Ringkasan Eksekutif
Hasil analisa yang dilakukan secara menyeluruh terhadap kinerja Bank DKI Unit Usaha
Syariah (UUS Bank DKI) menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
1. UUS Bank DKI mempunyai profil risiko yang cukup tinggi, yang ditunjukan oleh:
a. Nilai market risk UUS Bank DKI (βeta=1,51 atau 1,12) yang lebih besar
dibandingkan dengan risiko industri
b. Risiko pembiayaan sebagai trade-off antara dominasi pinjaman murabahah
dengan sumber dana pihak ketiga yang berasal dari deposito mudharabah
c. Risiko Likuiditas dimana DTAR mempunyai nilai yang sangat tinggi melampaui
standard internasional (maksimal 50%)
2. Biaya dana yang harus di tanggung oleh UUS Bank DKI relatif tinggi karena di
dominasi oleh deposito mudharabah dan ditunjukan oleh rata-rata tertimbang dari
Cost of Funds UUS Bank DKI (=Expected Return UUS Bank DKI) sebesar 6,22%
lebih besar dibandingkan dengan Cost of Funds industri perbankan syariah
(=Expected Return industri) yang sebesar 5,68%.
3. Kemampuan menghasilkan laba perusahaan menunjukkan peningkatan yang cukup
signifikan dari tahun ke tahun tetapi dengan pondasi yang cukup rentan karena masih
di dominasi oleh margin yang berasal dari skema murabahah (tahun 2007 sebesar
57%).
4. Kinerja permodalan UUS Bank DKI sangat baik yang ditunjukkan oleh nilai CAR
yang selalu di atas 8% atau diatas persyaratan Bank Indonesia untuk bank syariah.
5. Tetapi di lain pihak, kinerja operasional perusahaan dalam menjalankan usahanya
relatif kurang bagus dan efisien yang ditunjukkan dengan nilai BOPO yang cukup
besar bahkan pada tahun 2007 mengalami peningkatan menjadi 84% dari 49% di
tahun 2006.
6. Meskipun beberapa informasi menunjukkan hasil yang positif tetapi UUS Bank DKI
untuk saat ini belum layak untuk dijadikan sebagai sasaran investasi karena nilai
ROA tahun 2007 sangat kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sebesar
2,08%. Artinya, kemampuan untuk menghasilkan return dari setiap aset yang
diinvestasikan pada perusahaan sangat kecil bahkan lebih rendah dari return yang
dihasilkan oleh Risk Free Asset berupa deposito syariah sebesar 9,07% di tahun 2008.
Dengan hasil analisa seperti itu, dapat disimpulkan bahwa untuk saat ini, UUS Bank DKI
bukan merupakan pilihan yang layak untuk dipertimbangkan sebagai tujuan investasi
jangka panjang. Hal ini ditunjukkan oleh potensi risikonya yang lebih besar dibandingkan
dengan potensi return yang dihasilkan.
Ringkasan Eksekutif
I. Pendahuluan 4
II. Analisa Singkat Perkembangan Industri Perbankan Syariah 5
III. Analisa Profil Perusahaan 6
3.1. Sejarah Berdiri dan Legalitas Unit Usaha Syariah Bank DKI 6
3.2. Visi dan Misi 7
3.3. Susunan Dewan Komisaris, Direksi dan Dewan Pengawas Syariah 7
3.4. Struktur Organisasi UUS Bank DKI 8
IV. Analisis Tata Kelola Perusahaan 9
V. Analisa Komposisi Pemegang Saham 12
VI. Analisa Finansial Perusahaan 13
6.1. Analisa Profil Resiko 13
6.1.1. Profil Risiko Bank DKI 13
6.1.2. Profil Risiko Finansial UUS Bank DKI 14
6.2. Analisa Rasio Finansial Lainnya 20
6.2.1. Analisa Cost Of Funds 20
6.2.2. Analisa Profitabilitas 21
6.2.3. Analisa Kinerja Perusahaan 22
VII. Kesimpulan 25
Sejak perekonomian Indonesia mengalami ”pendarahan” yang sangat serius pada tahun
2008 sebagai dampak dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, hampir seluruh industri
mulai melakukan pembenahan di berbagai sektor. Industri perbankan sebagai salah satu
sektor yang paling parah terkena krisis tersebut, merupakan industri yang melakukan
pembenahan secara serius dan cukup radikal. Konsolidasi industri maupun konsolidasi
internal di masing-masing bank dilakukan secara konsisten dan sangat hati-hati.
Ketiadaan risk management sebagai salah satu pemicu terjadinya krisis mulai mendapat
perhatian yang sangat ketat.
Salah satu dampak positif dari krisis tersebut adalah berkembangnya model perbankan
syariah sebagai alternatif dari model perbankan yang saat ini berlaku. Meskipun
perbankan syariah di Indonesia sudah diperkenalkan sejak tahun 1991, dengan berdirinya
Bank Muamalat Indonesia, dan dual banking system mulai digunakan oleh Bank
Indonesia sejaka tahun 1992, tetapi kesadaran masyarakat untuk menjadikan perbankan
syariah sebagai salah satu model alternatif baru meningkat sejak terjadi krisis yang
melanda Indonesia. Kesadaran tersebut dipicu oleh fakta yang memperlihatkan bahwa
perekonomian yang sangat bertumpu pada bunga mengakibatkan fondasi ekonomi
menjadi sangat rapuh.
Tabel 1. Pangsa Pasar Perbankan Syariah Terhadap Perbankan Nasional Per Juli 2008
Sebagai salah satu model industri yang baru berkembang, sangat wajar apabila masih
terdapat banyak hal yang perlu dibenahi oleh berbagai pihak yang terlibat, baik itu
pemerintah sebagai regulator maupun para pelaku industri perbankan syariah. Hal yang
Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah 4
paling krusial adalah pembenahan dalam hal model manajemen keuangan industri
perbankan syariah yang sudah seharusnya memiliki perbedaan dengan model manajemen
finansial yang selama ini berlaku di industri perbankan konvensional. Hal paling
mendasar yang menyebabkan model manajemen finansial industri perbankan syariah
berbeda dengan industri perbankan konvensional adalah dalam hal sumber pendapatan
perbankan yang berbasis non bunga (interest free basis). Bunga sebagai sumber utama
pendapatan industri perbankan konvensional merupakan variabel yang di larang (bersifat
haram) dalam industri perbankan syariah.
Sebagai suatu industri yang sudah memasuki usia remaja, dimana tahun ini memasuki
usia ke 17, sudah selayaknya apabila Bank Indonesia sebagai regulator perbankan
nasional merasa perlu mengeluarkan suatu kebijakan yang bersifat akselerasi untuk
mendorong percepatan pertumbuhan perbankan syariah. Fakta menunjukkan bahwa apa
yang saat ini diperlihatkan oleh perbankan syariah masih jauh di bawah harapan. Market
share perbankan syariah terhadap perbankan nasional sampai Juli 2008 baru mencapai
2,11% masih jauh dari target Bank Indonesia sebesar 5% di akhir tahun 2008.
Di sisi lain, jumlah bank yang berstatus Bank Syariah masih sangat sedikit yaitu hanya 3
bank, Bank Muamalat Indonesia, Bank Mandiri Syariah dan Bank Mega Syariah.
Akselerasi dari perkembangan unit syariah juga relatif lambat, dimana sampai dengan
bulan Juli 2008 hanya terdapat 28 unit syariah atau hanya bertambah 2 unit usaha syariah
sejak Desember 2007. Demikian juga dengan perkembangan BPR Syariah yang hanya
berjumlah 128 BPR per Juli 2008.
Fakta lain menunjukkan bahwa selama 6 bulan pertama di tahun 2008, pertumbuhan aset
perbankan syariah ternyata relatif konstan, hanya tumbuh sebesar 9,75%.
3.1. Sejarah Berdiri dan Legalitas Unit Usaha Syariah Bank DKI
Persiapan Bank DKI agar dapat memperoleh izin usaha syariah telah dilakukan sejak
tahun 2002, mulai dari menyiapkan sumber daya manusia, studi kelayakan, pengkajian
dan workshop bank syariah, hingga membentuk Dewan Pengawas Syariah. Meskipun
demikian, efektif beroperasinya Unit Usaha Syariah Bank DKI adalah sejak diterimanya
surat Bank Indonesia No. 6/39/DpbS tanggal 13 Januari 2004 dan mulai melakukan
kegiatan operasional pada bulan Maret 2004 dengan menempatkan satu cabang penuh
dan satu cabang pembantu.
Modal awal untuk pendirian Unit Usaha Syariah Bank DKI (selanjutnya disebut UUS
Bank DKI) adalah sebesar Rp 2 milyar yang dikeluarkan secara penuh oleh Bank DKI.
PT Bank DKI semula merupakan Bank Milik Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta
yang berbentuk Perusahaan Daerah. Perusahaan tersebut didirikan berdasarkan Peraturan
Daerah No. 13 tahun 1962 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Bank Pembangunan
Daerah dan terakhir dengan Peraturan Daerah No. 1 tahun 1993 tanggal 15 Januari 1993
yang merubah modal dasar dari Rp 50 M menjadi Rp 300 M sampai dengan tanggal 5
Mei 1999.
Sejak tanggal 6 Mei 1999 perusahaan daerah tersebut berubah menjadi Perseroan
Terbatas yang telah disetujui oleh Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta dengan
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 1 tahun 1999 tanggal 1 Februari 1999 dan
telah diaktakan dengan Akta Notaris Harun Kamil, SH, No. 4 tanggal 6 Mei 1999 serta
telah disahkan oleh Menteri Kehakiman dengan Surat Keputusan No. C-
8270.HT.01.01.Th.99 tanggal 7 Mei 1999 dan telah diumumkan dalam Berita Negara No.
45, Tambahan No. 3283 tanggal 4 Juni 1999.
Sesuai dengan akta notaris Ny. Poerbaningsih Adi Warsito, SH, No. 101 tanggal 28
September 2007 yang merupakan pernyataan kembali atas akta notaris yang sama No. 25
tanggal 12 Juni 2007, Bank melakukan penambahan modal dasar dari Rp
1.000.000.000.000 menjadi Rp 1.500.000.000.000 dan modal disetor ditingkatkan dari
Rp 553.917.000.000 menjadi Rp 600.325.000.000 yang berasal dari Pemerintah Propinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penambahan ini telah mendapatkan persetujuan dari
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No.C-04111.HT.01.04-
TH.2007 tanggal 22 Nopember 2007. Penambahan modal disetor tersebut berasal dari
hasil tagih sisa kredit Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sejak April 2005
sampai dengan April 2006 sejumlah Rp 46.408.851.656. Sisa lebih besar sebesar Rp
851.656 dibukukan sebagai cadangan setoran modal Bank.
UUS Bank DKI mempunyai visi “menjadi bank terbaik dan membanggakan”. Sedangkan
misinya adalah ”bank berkinerja unggul secara syari’ah, mitra strategis dunia usaha /
masyarakat dan andalan Pemprov DKI yang memberi nilai tambah bagi stakeholder
melalui pelayanan terpadu dan profesional”.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa UUS Bank DKI merupakan bagian dari
entitas Bank DKI yang setingkat dengan business unit. Dengan demikian, susunan
Dewan Komisaris dan Direksi dari UUS Bank DKI adalah mengikuti Bank DKI. Hal
Adapun susunan Dewan Komisaris (Dekom), Dewan Direksi (BOD) dan Dewan
Pengawas Syariah (DPS) UUS Bank DKI adalah sebagai berikut:
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa pimpinan grup syariah bukan merupakan
bagian dari BOD tetapi setingkat group head atau business unit head. Artinya, secara
struktural keberadaan UUS Bank DKI langsung berada di bawah kendali BOD. Meskipun
demikian, UUS Bank DKI mempunyai struktur organisasi tersendiri yang terdiri dari 2
divisi dan 5 departemen. Selain itu, keberadaan DPS pada UUS Bank DKI juga tidak
berhubungan dengan pimpinan unit syariah tetapi langsung berhubungan dengan Direksi
Bank DKI.
Dengan struktur organisasi seperti itu, maka wewenang group head unit syariah menjadi
relatif terbatas. Setiap keputusan yang diambil harus selalu mendapatkan persetujuan dari
BOD. Konsekuensinya, pertumbuhan organisasi UUS Bank DKI menjadi relatif
terhambat karena birokrasi yang cukup berjenjang harus dilalui sebelum mengambil suatu
keputusan bisnis. Secara lebih jelasnya, struktur organisasi UUS Bank DKI dapat dilihat
pada gambar di bawah ini.
Sampai dengan akhir tahun 2007, jumlah jaringan kantor UUS Bank DKI relatif terbatas,
terdiri dari 1 kantor cabang, 5 kantor kas syariah dan 21 layanan syariah (office
channeling) yang berlokasi di kantor cabang dan kantor cabang pembantu Bank DKI.
Sebagai suatu unit usaha dari Bank DKI, maka penerapan tata kelola perusahaan
(selanjutnya disebut GCG) UUS Bank DKI mengacu kepada penerapan GCG di Bank
DKI.
Dalam hal tata kelola perusahaan, Bank DKI telah berusaha secara maksimal untuk
menerapkan prinsip-prinsip GCG secara baik dan benar. Komitmen tersebut dituangkan
ke dalam suatu slogan yang diciptakan untuk memudahkan karyawan dalam menerapkan
prinsip-prinsip GCG dalam kegiatan sehari-hari. Slogan Bank DKI untuk penerapan
prinsip-prinsip GCG dikenal dengan sebutan TARIF, yang berarti:
T : transparency, yaitu keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan
relevan serta dalam proses pengambilan keputusan;
A : accountability, yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaa pertanggungjawaban organ
bank sehingga pengelolaan berjalan efektif;
R : responsibility, yaitu kesesuaian pengelolaan Bank dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang sehat;
I : independency, yaitu pengelolaan bank secara profesional tanpa pengaruh/tekanan dari
pihak manapun
F : fairness, yaitu keadilan dan kesetaraaan dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang
timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah 9
Bahkan pada tahun 2007, sebagai salah satu komitmen dalam menerapkan prinsip-prinsip
GCG, manajemen Bank DKI telah meningkatkan struktur maupun kerangka GCG sesuai
dengan perkembangan terkini di dunia perbankan internasional maupun lokal, seperti
rekomendasi Basel II tentang manajemen risiko bank, Sarbanes-Oxley Act tentang
standar keterbukaan laporan keuangan, cetak-biru Arsitektur Perbankan Indonesia dari
Bank Indonesia, serta International Financial Reporting Standards.
Implementasi Tata Kelola Perusahaan berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang
meliputi:
(1) Pemenuhan Komposisi Dewan Komisaris dan Direksi beserta pelaksanaan tugas
dan tanggung jawabnya. Hal ini ditunjukan oleh adanya komisaris independen yang
sesuai dengan PBI Nomor 8/14/PBI/2006 yang mengatur bahwa sedikitnya 50 %
dari anggota komisaris merupakan komisaris independen; kebijakan bahwa dewan
komisaris tidak boleh memiliki kepemilikan saham yang mencapai 5 % atau lebih,
baik pada Bank DKI maupun pada bank dan perusahaan lain yang berkedudukan di
dalam atau luar negeri serta tidak memiliki hubungan keuangan dan keluarga
dengan anggota dewan komisaris lain, anggota direksi dan atau pemegang saham
pengendali; kebijakan tidak boleh rangkap jabatan
(2) Kelengkapan dan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Komite-Komite yaitu
Komite Audit, Komite Pemantau Risiko dan Komite Remunerasi dan Nominasi.
(3) Pelaksanaan fungsi kepatuhan, audit intern dan audit ekstern
(4) Pelaksanaan fungsi manajemen risiko
(5) Pemenuhan ketentuan Bank Indonesia terkait dengan prinsip kehati-hatian dalam
penyediaan dana kepada Pihak Terkait dan Debitur Besar
(6) Penyusunan rencana strategis bank sesuai dengan ketentuan mengenai Rencana
Bisnis Bank
(7) Pelaksanaan transparansi kondisi keuangan dan non keuangan
(8) Penyusunan Buku Pedoman Kerja Dewan Komisaris dan Buku Pedoman Kerja
Direksi
(9) Penetapan Visi, Misi dan Nilai Budaya kerja Perusahaan yang terdiri dari 7 (tujuh)
Nilai KTPP DKI, yaitu Komitmen, Teamwork, Profesional, Pelayanan, Disiplin,
Kerja Keras dan Integritas
(10) Penunjukkan Direktur Kepatuhan dan pembentukan Satuan Kerja Kepatuhan,
Satuan Kerja Manajemen Risiko dan Satuan Kerja Audit Intern, serta penetapan
fungsi pengelolaan GCG pada Satuan Kerja Kepatuhan, Grup Manajemen Risiko
dan Kepatuhan.
Salah satu bentuk dari implementasi tata kelola perusahaan tersebut dapat terlihat dari
transparansi yang dilakukan oleh manajemen dengan menyampaikan informasi kepada
masyarakat tentang remunerasi yang diterima oleh Dewan Direksi dan Dewan Komisaris,
jumlah anggota Dewan Komisaris dan Direksi Penerima Paket Remunerasi serta
Komposisi Gaji Tertinggi dan Terendah. Semua informasi tersebut dapat dilihat oleh
seluruh masyarakat melalui annual report perusahaan.
Implementasi GCG juga terlihat dari pelaksanaan Internal Audit yang telah melakukan 34
pekerjaan audit umum dan 11 pekerjaan audit khusus. Atas audit tahun 2007, terdapat
sebanyak 342 temuan audit, menurun dibandingkan tahun 2006 sebanyak 658 temuan.
Temuan dalam hal kelemahan administrasi sebanyak 202 temuan (59%), sedangkan
dalam hal pelanggaran terhadap prosedur sebanyak 126 temuan (37%), serta penyetoran
kewajiban kepada bank 14 temuan (4%). Untuk tindak lanjut penyelesaian, sebanyak 144
temuan telah selesai, sebanyak 195 temuan masih dalam proses penyelesaian, sedangkan
yang belum dapat diselesaikan sebanyak 2 temuan.
Hasil audit internal pada tahun 2007 juga menunjukkan bahwa terdapat 31 sanksi yang
telah dikeluarkan oleh manajemen, dimana sanksi berupa teguran lisan yang paling
Dalam hal keterbukaan informasi keuangan dan non keuangan, Bank DKI secara rutin
selalu melakukan publikasi, baik melalui internet dengan alamat www.bankdki.co.id. dan
www.bankdki-syariah.com maupun di media cetak.
Untuk mengukur tingkat implementasi GCG, manajemen Bank DKI secara rutin
melakukan self assesment tentang pelaksanaan GCG dengan menggunakan metode
assesment yang telah baku dan diakui oleh dunia usaha. Berdasarkan hasil assesment
tahun 2007, Bank DKI memperoleh predikat baik dengan nilai komposit akhir sebesar
1,81 dengan 9 area masalah yang perlu dicermati dan ditindaklanjuti oleh manajemen.
Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa UUS Bank DKI merupakan bagian dari
struktur organisasi Bank DKI setingkat unit usaha. Artinya, UUS Bank DKI bukan
merupakan suatu entitas bisnis yang berdiri sendiri sehingga UUS Bank DKI tidak
mempunyai pemegang saham khusus. Dengan demikian, komposisi pemegang saham
UUS Bank DKI sama dengan komposisi pemegang saham Bank DKI. Pemegang saham
Bank DKI adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PD Pasar Jaya dengan komposisi
sebagai berikut:
Sebagai suatu aktivitas usaha, sudah pasti UUS Bank DKI mempunyai profil resiko yang
perlu diwaspadai oleh manajemen. Dalam hal ini, profil resiko yang dimiliki oleh UUS
Bank DKI relatif sama dengan Bank DKI dan ditambah dengan profil resiko khusus
sebagai akibat dari kegiatan perbankan syariah yang dilakukan.
1. Risiko Pasar adalah Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar
(adverse movement) dari portofolio yang dimiliki oleh Bank, yang dapat merugikan
Bank. Variabel pasar adalah suku bunga dan nilai tukar. Gejolak yang timbulkan oleh
kenaikan dan penurunan suku bunga di pasar serta kenaikan dan penurunan kurs
terhadap portofolio perdagangan Bank DKI yang terkandung dalam Risiko Pasar rata-
rata berpengaruh terhadap penurunan CAR sebesar 1,5%.
2. Risiko Operasional adalah Risiko yang antara lain disebabkan adanya ketidakcukupan
dan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem,
atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional Bank.
3. Risiko Kredit adalah Risiko sebagai akibat kemungkinan kegagalan dari counterparty
memenuhi kewajibannya. Implementasi Risiko Kredit agar mendukung pemberian
kredit yang sehat terus dikembangkan. Berbagai model pemberian kredit terus
disempurnakan termasuk mengembangkan sistem scoring untuk pemberian kredit.
Sebagai informasi kami sajikan data terkait dengan aktivitas perkreditan.
• NPL Desember 2007 sebesar 4,15%
• PPA Desember 2007 sebesar 100,46%
• Kualitas Aktiva Produktif sebesar 1,9%.
• Konsentrasi kredit:
i. Sektor Konstruksi Desember 2007 sebesar 4,70%
ii. Sektor Perdagangan Desember 2007 sebesar 5,53%
iii. Kredit Karyawan Desember 2007 sebesar 5,13%
iv. Kredit Multi Guna Desember 2007 sebesar 64,45%
v. KPR Desember 2007 sebesar 6,67%
vi. Lainnya sebesar Rp.10,02%
4. Risiko Likuiditas adalah risiko yang disebabkan Bank tidak dapat memenuhi
kewajiban yang telah jatuh tempo. Risiko ini terdiri dari:
1. Risiko Pasar
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan data keuangan selama dua
tahun, yaitu tahun 2006 dan 2007, dapat diketahui bahwa nilai risiko (βeta) dari UUS
Bank DKI adalah sebagai berikut:
a. Apabila menggunakan obligasi syariah sebagai risk free asset, maka market risk
value dari UUS bank DKI (βeta) adalah 1,12
b. Apabila menggunakan SWBI sebagai risk free asset, maka market risk value dari
UUS bank DKI (βeta) adalah 1,51
Angka tersebut menunjukkan bahwa tingkat risiko pasar UUS Bank DKI relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan risiko industri perbankan syariah.
Asumsi yang digunakan dalam menghitung nilai risiko pasar tersebut adalah kondisi
perekonomian di masa yang akan datang relatif sama dengan waktu perhitungan
dilakukan. Selain itu, sebagai entitas bisnis yang belum diperdagangkan di bursa dan
tidak memiliki saham, maka penggunaan data pergerakan saham maupun indeks
saham sebagai indikator dalam menghitung market risk (βeta) UUS Bank DKI
Dengan menggunakan rumus Capital Assets Pricing Model (CAPM) sebagai berikut:
ErDKI = Rf + (ErM – Rf)β,
Nilai dari ErDKI adalah 6,22% dengan menggunakan data sebagai berikut:
Average Tabungan Mudharabah Deposito Mudharabah
Rate of Return (Indicative) 6,58% 9,05%
Weigthed 0.28 0.48
Total 1,87% 4,35%
Nilai dari ErM adalah 5,68% dengan menggunakan data pasar sebagai berikut:
Average Tabungan Mudharabah Deposito Mudharabah
Rate of Return (Indicative) 3,52% 8,63%
Weigthed 0,34 0,52
Total 1,20% 4,49%
Nilai Rf berasal dari data industri yang rutin dikeluarkan oleh Bank Indonesia
Average SWBI Obligasi Syariah
Rate of Return/bagi hasil 4,64% 1,33%
Di sisi lain, pembiayaan yang dilakukan oleh UUS Bank DKI selama periode tersebut
lebih banyak disalurkan dalam bentuk pinjaman murabahah yang bersifat konsumtif
dibandingkan dengan pembiayaan usaha, seperti mudharabah maupun musyarakah.
Meskipun dari tahun ke tahun mengalami penurunan tetapi komposisinya masih
sangat besar dibandingkan dengan yang lainnya. Sebenarnya kondisi ini juga terjadi
di industri perbankan syariah nasional, dimana seperti telah disebutkan sebelumnya
bahwa per Juli 2008, sumber utama dana pihak ketiga perbankan syariah berasal dari
deposito mudharabah yaitu sebesar 52,48%, sedangkan pembiayaan yang dilakukan
oleh perbankan syariah sebesar 58,84% disalurkan dalam bentuk pinjaman
murabahah.
Indikator lainnya yang harus diperhatikan dalam melihat risiko pembiayaan adalah
nilai dari FDR (Financing to Deposits Ratio) yaitu menggambarkan perbankan
syariah sebagai lembaga intermediasi. Semakin besar FDR menunjukkan bahwa bank
bersangkutan telah menjalankan fungsi intermediasi secara optimal. Rasio yang
melebihi 100 % menunjukkan bahwa semua DPK yang dihimpun telah disalurkan
dalam pembiayaan dan ditambah dengan modal sendiri.
3. Risiko Likuiditas
Untuk melihat risiko likuiditas yang dihadapi oleh UUS Bank DKI, yang harus
diperhatikan adalah komposisi current liabilities terhadap current assets atau sering
disebut dengan current ratio. Berdasarkan data yang ada terlihat bahwa current ratio
dari UUS Bank DKI sangat aman karena komposisi terbesar dari asetnya berbentuk
aktiva lancar. Nilai rata-rata current ratio UUS Bank DKI selama periode 2004 –
2007 adalah sebesar 92%.
Komposisi terbesar dari current assets UUS Bank DKI berbentuk pembiayaan syariah
sedangkan komposisi terbesar dari current liabilities adalah berasal dari dana pihak
ketiga. Kondisi tersebut sangatlah wajar karena UUS Bank DKI bukan merupakan
suatu entitas yang berdiri sendiri tetapi bagian dari organisasi Bank DKI sehingga
komposisi aset tetapnya relatif kecil.
Dari gambar diatas terlihat bahwa lebih dari 80% aktiva UUS Bank DKI terdiri dari
aktiva lancar sedangkan aktiva tetapnya sangat kecil hanya di bawah 2%.
Dari gambar diatas terlihat bahwa lebih dari 90% pasiva UUS Bank DKI berasal dari
pasiva lancar. Yang perlu digarisbawahi adalah dalam komposisi pasivanya, ternyata
tidak terlihat adanya sumber pasiva yang berasal dari modal. Hal ini didasarkan
kepada bentuk entitas UUS Bank DKI yang tidak berdiri sendiri tetapi termasuk ke
dalam Bank DKI sehingga tidak ada setoran modal yang dicatatkan dalam pasiva.
Salah satu alat ukur likuiditas yang sering digunakan selain current ratio adalah Debt
to Total Assets Ratio (DTAR). Berbeda dengan current ratio yang mengukur
kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban lancarnya maka DTAR
merefleksikan seberapa besar asset yang dibiayai dari kewajiban yang dimiliki dan
juga menunjukkan kemampuan bank dalam membayar kewajiban yang dimiliki.
DTAR dihitung dengan membandingkan antara total kewajiban dengan total asset
yang dimiliki. DTAR yang tinggi mengindikasikan bahwa bank memiliki resiko yang
tinggi. Berdasarkan RBC Royal Bank, standar benchmark maksimum adalah sebesar
50 %.
Komposisi dana pihak ketiga UUS Bank DKI di dominasi oleh deposito mudharabah
(lihat gambar 2) daripada tabungan mudharabah maupun giro wadiah. Artinya, cost of
funds yang harus dikeluarkan oleh UUS Bank DKI relatif tinggi. Profil cost of funds UUS
Bank DKI selama 2 tahun adalah sebagai berikut:
Dengan komposisi skim deposito mudharabah yang bervariasi mulai dari 1, 3, 6, 12 bulan
dan 24 bulan, maka nilai 9,05% pada tabel di atas merupakan nilai rata-rata tertimbang
dari deposito mudharabah UUS Bank DKI. Sebagai indikator tertimbangnya
menggunakan komposisi skim deposito mudharabah di industri perbankan syariah.
Melihat komposisi cost of funds UUS Bank DKI yang di dominasi oleh deposito
mudharabah dan lebih tinggi dari cost of funds industri (5,68% lihat perhitungan ErM
pada halaman sebelumnya), maka sangat wajar apabila market risk UUS Bank DKI lebih
Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah 20
tinggi dibandingkan market risk industri. Konsekuensi dari kondisi tersebut, maka sangat
wajar juga apabila pembiayaan yang dilakukan oleh UUS Bank DKI masih terpusat pada
pembiayaan pinjaman murabahah yang notabene akan menghasilkan margin yang lebih
besar dibandingkan dengan bagi hasil mudharabah maupun musyarakah.
Gambar 10. Pertumbuhan Laba (Rugi) UUS Bank DKI (Rp Juta)
Meskipun pertumbuhan laba UUS Bank DKI selama periode 2004 – 2007 sangat
mengesankan tetapi perlu di lihat juga sumber utama yang mendominasi pendapatan
operasionalnya. Secara umum, komposisi pendapatan operasional UUS Bank DKI cukup
baik dimana pendapatan yang berasal dari pendapatan operasional pembiayaan shariah
sangat dominan dibandingkan dengan pendapatan yang berasal dari operasional lainnya.
Hal lainnya yang harus juga diperhatikan dalam melihat kemampuan profitabilitas UUS
Bank DKI adalah komposisi dari pendapatan operasionalnya. Melihat data sebelumnya
yang menunjukkan bahwa pembiayaan yang dilakukan oleh UUS Bank DKI adalah
berbentuk pinjaman murabahah, maka sudah dapat dipastikan komposisi terbesar
pendapatan operasional syariah UUS Bank DKI adalah margin murabahah baru diikuti
oleh bagi hasil mudharabah. Fakta yang menarik ditunjukan oleh komposisi pendapatan
operasional UUS Bank DKI pada tahun 2007, dimana sumber pendapatan yang berasal
dari bagi hasil mudharabah hampir mendekati pendapatan yang berasal dari margin
murabahah.
Dari data di atas terlihat bahwa komposisi pendapatan operasional UUS Bank DKI yang
berasal dari bagi hasil mudharabah (dan musyarakah) pada tahun 2007 sebesar 42%
mendekati margin murabahah yang 57%. Ini sangat menarik, karena apabila kita lihat
gambar 3 dimana pembiayaan yang berasal dari murabahah sebesar 57% dan yang
berasal dari mudarabah dan musyarakah sebesar 36%. Dengan komposisi pembiayaan
seperti itu ternyata dapat menghasilkan suatu komposisi pendapatan yang berasal dari
bagi hasil sebesar 42% sedangkan margin relatif sama komposisinya yaitu sebesar 57%.
Apabila kita lihat lagi lebih detil ternyata pada tahun yang sama prosentase Penyisihan
Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) pinjaman murabahah sebesar 3% lebih besar
dibandingkan dengan PPAP yang berasal dari mudharabah dan musyarakah yang hanya
1%. Dengan demikian, sangat wajar apabila profit yang dihasilkan oleh pembiayaan
mudharabah dan musyarakah mengalami peningkatan.
Dengan menggunakan standar tersebut, maka CAR UUS Bank DKI menunjukkan nilai
yang sangat baik, bahkan untuk tahun 2007 CAR yang diperoleh UUS Bank DKI jauh
diatas persyaratan Bank Indonesia.
Pada saat pertama kali beroperasi tahun 2004, UUS Bank DKI sangat tidak efisien karena
biaya operasional yang dikeluarkan ternyata lebih besar dibandingkan dengan pendapatan
operasional yang dihasilkan. Kinerja perusahaan di tahun 2007 menunjukkan penurunan
dibandingkan dengan tahun 2006, dimana rasio BOPO tahun 2006 lebih kecil
dibandingkan dengan tahun 2007. Kondisi ini perlu diwaspadai jangan sampai kinerja
yang tidak efisien tersebut terbawa pada tahun berikutnya.
Berdasarkan data laporan keuangannya, rasio ROA UUS Bank DKI sejak tahun 2004
menunjukkan kinerja yang relatif stabil. Meskipun sempat mengalami peningkatan di
tahun 2006 tetapi nilainya masih relatif kecil. Bahkan pada saat pertama kali beroperasi
nilai ROA UUS Bank DKI negatif 7,23%.
Rasio ROA yang ditunjukkan oleh gambar di atas sangat tidak menarik bagi investor.
Karena tingkat pengembalian aset ke dalam bentuk return paling tinggi hanya sebesar
7,06%. Nilai tersebut ternyata lebih kecil dari return yang dihasilkan oleh risk free asset,
Berdasarkan hasil analisa tersebut dapat dikatakan bahwa UUS Bank DKI sangat tidak
layak untuk dijadikan sebagai tujuan investasi, mengingat kemampuan perusahaan yang
masih lemah dalam menghasilkan return.
VII. Kesimpulan
Hasil analisa yang dilakukan secara menyeluruh terhadap kinerja Bank DKI Unit Usaha
Syariah menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
7. UUS Bank DKI mempunyai profil risiko yang cukup tinggi, yang ditunjukan oleh:
a. Nilai market risk UUS Bank DKI (βeta=1,51 atau 1,12) yang lebih besar
dibandingkan dengan risiko industri
b. Risiko pembiayaan sebagai trade-off antara dominasi pinjaman murabahah
dengan sumber dana pihak ketiga yang berasal dari deposito mudharabah
c. Risiko Likuiditas dimana DTAR mempunyai nilai yang sangat tinggi melampaui
standard internasional (maksimal 50%)
8. Biaya dana yang harus di tanggung oleh UUS Bank DKI relatif tinggi karena di
dominasi oleh deposito mudharabah dan ditunjukan oleh rata-rata tertimbang dari
Cost of Funds UUS Bank DKI (=Expected Return UUS Bank DKI) sebesar 6,22%
lebih besar dibandingkan dengan Cost of Funds industri perbankan syariah
(=Expected Return industri) yang sebesar 5,68%.
9. Kemampuan menghasilkan laba perusahaan menunjukkan peningkatan yang cukup
signifikan dari tahun ke tahun tetapi dengan pondasi yang cukup rentan karena masih
di dominasi oleh margin yang berasal dari skema murabahah (tahun 2007 sebesar
57%).
10. Kinerja permodalan UUS Bank DKI sangat baik yang ditunjukkan oleh nilai CAR
yang selalu di atas 8% atau diatas persyaratan Bank Indonesia untuk bank syariah.
11. Tetapi di lain pihak, kinerja operasional perusahaan dalam menjalankan usahanya
relatif kurang bagus dan kurang efisien, yang ditunjukkan dengan nilai BOPO yang
cukup besar bahkan pada tahun 2007 mengalami peningkatan menjadi 84% dari 49%
di tahun 2006.
12. Meskipun beberapa informasi menunjukkan hasil yang memuaskan tetapi UUS Bank
DKI untuk saat ini belum layak untuk dijadikan sebagai sasaran investasi karena nilai
ROA tahun 2007 sangat kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sebesar
2,08%. Artinya, kemampuan untuk menghasilkan return dari setiap aset yang
diinvestasikan pada perusahaan sangat kecil bahkan lebih rendah dari return yang
dihasilkan oleh Risk Free Asset berupa deposito syariah sebesar 9,07% di tahun 2007.
Dengan hasil analisa seperti itu, dapat disimpulkan bahwa untuk saat ini, UUS Bank DKI
bukan merupakan pilihan yang layak untuk dipertimbangkan sebagai tujuan investasi
jangka panjang. Hal ini ditunjukkan oleh potensi risikonya yang lebih besar dibandingkan
dengan potensi return yang dihasilkan.