Anda di halaman 1dari 8

1

Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner Staphylococcus, Bakteri Jahat yang Sering Disepelekan Oleh Widagdo Sri Nugroho Staf Pengajar Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH UGM Fungsionaris Asosiasi Kesehatan Masyarakat Veteriner Indonesia Anggota Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia Cabang Yogyakarta Pendahuluan Keracunan makanan, istilah yang hampir selalu muncul dalam media massa baik tulis maupun elektronik akhir-akhir ini. Kompas tanggal 24 Oktober 2003 melaporkan sebanyak 105 buruh pabrik sepatu di Tangerang 11 orang diantaranya sedang dalam keadaan hamil mengalami keracunan setelah mengonsumsi soto ayam. Kejadian muncul sesaat setelah mereka makan, merasakan mual-mual, muntah, diare, hingga pingsan. Badan POM pada tahun 2004 melaporkan selama tahun 2003 telah terjadi 43 kasus keracunan makanan dan jumlah itu meningkat pada tahun 2004 menjadi 62 kasus yang tercatat dari Januari hingga September 2004 (Kompas, 11 Oktober 2004). Kasus-kasus tersebut merupakan kejadian yang diketahui/dilaporkan, kejadian-kejadian yang terjadi sesungguhnya diduga cukup banyak naum sering kali tidak diketahui/dilaporkan kepada instansi yang berwenang. Di sisi lain kejadian tersebut seringkali tidak ditindaklanjuti dengan identifikasi penyebabnya dan diumumkan kepada masyarakat, sehingga mengakibatkan masyarakat tidak mengetahui secara pasti penyebab kejadian-kejadian itu dan cara pencegahannya. Di Amerika dilaporkan, 60 % kasus keracunan makanan disebabkan oleh bakteri. Penyakit karena bakteri ini terjadi dengan dua cara yaitu menginfeksi manusia melalui makanan (food infection) dan meracuni melalui makanan (food poisoning). Bakteri penyebab food poisoning diketahui yaitu Staphylococcus dan Clostridium batulinum yang mengahsilkan racun (Maruyama & OLeary, 1991). Sedangkan bahan makan yang sering dikaitkan dengan kasus keracunan makanan adalah daging dan produk olahannya, ayam dengan produknya baik daging maupun telur, susu dan hasil olahannya, salad, produk-produk roti yang mengandung krim (www.eatwelleatsafe.ca/pathogens/staph.htm). Lembaga Food and Drug Administration (FDA) di Amerika melaporkan bahwa pernah terjadi keracunan makanan pada 5824 siswa sekolah dasar di Texas setelah mengonsumsi salad ayam (www.cfsan.fda.gov/~mow/chap.3html). Di Indonesia, unggas khususnya ayam merupakan sumber protein hewani yang sangat populer di masyarakat. Namun demikian proses penyediaan daging ayam/pengolahan pascapanen yang dilakukan para penyembelih/pedagang daging ayam terutama skala usaha kecil sampai menengah masih sangat kurang dalam menjaga sanitasi dang higiene produknya, sehingga sangat wajar apabila kasus-kasus keracunan makanan masih sering terjadi. Terlebih diikuti dengan cara memasak/mengolah yang juga kurang matang dan higienis. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri khususnya Staphylococcus yang selalu berada dekat di lingkungan bahkan pada tubuh manusia masih sangat disepelekan. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengingatkan kembali penanganan higiene daging ayam agar ditingkatkan dengan melakukan tindakan pencegahan

yang sangat mudah dilakukan sehingga dapat menekan cemaran bakteri Staphylococcus dan mencegah terjadinya keracunan makanan akibat bakteri. Staphylococcal Gastroenteritis Staphylococcal gastroenteritis adalah radang saluran pencernaan yang disebabkan mengonsumsi makanan yang mengandung satu atau lebih enterotoksin yang dihasilkan oleh beberapa spesies atau strain Staphylococcus. Etiologi, Morfologi, dan Ekologi Jay (1996) mennyebutkan, hingga saat ini dikenal 31 spesies dari genus Staphylococcus. Beberapa spesies yang berpotensi menimbulkan masalah pada makanan lebih kurang 18 spesies dan subspesies seperti tampak dalam tabel 1. Tabel 1. Spesies dan subspesies Staphylococcus yang menghasilkan koagulase, nuklease dan atau enterotoksin Organisme Koagulase Nuklease Enterotoksin Hemolisis Manitol S. aureus subsp + TS + anaerobius + TS + + + aureus + TS + + (+) S. intermedius (+) TS + S. hyicus + + + S. delphini S.schleiferi subsp + TS + (+) coagulans TS + schleiferi TL + (+) S. caprae -W + V S. chromogens + V S. cohnii + V S. epidermidis TL + + V S. haemolyticus + + S. lentus + + S. saprophyticus + + S. sciuri V V + S. simulans TL + -W + S. warneri + + V S. xylosus Keterangan : +: positif; -: negativ; -W: negatif samapai postif lemah; (+): reaksi lemah; V: variatif; TS: thermostabil; TL: thermolabil. (Jay, 1996) Staphylococcus adalah bakteri gram positif, berbentuk kokus, non motil, dan mampu memfermentasi manitol, menghasilkan koagulase, dan mampu menghasilkan enterotoksin dan Heat-Stable Endonuklease. Enterotoksin adalah zat toksik yang dihasilkan bakteri ini, dikenal ada 5 macam enterotoksin yaitu A,B,C, D, dan E (Cox & Bailey, 1987). Tidak semua Strain S. aureus menghasilkan enterotoksin namun semua strain berpotensi menyebabkan

keracuanan, 62 % isolat yang diperoleh dari ayam menghasilkan enterotoksin A (Gibbs et.al. 1978 disitasi Cox & Bailey, 1987). Jay (1996), melaporkan S. aureus tidak tumbuh pada kaldu BHI yang diperkaya NaCl dan sukrosa pada pH 4,3; aw 0,85 dan suhu 8oC demikian juga pada kondisi pH< 5,5; aw 0,9 0,93 dan suhu 12oC. Pada Kondisi anaerobik tertentu (aw 0,92 ; pH 5,3 ; suhu 30oC) S. aureus mampu menghasilkan enterotoksin B, dan produksi akan lebih cepat pada keadaan aerobik namun akan menurun apabila konsentrasi HNO2 meningkat. Kejadian Infeksi/Keracunan dan pencemaran Kejadian keracunan makanan oleh Staphylococcus pada umumnya berasal dari makanan yang disiapkan secara konvesional (hand made). Kasus-kasus yang terjadi di Amerika sejak tahun 1972 1987 yang dicatat oleh CDC berkisar 20.000 kasus dan kejadian wabah mencapai 414 kasus. Bahan makanan sumber pencemaran Staphylococcus yang menimbulkan wabah gastroenteritis adalah daging babi, produk roti, daging sapi, kalkun, ayam dan telur, seperti pada tabel 2 di bawah (Bean & Griffin, 1990 disitasi Jay, 1996). Tabel 2. Bahan makanan sumber pencemaran utama wabah Staphylococcus di Amerika tahun 1973 1987 Bahan makanan Jumlah wabah Babi 96 Produk-produk roti 26 Daging sapi 22 Daging kalkun 20 Daging ayam 14 Telur 9 Sumber: (Bean&Griffin, 1990 disitasi Jay, 1996) Bailey et.al. (1987) mengatakan bahwa pencemaran pada daging ayam dapat terjadi pada berbagai tahap pemrosesan. Sebelum ayam disembelih, maka mikroba (Staphylococcus ) terdapat pada permukaan kaki, bulum dan kulit yang merupakan bagian tubuh yang kontak dengan tanah, debu, dan feses. Namun demikian Smiber et.al. (1958 ) yang disitasi Bailey et. al. (1987) menyatakan bakteri tersebut dapat juga ditemukan pada berbagai lokasi di saluran pernafasan ayam hidup. Tahap-tahap yang berpotensi terjadinya pencemaran silang mikroba pada pemrosesan karkas ayam di RPA dapat terjadi pada saat penerimaan dan penggantungan ayam, penyembelihan, scalding dan pencabutan bulu, pengeluaran jerohan, pendinginan, grading, es, pemotongan . Sumber pencemaran silang lebih detail dapat dilihat pada tabel 3 (May, 1974 disitasi Bailey et. al., 1987). Pada tahap scalding, Staphylococcus dapat diisolasi agak sering dari air untuk scalding maupun karkasnya walaupun dalam jumlah sedikit. Namun demikian pada tahap scalding peluang pencemaran silang lebih kecil kejadiannya dibandingkan tahap tahap berikutnya seperti pencabutan bulu, pengeluaran jerohan dan tangki pendinginan (Wallker & Ayres 1956; Surkiewicz et. al., 1996 disitasi Bailey et. al., 1987)

Selain itu, pencemaran Staphylococcus dapat pula terjadi pada tahap pengolahan/pemasakan. Pencemaran pada tahap ini dapat terjadi pada saat pemotongan, deboning, penggilingan, atau penangan lain oleh peralatan maupun operator yang menjadi sumber pencemar (Bailey et. al. 1987). Bryan (1980) yang disitasi Bailey et.al. (1987) melaporkan data epidemiologik menunjukkan bahwa pendinginan yang tidak tepat pada makanan yang tidak segera dikonsumsi atau yang akan dikonsumsi lebih dari satu hari dan makanan tercemar adalah penyebab utama kejadian wabah keracunan makanan akibat Staphylococcus. Tabel 3. Beberapa tahap yang berpotensi menimbulkan pencemaran silang pada proses penyebelihan ayam di RPA Penerimaan dan penggantungan Pendinginan Dari ayam ke ayam Udara dalam keranjang Es Udara pada ruangan penurunan Burung ke burung keranjang Peralatan Tangan para karyawan Grading penggantung Tangan karyawan Debu dan udara ruang Burung ke burung penggantungan Udara Debu pada kaki dan rel Pembungkusan dinginh penggantung Tangan karyawan Keranjang penampung Penyembelihan Dari ayam ke ayam Ayam ke ayam Uadara Bahan pembungkus Alat dan pisau penyembelih Udara dan es Debu kaki dan rel penggantung Pemotongan Tangan karyawn Scalding dan pencabutan bulu Air scalding Pisau dan peralatan Jari-jari alat pencabut bulu Karkas ke karkas, bagian ke Udara dan Kondensasi air bagian Ayam ke ayam Udara Tangan oprerator Pengeluaran jeroan Tangan para karyawan Pisau dan peralatanbahan lain yang kontak langsung dengan produk Udara Ayam ke ayam Air dan organ ayam Sumber : May, (1974 ) sitasi Bailey et.al., (1987). Gejala Klinis Keracunan Enterotoksin Stehulak (1998) menyatakan gejala klinis keracunan Staphylococcus umumnya muncul secara cepat dan dapat menjadi kasus serius tergantung respon individu terhadap toksin, jumlah toksin yang termakan, dan status kesehatan korban. Jay (1996) menunjukkan bahwa sejumlah kecil sel bakteri S.aureus yang

menghasilkan toksin sebanyak 1 ng/g makanan mampu menimbulkan gejal gastroenteritis pada manusia. Albrecht & Summer (1995) menyatakan Jumlah minimal enterotoksin yang dapat menimbulkan sakit pada manusia adalah 20 ng dan toksin ini menyebabkan peradangan pada permukaan usus sehingga memunculkan gejala-gejala klinis. Gejala klinis yang muncul adalah mual, mual, muntah, kejang/kram perut, dan diare, disamping itu dapat pula disertai sakit kepala, kejang otot, tekanan darah meningkat (Steluhak, 1998). Jay (1996) menambahkan, korban berkeringat penurunan suhu tubuh yang dapat berlangsung 24-48 jam, namun sangat jarang atau bahakan tidak pernah diikuti kematian..

Pengendalian Pada tahap pemrosesan di RPA, saat scalding terjadi kontaminasi silang namun kalau apabila dibandingkan demgan tahap lainnya jumlah kontaminnya cukup kecil, hal ini terjadi karena adanya aliran penggantian air scalding dan suhu yang tejaga tetap tinggi sesuai kebutuhan tahap ini yang mencegah akumulasi bakteri pada air dan peralatan scalding demikian pula kondisi yang sama dapat menekan pencemaran apabila dilakukan pada tahap pendinginan/chilling (Bailey et.al., 1987). Beberapa faktor yang diidentifikasi sebagai faktor pencetus wabah keracunan enterotoksin di Amerika periode tahun1973 1987 diketahui yaitu suhu penyimpanan/pemasakan yang tidak tepat 98 kasus, higiene personal yang jelek 71 kasus, peralatan terkontaminasi 43 kasus, pengolahan/pemasakan yang tidak sempurna, makanan dari bahan makan yang tidak aman 12 kasus, dan lain-lain 24 kasus (Bean & Griffin, 1990 sitasi Jay, 1996) Jumlah kasus terbesar disebabkan suhu penyimpanan dan pengolahan yang tidak tepat. Namun yang paling besar adalah pencemaran baik oleh orang maupun peralatan mencapai 114 kasus. Sehingga faktorfaktor tersebut yang harus dikendalikan untuk menekan cemaran. Selain itu higiene personal dan sanitasi peralatan juga perlu untuk diperhatikan. Mencuci tangan dengan sabun sesudah dari toilet, mencegah tangan agar tidak memegang mulut, hidung, atau rambut pada sat bekerja/memasak, menutup mulut/hidung pada saat batuk/bersin degan tisu dan kemudian mencuci tangan segera dengan sabun ( Maruyama & OLeary, 1991). Pembahasan Staphylococcus merupakan bakteri yang selalu ada di mana-mana seperti udara, debu, air, susu, makanan dan peralatan makan, lingkungan, tubuh manusia dan hewan seperti kulit, rambut/bulu, bahkan di dalam saluran pernafasan pada individu sehat bakteri ini dapat ditemukan. Penyakit muncul apabila mengonsumsi makanan yang mengandung racun yang dihasilkan (enterotoksin) bakteri. Racun ini memiliki sifat tahan dalam suhu panas (thermostabil), meskipun bakterinya telah mati dengan pemanasan namun enterotoksin yang dihasilkan tidak akan rusak (Stehulak, 1998). Albrecht & Summer (1995 ), menambahakan meskipun dengan pendinginan ataupun pembekuan, enterotoksin yang dihasilkan masih dapat bertahan.

Racun dihasilkan bakteri dalam kondisi pH, suhu, aw dan lain-lainnya yang optimum. Racun dihasilkan pada semua fase pertumbuhan bakteri, dilaporkan bahwa pada biakan berumur 4-6 jam telah dapat ditemukan enterotoksin dan akan meningkat secara proporsional pada fase stasioner dan transisional. Enterotoksin B diketahui 95 % dihasilkan pada akhir fase log pertumbuhan. Jumlah bakteri untuk menghasilkan racun juga tidak terlalu besar, sedikit bakteri telah mampu menghasilkan sejumlah racun yang dapat menimbulkan keracunan. Dilaporkan pada manusia keracunan dapat ditimbulkan oleh enterotoksin dengan jumlah 1ng/g20ng/g makanan. Entrerotoksi A dapat ditemukan pada bakteri Staphylococcus sebanyak ~104cfu/g, Pada susu enterotoksin A dan D terdeteksi pada jumlah bakteri 107 namun tidak ditemukan di bawah jumlah itu sedangkan pada daging enterotoksin A dihasilkan pada jumlah bakteri log10 7,2 sel/g (Jay,1996; Stehulak, 1998) sedangkan US FDA menyatakan 105 cfu/g adalah jumlah yang mampu menghasilkan toksin sebanyak 1 mg/g.. Di dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-6366-2000 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam bahan Makana Aslal Hewan, bakteri Staphylococcus dibatasi sampai 1x102 CFU/gram baik pada daging segar/beku ataupun daging tanpa tulang. Pada studi yang dilakukan Karaboz & Dincer (2002) di Turki, ditemukan jumlah bakteri Staphylococcus dalam daging beku sebanyak 1.102 2,8x104 CFU/g. Pada tahapan proses penyembelihan di RPA dapat dibayangkan betapa banyak bakteri yang mencemari karkas. Hasil penelitian Notermans et.al. (1982 ) yang disitasi Bailey et.al. (1987) menunjukkan bahwa pada kulit ayam sebelum diproses ditemukan sedikit bakteri (10 sel/g) namun dalam proses penyembelihan jumlah bakteri pada kulit ditemukan sebanyak lebih dari 103 sel/g. dilaporkan pula bahwa tangan pekerja, pelaksanaan pencabutan bulu, dan air pada tahap pendinginan (chilling) berperanan meningkatkan pencemaran S.aureus pada produk akhir daging segar. Pencegahan kejadian keracunan makanan oleh enterotoksin ini harus dilakukan sejak dari awal rantai proses yaitu sejak dari peternakan hingga siap saji. Tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan sanitasi dan higiene dalam menghasilkan produk. Sesampainya di RPA maka pemeriksaan antemortem harus dilakukan, untuk mengetahui ayam sehat dan sakit, dan dilakukan tindakan yang perlu untuk menjamin bahan baku aman dan sehat untuk proses selanjutnya. Proses penyembelihan, seluruh peralatan sejak ayam digantung sampai dikemas harus benar-benar bersih, hal ini harus dapat dievaluasi dan dikoreksi sehingga peluang pencemaran melalui peralatan dapat dihindarkan. Bahan pendukung proses seperti air, es, bahan pengemas/pembungkus, dan lainlainnya juga harus di kontrol, Gracey & Collins (1992) menyatakan bahwa tindakan menjaga sanitasi tempat penyebelihan adalah untuk menjamin tidak adanya kotoran, tidak ada cemaran zat kimia, dan tidak adanya potensi pencemaran mikrobiologis di tempat pemrosesan. Pembersihan/pencucian dapat dilakukan dengan berprinsip pada pencucian yang efisien yaitu dengan pembersihan kering (dry cleaning) secara periodik setiap hari, dan mingguan. Setiap hari dapat dilakukan dengan menggunakan deterjen atau sanitiser lain atau dikombinasikan dan menggunakan air panas yang disemprotkan dengan tekanan tinggi (80oC, 14kgf/cm2). Secara prinsip yang harus dilakukan untuk membersihkan tempat pemrosesan adalah membersihkan lemak, kulit dan sisa

daging yang ada di peralatan, pembersihan dengan air dan sabun, pembilasan dengan air panas, dan pemberian sanitiser. Penggunaan klorin untuk sanitasi air dapat dilakukan dengan mencapur ke dalam bak penampungan air. Konsentarasi untuk keperluan umum 130-220 ppm, sedangkan untuk mencuci karkas maksimum 100 ppm, dan untuk keperluan pencucian desinfeksi peralatan 250 ppm (Gracey & Collins, 1992). Namun demikian penelitian Ockerman et. al. (2001) menunjukkan bahwa larutan klorin ternyata tidak dapat mematikan bakteri Staphylococcus, namun justru dengan asam laktat konsentarsin 1 % ternyata dapat menekan pertumbuhan bakteri Staphylococcus maupun Salmonella. Penanganan daging ayam pada tahap pemasakan juga harus menjaga higiene dan sanitasi. Membersihakan tangan dengan sabun 20 detik sebelum memegang makanan, setiap kali selesai dari kamar kecil, dan memegang benda-benda lain. Cuci peralatan yang digunakan untuk menangani daging dengan sabun. Jauhkan antara makanan siap saji dengan bahan-bahan dasar yang belum dimasak untuk menghindari pencemaran silang. Jangan menempatkan masakan pada tempat yang sebelumnya digunakan untuk menampung bahan baku daging/telur/susu tanpa dicuci terlebih dahulu. Masak daging ayam hingga suhu 180 185oF, dan apabila makanan telah dingin dan akan dimakan kembali sebaiknya panaskan lagi hingga mencapai suhu 165 oF atau kalau mau disimpan, tempatkan pada kulkas dengan suhu 40 oF. Kesimpulan 1. Keracunan makanan yang sering terjadi dapat disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus. 2. Dosis minimal enterotoksin yang dapat menimbulkan keracunan adalah 1-20 ng/g, sedangkan jumlah bakteri yang dapat menghasilkan racun bervariasi. 3. Pencegahan kasus dapat dilakukan dengan menerapkan sanitasi dan higiene yang baik sejak awal rantai proses hingga makanan siap disantap. 4. Sanitasi dan higiene meliputi lingkungan, personal, dan peralatan. 5. Makanan dipanaskan hingga di atas 140 oF atau simpan di dalam kulkas dengan suhu kurang atau sama dengan 40oF

Daftar Pustaka Albrecht JA, Summer SS. 1995. Staphylococcus aureus, Cooperative Extention, Institute of Agriculture and Natural Resources, University of NebraskaLincoln. Badan Standar Nasional. 2000. Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-63662000 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam bahan Makana Asal Hewan.

Anonim, 2004a. Staphylococcusaureus, www.eatwelleatsafe.ca/pathogens/staph.htm [4 November 2004]


Anonim, 2004b. Staphylococcus aureus, www.usmef.org/Foodsafety/staphylococcus _aureus.pdf [4 November 2004]

Bailey JS, Thomson JE, Cox NA. 1987. Contamination of Poultry during Processing, di dalam: Cuningham FE, Cox NA, editor. The Microbiology of Poultry Meat Products. Academic Pres Inc. pp193-206 Cox NA, Bailey JS. 1987. Pathogen Associated with Precessed Poultry, di dalam: The Microbiology of Poultry Meat Products, Cuningham FE, Cox NA, editor. The Microbiology of Poultry Meat Products. Academic Pres Inc. hlm 305-306 Gracey JF, Collins DS. 1992. Meat Hygiene, Ed ke-9, Bailliere Tindall, London, hlm 122-129, 485-495 Jay JM. 1996. Modern Food Microbiology, Ed ke-6. Chapman & Hall. hlm : 429 450 Karaboz I, Dincer B. 2002. Microbiological Investigations on Some Of The Commercial Frozen Meat in Izmir. Turkish Electronic Journal of Biotechnology. hlm: 18-23 Kompas, Akibat Keracunan Makanan Sebanyak 150 Buruh Dirawat di RS, terbit tanggal 24 Oktober 2003 http://kompas.com/kompascetak/0310/24/metro/644866.htm [4 November 2004] Kompas, Badan POM: Angka Keracunan Makanan Selama Tahun 2004 Meningkat, terbit tanggal 11Oktober 2004 http://kompas.com/kompascetak/04104/11/daerah/1317750.htm [4 November 2004] Murayama F, Oleary J. 1991. Reducing The Risk Of Foodborne Illness; www.ca.uky.edu/agc/pubs/ip/ip29/1p29.htm [4 November 2004] Ockerman HW, Pilasombut K, Sethakul J, Sawetwiwat. 2001; Lactic Acid and Chlorine Solutions Inhibition of Staphylococcus aureus and Salmonella derby, http://ohioline.osu.edu/sc 183/sc 183_15.html [4 November 2004] Stehulak N, 1998. Staphylococcus aureus A Most Common Cause, http://ohioline.osu.edu/hyg-fact/5000/5564.html [4 November 2004] United State Food & Drugs Administration., Staphylococcus www.csfsan.fda./gov~mow/chap3.html [4 November 2004] aureus,

Anda mungkin juga menyukai