Sejak lima tahun terakhir Indonesia mengalami penurunan produksi minyak nasional yang disebabkan menurunnya secara alamiah (natural decline) cadangan minyak pada sumur-sumur yang berproduksi. Di lain pihak, pertambahan jumlah penduduk telah meningkatkan kebutuhan sarana transportasi dan aktivitas industri yang berakibat pada peningkatan kebutuhan dan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) nasional. Untuk memenuhi kebutuhan BBM tersebut, pemerintah mengimpor sebagian BBM. Menurut Ditjen Migas, impor BBM terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari 106,9 juta barrel pada 2002 menjadi 116,2 juta barrel pada 2003 dan 154,4 juta barrel pada 2004. Dilihat dari jenis BBM yang diimpor, minyak solar (ADO) merupakan volume impor terbesar setiap tahunnya. Pada 2002, impor BBM jenis ini mencapai 60,6 juta barrel atau 56,7% dari total, kemudian meningkat menjadi 61,1 juta barrel pada 2003 dan 77,6 juta barrel pada 2004. Besarnya ketergantungan Indonesia pada BBM impor semakin memberatkan pemerintah ketika harga minyak dunia terus meningkat yang mencapai di atas US$ 70 per barrel pada Agustus 2005, karena semakin besarnya subsidi yang harus diberikan pemerintah terhadap harga BBM nasional. Pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengurangi subsidi BBM yang berakibat pada meningkatnya harga BBM nasional yang dilakukan dalam 2 tahap yaitu pada bulan Maret dan Oktober 2005. Ini berakibat pada penurunan konsumsi BBM yang cukup signifikan. Menurut catatan Pertamina, total konsumsi harian BBM menurun sebesar 27% paska kenaikan BBM tanggal 1 Oktober 2005 yaitu dari 191,0 ribu kiloliter per hari menjadi 139,8 ribu kiloliter per hari. Solar mengalami penurunan sebesar 30,3% dari 77,0 ribu kiloliter per hari menjadi 53,6 ribu kiloliter per hari. Sedangkan Premium menurun cukup tajam sebesar 36,8% dari 53,4 ribu kiloliter per hari menjadi 33,7 kiloliter per hari. Penyebab utama penurunan konsumsi ini diduga karena turunnya daya beli masyarakat dan semakin selektifnya masyarakat memilih aktivitas harian untuk menghemat pemakaian BBM.
Melihat
kondisi
tersebut,
pemerintah
telah
mengumumkan
rencana
untuk
Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti Bahan Bakar Minyak. Walapun kebijakan tersebut menekankan penggunaan batu bara dan gas sebagai pengganti BBM, kebijakan tersebut juga menetapkan sumber daya yang dapat diperbaharui seperti bahan bakar nabati sebagai alternatif pengganti BBM. Pemerintah Indonesia juga telah memberikan perhatian serius untuk pengembangan bahan bakar nabati (biofuel) ini dengan menerbitkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2006 tertanggal 25 Januari 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Beberapa dari bahan bakar nabati yang dapat dikembangkan adalah biodiesel dan bioetanol. Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk menghasilkan biodiesel dan bioetanol mengingat kedua bahan bakar nabati ini dapat memanfaatkan kondisi geografis dan sumber bahan baku minyak nabati dari berbagai tanaman yang tersedia di Indonesia. Menurut hasil riset Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Indonesia memiliki 60 jenis tanaman yang berpotensi menjadi energi bahan bakar alternatif. Di antaranya adalah kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, dan kapuk yang bisa dijadikan biodiesel untuk bahan bakar alternatif pengganti solar, dan tebu, jagung, singkong, ubi serta sagu yang bisa dijadikan bioetanol untuk dijadikan bahan bakar alternatif pengganti premium. Beberapa di antara tumbuhan penghasil energi dengan potensi produksi minyak dalam liter per hektar dan ekuivalen energi yang dihasilkan adalah sebagai berikut : Tabel 1. Jenis Tumbuhan Penghasil Energi Produksi Minyak (Liter per Hektar) Ekuivalen Energi (kWh per Hektare) 33.900 37.700 19.800 26.400 17.000 25.500 16.000 11.300 18.900 6.600
Elaeis guineensis (kelapa sawit) Jatropha curcas (jarak pagar) Aleurites fordii (biji kemiri) Saccharum officinarum (tebu) Ricinus communis (jarak kepyar) Manihot esculenta (ubi kayu)
3.600 4.000 2.100 2.800 1.800 2.700 2.450 1.200 2.000 1.020
yang lebih tinggi sehingga pembakaran lebih sempurna (clear burning); memiliki sifat pelumasan terhadap piston mesin; dan dapat terurai (biodegradable) sehingga tidak menghasilkan racun (non toxic). Menurut hasil penelitian BBPT, biodiesel bisa langsung digunakan 100% sebagai bahan bakar pada mesin diesel tanpa memodifikasi mesin dieselnya atau dalam bentuk campuran dengan solar pada berbagai konsentrasi mulai dari 5%. Pengembangan biodiesel membutuhkan bahan baku minyak nabati yang dapat dihasilkan dari tanaman yang mengandung asam lemak seperti kelapa sawit (Crude
Palm Oil/CPO), jarak pagar (Jatropha Curcas), kelapa, sirsak, srikaya dan kapuk.
Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel. Kelapa sawit merupakan salah satu sumber bahan baku minyak nabati yang prospektif dikembangkan sebagai bahan baku biodiesel di Indonesia, mengingat produksi CPO Indonesia cukup besar dan meningkat tiap tahunnya.
Grafik 1. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Minyak Sawit Periode 1999-2003
4 .0 3 .0 8 .0 Ju ta H a 2 .0 1 .0 2 .0 0 .0 Luas Lahan Pro d u ks i C PO 1999 2 .9 5 .9 2000 3 .0 6 .5 2001 3 .1 7 .2 2002 3 .5 9 .3 2003 3 .8 9 .9 0 .0 6 .0 4 .0 Ju ta T o n 1 2 .0 1 0 .0
Sebagai produsen CPO terbesar kedua di dunia, Indonesia sangat potensial sebagai produsen biodiesel dengan memanfaatkan minyak yang berbasis sawit, baik CPO itu sendiri maupun turunannya. Menurut catatan BBPT, produksi CPO Indonesia pada 2003 mencapai tak kurang dari 9 juta ton, dan setiap tahunnya mengalami kenaikan hingga 15%. Hampir seluruh produk CPO dapat diolah menjadi biodiesel, dari yang terbaik dengan kadar Free Fatty Acid (FFA) kurang dari 5 persen hingga Palm Fatty
Acid Distillate (PFAD) berkadar FFA lebih dari 70 persen. Kebutuhan CPO dalam
negeri saat ini sebagian besar diserap oleh pabrik minyak goreng dengan kebutuhan rata-rata 3,5 juta ton per tahun. Pabrik minyak goreng dapat menghasilkan PFAD sekitar 6% dari kebutuhan CPO-nya, sehingga setahun dapat mencapai 0,21 juta ton PFAD. Mengingat saat ini harga CPO masih relatif mahal (dapat mencapai US$
Economic Review No. 203 Maret 2006
400/ton), maka Engineering Center - PPT telah mengembangkan CPO Parit atau limbah CPO dari Pabrik Kelapa Sawit untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel. Harga CPO Parit relatif murah rata-rata Rp 500,00 Rp 1000,00 per liter sehingga jika ditambah biaya produksi masih dapat bersaing dengan harga solar sekarang, yang masih disubsidi oleh pemerintah. Menurut penelitian BBPT, di samping CPO masih ada lebih dari 40 jenis minyak nabati yang potensial sebagai bahan baku biodiesel di Indonesia, antara lain minyak jarak pagar, minyak kelapa, minyak kedelai, dan minyak kapok. Di antara bahan baku tersebut, jarak pagar merupakan tanaman unggulan untuk pengembangan biodiesel. Tanaman jarak pagar prospektif sebagai bahan baku biodiesel mengingat tanaman ini dapat tumbuh di lahan kritis dan karakteristik minyaknya yang sesuai untuk biodiesel. Biaya operasional pengembangan tanaman jarak pagar lebih ekonomis dibandingkan kelapa sawit. Sebagai perbandingan, biaya pengembangan dan perawatan tanaman jarak pagar hanya perlu 20% hingga 25% dari input atau hasil pendapatan total produksi sementara kelapa sawit memmerlukan 40% sampai 50% dari input yang dihasilkannya untuk pengembangan dan perawatan. Di Indonesia masih banyak terdapat lahan kritis yang dapat dimanfaatkan untuk perkebunan tanaman bahan bakar hijau (green fuel) seperti kelapa sawit dan jarak pagar. Menurut Biro Pusat Statistik, luas lahan kritis di Indonesia sampai dengan akhir tahun 2003 secara total adalah sebesar 22,1 juta hektar (7,9 juta hektar dalam kawasan hutan lindung dan 14,1 juta hektar di luar kawasan hutan), dengan rincian sebagai berikut : Tabel 2. Luas Lahan Kritis per Propinsi s/d Akhir Tahun 2003
Dalam Hektar
PROPINSI N. Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Sumatera DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten SISA LAHAN KRITIS S/D TAHUN 2003 Dalam Kawasan Luar Kawasan Jumlah Hutan Hutan 20,989 230,088 251,077 215,915 216,977 432,892 15,736 78,266 94,002 75,346 241,719 317,065 166,034 533,497 699,531 1,181,305 2,214,315 3,395,620 75,394 491,433 566,827 200,131 78,256 278,387 1,950,850 4,084,551 6,035,401 4,147 285,774 289,921 4,113 195,658 199,771 (2,788) 10,223 7,435 332,731 780,011 1,112,742 (935) (935)
Jawa Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Bali & Nusa Tenggara Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Maluku Papua Maluku & Papua INDONESIA
338,203 8,328 52,007 287,767 348,102 1,253,055 44,594 340,567 942,074 2,580,290 75,358 255,920 561,560 51,131 (300) 943,669 177,236 1,648,136 1,825,372 7,986,486
1,270,731 3,354 211,688 1,022,539 1,237,581 1,800,826 1,693,682 205,053 789,945 4,489,506 144,785 146,290 358,635 178,247 (300) 827,657 510,540 1,707,788 2,218,328 14,128,354
1,608,934 11,682 263,695 1,310,306 1,585,683 3,053,881 1,738,276 545,620 1,732,019 7,069,796 220,143 402,210 920,195 229,378 (300) 1,771,626 687,776 3,355,924 4,043,700 22,115,140
Cetak biru (blueprint) Pengelolaan Energi Nasional mentargetkan produksi biodiesel sebesar 0,72 juta kiloliter pada tahun 2010 untuk menggantikan 2% konsumsi solar yang membutuhkan 200 ribu hektar kebun sawit dan 25 unit pengolahan berkapasitas 30 ribu ton per tahun dengan nilai investasi sebesar Rp. 1,32 triliun; hingga menjadi sebesar 4,7 juta kiloliter pada tahun 2025 untuk mengganti 5% konsumsi solar yang membutuhkan 1,34 juta hektar kebun sawit dan 45 unit pengolahan berkapasitas 100 ribu ton per tahun dengan investasi mencapai Rp. 9 triliun. Dengan asumsi pertambahan produksi biodiesel rata-rata 150 ribu kiloliter per tahun selama periode 2006-2015, dan meningkat menjadi 300 ribu kiloliter per tahun selama periode 2016-2025, maka proyeksi target produksi biodiesel menjadi sebagai berikut :
152,5
152,5
152,5
152,5
152,5
156,0
320,0
*) Target produksi 2006-2007 cfm. Balitbang Deptan **) Target Produksi 2010 s/d 2025 cfm. Cetak Biru Pengelolaan Energi Nasional ***) Proyeksi Target produksi 2008-2009 dengan asumsi pertambahan produksi rata-rata 150 ribu kiloliter per tahun
Saat ini pabrik biodiesel milik BPPT berkapasitas 1,5 ton per hari telah beroperasi di kawasan Puspitek Serpong, dan diperkirakan pada bulan Juli 2006 pabrik biodiesel kedua dengan kapasitas 3 ton per hari milik BPPT juga akan beroperasi. Kedua pabrik tersebut menggunakan multi bahan baku seperti CPO dalam berbagai mutu, minyak jarak, minyak mutu rendah dari limbah pabrik minyak goreng dan kopra. Pabrik pengolahan biodiesel tidak membutuhkan biaya investasi besar sehingga dapat dikembangkan melalui unit kecil dan dikelola oleh usaha kecil dan menengah (UKM). Sebagai gambaran, pabrik dengan kapasitas produksi 3 ton per hari hanya membutuhkan investasi Rp. 3,9 miliar dan masa pengembalian sekitar 3 tahun.
b. Bioetanol Untuk pengganti premium, terdapat alternatif gasohol yang merupakan campuran antara bensin dan bioetanol. Bioetanol bersumber dari karbohidrat yang potensial sebagai bahan baku seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu, dan tebu. Setelah
melalui proses fermentasi, dihasilkanlah etanol. Menurut penelitian BPPT, tanaman jagung merupakan unggulan untuk bahan utama bioetanol karena selain dari segi ekonomis tergolong murah, jumlah hasil bioetanol yang dihasilkan jagung ternyata lebih besar di antara tanaman lain seperti ubi kayu, ubi jalar, sagu dan tebu. Jagung seberat 1 ton dapat menghasilkan 400 liter bioetanol sementara ubi kayu, ubi jalar, sagu, dan tebu untuk berat yang sama menghasilkan masing-masing 166,6 liter, 125 liter, 90 liter dan 250 liter bioetanol. Dari jagung dapat dibuat etanol 99,5% atau
Tantangan ke Depan Pengembangan biodiesel dan bioetanol membutuhkan motor penggerak dan modal yang besar untuk membiayai budi daya bahan baku baik dari segi pengadaan lahan, bibit, pupuk maupun obat-obatan. Perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di
bidang pertanian dan perkebunan diharapkan dapat menjadi motor penggerak bagi usaha budi daya ini karena besarnya biaya budidaya dan pengembangan. Saat ini yang menjadi kendala pengembangan biodiesel dan bioetanol antara lain ketersediaan lahan, keterbatasan pasar atau penggunanya. Ada pula kemungkinan hambatan sosial dalam pengembangan tanaman jarak yaitu dalam membangun rasa saling percaya antara petani jarak dengan pengusaha sebagai pengolah biji jarak. Meskipun tanaman jarak sangat potensial dikembangkan sebagai energi terbarukan dengan harga murah, dapat ditanam di lahan kritis, dan dapat meningkatkan pendapatan petani, tapi belum semua pihak menyadari potensi tersebut. Penggunaan dan komersialiasi biodiesel dan bioetanol di Indonesia mungkin tidak dapat dilihat dalam waktu dekat. Hal ini antara lain disebabkan karena belum adanya aturan hukum yang jelas dalam industri ini dan standar penggunaan bahan-bahan untuk biodiesel dan bioetanol sehingga menyulitkan produsen biodiesel dan bioetanol untuk memperoleh pembiayaan dan menjalankan bisnisnya. Selain itu, kurangnya jaringan distribusi dan infrastruktur menyulitkan pemasaran biodiesel dan bioetanol di pasar domestik. Sebagai konsekuensi, sebagian besar biodiesel dan bioetanol yang diproduksi di Indonesia sekarang digunakan untuk pasar ekspor.
Penutup Untuk dapat melakukan diversifikasi energi dalam hal ini pengembangan bahan bakar nabati khususnya biodiesel sebagai pengganti solar dan bioetanol sebagai pengganti premium, dibutuhkan beberapa hal. Pertama, perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang pertanian dan perkebunan diharapkan dapat menjadi pelopor dalam usaha budi daya tanaman penghasil biodiesel dan bioetanol serta menjadi motor untuk menggerakkan perusahaan-perusahaan skala kecil atau petani melalui bantuan dana dan manajemen. Kedua, dukungan dan keterlibatan pihak swasta dalam menerapkan dan
mengembangkan industri pengolahan biodiesel dan bioetanol pada skala pabrik, dalam hal ini teknologi pengolahan bahan baku menjadi produk biodiesel dan bioetanol agar kontinuitas produksi terjaga dengan baik, menindaklanjuti pengkajian teknologi dan pengembangan skala laboratorium yang selama ini dilakukan BPPT. Ketiga, adanya aturan dan kebijakan nasional yang bersifat teknis implementatif dalam standarisasi produksi, penggunaan, distribusi dan tata niaga produk biodiesel dan bioetanol, untuk menindaklanjuti Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2006 tertanggal 25 Januari 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Pemerintah perlu mengeluarkan standar mutu penggunaan bahan-bahan untuk biodiesel dan bioetanol, jaminan pasokan bahan baku dan distribusi produk biodiesel, dan insentif bagi produsen dan pengguna biodiesel.
Economic Review No. 203 Maret 2006
Dalam hal distribusi misalnya, pemerintah melalui Pertamina dapat mewajibkan setiap SPBU untuk menjual produk bioetanol dan biodiesel sehingga distribusi dan penyerapan produk tersebut di masyarakat akan semakin cepat.