Anda di halaman 1dari 9

Kisah Bijak Para Sufi

REPUBLIKA.CO.ID, Konon, ada seorang raja memutuskan untuk memberikan sebagian kekayaannya tanpa pamrih. Ia ingin pula mengetahui apa yang terjadi atas pemberiannya itu. Maka, raja itu pun memanggil seorang tukang roti yang ia percayai dan menyuruhnya membuat dua potong roti. Dalam roti pertama harus disisipkan sejumlah permata, dan dalam roti kedua, hanya tepung dan air. Roti tersebut harus diberikan kepada orang yang paling saleh dan orang yang paling tidak saleh yang dijumpai oleh tukang roti itu. Pada keesokan paginya, dua orang lelaki datang ke dapur tukang roti itu. Yang seorang berpakaian layaknya darwis dan tampak paling saleh, padahal sebenarnya ia seorang munafik. Yang lainnya, yang diam saja, mengingatkan tukang roti itu kepada wajah seorang yang tak disukainya. Tukang roti itu pun memberikan roti isi permata kepada lelaki berjubah darwis, dan roti biasa itu kepada lelaki kedua. Ketika darwis palsu itu memegang rotinya, ia mencoba merasakan dan merabanya. Ia merasakan permata itu, tetapi baginya itu hanyalah gumpalan dalam roti, tepung yang tidak teraduk sempurna. Ditimbangnya di tangannya, dan bobot permata membuat roti itu terasa terlalu berat. Ia menatap tukang roti itu, dan mengetahui bahwa ia bukanlah orang yang bisa diajak beramah-ramah. Maka, ia berpaling kepada lelaki kedua itu dan berkata, "Mengapa kita tidak bertukar roti saja? Kau sepertinya lapar, dan rotiku ini lebih besar." Lelaki kedua, yang ikhlas menerima apa pun, bersedia menukar rotinya. Sang raja, yang sejak tadi mengamati lewat suatu celah di pintu dapur, terheran-heran, tetapi tidak menyadari kebaikan nisbi pada kedua lelaki itu. Darwis palsu itu mendapatkan roti biasa. Raja itu menyimpulkan bahwa takdir telah campur tangan untuk menjaga darwis itu dari godaan kekayaan. Lelaki yang sungguh baik itu memperoleh permata dan bisa mempergunakannya untuk kebaikan. Raja itu tak mampu mengartikan peristiwa tersebut. "Saya mengerjakan apa yang diperintahkan," kata si tukang roti. "Kau tak bisa mengubah takdir," kata sang raja. Kisah ini ditemukan di Gazargah, pemakaman di Afghanistan Barat tempat guru Sufi Agung Khakja Abdullah Ansar dimakamkan pada tahun 1089. Nasihat 'lapis pertama' kisah ini adalah bahwa ketika manusia diberi sesuatu yang bernilai besar bagi masa depannya, ia tidak mempergunakannya dengan cukup baik.

REPUBLIKA.CO.ID, Suatu hari ada seorang nelayan, yang terbiasa melaut sendirian, menemukan sebuah botol kuningan dalam jalanya. Sumbat botol itu terbuat dari timah. Meskipun bentuknya agak berbeda dari botol lain yang lazim dilihatnya, nelayan itu berpikir kalau-kalau botol tersebut berisi sesuatu yang berharga. Lagipula, hari itu tangkapannya jelek, paling tidak ia bisa menjual botol kuningan itu kepada pedagang kuningan. Botol itu tidak begitu besar. Pada lehernya, tergores simbol aneh, Meterai Sulaiman, Raja dan Guru. Di dalam botol itu terperangkap suatu jin yang menakutkan, dan Sulaiman sendiri telah membuangnya ke laut agar manusia terlindung dari roh itu sampai saatnya tiba ketika tampil seseorang yang bisa mengendalikannya, menempatkan jin itu pada tugasnya sebagaimana semestinya, yaitu melayani manusia. Tetapi, nelayan itu tak mengetahui hal tersebut. Yang ia tahu adalah bahwa botol itu bisa ia selidiki, dan mungkin akan mendatangkan keuntungan bagi dirinya. Lupa akan petuah, 'Manusia hanya bisa mempergunakan sesuatu yang ia ketahui penggunaannya,' nelayan itu menarik sumbat timahnya. Ia menelungkupkan botol itu, namun tampaknya kosong. Lalu, ia meletakkan dan memandangi botol itu. Kemudian, terlihat suatu gumpalan asap tipis, yang semakin pekat, membumbung naik dan membentuk hantu raksasa dan seram, yang berseru dengan nyaring, "Aku Pemimpin Bangsa Jin yang mengetahui rahasia peristiwa-peristiwa gaib. Aku memberontak terhadap Sulaiman; dan ia mengurungku dalam botol laknat ini. Nah, sekarang kau akan kubunuh!" Nelayan itu ketakutan dan tersungkur di pasir sambil menangis, "Akan kau bunuh jugakah orang yang membebaskanmu?" "Tentu saja," kata jin itu, "Sebab berontak adalah sifatku, dan merusak adalah keahlianku, meskipun kurungan itu telah menahanku ribuan tahun lamanya." Sekarang, nelayan itu menyadari bahwa, alih-alih mendapat keuntungan dari tangkapan tak disangka itu, ia akan binasa begitu saja tanpa alasan yang bisa dimaklumi. Ia memandangi meterai pada sumpal botol itu, dan mendadak terpikir olehnya suatu ide. "Kau tak mungkin muncul dari botol itu, botol itu terlalu kecil," katanya. "Apa! Kau meragukan ucapan Pemimpin Para Jin?" teriak bayangan itu. Dan, jin itu pun mengubah dirinya menjadi gumpalan asap dan ia masuk kembali ke dalam botol itu. Nelayan itu mengambil sumbat tadi dan memeteraikannya pada botol itu. Kemudian, botol itu ia lemparkan jauh-jauh, ke kedalam lautan. Berpuluh-puluh tahun lewat, sampai suatu hari nelayan lain, yaitu cucu nelayan pertama tadi, melabuhkan jalanya di tempat yang sama, dan mendapati botol itu. Ia menaruh botol itu di pasir. Ketika baru saja hendak membukanya, ia teringat akan nasihat ayahnya, yang diturunkan dari kakeknya. Bunyi nasihat itu: 'Manusia hanya bisa mempergunakan sesuatu yang ia ketahui penggunaannya'. Dan tepat pada saat itu, karena guncangan pada penjara logam itu, si jin terbangun dari tidurnya, dan berseru, "Hai putra Adam, siapa pun kau, buka sumbat botol ini dan bebaskan aku! Sebab Akulah Pemimpin Bangsa Jin yang mengetahui rahasia peristiwa gaib."

Karena mengingat pesan leluhurnya, nelayan muda itu pun meletakkan botol itu dengan hatihati di dalam sebuah gua. Lalu, ia mendaki bukit karang yang terjal di dekat situ, mencari pondok seorang bijaksana. Ia pun menceritakan semuanya kepada orang bijaksana itu, yang berkata, "Pesan leluhurmu itu benar adanya kau harus melakukannya sendiri, tetapi terlebih dahulu kau harus memahami cara mempergunakannya." "Tetapi, apa yang harus kulakukan?" tanya pemuda itu. " Pasti ada sesuatu yang kau rasa ingin kau lakukan?" kata orang bijaksana itu. "Aku ingin membebaskan jin itu agar ia bisa memberiku pengetahuan ajaib atau mungkin gunungan emas, dan lautan jamrud, dan semua pemberian lain yang biasa diberikan oleh para jin." "Harapanmu itu tidak akan terjadi," kata sang guru, "Sebab ketika jin itu dibebaskan, ia mungkin tidak akan mengabulkan keinginanmu itu atau mungkin ia akan memberikannya tetapi mengambilnya kembali karena kau tak punya cara untuk melindungi para jin, belum lagi petaka yang bisa saja menimpamu ketika kau melakukan sesuatu serupa itu. Sebab, manusia hanya bisa mempergunakan sesuatu yang ia ketahui penggunaannya." "Kalau begitu, apa yang seharusnya kulakukan?' "Mintalah jin itu sebuah contoh pemberian yang bisa ia berikan. Mintalah cara menjaga pemberian itu dan ujilah caranya. Mintalah pengetahuan, jangan barang milik, sebab milik tanpa pengetahuan adalah sia-sia, dan itulah penyebab semua kekhawatitan kita." Sekarang, karena telah tepekur dan waspada, pemuda itu bisa menyusun rencananya ketika ia kembali ke gua tempat botol jin itu diletakkan. Ia pun mengetuk botol itu, dan terdengar suara jin itu berkata, "Dalam nama Sulaiman yang Perkasa, damai baginya, bebaskan aku, wahai putra Adam!" "Aku tak percaya bahwa kau seperti yang kau akui, dan bahwa kau memiliki kuasa seperti yang kau katakan," jawab pemuda itu. "Kau tak percaya? Tak tahukah kau bahwa aku tak bisa berbohong?" sahut jin itu. "Tidak, aku tak percaya," kata nelayan itu. "Lalu, bagaimana aku bisa meyakinkanmu?" "Tunjukkan padaku kekuatanmu. Bisakah kau mempergunakan kuasa tertentu melewati dinding botol?" "Ya, tetapi kekuatanku ini tak cukup kuat untuk membebaskan diriku." "Baik sekali, kemudian kau juga harus memberiku kemampuan untuk mengetahui kebenaran tentang masalah yang ada di pikiranku."

Segera saja, setelah jin itu menggunakan kemampuan gaibnya, nelayan itu pun segera sadar akan sumber petuah tadi yang diwariskan oleh kakeknya. Ia juga menyaksikan seluruh peristiwa pembebasan jin itu oleh kakeknya berpuluh-puluh tahun silam; dan dilihatnya pula cara untuk menyampaikan kepada orang lain tentang bagaimana memperoleh kemampuan serupa itu dari para jin. Tetapi, ia pun menyadari bahwa tak ada lagi yang bisa dilakukannya. Dan begitulah, si nelayan membawa botol itu dan, seperti kakeknya, melemparnya kembali ke lautan. Pemuda itu pun menghabiskan sisa hidupnya bukan sebagai nelayan, tetapi sebagai orang yang mencoba menjelaskan kepada orang lain, bahaya yang menimpa 'manusia hanya bisa mempergunakan sesuatu yang ia ketahui penggunaannya'. Namun, karena sedikit orang yang pernah menemukan jin dalam botol, dan tak ada orang bijaksana yang menasihati mereka dalam berbagai hal, penerus nelayan itu memutarbalikkan apa yang mereka sebut 'ajarannya', dan menirukan penjelasannya. Pada akhirnya, penyelewengan itu menjadi suatu agama. Mereka terkadang minum dari botol-botol aneh yang disimpan di dalam kuil-kuil mahal dan serba megah. Dan karena mereka mengagumi kelakuan pemuda nelayan itu, mereka berusaha keras untuk menyamai perbuatan dan sikapnya dalam segala hal. Kini berabad-abad kemudian, bagi para pengikut agama tersebut, botol itu tinggal lambang suci dan menyisakan misteri. Mereka mencoba saling menyayangi hanya karena mereka menyayangi nelayan itu. Dan di tempat nelayan itu mereka menetap dan membangun sebuah gubug sederhana. Mereka memakai pakaian dan perhiasan bagus-bagus, serta melakukan ritual yang rumit. Mereka tak tahu bahwa para pengikut orang bijaksana itu masih hidup, demikian pula anakcucu nelayan itu. Botol kuningan itu pun tetap tergeletak di relung samudera dan jin itu tertidur di dalamnya. Kisah ini, dalam satu versi, sangat dikenal oleh para pembaca Arabian Nights. Bentuk yang ditampilkan di sini menunjukkan pemanfaatannya oleh para darwis. Perlu dicatat bahwa 'pengetahuan yang diperoleh dari jin' dalam cara yang mirip dikatakan sebagai sumber dari kekuatan yang dimiliki oleh Virgil yang Mempesona dari Abad Pertengahan, di Naples; dan juga Gerbert, yang menjadi Paus Sylvester II pada tahun 999 SM. REPUBLIKA.CO.ID, Konon, seorang janda dan lima anak lelakinya hidup di atas sepetak tanah yang diairi. Mereka hidup sederhana dari hasil panen tanah pertanian itu. Tetapi, hak mereka untuk memperoleh air dirampas oleh seorang tuan lalim yang memalang dan menutup bendungan itu. Si Sulung beberapa kali berusaha memindahkan palang itu, tetapi ia tak cukup kuat, sedangkan adik-adiknya masih kecil. Lagipula, ia tahu bahwa tuan lalim itu selalu bisa menutup kembali bendungannya sehingga upayanya akan sia-sia belaka. Suatu hari, Si Sulung bertemu ayahnya dalam mimpi. Oleh ayahnya, ia diberi petunjuk tertentu yang menimbulkan harapan. Tak lama kemudian, tuan lalim yang marah atas perilaku pemuda itu menyebarkan berita ke seluruh negeri bahwa ia seorang pembuat onar sehingga membuat masyarakat benci kepadanya.

Pemuda ini menyingkir ke sebuah kota yang jauh. Di sana, selama bertahun-tahun, ia bekerja sebagai pembantu seorang pedagang. Dan waktu ke waktu dikirimnya sejumlah uang kepada ibunya lewat perantaraan para pedagang yang sedang dalam perjalanan. Sebab, ia tak ingin keluarganya merasa berhutang budi kepada orang asing dan agar para pedagang itu tidak dicurigai, ia meminta mereka memberikan uang itu kepada adik-adiknya sebagai upah untuk pekerjaan tertentu. Setelah berpuluh-puluh tahun lewat, Si Sulung pun memutuskan untuk kembali ke rumah ibunya. Ketika ia tiba di rumah, hanya seorang adiknya yang dengan ragu mengenalinya, sebab ia kini tampak jauh lebih tua. "Kakak tertuaku berambut hitam," kata adiknya. "Tetapi aku lebih tua sekarang," kata Si Sulung. "Kami bukan pedagang," kata adiknya yang lain. "Bagaimana mungkin orang ini, dengan pakaian dan cara bicaranya, mengaku saudara kita?" Si Sulung menjelaskan alasannya, tetapi adiknya itu tidak sepenuhnya yakin. "Aku masih ingat bagaimana kalian berempat kujagai, dan betapa kalian merindukan air yang muncrat dari lekukan yang melewati bendungan," kata Si Sulung. "Kami tidak ingat itu," kata mereka. Sebab, waktu itu mereka masih kecil dan waktu telah menghapuskan banyak hal dari ingatan mereka. "Namun, aku mengirimi kalian uang, yang mempertahankan hidup kalian sejak bendungan itu ditutup," kata Si Sulung. "Kami tak pernah menerima uangmu; uang yang kami peroleh merupakan upah atas pekerjaan kami sendiri membantu para pengelana pedagang," jawab mereka serempak. "Apa kau bisa menggambarkan tentang ibu kami?" tanya seorang adiknya yang masih mencari bukti. Tetapi, ibu mereka sudah lama meninggal, dan ingatan mereka pun telah kabur sehingga mereka meragukan semua ingatan Si Sulung tentang sang ibu. "Kalaupun kau ini benar-benar kakak kami, apa maksud kedatanganmu?" tanya mereka. "Aku ingin mengatakan pada kalian bahwa tuan lalim itu sudah tewas. Bahwa para prajuritnya telah membelot mengabdi kepada orang lain. Bahwa inilah saatnya bagi kita untuk mengembalikan kehijauan dan kebahagian di tanah ini." "Aku tak ingat ada tuan lalim," kata adiknya yang pertama. "Tanah di sini selalu seperti ini," kata yang kedua. "Untuk apa kami harus menuruti kata-katamu?" tanya yang ketiga. "Aku ingin menolongmu, tetapi aku belum mengerti sepenuhnya apa yang kau katakan," kata yang keempat. "Mari kita mulai bekerja," kata Si Sulung. "Lebih baik kita menunggu apakah para pedagang datang," kata yang lainnya.

"Tentu saja mereka tidak akan datang," kata Si Sulung, "Sebab akulah yang menyuruh mereka." Tetapi, mereka berdebat, berdebat, dan berdebat. Musim itu para pedagang tidak melewati jalan ke tanah bersaudara itu, sebab salju telah menghalangi jalan. Sebelum datang musim salju, para kafilah melintasi sepanjang Jalur Sutra, tuan lalim yang kedua, yang lebih jahat dari yang pertama, muncul. Pada awal kemunculannya, tuan lalim itu hanya mengambil tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Ia melihat bendungan tak bertuan itu dan bangkitlah ketamakannya. Ia bukan saja mengambil bendungan itu, tetapi juga memperbudak kelima orang bersaudara itu, sebab mereka masih sehat untuk bekerja berat, bahkan yang tertua sekalipun. Dan kelima orang bersaudara itu tetap saja adu mulut. Tampaknya tak ada lagi yang bisa menghentikan raja lalim itu kini. Berasal dari Abu-Ali Muhammad bin Al-Qasim Al-Rudbari, kisah ini merupakan cerita terkenal dari Jalan Guru, tarekat Khwajagan. Cerita ini menggambarkan asal-usul pelik dari ajaran-ajaran sufi, yang datang dari suatu tempat, tetapi tampaknya datang dari tempat lain, sebab pikiran manusia tak dapat merasakan (seperti kelima bersaudara dalam Fabel tadi) 'Sumber yang sejati'. Rudbari memperoleh 'Rantai Peralihan' ajarannya dari semua sufi terdahulu, terutama dari Shibli, Bayazid, dan Harudan Qassar. REPUBLIKA.CO.ID, Konon ada seorang laki-laki meninggal di tempat yang jauh dari rumahnya. Sebelum meninggal, ia mengucapkan wasiatnya, "Biarlah masyarakat di tanah di mana hartaku berada, mengambil bagi mereka bagian yang mereka inginkan. Dan biarlah mereka memberikan bagian yang mereka inginkan kepada Arif Si Rendah Hati." Saat itu, Arif masih muda belia dan tidak memiliki pengaruh yang berarti di dalam masyarakat tersebut. Para tua-tua mengambil apa saja yang berharga yang bisa diambil, dan menyisakan bagi Arif barang-barang tidak berharga, yang tidak diinginkan siapa pun. Bertahun-tahun kemudian, Arif, yang bertumbuh dalam kekuatan dan hikmat, pergi menemui para tua-tua itu untuk menuntut hak warisannya. "Engkau mendapat barang-barang tidak berharga itu, sebab memang demikianlah isi wasiat tersebut," kata para tua-tua. Mereka tidak merasa telah merampas sesuatu pun, sebab mereka dibenarkan untuk mengambil apa saja yang mereka sukai. Tetapi, di tengah perdebatan, muncul seorang laki-laki tak dikenal. Warna mukanya pucat, tetapi ia terlihat penuh wibawa. Katanya, "Maksud dari wasiat itu adalah agar kalian memberi kepada Arif apa yang kalian inginkan bagi diri sendiri, sebab ia dapat memanfaatkan warisan itu untuk kebaikan yang lebih besar." Kata-kata tersebut membawa pada pencerahan, dan para tua-tua itu kini memahami maksud sebenarnya dari kalimat, "Biarlah mereka memberikan bagian yang mereka inginkan kepada Arif."

"Ketahuilah," kata penampakan itu, "bahwa pemberi wasiat telah merencanakan semuanya. Ia sadar bahwa sepeninggalnya, hartanya akan sia-sia bila tidak diwariskan. Tetapi, ia tahu bahwa jika secara terang-terangan ia menjadikan Arif sebagai pewarisnya maka kalian akan merampasnya. Atau, setidaknya tentu akan menimbulkan pertikaian." "Jadi, wasiatnya seolah-olah ditujukan pada kalian, sebab ia mengetahui bahwa bila kalian pikir harta itu milik kalian, tentu kalian akan menjaganya baik-baik. Itu sebabnya ia mengatur siasat jitu untuk memelihara dan mewariskan harta tersebut. Sudah saatnya sekarang warisan itu dikembalikan untuk digunakan dengan sebaik-baiknya." Demikianlah kekayaan itu berpindah tangan kepada pewarisnya; para tua-tua itu mampu melihat kebenaran. Ajaran sufi agar orang mengharapkan bagi diri mereka apa yang seharusnya mereka harapkan bagi orang lain ditekankan dalam kisah ini oleh Sayid Ghaos Ali Shah, dari tarekat Qadiri yang wafat tahun 1881 dan dimakamkan di Panipat. Gagasan ini bukanlah sesuatu yang baru; dalam dongeng-dongeng rakyat sering kali ditemukan kisah tentang perjalanan berliku sebuah wasiat hingga sampai kepada pewaris sah yang selama puluhan tahun tak dapat menuntut haknya. Di berbagai kalangan darwis, cerita ini diajarkan sebagai sebuah ilustrasi dari pernyataan: "Engkau memiliki banyak anugerah yang sebenarnya merupakan titipan semata. Ketika hal ini engkau pahami, niscaya engkau dapat memberikan anugerah tersebut kepada pemilik yang berhak." REPUBLIKA.CO.ID, Tetangga Nasrudin ingin belajar bahasa Kurdi. Maka ia minta diajari Nasrudin. Sebetulnya Nasrudin juga belum bisa bahasa Kurdi selain beberapa patah kata. Tapi karena tetangganya memaksa, ia pun akhirnya bersedia. "Kita mulai dengan sop panas. Dalam bahasa Kurdi, itu namanya Aash." "Bagaimana dengan sop dingin?" "Hemmm... Perlu diketahui bahwa orang Kurdi tidak pernah membiarkan sop jadi dingin. Jadi, engkau tidak akan pernah mengatakan sop dingin dalam bahasa Kurdi."

Kisah Bijak Para Sufi: Air Surga


Senin, 30 Januari 2012 21:44 WIB REPUBLIKA.CO.ID, Harits, orang Badui, dan istrinya Nafisa, berpindah-pindah tempat membawa tendanya yang butut. Di mana pun ditemukannya tempat yang ditumbuhi beberapa kurma atau rumput belukar untuk untanya dan terdapat kolam air sekotor apa pun, pasti ia singgahi. Kehidupan semacam itu telah mereka jalani bertahun-tahun lamanya, dan Harits jarang sekali melakukan sesuatu di luar kebiasaannya sehari-hari; menjerat tikus gurun untuk diambil kulitnya, memintal tali dari serat kurma untuk dijual kepada kafilah yang lewat.

Namun, pada suatu hari, sebuah mata air muncul di padang pasir, dan Harits pun mencucukkan sedikit air ke mulutnya. Baginya, air itu terasa bagaikan air surga, sebab jauh lebih jernih dibandingkan air yang biasa diminumnya. Bagi kita, air itu akan terasa memualkan sebab sangat asin. "Air ini," kata Harits, "Harus kubawa kepada seseorang yang bisa menghargainya." Segeralah ia berangkat ke Baghdad, ke istana Khalifah Harun Al-Rasyid. Ia berjalan terus tanpa berhenti kecuali untuk mengunyah beberapa buah kurma. Harits membawa dua kantong kulit kambing berisi air; satu untuk dirinya, yang lain untuk Khalifah. Beberapa hari kemudian, sampailah ia di Baghdad, dan langsung menuju istana. Para pengawal istana mendengarkan ceritanya dan, hanya karena demikianlah aturan di istana, mereka membawanya ke pertemuan umum Raja Harun. "Penguasa kaum beriman," kata Harits, "Saya seorang Badui miskin, dan mengetahui segala macam air di padang pasir, meskipun aku mungkin hanya tahu sedikit tentang hal-hal lain. Saya baru saja menemukan Air Surga ini, dan karena menyadari bahwa air ini pantas dibawa kepada Tuan, maka saya pun segera membawanya kemari sebagai persembahan." Khalifah Harun mencicipi air itu dan, karena ia memahami rakyatnya, ia menyuruh penjaga membawa Harits pergi dan mengurungnya sampai ia mengambil keputusan. Kemudian, dipanggilnya kepala pengawal, dan berkata, "Yang bagi kita bukan apa-apa, baginya segalagalanya. Oleh karena itu, bawalah ia pergi dari istana pada malam hari. Jangan sampai dilihatnya Sungai Tigris yang dahsyat itu." "Kawal orang itu sepanjang jalan menuju tendanya tanpa memberinya kesempatan mencicipi air murni. Kemudian, berilah ia seribu keping emas dan sampaikan terima kasihku untuk persembahannya itu. Katakan padanya bahwa ia adalah penjaga Air Surga, dan bahwa ia diperbolehkan atas namaku membagikan air itu kepada kafilah yang lewat, secara cumacuma." Kisah ini juga dikenal sebagai 'Kisah tentang Dua Dunia.' Kisah ini diceritakan oleh Abu AlAtahiyyah dari Suku Aniza (sezaman dengan Harun Al-Rasyid dan pendiri Darwis Makhara (Kaum Suka Ria), yang namanya diabadikan dalam istilah Mascara dalam bahasa-bahasa Barat. Pengikutnya tersebar hingga ke Spanyol, Perancis, dan negeri-negeri lain. AlAtahiyyah disebut sebagai 'Bapak puisi suci sastra Arab'. Ia wafat tahun 828.

Kisah Bijak Para Sufi: Orang yang Mudah Marah


Jumat, 20 Januari 2012 17:58 WIB REPUBLIKA.CO.ID, Setelah bertahun-tahun lamanya, seorang yang sangat mudah naik darah menyadari bahwa ia sering mendapat kesulitan karena sifatnya itu.

Suatu hari, ia mendengar tentang seorang darwis yang berpengetahuan dalam; ia pun menemuinya untuk meminta nasihat. Darwis itu berkata, "Pergilah ke sebuah persimpangan jalan. Di sana, kau akan menemukan sebatang pohon mati. Berdirilah di bawahnya dan berikan air kepada setiap pejalan yang lewat di tempat itu!" Lelaki itu berbuat seperti yang diperintahkan. Hari-hari berlalu, dan ia pun mulai dikenal sebagai seorang yang mengikuti latihan tertentu perihal kemurahan hati dan pengendalian diri, di bawah bimbingan seseorang yang berpengetahuan sejati. Pada suatu hari, ada seorang lelaki berjalan tergesa-gesa; ia membuang muka ketika ditawari air, dan terus bergegas melanjutkan perjalanannya. Orang yang mudah marah itu memanggilnya berulang kali, "Kembali kau, balas salamku! Minum air ini, yang kusediakan untuk para musafir!" Tetapi tak ada jawaban. Tidak tahan menerima perlakuan tersebut, orang yang pemarah itu lupa akan latihannya. Ia meraih senjatanya, yang dicantelkannya di pohon mati itu. Dengan sigap dibidiknya musafir yang tak peduli itu, dan ditembaknya. Musafir itu pun seketika tersungkur mati. Tepat pada saat peluru menembus tubuh orang itu, pohon mati tersebut, secara ajaib, penuh dengan mekar bunga. Orang yang terbunuh itu seorang pembunuh, yang sedang dalam perjalanan untuk melakukan kejahatan terburuk sepanjang hidupnya. Seperti Saudara lihat, ada dua jenis penasihat. Jenis yang pertama adalah penasihat yang secara mekanis memberitahu apa yang harus dilakukan menurut prinsip-prinsip baku tertentu. Jenis yang kedua adalah Manusia Pengetahuan. Barangsiapa bertemu dengan Manusia Pengetahuan, ia akan menanyakan nasihat moral kepadanya, dan menganggapnya sebagai moralis. Tetapi yang dijunjungnya adalah Kebenaran, bukan harapan-harapan saleh. Guru Darwis yang digambarkan dalam kisah ini konon adalah Najmudin Kubra, salah seorang ulama Sufi yang terbesar. Ia mendirikan Kubrawi (Persaudaraan yang Lebih Agung) yang sangat mirip dengan serikat yang belakangan didirikan oleh Santo Fransiskus Assisi. Seperti juga Santo Fransiskus Assisi, Najmudin dikenal memiliki kekuasaan gaib atas binatang. Najmudin termasuk di antara enam ratus ribu orang yang tewas ketika Khawarizmi di Asia Tengah dihancurkan pada tahun 1221. Konon, Jengiz Khan, Penguasa Mongol, karena mengetahui reputasinya, menawarkan kebebasan jika ia mau menyerahkan diri. Tetapi, Najmudin memilih berada di antara para pembela kota itu. Ia kemudian termasuk di antara korban yang tewas. Karena telah mengetahui akan datangnya malapetaka itu, Najmudin mengungsikan semua muridnya ke tempat aman beberapa saat sebelum bala tentara Mongol menyerbu.

Anda mungkin juga menyukai