Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Fenomena cyberspace dan desain global merupakan topik aktual yang sangat
diminati oleh Sosiologi. Hal tersebut dikarenakan penemuan teknologi
berkemampuan tinggi secara bertahap telah mempengaruhi penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia. Pemerintah saat ini mulai memanfaatkan teknologi
komputer untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik (good governance).
Penerapan tata pemerintahan yang baik, akan berimplikasi pula terhadap birokrasi dan
pelayanan publik (public service) yang lebih baik kepada masyarakat (Muari, 2017).
Implementasi e-Government merupakan upaya untuk mengembangkan
penyelenggaraan pemerintahan berbasis elektronik dalam rangka meningkatkan
kualitas layanan publik yang lebih efektif dan efisien (Aprianty, 2016). Hal ini
didukung oleh Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
13/KEP/M.PAN/1/2003 tentang Pedoman Umum Perkantoran Elektronis Lingkungan
Intranet di Lingkungan Instansi Pemerintah, yang juga merupakan landasan penting
dalam pelaksanaan e-Government di Indonesia.
Sebelum adanya penerapan e-government, wajah birokrasi di Indonesia
cenderung dianggap “buruk”, “bobrok”, dan kurang transparan. Birokrasi gagal
menciptakan efisiensi dan efektifitas kerja, sehingga sering dianggap sebagai
penghambat pemerintahan maupun masyarakat untuk mencapai tujuan. Padahal
birokrasi merupakan agen perubahan sosial.
Menurut Max Weber, konsepsi birokrasi adalah sistem kerja yang memberi
wewenang untuk menjalankan kekuasaan. Birokrasi berasal dari dua konsep (bureau
+ cracy). Bureau adalah office table yang menjadi alat manusia untuk menghasilkan
kekuasaan dan berujud aturan-aturan. Cracy adalah power yang kemudian
menghasilkan kewibawaan (authority) yang berwujud ‘power and legitimation’
(Wikipedia, 2017). Jadi hakikatnya, birokrasi dibuat untuk memudahkan pelayanan
kepada masyarakat. Akan tetapi beberapa kasus yang terjadi di Indonesia sangat
kontradiktif dengan konsep birokrasi itu sendiri. Pelayanan kepada masyarakat malah
semakin panjang dan melalui banyak meja serta memerlukan biaya yang cukup tinggi.
Akhir-akhir ini perombakan terhadap sistem birokrasi yang ada ternyata sudah cukup

1
ampuh dalam membuat tipe ideal birokrasi, salah satunya melalui penggunaan
aplikasi teknologi di dalam birokrasi.
Teknologi merupakan salah satu solusi untuk memberikan pelayanan yang
prima antar pemerintah, dan dari pemerintah untuk masyarakat. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) merupakan bentuk pengaturan pengelolaan informasi dan transaksi
elektronik di tingkat nasional sehingga pembangunan Teknologi Informasi (TI) dapat
dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar keseluruh lapisan masyarakat guna
mencerdaskan kehidupan bangsa. Peraturan tersebut dibuat tidak lain untuk
mendukung pengembangan TI melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya
sedemikian rupa.
Teknologi akan membawa perubahan. Perubahan tidak dapat dihindari.
Perubahan hanyalah soal waktu. Perubahan itu membutuhkan sebuah upaya
transformasi. Transformasi teknologi merupakan sesuatu yang penting untuk
dilakukan. Teknologi dalam konteks sosiologi, tanpa disadari telah mengubah
kehidupan sosial aparatur kita. Implementasi e-Government telah mengubah tatanan
struktur dan kultur aparatur Pemerintah dalam pelayanan birokrasi.Teknologi telah
mengubah ikatan sosial kultural yang kuat diantara aparatur, sebuah ikatan yang
membentuk aparatur sebagai sebuah komunitas baru. Kondisi ini adalah sebuah
parameter modernitas yang menunjukkan bagaimana sebuah tatanan sistem sosial
mengalami perubahan interaksi akibat adanya intervensi teknologi (Sari, 2016).
Relasi antara manusia dan teknologi tidaklah sesederhana dengan mengatakan
bahwa teknologi adalah media untuk mengubah manusia. Manusia tidak pernah
bersikap pasif terhadap teknologi. Respons imajinatif senantiasa mewarnai interaksi
balik antara manusia dan teknologi, sebuah interaksi yang selalu melibatkan dimensi
sosial, politik, dan kultural.
Pada titik inilah relasi antara manusia dan teknologi menjadi diskursus
menarik sekaligus penting. Menarik karena kompleksitasnya. Penting karena
teknologi selalu menjadi bagian dari setiap episode sejarah kehidupan manusia.
Selaku makhluk sosial seorang aparatur tidak dapat hidup tanpa kehadiran orang-
orang di sekelilingnya. Mereka mempunyai peran masing-masing yang berbeda. Di
sinilah, pentingnya relasi serta interaksi sosial apartur. Semua saling membutuhkan
dan melengkapi satu sama lain. Hubungan antar personal yang baik akan melahirkan
kondisi pemerintahan yang harmonis. Sosiologi dan teknologi telah membangun
2
berbagai model sosial untuk menjelaskan perkembangan teknologi dan mencari tahu
apa dan bagaimana faktorfaktor sosial bekerja dalam proses tersebut. Salah satu
konsep dalam sosiologi teknologi saat ini adalah Social Construction Of Technology
(SCOT) dengan Wiebe Bijker dan Trevor Pinch sebagai pelopornya.
SCOT sendiri diilhami oleh sosiologi pengetahuan ilmiah yang sangat kental
dengan muatan konstruktivisme. Tidak heran apabila pendekatan konstruktivisme
dalam studi sains diimpor ke dalam SCOT dan menjadi inti dari konsep ini.
Perkembangan teknologi tidaklah otonom dan tidak melalui suatu momentum yang
bersifat inheren. Kita tidak dapat membuat suatu aturan bagaimana teknologi harus
berkembang, karena teknologi bergerak secara tidak pasti. Teknologi sangat
bergantung pada faktor-faktor sosial yang kompleks. Jika suatu teknologi mengalami
perubahan, hal itu karena adanya kondisi eksternal yang mendorongnya untuk
berubah.
Gagasan SCOT berpusat pada tesis bahwa perkembangan teknologi dalam
suatu sistem sosial melewati tiga fase. Pada fase pertama terjadi interpretative
flexibility, dimana teknologi menghasilkan produk terbaru yang berbeda dengan
situasi sosial saat dikembangkan. Pada fase kedua terjadi proses relevant social
group, dimana sejumlah kelompok sosial menginterpretasikan suatu artefak teknologi
baru secara berbeda-beda. Pada fase ketiga terjadi pro-contra technology, prokontra
terhadap teknologi baru ini diwarnai dengan konflik dan negosiasi antara kelompok
sosial yang berujung pada sebuah kompromi. Ketika konflik sudah teratasi maka tidak
lagi menimbulkan masalah karena para kelompok sosial telah mencapai suatu
"persetujuan" akan makna dari artifak teknologi tersebut.Pada fase ini desain dari
artefak teknologi menjadi stabil.
Implementasi kebijakan e-Government menghadapi beberapa tantangan
(Astuti, 2005). Salah satu diantaranya adalah masalah sumber daya aparatur yang
belum memadai. Implementasi e-Government perlu didukung oleh pegawai (aparat)
yang mengerti mengenai sisi teknologi. Selain itu, diperlukan aparat yang mau belajar
dan mampu menanggapi perubahan. Hal ini disebabkan teknologi informasi dan
komunikasi berubah sedemikian cepat, sehingga kemauan belajar pun dituntut untuk
dimiliki setiap aparatur. Upaya pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya melalui
pelayanan masih menjadi pekerjaan rumah yang sangat dan harus lebih diperhatikan.
Upaya tersebut sampai sekarang masih menjadi titik fokus pembenahan, yang
diperhatikan pula oleh masyarakat untuk senantiasa mengkoreksi hasil dari pemberian
3
pelayanan tersebut, karena mendapatkan hak dasar berupa pelayanan sudah
sewajarnya diberikan aparatur pemerintahan kepada masyarakat. Berdasarkan latar
belakang di atas, isu tema sentral dalam makalah ini membahas tentang perubahan
sosial dalam ranah birokrasi dan pelayanan publik berbasis e-Government.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti membuat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perubahan sosial yang terjadi di dalam birokrasi dan pelayanan publik
berbasis E-Government?
2. Apa dampak E-Government terhadap sistem birokrasi?
3. Apa hambatan penerapan E-Government dalam birokrasi?

1.3. Tujuan
1. Menganalisis perubahan sosial yang terjadi dalam ranah birokrasi dan pelayanan
publik yang berbasis E-Government.
2. Mendeskripsikan E-Government terhadap sistem birokrasi.
3. Mendeskripsikan hambatan penerapan E-Government dalam birokrasi.

1.4. Manfaat
1.4.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan akademis dalam
menambah keberagaman kajian dan penelitian baru terhadap studi birokrasi dan
pelayanan publik, utamanya yang berbasis e-Government. Saat ini penelitian birokrasi
berbasis e-Government banyak dilakukan, akan tetapi perspetif yang digunakan lebih
menitikberatkan pada studi administrasi negara maupun komunikasi. Jarang ditemui
penelitian yang mengfokuskan pada perspektif Sosiologi. Dengan dilakukannya
kajian ini, diharapkan mampu memberikan pemahaman baru, utamanya mengenai
perubahan sosial pada birokrasi dan pelayanan publik berbasis e-Government.
1.4.2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para stakeholder
dalam merumuskan strategi yang lebih baik terkait efektifitas dan efisiensi birokrasi
di Indonesia. Mengingat peran lembaga birokrasi sangat penting dalam bidang
administrasi pelayanan publik, maka keberadaan birokrasi berbasis e-Government

4
dapat dijadikan pijakan untuk menghasilkan pelayanan administrasi yang prima bagi
masyarakat.
BAB II
LANDASAN TEORITIK

2.1. Perubahan Sosial

Pembahasan terkait perubahan sosial telah dijelaskan oleh berbagai teori


sosiologi. Perubahan sosial sangat berkaitan dengan proses sosial yaitu serangkaian
kejadian yang temporal dan kausal dengan sifat reproduktif maupun transformatif.
Proses sosial dalam perubahan ini disebut linier jika tidak ada bagian dari bidang itu
mengulangi diri sendiri. Proses linear ini dapat mengarah ke kemajuan atau ke
kemunduran (Lauer, 1989: 70-71). Pola ini juga menegaskan manusia sebenarnya
hidup dalam lingkaran kehidupan yang berbentuk spiral. Salah satu teoritisi yang
mencoba menjelaskan perubahan sosial dalam masyarakat adalah Emile kolektif yang
kuat. Kemudian, keadaan tersebut akan berubah karena Durkheim. Perubahan sosial
yang dijelaskan oleh Durkheim memperhatikan konteks masyarakat primitif dan
masyarakat modern. Dalam penjelasannya, masyarakat primitif memiliki fakta sosial
non-material yang berupa ikatan moralitas bersama atau yang biasa disebut sebagai
kesadaran kompleksitas masyarakat modern yaitu pembagian kerja yang semakin
kompleks dan mengikat satu dengan yang lainnya (Ritzer, 2014: 25).

Menurut Wilbert Moore, perubahan sosial sebagai perubahan penting dari


struktur sosial, struktur sosial yang dimaksudkan adalah pola-pola perilaku dan
interaksi sosial. Struktur sosial tersebut mencakup norma, nilai, dan fenomena
kultural. Selain itu, perubahan sosial juga didefinisikan sebagai variasi atau
modifikasi dalam setiap aspek proses sosial, pola sosial, dan bentuk-bentuk sosial,
serta setiap modifikasi pola antarhubungan yang mapan dan standar perilaku.
Perubahan sikap mencerminkan perubahan hubungan antar individu, antar organisasi
atau antar institusi, tetapi mungkin pula tidak (Ritzer, 2014: 4-5).

Dalam menjelaskan perubahan sosial tidak terlepas dari dimensi terjadinya


perubahan sosial dalam masyarakat. Dimensi dalam perubahan sosial membicarakan
cakupan dari perubahan itu sediri. Menurut Himes dan Moore, perubahan sosial
mempunyai 3 (tiga) dimensi yaitu dimensi struktural, dimensi kultural dan dimensi

5
interaksional. Dimensi struktural melihat perubahan yang terjadi mengacu dalam
bentuk struktur masyarakat, menyangkut perubahan dalam peranan, munculnya
peranan baru, perubahan dalam struktur kelas sosial, dan perubahan dalam lembaga
sosial. Sedangkan dimensi kultural mengacu pada perubahan kebudayaan di tengah
masyarakat seperti inovasi kebudayaan (komponen internal yang memunculkan
perubahan), difusi (komponen eksternal yang mampu menggerakkan terjadinya
perubahan), dan integrasi (penyatuan unsur-unsur kebudayaan yang saling bertemu
untuk kemudian menghasilkan munculnya kebudayaan baru). Serta dimensi
interaksional mengacu pada perubahan hubungan sosial dalam masyarakat seperti
perubahan frekuensi dalam berinteraksi, jarak sosial, perantara interaksi, aturan dan
pola-pola interaksi, dan perubahan bentuk interaksinya (Martono, 2011: 6-8).

Penjelasan lainnya terkait dengan perubahan sosial disampaikan juga oleh


Robert M. MacIver. Perubahan sosial menurut MacIver merupakan perubahan yang
terjadi dalam hubungan sosial (social relationships) atau sebagai perubahan terhadap
keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial (Soekanto, 2012: 262-264)

Perubahan yang dialami suatu masyarakat tidak terlepas dari adanya inovasi
yang terdapat di masyarakat itu sendiri. Menurut Everett M. Rogers dan F. Floyd
Shoemaker, perubahan sosial merupakan suatu proses yang terjadinya perubahan
struktur dan fungsi dalam sistem sosial. Rogers beranggapan bahwa perubahan sosial
yang terjadi dalam masyarakat sangat berkaitan dengan keberadaan komunikasi
dalam masyarakat. Komunikasi dalam hal ini dimaksudkan adalah cara-cara dalam
menyampaikan ide-ide atau gagasan baru atau yang biasanya disebut sebagai inovasi.
Menurut Rogers, inovasi adalah konsep yang luas artinya. Inovasi adalah setiap ide
yang dibayangkan sebagai sesuatu yang baru oleh seorang individu. Ide yang
dimaksud mungkin sudah ada ditempat atau masyarakat lainnya tetapi tidak dapat
mengubah pengaruhnya terhadap individu yang menemukannya dan yang
membayangkan sebagai sesuatu yang baru (Lauer, 1989: 227).

Menurut Everett M. Rogers dalam Hanafi (1987) terdapat 3 (tiga) tahapan


proses perubahan diantaranya yaitu:

a. Invensi yaitu proses dimana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan.

b. Difusi, ialah proses dimana ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam sistem
sosial.

6
c. Konsekuensi, yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem sosial
sebagai akibat pengadopsian atau penolakan inovasi. Perubahan terjadi jika
penggunaan atau penolakan ide baru itu mempunyai akibat. Oleh karena itu
perubahan sosial merupakan akibat komunikasi sosial.
Dalam proses difusi atau penyebaran ini terdapat 4 unsur
penting diantaranya adalah :
a. Inovasi
Inovasi adalah gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh
seseorang. Inovasi ini diukur secara subjektif bergantung pada individu yang
memperolehnya. Jika gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh
individu inilah yang disebut inovasi (bagi individu tersebut). Arti “baru” dalam
hal ini bukan hanya hal yang benar-benar baru atau belum ada sebelumnya
sehingga individu dapat menilai inovasi berdasarkan pengetahuannya. Semua
inovasi pasti memiliki komponen ide tetapi tidak semuanya berwujud secara fisik
atau memiliki komponen objek. Pengadopsian inovasi yang hanya memiliki
komponen ide disebut sebagai keputusan simbolik, sedangkan pengadopsian
inovasi yang memiliki komponen ide dan komponen objek disebu keputusan
tindakan. 31 Inovasi dalam hal ini tidak dibatasi dengan teknologi.
b. Saluran Komunikasi

Komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari sumber informasi kepada


penerima. Komunikasi inovasi ini disampaikan melalui saluran komunikasi
sebagai alat penyampaian pesan tersebut.33 Inti dari proses penyebaran inovasi
adalah interaksi manusia dimana seseorang mengkomunikasikan ide baru kepada
orang lain. Dalam melakukan komunikasi inovasi ini, menurut Rogers saluran
komunikasi perlu memperhatikan tujuan mengkomunikasikan dan sifat
penduduknya. Jika tujuannya untuk memberitahukan, maka media massa adalah
saluran terbaik karena dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Tetapi jika bertujuan
untuk membujuk, maka saluran komunikasi antar pribadi akan lebih efektif.
Tetapi berbagai jenis komunikasi terlah ditemukan dan menunjukkan bahwa
media massa lebih digunakan oleh penerima pemula tetapi saluran antar pribadi
lebih pada penerima.

c. Sistem sosial tempat terjadinya proses penyebaran dan penerimaannya.


Sistem sosial merupakan sekumpulan individu yang berbeda fungsinya dan

7
terlibat dalam kegiatan menyelesaikan masalah kolektif dan mencapai tujuan
bersama. Dalam sistem sosial selalu terdapat norma, status, dan pemimpin yang
penting dalam memahami nasib inovasi di dalam sistem sosial yang bersangkutan.
Terdapat 3 aspek sistem sosial yang diketahui penting adalah norma, panutan, dan
agen perubahan. Norma yang merupakan seperangkat aturan yang dipercayai oleh
masyarakat menunjukkan pengaruhnya pada reaksi individu terhadap inovasi.
Panutan menjadi penentu nasib inovasi yang mampu mempengaruhi orang lain
karena kecakapan mereka, kecocokan mereka terhadap norma, dan status mereka.
Sedangkan agen perubahan merupakan seorang profesional yang berusaha
mendesakkan sejenis pengaruh yang ditetapkan sebagai yang diinginkan oleh
badan pengantar perubahan.
d. Aspek Waktu

Waktu menjadi penting dalam proses difusi. Aspek waktu ini terlihat dalam
proses pengambilan keputusan inovasi, jangka waktu ketika individu menerima
inovasi, dan kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial. 34 Pada aspek ini
merupakan tahapan setelah ide baru dikomunikasikan kemudian individu atau
masyarakat berusaha menerima atau menolak. Jika ia menerima, biasanya akan
melewati 5 tahap yaitu : menyadari, tertarik, menilai, mencoba, dan menerima.
Rogers mengklasifikasikan penerima inovasi kedalam beberapa kategori yaitu
pembaharu, penerima awal, mayoritas awal, mayoritas akhir, dan penerima yang
terlambat.
Ada 2 (dua) faktor yang menyebabkan perubahan sosial dalam masyarakat, yaitu
1. Faktor Intern
a. Bertambah dan berkurangnya penduduk.
b. Adanya penemuan-penemuan baru yang meliputi berbagai proses, seperti:
1) Discovery, penemuan unsur kebudayaan baru
2) Invention, pengembangan dari discovery
3) Inovasi, proses pembaharuan
c. Konflik dalam masyarakat.
d. Pemberontakan.
2. Faktor Ekstern.
a. Faktor alam yang ada di sekitar masyarakat yang berubah, seperti bencana
alam.

8
b. Pengaruh kebudayaan lain melalui adanya kontak kebudayaan antara dua
masyarakat atau lebih yang memiliki

2.2. Teknologi
Beberapa ahli berpendapat bahwa teknologi dapat menyebabkan terjadinya
perubahan sosial. Perubahan teknologi terkait dengan adanya penemuan baru yang
melibatkan berbagai akibat sosial. Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa laju perubahan
kebudayaan material seperti halnya teknologi berpacu lebih cepat ketimbang laju
perubahan kebudayaan non material. Di kalangan para ahli, ada perbedan pandangan
soal pengaruh teknologi terhadap perubahan sosial. Pandangan pertama, determinisme
technology, menganggap bahwa teknologi sebagai satu-satunya faktor yang
menyebabkan perubahan nilai kultural dan struktural. Pandangan kedua, Social
Contruction of Technology System (SCOT) mengatakan bahwa teknologi hanyalah
salah satu dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi perubahan sosial. Pandangan
ini berpendapat bahwa teknologi hanya sebagai alat dan cara yang sifatnya pasif.
Penggunaannya sangat bergantung dari kemauan manusia (Demartoto, 2007 : 37-39).
a. Perspektif Determinisme Technology
1. Perkembangan teknologi mengikuti jalur diluar pengembangan pengaruh budaya
atau politik
2. Perkembangan teknologi memberi dampak pada masyarakat, bukan sebaliknya.
Kedua premis tersebut sulit diterima karena pola teknologi banyak dipengaruhi oleh
kondisi sosial, kultural, dan politik dimana teknologi itu berada.
b. Perspektif Social Contruction of Technology System (SCOT)
Kritik terhadap pandangan determinsime teknologi melahirkan pandangan lain
mengenai keterkaitan antara perkembangan teknologi dengan manusia. Padangan
tersebut dikenal dengan nama Social Contruction of Technology System (SCOT).
Aliran kontruksi ini berpendapat bahwa teknologi tidak menentukan tindakan
manusia, tetapi justru tindakan manusia yang membentuk teknologi.
Gagasan SCOT berpusat pada tesis bahwa perkembangan teknologi dalam
suatu sistem sosial melewati tiga fase. Pada fase pertama terjadi interpretative
flexibility, dimana teknologi menghasilkan produk terbaru yang berbeda dengan
situasi sosial saat dikembangkan. Pada fase kedua terjadi proses relevant social
group, dimana sejumlah kelompok sosial menginterpretasikan suatu artefak teknologi
baru secara berbeda-beda. Pada fase ketiga terjadi pro-contra technology, prokontra
9
terhadap teknologi baru ini diwarnai dengan konflik dan negosiasi antara kelompok
sosial yang berujung pada sebuah kompromi. Ketika konflik sudah teratasi maka tidak
lagi menimbulkan masalah karena para kelompok sosial telah mencapai suatu
"persetujuan" akan makna dari artifak teknologi tersebut.Pada fase ini desain dari
artefak teknologi menjadi stabil.
Pada zaman mileneal ini, keberadaan teknologi memiliki peran penting dalam
memperkuat birokrasi pemerintahan yang berbasis sibernetik (E-Government). Hal ini
akan membuka peluang perubahan struktural dan kultural dalam komunikasi,
transaksi, dan interaksi antara pengambil keputusan dengan masyarakat di masa
mendatang.
2.3. E-Government
Kemajuan dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi pada
akhirnya mengubah tatanan organisasi dan hubungan sosial kemasyarakatan. Hal ini
tidak dapat dihindari, karena fleksibilitas dan kemampuan teknologi telah
membuktikan perannya sebagai alat bantu yang memudahkan aktivitas kehidupan,
sekaligus membantu meningkatkan produktivitas.
Menyikapi kondisi yang demikian, banyak negara yang sedang berusaha keras
menyiapkan kerangka kebijakan bagi penggunaan teknologi, komunikasi, dan
informasi dalam mengatasi fenomena kesenjangan digital (digital divide). Dalam
bidang pemerintahan, penggunaan TIK melahirkan konsep yang dikenal dengan e-
government. Bank Dunia mendefinisikan e-government sebagai penggunaan teknologi
informasi oleh lembaga pemerintah yang mempunyai kemampuan untuk
mentransformasikan hubungan Pemerintah dengan warganya, pelaku dunia usaha
(bisnis), dan lembaga pemerintah lainnya. Teknologi ini dapat mempunyai tujuan
yang beragam, antara lain: pemberian layanan pemerintahan yang lebih baik kepada
warganya, peningkatan interaksi dengan dunia usaha dan industri, pemberdayaan
masyarakat melalui akses informasi, atau manajemen pemerintahan yang lebih
efisien. Hasil yang diharapkan dapat berupa pengurangan korupsi, peningkatan
transparansi, peningkatan kenyamanan, pertambahan pendapatan dan/atau
pengurangan biaya. (Eddy : 2006).
Sedangkan e-Government menurut Clay G. Wescott seorang Pejabat Senior
Asian Development Bank dalam buku Business Case for e-Government (2001:4)
mendefinisikannya sebagai: “E-Government is the use of information and
communications technology (ICT) to promote more efficient and cost-effective
10
government, facilitate more convenient government services, allow greater publik
access to information, and make government more accountable to citizen.
West (2001: 8-12) menjelaskan bahwa terdapat empat tahap dari E-
Government. Tetapi kategorisasi ini sendiri tidak berarti semua E-Government melalui
semua tahapan ini dalam urutan linear.
Terdapat beragam cara dimana E-Government telah berevolusi. Berikut adalah
ke empat tahapan tersebut: (1) Tahap Billboards, pada tahap ini website pemerintah
sebagai sarana E-Government hanya digunakan sebagai billboard, atau dengan kata
lain E-Government adalah mekanisme statik untuk menampilkan informasi; (2) Tahap
The Partial Service-Delivery, di mana pada tahap ini E-Government menggabungkan
fitur pencarian informasi dan pelayanan parsial kedalam website. Pada tahap ini
masyarakat dapat mengakses, memilih, dan mencari informasi; (3) Tahap portal
dengan eksekusi penuh dan pelayanan terpadu, meliputi ‘one-stop’ portal
pemerintahan dengan pelayanan online terpadu; (4) Demokrasi interaktif dengan
pendekatan publik dan fitur peningkatan akuntabilitas, pada tahap ini website
pemerintah menawarkan sebuah pilihan untuk dapat melakukan personalisasi website
(misalnya penyesuaian atas kepentingan atau minat seseorang) dan mendorong
teknologi (misalnya menyediakan email atau electronic subscription yang
menyediakan perbaruan otomatis atas isu atau area yang diperhatikan orang tersebut).
Menyadari akan besarnya manfaat e-government, pemerintah Indonesia sejak
tahun 2003 telah mengeluarkan kebijakan tentang penerapan E-Government dalam
bentuk Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2003 yang secara garis besar berisi tentang:
a. Pengembangan sistem pelayanan yang handal dan terpercaya serta terjangkau
masyarakat luas.
b. Penataan sistem manajemen dan proses kerja pemerintah Pusat dan Daerah
secara holistik.
c. Pemanfaatan teknologi informasi secara optimal.
d. Peningkatan peran serta dunia usaha dan pengembangan industri
telekomunikasi dan teknologi informasi.
e. Pengembangan SDM di pemerintahan dan peningkatan e-literacy masyarakat.
f. Pelaksanaan pengembangan secara sistematik melalui tahapan yang realistik
dan terukur.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa e-governance mencakup:

11
1. e-Administration: untuk memperbaiki proses pemerintahan dengan
menghemat beaya, dengan mengelola kinerja, dengan membangun koneksi
strategis dalam pemerintah sendiri, dan dengan menciptakan pemberdayaan.
2. e-Citizen & e-Services: menghubungkan warga masyarakat dengan
Pemerintah dengan cara berbicara dengan warga dan mendukung
akuntabilitas, dengan mendengarkan masyarakat dan mendukung demokrasi,
dan dengan meningkatkan layanan publik.
3. e-Society: membangun interaksi di luar pemerintah dengan bekerja secara
lebih baik dengan pihak bisnis, dengan mengembangkan masyarakat, dengan
membangun kerjasama dengan pemerintah, dan dengan membangun
masyarakat madani. (Heeks, 2001 : 2).

12
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Wajah Birokrasi Masa Lalu


Birokrasi (bahasa Inggris:bureaucracy ~ bu·reauc·ra·cy ~ bjʊəˈrɒkrəs)
(bahasa Perancis: bureaucratie) mempunyai arti bureau + cratieatau sistem
struktur manajemen pemerintahan negara atau administrasi besar atau organisasi
sesuai dengan kebutuhan atau keinginan yang kompleks yang ditandai dengan
otoritas hirarkis di antara banyak kantor dengan prosedur yang tetap (Wikipedia,
2017).
Ketika kita membicarakan birokrasi, maka kita tidak hanya
dibenturkan pada kenyataan tentang sistem dan struktur birokrasi yang ada,
namun kita juga akan menghadapi sumber daya manusia, dengan segala adat,
kebiasaan, cara pandang, dan mentalitas dari manusia yang mengisi dan
menjalankan birokrasi tersebut. Menganalisis perlengkapan psikis manusia
menjadi sangat penting, sebab, didalam suatu perubahan sosial tertentu, bukan
hanya aspek struktural saja yang penting untuk diperhatikan,melainkan juga
aspek kultural yakni kebudayaan manusia itu sendiri.
Koentjaraningrat dalam bukunya “Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan” menggambarkan beberapa mentalitas yang dimiliki bangsa
Indonesia. Mentalitas bangsa itu kemudian secara lebih gamblang, ternyata
terbukti banyak yang menghambat birokrasi bangsa Indonesia. Beberapa
mentalitas tersebut antara lain:
Pertama, mentalitas meremehkan mutu. Kebutuhan akan kualitas dari
hasil karya kita dan rasa peka kita terhadap mutu, sudah hampir hilang. Sampai-
sampai, kita tidak pernah memikirkan mutu dari pekerjaan yang dihasilkan dan
mutu dari barang dan jasa yang kita konsumsi. Selain itu serupa dengan di
berbagai negara berkembang, disini sebagian besar produksi masih dimonopoli
oleh sejumlah orang mampu dan tenaga ahli yang amat terbatas. Mentalitas
meremehkan mutu ini juga disebabkan oleh karena proses penyebaran, perluasan,
pemerataan dan ekstensifikasi dari sistem pendidikan kita yang tidak disertai
dengan perlengkapan sewajarnya dari sarana prasarana pendidikan.

13
Kedua, mentalitas yang suka menerabas. Mentalitas yang bernafsu
untuk mencapai tujuannya secara cepat tanpa banyak kerelaan berusaha dari
permulaan selangkah demi selangkah. Mentalitas ini merupakan akibat dari
mentalitas yang meremehkan mutu. Hal ini terlihat dari cara-cara berusaha yang
tidak lazim atau dengan cara “mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya
mumpung ada kesempatan”, tanpa mau untuk mengunyah pahit getirnya masa
permulaan berusaha. Begitu pula yang terjadi di dalam dunia Pegawai Negeri
Sipil (PNS) mereka berlomba untuk mencapai pangkat dan kedudukan tinggi
dengan suka menerabas, cepat-cepat, bahkan melupakan aspek ketrampilan dan
kepandaian dalam bidang ilmu tersebut. Mentalitas semacam ini tampak
menonjol di Indonesia. Bahkan mulai tumbuh sejak jaman penjajahan Jepang.
Akibatnya, sistem yang melompat-lompat dan cepat-cepat itu menyebabkan
orang tidak pernah benar-benar ahli di bidangnya. Karena, sebelum dia benar-
benar mantap dan pandai, dia harus tersedot ke level atas untuk mengerjakan
tugas baru lagi.
Ketiga, sifat tidak percaya kepada diri sendiri. Sifat tidak percaya diri
sendiri ini menggejala di dalam masyarakat Indonesia. Penyebabnya tak lain
adalah budaya feodalisme yang sempat lama berakar dalam masyarakat
Indonesia. Menyebabkan rasa inferior tersebut tinggi. Sifat ini jelas berkembang
dalam lingkungan pegawai atau priyayi di kota-kota.
Keempat, sifat tak disiplin. Sifat ini juga merupakan sifat yang justru
setelah revolusi tampak makin memburuk dan yang merupakan salah satu
pangkal dari berbagai masalah sosial budaya yang kini kita hadapi. Nilai budaya
dan mentalitas pegawai dan priyayi yang banyak berorientasi vertikal tadi banyak
mempengaruhi terhadap pola perilaku. Mereka berdisiplin hanya karena takut
akan pengawasan dari atasan/pusat. Pada saat pengawasan kendor atau tidak ada,
maka hilang pula hasrat murni dari jiwanya untuk secara ketat mentaati
peraturan-peraturan.
Kelima, sifat tidak bertanggungjawab. Sifat tidak bertanggung jawab
ini sebenarnya merupakan suatu keadaan dari orang-orang yang hidup dalam
keadaan serba kurang. Sehingga, sifat tanggung jawab hanya baik jika terdapat
pengawasan yang ketat dari atas/atasan. Selain itu, sifat ini juga bisa diamati
dalam pola “penyesalan” bangsa kita. Pola perasaan bersalah bangsa Indonesia
adalah perasaan bersalah itu hanya timbul kalau kelihatan banyak orang. Tidak
14
berdasarkan atas suatu rasa menyesal karena perbuatan yang salah itu sendiri.
Kontradiksi juga terjadi dalam sikap “sungkan”, dan “ewuh pakewuh” yang
negatif. Semisal, ketika bertatap muka orang berkata “ya”, namun di belakang, ia
tidak menepati janji tersebut. (Koentjaraningrat : 2000)
Tak hanya mengalami masalah mentalitas masyarakat di ranah
kultural, birokrasi Indonesia juga mengalami problematika diranah struktural.
Probelmatika ini dapat dilihat melalui praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme
yang mendera pejabat-pejabatnya. Petugas birokrasi dan pelayanan publik kerap
kali melakukan tindakan-tindakan yang tidak patut dicontoh, seperti: proses
birokrasi yang sangat panjang dan bertele-tele, penetapan tarif tinggi pada
mayarakat yang hendak mengurus administrasi dan dokumen berharga,
mendahulukan kolega yang memiliki kedekatan dengannya, sikap yang kurang
menyenangkan bahkan korupsi dana birokrasi melalui “kong-kalikong” dengan
pihak pemenang proyek.
Kondisi birokrasi di Indonesia dimasa lalu tidak lepas dari pengaruh
masa Orde Baru. Hal tersebut ditandakan dengan birokrasi yang
berkecenderungan menyalahgunaan wewenang, korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Tidak hanya itu saja, birokrasi pada masa orde baru merupakan sebuah kekuatan
politik. Kekuatan tersebut digunakan oleh pemimpin yang berkuasa untuk
“melanggengkan” posisinya tersebut.
Birokrasi dijadikan alat status quo mengkooptasi masyarakat guna
mempertahankan dan memperluas kekuasaan monolitik. Birokrasi Orde Baru
dijadikan secara struktural untuk mendukung pemenangan partai politik
pemerintah. Padahal birokrasi diperlukan sebagai aktor public services yang
netral dan adil, dalam beberapa kasus menjadi penghambat dan sumber masalah
berkembangnya keadilan dan demokrasi, terjadi diskriminasi dan
penyalahgunaan fasilitas, program dan dana negara.
Birokrasi yang diyakini pemerintah sebagai proses dan sistem yang
diciptakan secara rasional untuk menjamin suatu mekanisme dan sistem kerja
yang teratur, pasti, dan mudah dikendalikan, dimata masyarakat adalah hal yang
normatif belaka. Masyarakat terlanjur memberi cap birokrasi sebagai instrumen
yang bertele-tele, pengurusan yang dilempar kesana kemari, dan prosedur yang
amat rumit. Oleh sebab itulah, sampai dengan masa reformasi sekarang wajah

15
birokrasi Indonesia masih tergambar dengan wujud tradisi korup, tidak berpihak
pada rakyat, kaku, dan hanya formalitas saja.

Birokrasi di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah,


sepanjang Orde Baru kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam karena
perilakunya yang tidak sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai pelayan
masyarakat. Sehingga apabila orang berbicara tentang birokrasi selalu
berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban, berbelit-belit, menghalangi
kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan substansi, dan
tidak efisien.
Bahkan pandangan para pengamat lebih jauh lagi tentang model
birokrasi di Indonesia. Karl D Jackson menilai bahwa birokrasi di Indonesia
adalah model bureaucratic polity di mana terjadi akumulasi kekuasaan pada
negara dan menyingkirkan peran masyarakat dari ruang politik dan
Pemerintahan. Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia
sebagai bureaucratic capitalism.
Sementara Hans Dieter Evers melihat bahwa proses birokrasi di
Indonesia berkembang model birokrasi ala Parkinson dan ala Orwel. Birokrasi
ala Parkinson adalah pola dimana terjadi proses pertumbuhan jumlah personil
dan pemekaran struktural dalam birokrasi secara tidak terkendali. Sedang
birokrasi ala Orwel adalah pola birokratisasi sebagai proses perluasan kekuasaan
Pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi, politik dan sosial
dengan peraturan, regulasi dan bila perlu melalui paksaan.
Dengan demikian birokrasi di Indonesia tidak berkembang menjadi
lebih efisien, tetapi justru sebaliknya inefisiensi, berbelit-belit dan banyak aturan
formal yang tidak ditaati. Birokrasi di Indonesia ditandai pula dengan tingginya
pertumbuhan pegawai dan pemekaran struktur organisasi dan menjadikan
birokrasi semakin besar dan membesar. Birokrasi juga semakin mengendalikan
dan mengontrol masyarakat dalam bidang politik, ekonomi dan sosial.
Delapan belas tahun sudah Indonesia menjalani masa reformasi,
meninggalkan masa orde baru dengan semua sejarah kelamnya. Namun
benarkah masa reformasi tersebut memberi dampak pada semua sektor terutama
sektor pemerintah. Salah satu sektor yang paling sering didengar adalah
reformasi birokrasi yang diawali ketika runtuhnya Orde Baru. Reformasi
16
tersebut bermisi memperbaiki wujud, citra, dan karakter birokrasi Indonesia
selama ini yang begitu buruknya di mata masyarakat.
Semenjak era reformasi yang ditandai dengan berakhirnya kekuasaan
Orde Baru, banyak terjadi perubahan dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pada masa pemerintahan Orde Baru sistem
pemerintahan mempresentasikan cara-cara yang sentralistik yang bermuara
kepada kekuasaan presiden yang kuat baik sebagai kepala negara maupun
sebagai kepala pemerintahan. Gagalnya upaya untuk membenahi birokrasi
berdampak luas pada nasib rakyat, hal ini tentu saja berdampak pada proses
demokratisasi. Nasib rakyat semakin terpuruk karena kualitas pelayanan hukum
yang tidak maksimal dan tidak berfungsinya pelayanan hukum akan cenderung
mendistorsi proses menuju keadilan dan kesejahteraan rakyat. Apabila hendak
melakukan perbaikan dan menghilangkan kesan buruk pemerintah, maka
reformasi birokrasi menjadi usaha yang sangat mendesak mengingat
implikasinya yang begitu luas bagi masyarakat. Untuk mewujudkan reformasi
birokrasi, perlu memperhatikan langkah internal seperti, meluruskan orientasi
dengan berorientasi pada demokrasi dan bukan pada kekuasaan, memperkuat
komitmen dengan tekad birokrat untuk berubah kearah yang lebih baik,
membangun kultur baru karena selama ini birokrasi memiliki citra buruk,
rasionalisasi dengan perampingan birokrasi menuju efisiensi, memperkuat
hukum yang dilandasi aturan yang jelas dan meningkatkan kualitas SDM (Dewi,
2012).
Kalau kita mau jujur mengatakan, pola birokrasi sebelum dan sesudah
reformasi belum menunjukkan perubahan yang berarti. Pola birokrasi masih
tetap dengan ciri yang melekat dengan sentralistik, kurang peka terhadap
perkembangan ekonomi, sosial dan politik. Pada sisi lain, pola pelayanan
terkesan lambat, tanpa usaha dari para birokrat untuk memberikan pelayanan
terbaik. Jadi, apabila ingin meninggalkan pola lama berarti kita harus siap
menciptakan birokrasi yang terbuka dan akuntabel (Dewi, 2012).
Berpijak dari kondisi tersebut, perubahan sosial dibidang struktural dan
kultural pada birokrasi penting dilakukan guna memberikan pelayanan yang
efektif, efisien, dan transparan. Sehingga masyarakat bisa dimudahkan dalam
mengurus administrasi, surat berharga dan kepentingan mendesak lainnya.

17
3.2. Wajah Birokrasi Masa Kini melalui E-Govermenment
Berbicara soal birokrasi modern, kita pasti teringat konsep Max Weber,
sosiolog ternama asal Jerman, yang dikenal melalui ideal type (tipe ideal). Ciri-
ciri birokrasi menurut Weber adalah, pertama,berbagai aktivitas regular yang
diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi yang didistribusikan dengan
suatu cara yang baku sebagai kewajiban-kewajiban resmi. Kedua, organisasi
kantor-kantor mengikuti prinsip hierarki, yaitu setiap kantor yang lebih rendah
berada di bawah kontrol dan pengawasan kantor yang lebih tinggi. Ketiga,
operasi-operasi birokratis diselenggarakan melalui suatu sistem kaidah-kaidah
abstrak yang konsisten dan teridiri atas penerapan kaidah-kaidah ini terhadap
kasus-kasus spesifik. Keempat, pejabat yang ideal menjalankan kantornya
berdasarkan impersonalitas formalistik tanpa kebencian atau kegairahan, dan
karenanya tanpa antusiasme atau afeksi.
Tipe ideal dalam struktur birokrasi berlandaskan prinsip “rasionalitas”,
yang bercirikan: pembagian kerja, pelimpahan wewenang, impersonalitas,
kualifikasi teknis dan efisiensi. Pengertian efisiensi digunakan untuk mengacu
pada aspek-aspek administrasi dan organisasi. Dalam pandangan ini, birokrasi
dimaknai sebagai institusi formal yang memerankan fungsi pengaturan,
pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Jadi, birokrasi dalam
pengertian Weberian berfungsi untuk menjawab secara rasional terhadap
serangkaian tujuan yang ditetapkan pemerintahan guna menghasilkan efisiensi.
Jika zaman dahulu wajah birokrasi dan pelayanan publik pemerintah
Indonesia cenderung lamban, berbelit-belit, dan tidak efisien. Kini, pemerintah
mulai memperbaiki sistem pelayanan publik yang ada melalui pembentukan good
governance. Istilah "good governance" menjadi sangat penting dan strategis
untuk penyelenggaraan pemerintahan yang mengalami distorsi terhadap
efektivitas pelayanan kepada publik. Oleh karena, itu penerapan good governance
diharapkan mampu meningkatkan kualitas pelayanan publik dan efisiensi dalam
ranah birokrasi.
Salah satu upaya good governance diimplementasikan melalui
penggunaan alat-alat elektronik di kantor-kantor pemerintahan. Penggunaan
18
teknologi informasi ini dianggap mampu mewujudkan birokrasi yang transparan,
demokratis, tidak diskriminatif, tepat waktu, terukur dan mempunyai standar yang
jelas. Penyelenggaraan pemerintahan saat ini dikenal dengan nama e-Government.
Secara sederhana Heeks mendefinisikan e-Government sebagai kegiatan
yang dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan Teknologi Informasi untuk
memberikan layanan kepada masyarakat. Berdasarkan definisi tersebut, kita
ketahui tujuan utama e-Government adalah untuk meningkatkan efisiensi dan
kualitas layanan yang menurut Heeks, hampir semua lembaga pemerintahan di
dunia ini mengalami ketidakefisienan, terutama di negara yang sedang
berkembang.
Keberadaan e-government secara tidak langsung turut serta
menimbulkan perubahan struktural, kultural, maupun interaksional dalam wajah
birokrasi Indonesia.
a. Perubahan struktural
Perubahan dalam dimensi struktural dapat dilihat melalui perubahan
secara revolusioner pada lembaga birokrasi. Perubahan ini tak lain disebabkan
oleh penerapan teknologi birokrasi berbasis e-government. Melalui teknologi
tersebut, wajah struktural birokrasi yang dulu sangat tertutup, monopolistik, dan
patrimonial. Kini perlahan mulai transparan dan mengedepankan efisiensi.
Perubahan dalam struktur organisasi harus direncanakan dengan
matang dan diimplementasikan dengan sistematis. Hal-hal penting yang
mempengaruhi perubahan organisasi adalah seperti berikut: (1) Kepemimpinan
yang kuat dengan komitmen; (2) Perencanaan manajemen TI dan manajemen
perubahan; (3) Persiapan anggaran dan pelaksanaan anggaran; (4) Koordinasi dan
kolaborasi; (5) Pemantauan dan pengukuran kinerja; dan (6) Kemitraan
pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.
b. Perubahan Kultural
Perubahan dalam dimensi kultural pada ranah birokrasi dipengaruhi
oleh inovasi dan difusi. Adanya inovasi dibidang teknologi telah memberikan
dampak yang luas pada ranah birokrasi. Penerapan teknologi informasi e-
governance menjadikan sistem birokrasi lebih efisien dan efektif dalam hal
pelayanan publik, proses administrasi dan komunikasi internal. Masyarakat kini
menjadi lebih tertib, disiplin, tanggung jawab, dan well-informed atas segala hal
menyangkut masalah - masalah publik.
19
Masyarakat yang semula tidak memiliki sarana untuk mengakses
informasi dan melakukan komunikasi dengan pemerintah, dengan adanya e-
goverment menjadi lebih mudah dan cepat. Sehingga tuntutan masyarakat akan
akuntabilitas pemerintah menjadi semakin tinggi pula.
Teknologi ini memungkinkan terciptanya open system (Online
Procedures Enhancement for civil applications) dimana memuat seluruh
informasi yang diperlukan masyarakat yang akan mengurus perijinan. Sehingga
masyarakat benar-benar mengetahui prosedur dan standar pelayanan yang
sebenarnya tanpa harus dikelabuhi oleh pihak-pihak atau bahwa oknum aparat
yang tidak bertanggung jawab. Masyarakat juga dapat ikut memantau proses
pelayanan apakah sudah sesuai dengan standar yang ditentukan apau belum.
Masih banyak lagi pengalaman-pengalaman penerapan e-governance yang
membawa perubahan budaya kerja di lingkungan birokrasi pemerintahan.
Perubahan dimensi budaya akibat penerapan e-government ini tak
hanya dirasakan oleh masyarakat saja, tetapi juga aparatur birokrasi. Jika dahulu
mereka bisa mengelabuhi masyarakat melalui pungutan liar, urusan surat
menyurat yang lambat hingga melakukan tindak pidana korupsi. Saat ini mereka
“dipaksa” untuk memperbaiki mentalistas kinerjanya yang sesui dengan amanat
keputusan menteri Komunikasi dan Informasi Tahun Nomor 41 Tahun 2004, yang
mengedepankan berasas:
1. Akuntabilitas: dapat dipertanggungjawabkan sesuai denga peraturan
perundangan yang berlaku.
2. Transparansi: bersifat terbuka, mudah diakses, disediakan secara memadai
dan mudah dimengerti.
3. Kondisional: sesuai dengan kondisi dan kemampuan pelayanan dengan
berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
4. Partisipasi: berusaha melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan publik sesuai dengan kapasitasnya, dengan memperhatikan
aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.
5. Kesamaan hak: tidak bersifat diskriminatif, terutama terkait dengan SARA.
6. Keseimbangan hak dan kewajiban: pemberi dan penerima pelayanan harus
memenuhi masing-masing hak dan kewajibannya.

c. Perubahan Interksional.
20
Perubahan interaksional pada ranah birokrasi dipengaruhi
berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi. Penerapan teknologi
berbasis e-governance telah menyebabkan perubahan hubungan sosial dalam
frekuensi berinteraksi, jarak sosial, perantara interaksi, aturan dan pola-pola
interaksi, dan perubahan bentuk interaksinya
Jika masa dulu, proses pelayanan birokrasi harus dilakukan melalui
tatap muka dengan petugas, kini tak perlu dilakukan lagi. Masyarakat bisa
mencari berbagai informasi melalui website pemerintah melalui billboard. Selain
itu, mereka juga bisa mengakses, memilih, dan mencari informasi meliputi ‘one-
stop’ portal pemerintahan dengan pelayanan online terpadu. Selanjutya mereka
juga bisa melakukan perbaruan otomatis atas kepentingan orang tersebut.
Berbagai kemudahan tersebut dimaksudkan untuk menghindari praktik “per-calo-
an” antara petugas dan masyarakat. Sehingga masyarakat bisa menikmati
pelayanan birokrasi secara prima tanpa perlu mengeluhkan sikap petugas yang
terkadang sangat menjengkelkan.
Demikianlah berbagai perubahan sosial yang terjadi pada birokrasi dan
pelayanan publik di Indonesia. Meskipun perkembangan teknologi telah
menciptakan berbagai perubahan sosial, keberadaannya tak dapat dicegah oleh
manusia. Manusia hanya dapat menggunakan sebijak mungkin agak dampak
negatifnya bisa ditekan.

3.3. Dampak E-Government Terhadap Sistem Birokrasi


Perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi telah memberikan
dampak yang cukup signifikan dalam sistem birokrasi di Indonesia. Dampak
tersebut tak lepas dari keinginan pemerintah untuk mencapai good governance
dalam pelayanan publik. Adapun tiga dampak yang timbul akibat perkembangan
teknologi dalam birokrasi:
Pertama, adanya pembaharuan produk hukum. Setiap kebijakan birokrasi
memerlukan produk hukum yang menjadi dasar legal dalam pelaksanaannya.
Berbagai peraturan pemanfaatan teknologi dalam aktivitas pemerintahan cukup
membantu implementasi program E-Government yang digagas pemerintah. Produk
hukum yang mendukung proses ini anatara lain :
1. Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi
Nasional Pengembangan E-Government.
21
2. Keputusan Menkominfo Nomor 12/SK/Meneg/KI/2002 tentang Task Force
Pengembangan e-government;
3. Keputusan Menkoinfo Nomor 47/Kep/M.Kominfo/12/2003 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Diklat ICT dalam Menunjang Government;
4. Keputusan Menkominfo Nomor 55/Kep/M/Kominfo/12/2003 tentang Panduan
Standar Infrastruktur Portal Pemerintah;
5. Keputusan Menkominfo Nomor 56/Kep/M/Kominfo/12/2003 tentang Panduan
Manajemen Dokumen Elektronik;
6. Keputusan Menkominfo Nomor 57/Kep/M/Kominfo/12/2003 tentang Panduan
Penyusunan Rencana Induk Pengembangan E-Government lembaga;
7. Keputusan Menkominfo Nomor 64A/Kep/M/Kominfo/10/2004 tentang
Panduan Teknis Pembangunan Jaringan Sistem Informasi
Pemerintahan/Pemerintah Pusat/Pemerintah Propinsi/Pemerintah
Kabupaten/Kota;
8. Keputusan Menkominfo Nomor 69A/Kep/M/Kominfo/10/2004 tentang Panduan
Teknis Manajemen Data, Informasi, dan Organisasi Sistem Informasi
Pemerintahan.
Selain itu, ada beberapa panduan lain yang menjadi acuan dalam
pelaksanaan penerapan kebijakan E-Government di Indonesia seperti : a.
Panduan Pembangunan Infrastruktur Portal Pemerintah, b. Panduan Manajemen
Sistem Dokumen Elektronik Pemerintah, c. Panduan Penyusunan Rencana
Pengembangan E-Government Lembaga, d. Pedoman Penyelenggaraan Diklat
ICT dalam Menunjang E-Government, e. Pedoman tentang Penyelenggaraan
Situs Web Pemerintah Daerah, f. Standar mutu dan jangkauan pelayanan serta
pengembangan aplikasi (e-services), g. Kebijakan tentang kelembagaan,
otorisasi, informasi dan keikutsertaan swasta dalam penyelenggaraan, h.
Kebijakan pengembangan kepemerintahan yang baik dan manajemen
perubahan, i. Panduan tentang pelaksanaan proyek dan penganggaran E-
Government Standar kompetensi pengelola E-Government, j. Blue-print aplikasi
E-Government pemerintah pusat dan daerah.
Kedua, perubahan mekanisme birokrasi. Adanya teknologi
memudahkan birokrasi dalam membangun komunikasi dan informasi baik di
internal pemerintahan maupun kepada masyarakat. Disamping itu, teknologi
juga memudahkan mobilitas birokrasi. sifat teknologi informasi yang menembus
22
batas ruang dan waktu mampu memangkas kerumitan sistem birokrasi
konvensional. Pemangkasan proses birokrasi ini membantu dalam efektifitas dan
efisiensi pemerintahan. Selain itu, pemangkasan birokrasi juga meminimalisir
penyimpangan-penyimpangan dalam sistem birokrasi.
Ketiga, adanya pembaharuan struktur birokrasi. Pemanfaatan
teknologi tentu saja membutuhkan sumberdaya manusia untuk bisa
memanfaatkannya.Karena itu pemerintah perlu mengubah struktur birokrasi
dengan adanya penyesuaian terhadap struktur yang telah ada untuk mendukung
kelancaran pelaksanaan konsep e-government.
Pada konteks manajemen di Pemerintah Daerah (Pemda), struktur yang
mengacu pada pedoman yang dibuat oleh KOMINFO tidak dijelaskan siapa
yang lebih diberikan kewenangan dan tanggung jawab sebagai pengelola situs
Pemda dalam arti sesungguhnya. Interprestasi terbuka pun akhirnya dilakukan
oleh masing-masing pihak Pemda dalam menjabarkannya. Secara ideal,
pengelolaan E-Government bisa dilakukan dengan membentuk divisi tersendiri.
Divisi tersebut dapat dinamakan sebagai divisi teknologi informasi. Deskripsi
kerja divisi atau tim E-Government ini selain tugas pokoknya mengelola situs
web secara teknis, service serta content juga sebagai penghubung (traffic)
dengan instansi atau badan terkait dalam penentuan content serta pelayanan
kepada publik. Pada penentuan content adalah koordinasi berkaitan dengan isi
informasi yang hendak ditayangkan atau disebarluaskan kepada masyarakat.
Yang perlu diperhatikan, bahwa layanan situs web juga menggunakan bahasa
asing (English) maka perlu kiranya khusus bagi staf ahli pelayanan dan umpan
balik serta staf ahli content dibekali dengan kemampuan bahasa asing aktif. Ini
digunakan untuk mengantisipasi adanya umpan balik dari pengguna (user) yang
berasal dari manca negara. Bukan tidak mungkin ini akan terjadi mengingat
situs web dapat diakses di seluruh dunia serta perlu diingat bahwa Indonesia
memiliki kekayaan dan tujuan wisata yang diminati oleh warga negara asing
serta perlu dipasarkan secara internasional. Untuk mewujudkan sistm ini
tentunya memerlukan proses yang sangat panjang dan terstruktur. Oleh karena
itu, Kepala Daerah sudah seyogyanya melakukan rintisan program ke arah sana.

3.4. Hambatan dan Tantangan Birokrasi berbasis E-government

23
Ada beberapa hal yang menjadi hambatan atau tantangan dalam
mengimplementasikan E-Government di Indonesia. Tantangan utama adalah
kemampuan dan kesiapan manajemen para pelakunya. Hal ini bisa berlangsung
sukses bila ada kerja sama yang erat antara tenaga profesional telematika dan
para manajer dalam merencanakan dan menerapkan perubahan-perubahan dalam
berbagai kegiatan dan praktek pemerintahan.
Tantangan berikutnya adalah kelompok sosial yang sukar mendapatkan
pelayanan jaringan informasi secara komersial. Apabila tidak diatasi secara
khusus maka dapat mengakibatkan timbulnya digital divide. Di samping itu,
adanya kesenjangan yang menghambat terbentuknya kemitraan antara
pemerintah dan sektor swasta untuk memobilisasi sumber daya yang diperlukan,
termasuk permodalan.
Selain hambatan-hambatan di atas masih ada dua hambatan lagi yaitu
bahwa kultur berbagi belum ada : sharing informations kebanyakan masyarakat
Indonesia masih “pelit” dan berada pada tataran trafik yang rendah. Selain itu
kultur mendokumentasi belum lazim : budaya mendokumentasi hampir setiap
kegiatan dan kesempatan juga belum merambah masyarakat padahal hal ini
menjadi basis dari e-government.

24
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Perkembangan arus teknologi yang mendunia, turut serta mempengaruhi
perubahan sosial pada ranah birokrasi dan pelayanan publik di Indonesia. Citra
birokrasi yang dulu dianggap lamban, berbelit, dan penuh dengan praktik KKN
(korupsi, kolusi, dan nepotisme), kini perlahan mulai yang mengedepankan sistem
good governance. Penerapan e-government dianggap sebagai solusi terbaik dalam
meningkatkan kualitas layanan publik yang lebih transparan, efektif dan efisien.
Implementasi kebijakan e-government secara nyata telah menimbulkan
berbagai perubahan kultural, struktural dan interaksi sosial diranah birokrasi.
Perubahan ini tentunya tidak berlangsung instan, melainkan membutuhkan waktu
yang cukup panjang. Perubahan ini mampu tercapai apabila berbagai pihak memiliki
kesadaran dan komitmen yang kuat untuk mengubah kondisi yang kurang baik
menjadi lebih baik.
Penerapan e-government dalam ranah birokrasi dan pelayanan publik telah
menimbulkan dampak, seperti: 1) Adanya pembaharuan produk hukum, 2) Perubahan
mekanisme birokrasi, 3) Pembaharuan struktur birokrasi. Adapun beberapa hambatan
yang sering dialami dalam penerapan e-government diantaranya: 1) Kesiapan tenaga
profesional telematika dan para manajer dalam merencanakan dan menerapkan
perubahan-perubahan dalam praktek pemerintahan. 2) Kesenjangan dalam pelayanan
jaringan informasi secara komersial akibat kesulitan aksebilitas. 3) Sikap masyarakat
yang masih “pelit” informasi. 4) Sikap petugas dan masyarakat yang masih
mengembangakan mentalitas birokrasi model lama. Melalui berbagai hambatan
tersebut, pemerintah diharapkan mampu mengatasi berbagai problematika yang tejadi.
Sehingga wajah birokrasi di Indonesia bisa mengalami perubahan secara total dan tak
hanya sebatas permukaan saja.
4.2. Saran
Bagi pembaca, penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna
baik dari segi literatur, metodologi, maupun logika berpikir. Sehingga diharapkan
penulis selanjutnya mampu menyajikan data yang lebih mendalam. Bagi pemangku
kebijakan, penulis berharap makalah ini bisa menjadi bahan pertimbangan
meningkatkan kinerja birokrasi di Indonesia menjadi lebih baik.

25
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Darmanto, Argyo. 2007. Mozaik dalam Sosiologi. Semarang: UNS Press.
Eddy, Satriya. 2006. Pentingnya Revitalisasi E-Government di Indonesia, Prosiding
Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia, Institut
Teknologi Bandung.
Hanafi, Abdillah. 1987. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru (disarikan dari karya: Everett Rogers
dan F. Floyd Shoemaker (Communication of Innovations)). Surabaya: Usaha
Nasional.
Heeks, R. 2001. Understanding e-Governance for Development. United Kingdom : Institute
for Development Policy and Management.
Koentjaraningrat. 2000. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Yogjakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Lauer, Robert H. 1989. Perspectives on Social Change (Perspektif tentang perubahan
sosial). Diterjemahkan oleh Alimanda, S,U. Jakarta: PT. Melton Putra.
Martono, Nanang. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial (Perspektif Klasik, Modern,
Posmodern, dan Poskolonial). Jakarta:PT Rajagrafindo Persada.
Ritzer, George. 2014. Teori Sosiologi Modern (Edisi Ketujuh) (Cetakan ke-1).
Diterjemahkan oleh Triwibiwo B.S. Jakarta: Prenadamedia.
Soerjono, S. 2012. Sosiologi:Suatu Pengantar (Cetakan ke-44)
Jakarta:PT.Rajagrafindo Persada
Wescott, C.G. 2001. E-Government In The Asia-Pacific Region. Philippines : Asian
Development Bank.

Jurnal
Aprianty, D.R. 2016. Penerapan kebijakan e-government dalam peningkatan mutu pelayanan
publik di kantor Kecamatan Sambutan Kota Samarinda. E-journal Ilmu
Pemerintahan, Vol. 4 No. 4: 1589-1602.
Astuti, S. Y. W. 2005. Peluang dan tantangan penerapan e-governance dalam konteks
otonomi daerah. Masyarakat Kebudayaan dan Politik, Vol. 18 No. 2: 93-110.
Dewi, R. 2012. Membangun Birokrasi Yang Profesional. PERSPEKTIF, Vol. 5 No.1 : 41-46.

26
Muarie, M.S. 2017. Peranan Interaksi Sosial Teknologi Di Publik Sektor Pada Pemerintahan
Kabupaten Musi Banyuasin. Jurnal Teknik Informatika Politeknik Sekayu (TIPS),
Vol. 6 No. 1: 31-38
Sari, W.P. 2017. Analisis Penerapan E-Government Dan Perubahan Interaksi Sosial Setelah
Mediatisasi Di Desa Karang Bajo, Lombok. Jurnal The Messenger, Vol. 9 No. 2: 176-
185.

Undang-Undang
Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2003 Tentang Tim Koordinasi Telematika Indonesia.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 13/KEP/M.PAN/1/2003 tentang
Pedoman Umum Perkantoran Elektronis Lingkungan Intranet di Lingkungan Instansi
Pemerintah
Keputusan Menteri Komunikasi dan Informasi Tahun Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Panduan Standar Mutu, Jangkauan Pelayanan dan Pengembangan Aplikasi eGovernment
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE)

Website
https://id.wikipedia.org/wiki/Birokrasi/ diakses pada 31 Mei 2018 pukul 14.35 WIB
http://presidenri.go.id/berita-aktual/wajah-birokrasi-menentukan-wajah-pemerintah.html/
diakses pada 31 Mei 2018 pukul 15.15 WIB
https://ianunima.wordpress.com/2014/11/18/birokrasi-dari-masa-ke-masa-di-indonesia-masa-
kini/ diakses pada 31 Mei 2018 pukul 15.35 WIB
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2018/01/23/penerapan-sistem-e-government-di-
indonesia/ diakses pada 30 Mei 2018 pukul 18.35 WIB

27

Anda mungkin juga menyukai