Anda di halaman 1dari 19

ANALISIS YURISPRUDENSI MAHKAMAH SYARIAH DAN PENGADILAN NEGERI A. Pengertian Putusan dan Asas-asasnya 1.

Pengertian Kegiatan atau tindakan dari tugas majelis Hakim setelah selesai memeriksa perkara yang ditanganinya, adalah kegiatan atau tindakan memberikan keadilan kepada para pihak yang bersengketa dalam suatu perkara. Memberikan keadilan berarti menyatakan putusan atas perselisihan dan persengketaan diantara kedua belah pihak. Dan seperti telah dikemukakan pada bab terdahulu, keadilan yang dimohonkan oleh para pencari keadilan, ada yang bersifat contensius (persengketaan) dan ada pula yang bersifat voluntair (bukan sengketa). Keadilan yang diberikan oleh Majelis Hakim atas perkara contensius dituangkan dalam bentuk putusan (vonis), sedangkan untuk keadilan yang diberikannya terhadap perkara voluntair, (beschiking). Baik putusan maupun penateapan merupakan produk hukum pengadilan Agama yangkeberadaannya merupakan tujuan yang dikehendaki dari suatau proses pemeriksaan perkara di muka persidangan pengadilan Agama. Melalui proses pemeriksaan tersebut, penggugat / pemohon menghendaki agar gugatan / permohonannya dikabulkan, dan sebaliknya tergugat / termohon menghendaki agar gugatan / permohonannya ditolak atau setidak-setidaknya tidak diterima. Proses perkara di persidangan Pengadilan Agama adalah untuk mendapatkan suatu putusan atau penetapan, maka dapat dimegerti bahwa yang dimaksud dengan putusan atau penetapan adalah hasil atau kesimpulan suatu pemeriksaan perkara yang berdasarkan pada pertimbangan apa yang hukum,1 dan hasilnya harus dinyatakan oleh Mejelis Hakim melalui pengucapannya di muka persidangan yang terbuka untuk umum, dengan tujuan untuk mengakhiri suatu persengketa atau perkara. Dengan demikian yang disebut putusan atau penetapan, bukan saja yang diucapkan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh Mejelis Hakim di dalam persidangan. Putusan, sebagai produk
1

dituangkan dalam bentik penetapan

Subekti R, Prof, SH, dan Tjitrosoedibio, Kamus Hkum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980. Hal. 95

pengadilam agama, merupakan intisari dari pada seluruh kegiatan persidangan. Produk hukum pengadilan agama ada yang berupa putusan dan ada pula yang berupa penetapan. Diantara pengertian putusan dan keputusan yang berbeda yaitu putusan adalah produk hukum pengadilan atas suatuu perkara, sedangkan keputusan merupakan produk suatu lembaga atau instansi yang lebih bersifat administrasi, penyebutannya ditekankan kepada pimpinan lembaganya, bukan lembaganya sendiri. 2. Asas-asanya Dalam suatu putusan ada tiga hal yang mat penting yang harus diperhatikan dan penuhi dalam penyusunannya. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi suatu keresahan dan kekacauan dalam kehidupan masyarakat akibat dari putusan yang dijatuhkannya. Ketiga hal tersebut adalah : a. Adil b. Kepastian c. Kemanfaatan Asas putusan harus adil, berarti Mejelis Hakim dalam memutuskan perkara yang diadilinya semata-mata berdasarkan hukum, kebenaran dan keadilan dengan tidak mebeda-bedakan orang. Asas putusan harus mempunyai kepastian hukum, berarti putusan harus jelas, tegas dan pasti sehingga putusan tersebut dapat dilaksanakan. Suatu putusan tidak dapat dilaksanakan berarti sia-sia karena tidak dapat memberikan kemanfaatan. Tercapainya kemanfaatan dari pada suatu putusan, berarti tercapainya penegak hukum dan keadilan atas adanya pelanggara hukum / hak seorang. 3. Jenis-Jenis Putusan Putusan pengadilan Agama menurut tingkatan atau jenisnya terdiri dari : a) Putusan Sela Putusan pengadilan Agama dalam tingkatan ini merupakan outusan sementara yang dijatuhkan sebelum putusan akhir, putusan mana dijatuhkan mejelis Hakim selama persidangan pemeriksaan suatu perkara masih berjalan. Pada umumnya putusan sela ini dijatuhkan oleh mejelis hakim untuk memperlancar jalannya putusan akhir yang merupakan tujuan dari pada

pemeriksaan perkara. Keberadaannya merupakan bagian dari pada berita acara persidangan, dan tidak berdiri sendiri sebagaimana putusan akhir meskipun putusan sela tersebut dijatuhkan di dalam suatu persidangan yang terbuka untuk umum.2 Perihal putusan sela ini berbagai macam ragamnya, yakni putusan praeparator dan keputusan interlocatoir.3 Suatu putusan dianggap putusan praepator yaitu putusan sela yang dijatuhkan sebagai persiapan putusan akhir, yang merupkan persiapan untuk putusan yang sebenarnya karena tidak mengenai pokok perkara.4 Dan mengenai putusan interclocutoir adalah putusan sela yang dijatuhkan mengenai hal yang berhubungan dengan pokok perkara. Misalnya, putusan mengenai penolakan eksepsi, putusan mengenai pernghentian sementara (penangguhan) pemeriksaan karena ada sengketa kewenangan yang terlebih dahulu harus dputuskan oleh Pengadilan Tiggi Agama atau Mahkamah Angung. Selain kedua macam putusan yaitu putusan insidentil dan putusan provisonal.5 Putusan insidentil adalah apabila putusan sela tersbut dijatuhkan karena adanya suatu insiden atau kejadian. Putusan sela jenisnya ini belum berhubungan dengan pokok perekara, seperti putusan sela tentang dibolehkantidaknya seseorang sebagfai pihak ketiga dapat berikutserta dalam suatu perkara, baik dalam bentuk vrijwaring, voeging maupun tossencomts seperti yang pernah diuraikan pada bab terdahulu. Sedangkan untuk putusan Provisional adalah sebagai salah satu jenis putusan sela, adalah apabila putusan sela tersebut dijatuhkan untuk menjawab tuntutan provisional.6 b) Putusan Akhir Yang dimaksud dengan putusan akhir adalah putusan yang sebenarnya yang menjadi tujuan dari pada diadakannya pemeriksaan suatu perkara di muka
2 3

HIR, Pasal 185, R.Bg, Pasal 169 ayat (1). RV, Pasal 48 4 J.T.C. Simorangkir, SH, Drs, Rusdy T. Erwin, SH. Dan J.T. Prasetyo, SH. Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1987, halam 132. 5 RV. Pasal 332 6 Sudikno Merokusumo, Prof, Dr, SH, Hukum acara Perdata Indonesia, Liberty, Jogjakarta, 1988, hal, 185.

persidangan pengadilan Agama. Ia

adalah putusan yang mengakhiri suatu

sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu.7 Dengan dijatuhkannya putusan akhir berarti telah diperoleh suatu kepastian hukum tentang suatu yang dipersengketakan. 4. Sifat-Sifat Putusan dan Kekuatannya Putusan sebagai produk hukum Pengadilan Agama bisa berupa putusan contradictoir dan bisa pula berupa putusanverstek. Dan yang dimaksud dengan putusan contradictoir pada bab terdahulu bahwa yang dimaksud contradictoir adalah suatu putusan pengadilan Agama atas suatu pemeriksaan perkara di persidangan yang dihadiri oleh kedua belah pihak baik penggugat / pemohon atau tergugat / termohon atau stidaktidaknya pemeriksaan perkara tersebut di persidangan pernah dihadiri oleh tergugat / pemohon. Sedangkan putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan Pengadilan Agama atas pemeriksaan suatu perkara yang sama sekali tidak pernah dihadiri oleh tergugat / pemohon, meskipun terhadapnya telah dilakukan pemanggilan sepatutnya. Baik putusan contradictoir maupun putusan verstek, menurut sifatnya terbagi atas : a. Putusan declaratoir, yaitu suatu putusan yang amarnya bersifat menerangkan, dalam anti menegaskan keadaan hukum samata-mata, seperti pernyataan tentang adanya keterikatan hubngan pernikahan (itsbat) antara penggugat dengan tergugat, pernyataan tentang penggugat dan tergugat adalah ahli waris dari almarhum pernyataan bahwa harta benda A,B dan C adalah merupakan harta benda bersama penggugat dan tergugat dan lain-lain. b. Putusan constitutive, yaitu putusan yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum dan menimbulkan keadaan hukum baru, seperti pemasakhan pernikahan pennggugat dengan tergugat, penjatuhan talak bain sughro tergugat atas penggugat. c. Putusan condemnatoir, yaitu putusan yang bersifat penghukuman, seperti perintah menyerahkan hak-hak waris, A,B dan C dari almarhum kepada tergugat yang selama ini menguasainya, penghukuman tergugat guna
7

Sudikno Mertokusumo, Prof, Dr, SH, Op. Cit, hal, 183

menyerahkan harta dan lain-lain. Putusan ini menetapkan suatu penghukuman. Dalam praktek, suatu putusan Pengadilan Agama akan memuat tidak hanya satu macam sifat putusan akan tetapi selalu merupakan gabungan yang stidak-tidaknya terdiri atas dua sifat putusan, bisa antara putusan declaratoir bergabungan dengan putusan constitutive, dan bisa juga antara ketiga-ketiganya tergantung dari perkara yang bersangkutan. Dalam suatu putusan setidak-tidaknya memiliki tiga kekuatan, yakni kekuatan mengikat bagi para pihak dalam arti para pihak yang berpekara / yang bersangkutan harus patuh dan tunduk pada putusan tersebut, karena adanya kekuatan hukum yang pasti (tetap) pada putusan tersebut, sudah tidak lagi terbuka upaya hukum biasa seperti verzet, banding dan kasasi, kecuali upaya hukum yang khusus seperti request civil dan derden verzet (perlawanan pihak ketiga). Kekuatan mengikat tersebut terbatas hanya pada pokok putusan (onderwerp van vonnis).8 5. Proses Pengambilan dan Penjatuhan Putusan Dengan selesainya pemeriksan suatu perkara dimuka persidangan, yang dimulai dari pembacaan / penambahan atau perubahan gugatan / permohonan, jawaban, replik, duplik dan pembuktian, maka tidak seketika itu juga Mejelis Hakim langsung dapat menjatuhkan putusannya, melainkan dengan selesainya pemeriksaan atas suatu perkara tersebut Mejelis Hakim harus segera bermusyawarah,9 untuk mendapatkan suatu putusan yang harus dijatuhkannya atas perkara tersebut. Dalam musyawarah Mejelis Hakim dimaksud, yang harus dilakukan adalah : 10 a. Mengkonstatir Peristiwa Kegiatan ini merupakan tahapan penelaahan terhadap peristiwa konkrit yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa guna mengetahui secara obyektif mengenai duduk perkaranya sebagai dasar putusannya. Tahapan penalaahan ini berupa mempelajari suarat gugatan / permohonan, jawaban, replik, duplik dan alat-alat bukti dari masing8 9

KUHPerdata, pasal 1917, ayat (1). HIR, Pasal 178 ayat (1), R.Bg, Pasal 188 ayat (2) dan ayat (1). 10 K. Wncik Saleh, SH, Kehakiman dan Peradilan, Ghaila Indonesia, Jakarta, 1997, hal, 39

masing pihak. Dalam tahapan ini akan dapat ditemukan tentang terbukti tidaknya peristiwa yang diajukan itu. b. Mengkwalifisir Peristiwa Setelah Mejelis Hakim menyimpulkan bahwa peristiwa konkrit yang diajukan dalah terbukti besar adanya, maka selanjutnya Mejelis Hakim harus menentukan peraturan hukum apa yang berlaku kepadanya. Dalam tahapan kegiatan ini Majelis Hakim harus menemukan hukum apa yang patut diterapkan kepada peristiwa yang disengketakan tersebut. Dalam hal peraturan hukumnya telah jelas dan tegas, maka penerapan hukumnya relatif mudah. Akan tetapi dalam hal kejelasan dan ketegasan hukumnya tidak ditemukan, merupakan perkerjaan yang tidak mudah bagi Majelis Hakim, dimana ia harus berijtihad.11 Dalam arti menciptakan hukum sendiri dengan cara menafsirkan yang tepat melalui cara-cara pendekatan penafsiran yang dibenarkan, sehingga hukum ciptaanya tidak bertentangan dengan keseluruhan sistim perundanganperundangan dan memenuhi pandangan serta kebutuhan masyarakat dan zaman. c. Memberikan Keadilan Dalam tahapan ini Majelis Hakim berdasarkan dua kegiatan tersebut diatas memberikan kesimpulan dengan menyatakan suatu hukum terhadap suatu peristiwa yang diajukan. Pemberian keadilan ini dituangkan dalam suatu putusan, yang isinya tidak boleh melebihi apa yang dimintakan.12 d. Susunan dan Isi Putusan Dalam hal Majelis Hakim sudah dapat mengambil putusan hukum atas peristiwa yang ditangani, maka putusan hukum tersebut harus dituangkan secara tertulis dalam sebuah putusan Pengadilan Agama yang harus diucapkan / dibacakan di muka persidangan yang terbuka untuk umum. Perihal penyusun ini, pasal 184 HIR dan pasal 159 R.Bg mengaturnya sebagai berikut :

11

Ichtianto, SA. SH, A.Pu. Tanggung Jawab Hakim, Mimbar Hukum, No. 47 Tahun XI Jakarta, 2000. Hal, HIR, Pasal 178 (2) dan (3), R.Bg, Pasal 189 ayat (2) dan (3).

5
12

Putusan Hakim harus memuat secara singkat tetapi jelas tentang apa yang dituntut serta jawabannya, begitu pula tentang dasar-dasar keputusan itu dan apa yang dimaksud dalam pasal 7 R.O dan akhirnya putusan Pengadilan Negeri (Agama sesuai pasal 54 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989) mengenai para pihak mana yang hadir pada waktu putusan dibacakan. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka segala putusan ataupun penetapan yang dijatuhkan Pengadilan Agama dalam prakteknya penyusunannya harus terdiri atas hal-hal sebagai berikut : Kepala Putusan Identitas Para Pihak Pertimbangan Amar Putusan Penutup 6. Penerapan Alasan-Alasan Perceraian Dalam Amar Putusan Perkara perceraian merupakan perkara yang mendominasi perkara-perkara yang ditangani Pengadilan Agama. Perkara dimasud seperti yang diatur didalam pasal 66 sampai dengan pasal 72 dan pasal 73 dengan pasal 88 Undang-undang no. 7 tahun 1989 terdiri tasa perkara cerai talak dan perkara cerai gugat. Untuk terjadinya suatu perceraian baik melalui cerai talak maupun carai gugat harus memnehui alasan atau alasan perceraian yang diatur didalam pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 Peraturan pemerinatahan No. 9 tahun 1975 dan pasal 116 Kompilasi Hukum Islam. Sesuai ketentuan-ketentuan tersebut, maka yang dimaksud alasan atau alasan perceraian adalah : Slah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan, Slah satu pihak meninggal pihak lain selama 2 tahun berturur-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. Salah satu mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukum yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

Slah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat membahayakan pihak lain.

yang

Salah satu mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami / isteri. Dan lain-lain.

7. Putusan Yang Dapat Dijalankan Terlebih Dahulu Putusan macam ini dikenal dengan istilah uitvorbaar bij voorraad. Perihal ini ketentuannya diatur didalam pasal 180 ayat (1) HIR dan Pasal 191 ayat (1) R.Bg ketentuan tersebut berbunyi : Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintahkan supaya keputusan itu dijalankan dahulu biarpun ada perlawanan atau bandingnya, jika ada surat yang sah, atau surat tulisan yang menurut aturan yang berlaku dapat diterima sebagai bukti atau jika ada hukuman lebih dahulu dengan keputusan yang sudah mendapat kekuatan pasti, demikian juga jika dikabulkan tuntutan dahulu, lagi pula didalam perselisihan tentang hak kepunyaan. Berdasarkan ketentuan diatas tersebut dapat disimpulkan bahwa sutau putusan oleh Majelis Hakim dapat dinyatakan dalam putusannya sebagai putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada perlawanan (Verzet), banding atau kasasi dari pihak tergugat / termohon, apabila putusannya tersebut didasarkan kepada salah satu syarat sebagai berikut : Bukti autentik atau tulisn tangan yang menurut undang-undang mempunyai kekuatan bukti. Ada putusan yang telah berkuatan hukum tetap sebelumnya yang menguntungkan pihak penggugat dan hubungannya dengan gugatan yang bersangkutan. Ada gugatan provisional yang dikabulkan. Dalam sengketa mengenai bezitrecht.

8. Penyampaian / Pemberitahuan Isi Putusan Dalam praktek peradilan pada pengadilan Agama, adakalanya saat dijatuhkan dan dibacakan nya putusan, dihairi oleh kedua belah pihak, dan adakalanya pula hanya dihadiri oleh salah satu pihak. Dalam hal ini saat disampaikannya pemberitahuan isi putusan kepada pihak yang hadir, petugas dalam hal ini juru sita atau juru sita pengganti tidak ketemu dengan pihak dimaksud ditempat tinggalnya, maka hal tersebut pemberitahuan isi putusan olehnya harus disampaikan melalui kepala keluruhan / Desa dimana pihak yang tidak hadir dalam waktu secepat-cepatnya. B. Tindak Lanjut Dan Pelaksanaan Putusan 1. Pengertian tindak lanju dan pelaksanaan serta perbedaan antara keduanya Seperti yang diuraikan pada bab awal bahwa hukum acara pedata Agama yang berlaku pada lingkungan peradilan Agama, adalah hukum acara perdata khusus dan hukum acara perdata umum. Hukum acara perdata khusus adalah hukum acara yang berlaku dalam proses pemeriksaan dan penyelesaian perkara perceraian, baik cerai karena talka maupun cerai karena gugatan, yang ketentuan-ketentuannya diatur di dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan peraturan Perundangundangan No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan peraturan pemerintahan No. 9 tahun 1975 tentang pertauran pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974. Sedangkan hukum acara perdata umum, adalah hukum acara perdata yang berlaku pada lingkungan peradilan umum, yang ketentuan-ketentuannya di atur di dalam HIR, R.Bg, KUH Perdata, Rv dan lain-lainnya. Ketentuan-ketentuan tersebut sesuai kehendak pasal 54 Undang-undang No. 7 tahun 1989 berlaku juga bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan Agama. Pembelakuannya tersebut pada lingkungan peradilan Agama, sepanjang mengenai hal-hal yang tidak diatur di dalam Undang-undang No. 7 tahun 1989. Suatu putusan dapat segera ditindak lanjuti atau dilaksanakan (eksekusi), hanya apabila putusan tersebut telah berkuatan hukum tetap. Ia akan berlaku sebagai putusan yang berketentuan hukum tetap apabila : bertempat tinggal, dan kepala Kelurahan / Desa berkewajiban untuk menyampaikan pemberithuan tersebut kepada yang bersangkutan

a. Para pihak menrima putusan, sehingga tidak melakukan upaya hukum apapun terhadapnya b. Pihak atau pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan putusan tersebut telah tidak memanfaatkan upaya hukum yang tersedia dalam tenggang waktu yang telah ditentukan Undang-undang. c. Segala upaya baik verzet, banding maupun kasasi telah dilakukan oleh pihak atau pihak-pihak yang merasa tidak puas atas putusan tersebut. Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara tindakan Pengadilan Agama yang berupa menindak-lanjuti putusan dengan melaksanakan (eksekusi) putusan adalah antara lain : a. Tindakan menindak lanjuti putusan, merupakan tindak aktif dari Pengadilan Agama, dalam arti tanpa harus menunggu terlebih dahulu adanya permohonan dari pihak-pihak untuk menindak lanjutinya. Hal ini mengingat sifat kewajiban yang melekat padanya. b. Tindak pelaksanaan (eksekusi) putusan, merupakan tindakan pasif dari pengadilan Agama, dalam arti tindakan tersebut hanya dapat dilakukan oleh Pengadilan Agama apabila putusan tidak dijalankan secra suka rela oleh yang dikalahkan dan harus atas adanya permohonan dari pihak yang berkepentingan (yang dimenangkan dalam perkara). c. Tindak menindak lanjuti berlaku untuk putusan yang bersifat declaratoir atau constitutive di bidang perkara perceraian, dan sedangkan tindakan melaksanakan (eksekusi) putusan berlaku bagi putusan yang bersifat condemnatoir. d. Tindak menindak lanjuti putusan tidak harus dipimpin oleh ketua Pengadilan Agama, sedangkan tindakan melaksanakan putusam (eksekusi) harus atas perintah ketuan Pengadilan Agama, sebagai pimpinan eksekusi. 2. Tindak Lanjut Putusan Kegiatan ini, meskipun pada hakekatnya realisasi pelaksanaannya merupakan rangkaian dari pada tugas-tugas pengadilan Agama berupa tugas penyelesaian suatu proses perkara yang diajukan kepadanya, tidak termasuk lingkup eksekusi (pelaksanaan) putusan.

Untuk tindak lanjut putusan perceraian karena talak, yang amar putusannya antara lain dapat berbunyi : Mengabulkan permohonan pemohon. Menyatakan bahwa sidang penyaksian ikrar talak pemohon terhadap pemohon dapat ditetapkan, atau Memberi Izin kepada pemohon untuk mengikrarkan talaknya terhadap termohon di muka Pengadilan Agama. Dan seterusnya. Setelah putusan tersebut berkekuatan hukum tetap, maka Majelis Hakim yang memutusnya, harus segera menetapkan ikrar dan tanggal pelaksanaan persidangan guna menyaksikan ikrar talak pemohon (suami) kepada termohon (isteri), dengan memerintahkan panitera / Juru Sita / Juru Sita pengganti agar memanggil kedua belah pihak guna hadir datum persidangan tersebut.13 3. Makna Pelaksanaan Putusan (eksekusi) dan Tujuannya Seperti telah diuraikan di atas, bahwa rangkaian tugas Pengadilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum dan keadilan adalah menerima, memeriksa dan mengadili, serta menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan keapdanya.14 Sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwa sifat dari suatu putusan bisa berupa putusan declaratoir, constitutif, ataupun condemnatoir. Dengan berkuatan hukum tetapnya suatu putusan yang bersifat declaratoir atau constitutif, maka terhitung saat putusannga itu diucapkan, keadaan yang dinyatakan sah oleh putusan decleratoir mulai berlaku saat itu juga, atau dalam halnya putusan constitutif. Kewenangan Pengadilan Agama untuk mengeksekusi putusan adalah didasarkan pada ketentuan pasal 49 ayat (1), pasal 95 dan 98 serta pasal 103 Undang-undang No. 7 tahun 1989. Selain pasal-pasal tersebut merupakan dasar kewenangan Pengadilan Agama untuk mengeksekusi suatu putusan. Pasal-pasal tersebut juga merupakan dasar kewenangan Pengadilan Agama dalam melakukan tindakan-tindakan untuk kelancaran eksekusi, yakni tindakan penyitaan.

4. Prosedur eksekusi (Pelaksanaan Putusan)


13 14

Undang-Undangg No. 7 tahun 1989, Pasal 70 ayat (3). Ibid Pasal 49 ayat (1)

Seperti telah disebutkan diatas, bahwa dalam hal suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang semestinya secara suka rela pemenuhan prestasi yang tercantum didalam suatu putusan dilaksanakan oleh pihak tergugat / pemohon yang dikalahkan, tidak diindahkan atau tidak ditaati oleh pihak tergugat / pemohon tersebut, maka putusan tersebut dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh Pengadilan Agama yang menjatuhkan putusan tersebut. Meskipun demikian, mengingat pemaksaan pelaksanaan putusan dimaksud bagi Pengadilan Agama dalam realisasi Pelaksanaannya Pengadilan Agama bersifat pasif, dalam arti menunggu adanya permohonan dari pihak yang berkepentingan, maka prosedur yang pertama-tama harus dilakukan oleh pihak yang berkepentingan dengan (eksekusi) adalah dengan membuat surat permohonan untuk itu yang isinya mohon agar putusan tersebut dilaksanakan secara paksa (eksekusi), karena yang bersangkutan, yang dalam hal ini adalah tergugat / termohon tidak mau mentaati putusan tersebut secara suka rela. Suatu permohonan eksekusi akan diterima apabila pemohon telah membayar lunas panjar biaya eksekusi yang tercantum di dalam surat kuasa untuk membayar (SKUM) yang antara lain untuk keperluan-keperluan sebagai berikut : Biaya pencatatan dan administrasi Biaya meterai-materai yang diperlukan Biaya peneguran (pemanggilan tergugat / termohon), Biaya pemberitahuan, Biaya pelaksanaan eksekusi dan lain-lainnya. 5. Macam-macam Eksekusi dalam Praktek Eksekusi Putusan Pengadilan Agama Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam praktek eksekusi atas putusan pengadilan Agama terdapat tiga macam eksekusi yaitu : a. Eksekusi Lelang (Penjualan) Eksekusi macam ini dalam pelaksanaannya harus melalui perantara kantor lelang untuk eksekusi pelelang yang bernilai besar, sedangkan untuk eksekusi pelelangan yang bernilai sedang kebawah, pelelangannya

berdasarkan pertimbangan petunjuk ketua pengadilan Agama dan cukup dilakukan oleh petugas eksekusi.15 b. Eksekusi Riil Eksekusi riil adalah eksekusi atas putusan pengadilan agama yang berupa kewajiban pengosongan dan / atau penyerahan barang-barang baik yang bergerak maupun tetap oleh termohon eksekusi kepada pemohon eksekusi. Eksekusi macam ini pada umumnya berlaku atas putusan-putusan mengenai pembagian harta bersama (Gono gini), pembagian harta warisan, hibah, wakaf dan sadaqah. c. Eksekusi Penyerahan Anak Eksekusi penyerahan anak ini, tidak ada ketentuannya baik dalam R.Bg maupun dalam HIR. C. Putusan Hakim di Pengadilan Negeri Pemeriksaan suatu sengketa atau perkara di mjka hakim, di akhir dengan suatu putusan atau ponis. Sebagaimana telah diterangkan pada permulaan pembicaraan mengenai arti pembuktian, Hakim / pengadilan itu didalam putusannya menetapkan perhubungan hukum yang sebenarnya (yang harus berlaku) antara dau pihak yang bersengketa itu. Kalau dari pemeriksaan hakim / pengadilan tadi ternyata bahwa penggugat telah berhasil membuktikan dalil-dalilnya dan apa yang dituntut di muka pengadilan itu memang bersandar pada perraturan-peraturan hukum yang berlaku, maka pengadailan itu harus mengabulkan tuntutan penggugat. Misalnya dicantum atau amar putusan itu akan berbunyi : Mengabulkan gugatan penggugat, menyatakan penggugat sebagai pemilik yang sah atas sebidang sawah sengketa, menghukum tergugat untuk menyerahkan sawah tersebut kepada penggugat. Dalam perkara utang-piutang amar perkara ini berbunyi : Mengabulkan gugatan penggugat pengggugat menghukum tergugat untuk membayar uang sejumlah seratus ribu rupiah kepada penggugat. Dalam suatu perkara warisan amar itu berbunyi : Mengabulkan gugatan penggugat, mengaku gugat sebagai ahli waris
15

Ibid, Pasal 200 ayat 1 dan 2, Ibid, pasal 215 ayat 1 dan 2.

yang sah

dari si meninggal X, menghukum tergugat untuk menyerahkan dan

mengosongkan rumah dan tanah sengketa untuk di bagi waris antara para ahli waris X. Kalau penggugat itu hanya berhasil membuktikkan sebagian dari dalil-dalilnya, misalnya dalam perkara warisan yang terbukti hanya penggugat adalah ahli waris dari meninggal, tetapi tidak terbukti bahwa barang-barang sengketa termasuk harta warisan dari si meninggal, maka yang dikabulkan hanyalah pernyataan sebagai ahli waris tetapi tuntunan penyerahan barang-barang harus ditolak. Dari apa yang diterangkan diatas, dapat kita lihat bahwa putusan hakim itu tidak selalu berisi suatu penghukuman. Ada juga amar putusan itu menyatakan suatu keadaan sebagai ahli waris tersebut, dan ada lagi amar putusan yang menciptakan keadaan baru, misalnya pemutusan perkawinan tersebut di atas atau pernyataan pailitnya seorang. Putusan yang ada amannya mengandung suatu penghukuman dinamakan Condemataoir, putusan yang menyatakan suatu keadaan, sebagai suatu keadaan yang sah dinamakandeclatior, sedangkan putusan yang dalam amarnya meniptakan sautu keadaan yang baru dinamakan Constitutip. Adakalanya suatu putusan mengandung aik suatu declaratoir maupun suatu penghukuman. Kalau putusan hakim itu s udah tidak dapat dirobah lagi, dikatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan mutlak. Putusan pengadilan Negeri memperoleh kekuatan mutlak. Putusan pengadilan Negeri memperoleh kekuatan mutlak seketika stelah tenggang waktu untuk mengajukan permohonan kasasi lewat tanpa di pergunakan. Putusan Mahkamah Agung dengan sendirinya seketika mempunyai kekuatan mutlak, karena sudah tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dipergunakan terhadapnya. Pada umumnya putusan hakim itu baru dapat dijalankan (di-eksekusi) apabila ia sudah memperoleh kekuatan mutlak tersebut diatas pengadilan Tinggi dinyatakan dapat dilaksanakan terlebih dahulu berdasarkan Pasal 180 (1) RIB. Artinya terlebih dahulu ialah dengan tidak usah menunggu sampai putusan itu memperoleh kekuatan mutlaknya. Putusan yang memerlukan eksekusi hanyalah putusan yang cobdemnatoir, yaitu mengadung suatu penghukuman. Putusan yang declaratoir tidak perlu eksekusi, karena dengan diucapkan putusan itu sautu keadaan yang dipertengkarkan, memperoleh suatu Cap sebagai suatu keadaan yang sah dengan berlaku surut, misalnya keahliwarisan penggugat, kedudukan penggugat sebagai pemilik barang sengketa, dan sebagainya. Juga

putusan constitutip tidak perlu

dijalankan, karena dengan diucapkannya putusan itu

keadaan baru sudah tercipta : tercapainya suami isteri, pailitnya seorang pedagang, dan sebagainya. Hanya mengenai perceraian perkawinan menurut kitab Undang-undang Hukum Perdata, oleh pasal 221. Kitab Undang-Undang tersebut ditetapkan bahwa perkawinan itu baru pecah karena putusan hakim dan Pembukuan itu dalam catatan sipil (cp). Ada baiknya kiranya di catat disini, bahwa putusan declaratoir itu berlaku surat, misalnya dalam hal keahli warisan terjadi hingga saat meninggalnya siwaris, dalam hal pertengkaran tentang hak milik, hingga saat penggugat menguasai barang sengketa itu. sebaliknya putusan konstitutif hanya berlaku untuk hari depan saja. Bagaimana caranya melaksanakan suatu putusan adalah suatu masalah hukum acara semata-mata dan menemukan pengaturannya dalam pasal 195 d/s. RIB (Pasal 206. RDS). Dalam rangka hukum pembuktian baiklah diperhatikan surat putusan hakim/Pengadilan itu merupakan suatu akta otentik, dan karena itu ia memiliki segala kekuatan pembuktian yang ada pada suatu akta otentik, dan karena itu ia memiliki segala kekuatan pembuktian yang ada pada akta otentik. Disamping itu putusan hakim tadi mempunyai suatu kekuatan eksekutorial yaitu dapat dilaksanakan dengan bantuan kekuatan umum. Dan akhirnya keputusan yang telah mempunyai keputusan mutlak itu, mempunyai kekuatan mengikat dalam arti bahwa tidak boleh suatu perkara yang sudah diputus itu diajukan lagi dimuka hakim, sehingga setiap gugatan baru dapat ditangkis dengan mengajukan kepada penggugat putusan tersebut. Putusan perdata lainnya lazim terbagi atas dua bagian tentang duduknya perkara dan bagian tentang hukumnya hasil pembuktian dipertimbangkan dalam bagian pertama. Dengan adanya peradilan tingkat pertama, banding dan kasasi perlu diketahui bahwa masalah pembuktian (karena memegang Fakta) terakhir dalam tingkat banding karena pemeriksaan kasasi hanya mengenai penerapan hukum. pembukuan perkawinan.

D. Putusan Hakim di Mahkamah Syariyah a. Kasus-kasus Hukum di Seputar Kita dan Proses Pengajuan Sampai Selesainya Pengadilan Negeri dan Mahkamah Syariyah adalah lembaga hukum di mana pihak-pihak yang bersengketa dan memiliki persoalan hukum dapat menyelesaikan kasus-kasusnya. Meski demikian, penyelesaian sengketa atau masalah, sebaiknya terlebih dahulu diselesaikan dengan cara musyawarah keluarga atau diselesaikan secara adat. Tetapi jika memang tidak mencapai titik temu, kedua lembaga hukum ini dapat dijadikan sebagai tempat penyelesaian terakhir bagi penyelesaian masalah hukum. Pengajuan permohonan penetapan perwalian di mulai dengan pengajuan permohonan penetapan wali ke mahkamah syariyah tempat tinggalnya. Di dalam permohonan tersebut dilengkapi dengan fotocopy KTP, Indentitas lengkap anak-anak yang berada dibawah perwaliannya serta hubungan perwalian tersebut. Berdasrkan berkas permohonan inilah, Mahkamah Syariyah mendaftarkan sebagai perkara permohonan yang tidak ada sengketa dan tidak ada lawan, tetapi bersifat sepihak yakni pemohon saja. Setalah itu tinggal menunggu waktu persidangan di mulai. Persidangan yang dijalaninya tidak memakan waktu lama, apalagi dirinya didampingi oleh pengacara, sehingga Faisal merasa amat terbantu, meskipun demikian kehadiran pengacara tidaklah mutlak. Saksi-saksi yang diajukannya terdiri dari dua orang saksi. Saksi ini adalah orang-orang yang memberikan keterangan tentang ihwal hubungan Faisal dan anak perwaliannya tersebut. Dikatakannya, berdasarkan pengalamannya, saksi haruslah bukan keluarga dekat dan sedapat mungkin tidak memiliki pertalian darah dengan dirinya, tetapi harus betul-betul mengetahui hubungan Faisal dan calon anak perwaliannya. Dalam kasusnya, Faisal mendatangkan dua orang tetangga diamana sianak tinggal sebelum tsunami. Sidang yang dijalaninya hanya dua kali, karena saksi yang dibawanya kebetulan sangat membantunya dalam menjelaskan hubungan silsilah keturunan keluarganya. Setelah itu, keluarlah putusan Mahkamah Syariyah tentang hak penetapan perwaliannya. Ketika hakim memberikan penetapan hak perwalian, majelis hakim memberikan penjelasan tentang hak dan kewajiban serta tanggung jawab wali terhadap anak yang berada dibawah perwaliannya. Termasuk pula hak sianak apabila ia dewasa nanti untuk

menggugat ganti rugi dari wali bila hartanya tidak dapat dipertanggung jawabkan oleh siwali. Karena kasus yang dihadapi faisal ekses dari tsunami, maka faisal tidak dipunggut biaya oleh Mahkamah Syariyah. Menuruynya ia sangat puas dengan apa yang ditetapkan Mahkamah Syariyah. Hanya saja diakuinya, untuk mendapatkan saksi yang tepat dan memiliki waktu untuk hadir dalam persidangan menjadi kendala untama yang dihadapinya. Selain kasus pasca tsunami, seperti kasus Faraidh (Warisan), Mahkamah Syariyah juga menanggani kasus-kasus perceraian. Menurut salah seorang pengacara yang aktif dimitra sejati perempuan Indonesia (MISPI), Marlianita, S.H. Dari berbagai kasus perceraian yang ditangganinya, tidak jarang para perempuan tidak mengetahui hak-hak mereka sebagai isteri. Khususnya jika dalam perceraiannya itu termasuk pemabgian harta bersama atau dalam adat Aceh disebut Hareuta Sihareukat. Fatimah, sebut saja namanya begitu, salah satu perempuan yang pernah didampinginya dalam kasus perceraian oleh MISPI dalam hal ini didampingi oleh Marlianita, S.H. Meskipun sudah mengalami kekerasan dalam rumah tangganya (KDRT) yang dilakukan suaminya. Fatimah dengan memperkarakan kasus tersebut kepolisi karena berujung pada ekspos yang mungkin dilakukan public, misalnya lewat media masa. Karena itu, dirinya memilih bercerai saja. Padahal menurut Marlianita, S.H. adalah penting jika kasus-kasus kekerasan yang menimpa perempuan dapat diketahui publik, karena orang-orang memiliki kasus serupa bisa belajar dari kasus tersebut. Dalam mengajukan gugatan cerainya ke Mahkamah Syariyah, Fatimah mengajukan dimana dia bertempat tinggal. Sesuai aturan yang berlaku, gugatan cerai terlepas siapapun yang mengajukan, baik isteri maupun suami, maka gugatan harus dilayangkan ke Mahkamah Syariyah dimana isteri bertempat tinggal. Ini salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi perempuan. Dalam pengajuan gugatan, Fatimah yang didampingi Marlianita, S.H, mendaftarkan gugatannya kemahkamah Syariyah Banda Aceh. Dalam gugatan tersebut, harus dilengkapi dengan fotocopy KTP dan juga buku Nikah. Setelah masuk gugatan , sekitar 4 minggu, Fatimah sudah mnerima penggilan dari mahkamah syariyah untuk bersidang. Ditambahkan Marlianita, S.H, gugatannya. jika mereka yang bercerai berstatus PNS, maka harus juga dalam pengajuan berkas menambahkan surat izin atasan untuk bercerai dalam

Dalam sidang yang pertama, baik Fatimah dan suaminya hadir dalam persidangan, meski keduanya didampingi pengacara berdasarkan pengalamannya, dalam sidang pertama ini, Hakim masih berusaha mendamaikan fatimah dengan suaminya. Agar tidak memilih jalan bercerai. Karena itulah, meski mereka berdua didampingi pengacara, tetapi, tetapi fatimah dan suaminya harus hadir, pengacara sifatnya hanya mendampinggi saja. Usai persidangan ini, kedua akan diberi waktu untuk berpikir. Biasanya satu minggu. Tetapi terkadang tergantung kesepakatan para pihak. Fatimah dan suaminya urung mendapatkan jalan untuk tidak bercerai. Maka persidangan dilanjukan dengan materi keterangan dari penggugat dalam hal ini fatimah. Setalah itu sidang akan dilanjutkan dengan jawaban dari pihak tergugat. Proses sidang selanjutnya akan masuk pada materi pembuktian, dimana pihak-pihak yang ingin bercerai mengajukan bukti bahwa perceraian memang jalan terakhir yang harus ditempuh. Dalam pengajuan bukti, misalnya, jika ada kasus kekerasan, maka harus ada saki yang memberikan keterangan tentang hal itu. Masih menurut Marlianita, S.h, tidak jarang perempuan yang mengalami KDRT tidak dapat melakukan pembuktian perlakuan suaminya. Apalagi mereka yang mengalami tekanan baathin selama bertahun-tahun, karena biasanya, hal-hal seperti ini hanya menjadi rahasia pasangan suami isteri tersebut. Tetapi biasanya menurut dia, hakim akan menyimpulkan dari rangakaian-rangkaian peristiwa yang dituturkan oleh kedua belah pihak. Lama tidaknya sidang berjalan, terkadang tergantung dengan jumlah saksi yang dihadirkan dan apakah kasus tersebut akan membahas pembagian harta bersama. Tidak jarang, kasusnya bisa berjalan sekitar tiga bulan atau lebih. Ditambah Marlianita, S.H, dalam kasus-kasus perceraian, perempauan yang tidak didampingi pengacara kurang memahami hak-hak yang seharunya didapatkannya. Apalagi dalam kasus ini , kehadiran pengacara tidak mutlak. Artinya kasus perceraian dapar diajukan tanpa didampingi oleh pengacara. Ketidaktahuan tentang kepemilikan harta bersama adalah hal yang sering terjadi. Biasanya, perempuan yang tidak bekerja akan menganggap semua harta benda suaminya yang diatasnamakan nama suaminya adalah harta suami. Padahal, harta yang didapatkan suami selama masa perkawinan meski istri tidak bekerja dan didaftarkan

atas nama suami- adalah milik bersama. Jika terjadi perceraian, maka harta bersama ini harus dibagi dua. Akan tetapi menurut pengalaman, terkadang suami melakukan sejumlah tekanan kepada pihak istri, sehingga istri-istri yang tidak bekerja hanya bisa pasrah ketika tidak mendapat bagian apapun dari harta bersama mereka. Beban istri ini bertambah berat, karena umumnya hak perwalian anak jatuh ketangan istri. Dalam kasus Fatimah, meski dia mendapatkan harta bersamanya, namun ia enggan mengambilnya. Pasalnya, dia harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk melakukan eksekusi terhadap harta bersama mereka berupa tanah dan rumah., ketika sang suami tidak rela memberikan harta tersebut, meski sudah ada penetapan hukum. Untuk itu, adalah penting bagi perempuan untuk mengetahui hak-haknya, jika ingin bercerai. Selain MISPI, ada juga lembaga lain yang dapat mendampingi perempuan dalam menghadapi masalah hukum yang dihadapinya, seperti KKTgA, LBH, LBH Apik. Lembaga-lembaga ini juga terbuka untuk para suami, karena kekerasan terhadap suami juga terkadang terjadi dalam rumah tangga. Karena itu, penting bagi semua pihak yang terkait dengan persoalan hukum, untuk memberikan informasi tentang hukum kepada mereka-mereka yang membutuhkan . Kesadaran pentingnya mengetahui hukum dikalangan masyarakat juga diharapkan terus bertambah dengan cara mencari informasi dari berbagai sumber dan media massa.

Anda mungkin juga menyukai