yang dilihat dan ditemukan pada benda yang diperiksa menurut pengetahuannya dengan sebaik-baiknya SUSUNAN dan BENTUK Visum Et Repertum 1. Sudut Kiri Atas : Pro Justica (arti : untuk pengadilan) 2. Pendahuluan : - Identitas pemohon VisumEt Repertum - Identitas dokter yang memeriksa - Tempat dilakukan pemeriksaan - Tanggal dan jam pemeriksaan - Identitas korban - Keterangan lain seperti kapan dan dimana korban dirawat, kapanmeninggal, cara dan sebab kematian korban. 3. Pemberitaan : - Hasil pemeriksaan luar termasuk identitas korban - Hasil pemeriksaan dalam,membuka rongga tengkorak, dada dan perut serta organ dalam, rongga mulut dan leher - Pemeriksaan penunjang jika diperlukan seperti konsultasi dengan ahli lain : Pemeriksaan PA, Toksikologi, Balistik, Serologi, Immunologi, Enzimatologis, Trace Evidence 4. Kesimpulan : - Identitas jenazah - Kelainan yang terdapat pada tubuh korban, baik pemeriksaan luar maupun dalam - Hubungan kausal dan kelainan yang didapati pada pemeriksaan (penyebab luka, persentuhan dengan benda tajam) - Sebab dan saat kematian/klasifikasi luka 5. Penutup Dicantumkan kalimat : Demikianlah Visum Et Repertum ini dibuat denganmengingat sumpah Diakhiri dengan tanda tangan dan nama lengkap dokter. Macam-Macam Visum et Repertum 1. Visum et Repertum TKP - Hubungan sebab akibat luka yang ditemukan pada tubuh korban. - Saat kematian korban. - Barang bukti yang ditemukan. - Cara kematian korban jika mungkin. 2. Visum et Repertum Jenazah.
3. Visum et Repertum Korban Hidup - Dibuat setelah pemeriksaan selesai, korban tidak perlu dirawat lebih lanjut atau meninggal. - Visum et Repetum sementara, dibuat setelah pemeriksaan selesai, korban masih perlu mendapat perawatan lebih lanjut. * Visum et Repertum lanjutan dibuat bila: - Setelah selesai perawatan korban sembuh. - Setelah mendapat perawatan, korban meninggal. - Perawatan belum selesai, korban pindah RS atau dokter lain. - Perawatan belum selesai, korban pulang paksa atau melarikan diri. 4. Visum et Repertum Jenazah Penggalian. 5. Visum et Repertum barang bukti. Tata Cara Permohonan Visum et Repertum 1. Permohonan harus secara tertulis, tidak dibenarkan secara lisan melalui telepon atau pos. 2. Korban adalah barang bukti, maka permohonan surat Visum et Repertum harus diserahkan sendiri oleh petugas kepolisian bersama: korban, tersangka, atau barang bukti lain kepada dokter. 3. Tidak disarankan mengajukan permintaan Visum et Repertum tentang sesuatu peristiwa yang telah lampau, mengingat rahasia kedokteran. 4. Permintaan diajukan kepada dokter ahli pemerintah sipil atau ahli kedoteran kehakiman pemerintah sipil untuk korban yang meninggal dunia.
DEFINISI DAN DASAR HUKUM VeR Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan.2 Menurut Budiyanto et al, dasar hukum Visum et Repertum adalah sebagai berikut:2 Pasal 133 KUHAP menyebutkan:
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. (2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan II FK UR, September 2008 Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 KUHAP. Penyidik yang dimaksud di sini adalah penyidik sesuai dengan pasal 6(1) butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik ini adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena visum et repertum adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta visum et repertum, karena mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7(2) KUHAP).2
Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik, dapat dikenakan sanki pidana :2 Pasal 216 KUHP : Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undangundang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasar- kan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau mengga-galkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah. PERANAN dan FUNGSI VeR Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia, dimana VeR menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.2 Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan II FK UR, September 2008 Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan. Dengan demikian
visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca visum et repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia.2 Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan duduk persoalan di sidang pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam KUHAP, yang memungkinkan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan pasal 180 KUHAP.2 Bagi penyidik (Polisi/Polisi Militer) visum et repertum berguna untuk mengungkapkan perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu berguna untuk menentukan pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi Hakim sebagai alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. Untuk itu perlu dibuat suatu Standar Prosedur Operasional Prosedur (SPO) pada suatu Rumah Sakit tentang tata laksana pengadaan visum et repertum.3 STRUKTUR DAN ISI VeR
Setiap visum et repertum harus dibuat memenuhi ketentuan umum sebagai berikut:7 a. Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa b. Bernomor dan bertanggal c. Mencantumkan kata Pro Justitia di bagian atas kiri (kiri atau tengah) d. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan II FK UR, September 2008 e. Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan temuan pemeriksaan f. Tidak menggunakan istilah asing g. Ditandatangani dan diberi nama jelas h. Berstempel instansi pemeriksa tersebut i. Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan j. Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum et repertum. Apabila ada lebih dari satu instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan penyidik POM, dan keduanya berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut dapat diberi visum et repertum masing-masing asli k. Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya, dan disimpan sebaiknya hingga 20 tahun Visum Et Repertum adalah laporan tertulis (termasuk kesimpulan mengenai sebabsebab perlukaan/kematian) yang dibuat oleh dokter berdasarkan sumpah jabatan, mengenai apa yang dilihat/diperiksa
berdasarkan keilmuannya, atas permintaan tertulis dari pihak berwajib untuk kepentingan peradilan. Unsur-unsur dari suatu Visum et repertum (VER) : 1.Projustitia : Pada bagian atas kertas untuk mengganti kewajiban menempel materai artinya demi keadilan 2.Pendahuluan : Isinya; identitas pemeriksa, korban dan peminta VER juga berisikan waktu dan tempat pemeriksaan. 3.Pemberitaan : Merupakan bagian terpenting dari VE, berisikan keterangan tentang apa yang dilihat dan diperoleh (objektif) 4.Kesimpulan : - Jenis luka dan jenis kekerasan - Pada orang hidup: tulis kualifikasi luka - Pada orang mati : tulis sebab kematian 5.Penutup: berisi - Sumpah/janji sesuai dengan sumpah jabatan/pekerjaan, berbunyi: VER ini dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu menerima jabatan. - Tandatangan dan nama terang dokter yang membuat VER. Apa itu pemberitaan visum? yakni Hasil pemeriksaan (data)yang fungsinya : - sebagai barang bukti, cara yang dilihat dan diperoleh dokter - Untuk analisa dalam membuat kesimpulan Yang menuntut dokter untuk menganalisa menuju kesimpulan adalah permintaan visum. Jadi permintaan visum merupakan pertanyaan polisi, analisa kesimpulan merupakan jawaban
dokter. Pada kasus Kecelakaan LaluLintas, pertanyaannya: 1.Sebab kematian 2.Benarkan kecelakaan lalulintas, apakah bukan pembunuhan 3.Apakah korban tidak sedang mabuk Hakikat visum : mencari kejadian yang sebenarnya terjadi/dialami korban. Kita tidak bisa memakai data polisi untuk menganalisa, oleh karena visum: apa yang dilihat dan apa yang didapat, bukan yang didengar. Kesimpulan bahwa meninggal, akibat kecelakaan lalulintas bukan kesimpulan dokter tetapi kesimpulan polisi. Dokter hanya memberikan data tentang lukaluka dan sebab kematian. Dokter tidak bisa berkesimpulan bahwa korban sedang mabuk oleh karena kadar alkohol yang disebabkan mabuk berbeda-beda untuk tiap orang dan dokter tidak bisa pastikan apakah kadar alkohol tertentu orang/korban menjadikannya mabuk. Dokter hanya bisa berikan data bahwa terdapat alkohol dan kadar sekian dalam darah korban. Pada kasus kecelakaan lalu lintas yang diberikan dokter, apakah: kecelakaan (data) - sengaja ditabrak (data) Mabuk (data) Bunuh diri (data) - Mati baru ditabrak (medis) diketahui dari sebab kematian Dalam visum: Jangan hanya menyimpulkan sebab kematian
patogenesis
Pada luka tembak harus disimpulkan: 1. Sebab kematian 2. Jarak dan arah tembakan Pemberitaan: Barang bukti Ringkasan dan kesimpulan bukan barang bukti Kasus Luka Tusuk Data : 1. Luka tusuk dari belakang menembus dan merobek aorta yang menyebabkan perdarahan 750 cc dalam rongga dada. 2. Luka tusuk dari arah belakang tembus hepar menyebabkan perdarahan 300 cc. Data medis lain yang membantu polisi: apakah hamil atau tidak pada korban membantu polisi menganalisa dan menyimpulkan sebab akibat/hubungan kehamilan dan penikaman. Perlu dokter mendeskripsikan luka bukan deskripsi jenis senjata sebab nanti polisi yang mendeskripsikan senjata. 2 tugas dalam membuat visum : 1.Memindahkan luka luka ke kertas sebagai pengganti barang bukti. 2.Menalar sebagai saksi ahli untuk sampai pada kesimpulan. Kesimpulan tentang apa yang dibuat/dimuat ? 1. Sebab kematian 2. Saat kematian 3. Patogenesa kematian,
sebab kenapa
diperlukan sebab kematian dan patogenesanya? untuk mengetahui mati wajar atau tidak Ringkasan harus meliputi 2 unsur : 1. Sebab asfiksia, sianosis
y y y y
kekerasan baru, ada tidak tanda pembusukan ? Ada sikatriks tanda kekerasan lama
Sumber : http://medicinestuffs.blogspot.co m
DOKTER GIGI DAN HAK KERAHASIAAN PASIEN Berdasarkan pasal 50 ayat (1) Undang-undang Kesehatan Nomor 23/1992 (Dep.Kes.RI, 1992), dalam kedudukannya sebagai tenaga kesehatan dokter gigi bertugas menjalankan kewajibannya sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangannya. Sehubungan dengan tugas tersebut, sesuai pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 32/1996 (Peraturan Pemerintah, 1996) tentang Tenaga Kesehatan, dokter gigi berkewajiban di antaranya untuk menghormati hak pasien dan menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien, karena hubungan dokter pasien didasarkan kepercayaan. Berdasarkan pasal 322 ayat (1) KUHA Pidana (Aksara Baru, 1998), apabila seorang dokter/dokter gigi dengan sengaja membuka rahasia jabatan dapat diancam pidana penjara atau membayar denda. Karena profesinya untuk menyimpan rahasia jabatan, maka dokter gigi memiliki hak ingkar. Terdapat 2 aliran pendapat tentang penggunaan hak ingkar dan kewajiban menyimpan rahasia, yaitu aliran mutlak yang menyebutkan bahwa rahasia jabatan sama sekali tidak boleh dibuka, serta aliran relatif yang menyebutkan rahasia
asfiksia
ada ?
Ada perdarahan subkonjungtiva Ada perdarahan hati Ada perdarahan ginjal Ada perdarahan paru paru terjadi
Karena terjadi peningkatan tekanan yang disebabkan karena bendungan pada a. pulmonalis sehingga darah statis tekanan meningkat kapiler darah pecah. Asfiksia --> aliran darah dari a. pulmonalis ke paru terhambat -> jantung terbendung --> pembuluh darah terbendung --> kapiler pecah --> Kapiler pecah karena ukurannya yang paling kecil. Kenapa arteri pulmonalis yang menuju ke atrium terhambat ?Apa bukti ada kerjasama paru dan jantung mengangkut oksigen ?
y
Mungkin intoksikasi, apa buktinya ? ada bahan organoklorida (antikolenesterase) baygon Apa itu organoklorida ? Baygon
Kalau orang mati baru dikasih minum baygon, tidak akan ada penyerapan (tidak diabsorbsi), sehingga tidak akan ditemukan dalam darah, oleh karena itu botol darah tidak boleh dicampur dengan botol hati, ginjal, untuk bisa membedakan apakah korban nanti mati baru diberi baygon atau minum baygon dulu baru mati. Data apa untuk membuktikan dia minum sendiri / paksa ? tanda tanda kekerasan tanda yang bisa mendukung :
y
Nukti sederhana : Kalau orang loncat frekuensi napas meningkat yang diikuti penambahan konsentrasi. Bukti untuk dokter forensik : surat, bukan dokter forensik : petunjuk.
Pemberitaan: Segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan (hasilnya) Fungsi VER: - Saksi ahli Barang bukti Yang berfungsi dalam VER (barang bukti) adalah pemberitaan
jabatan dapat dibuka tergantung kasus yang dihadapi. Di Indonesia aliran relatif ini lebih banyak dianut (Amelz, 1982). Walaupun seorang dokter gigi dapat menggunakan hak ingkar untuk tidak memberikan keterangan karena adanya kewajiban menyimpan rahasia jabatan, berdasarkan pasal 179 ayat (1) KUHA Pidana, setiap orang yang diminta 2
3
dapat memberi nilai bagi proses keadilan. Apabila dokter gigi menolak memenuhi kewajiban untuk dipanggil sebagai saksi ahli di bidang Kedokteran Gigi Forensik, maka berdasarkan pasal 224 KUH Pidana, diancam pidana penjara. DOKTER GIGI SEBAGAI SAKSI AKHLI DALAM PERKARA PIDANA Keterlibatan dokter gigi sehubungan dengan Kedokteran Gigi Forensik dapat dibagi menjadi 3 bidang (Cameron dan Sims, 1973) yaitu : a. Perdata nonkriminal; b. Kriminal; dan c. Penelitian Pada dasarnya dokter dan dokter gigi dalam membantu aparat penegak hukum dapat dibedakan atas (Prakoso, 1987) : 1. Menurut obyek pemeriksaan : a. Orang hidup b. Jenazah c. Benda-benda atau yang berasal dari dalam tubuh. 2. Menurut jasa yang diberikan : a. Melakukan pemeriksaan lalu mengemukakan pendapat dari hasil pemeriksaannya. b. Mengajukan atau mengemukakan pendapat saja. 3. Menurut tempat kerja : a. Di rumah sakit atau laboratorium b. Pemeriksaan di tempat kejadian c. Di muka sidang pengadilan Tugas dokter gigi dalam lingkup forensik adalah melakukan pemeriksaan terhadap keadaan mulut dan gigi dan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan 4
5
pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Sekalipun dokter gigi memiliki hak ingkar untuk dapat menolak memberikan keterangan yang berhubungan dengan pasiennya, karena kewajiban menjaga rahasia jabatan, tetapi harus disadari tanggung jawabnya untuk mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara. Dokter gigi dapat membuka kerahasiaan pasien bila : 1. Ada perintah dari hakim, sesuai pasal 180 ayat (1) KUHAPidana. 2. Ada permintaan tertulis dari penyidik, sesuai pasal 133 KUHAPidana. 3. Untuk melaksanakan perintah atasan, sesuai pasal 51 KUHPidana, contohnya dokter militer. 4. Untuk melaksanakan ketentuan Undang Undang, sesuai pasal 50 KUHPidana. 5. Kasus yang dihadapi menyangkut kepentingan umum yang membahayakan ketertiban umum, dimana pendapat dan keterangan yang diberikan dokter
mulut dan gigi, contohnya : memeriksa bekas gigitan. Oleh sebab itu seorang dokter gigi dapat dilibatkan dalam pembuatan Visum et Repertum oleh dokter pembuat Visum et Repertum sebagai konsultan untuk memeriksa keadaan mulut dan geligi korban, karena dokter gigi tidak memiliki wewenang khusus untuk membuat Visum et Repertum. Walaupun demikian, dokter gigi dapat membuat berbagai hasil pemeriksaan yang kedudukannya setara dengan Visum et Repertum tetapi tidak dengan judul Visum et Repertum. 3.1 Pengertian dan Definisi Saksi Ahli Saksi ahli adalah seseorang yang dapat menyimpulkan berdasarkan pengalaman keahliannya tentang fakta atau data suatau kejadian, baik yang ditemukan sendiri maupun oleh orang lain, serta mampu menyampaikan pendapatnya tersebut (Franklin C.A, 1988). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagai saksi ahli harus dapat menarik kesimpulan, serta menyatakan pendapat sesuai dengan keahliannya. Berdasarkan pasal 184 KUHAP ayat (1), keterangan ahli yang diberikan oleh saksi ahli di pengadilan adalah merupakan salah satu alat bukti yang syah. 3.2 Tata cara Pemanggilan Saksi Ahli Tata cara pemanggilan saksi ahli diatur dalam pasal 227 KUHAP, secara garis besarnya adalah :
6
(1) Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan. (2) Petugas yang melaksanakan panggilan harus bertemu sendiri dan berbicara langsung dengan orang yang dipanggil. (3) Bila orang yang dipanggil tidak terdapat di salah satu tempat tinggalnya atau tempat kediamannya yang terakhir, surat panggilan disampaikan melalui Kepala Desa atau pejabat, dan jika di luar negeri melalui perwakilan Republik Indonesia di tempat dimana orang yang dipanggil tinggal. 3.3 Cara memberikan keterangan ahli. Apabila saksi ahli telah datang ke Pengadilan sesuai dengan tanggal pemanggilannya, pertama-tama saksi ahli melaporkan kedatangannya kepada panitera pengadilan, lalu menunggu gilirannya untuk dipanggil memasuki ruang sidang. Di ruang sidang saksi ahli duduk berhadapan dengan hakim, dan setiap pertanyaan yang diajukan oleh jaksa, pengacara atau terdakwa kepada saksi ahli harus melalui hakim. Semua jawaban yang diberikan harus jelas, tidak berbelit, menggunakan bahasa Indonesia yang baik, mudah dipahami, hati-hati, sopan, dan sesuai batas profesi. (Baheram, 1995).
7
Undang-undang memberikan batasan bahwa hakim dilarang mendengarkan orang-orang tertentu sebagai saksi yaitu mereka yang oleh Undangundang dianggap tidak mampu mutlak dan tidak mutlak relatif (Muhammad, 1992). Yang mutlak tidak dapat didengar pendapatnya adalah karena memiliki hubungan yang terlalu dekat dengan yang berperkara, sedangkan tidak mutlak relatif adalah orang yang belum memenuhi syarat-syarat tertentu karena belum cukup umur atau karena terganggu kesehatannya. Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai seorang saksi ahli adalah (Prakoso, 1987) : 1. Syarat obyektif. a. Sehat, dewasa, tidak dibawah perwalian, sebagaimana (pasal 171 KUHAPidana). b. Tidak boleh ada hubungan keluarga dengan terdakwa, baik pertalian darah atau karena perkawinan, dan bukan orang yang bekerja atau yang mendapat gaji dari terdakwa (pasal 168 KUHAPidana). 2. Syarat Formil Saksi ahli harus disumpah menurut aturan agamanya, untuk memberi keterangan yang sebenarnya, sebagai-mana diatur dalam pasal 120 ayat (2) KUHAPidana, pasal 179 ayat (2) KUHAPidana 3.5 Kewajiban dan Hak Sebagai Saksi Ahli Didasarkan KUHAP, saksi ahli memiliki kewajiban dan hak sebagai berikut:
8
1. Kewajiban : a. Didasarkan pasal 159 ayat (2) KUHAPidana saksi ahli wajib menghadap ke persidangan setelah dipanggil dengan patut. b. Didasarkan pasal 160 KUHA Pidana, saksi ahli wajib bersumpah menurut agamanya untuk memberi keterangan yang sebenarnya. 2. Hak sebagai saksi ahli : Didasarkan pasal 229 KUHAP, saksi ahli yang telah hadir berhak mendapat penggantian biaya menurut Undang-undang yang
PERANAN VISUM ET REPERTUM PADA TAHAP PENYIDIKAN DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN
Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh buktibukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut. Usaha-usaha dilakukan oleh para yang penegak
hukum untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 6 ayat 2 yang menyatakan : Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya . Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut. Menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan
didalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada pasal 120 ayat (1), yang menyatakan : Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus . Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan, disebutkan pada pasal 180 ayat (1) yang menyatakan : Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan. Mengenai keterangan ahli sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP diatas, diberikan pengertiannya pada pasal 1 butir ke-28 KUHAP, yang menyatakan : Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Bantuan seorang ahli yang diperlukan dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana, baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan dan pada tahap pemeriksaan lanjutan di sidang pengadilan, mempunyai peran dalam membantu aparat yang berwenang untuk membuat terang suatu perkara pidana, mengumpulkan bukti-bukti yang memerlukan keahlian khusus, memberikan petunjuk yang lebih kuat mengenai pelaku tindak pidana, serta pada akhirnya dapat
membantu hakim dalam menjatuhkan putusan dengan tepat terhadap perkara yang diperiksanya. Pada tahap pemeriksaan pendahuluan dimana dilakukan proses penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana, tahapan ini mempunyai peran yang cukup penting bahkan menentukan untuk tahap pemeriksaan selanjutnya dari keseluruhan proses peradilan pidana. Tindakan penyidikan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian atau pihak lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan tindakan penyidikan, bertujuan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan hasil yang didapat dari tindakan penyidikan suatu kasus pidana, hal ini selanjutnya akan diproses pada tahap penuntutan dan persidangan di pengadilan. Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana, maka bantuan ini pada tahap penyidikan juga mempunyai peran yang cukup penting untuk membantu penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya menemukan kebenaran materiil suatu perkara pidana. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik sangat bergantung terhadap keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya. Kasus-kasus tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan dan perkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik membutuhkan bantuan tenaga ahli seperti dokter ahli
forensik atau dokter ahli lainnya, untuk memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus tersebut. Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak Kepolisian selaku aparat penyidik membutuhkan keterangan ahli dalam tindakan penyidikan yang dilakukannya yaitu pada pengungkapan kasus perkosaan. Kasus kejahatan kesusilaan yang menyerang kehormatan seseorang dimana dilakukan tindakan seksual dalam bentuk persetubuhan dengan menggunakan ancaman kekerasan atau kekerasan ini, membutuhkan bantuan keterangan ahli dalam penyidikannya. Keterangan ahli yang dimaksud ini yaitu keterangan dari dokter yang dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda telah dilakukannya suatu persetubuhan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Melihat tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat saat ini, dapat dikatakan kejahatan perkosaan telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas perbuatannya. Dari kuantitas kejahatan perkosaan, hal ini dapat dilihat dengan semakin banyak media cetak maupun televisi yang memuat dan menayangkan kasuskasus perkosaan. Sebuah Lembaga Perlindungan Anak di Jawa Timur (LPA Jatim), dalam datanya mengenai tingkat kejahatan perkosaan yang terjadi pada anak,
mengungkapkan bahwa kasus perkosaan anak mengalami peningkatan yang cukup memprihatinkan. Disebutkan dalam laporan tahunan lembaga tersebut, pada tahun 2002 kekerasan seksual pada anak mencapai 81 kasus. Pada tahun 2003 di triwulan pertama sampai bulan Maret, di Jawa Timur telah terdapat 53 anak dibawah umur yang menjadi korban perkosaan. Jumlah ini meningkat 20 % dibandingkan kasus yang terjadi pada tahun 2002. Ditengarai bahwa kasus perkosaan yang terjadi jumlahnya lebih banyak dari data yang diperoleh oleh lembaga tersebut. Dari kualitas kejahatan perkosaan, hal ini dapat dilihat dengan semakin beragamnya cara yang digunakan pelaku untuk melakukan tindak perkosaan, berbagai kesempatan dan tempattempat yang memungkinkan terjadinya tindak perkosaan, hubungan korban dan pelaku yang justru mempunyai kedekatan karena hubungan keluarga, tetangga, bahkan guru yang seharusnya membimbing dan mendidik, bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap korban, serta usia korban perkosaan yang saat ini semakin banyak terjadi pada anak-anak. Mengungkap suatu kasus perkosaan pada tahap penyidikan, akan dilakukan serangkaian tindakan oleh penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi, berupaya membuat terang tindak pidana tersebut, dan selanjutnya dapat menemukan pelaku tindak pidana perkosaan. Terkait dengan peranan dokter dalam membantu penyidik memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban perkosaan, hal ini merupakan
upaya untuk mendapatkan bukti atau tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana perkosaan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum. Menurut pengertiannya, visum et repertum diartikan sebagai laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya . Dalam kenyataannya, pengusutan terhadap kasus dugaan perkosaan oleh pihak Kepolisian telah menunjukkan betapa penting peran visum et repertum. Sebuah surat kabar memuat berita mengenai kasus dugaan perkosaan yang terjadi di daerah hukum Polresta Tanjung Perak Surabaya, terpaksa kasus tersebut dihentikan pengusutannya oleh pihak Kepolisian disebabkan hasil visum et repertum tidak memuat keterangan mengenai tanda terjadinya persetubuhan. Orang tua korban dengan dibantu oleh sebuah lembaga perlindungan perempuan, berupaya agar pihak Kepolisian dapat meneruskan pengusutan kasus tersebut karena menurut keterangan lisan yang disampaikan dokter pemeriksa kepada keluarga korban menyatakan bahwa selaput dara korban robek dan terjadi infeksi. Permintaan tersebut tidak dapat ditindaklanjuti karena pihak Kepolisian mendasarkan tindakannya pada hasil visum et
repertum yang menyatakan tidak terdapat luka robek atau infeksi pada alat kelamin korban. Disebutkan oleh Kapolresta Tanjung Perak Surabaya bahwa karena hasil visum dokter menyatakan selaput dara masih utuh, maka tidak ada alasan bagi polisi untuk melanjutkan pemeriksaan kasus tersebut. Peranan visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan sebagaimana terjadi dalam pemberitaan surat kabar di atas, menunjukkan peran yang cukup penting bagi tindakan pihak Kepolisian selaku aparat penyidik. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana perkosaan dari hasil pemeriksaan yang termuat dalam visum et repertum, menentukan langkah yang diambil pihak Kepolisian dalam mengusut suatu kasus perkosaan. Dalam kenyataannya tidak jarang pihak Kepolisian mendapat laporan dan pengaduan terjadinya tindak pidana perkosaan yang telah berlangsung lama. Dalam kasus yang demikian barang bukti yang terkait dengan tindak pidana perkosaan tentunya dapat mengalami perubahan dan dapat kehilangan sifat pembuktiannya. Tidak hanya barang-barang bukti yang mengalami perubahan, keadaan korban juga dapat mengalami perubahan seperti telah hilangnya tanda-tanda kekerasan. Mengungkap kasus perkosaan yang demikian, tentunya pihak Kepolisian selaku penyidik akan melakukan upayaupaya lain yang lebih cermat agar dapat ditemukan kebenaran materiil yang selengkap mungkin dalam perkara tersebut. Sehubungan dengan peran visum et repertum yang semakin penting dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan, pada kasus perkosaan dimana pangaduan atau
laporan kepada pihak Kepolisian baru dilakukan setelah tindak pidana perkosaan berlangsung lama sehingga tidak lagi ditemukan tanda-tanda kekerasan pada diri korban, hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et repertum tentunya dapat berbeda dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan segera setelah terjadinya tindak pidana perkosaan. Terhadap tanda-tanda kekerasan yang merupakan salah satu unsur penting untuk pembuktian tindak pidana perkosaan, hal tersebut dapat tidak ditemukan pada hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et repertum. Menghadapi keterbatasan hasil visum et repertum yang demikian, maka akan dilakukan langkahlangkah lebih lanjut oleh pihak penyidik agar dapat diperoleh kebenaran materiil dalam perkara tersebut dan terungkap secara jelas tindak pidana perkosaan yang terjadi.