Anda di halaman 1dari 3

THOMAS HOBBES

Pada fase Pencerahan (Abad 15 sampai awal 18M) yang mengemuka adalah gagasan alternatif terhadap sistem Monarki Absolut yang dijalankan oleh para raja Eropa dengan legitimasi Gereja. Tokoh-tokoh pemikir era ini antara lain adalah Niccolo Machiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), dan Montesquieu (1689-1755). Era ini ditandai dengan munculnya pemikiran Republikanisme (Machiavelli) dan liberalisme awal (Locke) serta konsep negara yang berdaulat dan terpisah dari kekuasan eklesiastikal (Hobbes). Lebih jauh, gagasan awal tentang sistem pemisahan kekuasaan (Montesquieu) diperkenalkan sebagai alternative dari model absolutis. Thomas Hobbes merupakan seorang pemikir politik yang lahir dan mengalami proses intelektual dalam keadaan sosial politik anarkis pada abad ke XVII. Sejak lahir sampai akhir hidupnya, terjadi perang sipil dan perang agama, konfrontasi antara raja dengan dewan rakyat terjadi tanpa henti-hentinya. Kekerasan kekejaman, dendam dan ketakutan akibat peperangan agama dan perang sipil di Inggris mewarnai kehidupan Thomas Hobbes.1 Sebagaimana halnya dengan ilmuan lainnya, Hobbes hidup dalam era pergolakan. Ia sangat terkesan oleh tuntutan akan kekuasaan politik yang kuat untuk mengeluarkan tatanan yang ada dari pergolakan yang mengancam masyarakat sipil. Situasi yang demikian mengstimulus inspirasi Thomas Hobbes untuk merumuskan teori-teori politik yang relevan dengan kondisi zamannya. Pikiran-pikiran yang ditelorkan merupakan produk dan mewakili karakter pada zamannya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa situasi kacau pada sisi lain titik balik munculnya berbagai karya yang monumental. Hobbes menyatakan bahwa secara kodrati manusia itu sama satu dengan lainnya. Masing-masing mempunyai hasrat atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions), yang menggerakkan tindakan mereka. Appetites manusia adalah hasrat atau nafsu akan kekuasaan, akan kekayaan, akan pengetahuan, dan akan kehormatan. Sedangkan aversions manusia adalah keengganan untuk hidup sengsara dan mati. Hobbes menegaskan pula bahwa hasrat manusia itu tidaklah terbatas. Untuk memenuhi hasrat
1

http://politikdemokrasi.blogspot.com/2011/04/thomas-hobbes-1588-1679.html di akses pada tanggal 30 November 2011. Pukul 16.32

atau nafsu yang tidak terbatas itu, manusia mempunyai power. Oleh karena setiap manusia berusaha untuk memenuhi hasrat dan keengganannya, dengan menggunakan power-nya masing-masing, maka yang terjadi adalah benturan power antarsesama manusia, yang meningkatkan keengganan untuk mati. Hobbes menyebut demokrasi hanyalah secara ringkas dalam Leviathan. Pemikiran pada penjagaan diri (self preservation) merupakan tujuan utama manusia, dan masyarakt haru diperintah untuk membatasi hasrat kekerasan dari manusia. Ia berpendapat suatu konsentrasi kekuasaan ditempatkan pada satu tempat (disebut Yang Berdaulat, the Sovereign). Hal ini terbaik dicapai melalui supremasi dari satu penguasa (misalnya seorang raja), meskipun dapat juga menjadi suatu konsentrasi kekuasaan dalam suatu Majelis atau Parlemen. Untuk mengembangkan ini, ia kembali pada konsepsi Yunani tentang pemisahan kekuasaan yang tergantung pada dimana kedaulatan ditempatkan. Lokasi ini mungkin ada pada satu orang, dalam suatu majelis yang dibuat sebagian dari masyarakat, atau suatu majelis dari seluruh warga negara. Thomas Hobbes mengartikan manusia sebagai makhluk yang mementingkan diri sendiri dan bersifat rasional. Sifat rasional ini yang memungkinkan manusia bersilang pendapat tentang apa yang baik, dan sifat itu pula yang menyebabkan manusia mampu membedakan antara kepentingan sendiri dan kepentingan komunitas bersama. Oleh karena itu, sifat rasional manusia cenderung menimbulkan konflik daripada harmoni. Ada dua elemen dasar manusia yang mendorong eksistensi manusia sebagai makhluk rasional, yaitu instink (kehendak) dan akal. lnsting digunakan manusia (social animal) dalam upaya mengejar kenikmatan dan kesenangan serta menghindari penderitaan dan kesusahan. Akal digunakan untuk menemukan dan mencari alasan-alasan rasional guna mencapai apapun yang membuatnya senang dan bahagia serta dapat membuatnya jauh dari kesusahan. Hobbes menyatakan bahwa dalam kondisi alamiah (state of nature), terdapat perjuangan untuk power dari manusia atas manusia yang lain (homo homini lupus), memua memangsa semua (bellum omnium contra omnes). Dalam kondisi alamiah seperti itu manusia menjadi tidak aman dan ancaman kematian menjadi semakin mencekam. Karena kondisi alamiah tidak aman, maka dengan akalnya manusia berusaha menghindari kondisi perang-satu-dengan-lainnya itu dengan menciptakan kondisi

artifisial (buatan). Dengan penciptaan ini manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah memasuki kondisi sipil. Caranya adalah masing-masing anggota masyarakat mengadakan kesepakatan di antara mereka untuk melepaskan hak-hak mereka dan menstransfer hak-hak itu kepada beberapa orang atau lembaga yang akan menjaga kesepakatan itu agar terlaksana dengan sempurna. Untuk itu orang atau lembaga itu harus diberi hak sepenuhnya untuk menggunakan semua kekuatan dari masyarakat. Beberapa orang atau lembaga itulah yang memegang kedaulatan penuh. Tugasnya adalah menciptakan dan menjaga keselamatan rakyat (the safety of the people). Masyarakat sebagai pihak yang menyerahkan hak-hak mereka, tidak mempunyai hak lagi untuk menarik kembali atau menuntut atau mempertanyakan kedaulatan penguasa, karena pada prinsipnya penyerahan total kewenangan itu adalah pilihan paling masuk akal dari upaya mereka untuk lepas dari kondisi perang-satu-dengan-lainnya yang mengancam hidup mereka. Di lain pihak, pemegang kedaulatan mempunyai seluruh hak untuk memerintah dan menjaga keselamatan yang diperintah itu. Pemegang kedaulatan tidak bisa digugat, karena pemegang kedaulatan itu tidak terikat kontrak dengan masyarakat. Apa yang difikirkan Hobbes ini adalah negara yang mutlak yang dikenal Monarki Absolut. Dalam arti hak-hak individu sama sekali dikesampingkan sementara negara menjadi sangat mutlak dan tidak pernah salah. Negara berhak mutlak atas kebenaran dan kepatutan.2 Menurutnya ada beberapa langkah yang dapat dilakukan agar tak tercipta kealiman penguasa, yaitu: (1) melalui kesadaran penguasa itu sendiri; (2) dibuat undangundang yang mengatur kekuasaan penguasa; dan (3) diwajibkannya penguasa untuk menjaga Hak Azasi Manusia. Kemungkinan ini dapat berujud oleh karena penguasa itu sendiri adalah individu yang juga terikat kontrak dengan individu-individu serta institusiinstitusi lainnya.

Atasoy, Tanay. 2008. The Will of the Sovereign and Contract in Thomas Hobbes and John Locke.

Anda mungkin juga menyukai