Anda di halaman 1dari 6

Konstruktivisme Dalam Pembelajaran Sains (IPA) 1. Pengertian konstruktivisme Istilah konstruktivisme sering muncul pada pembahasan mengenai miskonsepsi.

Konstruktivisme dapat dipandang sebagai faham, pendekatan, metode, atau strategi pembelajaran. Pada bagian berikut ini akan dibahas tentang konstruktivisme sebagai pendekatan pembelajaran. Pendekatan konstruktivis memandang siswa sebagai individu aktif yang pada waktu memasuki pelajaran IPA telah memiliki/membawa sejumlah ide atau gagasan tentang fenomena alam yang mereka peroleh dalam hidup keseharian (pengetahuan awal). Oleh karena itu, dalam mempelajari IPA, siswa tidak hanya mengadopsi konsep-konsep baru, melainkan juga memodifikasi atau bahkan membuang atau mengabaikan pengetahuan awal yang telah mereka miliki. Dengan demikian, pada proses tersebut siswa secara aktif gejala atau konsep dengan cara mengkonstruksi sendiri pengertian/konsep yang dimaksud. Pandangan konstruktivisme tentang proses belajar mengajar (pembelajaran) didasari oleh beberapa asumsi, sebagai berikut: a. Hasil belajar tergantung tidak hanya kepada lingkungan belajar, melainkan juga kepada pengetahuan awal (apa yang telah diketahui oleh siswa), sikap, dan tujuan belajar siswa; b. Belajar melibatkan pembentukan pengetahuan melalui pengalaman terhadap lingkungan fisik dan melalui interaksi sosial; c. Membentuk/mengaitkan hubungan dengan pengetahuan awal merupakan proses aktif yang melibatkan proses pertumbuhan, pengecekan (checking) dan pembentukan kembali ide/ gagasan atau hipotesis; d. Belajar IPA bukanlah masalah sederhana mengenai penambahan dan pengembangan konsep-konsep awal yang sudah ada, tetapi mungkin juga melibatkan reorganisasi secara radikal konsep-konsep tersebut; e. Sekali suatu pengertian terbentuk, dapat diterima atau ditolak oleh siswa; f. Siswa sering membawa gagasan yang mirip/sama tentang suatu fenomena alam ke dalam kelas. Hal ini tentu saja tidak mengherankan, karena mereka mempunyai kesempatan untuk saling bertukar-pikiran tentang informasi IPA yang mereka peroleh dari media seperti televisi, koran, majalah, dan sebagainya.

Penjelasan di atas menunjukkan kepada kita betapa pentingnya peranan pengetahuan awal yang dimiliki oleh siswa dan keaktifan siswa dalam proses pembelajarn IPA. Setelah mengetahui aspek-aspek penting yang harus diperhatikan dalam pendekatan konstruktivis, maka kita akan bertanya: bagaimanakah bentuk/pola pembelajaran IPA yang menggunakan pendekatan konstruktivis? Bagian berikut ini akan membahas tentang pola/urutan pembelajaran IPA dengan pendekatan konstruktivis.

2. Pembelajaran IPA dengan pendekatan konstruktivis Implikasi pendekatan konstruktivis pada proses pembelajaran di dalam kelas maupun di laboratorium diilustrasikan oleh gambar 2.1, yang dimulai dari proses: orientasi - penggalian ide/ gagasan - Restrukturisasi Ide/gagasan - Aplikasi ide/gagasan - Reviu perubahan ide.

Orientasi Pembandingan dengan ide/gagasan awal ------------------------ Penggalian Ide/gagasan Restrukturisasi Ide/gagasan Aplikasi ide/gagasan Reviu perubahan ide/gagasan

Gambar 2.1. Model Umum Urutan Pembelajaran dengan Pendekatan Konstruktivis

a. Penggalian gagasan

Proses pembelajaran dimulai dengan orientasi. Hal ini dilakukan dengan mengatur skenario pembelajaran melalui pendahuluan dari suatu topik yang diharapkan dapat menarik untuk diikuti oleh siswa. Pendekatan konstruktivis memandang siswa memiliki pengetahuan awal, ide, maupun teori mereka sendiri. Oleh karena itu penggalian gagasan awal siswa merupakan aspek yang sangat penting dalam mengawali proses pembelajaran. Setidaknya ada 2 alasan yang dapat dikemukakan di sini, yaitu: 1). Jika siswa diharapkan mengembangkan pengetahuan awal mereka yang berhubungan suatu fenomena alam tertentu, maka mereka harus menyadari apa yang telah mereka ketahui sebagai titik awal proses pembelajaran. 2). Guru perlu mengetahui apa yang dipikirkan oleh siswa agar strategi pembelajaran yang akan dilakukan selanjutnya dapat direncanakan sesuai dengan titik awal pengetahuan siswa. Bell (1985), dalam suatu studi kasus menemukan adanya mismatch / ketidak-cocokan antara apa yang dipikirkan oleh siswa dengan apa yang guru pikirkan tentang bagaimana siswa tersebut berpikir. Mismatch dapat disebabkan oleh kekurangsadaran guru akan apa yang telah diketahui oleh siswa (pengetahuan awal), atau guru menganggap pengetahuan awal siswa tersebut tidak layak untuk dijadikan dasar bagi pelajaran berikutnya, atau bahkan guru menganggap bahwa siswa memasuki kelas tanpa memiliki pengetahuan awal yang relevan dengan materi yang akan diajarkan. Persoalan yang muncul pada tahap penggalian ide ini adalah masalah waktu yang diperlukan, misalnya saja seorang guru harus menggali ide dari seluruh siswa di kelas yang jumlahnya 35 anak. Penggalian ide akan menjadi sangat sukar dan memakan waktu jika guru harus bertanya kepada setiap siswa. Untuk mengatasi hal tersebut, guru dapat melakukan brainstorming atau diskusi kelompok kecil guna mendapatkan pola pengetahuan awal siswa yang ada di kelas yang bersangkutan. b. Restrukturisasi Menggunakan pengetahuan awal siswa sebagai titik awal proses pembelajaran bukanlah akhir, tetapi barulah awal dari pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstruktivis. Tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam sebuah

kelas terdapat serangkaian gagasan/ide awal siswa. Ide-ide yang telah tergali pada tahap penggalian ide, secara tak terhindarkan akan berbeda dengan ide/konsep yang diterima oleh sains (scientific concepts). Oleh karena itu, diperlukan langkah restrukturisasi ide/gagasan siswa. Tahap restrukturisasi gagasan merupakan tahap yang krusial (crucial phase) pada pendekatan konstruktivis, karena di sini bermacam-macam gagasan siswa yang muncul harus diarahkan untuk dapat berkembang menjadi gagasan atau konsep ilmiah (konsep saintifik). Yang harus diingat adalah bahwa restrukturisasi ide ini merupakan tanggungjawab siswa (subjek belajar). Tugas guru adalah memfasilitasi kegiatan yang didesain sedemikian rupa agar cocok untuk berkembangnya konsep awal siswa menuju ke konsep yang diterima sains. Kegiatan yang sesuai tersebut, misalnya melibatkan pertukaran ide/pandangan antarsiswa. Selama proses restrukturisasi, guru dapat memberikan input/masukan pada saat pembelajaran yang memungkinkan terjadinya konflik melalui kegiatan demonstrasi misalnya. Cara yang lain, guru dapat menunjukkan gejala/bukti yang dapat mengarahkan siswa untuk mengembangkan gagasan mereka. c. Aplikasi gagasan Pada tahap aplikasi, siswa diberi kesempatan untuk menggunakan ide/gagasan mereka pada serangkaian situasi, baik yang sudah dikenal (familiar) maupun yang belum. Dengan demikian, konsep-konsep baru dapat dikonsolidasikan dan diperkuat melalui pengembangan konteks yang dipandang bermanfaat. Tugas yang dapat diberikan pada tahap aplikasi ini, misalnya: eksperimen, tulisan kreatif (menulis secara kreatif), tugas diskusi dan sebagainya. Jadi pada tahap aplikasi ini, juga akan berlangsung proses restrukturisasi yang lebih lanjut. d. Reviu perubahan gagasan Seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1, siswa diajak untuk merefleksi atau mengkaji bagaimana gagasan mereka telah berubah dengan cara membuat perbandingan antara apa yang mereka pikirkan sekarang dengan apa yang mereka pikirkan pada permulaan proses pembelajaran. 3. Implikasi umum pendekatan konstruktivis

Setelah anda memahami pengertian pendekatan konstruktivis dan penerapannya pada pembelajaran IPA, tentunya anda akan bertanya bagaimana implikasi pendekatan tersebut secara umum pada dunia pendidikan, misalnya: pada guru, siswa, kurikulum, dan sistem evaluasi atau ujian. a. Implikasi pada guru dan siswa Peranan guru pada proses pembelajaran secara konvensional berbeda dengan pada proses pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis. Guru tidak lagi sebagai sumber pengetahuan, melainkan sebagai pendiagnostik, penyedia kegiatan pembelajar- an, dan sebagai fasilitator belajar. Sebagai pendiagnostik dan penyedia kegiatan pembelajaran, secara mendasar guru menyusun aktivitas, mencatat bagaimana respon siswa terhadap aktivitas tersebut dan menyusun kegiatan selanjutnya berdasarkan respon siswa terdahulu. Jadi, dalam hal ini siswa bertanggungjawab atas belajar mereka sendiri, sedangkan guru mengorganisasi proses pembelajaran yang dapat mengantarkan siswa untuk belajar sendiri. Selain itu, guru juga harus menyadari bahwa apa yang diharapkan dari siswa tidak hanya banyaknya, tetapi juga tingkat kecanggihannya (sophisticated); sejauh mana atau seberapa sering siswa memperoleh kesempatan untuk mengembangkan ide mereka sendiri; dan seberapa sering siswa memperoleh kesempatan untuk bertukar-pikiran melalui diskusi. Pada kegiatan semacam itu, siswa memerlukan dukungan dan arahan dari guru terutama saat mereka pertama kali dikenalkan dengan sesuatu yang baru. b. Implikasi pada pengorganisasian kurikulum Proses pembelajaran jenis apapun yang mengacu pada penggalian ide awal siswa sebagai titik awal, pastilah memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan proses pembelajaran yang mengacu pada pemindahan pengetahuan / transfer of knowledge. Hal ini sering dijadikan alasan oleh guru untuk tidak melakukan pembelajaran dengan memperhatikan dan mengawali pelajaran dengan pengetahuan awal siswa. Selain alasan tersebut, guru juga mengatakan bahwa jika menggunakan pendekatan tersebut, bahan ajar yang tertera pada silabus tidak akan dapat diselesaikan.

Alasan tersebut merupakan hal klasik yang selalu dijadikan senjata bagi sementara orang untuk tidak/enggan melakukan perubahan dalam proses pembelajaran. Padahal pendekatan konstruktivis memiliki sekurang-kurangnya 2 keuntungan, yaitu: 1). konsep-konsep yang dikenalkan melalui metode konstruktivis akan difahami secara lebih baik dan lebih berarti bagi siswa; 2). Siswa akan menjadi lebih mengenal metode yang digunakan, sehingga mereka memperoleh kepercayaan diri dalam kerja kelompok dan lebih siap untuk melakukan refleksi (mengevaluasi) gagasan mereka. c. Implikasi pada sistem evaluasi/ujian Ujian/evaluasi secara konvensional cenderung memperlakukan jawaban atau respon siswa sebagai benar atau salah. Dalam mengadopsi pandangan konstruktivis, kita memahami bahwa tidaklah sederhana bagaimana siswa memperoleh konsep saintifik. Mereka tidak sekedar mengganti konsep yang tidak benar dengan konsep yang benar menurut sains, melainkan konsep yang dimiliki oleh siswa cenderung berkembang dengan semakin bertambahnya waktu. Sebagai konsekuensinya, ujian/evaluasi yang dilakukan harus mampu memonitor dan memberikan kredit kepada kemajuan yang dicapai oleh siswa. Informasi semacam ini sangat berguna bagi guru dan juga bagi siswa sebagai suatu diagnosis. Hal ini bukan berarti bahwa tes/ujian formal tidak mendapatkan tempat. Justru di sini disarankan adanya serangkaian ujian/tes yang mampu memberi gambaran tentang kemajuan siswa dalam memahami konsep-konsep yang dipelajari. Teknik yang dapat digunakan misalnya: peta konsep, tugas menyeleksi kartu, dan analisis tugas tertulis, serta pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mendiagnosis.

Anda mungkin juga menyukai