Anda di halaman 1dari 19

KTSP DAN SERTIFIKASI GURU, ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN *)

Das Salirawati **) PENDAHULUAN


Saat ini pendidikan di Indonesia nampaknya sedang mencari-cari formula yang terbaik dan tepat dalam membawa anak-anak bangsa menuju masa depan yang lebih baik. Hal ini terbukti dengan adanya ujicoba berbagai kurikulum yang demikian cepatnya sehingga di lapangan banyak guru mengeluhkan baru mau duduk sudah disuruh berdiri lagi. Terlepas dari itu, perubahan kurikulum adalah wajar terjadi di negara manapun, karena sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan yang berlaku nasional harus selalu disesuaikan dengan perkembangan IPTEK dan tuntutan masyarakat (Olivia, 1992 : 3). KTSP yang mulai diterapkan di lapangan oleh sebagian sekolah sebenarnya tidak lain merupakan kelanjutan dari Kurikulum 2004 maupun KBK. Apapun namanya, sebagai guru haruslah tunduk dan berusaha untuk melaksanakannya dengan baik. Hal ini karena keberhasilan pelaksanaan kurikulum sangat tergantung pada kemauan dan kemampuan guru dalam menangkap perubahan yang terjadi (Roy Barnes, 2005). Tak ada seorang gurupun yang tidak menginginkan anak didiknya menjadi lebih baik dan lebih maju, namun untuk menuju ke arah itu masing-masing guru memiliki cara & irama kerja yang berbeda. Nampaknya inilah yang dipahami Pemerintah, dengan KTSP guru diberi keleluasaan untuk mengembangkan sendiri kurikulum pada tingkat pembelajaran dalam rangka menjembatani keberagaman kemampuan guru, sehingga mereka dapat menuangkan ide-idenya ke dalam proses pembelajaran. Dengan demikian semua guru dapat berkembang sesuai dengan kemampuan dan tidak ada keterpaksaan dalam melaksanakan, karena apa yang dilakukan sesuai dengan apa yang direncanakan sendiri. Dalam rangka memacu kinerja dan profesionalitas guru, saat inipun telah digulirkan kebijakan sertifikasi guru. Kebijakan ini menunjukkan keseriusan dan komitmen yang tinggi Pemerintah dalam upaya meningkatkan profesionalisme dan penghargaan kepada guru sebagai pelaksana pendidikan di tingkat pembelajaran yang bermuara akhir pada peningkatan kualitas pendidikan nasional. Dengan pengujian terhadap kompetensi guru harapannya dapat terbentuk pribadi guru yang mantap, yang mampu menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai pendidik dengan baik dan profesional.
*) Makalah ini disampaikan dalam rangka Perayaan Waisak 2551 / 2007 Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra, tanggal 17 Mei 2007 di Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra Kopeng, Kab. Semarang. **) Dosen Jurusan Pendidikan Kimia Universitas Negeri Yogyakarta

KTSP dan sertifikasi guru adalah dua hal yang berbeda tetapi saling berkaitan erat. Di satu sisi pelaksanaan KTSP memerlukan guru-guru yang kreatif, inovatif, dan berpikir maju, di sisi lain untuk mewujudkan guru yang demikian perlu pengujian terhadap kualitas guru, yaitu melalui sertifikasi guru. Kenyataan di lapangan menunjukkan berbagai masalah muncul berkaitan dengan pelaksanaan KTSP dan sertifikasi guru, karena kekurangjelasan informasi yang diterima guru maupun pihak-pihak yang terkait dengan dunia pendidikan di daerah masing-masing. Oleh karena itu sangat diperlukan suatu forum untuk sharing dan diskusi mengenai hal ini. Melalui forum inilah kita dapat saling berbagi kebingungan, informasi dan solusi yang bermanfaat dalam memberikan pencerahan bagi kita semua. KTSP, HARAPAN DAN KENYATAAN KTSP tidak berbeda jauh dengan Kurikulum 2004 / KBK, baik ditinjau dari aspek filosofi, tujuan, materi, proses pembelajaran, maupun cara penilaian. Perbedaan hanya terletak pada pemberian panduan umum dimana pada KTSP guru hanya diberi kerangka dasar dan struktur kurikulum, Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) setiap mata pelajaran pada setiap semester dari setiap jenis dan jenjang pendidikan dasar dan menengah yang tercantum dalam Standar Isi (satu dari delapan standar yang ditetapkan BSNP). Oleh karena itu permasalahan yang belum tuntas dipecahkan dalam pelaksanaan KBK tetap bergulir sebagai permasalahan pada pelaksanaan KTSP. Ketika dilahirkan KTSP pastilah ada secercah harapan yang ingin diraih bangsa kita dalam dunia pendidikan, diantaranya agar setiap sekolah mampu menyusun dan mengembangkan kurikulum sendiri sesuai dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, kebutuhan, kemampuan sekolah, dan karakteristik siswa, sehingga memungkinkan sekolah dapat menyesuaikan program pendidikan yang akan dilaksanakan di lapangan. Namun untuk mencapai tujuan seperti itu tidak semudah membalik tangan, diperlukan komitmen Kepala Sekolah dan jajarannya untuk mampu memenuhinya. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak setiap sekolah siap untuk melaksanakan apa yang digariskan dalam KTSP sesuai yang diterbitkan BSNP. Banyak kendala yang dihadapi, baik yang berkaitan dengan komitmen, kemauan dan kemampuan Kepala Sekolah maupun guru-gurunya. Mulai dari hal yang sederhana, seperti bagaimana memotivasi guru-guru untuk mau bersama-sama menciptakan pembelajaran bernuansa KTSP sampai pada penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif untuk memperlancar penerapan berbagai metode dan pendekatan yang inovatif. Mungkin Pemerintah belum berpikir secara masak bahwa tidak semua sekolah siap menghadapi loncatan perubahan yang mungkin dianggap draktis bagi mereka yang sama sekali belum siap. Adanya

kesenjangan antara harapan yang diinginkan Pemerintah dengan kenyataan di lapangan inilah yang menimbulkan berbagai masalah. PERMASALAHAN KTSP DAN SOLUSINYA KTSP tidak dilengkapi dengan Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP), guru hanya diberi SK dan KD yang terdapat dalam SI. Dengan SK dan KD tersebut guru diharapkan mampu mengembangkan silabus dan mengoperasionalkan dalam bentuk RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Namun kenyataannya pemahaman setiap guru tentang silabus, baik mengenai cara pembuatan dan maknanya dalam pembelajaran tidak seragam. Hal ini karena setiap ada pelatihan, lokakarya, maupun kegiatan sejenis, pembicara yang satu dengan yang lain tidak memiliki kesamaan pola pikir dan pemaknaan tentang silabus. Selain itu, keberadaan contoh model KTSP dalam panduan BSNP sangat mengganggu proses otonomi sekolah dalam pengembangan silabus dan RPP, karena meskipun BSNP tidak mewajibkan sekolah untuk mengikuti contoh tersebut, namun sekolah tetap terpaku padanya. Terlebih bagi sekolah yang belum mandiri, akan merasa nyaman bila mengikuti contoh model itu daripada mereka membuat sendiri yang dikhawatirkan tidak sesuai dengan yang diinginkan BSNP. Selama ini guru telah terbiasa menyusun RPP berdasarkan format yang berlaku di sekolah mereka, sehingga hadirnya contoh seolah-olah Pemerintah menginginkan keseragaman. Mungkin menjadi perenungan bagi kita semua, kalau memang ingin dibebaskan dalam menyusun dan mengembangkan silabus, mengapa BSNP harus membuat contoh model ? Apakah tidak sebaiknya hanya diberi batasan tentang apa saja yang harus ada dalam silabus dan RPP tanpa harus memberi contoh model ? Meski Pemerintah menyatakan bahwa itu sekedar contoh, namun yang terjadi di lapangan tidaklah demikian. Sekolah-sekolah tetap mengacu pada model tersebut, karena takut salah jika mereka ingin menampilkan format yang berbeda. Mungkin Anda setuju, apa arti sebuah model ? Sebenarnya yang penting bukan yang tertulis hitam di atas putih, tetapi bagaimana pelaksanaan di lapangan. Bukankah orang yang terlalu banyak berteori tidak lebih baik dari orang yang tanpa teori tetapi menunjukkan tindakan nyata ?! Mengingat untuk pelaksanaan KTSP, terutama yang menyangkut pengembangan silabus, penyusunan SAP dan RPP nantinya sangat tergantung dari sekolah masingmasing, maka agar tidak terjadi perbedaan yang mencolok antar sekolah yang masih dalam satu wilayah (Kabupaten / Kota) sangat diperlukan wadah pertemuan bagi mereka. Oleh karena itu pengaktifan kembali MGMP dimaksudkan agar terjadi keseragaman persepsi tentang konsep yang dimaksud dalam KTSP. Melalui MGMP semua perbedaan

yang mungkin terjadi dapat dibicarakan dan dicari jalan keluarnya dengan baik, artinya permasalahan muncul dari mereka, dibicarakan oleh mereka, dan solusi yang dihasilkan untuk mereka juga. Selain mengembangkan silabus, guru juga diharapkan mampu mengembangkan sistem penilaian, baik untuk aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Jika di saat Kurikulum 2004 pertama kali diberlakukan, guru mengalami kesulitan dalam hal penilaian, ternyata kesulitan ini terbawa sampai berlakunya KTSP. Hal ini dapat dipahami, karena ibarat guru belum sempat duduk sudah diminta berdiri lagi untuk menerima kehadiran kurikulum baru (KTSP). Selain itu kendala di lapangan yang relatif sulit untuk diakali juga banyak dihadapi guru-guru kita, seperti jumlah jam mengajar yang terlalu padat dan banyaknya kelas yang harus diajar. Colin Marsh (1996 : 10) menyatakan bahwa salah satu kompetensi yang harus dimiliki guru adalah kemampuannya dalam melakukan penilaian, baik terhadap proses maupun produk pembelajaran. Oleh karena itu sebaiknya guru sesering mungkin berdiskusi dan sharing untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan masalah penilaian. Sesama guru harus saling ringan sama dijinjing berat sama dipikul bila mengalami kesulitan, bukan malah ringan sama dijinjing berat sama ditinggal !. Pada dasarnya penilaian aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik sudah dilakukan guru jauh sebelum KTSP dikemukakan. Ketika guru akan memberikan nilai akhir, pasti secara tidak tersurat mempertimbangkan perilaku dan kerajinan siswa dalam keseharian di sekolah. Bahkan dalam raport-pun tertulis penilaian terhadap kelakuan, kerajinan, dan kerapian dimana ketiganya termasuk penilaian afektif dan psikomotor. Jadi, sistem penilaian yang dianjurkan dalam KTSP sebenarnya sudah biasa dalam dunia pendidikan, hanya bedanya sekarang ini semua penilaian harus tertulis dan didokumentasikan. Hal inilah yang menjadi masalah di lapangan, karena bila kita ingin menjadi guru yang idealis dan ingin menerapkan KTSP secara sempurna, maka harus selalu melakukan penilaian ketiga aspek. Bagi guru yang hanya mengajar 1 2 kelas mungkin tidak menjadi masalah, tetapi bagaimana dengan guru yang mengajar > 8 kelas ? Apakah seluruh waktunya di sekolah maupun di rumah harus dihabiskan untuk membuat soal, menyusun lembar observasi, dan mengoreksi ? Lalu kapan waktu untuk keluarga ? Bila kita menginginkan untuk dapat melakukan penilaian ketiga aspek, sedangkan waktu yang tersedia sedikit dan kelas yang harus diampu banyak, maka kita dapat melakukan penilaian secara bergilir. Sebagai contoh kita mengajar 8 kelas, maka dapat dilakukan penilaian ketiga aspek sbb :

No. 1. 2. 3. 4.

Materi Pokok P Q R dst A Kgn Aft Psm B Aft Psm Kgn C Psm Kgn Aft

Kelas D E Kgn Aft Aft Psm Psm Kgn

F Psm Kgn Aft

G Kgn Aft Psm

H Aft Psm Kgn

Berdasarkan tabel tersebut nampak bahwa untuk satu materi pokok, guru dapat melakukan ketiga penilaian pada kelas yang berbeda, sedangkan untuk materi pokok berikutnya dapat dilakukan jenis penilaian dari aspek lainnya. Bila masih dirasa berat, guru dapat menggabungkan beberapa materi pokok untuk dilakukan penilaian, sehingga jumlah penilaian tidak terlalu banyak dan kerja guru dalam mengoreksi tidak terlalu berat. Permasalahan lainnya adalah masih minimnya sarana prasarana pendukung pembelajaran, seperti laboratorium yang apa adanya dan buku-buku perpustakaan yang sudah ketinggalan jaman. Oleh karena itu dalam pelaksanaan KTSP ini dianjurkan agar guru menerapkan pendekatan kontekstual yang mampu mengaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka (Depdiknas, 2002 : 1). Penerapan pendekatan ini menuntut kreativitas guru untuk dapat merancang aktivitas siswa dengan memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar. Dengan demikian apapun materi pelajaran yang diberikan, mampu memotivasi siswa dalam menghubungkan dengan fenomena di sekitarnya. Ketiadaan koleksi buku yang baru dapat diatasi dengan cara guru merancang kegiatan pembelajaran yang mampu mengaktifkan siswa untuk mengkaji pustaka sendiri tanpa terbatas pada pustaka yang tersedia di sekolah. Semakin banyak pustaka yang dibaca semakin menambah keluasan dan kedalaman materi yang dibahas. Hal ini sangat menguntungkan siswa sekaligus guru, karena berarti guru telah mampu mengembangkan materi dan siswa menjadi bertambah luas wawasannya. PERMASALAHAN KHUSUS KD, Materi Pokok (MP), Kegiatan Pembelajaran (KP), dan Indikator adalah komponen dalam KTSP yang dapat dikembangkan setiap sekolah sesuai dengan kondisi sekolah dan karakteristik siswa. Permasalahannya, bila suatu sekolah hanya melaksanakan yang tertulis dalam kurikulum, bagaimana nasib siswanya ketika ia harus mengerjakan soal Ulangan Umum yang dibuat oleh wilayah dimana sekolah tersebut berada ? Kalau soal yang keluar mengikuti standar minimal yang tercantum dalam kurikulum tidak

menjadi masalah, tetapi bila soalnya berisi materi pengembangan yang dilakukan oleh sebagian besar sekolah yang ada di wilayah tersebut, inilah yang menjadi masalah !! Solusi terbaik yang dapat dilakukan dalam mengatasi masalah ini adalah perlunya pengelompokan sekolah yang memiliki kondisi sekolah dan karakteristik yang sama yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan setempat, sehingga mereka dapat menetapkan batas ketuntasan sendiri. Ketika diadakan Ulangan Umum, maka mereka juga melakukannya sendiri. Mengenai UAN yang dibuat oleh Depdiknas, sebaiknya soal-soal yang dikeluarkan mengacu pada batas-batas yang tercantum dalam kurikulum. Pendekatan kontekstual sebagai salah satu pendekatan yang dianjurkan diterapkan dalam proses pembelajaran, ternyata dalam pelaksanaannya hanya sebagian guru yang mampu memahami dan menerapkannya. Hal ini karena sosialisasi pendekatan ini belum merata ke seluruh sekolah yang ada di Indonesia. Bagi mereka yang sudah mengikuti sosialisasipun ternyata belum memperoleh gambaran yang jelas tentang pendekatan kontekstual, baik pengertian maupun contoh konkritnya dalam pembelajaran. Solusi dari permasalahan ini adalah perlunya guru banyak membaca buku, sering berdiskusi dengan teman sejawat, dan mencari acuan-acuan yang berisi tentang kegiatan yang mungkin dapat dilaksanakan di sekolah dengan kondisi yang serba minim. Kreativitas guru sangat dituntut agar mampu menyajikan materi yang dapat menyebabkan siswa mampu menghubungkan dengan fenomena yang terjadi di sekitarnya. Ketika guru ingin melakukan penilaian aspek kognitif, mungkin tidak mengalami kendala, karena sudah biasa dilakukan. Namun ketika akan melakukan penilaian aspek afektif dan psikomotorik, guru mengalami kendala dalam hal format penilaian yang akan digunakan. Banyak contoh-contoh format penilaian aspek afektif (sikap, nilai, konsep diri, motivasi, minat) dan aspek psikomotorik yang dapat diacu dari berbagai buku maupun hasil penelitian, namun format penilaian tersebut tidak selalu cocok untuk kondisi sekolah dan siswa kita, sehingga perlu dimodifikasi agar sesuai dengan informasi yang dibutuhkan guru. Oleh karena penilaian aspek afektif digunakan sebagai umpan balik bagi guru untuk memperbaiki proses pembelajaran, maka boleh saja dilakukan tidak sesering penilaian kognitif. Ketika siswa mengalami penurunan nilai secara draktis, maka sangat tepat bila dilakukan penilaian aspek afektif untuk melihat aspek afektif yang ada pada diri siswa. Portofolio yang dianjurkan dalam KTSP pada kenyataannya di lapangan banyak yang kesulitan untuk melakukannya. Kendala yang utama adalah kelas yang diampu oleh guru bukanlah kelas kecil yang hanya terdiri dari 10 15 siswa, tetapi kelas besar dengan jumlah siswa 30 50. Hal ini tentunya memerlukan kerja ekstra guru untuk mengumpulkan setiap hasil karya dan kerja tiap-tiap siswa dalam satu file yang saling terpisah. Kerja ini

dapat diperingan dengan cara memberikan tugas yang sama atau sejenis, sehingga mempermudah dalam koreksi. Hal ini karena kerja terberat dalam portofolio bukan pada pengumpulannya, tetapi pada pengoreksian hasil karya tersebut. Selain portofolio, pada KTSP guru juga harus mampu memberikan muatan life skills pada setiap kegiatan belajar siswa. Masalah yang timbul terletak pada pemahaman guru terhadap life skills itu sendiri, yang sebenarnya pengertiannya sangat sederhana tetapi istilahnya terlalu tinggi. Padahal sebenarnya life skills yang di-Indonesia-kan sebagai kecakapan hidup adalah segala kemampuan yang dapat ditanamkan kepada siswa yang nantinya bermanfaat dalam menghadapi permasalahan kehidupan secara wajar. Kecakapan berkomunikasi, menggali informasi, bekerja sama, dan mengolah informasi adalah beberapa kecakapan yang termasuk dalam life skills. Dengan demikian bila siswa terbiasa dengan aktivitas belajar yang dapat memunculkan berbagai bentuk kecakapan hidup akan berdampak positif terhadap perkembangan mental maupun daya pikir mereka. Siswa beraktivitas melakukan sesuatu berarti siswa belajar untuk menggali potensi diri. Setelah ia dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik, maka muncul kesadaran adanya potensi diri, dan ini berdampak pada munculnya percaya diri. Seperti kita ketahui, percaya diri sangat diperlukan dalam menghadapi berbagai permasalahan kehidupan. Aktivitas yang dilakukan siswa secara langsung akan membantu perkembangan daya pikirnya. Hal inilah yang diharapkan KTSP. SERTIFIKASI GURU, HARAPAN DAN KENYATAAN Munculnya UU RI No.14 / 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) tak lain bertujuan untuk mewujudkan guru yang profesional, berkualitas, bermartabat, dan sejahtera. Hal ini karena keberadaan guru merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem, iklim, dan praktik pendidikan yang berkualitas. Selama ini kualitas guru yang menyangkut berbagai kompetensi yang harus dimiliki seorang guru belum pernah diuji secara langsung, kalaupun ada hanya formalitas atasan untuk mengawasi kinerja guru secara sepintas. Akibatnya guru sebagai ujung tombak peningkatan kualitas pendidikan tidak terintervensi untuk meningkatkan kualitas mereka, baik yang berkaitan dengan penguasaan ilmu maupun pengajarannya. Salah satu amanat UUGD adalah Pemerintah melaksanakan sertifikasi guru yang bertujuan menstandarisasi kompetensi guru dan sekaligus memberikan angin segar bagi guru untuk mendapatkan tambahan penghasilan dalam bentuk tunjangan profesi 1 bulan gaji. Sertifikasi guru yang diamanatkan oleh UU No. 20/2003 maupun UU No. 14/2005 juga merupakan jawaban atas permasalahan rendahnya kualitas guru di Indonesia,

SERTIFIKAT PENDIDIK Tidak lolosDiklat Profesi Belajar Lulus Eva Lulus Peserta Propinsi Tidak lulus Kab Lulus Kab Guru S1 PendaftaranBerkas Peserta Akhir/ Kota Akhir / D4 Seleksi lulus / KotaEva MandiriPeserta Nasional Tidak ru dalam Jabatan Penilaian n Pendaftaran Sertifikasi Portofolio (PP)

Harapannya melalui sertifikasi, kualitas guru profesional yang dapat memperoleh sertifikat pembelajaran.

terjamin,

karena hanya guru yang

pendidik dan diijinkan mengelola proses

Sertifikasi akan dilaksanakan dengan 2 sistem / mekanisme, yaitu untuk calon guru melalui pendidikan profesi yang setara dengan S2 dan untuk guru sebagai sertifikasi guru dalam jabatan. Permasalahannya, untuk sistem yang kedua, dalam pelaksanaannya diperlukan biaya yang mahal, rumit dan sulit karena diperlukan tes tulis, portofolio, dan tes kinerja. Mengingat bahwa waktu, geografis, tenaga, dan anggaran tidak memungkinkan untuk melaksanakan sistem ini, maka diambil keputusan untuk melaksanakan sertifikasi dengan portofolio saja yang pelaksanaannya dapat digambarkan sebagai berikut :

Adapun mekanisme rekruitmen peserta sertifikasi guru dalam jabatan dapat digambarkan sebagai berikut :

Kriteria yang menjadi acuan untuk penyeleksian peserta meliputi masa kerja, usia, golongan, beban mengajar, tugas tambahan, dan prestasi kerja. Semua kriteria harus

terpenuhi, jika seorang guru ingin lolos mengikuti sertifikasi sampai masuk dalam daftar peserta pada tingkat nasional. Jika ditinjau dari tujuan sertifikasi memang sangat mulia, karena selain ingin meningkatkan kualitas guru, juga memperhatikan kesejahteraan mereka dengan cara pemberian tunjangan bagi yang lulus sertifikasi. Pemberian tunjangan ini sangat besar pengaruhnya dalam memotivasi guru untuk mengikuti ujian sertifikasi, mengingat selama ini kesejahteraan guru kurang mendapat perhatian dari Pemerintah. Namun pada kenyataannya, apa yang diimpikan indah di depan mata kita, tak seindah dalam pelaksanaannya. Banyak permasalahan yang muncul dengan adanya sertifikasi ini, baik permasalahan di awal pelaksanaan yang menyangkut kesiapan seluruh komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan sertifikasi maupun model penyeleksian yang memerlukan orang-orang yang jujur dan bertanggung jawab. Bahkan sampai saat inipun Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaan sertifikasi belum diterbitkan, sehingga sertifikasi belum dapat dilaksanakan. PERMASALAHAN SERTIFIKASI DAN SOLUSINYA Permasalahan pertama yang muncul dalam rangka pelaksanaan sertifikasi guru adalah jumlah guru di Indonesia yang luar biasa banyaknya, yaitu sekitar 2,7 juta dan semuanya harus selesai disertifikasi dalam tempo 10 tahun (2006 2016). Perhatikan tabel target penuntasan program sertifikasi guru berikut ini : Tabel 1. Target Penuntasan Program Sertifikasi Guru dari Tahun 2006 - 2016
Thn % Guru Wajar Guru Dikmen Sasaran Sertifikasi / Thn Guru Kumu-latif yang Bersertifikasi 2.306.015 2.075.414 1.844.812 1.614.211 1.383.609 1.153.008 922.406 461.203 Biaya Sertifikasi (@ 2,35 jt) Biaya Tunjangan Profesi (18 jt / Th) 41.508.270 100 90 80 70 60 50 40 20 191.267 191.267 191.267 191.267 191.267 191.267 382.531 219.957 39.335 39.335 39.335 39.335 39.335 39.335 78.672 50.796 230.602 230.602 230.602 230.602 230.602 230.602 461.203 270.753 541.914 541.914 541.914 541.914 541.914 541.914 1.083.827 636.270 37.357.443 33.206.616 29.055.789 24.904.962 20.754.135 16.603.308 8.301.654 3.428.100

2016 2015 2014 2013 2012 2011 2010 2009 2008

2007 2006

8,5 0

162.577

27.873

190.450

190.450

447.558

1.912.667

393.348

2.306.015

Seperti diketahui, anggaran untuk pendidikan di Indonesia hanya 20%, inipun tidak seluruhnya dapat dialokasikan untuk pelaksanaan sertifikasi. Jadi, memang berat permalahan yang harus dihadapi dunia pendidikan di Indonesia. Di satu sisi ingin memajukan guru, di sisi lain terbentur masalah pendanaan. Permasalahan krusial lainnya adalah apakah ada jaminan bahwa sertifikasi pasti akan meningkatkan kualitas guru ? Jangan-jangan guru-guru berbondong-bondong ikut sertifikasi bukan karena ingin menjadi guru yang lebih baik, maju, dan berkualitas, tetapi hanya mengejar tunjangan yang akan diberikan ketika lulus sertifikasi. Kalau demikian yang terjadi berarti kita membuang berjuta-juta uang hanya untuk hal yang tidak diinginkan. Bisa jadi akan muncul bentuk KKN baru, lantaran banyak guru yang ingin lulus dan di pihak lain penguji berdalih kasihan sambil menerima uang tanda terima kasih. Pertanyaan ini sangat penting kita jawab dengan bijaksana, kritis, dan analitis, bukan berdasar prasangka buruk dengan kata jangan-jangan atau bisa jadi. Seperti diketahui, bahwa uji sertifikasi dengan portofolio menghasilkan data yang sangat variatif. Hal ini karena penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru yang berupa kumpulan dokumen yang mendeskripsikan : kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi, dan penghargaan di bidang pendidikan yang semua itu memerlukan pedoman penilaian yang andal dan akurat. Oleh karena itu perlu dipersiapkan secara matang dan. mantap bagaimana cara pengolahan hasil uji sertifikasi agar diperoleh keseragaman dalam menentukan guru yang layak dan tidak. Ada beberapa hal yang perlu dikaji dan dipikirkan secara mendalam dalam hubungannya dengan penjaminan hasil sertifikasi berupa peningkatan kualitas kompetensi guru, diantaranya adalah : 1. Perlu adanya kesadaran dan pemahaman yang benar bagi semua pihak bahwa sertifikasi merupakan sarana / instrumen untuk menuju kualitas kompetensi guru, sehingga apapun aktivitas yang dilakukan semua mengarah pada pencapaian kualitas. Dengan demikian ketika ikut uji setifikasi, guru akan mempersiapkan diri dengan baik dan tidak akan mencari jalan pintas. Sebagai konsekuensinya guru akan merasakan kepuasan batin karena merasa telah memiliki kompetensi yang

disyaratkan dan konsekuensi logisnya memperoleh tunjangan profesi. 2. Perlu konsistensi dan ketegaran Pemerintah dalam menghadapi tantangan dan tuntutan berbagai pihak dalam pelaksanaan sertifikasi yang dapat menyebabkan kecemburuan antar pihak, sehingga diperlukan ketegasan, kebijaksanaan, dan objektivitas dalam menghadapi berbagai gejolak yang ada. Sebagai contoh, pada penunjukan LPTK yang berhak melaksanakan uji sertifikasi, LPTK Swasta dan LPTK Negeri di luar Jawa pasti akan menuntut diberi hak. Tuntutan juga akan datang dari guru yang merasa senior maupun yang tidak memenuhi syarat agar diberi kemudahan. 3. Perlu ketegasan hukum, karena dalam setiap pelaksanaan kebijakan pasti ada berba-gai penyimpangan dari aturan main yang ditetapkan. Penyimpangan dapat dilakukan oleh guru untuk mencari jalan pintas agar dapat lulus sertifikasi, oknum LPTK yang diberi hak uji sertifikasi, sehingga Pemerintah harus bertindak tegas sesuai hukum. 4. Perlu penegasan standar nasional yang harus dipenuhi tanpa memandang perbedaan letak daerah maupun tingkat pendidikannya. Waktu transisi kemungkinan masih dapat ditoleransi, tetapi standar tidak dapat ditawar / ditoleransi, karena ini masalah kualitas. 5. Pemerintah Pusat dan Daerah perlu menyediakan anggaran yang memadai untuk pelaksanaan sertifikasi dan pemberian tunjangan. Jika tidak, maka dapat dipastikan sertifikasi terhenti di tengah jalan dan gejolak kemarahan guru akan tercetus. PENUTUP Dengan adanya perubahan kurikulum yang diikuti dengan diberlakukannya sertifikasi guru di Indonesia, berarti kita telah maju selangkah lagi dalam pembenahan pendidikan. Namun demikian perlu usaha sungguh-sungguh dari semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya, karena menciptakan sistem, iklim, dan praktik pendidikan yang berkualitas memang diperlukan keseriusan, komitmen, kesadaran, konsistensi, ketegaran, ketegasan, baik dari pihak Pemerintah sebagai pembuat kebijakan maupun pihak-pihak yang terkait dalam menyukseskan pelaksanaannya di lapangan. Wajar rasanya bila kita ingin meraih sesuatu yang lebih baik banyak kendala, tuntutan, tantangan dan permasalahan yang dihadapi, karena harapan sering tidak sejalan dengan kenyataan. Sekali melangkah pantang untuk mundur, mari kita bangun bangsa kita melalui pendidikan, agar kemakmuran masyarakat yang telah lama kita impikan terwujud.

11

DAFTAR PUSTAKA Colin Marsh. (1996). Handbook for beginning teachers. Sydney : Addison Wesley Longman Australia Pry Limited. Depdiknas. (2002). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Jakarta : Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Olivia, Peter, F.. (1992). Developing the Curriculum. New York : Harper Collins Publishers. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Roy Barnes. (2005). Moving towards technology education : Factors that facilitated teachers implementation of a technology curriculum. Journal of Technology Education. 17 (1), 6 18. Undang Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Undang - Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Sertifikat pendidik akan diberikan kepada seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan profesi pendidik dan lulus ujian sertiifikasi. Ujian inilah yang digunakan sebagai kontrol mutu hasil pendidikan, karena hanya mereka yang diyakini mampu melaksanakan tugas mendidik, mengajar, melatih, membimbing, dan menilai hasil belajar siswa yang akan diberi sertifikat. Adapun tujuan sertifikasi guru adalah untuk meningkatkan mutu dan menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembela-jaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sedangkan manfaat ujian sertifikasi guru adalah : 1. Melindungi profesi guru dan praktik-praktik yang tidak kompeten yang dapat merusak citra profesi guru. 2. Melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan profesional. 3. Menjadi wahana penjaminan mutu bagi LPTK, kontrol mutu dan jumlah guru bagi pengguna layanan pendidikan. 4. Menjaga lembaga penyelenggara pendidikan (LPTK) dari keinginan internal dan tekanan eksternal yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku. 5. Memperoleh tunjangan profesi bagi guru yang lulus ujian sertifikasi. Adanya tunjangan profesi bagi guru yang lulus ujian sertifikasi merupakan niat baik Pemerintah agar kesejahteraan guru yang selama ini kurang mendapat perhatian menjadi terpenuhi, sehingga mereka tidak disibukkan dengan urusan memenuhi hidup sehari-hari dan dapat berkonsentrasi menjalankan tugas menga-jar. Hal ini dapat dipahami karena salah satu masalah guru di Indonesia adalah gajinya yang kurang memadai untuk hidup layak, padahal gaji adalah salah satu faktor penentu kinerja seorang guru. Bahkan berbagai studi yang dilakukan, menunjukkan tingkat kesejahteraan merupakan penentu

13

yang amat penting bagi kinerja guru dalam menjalankan tugasnya (Dedi Supriadi, 1998 : 7, 44). Di Amerika, Australia, Inggris, Perancis, dan Skandinavia, dalam usahanya mening-katkan mutu pendidikan negaranya, langkah pertama yang dilakukan adalah meningkatkan kesejahteraan guru. Dalam jurnal PAT (2001) dijelaskan bahwa di Inggris dan Wales untuk meningkatkan profesionalisme guru Pemerintah mulai memperhatikan pembayaran gaji yang diseimbangkan dengan beban kerjanya. Dalam rangka pelaksanaannya, dibuat persyaratan ujian sertifikasi, yaitu persyaratan akademik dan non akademik. Bagi guru SMA, persyaratan akademik meliputi kualifikasi akademik minimal D4/S1, latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan. Bagi guru yang memiliki prestasi istimewa dalam bidang akademik dapat diusul-kan mengikuti ujian sertifikasi berdasarkan rekomendasi dari Kepala Sekolah, Dewan Guru, diketahui dan disahkan oleh Kepala Cabang Dinas dan Kepala Dinas Pendidikan. Sebagai persyaratan non akademik adalah prioritas keikutsertaan dalam ujian sertifikasi bagi guru didasarkan pada jabatan fungsional, masa kerja, pangkat / golongan. Jumlah guru yang dapat mengikuti ujian sertifikasi di tiap wilayah ditentukan oleh Ditjen PMPTK berdasarkan prioritas kebutuhan. Adanya persya-ratan guru yang boleh mengikuti ujian sertifikasi adalah mereka yang memiliki masa kerja lebih dari 20 tahun nampaknya bertentangan dengan penelitian yang dilakukan Pamela Grossman & Clarissa Thompson (2004) yang meneliti tentang bagaimana peranan kebijakan distrik mengenai kurikulum, pengembangan profe-sional, dan mentoring dalam memberikan kesempatan kepada guru pemula belajar tentang pembelajaran. Menurut kedua peneliti ini, guru pemula seharusnya lebih diperhatikan dalam peningkatan kualitas pendidikan, karena mereka masih muda, lebih mudah diarahkan, lebih inovatif, antisipatif terhadap perubahan, dan umum-nya mau diajak maju karena semangatnya yang masih tinggi. Pernyataan ini bila dihubungkan dengan sertifikasi guru yang akan dilakukan di Indonesia, nampak-nya tidak sejalan, dimana sertifikasi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas profesionalisme guru dan pendidikan lebih mengutamakan guru-guru yang termasuk senior (kelompok guru dengan masa kerja > 20 tahun) daripada guru pemula. Hal ini kemungkinan besar dikarenakan sertifikasi guru yang akan dilakukan di Indonesia lebih mengedepankan penghargaan bagi guru-guru yang telah mengabdi lama dibandingkan tinjauan yang dilakukan Pamela & Clarissa. Penyelenggaraan ujian sertifikasi guru melibatkan unsur lembaga, sumber daya manusia, dan sarana pendukung. Lembaga penyelenggara adalah LPTK yang terakreditasi dan ditunjuk Pemerintah yang anggotanya dari LPTK, lembaga pengguna

(Ditjen, Didasmen, Ditjen PMPTK, Dinas Pendidikan Provinsi), dan unsur asosiasi profesi pendidik. Sumber daya manusia yang dimaksud adalah pakar dan praktisi dalam berbagai bidang keahlian dan latar belakang pendidikan yang relevan. Sarana pendukung yang diperlukan dalam penyelenggaraan ujian sertifikasi adalah sarana akademik, praktikum dan administratif yang disesuaikan dengan bidang keahlian, bidang studi, rumpun bidang studi yang menjadi tujuan ujian yang dilaksanakan. Instrumen ujian sertifikasi terdiri atas kelompok instrumen tes dan non tes. Kelompok instrumen tes terdiri atas tes tertulis dalam bentuk pilihan ganda yang meliputi kompetensi pedagogik dan profesional dan tes kinerja dalam bentuk real teaching dengan menggunakan IPKG I dan IPKG II yang mencakup juga indi-kator untuk mengukur kompetensi pribadi dan sosial. Kelompok instrumen non tes meliputi self-appraisal dan portofolio, yang keduanya memberi kesempatan guru untuk menilai diri sendiri dalam aktivitasnya sebagai guru. Setiap pernyataan dalam melakukan sesuatu atau berkarya harus dapat dibuktikan dengan bukti fisik berupa dokumen yang relevan. Bukti fisik tersebut menjadi bagian penilaian portofolio.

Sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 28 UU RI No 19/2005, seorang guru harus memiliki empat jenis kompetensi. Pertama, kompetensi pribadi yaitu kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kedua, kompetensi pedagogik yaitu kemampuan yang berkaitan dengan pemahaman peserta didik dan pengelola pembelajaran yang mendidik dan dialogis. Ketiga, kompetensi profesional yaitu kemampuan yang berkaitan dengan penguasaan materi pembelajaran bidang studi secara luas dan mendalam yang mencakup penguasaan substansi isi materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materi kurikulum tersebut, serta menam-bah wawasan keilmuan sebagai guru. Keempat, kompetensi sosial yaitu kemam-puan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua / wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Keempat kompetensi tersebut dibuktikan secara formal dengan sertifikat pendidik. Kualifikasi akademik minimum diperoleh melalui pendidikan tinggi, sedangkan sertifikat kompetensi pendidik diperoleh setelah menyelesaikan program pendidikan profesi pendidik dan lulus ujian sertifikasi pendidik. Ujian ini bertujuan sebagai kontrol kualitas hasil pendidikan, sehingga harapannya seseo-rang yang dinyatakan lulus diyakini mampu

15

melaksanakan tugas mendidik, mengajar, melatih, membimbing, dan menilai hasil belajar peserta didik. Menurut Houston W. R (1974 : 7), tingkat kompetensi seseorang tidak hanya menunjuk pada kuantitas kerja, tetapi sekaligus menunjuk pada kualitas kerjanya. Hal ini berarti seseorang yang telah lulus sertifikasi, selain kuantitas kerjanya memadai, kualitas kerjanya juga baik. Berdasarkan data dari Direktorat Tenaga Kependidikan 2004 (Fasli Jalal, 2006) dikemukakan satu bukti bahwa guru kimia masih banyak yang belum layak dan kompeten dalam mengajar. Hal ini ditunjukkan dengan hasil ujian tertulis mata uji kimia pada beberapa guru kimia dimana dari 40 soal yang diujikan diperoleh rerata 22,33 dengan Standar Deviasi 4,91, nilai terendah 8 dan nilai tertinggi 38. Penelitian yang dilakukan Muh. Rofi & Dakir (2004) menemukan adanya sebagian kinerja guru yang belum sesuai dengan yang diharapkan, diantaranya seperti persiapan mengajar yang tidak lengkap, kemampuan dan keterampilan mengajar yang kurang, komitmen dan kedisiplinan yang kurang, dan persepsi terhadap tugasnya belum seperti yang diharapkan. Berkaitan dengan hal ini, maka tepatlah bila masalah guru menjadi sorotan bagi rencana strategis Depdiknas tahun 2005 2009, terutama mengenai kelayakan seorang guru dalam mengajar. Hal ini dapat dipahami, karena selama ini penilaian terhadap kompetensi guru belum pernah dilakukan Pemerintah, dalam hal ini Depdiknas. Kenyataan menunjukkan banyaknya guru yang mengajar tidak sesuai dengan kesarjanaannya dan tidak berlatar belakang dari Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan atau LPTK (Dedi Supriadi, 1998 : 182). Hal ini terutama terjadi di daerah-daerah yang kekurangan guru, sehingga untuk mengajarkan ilmu kimia terkadang harus diampu oleh guru yang tidak berlatar belakang sarjana kimia. Penelitian yang dilakukan Rebecca A. Kruse & Gillian H. Roehrig menun-jukkan bahwa guru kimia yang tidak berlatar belakang sarjana kimia mempunyai keterbatasan dan kekakuan dalam mengajar dan secara statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan guru kimia yang berlatar belakang sarjana kimia setelah diuji pemahamannya tentang konsep kimia. Bahkan di Amerika terdapat sekitar 50% guru kimia yang memiliki sertifikat bidang ilmu biologi, sehingga terjadi out of field (Constance Blasie & George Palladino, 2005). Di Indonesia, pada jenjang SMA, persentase guru yang belum memiliki kualifikasi minimal yang memadai sebanyak 33%. Secara nasional guru SMA yang dinyatakan tidak layak sebanyak 15,4% untuk guru SMA Negeri dan 17,5% untuk guru SMA Swasta (Renstra Depdiknas 2005 2009). Hal ini merupakan masalah yang harus ditangani dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan. Berdasarkan permasalahan yang berkaitan dengan guru tersebut, maka sudah

sewajarnya bila Pemerintah secara serius ingin membenahi kualitas profesi-onal guru melalui sertifikasi guru. Selain bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, sertifikasi ini juga memberikan tunjangan profesi bagi guru yang lulus ujian sertifikasi, sehingga kesejahteraan guru akan tercipta. Dengan adanya hubungan antara sertifikasi dengan peningkatan kesejahteraan ini, Pemerintah berharap guru-guru terpacu dan termotivasi untuk dapat menjadi tenaga pendidik yang profesional yang dibuktikan secara formal melalui kelulusan sertifikasi. Layaknya guru yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya sangat membantu mewujudkan tujuan pendidikan nasional (Direktorat Profesi Pendidik, 2006 : 3). Pemerintah, dalam hal ini Depdiknas mengemukakan adanya berbagai masalah yang berkaitan dengan kondisi guru, diantaranya (1) adanya kebera-gaman kemampuan guru dalam proses pembelajaran dan penguasaan pengeta-huan, (2) belum adanya alat ukur yang akurat untuk mengetahui kemampuan guru, (3) pembinaan guru yang dilakukan belum mencerminkan kebutuhan, dan (4) kesejahteraan guru yang belum memadai (Depdiknas, 2004 : 1). Oleh karena itu, komitmen Pemerintah untuk melakukan sertifikasi guru merupakan solusi yang tepat untuk mengatasi berbagai masalah kondisi guru di Indonesia. Profesionali-sasi jabatan guru diharapkan akan membuahkan peningkatan mutu pendidikan dalam sistem persekolahan yang akhirnya akan menghasilkan lulusan yang memiliki karakter yang kuat (T. Raka Joni, 2006 : 1). Dalam rangka pelaksanaan standardisasi kompetensi guru melalui sertifikasi guru tentunya diperlukan instrumen sertifikasi, baik yang berupa instrumen tes maupun nontes. Kelompok instrumen tes yang harus dipersiapkan diantaranya tes tertulis yang meliputi tes kompetensi kepribadian, pedagogik, profesional, dan sosial, serta tes kinerja dalam bentuk real teaching. Saat ini Depdiknas, dalam hal ini Direktorat Profesi Pendidik telah melakukan penyusunan instrumen tes tertulis untuk mengukur keempat kompetensi dan telah diujicobakan. Namun demikian dalam rangka pelaksanaan sertifikasi yang sesungguhnya nampaknya instrumen tersebut masih memerlukan pembenahan. Oleh karena itu, sumbangan pemikiran untuk perbaikan dan pembenahan instrumen tes tertulis kemungkinan besar sangat diperlukan demi kesempurnaan instrumen tersebut, baik dari segi isi dan kekom-prehensifan materi yang diujikan. Penelitian ini akan mencoba mengembangkan model evaluasi berupa instrumen tes untuk mengevaluasi kompetensi kepribadian, pedagogik, profesional, dan kepribadian yang diharapkan memenuhi kriteria kualitas tes yang baik dan layak digunakan, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui kompetensi guru seperti yang diinginkan Pemerintah, dalam hal ini Depdiknas.

17

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar waktu guru dihabiskan untuk mengajar dari satu kelas ke kelas lain, sehingga terkadang untuk persiapan mengajarpun mereka merasa tidak memiliki waktu lagi. Dengan demikian satu-satunya jalan yang dapat dilakukan adalah melalui berbagi pengalaman dengan sesama dalam satu waktu yang terencana, sehingga mereka bisa saling sharing pengalaman tanpa harus menghabiskan banyak energi untuk mencari inovasi dan referensi yang terkadang memang sulit dijumpai. Oleh karena itu perlu digalakkan keberadaan MGMP dan organisasi sejenisnya yang dapat mempertemukan guru-guru se-bidang ilmu, sehingga permasalahan diantara mereka dapat didiskusikan dan dicarikan jalan keluarnya. Menjadi golongan idealis memang ideal dan pasti mendapat pujian, sehingga sebenanrnya kita ingin dapat masuk dalam golongan itu. Namun bila kita ingin melaksanakan KTSP secara sempurna seperti yang dianjurkan dalam kurikulum tersebut, apakah hal itu dapat dilakukan secara wajar dan tidak merupakan beban bagi kita ? Sebaliknya, menjadi kaum minimalis yang hanya melaksanakan tugas apa adanya, dengan prinsip bisaku ya hanya begini merupakan penghambat inovasi dalam dunia pendidikan. Lalu sebaiknya kita bersikap bagaimana ? Sebaik-baiknya perkara adalah yang di tengahtengah, artinya kita jangan menjadi golongan idealis dan juga minimalis, tetapi jadilah diantara kedua golongan itu. Bagaimana caranya ? KTSP tentunya menginginkan adanya perubahan di dunia pendidikan. Sebagai guru seharusnya kita mendukung keinginan dan harapan Pemerintah dengan berusaha melaksanakannya, namun harus sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Kita berusaha semampunya melaksanakan KTSP dengan baik, tetapi tidak perlu terlalu ngoyo di luar kemampuan kita, sehingga tidak menjadi beban dalam menjalankan tugas mengajar. Dengan kata lain, yang penting tidak berjalan di tempat atau masa bodoh dengan perubahan kurikulum, tetapi juga tidak terlalu berpikir untuk melaksanakan secara sempurna tanpa mengukur kemampuan.

Manusia adalah individu yang unik, artinya setiap manusia memiliki karakteristik yang berbeda (motivasi, minat, kecerdasan, dan lain-lain yang berbeda), meskipun semua diberi akal pikiran yang sama oleh Tuhan (Abdullah A dan Eny R, 2000 :2). Namun ketika kita telah memilih pekerjaan guru sebagai profesi, maka hal ini membawa konsekuensi pada berbagai sikap dan perilaku bahkan pola pikir yang harus berubah menjadi profesional. Guru harus mampu meninggalkan keunikan diri yang dimiliki yang berkaitan dengan tanggung jawab profesinya sebagai guru. Sifat guru yang unik yang tidak sesuai,

seperti acuh / tidak peduli dengan perubahan sekitar, kebal inovasi, masa bodo, egois, dan lain-lain yang sebenarnya sah-sah saja dimiliki seseorang sebagai individu, harus dibuang jauh-jauh ketika kita memilih profesi guru, karena sifat-sifat itu hanya akan menghambat proses menuju peningkatan pendidikan. Sejalan dengan profesional guru, maka saat ini dunia pendidikan juga diramaikan oleh adanya kebijakan sertifikasi guru. Hal ini sejalan dengan arah kebijakan SPN Pasal 42 UU RI No 20/2003 yang mensyaratkan pendidik (guru) harus memiliki kualifikasi akademik minimum dan sertifikasi sesuai dengan kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, dan memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Demikian pula ditegaskan dalam Pasal 28 ayat 1 PP No 19/ 2005 dan Pasal 8 UU RI No 14/2005 yang mengamanatkan guru harus memiliki kualifikasi akademik minimal D4/S1 dan kompetensi sebagai agen pembelajaran yang meliputi kompetensi kepribadian, pedagogik, profesional, dan sosial.

19

Anda mungkin juga menyukai