Anda di halaman 1dari 12

No : 03-2009 Juli 2009

Buletin

ILWI (Indonesian Land reclamation & Water management Institute), adalah sebuah lembaga kajian dibidang reklamasi dan pengelolaan air. Lembaga ini berupaya untuk menyebarkan informasi dan pengetahuan di bidang reklamasi & pengelolaan air kepada masyarakat. Salah satunya dengan penerbitan buletin. Buletin ini kami kirimkan secara gratis. Tulisan, saran dan pemberitaan media menjadi bagian dari isi buletin ini. Alamat : Jl. Rajawali II No. 5A Manukan, Condong Catur Yogyakarta 55283 atau P.O. Box 7277/JKSPM Jakarta Selatan 12072 Email : ilwi@indosat.net.id

MENANTI UPAYA MENGURANGI RISIKO BENCANA DI JAKARTA

ILWI Buletin No 03-2009

Pengantar Redaksi
Pembaca yang budiman, tema besar yang diangkat dalam Buletin ILWI Nomor 3 ini, adalah masalah Pengurangan Risiko Bencana (Disaster Risk Reduction) di Jakarta. Melihat banyaknya ancaman bencana yang mungkin timbul dan masih minimnya upaya antisipasi yang dilakukan. Ini bukan untuk menakut-nakuti, kita perlu lebih mengangkat persoalan ini untuk mengingatkan bahwa kita perlu bersiap diri seandainya sewaktu-waktu terjadi bencana. Ini perlu, mengingat kecenderungan kota-kota besar di dunia yang juga sudah membuat rencana aksi untuk pengurangan risiko bencana di wilayahnya. Kita memang harus selalu siap, mengingat bencana yang tidak tahu kapan datangnya, sewaktu-waktu akan membalikkan pembangunan yang kita laksanakan hingga mundur jauh kebelakang. Belum lagi kerugian harta benda dan nyawa yang ditimbulkannya. Melakukan tindakan pengurangan risiko bencana pada hakekatnya juga merupakan upaya mengurangi kisah pilu yang disebabkan bencana tersebut. Tentu saja pekerjaan ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga seluruh kalangan masyarakat tanpa terkecuali. Pembaca, mengikuti tema besar yang diambil, dibagian lain tentu kami juga punya bahasan mengenai reklamasi dan pengelolaan air yang dikaitkan dengan upaya mitigasi dan kesiapsiagaan. Diantaranya bagaimana reklamasi pantai utara dipakai sebagai kesempatan untuk membangun infrastruktur mitigasi bencana yang lebih lengkap. Disamping itu, kami juga mengangkat bagaimana seharusnya merawat situ-situ yang ada dan sudah berusia lanjut. Selamat menikmati buletin ILWI kali ini.
Redaksi ILWI

ILWI Buletin No 03-2009

Rawan Bencana Di Metropolitan


Ditengah pembangunan yang terus dipacu, ancaman bencana ternyata juga mengintai ibukota. Pengembangan Jakarta kedepan harus dikaitkan dengan upaya pengurangan risiko bencana yang berkelanjutan. Penegakan aturan dan sosialisasi penanggulan bencana harus segera dilaksanakan.

Foto : Doc BRR

Pelajaran dari bencana di Aceh-Nias

Kita tidak bisa membayangkan seandainya Jakarta Raya (Jabodetabek), kena goncangan gempa seperti yang terjadi Aceh 26 Desember 2004 atau di Yogyakarta 27 Mei 2006 silam. Warga pasti akan berlarian kocar-kacir tidak karu-karuan, mereka tak tahu mau ke mana menyalamatkan diri. Tetap di dalam rumah jelas risikonya cukup besar, mau lari ke luar melalui lorong-lorong di depan rumah risikonya sama saja, ancaman ambruknya dinding rumah tetangga lebih mengerikan lagi. Mau mencari lapangan luas untuk menyelamatkan diri, tentu bukan perkara gampang, mencari tanah sejangkal saja sulit dicari di kota metropolitan ini apalagi tanah terbuka dengan ukuran besar. Bisa dibayangkan berapa banyak korban yang akan berjatuhan dan berapa besar kerugian yang ditimbulkan, jika ibukota dihantam gempa seperti itu. Di Yogyakarta dan Jawa Tengah, setidaknya sekitar 270 ribu rumah ambruk rata dengan tanah, belum lagi rumah yang rusak sedang dan ringan. Korban nyawa yang ditimbulkannya bahkan melebihi enam ribu orang. Kisah pilu di Yogyakarta itu, tentu tak kita harapkan terjadi di Jakarta. Ini sekedar ilustrasi membayangkan jika ibukota mengalami hal yang sama. Pesan yang ingin disampaikan adalah, apakah Jakarta
ILWI Buletin No 03-2009

sudah siap seandainya terjadi bencana seperti ini ? Dengan kerapatan penduduk yang cukup tinggi, akses penyelamatan yang minim, rumah-rumah yang tak memenuhi persyaratan tahan gempa, tentu kerugian dan korban yang ditimbulkan sudah tak terbayangkan lagi. Kemungkinan kejadian ini perlu diingatkan, tak hanya kepada pemerintah tapi juga seluruh masyarakat Jakarta. Semua pihak diingatkan untuk melakukan upaya Pengurangan Risiko Bencana (Disaster Risk Reduction). Harus diakui, selama ini mitigasi dan kesiapsiagaan menghadapi bencana di DKI Jakarta masih sangat minim sekali.

itu akan sanggup menelan sekitar seribu kilometer garis pantai di daerah Serambi Mekkah ini. Harus diingat bahwa Tsunami setinggi dua meter saja akan mampu menelan ratusan jiwa. Saat ini, bencana alam yang paling kerap dan rutin mengganggu kota Jakarta adalah banjir. Hampir setiap tahun Jakarta digenangi air dalam jumlah besar. Beberapa kali bahkan sempat memakan korban jiwa. Tahun 2002 umpamanya, tak tanggungtanggung 80 orang nyawa manusia harus melayang ditelan air. Kini setiap tahun warga Jakarta pasti menabung kerugian akibat selalu didatangi banjir.

Foto : Doc TTN

Kampus yang hancur akibat gempa di Yogyakarta Kota Paling Komplit Ancaman Bencananya Padahal Jakarta bisa jadi merupakan kota yang paling rawan terhadap terjadinya bencana di Indonesia. Beragam jenis bencana alam sangat mungkin terjadi di Jakarta gempa bumi, tsunami, dan banjir, adalah sebagian diantaranya. Belum lagi bencana yang sifatnya kerawanan perkotaan kebakaran, kegagalan teknis bangunan, runtuhnya bangunan-bangunan tua atau mungkin demonstrasi massa yang mengarah anarkisme. Seperti diketahui sebelah barat Pulau Sumatera dan sebelah Selatan Pulau Jawa adalah tempat pertemuan dua lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo Australia. Posisi ini menyebabkan daerah-daerah di pulau itu sangat rawan terhadap terjadinya bencana gempa bumi, karena kedua lempengan itu kerap bergeser dan bertumbukan. Bagi DKI Jakarta tentu kerawanan dari gempa bumi ini tidak bisa dipandang sepele. Sedangkan untuk ancaman dari bencana tsunami, beberapa studi memang mengindikasikan bahwa bahaya tsunami di Jakarta tidak separah yang terjadi Aceh. Pengangkatan dasar laut akibat pertemuan dua plat tektonik besar itu, mempunyai dampak yang tak begitu besar di Jakarta, karena letaknya yang cukup jauh. Ancaman adanya tsunami diprediksi juga bisa datang akibat kegiatan vulkanik. Terutama bahaya yang disebabkan oleh meletusnya anak krakatau. Meski demikian tsunami yang diakibatkan proses vulkanik ini, bagi kota Jakarta diyakini oleh beberapa pakar tidak lebih besar dari tsunami yang ditimbulkan oleh pergeseran lempeng tektonik. Dampak tsunami akibat meletusnya anak Krakatau ini lebih terasa pada dearah-daerah di ujung Sumatera, sebelah Selatan dan ujung Pulau Jawa sebelah Barat. Meski demikian ibukota, khususnya Jakarta Utara tetap harus mempersiapkan diri jika tsunami benar-benar datang. Kejadian di Aceh, juga akibat belum adanya prediksi bahwa gelombang sebesar
ILWI Buletin No 03-2009

Foto : ILWI

Banjir bencana alam yang kerap melanda ibukota

Kerawanan Perkotaan Kerawanan perkotaan melengkapi ancaman bencana di tanah betawi ini. Di banyak wilayah di Indonesia bencana yang potensial mendatangkan banyak kerugian pastilah yang datangnya dari alam. Akan tetapi berbeda dengan kota sebesar Jakarta, dengan ketidakaturan yang sudah puluhan tahun dijalankan, ancaman diluar bencana alam ternyata masih cukup mengerikan.

selalu datang tiba-tiba. Karena itu sekecil apapun ancaman bencana itu harus sudah diusahakan untuk bisa diatasi sejak sekarang. Pilihannya adalah segera melakukan upaya pengurangan risiko bencana sesegera mungkin.

Kebakaran merupakan potensi kerawanan terutama di daerah padat Masyarakat dunia sendiri sudah memberi perhatian yang besar terhadap upaya pengurangan risiko bencana. Ini sudah didengungkan sejak pelaksanaan Konferensi Pengurangan Risiko Bencana Sedunia , Januari tahun 2005, lalu. Pertemuan itu menghasilkan Deklarasi Hyogo Framework for Action ( Kerangka Kerja Aksi Hyogo ) 2005 2015. Dalam deklarasi itu ditekankan bagi seluruh negara di dunia untuk menyusun mekanisme terpadu pengurangan risiko bencana yang didukung kelembagaan dan kapasitas sumberdaya yang memadai. Mitigasi dan Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana Karena itu Jakarta sebagai salah satu kota besar dunia memang harus segera mengambil sikap terhadap usaha-usaha penanggulangan bencana. Pembangunan yang terus digeber harus memperhatikan kesiapan institusi dan kemampuan sumber daya manusia dalam menghadapi bencana yang berpotensi untuk muncul. Hal ini bukan saja untuk menyelamatkan jiwa manusia dan lingkungan yang rusak, lebih dari itu juga agar pembangunan yang sudah dirancang dan dijalankan tidak harus mundur terlalu jauh akibat bencana. Bagaimanapun visi pembangunan ke depan tak bisa dilepaskan dari upaya antisipasi terhadap bencana. Dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2007, tentang Penanggulangan Bencana, mitigasi dan kesiapsiagaan adalah bagian dari fase prabencana. Keselamatan dan kerugian yang timbul akibat bencana sangat tergantung pada tahap ini. Untuk itu perencanaan kota secara keseluruhan perlu segera dikaitkan dengan mempertimbangkan potensi bencana yang mungkin terjadi. Pertama yang harus dilakukan adalah identifikasi sumber bahaya dan ancaman bencana.

Foto : ILWI

Kerawanan perkotaan juga menjadi ancaman warga Jakarta Kegagalan teknis tanggul Situ Gintung membuktikan hal itu. Bertahun-tahun orang yang tinggal di mulut tanggul itu tak pernah merasa takut akan terjadinya malapetaka ini. Sampai akhirnya pintu air tanggul tersebut jebol tanpa diduga-duga, akibatnya warga yang minim pengetahuan dan minim persiapan, harus menahan pilu karena kehilangan harta bahkan juga sanak saudaranya. Bisa dipastikan bahwa ancaman-ancaman bencana akibat kelalaian manusia seperti ini akan tetap ada mewarnai perkembangan kota Jakarta. Bahaya runtuhnya bangunan, kebakaran, dan kerawanan akibat kelalaian manusia lainnya, akan selalu mengusik ketenangan warga kota Jakarta. Upaya Pengurangan Risiko Bencana Meski tidak diharapkan, cepat atau lambat ancaman-ancaman itu pasti ada yang datang, warga Jakarta harus siap menghadapinya. Pernahkah Anda membayangkan jika salah satu jalan layang di Jakarta runtuh ? Ada berapa rumah liar yang berada dibawahnya hancur dan berapa pula korban jiwa yang ditimbulkannya. Meski bahayanya seperti itu, masyarakat tetap saja tanpa ada rasa takut terus membangun rumah di kolong-kolong jalan layang. Pembuatan sumur dan pembakaran sampah di bawah kolong jembatan memberikan kontribusi bagi peningkatan risiko terjadinya bencana. Memang hal itu belum pernah terjadi tapi kemungkinannya tetap ada, dan yang namanya bencana
ILWI Buletin No 03-2009

Salah satu cara efektif dalam merencanakan penanggulangan bencana adalah identifikasi ancaman bencana. Disamping itu, menentukan potensi bencana di satu daerah juga akan membuat masyarakat setempat fokus terhadap apa yang harus dilakukan. Perlu dibuat zonasi pada daearah-daerah mana yang mungkin terjadi bencana. Sekaligus ditentukan daerah yang dipastikan susah menanganinya jika terjadi satu jenis bencana. Sebagai contoh kebakaran, zonazona mana saja yang rawan terjadinya kebakaran. Serta jika terjadi kebakaran sulit ditembus kendaraan pemadam kebakaran. Kedua adalah memperkuat peraturan soal mitigasi bencana. Undang-undang dan peraturan yang sudah ada di tingkat pusat perlu dilengkapi dengan aturan daerah bermuatan lokal agar fleksibel pelaksanaannnya. Peraturan yang berasal dari pusat, perlu dilengkapi karena aparat di pemerintahan lokal dianggap lebih tahu keadaan daerahnya. Aturan-aturan tersebut harus diterapkan di lapangan dan mempunyai ketetapan hukum, seperti melalui Peraturan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Masyarakat harus tahu bagaimana persyaratan pembangunan rumah, dimana boleh membangun dan dimana yang tidak, bagaimana lebar jalan lingkungan, agar dalam keadaan darurat kendaraan penolong tetap bisa masuk dan lain-lain.

Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan perencanaan penanggulangan bencana. Ini meliputi persiapan aparatur dan lembaga, persiapan sistem kerja , serta persiapan masyarakat. Jika mengacu kepadan UU 24 tahun 2007, maka untuk daerah lembaga yang mengurusi masalah bencana adalah Badan Penanggulangan Bencana daerah (BPBD). Tapi, di Indonesia kelihatannya baru Jawa Tengah saja yang memilik badan ini. Masih banyak daerah yang belum memiliki badan semacam ini. Daerah-daerah ini, masih mengandalkan mekanisme Satkorlak dan Saklak dalam menanggulangi bencana. Apapun bentuknya yang terpenting adalah adanya institusi di pemerintahan daerah yang mengurusi masalah penanggulangan bencana ini. Siapa melakukan apa dan bagaimana sistem kerjanya harus jelas sehingga saat bencana datang tak lagi ada yang tumpang tindih pekerjaan. Disamping itu perlu ada sosialisasi potensi bencana yang mungkin terjadi sekaligus bagaimana cara menghadapinya. Pelatihan dan simulasi perlu dilakukan agar masyarakat tanggap apa yang harus dilakukan ketika bencana datang. Simulasi tak harus dilakukan ditingkat provinsi, lebih baik lagi kalau dilaksanakan dilevel kawasan, karena bisa disesuaikan dengan potensi bencana paling besar di tempat itu.
Sawariyanto, Bagian Mitigasi dan Kesiapsiagaan

Foto : Doc Depsos DIY

Simulasi Menghadapi Bencana

ILWI Buletin No 03-2009

Aspek Mitigasi Dalam Reklamasi


Reklamasi sulit dielakan dalam pengembangan kota Jakarta. Kesempatan menata kawasan baru tak hanya harus memperhatikan dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan, aspek mitigasi bencana bagi penghuninya harus pula diperhatikan.

Sumber BP Pantura

Rencana Reklamasi Pantura Setiap kali ada upaya untuk melakukan pengembangan dan pembangunan di Jakarta, perdebatan masalah sosial dan lingkungan langsung mengemuka. Bagaimana perlakuan terhadap warga yang sudah lebih dahulu ada ditempat itu, perubahan sisitem sosial yang pasti akan terjadi, masalah lingkungan akibat adanya program pembangunan baru dan sebagainya. Perdebatan semacam itu sering menimbulkan saling ngotot antara pemerintah, pengembang, lembaga swadaya masyarakat dan warga sekitar. Meski pembangunan yang dilakukan menyebabkan perbaikan pada lingkungan hidup, tetap saja program tak bisa berjalan mulus. Tak jarang tenaga, pikiran dan dana habis untuk urusan-urusan non teknis semacam ini. Beberapa negara di dunia seperti Cina, Rusia dan beberapa negara di Timur Tengah melakukan pengembangan dengan mereklamasi sebagian pantainya. Hasilnya memang cukup baik, kawasan yang dibangun menjadi lebih mudah menatanya, seperti akses jalan,informasi, sistem drainasi, listrik, dan keamanan. Bahkan untuk aspek lingkungan hidup kawasan baru ini bisa juga jauh lebih baik kalau ditata sejak awal. Seperti penghijauan, pengelohan limbah, pengelolaan air bersih, bahkan sistem penanggulangan banjir yang dibuatpun ramah lingkungan dengan membuat rasio badan air yang memadai.. Memang untuk memulai program reklamasi tetap ada saja masalah sosial yang perlu dipersiapakan solusinya. Penyelesaian secara win-win solution juga bisa diambil untuk mengakomodasi permintaan beberapa pihak. Ini menyebabkan efek negatif yang mungkin terjadi bisa dieleminir. Kini yang harus diperhatikan justru perlunya menata wilayah yang lebih memahami perilaku bencana.

Sebagai kawasan baru, tentu mempunyai kesempatan untuk menata daerah tersebut menjadi lebih siap mengahadapi bencana. Merencanakan semua pembangunan di tempat itu dengan mempertimbangkan aspek mitigasi dan kesiapsiagaan. Untuk pantai utara Jakarta ada beberapa tindakan mitigasi yang perlu diperhatikan. Untuk bencana alam adalah tsunami, gempa dan banjir. Untuk menghadapi tsunami disamping perlu ada sistem peringatan dini, juga diperlukan pembuatan bukit-bukit yang berguna untuk menyelamatkan diri. Sehingga sewaktu-waktu ada peringatan bahaya tsunami warga bisa langsung berlari ke arah bukit tersebut. Agar sehari-hari bisa digunakan, bukit-bukit itu bisa dijadaikan taman bermain atau tempat kegiatan olahraga. Mempermudah warga untuk menyelamatkan diri perlu pula dibuat rambu-rambu yang menunjukan daerah rawan tsunami dan rambu ke mana mereka harus menyelamatkan jika gelombang air itu datang. Untuk penyelamatan diri dari bahaya gempa, sejak awal yang perlu diperhatikan adalah persyaratan rumah tahan gempa yang harus diikutin oleh warga setempat. Akses jalan untuk menyelamatkan diri juga perlu menjadi pertimbangan, tentu saja dalam satu lokasi tertentu harus disediakan lapangan luas untuk menghindari diri dari runtuhnya bangunan. Sedangkan untuk sistem pengendalian banjir mengimplementasikan tanggul laut dan rasio badan air yang memadai. Karena itu kawasan ini harus bisa menahan serbuan air dari laut dan air hujan yang turun di lingkungan mereka. Untuk kerawanan perkotaan, kemungkinan yang paling kelihatan adalah bahaya kebakaran. Untuk itu perlu diperhatikan jalur-jalur mobil kebakaran yang memungkinkan untuk menjangkau lokasi kebakaran tersebut. Pengalaman menunjukan bahwa seringkali kebakaran berdampak besar karena akses jalan untuk melakukan pemadaman sangat minim. Secara sederhana inilah aspek-aspek mitigasi yang perlu dipertimbangkan dalam melaksanakan reklamasi. Tentunya, masih perlu analaisa yang lebih cermat lagi untuk mengetahui apa potensi bencana yang mungkin terjadi dan bagaimana usaha-usaha pengurangan risiko bencana yang harus dilakukan.

ILWI Buletin No 03-2009

Bersama Merawat Tanggul Tua


Bagi warga Jabotabek, musim hujan kali ini nyaris dilalui dengan aman tanpa ada banjir besar, seperti yang terjadi beberapa tahun belakangan ini. Tapi, dipengujung musim hujan ini, malapetaka akibat ulah air ternyata datang juga. Kali ini, sama sekali diluar dugaan masyarakat awam. Situ yang seharusnya menjadi harapan masyarakat untuk mengurangi bahaya banjir, justru memakan korban.

Situ Gintung yang berusia hampir delapan puluh tahun itu, tak disangka-sangka jebol. Waduk yang terletak di Desa Cirendeu, Kecamatan Ciputat, Tanggerang, ini menyapu harta benda dan manusia. Setidaknya seratus orang meninggal dunia terbawa arus deras air yang datang tiba-tiba. Banyak orang terperanjat dan bertanya bagaimana dengan tanggul-tanggul lain yang usianya bahkan ada yang jauh lebih tua dari Situ Gintung. Menteri PU sendiri mengakui bahwa banyak tanggul lain yang seusia dan kondisinya kurang lebih sama dengan Situ Gintung. Ini tentu harus menjadi perhatian. Bagaimana seharusnya kita merawat situ yang sebagian besar adalah peninggalan Belanda. Situ sama saja dengan manusia atau kendaraan, semakin lanjut usianya semakin butuh perawatan. Pertanyaannya memang apakah kita sudah memberikan perhatian yang optimal terhadap situ-situ yang berusia lanjut itu ? Apakah tubuh kolam yang terbuat dari tanah itu, masih cukup kuat untuk menahan tekanan air yang jumlahnya makin banyak ?

Pelajaran dari jebolnya Tanggul Situ Gintung Apalagi kapasitas situ tersebut semakin berkurang akibat sedimentasi yang meningkat. Akibatnya permukaan air tentu semakin meninggi dan ini justru menambah masalah . Belum lagi perubahan struktur yang diakibatkan permukaan tanah cenderung menurun, karena semakin lama kandung air di tanah cenderung semakin menurun. Ini semua butuh perawatan.

Sama dengan bangunan lama lainnya di Indonesia, karena dibuat dijaman penjajahan maka kebanyakan Situ di Indonesia mengadopsi gaya (style) yang sama dengan tanggul di Belanda. Baik dalam segi bentuk maupun strukturnya. Untuk itu untuk memahami karakter dari tanggul-tanggul tersebut ada baiknya kita melihat pengalaman negeri Kincir Anggin tersebut dalam memperlakukan tanggul yang mereka miliki. Tahun 1953,di Belanda pernah mengalami bencana akibat jebolnya tanggul. Korbannya jauh lebih besar, ribuan nyawa manusia melayang. Jika Situ Gintung jebol akibat jumlah hujan yang berlebihan, maka jebolnya tanggul di Belanda disebabkan oleh badai Laut Utara. Bagi Belanda , kejadian ini menjadi pengalaman berharga. Mulai saat itu pemerintah setempat berinisiatif untuk melakukan perbaikan pada keseluruhan sistim pengelolaan air dan pertahanan lautnya (sea defence). Proyek Delta Werken, demikian nama yang mereka berikan untuk proyek prestisius itu. Mulai saat itu pula mereka melakukan pengawasan dan perawatan yang ketat terhadap tanggul-tanggul milik mereka. Menyadari semakin banyaknya situ buatan Belanda yang berusia tua maka kita perlu melakukan pengawasan dan perawatan tanggul milik kita, agar tragedi Situ Gintung tak terulang kembali. Secara teknis situ yang berusia tua harus dilakukan pengecekan secara visual setiap satu atau dua tahun sekali. Pengecekan harus dilakukan oleh pengawas tanggul (dike inspector), yang sudah mendapatkan pelatihan. Dalam inspeksi visual semacam ini yang perlu perhatian khusus adalah tinggi muka air - apakah air sering melimpas- , kondisi tanggul serta bangunan yang ada pada tanggul terutama saluran pelimpah (spill way). Hubungan antara spill way dan tanggul tanah perlu diperhatikan, karena air sering menyelinep diantara spill way dan tanggul tanah. Karena hal ini bisa menjadi pemicu runtuhnya tanggul. Permukaan tanggul juga harus menjadi perhatian. Sebaiknya rumput hijau ditanam di permukaan lereng tanggul untuk mencegah erosi. Akan tetapi, perlu juga diperhatikan adalah pepohonan yang berakar dalam harus disingkirkan dari tanggul, karena risiko tumbang dan tercabutnya akar akan mengurangi kekompakan tanggul. Disamping itu akar pohon yang membusuk memberikan ruang untuk dilalui air,

ILWI Buletin No 03-2009

akibatnya jika ruangan itu semakin besar maka akan lebih banyak air yang bisa melewatinya dan ini sangat berbahaya.

Situ Pedongkelan dengan tanggul yang cukup curam Perhatian juga diberikan kepada area di sekitar tanggul. Di sekitar tanggul tidak boleh ada rumah dan bangunan, maka ketika dilakukan inspeksi dicatat juga perubahan penggunaan tanah disekitar tanggul atau

yang menempel di tanggu. Selanjutnya dibuat rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk membersihkan wilayah itu. Hasil inspeksi ini, perlu disosialisasikan kepada masyarakat terutama yang berada di sekitar tanggul, agar mereka tahu apa yang harus diperbuat. Selain pengawasan tahunan seperti yang disebutkan di atas, perlu juga dilakukan general check up, setiap lima tahun sekali. Ini dilakukan untuk meneliti ulang secara detail, kekuatan komponenkomponen tanggul. Berapa besar perubahan faktor luar terhadap kekuatan tanggul perlu dihitung kembali. Untuk hal ini tak cukup dilakukan oleh pengawas tanggul tapi harus dilakukan oleh orang-orang yang memang ahli dibidang ini. Jika tanggul sudah terlanjur dalam keadaan kritis, tak ada pilihan lain kecuali melakukan rehabilitasi atau bahkan rekonstruksi tanggul. Bagaimanapun juga situ tak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Masyarakat dan pemangku kepenting lain juga harus memberikan perhatian, untuk itu mari sama-sama merawat situ. Jangan sampai kejadian yang menimpa Situ Gintung Terulang kembali.

Sekilas Berita Dalam Gambar

Diskusi mengenai Tata Kelola Air pada pertemuan REI DKI 30 April 2009 yang menghadirkan pembicara Kepala Dinas PU DKI Budi Widiantoro, Kepala BPLHD, diwakili Rusman serta praktisi Sawarendro dengan moderator Adrianto P Adhi dari REI/PT Summarecon

ILWI Buletin No 03-2009

Jakarta Pilot Dredging Project


Untuk pertama kali Jakarta mengeruk sungai-sungainya dengan menggunakan Buldozer Terapung. Teknologi ini memudahkan melakukan pengerukan sungai-sungai di Jakarta. Efektif untuk saluran-saluran yang berada di kawasan padat penduduk..

Drum separator untuk memisahkan sedimen dengan sampah

FloatingBullozer besar

excavator di pinggir saluran

prosesmemuat sedimen kedalam truk tempat keluar sedimen setelah prosespenyaringan

FloatingBullozer kecil

prosesmenumpahkankan sedimen dari truk dilokasi pembuangan excavator di atas jembatan

Jakarta Pilot Dredging Project merupakan salah satu bantuan teknis dari pemerintah Belanda kepada Pemerintah Indonesia, khususnya untuk Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta, dalam penanganan masalah banjir di ibu kota. Dalam proyek ini pemerintah Belanda memberikan bantuan berupa dua buah floating bulldozer dan 1 buah drum sieve separator. Disamping itu juga diberikan pelatihan bagi operator untuk pengoperasian alat, serta pelatihan dalam perencanaan dan pengawasan suatu perkerjaan pengerukan (dredging work). Pelatihan dilakukan secara langsung di lapangan maupun pelatihan teknis di kantor. Proyek yang merupakan proyek percontohan (Pilot Project) ini, dikerjakan mulai September 2008 sampai dengan Maret 2009. Mengambil lokasi di Saluran Kali Mati dan Kali Pademangan di Kel. Pademangan Barat, Kec. Pademangan-Jakarta Utara. Setelah proyek ini selesai Pemda DKI akan melakukan pengerukan dengan metoda yang sama di saluransaluran lain di Jakarta. Sistem pengerukan ini merupakan yang pertama kali dilakukan di Indonesia, walaupun di negeri asalnya Belanda telah mulai dilakukan sekitar 20 tahun yang lalu. Sesuai dengan namanya Floating Bulldozer (FB) yang berarti buldoser terapung, alat ini digunakan
ILWI Buletin No 03-2009

untuk mendorong material sedimen dari dasar saluran kearah lokasi di saluran yang terjangkau oleh excavator. FB bergerak maju dan mundur dengan menggunakan tali baja dan penggulungnya. Dengan mengendorkan penggulung tali belakang dan menggulung tali depan maka alat ini bergerak mendorong lumpur kedepan, dan setelah itu alat ini akan mundur dengan cara yang sebaliknya. Kedua tali baja tersebut dihubungkan ke pohon, patok beton atau alat lain yang cukup kuat di pinggir saluran. Dengan plat (blade) didepan FB bisa memotong lapisan sedimen didasar saluran dan mendorongnya dengan jarak efektif sekitar 250m. Tali depan berukuran lebih besar karena berfungsi untuk mendorong lumpur/sedimen, sedangkan tali belakang lebih kecil karena hanya berfungsi untuk menarik FB dalam keadaan kosong. Dibagian belakang dilengkapi dengan pengeruk berukuran kecil yang berguna sebagai kemudi untuk mengatur arah pergerakan perahu serta dapat juga digunakan untuk mengeruk material yang agak keras. Selain itu alat ini dilengkapi dengan baling-baling seperti layaknya perahu, yang biasa digunakan untuk membantu pergerakan seperti memutar balik atau merapatkan perahu ke pinggir saluran.

Alat ini terbukti bekerja cukup efektif, terutama untuk saluran di lokasi-lokasi yang padat penduduk dimana sedimen tidak bisa diambil dengan alat secara langsung dari pinggir saluran. Dengan sistem ini pengerukan dapat dilakukan tanpa merusak tanaman atau pohon yang ada disepanjang saluran, karena proses bongkar muat sedimen dilakukan disuatu lokasi kosong atau diatas jembatan yang telah dipilih dan disurvey sebelumnya. Pengerukan dibawah jembatanpun dapat dilakukan , asal jembatan tersebut masih mempunyai ruang bebas sekitar 50cm diatas air, sehingga FB dan operatornya dapat bergerak dibawahnya. Proses pengerukan adalah sebagai berikut seperti yang dapat dilihat pada gambar. - FB bertugas untuk mendorong lumpur disaluran sampai ke lokasi excavator. Lokasi dapat dilakukan diarea kosong dipinggir saluran atau diatas jembatan yang memungkinkan excavator dapat bekerja. FB yang besar bekerja efektif untuk saluran dengan lebar sekitar 8 atau 10m, sedangkan FB kecil bekerja di saluran dengan lebar sekitar 2m. - Excavator mengabil sedimen yang telah dikumpulkan untuk kemudian dimuat ke dalam truk - Truk-truk tersebut akan mengangkut material ke suatu tempat pembuangan yang telah ditentukan. Truk-truk ini telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga kedap air, sehingga lumpur yang tercampur dengan air tidak akan menetes atau tumpah dalam perjalanan.

Ditempat pembuangan akan dioperasikan satu excavator untuk menaruh lumpur kedalam drum separator. Dengan drum separator akan dipisahkan antara sampah dengan material material sedimennya.

Hal penting yang harus diperhatikan dalam pekerjaan ini adalah perencanaan dari perencana kerja (work planner). Work planner harus melakukan inventarisasi terlebih dahulu tentang halangan-halangan yang mungkin mungkin akan menghambat pekerjaan dan menyiapkan semua fasilitas untuk menunjang pekerjaan. Mereka harus terlebih dahulu menyiapkan dan memilih lokasi untuk bongkar muat, tempat untuk menambatkan angkor, mengatur lalu lintar yang mungkin terganggu ataupun koordinasi dengan instansi lain seperti PLN, Telkom ataupun PDAM yang banyak mempunyai fasilitas di atas saluran yang akan mengganggu pekerjaan. Sebelum suatu ruas saluran selesai dibersihkan, Work Planner harus telah menyiapkan semua prasarana untuk pengerukan di ruas berikutnya. Pelatihan operator Floating Buldozer telah diikuti oleh sekitar 8 operator dari DKI yang berasal dari PU propinsi dan wilayah yang dilatih oleh dua operator dari Belanda. Operaor-operator tersebut diharapkan dapat mengoperasikan alat ini untuk pekerjaan pengerukan dilokasi lain setelah proyek ini selesai. Dedi Waryono, bekerja di salah satu konsultan asing , anggota tim Pilot Dredging

ILWI Buletin No 03-2009

Upaya Strategis Mengelola Lingkungan


Untuk mengembangkan Pantai Utara Jakarta, Pemda DKI harus serius memperhatikan dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Pengalaman menunjukan masalah lingkungan jarang menjadi pertimbangan utama dalam setiap upaya pengembangan kota.

Jakarta sekarang jauh berubah dibandingkan tiga puluhan tahun yang lalu, pembangunan fisik dan pengembangan kota merebak hingga ke sudut-sudut wilayah. Saat awal menggenjot pembangunan di tahuntahun pertama orde baru, pembangunan yang dilakukan belum terlihat dampaknya terhadap lingkungan. Belakangan, semakin lama masyarakat semakin khawatir akan daya dukung alam sebagai akibat proses pembangunan yang terus dipacu. Permasalahan semakin banyak, laju urbanisasi dan ekonomi yang tinggi ternyata memberi efek langsung pada lingkungan. Aksi-aksi kelompok dan perorangan terus dilakukan untuk mengelola setiap jengkal tanah di ibukota. Meski ada yang mengerti, tapi tak sedikit pula warga yang sadar bahwa pengembangan yang mereka lakukan memberi sumbangan kepada kerusakan lingkungan. Koridor hukum dan perencanaan kota yang ada, kalah cepat dengan irama pembangunan yang dilakukan penduduk. Warga tak mampu menggukur gerakannya agar selaras dengan kebutuhan lingkungan. Di Indonesia Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta adalah kota yang paling sulit untuk mengatasi kerusakan dampak lingkungan akibat cepatnya pembangunan.

Selama ini memang ada keharusan melakukan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), sebelum pelaksanaan proyek yang dianggap berpotensi mengakibatkan kerusakan lingkungan. Tapi dalam kenyataanyataan pengaruh AMDAL ini hanya bersifat parsial dan terbatas pada proyek dan lingkungan disekitarnya saja. Akibat yang ditimbulkan dalam skala yang lebih luas sering lolos begitu saja, efeknya akan terakumulasi seiring dengan pertambahan waktu. Pengembangan Jakarta ke segala penjuru, memang mengharuskan semua para pemangku kepentingan untuk memberi perhatian pada dampak yang diakibatkannya. Termasuk pengambangan yang akan dilakukan di daerah pantai utara. Pesatnya pembangunan DKI Jakarta ke arah utara, membuat Pemda DKI perlu memperhatikan secara khusus dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkannya. Pertengahan April 2009 lalu, bertempat di Gedung Balaikota, telah diadakan Seminar Awal Kajian Lingkungan hidup Strategis (KLHS) Pantura Teluk Jakarta. KLHS merupakan hal baru dan dilakukan untuk menjawab kebutuhan yang tidak bisa dicakup oleh AMDAL. Kajian semacam ini cakupannya lebih luas hingga mencapai level kebijakan.

ILWI Buletin No 03-2009

Anda mungkin juga menyukai