Anda di halaman 1dari 12

BAB I PENDAHULUAN

Muhammad Abid al-Jabiri, seorang pemikir Islam yang berasal dari Maroko, dia adalah seorang filosof Islam dan merupakan pemikir yang terkemuka saat ini yang telah mengemukakan gagasan dalam rangka proyek besar bagi kebangkitan umat Islam. Mencuatnya nama pemikir Arab Islam kontemporer ini tidak lepas dari proyek pemikirannya yang ia sebut dengan Kritik Nalar Arab. Proyek KNA tersebut tidak diproyeksikan untuk membangun satu teologi atau ilmu kalam baru.1 Kritik Nalar Arab yang kemudian biasa disebut dengan (KNA) dilatarbelakangi oleh semangat revivalisme (Kebangkitan Islam) dalam dua gagasan yaitu sebagai refleksi atas kegagalan kebangkitan Islam sekaligus upaya untuk merealisasikan kebangkitan Islam yang tak kunjung datang. Kebangkitan Islam diera modern dipandang oleh alJabiri belum berhasil atau bahkan gagal. Salah satu penyebab mendasar gagalnya kebangkitan Islam adalah ketidaktepatan dalam mensikapi tradisi (turats). Hal ini berimplikasi pada hilangnya mata rantai semangat intelektualitas dan sains yang menghubungkan dengan turats masa lalu nan gemilang Menurut al-Jabiri tradisi adalah sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita yang berasal dari masa lalu, apakah itu masa lalu kita atau masa lalu orang lain, ataukah masa lalu tersebut adalah masa lalu yang jauh maupun yang dekat atau dengan kata lain, tradisi adalah produk sejarah.2 Ada dua hal yang penting yang harus diperhatikan dari definisi ini, yaitu: 1. Tradisi adalah sesuatu yang menyertai kekinian kita, yang tetap hadir dalam

kesadaran atau ketidaksadaran kita. Kehadirannya tidak sekedar dianggap sisa-sisa masa lalu melainkan sebagai masa lalu dan masa kini yang menyatu dan bersenyawa dengan tindakan dan cara pikir kaum musilmin. Maka tradisi merupakan realitas sosial kekinian kaum muslimin itu sendiri.

1 2

Muhammad Abed al-Jabiri, Post-Tradisionalisme Islam, 2000, Yogyakart: LKiS, hlm. 29 Mohamed Abed al-Jabiri, Problem Peradaban: Penelusuran atas Jejak Kebudayaan Arab, Islam dan Timur, 2004, Yogyakarta: Belukar, hal. 309

2.

Tradisi yang menyakup kemanusiaan yang lebih luas seperti pemikiran filsafat

dan sain, yang kedua ini disebut al-Jabiri sebagai at-Turas al-Insan. Namun al-Jabiri kemudian menegaskan bahwa tradisi yang hidup itu sebenarnya berakar kuat pada pemikiran-pemikiran Islam, yang dikembangkan para ulama sejak abad kedua Hijriah hingga masa sebelum kemunduran sekitar abad kedelapan sebelum Hijiriah. Dalam hal ini, Jabiri bertindak sebagai seorang filsuf dan sejarawan pemikiran yang tertarik dengan dasar-dasar epistemologis dari sistem-sistem pemikiran.3 Maka tidak heran jika kemudian al-Jabiri memfokuskan perhatiannya pada tradisi Islam yang tertulis untuk dibongkar dan dipahami secara obyektif.

BAB II
3

John Cooper, Ronald L. Nettler, Muhammad Mahmoud, Pemikiran Islam: dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd, 2002, Jakarta: Erlangga, hal.160

PEMBAHASAN A.
1.

Tentang Muhammad Abid al-Jabiri

Biografi dan Karir Intelektual Muhammad Abid al-Jabiri, seorang pemikir seorang pemikir Arab kontemporer yang berasal dari Maroko, dia adalah seorang filosof Islam dan merupakan pemikir yang terkemuka saat ini yang telah mengemukakan gagasan dalam rangka proyek besar bagi kebangkitan umat Islam. Beliau lahir di Figuig sebelah selatan Maroko, pada tanggal 27 Desember 1935. Pendidikannya dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi lebih banyak ditempuh di tanah kelahirannya di Maroko. Pendidikannnya dimulai dari tingkat ibtidaiyah di madrasah Burrah Wataniyyah, yang merupakan sekolah agama swasta yang didirikan oleh oposisi kemerdekaan. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di sekolah menengah dari tahun 1951-1953 di Casablanca dan memperoleh Diploma Arabic high School setelah Maroko merdeka.4 Sejak awal al-Jabiri telah tekun mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya di mulai tahun 1958 di univeristas Damaskus Syiria. Al-Jabiri tidak bertahan lama di universitas ini. Setahun kemudian dia melanjutkan ke Universitas Muhammad al-Khamis di Rabat, Maroko, pada tahun 1970, dan meraih gelar master dengan disertasi doktoralnya yang membahas pemikiran Ibn Khaldun (Fikr Ibn Khalduun, al-Ashabiyah wa al-Daulah).5

2.
4

Karya-karyanya

Zulkarnain, Pemikiran Kontemporer Muhammad Abid Al-Jabiri Tentang Turats Dan Hubungan Arab Dan Barat, artikel diakses tanggal 22 September 2007 dari http://www.litagama.org/Jurnal/Edisi6/aljabiri.htm 5 Muhammad Abed al-Jabiri, Post-Tradisionalisme Islam, 2000, Yogyakart: LKiS, hlm. 13

Tulisan-tulisan al-Jabiri dalam bentuk buku sudah mencapai angka belasan. Berikut karya-karyanya:
1. Fikr Ibn Khaldun, al-Ashabiyah wa al-Daulah (1971), membahas pemikiran Ibn

Khaldun. 2. Adlwaa ala Musykil al-Taliim (1973), tentang persoalan-persoalan pendidikan dan tradisi pengajaran di Maroko. 3. Madkhal ilaa Falsafah al-Uluum (1976), tentang epistemologi ilmu pengetahuan.
4. Min Ajl Ruyah Taqaddumiyyah li-badl Musykilatina al-Fikriyyah wa-l

Tarbawiyyah (Menuju Pandangan yang Lebih Progresif dalam Mengatasi Persoalan-persoalan Pemikiran dan Pendidikan) (1977). 5. Nahnu wa-l Turaats: Qiraaah Muaashirah fi Turaatsina al-Falsafi (Kita dan Tradisi: Pembacaan Kontemporer atas Tradisi Filsafat Kita) (1980). 6. Trilogi Naqd al-Aql al-Arabi : Seri pertama : Takwiin al-Aql al-Arabi (Formasi Nalar Arab) (1982) Seri kedua Seri Ketiga : Bunyah al-Aql al-Arabi (Struktur Nalar Arab) (1986) : al-Aql al-Siyasi al-Arabi (Nalar Politik Arab) (1990)

Tulisan-tulisan Muhammad Abid al-Jabiri, baik yang berbentuk makalah seminar, tulisan berseri di sebuah harian, maupun yang berbentuk artikel jurnal banyak tersebar di berbagai tempat dalam jumlah yang begitu besar. Tulisan lepas tersebut antara lain:

Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah li Nuzum al-Qiyam fi al-Thaqafah alArabiyyah (Wacana Arab Kontemporer: Studi Kritik-Analitik) (1982), Ishkaliyyah al Fikr al-Arabi al-Muaasir (Beberapa Problematika Pemikiran Arab Kontemporer (1989), Hiwar al-Masyriq wa-l Maghrib (Dialog antara Dunia Timur Islam dan Dunia Barat Islam) (1990), al-Turath wa al Hadatshah (Tradisi dan Modernitas) (1991), Qadaya al-Fikr al Muasir Alawlamah (Satu Sudut Pandang Menuju Rekonstruksi Persoalan-persoalan Pemikiran Arab Kontemporer) (1992), Masalah al-Huwwiyah (Persoalan Identitas) (1994),

al-Muthaqqafun fi al-Hadarah al-Atabiyyah Mihnab ibn Hambal wa Nukkhah Ibn Rusyd (1995), al-Tasamuh, al-Dimaqratiyyah (1996), al-Dlaruuri fi al-Siyasah: Mukhtashar Kitab al-Siyasah li Aflathun (1998).

(sumber buku Post-Tradisionalisme Islam karya Muhammad Abed al-Jabiri hlm. 13-15)

B.

Pemikiran Muhammad Abid al-Jabiri

Proyek pemikiran Abid al-Jabiri berkembang dalam trilogi buku Naqd al-Aql al-Arabi yaitu: Seri pertama : Takwin al-Aql al-Arabi (Formasi Nalar Arab) (1982) Seri kedua Seri Ketiga : Bunyah al-Aql al-Arabi (Struktur Nalar Arab) (1986) : al-Aql al-Siyasi al-Arabi (Nalar Politik Arab) (1990)

Dari tiga buku tersebut Abid al-Jabiri menguraikan problem turaats (tradisi) dan hadaatsah (modernitas), yaitu problem-problem krusial yang dihadapi masyarakat Arab masa kini. 1. Tradisi (Turats) dan Modernitas

Kata tradisi diambil dari bahasa Arab turats. Yang dimaksud turats (tradisi) menurut Jabiri bukan hanya mencakup kebenaran, fakta-fakta, kata-kata dan konsep, bahasa dan pemikiran, tapi juga mitos-mitos, legenda-legenda, cara-cara memperlakukan sesuatu, dan juga metode-metode berpikir.6 Kemudian Jabiri mencoba menjembatani antara realitas tradisi Arab dengan modernitas yang dialami Barat. Menurutnya, konsep modernitas adalah dalam rangka mengembangkan sebuah metode dan visi modern tentang tradisi.7 Karena modernitas adalah upaya melampaui pemahaman tradisi, yang terjebak dalam tradisi ini, untuk mendapatkan sebuah pemahaman modern, dan pandangan baru tentang tradisi. Logika pendekatan tradisi menurut Al-Jabiri yaitu:

6 7

Ibid., hlm. 23 http://kommabogor.wordpress.com/2008/01/13/al-jabiri-dan-kritik-nalar-arab/

Segala warisan yang layak kita pakai untuk menghayati arti kehidupan dan persoalan-persoalan kekinian, yang layak untuk dikembangkan dan diperkaya sehingga bisa mengantarkan ke masa depan.
(Dikutip dari buku Post-Tradisionalisme Islam karya Muhammad Abed al-Jabiri hlm. 24)

2.

Proyek Kritik Nalar Arab

Al-Jabiri membatasi jangkauan kritiknya pada tradisi pemikiran yang menggunakan bahasa Arab dan yang lahir dalam lingkungan masyarakat Arab dalam lingkungan geografis dan kultur tertentu. Selain itu proyek KNA ini tidak diproyeksikan untuk membangun satu teologi atau ilmu kalam baru. Dalam hal ini Jabiri membagi akal menjadi dua:
1. Aql al-Mukawwin. Akal dalam pengertian ini disebut dengan nalar (akal) murni,

sesuatu yang membedakan manusia dengan hewan. Semua manusia mempunyai akal tersebut.
2. Aql al-Mukawwan. Akal dalam pengertian kedua ini disebut nalar (akal)

budaya, yaitu suatu nalar manusia yang dibentuk oleh budaya masyarakat tertentu di mana orang tersebut hidup.8 Yang kedua inilah yang Jabiri maksud sebagai Akal Arab. Kritik al-Jabiri adalah kritik epistemologis. Yakni kritik yang ditujukan kepada kerangka dan mekanisme berpikir dan mendominasi kebudayaan Arab dalam babakanbabakan sejarah tertentu. Nalar Arab adalah nalar yang lebih banyak berinteraksi dengan lafaz-lafaz atau teks daripada dengan konsep-konsep; nalar ini tidak bisa berpikir kecuali dengan bertitik tolak dan merujuk ke sebuah asal yang dibawa oleh otoritas masa lalu, dalam lafadz atau maknanya.
(Dikutip dari buku Post-Tradisionalisme Islam karya Muhammad Abed al-Jabiri hlm. 48)

3.

Epistemologi; Bayani, Burhani, dan Irfani

Ibid.

Dalam seri pertama trilogi Kritik Nalar Arab-nya yang berjudul Takwin al-Aql alArabi, al-Jabiri mengkonsentrasikan analisanya pada proses-proses historis, baik epistemologi maupun ideologis, yang akhirnya terbentuk nalar-nalar burhani, bayani, dan irfani. Epistemologi Bayani dan Burhani dihadapkan dengan rasionalisme, yang bersumber pada pandangan dunia al-Quran atau kegiatan bernalar terpaku pada teks dan atau pada dasar-dasar (dikenal dengan sebutan al-ushuul al-ar-baah: al-Quran, Sunnah, Ijma, dan Qiyas). Yang menjadi patokan bagi sesuatu yang baku dan tidak berubah. Epistemologi irfani dihadapkan dengan irasionalisme atau tidak rasional dan menganggap kandungan lahiriah al-Quran sebagai kebenaran yang dikandung tradisi Hermetisisme.9 4. Nalar (akal) Politik Arab Nalar politik Arab yang dimaksud Al-Jabiri dalam bukunya Al-Aqlus Siysil Arab tak lain adalah motif-motif (muhaddidt) tindakan politik (cara menjalankan kekuasaan dalam sebuah masyarakat), serta manifestasi (tajalliyt) teoritis dan praksisnya yang bersifat sosiologis. Disebut nalar (aql), karena motif-motif tindakan politik dan manifestasinya tersebut, semua tunduk dan dijalankan atas sebentuk logika internal yang mengorganisasi hubungan antar berbagai unsurnya. Logika ini pada akhirnya berupa prinsip-prinsip yang dapat disifati dan dianalisis secara kongkrit. Dikatakan sebagai politik (siys) Nalar politik Arab yang dimaksud Al-Jabiri dalam bukunya Al-Aqlus Siysil Arab tak lain adalah motif-motif (muhaddidt) tindakan politik (cara menjalankan kekuasaan dalam sebuah masyarakat), serta manifestasi (tajalliyt) teoritis dan praksisnya yang bersifat sosiologis. Disebut nalar (aql), karena motif-motif tindakan politik dan manifestasinya tersebut, semua tunduk dan dijalankan atas sebentuk logika internal yang mengorganisasi hubungan antar berbagai unsurnya. Logika ini pada akhirnya berupa prinsip-prinsip yang dapat disifati dan dianalisis secara kongkrit. Dikatakan sebagai politik (siys) karena tugasnya bukanlah mereproduksi
9

Loc.,Cit., Post-Tradisionalisme Islam, hal. 45

pengetahuan, tapi menjalankan sebentuk kekuasaan; sebuah otoritas pemerintahan atau menjelaskan tata cara pelaksanaannya. Pada akhirnya, buku ini mengulas tentang nalar realitas Arab (aqlul wqiil arab), bukan nalar teoritik Arab sebagaimana dia ulas dalam bukunya Formasi Nalar Arab (Takwnul Aqlil Arab) dan Struktur Nalar Arab (Bunyatul Aqlil Arab). Bahasan buku ini mengacu pada bagaimana mengungkap motif-motif penyelenggaraan politik dan bentuk-bentuk manifestasinya dalam rentang sejarah panjang peradaban Arab-Islam sampai saat ini.
(disadur dari makalah: Al-Jabiri dan Nalar Politik Arab dan Islam: Sebuah Penjajakan Awal Karya Novriantoni Kahar (200406_makalah_jabiri))

Al-Jabiri menggunakan beberapa perangkat konsep (al-jihzul mafhimi) yang terdiri dari dua sumber. 1. 2. Dari pemikiran ilmu sosial politik kontemporer; Dari sumber-sumber tradisi Arab-Islam sendiri.

Motif pertama tidak diartikan sebagai akidah agama dalam pengertian yang lazim, melainkan fenomena politis yang terdapat dalam dakwah Nabi Muhammad saw. dan peranannya dalam memberikan inspirasi terhadap imajinasi sosial-politik kelompok muslim pertama, di satu pihak, dan reaksi balik yang disampaikan oleh lawanlawannya, yaitu kaum kafir Quraisy, di pihak lain. Motif kedua adalah peranan ikatan kelompok di antara klan-klan Arab satu sama lain, baik yang bersifat positif maupun negatif, dalam praktik politik Arab di masa awal. Motif ketiga yaitu al-ghanimah berarti pengaruh kepentingan ekonomi dalam pemihakan politik dan ideologis dalam sejarah Islam. Di sini Jabiri meriwayatkan bahwa penolakan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy terhadap ajaran Nabi Muhammad saw, bukan hanya disebabkan oleh ajaran tauhid yang melarang penyembahan terhadap berhala. Akan tetapi, disebabkan juga bahwa berhala-berhala tersebut merupakan sumber penghasilan mereka dan sekaligus sebagai penunjang ekonomi masyarakat ketika itu. Untuk itu, Jabiri menganalisa praktik politik yang saling berkelidan tersebut pada masa Islam awal. Di sini pun Jabiri membagi fase perkembangan Islam awal menjadi tiga fase;

1.

Fase dakwah Muhammad, yang diwakili dengan masa di mana Nabi memimpin

jamaahnya pada periode Makkah dan menjalankan tugas sebagai kepala negara pada periode Madinah. 2. Fase negara Islam yang berkembang, yang diwakili pada masa Abu Bakar dan

Umar bin Khatab. 3. Fase ledakan kekacauan (nation under riots), yang diwakili pada masa

timbulnya kerajaan politik (al-mulk al-siyasi) yang membangkitkan kembali kejahiliyahan dari kuburnya, kali ini dalam bentuk despotisme dan diktatorisme kerajaan monarki. Untuk hal tersebut Jabiri menawarkan konsep sebagai jalan keluar bagi Akal Politik Arab, dengan bertolak pada fase dakwah Muhammad yang menurutnya sebagai prototipe ideal:
1. Mengubah masyarakat klan menjadi masyarakat madani yang multipartai,

mempunyai asosiasi-asosiasi profesi, organisasi-organisasi independen dan lembaga konstitusi.


2. Mengubah ekonomi al-ghanimah yang bersifat konsumerisme dengan sistem

ekonomi produksi. Serta membangun kerjasama dengan ekonomi antarnegara Arab untuk memperkuat independensi.
3. Mengubah sistem ideologi (al-aqidah) yang yang fanatis dan tertutup dengan

pemikiran inklusif yang bebas dalam mencari kebenaran. Serta membebaskan diri dari akal sektarian dan dogmatis, digantikan dengan akal yang berijtihad dan kritis. Sekilas pemikiran Jabiri mengenai Akal Pilitik Arab hampir menyerupai sekularisme. Tetapi dalam hal ini bukan berarti Jabiri mendukung sekularisme, menurutnya, sekularisme tidak cocok dengan umat Islam,10 karena sekularisme didasarkan pada pemisahan gereja dan agama. Pemisahan demikian ini memang diperlukan pada suatu masa di lingkungan Kristen. Karena tidak ada gereja dalam Islam, tidak ada kebutuhan akan suatu pemisahan semacam ini. Umat Islam menghendaki agar Islam dijaga dan
10

Loc. Cit., Pemikiran Islam: dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd, hal. 170

diterapkan sebagai acuan etis dan Syariah, hukum yang diilhami oleh ketentuan Ilahi, sebagai dasar dan prinsip bagi kehidupan sosial dan politik, di dalam lingkup pengetahuan masa lalu yang diperbaharui.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Ciri asli dalam pendekatan yang dianjurkan oleh Jabiri adalah bahwa ciri ini mewakili suatu kasus khas mengenai apa yang dianggap sebagai serangan atas bidang teologis oleh para intelektual sekuler. Sejak bangkitnya modernitas pada umat Islam, satuan ulama dan fukaha yang berperan dalam menjaga konsep-konsep agama dan pelaksanaan kontrol sosial, telah banyak kehilangan banyak pengaruh dan kekuasaannya. Karena itu Jabiri sejalan dengan kaum intelektual sekuler, menggarisbawahi fakta bahwa kesadaran beragama kaum muslimin dipengaruhi secara mendalam, dan sebagian besar dibentuk oleh sejarah masyarakatnya.11 Dengan demikian cara pembaharuan Islam menuntut perbedaan tajam antara norma-norma dan bentukbentuk agama dan mengisyaratkan suatu pembaharuan pengetahuan sejarah kaum Muslimin atas masa lalu mereka. Dengan kata lain, pembaharuan lebih diharapkan dari pengetahuan yang baru atas masa lalu yang dibangun diatas prinsip-prinsip modern dan rasional.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Jabiri, Muhammad Abed. Post-Tradisionalisme Islam. 2000. Yogyakart: LKiS Al-Jabiri, Mohamed Abed. Problem Peradaban: Penelusuran atas Jejak Kebudayaan Arab, Islam dan Timur. 2004. Yogyakarta: Belukar

11

Ibid., hal. 176

Cooper, John. Nettler, Ronald L., Mahmoud, Muhammad. Pemikiran Islam: dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd. 2002. Jakarta: Erlangga. Zulkarnain, Pemikiran Kontemporer Muhammad Abid Al-Jabiri Tentang Turats Dan Hubungan Arab Dan Barat, artikel diakses tanggal 22 September 2007 dari http://www.litagama.org/Jurnal/Edisi6/aljabiri.htm

COVER-COVER BUKU REFERENSI

Anda mungkin juga menyukai