Anda di halaman 1dari 14

DRAF AKADEMIS

BALAI BESAR TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT – FOREST PROGRAMME II

KAYU MANIS (Cinnamomum Burmannii)


SEBAGAI
KOMODITAS PEMULIHAN EKOSISTEM
DI KAWASAN KONSERVASI

DESEMBER 2019
Abstrak
Deforestasi menunjukkan bahwa dalam kurun waktu sembilan tahun (2010-2018) telah terjadi
perubahan tutupan hutan sebesar 36.269,50 ha, atau 8,61% dari total kawasan Taman Nasional Kerinci
Seblat di Provinsi Jambi. Balai Besar TNKS telah merancang strategi pemulihan ekosistem untuk
mengatasi deforestasi, dan mengembalikan tutupan hutan mendekati kondisi aslinya menggunakan
spesies tumbuhan kayu endemik dan Multi-Purpose Tree Species (MPTS) yang dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat. Salah satu jenis MPTS yang diusulkan oleh masyarakat adalah Kayu manis (Cinnamomum
burmanii) yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat. Kesesuaian kayu manis untuk pemulihan
ekosistem dilakukan dengan kajian ekologis dan regulasi berdasarkan data sekunder maupun primer.
Tumbuhan kayu manis merupakan tumbuhan endemik di kabupaten Kerinci dan Merangin, dan dapat
dipanen menggunakan petode stripping (pengupasan kulit secara terbatas), pruning (pemangkasan
dahan), dan pemanfaatan daun sebagai bahan minyak atsiri. Penebangan dapat dilakukan setelah pohon
berusia di atas 20 tahun sebagai bagian dari upaya peremajaan. Kayu manis dapat digunakan sebagai
komoditas pemulihan ekosistem dengan pengaturan penanaman dan pemanenan. Penanaman kayu
manis dalam pemulihan ekosistem harus diiringi dengan tumbuhan endemik dengan komposisi
setidaknya 50% endemik 30% kayu manis, dan 20% jenis MPTS lainnya dengan skema reboisasi intensif
(625-1.100 batang per hektar). Penanaman dan pemeliharaan dalam pemulihan ekosistem perlu
melibatkan masyarakat setempat.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) merupakan sebuah kawasan konservasi yang terbentang seluas
hampir 1,4 juta hektar di provinsi-provinsi Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan.
Sekitar 32% dari wilayah TNKS berada di Provinsi Jambi. Pengelolaan kawasan konservasi ini dilakukan
melalui Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat yang berkedudukan di Kota Sungai Penuh. Taman
Nasional Kerinci Seblat telah melakukan analisis spasial untuk mengidentifikasi area terbuka akibat
penggunaan lahan tanpa ijin untuk pertanian. Studi yang dilakukan tahun 2018 (BBTNKS, 2018)
menunjukkan bahwa penggunaan lahan ini menyebabkan perubahan tutupan lahan dari hutan lahan
primer menjadi pertanian lahan kering, pertanian campuran, tanah terbuka, dan belukar. Studi ini
menunjukkan bahwa dalam kurun waktu sembilan tahun (2010-2018) telah terjadi perubahan tutupan
hutan sebesar 36.269,50 ha, atau 8,61% dari total kawasan TNKS di Provinsi Jambi. Angka ini
menunjukkan bahwa laju perubahan tutupan lahan (pengurangan tutupan hutan primer) berada pada
rata-rata 1,08% per tahun. Bila laju ini terus berlanjut, maka pada tahun 2027 luas tutupan hutan primer
dapat berkurang menjadi 45.336,87 ha, atau 10,76% dari total luas TNKS di Provinsi Jambi.

Laju perubahan tutupan lahan ini akan berpengaruh terhadap ekosistem hutan TNKS secara umum, dan
juga populasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Harimau sumatera memerlukan naungan di
habitatnya, dan memerlukan tutupan hutan primer sebagai bagian penting untuk menjamin
keberlangsungan hidupnya (Sunarto, et al., 2012). Selain itu, tutupan hutan yang menyeluruh akan
mencegah fragmentasi habitat harimau sumatera. Fragmentasi habitat dapat menyebabkan penurunan
keragaman genetik spesies ini (Smith, Wang, & Carbone, 2018). Mengingat pentingnya tutupan hutan,
maka pihak BBTNKS telah merancang strategi pemulihan ekosistem untuk mengembalikan tutupan
hutan mendekati kondisi aslinya. Pemulihan ekosistem juga berdampak pada meningkatnya jasa
lingkungan dan cadangan karbon, dan juga memberikan keuntungan bagi konservasi harimau sumatera
melalui perencanaan tata ruang (Bhagabati, et al., 2014).

Namun demikian, mengingat banyaknya masyarakat yang sudah terlanjur menggantungkan hidupnya
dari aktifitas pertanian di lahan tersebut, maka perlu ada keseimbangan antara upaya pemulihan
ekosistem dengan aspek ekonomi masyarakat. Konsep pemulihan ekosistem dilandasi pada kebutuhan
untuk mengembalikan kondisi asli menggunakan spesies tumbuhan kayu endemik, dan juga untuk
mengatasi masalah ekonomi dengan menggunakan tumbuhan Multi-Purpose Tree Species (MPTS) yang
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Dengan konsep ini, maka pemulihan ekosistem yang dilakukan
oleh BBTNKS perlu melibatkan masyarakat, dan memberikan manfaat bagi masyarakat yang terlibat
dalam kegiatan ini. Berdasarkan konsep ini, pemulihan ekosistem dilakukan dengan komposisi 70% jenis
tumbuhan kayu endemik, dan 30% tumbuhan MPTS dari total tumbuhan yang digunakan dalam
pemulihan ekosistem.

Salah satu jenis MPTS yang diusulkan oleh masyarakat adalah Kayu manis (Cinnamomum burmanii).
Kayu manis, atau kulit manis ini merupakan komoditas yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat di
Provinsi Jambi, khususnya di Kabupaten Kerinci dan Merangin. Komoditas ini memiliki nilai ekonomis
yang tinggi, dan sudah banyak memberikan manfaat finansial bagi beberapa kelompok masyarakat di
kedua kabupaten tersebut.

Identifikasi Permasalahan
Permasalahhan yang perlu dijawab dalam draf akademis ini terdiri dari:

 Konsep endemisitas. Pemulihan ekosistem memerlukan berbagai jenis tumbuhan endemik dan
MPTS (termasuk kayu manis). Kriteria endemik tumbuhan kayu manis perlu dikaji berdasarkan
aspek biologi dan sebaran geografis (bio-geografi), dan juga aspek legal yang terkait;
 Tutupan hutan. Keberhasilan upaya pemulihan ekosistem akan ditinjau berdasarkan tutupan
hutan dan/atau tegakan pohon yang dicapai. Indikator keberhasilan ini erat kaitannya dengan
pola panen dari komoditas yang digunakan. Tumbuhan MPTS yang menghasilkan hasil hutan
bukan kayu (HHBK) merupakan jenis ideal yang dapat digunakan untuk mencapai peningkatan
tutupan hutan dan tegakan pohon. Komoditas kayu manis masih memerlukan kajian teknik
panen, mengingat sebagian praktek pemanenan saat ini masih menggunakan metode tebang;
 Manfaat ekonomis. Draf akademis ini perlu menjawab permasalahan mengenai komposisi
optimal dari tumbuhan yang digunakan dalam pemulihan ekosistem. Komposisi atau jumlah
bibit kayu manis yang disediakan akan erat kaitannya dengan manfaat ekonomi yang dapat
diraih oleh masyarakat.

Tujuan dan Aplikasi


Tujuan dari draf akademis ini terdiri dari berbagai hal untuk menjawab permasalahan di atas:
 Menentukan status endemisitas kayu manis;
 Menentukan pola panen kayu manis agar dapat memberikan kontribusi terhadap tutupan lahan
dan tegakan pohon di area pemulihan ekosistem; dan
 Menentukan jumlah bibit yang perlu ditanam (per hektar) untuk mendapatkan manfaat
ekonomi dari kayu manis.

Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penyusunan draf akademis ini adalah pendekatan deskriptif-analitik
untuk mengumpulkan penjelasan dan analisis berdasarkan fakta, informasi, dan analisis
peraturan/kebijakan. Pendekatan ini dilakukan melalui dua metode utama yaitu:

 Pengumpulan data sekunder melalui jurnal ilmiah dan laporan-laporan yang tersedia secara fisik
maupun daring; dan
 Pengumpulan data primer untuk mendapatkan informasi mengenai nilai ekonomis dari
komoditas kayu manis.

Analisis yang dilakukan berdasarkan jenis-jenis data di atas terdiri dari analisis konsep biologi (khususnya
mengenai definisi endemisitas); kelayakan dari sisi ekonomi dan kesesuaian lahan; dan aspek legalitas
berdasarkan peraturan dan kebijakan yang berlaku.

TINJAUAN PUSTAKA
Aspek Biologi
Kayu manis (Cinnamomum burmannii, [Nees & t.nees] Blume) termasuk dalam keluarga Lauraceae yang
memiliki sebaran di Asia bagian timur, Cina selatan, India, Malaysia sampai Indonesia, dan Filipina 1. Jenis
pohon ini banyak ditanam oleh penduduk di pulau Jawa dan Sumatera (Facciola, 1998). Pohon Kayu
manis tumbuh dengan baik di ketinggian 500 sampai 1.500 meter di atas permukaan laut (mdpl) dengan
rata-rata suhu 20-280 C. Kayu manis dapat mulai dipanen lima tahun setelah ditanam, dan dapat
memberikan hasil sampai pohon berusia 20 tahun2.

World Agroforestry Center menyebutkan bahwa satu pohon kayu manis berukuran sedang dapat
menghasilkan 3 kg kulit dari batang, dan 1.5 kg kulit dari dahan. Satu siklus panen adalah sepuluh tahun,
dan satu pohon dapat menghasilkan 20 sampai 25 kg dalam sekali panen (Menggala & Damme, 2018).
Pohon kayu manis bekembang biak melalui tunas dan melalui biji yang dapat disiapkan menjadi bibit
untuk kebutuhan penanaman atau propagasi (Huxley, 1992). Setelah ditebang, satu pohon kayu manis
dapat bertunas sebanyak tiga sampai lima batang.

Jenis pohon ini digunakan sebagai bahan bumbu, obat-obatan, bahan minyak atsiri, dan kayu.
Tumbuhan ini menghasilkan senyawa aromatik yang khas, serta dapat menghasilkan minyak atsiri yang
mengandung 60-77% sinamaldehid (Daswir, 2010), serta mengandung zat-zat yang bersifat antioksidan

1
Sumber: http://tropical.theferns.info/viewtropical.php?id=Cinnamomum+burmannii
2
Sumber: http://ecocrop.fao.org/ecocrop/srv/en/home
dan antimikroba (El-Baroty, El-Baky, Farag, & Saleh, 2010). Cinnamomum burmannii merupakan
tumbuhan asli Indonesia, dan secara komersil dikenal juga sebagai kayu manis Koerintji di pasar dunia
(Menggala & Damme, 2018). Komoditas ini telah dimanfaatkan oleh perusahaan dagang Hindia-Belanda
(VOC) sejak awal abad ke 17 (Menggala & Damme, 2018). Berdasarkan sebaran geografis dan juga
catatan perdagangan komoditas kayu manis, maka dapat disimpulkan bahwa jenis kayu manis ini
merupakan tumbuhan asli Indonesia, khususnya di daerah Kerinci.

Praktik Saat Ini


Penanaman
Kayu manis Koerintji memiliki potensi pemanfaatan yang beragam, sehingga komoditas ini banyak
diminati di seluruh dunia. Food Agriculture Organisation (FAO) menyebutkan bahwa di tahun 2014
sekitar 93 ton, atau 46.7% dari kayu manis di perdagangan dunia berasal dari Indonesia. Petani kayu
manis biasanya melakukan praktik agroforestry dimana penanaman kayu manis diselingi dengan
komoditas lain seperti petai (Parkia speciosa), nangka (Arthocarpus heterophylus), durian (Durio
zibenthinus), dan surian (Toona sinenis), selain dari jenis sayur-sayuran, kacang-kacangan, padi, dan
kopi. Jenis-jenis tumbuhan dalam agroforestry campuran ini dapat memberikan hasil mulai dari tahun
pertama sampai tahun ke-6, sambil menunggu panen dari kayu manis yang dapat dipanen setelah tahun
ke-7 (Hariyadi & Ticktin, 2012). Petani biasanya menanam bibit kayu manis dengan kepadatan tinggi
sekitar 2,500 sampai 3,000 bibit per hektar yang kemudian dikurangi / dipanen sampai hanya tinggal 180
– 300 pohon per hektar (Hariyadi & Ticktin, 2012).

Pemanenan
Panen kulit kayu manis dapat dilakukan dengan metode pemangkasan (pruning), pengupasan kulit
(stripping), penebangan, dan panen daun.

 Pemangkasan dapat dilakukan saat pohon berusia 3-5 tahun, dan kulit kayu hasil pemangkasan
ini (khususnya dari dahan dengan diameter 1.2-5 cm) dapat dipanen dan dimanfaatkan kulitnya
(Forest Foundation Phillipines, 2017).
 Daswir (2010) menjelaskan bahwa panen kayu manis lazim dilakukan oleh petani dalam musim
hujan, untuk memudahkan proses pengulitannya. Setelah kulit dibersihkan dari lumut, kerak,
dan gabus, kulit dipanen dalam bentuk pita dengan panjang 1 meter, dan lebar 4-10 cm.
Pemanenan dengan mengupas kulit kayu (stripping) dapat dilakukan dua kali dalam satu tahun
pada pohon yang sudah berusia 12-15 tahun (Forest Foundation Phillipines, 2017).
 Pohon dengan usia 30 tahun atau lebih kemudian ditebang pada ketinggian 20-30 cm dari
permukaan tanah. Pengulitan dilanjutkan pada batang yang sudah rubuh, sementara tunggul
batang yang tersisa dibiarkan bertunas. Tunas-tunas ini akan tumbuh menjadi batang baru, dan
dapat dimanfaatkan sebagai bibit dalam persemaian.
 Daun kayu manis dapat juga dimanfaatkan sebagai bahan minyak atsiri. Pemanenan kulit kayu
secara reguler dapat meningkatkan produksi daun kayu manis (Khandekar, Sawant, Malshe,
Nagwekar, & Haldankar, 2016). Daun kayu manis dapat dipanen dengan metode pemangkasan,
atau pruning (Forest Foundation Phillipines, 2017).
EVALUASI DAN ANALISIS REGULASI
Bagian ini membahas mengentai peraturan perundang-undangan serta peraturan lain yang relevan
dengan potensi penggunaan kayu manis sebagai komoditas pemulihan ekosistem.

Undang-undang
Secara umum, kajian potensi pemanfaatan kayu manis sebagai komoditas dalam pemulihan ekosistem
dilandasi dengan Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya. Undang-undang ini merupakan fondasi untuk upaya pelestarian ekosistem dalam
kawasan konservasi. Undang-undang ini menyebutkan fungsi kawasan lindung untuk perlindungan,
pengawetan, dan pemanfaatan. Undang-undang ini juga menyebutakan fungsi ekosistem sebagai
pelindung sistem penyangga kehidupan. Undang-undang ini menyebutkan bahwa rehabilitasi diperlukan
untuk memperbaiki kondisi ekosistem yang sudah rusak.

Evaluasi dan analisis regulasi dilakukan dengan mengacu kepada Pasal 1 Ayat 2 UU No. 41 Tahun 1999
tentang kehutanan (serta perubahan yang tertuang dalam Undang-undang No.1 tahun 2004 mengenai
perubahan atas Undang-undang No. 41 tahun 1999). Dalam undang-undang ini, hutan dinyatakan
sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Konteks ini dapat dipenuhi oleh Taman Nasional Kerinci Seblat yang merupakan suatu kesatuan
ekosistem hamparan. Kayu manis masuk ke dalam kategori pepohonan yang menjadi bagian dari
ekosistem asli (endemik). Berdasarkan undang-undang ini, pemanenan secara tidak berkelanjutan /
mengganggu keseimbangan ekosistem akan memisahkan satu atau lebih komponen ekosistem, dan
akan memiliki implikasi hukum.

Peraturan Menteri
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No.35 tahun 2007, Kayu manis (Cinnamomum
burmannii) termasuk sebagai hasil hutan bukan kayu yang dapat diambil untuk minyak atsiri (dari daun),
maupun dari pepagan (kulit). Pemulihan ekosistem yang dilakukan di Taman Nasional Kerinci Seblat,
merupakan bagian yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(PermenLHK) No. 105 tahun 2018 mengenai tata cara pelaksanaan, kegiatan pendukung, pemberian
insentif, seta pembinaan dan pengendalian kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.

Peraturan menteri LHK 105/2018 ini mendefinisikan upaya reboisasi (pemulihan ekosistem) dalam dua
kategori yaitu: intensif, atau agroforestri. Reboisasi intensif dilakukan di lahan terbuka yang tidak ada
aktivitas pertanian masyarakat, dan dilakukan penanaman sebanyak 625 sampai 1.100 batang per
hektar dengan jenis tanaman kayu-kayuan (endemik) dan/atau pohon HHBK (Permenhut 35/2007).
Reboisasi agroforestry (tegakan pohon kurang dari 625 pohon per hektar) tidak dapat dilakukan di hutan
konservasi.

Pengelolaan Taman Nasional Kerinci Seblat sebagai hutan konservasi diatur dalam Permen LHK
No.76/2015 mengenai perlindungan kawasan serta penggunaan sistem zonasi untuk riset, ilmu
pengetahuan,pendidikan, dan keterlibatan masyarakat dalam budidaya, wisata, dan rekreasi.
Berdasarkan peraturan ini, keterlibatan masyarkat dapat dilakukan di dua zone yaitu Zona Rehabilitasi
dan Zone Pemanfaatan.

Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan (zona rehabilitasi dan zona pemanfaatan) diatur
dalam PermenLHK No. 83/2016 mengenai perhutanan sosial. Peraturan ini mengatur mengenai Mitra
Konservasi yang merupakan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi. Kelompok
masyarakat ini dapat dilibatkan dalam kerjasama pemberdayaan masyarakat di kawasan konservasi.
Kemitraan kehutanan / kemitraan konservasi dituangkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Konservasi
Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Dirjen KSDAE).

Peraturan Direktur Jenderal KSDAE


Peraturan Direktur Jenderal KSDAE (Perdirjen KSDAE) No.6 Tahun 2018 mengatur tentang tata cara
kemitraan konservasi. Peraturan Dirjen ini menjelaskan bahwa kemitraan konservasi dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu pemberdayaan masyarakat (pemberian akses untuk pemanfaatan HHBK) dan
pemulihan ekosistem. Peraturan ini memungkinkan kegiatan pemulihan ekosistem untuk dapat
dilakukan dengan konsep reboisasi intensif, serta melibatkan masyarakat dalam skema kemitraan
konservasi. Jenis-jenis tumbuhan yang dapat digunakan dalam pemulihan ekosistem secara eksplisit
disebutkan dalam Surat Keputusan (SK) Kepala Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat.

Surat Keputusan Kepala Balai Besar


Kepala Balai Taman Nasional Kerinci Seblat menerbitkan SK No. 176/2016 tentang 27 jenis tumbuhan
endemik/lokal yang dapat digunakan sebagai tumbuhan yang dapat digunakan dalam pemulihan
ekosistem di Taman Nasional Kerinci Seblat. Surat Keputusan ini menjadi acuan dalam memilih dan
menggunakan jenis-jenis pohon yang digunakan / ditanam dalam kegiatan pemulihan ekosistem.

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

Aspek Filosofi
Landasan filosofi yang relevan dengan draf akademis ini adalah upaya untuk mencapai keseimbangan
antara kebutuhan ekonomi dengan kebutuhan ekologi. Untuk mencapai visi ini, kayu manis dianggap
sebagai komoditas yang dapat menjembatani keseimbangan ini. Landasan filosofis lainnya adalah upaya
untuk mendorong keterlibatan masyarakat setempat (pada umumnya), dan masyarakat adat (secara
khusus) dalam pengelolaan hutan. Upaya ini berjalan melalui skema perhutanan sosial, serta
memerlukan kegiatan yang dapat dijalankan oleh kelompok tani perhutanan sosial (kelompok tani hutan
– KTH) untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Pemenuhan kebutuhan ekonomi dan pengakuan untuk
dapat mengelola hutan sesuai hukum adat merupakan motivasi yang dapat mendorong keterlibatan
masyarakat dalam mengelola hutan secara efektif. Kearifan lokal yang dimiliki dan dipraktekkan oleh
masyarakat selama ini merupakan modal sosial yang dapat memberikan kontribusi bagi pengelolaan
hutan dan sumber daya hutan secara berkelanjutan.
Aspek Sosial & Ekonomi
Kayu manis merupakan komoditas unggulan di Kabupaten Kerinci. Data statistik Kabupaten Kerinci
tahun 2016 menunjukkan bahwa komoditas kayu manis ini mencakup area terluas (40.762 ha) dibanding
komoditas lainnya. Demikian pula produksi kayu manis menduduki peringkat teratas dengan 53.634 ton
per tahun, dan jumlah petani terbanyak (12.733 orang) dibanding komoditas perkebunan lainnya seperti
karet, cengkeh, kopi arabika, kopi robusta, kakao, dan tembakau (BPS Kerinci, 2018). Statistik ini
menunjukkan bahwa komoditas kayu manis memiliki peranan penting dalam aspek sosial ekonomi di
Kabupaten Kerinci.

Kabupaten Merangin mencatat bahwa luas area perkebunan kulit manis mencapai 4.220 ha, yang
merupakan peringkat keempat setelah karet, kelapa sawit, dan kopi. Produktifitas kayu manis di
Kabupaten Merangin menduduki peringkat keempat (2.796 ton per tahun) setelah kelapa sawit, karet,
dan kopi (BPS Merangin, 2018). Data ini menunjukkan bahwa kayu manis tidak memiliki peranan yang
cukup tinggi di Kabupaten Merangin. Namun demikian komoditas kayu manis memiliki peranan yang
cukup nyata bagi masyarakat hukum adat (MHA) Marga Serampas yang berada di Kabupaten Merangin.

Kayu manis telah menjadi bagian dari praktik ladang berpindah yang dilakukan oleh Marga Serampas
sejak tahun 1970 (Hariyadi & Ticktin, 2012). Selain komoditas padi dan sayuran, saat ini pemanfaatan
kayu manis telah menjadi penunjang kehidupan masyarakat Marga Serampas. Marga Serampas sedikit
demi sedikit beralih dari praktik ladang berpindah menjadi praktik agroforestry yang memanfaatkan
berbagai komoditas, termasuk kayu manis (Hariyadi & Ticktin, 2012). Praktik seperti ini dapat
mengancam keanekaragaman hayati, karena kayu manis lebih dominan ditanam dibanding jenis
tumbuhan hutan dan juga tumbuhan agroforestry lainnya sperti durian, petai, dan surian. Hal ini cukup
logis, mengingat bahwa komoditas kayu manis (saat harga sedang tinggi) memiliki tingkat profitabilitas
yang lebih tinggi dibandingkan padi (Suyanto, Tomich, & Otsuka, 2001).

Dengan perhitungan harga kulit kayu manis kering 60% (dari dahan hasil pemangkasan) adalah Rp.
25,000 (harga tahun 2019), maka keuntungan petani kayu manis dapat dinikmati (memperhitungkan
biaya benih, pemeliharaan, dan pemanenan) pada tahun ke delapan. Dengan perhitungan harga
ini,maka kayu manis akan memberikan manfaat ekonomis bila ditanam antara 140 sampai 300 batang
per hektar. Keuntungan akan menjadi lebih besar bila penanaman mengikuti pola rehabilitasi intensif
yaitu 625 sampai 1.100 batang per hektar. Estimasi pendapatan dari pertanian kayu manis ditampilkan
dalam Gambar di bawah ini.
Gambar 1 Estimasi pendapatan dari hasil pertanian kayu manis (asumsi harga Rp. 25,000 per kg).

160
140
120
100
Pendapatan dalam Juta Rupiah

80
60
40
20
-
0 2 4 6 8 10 12 14 16
-20
-40
-60
Tahun Penanaman

Cinnamon 625 trees/ha Cinnamon 140 trees/ha Cinnamon 75 trees/ha

Aspek Yuridis
Evaluasi dan analisis regulasi menunjukkan bahwa aturan-aturan terkait potensi pemanfaatan kayu
manis sebagai komoditas pemulihan ekosistem memiliki peraturan yang dapat ditautkan sampai ke
tingkat undang-undang (memiliki konsekwensi hukum). Relevansi serta gap dalam peraturan-peraturan
tersebut dirangkum dalam Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1 Daftar peraturan terkait potensi pemanfaatan kayu manis dalam pemulihan ekosistem.

No. Peraturan Keterkaitan Gap Rekomendasi


1 UU No. 5/1990 Pelestarian sumber daya Tidak secara rinci Mencermati peraturan
alam dan ekosistem. menyebutkan strategi turunan dari undang-
Terkait erat dengan rehabilitasi; undang ini untuk mencari
mandat Taman Nasional Tidak secara eksplisit definisi tentang rehabilitasi
Kerinci Seblat sebagai menyebutkan peran serta dan strategi yang sesuai
kawasan konservasi. masyarakat dalam (jenis pohon,
Rehabilitasi diperlukan pengelolaan ekosistem kerapatan/jarak tanam)
untuk memperbaiki
ekosistem yang sudah
rusak
2 UU No. 41/199 dan Perpu Definisi tentang hutan, Tidak secara spesifik Mencermati peraturan
No. 1/2004 (perubahan atas serta keterkaitan antara menyebutkan HHBK turunan untuk
UU no. 41/1999) komponen yang ada dalam sebagai komponen hutan mengidentifikasi konteks
ekosistem hutan; HHBK dalam ekosistem
Definisi mengenai reboisasi hutan
sebagai strategi rehabilitasi
dan reklamasi hutan;

3 Permenhut 35/2007 Definisi kayu manis Tidak secara rinci Menyusun materi teknis
(Cinnamomum burmanii) membahas metode panen pemanfaatn kayu manis
sebagai HHBK dengan kayu manis. tanpa tebang (stripping
pemanfaatan untuk minyak kulit kayu, pemangkasan
atsiri (daun) dan pegagan dahan/ranting, dan panen
(kulit) daun)
4 Permen LHK 105/2018 Definisi reboisasi intensif Mensyaratkan area yang Memerlukan peraturan
(625-1.100 pohon per tidak ada aktivitas manusia, yang memungkinkan
hektar)sebagai strategi sehingga tidak relevan reboisasi di daerah yang
pemulihan ekosistem untuk untuk daerah taman telah dirambah
kawasan Taman Nasional nasional yang sudah Menentukan komposisi
Kerinci Seblat dirambah; antara kayu-kayuan dan
Tidak secara spesifik kayu manis
menyebutkan komposisi
antara tumbuhan kayu-
kayuan dengan tumbuhan
HHBK

5 Permen LHK 76/2015 Definisi zona rehabilitasi - Zonasi TNKS sebagai acuan
dan zona pemanfaatan dalam menyusun
untuk kepentingan kemitraan konservasi
pemulihan ekosistem dan
pemberdayaan masyarakat
6 Permen LHK 83/2016 Penjelasan mengenai - Justifikasi pelibatan
skema perhutanan sosial masyarakat dalam
(Hutan Desa, Hutan kemitraan konservasi
Kemasyarakatan, Hutan
Tanaman Rakyat, Hutan
Adat, dan Kemitraan
Kehutanan);
Pelibatan masyarakat
dalam pengelolaan hutan
7 Perdirjen 06/2018 Tata cara kemitraan Tidak secara eksplisit Menggunakan Perdirjan
konservasi dengan mensyaratkan proses untuk 6/2018 sebagai acuan
kelompok masyarakat; membangun kesepakatan dalam membentuk
Pemberdayaan masyarakat (sosialisasi, padiatapa, dan kemitraan konservasi
(pemberian akses); kesepakatan) melalui proses sosialisasi,
Pemulihan ekosistem padiatapa, sampai tercapai
kesepakatan)
8 SK Ka Balai Besar 176/2016 Jenis endemik yang dapat Tidak mencantumkan jenis Menentukan komposisi
digunakan dalam kayu manis sebagai tumbuhan kayu-kayuan
pemulihan ekosistem tumbuhan endemik dan HHBK dalam konteks
pemulihan ekosistem;
Menentukan metode
panen kayu manis yang
tepat guna (stripping,
panen daun, dan
pemangkasan)
9 Perjanjian Kemitraan Rencana Kerja Usaha - Menyepakati metode
Konservasi (RKU); panen kayu manis yang
Rencana Pelaksanaan tepat guna (tanpa tebang)
Program (RPP);
Rencana Kerja Tahunan
(RKT);
Pakta integritas dan
kesepakatan kontribusi
kelompok masyarakat
ARAH DAN TUJUAN KEBIJAKAN

Arah dan Tujuan


Kebijakan terkait pemanfaatan kayu manis sebagai komoditas endemik akan dituangkan dalam bentuk
Surat Keputusan (SK) Kepala Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat tentang tumbuhan endemik
untuk kepentingan pemulihan ekosistem, atau revisi/adendum atas SK yang berlaku saat ini. Kebijakan
ini bertujuan untuk mengatur pola tanam dan panen kayu manis dalam konteks kemitraan konservasi
dan pemulihan ekosistem. Kebijakan ini diharapkan dapat menjembatani kebutuhan ekonomi
masyarakat, sekaligus kebutuhan untuk pemulihan ekosistem kawasan yang sudah mengalami
kerusakan akibat penggunaan lahan tanpa ijin. Kebijakan ini juga diharapkan untuk dapat mendorong
keberlanjutan dari sisi ekonomi masyarakat dan sisi ekologi untuk menuju masyarakat sejahtera, dan
hutan lestari.

Materi Teknis
Surat Keputusan Kepala Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat seyogyanya memiliki pembahasan
terkait hal-hal di bawah ini:

 Kondisi umum masyarakat yang mencari penghidupan dengan bertani, dan kondisi umum
kawasan saat ini yang memerlukan upaya restorasi. Kondisi umum ini merupakan landasan
penerbitan SK, atau adendum SK jenis tumbuhan endemik untuk pemulihan ekosistem dan/atau
pemberdayaan masyarakat;
 Jumlah tegakan yang diperlukan untuk pemulihan ekosistem, serta komposisi antara tumbuhan
endemik dan MPTS. Secara spesifik SK perlu menjelaskan jumlah minimum dan maksimum kayu
manis per hektar yang dapat ditanam untuk pemulihan ekosistem (zona rehabilitasi), dan untuk
pemberdayaan masyarakat (zona pemanfaatan);
 Metode panen kayu manis untuk menjamin keberlanjutan ekologis (keanekaragaman hayati,
tutupan hutan, dan cadangan karbon);
 Indikator yang digunakan dalam monitoring dan evaluasi selama persemaian, penanaman, dan
pemeliharaan kayu manis; dan
 Penunjukan, melalui Surat Perintah Tugas (SPT), terkait pendamping pembentukan kelompok
tani hutan, serta tim independen untuk pengawasan dan penilaian.

PENUTUP
Draf akademis ini disusun sebagai landasan dalam mencantumkan jenis kayu manis dalam SK baru, atau
adendum SK lama terkait jenis-jenis tumbuhan endemik yang dapat digunakan dalam pemulihan
ekosistem. Draf ini telah mempertimbangkan aspek ekologis, sosial ekonomi, dan aspek yuridis,
sehingga hasil dari kajian ini memiliki dasar yang kuat dari sudut pandang aspek-aspek tersebut diatas.

Simpulan
 Kayu manis (Cinnamomum burmannii) adalah tumbuhan endemik di Kerinci dan Merangin
berdasarkan sebaran historis dan faktor ekologis;
 Keberlanjutan secara ekologis dan pelestarian keanekaragaman hayati perlu diperhatikan. Oleh
karena itu, kecenderungan untuk monokultur harus ditangkal dengan kesepakatan komposisi
tanam. Setidaknya komposisi kayu manis adalah 30%-50%, dan kayu-kayuan endemik 50%-70%
(reboisasi intensif 625 – 1.100 batang per hektar). Sesuai dengan Pasal 28 dalam Perdirjen No.
6/2018, proses ini dapat dilakukan secara bertahap.;
 Metode panen kayu manis dapat dilakukan menggunakan metode pengambilan sebagian kulit
(stripping), pemangkasan (pruning), dan panen daun untuk minyak atsiri;
 Pemangkasan dahan dapat dilakukan setelah pohon berusia 3-5 tahun;
 Stripping dapat dilakukan pada pohon berusia 12-15 tahun, dan dilakukan dengan mengupas
kulit pohon kayu manis dalam bentuk “pita” berukuran 100 cm x 4-10 cm; dan
 Penebangan hanya dapat dilakukan pada pohon tua (di atas 20 tahun), dengan syarat sudah ada
bibit/tunas yang akan menggantikannya.

Saran
 Mencantumkan kayu manis dalam adendum SK tanaman pemulihan ekosistem dengan prinsip
kehati-hatian yang tinggi. Prinsip ini dapat dicapai dengan catatan sebagai berikut:
 Menerapkan metode tanam yang menetap (bukan ladang berpindah), dan menghindari
monokultur dengan mensyaratkan penanaman jenis tumbuhan hutan (tidak ada manfaat
ekonomi), dengan campuran komoditas MPTS lain (buah) yang tidak perlu ditebang
 Metode panen dengan pemangkasan dahan (pruning), panen daun, atau pengupasan sebagian
kulit (stripping)
 Monitoring dan evaluasi (menggunakan indikator berupa persentase tutupan lahan dan
pendapatan ekonomi); dan
 Mendorong keterlibatan masyarakat dalam penanaman dan pemeliharaan.
DAFTAR PUSTAKA

BBTNKS. (2018). Pemantauan Area Perambahan Menggunakan Dron. Sungai Penuh: Balai Besar Taman
Nasioinal Kerinci Seblat.

Bhagabati, N. K., Ricketts, T., Sulistyawan, T. B., Conte, M., Ennaanay, D., Hadian, O., . . . Wolny, S.
(2014). Ecosystem services reinforce Sumatran tiger conservation in land use plans. Biological
Conservation 169, 147-156.

BPS Kerinci. (2018). Kerinci Dalam Angka 2018. Sungai Penuh: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kerinci.

BPS Merangin. (2018). Kabupaten Merangin Dalam Angka 2018. Bangko: Badan Pusat Statistik
Kabupaten Merangin.

Daswir. (2010). Profil Tanaman Kayu Manis di Indonesia (Cinnamomum spp). Bogor: Balai Penelitian
Tanaman Obat dan Aromatik.

El-Baroty, G. S., El-Baky, H. H., Farag, R. S., & Saleh, M. A. (2010). Characterization of antioxidant and
antimicrobial compounds of cinnamon and ginger essential oils. African Journal of Biochemistry
Research Vol. 4(6), 167-174.

Facciola, S. (1998). Cornucopia II. California: Kampong Publication.

Forest Foundation Phillipines. (2017). Phillipine Cinnamon: Important Lesser-known Forest Resource.
Manila: FPRDI.

Hariyadi, B., & Ticktin, T. (2012). From Shifting Cultivation to Cinnamon Agroforestry: Changing
Agricultural Practices Among the Serampas in the Kerinci Seblat National Park, Indonesia. Hum
Ecol 40, 315–325.

Huxley, A. (1992). the new RHS dictionary of Gardening. New York: MacMillan Press.

Khandekar, R. G., Sawant, V. S., Malshe, K. V., Nagwekar, D. D., & Haldankar, P. M. (2016). Studies on
Harvesting on yield of cinnamon leaves. Indian Hournal of Arecanut, Spices & Medicinal Plants
18(1), 19-23.

Menggala, S. R., & Damme, P. V. (2018). Improving Cinnamomum Burmannii Blume Value Chains for
Farmer Livelihood in Kerinci, Indonesia. European Journal of Medicine and Natural Sciences 2(1),
23-43.

Menggala, S. R., & Damme, P. V. (2018). Improving Indonesian cinnamon (c. burmannii (Nees & t.nees)
Blume) value chains for Greater Farmers Incomes. IOP Conf. Ser.: Earth Environ. Sci. 129 012026,
1-5.
Smith, O., Wang, J., & Carbone, C. (2018). Evaluating the effect of forest loss and agricultural expansion
on Sumatran Tigers from Scat durveys. Biological Conservation 221, 270-278.

Sunarto, Kelly, M. J., Parakkasi, K., Klenzendorf, S., Septayuda, E., & Kurniawan, H. (2012). Tigers Need
Cover: Multi-Scale Occupancy Study of the Big Cat in Sumatran Forest and Plantation
Landscapes. Plos One 7(1), 1-15.

Suyanto, S., Tomich, T. P., & Otsuka, K. (2001). Land tenure and farm management efficiency: The case of
paddy and cinnamon production in customary land areas of sumatra. Washington DC:
International Food Policy Research Institute.

Anda mungkin juga menyukai