sayang sekali, perandaian tersebut hanya


diperkenankan mengendap di angan.

Sebab, tak seorang pun dapat berangkat ke masa


silam.

“Hallo semuanya, selamat sore!”

Nada mengenal suara itu dengan sangat baik.

Tanpa menoleh, ia yakin sosok itu akan


menghampirinya.
“Wah, Bu July gimana sih anggotanya itu? Masa hari
terakhir nggak ada traktir makanan?”

Nada abaikan seloroh itu.

“Nah, berhubung saya merasa bertanggung jawab


atas anggotanya Bu July ini, makanya saya bawain
pizza buat semuanya.”

Kini, Nada telah menoleh.

Ia sudah selesai memberikan bingkisan.

Anak baru yang menggantikannya pun tak lupa ia


beri juga. Sambil menitipkan tiga bingkisan untuk
Dira dan yang lainnya pada Reta.

“Pak Aksa memang pengertian, ya, Pak?” Uti tertawa


sambil menerima enam kotak pizza yang disodorkan
atasan mereka itu.

“Oh, kalau saya jangan ditanya lagi dong, gimana


pengertiannya,” sahut Aksa penuh percaya diri.
Walau sudah sore, namun penampilannya masih
terbilang rapi. Minus dasi yang sepagian tadi melilit
lehernya. “Gimana, Sayang, udah semua?” ketika
istrinya berjalan mendekat, Aksa tak canggung
menyentuh punggung belakang Nada. “Udah beres?”
senyumnya sampai ke mata. Orang-orang yang
melihatnya pasti tahu, bahwa ia sedang jatuh cinta.

Ia memang sengaja menjemput istrinya sore ini.

Selain untuk menyerahkan makanan yang ia bawa, ia


juga berniat membawakan barang-barang sang istri.

“Mau pulang sekarang?” tanya Aksa lembut. Kini,


tangannya telah merangkul pinggang Nada yang
ramping. “Atau mau bikin acara dadakan ke mana
gitu?” tawarnya yang tak keberatan bila harus
mengantar istrinya ke mana pun wanita itu inginkan.

“Udah kok, Mas,” jawab Nada kikuk. Ia menjauhkan


sedikit diri dari Aksa agar rangkulan pria itu terlepas
dari pinggulnya. Bila Aksa tak masalah dengan
keintiman mereka yang menjadi konsumsi publik.
Nada justru keberatan. “Aku ambil tas dulu,” ia
langsung berjalan ke mejanya. Menyampirkan tas ke
bahu, ia membawa storage berukuran sedang yang
bersisi sedikit barangnya ke arah sang suami.

“Sini, aku aja yang bawa.”


Nada menyerahkannya tanpa ada penolakan.

“Kalau gitu, kami pamit, ya, Bu July,” Aksa


berpamitan dengan ramah. Ia menggunakan kedua
tangannya untuk membawa storage sang istri.
“Semuanya, saya ucapkan terima kasih yang sangat
mendalam. Karena selama hampir lima bulan ini,
sudah menjadi rekan kerja yang baik untuk istri
saya.”

Nada juga melakukan hal serupa, ia mengucapkan


terima kasih yang begitu tulus untuk kesempatan
bekerja dengan rekan-rekannya di divisi arsip. Walau
hari-harinya tak selalu berjalan baik, namun ia tidak
menyesal mengenal mereka.

***

Tiga bulan berselang …


“Kamu yakin, nggak mau ngelanjutin kuliah lagi,
Nad?”

Nada mengangguk, yakin. Senyum simpulnya hadir


menyemarakkan wajahnya. Sambil membalas
genggaman tangan ibu mertua, Nada menatap
wanita setengah baya itu dengan penuh ketulusan.
“Nada yakin, Mi,” ungkapnya lewat lisan.
“Seenggaknya buat sekarang, Mi. Nada lagi pengin
nikmati waktu sebagai ibu rumah tangga. Ngurus
Mas Aksa sama anak-anak. Ternyata, bereksperimen
di dapur sambil buat camilan untuk mereka, juga
menyenangkan, Mi,” tambahnya sedikit
menyempilkan tawa.

“Tapi, Mami pengin banget kamu nerusin Kasih


Perempuan, Nad,” Yashinta tidak ingin membebani
menantunya. Hanya saja, harapnya masih sebesar
dulu untuk istri putranya itu. “Kasih Perempuan butuh
kamu, Nad.”

Dengan lembut, Nada menggeleng. “Tapi anak-anak


saya, lebih membutuhkan saya, Mi,” ia menolak
halus tanggung jawab yang ingin diserahkan sang
mertua. “Mi, Kasih Perempuan baik-baik aja dalam
kepemimpinan mbak Gina. Sesekali, aku nggak
keberatan kok damping Mami atau mbak Gina untuk
mengunjungi perempuan-perempuan yang nggak
tersentuh keadilan hukum. Tapi, buat menetap di
Kasih Perempuan sebagai wakil Mami, aku nggak
bakal sanggup, Mi,” ungkapnya jujur.

Sepenggal percakapan Nada dan ibu mertuanya itu,


terjadi kemarin.

Saat mereka menggelar acara barberque-an di


halaman samping rumah mertuanya.

Mengingat, mulai besok si kembar dan Jordan akan


resmi menjadi murid kelas delapan, Nada membantu
anak-anaknya menyiapkan peralatan sekolah baru
yang mereka beli beberapa hari yang lalu.

Tidak melakukannya di kamar anak-anaknya


masing-masing. Lova dengan segala kehebohannya,
menuang semua peralatan sekolah di karpet ruang
keluarga. Hasilnya, tentu saja terjadi adu mulut di
antara si kembar. Tetapi hal itu bisa diselesaikan
dengan baik, ketika Nada berpura-pura mengeluh
pusing.

Dan, yuups …! Sekejab saja, pertengkaran pun


berakhir.
“Tapi, Bun, Adiva memang kasihan lho,” Lova yang
memulai perbincangan mengenai Adiva yang
ditemuinya minggu lalu bersama ayah dan juga Faye.
Bahkan, mereka juga menginap dua malam di sana.
“Waktu Adek sama Ayah mau pulang, dia nggak
berhenti nangis lho, Bun,” adunya sambil
mengingat-ingat ekspresi menyedihkan Adiva ketika
mereka tinggal. “Adek sampek nggak tega lho, Bun,”
ucapnya sambil menghela. “Ya, ‘kan, Yah?”

Aksa mengangguk tanpa ragu. “Iya, Dek. Ayah juga


nggak tega. Mau lama-lama di sana, Ayah masih
harus kerja. Adek sih, Ayah suruh tinggal di sana
lebih lama juga nggak mau,” ia merangkul pinggang
istrinya. Ia berempat tengah duduk di atas karpet,
dengan peralatan sekolah si kembar yang
berantakan.

“Iihhh, masa Adek sendiri yang nginep lama-lama di


sana? Faye aja ikut pulang bareng Ayah,”
sebenarnya Lova mau-mau saja menginap lebih
lama. Hanya saja, ia butuh teman. Faye tidak bisa
diharapkan. Anak kecil itu, malah ingin ikut pulang
bersama ayahnya. Ya, sudahlah, ia ikut juga.

“Tapi Adek selama di sana hebat lho, Bun,” Aksa


memuji anak gadisnya dengan sengaja. “Dia
bener-bener jadi kakak yang baik buat Adiva sama
Faye. Ke mana-mana, mereka digandeng sama dia,
Bun. Sabar banget dia, ngurusin mereka yang pada
heboh minta es krim.”

“Ya, iya, dong, Kakak Lova gitu lho,” Lova


mengibaskan rambutnya dengan bangga. Lalu
terkikik geli melihat kelakuannya.

“Wah, itu ada tandanya lho, Dek?” Aksa memancing


putrinya.

“Tandanya apa, Yah?” dan Lova menangkap


pancingan itu dengan sangat baik.

“Tandanyaa …,” sengaja Aksa menjeda kalimatnya.


“Hm, apa ya, kira-kira tandanya?”

“Aha!” Lova menjentikan jari. “Tandanya, Kakak Lova


butuh adik baruuuu, Yaahh!” serunya sambil bertepuk
tangan.

“Wah, bener itu, Dek!” Aksa tak kalah bersemangat.


“Eh, kok Adek, sih? Maunya mulai dipanggil Kakak
‘kan, Sayang?”

“Betuulll, Ayahhh!”
Lalu sepasang ayah dan anak itu tertawa.

Menyisakan Oka dan bundanya yang menatap kedua


orang tersebut dengan mata berpendar malas.

Aksa sih, tak masalah dengan ekspresi yang


ditampilkan istri dan anak bujangnya. Yang jelas, ia
merasa sangat bangga karena anak gadisnya
benar-benar sekutu terbaik yang ia miliki. Dengan tak
tahu malu, ia mencolek pinggang istrinya. “Gimana,
Bun? Kakak Lova butuh adik tuh,” ia gunakan
anaknya tuk bersiasat.

“Ya, udah, makanya Adiva bawa aja ke sini. Aku


bakal ikhlas ngurusin dia. Aku bakal sayangi dia
kayak anak sendiri,” sahut Nada santai.

Aksa berdecak, ia sudah akan mendebat.

Namun sekali lagi, Lovata Almeera adalah


sebaik-baiknya sekutu yang akan selalu berada di
pihaknya hingga tetes teringat terakhir.

“Bundaaa … Adek tuh penginnya punya adik bayi


lhoooo …,” ia beringsut mendekati ayah dan bunda.
Mengabaikan tasnya yang belum terkancing, Lova
memilih memeluk sebelah tubuh sang bunda. “Adik
bayi, Bunda. Adek maunya gendong adik bayi.”

“Yang dari perut Bunda ‘kan, Dek?” Aksa menuang


bensin yang pasti langsung disambar anak gadisnya.
“Yang nanti keluar dari perut Bunda ini, ‘kan , Dek?”
ia sentuh perut istrinya sambil memutar-mutar bagian
tersebut.

“Iyaaa, Ayaahhh …!” sahut Lova membenarkan.


“Beneran adik bayi dari perut Bunda,” kini ia ikut
mengelus perut bunda yang ramping. “Bunda nggak
mau punya anak lagi, apa?”

“Nggak!” sahutan itu berasal dari Oka. “Nanti kalau


punya anak lagi, anaknya kayak kamu, centil!”
imbuhnya menatap sang adik dengan pendar tajam.
“Cukup punya satu adek yang berisik kayak kamu
deh, Lov. Abang nggak sanggup kalau sampai ada
dua Lova di dunia,” cebiknya sambil menutup
resleting tas. “Udahlah, Bun. Abang nggak mau
punya adik lagi.”

Selesai.

Rengekan Lova dan siasat Aksa, dibantai habis oleh


Oksata Altherio.
Bagus.

Karena ayah dan putrinya itu, sontak saja berwajah


muram.

***

Empat

“Abang, jagain Bunda, ya? Ayah mau nganter Adek


dulu ke rumah temennya. Nanti, kalau nggak Abang
jagain, Bunda ngerasa kesepian. Ayah nggak mau
dong, kalau Bunda ngerasa kesepian,” kelakar Aksa
yang buat anak laki-lakinya menatapnya dengan
pendar datar. “Aduh, Ayah pusing banget deh, temen
Adek tiap minggu ada aja yang ulangtahun,”
kekehnya merasa geli. “Nanti, ulangtahun Abang
sama Adek yang ke-14, kita rayain, juga, yuk, Bang?
Mau rayain di mana? Kaefsi? Mekdi? Atau di
resto-resto gitu, Bang?”

“Apaan sih, Yah?” komentar Oka dengan wajah


malas. “Lova aja deh, kalau mau ngerayain. Abang
nggak mau. Kayak anak kecil aja,” cebiknya enggan.

“Iya deh, yang udah gede,” Aksa mengacak-acak


rambut anaknya.

“Ayah ….”

Terkekeh, Aksa pun mencoba merapikan kembali


rambut sang putra yang berantakan karena ulahnya.
“Abang di sekolah udah ada yang ditaksir belum,
Bang?”

“Ck, apaan sih, Yah,” Oka langsung berdecak


mendengar penuturan sang ayah.

“Lho, Ayah ‘kan lagi nanya nih, Bang. Karena kalau


yang naksir Abang pasti banyak ‘kan? Abang
seganteng Ayah gini, pasti banyak yang naksir dong,”
Aksa terkekeh geli begitu melihat pendar malas
menghiasi wajah putranya. “Jadi gimana, Bang?
Udah ada yang Abang taksir?” ia naik turunkan alis
seraya menggoda.
Mereka tengah duduk di ruang tamu seraya menanti
Lova bersiap. Sementara itu, Oka tengah asyik
dengan permainan di ponsel ketika ayah datang
mengganggu. Namun, walau begitu ia pun
menghentikan fokusnya pada ponsel. Bunda selalu
mengatakan, tidak sopan berbicara dengan orang
bila mata hanya terpaku pada hape. Tidak peduli
berapa pun usianya, orang yang mengajak kita
berbicara harus dihargai.

“Katanya Adek, temen sekelasnya dia ada yang


naksir Abang, ya?”

“Ayah kenapa sih, suka banget dengerin Lova


cerita?” dengkus Oka kesal.

“Lho, sebagai orangtua, Ayah wajib dengerin tiap


kata yang keluar dari bibir anaknya,” Aksa membela
dirinya. “Makanya, kalau Abang pengin curhat
apa-apa itu, langsung ke Ayah aja, ya, Bang?”

“Nggak ada yang pengin Abang ceritain,” balas Oka


berusaha santai. “Nggak ada yang menarik di
sekolah,” lanjutnya.

“Masa sih, Bang?”


“Iya, Ayah.”

“Cewek-ceweknya juga nggak ada yang menarik?”

Memutar bola mata mendengar pertanyaan sang


ayah, Oka kembali mendengkus. “Ayah ini kenapa
sih? Kenapa malah ngedukung Abang naksir cewek?
Lova naksir cowok aja, Ayah larang-larang,” tuturnya
menuntut jawaban.

“Ya, habisnya, masa Adek naksir cowok tapi dia yang


ngebiayain tiap ketemu cowoknya. Itu namanya
cowok matre, Bang,” ungkap Aksa berapi-api. “Itu
siapa tuh nama cowoknya? Jaemin? Heechan? Ck,
nggak modal banget sih mereka, Bang? Masa harus
pakai duit dulu, kalau mau ketemu,” curhat Aksa
terdengar jengkel.

Namun hal itu malah membuat Oka tertawa.


Nama-nama yang disebutkan ayahnya tadi adalah
idol Korea Selatan yang digandrungi banyak orang.
Termasuk, Lova. Dan apa yang dikatakan ayah
memang benar. Adiknya sangat menyukai
nama-nama tadi. Sudah merengek beberapa kali
pada ayah dan bunda untuk diizinkan melihat pacar
halu dengan datang ke konsernya. Ya, sekali lagi,
ayahnya benar. Harus Lova yang mengeluarkan
uang demi bertemu pacar halunya tersebut.

“Adek, ke mana sih, Bang? Lama banget,” mendadak


Aksa mengeluh. Terhitung sudah dua minggu ini, ia
terus mengantar anak gadisnya untuk menghadiri
pesta ulangtahun. Dan selama itu pula, Aksa yang
harus menunggu. “

“Biasa, dandan dulu.”

Dan tak lama berselang, si buah bibir pun


memperlihatkan diri.

Dengan senyum sejuta dollar andalannya, Lova


melompat-lompat semangat. Rambutnya di kuncir
satu dengan banyak aksen pita menjuntai sepanjang
rambutnya. Jepit rambut beraneka rupa turut
menghiasi kepalanya. Dengan jaket denim yang
menutupi dress polkadot hitamnya, Lova memadukan
penampilannya tersebut lewat sepatu putih. “Yok,
Yah!” serunya sambil mengamit lengan sang ayah.
“Nanti, Ayah mau nungguin Adek sampai selesai
acara?”

“Duh, jangan, ya, Nak?” ringis Aksa langsung. “Nanti


Ayah jemput lagi kok. Lho, itu bibirnya Adek kok
merah banget sih? Adek pakai lipstick, ya?” Aksa
segera menatap anaknya penuh selidik.

“Bukan, Ayah,” Lova membantah tuduhan itu. “Ini


namanya liptint. Cuma, Adek ombre dikit sama
lipcreame punya Bunda. Hehehe … udah minta izin
kok sama Bunda. Iiihh, udah dong, Ayah! Jangan
lihatin Adek kayak gituuu!” Lova menutup wajahnya
dengan telapak tangan.

“Adek, pipinya juga merah-merah lho, Nak,” kata


Aksa kembali meringis. Ia sentuh pipi putrinya
dengan raut seolah-olah ia tengah menahan
kesakitan. Ia tahu persis apa yang dibubuhkan
anaknya untuk mewarnai pipi itu. “Ini pakai punya
Bunda juga?” ia teliti kembali wajah putrinya dengan
saksama. Pendar di matanya mengisyaratkan
sebuah kerisauan. “Hm, Adek pakai mascara juga,
ya, Nak?” ia bertanya hati-hati. “Punya Bunda, iya?
Kelopak matanya kok diwarnai juga sih, Nak?”
pertanyaan itu datang bertubi-tubi.

Lova tak segera menjawab, ia menunduk sambil


memanyunkan bibirnya. Sebelum kemudian,
kepalanya menggeleng pelan. “Pinjem punya Zora,
Yah,” akunya dengan jujur.
“Tuh, kan! Mulai kecentilan!” Oka yang bereaksi. Kini,
ia sudah berkacak pinggang di depan adiknya itu.
“Udahlah, Yah! Jangan kasih pergi dia!”

“Iih, Abang apaan sih?!” seru Lova tak terima.

“Halah! Kamu tuh sekarang memang ganjen!”

“Ganjen apaan sih, Oka?!” Lova mulai terlihat kesal


pada kakaknya.

“Ganjenlah! Kecentilan!”

“Aku nggak pernah gitu!”

“Udahlah, ngaku aja!”

“Mana ada—“

“Anak-anak, stop!” seru Aksa menengahi keributan


putra dan putrinya. Ia sampai harus mengelus dada.
Kali ini, ia jelas berada di kubu sang putra. Ia sama
sekali tak suka dengan riasan di wajah anak
perempuannya itu. “Dek?”

“Kenapa? Ayah mau bilang kalau Adek kecentilan


juga?”
“Tuh, ‘kan! Mulai ngelawan kamu kalau dibilangin!”
tuding Oka menghardik sang adik.

Tak lama berselang, Nada berjalan cepat


menghampiri keluarganya. Dengan apron berwarna
merah yang di beberapa sisinya tampak putih bekas
sentuhan tepung terigu. “Ada apa ribut-ribut?” ia
tengah berada di dapur. Berniat membuat camilan
untuk hari minggu ini. Biasanya, Lova akan senang
membantunya. Namun, berhubung anak gadisnya
punya acara, Nada pun mengerjakannya seorang
diri. “Kenapa, Mas?” dari kedua anak-anaknya, ia
alihkan perhatian pada sang suami.

“Lova tuh, Bun!” Oka yang menyahut. “Lihat aja,


dandanannya menor gitu!” cetusnya menatap sebal
sang adik. “Dia emang udah centil luar biasa deh,
Bun. Udahlah, jangan izinin dia ke mana-mana.”

Nada langsung mengarahkan pandangan ke arah


sang putri. Untuk beberapa saat, ia cukup terhenyak
melihat penampilan Lova. Sebenarnya, dari segi
pakaian tidak ada yang berlebihan. Hanya saja,
warna merah yang menyebar di wajah sang putri
benar-benar mengkhawatirkan. Apalagi dengan biru
menyolok yang tersapu di kelopak matanya,
sudahlah Nada mencoba mengelus dadanya dengan
sabar. “Temen Adek si Vina itu ulangtahun yang
keberapa, Nak?” tanpa amarah ia melemparkan
tanya. “Ke-14, ya, Sayang?” ketika putrinya
mengangguk takut-takut, Nada menyunggingkan
senyum kecil pada suami dan anak laki-lakinya. “Yuk,
Bunda bantuin bersihin tumpahan saos di wajah
Adek,” ungkapnya dengan geli. “Bunda bantuin rapiin
penampilan Adek, yuk, Nak?”

Tanpa menunggu persetujuan, Nada menarik tangan


putrinya lembut.

“Ayah, bentar, ya? Abang, ini Adek bukan menor


dandanannya, Bang. Cuma, Adek lagi make barang
yang nggak sesuai umur. Makanya, mau Bunda
bersihkan dulu, ya, Bang?”

“Ck, terserah aja deh, Bun. Kalau menurut Abang,


dia nggak usah dibolehin pergi sekalian,” Oka
menatap Lova dengan tajam.

Nada mengangguk kecil ketika mendengar saran


putranya. Namun, ia tahu tidak perlu sampai seperti
itu. Jadi, tanpa amarah, ia menggandeng anak
gadisnya ke arah kamarnya dan Aksa. Mendudukkan
putrinya di depan cermin hias. Dengan telaten, Nada
menuangkan cairan pembersih make up ke atas
kapas.

“Adek tahu nggak kenapa make up ini diciptakan?”


dengan hati-hati, ia sapukan kapas yang telah basah
tersebuh ke wajah anak gadisnya. “Atau, Adek tahu
nggak, kenapa make up ditujukan untuk orang
dewasa?” ketika anaknya menggeleng, Nada masih
berusaha mempertahankan senyumnya. “Karena,
orang-orang dewasa perlu menutupi tanda-tanda
penuan di wajahnya. Ada garis-garis halus, juga
bintik-bintik hitam yang harus disamarkan. Nah, apa
Adek udah punya garis-garis halus di sudut
matanya?”

“Belum, Bun.”

“Ada nggak sih, bintik-bintik hitam di muka Adek?”

“Nggak ada juga, Bun.”

Nada selesai membersihkan wajah sang putri


menggunakan dua buah kapas. Kini, ia pandangi
wajah cantik putrinya dengan senyum cerah.
“Makanya, Adek nggak butuh semua itu, Nak,” ia
hadapkan sang putri ke arah cermin. “Lihat itu?” ia
menunjuk pantulan wajah putrinya di cermin. “Adek
cantik ‘kan? Adek belum butuh, pakai lipstick, bloush
on, atau mascara. Kalau Adek memang mau
kelihatan seger, Adek cukup pakai bedak tabur aja.
Pakai liptint Adek tipis-tipis juga boleh kok. Terus,
semprotin aja parfum. Udah. Adek udah cantiik
banget, Nak.”

Menghadapi anak remaja itu susah-susah gampang.

Dan selama ini, Nada berusaha keras untuk tidak


menunjukkan amarah saat anak-anaknya berbuat
salah. Ia memiliki cara pandang sendiri mengenai
bagaimana mendidik anak-anaknya. Ia bisa bersikap
tegas, ketika merasa apa yang dilakukan si kembar
sudah kelewatan. Namun, selama ini, anak-anaknya
tidak pernah bertindak melewati batas. Makanya,
yang Nada lakukan adalah membimbing mereka
dengan baik. Mengarahkan sedikit, bila si kembar
mulai salah arah.

“Lagipula, di usia Adek ini. Adek cukup menjadi


cantik, untuk diri Adek sendiri aja. Cukup jadi cantik
buat Ayah sama Bunda. Selebihnya, Adek nggak
perlu ngikut-ngikutin teman-teman Adek, Nak.
Karena bagi Bunda, Ayah, sama Abang, Adek tuh
benar-benar berharga.”
***

Ayah :

Bun, Ayah nungguin Adek sampai selesai acara aja,


ya, Bun?

Nggak tenang Ayah ninggalin Adek.

Temen-temennya nyaris dandan semenor Adek tadi,


Bun.

Ayah ngeri, ninggalin dia.

Begitulah isi pesan Aksa satu jam yang lalu.

Dan Nada menyetujui pilihan yang diambil suaminya


itu.

Mereka memang memberi kepercayaan pada


anak-anak. Namun, bukan berarti anak-anak bebas
melakukan apa pun yang mereka mau. Tetap perlu
dilakukan pengawasan. Dan itulah yang tengah Aksa
lakukan pada putri mereka.

“Ayah beneran nungguin Lova, Bun?”

“Iya, Bang. Kata ayah, nanggung kalau mau


pulang-pulang lagi,” bukan berdusta. Nada hanya
sedang menutupi sedikit fakta dari putranya. Sebab,
ia tahu bila kejujuran ia katakan, pulang nanti Lova
pasti akan menghadapi amukkan Oka kembali.
“Biarin aja deh, ayah ngabisin seharian inii nemenin
adek. Sebagai gantinya, hari ini, Abang gantian
nemenin Bunda, ya?”

“Siap, Bun!” balas Oka sigap. “Kita mau makan


browniesnya di mana, Bun?”

Minggu lalu, Nada sudah membuat cookies dengan


anak gadisnya. Dan minggu ini, tiba-tiba saja ia ingin
memasak brownies. Namun, Nada memotong
browniesnya menjadi dua bagian. Menambahkan
selai strawberry yang ia buat sendiri. Kemudian,
menumpuknya dengan potongan yang sebelumnya.

“Abang mau makannya di mana?”


“Sambil nonton boleh nggak, Bun?”

“Boleh dong, Nak,” sahutnya tertawa. “Abang mau


minum apa?”

“Abang mau bikin es leci aja, Bun. Bunda mau juga?”

“Nggak deh, Bunda mau minum air hangat aja.”

Dengan sigap, Oka langsung membawa dua piring


berisi brownies miliknya dan bunda ke ruang televisi.
Kemudian, ia kembali lagi ke dapur untuk membuat
minumannya dan mengambil air hangat untuk bunda.

“Wiih, enak banget lho, Bun,” pujinya


sungguh-sungguh. “Abang suka selai yang kayak
gini, Bun. Masih terasa asemnya stowberrynya.
Kalau yang manis gitu, Abang malah nggak suka.”

Nada menyetujui pendapat sang putra. Sebab, ia pun


demikian. “Bunda juga lho, Bang. Makanya, Bunda
tadi emang nekat mau bikin selai sendiri. Ternyata,
sesuai selera Abang sama Bunda,” kekehnya
singkat. “Udah bisa belum nih, Bang, Bunda buka
toko roti?” tanyanya iseng.
“Bunda mau buka toko roti?” namun Oka
menanggapinya dengan serius.

Nada terkekeh kecil sambil menggelengkan kepala.


“Nggak, ah, Bang. Bunda bercanda aja tadi,” Nada
memilih memakan browniesnya dengan sendok. Ia
duduk di atas karpet dengan punggung bersandar
pada kaki sofa bed di belakang. Sementara itu,
anaknya duduk bersila tak jauh darinya. Televisi di
depan mereka, menayangkan film animasi Cars 3,
yang sudah menjadi kesukaan Oka sejak dulu.

“Kalau serius, juga nggak apa-apa kali, Bun,” sahut


Oka sambil menatap sang bunda.

“Ah, nggak, Bunda mau fokus jagain anak-anak


Bunda aja,” Nada mengatakan hal itu sembari
mengedipkan sebelah matanya.

“Abang sama Lova udah gede lho, Bun. Ngapain kita


dijagain? Kemarin itu, Eyang juga minta Bunda buat
ngelanjutin kuliah ‘kan? Kok Bunda nggak mau sih?”

“Ya, karena kayak yang Bunda bilang tadi, Bunda


mau fokus ngurusin anak-anak Bunda aja,” ucap
Nada santai.
Oka nyaris berdecak kecil, hanya saja ia berhasil
menahan diri. “Bunda, Abang sama Lova udah
gede,” ia ulang kalimat yang serupa dengan yang
tadi sempat ia katakan. “Kami udah bisa ngurusin diri
kami sendiri. Abang janji, Abang nggak akan
nyusahin Bunda kalau Bunda memang mau kuliah
lagi. Abang juga bakal lebih sabar ngadepin Lova,
kalau-kalau Bunda khawatir Abang sama Lova
berantem terus-terusan,” Oka mengungkapkan
janjinya sungguh-sungguh.

Menatap anaknya dengan pendar penuh


kebahagiaan, Nada membuat raut lucu di wajah
dengan mengerutkan hidungnya. “Abang sama Lova
mungkin udah bisa ngurus diri sendiri. Abang sama
Lova, tentu aja nggak perlu dijagain lagi. Tapi,”
menjeda kalimatnya, Nada meletakkan piring bekas
browniesnya yang sudah habis. “Adiknya Abang
yang ada di sini,” Nada menunjuk perutnya. “Butuh
diurus dengan baik. Juga, harus dijagain
sungguh-sungguh,” ucapnya sambil melebarkan
senyuman.

Oka menatap bunda tak berkedip. Ia mengerjap dua


kali demi mencerna apa yang dimaksudkan oleh
bundanya itu. “Ma—maksudnya?” ia tergagap
tiba-tiba. Pandangannya berpindah dari wajah bunda
ke arah perut bunda. “Bunda?”

Nada mengangguk, senyumnya terurai manis.


Dengan hati-hati, ia raih sebelah tangan putranya.
Mengelus punggung tangan anaknya itu dengan
sayang. “Maafin Bunda, ya, Abang, Bunda kasih
Abang tanggung jawab lagi, buat lebih sabar jadi
seorang kakak.”

“Bunda, hamil?” cicit Oka ragu.

Nada masih terus melengkungkan senyuman. Ia


mengangguk kecil, sambil terus mengelus punggung
tangan putranya. “Jangan bilang-bilang dulu sama
ayah, ya, Bang?”

“Kenapa?” kini Oka menjadi bingung. “Ayah belum


tahu?”

“Iya, ayah belum tahu, Bang,” Nada membenarkan.


“Abang, orang pertama yang Bunda kasih tahu lho.”

“Kenapa gitu?” Oka tak mengerti. Terlebih, ia pun


bingung harus memberikan reaksi. “Lova juga belum
tahu, Bun?”
“Iya, Abang. Adek sama ayah belum tahu. Baru
Abang nih, satu-satunya yang Bunda kasih tahu
bakal punya adik,” walau diutarakan dengan santai,
percayalah Nada teramat berhati-hati dalam
menyampaikan kabar ini. “Abang bingung, ya,
kenapa Abang yang Bunda kasih tahu pertama kali?”
ketika anaknya itu mengangguk. Nada
menyunggingkan senyum. “Karena nanti, setelah
ayah sama Bunda udah nggak ada di dunia, Abang
yang bakal jadi perpanjangan tangan ayah sama
Bunda buat sayangi adik-adiknya.”

Oka menatap bunda dalam diam. Matanya bergerak


gelisah, sementara kepalanya sedang memikirkan
banyak hal. Tetapi selebihnya, ia tak mampu
mengungkapkan apa-apa. Tetap memilih diam,
sambil menikmati senyum yang tersungging di bibir
bunda.

“Abang masih nggak mau, ya, punya adik lagi?”

Jujur, Oka ingin mengangguk.

Namun, bila hal itu berurusan dengan bunda, ia


selalu merasa tak tega.

“Bunda boleh tanya, alasannya kenapa, Nak?”


Pertanyaan bunda yang begitu lembut, membuat Oka
merasa harus menjawabnya. “Abang takut, nanti
adiknya kayak Lova, Bun,” ia utarakan dengan jujur.

“Memangnya kenapa sama Lova, Bang?”

Oka tak menarik tangannya dari genggaman bunda.


Ia biarkan tangan mereka bertaut. Bila harus memilih,
siapa yang paling ia sayang di dunia ini, bundalah
orangnya. “Lova itu centil, Bun,” ucapnya mula-mula.
“Dia sekarang udah sering cerita soal cowok sama
temen-temennya. Dia juga ceroboh banget orangnya.
Dia juga berisik. Dia suka gangguin Abang,” Oka
mengungkap semua sifat Lova yang tak ia sukai.
“Pokoknya, Lova nyebelin, Bunda.”

“Jadi, apa Abang benci Lova?”

Membenci Lova?

Oka terdiam.

Ia tidak membenci saudara kembarnya itu.

Demi Tuhan, sama sekali tidak pernah


membencinya.
“Abang nggak benci, Bun,” jawabnya atas
pertanyaan bunda tadi. “Cuma, kenapa sih, dia tuh
nggak tenang aja orangnya? Kenapa dia nggak
kalem gitu, Bun? Kenapa harus pecicilan sih? Abang
‘kan pusing.”

Nada mengangguk mengerti.

Dengan senyum yang semakin lebar, ia ikut melipat


kakinya seperti sang putra. Punggungnya yang
semula bersandar, ia tegakkan. “Karena semua sifat
manusia itu istimewa, Bang,” tuturnya memberi
pengertian. “Itulah yang ngebuat setiap manusia
berharga. Sifat kita yang berbeda-beda, itu disebut
keberagaman. Abang nggak bisa nuntut setiap orang
harus punya sifat seperti yang Abang mau. Karena
Allah juga nyiptain kita semua beda-beda ‘kan? Nah,
begitu pula sifat-sifat kita.”

Nada membelai kepala putranya dengan sayang.


Merapikan rambut putranya itu dengan sisiran
jemarinya. Kemudian, ia tepuk-tepuk pelan rahang
sang putra sambil memperdengarkan tawa kecil.

“Gimana nyebelinnya sifat Adek, dia itu sayang


banget sama Abang lho,” ujar Nada menambahkan.
“Inget nggak, waktu Abang kecelakaan waktu itu?
Adek terus nangisin Abang. Adek nelpon ayah sambil
nangis-nangis. Bahkan, Adek juga nggak mau
disuruh pulang ke rumah ‘kan? Dia setia, mau
nungguin Abang sampai sembuh di rumah sakit.”

Ah, bunda benar.

Kenapa hal itu luput dari pemahamannya, ya?

Oka sontak mengerjap.

Bayangan Lova yang menangisinya langsung


mengisi benak. Kebersamaan mereka selama ini,
begitu kuat membayangi ingatan. Tentang semua
perjalanan mereka ke sekolah. Mengenai segala hal
yang dulu selalu mereka bagi bersama. Entah itu
tangis karena diam-diam merindukan ayah. Tak
jarang, mereka juga saling menguatkan saat tak tega
melihat bunda harus pergi bekerja.

Dan semua kenangan-kenangan masa lalu,


membuat mata Oka memanas. Ia ingat, bagaimana
Lova yang selalu menggandeng tangannya. Lova
yang lebih berani daripada dirinya.

Ya, Tuhan … mengapa ia melupakan semua itu?


“Bunda …,” Oka tak mampu berkata-kata. “Maafin
Abang, Bun,” sesalnya sungguh-sungguh. “Abang
nggak benci Lova, Bun. Abang juga sayang dia,
Bun,” air matanya hampir jatuh saat mengutarakan
hal itu.

“Iya, Bunda tahu kok,” kini Nada menyatukan kembali


kedua tangan mereka dalam genggaman. “Jadi,
sekarang gimana? Abang bisa nggak terima adik
baru yang ada di perut Bunda?” melepaskan satu
tangan, Nada kembali mengelus perutnya yang
masih rata. “Kira-kira, Abang mau nggak, sayang
juga sama adik yang di sini?”

Nada tak menerima jawaban melalui lisan. Namun,


Oka yang tiba-tiba memeluknya sudah menjadi
jawaban terbaik atas segala pertanyaan yang tadi ia
sampaikan.

***

Lima
Nada punya alasan kuat, mengapa ia lebih memilih
memberitahu kehamilannya terlebih dahulu pada
sang putra dibanding suaminya sendiri. Karena,
beberapa kali pembahasan mengenai penambahan
anggota keluarga baru diangkat oleh suami dan anak
gadisnya dalam perbincangan santai mereka,
jawaban yang diberikan sang putra selalu sama.

Iya, Oka menolak gagasan memiliki adik baru.

Waktu itu, Nada memang sengaja tidak menanyakan


alasan mengapa anaknya tidak mau memiliki adik.
Tetapi, saat pagi tadi ia memeriksa urinenya dengan
alat tes kehamilan dan menemukan dua garis di
sana, Nada paham sudah waktunya ia mencari tahu
alasan dibalik keengganan putranya memiliki adik.

Sebagai seorang wanita bersuami, Nada tak mungkin


abai ketika tamu bulanan yang biasa rutin
mengunjunginya tak kunjung tiba hingga tiga minggu
dari jadwal yang seharusnya. Mengingat bagaimana
rajinnya Aksa bermesraan dengannya, Nada tahu
sesuatu telah terjadi di tubuhnya. Dan itulah
mengapa Nada menolak tawaran ibu mertuanya.
Dan kini, tugas Nada adalah memberitahu pria 35
tahun yang tengah sibuk menatap ponsel sembari
berbicara pada Adiva di seberang pulau sana. Nada
sendiri telah berada di ranjang dan memilih
menonton suaminya. Diam-diam, ia mengagumi pria
itu. Selain parasnya yang rupawan, Aksa
benar-benar memiliki hati yang baik. Melihatnya
mencoba menenangkan Adiva yang tengah
menangis karena mimpi buruk, buat Nada mengulum
senyum simpul sambil mengelus perutnya yang rata.

“Tapi nanti kalau monsternya datang lagi di mimpi


Diva gimana, Pa?”

Aksa duduk di sofa kamarnya. Wajahnya sudah


terlihat mengantuk. Hari ini, ia lelah menunggui anak
gadisnya sampai acara ulangtahun temannya itu
selesai. Namun, ia juga tak bisa mengabaikan Adiva.
Makanya, dengan sabar ia mendengar cerita gadis
kecil itu mengenai mimpi buruk yang baru saja
dialami. “Monsternya udah pergi kok, Sayang,” ia
tatap layar ponsel sembari memperhatikan tangis
Adiva yang sesekali masih terdengar. Wajah bundar
Adiva yang tampak sembab, membuat hatinya sedikit
tercubit. “Nanti dari sini, Papa bakal jagain Diva di
dalam mimpi, ya?”
“Emangnya bisa, Pa?”

“Bisa dong,” seru Aksa dengan nada penuh percaya


diri. Senyum hangatnya menghiasi layar ponsel, dan
keinginan terbesarnya adalah membawa Adiva untuk
tinggal bersamanya. “Gini-gini, Papa punya sabuk
hitam taekwondo lho, Nak. Jadi, monster-monster
pasti takut sama Papa,” ucapnya sambil menepuk
dada dengan bangga.

“Tapi monsternya serem, Pa. Diva takuuutt.”

“Sekarang, monster jeleknya udah pergi kok, Nak.


Nanti kalau Diva mimpi, pasti yang dateng
cowok-cowok keren kayak kesukaannya kak Lova itu
lho.”

“Siapa, Pa?”

“Itu, sih Jaemin, nanti Papa bilang ke kak Lova suruh


si Jaemin singgah ke mimpi Diva, ya? Soalnya, kata
kak Lova, dia sering banget ketemu Jaemin itu di
mimpi.”

“Dia monster juga, Pa?”


“Eh?” Aksa menggaruk kepala. Kemudian bertukar
pandang pada istrinya. “Heum, Div, ini Bunda mau
ngomong nih sama Diva,” Aksa mencari jalan aman
untuk menghindari pertanyaan itu. Bukan apa-apa,
bila Lova mendengarnya menjelek-jelekkan idolanya,
anak gadisnya itu pasti murka. Buru-buru, ia kembali
melangkah ke arah ranjangnya. Memberikan ponsel
pada istrinya dengan senyum manis. “Bunda aja ya,
yang nenangin Diva? Ayah suka ngelantur kalau
ngomong,” pinta Aksa sambil berbisik.

Nada mencebik tanpa suara, namun ia tetap


menerima sodoran ponsel dari suaminya.

“Makasih, Bunda,” kekeh Aksa sambil mengecup pipi


istrinya. “Div, ngobrol bareng sama Bunda juga, ya,
Nak?” sebab Aksa sudah mengambil tempat di
sebelah sang istri. “Bunda, tadi Diva mimpi buruk lho,
Bun,” ia hanya memberikan umpan sedikit saja.

Dan Nada menangkap umpan itu dengan sangat


baik. “Lho, Diva mimpi buruk? Mimpi apa, Sayang?”

“Mimpi ada monster di kamar Diva, Bunda,” ungkap


Adiva malu-malu. “Diva takut. Diva pengin bobo
sama Papa, tapi Papa jauh, Bunda.”
Ah, anak ini ….

“Pengin telpon Mama, tapi Mama ‘kan lagi sekolah


lagi. Diva takut Maama kepikiran sama Diva.
Makanya, Diva telpon Papa.”

Nada merasakan remasan kuat di dadanya


mendengar penuturan tersebut. Netranya
memancarkan kesedihan yang luar biasa. Andai
mampu, ia pun ingin merengkuh tubuh mungil itu
dalam dekapannya. Memeluk Adiva sepanjang
malam, supaya anak tersebut merasa aman dalam
lelapnya. “Nanti, kalau ada libur panjang di sekolah,
Diva telepon Papa, ya, Nak? Biar Diva dijemput
Papa. Diva nginep di tempat Bunda, ya, Sayang?
Biar bisa bobonya dipeluk Papa.”

Ia ingin menangis rasanya.

Anak sekecil Adiva, tidak bersalah.

Anak itu adalah korban sesungguhnya dari


permainan kotor orang dewasa yang ada di
sekitarnya.

“Nanti, kalau Diva nginep di tempat Bunda, Bunda


bakal buatin makanan favorit Diva.”
“Bener, Bunda?”

“Bener dong, Nak,” tak kuat melihat wajah antusias


itu, Nada menjatuhkan air matanya tanpa sadar.
Namun cepat-cepat ia menghapusnya. “Nanti, Bunda
ajarin bikin kue, mau nggak?”

“Mau, Bunda! Mau!” seru Adiva kesenangan. “Kak


Lova bilang, dia bisa bikin brownies enak, ya, Bun?
Kak Lova bilang, dia diajarin sama Bunda. Diva mau
juga, Bunda!”

Astaga ….

Nada mengelus dadanya demi mengusir himpitan


sesak yang tiba-tiba menerpa di sana. Ia tatap
suaminya sejenak dengan pandangan berkaca-kaca.
Dan yang dilakukan pria itu adalah mengecup
keningnya, seolah mengerti mengenai nelangsa yang
kini ia rasa.

“Makanya, nanti kalau ada libur panjang di sekolah,


Diva langsung telpon Papa, ya, Sayang?” Nada
mengulang kembali perkataannya. “Bunda juga
kangen sama Diva. Bunda juga pengin banget peluk
Diva,” aku nada dengan jujur. “Diva mau nggak
dipeluk Bunda juga?”

Selanjutnya, ia serahkan ponsel tersebut kepada


suaminya kembali.

Tak kuat bersikap tegar, Nada ingin menangis demi


menumpahkan sesak di dada.

Adiva, anak itu tidak bersalah.

Adiva, anak itu telah menjadi yatim bahkan sebelum


terlahir ke dunia.

Dan Adiva, merupakan korban paling merana dari


rencana-rencana licik orang dewasa.

Si kembar mungkin menderita, namun masih ada


dirinya yang terus berada di sisi mereka. Aksa pun
menyayangi anak-anaknya. Mereka mungkin pernah
berpisah untuk waktu yang lama. Namun hal itu tak
sebanding dengan pilu yang kelak akan dirasakan
Adiva ketika mengetahui kebenaran dibalik
kelahirannya.

Ya Tuhan … tolong, jaga anak itu untuk mereka.


“Iya, sekarang Diva bobok lagi, ya, Nak? Papa
berdoa dari sini, supaya monsternya nggak ganggu
Diva lagi. Iya, Sayang. Bunda lagi ke kamar mandi.
Bunda lagi kebelet pipis.”

Padahal, Nada masih ada di sana.

Hanya saja, dengan pipi yang sudah basah.

Nada hanya sedang berusaha tak bersuara. Sebab,


bila ia membuka mulutnya, yang terdengar hanyalah
rintih kesedihan yang tak mampu ia tahan.

Setelah sambungan dengan Adiva terputus, Aksa


segera menyimpan ponselnya di atas nakas. Ia
langsung mendekap istrinya yang menangis di tepi
ranjang. Membawa kembali wanita itu naik tengah
ranjang. Mengecupi kepalanya dengan sayang, tak
lupa Aksa mengelus lengan istrinya tuk memberikan
kekuatan.

“Aku nggak tega sama Adiva, Mas,” cicit Nada yang


berusaha tenang di tengah gempuran rasa yang
menyesakkan dada. “Aku nggak tega lihat dia
begitu,” imbuhnya menekan sesak.
“Aku tahu,” bisik Aksa lirih. “Aku juga nggak tega
ngebiarin dia hidup di sana,” walau hidupnya
baik-baik saja. Adiva sama sekali tak kekurangan
apa-apa di tempat tinggal barunya. Terlebih, Aksa
juga tetap mengirimi nafkah untuknya. Hanya saja,
jarak di antara mereka terlampau jauh. “Dia nggak
bersalah.”

Nada menganggk menyetujui. Dengan perlahan, ia


memutar tubuh, hingga kini ia bertemu pandang
dengan sang suami. Posisi mereka kini, bersandar
penuh pada kepala ranjang. “Anak itu begitu malang,
Mas.”

Memang.

Sungguh, membicarakan kemalangan Adiva tak akan


ada habisnya.

Jadi, setelah istrinya tenang, Aksa membawa tubuh


mereka untuk berbaring bersisian. Masih saling
memeluk, Aksa sudah mematikan lampu utama dan
menggantinya dengan penerangan redup yang
menentramkan netra.

“Kamu tahu nggak alasan kenapa tadi aku akhirnya


milih buat nungguin Lova?” dengan pandangan sayu,
ia belai wajah sang istri yang juga tengah
menatapnya. Ia sisihkan anak-anak rambut wanita itu
yang berjatuhkan menutupi wajahnya yang cantik.
“Aku takut, Nad.”

“Takut?”

Kepala Aksa mengangguk. Awalnya, ia hanya berniat


mengantarkan anaknya saja lalu pulang. Tak
keberatan kembali untuk menjemput nanti. Begitulah
yang tadi sempat ia rencanakan. “Temen-temen Lova
datang ke pesta itu dengan dandanan yang nyaris
mirip kayak dandanan Lova sebelumnya. Dan di
sana, juga banyak anak laki-laki yang ternyata di
undang. Ngelihat remaja-remaja itu, mendadak aku
takut ngelepasin Lova sendirian di tengah-tengah
mereka.”

Aksa mengatakan dengan jujur hal yang ia rasakan


tadi. Bagaimana jantungnya seolah berirama
kencang melihat keramahan putrinya dalam
menyapa beberapa teman sebayanya. Dan di antara
teman-teman yang disapa anaknya, banyak dari
mereka yang berjenis kelamin laki-laki. Mereka juga
membalas sapaan Lova tak kalah ramah. Terbiasa
menghadapi anak laki-lakinya yang begitu cuek,
mendadak Aksa tak siap membiarkan anak gadisnya
dikelilingi remaja-remaja yang hiperaktif. “Ternyata,
kamu bener, Nad. Jadi, orangtua itu berat.”

Nada mengerti gundah yang tengah menghinggapi


suaminya. Semenjak pulang sore tadi, pria ini
memang terlihat resah. Sang suami mendadak
menjadi pendiam. Dan pandangannya hanya
mengarah pada anak gadis mereka saja. “Anak-anak
kita memasuki usia remaja, Mas,” Nada mengelus
lembut alis lebat sang suami. Bibirnya,
melengkungkan senyum tipis yang terlihat samar di
antara temaram lampu yang menerangi. “Mereka
butuh banyak teman. Mereka butuh banyak
bersosialisasi. Mereka sedang berusaha menemukan
jati diri.”

“Dan itu yang bikin aku makin takut, Nad,” Aksa


mengeratkan dekapan pada istrinya. Seolah, ia
benar-benar tak siap menghadapi semua itu.
Tangannya yang berada di pinggang sang istri
meremas lembut bagian tersebut demi menyalurkan
resahnya. “Aku takut Lova salah pergaulan,” itulah
yang sejak tadi bercokol di kepalanya. “Aku percaya
kalau Oka punya pendirian yang teguh. Oka juga
tahu, mana yang salah dan yang nggak boleh diikuti.
Tapi, Lova?” Aksa menghela. “Lova itu terlalu mudah
terseret arus pergaulan.”
Nada paham risau itu.

Sebab, ia pun punya kecemasan begitu.

Menjadi orangtua, tidak mudah. Ia sudah melihatnya


sendiri dari kedua orangtuanya. Membesarkan
anak-anak dengan karakteristik yang berbeda-beda
merupakan ujian yang luar biasa mencekam. Salah
mendidik, takutnya anak akan salah mengambil jalan.

“Aku yakin Lova nggak akan kayak gitu, Mas,”


kalimat itu bukan hanya untuk menenangkan
suaminya. Tetapi juga untuk dirinya. “Kalau pun suatu
saat kita luput memantau pergaulan Lova, aku yakin
kita bisa mengatasinya.”

“Nad—“

“Mas, Lova memiliki kita sebagai keluarga yang


selalu bisa mengingatkan dia tentang hal-hal keliru
yang mungkin aja suatu saat bisa jadi bahan
pertimbangannya. Lova punya kamu, ayahnya yang
luar biasa dicintainya. Dia nggak akan pernah
berpaling dari kamu, Mas,” senyum Nada terbit lebih
lebar dari sebelumnya. Dan di antara temaram yang
memenuhi kamar, ia dapat memastikan bahwa
suaminya dapat menonton senyum yang ia tawarkan
untuk laki-laki itu. “Dan kalau-kalau kamu lupa, Lova
juga punya kakak laki-laki yang omelannya ngalahin
ibu tiri, Mas,” ia tertawa bila mengingat bagaimana
pertengkaran-pertengkaran Oka dan Lova terjadi
selama ini. “Oka pasti nggak akan tinggal diam kalau
Lova salah melangkah. Dia bakal bikin Lova sadar,
sekalipun anak perempuan kita itu udah terlanjur
salah.”

Tadi siang, Nada menyisir rambut anak laki-lakinya.


Dan malam ini, Nada menggunakan jemarinya tuk
membelai rambut pria yang sudah memberinya dua
anak di dunia ini.

Ah, hampir tiga, maksud Nada.

Ya, tiga.

Atau mungkin empat, ya?

Astaga, Nada tak ingin menutup kemungkinan bisa


saja bayi yang saat ini dikandungnya juga kembar.
Hanya saja, bila boleh meminta, Nada ingin satu
saja.

Iya, satu bayi mungil yang lucu.


Dan kini, ia tak sabar memberi kabar gembira itu,
pada sang suami.

Namun sebelumnya, ia harus memastikan ayah dari


putra-putrinya ini, sudah jauh lebih tenang.

“Mas,” Nada memanggil laki-laki itu dengan sengaja.


Ia ingin atensi penuh, dan syukurlah itu yang ia
dapatkan. “Walau Lova nggak sehebat Oka, tapi aku
yakin, anak perempuan kita itu bisa diandalkan. Dia
mungkin kelihatan ceroboh,” tiba-tiba ia mengingat
perkatakan anak laki-lakinya dalam menggambarkan
Lova. “Dia boleh kelihatan berisik dan nggak pernah
serius sama apa pun di hidupnya sekarang ini. Tapi,
Lova itu hebat, Mas. Perasaannya begitu tulus. Dan
yang terpenting, dia menyayangi kita.”

“Hm,” Aksa menghela napas panjang seraya


memejamkan mata. “Mungkin gini, ya, dulu risaunya
Bapak punya anak gadis secantik kamu,” celetuk
Aksa mengingat mertuanya. “Susah ngejagainnya.
Eh, masih muda udah dinikahin. Ya ampuunn …
Nad, aku nggak sanggup ngebayangin anak kita
dinikahin orang,” serunya tiba-tiba.
Nada sontak tertawa. Ia gigit dagu sang suami
dengan gemas. “Suatu saat nanti, Lova harus
nikahlah, Mas. Berdoa aja, semoga nggak nikah
muda kayak Ayah sama Bundanya,” ujarnya sengaja.

“Iya, ya ampuun, aku nggak bakal terima kalau dia


nikah muda. Awas aja, aku bakal ngamuk sama
laki-laki yang berani-beraninya ngajak anak kita nanti
nikah mudah. Ck, enak aja dia!” mendadak saja,
Aksa jadi emosi sendiri. “Kayaknya, apa yang Oka
bilang bener deh, Nad?”

“Oka bilang apa?”

“Iya, cukup punya satu Lova aja. Kita nggak usah


nambah-nambah Lova-Lova yang lain lagi deh.”

“Maksudnya, gimana, ya? Kok aku nggak paham, ya,


Mas?” Nada mencoba membuat jarak.

“Ya, itu, ya udahlah, dua anak cukup. Kita ikuti aja


anjuran pemerintah.”

Sudah pernah Nada bilang, bukan, bahwa suaminya


ini benar-benar duplikat Lova sekali?

Nah, inilah contoh nyatanya.


Pria itu suka sekali melantur ke mana-mana bila
sedang panik.

Anehnya, hal itu hanya terjadi di rumah. Sebab, Aksa


tak pernah melantur di persidangan.

Entah kenapa, Nada justru merasa geli mendengar


penuturan itu. Ia tak lagi menahan diri tuk tertawa.
“Mau dua anak aja?” tanyanya sembari menyelipkan
nada geli di sana. “Yakin?” godanya sengaja.

“Iyalah, ngeri aku ngejaga anak perempuan ini,”


ringis Aksa jujur.

Nada masih mempertahankan sirat geli di mata.


Tangannya lantas terulur demi menyalakan lampu di
atas nakas di sisi ranjangnya. Sebelum kemudian, ia
bergerak membuka laci paling atas dan meraih
sesuatu dari dalam sana. “Cukup punya Oka sama
Lova, aja nih?” Nada bertanya sekali lagi.

“Iya, Sayang,” Aksa mencoba menggapai tubuh


istrinya lagi. “Udah, yuk, tidur ….”
“Tunggu, dong, Mas,” Nada melarang sang suami
untuk tidur terlebih dahulu. “Aku masih mau mastiin
satu hal nih.”

“Apa sih, Bun?” lama-lama Aksa gemas juga dengan


istrinya. “Mastiin apa? Mastiin seberapa besar Ayah
cinta Bunda, ya?”

“Iih, ngarang!” Nada memukul lengan Aksa yang


mencoba menggapai-gapai tubuhnya. “Udah, fix, ini,
nggak mau nambah anak lagi? Maunya punya anak
dua aja?”

“Iyalah, Bun. Udah, dua aja,” Aksa manggut-manggut


sendiri.

“Wah, sayang banget,” Nada terkekeh geli. Ia


sodorkan testpack kepada suaminya. Pria itu
memang langsung menerimanya, namun karena
minimnya pencahayaan, pria itu butuh waktu cukup
lama untuk menyadari benda apa yang Nada berikan
padanya. “Sayang banget deh, si anak ketiga nggak
diterima ayahnya,” ucapnya hiperbolis. Tak lupa, ia
elus perutnya. “Dek, gimana nih, Ayah maunya cuma
sama abang Oka sama kakak Lova aja. Kalau gitu,
adek sama Bunda aja, ya?”
“Eh, apa-apaan itu?” Aksa menemukan kejanggalan
dari gerak sang istri. Buru-buru, ia meraih remote
lampu yang berada di atas nakasnya. Menekan
tombol besar, hingga membuat seluruh lampu yang
berada di kamar menyala. Dengan mata sedikit
menyipit, Aksa langsung menatap benda yang
berada di tangannya. Walau asing, namun ia
mengenali benda itu. “Bun?” ia tatap Nada dengan
mata melotot. Dan istrinya itu malah tersenyum
manis dengan telapak tangan yang masih membelai
bagian perutnya. “Serius, Bun?” tanyanya tak
percaya.

“Serius nggak ya, Dek?” Nada bertanya balik pada


perutnya. “Eh, Adek belum bisa ngomong, ya? Jadi,
belum bisa kasih tahu Ayah, Adek beneran ada atau
nggak di perut Bunda,” Nada tersenyum jahil.

“Jadi beneran?” senyum Aksa terbit perlahan.


Wajahnya yang tadi terlihat kaget, kini benar-benar
semringah. Tawanya mengudara dengan bahagia.
Kembali memeluk istrinya, Aksa mengecupi wajah
wanita itu dengan penuh rasa syukur. “Alhamdulillah,”
kekehnya kesenangan.
“Lho, kok seneng gitu sih? Katanya cukup punya dua
anak aja, kayak anjuran pemerintah?” sindir Nada
setengah geli melihat kelakuan suaminya.

“Nggak, ah, aku nggak suka taat-taat hukum banget


orangnya,” kekeh Aksa dengan tangan yang kini
sudah berada di atas perut istrinya. “Udah berapa
bulan?” tanyanya dengan binar mata yang
menguarkan semangat empat lima.

Nada menggeleng. Kedua lengannya terulur


mengalung di leher suaminya. Tak menolak kala pria
itu memindahkan tubuhnya ke atas pangkuan, Nada
memberikan senyum hangat kala mata mereka
memancarkan bahagia yang sama. “Belum tahu. Tadi
pagi, baru aku cek. Dan hasilnya positif,” jelasnya
sambil mengerutkan hidung dengan lucu. “Seneng?”

Aksa mengangguk tanpa ragu. “Aku nggak nyangka,”


bisiknya penuh haru. Telapak tangannya masih
berada di atas perut istrinya. Membelai lembut
dengan senyum yang tak lekang.

“Serius, kamu nggak nyangka?” tanya Nada sangsi.


“Kamu tuh semangat banget bikinnya, ih,”
tampaknya Nada perlu mengingatkan pria itu. “Kalau
aku minta buang di luar, alasannya nggak sempetlah,
lupalah,” mendadak Nada jadi jengkel bila mengingat
tipu muslihat pria itu.

Mendengar penjabaran tersebut, Aksa semakin


tertawa lebar. Melabuhkan ciuman hangat di bibir
tipis sang istri, Aksa sengaja menarik-narik bibir
bawah Nada, lalu mengulumnya dengan gemas.
“Habisnya enak, Bun,” kekehnya memberi
pembelaan. “Jadi, Lova beneran harus pensiun jadi
adek, ya, Bun?”

“Pensiun banget sih bahasa kamu, Mas?” ia


memukul bahu sang suami. Namun setelah itu, ia
memeluk leher Aksa. “Dulu, setelah bercerai sama
kamu, aku nggak punya mimpi bakal menikah lagi.
Bagiku, hidupku cukup dengan si kembar. Tapi, siapa
yang menyangka, ternyata takdir kita masih ada.
Sekarang, nggak cuma kembali menikah, rupanya
Tuhan masih mempercayai kita untuk menjadi
orangtua lagi.”

Aksa menyetujui perkataan sang istri. “Demi Tuhan,


aku bahagia, Nad.”

Nada pun sama.


Walau awalnya enggan memiliki bayi lagi, kini justru
Nada yang tak sabar tuk melahirkan bayi ini ke dunia.
Bersama si kembar yang telah beranjak remaja.
Dalam kepalanya, Nada sudah bisa membayangkan
seheboh apa nanti rumah mereka bila si kecil ini
terlahir. “Aku sayang banget sama kamu, Mas,”
bisiknya mengungkap perasaan pada sang suami.
“Demi Tuhan, sayang banget,” ungkapnya jujur.

Pria ini adalah orang yang pernah menyakitinya di


masa lalu. Namun sepaket dengan itu, pria ini juga
merupakan orang yang kerap membuatnya bahagia.
Nada mencintainya.

Iya, dia mencintai suaminya.

Aksara Bhumi yang keberadaannya bagai semesta


yang menaungi dunia kecil, milik Senada yang tak
terlalu istimewa.

***

Yessss, udaaah yaaaa


Mudah2an kaliaan yang gk pernah puas ini, beneran
puaass yaaa hahaha

aku belum tahu belum mau bikin cerita apa yaa,


beberapa harii belakangan ini akuuu sakiitt gigiii. ya
ampuun, sakitt bangeettt. tapi semoga pelan-pelan
nanti, bisa nyiptain dongeng buat kaliaan.

makasih yaaa buat kaliaan yang udah ngikuti


semalam inii. semoga Aksara Senada dapat
menghibur kita semuaa. see uu semuaanyyaaaa ….

Anda mungkin juga menyukai