Anda di halaman 1dari 18

BAHASA MENURUT ONTOLOGI REALISME ANALITIS BERTRAND RUSSEL

BAB I PENDAHULUAN

Bertrand Russel (1872-1970) lahir dari keluarga bangsawan. Pada umur 2 dan 4 tahun berturut-turut ia kehilangan ibu dan ayahnya. Ia dibesarkan di rumah orang tua ayahnya. Di Cambrige, ia belajar ilmu pasti dan filsafat, antara lain pada A. Whitehead. Kita sudah mendengar bahwa George Moore termasuk sahabatnya. Selama hidupnya yang amat panjang, ia menulis banyak sekali, 71 buku dan brosur) tentang berbagai pokok, antara lain filsafat, masalah-masalah moral, pendidikan, sejarah, agama, dan politik. Pada tahun 1950 ia memperoleh hadiah Nobel bidang sastra. Namanya menjadi masyhur di seluruh dunia terutama karena pendapat-pendapatnya yang nonkonformistis tentang moral dan politik. Dari sudut ilmiah jasanya yang terbesar terdapat di bidang logaika Matematis. Pemikiran filosofis Bertrand Russell yaitu ia mencoba menggabungkan logika Frege tersebut dengan empirisme yang sebelumnya telah dirumskan oleh David Hume. Bagi Russell, dunia terdiri dari fakta-fakta atomis (atomic facts). Dalam konteks ini, kalimatkalimat barulah bisa disebut sebagai kalimat bermakna, jika kalimat tersebut

berkorespondensi langsung dengan fakta-fakta atomik. Ludwig Wittgenstein (1889-1951) juga nantinya banyak dipengaruhi oleh Russell. Dia sendiri mempengaruhi Lingkaran Wina dan membantu membentuk aliran positivisme logis pada dekade 1920-30 an. Jalan pemikiran Russell ini menawarkan jalan keluar untuk aliran atomisme logik. Atomisme logik berpendapat bahwa bahasa keseharian itu banyak menampilkan kekaburan arti. Russerl menawarkan dasar-dasar logico-epistemologik untuk bahasa. Russell mengetengahkan tentang fakta, bentuk logika, dan bahasa ideal. Dia mengetengahkan prinsip dasarnya, yaitu: ada isomorphisme (kesepadanan) antara /fakta dengan bahasa, dan dunia ini merupakan totalitas fakta-fakta, bukan benda. Fakta dalam pemikiran Russerl merupakan ciriciri atau relasi-relasi yang dimiliki oleh benda-benda.

Ia berpendapat bahwa grammar dari bahasa yang biasa kita gunakan sebenarnya tidak tepat. Baginya, dunia terdiri dari fakta-fakta atomis, dan hanya bahasa-bahasa yang mengacu pada fakta atomis inilah yang dapat disebut sebagai bahasa yang sahih. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa salah satu tugas terpenting filsafat adalah menganalisis proposisiproposisi bahasa untuk menguji kesahihan forma logis dari proposisi tersebut untuk itu tugas filsafat adalah analisis logis yang disertai dengan sintesis logis. Berdasarkan prinsip-prinsip pemikiran itulah maka Russerl menekankan bahwa konsep atomismenya tidak didasarkan pada mefisikanya melainkan lebih didasarkan pada logikanya karena menurutnya logika adalah yang paling dasar dalam filsafat, oleh karena itu pemikiran Russell dinamakan atomisme logis.

BAB II PEMBAHASAN

REALISME ANALITIS

Russell sendiri tidak pernah menggolongkan pandangan filsafatnya sebagai empirisme. Ia menyebutnya sebagai new realism; secara lebih tepat ia sebut sebagai realisme analitis (analytyic realism). Filsafatnya disebut realisme karena baginya tidak ada entitasentitas yang bersifat mental. Semua relasi kognitif adalah relasi eksternal. Relasi inilah yang mebentuk suatu hubungan (link) langsung antara subjek dan suatu objek non-mental. Filsafatnya disebut analitis karena pandangannya mengklaim bahwa eksistensi yang kompleks tergantung pada eksistensi yang sederhana, bukan sebaliknya. Unsur dari yang kompleks harus dianggap sebagai unsur yang secara mutlak identik dengan dirinya sendiri jika kita tidak mempertimbangkan relasi-relasinya. Oleh sebab itu filsafatnya ia sebut juga an atomic philosophy. Paham realisme berpendapat bahwa eksistensi tidak tergantung dari pengetahuan; karena itu eksistensi dari sesuatu tidak berimplikasi ia diketahui. Sebaliknya idealisme berpendapat bahwa pengetahuan dapat ada (exist) hanya jika ia diketahui; karena itu eksistensi tergantung dari pengetahuan. Dalam pandangan realisme yang ada seluruhnya merupakan dunia material. Dalam dunia yang seperti ini ada hal-hal yang tentangnya kita tidak memimiliki pengetahuan (kita tidak mengetahuinya). Dalam realisme pengetahuan tentang sesuatu objek merupakan relasi yang langsung antara pikiran (mind) dan objek. Apa yang diketahui tidak dapat merupakan ketiadaan (what is known cannot be nothing). Apa yang diketahui harus ada (subsist) ; tetapi apa yang subsist sangat mungkin tidak diketahui. Ia menolak sikap a priori dari idealisme bahwa tidak ada sesuatu apapun dapat ada terlepas dari pikiran. Realismenya disebut analitik karena Russell berpendapat bahwa unsur-unsur yang sederhana (simple) membentuk sesuatu yang kompleks. Unsur-unsur yang sederhana harus diiungkapkan atau ditemukan. Jadi, kompleks mengandaikan sederhana, tetapi sebaliknya sederhana tidak mengandaikan kompleks. Dalam alam semesta terdapat entitas-entitas

(beings) sederhana; dan entitas-entitas ini memiliki relasi; dan dari relasi inilah entitas-entitas yang kompleks terbentuk. Setiap enitas yang sederhana ini ia sebut sebagai atom. Dalam setiap kompleks terdapat dua jenis unsur: ada term dan relasi yang menghubungkan term-term. Ada term yang dimaknai sebagai predikat. Term-term dari yang kompleks dapat sebagai relasi (misalnya: priority implies diversity). Ada juga term yang hanya berperan sebagai term itu sendiri, tidak dapat sebagai predikat atau relasi. Ia menyebut term ini sebagai partikular. Term-term yang terdapat dalam kompleks adalah term-term yang berperan sebagai predikat atau relasi; ini disebutnya sebagai universal (misalnya: diversity, causality, father, whiteness, dll). Kalau term partukular dapat dikatakan berada (exist); sedangkan untuk term universal lebih baik disebut sebagai ada (subsist). Partikular memiliki sifat logis murni dari substansi, tetapi tidak memiliki sifat metafisis. Oleh sebab itu partikular hanya dapat menjadi subjek dari predikat atau term dari relasi. Dalam pengertian yang sempit, bagi Russell hanya partikular yang berada (exist); tetapi partikular ada hanya secara temporal (tidak tetap ada). Sebagian yang universal diketahui dan sebagian tidak diketahui, demikian juga dengan yang partikular. Universal yang diketahui ia sebut sebagai konsep. Partikular yang diketahui ia sebut sebagai sense-data (data-indera). Konsep dan sense-data merupakan objek bagi pikiran (mind). Keduanya adalah entitas-entitas yang secara kognitif berkaitan dengan pikiran. Tetapi tidak satupun dari keduanya ada dalam pikiran, kecuali data of inner sense. Bagi Russell, idealisme jika dipahami secara mendalam berimplikasi pada kesimpulan bahwa apa yang disebut a priori truth is nothing but an illusion; one cannot help but believe it, but it is not what is the case. Karena idealisme berimplikasi pada regresi ad infinitum. Jika eksistensi tergantung pada pengetahuan, maka eksistensi pengetahuan tersebut tergantung pada pengetahuan dari pengetahuan tersebut, dan seterusnya. Sedangkan bagi empirisme, sebagai teori yang menyatakan bahwa semua bukti (evidence) terletak pada sense experience, berimplikasi pada kesimpulan bahwa seseorang tidak dapat mengetahui apapun kecuali sense-data. Ini berarti setiap hukum fisika, setiap prediksi dapat dianggap sebagai sembarangan; karena prinsip empirisme menyatakan bahwa tidak ada hal yang diketahui kecuali melalui senses. Empirisme sendiri tidak dapat diketahui melalui senses, sehingga empirisme sebenarnya kontradikstif dengan diri sendiri. Oleh sebab itulah Russell merasa perlu untuk menemukan suatu epistemologi yang bukan idealisme maupun empirisme.

KONSEP TENTANG ACQUAINTANCE

Konsep acquaintance merupakan konsep yang sangat penting dan fundamental bagi pandangannya tentang problem pengetahuan dunia empiris. Ia mengawali bukunya The Problem of Philosophy (sebagai kalimat pertama dari bab pertama), dengan mengajukan suatu pertanyaan epistemologis yang klasik: Is there any knowledge in the world which is so certain that no reasonable man could doubt it?. Secara tidak langsung ia berpendapat ada. In the search for certainty, it is natural to begin with our present experiences, and in some sense, no doubt, knowledge is to be derived from them. (ibid). Bertolak dari realisme sebagai dasar epistemologinya, Russell membedakan dua jenis atau bentuk pengetahuan: knowledge by acquaintance (atau acquaintance saja) dan knowledge by description (pengetahuan deskripsi). Pengetahuan acquaintance adalah pengetahuan yang bersifar langsung, tanpa perantara, tanpa proses inference. Pengetahuan semacam ini selalu merupakan data indera; ia menyebutnya sebagai the whole fact with which I am acquainted with this sense-datum. Pengetahuan yang demikian dikategorikan oleh Russell sebagai pengetahuan kebenaran (truth), yang bersifat pasti/tidak diragukan. Ia mengatakan, I am acquainted with an object when I have a direct cognitive relation to that object, i.e. whom I am directly aware of the object itself. Pengetahuan acquaintance ini dapat bersifat partikular maupun universal [misalnya: ide putih (whiteness), keragaman (diversity), persaudaraan (brotherhood). Sedangkan pengetahuan deskripsi adalah pengetahuan yang berdasarkan proses inference (yaitu pengetahuan sebagai implikasi, deduksi, kesimpulan logis). Oleh sebab itu pengetahuan deskripsi bersifat tidak langsung. Pengetahuan deskripsi tidak berdasarkan sense-data secara langsung; pengetahuan jenis ini selalu memerlukan penjelasan. Pengetahuan ini selalu mencakup beberapa pengetahuan kebenaran sebagai sumber dan dasarnya. Ia bukan suatu relasi kognitif yang langsung dengan objeknya. Mengetahui secara deskripsi tentang suatu objek berarti kita mengetahuinya sebagai sesuatu ini dan itu (a so and so). Pengetahuan deskripsi ini bisa merupakan pengetahuan yang dianggap sangat ilmiah, yaitu pengetahuan tentang objek-objek fisika. Karena suatu objek fisika tidak hadir secara langsung dalam sense data atau sense experience. Ia hanya dapat diketahui secara tidak langsung dan melalui suatu deskripsi. Sebenarnya objek fisika hanya diketahui secara inference; dan ini secara teoritis dapat terjadi kesalahan. Oleh sebab itu pengetahuan semacam ini, termasuk pengetahuan suatu objek fisika, bukan pengetahuan yang sejati.

ANALISIS DAN KONSTRUKSI BAHASA

Realisme dan konsep acquaintance Russell berimplikasi dalam analisis dan konstruksi linguistiknya. Baginya bahasa dapat dianalisis secara logis, baik kata, frase, sintaksis, juga hungan antara kata dalam kalimat. Bahasa sebagai pernyataan harus memiliki makna yang sesuai dengan objek riil yang dimaksud. Disamping itu bahasa dalam filsafat dan bahasa biasa (ordinary language) sering kali menyesatkan, tidak jelas dan tidak mengungkapkan realitas yang sesungguhnya. Baginya, bahasa sebagai pernyataan, sekalipun benar secara sintaksis, belum tentu benar secara epistemologis, semantik dan logis. Makna yang diungkapkan dalam bahasa dapat bersifat ambigius, tidak jelas bahkan tidak bermakna secara kognitif. Bahasa bagaimanapun umum, konvensional dan permanen penggunaannya tidak bisa dianggap sebagai prima facie. Menurut Russell, bahasa mempunyai tiga fungsi/tujuan, yaitu: (1) Untuk mengindikasikan atau menyatakan fakta. (2) Untuk mengungkapkan keadaan subjek yang berbicara. (3) Untuk mengubah/mempengaruhi keadaan pendengar. Fungsi bahasa yang pertama inilah yang menjadi problem filosofis baginya. Apa yang membuat kalimat bersignifikansi dan bermakna adalah kapasitasnya mengungkapkan suatu keyakinan dan menunjukkan suatu fakta. Fakta ditunjuk melalui keyakinan dan keyakinan diekspresikan lewat makna dari kata-kata. Dalam tulisan pengantar dari Tractatus Logico-Philosophicus, Russell mengatakan bahwa ada beberapa problem bahasa: (1) Problem tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam pikiran ketika kita menggunakan bahasa yang berkaitan dengan suatu makna. Problem ini ada dalam wilayah psikologi. (2) Problem tentang hubungan antara pikiran, kata, kalimat dan makna yang dimaksud. Ini adalah problem epistemologi. (3) Problem penggunaan kalimat agar kalimat menyatakan kebenaran (truth) bukan kesalahan (falsehood). (4). Huhungan apakah yang harus ada antara suatu fakta (seperti suatu kalimat) dengan fakta yang lain sehingga yang pertama dapat menjadi suatu simbol dari fakta yang lainnya; ini adalah problem logika. Problem yang menjadi perhatian Russell adalah problem (2) dan (3). Karena dalam praktiknya, bahasa selalu bersifat kurang jelas atau tidak jelas; sehingga apa yang kita nyatakan tidak pernah tepat/presisi. Oleh sebab itu, baginya peranan yangesensial dari bahasa adalah untuk menyatakan atau menolak fakta. Agar suatu kalimat atau proposisi dapat menyatakan fakta tertentu, maka bahasa dimungkinkan untuk dikonstruksi, menjadi suatu yang sama antara struktur kalimat dan struktur fakta. Pernyataan linguistik harus menunjukan

pada entitas atau unsur realitas dunia yang dimaksud. Baginya terdapat kesesuai struktur bahasa dan dengan struktur dari suatu realitas dunia; kesuaian ini disebut dengan isomorfi. Menurut Russell ada tiga pendapat tentang hubungan bahasa (khususnya kata-kata) dengan fakta-fakta dunia yang non-verbal: (1) Sifat /natur (property) dunia merupakan implikasi atau deduksi dari sifat/natur bahasa. Yang berpendapat demikian misalnya, Parmenides, Plato, Spinoza, Leibniz, Hegel dan Bradley. (2) Pengetahuan hanya merupakan kata-kata. Yang berpendapat demikian misalnya, kaum nominalis, beberapa positivis logis. (3) Tidak ada pengetahuan yang tidak dapat diungkapkan dalam kata-kata. Kata-kata digunakan untuk menyatakan dan menjelaskan tentang pengetahuan ini. Yang berpendapat demikian misalnya, Bergson, Wittgenstein, dalam pengertian tertentu juga Hegel dan Bradley. Russell menolak semua pendapat tersebut, khususnya pendapat positivis logis; karena kalangan positivis logis cenderung memperlakukan bahasa sebagai wilayah yang terpisah dan tersendiri, yang dapat dipelajari tanpa menghiraukan fakta yang ada atau yang terjadi. Jadi, bahasa dimungkinkan untuk terpisah dari fakta. Bagi Russell kita harus menemukan relasi antara antara struktur kalimat dan struktur fakta yang kalimat tunjukkan. Karena ia berpendapat bahwa sifat/natur bahasa dapat menolong untuk memahami struktur dunia. Dunia dapat dipahami sebagai relasi-relasi; dan relasi-relasi merupakan bagian dari struktur dunia yang non-linguistik; sedangkan bahasa adalah fenomena empiris seperti realitas lainnya. Oleh sebab itu ia percaya bahwa (sebagian) pengetahuan yang signifikan dan penting tentang dunia dapat dicapai dengan cara menganalisis bahasa. Sebagaimana struktur dunia memiliki unsur yang sederhana, kompleks, relasi, sifat atau kualitas, demikian juga struktur bahasa Bagi Russell, untuk mencapai bahasa ideal, yaitu bahasa yang logis, rill dan jernih , maka bahasa bukan saja perlu dianalisis tetapi juga dikonstruksi; bukan secara sintaksis tetapi secara logis dan empiris. Upaya analisis dan konstruksi linguistik-nya ini bertolak dari beberapa konsepsi filosofis yang berperan sebagai asumsi-asumsiya yang bersifat integral.

1. Kata

Bagi Russell mengenal suatu bahasa berarti mengetahui penggunaan kata-kata secara tepat dan meresponi secara tepat juga terhadap kata yang didengar atau dibaca. Russell memulai bukunya An Inquiry into Meaning and Truth (buku ini merupakan salah satu bukunya yang paling penting) dengan pertanyaan: What is a word? Kata (baik sebagai yang diucapkan, didengar, ditulis dan dibaca) yang menjadi perhatiannya adalah kata yang ia sebut sebagai

kata-objek (object-word, yaitu kata yang menunjukkan atau berkoresponden pada objek yang riil/empiris). Kata-kata yang demikianlah yang membentuk bahasa-objek (object-language). Kata-objek dapat berdiri sendiri; berbeda dengan kata yang maknanya tergantung pada konteks penggunaan, misalnya: dari, atau, walaupun, dll., yang tidak dapat berdiri sendiri. Kata-objek memiliki sifat partikular: (1) Maknanya dapat dimengerti secara langsung pada objek yang dimaksud. (2) Ia tidak mengandaikan (berprasuposisi) adanya kata lain. (3) Ia dapat menjadi suatu proposisi yang lengkap. Kata dapat digunakan sebagai naratif, permintaan atau introgatif, imajinatif; tetapi penggunaan yang paling mendasar dari kata-objek adalah demonstratif, yaitu menunjukkan atau mengkorespondensikan; kemudian penggunaan vokatif (kata benda atau kata ganti), yaitu penggunaan sebagai nama yang riil (proper name). Karena baginya tujuan utama bahasa adalah mengindikasikan atau menunjukkan fakta, maka pernyataan (baik lisan maupun tulisan) selalu bertujuan untuk menyatakan fakta. Adalah mungkin bahwa pernyataan bertujuan untuk suatu kebohongan; dengan demikian bahasa dapat membuat seseorang menyembunyikan pikirannya. Bagi Russell adalah menarik bahwa bahasa dapat menyatakan fakta dan sekaligus ia dapat juga menyatakan kesalahan (falsehood). Dalam pengalaman empiris, sesungguhnya tidak ada seorangpun yang dapat belajar berbicara kalau kebenaran tidak menjadi aturan. Jika seorang anak melihat seekor anjing, tetapi ayahnya mengatakan bahwa itu seekor kucing atau seekor kuda, maka ia selamanya tidak dapat belajar berbicara objektif, benar dan empiris. Dan sebenarnya ayahnya tidak dapat menipunya dengan mengatakan itu seekor anjing jika itu bukan seekor anjing. Dengan demikian berbohong merupakan akvitas turunan (derivative activity) yang beranggapan bahwa berbicara dengan sebenarnya (truth-speaking) sebagai aturan yang biasa berlaku.28 Semua pernyatan empiris pasti mengandung kata-objek dan peranannya sangat fundamental dalam teori pengetahuan empiris. Karena melaluinyalah bahasa dihubungkan dengan kejadian-kejadian non-linguistik, sedemikian hingga ia dapat mengungkapkan kebenaran empiris atau kesalahan. Konsep acquaintance menjadi asumsi bagi teori korespondensi tentang makna dan kebenaran. Bagi Russell makna adalah objek yang dimaksud, yaitu entitas yang dinyatakan dengan kata yang berfungsi sebagai nama. Untuk mengerti suatu kata, kita harus mengetahui apa makna/artinya, yaitu entitas apa yang ditunjuk. Karena hanya entitas yangdapat dikognisi yang kita dapat ketahui secara langsung, maka hanya kata-kata yang menyatakan objek acquaintance yang bersifat intelligible bagi kita. Dalam bahasa yang ideal, semua kata-kata yang menunjukkan entitas-entitas empiris harus merupakan kata-kata yang menyatakan objek-objek acquaintance. Kalau tidak maka kata-kata dalam bahasa akan bersifat

unintelligible. Jadi baginya, kata-kata dalam bahasa yang sempurna, bukan saja logis, tetapi juga secara pasti menunjukkan entitas-entitas acquaintance, bukan hanya berdasarkan asumsiasumsi. Pandangan Russell ini dikenal sebagai correspondence atau reference theory of meaning. Pandangan atau teorinya ini memberi dasar baginya untuk merumuskan konsep partikular sebagai unsur dan fakta atomik. Partikular merupakan suatu logical necessity dan sekaligus merupakan entitas yang dituntut sebagai persyaratan linguistik agar kata-kata dalam bahasa mempunyai makna yang definitif dan spesifik, sehingga tidak perlu dianalisis dan dideskripsi lebih lanjut. Partikular harus merupakan logically simple objects, objek-objek empiris dan objek-objek kognisi langsung.

2.

Kalimat dan Proposisi

Suatu kalimat dapat berbentuk introgatif, apotatif, seruan, imperatif dan indikatif. Bentuk kalimat indikatif merupakan fokus perhatian dalam analisis dan konstruksi linguistiknya. Karena kalimat indikatif (1) dapat diuji benar atau salahnya; (2) terdiri dari kata-kata dan makna kalimat itu dirunkan dari kata-katanya; dan (3) memiliki kesatuan tertentu sehingga ia memiliki kualitas atau karakteristik yang tidak dimiliki oleh nsur-unusur kata-katanya. Suatu kalimat yang tunggal secara gramatikal, belum tentu tunggal secara logis. Misalnya: I went out and found it was raining. Kalimat ini sebenarnya terdiri dari dua kalimat: I went out dan I found it was raining. Kalimat yang demikian adalah kalimat yang bersifat molekuler, karena mengandung relasi antara unsur-unsurnya. Dalam bahasa yang ideal, suatu kalimat harus presisi dan logis secara ketat. Kalimat yang demikian bersifat atomik dimana didalamnya hanya terdapat satu nama riil yang definitif (proper name) dan satu kata kerja atau satu kata yang bukan nama riil. Berdasarkan kalimat atomik ini, maka bagi Russell, suatu kalimat sudah dapat dianggap lengkap jika ia paling sedikit mengandung satu kata yang bersifat universal. Kata yang bersifat universal harus ada dalam suatu kalimat yang signifikan; karena tidak ada kalimat yang dapat dibuat tanpa ada (paling sedikit) satu kata yang menunjukkan ide universal. Semua kalimat yang menyatakan kebenaran mencakup unsur universal dan semua pengetahuan tentang kebenaran mencakup acquaintance pada unsur universal. Suatu kalimat dapat tidak signifikan atau tidak bersignifikansi atau nonsensikal jika suatu kalimat tidak memiliki arti, tujuan atau maksud secara semantis. Suatu kalimat bisa benar secara sintaksis tapi tidak bersignifikansi secara semantis. Misalnya, Quadraplicity

drinks procrastination. Secara sintaksi atau gramatikal kalimat ini tidak salah; tetapi secara semantis ia bersifat nonsensikal. Ada kalimat yang mungkin secara sintaksis, tapi tidak mungkin secara logis. Misalnya, The moon is made of green cheese. Atau, The sound of a trombone is blue. Oleh sebab itu signifikansi suatu kalimat tidak boleh dianggap sebagai konsep sintaksis. Aturan sintaksis dalam bahasa bertujuan untuk menghindari kalimat yang nonsensikal. Tetapi aturan sintaksis gagal mencapai tujuan ini. Dalam konteks ini kalimat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu kalimat yang benar atau salah dan kalimat yang nonsensikal. Semua problem paradoks berasal dari anggapan adanya signifikansi kalimat, tetapi sebenarnya kalimat tersebut nonsensikal. Oleh sebab itu suatu kalimat perlu didefinisikan atau ditentukan singnifikansinya; signifikansi suatu kalimat (what a sentence signifies) atau kalimat yang bersignifikan disebut sebagai proposisi. Oleh sebab itu suatu proposisi hanya memiliki dua kemungkinan, benar atau salah.

3. Bahasa-obyek (object-language)

Sebagai upaya konstruksi bahasa, Russell mengusulkan adanya hierarkhi dalam bahasa, dimana bahasa yang paling mendasar adalah yang ia sebut sebagai bahasa-objek (objectlanguage) atau bahasa-utama (primary-language). Bahasa-objek adalah bahasa yang sepenuhnya terdiri kata-objek yang bersifat definitif dan secara logis bermakna definitif. Bahasa-objek tidak mengandung pernyataan benar atau salah; juga tidak terdapat kata atau, tetapi, apabila; tidak memakai kata tidak satupun, semua, beberapa. Karena semua tidak definitif dan memiliki makna logis yang ketat. Bahkan kata-kata sintesis seperti is dan than tidak ada dalam bahasa-objek. Misalnya: A is earlier than B menjadi A proceeds B. A is yellow menjadi yellow A. Karena kata is hanya merupakan konsep linguistik, tidak berkaitan dengan konsep objek Dalam bahasa-objek juga tidak terdapat kata percaya, menginginkan, meragukan; karena kata ini tidak mengungkapkan kejelasan.

Dalam bahasa-objek satu kata tunggal dapat berdiri sendiri dan berfungsi mengungkapkan datum persepsi; misalnya dog. Jika yang kita lihat bukan kucing, maka dengan sendirinya pernyataan dog salah dengan sendirinya. Dalam percakapan bahasa biasa tidak mungkin atau tidak memadai jika hanya dengan pernyataan dog. Kita mengatakan, That is a dog. Jika itu bukan dog, maka dikatakan that is not a dog. Jadi kata dog dapat dipakai untuk menyangkal dog dan sekaligus menegaskan juga dog. Dengan demikian kata ini kehilangan maksud yang sesungguhnya. Russell mengatakan, the single

word loses all assertive power Russell. Tetapi dalam bahasa-objek, setiap kata tunggal harus merupakan ungkapan pendapat/pikiran. Misalnya kalimat: The car is in the garage. Agar kalimat ini dapat bermakna secara logis maka kata car, garage dan in harus mempunyai makna referensial yang objektif/riil. Tetapi berdasarkan analisis logis kata is mempunyai problem filosofis bukan problem sintaksis/gramatikal.

4.

Proper name (nama riil)

Dalam bahasa dan juga logika dikenal istilah nama yang menunjukkan sesuatu ide atau entitas yang faktual. Karena suatuproposisi harus bersifat referensial, atomik dan definitif, maka status suatu nama dalam suatu proposisi haruslah bersifat riil dan sesungguhnya, bukan abstral maupun imajinatif. Berdasarkan penelitiannya pada kata-kata yang umum, Russell berpendapat bahwa nama riil mewakili partikular, sedangkan kata-kata substantif, sifat, preposisi dan kata kerja mewakili universal. Ia memperkenalkan suatu kategori atau kelas nama yang disebut dengan proper name (nama riil). Kemudian ia membedakan lagi proper name atas ordinary proper name dan logically proper name. Pembedaan ini berdasarkan pembedaan acquaintance dan knowledge by description. Misalnya Sokrates, nama ini bukan entitas acquaintance. Karena kita tidak mengetahui nama Sokrates secara langsung. Nama ini diketahui dan digunakan hanya sebagai suatu deskripsi. Kita dapat mendiskripsikannya sebagai guru filsuf Plato atau seorang filsuf yang berani meneguk racun demi kebenaran atau seorang yang oleh ahli logika disebut orang yang bersifat mortal, dll. Nama ini tidak digunakan dalam pengertian sebagai proper name (nama yang sebenarnya), yang sesuai dengan referensi yang sesungguhnya. Karena sebagai entitas, pengetahuan tentangnya tidak mungkin diperoleh secara langsung; jadi pengetahuan tentagnya bukanlah acquaintance. Russell memasukkan nama Sokrates dalam kelas (kategori) ordinary proper name. Ia berasumsi bahwa semua kata yang bersifat intelligible hanya ada dua kemungkinan: (1) Ia menyatakan secara langsung suatu objek pengetahuan langsung (acquaintance). (2) Ia dapat dianalisis dalam istilah-istilah tentang objek tersebut. Oleh sebab itu baginya suatu objek termasuk suatu pribadi seperti Sokrates yang diketahui secara umum dan biasa bersifat transenden atau metafisis; demikian juga halnya dengan suatu objek fisika. Karena ia hanya dapat diketahui dengan cara diskripsi, maka ia bersifat unintelligible. Jika suatu kata tidak dapat digunakan untuk menunjukkan

(referensi/korespondensi) maka kata tersebut pasti bukan sebagai suatu nama melainkan

sebagai suatu deskripsi; dan nama itu bukan menunjukkan secara langsung pada entitasnya, oleh sebab itu ia tidak dapat dianggap sebagai suatu proper name. Ordinary proper name sebenarnya berfungsi sebagai deskripsi, bukan nama itu sendiri; bahkan entitas yang dinamakan tidak dapat secara logis dan valid dimengerti sebagai entitas yang sesungguhnya. Hanya objek dari acquaintance yang dapat dinamakan secara riil;pribadi-pribadi tidak dapat menjadi objek yang demikian, kecuali pribadi itu menjadi objek bagi dirinya sendiri. Suatu pribadi hanya dapat dianggap sebagai entitas yang dapat dideskripsikan, yang dapat dianalisis dan diungkapkan term of set or class of particulars (dalam kelas/ katergori istilah partikular). Russell mengatakan, The subject in psychology, and the particle of matter in physics, if they are to be intelligible to us, must both be regarded either as bundles of experienced qualities and relation or as related to such bundles by relations known to experience. Jadi suatu pengetahuan deskripsi tidak boleh dianggap sebagai kategori yang ontologis, melainkan sebagai suatu konstruksi dari data yang didapatkan melalui pengalaman. Ia merupakan gabungan dari kualitas-kualitas dan relasi-relasi yang dialami. Berdasarkan prinsip acquaintance ini berarti objek personal tidak dapat diketahui. Implikasi ini merupakan konsekuensi yang sulit bagi teorinya. Oleh sebab itu ia menganggap perlu unutuk merekonstruksi konsep tentang pribadi, yaitu dengan cara menyatakan dalam kelas (atau kategori /himpunan) dari partikularpartikular yang dapat diindera dan dar relasi-relasi, karena mereka dapat diketahui sebagai acquaintance. Dengan cara ini ia telah membuat rekonstruksi kelas ontologis yang mendasar dari ordinary language.

5.

Frase Deskripsi

Untuk mendeskripsikan sesuatu bahasa biasa harus menggunakan salah satu dari konsepkonsep untuk menunjukkan term, yaitu sesuatu apa saja yang mungkin menjadi objek pikiran yang ada dalam kalimat atauproposisi yang benar maupun salah. Jadi semua term adalah sesuatu entitas, objek fisika, relasi, sifat, sesuatu hal yang fiktif, dll. Peranan suatu frase deskripsi dalam suatu kalimat adalah berkaitan dengan suatu term; yaitu menjelaskan term tersebut. Mengapa hal ini menjadi penting bagi Russell?. Ia berpendapat dalam suatu deskripsi, kata the, a , any, some, every, all, selalu dipakai. Tetapi dalam pemakaian ada suatu konsep yang didahului oleh salah satu dari enam kata tersebut, yang berguna untuk menunjukkan suatu term. Misalkan dalam pemakaian the; semua frase deskriptif yang menggunakan the mempunyai fungsi logis yang sama dengan

nama riil. Perbedaan diantara keduanya adalah pemakaian kata the mempunyai makna penunjukkan (connotation), sedangkan nama riil tidak demikian. Kalau suatu deskripsi dipahami sebagai nama, maka sulit menunjukkan sesuatu yang tidak jelas, tidak spesifik atau tidak ada sama sekali. Jika kita memahami deskripsi sebagai nama, ini logis jika sesuatu yang dideskripsikan sungguh-sungguh ada. Misalnya, The thirty-sixth president of the United-States is a Democrat. atau The master of Plato was forced to drink hemlock. Frase deskriptif the thirty-sixth president of the United States menunjukkan dengan jelas dan faktual/riil pada seorang bernama Lyndon B. Johnson. Frase deskriptif the master of Plato menunjukkan Sokrates. Tetapi ada deskripsi yang objeknya tidak ada atau tidak pernah ada. Misalnya, the golden mountain; bahkan ada deskripsi yang tidak dapat dipikirkan sebagai ada, melanggar hukum kontradiksi. Misalnya, the round square. Ada juga deskripsi yang menunjukkan individu tertentu tapi tidak jelas/definitif, misalnya, the inhabitant of London. Jika deskripsi adalah nama maka sesuatu yang ditunjukkan harus ada, tidak boleh tidak ada atau tidak jelas. Jika sesuatu yang ditunjukkan tidak ada atau tidak jelas maka deskripsi itu tidak bermakna. Untuk memecahkan masalah ini Russell mengajukan dua kemungkinan: (1). Frase deskriptif dapat dianggap berfungsi menunjukkan dan berusaha merumuskan suatu konsepsi dari entitas yang ditunjukkan sehingga membuatnya mungkin diungkapkan, sekalipun tidak mengandung spesifikasi atau kejelasan entitas. (2). Membuat suatu interpretasi atas frase deskriptif tersebut; dan membuang asumsi bahwa ia ada sebagai entitas faktual, sehingga problem entitas yang ditunjukkan dari deskripsi kosong tidak terjadi. Alexus Meinong (dan Gottlob Frege) pernah berusaha memecahkan masalah ini dengan kemungkinan pertama. Bagi Meinong, semua deskripsi, termasuk entitas-entitas non-existent dan self-contradictory, tetap menunjukkan suatu objek. Meinong membagi tiga kelas entitas: (1). Objek yang tidak mungkin ada. (2). Objek yang mungkin ada, tapi dalam kenyataan tidak ada. (3). Objek yang ada secara faktual. Hanya objek jenis (3) yang ada (exist), sedangkan objek jenis (1) dan (2) dapat dibayangkan ada (being) dan dapat menjadi entitas yang ditunjuk (denotata) dari frase deskriptif. Jadi bagi Meinong, eksistensi hanya merupakan salah satu dari bentuk ada (mode of being). Oleh sebab itu baginya adalah mungkin bahwa semua frase deskripsi berfungsi menunjukkan atau mengindikasikan; meskipun tidak ada secara faktual. Semua objek yang dideskripsikan memiliki a kind of being yang memungkinkannya memiliki sifat fan fungsi term relasi. Jadi bagi Meinong, dalam dunia semua jenis objek memiliki berbagai jenis dan tingkat realitas.

Tetapi bagi Russell, penjelasan Meinong tidak logis. Karena melanggar hukum kontradiksi. Baginya, bentuk gramatikal belum tentu bersesuaian dengan bentuk logis; sekalipun secara gramatikal ia dapat dijadikan subjek dari suatu kalimat atau proposisi, tetapi tidak dapat dijadikan nama riil atau subjek logis dari suatu kalimat atau proposisi. Berdasarkan landasan realismenya, Russell menegaskan bahwa dalam melakukan analisis logis, struktur logis dan ontologis dari bahasa biasa (ordinary language) tidak boleh diabaikan. Oleh sebab itu ia menolak adanya fungsi logis dari frase deskripsi sebagai nama. Agar ia mempunyai makna, frase deskripsi tidak boleh menunjuk apapun. Russell menggolongkan frase deskripsi ini sebagai incomplete symbol. Analisis logis Russell atas frase deskriptif ini kemudian berkembang menjadi teori deskripsi-nya yang sangat mencerminkan analisis dan konstruksi linguistiknya yang ontologis. Menurut Robert J. Clack, teori deskripsi ini merupakan suatu metode analisis yang bertujuan untuk mengoreksi ketidaklogisan (logical defect) dalam struktur gramatikal bahasa biasa. Ketidak logisan ini dapat berimplikasi pada pemahaman tentang struktur realitas. Oleh sebab itu dalam bahasa yang sempurna secara logis, tidak boleh terdapat deskripsi. Salah satu konsekuensi yang sangat signifikan dari teori deskripsi ini adalah eksistensi dianggap sebagai sifat/natur (property) dari fungsi proposisi. Dalam hal ini Russell sependapat dengan Frege bahwa eksisten merupakan sifat/natur dari konsep.

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN DAN TANGGAPAN


1. Realisme analitis Russell dapatlah dikatakan sebagai realisme yang radikal dan konsisten.

Disebut radikal karena ia mengganggap bahwa hanya realisme analitis yang memberi jalan alternatif antara kebuntuan idealisme dan empirisme yang self-contradictory. Disebut konsisten karena realisme menjadi landasan dalam menganalisis dan memahami fakta dan struktur realitas; bahkan objek fisika yang dikaji dengan sangat ilmiah sekalipun tidak dianggapnya sebagai acquaintance. Realisme analitis menjadi landasan baginya untuk mengintegrasikan ontologi realisme, matematika logis dan bahasa. Upayanya ini bukan saja sangat besar dan kompleks, tetapi juga sangat rigorous. Upayanya ini adalah upaya mencari kepastian, ketelitian, kejernihan yang sebenarnya juga pernah dilakukan oleh banyak para fulsuf, namun ia berupaya dalam paradigmanya yang orisinal. 2. Namun realisme analitis-nya yang radikal telah memberi penegasan filosofis yang jelas bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari ontologi. Karena peranan bahasa yang utama adalah menyatakan atau menunjukkan fakta yang diketahui berdasarkan prinsip acquaintance. Secara tidak langsung Russell membuktikan bahwa konsep bahasa dan penerapan bahasa selalu mengandung unsur metafisis, yaitu ontologi. 3. Karena bahasa adalah pengungkapan ontologis sehingga bagi Russell struktur dunia atau realitas selalu bersesuaian (isomorfi) dengan struktur bahasa. Sebagaimana struktur dunia mempunyai partikular, universal, relasi, predikat, sifat; demikian juga dalam struktur bahasa. Oleh sebab itu bahasa dapat dituntut dalam analisis dan konstruksi linguistik yang logis dan ontologis agar bahasa dapat bersesuaian dengan struktur realitas. 4. Pengetahuan acquaintence adalah konsekuensi dari realisme yang menjadi landasan filosofis Russell. Oleh sebab itu realisme adalah dasar ontologi dan metafisikanya; dan analisis linguistik dan deskripsi filsafatnya disebut oleh Strawson sebagai revisionary metaphisics. 5. Kalau bahasa adalah medium, maka Russell berusaha menganalisis suatu medium tetapi dalam medium itu sendiri. Medium yang dipakainya adalah bahasa Inggris yang termasuk dalam rumpun bahasa Indo-Aryan. Bahasa bukan saja tidak dapat dipisahkan dari

ontologi, ia juga tidak dapat dipisahkan dari kultur. Bahasa harus juga dilihat sebagai produk kultural, oleh sebab itu ia tidak universal. Ia tidak hanya bersesuai dengan struktur ontologis, tetapi juga bersesuaian dengan struktur kultural. Oleh sebab itu tidak ada bahasa yang dapat ditranslasi secara sempurna (isomorfi) dalam bahasa lain. Setiap bahasa memiliki keunikan, baik sebagai kelebihan maupun kekurangan. Apa yang menjadi problem dalam suatu bahasa mungkin tidak ada dalam bahasa lain. 6. Russell dalam paradigma epistemologisnya memperlakukan bahasa terlalu formal dan presisi. Oleh sebab itu semantik dalam konsep linguistiknya berkorespondensi secara ontologis yang sempurna, definitif dan pasti. Namun ini bisa dipertanyakan, apakah ada pengetahuan yang pasti dan presisi secara sempurna. Kalau tidak ada maka tidak ada bahasa yang sempurna. Nampaknya berdasarkan prinsip acquaintance, Russell mengabaikan aspek konvensional dari bahasa. Bukankah semantik bahasa sering kali dimengerti berdasarkan konvensi yang berlaku secara sosial. Bahasa tidak boleh menjadi terlalu privat seperti bahasa yang ia konstruksi dan idealkan.

Tugas Uian Akhir Semester Ilmu Filsafat

BAHASA MENURUT ONTOLOGI REALISME ANALITIS BERTRAND RUSSEL

Disusun Oleh: NURMAYANTI 10/306772/PSA/02778

PROGRAM STUDI LINGUISTIK SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

2011

Daftar Pustaka

Hidayat, Asep Ahmad. Filsafat Bahasa, Cet. I; Jakarta: PT. Rosdakarya, 2006 http://rezaantonius.wordpress.com/2008/02/24/filsafat-analitik/ Kaelan M.S. Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa dan Pengaruhnya Terhadap Ilmu Pengetahuan, Cet. I; Yogyakarta: Paradigma, 2006 Russel, Bertrand. History of Western philosophy, Oxford: Alden Press, 1974

Anda mungkin juga menyukai