Anda di halaman 1dari 6

The Coffee

By : Nisaa Ainulfithri
Bau kopi yang pekat langsung menyeruak hidung begitu gue melangkahkan kaki masuk kedalam The Coffee. Entah kenapa otak dan hati gue milih caf ini. Padahal setahun yang lalu caf ini menjadi momok yang sangat menyeramkan bagi gue. Bahkan sampe gue rela-relain puter balik setiap mau ke kantor cuma buat nggak ngelewatin caf ini. Bisa dibayangin betapa bencinya gue sama caf ini. Salahkan saja dia, ya, seseorang yang bernama David itu. David yang telah membuat caf ini seseram tidur seorang diri dengan lampu yang padam. Dia yang mengajarkan gue untuk membenci cincin, gaun pernikahan, dan cinta. Oktober tahun lalu menjadi bulan yang benar benar membuat gue menguras habis air mata dan dengan bodohnya gue membiarkan diri gue menjadi sosok zombie selama kurang lebih satu bulan. Its a damn foolish thing! Hujan turun perlahan malam itu, kita memasuki The Coffee tanpa ragu. Berjalan kearah bangku didekat kaca seperti yang sering diceritakan di novel-novel romantis itu. Tepat disamping kaca sehingga kita bisa melihat semua orang yang mondar mandir dijalanan. Waktu itu suasana caf lumayan ramai, sepertinya semua orang mencari tempat berteduh dari hujan yang sebentar lagi akan mengguyur kota kembang. David memesan Caffe late dan gue memilih Espresso Con Panna. Gue mau ngomong penting Van, ucap David dengan mimik wajah serius. Deg. Entah kenapa gue ngerasa nggak enak, biasanya kalo David udah ngomong gue-lo dan ditambah manggil nama itu berarti dia lagi marah. Gue jadi mikir, apa salah gue? Gue diem aja, menunggu David mengucapkan kata selanjutnya. Sebelumnya gue minta maaf banget ke lo Van, mungkin setelah ini lo bakal menjudge gue nggak gentle atau gimana tapi ini menyangkut masalah keluarga gue. Lo tau sendiri kan gimana respon nyokap sama profesi lo sekarang? David sengaja menghentikan ucapannya, gue mengangguk perlahan. Gue tau kemana arah pembicaraan ini akan berlanjut. David melanjutkannya Semalem gue bilang ke nyokap kalo gue mau serius sama lo. Nyokap ngelarang Van. Tapi jangan lo kira gue nggak belain hubungan kita, gue bahkan sampe berantem sama nyokap gara-gara masalah ini. Dan akhirnya gue memutuskan buat ngalah Van, sorry gue mundur.

Maaf mbak, ini pesanannya, suara pelayan The Coffee menghentikan lamunan gue tentang David. Makasih, ucap gue dengan seulas senyum. Udah ah, ini tandanya gue nggak boleh mikirin si David lagi!. Buru-buru gue nyalain laptop, melanjutkan editan naskah baru yang deadlinenya besok pagi buta. Sengaja tadi izin sama bos buat ngerjain diluar kantor. Nyari suasana baru, entah kenapa mata ini mulai bosan dengan pemandangan yang itu-itu aja. Tapi nggak meyakinkan juga sih, karena diluar banyak godaannya dan konsentrasi bakal gampang buyar. Dan ada satu lagi alasan kenapa gue lebih memilih tidak berada dikantor deket deket ini, yaitu kehadiran seorang pria baru di kantor yang gue hindari mati-matian karena gaya magnetnya yang kuat dan gue salah satu (calon) korbannya. Untung si Bos dengan mudah mengijinkan gue ngedit diluar kantor. Dan akhirnya gue memilih caf ini. Sambil menyeruput sedikit demi sedikit Espresso gue, dengan cepat mata gue menelusuri layar monitor, mengecek satu demi satu kata yang perlu diedit. Posisi gue sebagai editor majalah fashion bener-bener meradiasi sebagian besar hidup gue. Berawal dari hobi nulis dan kecintaan yang sangat pada fashion membuat gue masuk di majalah fashion ibukota dengan mudah. Dan efeknya gue selalu memperhatikan penampilan gue sekarang, menjadi sangat kritis terhadap semua hal yang dipakai oleh orang-orang. Tiba-tiba gue jadi keinget lanjutan lamunan gue tadi. Udah berbulan-bulan sejak gue putus dari David, gue selalu berfikir apa salahnya sih profesi gue sekarang ini? Dulu sempat David jelasin ke gue kalo Nyokapnya keberatan dengan profesi gue yang menyita banyak waktu. Nanti kalo udah punya anak siapa yang bakal ngurus anaknya? Baby sitter? Anak baby sitter dong kalo gitu. Kurang lebih gitu lah hasil analisis gue terhadap isi otak nyokap David. Sebagian hidup gue memang gue habisin di kantor. Bahkan ruangan pribadi di kantor, gue modifikasi secara khusus dengan menambahkan satu ruang untuk sekedar merebahkan kepala atau bahkan menghabiskan malam alias menginap. Desakan profesi yang membuat gue begini dan gue sangat enjoy dengan semuanya. Iya gue sadar, umur gue udah hampir menginjak kepala tiga. Sudah saatnya atau bahkan sudah melewati batas normal wanita- menikah. Tapi apa daya, calon mertua gue tidak merestui anaknya menikah dengan wanita seperti gue ini. Apa iya gue harus mengorbankan hal yang membuat gue nyaman didalamnya, yang selama gue sekolah posisi inilah yang sangat gue dambakan, lalu menukar semuanya demi mama mertua itu? Ini sama saja seperti menukar separuh hidup gue dengan sekantung emas yang nggak gue tau dalamnya emas murni 24 karat atau nggak. Percaya tidak percaya, inilah kenyataannya. Yang jelas gue enjoy dengan gue yang sekarang.

Ternyata efek atas kejadian David itu telah membuat hati gue mati rasa. Terlalu berlebihan mungkin, tapi gue nggak punya kata lain untuk mendeskripsikan keadaan hati gue sekarang ini. Rasanya malas sekali berhubungan dengan cinta menurut gue cuma 30% tulus dan sisanya bullshit- dan hati. Tapi gue masih normal, setidaknya sebagian kecil hati gue, gue masih mengharapkan suatu hubungan yang long last, tidak rumit, dan apa adanya. Gue masih sangat- berharap seorang yang tepat datang pada waktu dan tempat yang tepat. Tapi bagaimana caranya menolak radiasi magnet yang dimiliki laki-laki dewasa bernama Adit itu? Entah mengapa pandangan gue ke dia berbeda. Apa mungkin karena etos kerjanya yang bagus? Apa hanya karena postur tubuhnya yang membuat banyak wanita melirik tak cukup hanya sekali? Physical view dong kalo gitu namanya. Pamali atuh Van ngeliat orang dari penampilannya aja! Batin gue beradu dengan logika. Tapi kenapa harus dia yang menarik hati gue? Kenapa harus seseorang yang sudah bertunangan dan hampir menikah? ********************* Dengan langkah cepat gue berjalan memasuki kantor sambil sesekali melirik jam tangan, hampir tengah malam, batin gue. Segera gue mempercepat langkah menuju ruangan Eliza, berharap malam ini dia sedang duduk manis di ruangannya dan tidak pergi keluar dengan pacar barunya itu. Yeah, thanks God doa gue terkabul. Gue mendapati Eliza sedang serius berkutat dibalik layar laptopnya. Za, ini editan buat besok, ucap gue begitu sampai di ruangan Eliza. Yuhuuu, taroh di box aja Van, suruh Eliza sambil menunjuk box di atas meja, Eh btw abis dari mana lo, gue denger dari bos katanya lo minta izin ngedit diluar?. Gue duduk di sofa sambil menyomot cookies kepunyaan Eliza. Oh God, gue lupa belum makan. The Coffee Za ucap gue sambil mengunyah. What? Nggak salah denger gue Van? Ngapain lo disana? Nginget-inget si David cemen itu lagi?, protesnya. Nggak lah, gue cuma ngerasa kangen aja sama The Coffee. Eh gue tidur dulu ya Za, ngantuk, ucap gue sambil sesekali menguap menahan kantuk. Selama itu nggak bikin lo down lagi, gue ngijinin. Tapi awas aja lo kesana cuma pengen nginget-inget si tengil itu lagi dan.., sebelum Eliza mengoceh lebih panjang gue buru-buru keluar ruangannya sambil membawa setoples cookies coklat kepunyaannya.

Udah Za, ngomelnya lanjutin besok aja gue ngantuk, mau tidur di ruangan gue. Oh iya, gue minta cookies lo ya. Makasih Liza sayang. Dengan cepat gue menutup pintu ruangan Eliza, sayup-sayup masih terdengar suaranya mengomel. Dasar Eliza!. Dia memang orang yang paling sensitif kalo gue ngomongin David dan mengingat lagi masa lalu yang nggak layak buat disimpan sebagai beautiful memories. Tapi dibalik sifatnya yang cerewet, Eliza adalah seseorang yang menyelamatkan hidup gue setelah hampir sebulan gue jadi zombie. Gue masih inget gimana dia narik gue ke salon buat merubah penampilan gue yang sangat mengenaskan waktu itu. Gue masih inget gimana dia membereskan kamar gue yang lebih mirip gudang. Dan gue masih inget banget gimana dia memotivasi gue bahwa hidup itu harus berlanjut, Move on Tivanny!, itu kata-kata dia yang paling gue inget. Truly, shes my great motivator! ********************* Sebenarnya tidur di kantor adalah pilihan yang buruk. Soalnya begitu bangun, badan jadi pegal. Maklum gue tidur bukan di spring bed king size, tempat tidur gue cuma berupa sofa sempit yang sengaja diletakkan di pojok ruangan dan ditutup dengan selembar kain. Tapi terkadang tidur di kantor juga bisa jadi alternatif yang cemerlang daripada memaksakan diri pulang dini hari dengan resiko diganggu preman-preman jalanan. Setelah cuci muka dan gosok gigi, gue memutuskan balik ke rumah untuk sekedar mandi atau bahkan melanjutkan tidur. Sepertinya pilihan kedua yang kali ini bakal gue pilih. Selain tugas gue udah kelar, hari ini gue juga rada males berinteraksi sama Adit. Setelah membereskan ruangan lalu pamit ke Eliza, gue segera keluar dari kantor. Baru berjalan beberapa langkah dari ruangan Eliza, tiba-tiba ada tangan yang menahan langkah gue. Adit tersenyum namun tangannya belum terlepas dari bahu gue. Oh My God, mau ngapain lagi dia? batin gue. Setelah sadar bahwa tangannya masih di bahu gue, dia segera menurunkannya, Sorry Van, gue cuma mau ngasih ini ke lo, ucapnya sambil memberikan sebuah undangan berwarna coklat muda. Gue belum sepenuhnya sadar benda apa yang sekarang ada di tangan gue sebelum Adit melanjutkan kata-katanya,Dateng ya Van ke pernikahan gue besok lusa. ********************* Bukan, bukan karena undangan yang sekarang ada ditangan gue. Bukan juga karena tadi dia megang bahu gue dengan senyumnya yang sempurna. Ah, kenapa sekarang gue memikirkan kata-kata yang dulu pernah Adit ucapkan? Sial.

Gue bergegas mengunci ruangan, sebentar lagi hujan turun. Gue setengah berlari kearah parkiran, namun sialnya gue menabrak seseorang yang berjalan dari arah yang berlawanan. Semua berkas yang dibawanya jatuh bertebaran di lantai. Seperti yang sering diceritakan di sinetron-sinetron, dia mendongak kearah gue dan juga sebaliknya. Adit. Sorry banget ya dit , ucap gue sambil membantu membereskan kertas-kertas yang bertebaran dimana-mana. Mau kemana sih Van, buru-buru amat, tanyanya. Belum sempat gue jawab, hujan lebih dahulu menjawab. Yak, bagus. Gue nggak bisa pulang batin gue. Gue mau pulang Dit, tapi udah keburu ujan., ucap gue dengan nada rendah. Haha ya udah, temenin gue makan yuk. Laper nih. Daripada lo bengong nungguin ujan?, pintanya. Setelah gue pikir-pikir, apa salahnya mengiyakan permintaan Adit. Toh kayaknya hujannya bakal betah. Gue dan Adit akhirnya berjalan menuju kantin setelah sebelumnya dia

mengumpulkan berkas ke ruangan Eliza. Gue cuma pesen jus strawberry sedangkan Adit memilih nasi goreng. Sejak saat itu lah gue kenal Adit lebih jauh melalui semua cerita yang dia paparkan tanpa ragu ke gue. Gue juga jadi tau bahwa keluarganya termasuk keluarga yang kurang harmonis. Dan saat dia membahas masalah cinta, gue cuma ngomong seperlunya aja. Dia yang lebih banyak cerita tentang hubungannya dengan seorang cewek dan mereka sudah merencanakan pernikahan mereka. Di sela-sela pembicaraan kita, dia berkata, Coba gue lebih dulu ketemu lo daripada cewek gue sekarang, tentu gue nggak senyesel ini Van. Entah apa yang ada dibenak Adit waktu itu, yang jelas kata-kata itu membuat gue melayang sangat tinggi ke atas nirwana hingga bisa merasakan harumnya kasturi. Membuat gue senyum-senyum sendiri ketika mengingatnya. Seharusnya dia lebih berhati-hati saat berbicara, terlebih dengan wanita seperti gue ini. Gue memandangi sekali lagi undangan yang masih ada ditangan gue sekarang ini. Sungguh tidak etis bila gue nggak ikut berbahagia atas pernikahan mereka. Ya, gue pasti dateng kok Dit. Gue menghirup nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Gue merasa lebih baik. Tuhan punya rencana yang lebih indah dan gue yakin akan itu. Terkadang masalah membuat kita lebih dewasa dan lebih bijak dalam mengambil keputusan. Gue hanya perlu menunggu kata-kata will you marry me? dari seseorang yang

memang sudah ditakdirkan buat gue. Gue hanya perlu bersabar. Gue hanya perlu berusaha membenahi diri sampai saat itu tiba. Gue hanya perlu pergi ke The Coffee sekarang juga..

Anda mungkin juga menyukai