Anda di halaman 1dari 13

MILITER DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA:

I. PENDAHULUAN
Dalam dekade beberapa tahun belakangan ini, terutama sejak digulirkannya reIormasi
tahun 1998 yang berakhir dengan jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei
1998 perbincangan mengenai peran militer (TNI) khususnya peran Tentara Nasional Indonesia-
Angkatan Darat (TNI-AD) semakin banyak diperbincangkan serta melahirkan banyak istilah
mengenai peran TNI, Back to Basics, hapuskan Dwi Fungsi ABRI, Kembali ke barak adalah
sebagian dari banyak istilah yang muncul tersebut.
Menghangatnya perbincangan back to basics ini terjadi lebih-lebih setahun setelah
berlangsungnya pemilu 1992, ketika para wakil rakyat sedang bersidang untuk memilih presiden
untuk periode berikutnya dan menjelang pemilihan ketua umum Golkar saat itu. (Santoso, 1995:
140)
Peran dan posisi militer (TNI) dalam percaturan dan sistem politik Indonesia adalah
sejarah panjang bangsa ini. Tentara dalam sejarah kelahirannya berperan aktiI dalam kehidupan
politik bangsa dan merupakan salah satu kekuatan dalam perjuangan bangsa.
Dalam periode pra kemerdekaan, peran politik tentara diwujudkan melalui kegiatan politik para
laskar pejuang, yang karena kesadarannya mengangkat senjata berupaya untuk mengusir
penjajah dan memerdekakan bangsa Indonesia. Pada periode berikutnya, peran dan Iormat
politik tentara diaktualisasikan melalui upaya menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan
17 Agustus 1945.
Di awal tahun 1950-an hingga menjelang berakhirnya dekade 1950-an, kehidupan politik
bangsa Indonesia diwarnai pelaksanaan demokrasi liberal dengan sistem multi-partai. Kondisi
kehidupan politik saat itu melahirkan ketidakstabilan pemerintahan, pemerintahan jatuh-bangun
dan hanya bertahan hingga beberapa bulan, karena masing-masing partai lebih cenderung
memperjuangkan kepentingan ideologi partainya daripada kepentingan bangsa secara utuh.
Dalam dekade 1950-an ini peran sosial-politik tentara mulai tampak kepermukaan, yaitu dengan
menjadi pelopor untuk menyarankan kembali ketatanan kehidupan politik berdasarkan UUD
1945 yang berlanjut dengan adanya peristiwa 17 Oktober 1952. Peran sosial-politik TNI/ABRI
secara Iormal dalam periode ini adalah sejak TNI mendapatkan kesempatan untuk menjadi
Dewan Nasional yang dibentuk oleh Presiden Soekarno. Peran TNI/ABRI dalam sosial-politik
ini dikukuhkan secara Iormal melalui pidato Kasad Jenderal TNI A.H. Nasution, tanggal 11
November 1958, yang selanjutnya dikenal dengan istilah Dwi Fungsi ABRI. (Ginting, 1997: 6)
Peran TNI/ABRI dalam bidang sosial-politik tidak hanya berhenti sampai pada periode 1950-an.
Peran ini bahkan menjadi lebih besar terutama sejak pertengahan tahun 1960-an, yaitu dengan
dibentuknya Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sek-Ber Golkar) pada tanggal 20 Oktober
1964 dan mencapai puncak pada masa kekuasaan Orde Baru (ORBA).
ReIormasi hubungan sipil-militer mutlak menjadi salah satu bagian dari proses demokratisasi di
Indonesia. Namun begitu panjangnya sejarah keikutsertaan TNI/ABRI dalam bidang sosial-
politik bangsa membuat sebagian para petinggi TNI/ABRI saat itu (sebelum reIormasi 1998)
terasa enggan untuk meninggalkannya dan melakukan perubahan. Adanya keengganan sebagian
para petinggi TNI/ABRI dalam rangka untuk melakukan perubahan merupakan suatu tantangan
dalam mewujudkan demokratisasi dan supremasi sipil.
Pada tahun 1998 menjelang peringatan HUT TNI/ABRI ke-53 militer (tentara) merespon
perubahan lewat Paradigma Baru TNI dan adanya reposisi peran POLRI dengan dipisahkannya
dari institusi militer (TNI/ABRI) yang berdiri sendiri dan posisinya langsung di bawah presiden.
Dalam paradigma lama, orientasi TNI adalah melaui pendekatan keamanan. Orientasi
pendekatan keamanan yang mendorong terbangunnya persepsi diri TNI yang menempatkan TNI
dalam posisi sentral dan menjadi penjuru atas keputusan yang menyangkutkehidupan bernegara
dan berbangsa. Karena TNI berperan utama dalam Iungsi keamanan ataupun karena tidak dapat
dilepaskan dari kepentingan keamanan, pendekatan tersebut lebih dikenal sebagai pendekatan
keamanan. Sebaliknya paradigma baru adalah paradigma yang dilandasi cara berpikir yang
bersiIat 'analitik dan 'prosIektiI ke masa depan berdasarkan pendekatan komprehenshiI yang
memandang TNI sebagai bagian dari sistem nasional. Dalam kaitan ini cita-cita mewujudkan
tujuan nasional harus dilaksanakan secara terpadu oleh segenap komponen bangsa berdasarkan
satu visi nasional. (TNI, 1999: 22-23)
Namun, paradigma ini masih mengesankan sesungguhnya militer belum rela meninggalkan
kancah politik. Militer masih ingin berpolitik, cuma tidak di depan. Maka tidak mengherankan
bila militer tetap berada di DPR dan MPR setidaknya sampai dengan tahun 2004 serta
mempunyai kesempatan langsung mempengaruhi proses politik pasca Orde Baru. Hal ini dapat
dilihat dengan banyaknya petinggi dan mantan petinggi TNI yang terjun ke politik praktis
dengan ikut serta dalam pemilu legislatiI (DPR dan DPD) dan eksekutiI (Presiden dan Wakil
Presiden).
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi
rumusan masalahnya adalah; Bagaimanakah peran militer (TNI/ABRI) dalam proses
demokratisasi dan mewujudkan supremasi sipil (civil society)?

II. MILITER DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA
Lahirnya Tentara Nasional Indonesia membicarakan kelahiran Tentara Nasional Indonesia
(TNI) tidak bis lepas dari perkembangan militer dimasa pemerintahan Jepang. Kelahiran Tentara
Nasional Indonesia tidak bersamaan dengan kelahiran Negara Republik Indonesia atau
Proklamasi 17 Agustus 1945. (Karim, 1989: 21)
Dalam catatan sejarah menunjukkan bahwa model gerakan perjuangan kemerdekaan yang
dilakukan oleh generasi-generasi sebelum tahun 1940-an, lebih banyak menempuh jalan
diplomasi dengan tekanan-tekanan intelektual guna membentuk opini massa, daripada jalan
kekerasan dan peperangan. Namun semenjak memasuki tahun 1940-an telah muncul generasi-
genaerasi yang tidak sabar terhadap cara perjuangan generasi tua yang masuk dalam generasi
kebangsaan tersebut. Mereka telah menemukan caranya sendiri, bahwa untuk mencapai
kemerdekaan tidak mungkin hanya melalui jalan berunding dengan pengajuan petisi, tanpa
diikuti oleh tekanan aksi Iisik (tindakan militer).
Ketidak sabaran generasi muda tersebut telah mendorong terjadinya revolusi. Jalan pintas
yang radikal telah membuahkan cara berpikir yang pragmatis, melakukan aksi perang. Dalam
peristiwa tersebut telah melahirkan anak-anak revolusi dan dampaknya telah berhasil mendorong
secara cepat terealisasikannya konsep-konsep menuju kemerdekaan yang telah dipupuk sejak
pergerakan kebangsaan. (Dydo, , 1989: 26-27)
Sebelum lahirnya Tentara nasional Indonesia, di negara kita dikenal adanya Heiho dan
PETA. Banyak Putera Indonesia yang memasuki Heiho dan PETA ini. Pembentukn dua
organisasi butan tenta Jepang ini sudah barang tentu dilatar belakangi oleh maksud-maksud
penjajahan Jepang yang berusaha mempertahankan kekuasaannya di negara kita. Di samping itu
dikenal pula KNIL, tentara Belanda. Pada tanggal 22 Agustus 1945 dibentuk Badan Keamanan
Rakyat (BKR) yang bukan merupakan suatu organisasi militer resin, melainkam bersiIat
kerakyatan. (Karim, 1989: 21)
Tidak adanya kesatuan tentara (Angkatan Perang) permanen yang dimiliki oleh Pemerintah
Indonesia sejak diproklamasikannya kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, menimbulkan
keheranan dan tanda tanya besar oleh beberapa pimpinan pejuang yang bergerak dalam bidang
ketentaraan. Oerip Soemohardjo, seorang pensiunan Mayor KNIL (Koninklijke Nederlandsche
Indische Leger), mengatakan 'Aneh, suatu negara zonder Tentara (Dydo, 1989: 26)
Mengingat eksistensi kemerdekaan yang semakin hari semakin terancam dengan adanya usaha-
usaha kaum pejajah untuk kembali ke Indonesia, dan Marsekal Terauchi diperintahkan oleh Mac
Arthur untuk meampertahankan status quo di daerah pendudukannya serta mendaratnya Tentara
Inggris di Jakarta pada tanggal 16 September 1945 yang dipimpin oleh Lord Louis Mounbatten
yang mendesak jepang untuk mempertahankan status quo telah pula membuat anggota Badan
Keamanan rakyat (BKR) semakin berani berhadapan dengan tentara Jepang. Dan semakin
bertambah panas setelah datangnya pasukan tambahan tentara Inggris pada tanggal 29 September
1945 di bawsah pimpinan Sir Philip Christison.
Adanya kenyataan yang demikian itu membuat para pemimpin pemerintahan kita saat itu
menyadari betapa pentingnya sebuah angkatan perang (tentara) dalam mempertahankan
kemerdekaan. Untuk itu pemerintah pada tanggal 5 Oktober 1945 mendirikan Tentara Keamanan
Rakyat (TKR) dengan Oerip Soemohardjo sebagai Kepala StaInya, dan sehari setelah itu
pemerintah mengeluarkan sebuah maklumat yang mengangkat Suprijadi sebagai menteri
Keamanan Rakyat.
Setelah lahirnya TKR, maka BKR, PETA, KNIL, Heiho, dan lasykar-lasykar lainnya, oleh
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dikeluarkan perintah mobilisasi TKR, yaitu dengan
menyatukan lembaga-lembaga yang telah ada selama ini di bawsah panji TKR.
Atas prakarsa Markas tertinggi TKR pada tanggal 1 Januari 1946, dikeluarkanlah Penetapan
Pemerintah No. 3/SD. 1946 yang mengubah Tentara Keamanan Rakyat menjadi 'Tentara
Keselamatan Rakyat dan Kementerian Keamanan Rakyat diubah menjadi 'Kementerian
Pertahanan. Dan pada tanggal 26 Januari 1946 keluarlah maklumat Pemerintah yang mengubah
Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).
Berdasarkan maklumat ini, dinyatakan bahwa Tentara Republik Indonesia (TRI) bersiIat nasional
(kebangsaan) dan sekaligus merupakan satu-satunya organisasi militer di Indonesia.(Karim,
1989: 23)
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesai dalam perjalanan selanjutnya juga
tidak lepas dari polarisasi orientasi politik sipil-militer, Soekarno-Hatta-Sjahrir di satu pihak
yang lebih menekankan pada strategi diplomasi, dan dipihak lain Soedirman-Oerip-Soetomo dari
kalangan militer bersama lasykar-lasykar yang berorientasi pada strategi perang dalam
menghadapi Belanda hampir saja membawa petaka, yaitu rusaknya persatuan nasional yang
belum lama dibangun. Di samping adanya polarisasi militer-sipil tersebut, dalam tubuh barisan
angkatan bersenjatapun masih terdapat Iriksi-Iriksi yang timbul dari lasykar-lasykar yang belum
sepenuhnya mampu keluar dari bayang-bayang ideologi induknya semula.
Guna mengatasi kemelut yang terjadi dalam tubuh militer ini maka pada tanggal 5 Mei
1947 Pemerintah mengeluarkan dekrit untuk membentuk panitia yang diketuai oleh Presiden,
dengan beranggotakan 21 orang. Panitia Pembentukan Organisasi Tentara Nasional Indonesia ini
menghasilkan keputusan yang dimuat dalam Penetapan Presiden. Penetapan yang dikeluarkan 7
Juni 1947 inilah yang membentuk organisasi 'Tentara Nasional Indonesia. Bertitik tolak dari
uraian tersebut di atas, maka Tentara Nasional Indonesia (TNI) sekarang ini terbentuk dari tiga
elemen pokok yang mempunyai ciri-ciri khas tersendiri, yaitu: KNIL, PETA, dan lasykar-
lasykar.
Demokrasi dan Demokratisasi
Demokrasi saat ini merupakan kata yang senantiasa mengisi setiap wacana perbincangan
berbagai lapisan masyarakat baik dari lapisan masyarakat kelas bawah (grass root) hingga
masyarakat kelas menengah dan atas. Dan sering sekali dikaitkan dengan berbagai persoalan
yang berhubungan dengan keagamaan dan bidang keilmuan lainnya, seperti: 'Islam dan
Demokrasi, 'Ekonomi dan Demokrasi, 'Hukum dan Demokrasi, dan lain sebagainya.
Demokrasi sebagai salah-satu corak pemerintahan, berasal dari kata demos dan cratein (bahasa
Yunani) yang berarti rakyat dan kekuasaan. Jadi titik sentral dari pemerintahan demokrasi adalah
kedaulatan rakyat. Mengingat kedaulatan itu melekat pada diri orang untuk mengatur dan
mempertahankan dirinya, serta mengingat rakyat itu bukan pula satu atau dua orang, tetapi
merupakan gabungan atau kumpulan dari orang-orang yang secara sadar bergabung untuk
mengatur diri mereka, maka kedaulatan itu pun kemudian digabung pula. Kedaulatan rakyat ini
pun bukan untuk melindungi sebagian rakyat dan menindas sebagian yang lain. Tetapi untuk
melindungi keseluruhan rakyat dalam wilayah kedaulatan negara, sesuai dengan tujuan negara
sebagaimana tercantum dalam konstitusi.
Moh. MahIud MD, menyebutkan setidaknya terdapat dua alasan mengapa demokrasi
dijadikan sebagai dasat dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan, Pertama, hampir
semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang Iundamental; Kedua,
demokrasi sebagai asas kenegaraan yang secara esensial telah memberikan arah bagi peranan
masyarakat untuk menyelenggaraakan negara sebagai organisasi tertingginya. (MahIud, 1999: 5-
6)
Adapun Amien Rais dalam pengantar buku Demokrasi dan Proses Politik, seperti dikutip
oleh Umaruddin Masdar menyebutkan ada tiga asumsi yang membuat demokrasi diterima secara
luas di dunia. Pertama, demokrasi tidak saja merupakan bentuk vital dan terbaik pemerintahan
yang mungkin diciptakan, tetapi juga merupakan suatu doktrin politik luhur yang akan
memberikan manIaat bagi kebanyakan negara. Kedua, dsemokrasi sebagai system politik dan
pemerintahan dianggap mempunyai akar sejarah yang panjang sampai ke zaman Yunani Kuno,
sehingga ia tahan bantingan zaman dan dapat menjamin terselenggaranya suatu lingkungan
politik yang stabil. Ketiga, demokrasi dipandang sebagai sistem yang paling alamiah dan
manusiawi sehingga semua rakyat dinegara manapun akan memilih demokrasi bila mereka diberi
kebebasan untuk melakukan pilihannya. (Masdar, 1999: 86)
Dalam menjalankan pemerintahan demokrasi, masing-masing negara tidaklah sama. Setiap
negara mengklaim bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahaan atau sistem politik yang
mereka bangun adalah demokrasi. Indonesia merupakan negara yang mendasarkan
kedaulatannya atas dasar kedaulatan rakyat disamping atas dasar kedaulatan hukum. Hal ini
dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Sebelum Perubahan, 'Kedaulatan ialah
di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan
bandingkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Setelah Perubahan 'Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, namun dalam pelaksanaannya
kedaulatan rakyat itu tidak pernah dijalankan selama lebih kurang empat puluh tahun (5 Juli
1959-21 Mei 1998). Setelah kejatuhan Soeharto (Orde Baru) tuntutan untuk penyelenggaraan
pemerintahan demokrasi merebak sampai kepelosok-pelosok negeri. Demokratisasi menjadi
salah satu istilah yang tak dapat dipisahkan dari tuntutan penyelenggaraan pemerintahan
demokrasi tersebut. Untuk itu perlu kita ketahui apa dan bagaimanakah demokrasi, demokratisasi
dan pemerintahan demokratis tersebut.
Herts dalam bukunya Political Realism and Political Idealism sebagaimana dikutip oleh
Soekarna dalam buku Sistem Politik, menyebutkan bahwa 'Democracy is a Iorm oI government
in which no one member, has political prerogative over any other. Government thus the rule oI
all over all in the common, as opposed to the individual or separate group interest) (Soekarna,
1990: 37). Yang artinya adalah 'Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana tidak satu
orangpun anggota (rakyat/kelompoknya), mempunyai hak prerogatiI politik terhadap anggota
(rakyat/kelompoknya) lainnya. Pemerintahan adalah dilakukan dengan aturan oleh keseluruhan
anggota (rakyat/kelompoknya) untuk keseluruhan masyarakat, sebagai suatu penentangan
terhadap kepentingan perseorangan atau kelompok terpisah.
JoseIh A. Schmeter menyebutkan, 'demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional
untuk mencapai suatu keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk
menentukan dan memutuskan dengan cara perjuangan kompetitiI atas suara rakyat, sedangkan
Sidney Hook, menyebutkan 'demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dimana keputusan-
keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada
kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa, adapun Philippe C.
Schmiiter dan Terry Lynn Karl menyebutkan bahwa 'demokrasi merupakan suatu sistem
pemerintahan dimana pemerintah dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan mereka di
wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan
kerjasama para wakil mereka yang telah terpilih. (Ubaidillah, 2000: 162)
Pendapat lain menyebutkan bahwa demokrasi bukan sebagai suatu jenis organisasi, tetapi sebagi
suatu keadaan tertentu dari kemakmuran, bukan sebagai cara memproduksi, tetapi sebagi suatu
hasil produksi. Menurut Braybroooks, demokrasi adalah hasil dari segala sesuatu yang
diinginkan: 'personal right, human welIare, collective preIerence. Ini adalah juga konsepsi
marxis-leninis dari demokrasi. Suatu perekonomian seperti perekonomian Soviet disebut
demokrasi rakyat, karena produksi dianggap mengabdi pada seluruh rakyat. (Doel, 1988: 11)
Dari pendapat para ahli di atas terdapat benang merah atau titik singgung tentang
pengertian demokrasi, yaitu rakyat sebagai pemegang kekuasaan, pembuat dan penentu
keputusan dan kebijaksanaan tertinggi dalam penyelenggaran negara dan pemerintahan serta
pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakannya baik yang dilaksanakan secara lanmgsung oleh
rakyat atau mewakilimya melalui lembaga perwakilan. Karena itu negara yang menganut sistem
demokrasi diselengarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat mayoritas serta tidak
mengesampingkan rakyat minoritas.
Moh. MahIud MD menyatakan bahwa negara yang negara yang menganut asas demokrasi,
maka kekuasaan pemerintah berada di tangan rakyat. Pada negara yang menganut asas demokrasi
ini didalamnya mengandung unsur; pemerintahan dari rakyat (government oI the people),
pemerintahan oleh rakyat (government by the people), dan pemerintahan untuk rakyat
(government Ior the people). (MahIud, 1999: 8)
Demokrasi dalam menjalankan usahanya untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, maka
harus menjalankan prinsip-prinsip yang ada padanya. Adapun prinsip-prinsip yang terdapat
dalam demokrasi adalah, sebagai berikut: (Sukarna, 1990: 40-42)
1. Pembagian kekuasaan: kekuasaan legislatiI, eksekutiI dan yudikatiI berada pada badan
yang berbeda.
2. Pemerintahan konstitusionil
3. Pemerintahan berdasarkan hokum
4. Pemerintahan mayoritas
5. Pemerintahan dengan dialog
6. Pemilihan umum yang bebas
7. Partai politik lebih dari satu dan menjalankan Iungsinya, yaitu:
a. Mencalonkan kandidat
b. Membina pendapat masyarakat
c. Menarik rakyat untuk memilih
d. Mengeritik penguasa
e. Memilih orang-oramg yang akan diangkat dalam pemerintahan
I. Melakukan pendidikan politik
g. Memilih pemimpi-pemimpin politik
h. Memadukan pemikiran-pemikiran politik
i. Melakukan sosialisasi politik
j. Menyelesaikan perselisihan-perselisihan
k. Mempersatukan pemerintahan
l. Mempertanggumngjawabkan pemerintahan

8. Managemen terbuka (tranIarancy):
a. Ikut sertanya masyarakat dalam urusan pemerintahan
b. Mempertanggungjawabkan pemerintah terhadap rakyat
c. Adanya dukungan rakyat terhadap pemerintah
d. Adanya pengawasan rakyat terhadap pemerintah
9. Pers yang bebas
10.Pengakuan terhadap hak-hak minoritas
11.Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
12.Peradilan yang bebas dan tidak memihak
13.Pengawasan terhadap adminisdtrasi Negara
14.Mekanisme politik yang berubah antara kehidupan politik masyarakat dan kehidupan
politik pemerintah
15.Kebijaksanaan negara dibuat oleh badan perwakilan politik tanpa paksaan dari badan
lain
16.Penempatan pejabat-pejabat dalam pemerintahan dengan merit system bukan spoil
system
17.Penyelesaiaan perpecahan secara damai atau secara kompromi
18.Jaminan terhadap kebebasan individu dalam batas-batas tertentu, seperti:
a. Kebebasan berbicara atau mengemukakan pendapat dan pikiran
b. Kebebasan beragama
c. Kebebasan dari rasa takut
d. Kebebasan dari pada kebutuhan (bekerja/berusaha)
19.Konstitusi/Undang-Undang Dasar/Peraturan Perundang-undangan yang demokratis
20.Adanya persetujuan

Inu Kencana syaIi`i, prinsip-prinsip demokrasi adalah sebagai berikut: (Ubaidillah, 2000: 166-
169)
1. Adanya pembagian kekkuasaan (sharing power)
2. Adanya pemilihan uumum yang bebas (general election)
3. Adanya manajemen pemerintahan yang terbuka
4. Adanya kebebasan individu
5. Adanya peradilan yang bebas
6. Adanya pengakuan hak minoritas
7. Adanya pemerintahan yang berdasarkan hokum
8. Adanya pers yang bebas
9. Adanya muti partai politik
10.Adanya musyawarah
11.Adanya persetujuan parlemen
12.Adanya pemerintahan yang konstitusionil
13.Adanya ketentuan pendukung dalam system demokrasi
14.Adanya pengawasan terhadap administrasi public
15.Adanya perlindungan hak asasi manusia
16.Adanya pemerintahan yang bersih (cleant and good government)
17.Adanya persaingan keahlian (proIesionalitas)
18.Adanya mekanisme politik
19.Adanya kebijakan negara yng berkeadilan
20.Adanya pemerintahan yang mengutamakan tanggung jawab.

Prinsip-prinsip demokrasi yang dikemukakan oleh Sukarna dan Inu pada prinsipnya
hampir sama, yang membedakannya adalah dalam hal penomoran dan sistematikanya.
Pendapat lain yang menyebutkan tentang prinsip-prinsip demokrasi ini adalah Robert S. Dahl
dengan tujuh prinsipnya, yaitu: Pertama, kontrol atas keputusan pemerintah; kedua, pemilihan
yang teliti dan jujur; ketiga, adanya hak memilih; keempat, adanya hak untuk dipilih; kelima,
kebebasan menyetakan pendapat tanpa ancaman; keenam, kebebasan mengakses demokrasi;
ketujuh, kebesasan berserikat. (Ubaidillah, 2000: 169)
Sedangkan menurut Masykuri Abdillah, prinsip-prinsip demokrasi terdiri atas persamaan,
kebebasan dan pluralisme. Prinsip persamaan memberikan penegasan bahwa setiap warga
negarabaik rakyat biasa ataupun pejabat mempunyai persamaan kesempatan dan kesamaan
kedudukan dimuka hukum dan pemerintahan. Prinsip kebebasan menegaskan bahwa setiap
individu warga negara atau rakyat memiliki kebebasan menyampaikan pendapat dan membentuk
perserikatan. Prinsip pluralisme memberikan penegasan dan penagkuan bahwa keragaman
budaya, bahasa, etnis, agama pemikiran dan sebagainya merupakan conditio sine qua non
(sesuatu yang tidak bisa terelakkan). (Ubaidillah, 2000: 165-166)
Prinsip-prinsip ini harus bersinergi antara satu dengan yang lainnya, karena kalau prinsip-
prinsip ini berjalan berjalan tanpa diikuti oleh prinsip-prinsip yamh lainnya maka demokrasi
tidak akan dapat berjalan dengan baik.
Misalnya adalah demokrasi tidak akan dapat berjalan walaupun adanya pembagian
kekuasaan, tetapi tidak diikuti oleh adanya pemerintahan berdasarkan atas hukum, atau tanpa
diikuti oleh adanya partai politik yang lebih dari satu. Karena sangat sulit dikatakan demokrasi
bila tidak adanya alternatiI pilihan di luar partai politik yang telah ditentukan.Demokratisasi
pertama kali ditiupkan di Indonesia oleh Paul WolIowitz pada saat akan megakhiri masa jabatan
duta besarnya di Indonesia pada tahun 1989.
Pasca kejatuhan Soeharto 21 Mei 1998, Indonesia memasuki masa transisi menuju
demokrasi, yaitu suatu masa dimana telah terjadi suatu peralihan dari rezim penguasa yang
otoritarian menuju suatu tatanan pemerintahan dengan kehidupan kenegaraan yang demokratis.
Demokratisasi merupakan suatu arus transIormasi global yang terjadi dalam gelombang dunia
ketiga yang sulit dielakkan, yang bermula pada tahun 1974, yaitu tahun ditumbangkannya rezim
diktator Portugal. Ia mendeIenidsikan 'gelombang demokrasi sebagai suatu kelompok transisi
dari rezim-rezin non-demokratis yang terjadi dalam suatu kurun waktu tertentu yang jumlahnya
secara signiIikan melebihi jumlah transisi yang terjadi sebaliknya. Gelombang pertama
berlangsung lambat dan lama, yaitu hampir satu abad, mulai tahun 1823 sampai tahun 1926 dan
gelombang kedua dari tahun 1943 sampai tahun 1964. Yang menarik adalah, bahwa setiap
gelombang itu diakhiri oleh 'gelombang balik, yaitu jatuhnya rezim-rezim demokratik, pertama
berlangsung dari tahun 1922-1942, dan kedua dari tahun 1961-1975. ( Ginting,1997,: 16-17)
Tentara Nasional Indonesia, Politik dan Demokratisasi, Pecahnya peristiwa
pemberontakan Gerakan 30 September 1965 (G.30S/PKI/1965) berdampak pula terhadap
meningkatnya kekuasaan militer (TNI-AD khususnya) dalam peta perpolitikan bangsa Indonesia.
Hal ini disebabkan karena setelah terjadinya G.30S/PKI/1965 ini dua kekuasaan besar saat itu,
yaitu kekuasaan Presiden Soekarno dan PKI menjadi lemah dan hancur. Kekuasaan militer (TNI-
AD) menjadi semakin besar setelah dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 untuk
'mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan
serta kestabilan jalannya revolusi serta menjaminkeselamatan presiden. dengan berkoordinasi
dalam menjalankan pelaksanaan perintah bersama panglima-panglima angkatan serta melaporkan
segala sesuatu yang bersangkut paut dengan tugas dan tanggung jawabnya. Perjalanan politik
tentara mencapai puncaknya pada masa Orde Baru (Seharto) yaitu dengan mengebiri partai-
partai politik yang aspirasi ideologisnya digabungkan ke dalam dua partai, yaitu Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Partai-partai politik ini tidak lagi memiliki basis ideologi spesiIik sebagaimana pada masa
orde lama, pertentangan antar Iaksi dalam partai politik tersebut tidak dapat terelakkan dan
berakibat pada lemahnya dua partai itu. Berbeda dengan Golongan Karya yang didukung oleh
Birokrasi dan ABRI kelompok ini menjadi penguasa dalam menjalankan visi misi Orde Baru,
serta menguasai parelemen dan pemerintahan yang dikenal dengan istilah (ABRI, Birokrasi, dan
Golkar/ABG)
Runtuhnya kekuasaan Soeharto (Orde Baru) berdampak pula terhadap kekuasaan militer
(TNI) dalam bidang sipil dan pemerintahan. Tuntutan demokrasi dan demokratisasi juga melanda
pemikiran para petinggi militer, dengan mengeluarkan paradigma baru ABRI (TNI) pada HUT-
nya yang ke-53 pada 5 Oktober 1998 yang dilaksanakan secara bertahap. Seperti pengurangan
TNI/Polri menjadi 38 orang serta adanya maklumat Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto
untuk tidak melakukan penggunaan hak pilih anggotanya (prajurit) TNI dalam pemilu 2004.

III. PENUTUP
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
militer di Indonesia dalam masa Orde baru sudah terlalu jauh masuk dalam arena politik praktis
yang seharusnya merupakan wilayah atau area pertempuran sipil. Adanya momentum reIormasi
turut serta mengembalikan militer ke dalam posisinya semula sebagai alat pertahanan dan
keamanan negara. Tuntutan untuk tidak berpolitik praktis bagi militer (TNI) juga telah direspon
dengan keluarnya paradigma baru TNI yang dicanangkan pada 5 Oktober 1998 dan diperkuat
kembali dengan maklumat Panglima TNI Jenderal TNI. Endriartono Sutarto. Dengan semboyan
'terbaik bagi rakyat, terbaik bagi TNI. Adanya niat bak TNI tersebut hendaknya pula dapat
diterjemahkan dengan baik oleh para politisi sipil untuk tidak kembali membawa dan menyeret
militer (TNI) ke dalam kancah polik. Hal ini diharapkan dapat segera terwujudnya demokrasi dan
demokratisasi yang salah satu unsurnya adalah adanya supremasi sipil atas militer.

DAFTAR PUSTAKA
Santoso, Budi, A, Made budisupriatna, 1995, ABRI Siasat Kebudayaan 1945-1995, Kanisius dan
Lembaga Studi Realino, Yogyakarta

Doel, J, van den alih Bahasa R.L.L Tobing, 1998, Demokrasi dan Teori Kemakmuran, Gelora
Aksara Pratama, Jakarta

MahIud MD, Moh., 1999, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta
Karim, Muhammad Rusli, 1989, Peranan ABRI dalam Politik dan Pengaruhnya Terhadap
pendidikan Politik di Indonesia (1965-1979), CV Haji Masagung, Jakarta

Ginting, Selamat (ed), 1997, ABRI dan Demokratisasi, Mizan, Bandung

Sukarna, 1990, Sistem Politik, PT Citra Aditya Bakti, Bandung

Dydo, Todiruan, 1989, Pergolakan Politik Tentara Sebelum dan Sesudah G30S/PKI, Golden
Terayon Press, Jakarta

TNI Abad XXI: RedeIenisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran TNI dalam Kehidupan Bangsa,
1999, Penerbit Jasa Buma, Jakarta

Masdar, Umaruddin (dkk), 1999, Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik, Lkis,
Yogyakarta

Ubaidillah, U, 2000, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani,
IAIN Jakarta Press, Jakarta

Sumber : http://satriaabdi.blogspot.com/2008/03/militer-dalam-sistem-politik-
indonesia.html

Anda mungkin juga menyukai