Anda di halaman 1dari 11

Nama NIM

: Orysa Noor Azizah : 11/317722/PS/06244

Mata Kuliah : Kewarganegaraan dan Pancasila Tema : Hubungan Antara Ras, Etnisitas, dan Kebangsaan dalam

Masyarakat Multikultural Words count : 2400 words

PERISTIWA SAMPIT SEBAGAI PERMASALAHAN MULTIKULTURAL Indonesia adalah Negara yang kaya akan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam karena Indonesia adalah negara yang terletak di garis khatulistiwa dengan beribu-ribu pulau didalamnya. Secara geografis, masyarakat Indonesia terpisah-pisah sehingga bisa melahirkan banyak kebudayaan maupun ras, etnis, dan suku bangsa, namun semuanya terangkum dalam satu kesatuan, yaitu bangsa Indonesia. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya masyarakat yang majemuk atau yang lebih dikenal dengan masyarakat multikultural. Menurut Clifford Geertz, masyarakat majemuk atau masyarakat

multikultural adalah masyarakat yang terbagi-bagi dalam subsistem yang berdiri sendiri dan terikat dalam ikatan-ikatan primodial. Menurut Nasikun, masyarakat majemuk atau masyarakat multikultural adalah yang terdiri dari dua atau lebih kelompok yang secara ekonomi dan budaya terpisah-pisah serta memiliki struktur kelembagaan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang didalamnya memiliki keanekaragaman kelompok dengan karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan ini meliputi tingkat difrensiasi dan stratifikasi sosial. Sedangkan secara sosiologis, perbedaan masyarakat

multikultural meliputi suku, ras, agama, golongan, dan gender.

Kemajemukan masyarakat Indonesia ini diikat oleh lambang negara Pancasila yang dilengkapi dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Kebhinekaan masyarakat Indonesia ini terbagi menjadi dua, yaitu secara horizontal atau diferensiasi dan secara vertikal atau stratifikasi. Secara horizontal atau diferensiasi, perbedaan masyarakat majemuk di Indonesia terbagi atas: 1. Perbedaan fisik atau ras Ras adalah pengelompokan manusia yang didasarkan pada ciri-ciri fisik. 2. Perbedaan suku bangsa atau etnis Suku bangsa adalah suatu kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran dan jati diri mereka sendiri akan kesatuan dari kebudayaan mereka sendiri. Suku bangsa mengacu pada identitas kultural yang meliputi bahasa, tradisi, dan pola perilaku. 3. Perbedaan agama 4. Perbedaan jenis kelamin Secara vertikal atau stratifikasi, yang termasuk dalam perbedaan ini adalah perbedaan individu maupun kelompok ke dalam tingkatan-tingkatan secara hirarki dalam suatu sistem sosial. Hal-hal yang dihargai secara lebih antara lain: kebutuhan, kekuasaan dalam masyarakat, keturunan, dan pendidikan. Selain keadaan geografis yang telah disebutkan sebelumnya, faktor yang melatarbelakangi terbentuknya masyarakat majemuk di Indonesia adalah latar belakang historis atau sejarah, karena bangsa Indonesia tidak hanya dihuni oleh suku bangsa Melayu asli melainkan ada berbagai suku bangsa asing yang masuk ke Indonesia melalui pelayaran dan perdagangan yang kemudian tinggal dan menetap di Indonesia. Para pendatang memiliki pengetahuan dan kebudayaan yang berbeda, namun pada akhirnya terjadi adaptasi pada masing-masing kebudayaan. Perbedaan kebudayaan inilah yang menjadi salah satu penyebab

terbentuknya masyarakat majemuk di Indonesia; dan keterbukaan terhadap kebudayaan luar yang disebabkan karena posisi Indonesia yang terletak di tengah jalur persilangan lalu lintas perdagangan dunia sehingga Indonesia sangat terbuka dari pengaruh kebudayaan luar yang dibawa oleh pedagang. Pengaruh bangsa lain inilah yang kemudian menyebabkan berkembangnya berbagai kebudayaan di Indonsesia, dengan semakin beragamnya kebudayaan yang dimiliki oleh Indonesia, maka lahirlah sebuah masyarakat yang multikultural di Indonesia. Manfaat dari masyarakat multikultural adalah: 1. Dapat digali kearifan buadaya yang dimiliki oleh setiap budaya. 2. Muncul rasa penghargaan terhadap budaya lain. 3. Merupakan benteng pertahanan terhadap ancaman. 4. Alat untuk membina dunia yang aman dan sejahtera. 5. Mengajarkan suatu pandangan bahwa kebenaran itu tidak dimonopoli. Keberagaman kelompok sosial dalam masyarakat multicultural di Indonseia dibedakan menjadi: kelompok sosial berdasarkan ras, kelompok sosial berdasarkan bahasa, kelompok sosial berdasarkan suku bangsa atau etnis, dan kelompok sosial berdasarkan perbedaan agama. Dalam masyarakat multicultural juga terjadi adanya integrasi. Integrasi berasal dari kata integration yang berarti kesempurnaan, atau keseluruhan. Maurice Duverger mendefinisikan integrasi sebagai dibangunnya interdependensi (kesalingtergantungan) yang lebih rapat antara anggota-anggota dalam masyarakat. Integritas dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap konformitas terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan kebudayaan mereka masingmasing. Faktor-faktor yang mendukung integritas sosial di Indonesia adalah Penggunaan bahasa Indonesia yang merupakan bahasa pemersatu bangsa dan

menjadi kebanggan warga Negara Indonesia dana danya semangat persatuan dan kesatuan dalam suatu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air Indonesia Selain manfaat yang didapat dari masyarakat multikultural, kelompok sosial dalam keanearagaman masyarakat multikultural juga dapat melahirkan dua potensi, yaitu masalah dan potensi kekayaan ragam kelompok dan budaya. Masalah yang dapat terjadi akibat masyarakat multikultural ada empat, yaitu: 1. Konflik Kata konflik memiliki akar dari bahasa Latin, sebuah kata kerja configere yang berarti saling memukul. Jika dilihat secara ilmu sosial, konflik memiliki arti sebagai sebuah proses sosial yang terjadi antara perorangan atau kelompok. Konflik yang terjadi di masyarakat biasanya selalu didasari oleh perbedaan dalam hal apapun. Sebuah perbedaan yang tidak disadari sebagai sebuah kekayaan, keunikan, dan keberagaman. Konflik akan pecah jika salah satu kelompok tertentu merasa paling baik/benar di antara kelompok yang lain. Perbedaan tersebut biasanya berkenaan dengan cara pandang yang berbeda terhadap sesuatu hal, perbedaan yang berkenaan dengan fisik, tingkat kecerdasan, kepercayaan, adat istiadat, atau hal-hal yang cenderung sepele juga dapat menyebabkan konflik. Ketika konflik terjadi, biasanya salah satu pihak berusaha untuk menyingkirkan pihak lawannya. Konflik juga dapat terjadi akibat perebutan atau persengketaan terhadap sesuatu, seperti tanah atau bendabenda bernilai lainnya. Konflik adalah kericuhan dalam kegiatan bersosial masyarakat yang wajar terjadi. Konflik dapat terjadi ketika antar dua atau lebih golongan masyarakat gagal untuk menemukan satu titik temu mengenai nilai-nilai sosial yang bersifat dasar, sehingga tidak mampu mengatasi perbedaan dan terjadilah ketidaklarasan antargolongan masyarakat yang ada. Tidak ada satu pun masyarakat atau kelompok masyarakat yang tidak pernah mengalami konflik dengan anggota kelompok lain. Selama masih

ada interaksi antara individu atau kelompok dalam masyarakat, konflik juga akan tetap ada. Konflik akan hilang jika masyarakat itu sendiri turut hilang. Konflik sangat bertentangan dengan integrasi atau pembauran, percampuran. Konflik dan integrasi adalah dua proses sosial yang beriringan dalam masyarakat. Konflik dalam masyarakat yang terkontrol dengan baik akan mengintegrasikan masyarakat menjadi satu. Namun, jika proses integrasi tersebut tidak dapat berjalan dengan baik, yang akan terjadi adalah konflik. 2. Disintegrasi/disorganisasi Disintegrasi adalah suatu proses memudarnya norma- norma dan nilai- nilai dalam masyarakat karena perubahan lembaga- lembaga kemasyarakatan. Gejala awal disintegrasi adalah perbedaan pandangan antar anggota masyarakat, disfungsi norma, tindakan yang tidak sesuai norma, terjadi pertentangan norma, terjadi proses sosial yang bersifat disosiatif, dan sanksi tidak dilaksanakan secara konsisten. Bentuk-bentuk disintegrasi yaitu: demonstrasi, aksi protes, kenakalan remaja, kriminalitas, dan pergolakan daerah. 3. Reintegrasi Reintegrasi didefinisikan sebagai suatu proses pembentukan norma-norma dan nilai-nilai baru agar serasi dengan lembaga

kemasyarakatan yang telah mengalami perubahan. 4. Primordialisme dan Etnosentrisme Primordialisme adalah paham atau ide anggota masyarakat yang mempunyai kecenderungan untuk berkelompok sehingga menimbulkan aliran- aliran politik tertentu. Sedangkan etnosentrisme adalah suatu sikap atau paham yang menganggap rendah suku bangsa lain dan mengagungagungkan suku bangsa dan kebudayaannya sendiri.
5

Salah satu permasalahan dari masyarakat multikultural yang pernah terjadi di Indonesia adalah peristiwa Sampit. Pertikaian ini terjadi antara suku Dayak dengan suku Madura di Sampit, Kalimantan Tengah. Berdasarkan studi pustaka yang telah dilakukan oleh penulis, pertikaian antara kedua suku ini ternyata sudah berlangsung sejak lama, awal penyebab pertikaian ini pun tidak diketahui secara pasti. Berdasarkan www.mentari.biz, berikut ini merupakan kronologis yang mungkin menjadi pemicu terjadinya peristiwa Sampit: Tahun 1972: di Palangka Raya, seorang gadis Dayak diperkosa. Berdasarkan kejadian tersebut diadakan penyelesaian dengan mengadakan perdamaian menurut hukum adat (entah benar entah tidak pelakunya orang Madura). Tahun 1982: terjadi pembunuhan oleh orang Madura atas seorang suku Dayak, pelakunya tidak tertangkap, tidak dilakukan pengusutan atau penyelesaian secara hukum. Tahun 1983: di Kecamatan Bukit Batu, Kasongan, seorang warga Kasongan etnis Dayak dibunuh. Penyebabnya adalah perkelahian antara satu orang Dayak yang dikeroyok oleh tiga puluh orang madura. Peristiwa pembunuhan warga Kasongan bernama Pulai yang beragama Kaharingan tersebut oleh tokoh suku Dayak dan Madura diadakan perdamaian. Dilakukan peniwahan Pulai itu dibebankan kepada pelaku pembunuhan, yang kemudian diadakan perdamaian ditandatangani oleh ke dua belah pihak, isinya antara lain menyatakan apabila orang Madura mengulangi perbuatan jahatnya, mereka siap untuk keluar dari Kalimantan Tengah. Tahun 1996: di Palangka Raya, seorang gadis Dayak diperkosa di gedung bioskop Panala dan dibunuh dengan kejam dan sadis oleh orang Madura, ternyata hukumannya sangat ringan. Tahun 1997: di Desa Karang Langit, Barito Selatan seorang Dayak dikeroyok oleh orang Madura dengan perbandingan kekuatan 2:40 orang, yang menewaskan semua orang Madura, sebagai penyerang. Orang Dayak tersebut diserang dan mempertahankan diri menggunakan ilmu bela diri, dimana penyerang berhasil

dikalahkan semuanya. Dan tindakan hukum terhadap orang Dayak tersebut adalah hukuman berat. Tahun 1997: di Tumbang Samba, ibukota Kecamatan Katingan Tengah, seorang anak laki-laki bernama Waldi mati terbunuh oleh seorang suku Madura, tukang jualan sate. Si belia Dayak mati secara mengenaskan, tubuhnya terdapat lebih dari 30 tusukan. Anak muda itu tidak tahu menahu persoalannya, sedangkan para anak muda yang bertikai dengan si tukang sate telah lari kabur. Sang korban, Waldi, hanya kebetulan lewat di tempat kejadian saja. Tahun 1998: di Palangka Raya, orang Dayak dikeroyok oleh empat orang Madura hingga meninggal, pelakunya belum dapat ditangkap karena melarikan diri, kasus inipun tidak ada penyelesaian secara hukum. Tahun 1999: di Palangka Raya, seorang petugas Tibum (ketertiban umum) dibacok oleh orang Madura, pelakunya ditahan di Polresta Palangka Raya, namun besok harinya datang sekelompok suku Madura menuntut agar temannya tersebut dibebaskan tanpa tuntutan. Ternyata pihak Polresta Palangka Raya

membebaskannya tanpa tuntutan hukum. Tahun 1999: di Palangka Raya, kembali terjadi seorang Dayak dikeroyok oleh beberapa orang suku Madura karena masalah sengketa tanah. Dua orang Dayak dalam perkelahian tidak seimbang itu mati semua. Sedangkan sang pembunuh lolos, di sisi lain orang Jawa yang menjadi saksi pada kasus tersebut dihukum 1,5 tahun karena dianggap membuat kesaksian fitnah terhadap pelaku pembunuhan yang melarikan diri itu. Tahun 1999: di Pangkut, ibukota Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat, terjadi perkelahian massal dengan suku Madura. Penyebabnya adalah suku Madura memaksa mengambil emas pada saat suku Dayak menambang emas. Perkelahian itu banyak menimbulkan korban pada kedua belah pihak, tanpa penyelesaian hukum. Tahun 1999: di Tumbang Samba, terjadi penikaman terhadap suami-istri bernama Iba oleh tiga orang Madura. Pasangan itu luka berat dan dirawat di RSUD Dr.

Doris Sylvanus, Palangka Raya. Biaya operasi dan perawatan ditanggung oleh Pemda Kalimantan Tengah. Namun, para pembacok tidak ditangkap karena (katanya) sudah pulang ke Pulau Madura. Kronologis kejadian tersebut yaitu tiga orang Madura memasuki rumah keluarga Iba dengan dalih minta diberi minuman air putih, karena katanya mereka haus, sewaktu Iba menuangkan air di gelas, mereka membacoknya, saat istri Iba mau membela, juga ditikam. Tindakan itu dilakukan mereka menurut cerita ingin membalas dendam namun salah sasaran. Tahun 2000: di Pangkut, Kotawaringin Barat, satu keluarga Dayak mati dibantai oleh orang Madura, pelaku pembantaian lari. Kasus inipul lagi-lagi tanpa penyelesaian hukum. Tahun 2000: di Palangka Raya, satu satu orang suku Dayak dibunuh oleh pengeroyok dari suku Madura di depan gedung Gereja Imanuel, Jalan Bangka. Para pelaku lari, tanpa proses hukum. Tahun 2000: di Kereng Pangi, Kasongan, Kabupaten Kotawaringin Timur, terjadi pembunuhan terhadap Sendung (nama kecil). Sendung mati dikeroyok oleh suku Madura, para pelaku kabur, tidak tertangkap, karena lagi-lagi katanya sudah lari ke Pulau Madura. Proses hukum tidak ada karena pihak berwenang tampaknya belum mampu menyelesaikannya (tidak tuntas). Tahun 2001: di Sampit (17 s/d 20 Februari 2001) warga Dayak banyak terbunuh karena dibantai. Suku Madura terlebih dahulu menyerang warga Dayak. Tahun 2001: di Palangka Raya (25 Februari 2001) seorang warga Dayak terbunuh diserang oleh suku Madura. Belum terhitung kasus warga Madura di bagian Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Suku Dayak hidup berdampingan dengan damai dengan Suku Lainnya di Kalimantan Tengah, kecuali dengan Suku Madura. Kelanjutan peristiwa kerusuhan tersebut (25 Februari 2001) adalah terjadinya peristiwa Sampit yang mencekam. Lanjut cerita, banyak versi mengenai latar belakang tragedi ini, apa yang membuat suku Dayak di Kalimantan Tengah begitu kalap dalam menghadapi warga Madura. Hampir semua warga dan tokoh Dayak yang menunjuk perilaku

kebanyakan etnis Madura sebagai penyebabnya. H. Charles Badarudin, seorang tokoh Dayak di Palangkaraya menceritakan kelakuan warga Madura banyak yang tidak mencerminkan peribahasa di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Ia mencontohkan salah satunya dalam soal tanah. Ada juga versi lain mengatakan bahwa terjadinya perang antara suku Dayak dan suku Madura karena kecemburuan sosial-ekonomi. Versi yang berbeda juga diceritakan bahwa banyak sebab yang membuat suku Dayak seakan melupakan asazi manusia, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Masyarakat suku Dayak di Sampit selalu terdesak dan selalu mengalah. Dari kasus dilarangnya menambang intan di atas tanah adat mereka sendiri karena dituduh tidak memiliki izin penambangan, hingga kampung mereka yang harus berkali-kali pindah tempat karena harus mengalah dari para penebang kayu yang mendesak mereka makin ke dalam hutan. Sayangnya, kondisi ini diperburuk lagi oleh ketidakadilan hukum yang seakan tidak mampu menjerat pelanggar hukum yang menempatkan masyarakat Dayak menjadi korban dari kasus-kasus tersebut. Tidak sedikit kasus pembunuhan orang Dayak (sebagian besar disebabkan oleh aksi premanisme etnis Madura) yang merugikan masyarakat Dayak karena para tersangka (kebetulan orang Madura) tidak bisa ditangkap dan diadili oleh aparat penegak hukum. Etnis Madura yang juga mempunyai latar belakang budaya kekerasan ternyata, menurut masyarakat Dayak dianggap tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat mereka sebagai pendatang). Sering terjadi kasus pelanggaran tanah larangan orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh orang Madura. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu perang antar etnis DayakMadura. Dari cara masyarakat Madura melakukan usaha dalam bidang

perekonomian, mereka terkadang dianggap terlalu kasar oleh sebagian besar masyarakat Dayak, bahkan masyarakat Banjar sekalipun. Banyak cara-cara

pemaksaan untuk mendapatkan hasil usaha kepada konsumen mereka. Banyak pula tipu-daya yang mereka lakukan. Namun, tidak semua suku Madura bersifat seperti ini. Oleh karena itu, berita atau anggapan tentang kecemburuan sosialekonomi yang menjadi penyebab pecahnya perang tersebut dari hasil pengamatan dan penilaian versi lain ini adalah tidak benar. Ada yang mengungkapakan bahwa pertikaian yang sering terjadi antara Madura dan Dayak dipicu rasa etnosentrisme yang kuat di kedua belah pihak. Semangat persukuan inilah yang mendasari solidaritas antar-anggota suku di Kalimantan. Situasi seperti itu diperparah dengan kebiasaan dan nilai-nilai yang berbeda, bahkan mungkin berbenturan. Misalnya, adat orang Madura yang membawa parang atau celurit ke mana pun pergi, membuat orang Dayak melihat sang tamu-nya selalu siap berkelahi. Sebab bagi orang Dayak, membawa senjata tajam hanya dilakukan ketika mereka hendak berperang atau berburu. Tatkala diantara mereka terlibat keributan dari soal salah menyabit rumput sampai kasus tanah amat mungkin persoalan yang semula kecil menjadi meledak tidak karuan, yang mengakibatkan melahirkan manusia-manusia tidak bernyawa tanpa kepala Saat terjadi pembantaian di Sampit, entah bagaimana cara etnis Dayak yang tengah dirasuki kemarahan dapat membedakan suku Madura dengan sukusuku lainnya, yang jelas suku-suku lainnya luput dari serangan beringas orangorang Dayak. Bentuk penyelesaian dari peristiwa sampit ini dapat dilakukan dengan cara mengasingkan diri (dalam kasus ini suku Dayak) dari kebudayaan mayoritas sehingga diharapkan dapat meminimalisasikan konflik, sebab dengan pengasingan diri tersebut maka interaksi antarkelompok menjadi kecil atau bahkan tidak terjadi sama sekali sehingga potensi konflik menjadi kecil. Cara penyelesaian ini sesuai dengan teori self segregation.

10

DAFTAR PUSTAKA
http://www.anneahira.com/konflik.htm http://www.mentari.biz/peristiwa-memicu-tragedi-sampit-dayak-vs-madura.html

11

Anda mungkin juga menyukai