Anda di halaman 1dari 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.

Bladder Retention Training


1.1. Defenisi Bladder Training Bladder training adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik (potter & perry, 2005). Bladder training merupakan salah satu terapi yang efektif di antara terapi nonfarmakologi. Terdapat tiga macam metode bladder training, yaitu kegel exercises (latihan pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul), Delay urination (menunda berkemih), dan scheduled bathroom trips (jadwal berkemih) Suhariyanto (2008). Latihan kegel (kegel execises) merupakan aktifitas fisik yang tersusun dalam suatu program yang dilakukan secara berulang-ulang guna meningkatkan kebugaran tubuh. Latihan kegel dapat meningkatkan mobilitas kandung kemih dan bermanfaat dalam menurunkan gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi urin. Latihan otot dasar panggul dapat membantu memperkuat otot dasar panggul untuk memperkuat penutupan uretra dan secara refleks menghambat kontraksi kandung kemih. (Kane, 1996 dalam Nursalam 2006). Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing (menunda untuk berkemih). Pada pasien yang terpasang kateter, Bladder training dapat dilakukan dengan mengklem aliran urin ke urin bag (Hariyati, 2000). Bladder training dilakukan sebelum kateterisasi diberhentikan. Tindakan ini dapat dilakukan dengan menjepit kateter urin dengan klem kemudian jepitannya dilepas setiap beberapa jam sekali. Kateter di klem selama 20 menit dan kemudian dilepas. Tindakan menjepit kateter ini memungkinkan kandung kemih

Universitas Sumatera Utara

terisi urin dan otot destrusor berkontraksi sedangkan pelepasan klem memungkinkan kandung kemih untuk mengosongkan isinya. (Smeltzer, 2001).

1.2. Tujuan Bladder Training Tujuan dari bladder training adalah untuk melatih kandung kemih dan

mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran air kemih (potter&perry, 2005). Terapi ini bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal dengan berbagai teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih dapat berkurang, hanya 6-7 kali per hari atau 3-4 jam sekali. Melalui latihan, penderita diharapkan dapat menahan sensasi berkemih. Latihan ini dilakukan pada pasien anak pasca bedah yang di pasang kateter (Suharyanto, 2008). Karon (2005) menyatakan tujuan dilakukan bladder training yaitu Membantu anak mendapat pola berkemih yang rutin, Mengembangkan tonus otot kandung kemih, Memperpanjang interval waktu berkemih, Meningkatkan kapasitas kandung kemih.

1.3. Indikasi Bladder Training Bladder Training dapat dilakukan pada pasien anak yang mengalami retensi urin, pada pasien anak yang terpasang kateter dalam waktu yang lama sehingga fungsi spingter kandung kemih terganggu (Suharyanto, 2008). Bladder training juga bisa dilakukan pada pasien anak yang menggunakan kateter yang lama, dan pasien anak yang mengalami inkontinensia urin. 1.4.Prosedur Bladder Training Prosedur kerja dalam melakukan bladder training menurut Suharyanto (2008) yaitu : a. Lakukan cuci tangan. b. Mengucapkan salam.

Universitas Sumatera Utara

c. Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada klien. d. Ciptakan lingkungan yang nyaman dengan menutup ruangan atau tirai ruangan. e. Atur posisi pasien yaitu dengan posisi dorsal recumbent f. Pakai sarung tangan disposibel g. Lakukan pengukuran volume urin pada kantong urin. h. i. Kosongkan kantong urin. Klem selang kateter sesuai dengan program selama 1 jam yang memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot destrusor berkontraksi, supaya meningkatkan volume urin residual. j. Anjurkan klien minum (200-250 cc).

k. Tanyakan pada klien apakah terasa ingin berkemih setelah 1 jam. l. Buka klem dan biarkan urin mengalir keluar.

m. Lihat kemampuan berkemih klien n. Lepaskan sarung tangan dan merapikan semua peralatan.

2. Konsep Berkemih Pada Anak 2.1. Pengertian berkemih Berkemih adalah pengeluaran cairan. Proses pengeluaran ini sangat bergantung pada fungsi-fungsi organ berkemih seperti ginjal, ureter, bladder, dan uretra. Ginjal memindahkan air dari darah dalam bentuk urin. Ureter mengalirkan urin ke bladder urin ditampung sampai mencapai batas tertentu yang kemudian dikeluarkan melalui uretra. Air sisa metabolisme dalam darah difiltrasi oleh ginjal. Darah mengalir sampai ke ginjal melalui arteri renal yang merupakan cabang dari aorta abdomen. Kira-kira darah akan masuk ke ginjal 20-25% dari kardiak output. Dalam glomerulus ginjal difiltrasi air dan zat-zat lain seperti glukosa, asam amino, urea, kreatinin, dan elektrolit. Glomerulus akan memfiltrasi

Universitas Sumatera Utara

kira-kira 125 ml/menit. Tidak semua hasil filtrasi akan dikeluarkan sebagai urin, tetapi sebagian zat berupa glukosa, asam amino, sodium, dan potassium kembali ke plasma. Pengeluaran urin tergantung pada intake cairan. Ginjal menghasilkan hormon eritropoitin yang berfungsi untuk merangsang produksi eritropoitisetin yang merupakan bahan baku sel darah merah pada sumsum tulang. Hormon ini dirangsang oleh adanya kekurangan aliran darah pada ginjal. Disamping eritripoitin, ginjal juga menghasilkan hormon renin yang berfungsi sebagai pengatur aliran darah ginjal pada saat terjadinya iskemia. Renin dihasilkan pada sel juxtagmerulus pada apparatus juxtagmerulus di nephron. Renin berfungsi sebagai enzim yang berfungsi mengubah angiontensinogen menjadi angiontensin I yang kemudian di ubah diparu-paru menjadi angiontensin II dan angiontensi III. Angiontensin II berdampak pada vasokontriksi dan menstimulus aldosteron untuk menahan/merentensi air dan meningkatkan volume darah. Angiontensin III memberikan efek tekanan pada aliran pembuluh darah arteri.

2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Berkemih 1. Pertumbuhan dan perkembangan Usia dan berat badan dapat mempengaruhi jumlah pengeluaran urin. 2. Psikologis Pada keadaan cemas dan stres akan meningkatkan stimulasi berkemih. 3. Kebiasaan Seseorang Misalnya seseorang hanya bisa berkemih di toilet, sehingga ia tidak dapat berkemih dengan menggunakan pot urin. 4. Tonus Otot Berkemih membutuhkan tonus otot bladder, otot abdomen dan pelvis untuk berkontraksi. Jika ada gangguan tonus, otot dorongan untuk berkemih juga akan berkurang.

Universitas Sumatera Utara

5. Kondisi Penyakit Pada pasien yang demam akan terjadi penurunan produksi urin karena banyak cairan yang dikeluarkan melalui kulit. Peradangan dan iritasi organ kemih menimbulkan retensi urin. 6. Pembedahan Penggunaan anestesi menurunkan filtrasi glomerulus sehingga produksi urin akan menurun. 7. Respon keinginan awal untuk berkemih Beberapa anak mempunyai kebiasaan mengabaikan respon awal untuk berkemih dan hanya pada akhir keinginan berkemih menjadi lebih kuat. Akibatnya urine banyak tertahan di kandung kemih. Anak ini mempunyai kapasitas kandung kemih yang lebih daripada normal. 8. Tingkat aktifitas Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot. Eliminasi urine membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik untuk tonus sfingter internal dan eksternal. Hilangnya tonus otot kandung kemih terjadi pada masyarakat yang menggunakan kateter untuk periode waktu yang lama. Karena urine secara terus menerus dialirkan keluar kandung kemih, otot-otot itu tidak pernah merenggang dan dapat menjadi tidak berfungsi. Aktifitas yang lebih berat akan mempengaruhi jumlah urine yang diproduksi, hal ini disebabkan karena lebih besar metabolisme tubuh.

9. Kondisi Patologis. Demam dapat menurunkan produksi urine (jumlah dan karakter)

Obat diuretiik dapat meningkatkan output urine Analgetik dapat terjadi retensi urine.

Universitas Sumatera Utara

2.3. Masalah-Masalah Berkemih 1. Retensi Urin Merupakan penumpukan urin dalam bladder dan ketidakmampuan bladder untuk mengosongkan kandung kemih. Penyebab distensi bladder adalah urin yang terdapat dalam bladder melebihi dari 400 ml. Normalnya adalah 250-400 ml. 2. Inkontenensia urin Adalah ketidakmampuan otot spingter eksternal sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin. 3. Enuresis Merupakan ketidaksanggupan menahan kemih (mengompol) yang diakibatkan ketidakmampuan untuk mengendalikan spinter eksterna. Biasanya terjadi pada anak-anak atau pada orang jompo (Wartonah, 2004).

2.4. Perubahan Pola Berkemih 1. Frekuensi: Meningkatnya frekuensi berkemih tanpa intake cairan yang meningkat, biasanya terjadi pada cystitis, stres.

2. Urgensi: Perasaan ingin segera berkemih dan biasanya terjadi pada anak-anak karena kemampuan spinter untuk mengontrol berkurang. 3. Disuria: Rasa sakit dan kesulitan dalam berkemih misalnya pada infeksi saluran kemih, dan trauma.

Universitas Sumatera Utara

4. Poliuria: Produksi urin melebihi normal, tanpa peningkatan intake cairan misalnya pada pasien diabetes militus. 5. Urinaria Suppressi: Keadaan di mana ginjal tidak memproduksi urin secara tiba-tiba 6. Anuria Urin kurang dari 100 ml/24 jam 7. Oliguri urin sebanyak 100-500 ml/24 jam

2.5. Refleks Berkemih Kemampuan klien untuk berkemih bergantung pada adanya rasa desakan untuk berkemih, kemampuan mengontrol sfingter uretra, dan kemampuan untuk rileks selama berkemih (Wartonah, 2004).

2.6. Pola Berkemih Pasca Operasi

Dalam waktu 6 sampai 8 jam setelah anestesi, klien mendapatkan kontrol fungsi berkemih secara volunter, bergantung pada jenis pembedahan anestesi epidural atau spinal menyebabkan klien tidak dapat merasakan distensi atau penuhnya kandung kemih. Untuk memeriksa adanya distensi kandung kemih, perawat mempalpasi abdomen bagian bawah tepat pada diatas simpisis pubis. Klien perlu dibantu berkemih jika klien tidak dapat berkemih dalam waktu 8 jam. Karena kandung kemih yang penuh dapat menyebabkan nyeri dan sering menyebabkan kegelisahan selama pemulihan, kateter mungkin perlu dipasang. Apabila klien telah terpasang kateter tetap, urin harus mengalir sedikitnya 2 ml/kg/jam pada dewasa dan 1 ml/kg/jam pada anak-anak. Perawat mengobservasi warna dan bau urin klien. Pembedahan

Universitas Sumatera Utara

yang melibatkan bagian saluran perkemihan, normalnya akan menyebabkan urin mengandung darah, paling tidak selama 12 sampai 24 jam setelah pembedahan, dan bergantung pada jenis pembedahan ( Potter & Perry, 2005).

2.7. Perkembangan Anak Pada Usia Sekolah

Pada masa ini anak mengalami proses perubahan dalam pola makan dimana anak pada umumnya mengalami kesulitan untuk makan. Proses eliminasi pada anak sudah menunjukkan proses kemandirian dan masa ini adalah masa dimana perkembangan kognitif sudah mulai menunjukkan perkembangan dan anak sudah mempersiapkan diri untuk memasuki sekolah dan tampak sekali kemamapuan anak belum mampu menilai sesuatu. Berdasarkan apa yang mereka lihat dan anak membutuhkan pengalaman belajar dengan lingkungan dan orang tuanya. Sedangkan perkembangan psikososial pada anak sudah menunjukkan adanya rasa inisiatif, konsep diri yang positif serta mampu mengidentifikasikan identitas dirinya (Hidayat, 2005).

Pada fase ini anak sekolah dilatih untuk melakukan toilet training. Dimana anak mampu melakukan buang air kecil dan besar pada anak yang membutuhkan persiapan fisik, psikologis maupun secara inteletual, melalui persiapan tersebut diharapkan anak mampu mengontrol buang air besar atau kecil secara mandiri.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai