Anda di halaman 1dari 32

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 2.1.1

Kebijakan Publik Pengertian Kebijakan Istilah kebijakan (policy) dengan kebijakan sehari-hari perlu dibedakan.

Kebijakan merujuk pada serangkaian alternatif yang siap dipilih berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Sedangkan kebijaksanaan lebih mengarah pada suatu keputusan yang memperbolehkan sebenarnya dilarang berdasarkan alasan-alasan tertentu seperti pertimbangan kemanusiaan, keadaan gawat, dsb. (Keban, 2004:55). Definisi policy/kebijakan menurut Graycar, yang dikutip Dnovan dan Jackson adalah sebagai berikut: policy dapat dilihat sebagai suatu konsep filosofis, sebagai suatu produk, dan sebagai kerangka kerja. Sebagai sutu konsep filosofis, kebijakan merupakan serangkaian prinsip, atau kondisi yang diinginkan. Sebagai suatu produk, kebijakan dipandang sebagai serangkaian kesimpulan dan rekomendasi sebagai suatu proses, kebijakan dipandang sebagai suatu cara di mana melalui cara tersebut suatu orang tersebut suatu orang dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya yaitu program dan mekanisme dalam mencapai produknya. Sebagai suatu kerangka kerja, kebijakan merupakan suatu proses tawar-menawar dan negosiasi untuk merumuskan isu-isu dan metode implementasi. (Keban, 2004:55) Sedangkan istilah kebijakan menurut Shafritz dan Russel: Suatu keputusan dan sifatnya hierarkis mulai dari tingkat yang paling tinggi (Top level) hingga paling bawah (street level). (Keban, 2004:56). Menurut Amara Raksasajaya kebijakan diartikan sebagai :

Suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu, suatu tujuan ingin dicapai, taktik/strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan serta penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik/strategi yang telah dibuat. (Islamy, 2004:17-18) Sejalan dengan perkembangan masyarakat yang semakin maju dengan berbagai aktivitasnya di berbagai bidang yang semakin tinggi intensitasnya, tentu tidak terlepas dari suatu masalah. Semua masalah yang timbul dan tumbuh berkembang tersebut merupakan agenda tetap bagi pemerintah untuk

mendapatkan penyelesaiannya dengan menuangkannya dan menetapkannya ke dalam kebijakan-kebijakan. Pengertian lainnya mengenai kebijakan dikemukakan oleh frederich, yang kemudian dikutip oleh Wahab, sebagai berikut: kebijaksanaan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan diusulkan oleh seseorang, sekelompok, atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan 2.1.2 Pengertian Kebijakan Publik Dari pengertian-pengertian kebijakan di atas dapat dikatakan bahwa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, menyelesaikan permasalahan yang ada pada publik (masyarakat), maka kebijakan tersebut sebagai kebijakan tersebut disebut sebagai kebijakan publik atau sering disebut sebagai kebijakan Negara. Sama halnya dengan policy (kebijakan), public policy (kebijakan publik) juga memiliki beberapa definisi, seperti Thomas R. Dye dalam Irfan Islamy mendefinisikan kebijakan Negara sebagai: Apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Bila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus

ada tujuannya (objektifnya) dan kebijaksanaan Negara itu harus meliputi semua tindakan pemerintah, jadi bukan semata-mata merupakan

pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Disamping itu sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijaksanaan Negara. Hal ini disebabkan karena sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh (dampak) yang sama besarnya dengan sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah . (Islamy, 2004:18) Menurut Chandler dan Plano dalam buku Kamus Administrasi Publik seperti yang dikutip oleh Keban mengemukakan definisi dari kebijakan publik, antara lain : Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya-sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Bahkan Chandler dan Plano juga beranggapan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang kontinum oleh pemerintah demi kepentingan orang-orang yang tidak berdaya dalam

masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pemerintahan (Keban, 2004:56) George C. Edward III dan Ira Sharkansy dalam Irfan Islamy mendefinisikan kebijakan publik sebagai: Apa yang dinyatakan dan dilakukan oleh pemerintah. Kebijaksanaan Negara itu berupa sasaran atau tujuan program-program pemerintah dan kebijaksanaan Negara itu dapat ditetapkan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan atau dalam bentuk pidato-pidato pejabat teras pemerintah ataupun berupa program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah .(Irfan Islamy, 2000:18). James E. Anderson dalam Irfan Islamy mendefinisikan kebijaksanaan Negara sebagai :

Kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabatpejabat pemerintah. Menurut Anderson implikasi dari pengertian kebijaksanaan Negara tersebut adalah : 1. Kebijaksanaan Negara itu selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan 2. Kebijaksanaan Negara itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah. 3. Kebijaksanan Negara itu adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang pemerintah akan melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu. 4. Kebijaksanaan Negara itu biasa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu. 5. Kebijaksanaan Negara itu dalam arti positif didasarkan atau selalu dilandaskan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat

memaksa (otoritatif). (Irfan Islamy, 2000:19).

Selanjutnya Inu Kencana Syafei memberikan definisi kebijakan publik sebagai berikut : apapun yang dipilih oleh pemerintah, apakah mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sama sekali (whatever government choose to do or not to do). Hal ini sangat penting untuk mengatasi keadaan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Karena masyarakat bukan hanya menilai apa yang dilaksanakan oleh pemerintah, tetapi juga apa yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah.

Charles O. Jones mendefinisikan kebijakan publik sebagai kebijakan yang digunakan dalam praktik sahari-hari namun digunakan untuk

menggantikan kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda. Istilah ini sering dipertukarkan dengan tujuan (goals), program, (decisions), standar, proposal, dan grand design 2.2.3 Pengertian Implementasi Implementasi adalah proses untuk memastikan terlaksananya suatu kebijakan dan tercapainya kebijakan tersebut. Impelementasi juga dimaksudkan menyediakan sarana untuk membuat sesuatu dan memberikan hasil yang bersifat praktis terhadap sesama. Van Horn Dan Van Meter mengartikan Implementasi kebijakan sebagai : "tindakan-tindakan oleh individu publik dan swasta (atau kelompok) yang diarahkan pada prestasi tujuan yang ditetapkan dalam keputusan kebijakan sebelumnya".( Van Horn Dan Van Meter dalam Subarsono 2006 : 100). Jadi Implementasi dimaksudkan sebagai tindakan individu publik yang diarahkan pada tujuan serta ditetapkan dalam keputusan dan memastikan terlaksananya dan tercapainya suatu kebijakan serat memberikan hasil yang bersifat praktis terhadap sesama. Sehingga dapat tercapainya sebuah kebijakan yang memeberikan hasil terhadap tindakan-tindakan individu publik dan swasta. Berdasarkan pengertian implementasi yang dikemukakan diatas, dapat dikatakan bahwa implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan pihakpihak yang berwenang atau kepentingan baik pemerintah maupun swasta yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita atau tujuan yang telah ditetapkan, implementasi dengan berbagai tindakan yang dilakukan untuk melaksanakan atau merealisasikan program yang telah disusun demi tercapainya tujuan dari program yang telah direncanakan karena pada dasarnya setiap rencana yang ditetapkan memiliki tujuan atau target yang hendak dicapai. 2.1.4 Pengertian Implementasi Kebijakan Suatu kebijakan publik tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya pelaksanaan kebijakan itu sendiri secara baik. Implementasi kebijakan menjadi aspek yang teramat penting dalam menelaah suatu proses kebijakan secara keputusan

menyeluruh. Implementasi menjadi alat ukur dalam menguji tindakan sebuah kebijakan di lapangan, sekaligus juga menjadi alat yang bersifat mencegah terjadinya kesia-siaan sebuah kebijakan. Berikut ini terdapat beberapa pengertian implementasi kebijakan yang disampaikan oleh beberapa ahli, antara lain: Nugroho berpendapat bahwa implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar kebijakan dapat mencapai tujuannya (Nugroho, 2004:158) Selanjutnya Nugroho mengatakan tujuan kebijakan pada prinsipnya adalah melakukan intervensi. Oleh karena itu implementasi kebijakan sebenarnya adalah tindakan intervensi itu sendiri. (Nugroho, 2004:161). Dunn yang dialihbahasakan oleh Darwin bahwa implementasi kebijakan dapat didefinisikan sebagai berikut: Implementasi kebijakan berarti pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijakan sampai dicapainya hasil kebijakan. Implementasi kebijakan pada dasarnya merupakan aktivitas praktis, yang dibedakan dari formulasi kebijakan, yang pada dasarnya bersifat teoritis (Dunn, 2000:58). Pendapat ini didukung oleh Udoji yang dialihbahasakan oleh Wahab dengan tegas mengatakan: pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada berupa sekadar impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan (Wahab, 1997:59). Pengertian tentang implementasi kebijakan berbeda-beda, namun

konsepnya tetap sama, yaitu merupakan rangkaian proses penerjemahan dari kebijakan yang direspon berupa aksi/tindakan para pelaku pembangunan secara konsisten dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran yang telah digariskan oleh kebijakan itu sendiri. (Tangkilisan, 2005:7).

2.1.4.1 Proses Implementasi Kebijakan Donald Van Meter dan Carl Van Horn menawarkan suatu model dasar yang mempunyai enam variabel yang membentuk ikatan antara kebijakan dan pencapaian. Model ini seperti diungkapkan oleh Van Meter dan Van Horn tidak hanya menentukan hubungan-hubungan antara variabel-variabel bebas dan variabel terikat mengenai kepentingan-kepentingan, tetapi juga menjelaskan hubungan-hubungan antara variabel-variabel bebas. Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Winarno mengajukan enam faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik, (Winarno, 2004:109110), antara lain : 1. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan Variabel ini didasarkan pada kepentingan utama terhadap faktorfaktor yang menetukan pencapaian kebijakan. Menurut Van Meter dan Van Horn, identifikasi indikator-indikator pencapaian merupakan tahap yang krusial dalam analisis implementasi kebijakan. Indikatorindikator pencapaian ini menilai sejauh mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan yang telah direalisasikan. Dalam melakukan studi implementasi, tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran suatu program yang akan dilaksanakan harus diidentifikasi dan diukur karena implementasi tidak dapat berhasil atau mengalami kegagalan bila tujuan-tujuan itu tidak dipertimbangkan. Dalam menentukan ukuran-ukuran dasar dari sasaran-sasaran, kita dapat menggunakan pernyataan-pernyataan dari para pembuat keputusan sebagaimana direflesikan dalam banyak dokumen seperti regulasi-regulasi

pedoman program yang menyatakan kriteria untuk evaluasi kebijakan. 2. Sumber-sumber kebijakan Sumber daya merupakan kebijakan. aspek Karena penting dalam menunjang jelas dan

implementasi

bagaimanapun

konsistennya ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan, serta bagaimanapun akuratnya dalam menyampaikan ketentuan atau peraturan-peraturan tersebut, jika para pelaksana kebijakan yang

bertanggung

jawab

untuk

melaksanakan

kebijakan

kurang

mempunyai sumber-sumber daya untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut juga tidak akan bisa efektif. Sumber-sumber kebijakan layak mendapat perhatian karena menunjang keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber-sumber yang dimaksud mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efekrif. 3. Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan Implementasi akan berjalan efektif bila ukuran-ukuran dan tujuantujuan dipahami oleh individu-individu yang bertanggung jawab dalam pencapaian kebijakan. Dengan demikian sangat penting untuk memberikan perhatian yang besar kepada kejelasan ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan implen implementasi, ketepatan

komunikasinya dengan para pelaksana, keseragaman dari ukuran dasar dan

dan konsistensi atau tujuan-tujuan yang

dikomunikasikan dengan berbagai sumber informasi. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan tidak dapat dilaksanakan kecuali jika ukuranukuran dasar dan tujuan itu dinyatakan dengan cukup jelas, sehingga para pelaksana dapat mengetahui apa yang diharapkan dari ukuranukuran dasar dan tujuan-tujuan itu. Komunikasi di dalam dan antara organisasi-organisasi merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit. Dalam meneruskan pesan-pesan ke bawah dalam suatu organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lainnya, para komunikator dapat menyimpannya atau menyebarluskan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

4.

Karakteristik badan-badan pelaksana Dalam melihat karakteristik badan-badan pelaksana, seperti

dinyatakan oleh Van Meter dan Van Horn, maka pembahasan ini tidak bisa lepas dari struktur birokrasi. Karakteristik badan pelaksana memperlihatkan bagaimana suatu organisasi memiliki warna atau ciri instansi yang dapat memengaruhi bagaimana organisasi tersebut

bekerja secara efektif. Diantara karakteristik instansi pelaksana kebijakan publik adalah pembagian kerja yang dan merata diantara para pegawai, adanya formalisasi yang tinggi dan adanya jenjang karier bagi para pegawai.

5. Kondisi-kondisi ekonomi, sosial, dan politik Sekalipun dampak dari faktor-faktor ini pada implementasi keputusankeputusan kebijakan mendapat perhatian yang kecil, namun menurut Van Meter dan Van Horn, faktor-faktor ini mungkin mempunyai efek yang mendalam terhadap pencapaian badan-badan pelaksana. Kondisi yang berlangsung dalam suatu Negara seperti gejolak sosial, ekonomi, politik secara tidak langsung turut berpengaruh terhadap dibuatnya suatu kebijakan baru. Bahkan seringkali dikarenakan kondisi suatu Negara maka dikeluarkan kebijakan tertentu yang pasti akan berdampak pada sektor-sektor lain. Oleh karena itu, alangkah bijaksana jika pemberlakuan suatu kebijakan disesuaikan dengan kondisi masyarakat atau Negara yang bersangkutan.

6. Kecenderungan pelaksana Intensitas memengaruhi kecenderungan-kecenderungan pencapaian kebijakan. pelaksana akan kebijakan

Implementasi

organisasi dapat berhasil sesuai dengan apa yang diinginkan tentu tidak lepas dari sikap pelaksana. Implementasi kebijakan akan berjalan efektif apabila implementator memiliki sikap positif yang mendukung kebijakan tersebut secara penuh. Dengan adanya sikap positif tersebut maka aka nada kesamaan persepsi diantara implementator serta ada sikap mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut agar dapat berjalan dengan efektif dan terarah. (Winarno, 2004:110-119)

Edward III yang dikutip oleh Budiono mengajukan empat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik, diantaranya adalah : 1. Komunikasi a. Transmisi b. Kejelasan c. Konsistensi 2. Sumber-sumber a. Staf b. Kewenanangan c. Fasilitas 3. Kecenderungan-kecenderungan a. Dampak dari kecenderungan b. Pengangkatan birokrat c. Beberapa insentif 4. Struktur birokrasi a. Pengaruh struktur organisasi bagi implementasi (SOP) b. Fragmentasi (Sumber: Winarno, 2004:125) Implementasi kebijakan dapat dilakukan secara sempurna (perfect implementation) sehingga menjamin keberhasilan pencapaian tujuan, apabila memenuhi syarat-syarat seperti yang dikemukakan oleh Hogwood dan Gunn yang dialihbahasakan oleh Wahab yaitu : 1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan pelaksana tidak akan menimbulkan kendala yang serius yaitu beberapa kendala atau hambatan pada saat implementasi kebijakan dan pelaksana, hambatan ini dapat berupa hambatan fisik maupun politis. 2. Bahwa untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber yang cukup memadai, yaitu jumlah waktu dan sumber yang diperlukan untuk melaksanakan semua kebijakan yang dibuat telah mencukupi.

3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia 4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal. 5. Hubungan kausalitas yang bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya. 6. Hubungan saling ketergantungan harus seminimal mungkin 7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan 8. Tugas-tugas ditetapkan dalam urutan yang tepat 9. Komunikasi dan koordinasi yang baik atau sempurna 10. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna. (Wahab, 1997:71-78). 2.1.4.2 Model Implementasi Kebijakan Menurut Sabatier (1986: 21-48), terdapat dua model yang berpacu dalam tahap implementasi kebijakan, yakni model top down dan model bottom up. Kedua model ini terdapat pada setiap proses pembuatan kebijakan. Model elit, model proses dan model inkremental dianggap sebagai gambaran pembuatan kebijakan berdasarkan model top down. Sedangkan gambaran model bottom up dapat dilihat pada model kelompok dan model kelembagaan. Grindle (1980: 6-10) memperkenalkan model implementasi sebagai proses politik dan administrasi. Model tersebut menggambarkan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh beragam aktor, dimana keluaran akhirnya ditentukan oleh baik materi program yang telah dicapai maupun melalui interaksi para pembuat keputusan dalam konteks politik administratif. Proses politik dapat terlihat melalui proses pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai aktor kebijakan, sedangkan proses administrasi terlihat melalui proses umum mengenai aksi administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu.

Gambar 01 Implementation as a Political and Administrative Process (Merilee S. Grindle. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World, Princeton University Press, New Jersey, p. 11)
Policy Goals Implementing Activities Influenced by: Outcomes: a. Impact on society, individuals, and groups b. Change and its

Goals achieved? a. Content of Policy  Intersts affected  Type of benefits  Extent of change envisioned  Site of decision making  Program implementors  Resources committed

Action Programs and Individual Projects Designed and Funded

Programs Delivered as designed?

b. Context Implementation  Power, interests, and strategies of actors involved  Institution and regime

MEASURING SUCCESS

T.B. Smith mengakui, ketika kebijakan telah dibuat, kebijakan tersebut harus diimplementasikan dan hasilnya sedapat mungkin sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan (Nakamura dan Smallwood, 1980: 2). Pada gambar 01 terlihat bahwa suatu kebijakan memiliki tujuan yang jelas sebagai wujud orientasi nilai kebijakan. Tujuan implementasi kebijakan diformulasi ke dalam program aksi dan proyek tertentu yang dirancang dan dibiayai. Program dilaksanakan sesuai dengan rencana. Implementasi kebijakan atau program secara garis besar dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks implementasi. Keseluruhan implementasi kebijakan dievaluasi dengan cara mengukur luaran program berdasarkan tujuan kebijakan. Luaran program dilihat melalui dampaknya terhadap sasaran yang dituju baik individu dan kelompok maupun masyarakat. Luaran implementasi kebijakan adalah perubahan dan diterimanya perubahan oleh kelompok sasaran.

Gambar 02 Model Linier Implementasi Kebijakan (dikutip dari Baedhowi, 46-48)


Fase Agenda Fase Keputusan
Keputusan kebijakan Dalam Isu Kebijakan Tidak Agenda Tidak ada kebijakan Gagal Tingkatkan kemauan politik

Fase Pelaksanaan
Sukses dilaksanakan

Perkuat Institusi

Pada aspek pelaksanaan, terdapat dua model implementasi kebijakan publik yang efektif, yaitu model linier dan model interaktif (lihat Baedhowi, 2004: 47). Pada model linier, fase pengambilan keputusan merupakan aspek yang terpenting, sedangkan fase pelaksanaan kebijakan kurang mendapat perhatian atau dianggap sebagai tanggung jawab kelompok lain. Keberhasilan pelaksanaan kebijakan tergantung pada kemampuan instansi pelaksana. Jika implementasi kebijakan gagal maka yang disalahkan biasanya adalah pihak manajemen yang dianggap kurang memiliki komitmen sehingga perlu dilakukan upaya yang lebih baik untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan pelaksana.

Gambar 03 Model Interaktif Implementasi Kebijakan (Thomas R. Dye. 1981. Understanding Public Policy, Prentice-Hall International, Inc., Englewood Cliffs, NY)
Isu Kebijakan

Agenda Kebijakan

Tahap Keputusan

Karakteristik Kebijakan

Arena Konflik Publik Birokrasi

Tolak/Laksanakan

Laksanakan/Tolak

Pengambil kebijakan menilai dan memobilisasi sumberdaya untuk keberlangsungan kebijakan

Pertanggungjawaban terhadap publik

Pelaksana kebijakan menilai dan memobilisasi sumberdaya untuk keberlangsungan kebijakan

Potensi Hasil Kebijakan

Berbeda dengan model linier, model interaktif menganggap pelaksanaan kebijakan sebagai proses yang dinamis, karena setiap pihak yang terlibat dapat mengusulkan perubahan dalam berbagai tahap pelaksanaan. Hal itu dilakukan ketika kebijakan publik dianggap kurang memenuhi harapan stakeholders. Ini berarti bahwa berbagai tahap implementasi kebijakan publik akan dianalisis dan dievaluasi oleh setiap pihak sehingga potensi, kekuatan dan kelemahan setiap fase pelaksanaannya diketahui dan segera diperbaiki untuk mencapai tujuan.

Pada gambar 03 terlihat bahwa meskipun persyaratan input sumberdaya merupakan keharusan dalam proses implementasi kebijakan, tetapi hal itu tidak menjamin suatu kebijakan akan dilaksanakan dengan baik. Input sumberdaya dapat digunakan secara optimum jika dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan terjadi interaksi positif dan dinamis antara pengambil kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan pengguna kebijakan (masyarakat) dalam suasana dan lingkungan yang kondusif. Jika model interaktif implementasi kebijakan di atas disandingkan dengan model implementasi kebijakan yang lain, khususnya model proses politik dan administrasi dari Grindle, terlihat adanya kesamaan dan representasi elemen yang mencirikannya. Tujuan kebijakan, program aksi dan proyek tertentu yang dirancang dan dibiayai menurut Grindle menunjukkan urgensi fase pengambilan keputusan sebagai fase terpenting dalam model linier implementasi kebijakan. Sementara itu, enam elemen isi kebijakan ditambah dengan tiga elemen konteks implementasi sebagai faktor yang mempengaruhi aktivitas implementasi menurut Grindle mencirikan adanya interaksi antara pengambil kebijakan, pelaksana kebijakan dan pengguna kebijakan dalam model interaktif. Begitu pula istilah model proses politik dan proses administrasi menurut Grindle, selain menunjukkan dominasi cirinya yang cenderung lebih dekat kepada ciri model interaktif implementasi kebijakan, juga menunjukkan kelebihan model tersebut dalam cara yang digunakan untuk mengukur keberhasilan implementasi kebijakan, beserta output dan outcomesnya. Selain model implementasi kebijakan di atas Van Meter dan Van Horn mengembangkan Model Proses Implementasi Kebijakan. (Tarigan, 2000: 20). Keduanya meneguhkan pendirian bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan dalam bertindak merupakan konsep penting dalam prosedur implementasi. Keduanya mengembangkan tipologi kebijakan menurut: (i) jumlah perubahan yang akan dihasilkan, dan (ii) jangkauan atau ruang lingkup kesepakatan mengenai tujuan oleh berbagai pihak yang terlibat dalam proses implementasi. Tanpa mengurangi kredibilitas model proses implementasi kebijakan dari Van Meter dan Van Horn terlihat bahwa elemen yang menentukan keberhasilan

penerapannya termasuk ke dalam elemen model proses politik dan administrasi menurut Grindle. Kata kunci yakni perubahan, kontrol dan kepatuhan termasuk dalam dimensi isi kebijakan dan konteks implementasi kebijakan. Demikian pula dengan tipologi kebijakan yang dibuat oleh keduanya termasuk dalam elemen isi kebijakan dan konteks implementasi menurut Grindle. Tipologi jumlah perubahan yang dihasilkan termasuk dalam elemen isi kebijakan dan tipologi ruang lingkup kesepakatan termasuk dalam konteks implementasi. Sejalan dengan pendapat di atas, Korten (baca dalam Tarigan, 2000: 19) membuat Model Kesesuaian implementasi kebijakan atau program dengan memakai pendekatan proses pembelajaran. Model ini berintikan kesesuaian antara tiga elemen yang ada dalam pelaksanaan program, yaitu program itu sendiri, pelaksanaan program dan kelompok sasaran program. Gambar 04 Model Kesesuaian (Dikutip dari David C. Korten (1988) dalam Tarigan, h. 19)
PROGRAM

Output

Tugas

Kebutuhan

Kompetensi

PEMANFAAT Tuntutan

ORGANISASI Putusan

Korten menyatakan bahwa suatu program akan berhasil dilaksanakan jika terdapat kesesuaian dari tiga unsur implementasi program. Pertama, kesesuaian antara program dengan pemanfaat, yaitu kesesuaian antara apa yang ditawarkan oleh program dengan apa yang dibutuhkan oleh kelompok sasaran (pemanfaat). Kedua, kesesuaian antara program dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara tugas yang disyaratkan oleh program dengan kemampuan organisasi

pelaksana. Ketiga, kesesuaian antara kelompok pemanfaat dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara syarat yang diputuskan organisasi untuk dapat memperoleh output program dengan apa yang dapat dilakukan oleh kelompok sasaran program. Berdasarkan pola yang dikembangkan Korten, dapat dipahami bahwa jika tidak terdapat kesesuaian antara tiga unsur implementasi kebijakan, kinerja program tidak akan berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan. Jika output program tidak sesuai dengan kebutuhan kelompok sasaran jelas outputnya tidak dapat dimanfaatkan. Jika organisasi pelaksana program tidak memiliki kemampuan melaksanakan tugas yang disyaratkan oleh program maka organisasinya tidak dapat menyampaikan output program dengan tepat. Atau, jika syarat yang ditetapkan organisasi pelaksana program tidak dapat dipenuhi oleh kelompok sasaran maka kelompok sasaran tidak mendapatkan output program. Oleh karena itu, kesesuaian antara tiga unsur implementasi kebijakan mutlak diperlukan agar program berjalan sesuai dengan rencana yang telah dibuat. Model kesesuaian implementasi kebijakan yang diperkenalkan oleh Korten memperkaya model implementasi kebijakan yang lain. Hal ini dapat dipahami dari kata kunci kesesuaian yang digunakan. Meskipun demikian, elemen yang disesuaikan satu sama lain program, pemanfaat dan organisasi juga sudah termasuk baik dalam dimensi isi kebijakan (program) dan dimensi konteks implementasi (organisasi) maupun dalam outcomes (pemanfaat) pada model proses politik dan administrasi dari Grindle. Keberhasilan Implementasi Kebijakan Sebagaimana dikatakan oleh pakar, bahwa proses implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat memengaruhi perilaku semua pihak yang terlibat dan pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak, baik negatif maupun positif (Wahab, 1997). Oleh karena itu

untuk mencapai keberhasilan daripada implementasi ini diperlukan kesamaan pandangan atas tujuan yang hendak dicapai dan komitmen semua pihak untuk memberikan dukungan bagi pelaksanaannya. Namun demikian, keberhasilan implementasi kebijakan ini tentunya juga terlepas dari proses perumusan kebijakan yang kelak membuahkan isu kebijakan (content of policy) yang akomodatif serta llingkungan (content of policy) di mana kebijakan dimaksud diimplementasikan (Griddle, 1980:8-13). Keberhasilan implementasi kebijakan ini dapat dilihat dari terjadinya kesesuaian anatara pelaksanaan/penerapan kebijakan dengan desain, tujuan, dan sasaran kebijakan itu sendiri serta memberikan dampak/hasil yang positif bagi pemecahan permasalahan yang dihadapi. Asumsi yang dapat dibangun mengenai konsep keberhasilan implementasi kebijakan adalah Semakin tinggi derajat kesesuainnya , maka semakin tinggi pula peluang keberhasilan kinerja implementasi kebijakan untuk menghasilkan output yang telah digariskan. (Tangkilisan, 2005:10). Para ahli kebijakan memiliki pandangan beragam tentang faktor-faktor yang memengaruhi berhasil atau tidaknya implementasi kebijakan. Diantaranya Griddle (980:8-13) mengatakan bahwa faktor yang harus diperhatikan dalam mengimplementasikan kebijakan adalah aspek isi dari kebijakan itu sendiri yang akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan sosial, ekonomi, dan politik, serta aspek konteks atau lingkungan implementasi (context of implementation) dilakukan. Kedua aspek tersebut dipahami Grindle sebagai faktor-faktor yang dapat memengaruhi berhasil tidaknya proses implementasi kebijakan

(Tangkilisan, 2005:12). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Grindle, William N. Dunn juga mengemukakan hal yang sama bahwa untuk keberhasilan suatu kebijakan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Policy stakeholder, yaitu para individu dan atau kelompok individu yang mempunyai andil di dalam kebijakan karena mereka

memengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah lingkungan

di mana kebijakan akan diterapkan. Bagaimana isi kebijakan yang dirumuskan. Apakah telah mengakomodir kepentingan stakeholder atau tidak. 2. Policy environment, yaitu konteks khusus di mana kejadian-kejadian disekeliling isu kebijakan di mana akan terjadi memengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan publik. (Tangkilisan, 2005:13-14); Sementara itu, Keban juga mengutip dan menerjemahkan pendapatnya Weimer dan Vining tentang faktor yang memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu : 1. Logika yang digunakan oleh suatu kebijakan, yaitu seberapa jauh hubungan logis antara kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan. 2. Hakekat kerja sama yang dibutuhkan, yaitu apakah semua pihak yang terlibat dalam kerja sama telah merupakan suatu assembling yang produktif, dan 3. Ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan, komitmen untuk mengelola pelaksanaannya. Menurut Charles O. Jones (1991), implementasi suatu kebijakan menuntut adanya syarat, antara lain : o Adanya orang atau pelaksana, uang, dan kemampuan organisasi atau yang sering disebut dengan resources. o Batasan implementasi sebagai proses penerimaan sumber daya tambahan, sehingga dapat mempertimbangkan apa yang harus dilakukan.

Dalam implementasi kebijakan terdapat berbagai hambatan seperti yang dikemukakan oleh Gow dan Morss seperti yang dikutip dan diterjemahkan oleh Keban, antara lain :

1. Hambatan politik, ekonomi, dan lingkungan 2. Kelemahan institusi 3. Ketidakmampuan SDM di bidang teknis dan administratif 4. Kekurangan dalam bantuan teknis 5. Kurangnya desentralisasi dan partisipasi 6. Pengaturan waktu (timing) 7. Sistem informasi yang kurang mendukung 8. Perbedaan agenda tujuan antara aktor 9. Dukungan yang berkesinambungan (Keban, 2004:73)

2.2

Deskripsi RASKIN Indonesia masih menghadapi masalah kemiskinan dan kerawanan pangan

yang harus ditanggulangi bersama oleh pemerintah dan masyarakat. Program RASKIN merupakan bagian integral dari program penanggulangan kemiskinan, yang bersinergi dengan program pembangunan lainnya, seperti program pebaikan gizi, peningkatan kesehatan, pendidikan dan peningkatan produktivitas

masyarakat. Sinergi antar berbagai program ini penting dalam meningkatkan evektivitas masing-masing program dalam pencapaian tujuan. 2.2.1 Tujuan RASKIN a. Meningkatkan ketahanan pangan di tingkat keluarga melalui penjualan beras kepada keluarga penerima manfaat pada tingkat harga bersubsidi dengan jumlah yang telah ditentukan. b. Memberikan bantuan pangan keluarga miskin dalam rangka memenuhi kebutuhan beras. c. Meningkatkan/membuka akses pangan keluarga miskin dalam rangka memenuhi kebutuhan beras.

2.2.2

Sasaran Sasaran kebijakan Program RASKIN adalah terbentuknya dan terbukanya

akses beras keluarga miskin yang telah terdata dengan kuantum tertentu sesuai dengan hasil Musyawarah Desa/Kelurahan dengan harga bersubsidi di tempat, sehingga dapat membantu meningkatkan ketahanan pangan keluarga miskin. 2.2.3 Prinsip-prinsip RASKIN Prinsip pengelolaan RASKIN adalah suatu nilai-nilai dasar yang selalu menjadi landasan atau acuan dalam setiap pengambilan keputusan maupun tindakan yang akan diambil dalam pelaksanaan rangkaian kegiatan RASKIN. Nilai-nilai dasar tersebut diyakini mampu mendorong terwujudnya tujuan RASKIN. Keberpihakan kepada Rumah Tangga Miskin (RTM), yang maknanya mendorong RTM untuk ikut berperan aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pelestarian seluruh kegiatan RASKIN baik di desa dan kecamatan, termasuk menerima manfaat atau menikmati hasilnya. Transparansi, yang maknanya membuka akses informasi kepada lintas pelaku RASKIN terutama masyarakat penerima RASKIN, yang harus tahu, memahami dan mengerti adanya kegiatan RASKIN serta memiliki kebebasan dalam melakukan pengendalian secara mandiri. Partisipasi, yang maknanya mendorong masyarakat berperan secara aktif dalam setiap tahapan RASKIN, mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. Akuntabilitas, yang maknanya mengingatkan bahwa setiap pengelolaan kegiatan RASKIN harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat setempat maupun kepada semua pihak yang berkompeten sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku atau yang telah disepakati. Untuk mendukung pelaksanaan Program RASKIN Tahun 2011, dibentuk Tim RASKIN Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.

A. Pemerintah Provinsi Penanggungjawab Program Raskin Provinsi adalah Gubernur. Dalam pelaksanaannya, Gubernur membentuk dan menetapkan : 1. Tim Program Raskin Provinsi (Tim Raskin) Tim Koordinasi Program Raskin Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011 ditetapkan dengan Keputusan Gubernur Jawa Tengah. Tim tersebut terdiri dari unsur Biro Sarana Perekonomian Setda, Biro Bina Produksi Setda, BPS, BKKBN, Perum BULOG Divisi Regional Jawa Tengah, Badan Pemberdayaan Masyarakat Daerah (BPMD), Kepolisian Daerah dan Kejaksaan Tinggi serta stakeholders terkait. Tugas Tim koordinasi Program Raskin mempunyai tugas untuk membantu Gubernur dalam merumuskan kebijakan, merencanakan dan melaksanakan dan

mensosialisasikan Program Raskin, mengambil langkah-langkah serta evaluasi dan pemantauan secara sinergi. Fungsi 1. Perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi serta melaksanakan sosialisasi Program Raskin di Provinsi Jawa Tengah. 2. Penyediaan data RTM dari BPS sebagai referensi penetapan RTM Raskin. 3. Penyediaan dan pendistribusian beras Raskin dari gudang Perum BULOG sampai Titik Distribusi. 4. Fasilitasi Penyelesaian pembayaran dan subsidi harga. 2. Unit Pengaduan Masyarakat (UPM) Program Raskin Provinsi. Unit Pengaduan Masyarakat Program Raskin Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011 terdiri dari Unsur BPMD, Unsur Biro Sarana Perekonomian, Bappeda, Bawasda, Perum Bulog Divre Jateng, Kepolisiaan dan Kejaksaan. Tugas

UPM Program Raskin mempunyai tugas membantu Gubernur dalam menangani dan menindak lanjuti pengaduan masyarakat. Fungsi 1) Menampung, mengidentifikasi dan menganalisis pengaduan masyarakat. 2) Meneruskan/meminta klarifikasi penyelesaian permasalahan kepada SKPD/lembaga pemerintah terkait di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan melibatkan peran aktif UPM Kabupaten/Kota. 3) Memantau proses penyelesaian permasalahan oleh SKPD/lembaga pemerintah terkait di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. 4) Melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan kepada Gubernur dan UPM Pusat.

B. Pemerintah Kabupaten/Kota Penanggungjawab Program Raskin Kabupaten/Kota adalah

Bupati/Walikota. Dalam pelaksanaannya, Bupati/Walikota membentuk dan menetapkan : 1. Tim Koordinasi Program Raskin Kabupaten/Kota a) Penanggungjawab Penyediaan dan Pendistribusian beras Raskin dari Gudang Sub Divisi Regional Perum BULOG sampai Titik Distribusi, maupun penyelesaian administrasi dan pembayaran Hasil Penjualan (HP) adalah Kepala Sub Divisi Regional Perum BULOG. b) Penanggungjawab Penyediaan Data Dasar RTM adalah Kantor Statistik. c) Penanggungjawab penetapan Daftar Nama RTM adalah Kepala Desa/Lurah dari hasil Musyawarah Desa/Kelurahan yang

dituangkan dalam DPM 1 yang disetujui Camat. d) Penanggungjawab Distribusi sampai Pendistribusian kepada RTM Beras dan Raskin dalam dari Titik penyelesaian Kepala

administrasi serta Desa/Lurah.

pembayaran HP Raskin

adalah

2. Unit Pengaduan Masyarakat & Pemantauan (UPMP) Program Raskin Unit Pengaduan Masyarakat Program Raskin Kabupaten/Kota Tahun 2011 terdiri dari Unsur yang menangani pemberdayaan masyarakat/BPMD, Bagian Perekonomian, Bapeda, Bawasda, Perum Bulog Sub Divre, Kepolisian dan Kejaksaan. Tugas UPM Program Raskin mempunyai tugas membantu Bupati/Walikota dalam menangani dan menindak lanjuti pengaduan masyarakat. Fungsi 1) Menampung, mengidentifikasi dan menganalisis pengaduan masyarakat. 2) Meneruskan/meminta klarifikasi penyelesaian permasalahan kepada SKPD/lembaga pemerintah terkait di tingkat Kabupaten/Kota. 3) Memantau proses penyelesaian permasalahan oleh SKPD/lembaga pemerintah terkait di tingkat Kabupaten/Kota. 4) Melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan kepada Bupati/Walikota dan UPM Provinsi.

C. Kelompok Kerja (POKJA) RASKIN Kelompok Kerja distribusi beras untuk Rumah Tangga Miskin atau POKJA RASKIN terdiri dari Aparat Kecamatan, Desa/Kelurahan dan institusi kemasyarakatan setempat termasuk TP-PKK yang ditunjuk oleh Camat. Kades/Lurah dan Perangkat Wilayah dibantu Lembaga Kemasyarakatan dan anggota masyarakat lain bertanggungjawab dan bertugas menyampaikan RASKIN kepada RTM 2.3.4 Mekanisme Perencanaan & Pelaksanaan Prinsip Perencanaan dan Pelaksanaan Program Raskin pada dasarnya mengacu kepada Transparansi, Akuntabilitas dan Partisipatif (TAP).

A. Penentuan Pagu dan Alokasi 1. Kuantum Pagu Raskin Nasional ditetapkan berdasarkan besarnya subsidi Pangan (RASKIN) yang disediakan Pemerintah dalam APBN Tahun 2011. 2. Gubernur selaku Penanggungjawab Tim Koordinasi Program Raskin Provinsi Jawa Barat mengalokasikan kuantum pagu Raskin kepada masing-masing Kabupaten/Kota dengan mengacu pada data kemiskinan BPS yang ditetapkan dalam keputusan Gubernur. 3. Berdasarkan pagu Raskin Kabupaten/Kota, Tim Koordinasi Program Raskin masing-masing Kabupaten/Kota mengalokasikan kuantum pagu Raskin kepada masing-masing Kecamatan dan Desa/Kelurahan, dengan mengacu pada data RTM dari BPS, dengan mempertimbangkan kondisi obyektif daerah, yang ditetapkan dalam keputusan Bupati/Walikota. 4. Tim Raskin Provinsi dapat mengusulkan kepada Gubernur untuk merealokasi pagu Raskin ke Kabupaten/Kota yang dinilai tidak dapat mendistribusikan beras Program Raskin sesuai ketentuan yang telah ditetapkan. B. Perencanaan Distribusi 1. Dalam meningkatkan efektifitas pelaksanaan Program Raskin perlu disusun Rencana Distribusi selama periode Tahun 2011 yang meliputi frekuensi, kuantum dan jadwal waktunya sesuai kondisi obyektif masing-masing daerah dan diatur dalam Pedoman Pelaksanaan/ Petunjuk Teknis. 2. Beras yang didistribusikan untuk Program Raskin merupakan beras persediaan operasional Perum BULOG Divre Jateng. C. Pembiayaan Operasional Pemerintah Provinsi menyediakan anggaran untuk pembinaan, koordinasi, monitoring dan evaluasi RASKIN dari APBD setempat. Pemerintah

Kabupaten/Kota mengalokasikan anggaran untuk biaya operasional dari Titik Distribusi sampai di tangan Rumah Tangga Miskin (Penerima Manfaat RASKIN)

yang bersumber dari APBD dengan tetap mendorong keterlibatan/partisipasi masyarakat. Disamping itu anggaran Daerah hendaknya diarahkan juga untuk pembinaan UPM, koordinasi, monitoring dan evaluasi RASKIN di tingkat Kabupaten/Kota. D. Penentuan Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat 1. Data dasar penentuan RTM sasaran adalah hasil pendataan sosial ekonomi BPS 2. Prioritas penerima manfaat beras Raskin adalah untuk seluruh RTM dengan kategori Sangat Miskin, Miskin dan untuk sebagian RTM dengan kategori Hampir Miskin. 3. Dalam hal penentuan RTM sasaran kategori Hampir Miskin ditentukan sesuai kondisi obyektif di lapangan dan ditetapkan berdasarkan musyawarah Desa/Kelurahan setempat. 4. Identitas RTM penerima manfaat Program Raskin, harus sesuai dengan daftar nama dan alamat RTM yang telah ditetapkan BPS Kabupaten/Kota. E. Musyawarah Desa/Kelurahan 1. Musyawarah Desa/Kelurahan adalah forum komunikasi di tingkat Desa/Kelurahan yang dipimpin Kepala Desa/Lurah, dihadiri oleh Perangkat Desa/Kelurahan, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, RW, RT, Tokoh Masyarakat danTokoh Agama untuk mendapatkan kesepakatan tentang : a) Daftar Nama RTM Penerima Manfaat b) Jadwal, Waktu dan Tempat Distribusi c) Besaran Biaya Distribusi dari Titik Distribusi kepada RTM Penerima Manfaat 2. Musyawarah Desa/Kelurahan dilaksanakankan secara periodik

minimal 1 (satu) tahun sekali dan diselenggarakan sebelum beras Program Raskin di distribusikan.

3.

Hasil Musyawarah Desa/Kelurahan dituangkan dalam Berita Acara Musyawarah Desa/Kelurahan yang ditandatangani Kepala

Desa/Lurah, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan diketahui oleh Camat setempat, dengan melampirkan Daftar nama-nama Rumah Tangga Miskin Penerima Manfaat (DPM-1), dan daftar hadir peserta musyawarah. 4. Daftar nama-nama RTM hasil Mudes/Muskel ditempel dalam Papan Pengumuman Desa/Kelurahan dan dilaporkan secara berjenjang ke tingkat Kecamatan, Kabupaten/Kota dan Provinsi. 5. Daftar Rumah Tangga Miskin/Sasaran Penerima Manfaat (DPM-1) dijadikan dasar sebagai penerbitan Surat Permintaan Alokasi (SPA) oleh Bupati/Walikota kepada Perum BULOG melalui Sub Divre setempat. F. Mekanisme Distribusi 1. Bupati/Walikota mengajukan Surat Permintaan Alokasi (SPA) kepada Kepala Sub Divisi Regional Perum BULOG berdasarkan alokasi pagu Raskin dan Rumah Tangga sasaran penerima manfaat di masingmasing Kecamatan/Desa/Kelurahan. 2. SPA yang tidak dapat dilayani sebagian atau seluruhnya dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan, maka pagu dapat direlokasikan ke daerah lain dengan menerbitkan SPA baru yang menunjuk pada SPA yang tidak dapat dilayani. 3. Berdasarkan SPA, Sub Divre menerbitkan SPPB/DO beras untuk masing-masing Kecamatan/Kelurahan/Desa kepada pelaksana Raskin. Apabila terdapat tunggakan Harga Penjualan Beras (HPB) pada periode sebelumnya maka penerbitan SPPB/DO periode berikutnya ditangguhkan sampai ada pelunasan. 4. Berdasarkan SPPB/DO, pelaksana Raskin mengambil beras di gudang penyimpanan Perum BULOG, mengangkut dan menyerahkan beras Raskin kepada pelaksana Distribusi di Titik Distribusi. Kualitas beras yang diserahkan, sesuai dengan standar kualitas BULOG. Apabila

tidak memenuhi standar kualitas maka beras dikembalikan kepada Pelaksana RASKIN untuk ditukar/diganti. 5. Serah terima beras RASKIN dari pelaksana RASKIN kepada pelaksana Distribusi di Titik Distribusi dibuktikan dengan Berita Acara Serah Terima (BAST) yang merupakan pengalihan tanggung jawab. 6. Pelaksana Distribusi menyerahkan beras kepada Rumah Tangga Miskin. 7. Mekanisme distribusi secara rinci diatur dalam Pedoman Teknis Raskin Kabupaten/Kota disesuaikan dengan kondisi obyektif masingmasing daerah. H. Administrasi Distribusi 1. Penyerahan beras di Titik Distribusi dituangkan dalam Berita Acara Serah Terima (BAST) yang ditandatangani oleh Satker Sub Divre sebagai pihak yang menyerahkan dan Pelaksana Distribusi sebagai pihak yang menerima beras. BAST tersebut diketahui dan

ditandatangani oleh Kepala Desa/Lurah/Camat atau pejabat yang mewakili/ditunjuk. Nama dan identitas penandatangan dicantumkan secara jelas dan dicap/stempel Desa/Kelurahan/Kecamatan. 2. Berdasarkan BAST, Sub Divre membuat rekapitulasi Berita Acara RASKIN masing-masing Desa/Kelurahan (MBA-0) yang

ditandatangani Satker Raskin Sub Divre dan Satker Raskin Kecamatan serta diketahui dan ditandatangani oleh Camat atau pejabat yang mewakili/ditunjuk. 3. Berdasarkan MBA-0, Sub Divre membuat rekapitulasi Berita Acara Pelaksanaan Raskin Kecamatan (MBA-1) yang ditandatangani oleh Kasub Divre dan Bupati/Walikota atau pejabat yang mewakili, serta seorang saksi dari Tim Program Raskin Kabupaten/Kota. Nama dan identitas penandatangan dicantumkan secara jelas dan dicap/stempel. 4. Pembuatan MBA-1 bisa dilakukan secara bertahap tanpa harus menunggu selesainya seluruh pendistribusian bulan bersangkutan.

Dengan demikian dalam satu Kabupaten/Kota untuk bulan alokasi yang sama dimungkinkan dibuat lebih dari 1 (satu) MBA-1. MBA-1 Asli dikirimkan ke Divre Jateng dengan dilampiri copy SPA dan Rekap SPPB/DO Asli (MDO). Sebelum MBA-1 berikut lampirannya dikirim ke Divre Jabar, terlebih dahulu dilakukan verifikasi untuk menguji kelengkapan dan ketepatan dokumen administrasi. 5. Berdasarkan MBA-1, dibuat rekapitulasi di tingkat Divre Jabar dalam MBA-2 6. I. selanjutnya dikirim ke Kantor Pusat Perum BULOG.

Mekanisme Pembayaran dan Administrasi HPB Raskin 1. Pembayaran Harga Penjualan Beras (HPB) Raskin dari Rumah Tangga sasaran penerima manfaat kepada pelaksana Distribusi dilakukan secara tunai Rp.1.000,00/Kg netto. 2. Uang HPB Raskin tersebut langsung diserahkan kepada Satker Raskin Sub Divre dan dibuatkan tanda terima pembayaran (kuitansi atau TT HPB Raskin) rangkap 3 (tiga). Selanjutnya oleh Satker Raskin ditransfer ke rekening milik Sub Divre di Bank Pemerintah yang telah ditentukan. 3. Apabila uang HPB Raskin disetorkan langsung oleh pelaksana distribusi ke rekening HPB Raskin milik Perum BULOG Sub Divre,maka bukti setor asli harus diserahkan oleh pelaksana distribusi kepada Satker Raskin Sub Divre untuk kemudian diganti dengan tanda terima pembayaran (kuitansi atau model TT HPB Raskin) rangkap 3 (tiga) oleh pelaksana Raskin. Pelaksana Raskin berkewajiban melakukan konfirmasi bukti setor tersebut pada Bank yang bersangkutan. Tanda Terima Pembayaran tersebut dinyatakan sah oleh Bank yang bersangkutan. 4. Bupati/Walikota selaku Penanggungjawab Program Raskin,

berkewajiban menyediakan Dana Talangan untuk RTM yang tidak memiliki kemampuan untuk membayar tunai dan atau pelaksana distribusi yang belum menyetorkan HPB pada bulan bersangkutan.

5.

Pembiayaan Pembiayaan distribusi beras Raskin meliputi : a) Dari Gudang Perum Bulog sampai di Titik Distribusi menjadi beban Perum BULOG. b) Dari Titik Distribusi sampai RTM sasaran penerima manfaat menjadi beban Bupati/Walikota.

2.2.5

Sosialisasi Program Raskin Sosialisasi Program RASKIN merupakan salah satu kunci keberhasilan

pelaksanaan Program RASKIN, yang dapat dilakukan melalui berbagai cara mana yang paling efektif dan memungkinkan, agar masyarakat umum dan khususnya masyarakat miskin mengetahui secara persis latar belakang, kebijakan, mekanisme, hak-hak dan kewajibannya. Lebih daripada itu, masyarakat harus mengetahui kemana dan bagaimana cara melaporkan atau mengadukan apabila ditemui adanya indikasi penyimpanan RASKIN melalui jalur Unit Pengaduan Masyarakat (UPM) yang tersedia. Untuk Program RASKIN Tahun 2007, sosialisasi dilakukan melalui berbagai kegiatan dan media. 1. Rapat Koordinasi dan Sosialisasi Rapat Koordinasi diselenggarakan untuk memantapkan koordinasi pelaksanaan program Dan sekaligus sosialisasi kebijakan program RASKIN 2007 berikut pemahaman berbagai instrumen yang diperlukan untuk percepatan pelaksanaan RASKIN 2007. Rapat Koordinasi dan Sosialiasi ini agar dengan sesegera mungkin ditindaklanjuti dengan Rapat Koordinasi dan Sosialisasi serupa di tingkat lapangan (Kecamatan dan Desa/Kelurahan) dengan mengundang tokoh masyarakat. Di tingkat masyarakat, keberadaan forum Musyawarah Desa (Mudes) yang telah ada dan digunakan sebagai forum interaksi rencana pembagian RASKIN, agar dimanfaatkan secara optimal untuk sosialisasi RASKIN. Makin banyak masyarakat yang mengetahui maka akan lebih

baik dan didukung dengan proses yang transparan, diharapkan akan mencegah terjadinya penyimpangan. 2. Sosialisasi melalui Media Massa Peran media massa (pers) sangat penting untuk ikut serta sebagai media sosialisasi baik di tingkat Provinsi maupun di Kabupaten/Kota untuk mendukung langkah-langkah pelaksanaan Program RASKIN 2007, agar Tim RASKIN Kabupaten/Kota melakukan langkah-langkah

sosialisasi melalui media massa yang memungkinkan di masing-masing Daerah. 3. Sosialisasi melalui Media Lain-Lain Banyak cara untuk melakukan sosialisasi disamping yang disebutkan diatas cara lain dapat digunakan. Media cetak seperti booklet, brosur-brosur, stickers, dan lain-lain dapat dikembangkan dalam bahasa lokal maupun nasional yang diharapkan dilakukan pada Program RASKIN tahun 2007 ini. Media sosialisasi lain melakukan pertemuan-pertemuan yang telah ada sebagai bagian kehidupan masyarakat seperti arisan, pertemuan adat, pertemuan keagamaan, dan lain-lain yang memang memungkinkan untuk sosialisasi RASKIN. Bagaimanapun mulianya tujuan sebuah program, apalagi program yang langsung bersentuhan dengan masyarakat seperti Program RASKIN ini, akan sangat tergantung pada komitmen dan keberpihakan semua pihak untuk benar-benar membantu masyarakat, khususnya mereka yang tergolong Rumah Tangga Miskin penerima manfaat program RASKIN.

2.3

Gambaran umum Barusari

2.3.1 Luas dan Batas Wilayah Kelurahan Barusari Kecamatan Semarang Selatan yang berada di pusat Kota Semarang mempunyai luas wilayah sebagai berikut : a. Sebelah Utara berbatasan dengan JL. Mgr. Sugijopranoto b. Sebelah Selatan berbatasan dengan JL. Kaligarang c. Sebelah Timur berbatasan dengan JL. Dr. Sutomo d. Sebelah Barat berbatasan dengan JL. Suyudono 2.3.2 Keadaan Geografis Kelurahan Barusari Semarang memiliki hamparan bidang wilayah atau ketinggian tanah berada pada 3 meter diatas permukaan laut (m.dpl). Secara geologi, Topografi wilayah Kelurahan Barusari berupa dataran rendah dan memiliki suhu udara rata-rata 23 - 31 C. 2.3.3 Jumlah Penduduk atau Masyarakat Miskin Kelurahan Barusari Semarang Jumlah penduduk atau masyarakat yang tergolong sebagai masyarakat miskin di Kelurahan Barusari Semarang berjumlah 1.065 jiwa. Berdasarkan 50,50 Ha, dengan perbatasan wilayah

jumlah tersebut menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Kelurahan Barusari Semarang tergolong tinggi. 2.3.4 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian Apabila ditinjau dari kategori penduduk menurut mata pencaharian, penduduk Kelurahan Barusari Semarang yang memiliki mata pencaharian sebagai petani sendiri sebanyak 1 jiwa, buruh tani sebanyak 1 jiwa, pengusaha sebanyak 34 jiwa, buruh industry sebanyak 29 jiwa, buruh bangunan sebanyak 23 jiwa, pedagang sebanyak 51 jiwa, pengangkutan sebanyak 15 jiwa, Pegawai Negeri (Sipil+ABRI) sebanyak 1.021 jiwa, pensiunan sebanyak 128 jiwa, lain-lain (jasa) sebanyak 1.603 jiwa, sehingga jumlah keseluruhan adalah 2.909 jiwa.

Anda mungkin juga menyukai