Anda di halaman 1dari 9

BAYI DENGAN HIPOTIROIDISME KONGENITAL

Disusun untuk memenuhi Tugas pada Mata Kuliah Biomadik I

Disusun Oleh : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Shita Anindyta Desi Ariyani Aswidha Fazani M Zaldy Maulidin N M. Saifudin N Mudhori (NIM : D22.2011.01058) (NIM : D22.2011.01063) (NIM: D22.2011.01046) (NIM: D22.2011.01073) (Nim: D22.2011.01067) (Nim: D22.2011.01085)

Program Studi Rekam Medis dan Informasi Kesehatan Fakultas Kesehatan UDINUS 2011

BAB I PENDAHULUAN

Hormon tiroid sangat penting bagi metabolisme energi, nutrisi, ion organik, termogenesis serta merangsang pertumbuhan dan perkembangan berbagai jaringan. Pada periode kritis juga untuk perkembangan susunan saraf pusat dan tulang. Hormon ini mempengaruhi beberapa jaringan dan sel melalui berbagai pola aktivitas genomik dan sintesis protein serta reseptor yang mempunyai arti penting untuk berbagai aktivitas. Hormon tiroid berpotensiasi dengan katekolamin (efek yang menonjol adalah hipertiroidisme) dan berefek pada pertumbuhan somatik dan tulang diperantai oleh stimulasi sintesis dan kerja hormon pertumbuhan dan IGF. Kebutuhan hormon tiroid pada segala tingkat usia sangat diperlukan, terutama sangat berperan pada masa bayi dan anak- anak yaitu masa dimana tumbuh kernbang sedang terjadi pada diri seseorang. Hipotiroid kongenital didapat 1:2500 sampai 4000 bayi baru lahir dan merupakan salah satu penyebab gangguan pertumbuhan fisik maupun psikis dan bila tidak diobati secara dini akan menjadi kelainan yang menetap. Kelainan ini dapat berupa kretinisme atau cebol yang disertai dengan gangguan keterbelakangan mental. Pengobatan dini pada kasus hipotiroid kongenital, sampai usia bayi mencapai 3 bulan, dapat meningkatkan nilai IQ diatas 85% pada saat anak sudah mencapai dewasa. Prevalensi rata-rata hipotiroid kongenital di Asia adalah 1 diantara 2.720 bayi di daerah non endemis iodium (hipotiroid kongenital sporadik) dan 1 : 1000 hipotiroid kongenital endemis di daerah defisiensi iodium. Penelitian di daerah Yogyakarta menunjukkan angka kejadian 1 : 1500 hipotiroid kongenital sporadik dan 1 : 1300 bayi menderita hipotiroid transien karena kekurangan iodium (endemis). Kekurangan hormon tiroid atau hipotiroid pada awal masa kehidupan anak, baik permanen maupun transien akan mengakibatkan hambatan pertumbuhan dan retardasi mental. Angka kejadian hipotiroid kongenital di Indonesia belum diketahui, namun apabila mengacu pada angka kejadian di Asia dan di Yogyakarta, maka di Indonesia, dengan angka kelahiran sekitar 5 juta per tahun, diperkirakan sebanyak 1.765 sampai 3200 bayi dengan hipotiroid kongenital dan 966 sampai 3.200 bayi dengan hipotiroid kongenital transien karena kekurangan iodium, lahir setiap tahunnya.

BAB II KONSEP TEORI

A. Definisi Hipotiroidisme Kongenital adalah penyakit bawaan akibat kekurangan hormon tiroid. Hormon tiroid adalah hormon yang dihasilkan kelenjar tiroid yang mempunyai peran penting dalam pertumbuhan, metabolisme, dan pengaturan cairan tubuh. Hipotiroidisme kongentital dapat diklasifikasikan menjadi : 1. Hipotiroidisme Kongenital menetap 2. Hipotiroidisme Kongenital transien Hipotiroidisme kongenital dapat menyebabkan retardasi mental dan kegagalan pertumbuhan. Disebabkan karena tidak ada kuatnya produksi hormone tiroid pada bayi baru lahir karena defek anatomik kelenjar tiroid, inborn error metabolism tiroid atau defisiensi yodium. Kira kira satu dari 3000 bayi lahir dengan Hipotiroid Kongenital, meskipun kelainan ini jarang tetapi mungkin saja terjadi pada bayi ibu. Dari hasil penelitian diketahui bahwa bayi dengan kelainan hipotiroid kongenital yang diobati sebelum berusia tiga bulan mempunyai kemungkinan mencapai tingkat intelegensil IQ > 90 (normal) yaitu berkisar antara 75 85%. Sedangkan yang diobati setelah berusia tiga bulan, 75%nya tetap menderita keterbelakangan mental atau dapat menjadi normal namun dengan beberapa permasalahan antara lain kesulitan belajar, kelainan tingkah laku, atau kelainan neurologist non spesifik. B. Penyebab Hipotiroidisme kongenital disebabkan oleh kekurangan iodium dan hormon tiroid yang terjadi sebelum atau segera sesudah penderita dilahirkan. Hipotiroidisme kongenital atau kretinisme ini mungkin sudah timbul sejak lahir atau menjadi nyata dalam beberapa bulan pertama kehidupan. Hipotiroidisme ini mempunyai gejala-gejala yang sangat kompleks dan bermacam-macam manifestasinya. Hormon tiroid yang dikeluarkan oleh kelenjar tiroid (kelenjar gondok) dibutuhkan sepanjang hidup manusia untuk mempertahankan metabolisme serta fungsi organ dan peranannya sangat kritis pada bayi yang sedang tumbuh pesat. Kekurangan hormon tiroid sejak lahir (hipotiroid kongenital) bila tidak diketahui dan diobati sejak dini akan mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Hipotiroidisme kongenital bisa disebabkan oleh berbagai kelainan seperti misalnya kelainan anatomis berupa tidak terbentuknya kelenjar tiroid (agenesis/ atiroid), hipotrofi, atau kelenjar terletak tidak pada tempatnya (ektopik). Selain itu kelainan genetik, kekurangan atau kelebihan iodium, serta

gangguan sintesis hormon tiroid atau dishormogenesis juga dapat menyebabkan hipotiroidisme kongenital. C. Tanda dan Gejala Pada neonatus, gejala khas hipotiroidisme seringkali tidak tampak dalam beberapa minggu pertama kehidupan. Hanya 10-15% bayi baru lahir hipotiroidisme yang datang dengan manifestasi klinik mencurigakan, yang membuat dokter waspada akan kemungkinan hipotiroidisme. Salah satu tanda yang paling khas dari hipotiroidisme kongenital pada bayi baru lahir adalah fontanela posterior terbuka dengan sutura cranial yang terbuka lebar akibat keterlambatan maturasi skeletal prenatal. Kelambatan maturasi tulang, dapat dinilai dengan pemeriksaan radiologik pada daerah femoral distal lutut, tidak hanya untuk kepentingan diagnostik, tetapi juga menggambarkan berat serta lamanya penyakit in utero. Gejala berikutnya yang paling sering adalah hernia umbilikalis, namun kurang spesifik. Sebagian besar pasien memiliki berat lahir besar untuk kehamilan (di atas 3,5 kg dengan periode kehamilan lebih dari 40 minggu). Kurang dari separuh pasien didapatkan ikterus berkepanjangan pada awal kehidupannya. Tidak terdapat perbedaan jenis kelamin untuk terjadinya hipotiroidisme kongenital. Tanda dan gejala lain yang jarang terlihat adalah konstipasi (Riwayat BAB pertama > 20 jam setelah lahir dan sembelit ), hipotonia, suara tangis serak, kesulitan makan atau menyusui, bradikardi dan kulit kering dan kasar. Selain itu, bayi dengan hipotiroidisme kongenital memiliki insiden anomaly kongenital lain lebih tinggi, namun kemaknaannya tidak jelas. Berbagai anomali congenital pada bayi hipotiroidisme kongenital yang diidentifikasi melalui program skrinitang hipotiroidisme, antara lain penyakit jantung bawaan, penyimpangan kromosom, kelainan tulang, dan sindrom rambut terbelah. D. Patofisiologi Patofisiologi hipotiroidisme didasarkan atas masing-masing penyebab yang dapat menyebabkan hipotiroidisme, yaitu : 1. Hipotiroidisme sentral (HS) Apabila gangguan faal tiroid terjadi karena adanya kegagalan hipofisis, maka disebut hipotiroidisme sekunder, sedangkan apabila kegagalan terletak di hipothalamus disebut hipotiroidisme tertier. 50% HS terjadi karena tumor hipofisis. Keluhan klinis tidak hanya karena desakan tumor, gangguan visus, sakit kepala, tetapi juga karena produksi hormon yang berlebih (ACTH penyakit Cushing, hormon pertumbuhan akromegali, prolaktin galaktorea pada wanita dan impotensi pada pria). Urutan kegagalan hormon akibat desakan tumor hipofisis lobus anterior adalah gonadotropin, ACTH, hormon hipofisis lain, dan TSH.

2. Hipotiroidisme Primer (HP) Hipogenesis atau agenesis kelenjar tiroid. Hormon berkurang akibat anatomi kelenjar. Jarang ditemukan, tetapi merupakan etiologi terbanyak dari hipotiroidisme kongenital di negara barat. Umumnya ditemukan pada program skrining massal. Kerusakan tiroid dapat terjadi karena: i. Pascaoperasi Strumektomi dapat parsial (hemistrumektomi atau lebih kecil), subtotal atau total. Tanpa kelainan lain, strumektomi parsial jarang menyebabkan hipotiroidisme. Strumektomi subtotal M. Graves sering menjadi hipotiroidisme dan 40% mengalaminya dalam 10 tahun, baik karena jumlah jaringan dibuang tetapi juga akibat proses autoimun yang mendasarinya. ii. Pascaradiasi Pemberian RAI (Radioactive iodine) pada hipertiroidisme menyebabkan lebih dari 40-50% pasien menjadi hipotiroidisme dalam 10 tahun. Tetapi pemberian RAI pada nodus toksik hanya menyebabkan hipotiroidisme sebesar <5%. Juga dapat terjadi pada radiasi eksternal di usia <20 tahun : 52% 20 tahun dan 67% 26 tahun pascaradiasi, namun tergantung juga dari dosis radiasi. iii. Tiroiditis autoimun. Disini terjadi inflamasi akibat proses autoimun, di mana berperan antibodi antitiroid, yaitu antibodi terhadap fraksi tiroglobulin (antibodi-antitiroglobulin, AtgAb). Kerusakan yang luas dapat menyebabkan hipotiroidisme. Faktor predisposisi meliputi toksin, yodium, hormon (estrogen meningkatkan respon imun, androgen dan supresi kortikosteroid), stres mengubah interaksi sistem imun dengan neuroendokrin. Pada kasus tiroiditis-atrofis gejala klinisnya mencolok. Hipotiroidisme yang terjadi akibat tiroiditis Hashimoto tidak permanen. iv. Tiroiditis Subakut. (De Quervain) Nyeri di kelenjar/sekitar, demam, menggigil. Etiologi yaitu virus. Akibat nekrosis jaringan, hormon merembes masuk sirkulasi dan terjadi tirotoksikosis (bukan hipertiroidisme). Penyembuhan didahului dengan hipotiroidisme sepintas.

v. Dishormogenesis Ada defek pada enzim yang berperan pada langkah-langkah proses hormogenesis. Keadaan ini diturunkan, bersifat resesif. Apabila defek berat maka kasus sudah dapat ditemukan pada skrining hipotiroidisme neonatal, namun pada defek ringan, baru pada usia lanjut. vi. Karsinoma. Kerusakan tiroid karena karsinoma primer atau sekunder, amat jarang. 3. Hipotiroidisme sepintas. Hipotiroidisme sepintas (transient) adalah keadaan hipotiroidisme yang cepat menghilang. Kasus ini sering dijumpai. Misalnya pasca pengobatan RAI, pasca tiroidektomi subtotalis. Pada tahun pertama pasca operasi morbus Graves, 40% kasus mengalami hipotiroidisme ringan dengan TSH naik sedikit. Sesudah setahun banyak kasus pulih kembali, sehingga jangan tergesa-gesa memberi substitusi. Pada neonatus di daerah dengan defisiensi yodium keadaan ini banyak ditemukan, dan mereka beresiko mengalami kembalo hipotiroidisme. E. Penatalaksanaan Begitu diagnosis hipothyroid kongenital ditegakkan, dapat dilakukan pemeriksaan tambahan untuk menentukan etiologi dasar penyakit. Bila hal ini tidak memungkinkan, treatment awal dengan L-thyroxine harus segera dilaksanakan. Dosis awal pengobatan dengan L-thyroxine adalah 10-15 g/kgBB/hr yang bertujuan segera mencapai kadar hormon tiroksin yang adekuat. Pada pasien dengan derajat hipothyroidisme yang berat, ditandai dengan terbukanya fontanela mayor, harus diberikan dosis yang lebih besar, yaitu lebih besar dari 15g/kgBB/hr. Selanjutnya, diikuti dengan terapi maintenance dimana besar dosis maintenance disesuaikan kondisi pasien. Tujuan terapi adalah untuk mempertahankan kadar hormon tiroksin dan free T4 dalam batas normal, yaitu 10-16 g/dL untuk hormon tiroksin dan 1.4 - 2.3 g/dl untuk free T4.4. Untuk hipothyroidisme kongenital, satu-satunya terapi adalah dengan replacement hormon. Dalam tatalaksananya, yang paling penting adalah follow up dan monitoring terapi untuk mempertahankan kadar TSH dan T4 plasma dalam ambang normal. Untuk itu, perlu dilakukan follow up kadar TSH dan hormon T4 dalam waktu-waktu yang ditentukan, yaitu:

Usia pasien 0-6 bulan 6 bln - 3 tahun >3 tahun

Jadwal follow up Tiap 6 minggu Tiap 3 bln Tiap 6 bln

Selain itu, perlu juga dilakukan monitoring 6-8 minggu setiap pergantian dosis. Hal ini guna mengantisipasi terjadinya overtreatment yang dapat menyebabkan efek samping seperti penutupan sutura yang premature, dan masalah temperament dan perilaku. Umur 0-3 bulan 3-6 bulan 6-12 bulan 1-5 tahun 2-12 tahun > 12 tahun Dosis kg/kg BB/hari 10-15 8-10 6-8 5-6 4-5 2-3

Kadar T4 dipertahankan di atas pertengahan nilai normal. Bila fasilitas untuk mengukur faal tiroid tidak ada, dapat dilakukan therapeutic trial sampai usia 3 tahun dimulai dengan dosis rendah dalam 2-3 minggu; bila ada perbaikan klinis, dosis dapat ditingkatkan bertahap atau dengan dosis pemberian 100 g/m2/hari. Penyesuaian dosis tiroksin berdasarkan respon klinik dari uji fungsi tiroid T3, T4, dan TSH yang dapat berbeda tergantung dari etiologi hipotiroid.

Bab III Penutup


Hipotiroid kongenital adalah kelainan bawaan dengan kadar hormon tiroid (T3 dan T4) di sirkulasi darah yang kurang dengan kadar TSH yang meningkat. Kelainan ini diketahui sebagai penyebab terjadinya keterbelakangan mental dan kecacatan fisik pada anak- anak. Prevalensi rata-rata hipotiroid kongenital di Asia adalah 1 diantara 2.720 bayi di daerah non endemis iodium (hipotiroid kongenital sporadik) dan 1 : 1000 hipotiroid kongenital endemis di daerah defisiensi iodium. Penelitian di daerah Yogyakarta menunjukkan angka kejadian 1 : 1500 hipotiroid kongenital sporadik dan 1 : 1300 bayi menderita hipotiroid transien karena kekurangan iodium (endemis). Angka kejadian hipotiroid kongenital di Indonesia belum diketahui, namun apabila mengacu pada angka kejadian di Asia dan di Yogyakarta, maka di Indonesia, dengan angka kelahiran sekitar 5 juta per tahun, diperkirakan sebanyak 1.765 sampai 3200 bayi dengan hipotiroid kongenital dan 966 sampai 3.200 bayi dengan hipotiroid kongenital transien karena kekurangan iodium, lahir setiap tahunnya. Begitu diagnosis hipothyroid kongenital ditegakkan, dapat dilakukan pemeriksaan tambahan untuk menetukan etiologi dasar penyakit. Bila hal ini tidak memungkinkan, tretment awal dengan L-thyroxine harus segera dilaksanakan. Dosis awal pengobatan dengan L-thyroxine adalah 10-15 g/kgBB/hr yang bertujuan segera mencapai kadar hormon tiroksin yang adekuat. Pada pasien dengan derajat hipothyroidisme yang berat, ditandai dengan terbukanya fontanela mayor, harus diberikan dosis yang lebih besar, yaitu lebih besar dari 15g/kgBB/hr

DAFTAR PUSTAKA

1. 2. 3. 4.

http://chrysostomacleo.wordpress.com http://www.scribd.com http://poetriku-hipotiroidkongenital.blogspot.com http://www.news-medical.net/health/Hypothyroidism-(Indonesian).aspx

Anda mungkin juga menyukai