Ada 9 Perubahan UU Ketenagakerjaan Lewat UU Cipta Kerja
Ada 9 Perubahan UU Ketenagakerjaan Lewat UU Cipta Kerja
Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Foto: Hol
Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) telah mengubah
puluhan UU, salah satunya UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ada beberapa
perubahan signifikan dalam norma ketenagakerjaan, diantaranya aturan PKWT, alih daya,
penggunaan TKA, mekanisme PHK, hingga sanksi administratif dan pidana.
Legal Research and Analysis Manager Hukumonline, Christina Desy, mencatat UU Cipta Kerja
mengubah sedikitnya 9 ketentuan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Pertama, pelatihan
kerja, UU Ketenagakerjaan mengatur lembaga pelatihan kerja swasta wajib memperoleh izin
atau mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
UU Cipta Kerja tak banyak mengubah ketentuan ini, hanya menambah kewajiban untuk
memenuhi perizinan berusaha yang diterbitkan pemerintah pusat jika terdapat penyertaan modal
asing.
Kedua, penempatan tenaga kerja. UU Ketenagakerjaan mengatur pelaksanaan penempatan
tenaga kerja terdiri dari instansi pemerintah bidang ketenagakerjaan dan lembaga swasta
berbadan hukum yang memiliki izin dari menteri ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk.
UU Cipta Kerja memperjelas lembaga penempatan tenaga kerja swasta harus memenuhi
perizinan berusaha dengan memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat.
“Ketentuan mengenai perizinan berusaha ini diatur lebih lanjut dalam PP No.5 Tahun 2021 dan
Permenaker No.6 Tahun 2021,” kata Desy dalam diskusi secara daring bertema “Aspek
Ketenagakerjaan Pasca Berlakunya UU Cipta Kerja” yang diselenggarakan Hukumonline dan
Justika.com, Jumat (7/5/2021). (Baca Juga: Ini Bedanya Outsourcing di UU Ketenagakerjaan dan
UU Cipta Kerja)
RPTKA itu dikecualikan untuk direksi atau komisaris dengan kepemilikikan sahan tertentu;
pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing; atau TKA yang
dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan
darurat; vokasi; perusahaan rintisan (start-up) berbasis teknologi, kunjungan bisnis, dan
penelitian untuk jangka waktu tertentu.
Kelima, alih daya (outosurcing). Desy menyebut UU Cipta Kerja menghapus sejumlah pasal alih
daya yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan yakni soal pemborongan pekerjaan dan
penyedia jasa pekerja. UU Cipta Kerja mengatur lebih tegas soal tanggung jawab perusahaan alih
daya terhadap perlindungan pekerja baik upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang
timbul. Ketentuan alih daya dalam UU Cipta Kerja mengadopsi putusan MK yang intinya
pengalihan perlindungan hak pekerja jika terjadi pergantian perusahaan alih daya dan selama
objek pekerjaannya tetap ada.
Keenam, waktu kerja, waktu istirahat, dan cuti. Menurut Desy perubahan yang paling signifikan
dalam UU Cipta Kerja yakni jam kerja lembur yang tadinya dilakukan paling banyak 3 jam
dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu menjadi 4 jam per hari dan 18 jam per minggu. UU
Cipta Kerja tidak mengatur soal waktu istirahat panjang dan diserahkan pengaturannya dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Ketujuh, upah. UU Cipta Kerja masih mengatur upah minimum provinsi dan upah minimum
kabupaten/kota, tapi menghapus upah minimum sektoral. UU Cipta Kerja juga mengatur upah
minimum untuk usaha mikro dan kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan pengusaha dan
pekerja. Soal struktur dan skala upah, UU Cipta Kerja mengatur pengusaha wajib menyusun
struktur dan skala upah di perusahaan dan melakukan peninjauan upah secara berkala dengan
memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
Delapan, PHK. Desy mengatakan UU Ketenagakerjaan mengatur PHK dapat dilakukan setelah
memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial. Tapi dalam UU Cipta
Kerja pemberi kerja harus memberitahukan maksud dan alasan PHK kepada pekerja dan/atau
serikat pekerja. Jika pekerja tidak menolak pemberitahuan itu, maka PHK itu bisa dilakukan.
Tapi jika pekerja menolak maka dilakukan perindingan bipartit dan jika tidak mencapai
kesepakatan, maka berlanjut sesuai mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
UU Cipta Kerja juga mengatur alasan baru yang dapat digunakan untuk melakukan PHK yaitu
penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). “PHK dapat terjadi karena alasan perusahaan
dalam keadaan PKPU. Besaran kompensasi pesangon yang diterima pekerja dalam UU Cipta
Kerja juga mengalami perubahan.”
Sembilan, sanksi pidana dan administratif. Desy mencatat ada beberapa perubahan terkait sanksi
pidana dan administratif UU Cipta Kerja yang sebelumnya diatur UU Ketenagakerjaan.
Misalnya, UU Ketenagakerjaan mengatur sanksi pidana berupa penjara 1 sampai 4 tahun atau
denda Rp10 juta sampai Rp400 juta dikenakan terhadap setiap pihak yang melanggar ketentuan
terkait mogok kerja.
“Tadinya (dalam UU Ketenagakerjaan) tidak boleh perusahaan melarang pekerja mogok kerja,
tapi sekarang ketentuan pidana itu dihapus UU Cipta Kerja,” katanya.