Anda di halaman 1dari 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Bentonit Bentonit adalah istilah untuk lempung (clay) yang mengandung

monmorilonit di dalam dunia perdagangan dan termasuk kelompok dioktahedral (Puslitbang Tekmira, 2005). Bentonit termasuk mineral clay golongan smektit dioktahedral yang mengandung sekitar 80% monmorilonit dan sisanya antara lain kaolit, illit, feldspar, gipsum, abu vulkanik, kalsium karbonat, pasir kuarsa, dan mineral lainnya (Gnister et al., 2004). Istilah bentonit pertama kali dikenalkan oleh W. C. Knight pada tahun 1989. Penamaan ini diberikan karena bentonit ditemukan di daerah Fort Benton, Wyoming Amerika Serikat sedangkan istilah monmorilonit berasal dari Perancis yang ditemukan di Montmorillone Veinne. Bentonit terbentuk dari proses mekanik dan kimiawi dari batuan yang dipengaruhi cuaca (pada lingkungan alkali), batuan tersebut umumnya berasal dari batuan ledakan gunung berapi, bisa juga berasal dari batuan andesit, riolit, basal, dan lain-lain, kebanyakan adalah batuan tersier. Keberadaan bentonit sangat melimpah di Indonesia, antara lain tersebar di pulau Jawa, pulau Sumatera, sebagian pulau Kalimantan Timur dan pulau Sulawesi (Puslitbang Tekmira, 2005).

Bentonit kering mempunyai sifat fisik seperti berupa partikel butiran halus yang berwarna kuning muda, putih dan abu-abu dengan karakteristik sebagai berikut : Massa jenis Massa molekul relatif : 2,2 2,7 g/L : 549,07 g/mol

Bentuk fisik dari bentonit dapat dilihat pada Gambar 2.1, sedangkan komposisi kimia yang terkandung dalam bentonit diperlihatkan pada Tabel 2.1.

Gambar 2.1 Bentuk Fisik Bentonit Sifat-sifat fisik yang dimiliki oleh bentonit yaitu sebagai berikut (Puslitbang Tekmira, 2005) : 1. Kapasitas penukaran kation Sifat ini menentukan jumlah kadar air yang terserap oleh bentonit. Di dalam bentonit terjadi reaksi kesetimbangan kimia karena adanya kisi-kisi kristal mineral monmorilonit serta adanya kation yang mudah terbuka dan menarik air. Kation Na+ mempunyai daya serap air yang lebih baik dibandingkan dengan ion Mg2+, Ca2+, K+, dan H+.

2. Daya serap Bentonit memiliki sifat mengadsorpsi karena ukuran partikel koloidnya sangat kecil dan mempunyai kapasitas penukar ion yang tinggi. Sifat ini disebabkan oleh ketidakseimbangan muatan listrik serta adanya pertukaran ion. 3. Luas permukaan Luas permukaan yaitu jumlah luas kristal atau butir-butir bentonit yang dinyatakan dalam m2/gram. Sifat ini sangat penting karena semakin besar jumlah luas permukaannya maka semakin banyak materi yang dapat teradsorpsi. Berdasarkan jenisnya, bentonit dapat digolongkan menjadi dua yaitu (Puslitbang Tekmira, 2005) : 1. Tipe Wyoming (Na-bentonit) Merupakan jenis bentonit yang dapat mengembang apabila dicelupkan ke dalam air dan akan membentuk koloid. Sifat ini terutama ditentukan oleh jumlah kandungan kation yang mudah tertukar seperti Na+, Ca2+, Mg2+, dan H+. Diantara kation-kation tersebut, kation Na+ menyebabkan lempung dapat mengembang dan membentuk larutan koloid. Na-Bentonit banyak menyerap air disertai dengan pengembangan yang besar mencapai delapan kali lipat ukuran awalnya. Wujud fisiknya berwarna putih atau krem, pada keadaan basah dan terkena sinar matahari akan mengkilap. Sifat-sifat lain dari bentonit jenis ini yaitu perbandingan Na dengan Ca tinggi, suspensi koloidnya mempunyai pH 8,5 9,8, dan posisi pertukaran ion diduduki oleh ion-ion Na+.

2. Tipe Ca-Mg (Bentonit Calsium-Magnesium) Dibandingkan dengan jenis Na-bentonit, bentonit Ca-Mg bersifat kurang mengembang apabila dicelupkan ke dalam air tetapi memiliki penyerapan yang lebih baik, baik secara alamiah ataupun secara aktivasi. Bentonit ini terdiri dari Ca-Mg monmorilonit serta beberapa mineral lain seperti kuarsa, plagioklas dan lain-lain. Wujud fisik bentonit ini yaitu berwarna abu-abu, biru, kuning, merah, dan coklat. Sifat-sifat lain dari bentonit jenis ini yaitu kandungan silikanya tinggi, perbandingan silika dan alumina berkisar 4-6, dan suspensi koloidalnya memiliki pH 4-7. Posisi pertukaran ionnya lebih banyak diduduki oleh ion Ca2+ dan ion Mg2+. Monmorilonit yang menyusun sebagian besar bentonit termasuk kelompok mineral smektit yang memiliki struktur koloidal dengan ukuran partikel sangat kecil sehingga untuk mengidentifikasinya hanya dapat dilakukan dengan analisis difraksi sinar-X. Struktur monmorilonit yang dapat diterima dikemukakan pada tahun 1933 oleh Hofmann, Endell, dan Wilm. Selanjutnya struktur monmorilonit dimodifikasi oleh Marshal, Maegdefrau, Hofmann dan Hendricks. Mereka menyatakan bahwa monmorilonit terbentuk dari satu lapisan alumina oktahedral yang disisipkan diantara dua lapisan tetrahedral silica (Grim, 1968). Tabel 2.1 menunjukkan kandungan mineral monmorilonit dan Gambar 2.2 menunjukkan struktur molekul monmorilonit menurut Hofman.

10

Tabel 2.1 Kandungan Mineral Monmorilonit Senyawa Kimia SiO2 Al2O3 Fe2O CaO MgO K 2O Na2O H 2O Persentase (%) 61 - 68 % 21 24 % 1-2% 23% 3-4% < 0,05 % 0-1% 10 11 %

(PD. Agribisnis dan Pertambangan, 2007)

Gambar 2.2 Stuktur Molekul Monmorilonit http://www.ima-europe.eu/whabentontext.htm Rumus monmorilonit secara umum tanpa adanya subtitusi kisi-kisi yaitu (OH)4Si8Al4O20 . nH2O sedangkan rumus monmorilonit dengan adanya substitusi kisi-kisi yaitu (Na,Ca)0,3(Al,Mg)2Si4O10(OH)2.nH2O (http://webmineral.com/data/ montmorillonite.shtml). Menurut Grim, Olphen dan Hunter (dalam Alemdar et al., 2005) Si4+ pada lapisan tetrahedral dapat diganti dengan Al3+, sedangkan Al3+

11

pada lapisan oktahedral dapat diganti oleh Mg2+ atau Fe2+. Proses pergantian ini disebut substitusi isomorfik. Akibat adanya substitusi isomorfik akan dihasilkan muatan negatif pada permukaan clay yang akan diimbangi dengan adsopsi kation anorganik (Ca2+ atau Na+) pada daerah lapisan interlayer.

2.2

Histidin Histidin merupakan salah satu asam amino esensial. Histidin pertama kali

diisolasi oleh seorang fisikawan asal Jerman yang bernama Albrecht Kossel pada tahun 1896. Histidin memiliki harga pKa yang relatif netral (yaitu 6,04), sehingga sangat cocok digunakan sebagai senyawa pemodifikasi bentonit. Terdapat dua enantiomer histidin yaitu D-histidin dan L-histidin, namun umumnya histidin memiliki konfigurasi L. (Poedjiadi, 1994). Karakteristik histidin ditunjukkan pada Tabel 2.2 dan struktur histidin disajikan pada Gambar 2.3. Tabel 2.2 Karakteristik Histidin Simbol Nama sistematik Sinonim Rumus molekul Massa molekul Titik lebur Titik isoelektrik (pI) Tetapan disosiasi (pKa) His Asam S-2-amino-3-(3H-imidazol-4-il) propanoat Asam -amino-1H-imidazol-4 propanoat, asam -amino-4-imidazol propanoat C6H9N3O2 155,16 g/mol 287C 7,59 1,70; 6,04; 9,09

(http://id.wikipedia.org/wiki/histidin.htm)

12

Gambar 2.3 Struktur Histidin Histidin bersifat amfoter karena adanya gugus NH3+ dan gugus -COO(Sunarya, 2003). Apabila histidin berada dalam larutan yang bersifat asam (pH<pI) maka gugus -COO- akan cenderung mengikat ion hidrogen sehingga histidin akan bermuatan positif atau bersifat kationik. Jika histidin berada dalam larutan yang bersifat basa (pH>pI) maka gugus NH3+ cenderung melepaskan proton sehingga histidin akan bermuatan negatif atau bersifat anionik. Sedangkan apabila histidin dilarutkan dengan pelarut yang memiliki pH yang sama dengan pH titik isolistriknya akan membentuk zwitter ion. Gambar 2.4 menunjukkan perubahan muatan histidin bentonit yang dipengaruhi oleh pH.

Gambar 2.4 Muatan Histidin pada Berbagai pH

13

2.3

Histidin-Bentonit Organo-bentonit pertama kali dikenalkan oleh Wolfe pada tahun 1985.

Wolfe melakukan penelitian tentang interaksi amina alifatik dengan monmorilonit untuk meningkatkan kemampuan adsorpsi monmorilonit terhadap polutan-polutan organik. Organo-bentonit dihasilkan dari pertukaran kation-kation anorganik (Na+, Ca2+ dan H+) yang terdapat di permukaan interlayer dan outerlayer clay dengan kation-kation dari senyawa organik. Dengan adanya perubahan ini, bentonit akan bersifat hidrofobik dan dapat meningkatkan kapasitas adsorpsi terhadap senyawasenyawa organik. Kation-kation organik yang digunakan untuk memodifikasi bentonit merupakan suatu amina kuarterner yang mengandung ion nitrogen (surfaktan), polimer, dan senyawa organik alam. Histidin-bentonit merupakan salah satu organo-bentonit yang dihasilkan dari modifikasi bentonit dengan asam amino histidin. Kemampuan histidin untuk membentuk spesi kationik dapat dimanfaatkan untuk memodifikasi bentonit melalui pertukaran ion dengan kation anorganik (Na+ atau Ca2+) yang berada pada daerah interlayer bentonit. Jenis kation yang terdapat pada daerah interlayer bentonit sangat berpengaruh pada sifat permukaan bentonit. Proses modifikasi bentonit dengan kation histidin menyebabkan permukaan bentonit yang semula bersifat hidrofilik menjadi hidrofobik. Histidin-bentonit dapat digunakan sebagai adsorben pestisida dalam air minum tanpa menghasilkan senyawa samping yang dapat menimbulkan pencemaran baru. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan (Rohayani dkk, 2005), menunjukkan bahwa histidin-bentonit mempunyai kinerja yang lebih

14

baik dalam mengadsorpsi pestisida diazinon dalam air minum dibandingkan dengan bentonit yang dimodifikasi dengan asam amino yang lain (triptofan, tirosin, fenilalanin dan metionin). Selain itu, kinerja histidinbentonit dalam mengadsorpsi diazinon, terbukti lebih baik dibanding Cabentonit tanpa modifikasi. Tirani (2006) telah mengkaji mekanisme adsorpsi diazinon oleh histidin-bentonit dan hasilnya menunjukkan bahwa adsorpsi diazinon pada adsorben histidin-bentonit tidak melibatkan mekanisme adsorpsi fisika (interaksi Van der Waals) melainkan melalui mekanisme adsorpsi kimia. Mekanisme adsorpsi yang terjadi yaitu melalui pertukaran kation, ikatan hidrogen antara diazinon dengan air yang teradsorpsi dalam lapisan outerlayer maupun interlayer, dan pembentukan ikatan kompleks dengan ion-ion logam yang terdapat dalam bentonit.

2.4

Endosulfan Pestisida adalah bahan kimia yang digunakan untuk mengendalikan

perkembangan atau pertumbuhan dari hama, penyakit dan gulma dalam bidang pertanian (Sofia, 2001). Pestisida berasal dari kata pest berarti hama dan cide berarti membunuh. Berdasarkan jenis senyawa aktifnya, pestisida dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu (1) organoklor, (2) organofosfat dan (3) organokarbamat. Penggunaan pestisida selain bermanfaat dalam meningkatkan produksi pertanian juga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Akumulasi residu pestisida tersebut mengakibatkan pencemaran lahan

15

lingkungan. Apabila masuk ke dalam rantai makanan, sifat racun dari pestisida dapat menimbulkan berbagai penyakit, seperti kanker, mutasi, bayi lahir cacat bahkan kematian. Sebagian besar bahan-bahan kimia pertanian yang disemprotkan jatuh ke tanah. Pestisida bergerak dari lahan pertanian menuju aliran sungai terbawa oleh hujan atau penguapan, atau terdapat pada lapisan tanah atau larut bersama dengan aliran air tanah. Kualitas air dapat dipengaruhi oleh keberadaan dan tingkat keracunan dari pestisida maka perlu adanya pengendalian dan pembatasan dari penggunaan pestisida tersebut. Endosulfan merupakan jenis insektisida organoklor. Nama kimianya yaitu 6, 7, 8, 9, 10, 10-heksakloro-1, 5, 5a, 6, 9, 9a-heksahidro-6, 9-metano-2, 4, 3benzodioksatiepin 3-oksida, sedangkan nama dagangnya adalah Akodan, Thiodan dan Thionex. Endosulfan berbentuk cairan berwarna kuning kecoklatan bening dan berbau menyengat. Karakteristik histidin ditunjukkan pada Tabel 2.6 dan struktur histidin disajikan pada Gambar 2.5. Tabel 2.3 Karakteristik Endosulfan Struktur molekul Massa molekul relatif Densitas Kelarutan dalam air Waktu paruh tanah (aerob) Waktu paruh tanah (anaerob) Ambang batas pada air C9H6Cl6O3S 406,95 g/mol 1,8 g/cm3 0.33 mg/L (suhu ruangan, pH 5) 31,5 hari 147,5 hari 0,02 g/L

(http://www.cdpr.ca.gov/docs/emon/pubs/tac/tacpdf/endosulfan/endosulfan_fate.pdf)

16

Gambar 2.5 Struktur Endosulfan Keracunan endosulfan dalam jangka pendek dapat menyebabkan gangguan kesehatan diantaranya pusing-pusing, berkeringat berlebih, sakit kepala, gemetar, kejang, penglihatan kabur, bahkan sampai hilang kesadaran. Sedangkan dampak jangka panjang dapat memicu timbulnya kanker, kerusakan hati, ginjal, paru-paru, mempengaruhi kesetimbangan ion-ion K dan Na dalam neuron (sel syaraf), merusak selubung syaraf dan menghambat bekerjanya enzim asetilkolinesterase (AchE) (WHO,2004).

2.5

Adsorpsi Adsorpsi adalah pengikatan suatu partikel (adsorbat) pada permukaan

adsorben dengan melibatkan interaksi baik secara fisika maupun kimia antara molekul adsorbat dengan adsorben. Berdasarkan jenisnya adsorpsi dibedakan menjadi dua yaitu adsorpsi secara fisika (physical adsorption) dan adsorpsi secara kimia (chemical adsorption). Adsorpsi fisika terjadi karena adanya gaya tarik menarik antara adsorben dan adsorbat melalui gaya Van der Waals yang lemah Adsorpsi fisika memiliki

17

energi adsorpsi sekitar 10 kJ/mol lebih rendah dari besar energi adsorpsi kimia (Khoerunnisa, 2005). Adsorpsi kimia terjadi karena adanya reaksi antara adsorben dan adsorbat melibatkan pembentukan senyawa kimia dengan gaya ikatan yang lebih kuat. Adsorpsi kimia memerlukan kalor adsorpsi yang lebih besar daripada adsorpsi fisika agar terjadi interaksi ikatan-ikatan kimia. Menurut Benefield (1984), proses adsorpsi berlangsung melalui tiga tahap. Langkah pertama, molekul/ion akan bergerak dari fasa cairnya/gas melewati lapisan pembatas dalam larutan mencapai permukaan adsorben. Selanjutnya molekul/ion akan mengalami difusi melewati pori-pori adsorben. Terakhir, molekul/ion akan terikat pada adsorben. Menurut Benefield (1984), faktor-faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi, antara lain: a. Luas permukaan adsorben Semakin luas permukaan adsorben maka semakin banyak adsorbat yang teradsorpsi sebab semakin banyak pula situs-situs aktif yang tersedia pada adsorben untuk kontak dengan adsorbat. Luas permukaan sebanding dengan jumlah situs aktif adsorben. b. Karakteristik adsorbat Senyawa yang mudah larut memiliki afinitas yang tinggi dengan pelarutnya sehingga lebih sulit untuk teradsorpsi daripada senyawa yang sukar larut.

18

c.

Ukuran molekul adsorbat Molekul yang besar akan lebih mudah teradsorpsi daripada molekul yang kecil. Tetapi, pada difusi pori molekul-molekul yang besar akan mengalami kesulitan untuk teradsorpsi akibat konfigurasi molekul yang tidak mendukung. Sehingga adanya batas ukuran molekul adsorpsi tertentu pada setiap adsorpsi.

d.

Konsentrasi adsorbat Konsentrasi adsorbat yang tinggi akan menghasilkan daya dorong (driving force) yang tinggi bagi molekul adsorbat untuk masuk ke dalam situs aktif adsorben.

e.

Suhu Karena adsorpsi merupakan proses kinetika maka pengaturan suhu akan mempengaruhi kecepatan proses adsorpsi.

f.

pH pH mempengaruhi terjadinya ionisasi ion hidrogen dan ion ini sangat kuat teradsorpsi. Asam organik lebih mudah teradsorpsi pada pH rendah sedangkan basa organik terjadi pada pH tinggi.

g.

Waktu pengadukan Waktu pengadukan yang relatif lama akan memberikan waktu kontak yang lebih lama terhadap adsorben untuk berinteraksi dengan adsorbat.

Anda mungkin juga menyukai