+ AH ROOH + A
A
+ ROO
A
+ A
Gambar 3.1 Reaksi penghambatan antioksidan antar radikal antioksidan
(Hamilton, 1983)
Konsentrasi antioksidan yang ditambahkan dapat berpengaruh pada laju
oksidasi. Pada konsentrasi tinggi, aktivitas antioksidan grup fenolik sering lenyap
bahkan antioksidan tersebut menjadi prooksidan (Gambar 3.2). Pengaruh jumlah
konsentrasi pada laju oksidasi tergantung pada struktur antioksidan, kondisi dan
sampel yang akan diuji (Gordon, 1990).
Produk non radikal
AH + O2 > A* + HOO*
AH + ROOH > RO* + H2O + A*
Gambar 3.2 Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi
(Gordon, 1990)
Pada umumnya, antioksidan mengandung struktur inti yang sama yaitu
mengandung cincin benzena tidak jenuh disertai gugus hidroksil atau gugus
amino. Antioksidan digolongkan atas fenol, amin dan amino-fenol (Cahyadi,
2006).
Antioksidan dapat berperan sebagai inhibitor atau pemecah peroksida.
Pada umumnya antioksidan dapat menghentikan rantai reaksi oksidatif sebagai
berikut: (1) dengan donasi elektron pada radikal peroksi, (2) dengan donasi atom
hidrogen pada radikal peroksi, (3) dengan adisi pada radikal peroksi sebelum atau
sesudah terjadi oksidasi parsial, (4) dengan metode lain yang belum diketahui dan
memungkinkan dan berkaitan dengan radikal hidrokarbon bukannya radikal
peroksi (Cahyadi, 2006).
2.4.2 Antioksidan Alami
Berdasarkan sumbernya, antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu
antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Antioksidan alami merupakan
antioksidan yang diperoleh dari hasil ekstrak bahan alami. Antioksidan alami
dalam makanan dapat berasal dari (a) senyawa antioksidan yang sudah ada dari
satu atau dua komponen makanan, (b) senyawa antioksidan yang terbentuk dari
reaksi-reaksi selama proses pengolahan, (c) senyawa antioksidan yang diisolasi
dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan
(Pratt, 1992).
Menurut Pratt dan Hudson (1990), kebanyakan senyawa antioksidan yang
diisolasi dari sumber alami adalah berasal dari tumbuhan. Tumbuhan Angiosperm
memiliki kira-kira 250.000 sampai 300.000 spesies dan dari jumlah ini kurang
lebih 400 spesies yang telah dikenal dapat menjadi bahan pangan manusia.
Senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik
atau polifenolik. Senyawa antioksidan alami polifenolik adalah multifungsional
dan dapat bereaksi sebagai (a) pereduksi (b) penangkap radikal bebas(c) pengkelat
logam (d) peredam terbentuknya singlet oksigen. Senyawa fenolik mencakup
sejumlah senyawa yang umumnya mempunyai sebuah cincin aromatik dengan
satu atau lebih gugus hidroksil (OHO), karboksil (COOH), metolenil (-O-CH
3
)
dan sering juga struktur cincin bukan aromatik. Senyawa fenol cenderung larut
dalam air, karena paling sering terdapat dalam bentuk senyawa glukosida dan
biasanya terdapat dalam rongga sel. Adanya ion logam, terutama besi dan
tembaga, dapat mendorong terjadinya oksidasi lemak. Ion-ion logam ini
seringkali diinaktivasi dengan penambahan senyawa pengkelat dapat juga disebut
bersifat sinergistik dengan antioksidan karena menaikkan efektivitas antioksidan
utamanya (Pratt dan Hudson, 1990).
Vitamin C (Asam Askorbat)
Vitamin C sebagai antioksidan berfungsi untuk mengikat oksigen sehingga
tidak mendukung reaksi oksidasi. Namun vitamin C bersifat tidak stabil, bila
terkena cahaya dan pada suhu tinggi mudah mengalami kerusakan. Vitamin C
selain sebagai senyawa antioksidan tetapi juga bersifat prooksidan (Cahyadi,
2006).
Vitamin C adalah kristal padat, berwarna putih, tidak berbau, mencair pada
suhu 190-192C. Asam askorbat berbentuk kristal stabil di udara sampai bertahun-
tahun, tetapi dalam bentuk larutan mudah teroksidasi dan ketidakstabilannya
meningkat dengan kenaikan pH larutan. Asam askorbat mudah larut dalam air (1 g
dalam 3 ml air), etil alkohol (1 g dalam 50 ml etil alkohol) dan gliserol (1 g dalam
1000 ml gliserol), tidak larut dalam benzene, eter, petroleum eter dan senyawa
organik lainnya. Larutan asam askorbat pada pH kurang dari 4,5 mempunyai
absorpsi maksimum pada panjang gelombang 265 nm dan sedikit pada panjang
gelombang 350 nm dan 400 nm (Cahyadi, 2006).
Adapun struktur kimia asam askorbat (Cahyadi, 2006):
OH
OH
HO
O
O
HO
Gambar 3.3 Struktur kimia asam askorbat (Cahyadi, 2006).
Vitamin C sebagai sumber antioksidan memiliki manfaat bagi tubuh antara
lain membantu menjaga pembuluh-pembuluh kapiler, meningkatkan penyerapan
asupan zat besi, menghambat produksi nitrosamin, zat pemicu kanker dan
memperbaiki sistem kekebalan tubuh. Senyawa yang digunakan sebagai
pembanding (kontrol positif) dalam uji aktivitas penangkapan radikal hidroksil
dalam penelitian ini adalah vitamin C (Cahyadi, 2006).
2.4.3 Antioksidan Sintetik
Antioksidan sintetik merupakan antioksidan yang diperoleh dari hasil
sintesis reaksi kimia. Diantara beberapa contoh antioksidan sintetik yang diijinkan
untuk makanan, ada empat antioksidan yang penggunaannya meluas dan
menyebar di seluruh dunia, yaitu Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi
Toluen (BHT), propil galat, Tert-Butil Hidoksi Quinon (TBHQ) dan tokoferol.
Antioksidan tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara
sintesis untuk tujuan komersial (Trilaksani, 2003).
BHT (Butil Hidroksi Toluen)
BHT sebagai salah satu antioksidan sintetik. Adapun sifat-sifat antioksidan
BHT : mempunyai rumus kimia C
15
H
24
O, berat molekul 220,36, titik lebur 69-
70C, sinergis dengan BHA dan galat. (Hamilton dan Allen, 1994).
Adapun struktur dari BHT (Cahyadi, 2006) :
CH
3
C(CH
3
)
3
(H
3
C)
3
C
OH
Gambar 3.4 Struktur BHT (Butyl Hydroxy Toluen) (Cahyadi, 2006).
Menurut Bennion (1980), senyawa fenolat berfungsi sebagai sumber
hidrogen dari group-group OH dalam posisi orto/para yang dapat menghentikan
reaksi berantai yang terjadi dalam autooksidasi. Reaksi berantai dari autooksidasi
dimulai saat mulai terbentuk radikal bebas. Antioksidan dari tipe fenolik
mensuplai H untuk bereaksi dengan radikal bebas sewaktu terbentuk pertama kali
dan memutuskan reaksi berantai yang terjadi sebelum produk akhir terbentuk.
Senyawa yang terbentuk pada struktur anti fenolik setelah pelepasan dari H adalah
stabil, tidak berbau dan tak berbahaya dalam jumlah yang tidak terlalu banyak.
2.5 Pengujian Aktivitas Antioksidan dengan metode DPPH
Penangkap radikal bebas (radical scavenger) merupakan mekanisme
utama antioksidan bereaksi dalam makanan. Salah satu cara untuk menguji
aktivitas suatu senyawa sebagai zat antioksidan adalah dengan mereaksikannya
dengan reagen DPPH secara spektrofotometri. Penangkapan radikal DPPH
merupakan radikal sintesis dalam pelarut organik polar seperti metanol atau etanol
pada suhu kamar. Metode DPPH tidak spesifik untuk komponen antioksidan
tertentu, tetapi untuk semua senyawa antioksidan dalam sampel. Pengukuran
kapasitas total antioksidan akan membantu memahami sifat fungsional suatu
makanan (Prakash, 2001).
Metode DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrasil) digunakan secara luas untuk
menguji kemampuan senyawa yang berperan sebagai pendonor elektron atau
hidrogen. Metode DPPH merupakan metode yang dapat mengukur aktivitas total
antioksidan baik dalam pelarut polar maupun nonpolar. Beberapa metode lain
terbatas mengukur komponen yang larut dalam pelarut yang digunakan dalam
analisa. Metode DPPH mengukur semua komponen antioksidan, baik yang larut
dalam lemak ataupun dalam air (Prakash, 2001).
Metode DPPH dipilih karena sederhana, mudah, cepat dan peka serta
hanya memerlukan sedikit sampel. DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrasil) adalah
senyawa radikal bebas stabil kelompok nitrit oksid. Senyawa ini mempunyai ciri-
ciri padatannya berwarna ungu kehitaman, larut dalam pelarut DMF atau
etanol/metanol, titik didih 127-129C, panjang gelombang maksimal sebesar 517
nm, berat molekul 394,3 g/mol, rumus molekul C
18
H
12
N
5
O
6
(Prakash, 2001).
Radikal bebas DPPH yang memiliki elektron tidak berpasangan
memberikan warna ungu dan menghasilkan absorbansi maksimum pada panjang
gelombang 517 nm. Warna akan berubah menjadi kuning saat elektron tidak
berpasangan. Pengurangan intensitas warna yang terjadi berhubungan dengan
jumlah elektron DPPH yang menangkap atom hidrogen. Sehingga peningkatan
Pengurangan intensitas warna mengindikasikan peningkatan kemampuan
antioksidan untuk menangkap radikal bebas (Prakash, 2001). Dengan kata lain,
daya antioksidan diperoleh dengan menghitung jumlah pengurangan intensitas
warna ungu DPPH yang sebanding dengan pengurangan konsentrasi larutan
DPPH melalui pengukuran absorbansi larutan uji (Prakash, 2001).
DPPH yang bereaksi dengan antioksidan akan menghasilkan bentuk
tereduksi difenilpikrilhidrazin dan radikal antioksidan (Prakash, 2001). Reaksi
antara antioksidan dengan molekul DPPH (Prakash, 2001):
Gambar 3.5 Reaksi antara antioksidan dengan molekul DPPH (Prakash, 2001)
Aktivitas antioksidan dapat dinyatakan dengan satuan % aktivitas. Nilai ini
diperoleh dengan rumus (Molyneux, 2003):
% Aktivitas anti radikal =
kontrol absorbansi
x sampel kontrol absorbansi 100 ) (
.............(2.2)
Absorbansi kontrol yang digunakan dalam prosedur DPPH ini adalah
absorbansi DPPH, sedangkan blanko yang digunakan adalah etanol 95%.
Berdasarkan rumus tersebut, semakin besar tingkat diskolorisasi (absorbansi
semakin kecil) maka semakin tinggi nilai aktivitas penangkapan radikal bebas
(Molyneux, 2003).
Absorbansi kontrol yang digunakan dalam prosedur DPPH ini adalah
absorbansi DPPH sebelum ditambahkan sampel. Kontrol digunakan untuk
mengkonfirmasi kestabilan sistem pengukuran. Nilai Absorbansi kontrol dapat
berkurang dari hari ke hari dikarenakan kehilangan aktivitasnya saat dalam stok
larutan DPPH, tetapi nilai absorbansi kontrol tetap dapat memberikan baseline
untuk pengukuran saat itu. Apabila tidak ada perubahan-perubahan nyata pada
nilai ini (seperti contoh, ketika mengulang pengukuran pada saat itu)
mengindikasikan bahwa sistem pengukuran tersebut (termasuk spektrofotometer
+ + RH R
atau fotometer) adalah sangat stabil. Kontrol juga berfungsi menjaga kekonstanan
total konsentrasi DPPH dalam serangkaian pengukuran.
2.6 Identifikasi Spektofotometer UV-Vis
Spektrofotometri merupakan suatu metode pengukuran yang mempelajari
interaksi antara atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik, berdasarkan
fakta bahwa substansi kimia secara selektif menghamburkan (scatter), menyerap
(absorb) atau mengemisi (emit) energi elektromagnetik pada panjang gelombang
yang digunakan dalan range ultraviolet (200-400 nm), sinar tampak (400-700 nm),
atau cahaya yang mendekati inframerah (700-800 nm). Namun sebagian besar
instrumen dioperasikan dalam range panjang gelombang sinar tampak (Khopkar,
1990). Spektrofotometer terdiri atas spektrometer untuk menghasilkan cahaya
dengan panjang gelombang terseleksi serta suatu fotometer yaitu piranti untuk
mengukur intensitas berkas cahaya monokromatik.
Warna merupakan pancaran cahaya yang mempunyai panjang gelombang
dan energi tertentu yang diteruskan ke retina mata, sehingga manusia/hewan dapat
mengidentifikasi warna dengan panjang gelombang masing-masing. Cahaya yang
diteruskan ke penglihatan mengakibatkan manusia dapat membedakan warna
yang terdapat dalam alam ini. Dalam firman Allah surat Faathir/35 ayat 27 :
`9 . < !.9 ! !>>! , , . !=. !9 !,>9 `>
"_, "`> #=. !9 , s
Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu
Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya.
dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka
macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat.(QS. 35:27).
Allah SWT menjelaskan dalam Al-Quran bahwa Allah SWT menciptakan
berbagai warna di alam semesta ini untuk membedakan satu sama lain. Sinar atau
cahaya merupakan penyebab timbulnya warna dari benda tertentu yang dapat
memantulkan cahaya dan diteruskan ke penglihatan. Allah SWT menjadikan
proses penglihatan berkaitan secara langsung dengan jatuhnya cahaya ke benda
itu, kemudian ditangkap oleh mata. Kata-kata garis putih dan merah (bidh wa
humur) yang beraneka macam warnanya merupakan fenomena alam yang sudah
terlebih dahulu diungkapkan dalam al-Quran, kemudian disempurnakan dengan
penemuan Isaac Newton pada tahun 1665 tentang spektrum cahaya tampak. Teori
spektrum cahaya semakin mantap dengan dibuktikannya ciri panjang gelombang
untuk masing-masing spektrum.
Bila cahaya jatuh pada suatu senyawa, maka sebagian dari cahaya tersebut
akan diserap oleh molekul-molekul sesuai dengan struktur dari molekul itu
sendiri. Setiap senyawa mempunyai tingkatan tenaga yang spesifik. Bila cahaya
mempunyai tenaga yang sama dengan perbedaan tenaga antara tingkatan dasar
dan tenaga tingkatan tereksitasi pada senyawa, maka elektron-elektron pada
tingkatan dasar dieksitasikan ke tingkatan tereksitasi, dan sebagian tenaga cahaya
yang sesuai dengan panjang gelombang ini diserap. Elektron yang tereksitasikan
melepaskan tenaga dengan proses radiasi panas dan kembali ke tingkatan dasar
asal (Sastrohamidjojo, 2001).
Prinsip penentuan spektrofotometer UV-Vis adalah aplikasi dari Hukum
Lambert-Beer, yaitu (Day and Underwood, 1999) :
A = - log T = - log It / Io = . b . C ...........................................(2.3)
Dimana : A = Absorbansi dari sampel yang akan diukur
T = Transmitansi
Io = Intensitas sinar masuk
It = Intensitas sinar yang diteruskan
= Koefisien ekstingsi
b = Tebal kuvet yang digunakan
C = Konsentrasi dari sampel
Ada tiga macam distribusi elektron di dalam suatu senyawa organik secara
umum, yang selanjutnya dikenal sebagai orbital elektron pi (), sigma () dan
elektron non bonding (n). apabila pada molekul tersebut dikenakan radiasi
elektromagnetik maka akan terjadi eksitasi elektron ke tingkat yang lebih tinggi
yang dikenal sebagai orbital elektron anti bonding (Hayati, 2007).
Kebanyakan penerapan spektrofotometri ultraviolet dan cahaya tampak
(UV-Vis) pada senyawa organik didasarkan pada transisi n-* ataupun -* dan
karenanya memerlukan kehadiran gugus kromofor dalam molekul itu. Transisi ini
terjadi dalam daerah spektrum (sekitar 200 hingga 700 nm) yang praktis untuk
digunakan dalam eksperimen (Day and Underwood, 1999).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksakan di Laboratorium Kimia Universitas Islam
Negeri Malang, Laboratorium Biologi dan Teknologi (BIOTEK) Universitas
Muhammadiyah Malang dan Laboratorium Teknologi Hasil Pangan (THP)
Universitas Brawijaya pada bulan Oktober 2008-Januari 2009.
3.2 Bahan-Bahan Penelitian
3.2.1 Bahan Sampel
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alga merah jenis
Eucheuma spinosum di dapat dari laut mayangan Probolinggo dan Gracillaria
verrucosa yang dikembangbiakkan di tambak daerah Kraksaan Probolinggo
karena tingkat toleransi hidup yang tinggi sampai pada salinitas 15 per mil yang
berumur 49 hari (7 minggu).
3.2.2 Bahan Kimia
Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol 95%,
aquades, reagen DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrasil), vitamin C, BHT, natrium
hidroksida 2%, KCl 2,5%, metanol 90%, asam sulfat 10% dan NaCl 10%.
3.2.3 Alat-Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan meliputi seperangkat alat gelas, blender, kertas
saring Whatman No. 40, kertas pH, timbangan analitik, spektrofotometer UV-Vis
Shimadzu 1700 pharmaspek, penangas air merk SABINCO L32, sentrifuge,
desikator, desikator vakum, inkubator, rotary evaporator, magnetic stirrer, plat
silica gel GF
254
dan penyaring vakum buchner.
3.3 Tahapan Penelitian
Adapun tahap penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Preparasi sampel
2. Penentuan kadar air
3. Ekstraksi karaginan dengan metode maserasi
4. Uji aktivitas antioksidan ekstrak kasar karaginan dengan metode DPPH
(1,1-difenil-2-pikrilhidrasil) dengan pembanding vitamin C dan BHT
5. Fraksinasi karaginan dengan larutan KCl 2,5%
6. Pemurnian karaginan dengan larutan H
2
O
2
30%
7. Pemisahan karaginan dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
a. Kromatografi Lapis Tipis Analitik (KLTA)
b. Kromatografi Lapis Tipis Preparatif (KLTP)
8. Uji aktivitas antioksidan fraksi aktif karaginan dengan metode DPPH (1,1-
difenil-2-pikrilhidrasil) dengan pembanding vitamin C dan BHT
9. Analisis Data
3.4 Rancangan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antioksidan dari
karaginan dalam alga merah jenis Eucheuma spinosum dan Gracillaria verrucosa
dengan pembanding BHT serta vitamin C. Pada pengujian aktivitas antioksidan
menggunakan variasi konsentrasi (C) yaitu :
C
1
= 1 ppm, C
10
= 250 ppm
C
2
= 5 ppm, C
11
= 300 ppm
C
3
= 10 ppm, C
12
= 350 ppm
C
4
= 25 ppm, C
13
= 500 ppm
C
5
= 50 ppm, C
14
= 750 ppm
C
6
= 75 ppm, C
15
= 1000 ppm
C
7
= 100 ppm, C
16
= 1100 ppm
C
8
= 150 ppm, C
17
= 1200 ppm
C
9
= 200 ppm
Beberapa konsentrasi tersebut akan diulang sebanyak 3 ulangan. Berdasarkan
variasi konsentrasi tersebut, maka akan diperoleh konsentrasi (C) terbaik pada
masing-masing bahan yang diuji.
Pada penelitian ini dilakukan fraksinasi karaginan dengan larutan KCl
2,5%, pemurnian karaginan dengan larutan H
2
O
2
30% dan pemisahan karaginan
dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) untuk mengetahui jenis karaginan yang
memberikan aktivitas antioksidan terbaik dengan menggunakan konsentrasi
terbaik.
3.5 Cara Kerja
3.5.1 Preparasi Sampel
Alga merah jenis Eucheuma spinosum dan Gracillaria verrucosa
sebanyak 300 gram dicuci dengan air, kemudian dihaluskan dengan blender,
disaring lalu dikeringkan di udara terbuka sampai diperoleh berat konstan dan
ditimbang (Modifikasi Bawa, dkk, 2007).
3.5.2 Penentuan Kadar Air Secara Thermogravimetri (AOAC, 1984)
Sebanyak 5 gram sampel dimasukkan dalam cawan porselen, kemudian
dimasukkan dalam oven dan dikeringkan pada suhu 105C selama 24 jam. Lalu
didinginkan dalam desikator dan ditimbang sehingga diperoleh berat konstan.
Dihitung kadar air menggunakan rumus (AOAC, 1984):
Kadar air = % 100
) (
x
a b
c b
(AOAC, 1984)
Dimana : a = bobot cawan kosong
b = bobot sampel + cawan sebelum dikeringkan
c = bobot cawan + sampel setelah dikeringkan
3.5.3 Ekstraksi Karaginan dengan Metode Maserasi (Bawa, 2007)
Alga merah jenis Eucheuma spinosium dan Gracillaria verrucosa kering
ditimbang sebanyak 50 gram, lalu ditambahkan 200 mL aquades dan larutan
natrium hidroksida 2% sampai di dapatkan pH 8,5. Selanjutnya dipanaskan dalam
penangas air sampai temperatur 80C. Temperatur dipertahankan sambil diaduk
selama 90 menit. Kemudian disaring dalam keadaan panas melalui kertas saring
Whatman No. 41 dengan bantuan penyaring vakum buchner. Selanjutnya
ditambahkan etanol 95% sebanyak 300 mL ke dalam filtrat sambil diaduk lalu
didiamkan semalam. Setelah terbentuk endapan, seluruh endapannya disaring
dengan kertas saring. Endapan tersebut ditambahkan etanol 95% sebanyak 200
mL, sambil diaduk kemudian didiamkan semalam. Selanjutnya disaring melalui
kertas saring yang pertama. Kemudian kertas saring dikeringkan beserta endapan
di dalam desikator. Setelah beberapa jam, kertas saring tersebut ditimbang sampai
diperoleh bobot yang konstan. Ekstrak yang dihasilkan dihitung nilai
rendemennya (Khopkar, 2003) :
% Rendemen = % 100 x
sampel berat
ekstrak berat
(Khopkar, 2003)
Kemudian ekstrak karaginan ini selanjutnya digunakan untuk uji aktivitas
antioksidan, difraksinasi dengan larutan KCl 2,5%, dimurnikan dengan larutan
H
2
O
2
serta dipisahkan karaginan dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT).
3.5.4 Uji Aktivitas Antioksidan Hasil Ekstraksi Dengan Metode DPPH (Blois,
1958 dalam Molyneux, 2004)
Ekstrak pekat hasil perlakuan (3.5.3) dilarutkan dalam etanol 95% 10 mL
dengan variasi konsentrasi 100, 150, 200, 250, 300 dan 350 ppm. Kemudian
masing-masing konsentrasi diambil 3 mL dan ditambahkan DPPH sebanyak 1 mL
dengan konsentrasi 0,2 M. Setelah itu diinkubasi pada suhu 37C selama 30
menit. Kemudian diukur absorbansinya pada 517 nm. Perlakuan ini diulang
sebanyak 3 kali.
Aktivitas antioksidan dapat dinyatakan dengan satuan % aktivitas. Nilai ini
diperoleh dengan rumus (Molyneux, 2003):
% Aktivitas antiradikal =
kontrol Absorbansi
100% x sampel) Absorbansi - kontrol i (Absorbans
(Molyneux, 2003)
Blanko dibuat dengan cara yang sama tetapi tidak menggunakan ekstrak.
Sedangkan untuk pembanding dibuat dengan cara yang sama tetapi ekstrak diganti
dengan BHT dan vitamin C.
3.5.5 Fraksinasi dengan Larutan KCl 2,5% (Stancioff dan Stanley dalam
Hidayati, 2005)
Pada penelitian ini fraksinasi dilakukan dengan metode Stancioff dan
Stanley. Fraksinasi ini menggunakan larutan KCl 2,5 %. Sebanyak 5 gram serbuk
halus karaginan dimasukkan ke dalam gelas beaker 1 L dan ditambahkan dengan
500 mL larutan KCl 2,5%, diaduk dengan pengaduk magnet selama 1 jam dan
didiamkan dalam suhu kamar. Larutan kemudian diaduk kembali selama 1 jam
dengan pengaduk magnet dan disentrifuge dengan kecepatan 7500 rpm selama 15
menit pada suhu kamar. Endapan kemudian ditambah dengan 50 mL larutan KCl
2,5%, diaduk dan disentrifuge dengan kecepatan 7500 rpm selama 15 menit pada
suhu kamar dan disaring. Filtrat kemudian ditambahkan 800 mL aquades panas
dan disaring dengan kertas saring biasa, kemudian filtrat ditambah 20 mL larutan
NaCl 10%, diaduk dan dipekatkan dengan alat rotary evaporator. Filtrat
kemudian diendapkan dengan etanol 95% (1:2,5), kemudian disaring, diperas,
dikeringkan dan dihaluskan.
3.5.6 Pemurnian Karaginan dengan larutan H
2
O
2
30% (Hidayati, 2005)
Sebanyak 5 gram serbuk karaginan dilarutkan dalam 250 mL aquades,
selanjutnya ditambahkan larutan hidrogen peroksida 30% tetes demi tetes
sebanyak 3 mL sambil diaduk sampai larutannya tak berwarna, kemudian
diendapkan dengan menggunakan etanol 95% (1:2,5). Endapan dikeringkan di
atas waterbath sehingga diperoleh serbuk karaginan warna putih.
3.5.7 Pemisahan Karaginan dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
3.5.7.1 KLT Analitik (Bawa, 2007)
Pemisahan dengan KLT analitik menggunakan plat silika gel GF
254
dengan ukuran 1 x 10 cm
2
yang sudah diaktifkan dengan pemanasan dalam oven
pada suhu 30-40
Dimana : a = bobot cawan kosong
b = bobot sampel + cawan sebelum dikeringkan
c = bobot cawan + sampel setelah dikeringkan
- Alga merah Eucheuma spinosum
Kadar air = % 100
) (
x
a b
c b
= % 100
234 , 10 239 , 13
) 878 , 12 239 , 13 (
x
= % 100
005 , 3
361 , 0
x
= 12,01%
- Alga merah Gracillaria verrucosa
Kadar air = % 100
) (
x
a b
c b
= % 100
300 , 10 287 , 13
) 926 , 12 287 , 13 (
x
= % 100
987 , 2
361 , 0
x
= 12,08%
Lampiran 4. Perhitungan rendemen karaginan hasil ekstraksi alga merah
- Berat kertas saring untuk Alga merah Eucheuma spinosum = 0.5892 gram
- Berat kertas saring untuk Alga merah Gracillaria verrucosa = 0.5863 gram
- Alga merah Eucheuma spinosum
Rendemen =
50
5 . 17
X 100%
= 35%
- Alga merah Gracillaria verrucosa
Rendemen =
50
7 . 12
X 100%
= 25.4%
Lampiran 5. Data hasil pengukuran aktivitas antioksidan metode DPPH
Adapun rumus % Aktivitas anti radikal =
kontrol absorbansi
x sampel kontrol absorbansi 100 ) (
=
= 13.24 %
Tabel 1 Hubungan antara kadar ekstrak kasar alga merah Eucheuma spinosum
dengan aktivitas antioksidan dengan metode DPPH
Eucheuma spinosum
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0 200 400 600 800 1000 1200
konsentrasi (ppm)
a
k
t
i
v
i
t
a
s
a
n
t
i
o
k
s
i
d
a
n
(
%
)
konsentrasi DPPH
(ppm)
Absorbansi sampel Aktivitas penangkap
radikal (%) I II III
1 2.1513 2.1587 2.1493 13.24
5 2.0592 2.0523 2.0466 17.29
10 1.7510 1.7569 1.7583 29.27
25 1.5253 1.5245 1.5317 38.46
50 1.3185 1.3286 1.3173 46.75
75 1.1690 1.1619 1.1632 53.07
100 1.0299 1.0300 1.0304 56.78
150 0.9753 0.9811 0.9887 60.44
200 0.7899 0.7901 0.7915 68.15
250 0.7281 0.7320 0.7452 70.38
300 0.5842 0.5850 0.5867 76.41
350 0.5355 0.5361 0.5406 78.34
500 0.4817 0.4793 0.4725 80.75
750 0.4097 0.4136 0.4152 83.37
800 0.4971 0.4925 0.4798 80.26
900 0.5824 0.5873 0.5807 76.54
1000 0.2164 0.2134 0.2081 71.28
1100 0.8865 0.8874 0.8816 64.33
1200 1.0314 1.0304 1.0297 58.48
2.4817
(
2.4817
2.1531 ) 100 x
Lanjutan lampiran 5
Tabel 2 Hubungan antara kadar ekstrak kasar alga merah Gracillaria verrucosa
dengan aktivitas antioksidan dengan metode DPPH
Gracillaria verrucosa
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 200 400 600 800 1000 1200
konsentrasi (ppm)
a
k
t
i
v
i
t
a
s
a
n
t
i
o
k
s
i
d
a
n
(
%
)
konsentrasi DPPH
(ppm)
Absorbansi sampel Aktivitas penangkap
radikal (%)
I II III
1 2.0890 2.0813 2.0754 12.08
5 2.0613 2.0675 2.0658 16.79
10 1.8905 1.8857 1.8943 23.83
25 1.6458 1.6473 1.6302 33.87
50 1.3058 1.3092 1.3175 47.18
75 1.1413 1.1484 1.1495 53.81
100 1.0349 1.0351 1.0365 58.27
150 0.9801 0.9828 0.9834 60.42
200 0.7910 0.7920 0.7954 68.05
250 0.7311 0.7350 0.7395 70.37
300 0.5903 0.5929 0.5931 76.14
350 0.5463 0.5471 0.5473 77.96
500 0.4639 0.4675 0.4518 81.24
750 0.3531 0.3472 0.3577 85.79
800 0.4415 0.4432 0.4404 82.20
900 0.6204 0.6254 0.6197 74.94
1000 0.1463 0.1415 0.1542 69.89
1100 0.8510 0.8553 0.8478 65.69
1200 1.0425 1.0432 1.0401 58.02
Lanjutan lampiran 5
Tabel 3 Hubungan antara kadar Vitamin C dengan aktivitas antioksidan dengan
metode DPPH
vitamin C
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0 200 400 600 800 1000 1200
konsentrasi (ppm)
a
k
t
i
v
i
t
a
s
a
n
t
i
o
k
s
i
d
a
n
(
%
)
konsentrasi DPPH
(ppm)
Absorbansi sampel Aktivitas penangkap
radikal (%) I II III
1 2.1802 2.1830 2.1793 12.12
5 2.0937 2.0922 2.0836 15.79
10 1.9612 1.9585 1.9608 21.01
25 1.7726 1.7754 1.7691 28.58
50 1.5823 1.5875 1.5743 36.28
75 1.4533 1.4582 1.4521 41.40
100 1.0230 1.0258 1.0259 58.70
150 0.9528 0.9751 0.9342 61.56
200 0.7748 0.7821 0.8068 68.25
250 0.7198 0.7209 0.7393 70.72
300 0.6025 0.6091 0.5788 70.93
350 0.5174 0.5227 0.5274 78.94
500 0.4214 0.4234 0.4185 83.03
750 0.7713 0.7754 0.7768 68.79
1000 1.0811 1.0783 1.0748 56.56
Lanjutan lampiran 5
Tabel 4 Hubungan antara kadar BHT dengan aktivitas antioksidan dengan
metode DPPH
BHT
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0 200 400 600 800 1000 1200
konsentrasi (ppm)
a
k
t
i
v
i
t
a
s
a
n
t
i
o
k
s
i
d
a
n
(
%
)
konsentrasi DPPH
(ppm)
Absorbansi sampel Aktivitas penangkap
radikal (%) I II III
1 2.0489 2.0375 2.0415 17.69
5 1.7518 1.7345 1.7902 29.13
10 1.6718 1.6137 1.5980 32.41
25 1.4708 1.4542 1.4962 40.62
50 1.2490 1.2713 1.2451 49.42
75 1.1931 1.1945 1.1976 51.84
100 1.0299 1.0300 1.0304 58.49
150 0.9753 0.9811 0.9887 60.44
200 0.7899 0.7901 0.7915 68.15
250 0.7281 0.7320 0.7452 70.38
300 0.5842 0.5850 0.5867 76.89
350 0.5355 0.5361 0.5406 77.34
500 1.0758 1.0692 1.0745 56.76
750 1.2232 1.2359 1.2267 50.49
1000 1.3591 1.3573 1.3435 45.47
Lampiran 6. Perhitungan nilai Rf masing-masing alga merah
Nilai Rf = Jarak yang digerakkan oleh senyawa dari titik asal
Jarak yang digerakkan oleh pelarut dari titik asal
Eluen metanol:air (5:1
v
v
)
- Nilai Rf isolat dari standar karaginan
Rf = = 0,74125 = 0,74 cm
- Nilai Rf isolat dari ekstrak serbuk alga merah Eucheuma spinosium
Rf = = 0,73625 = 0,74 cm
- Nilai Rf isolat dari ekstrak serbuk alga merah Gracillaria verrucosa
Rf = = 0,73875 = 0,74 cm
Eluen etanol:air (3:1
v
v
)
- Nilai Rf isolat dari standar karaginan
Rf = = 0,74875 = 0,75 cm
- Nilai Rf isolat dari ekstrak serbuk alga merah Eucheuma spinosium
Rf = = 0,75625 = 0,76 cm
- Nilai Rf isolat dari ekstrak serbuk alga merah Gracillaria verrucosa
Rf = = 0,76625 = 0,77 cm
5.89
8
5.91
8
5.93
8
6,05
8
6,13
8
5,99
8
Lampiran 7. Reaksi dugaan antara antioksidan (ekstrak karaginan, vitamin
C dan BHT) dengan molekul DPPH
Reaksi yang terjadi antara karaginan dengan DPPH adalah dimungkinkan
sebagai berikut:
Reaksi yang terjadi antara vitamin C dengan DPPH adalah dimungkinkan
sebagai berikut:
OH
OH
HO
O
O
HO
OH
OH
HO
O
O
O
O
OSO
3
-
H
H
H O
H
H
O H
H
O
OH
O
H
O
O
O
H
H
H
C H
2
O
OSO
3
-
H
H
H O
H
H
O H
H
O
O H
O
H
O
O H
O
H
H
H
C H
2
+
Radikal DPPH
DPPH tereduksi
+
Radikal DPPH Vitamin C
DPPH tereduksi
karaginan
+
+
Radikal karaginan
Radikal vitamin C
Lanjutan lampiran 7
Reaksi yang terjadi antara BHT dengan DPPH adalah dimungkinkan
sebagai berikut:
CH
3
C(CH
3
)
3
(H3C)3C
OH
CH
3
C(CH
3
)
3
(H
3
C)
3
C
O
+
Radikal DPPH
BHT
+
DPPH tereduksi
Radikal BHT
Lampiran 8 Dokumentasi Penelitian
A. Preparasi Sampel
Eucheuma spinosum Gracillaria verrucosa
B. Ekstraksi maserasi dan fraksinasi
Penambahan aquades Penambahan KCl 2,5% Pemekatan dengan rotary
evaporator
Hasil pemurnian alga merah Hasil pemurnian alga merah
Gracillaria verrucosa Eucheuma spinosum
C. Pemisahan ekstrak pekat dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Eluen metanol:air (5:1
v
v
)
Eucheuma spinosum Gracillaria verrucosa Standar karaginan
Lanjutan lampiran 8
Eluen etanol:air (3:1
v
v
)
Eucheuma spinosum Gracillaria verrucosa Standar karaginan
Hasil KLTA Eucheuma spinosum Hasil KLTA Gracillaria verrucosa
D. Aktivitas antioksidan ekstrak kasar karaginan
Vit C BHT Larutan DPPH
Eucheuma spinosum Gracillaria verrucosa
Lanjutan lampiran 8
D. Aktivitas antioksidan fraksi aktif karaginan
Eucheuma spinosum Gracillaria verrucosa
E. Alat untuk perlakuan
Spektrofotometer UV-Vis Sentrifuge Timbangan analitik
Desikator Oven