Anda di halaman 1dari 37

HUBUNGAN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DENGAN TONSILITIS KRONIS

Oleh : Sudhir Kumar Miranda Ashar 05120207 07923036

Preseptor : Dr. Novialdi Nukman , Sp. THT-KL

Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang 2012

KATA PENGANTAR
2

Puji dan syukur kami ucapkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga makalah yang berjudul Hubungan Otitis Media Supuratif Kronis dengan Tonsilitis Kronis ini dapat kami selesaikan. Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior di Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah banyak membantu penyusunan makalah ini, khususnya kepada Dr. Novialdi Nukman, Sp. THT-KL. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan dokter muda dan semua pihak yang banyak membantu dalam penyusunan makalah ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran sebagai masukan untuk perbaikan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat menambah wawasan, pengetahuan dan pemahaman semua pihak tentang Hubungan Otitis Media Supuratif Kronis dengan Tonsilitis Kronis. Padang, 23 Januari 2012

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................i Daftar Isi.............................................................................................................ii Daftar Tabel.............................................................................................iii Daftar Diagram........................................................................................iv BAB I PENDAHULUAN............................................................................1 1. 1 Latar Belakang...........................................................................1 1. 2 Tujuan Penulisan........................................................................2 1. 3 Batasan Masalah........................................................................2 1. 4 Metode Penulisan.......................................................................2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................3 2. 1 Otitis Media Supuratif Kronis.3 2.1.1Anatomi Telinga..........................................................3 2.1.2 Definisi......................................................................7 2.1.3 Epidemiologi..............................................................7 2.1.4 Etiologi......................................................................8 2.1.5 Klasifikasi..................................................................8 2.1.6 Patogenesis.................................................................9 2.1.7 Manifestasi Klinis.......................................................10 2.1.8 Diagnosis...................................................................11 2.1.9 Penatalaksanaan..........................................................12 2.1.10 Komplikasi...............................................................14

2. 2 Tonsilitis Kronis.........16 2.2.1 Anatomi Tonsil..................................................................16 2.2.2 Definisi.............................................................................18 2.2.3 Epidemiologi.....................................................................18 2.2.4 Etiologi dan Faktor Predisposisi..........................................18 2.2.5 Patofisiologi......................................................................19 2.2.6 Manifestasi Klinis..............................................................19 2.2.7 Diagnosis..........................................................................20 2.2.8 Penatalaksanaan.................................................................21 2.2.9 Komplikasi.......................................................................23 2.3 Hubungan Otitis Media Supuratif Kronis dengan Tonsilitis Kronis..31 BAB III PENUTUP......................................................................................37 3.1 Kesimpulan.......................................................................................37 DAFTAR PUSTAKA

Daftar Gambar Gambar 1. Anatomi Telinga...................................................................................................3 Gambar 2. Anatomi bagian-bagian Telinga...........................................................................5 Gambar 3. Organ Corti..........................................................................................................6 Gambar 4. Tonsil Palatina.....................................................................................................17 Gambar 5. Ukuran Tonsil......................................................................................................20 Gambar 6. Perjalanan infeksi akibat peradangan tonsil dan adenoid pada anak...36

Daftar Diagram Diagram 1. Patogenesis Terjadinya Otitis Media....................................................................9 Diagram 2. Tatalaksana Otitis Media Supuratif Kronis..........................................................12 Diagram 3. Algoritma 1...........................................................................................................13 Diagram 4. Algoritma 2...........................................................................................................14 Diagram 5. Tabel Tonsil and Adenoid Surgery34

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otitis media supuratif kronik ialah infeksi kronik di telinga tengah lebih dari 2 bulan dengan adanya perforasi membran timpani, sekret yang keluar dari telinga tengah dapat terus menerus atau hilang timbul. Sekret bisa encer atau kental, bening atau berupa nanah. Otitis media supuratif kronik (OMSK) didalam masyarakat Indonesia dikenal dengan istilah congek, teleran atau telinga berair. Kebanyakan penderita OMSK menganggap penyakit ini merupakan penyakit yang biasa yang nantinya akan sembuh sendiri. Penyakit ini pada umumnya tidak memberikan rasa sakit kecuali apabila sudah terjadi komplikasi. Biasanya komplikasi didapatkan pada penderita OMSK tipe maligna seperti labirinitis, meningitis, abses otak yang dapat menyebabkan kematian. Kadangkala suatu eksaserbasi akut oleh kuman yang virulen pada OMSK tipe benign pun dapat menyebabkan suatu komplikasi.1 Tonsilitis merupakan penyakit yang sangat umum terjadi terutama pada anak-anak. Tonsilitis terbagi : tonsilitis akut, tonsilitis membranosa, tonsilitis kronis. Tonsilitis Kronis merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil. Kelainan ini merupakan kelainan tersering pada anak di bidang THT. Untuk seluruh kasus, prevalensinya tertinggi setelah nasofaring akut, yaitu 3,8% dengan insidensi sekitar 6,75% dari jumlah seluruh kunjungan. Pada tonsilitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut tonsilitis kronis hipertrofi. Pada anak-anak, infeksi saluran napas atas sering diikuti oleh infeksi lokal pada adenoid. Infeksi ini pada awalnya hanya infeksi virus yang akan menjadi infeksi bakterial sekunder. Adenoiditis sering ditemukan bersamaan dengan tonsillitis. Adenoid paling sering ditemukan pada usia antara tiga dan tujuh tahun. Hiperplasia adenoid akan menyebabkan obstruksi nasal, suara hyponasal, rhinorrhoea, dan mendengkur. Inflamasi lokal akan mengakibatkan berkurangnya fungsi tuba eustachius.2 Hubungan adenoid dengan terjadinya otitis media masih dalam kontroversial. Namun, beberapa penelitian menemukan bahwa penanganan dari adenoid memegang peranan penting dalam diagnosis dan penanganan otitis media kronis pada anak-anak. Beberapa laporan menunjukkan bahwa adenoidektomi yang dilakukan tersendiri atau bersama-sama dengan miringotomi akan mengurangi insiden terjadinya otitis media dimasa yang akan datang.3
7

1.2. Batasan Masalah Makalah ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi, patologi, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, dan komplikasi otitis media supuratif kronis, tonsillitis kronis, serta hubungan otitis media supuratif kronis dengan tonsillitis kronis. 1.3. Tujuan Penulisan Makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, patologi, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanan, komplikasi otitis media supuratif kronis, tonsillitis kronis, serta hubungan otitis media supuratif kronis dengan tonsillitis kronis. 1.4. Metode Penulisan Metode yang dipakai dalam penulisan makalah ini berupa tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai literatur dan makalah ilmiah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Otitis Media Supuratif Kronik 2.1.1 Anatomi Telinga

Gambar 1. Anatomi Telinga4 2.1.1 Telinga Luar Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2 1/2 3 cm. Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.5 Telinga luar atau pinna merupakan gabungan dari rawan yang diliputi kulit. Kulit dapat terlepas dari rawan di bawahnya oleh hematom atau pus, dan rawan yang nekrosis dapat menimbulkan deformitas kosmetik pada pinna (telinga kembang kol). Sering kali ada penyempitan liang telinga pada perbatasan tulang dan rawan. Sendi temporomandibularis dan kelenjar parotis terletak di depan terhadap liang telinga sementara prosesus mastoideus terletak di belakangnya.6 Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaksida (membran Shrapnell). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas.
9

Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler pada bagian dalam.5 Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light) ke arah bawah yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5 untuk membran timpani kanan. Reflek cahaya ialah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh membran timpani. Di membran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya refleks cahaya yang berupa kerucut itu. Secara klinis reflek cahaya ini dinilai, misalnya bila letak reflek cahaya mendatar, berarti terdapat gangguan pada tuba eustachius. Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga didapatkan bagian atas-depan, atasbelakang, bawah-depan serta bawah-belakang, untuk menyatakan letak perforasi membran timpani.5 2.1.2 Telinga Tengah Telinga tengah berbentuk kubus dengan :5 Batas luar Batas depan Batas bawah Batas belakang Batas atas Batas dalam : Membran timpani : Tuba eustachius : Vena Jugularis (bulbus jugularis) : Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis : Tegmen timpani (meningen/otak) : Berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis

horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan promontorium. Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus dan stapes. Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan persendian. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid.6 Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah. Telinga tengah yang terisi udara dapat dibayangkan sebagai suatu kotak dengan enam sisi. Dinding superior telinga tengah berbatasan dengan
10

lantai fosa kranii. Pada bagian atas dinding posterior terdapat aditus ad antrum tulang mastoid dan di bawahnya adalah saraf fasialis.6 Dasar telinga tengah adalah atap bulbus jugularis yang di sebelah superolateral menjadi sinus sigmodeus dan lebih ke tengah menjadi sinus transversus. Keduanya adalah aliran vena utama rongga tengkorak. Bagian bawah dinding anterior adalah kanalis karotikus. Dinding lateral dari telinga tengah adalah dinding tulang epitimpanum di bagian atas, membrana timpani dan dinding tulang hipotimpanum di bagian bawah. Bangunan yang paling menonjol pada dinding medial adalah promontorium yang menutup lingkaran koklea yang pertama. Saraf timpanikus berjalan melintas promontorium ini.6 Rongga mastoid berbentuk seperti pyramid. Atap mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial adalah dinding lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoideus terletak di bawah dura mater pada daerah ini. Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum. Tonjolan kanalis semisirkularis lateralis menonjol ke dalam antrum. Dinding lateral mastoid adalah tulang subkutan yang dengan mudah dapat dipalpasi diposterior aurikula.6

Gambar 2. Anatomi Bagian Telinga7 2.1.3 Telinga Dalam Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibule sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah
11

dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membrane vestibuli (Reissners membrane) sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ Corti.5 Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membrane tektoria dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ Corti. Labirin membran dikelilingi oleh cairan perilimfe (tinggi natrium, rendah kalium) yang terdapat dalam kapsula otika bertulang. Labirin tulang memiliki dua membrane bagian vestibular dan bagian koklear. Bagian vestibularis (pars superior) berhubungan dengan keseimbangan, sementara bagian koklearis (pars inferior) organpendengaran kita.6 Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua dan satu-setengah putaran. Aksis dari spiral tersebut dikenal sebagai modiolus, berisi berkas saraf dan suplai arteri dari arteri vertabralis. Rongga koklea bertulang dibagi menjadi tiga bagian oleh duktus koklearis yang panjangnya 35 mm dan berisi endolimfe. Bagian atas adalah skala vertibuli, berisi perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh membrana Reissner yang tipis. Bagian bawah adalah skala timpani yang juga mengandung perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh lamina spiralis oseus dan membrana basilaris. Perilimfe pada kedua skala berhubungan pada apeks koklea spiralis tepat setelah ujung buntu duktus koklearis melalui suatu celah yang dikenal sebagai helikotrema. Membrana basilaris sempit pada basisnya (nada tinggi) dan melebar pada apeks (nada rendah).6

12

Gambar 2. Organ Corti5 2.1.2 Definisi Otitis Media Supuratif Kronik merupakan infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah lebih dari dua bulan, baik terus-menerus atau hilang timbul. Sekret dapat encer atau kental, bening atau berupa nanah.5 2.1.3 Epidemiologi Insiden OMSK ini bervariasi pada setiap negara. Secara umum, insiden OMSK dipengaruhi oleh ras dan faktor sosioekonomi. OMSK lebih sering dijumpai pada orang Eskimo dan Indian Amerika, anak-anak aborigin Australia dan orang kulit hitam di Afrika Selatan. Walaupun demikian, lebih dari 90% beban dunia akibat OMSK ini dipikul oleh negara-negara di Asia Tenggara, daerah Pasifik Barat, Afrika, dan beberapa daerah minoritas di Pasifik. Kehidupan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan kumuh dan status kesehatan serta gizi yang jelek merupakan faktor yang menjadi dasar untuk meningkatnya prevalensi OMSK pada negara yang sedang berkembang.8
13

Survei prevalensi di seluruh dunia, yang walaupun masih bervariasi dalam hal defenisi penyakit, metode sampling serta mutu metodologi, menunjukkan beban dunia akibat OMSK melibatkan 65330 juta orang dengan telinga berair, 60% di antaranya (39200 juta) menderita kurang pendengaran yang signifikan. Secara umum, prevalensi OMSK di Indonesia adalah 3,8% dan pasien OMSK merupakan 25% dari pasien-pasien yang berobat di poliklinik THT rumah sakit di Indonesia.8 Kematian umumnya disebabkan oleh komplikasi intrakranial, tetapi sebenarnya OMSK sendiri bukan merupakan penyakit yang fatal. Prevalensi kasus OMSK pada pria dan wanita adalah sama. Meskipun kejadian menurut prevalensi umur belum diketahui tetapi beberapa studi memperkirakan insiden OMSK dari 39 kasus per 100.000 individu pada anak dan remaja umur 15 tahun atau lebih muda.9 2.1.4 Etiologi Sebagian besar OMSK merupakan kelanjutan dari OMA dan sebagian kecil disebabkan oleh perforasi membran timpani akibat trauma telinga.8 Beberapa faktor yang meyebabkan OMA menjadi OMSK ialah:5 1. Terapi yang terlambat diberikan 2. Terapi yang tidak adekuat 3. Virulensi kuman tinggi
4. Daya tahan tubuh pasien rendah (gizi kurang) 5. Higiene buruk

Kuman penyebab biasanya kuman gram positif aerob, pada infeksi yang sudah berlangsung lama sering juga terdapat kuman gram negatif dan kuman anaerob.9 2.1.5 Klasifikasi OMSK dapat dibagi atas dua jenis, yaitu:5
1. OMSK tipe aman (tipe mukosa=tipe benigna) yaitu terbatas pada mukosa saja dan

tidak mengenai tulang. Pada tipe ini tidak ditemukan adanya kolesteatom dan jarang menimbulkan komplikasi. Letak perforasi OMSK tipe aman ini adalah di sentral.
2. OMSK tipe bahaya (tipe tulang = tipe maligna) yaitu sudah mengenai tulang dan

terdapat kolesteatom. Perforasi OMSK tipe bahaya ini letaknya marginal atau atik. Sebagian besar komplikasi yang fatal dapat timbul pada OMSK tipe bahaya ini. Berdasarkan aktivitas sekret yang keluar dibagi 2, yaitu :5
14

1. OMSK aktif OMSK dengan sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif
2. OMSK tenang

Keadaan kavum timpaninya terlihat basah atau kering 2.1.6 Patogenesis Patogensis OMSK belum diketahui secara lengkap, tetapi dalam hal ini merupakan stadium kronis dari otitis media akut (OMA) dengan perforasi yang sudah terbentuk diikuti dengan keluarnya sekret yang terus menerus.5

Gambar 3. Patogenesis Terjadinya Otitis Media5 Otitis media kronis merupakan suatu penyakit yang berjalan secara perlahan dan penderita biasanya menderita penyakit ini dalam jangka waktu yang lama. Kasus-kasus otitis media memperlihatkan stadium yang berbeda-beda dalam perjalanan infeksinya, inflamasi mukosa, granulasi jaringan dan fibrosis. Perubahan yang lanjut akan menyebabkan terjadi erosi tulang, timpanosklerosis, dan granuloma kolesterol. Disfungsi pada kedua tuba eustachius dan terjadinya pneumatisasi mastoid sangat memegang peranan penting dalam perjalanan penyakit otitis media kronis.10

15

Otitis Media Supuratif Kronis tipe maligna biasanya disertai dengan kolesteatom. Kolesteatom adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin). Kolesteatom dapat dibagi atas dua jenis :5 1. Kolesteatom kongenital Terbentuk pada masa embrionik dan ditemukan pada telinga dengan membran timpani utuh tanpa tanda-tanda infeksi. Lokasi kolesteatom biasanya di kavum timpani, daerah petrosus mastoid atau di cerebellopontin angle. 2. Kolesteatom akuisital Terbentuk setelah anak lahir, jenis ini terbagi atas dua :5 a. Kolesteatom akuisital primer Kolesteatom yang terbentuk tanpa didahului oleh perforasi membran timpani. Kolesteatom timbul akibat terjadi akibat proses invaginasi dari membran timpani pars flaksida karena adanya tekanan negatif di telinga tengah akibat gangguan tuba ( teori invaginasi). b. Kolesteatom akuisital sekunder Kolesteatom terbentuk setelah adanya perforasi membran timpani. Kolesteatom terbentuk sebagai akibat dari masuknya epitel kulit dari liang telinga atau atau dari pinggir perforasi membran timpani ke telinga tengah (teori migrasi) atau terjadi akibat metaplasi mukosa kavum timpani karena irigasi infeksi yang berlangsung lama (teori metaplasi). Teori implantasi dikatakan bahwa kolesteatom terjadi akibat implantasi epitel kulit secara iatrogenik ke dalam telinga tengah sewaktu operasi,setelah blust injury, pemasangan pipa ventilasi atau setelah miringotomi. 2.1.7 Manifestasi Klinis 1. Telinga berair (otore) Sekret dapat bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan encer). Pada OMSK tipe jinak stadium aktif, cairan yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk dan hilang timbul. Sekret yang sangat bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan produk degenerasinya. Dapat terlihat keping-keping kecil, berwarna putih, mengkilap. Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang mendasarinya.1 2. Gangguan pendengaran
16

Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran. Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran.1 3. Otalgia (nyeri telinga) Bila ada nyeri merupakan suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak.1 4. Vertigo Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada penderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum.1 2.1.8 Diagnosis
1. Pemeriksaan audiometri

Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli konduktif. Tapi dapat pula dijumpai adanya tuli sensorineural, beratnya ketulian tergantung besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem penghantaran suara ditelinga tengah.11 Dalam menghitung derajat ketulian, yang dihitung hanya ambang dengar hantaran udaranya (AC) saja.Derajat ketulian menurut International Standard Organization (ISO) :5

Normal Tuli ringan Tuli sedang Tuli berat

: 0-25 dB : > 25-40 dB : > 40-55 dB : > 70-90 dB

Tuli sedang berat : > 55-70 dB Tuli sangat berat : > 90 dB

1. Pemeriksaan radiologi

17

Pemerikasaan radiologi biasanya mengungkapkan mastoid yang tampak sklerotik, lebih kecil dengan pneumatisasi lebih sedikit dibandingkan mastoid yang satunya atau yang normal. Erosi tulang, terutama pada daerah atik memberi kesan kolesteatom. Proyeksi radiografi yang sekarang biasa digunakan adalah :11 a. Proyeksi Schuller Memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dari arah lateral dan atas. Foto ini berguna untuk pembedahan karena memperlihatkan posisi sinus lateral dan tegmen. Pada keadaan mastoid yang skleritik, gambaran radiografi ini sangat membantu ahli bedah untuk menghindari dura atau sinus lateral.11 b. Proyeksi Mayer atau Owen Diambil dari arah anterior telinga tengah. Akan tampak gambaran tulang-tulang pendengaran dan atik sehingga dapat diketahui apakah kerusakan tulang telah mengenai struktur-struktur disekitarnya.11 c. Proyeksi Stenver Memperlihatkan gambaran sepanjang piramid petrosus dan yang lebih jelas memperlihatkan kanalis auditorius interna, vestibulum dan kanalis semisirkularis. Proyeksi ini menempatkan antrum dalam potongan melintang sehingga dapat menunjukan adanya pembesaran akibat kolesteatom.11 d. Proyeksi Chause III Memberi gambaran atik secara longitudinal sehingga dapat memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral atik.11
1. Kultur dan uji resistensi kuman dari sekret telinga

Bakteri yang sering dijumpai pada OMSK adalah Pseudomonas aeruginosa, Stafilokokus aureus dan Proteus. Bakteri lain yang dijumpai pada OMSK, yaitu E. Coli, Difteroid, Klebsiella, dan bakterianaerob seperti Bacteriodes sp.11 2.1.9 Penatalaksanaan Prinsip terapi OMSK tipe aman ialah konservatif atau dengan medikamentosa. Bila sekret yang keluar terus-menerus, maka diberikan obat pencuci telinga, berupa larutan H2O2 3% selama 3-5 hari. Setelah sekret berkurang, maka terapi dilanjutkan dengan memberikan obat tetes telinga yang mengandung antibiotika dan kortikosteroid. Bila sekret telah kering, tetetapi perforasi masih ada setelah diobservasi selama 2 bulan, maka idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti.5 Prinsip terapi OMSK tipe bahaya ialah pembedahan, yaitu mastoidektomi. Jadi, bila terdapat OMSK tipe bahaya, maka terapi yang tepat ialah dengan melakukan mastoidektomi
18

dengan atau tanpa timpanoplasti. Terapi konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal retroaurikuler, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum mastoidektomi.5 Pedoman Tatalaksanan otitis media supuratif kronik :
Otorea Kronis

Otoskopi

MT Utuh

MT Perforasi

Otitis Eksterna Difusa Otomikosis Dermatitis/Eksim Otitis Eksterna Maligna Miringitis Granulomatosa

OMSK Onset,progresifitas, predisposisi Fokus Infeksi Riwayat Pengobatan Komplikasi (+) Cari gejala/tanda

Komplikasi (-)

Kolesteatom (-) OMSK Benigna

Komplikasi (+) OMSK Bahaya

Lihat Algoritma 1

Lihat Algoritma

Diagram 1. Tatalaksana OMSK5

Kolesteatom (-) OMSK Benigna

Komplikasi (+) OMSK Bahaya

19

OMSK Tenang

OMSK Bahaya

Stimulasi Epitelisasi Tepi Perforasi

Cuci Telinga Antibiotik Sistemik Lini IAmoksisilin/sesuai kuman penyebab

Perforasi Menutup Tuli Konduktif?

Perforasi Menetap

Otorea Menetap > 1 minggu

Tidak Sembuh Tuli Konduktif (+) RO.Mastoid (Schuller) X-Ray Audigram

Antibiotik Berdasarkan Pem. Bakteriologik

Otorea Menetap > 3 bulan

Ideal : Timpanoplasti tanpa/dengan mastoidektomi

Ideal : Mastoidektomi + Timpanoplastui

Pilihan : Atikotomi Anterior Timpanoplasti Dinding Utuh Timpanoplasti Dinding Runtuh Atikoantroplasti

Diagram 2. Algoritma 15
OMSK + Komplikasi

Komplikasi Intratemporal 20

Komplikasi Ekstratemporal

Abses Subperiosteal Labirintitis Paresis Fasial Petrositis

Abses Ekstradura Abses Perisinus Tromboflebitis Sinus Lateral Meningitis Abses Otak

Antibiotik Dosis Tinggi Mastoidektomi Dekompresi N.VII Petrosektomi

Rawat Inap Periksa Sekret Telinga Antibiotik IV Dosis Tinggi 7-15 hari Konsul sSpesialis Saraf/Saraf Anak Mastoidektomi Anestesi Lokal/Umum Operasi Bedah Saraf

Diagram 3. Algoritma 25 2.1.10 Komplikasi Beberapa penulis mengemukakan klasifikasi kompliksai otitis media yang berlainan, tetetapi dasarnya tetap sama. Adam dkk (1989) mengemukakan klasifikasi sebagai berikut:5 A. Komplikasi di telinga tengah : 1. Perforasi membran timpani persisten 2. Erosi tulang pendengaran 3. Paralisis nervus fasialis B. Komplikasi di telinga dalam 1. Fistula labirin Otitis media supuratif kronis terutama yang dengan kolesteatom dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada bagian vestibuler labirin, sehingga terbentuk fistula. Pada keadaan ini infeksi dapat masuk, sehingga terjadi labirinitis dan akhirnya akan terjadi komplikasi tuli total atau meningitis. Pemeriksaan radiologik CT scan yang baik kadang-kadang dapat memperlihatkan fistula labirin, yang biasanya ditemukan di kanalis semisirkularis horizontal. Pada
21

fistula labirin, operasi harus segera dilakukan untuk menghilangkan infeksi dan menutup fistula sehingga fungsi telinga dalam dapat dipulihkan kembali. Tindakan bedah harus adekuat untuk mengontrol penyakit primer. Matriks kolesteatom dan jaringan granulasi harus diangkat dari fistula sampai bersih dan daerah tersebut harus segera ditutup dengan jaringan ikat atau sekeping tulang/ tulang rawan. 2. Labirinitis Labirinitis terjadi oleh karena penyebaran infeksi di ruang perilimfa. Terdapat dua bentuk labirinitis yaitu labirinitis serosa dan supuratif. Pada kedua bentuk labirinitis ini operasi harus segera dilakukan untuk menghilangkan infeksi dari telinga tengah. Kadang-kadang diperlukan drainase nanah dari labirin untuk mencegah terjadinya meningitis. Pemberian antibiotik yang adekuat terutama ditujukan kepada pengobatan otitis media kronik dengan / tanpa kolesteatom. 3. Tuli saraf ( sensorineural) C. Komplikasi ekstradural: 1. Abses ekstradural Yaitu terkumpulnya nanah antara duramater dan tulang, hal ini berhubungan dengan jaringan granulasi dan kolesteatoma yang menyebabkan erosi tegmen timpani atau mastoid. Gejala berupa nyeri telinga hebat dan nyeri kepala. Rontgen mastoid posisi Schuller, tampak kerusakan tembusnya lempeng tegmen. Sering terlihat waktu operasi mastoidektomi. 2. Trombosis sinus lateralis Akibat infeksi ke sinus sigmoid ketika melewati os mastoid. Hal ini jarang terjadi. Gejalanya berupa demam yang awalnya naik turun lalu menjadi berat yang disertai menggigil (sepsis). Nyerinya tidak jelas kecuali terjadi abses perisinus. Kultur darah positif terutama saat demam. Pengobatan dengan bedah, buang sumber infeksi os mastoid, buang tulang/dinding sinus yang nekrotik. Jika terbentuk trombus lakukan drainase sinus dan dikeluarkan. Sebelumnya diligasi vena jugulare interna untuk cegah trombus ke paru dan tempat lain. 3. Petrositis Penyebaran infeksi telinga tengah ke apeks os petrosum yang langsung ke sel-sel udara. Keluhannya antara lain diplopia (n.VI), nyeri daerah parietal, temporal, dan oksipital (n.V), otore persisten. Dikenal dengan sindrom Gradenigo. Keluhan lain keluarnya nanah yang terus menerus dan nyeri yang menetap paska mastoidektomi.

22

Pengobatannya operasi (ekspolorasi sel-sel udara os petrosum dan jaringan patogen) serta antibiotika. D. Komplikasi ke susunan saraf pusat: 1. Meningitis 2. Abses Otak Ditemukan di serebelum, fossa cranial posterior/ lobus temporal, atau fossa cranial media. Berhubungan dengan tromboflebitis sinus lateralis, petrositis atau meningitis. Biasanya merupakan perluasan langsung dari infeksi telinga dan mastoid atau tromboflebitis. Umumnya didahului abses ekstradural. Gejala abses serebelum berupa ataksia, disdiadokokinetis, tremor intensif dan tidak tepat menunjuk suatu objek. Abses lobus temporal berupa afasia, gejala toksisitas (nyeri kepala, demam, muntah, letargik). Tanda abses otak nadi lambat, kejang. Pada LCS protein meninggi dan kenaikan tekanan liquor. Terdapat edema papil. Lokasi abses ditentukan dengan angiografi, ventrikulografi atau tomografi computer. Pengobatan antibiotika parenteral dosis tinggi dan drainase lesi. Setelah keadaan umum baik, dilakukan mastoidektomi. 3. Hidrosefalus Otitis Hal ini disebabkan tertekannya sinus lateralis sehingga lapisan arakhnoid gagal mengabsorbsi LCS. Ditandai dengan peninggian tekanan LCS yang hebat tanpa kelainan kimiawi. Pada pemeriksaan terdapat edema papil. Gejala berupa nyeri kepala menetap, diplopia, pandangan kabur, mual dan muntah. 2.2 Tonsilitis Kronis 2.2.1 Tonsil Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual.5 a. Tonsil Palatina Tonsil palatina atau yang biasa disebut tonsil saja adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring.5 Dibatasi oleh:
23

Lateral muskulus konstriktor faring superior Anterior muskulus palatoglosus Posterior muskulus palatofaringeus Superior palatum mole Inferior tonsil lingual Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu arteri

maksilaris eksterna (arteri fasialis), arteri maksilaris interna, arteri lingualis, dan arteri faringeal asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah, dan pleksus faringeal.11

Gambar 4. Tonsil Palatina6 a. Tonsil Faringeal (Adenoid) Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.6 b. Tonsil Lingual Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.

24

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B kirakira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif serta sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.11 d. Tonsil Tuba Eustachius Terletak pada bagian lateral nasofaring disekitar ostium tuba auditiva.11 2.2.2 Definisi Tonsilitis merupakan peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Tonsilitis Kronis merupakan keradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil.5,11 2.2.3 Epidemiologi Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering menderita ISPA atau karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau dibiarkan. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut (4,6%) yaitu sebesar 3,8%. Insiden tonsilitis kronik di RS Dr. Kariadi Semarang 23,36% dan 47% diantaranya pada usia 6-15 tahun . Sedangkan di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada periode April 1997 sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien tonsilitis kronik atau 6,75% dari seluruh jumlah kunjungan.12 2.2.4 Etiologi dan Faktor Predisposisi Bakteri penyebab tonsilitis kronis sama halnya dengan tonsilitis akut yaitu kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A, Pneumokokus, Streptokokus viridian dan Streptokokus piogenes, Stafilokokus, Hemophilus influenza, namun terkadang ditemukan bakteri golongan gram negatif.5 Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian tonsilitis kronis, yaitu :5 1. Rangsangan kronis (rokok, makanan) 2. Higiene mulut yang buruk 3. Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah) 4. Alergi (iritasi kronis dari alergen)
25

5. Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik) 6. Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. 2.2.5 Patologi Kuman penyebab tonsillitis akan menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas.13 Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripti tonsil .Karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripti akan melebar, ruang antara kelompok melebar yang akan diisi oleh detritus (akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat berwarna kekuning-kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak-anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar submandibula.13 2.2.6 Manifestasi Klinis Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Rasa ada yang mengganjal di tenggorok, dirasakan kering di tenggorok dan nafas berbau.5

26

Gambar 5. Ukuran Tonsil Normal 7 Ukuran tonsil dibagi menjadi : 11 T0 T1 T2 T3 T4 : Post tonsilektomi : Tonsil masih terbatas dalam fossa tonsilaris : Sudah melewati pilar anterior, tapi belum melewati garis paramedian (pilar posterior) : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median : Sudah melewati garis median

2.2.7 Diagnosis 1. Anamnesis Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher.5 2. Pemeriksaan Fisik Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut. Sebagian kripta mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat diperlihatkan dari kriptakripta tersebut. Pada beberapa kasus, kripta membesar, dan suatu bahan seperti keju atau dempul amat banyak terlihat pada kripta. Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis yang mungkin tampak, yakni :6
27

a. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan

sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau seperti keju.
b. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti

terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripti yang melebar dan ditutupi eksudat yang purulen. 1. Pemeriksaan Penunjang Biakan tonsil biasanya menunjukkan beberapa organisme yang virulensinya relatif rendah, dan pada kenyataanya jarang menunjukkan streptokokus beta hemolitikus. Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan apus tonsil. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan berbagai derajat keganasan, seperti Streptokokus beta hemolitikus grup A, Streptokokus viridans, Stafilokokus, atau Pneumokokus.12 2.2.8 Penatalaksanaan 1. Terapi Medikamentosa Penatalaksanaan medis termasuk pemberian antibiotika penisilin yang lama, irigasi tenggorokan sehari-hari dan usaha untuk membersihkan kripta tonsilaris dengan alat irigasi gigi (oral). Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dengan infeksi kronis atau berulang-ulang.6 2. Tindakan Operatif Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan pengangkatan tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana penatalaksanaan medis atau yang lebih konservatif gagal untuk meringankan gejala-gejala. Indikasi tonsilektomi dibagi 2 :6 a. Indikasi absolut Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan nafas yang kronis Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat badan penyerta Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma) Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya a. Indikasi relatif

28

Serangan tonsilitis berulang yang tercatat (walaupun telah diberikan penatalaksanaan medis yang adekuat) Tonsilitis yang berhubungan dengan biakan streptokokus menetap dan patogenik Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional (misalnya, menelan) Hiperplasia dan obstruksi yang menetap enam bulan setelah infeksi mononukleosis (biasanya pada dewasa muda) Riwayat demam rematik dengan kerusakan jantung yang berhubungan dengan tonsilitis rekuren kronis dan pengendalian antibiotik yang buruk

Radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respon terhadap penatalaksanaan medis Hipertrofi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan abnormalitas orofasial dan gigi geligi yang menyempitkan jalan nafas bagian atas Tonsilitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan adenopati servikal persisten

Kontraindikasi tonsilektomi :6 Infeksi pernafasan bagian atas yang berulang Infeksi sistemik atau kronis Demam yang tidak diketahui penyebabnya Pembesaran tonsil tanpa gejala-gejala obstruksi Rinitis alergika Asma Ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh Tonus otot yang lemah Sinusitis

Komplikasi tonsilektomi : 14 1. Komplikasi anestesi Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Komplikasi yang dapat ditemukan berupa : a. Laringospasme b. Gelisah pasca operasi c. Mual muntah d. Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi

29

e. Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti jantung f. Hipersensitif terhadap obat anestesi 1. Komplikasi Bedah a. Perdarahan Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus). Perdarahan dapat terjadi selama operasi,segera sesudah operasi atau dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35. 000 pasien. sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.11 b. Nyeri Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.11 c. Komplikasi lain Demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan pneumonia.11

2.2.9 Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi : 11 1. Abses peritonsil Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang. Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses. 2. Abses parafaring Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga menonjol kearah medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal. 3. Abses intratonsilar

30

Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian antibiotika dan drainase abses jika diperlukan; selanjutnya dilakukan tonsilektomi. 4. Tonsilolith (kalkulus tonsil) Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh sisasisa dari debris. Garam kalsium dan magnesium inorganik yang tersimpan memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak nyaman. Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan. 2.3 Hubungan Otitis Media Supuratif Kronis dengan Tonsilitis Kronis Pada anak-anak, infeksi saluran napas atas sering diikuti oleh infeksi lokal pada adenoid. Infeksi ini pada awalnya hanya infeksi virus yang akan menjadi infeksi bakterial sekunder. Adenoiditis sering ditemukan bersamaan dengan tonsillitis. Adenoid paling sering ditemukan pada usia antara tiga dan tujuh tahun. Hiperplasia adenoid akan menyebabkan obstruksi nasal, suara hyponasal, rhinorrhoea, dan mendengkur. Inflamasi lokal akan mengurangi fungsi tuba eustachius dan membuat anak lebih sering mengalami otitis media efusi atau glue ear. Terapi yang paling penting adalah mengatasi infeksi saluran napas atas pada fase akut dan adenoidektomi dengan atau tanpa insersi grommet atau tonsilektomi pada kasus yang berulang.2 Hubungan adenoid dengan terjadinya otitis media masih dalam kontroversial. Namun, beberapa penelitian menemukan bahwa penanganan dari adenoid memegang peranan penting dalam diagnosis dan penanganan otitis media kronis pada anak-anak. Beberapa laporan menyebutkan bahwa operasi adenoidektomi atau kombinasi dengan pemasangan saluran pada miringotomi mungkin dapat mengurangi insiden episode otitis media dan kemungkinan pengurangan pentingnya pemasangan saluran ventilasi pada masa yang akan datang. Gates dan koleganya secara acak meneliti 578 anak dengan usia antara empat dan delapan tahun yang dibagi dalam empat kelompok dengan penatalaksanaan; kelompok 1 dilakukan miringotomi bilateral tanpa pemasangan saluran ventilasi; kelompok 2 dilakukan pemasangan saluran ventilasi; kelompok 3 dilakukan adenoidektomi; dan kelompok 4 dilakukan adenoidektomi dan pemasangan saluran ventilasi. Mereka menyatakan bahwa pasien yang menjalani operasi adenoidektomi dengan miringotomi bilateral mengalami penurunan
31

morbiditas setelah dilakukan tindakan, yang dinilai dengan kehilangan fungsi pendengaram sekunder akibat otitis media efusi dan beberapa komplikasi dari pemasangan saluran ventilasi.3 Schilder dkk melaporkan korelasi yang signifikan antara tonsillitis dan otitis media pada anak yang sama. Penelitian yang sama menyatakan bahwa flu adalah penyakit saluran napas atas dan gejala morbiditas yang menyertainya seperti tonsilitis dan otitis media, tergantung pada kecenderungan yang ada pada anak. Kecenderungan tersebut bisa berasal dari genetik atau lingkungan. Untuk otitis media, kecenderungan genetik aditif substansial telah dilaporkan. Berbeda dengan efek genetik dilaporkan untuk otitis media, faktor keturunan tonsilitis terdiri dari efek aditif dan dominasi genetik. Hal ini menunjukkan perbedaan dalam setidaknya sebagian dari kecenderungan untuk otitis media dan tonsilitis.13 Otitis media serosa mempengaruhi sebanyak 20% dari anak usia sekolah. Penyebabnya masih sulit dipahami dan yang paling mungkin multifaktorial. Jelas, pada beberapa pasien, otitis media serosa berkembang karena obstruksi adenoidal dari tuba Eustachius di pintu masuk ke dalam nasofaring. Pasien-pasien ini mungkin akan mendapatkan keuntungan dengan operasi pengangkatan adenoid. Belum ada penelitian untuk mengetahui apa persentase pasien dengan otitis media serosa kronis terkait dengan gangguan pendengaran konduktif atau retraksi dari membran timpani telah mereka tuba Estachius terhalang oleh jaringan adenoidal. Oleh karena itu, pasien dengan otitis media berat dan adenoid yang besar harus dipertimbangkan untuk adenoidektomi - biasanya dilakukan pada saat miringotomi dan penyisipan tabung ventilasi. Adenoid yang besar sangat biasanya ditemukan pada pasien yang mengalami obstruksi hidung. Namun, sekali lagi, ini merupakan keputusan filosofis yang harus diputuskan bersama oleh dokter yang merawat dan pasien atau orang tua pasien. Demikian pula, jika pasien memiliki tonsil yang membesar, ini dapat mengkompresi bagian inferior tuba Estachius, dan tonsilektomi harus dipertimbangkan, terutama jika pasien memiliki riwayat tonsilitis berulang, dan jika tonsilitis berulang predisposisi infeksi telinga.14

32

Tonsil and Adenoid Surgery

I.

Indicators (one of the following) A. Obstruction of airway not associated with other conditions 1. Tonsillectomy and/or adenoidectomy a. Suspected tonsil or adenoid hypertrophy with obstruction b. Sleep apnea and/or severe sleep disturbances c. Corpulmonale-not solely attributed to other causes

d. Failure to thrive-not solely attributed to other causes e. Obligate mouth breathing-not solely attributed to other causes f. Eating or swallowing disorders-not solely attributed to other causes g. Speech abnormalities-not solely attributed to other causes 2. Chronic otitis media with effusion (secretory otitis media) persisting after adequate medical therapy 3. Recurrent otitis media persisting after adequate medical therapy 4. Chronic or recurrent purulent nasopharyngitis persistent after adequate medical and/or immunotherapy 5. Recurrent or chronic otitis media with perforation and recurrent otorrhea complicated by suspected nasopharyngeal obstruction and/or nasopharyngitis persisting after adequate medical therapy 6. Suspected adenoid hypertrophy B. Obstruction of upper airway associated with other causes 1. Tonsillectomy and/or adenoidectomy a. Suspected orofacial anatomic abnormalities resulting in narrow upper airway b. Dental growth abnormalities c. Cardiac disease exacerbated by the upper airway obstruction

d. Chronic otitis media C. Infection

33

Dari tabel di atas, indikasi untuk tonsilektomi dan adenoidektomi adalah penting pada pasien dengan penyakit otitis media kronik setelah didapati tidak sembuh dengan pengobatan yang adekuat, maka disarankan ke pasien lebih baik diangkat tonsil dan adenoidnya. Biasanya sejalan dengan tonsilitis kronik, adenoid juga meradang dan ini akan menyebabkan obstruksi nasofaring dan setelah sekian waktu akan terjadi otitis media kronis dengan perforasi membran timpani disertai dengan otorrhea yang berulang. Sebaiknya untuk mengurangi infeksi untuk memasuki tuba Eustachius dan menyebabkan infeksi pada bagian telinga tengah, tonsil dan adenoid yang terinfeksi itu diangkat baru di ulangi lagi pengobatan terhadap otitis media kronis pada pasien.15

Gambar 6. Perjalanan infeksi akibat peradangan tonsil dan adenoid pada anak16

34

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Otitis media supuratif kronik (OMSK) ialah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah lebih dari dua bulan, baik terus-menerus atau hilang timbul. OMSK dapat dibagi atas dua jenis, yaitu OMSK tipe aman (tipe mukosa = tipe benigna) dan OMSK tipe bahaya (tipe tulang = tipe maligna). Tonsilitis merupakan peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Tonsilitis kronis merupakan keradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil. Walaupun secara tidak langsung kedua-dua penyakit ini tidak ada korelasi yang kukuh dari segi statistik penelitian, tetapi dari segi klinis bisa dikatakan kedua penyakit ini saling terkait. Ini bisa dilihat dari segi anatomisnya di mana muara tuba Eustachius adalah berdekatan dengan tonsil dan adenoid yang seandainya meradang akan menyebabkan infeksi berulang pada daerah tersebut dan oleh sebab tekanan negatif di dalam tuba Eustachius, penyebab infeksi seperti bakteri atau virus bisa naik ke arah telinga tengah dan kemudiannya terjadi infeksi pada bagian telinga tengah yaitu otitis media. Biasanya otitis media dalam keadaan tipe benigna bisa diberi pengobatan untuk mengurangi gejala dan menyembuh pasien, akan tetapi bila terjadi rekurensi yang sering harus diperhatikan bahwa mungkin penyebabnya di tonsil yang juga bisa berulang. Untuk
35

memperoleh hasil penyembuhan yang baik, seandainya telah ditegakkan bahwa penyebab infeksi di telinga pasien sama dengan di ruang nasofaring i.e di tonsil, sebaiknya, tonsil (dan kalau butuh, adenoid juga) diangkat sebelum melanjutkan pengobatan seterusnya untuk otitis media. Ini karena komplikasi dari otitis media tersebut bisa ringan dan juga berat. Apabila komplikasinya yang berat, seperti kolesteatom dan abses intrakranial, pasien mungkin mengalami kelumpuhan pada nervus fasialis dan juga dalam beberapa kasus vertigo. Ini karena infeksi telah memasuki ruang telinga dalam dan juga menyebar ke tulang kranial.

DAFTAR PUSTAKA

1. Nursiah, Siti. Pola Kuman Aerob Penyebab OMSK dan Kepekaan terhadap Beberapa

Antibiotika Januari 2012

di

Bagian

THT

FK

USU/RSUP

H.Adam

Malik

Medan.

http://library.usu.ac.id/fk/usu/tht-20%nursiah.pdf diunduh pada tanggal 20

2. Palei, Vindh; Hil, John. 2010. An Atlas of Investigation and Management : ENT Infections. United Kingdom : Marston Digital Ltd 3. Flind, Paul W. et al. 2010. Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery fifth edition. China : Mosby Elsevier
4. Picture

of ear anatomy. Available at: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/002077.htm diunduh pada tanggal 20 Januari 2012

5. Iskandar N, Sopeardi EA. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok,

edisi ketiga. 1997. Jakarta : FKUI


6. Adams GL. 1994. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta. Penerbit buku

kedokteran EGC 1994 7. Google


8. Aboet A. Radang Telinga Tengah Menahun. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap

Bagian Ilmu Kesehatan Hidung Telinga Tenggorok Bedah Kepala Leher. Kampus USU. 2007 9. http://emedicine.medscape.com/article/859501-overview#a0199 diunduh pada tanggal 20 Januari 2012
36

10. Snow Jr, James B. 2002. Ballengers Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. London : BC Decker
11. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21586/4/Chapter

%20II.pdf diunduh pada tanggal 20 Januari 2011


12. http://www.scribd.com/rentot008/d/38304135 diunduh pada tanggal 20 Januari 2011 13. http://www.scribd.com/doc/46300596/tonsilitis-revisi diunduh pada

tanggal 20 Januari 2012


14. Kvestad E. et al., Heritability of Recurrent Tonsillitis, 2005; http://archotol.ama-

assn.org/cgi/content/full/131/5/383 diunduh pada tanggal 21 Januari 2012


15. Tonsilectomy and Adenoidectomy: Indications and Problems, Chap 4, The Throat:

Oral Cavity, Oropharynx, Larynx, Hypopharynx, Esophagus and Trachea (School of Medicine, Januari 2012
16. Anonymous, Chronic Tonsilits http://www.slideshare.net/kapradh/chronic-tonsillitis

University

of

California,

San

Diego),

http://drdavidson.ucsd.edu/portals/0/cmo/CMO_04.htm diunduh pada tanggal 21

diunduh pada tanggal 21 Januari 2012 17.

37

Anda mungkin juga menyukai