Anda di halaman 1dari 12

Perkembangan Notaris di Indonesia

Pada Saat Penjajahan Belanda

Perkembangan Notariat dari Italia Utara masuk ke Indonesia berkembang ke daratan


Eropa melalui Spanyol, Perancis, dan Belanda.

Pada permulaan abad ke-17 Notaris berkembang di Indonesia dengan adanya


pedagang-pedagang Belanda yang datang ke Nusantara dengan memperdagangkan
rempah-rempah yang dibawa ke negeri Belanda dan mendirikan perusahaan yang
bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1602.

Usaha dagang ini berkembang menguasai Nusantara dengan membentuk pemerintahan


yang merupakan bagian dari Kerajaan Belanda Republik der Verenigde Nederlanden.
Pada tanggal 27 Agustus 1620, diangkatlah Notaris yang pertama di Indonesia bernama
Melchior Kerchem berkebangsaan Belanda yang merupakan Sekretaris dari College van
Schepenen di Jacatra. Pengangkatan Melchior Kerchem tersebut melalui Surat Keputusan
Gubernur Jenderal Jan Pieterz Coen sebagai wakil Ratu Belanda.

Surat Keputusan Pengangkatan sebagai Notaris tersebut memuat uraian singkat yang
merupakan suatu instruksi mengenai sumpah jabatan sebelum melaksanakan jabatan,
bidang pekerjaan, wewenang untuk menjalankan tugas jabatannya untuk kepentingan
publik, wajib mendaftarkan semua dokumen serta akta yang dibuatnya sesuai dengan
bunyi instruksi tersebut, dan kewajiban Notaris untuk menjalankan jabatannya secara
netral dan tidak memihak kepada siapapun (Sonder Respect off Aensien van Persoonen).

Pada kenyataannya Notaris dalam menjalankan jabatan pada masa itu tidak mempunyai
kebebasan yang murni (tidak independen) karena Notaris pada masa itu adalah Pegawai
dari VOC.
Tugas Notaris pada masa itu hanya melayani orang-orang/golongan-golongan yang tunduk
pada Hukum Perdata Barat, yaitu golongan Eropa, Cina, Timur Asing, dan golongan
Pribumi/Bumi Putera yang sudah menundukkan diri pada Hukum Perdata Barat, baik
secara formil maupun secara diam-diam.

Pada tanggal 16 Juni 1625, setelah jabatan Notaris Publik dipisahkan dari jabatan
Secretarius van de Gerechte dengan Surat Keputusan Gubernur Jendral tanggal 12
November 1625, maka dikeluarkanlah Instruksi Pertama yang memuat 10 Pasal bagi para
Notaris di Indonesia pada waktu itu yang berisikan Notaris harus terlebih dahulu diuji dan
diambil sumpahnya.

Pada tahun 1632 dikeluarkannya Plakkaat yang berisi ketentuan bahwa para Notaris,
Sekretaris, dan Pejabat lainnya dilarang untuk membuat akta-akta transport, jual beli, surat
wasiat, dan lain-lain akta jika tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Gubernur
Jendral dan Raden van Indie dengan ancaman akan kehilangan jabatannya.
Pada tahun 1822 dikeluarkan Instruksi Kedua yang memuat 34 Pasal bagi para Notaris di Indonesia yang berisikan
resume dari peraturan-peraturan yang ada sebelumnya dan suatu bunga rampai dari plakkat-plakkat yang lama antara
lain dalam Pasal 1 nya memuat tugas dan batas-batas serta wewenang dari Notaris dan menyatakan Notaris adalah
Pegawai Umum yang harus mengetahui Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, yang dipanggil dan diangkat
untuk membuat akta dengan maksud memberikan kekuatan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggal,
menyimpan asli/minuta, mengeluarkan grossenya dan salinannya yang benar.

Pada tanggal 26 Januari 1860 oleh Ratu Belanda Wilhelmina menganggap perlu untuk membuat suatu peraturan
sebagai dasar yuridis dan landasan pekerjaan Notaris di Indonesia. Setelah itu dikeluarkanlah Peraturan Jabatan
Notaris (Notaris Reglement) atau Staatsblad 1860 Nomor 3 (Stb. 1860 No. 3) yang berisi 66 Pasal dan mulai
berlaku pada tanggal 1 Juli 1860.

Bunyi dari Pasal 1 PJN (Stb. 1860 No. 3) memuat ketentuan tentang “Siapa yang dimaksud dengan Notaris dan
apa kewenangannya”.

Pasal 1 PJN (Stb. 1860 No. 3) merupakan copy dari Pasal 1 De Notariswet yang berlaku di Belanda, yang mana
Pasal 1 De Notariswet ini merupakan terjemahan yang kurang berhasil dari Pasal 1 Ventosewet yang berlaku di
Perancis.
Dikatakan kurang berhasil karena perkataan “Etablis” atau “Yang khusus ditunjuk
untuk itu” yang dipergunakan dalam Pasal 1 Ventosewet adalah lebih tepat, daripada
perkataan “Bevoegd” atau “Berwenang” yang dipergunakan dalam Pasal 1 PJN
(Stb. 1860 No. 3).

Notaris tidak hanya berwenang (Bevoegd) untuk membuat akta autentik dalam arti
“Verlijden”, bahwa suatu akta autentik:
1. Harus disusun;
2. Harus dibacakan; dan
3. Harus ditandatangani.
Akan tetapi juga berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7 PJN (Stb. 1860 No. 3) wajib
untuk membuatnya, kecuali terdapat alasan yang mempunyai dasar untuk menolak
pembuatannya.
Keberadaan Notaris di Indoensia menurut Doktrin adalah untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat sebagaimana yang dimuat di dalam sejarah perkembangan Notaris, sedangkan
secara yuridis keberadaan Notaris di Indonesia adalah atas kehendak dari Pasal 1866,
1867, dan 1868 KUHPerdata.

Pasal 1866 KUHPerdata tentang alat-alat bukti terdiri atas:


a. Bukti tulisan;
b. Bukti dengan saksi-saksi;
c. Persangkaan-persangkaan;
d. Pengakuan; dan
e. Sumpah.

Pasal 1867 KUHPerdata, bukti tulisan terdiri dari:


a. Tulisan-tulisan autentik; dan
b. Tulisan-tulisan di bawah tangan.
Pasal 1868 KUHPerdata, syarat akta autentik itu adalah:
a. Dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-Undang;
b. Oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu; dan
c. Di tempat akta itu dibuat.

Dalam Pasal 1868 KUHPerdata tidak ada penjelasan tentang mengenai siapa
itu Notaris secara terperinci. Oleh karena itu, untuk menjawab apa yang
dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata, maka jawaban itu dijawab dengan
dikeluarkannya Stb. 1860 No. 3. Sehingga dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa Stb. 1860 No. 3 tersebut merupakan peraturan pelaksana dari Pasal
1868 KUHPerdata.
Perkembangan Notaris di Indonesia
Pada Masa Kemerdekaan Indonesia

Pada tahun 1945 setelah Indonesia merdeka dan Belanda meninggalkan Indonesia, Peraturan
tentang Jabatan Notaris yang telah berlaku di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda,
yaitu Stb. 1860 No. 3 diadakan perubahan dengan Staatsblad 1945 Nomor 94 yang mencabut
beberapa Pasal yang terdiri dari Pasal 2 ayat (3), Pasal 62, Pasal 62 a, dan Pasal 63.

Pada tanggal 20 November 1954 dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954


dengan Lembaran Negara Nomor 1954-101 Tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris
Sementara yang memuat 9 Pasal dengan tidak mengadakan pengaturan secara keseluruhan
mengenai pengaturan tentang Kenotariatan, diantaranya memuat ketentuan mengenai Ketua
Pengadilan Negeri dapat menunjuk seorang yang untuk sementara diwajibkan menjalankan
pekerjaan-pekerjaan Notaris, untuk ditunjuk sebagai Wakil Notaris (sementara) seorang tidak
perlu lulus dalam ujian, tapi sedapat mungkin ditunjuk seorang yang telah lulus dalam satu
atau dua bagian dari ujian yang dimaksud dalam Pasal 13 Reglemen.
Sejak berdirinya Universitas Indonesia suatu bagian pendidikan yang sudah sejak
semula berada di Fakultas Hukum Universitas Indonesia adalah pendidikan
Notariat (yang lebih dikenal dengan nama jurusan Notariat). Pendidikan ini telah
ada sejak penggabungan tahun 1950 (pada masa Universiteit van Indonesie
pendidikan ini dipimpin oleh Prof. Mr. Slamet, dan pada masa Universitas
Indonesia pimpinan awal dipegang oleh Prof. Mr. Tan Eng Kiam dan Prof. Mr.
R. Soedja).

Sejak tahun 1965 dengan dihapusnya ujian negara untuk tingkat I dan tingkat II
Program Pendidikan Notariat, maka pendidikan ini secara resmi bersifat
Universiter dan disebut sebagai jurusan Notariat pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia dengan lama pendidikan 2 tahun. Jurusan ini dikenal
sebagai Program Spesialis Notariat.
Pada tanggal 24 Juni 1999 dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 60
Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi yang antara lain mengatur tentang
Program Pendidikan Akademik dan Program Pendidikan Profesional.

Sejak itu terjadilah perubahan di dalam bidang pendidikan Kenotariatan dari


Program Pendidikan Spesialis Notariat menjadi Program Magister
Kenotariatan.
Perkembangan Notaris di Indonesia Setelah
Berlakunya Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN)

Akhirnya pada tanggal 6 Oktober 2004 diundangkanlah Undang-Undang


Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN) yang terdiri dari 92
Pasal.

Salah satu alasan diterbitkan UUJN ini adalah karena Stb. 1860 No. 3 yang
mengatur mengenai jabatan Notaris yang berlaku di Indonesia sejak zaman
penjajahan Belanda tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan
kebutuhan masyarakat saat ini.
Pada tanggal 15 Januari 2014 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris sebagai perubahan atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN).

Terdiri dari 36 Pasal, penambahan 5 Pasal, serta penghapusan 3 Pasal dan 2


ayat, yaitu:
1. Perubahan 36 Pasal: Pasal 1, 3, 7, 9, 11, 15, 16, 17, 19, 20, 22, 32, 33, 35,
37, 38, 39, 40, 41, 43, 44, 48, 49, 50, 51, 54, 60, 63, 65, 66, 67, 69, 73, 81,
82, dan 88.
2. Penambahan 5 Pasal: 16A, 65A, 66A, 91A, dan 91B.
3. Penghapusan 3 Pasal dan 2 ayat: Pasal 34, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 1 angka
(4), dan Pasal 20 ayat (3).

Anda mungkin juga menyukai