Anda di halaman 1dari 9

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kita tahu, pendekatan dalam kritik sastra cukup beragam. Pendekatan yang bertolak dari lima orientasi teori kritik. Pertama, orientasi kepada semester yang melahirkan analitis. Kedua, pendekatan parafrastis. Ketiga, pendekatan emotif. Keempat, pendekatan sosiopsikologis. Kelima, pendekatan didaktis. Penekanannnya bisa pada pembaca sebagai pemberi makna dan pembaca sebagai penerima aspek karya sastra. Resepsi sastra merupakan pendekatan yang berorientasi kepada pembaca.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merasa perlu untuk menyajikan salah satu pendekatan dalam kritik sastra, dalam hal ini pendekatan analis.

BAB II PEMBAHASAN

A. Tema Pengertian tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Dalam cerpen ini, mempunyai tema bahwa seorang pembantu memiliki hak dan martabat yang sama dengan manusia lainnya.

B. Alur Pengertian alur adalah rangkaian peristiwa dalam cerita dalam tahap awal hingga akhir yang berhubungan sebab-akibat. . . . siang tadi pesta perkawinanmu digelar dengan mewah. Kau memang seorang istimewa. Anak tunggal pemilik panglong kayu terbesar di kampung. Jadi, adalah mahfum bila perempuan yang baru datang dari kota itu tertawan olehmu. O, jangan-jangan ia yang menawanmu ?! Ah, tak penting itu. Perkaranya adalah, aku tak rela kau meminangnya. Tidak! Memang, kepergianku ke kampung orang tuaku dua pecan silam tanpa sepengetahuanmu dan keluargamu. Tapi, yang membuatku murka adalah sikapmu (juga keluargamu) ketika mengetahui aku raib. Tenang-tenang saja. Ketika itu, mendidihlah darahku. Ingin sekali aku melabrakmu. Bila perlu membuatmu matitercekat karena mendapati kedatanganku yang tiba-tiba. Namun, rencana itu kujegal sementara. Aku benar-benar ingin tahu musabab ketakpedulianmu pada diriku, gadis yang kau janjikan untuk dikawini. O, apakah ketaktahuanmu tentang di mana tepatnya ranah kediamanan orang tuakukah yang membuatmu tak mencariku? Kini, jujur, aku merasa sangat bodoh. Mengapa dulu aku terburu-buru mengambil ketetapan itu. Pergi meninggalkanmu. Berkelana ke kampung ayah-ibu yang justru tak kunjung kuketahui keberadaannya. . . . Aku benar-benar benci pada perawan itu. O, sungguh, kau harus tahu bahwa semu ini bukan salahku! Apakah kau tak tahu seperti apa pembantu di rumahmu dipekerjakan? Adalah sahih bahwa titah orang tuamu telah merampas waktuku: sedari subuh hingga malam meninggi. Jadi, bagaimana mungkin aku main-gila dengan laki-laki lain?! Apakah

harus kuceritakan perihal aku yang jatuh dari pohon nangka karena keponakanmu dari kecamatan minta diambilkan layangan yang tersangkut di sana; apakah harus jua kukeluhkan bahwa aku pernah terjerengkang di dapur karena ibumu berteriak memintaku gegas menyiapkan air hangat untuk mandi di subuh kau akan diwisuda dua bulan lalu; apakah jua harus kutumpahkan kekesalan bahwa, beberapa kali aku terjerembab dari kereta unta ketika mengantar rantang-rantang para tukang yang merampungkan rumah baru kalian di simpang pasar; dan apakah harus kumeraung --dalam suara yang pasti meraung-- untuk semua akibat yang dimunculkan kesialankesialan itu: selangkangku sakit, perih, nahkan ketika terpeleset di kamar mandi yang akan kusikat di pagi Ahad, bercak-bercak merah tiba-tiba saja mengerubungi celana dalamku. Pedihnya tak tepermanai. Bukan hanya membayangkan bahwa beberapa hari bakda itu, aku akan berjalan sedikit mengangkang, namun..lebih dari itu. Menangis tak berbunyi aku bila membayangkan air muka lelaki --yang suatu hari nanti mengawiniku-- di malam pertama kami (di bawah lampu kamar yang bercahaya remang).

C. Penokohan Aku : adalah sosok gadis yang tidak memiliki orang tua dan sanak saudara. Aku ini bekerja di rumah besar yang dihuni oleh tiga orang yakni ayah, ibu, dan kau. Di dalam rumah besar itu, aku selalu disiksa oleh majikannya dengan cara dicambuk apabila tidak melaksanakan apa yang dititahkannya. Kau : adalah sosok pemuda yang tampan, kaya, berpendidikan, dan menggoda. Penokohan kau ini sangat pintar dalam merayu tokoh aku agar masuk dalam perangkap cinta sebelum menikah dengan perempuan lain. Ayah : adalah orang tua dari tokoh kau yang sudah berhaji empat kali tapi sikapnya tidak berubah. Untuk mengganggu tokoh aku, tokoh ayah ini sering merajam denga pecut kuda yang disimpan di kolong ranjangnya. Bila tokoh aku kedapatan melakukan hal-hal yang tidak berkenan di hadapannya. Ibu : orang tua dari tokoh kau yang sangat kejam, pemarah, bila tokoh ibu sering melakukan kesalahan, maka tokoh ibu ini akan dirajam. Tokoh ibu ini memilih calon seorang pendamping untuk anak tunggalnya.

D. Tokoh dan Perwatakan Aku : lemah dan teraniaya . . . aku luruh. Aku tahu, kau tak menuang air hingga tumpah . . . . . . ayahmu yang sudah empat kali naik haji sering nakal padaku. Beberapa kali si tua bangka itu meremas pantatku ketika aku ngepel. Bila aku lamban atau bahkan tak melaksanakan . . . bahwa ayahmu sering merajamku dengan pecut kuda yang disimpan di kolong ranjang, . . . Ibumu tak kalah ganas. Ketika marahnya membara, barang apa saja yang ada di dekatnya akan dicangking, rajamku ke arahku. Ya, kau tetap menjambak rambutku bila telur mata sapi kegemaranmu tak ku goreng seperti yang kau inginkan Pendendam. . . . kalian baru akan memulai ritual wajib pengantin baru akan berdoa dari balik pintu, semoga selangkangan gadis itu berkembar. Nasib dengan selangkangku. Aku terkakak hingga air mataku menyeruak . . . ku rajam kau kini! Ku cekik lehermu sejadi-jadinya . . . berteriak sejadi-jadinya. Ya, siapa yang tak meradang ditinggal mati anak bujang seorang! Kau : Pendusta Kau bagaikan membawa kegondahanku. Kau katakan betapa istimewanya diriku. siapa yang berani menolak permintaan anak tunggl ?! . . . kau singkap kain lasemku, dan . . . berserempakan dengan petir yang bergemuruh jauh . . . kau mendorongku hingga terjerengkang . . . Jahat Ya, kau kerap menjambak rambutku bila telur mata sapi kegemaranku tak ku goreng seperti yang kau inginkan. Kuningnya terlalu masaklah, putihnya terlalu keringlah, minyaknya masih berlumuranlah . . . Ayah : jahat dan pemarah Ketika marahnya membara, barang apa saja yang ada di dekatnya akan dicangking, rajamku ke arahku. Ibu : jahat dan pemarah Bila kau lamban atau tak mealksanakan apa-apa yang dititahkan. Maka aku akan dirajam . . . ya, selain keluargamu, tak banyak tau (atau bahkan memang

tak ada yang tahu) bahwa ayahmu sering kali merajamku dengan pecut kuda yang disimpan dikolong ranjangnya.

E. Gaya Bahasa . . . jadi, adalah mahfum bila perempuan yang baru datang dari kota tertawan olehmu. O, jangan-jangan ia yang menawan itu (paralelisme) . . . adalah sahih bila titah demi titah orang tua telah merampas waktuku (eurimisme) . . . kau tak hanya, dengan lembut dan syahdu, mengatakan (sekaligus memuji) hidungku bangir, wajahku bulat telur, bibir merah penuh, kulitku putih rotan, mataku kilap kelereng , alisku semut yang berbaris, rambutku sutera-hitam, daguku lekok mangga, bahkan telingaku kau kias bak cawan persia (alegori) . . . ayahmu juga sangat pandai mengganti muka, di depan ibumu ia bagai singa yang memerintahkan musang menyeret ayam (metafora) . . . Ketika marahnya membara, barang apa saja yang ada di dekatnya akan dicangking, rajamku ke arahku. (metafora) . . . percayalah, kau bagai bidadari saban habis mandi (alegori) . . . tentu saja, aku menolaknya. Bukan, bukan karena tak yakin kau akan bertanggung jawab (entah, aku begitu percaya padamu bahwa kau takkan menyia-nyiakan aku), tapi karena kau belum meyakinkanku apakah ayah ibumu akan setuju dengan pilihanmu.

F. Setting y Setting Tempat  Ruang tamu . . . beberapa kali si tua bangka itu meremas pantatku ketika aku ngepel  Kamar . . . kau tau, sejak itu, aku selalu tidur dalam keadaan terlentang . . . aku segera menuju kamar bergorden merah jambu dengan berbagai tangkai anyelir menyelip di kaitannya.  Dapur . . . kau biasanya menyeretku ke sudut dapur yang jauh dari imbas cahaya pir kuning yang menjuntai di plafon.  Pemakaman umum . . . aku masih tertawa ketika diantara sika duduk yang menyemak di sudut pemakaman umum

y Setting Waktu  Siang . . . siang tadi pesta perkawinanmu itu digelar dengan mewah.  Malam . . . pada suatu malam yang mendung, ketika kedua orang tuamu berhelat ke kampung sebelah, memenuhi undangan hajatan kawan lama, kau kembali merajamku. . . . malam pun meninggi, sedikit saja jarum jam yang lebih panjang tergelincir, maka hari akan bernama baru.  Pagi . . . sedari pagi, aku memang tak sabar menyambut malam. y Setting Suasana  Tegang . . . Ketika marahnya membara, barang apa saja yang ada di dekatnya akan dicangking, rajamku ke arahku. . . . beberapa kali si tua bangka itu meremas pantatku ketika aku ngepel  Romatis . . . rajammu adalah rajam yang membuat lenguhanku bersicepat dengan denyutku ke sudut dapur yang jauh . . .  Mengharukan . . . aku hanya ingin bercumbu dengan perawan di malam pertamaku. Dan itu adalah kau. Aku diam terharu.

BAB III PENUTUP

A. Amanat Dalam setiap karya sastra pasti mengandung amanat/pesan yang ingin disampaikan oleh penulis pada pembaca. Pesan tiu dapat berupa pesan moral, sosial, budaya, agama, politik, dll, begitu pula dengan karya sastra cerpen yang berjudul Malam Rajam juga sarat akan pesan, diantara adalah pesan moral pendidikan dan percintaan.  Yang memahami cinta adalah orang yang merasakan cinta itu sendiri dan cinta itu adalah anugerah. . . . rajammu adalah rajam yang membuat lenguhanku bersicepat dengan denyut nadi dan geletar jantung.  Jangan menjadi orang yang munafik, karena itu dangat berdosa dan dilaknat oleh Allah . . . aku hanya ingin bercumbu dengan perawan di malam pertamaku. Dan itu adalah kau. Namun, kenyataan bersilakang dengan ramalan, kau mulai mengganas. Kau singkap kain lasemku. Dan . . . berserempakan dengan petir yang bergemuruh jauh, dan air langit yang bersitumpah satu-satu; mukamu keruh seketika!.  Sebagai seorang laki-laki jangan sampai memaksa seorang perempuan untuk mengikuti nafsunya, apa lagi sampai menyakitinya. . . . ya, kau kerap menjambak rambutku bila telur mata sapi kegemaranmu tak ku goreng seperti kau inginkan. . . . namun kau sangat berbeda dengan orang tuamu. Rajammu adalah rajam yang membuat lenguhanku bersicepat dengan denyut nadi dan geletar jantung. Kau biasanya menyeretku ke sudut dapur yang jauh dari imbas cahaya pir kuning yang menjuntai di plafon.  Jangan gegabah dalam mengambil keputusan . . . mengapa dulu aku terburu-buru mengambil ketetapan itu.

B. Kesimpulan  bila kita melakukan hal apapun tidak boleh gegabah karena menimbulkan penyesalan.  Sebagai seorang lelaki jangan pernah mempermainkan dan mendustai cinta.  Jangan pernah mengucil seorang pembantu, seorang pembantu memiliki hak sebagai manusia.

C. Biografi Pengarang BENNY ARNAS lahir di Ulak Surung, kampung di utara Lubuklinggau, Sumatera Selatan, 08 Mei 1983. Meraih tiga penghargaan sastra pada; Anugerah Batanghari Sembilan (2009) dan Krakatau Award (2009 & 2010). Ia juga diundang dalam perhelatan sastra Ubud Writers & Readers Festival 2010. Kumpulan cerpennya adalah Meminang Fatimah (2009), dan Bulan Celurit Api (2010). Saat ini bergiat di Forum Lingkar Pena Lubuklinggau. Benny Arnas seorang cerpenis minoritas di antara mayoritas, karyanya,Bulan Clurit Api begitu inspiratif, menyuarakan nurani si tokoh janda dan si tokoh pembantu, dll yang membuat sangat istimewa di mata saya, dan diksinya luar biasa, apalagi cantik dalam mengangkat Lubuk Linggau ke dalam kisah di tiap-tiap cerita, uniknya tak semua pembaca dapat mengerti ungkapan yang dia gunakan, tapi bagi saya keren banget!!! bravo! sepertinya jika Benny berani menembus Asia, Insya Allah bukunya akan best seller di Mancanegara khususnya Brunei & Malaysia. Cerpennya Benny Sastra banget hingga mendapat anugerah terbaik III piala Balai Bahasa 2009, dan bukan hanya itu, banyak sekali penghargaan yang sudah dia dapatkan dalam dua tahun usia kepengarangannya, tak tanggung-tanggung, 100 cerpen sudah tersebar di pelbagai media.

DAFTAR PUSTAKA

Jawa pos, minggu 30 Mei 2010 Aminuddin, M.Pd, Drs.,Pengantar Apresiasi Karya Sastra.

Anda mungkin juga menyukai