Anda di halaman 1dari 6

LEMBAR FAKTA*

Tragedi Mei 1998


Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah tragedi nasional yang sangat menyedihkan dan merupakan satu aib terhadap martabat dan kehormatan manusia, bangsa dan negara secara keseluruhan. Pemerintah maupun masyarakat harus secara sungguh-sungguh mengambil segala tindakan untuk mencegah terulangnya persitiwa semacam kerusuhan tersebut. (TGPF Mei 1998) UMUM Presiden BJ Habibie, atas nama pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia, secara terbuka mengutuk aksi kekerasan pada peristiwa kerusuhan Mei 1998, termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan. Pernyataan ini disampaikan pada 15 Juli 1998. Pemerintah Indonesia, pada tanggal 23 Juli 1998, berdasarkan Surat Keputusan bersama Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita dan Jaksa Agung membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa 13 15 Mei 1998. Anggota TGPF terdiri dari unsurunsur pemerintah, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM), LSM dan organisasi Kemasyarakatan lainnya. TGPF dipimpin oleh Marzuki Darusman, SH (Komnas HAM). TGPF Mei 1998 menyimpulkan bahwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah puncak dari rentetan kekerasan yang terjadi dalam berbagai peristiwa sebelumnya, termasuk penculikan sebagai kegiatan intelijen (atau dikenal juga sebagai kasus penghilangan paksa) dan penembakan Trisakti. Kerusuhan Mei 1998 juga tidak terlepas dari proses pergumulan elit politik terkait kelangsungan kekuasaan kepemimpinan nasional dan proses pemburukan ekonomi moneter yang cepat. TGPF Mei 1998 menemukan tiga pola kerusuhan berdasarkan pengamatan peristiwa di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya, yaitu pertama kerusuhan bersifat lokal, sporadis, terbatas dan spontan, berlangsung dalam waktu relatif singkat dan dengan skala kerugian serta korban yang relatif kecil. Kedua, kerusuhan bersifat saling terkait antar lokasi, dengan modus yang mirip dan dengan peran provokator yang menonjol. Kerusuhan jenis ini skala besar dan didapati di semua tempat, memiliki indikasi berlangsung secara berurutan dan sistematik, namun terdapat mata rantai yang terputus (missing link) bagi pembuktiannya. Ketiga, kerusuhan terjadi karena kesengajaan, diduga terkait pertarungan politik di tingkat elit meskipun terputus bukti-bukti atau informasi yang merujuk pada hubungan secara jelas antara pertarungan antar elit dengan aras massa. Kerusuhan ini mirip dengan jenis kedua, dengan unsur penumpang situasi jauh lebih jelas.

Lembar Fakta ini disiapkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dalam rangka peringatan 13 Tahun Tragedi Mei 1998. Seluruh informasi disadur dari Laporan Eksekutif Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa 13-15 Mei 1998, Seri Dokumen Kunci Komnas Perempuan No.1, 2006 dan Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan Seksual dalam Kerusuhan Mei 1998

TGPF Mei 1998 menegaskan adanya keterlibatan banyak pihak, mulai dari preman lokal, organisasi politik dan massa, hingga keterlibatan sejumlah anggota dan unsur dari tubuh ABRI yang di luar kendali dalam kerusuhan ini. Mereka mendapatkan keuntungan bukan saja dari upaya sengaja untuk menumpangi kerusuhan, melainkan juga dengan cara tidak melakukan apa-apa. TGPF Mei 1998 menemukan bahwa komunitas etnis Tionghoa menjadi sasaran serangan kerusuhan sebab sentimen anti rasial terhadap kelompok etnis ini adalah faktor laten yang mudah dieksploitir untuk menciptakan kerusuhan. TGPF Mei 1998 mengidentifikasi lima kelompok korban, yaitu pertama, mereka yangmengalami kerugian material akibat penjarahan, pembakaran dan pengrusakan barang atau bangunan, kedua korban yang kehilangan pekerjaan atau sumber penghidupan, ketiga korban meninggal dan lukaluka, keempat, korban penculikan, dan kelima korban kekerasan seksual. TGPF Mei 1998 menggarisbawahi bahwa angka korban jiwa secara nasional tidak dapat dipastikan karena adanya kelemahan dalam sistem pemantauan serta prosedur pelaporan. Sebagian besar dari mereka adalah rakyat kebanyakan dan mereka meninggal karena di/terbakar. Mereka tidak dapat dipersalahkan begitu saja dengan stigma penjarah.

KHUSUS: Kekerasan Seksual TGPF Mei 1998 memverifikasi adanya 85 perempuan korban kekerasan seksual yang berlangsung dalam rangkaian kerusuhan Mei 1998, dengan rincian 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual dan 9 orang korban pelecehan seksual. TGPF menegaskan bahwa kekerasan seksual telah terjadi selama kerusuhan dan merupakan satu bentuk serangan terhadap martabat manusia yang telah menimbulkan penderitaan yang dalam serta rasa takut dan trauma yang luas. TGPF Mei 1998 mengidentifikasikan bahwa sebagian besar korban kekerasan seksual adalah berasal dari etnis Tiongoa, dan sebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape, dimana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama. Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain TGPF Mei 1998 mengingatkan bahwa kesimpangsiuran di masyarakat tentang ada tidaknya serta jumlah korban perkosaan adalah akibat pendekatan berdasarkan hukum positif yang mensyaratkan adanya laporan korban, ada/tidaknya tanda-tanda persetubuhan dan atau tandatanda kekerasan serta saksi dan petunjuk Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan Radhika Coomaraswamy, dalam Misi ke Indonesia dan Timor Timur menggarisbawahi bahwa pemerintah dan masyarakat

Lembar Fakta ini disiapkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dalam rangka peringatan 13 Tahun Tragedi Mei 1998. Seluruh informasi disadur dari Laporan Eksekutif Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa 13-15 Mei 1998, Seri Dokumen Kunci Komnas Perempuan No.1, 2006 dan Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan Seksual dalam Kerusuhan Mei 1998

Indonesia harus meninggalkan budaya pengingkaran atas peristiwa kekerasan seksual terhadap perempuan dalam rangkaian kerusuhan Mei 1998 dan pada perstiwa lainnya pelanggaran HAM sebelum kerusuhan itu. Korban yang bicara dengan Pelapor Khusus PBB tidak ada yang melaporkan kasus mereka karena adanya ancaman terhadap keselamatan mereka, ketidakpercayaan pada sistem peradilan kriminal dan yakin bahwa pelaku tidak akan dibawa ke pengadilan, serta khawatir pengungkapan kasus mereka akan menyebabkan mereka diasingkan dari masyarakatnya karena perkosaan membawa aib yang sukar dihapus. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menemukan bahwa sepuluh tahun setelah peristiwa kerusuhan Mei 1998, perempuan korban kekerasan seksual dalam tragedi ini masih membungkam. Trauma berkepanjangan, perjalanan sejarah kelompok Tionghoa sebagai sasaran tindak diskriminasi, kredibilitas penegakan hukum Indonesia, kepercayaan pada komitmen politik penyelenggara negara untuk penuntasan kasus, budaya menyangkal dalam msayarakat, serta stigma yang dibebankan kepada perempuan korban kekerasan seksual adalah sejumlah alasan yang membuat mereka terus membungkam. Desakan untuk perempuan korban kekerasan seksual untuk menampilkan diri secara publik sebagai pembuktian ada tidaknya perkosaan dan kekerasan seksual lainnya dalam Kerusuhan Mei 1998 adalah sikap yang justru menghalangi proses pemulihan korban dan menciderai upaya menghadirkan keadilan bagi korban.

Lembar Fakta ini disiapkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dalam rangka peringatan 13 Tahun Tragedi Mei 1998. Seluruh informasi disadur dari Laporan Eksekutif Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa 13-15 Mei 1998, Seri Dokumen Kunci Komnas Perempuan No.1, 2006 dan Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan Seksual dalam Kerusuhan Mei 1998

LEMBAR FAKTA*

Kilas Jejak 13 Tahun Penanganan Tragedi Mei 1998


Kehormatan kita sebagai bangsa beradab juga ditentukan sejauhmana bangsa kita dapat mengoreksi kelemahan dan kekurangannya, secepat apa kita menghilangkan rasa takut dan mewujudkan rasa tentram dan aman untuk setiap orang tanpa kecuali. (TGPF Mei 1998)

Kemajuan Sudah ada 2 dari 8 rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa 13-15 Mei 1998 yang telah ditindaklanjuti. Pertama, perbaikan jaminan keamanan bagi saksi dan korban dengan membuar undang-undang dimaksud dan membuat badan permanen untuk melaksanakan program perlidungan terhadap para korban dan saksi. Kedua, ratifikasi konvensi internasional mengenai anti diskriminasi rasial, merealisasikan pelaksanaannya dalam produk hukum positif, termasuk implementasi dalam konvensi anti penyiksaan. Termasuk di dalam kerangka ini adalah kebijakan negara untuk mencabut aturan-aturan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa, dan penerbitan UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Pemerintah Indonesia telah melaksanakan sejumlah rekomendasi Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan dalam Misinya ke Indonesia dan Timor Timur, termasuk meratifikasi Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik, mengeluarkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan di dalam Rumah Tangga, mengadopsi prakarsa membentuk pusat krisis satu atap agar dapat memberikan pelayanan yang lebih optimal kepada perempuan korban kekerasan. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) secara aktif melaksanakan pemutakhiran informasi tentang berbagai aspek terkait kerusuhan Mei 1998, melakukan pemantauan tentang berbagai permasalahan kekerasan terhadap perempuan, mengembangkan kerangka upaya pemulihan bagi perempuan korban kekerasan, dan mempromosikan budaya hak asasi manusia serta ingatan sejarah untuk ikut memastikan kejadian serupa tidak berulang di masa mendatang.

TANTANGAN: Umum Pemerintah belum menyusun dan mengumumkan buku putih mengenai peranan dan tanggung jawab serta keterkaitan satu sama lain pihak yang bertalian dengan kerusuhan tersebut berdasarkan hasil penyelidikan lanjutan terhadap sebab-sebab pokok dan pelaku utama peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998. Penindaklanjutan kasus-kasus yang diperkirakan terkait dengan rangkaian tindak kekerasan yang memuncak pada kerusuhan 13-15 Mei 1998 masih terus tertunda. Belum ada upaya hukum untuk

Lembar Fakta ini disiapkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dalam rangka peringatan 13 Tahun Tragedi Mei 1998. Seluruh informasi disadur dari Laporan Eksekutif Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa 13-15 Mei 1998, Seri Dokumen Kunci Komnas Perempuan No.1, 2006 dan Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan Seksual dalam Kerusuhan Mei 1998

pertangungjawaban komando pihak-pihak yang telah diidentifikasikan oleh TGPF Mei 1998. DPR RI telah menyatakan kasus penembakan Trisakti sebagai bukan pelanggaran HAM sehingga kasus ini tidak ditindaklanjuti lagi oleh penegak hukum. Selain itu, DPR RI telah memerintahkan pembentukan pengadilan ad hoc untuk pengusutan kasus penghilangan paksa, namun sampai saat ini belum ada langkah nyata untuk mewujudkannya. Rehabilitasi dan kompensasi belum tersedia bagi semua korban kerusuhan. Upaya pemulihan lebih banyak menjadi inisiatif dari masyarakat sipil. Upaya untuk memastikan adalah tugu peringatan korban Mei 1998 di Pemakaman Pondok Ranggon, tempat sebagian besar korban di/terbakar dimakamkan, belum mendapatkan dukungan dari Pemda DKI. Prasasti Jarum Mei 1998 yang terletak di Klender harus berhadapan dengan resiko dirusak bahkan sempat diberitakan akan digusur. Tragedi Mei 1998 tidak diintegrasikan dalam agenda resmi negara sebagai peristiwa nasional yang harus diperingati setiap tahunnya dan dalam kurikulum pendidikan sejarah nasional yang sebetulnya sangat penting untuk memastikan peristiwa serupa tidak lagi berulang di masa depan. Pemerintah terkesan membiarkan premanisme dalam berbagai bentuknya tumbuh kembang di dalam masyarakat, sikap intoleransi antar umat beragama yang berpuncak pada tindak diskriminasi dan kekerasan pada kelompok minoritas agama, dan keberlanjutan rantai impunitas bagi individu dan organisasi massa yang melakukan kekerasan sebagai perwujudan sikap intoleransinya itu. Sementara aturan hukum tentang intelijen saat ini masih dalam perdebatan, belum ada mekanisme pendataan lanjutan yang dapat menampung proses pemuktahiran data-data tentang sema aspek yang menyangkut kerusuhan 13-15 Mei. Hasil laporan Komnas HAM terkait dengan peristiwa Kerusuhan Mei 1998 juga belum ditindaklanjuti oleh Kejaksaan. Belum ada sistem perlindungan yang mumpuni bagi pembela HAM. Impunitas bagi pelaku intimidasi dan kekersan terhadap pembela HAM masih berlangsung, sebaliknya pembela HAM rentan kriminalisasi akibat aktivismenya. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mengembangkan sistem perlindungan dan dukungan bagi perempuan korban kekerasan dan saksi, yang terpadu dengan berefleksi pada persoalanpersoalan yang ada dalam pengungkapan kasus pelanggaran HAM, terutama Tragedi Mei 199. Di antaranya, sistem tersebut harus memuat protokol perlindungan yang sensitif gender, mencakup perlindungan bagi pendamping dan para pembela HAM lainnya, serta pengintegrasian Jakarta Protocol dalam proses pencarian fakta.

Lembar Fakta ini disiapkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dalam rangka peringatan 13 Tahun Tragedi Mei 1998. Seluruh informasi disadur dari Laporan Eksekutif Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa 13-15 Mei 1998, Seri Dokumen Kunci Komnas Perempuan No.1, 2006 dan Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan Seksual dalam Kerusuhan Mei 1998

TANTANGAN KHUSUS: Kekerasan Seksual Reformasi hukum dan amandemen hukum pidana untuk mencerminkan standar internasional yang mutakhir perihal tindak kekerasan terhadap perempuan masih tertatih-tatih. Belum ada perubahan tentang ketentuan tentang perkosaan, serta perlindungan yang lebih baik tentang pelecehan seksual. Pemerintah Indonesia juga belum menarik kembali reservasinya terhadap Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Sebaliknya komnas perempuan mencatat 79 kebijakan diskriminatif di tingkat nasional dan daerah yang justru menyudutkan perempuan korban kekerasan seksual. Budaya Pengingkaran masih menjadi hambatan utama dalam penanganan Tragedi Mei 1998, khususnya kasus kekerasan seksual. Ketidakbersediaan korban untuk mengungkapkan pengalaman itu di depan publik dijadikan alasan pembenar untuk menyangsikan ada tidaknya peristiwa perkosaan dan kekerasan seksual lainnya dalam rangkaian kerusuhan 13-15 Mei 1998, sekalipun telah diverifikasi keberadaannya oleh TGPF Mei 1998.

Lembar Fakta ini disiapkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dalam rangka peringatan 13 Tahun Tragedi Mei 1998. Seluruh informasi disadur dari Laporan Eksekutif Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa 13-15 Mei 1998, Seri Dokumen Kunci Komnas Perempuan No.1, 2006 dan Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan Seksual dalam Kerusuhan Mei 1998

Anda mungkin juga menyukai