Anda di halaman 1dari 32

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.

Latar Belakang Penyakit Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang syaraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikoloendotel, mata, otot, tulang dan testis. Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja. Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Hal ini menyebabkan penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, disamping besarnya masalah di bidang medis juga masalah sosial yang ditimbulkan oleh penyakit ini memerlukan perhatian yang serius. Kusta kebanyakan ditemukan di Afrika Tengan dan Asia Tenggara, dengan angka kejadian di atas 10 per 1.000. hal ini disebabkan meningkatnya mobilitas penduduk, misalnya imigrasi, pengungsi dan sebagainya. Sebagaimana yang dilaporkan oleh WHO pada 115 negara dan teritori pada 2006 dan diterbitkan di Weekly Epidemiological Record, prevalensi terdaftar kusta pada awal tahun 2006 adalah 219.826 kasus. Penemuan kasus baru pada tahun sebelumnya adalah 296.499 kasus. Alasan jumlah penemuan tahunan lebih tinggi dari prevalensi akhir tahun dijelaskan dengan adanya fakta bahwa proporsi kasus baru yang terapinya selesai pada tahun yang sama sehingga tidak lagi dimasukkan ke prevalensi terdaftar. Penemuan secara global terhadap kasus baru menunjukkan penurunan. Di India jumlah kasus kira-kira 4 juta, pada tahun 1961 jumlah penderita kusta sebesar 2,5 juta, pada tahun 1971 jumlah penderita 3,2 juta dan tahun 1981 jumlah penderita 3,9 juta. Kusta juga banyak ditemykan di Amerika Tengah dan Selatan dengan jumlah kasus yang tercatat lebih dari 5.000 kasus.

Selama tahun 2000 di Indonesia ditemukan 14.697 penderita baru. Diantaranya 11.267 tipe MB (76,7%) dan 1.499 penderita anak (10,1%). Selama tahun 2001 dan 2002 ditemukan 14.061 dan 14.716 kasus baru. Diantara kasus ini 10.768 dan 11.132 penderita tipe MB (76,6% dan 75,5%). Sedangkan jumlah penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%) pada tahun 2001 dan 1.305 kasus (8,9%) pada tahun 2002. Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak menemukan penderita baru yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001 dan 4.391 pada tahun 2002. Propinsi yang paling sedikit menemukan kasus baru adalah propinsi adalah Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun 2002. Permasalahan penyakit kusta bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang sangat kompleks bukan hanya dari segi medis tetapi juga menyangkut masalah sosial ekonomi, budaya dan ketahanan Nasional. Dalam keadaan ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat. Hal ini disebabkan rasa takut, malu dan isolasi sosial berkaitan dengan penyakit ini. Laporan tentang kusta lebih kecil daripada sebenarnya, dan beberapa negara enggan untuk melaporkan angka kejadian penderita kusta sehingga jumlah yang sebenarnya tidak diketahui. Melihat besarnya manifestasi penyakit ini maka perlu dilakukan suatu langkah penanggulangan penyakit tersebut. Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial. 1.2. Rumusan Masalah 1.2.1. 1.2.2. Bagaimana Konsep Kusta/Lepra/ Morbus Hansen? Bagaimana Asuhan Keperawatan Komunitas Pada

Kelompok Penyakit Kusta/Lepra/ Morbus Hansen?

1.3.

Tujuan 1.3.1. 1.3.2. Menjelaskan Konsep Kusta/Lepra/ Morbus Hansen Menjelaskan Asuhan Keperawatan Komunitas Pada

Kelompok Penyakit Kusta/Lepra/ Morbus Hansen

BAB 2 TINJAUAN TEORI 2.1. Pengertian Morbus Hansen (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi mycobacterium leprae (Kapita Selekta Kedokteran UI, 2000) Penyakit Morbus Hansen adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya (Departeman Kesehatan, Dit. Jen PPM & PL, 2002) Jadi, Morbus Hansen adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh Myrobacterium Lepra yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. 2.2. Etiologi

Mycrobacterium Lepra yang merupakan bakteri tahan asam, bersifat obligat intraseluler yang ditemukan oleh G. A. Hansen. Masa membelah diri Mycrobacterium leprae memerlukan waktu yang cukup lama dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 12-21 hari masa tunasnya antara 40 hari sampai dengan 40 tahun. Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta Multibasiler (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung, melalui saluran pennapasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung dengan penderita yang lama dan erat). Kuman tersebut dapat ditemukan di folikel rambut, kelenjar keringat,septum dan air susu ibu 2.3. Faktor Yang Menyebabkan Timbulnya Penyakit Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu ditakuti, namun hal ini tergantung pada beberapa faktor, yaitu

1. Patogenesis kuman Mycobacterium leprae, kuman Kusta tersebut masih utuh bentuknya maka memiliki kemungkinan penularan lebih besar daripada bentuk kuman yang telah hancur akibat pengobatan. 2. Cara penularan, melalui kontak langsung dengan daerah yang terdapat lesi basah, berganti-gantian baju, handuk, melalui sekret serta udara. 3. Keadaan sosial ekonomi yang terbatas sehingga dalam memenuhi kebutuhan hidup seperti makanan yang bergizi, tempat tinggal yang kumuh. 4. Higiene dan sanitasi berhubungan dengan keadaan sosial juga dimana orang-orang yang mengalami keadaan sosial rendah tidak bisa memenuhi kebutuhan hygienenya seperti membeli sabun, kebersihan air tidak terjamin akibat permukiman padat penduduk, ventilasi rumah yang tidak bagus, pencahayaan yang 5. Daya tahan tubuh, imun tubuh juga mempengaruhi dalam masuk dan berkembangnya virus M.Leprae. 2.4. Manifestasi Klinis 1. Kulit dengan bercak putih atau kemerahan dengan mati rasa

2. Penebalan pada saraf tepi disertai kelainan fungsinya berupa mati rasa dan kelemahan pada otot tangan, kaki dan mata.

3. Adanya kuman tahan asam (BTA positif) pada pemeriksaan kerokan kulit

2.5. Patofisiologi Mekanisme penularan penyakit Morbus Hansen diawali dari kuman Mycobacterium Leprea. Kuman ini biasanya berkelompok dan hidup dalam sel serta mempunyai sifat tahan asam (BTA) . Kuman Morbus Hansen ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis kecuali susunan saraf pusat. Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan. Kerusakan saraf pada pasien Morbus Hansen diakibatkan M.Leprae yang memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang akan berikatan dengan sel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindungi di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang makrofag bekerja terus-menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF(Growht Factor) yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenal bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC non professional. Akibatnya akan mengalami gangguan fungsi saraf tepi seperti sensorik, motorik dan otonom. Serangan terhadap fungsi sensorik akan menyebabkan terjadinya luka pada tangan atau kaki, yang selanjutnya akan mati rasa (anestasi). Kerusakan fungsi motorik akan mengakibatkan lemah atau lumpuhnya otot kaki atau tangan, jari-jari tangan atau kaki menjadi bengkok. Rusaknya fungsi otonom berakibat terjadinya gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras, dan pecah-pecah yang pada akhirnya akan membuat si penderita cacat seumur hidup.

Kelainan juga terjadi pada kulit, dalam hal ini dapat berupa hipopigmentasi (semacam panu) bercak-bercak merah, infiltrat (penebalan kulit) dan nodul (benjolan). Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Penyakit ini dapat menimbulkan ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis. Penderita lepra lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini dapat menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis. Pada kornea mata akan terjadi kelumpuhan pada otot mata mengakibatkan kurang atau hilangnya reflek kedip, sehingga mata akan mudah kemasukan kotoran dan benda-benda asing yang dapat menimbulkan kebutaan. Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama sama akan menyebabkan kebutaan 2.6. Klasifikasi Lepra 1. Tipe Tuberkuloid (TT) Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta. 2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT) Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe

TT. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal. 3. Tipe Mid Borderline (BB) Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif, permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas. 4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL) Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL. 5. Tipe Lepromatous Leprosy Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki. 2.7. Pemeriksaan Diagnostik 1. Inspeksi. Pasien diminta memejamkan mata, menggerakan mulut, bersiul, dan tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah. Semua kelainan kulit di seluruh tubuh diperhatikan, seperti adanya makula, nodul, jaringan parut,

kulit yang keriput, penebalan kulit, dan kehilangan rambut tubuh (alopesia dan madarosis). 2. Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa raba), jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta air panas dan dingin dalam tabung reaksi (rasa suhu). 3. Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada : n. auricularis magnus, n. ulanaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus, dan n. tibialis posterior. Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan, dan adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak saat saraf diraba. 4. Pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu memeriksa ada tidaknya kekeringan pada lesi akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan menggunakan pensil tinta. Klasifikasi Pause Basiler dan Multi Basiler menurut P2MPLP Kelainan kulit dan hasil Tipe Pause Basiler pemeriksaan bakteriologis 1. Bercak (makula) a. Jumlah b. Ukuran c. Distribusi d. Permukaan e. Batas f. Gangguan sensitibilitas g. Kehilangan kemampuan rontok bercak 2. Infiltrat pada Bertcak 1-5 Kecil dan besar Unilateral bilateral asimetris Kering dan kasar Tegas Selalu ada dan jelas Halus, berkilat Kurang tegas Biasanya tidak jelas, jika ada, terjadi pada yang sudah lanjut tidak Bercak tidak rontok masih bulu berkeringat, ada bulu berkeringat, Banyak Kecil-kecil atau Bilateral, simetris Tipe Multi Basiler

berkeringat, bulu rontok pada bercak

a. Kulit b. Membrana mukosa (hidung tersumbat pendarahan hidung) 3. Nodulus 4. Penebalan syaraf tepi di

Tidak ada Tidak pernah ada

Ada, kadang-kadang tidak ada Ada, kadang-kadang tidak ada

Kadang-kadang ada Tidak ada dini, asimetris Terjadi pada yang Lebih sering terjadi lanjut, biasanya lebih dari satu dan simetris Terjadi pada usia asimetris lanjut BTA positif healing punched di

5. Deformitas (cacat) 6. Sediaan apus 7. ciri-ciri khusus

Biasanya terjadi dini BTA negatif Central penyembuhan

tengah Dikutip dan dimodifikasi dari Buku Panduan Pemberantasan Kusta Depkes (1999) Klasifikasi Pause Basiler dan Multi Basiler berdasarkan WHO (1995) 1. Lesi kulit (macula datar, papul meninggi, nodus) 2. Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya sensasi/kelema han otot yang yang Tipe Pause Basiler a. 1-5 lesi b. Hipopigmentasi/eritema c. Distribusi tidak simetris d. Hilangnya sensasi yang jelas e. Hanya saraf satu cabang Tipe Multi Basiler >5 b. Distribusi lebih simetris c. Hilangnya sensasi d. Banyak cabang saraf

10

dipersarafi oleh saraf terkena) Dikutip dan dimodifikasi dari WHO (1995) 5. Pemeriksaan Bakteriologis Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut : a. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif b. Kulit muka sebaiknya dihindari karena lalasan kosmetik, kecuali tidak ditemukan lesi di tempat lain c. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perluditambah dengan lesi kulit yang baru timbul d. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan M. leprae ialah : Cuping telinga kiri/kanan Dua sampai empat lesi kulit yang aktif di tempat lain Tidak menyenangkan pasien Positif palsu karena ada mikobakterium lain Tidak pernah ditemukan M. leprae pada selaput lendir hidung apabila sediaan apus kulit negative Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lender hidung lebih dahulu negative daripada sediaan kulit ditempat lain f. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit : Semua orang yang dicurigai menderita kusta Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman resisten terhadap obat Semua pasien Multi Basiler setiap satu tahun sekali Ziehl Neelsen atau Kinyoun-gabett. h. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode, yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah/ seperempat lingkaran. Bentuk kuman g. Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu yang

e. Sediaan dari selaput lender hidung sebaiknya dihindari karena :

11

yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granular (granulates), globus, dan clamps. 6. Indeks Bakteri (IB) Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus, IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma Ridley sebagai berikut : 0 +1 +2 +3 +4 +5 +6 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang Bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang Bila > 1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

7. Indeks Morfologi (IM) Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat. Contoh menghitung IB dan IM sebagai berikut : Lokasi pengambilan a. Daun telinga kiri c. Paha kiri d. Bokong kanan 2.8. Penatalaksanaan Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insidens penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin dan DDs dmluai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, Kepadatan 5+ 4+ 4+ 17 + Solid 5 6 3 4 18 Fragmented/granulated 95 94 97 96 382

b. Daun telinga kanan 4 +

12

menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO (1995) sebagai berikut Tipe PB a. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas b. Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah c. DDS 100 mg/hari diminum di rumah Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam wktu maksimal 36 bulan. Sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT (Released From Treatment = berhenti minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteti positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT. Dosis untuk anak Klofazimin : umur di bawah 10 tahun : Umur 11-14 tahun DDS : Rifampisin : Pengobatan MDT terbaru Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO (1998), pasien kusta tipe Pause Basiler dengan lesi hanya satu cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasin 400 mg, dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe Pause Basiler dengan lesi 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe Multi Basiler diberikan sebagai obat alternative dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan. Putus Obat bulanan 100 mg/bulan Harian 50 mg/2 kali/minggu bulanan 100 mg/bulan Harian 50 mg/3 kali/minggu 1-2 mg/jkg berat badan 10-15 mg/kg berat badan Jenis obat dan dosis untuki orang dewasa :

13

Pada pasien kusta tipe Pause Basiler yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe Multi Basiler dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya. 2.9. Indikasi Rujukan 1. Memastikan diagnosis penyakit kusta 2. Neuritis akut dan subakut 3. Reaksi reversal berat 4. Reaksi ENL berat 5. Komplikasi pada mata 6. Reaksi terhadap antikusta 7. Tersangka resisten terhadap antikusta 8. Pasien cacat yang memerlukan rehabilitasi medic 9. Pasien dengan keadaan umum buruk atau darurat 10. Pasien kusta yang membutuhkan latihan fisioterapi 11. Pasien kusta yang membutuhkan terapi okupasi 12. Luka lebar dan dalam pada anggota gerak 13. Pasien kusta yang menbutuhkan tindakan bedah septic 14. Pasien yang memerlukan protese 15. Indikasi social 2.10. Komplikasi Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta. 2.11. Penatalaksanaan Medis 1. Prinsip pengobatan a. Pemberiaan obat antireaksi. Obat yang dapat digunakan adalah aspirin, klorukuin, prednisolon sebagai anti inflamasi. Dosis obat yang digunakan sebagai berikut : Aspirin Klorukuin Prednisone 600-1200 mg yang diberikan tiap 4 jam, 4-6 kali sehari 3 x 150 mg/hari 30-80 mg/hari, dosis tunggal pada pagi hari sesudah

makan atau dapat juga diberikan secara dosis terbagi misalnya: 4 x 2

14

tablet/hari, berangsur-angsur diturunkan 5-10 mg/2 minggu setelah terjadi respons maksimal. Untuk melepaskan ketergantungan pada kortikosteroid pada reaksi tipe II digunakan talidomid. Dosis talidomoid 400 mg/hari yang berangsur-angsur diturunkan sampai 50 mg/hari. Tidak dianjurkan untuk wanita usia subur karena talidomoid bersifat teratogenik. Setiap 2 minggu pasien harus diperiksa ulang untuk melihat keadaan klinis. Bila tidak ada perbaikan maka dosis prednisone yang diberikan dapat dilanjutkan 3-4 minggu atau dapat ditingkatkan (misalnya dari 15 mg jadi 20 mg sehari). Setelah ada perbvaikan dosis diturunkan. Untuk mencegah ketergantungan terhadap steroid, dapat diberikan klofazimin. Klofazimin hanya diberikan pada reaksi tipe II (ENL kronis). Dosis klofazimin ditinggikan dari dosis pengobatan kusta. Untuk orang dewasa 3 x 100 mg/hari selama 1 bulan. Bila reaksi sudah berkurang maka dosis klofazimin itu diturunkan menjadi 2 x 100 mg/ hari, selama 1 bulan diturunkan lagi menjadi 1 x 100 mg/hari selama 1 bulan. Setelah reaksi hilang pengobatan kembali ke dosis semula, yaitu 50 mg/hari. b. Istirahat/imobilisasi c. Pemberian analgetik dan sedative. Obat yang digunakan sebagai analgetik adalah aspirin, parasetamol, dan antimony. Aspirin masih merupakan obat yang terbaik dan termurah untuk mengatasi nyeri (aspirin digunakan sebagai antiinflamasi dan analgetik). Menurut WHO (1998), parastamo juga dapay digunakan sebagai analgetik. Sedangkan antimony yang digunakan pada reaksi tipe II ringan untuk mengatasi rasa nyeri sendi dan tulang kini jarang dipakai karena kurang efektif dan toksik. Dosis obat yang digunakan sebagai berikut : Aspirin Parasetamol Antimony 600-1200 mg yang diberikan tiap 4 jam, 4-6 kali sehari. 300-1000 mg yang diberikan 4-6 kali sehari (dewasa). 2-3 ml diberikan secara selang-seling, maksimum 30 ml.

d. Obat-obatan kusta diteruskan dengan dosis tidak diubah.untuk semua tipe reaksi, bila tidak ada kontraindikasi, semua obat antikusta dosis penuh harus tretap diberikan.

15

2. Pengobatan reaksi ringan a. Pemberian obat antireaksi Aspirin dan talidomid biasa digunakan untuk reaksi ringan. Bila dianggap perlu dapat diberikan klorokuin selama 3-5 hari. b. Istirahat/imobilisasi Berobat jalan dan istirahat di rumah. c. Pemberian analgetik dan sedative Pemberian analgetik dan obat penenang bila perlu. d. Obat-obat kusta diteruskan dengan dosis tidak diubah. 3. Pengobatan reaksi berat a. Pemberian obat antireaksi Pada reaksi berat diberikan prednisone dalam dosis tunggal atau terbagi b. Istirahat/imobilisasi Imobilisasi local pada anggota tubuh yang mengalami neuritis. Bila memungkinkan pasien dirawat inap di rumah sakit.] c. Pemberian analgetik dan sedative d. Obat-obat kusta diteruskan dengan dosis tidak diubah. Rehabilitasi Usaha-usaha rehabilisasi meliputi medis, okupasi, kejiwaan, dan social. Usaha medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain operasi dan fisioterapi. Terapi kejiwaan berupa bimbingan mental diupayakan sedini mungkin pada setiap pasien, keluarga, dan masyarakat sekitarnya untuk memberikan dorongan dan semangat agar dapat menerima kenyataan dan menjalani pengobatan dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh secara medis. Rehabilitasi social bertujuan memulihkan fungsi social ekonomi pasien sehingga menunjang kemandiriannya dengan memberikan bimbingan social dan peralatan kerja, serta membantu pemasaran hasil usaha pasien. 2.12. Akibat Yang Ditimbulkan Pada Penyakit Kusta 1. Masalah terhadap diri penderita kusta Pada umumnya penderita kusta merasa rendah diri, merasa tekan batin, takut terhadap penyakitnya dan terjadinya kecacatan, takut mengahadapi keluarga dan masyarakat karena sikap penerimaan mereka yang kurang wajar. Segan

16

berobat karena malu, apatis, karena kecacatan tidak dapat mandiri sehingga beban bagi orang lain (jadi pengemis, gelandangan dsb). 2. Masalah Terhadap Keluarga. Keluarga menjadi panik, berubah mencari pertolongan termasuk dukun dan pengobatan tradisional, keluarga merasa takut diasingkan oleh masyarat disekitarnya, ketularan. 3. Masalah Terhadap Masyarakat. Pada umumnya masyarakat mengenal penyakit kusta dari tradisi kebudayaan dan agama, sehingga pendapat tentang kusta merupakan penyakit yang sangat menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan kecacatan. Sebagai akibat kurangnya pengetahuan/informasi tentang penyakit kusta, maka penderita sulit untuk diterima di tengah-tengah masyarakat, masyarakat menjauhi keluarga dari penderita, merasa takut dan menyingkirkannya. Masyarakat mendorong agar penderita dan keluarganya diasingkan. 2.13. Asuhan Keperawatan Komunitas 1. Pengertian keperawatan komunitas Departemen kesehatan RI (1986): keperawatan kesehatan masyarakat adalah suatu upaya pelayanan keperawatan yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang dilaksanakan oleh perawat dengan mengikutsertakan team kesehatan lainnya dan masyarakat untuk memperoleh tingkat kesehatan yang lebih tinggi dari individu, keluarga dan masyarakat. Winslow (1920) adalah seorang ahli kesehatan masyarakat, yang membuat batasan sampai saat ini relevan, yakni public health atau kesehatan masyarakat adalah ilmu dan seni mencegah penyakit, memperpanjang hidup, dan meningkatkan efisiensi hidup melalui upaya pengorganisasian masyarakat untuk: a. Kelompok kelompok masyarakat yang terkoordinir b. Perbaikan kesehatan lingkungan c. Mencegah dan memberantas penyakit menular d. Memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat atau perseorangan berusaha menyembunyikan penderita agar tidak diketahui masyarakat disekitarnya, dan mengasingkan penderita dari keluarga karena takut

17

e. Dilaksanakan dengan mengkoordinasikan tenaga kesehatan dalam satu wadah padaan pelayanan kesehatan masyarakat yang mampu menumbuhkan swadaya masyarakat untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat secara optimal. 2. Sasaran keperawatan komunitas Seluruh masyarakat termasuk individu, keluarga dan kelompok baik yang sehat maupun yang sakit khususnya mereka yang beresiko tinggi dalam masyarakat. 1) Individu Individu adalah anggota keluarga sebagai kesatuan utuh dari aspek biologi, psikologi, soaial dan spiritual. Maka peran perawat adalah membantu agar individu dapat memenuhi kebutuhan dasarnya karena kelemahan fisik dan mental 2) yang dialami, keterbatasan pengetahuannya dan kurangnya kemampuan menuju kemandirian. Keluarga Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala kepala keluarga, anggota keluarga lainnya yang berkumpul dan tinggal dalam satu rumah tangga karena pertalian darah dan ikatan perkawinan atau adopsi. Antara keluarga satu dan yang lainya saling tergantung dan berinteraksi, bila salah satu atau beberapa anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan maka akan berpengaruh terhadap anggota yang lainya dan keluarga yang ada disekitarnya. Dari permasalahan tersebut, maka keluarga merupakan fokus pelayanan kesehatan yang strategis: a. Keluarga sebagai lembaga yang perlu diperhitungkan b. Keluarga mempunyai peran utama dalam pemeliharaan kesehatan seluruh anggota keluarga c. Masalah kesehatan dalam keluarga saling berkaitan d. Keluarga sebagai tempat penggambilan keputusan dalam perawatan kesehatan e. Keluarga merupakan perantara yang efektif dalam berbagai usahausaha kesehatan masyarakat.

18

3)

Kelompok khusus

Yaitu sekumpulan individu yang mempunyai kesamaan jenis kelamin, umur, permasalahan, kegiatan yang terorganisasi yang sangat rawan terhadap masalah kesehatan antara lain : a. Kelompok khusus dengan kebutuhan kesehatan khusus sebagai akibat perkembangan dan pertumbuhan seperti: ibu hamil, bayi baru lahir, anak balita, anak usia sekolah dan usia lansia atau lanjut usia. b. Kelompok dengan kesehatan khusus yang memerlukan pengawasan dan bimbingan serta asuhan keperawatan, antara lain: kasus penyakit kelamin, tuberculosis, AIDS, kusta dan lain lain. 3. Ruang lingkup keperawatan komunitas Keperawatan komunitas mencakup berbagai bentuk upaya pelayanan kesehatan baik upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, maupun resosialitatif. a. Upaya promotif dilakukan untuk meningkatkan kesehatan individu, keluarga, kelompok dan masyarakat dengan melakukan kegiatan penyuluhan kesehatan, peningkatan gizi, pemeliharaan kesehatan perorangan, pemeliharaan kesehatan lingkungan, olahraga teratur, rekreasi dan pendidikan seks. b. Upaya preventif untuk mencegah terjadinya penyakit dan gangguan kesehatan terhadap individu, keluarga kelompok dan masyarakat melalui kegiatan imunisasi, pemeriksaan kesehatan berkala melalui posyandu, puskesmas dan kunjungan rumah, pemberian vitamin A, iodium, ataupun pemeriksaan dan pemeliharaan kehamilan, nifas dan menyusui. c. Upaya kuratif bertujuan untuk mengobati anggota keluarga yang sakit atau masalah kesehatan melalui kegiatan perawatan orang sakit dirumah, perawatan orang sakit sebagai tindaklanjut dari Pukesmas atau rumah sakit, perawatan ibu hamil dengan kondisi patologis, perawatan buah dada, ataupun perawatan tali pusat bayi baru lahir d. Upaya rehabilitatif atau pemulihan terhadap pasien yang dirawat dirumah atau kelompok-kelompok yang menderita penyakit tertentu seperti TBC, kusta dan cacat fisik lainnya melalui kegiatan latihan fisik pada penderita

19

kusta, patch tulang dan lain sebagainya, kegiatan fisioterapi pada penderita stroke, batuk efektif pada penderita TBC, dll. e. Upaya resosialitatif adalah upaya untuk mengembalikan penderita ke masyarakat yang karena penyakitnya dikucilkan oleh masyarakat seperti, penderita AIDS, kusta dan wanita tunas usila. 4. Peran perawat komunitas a. Pendidik (Educator): Perawat memiliki peran untuk dapat memberikan informasi yang memungkinkan klien membuat pilihan dan mempertahankan autonominya. Perawat selalu mengkaji dan memotivasi belajar klien. b. Advokat: Perawat memberi pembelaan kepada klien yang tidak dapat bicara untuk dirinya. c. Manajemen Kasus: Perawat memberikan pelayanan kesehatan yang bertujuan menyediakan pelayanan kesehatan yang berkualitas, mengurangi fragmentasi, serta meningkatkan kualitas hidup klien. d. Kolaborator: Perawat komunitas juga harus bekerjasama dengan pelayanan rumah sakit atau anggota tim kesehatan lain untuk mencapai tahap kesehatan yang optimal. e. Panutan (Role Model): Perawat kesehatan komunitas seharusnya dapat menjadi panutan bagi setiap individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat sesuai dengan peran yang diharapkan. Perawat dituntut berperilaku sehat jasmani dan rohani dalam kehidupan sehari-hari. f. Peneliti: Penelitian dalam asuhan keperawatan dapat membantu mengidentifikasi serta mengembangkan teori-teori keperawatan yang merupakan dasar dari praktik keperawatan. g. Pembaharu (Change Agent): Perawat kesehatan masyarakat dapat berperan sebagai agen pembaharu terhadap individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat terutama dalam merubah perilaku dan pola hidup yang erat kaitannya dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan. h. Berdasarkan kasus kusta, maka sebagai perawat komunitas bertanggung jawab dan memiliki peran untuk melakukan identifikasi kebutuhan, sumber, dan nilai yang dibutuhkan pada populasi masyarakat dengan kusta

20

terkait dengan aspek promosi, proteksi, dan prevensi. Perawat komunitas dapat menyusun pelayanan kesehatan bagi populasi masyarakat dengan kusta dan mengimplementasikan dan mengevaluasi terhadap program yang disusun bersama masyarakat. Menurut Swanson (1997), perawat komunitas dapat berperan dalam pencegahan terhadap penyakit menular dengan melakukan pelayanan kesehatan yang mengutamakan pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Salah satu cara yang dapat perawat komunitas lakukan untuk menjamin keberlanjutan suatu program atau pelayanan kesehatan dalam menerapkan program promosi, proteksi, dan prevensi adalah dengan membentuk kemitraan (Helvie, 1997). Anderson dan McFarlane (2000) mengatakan bahwa dengan menggunakan model community as partner terdapat dua komponen utama yaitu roda pengkajian komunitas dan proses keperawatan. Roda pengkajian komunitas terdiri dari dua bagian utama yaitu core (data inti) dan delapan subsistem yang mengelilingi inti yang merupakan bagian dari pengkajian keperawatan, sedangkan proses keperawatan terdiri dari beberapa tahap mulai dari pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi, dan evaluasi.

21

BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS 3.1. Kasus Pada hari senin, 11 April 2011. Perawat CHN survey ke Komplek Kabulat wilayah RW 05, di tepian Sungai Kapuas Murung Selat Hulu Kecamatan Selat Kabupaten Kapuas dan didapatkan data: terdapat 50 KK dan terdiri dari 1500 jiwa penduduk, 10% adalah kelompok resiko tinggi, Gambaran umum kehidupan penduduk di Komplek Kabulat wilayah RW 05: Tinggal dirumah yang sudah tidak layak huni, tua dan lapuk, hygiene dan sanitasi jelek karena social ekonomi yang rendah, Rata-rata pendidikan masyarakatnya hanya lulusan SD, jika ada salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit menular seperti kusta mencari pertolongan ke dukun dan pengobatan tradisional daripada ke puskesmas karena akses darat yang sulit untuk menuju puskesmas dan keluarga merasa takut diasingkan oleh masyarat disekitarnya, tidak ada bantuan/perhatian dari donator dan pemerintah, Rata-rata mata pencaharian mereka: buruh tani, mencari dan menjual kayu bakar. Terdapat 1 puskesmas yang hanya ada 1 orang dokter umum, perawat kesehatan masyarakat hanya 1 orang, 1 orang bidan dan perawat dan itupun kurang aktif itupun berada diseberang kompleks. Akses menuju yankes: Darat : Jalan Trans Kalimantan/handil baras, kelurahan Selat Hulu, Kecamatan Selat. Masuk sekitar 3 Km, track tanah dan berlumpur, sungai kecil, jembatan darurat dari batang kayu (Pohon Tumbang), melewati sawah dan rawa. Sungai : Sekitar 15 menit dari dermaga Danum Are Kuala Kapuas, naek perahu motor, tarif Rp.10.000,-/orang. Dari hasil survey menunjukkan: (1) 7 orang dari kelompok resiko tinggi adalah penderita Kusta dan penderita kusta tersebut terisolasi karena dijauhi dan dikucilkan oleh masyarakat umum. (2) 3 orang dari 7 orang penderita kusta mengalami kecacatan karena segan berobat ke puskesmas dan merasa rendah diri terhadap masyarakat karena sikap penerimaan mereka yang kurang wajar takut ketularan. (3) Penduduk setempat mengenal penyakit kusta dari tradisi kebudayaan dan agama, sehingga pendapat tentang kusta merupakan penyakit yang sangat menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan,

22

najis dan menyebabkan kecacatan akibat kurangnya pengetahuan/informasi tentang penyakit kusta. 3.2. Asuhan Keperawatan Komunitas 3.2.1. Pengkajian Keperawatan Komunitas 1. Data inti (core) a) Sejarah Penduduk setempat mengenal penyakit kusta dari tradisi kebudayaan dan agama, sehingga pendapat tentang kusta merupakan penyakit yang sangat menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan kecacatan sehingga penderita kusta tersebut terisolasi, dijauhi dan dikucilkan oleh masyarakat umum b) Demografis

Usia:

Bayi : Anak-anak: 2 orang Dewasa: 5 orang

Status sosial status sosial yang rendah yang mempengaruhi antara lain: personal hygiene jelek, dan sanitasi jelek. Pemukiman padat rumah tidak sehat, sudah tidak layak huni, tua dan lapuk. Jenis kelamin laki-laki: 5 orang perempuan: 2 orang Angka kejadian: 7 orang dari 3000 penduduk
a. Life Style: personal hygine jelek, sanitasi lingkungan jelek

c) Etnisitas dan nilai dan kepercayaan b. Pengobatan: mencari pertolongan ke dukun dan pengobatan tradisional c. Paradigma : mayarakat masih meyakini bahwa penyakit kusta dianggap penyakit kutukan, sehingga penderita kusta dikucilkan dari lingkungan

23

masyarakat dan menyakini bahwa penyakit kusta adalah sebuah kutukan dari tuhan. d.) Vital statistic (data peting) Penduduk setempat mengenal penyakit kusta dari tradisi kebudayaan dan agama, sehingga pendapat tentang kusta merupakan penyakit yang sangat menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan kecacatan akibat kurangnya pengetahuan/informasi tentang penyakit kusta sehingga penderita kusta dikucilkan dari lingkungan masyarakat. Tidak ada upaya preventif lebih dini Tidak ada bantuan/perhatian dari donator dan pemerintah Pola perilaku yang tidak sehat 2. Data subsistem a) Lingkungan fisik Dalam aspek lingkungan fisik hal-hal yang dapat dikaji antara lain: o o Sanitasi hygiene dan sanitasi jelek karena social ekonomi yang rendah, o o o o Ventilasi Iklim Tropis dan subtropis yang panas dan lembab Manusia Letak wilayah Utara: berbatasan dengan kelurahan Selat Hulu Timur: berbatasan dengan sungai bialang Selatan: berbatasan dengan sungai bialang Barat: berbatasan dengan dermaga Danum Are Kuala Kapuas b) Pelayanan sosial dan kesehatan Sistem imun yang menurun dan Personal hygiene yang kurang ventilasi rumah kurang Rumah Tinggal dirumah yang sudah tidak layak huni, tua dan lapuk

24

Terdapat 1 puskesmas yang hanya ada 1 orang dokter umum, perawat kesehatan masyarakat hanya 1 orang, 1 orang bidan dan perawat dan itupun kurang aktif itupun berada diseberang kompleks c) Ekonomi Rata-rata mata pencaharian mereka: buruh tani, mencari dan menjual kayu bakar. Rata-rata penghasilannya Rp 150.000 300.000/bulan d) Transportasi dan keamanan (keselamatan) Darat : Jalan Trans Kalimantan/handil baras, kelurahan Selat Hulu, Kecamatan Selat. Masuk sekitar 3 Km, track tanah dan berlumpur, sungai kecil, jembatan darurat dari batang kayu (Pohon Tumbang), melewati sawah dan rawa. Sungai : Sekitar 15 menit dari dermaga Danum Are Kuala Kapuas, naek perahu motor, tarif Rp.10.000,-/orang. e) f) Politik dan pemerintahan Tidak ada bantuan/perhatian dari donator dan pemerintah . Pendidikan Rata-rata pendidikan masyarakatnya hanya lulusan SD Minat masyarakat terhadap pendidikan kurang sehingga pengetahuan masyarakat terhadap kusta rendah. 3. Persepsi Penduduk setempat mengenal penyakit kusta dari tradisi kebudayaan dan agama, sehingga pendapat tentang kusta merupakan penyakit yang sangat menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan kecacatan sehingga penderita kusta tersebut terisolasi, dijauhi dan dikucilkan oleh masyarakat umum

25

3.2.2. Diagnosa keperawatan Komunitas 1. Analisa Data Komunitas Data DS: - Dari hasil wawancara di dapat banyak penderita kusta yang tidak peduli dengan penyakitnya - Keluarga penderita kusta mencari pertolongan ke dukun dan pengobatan tradisional daripada ke puskesmas DO : - jumlah penderita 7 orang dari 10 % risti - rata-rata pendidikan penduduk hanya lulusan SD - Terdapat 1 puskesmas yang hanya ada 1 orang dokter umum, perawat kesehatan masyarakat hanya 1 orang, 1 orang bidan dan perawat - akses menuju pelayanan kesehatan sulit dan jauh - tempat tinggal yang sudah tidak layak huni, tua dan lapuk, hygiene dan sanitasi jelek karena social ekonomi yang rendah Etiologi Kurangnya pengetahuan tentang penyakit kusta Masalah Peningkatan jumlah penderita penyakit Kusta di Komplek Kabulat wilayah RW 05

26

- tidak ada bantuan/perhatian dari donator dan pemerintah - penyuluhan dari kader dan petugas kesehatan dari puskesmas tidak ada/kurang aktif - dari 7 penderita yang terdata 5 segan berobat ke puskesmas DS: - Dari hasil wawancara didapat masyarakat mengenal menerima keadaan hidup apa adanya walaupun lingkungan tidak mendukung DO: - jumlah penderita 7 orang dari 10 % risti - dari 7 penderita yang terdata 5 segan berobat ke puskesmas - status sosial yang rendah - personal hygiene jelek, dan sanitasi jelek - Pemukiman padat rumah tidak sehat, sudah tidak layak huni, tua dan lapuk. 2. Prioritas Masalah Keperawatan Komunitas Kurang motivasi warga dalam Resiko memelihara lingkungan yang sehat Terjadi penyakit akibat

lingkungan yang kurang sehat (Diare, ISPA) di Komplek Kabulat wilayah RW 05

27

Kemungkinan Pentingnya masalah untuk dipecahkan: Masalah 1= Rendah 2= Sedang 3= Tinggi Peningkatan jumlah penderita penyakit Kusta di Komplek Kabulat wilayah RW 05 berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit kusta Resiko Terjadi penyakit akibat lingkungan yang kurang sehat (Diare, ISPA) di Komplek Kabulat wilayah RW 05 berbungan dengan Kurang motivasi warga dalam memelihara lingkungan yang sehat Diagnosa Keperawatan Komunitas berdasarkan Prioritas Masalah: 3 2 3 3 perubahan positif jika diatasi: 0= Tidak ada 1= Rendah 2= Sedang 3= Tinggi

Peningkatan terhadap kualitas hidup bila diatasi: 0= Tidak ada 1= Rendah 2= Sedang TOTAL

28

1. Peningkatan jumlah penderita penyakit Kusta di Komplek Kabulat wilayah RW 05 berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit kusta 2. Resiko Terjadi penyakit akibat lingkungan yang kurang sehat (Diare, ISPA) di Komplek Kabulat wilayah RW 05 berbungan dengan Kurang motivasi warga dalam memelihara lingkungan yang sehat

3.2.3. Rencana Kegiatan Keperawatan Komunitas

29

Diagnosa Keperawatan Komunitas Peningkatan

TUM

TUK

Rencana Kegiatan

Evaluasi

1. Bina hubungan saling percaya Kriteria evaluasi: Jumlah penderita penyakit Kusta penderita penyakit Kusta peningkatan tindakan dengan masyarakat menurun di Komplek Kabulat penyakit Kusta keperawatan selama 2. Mengaktifkan kader-kader wilayah berhubungan kurangnya RW 05 di Komplek satu bulan, -Masyarakat penyakit Kusta -Masyarakat kesehatan yang ada di masyarakat 3. Memberikan pembinaan kader tentang penyakit Kusta masyarakat tentang pentingnya penyakit terdiagnosis dan diobati Standar Evaluasi: -masyarakat tahu tentang penyakit Kusta -masyarakat tahu cara pencegahan penyakit Kusta -masyarakat mau peduli terhadap penyakit Kusta dengan Kabulat wilayah diharapkan: pengetahuan RW 05

jumlah Tidak

terjadi Setelah dilakukan

tentang penyakit kusta ditandai dengan data menyebutkan: - jumlah penderita 7 orang dari 10 % risti - rata-rata pendidikan penduduk hanya lulusan SD - Terdapat 1 puskesmas yang hanya ada 1 orang dokter umum, perawat

mengetahui tentang 4. .Berikan penyuluhan pada

mengetahui tentang secara dini penularan penyakit - survei anak sekolah kusta dan cara - survei kontak dengan penderita penyakit ke kusta.dan pemeriksaan dengan intensif penderita yang datang pelayanan kesehatan keluhan penyakit kusta. 5. Bekerja sama dengan pemerintah pencegahannya

30

kesehatan masyarakat hanya 1 orang, 1 orang bidan dan perawat - akses menuju pelayanan kesehatan sulit dan jauh - tempat tinggal yang sudah tidak layak huni, tua dan lapuk, hygiene dan sanitasi jelek karena social ekonomi yang rendah - tidak ada bantuan/perhatian dari donator dan pemerintah - penyuluhan dari kader dan petugas kesehatan dari puskesmas tidak ada/kurang aktif - dari 7 penderita yang

daerah dan pusat atas perlindungan hukum kepada penderita kusta terkait dengan stigma masyarakat 6. Memutuskan mata rantai penularan dari penderita ke orang lain Merekomendasikan Obat MDT diberikan secara gratis di Puskesmas kepada Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Memberikan penyuluhan (tidak kontak langsung pada lesi basah penderita dan mencaga higiene serta sanitasi yang baik) - Memberikan penyuluhan kepada keluarga agar pasien meminum obat secara rutin dan tidak terputus 7. Memberikan terapi kejiwaan berupa bimbingan mental pada pasien,

31

terdata 5 segan berobat ke puskesmas

keluarga,

dan

masyarakat

untuk

memberikan dorongan dan semangat agar dapat menerima kenyataan dan menjalani pengobatan dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh secara medis 8. Memberikan rehabilitasi fungsi sosial social untuk memulihkan

ekonomi pasien sehingga menunjang kemandiriannya: - memberikan bimbingan social sesuai keahliannya dan peralatan kerja - membantu pemasaran hasil usaha pasien.

32

Anda mungkin juga menyukai