Anda di halaman 1dari 134

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Apa bentuk Pemerintah Daerah yang tepat merupakan tema yang muncul berkali-kali dalam kehidupan politik Negara-negara di dunia umumnya, dan demikian pula yang terjadi di Indonesia tentang hal hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah, terutama hubungan keuangan. Dalam zaman penjajahan pola atau bentuk administrasi sangat terpusat dan sedikit sekali ada pikiran untuk mendorong perkembangan daerah. Tetapi pada tahun 1920-an ada upaya mengambil langkah Desentralisasi untuk membentuk Lembaga-lembaga Perwakilan di beberapa Propinsi, Kabupaten dan Kota tertentu (Legge, 1961,halm.6). Tujuan utamanya adalah sama agar memperlancar administrasi dan membuka peluang bagi daerah untuk mengemukakan keinginannya. Undang-undang tentang Pemerintah Daerah pertama kali dibuat pada tahun 1948, yang meletakkan sendi pola pemerintahan yang sekarang ini dengan meletakkan sebagian besar berdasarkan pada pembagian wilayah administrasi Belanda dan banyak menggunakan pendekatan terpusat. Karena tutuntan dari daerah sangat kuat khususnya pulau diluar pulau jawa untuk memisahkan diri, maka UU diubah kembali pada tahun 1957 No. 32 yang memberikan kadar otonomi yang lebih besar pada daerah (legge, 1961, halm.53) namun UU ini tidak berlangsung lama karena Presiden Soekarno memperkenalkan Demokrasi Terpimpin tahun 1959.

2 Pemerintah Orde Lama, dalam mengahadapi masalah-masalah daerah dan Pemerintah Daerah cenderung menanti krisis dan sering mengubah UU. Setelah berdirinya Orde Baru tahun 1966 membuka peluang untuk memulai awal yang baru dan membuka masa hubungan yang relative stabil antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-undang baru yang mengatur tentang Pemerintah Daerah disahkan pada tahun 1974 No. 5, yang merupakan langkah penting dalam usaha membentuk sistem yang jelas dan meyeluruh mengenai hubungan pusat dan daerah dan mengenai pemerintah daerah ((MacAndrews, 1986, hlm. 13). Dengan lebih menekankan pada pengertian Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggungjawab dan meletakkan tekanan dalam hubungan dengan penyediaan jasa masyarakat dengan tegas pada pemerintah daerah tingkat dua. Selama masa Orde Baru, harapan yang besar dari Pemerintah Daerah untuk dapat membangun daerah berdasarkan kemampuan dan kehendak daerah sendiri ternyata dari tahun ke tahun dirasakan semakin jauh dari kenyataan. Yang terjadi adalah ketergantungan fiskal dan subsidi serta bantuan dari pemerintah pusat sebagai wujud ketidakberdayaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Era reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan melalui Kebijakan Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang diatur dalam satu paket Undang-undang yaitu UU No. 32 tahun 2004 pengganti dari

3 UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 pengganti dari UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Seperti halnya di Negara-negara lainnya di dunia, pembangunan ekonomi di Indonesia merupakan salah satu bagian penting dari pembangunan nasional dengan tujuan akhir untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Walaupun bukan merupakan suatu indikator yang dominan, namun kesejahteraan masyarakat dari aspek ekonominya dapat diukur dengan tingkat pendapatan riil masyarakat perkapita. Artinya pembangunan ekonomi adalah suatu proses jangka panjang yang meningkatkan pendapatan riil masyarakat secara bertahap dan berlangsung terus. Selain peningkatan produksi (output) dan pendapatan agregat, proses pembangunan ekonomi juga akan membawa dengan sendirinya suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi nasional. Pembincangan tentang Otonomi Daerah dimanapun, baik di pusat maupun di tingkat daerah masih bersifat sangat umum yaitu penyelenggaraan pemerintah yang tidak sentralistik, tanpa keinginan lebih lanjut memahami apa implikasinya bagi penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Hal ini jelas karena disebabkan Pemerintah Orde Baru yang telah sukses dengan petumbuhan ekonomi tinggi laksana keajaiban (miracle), memang sebagian besar didukung anggaran subsisdi dari Pemerintah Pusat. Namun berbeda dengan

dilaksanakannya Otonomi Daerah subsidi dikurangi dan Pemerintah Daerah diharapkan dapat mencari pendapatan daerah sendiri dari sumber-sumber atau keunggulan komparatif di daerah tersebut.

4 Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut Asas Desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Karena itu, Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, antara lain menyatakan bahwa Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undangundang. Dalam penjelasan pasal tersebut antara lain dikemukakan bahwa oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungan yang bersifat staat juga. Daerah di Indonesia akan dibagi dalam Daerah Propinsi dan Daerah Propinsi akan dibagi lagi dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek en locale rechtgemeenschappen) atau bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang. Di daerah ini akan ada Badan Perwakilan Daerah (BPD) dengan bersendi atas dasar permusyawaratan. Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan yang kuat dari penyelenggaran Otonomi Daerah dan lebih diperkuat lagi oleh Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia Ketetapan MPR-RI No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.

5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan Asas Desentralisasi dengan lebih menitik beratkan pada memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran-serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara maksimal. Namun Undang-undang ini telah direvisi menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, dengan tujuan pemberian jaminan bagi rakyat kebayakan untuk mendapatkan pelayanan langsung yang lebih baik (better services) dari Pemerintah Daerah (pasal 20; 1.g) dan upaya paksaan yang lebih keras akan terciptannya keadilan dan pemerataan atau biasa disebut justice and equality (pasal 22;d). Dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan dasar bagi pengelolaan Keuangan Daerah. Namun Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 juga di revisi kembali menjadi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 yang telah disahkan pada bulan Oktober 2004. Penyelenggaran Pemerintahan Daerah sebagai sub-sistem

Pemerintahan Negara yang mempunyai maksud untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahaan dan pelayanan masyarakat atau publik. Sebagai Daerah Otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggungjawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan

pertanggungjawaban kepada masyarakat. Untuk mendukung penyelengaraan Otonomi Daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab di Daerah secara

6 proporsional yang diwujudkan dengan Pengaturan, Pembagian, dan

Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Sumber pembiayaan Pemerintah Daerah dalam rangka perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah dilaksanakan atas dasar Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan Desentralisasi terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Penerimaan lainnya yang sah. Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber keuangan daerah yang digali dari dalam wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil Pajak Daerah, Restribusi Daerah, Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan dan Pendapatan Asli Daerah lainnya yang sah. Sumber dana perimbangan merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari bagian Daerah seperti Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Penerimaan dari Sumber Daya Alam serta Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana perimbangan ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain mengingat tujuan masing-masing jenis sumber tersebut saling mengisi dan melengkapi. Keuangan daerah merupakan salah satu aspek penting dari

pembangunan ekonomi daerah, yang dibanyak daerah menjadi salah satu masalah yang serius. Pada dasarnya, bagaimana daerah tersebut dapat menciptakan sumber-sumber pendapatan daerah agar meningkat sehingga tidak bergantung dari Pemerintah Pusat seluruhnya dan juga bagaimana Pemerintah Daerah dapat mengurangi biaya-biaya pengeluaran yang tidak

7 produktif dengan biaya tinggi yang pada akhirnya dapat mengabaikan

pelayanan terhadap pelayanan publik. Penyebab turunnya Kemandirian Keuangan Daerah adalah disamping menurunnya jumlah Pendapatan Asli Daerah, juga karena meningkatnya pengeluaran untuk kebutuhan belanja pemerintah dan belanja pembangunan. Jika kelancaran pelaksanaan otonomi daerah hanya dilihat dari kemampuan menarik pendapatan asli daerah maka prospeknya bagi Kabupaten tersebut adalah pesimistik. Dan turunnya Pendapatan Asli Daerah sangat amat erat hubungannya dengan terjdinya krisis ekonomi yang mengakibatkan kontraksi ekonomi. Namun jika kemandirian ekonomi dijadikan ukuran dan sekaligus tujuan, maka bertumbuh kembangnya ekonomi rakyat baik sektor industri, pertanian, maupun sektor hotel, restoran dan jasa maka prospek ekonomi daerah kedepannya akan sangat baik. Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahaan Negara dan

Pembangunan Nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur, merata dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Selanjutnya dalam Pasal 18 UndangUndang Dasar 1945 berserta penjelasannya menyatakan bahwa Daerah Indonesia terbagi dalam daerah yang bersifat Otonom atau bersifat Daerah Administrasi. Karena pembangunan daerah merupakan bagian intergral dari Pembangunan Nasional yang dilaksanakan berdasarkan prinsip Otonomi Daerah dan pengaturan sumber daya nasional yang memberikan kesempatan

8 bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Mengingat pentingnya pengaruh tersebut maka dalam penulisan judul skripsi ini, penulis mencoba mengangkat masalah yang berjudul Analisis Keuangan Daerah Di Kabupaten Sleman Periode Tahun 1990 2003 (Perbandingan Era Sebelum Otda dan Pada Era Otda).

Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah maka terdapat beberapa masalah yang timbul, namun dalam penyusunan skripsi ini hanya akan membahas beberapa masalah yang berhubungan dengan judul skripsi yang telah dipilih. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah ada perubahan yang mendasar tentang keuangan daerah

Kabupaten Sleman pada Era Otonomi Daerah, berdasarkan Derajat Desentralisasi, Potensi Keuangan, Rasio Aktivitas, Efektifitas dan Efesiensi PAD ? 2. Bagaimana upaya Pemerintah Daerah agar keuangan daerah tetap

menjadi tumpuan bagi jalannya pemerintahan yang diukur melalui Rasio Kemandirian dan Pola Hubungannya ?

Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah :

9 1. Untuk mengetahui dan menganalisa tingkat perubahan

yang mendasar tentang Keuangan Daerah Kabupaten Sleman pada Era Otonomi Daerah, berdasarkan Derajat Desentralisasi, Potensi Keuangan, Rasio Aktivitas, Efektifitas dan Efesiensi PAD 2. Untuk mengetahui dan menganalisa upaya Pemerintah

Daerah agar Keuangan Daerah tetap menjadi tumpuan bagi jalannya pemerintahan yang diukur melalui Rasio Kemandirian dan Pola Hubungannya.

C.

Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk Peneliti Merupakan suatu sarana untuk melatih menganalisa, mempelajari dan menerapkan serta membuat perbandingan antara ilmu yang diperoleh dengan praktek secara langsung. 2. Untuk Pemerintah Daerah Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari berbagai sektor yang mempunyai potensi dalam rangka menunjang kelancaran pembangunan daerah dan kesejahteraan seluruh warga masyarakatnya dan dengan tujuan akhir untuk mencapai Kemandirian Keuangan Daerah. 3. Untuk Akademisi

10 Sebagai tambahan wawasan atau literatur mengenai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan merupakan tambahan perbendaharaan perpustakaan untuk kepentingan ilmiah dan sebagai bahan informasi.

D.

Kerangka Pemikiran
Jumlah Penduduk

PDRB

Bantuan dan Sumbangan

PAD

Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak

Derajat Desentralisasi

Struktur Penerimaan APBD

Rasio Keuangan Daerah Di Era Otonomi Daerah

Gambar 1.1: Kerangka Pemikiran

Dalam suatu penelitian untuk memecahkan masalah agar lebih mudah dan memperoleh kesimpulan yang pasti diperlukan suatu kerangka pemikiran yang sudah tersusun dan terarah dalam pemecahan masalah. Untuk membuat suatu perencanaan pembangunan ekonomi daerah diperlukan bermacam-macam data yang digunakan sebagai bahan analisis Dalam hal ini unsur-unsur penentu Perkembangan Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) antara lain adalah Pendapatan Domestik Regional Bruto

11 dan Data Jumlah Penduduk. Sedangkan untuk menghitung Derajat Desentraliasi dan Struktur Penerimaan APBD antara lain dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, dan Bantuan dan Sumbangan. Sehingga Rasio Keuangan Daerah di Era Otonomi Daerah dapat disimpulkan bahwa, apakah Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman pada Era Otonomi Daerah telah Mandiri dari segi posisi Keuangan Daerah. Dihitung dari Derajat Desentralisasi dan Struktur Penerimaan APBD-nya. Apabila dari semua unsur tersebut telah diketahui maka diharapkan tujuan dan manfaat dari penelitian ini dapat tercapai.

E.

Hipotesis Hipotesis pada dasarnya merupakan suatu kesimpulan sementara tentang perilaku variabel-variabel dalam model yang digunakan, yang akan dibuktikan kebenarannya melalui syarat uji statistik. Berkenaan dengan hal itu maka hipotesis yang dirumuskan untuk penelitian ini adalah : 1. Diduga telah terjadi perubahan yang mendasar tentang Keuangan Daerah Kabupaten Slemen Sebelum dan pada Era Otonomi Daerah, berdasarkan Derajat Desentralisasi, Potensi Keuangan, Rasio Aktivitas, Efektifitas dan Efesiensi PAD. 2. Diduga Kabupaten Sleman telah bisa mandiri secara keuangan yang diukur melalui Rasio Kemandirian dan Pola Hubungannya.

12 F. Metodelogi Penelitian 1. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini berbentuk survai atas data sekunder yang mengambil Lokasi penelitian ini adalah berlokasi di Kabupaten Sleman Propinsi D.I. Yogyakarta dengan menggunakan data-data yang telah dikumpulkan oleh suatu badan/instansi tertentu. Obyek penelitian ini meliputi data APBD Kabupaten Sleman dan semua penerimaan Pendapatan Asli Daerah yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sleman. Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun anggaran 1990 sampai dengan 2003 dan data Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan dan harga yang berlaku periode 1990 2003. 2. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian dilapangan merupakan salah satu tahapan untuk memperoleh data yang diperlukan yaitu dengan menggunakan beberapa metode, jenis dan macam data namun yang dipakai guna menganalisis data ini adalah jenis data Primer, Sekunder dan Observasi. a) Data Primer Yaitu data yang diperoleh dari interview, yang mempunyai pengertian sebagai teknik pengumpulan data dengan mengadakan wawancara secara langsung kepada bagian yang diberikan wewenang, serta pihak yang kegiatannya berhubungan dengan penelitian ini. Dikarenakan data yang dibutuhkan untuk penelitian ini tidak tertulis dalam suatu konsep, jadi untuk menunjang penelitian ini digunakan data primer

13 b) Data Sekunder Yaitu data yang diperoleh dari literatur dan buku-buku referensi yang berhubungan dengan masalah yang di teliti. Sumbersumber data yang akan diperoleh dari Studi Pustaka, Instansi pemerintah khususnya kantor Keuangan Pemerintah Daerah, Bappeda, BPS Kabupaten Sleman dan sumber lain dari buku-buku yang melandasi penelitian ini. Adapun data yang akan digunakan meliputi : (1). Data penjabaran Realisasi Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Sleman diperoleh dari perhitungan APBD Kabupaten Sleman (Badan Pengelolan Keuangan Daerah). (2). Data penjabaran Realisasi Pengeluaran Daerah Kabupaten Sleman diperoleh dari perhitungan APBD Kabupaten Sleman (Badan Pengelolan Keuangan Daerah). (3). Data gambaran umum Kabupaten Sleman diperoleh dari Sleman dalam angka (BPS). (4). Data Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Sleman diperoleh dari PDRB Kabupaten Sleman (Bappeda dan BPS Sleman). (5). Data Produk Domestik Regional Bruto Propinsi D.I. Yogyakarta diperoleh dari D.I.Y dalam angka (BPS Yogyakarta). c) Observasi Yaitu melakukan pengamatan secara langsung jalannya pemerintahan untuk data yang diperlukan.

14 3. Definisi Operasional Variabel a) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah nilai dari seluruh produksi barang dan jasa yang dihasilkan dari seluruh produksi barang dan jasa yang dihasilkan dari berbagai aktivitas ekonomi dari dalam suatu daerah sendiri dalam kurun waktu satu tahun yang dihitung dalam satuan rupiah. b) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperolah dari sumber-sumber dalam wilayah sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sendiri sesuai dengan peraturan yang berlaku dihitung dalam satuan rupiah. c) Potensi Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan yang diterima oleh dinas pendapatan daerah untuk kebutuhan pembiayaan daerah dalam kurun waktu tertentu dan dihitung dalam satuan rupiah. d) Biaya Pemungutan Pendapatan Asli Daerah merupakan

pengeluaran yang dikeluarkan oleh dinas pendapatan daerah untuk merealisasikan Pendapatan Asli Daerah, yang dihitung dalam satuan rupiah. e) APBD (Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah) adalah rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah tentang APBD. f) Penerimaan Daerah pada dasarnya terdiri dari : Pendapatan Asli Daerah yang umumnya berasal dari Pajak dan Restribusi Daerah ; Dana Perimbangan yang berasal dari DAU (Dana Alokasi Umum) ; DAK (Dana Alokasi Khusus) dan Dana bagi hasil termasuk bagi hasil

15 SDA (Sumber Daya Alam), Pinjaman Daerah dan Penerimaan lain yang sah. g) Pengeluaran Daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang mengurangi kekayaan Pemerintah Daerah yang diukur dalam rupiah. h) Jumlah penduduk adalah seluruh orang yang berdomisili di suatu daerah selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap yang diukur dalam satuan jiwa. i) Kemandirian Keuangan Daerah (Otonomi Fiskal) menunjukan kamampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan distribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. (Abdul Halim,2004;150) j) Rasio Efektivitas menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan, dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah.(Abdul Halim,2004;152) k) Rasio Efesiensi merupakan perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima.(Abdul Halim,2004;152) l) Rasio Aktivitas menggambarkan bagaimana Pemerintah Daerah memprioritaskan alokasi dananya pada biaya rutin dan belanja pembangunan secara optimal.(Abdul Halim,2004;153)

16 m) Kapasitas Fiskal adalah sejumlah pajak yang seharusnya mampu dikumpulkan dari dasar pajak (tax base), yang biasanya berupa pendapatan per kapita. (Suparmoko,1987:320)

4.

Metode Analisis Data Untuk kepentingan analisis dan interprestasi serta menjawab yang telah dirumuskan maka analisis data dapat dilakukan dengan

menggunakan analisis : a) Analisis Kualitatif Adalah metode analisis data yang tidak berwujud angka, analisis ini berdasarkan pendapat atau pikiran dan penyajiannya dalam bentuk keterangan-keterangan, penjelasan dan pembahasan secara tertulis. b) Analisis Kuantitatif Yaitu analisis yang berdasarkan perhitungan yang menjadi objek secara ilmiah yang berwujud dalam angka. (Nugroho B, 1995:155) 1). Hipotesis I Untuk menguji hipotesis yang pertama akan digunakan rumus : (i). Derajat Desentarlisasi Fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah digunakan ukuran sebagai berikut (Sukanto reksohadiprojo,2001:155).

17
Pendapa tan A aerah sliD x100 % ......... .......... .......... .(1.1) TotalPener im aanD aera h

Bg .HslPajak & Bkn .Pajak (BHPHBP ) x100 % ......... (1.2) TotalPener im aanD aera h (TPD )

Sum banganB antuanD aer TotalPener im aanD aera ah (SB ) D x100 % ......... .......( 1.3) h (TPD )

TPD = PAD + BHPBP + SBD Jika hasilnya tinggi, maka Derajat Desentralisasinya besar atau dengan kata lain bahwa Pemerintah Daerah itu mendiri. (ii). Kebutuhan Fiskal (Fiscal Need) dengan menghitung Indeks Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) dengan formula sebagai berikut (Sukanto Reksohadiprodjo,2001;155);

SKbFP DIY =

Pengeluara n DIY / Penduduk Kabupaten / Kota


= PP P SK P bF

DIy

.......... .(1.4)

SK K bF

Slem an

.......... .......... .......... .......... .........( 1.5)


D IY

Keterangan : - SKbFP
DIY

: Rata-rata kebutuhan Fiskal Standart Se-

18 D.I Yogyakarta - SKbFP Slem an

: Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman PPP : Jumlah Pengeluaran Rutin dan

Pembangunan per Kapita masing-masing daerah atau pengeluaran aktual per kapita untuk jasa publik. Jika hasilnya tinggi, maka kebutuhan akan fiskalnya rendah. (iii). Kapasitas Fiskal (Fiscal Capacity) dicari dengan formula (Sukanto Reksohadiprodjo,2001:156) o

SKaFP DIY =

PDRBhrgBla ku / Penduduk Kabupaten / Kota

DIY

.......... ....( 1.6)

KaFkK Sleman =

PDRBhrgBla

SKaFP DIY

ku / Penduduk

Sleman

.......( 1.7)

Keterangan : - SKaFP - KaFkP


DIY

: Rata-rata kapasitas Fiskal Standart se-DIY : Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman

Sleman

Jika hasilnya tinggi, maka kapasitas fiskalnya tinggi.

(iv). Upaya dan Posisi Fiskal (Tax Effort) dihitung dengan mencari Koefisien Elastisitas PAD terhadap PDRB. Apabila semakin elastis PAD suatu daerah maka struktur PAD di

19 daerah tersebut makin baik dengan formula sebagai berikut (Abdul Halim,2001:105)
Elastisita sPAD = %Pertumbuha nPAD x100 %......... ........( 1.8) %Pertumbuha nPDRB

(v). Matrik Potensial PAD (Pendapatan Asli Daerah) Untuk menilai Pajak/Restribusi dapat digunakan matrik klasifikasi Potensi Pajak/Restribusi. (Dhinaryati dalam Wahana Kirana Jaya,1996;29-30)

Tabel 1.1 Matrik Potensi jenis Pajak atau Restribusi


Proporsi Pertumbuhan

Yi 1 Q

Yi 1 Q

i Y 1 Q i Y 1 Q

Prima Potensial

Berkembang Terbelakang

Sumber : Dhinaryati. (2002). Analisis Efektivitas dan Efesiensi Pendapatan Asli Daerah di Era Otonomi Daerah di Kota Surakarta Tahun 1998-2002, hal. 15.

Keterangan : Yi : Jenis Pajak/Restribusi


Q

: Nilai rata-rata jenis pajak/restribusi :Total penerimaan suatu

i Y

pajak/restribusi
Q

:Total

tambahan

penerimaan

suatu

pajak/restribusi

20 (vi). Rasio Aktivitas (Keserasian) merupakan kesarasian antara Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan dapat diformulasikan sebagai berikut : (Abdul Halim,2004:153) o
totalBljRu tin x100 %......... ........( 1.9) TotalAPBD

RasioBljru tinAPBD =

o
TotalPemba ngunan x100 %......... ...(1.10 ) TotalAPBD

RasioBljPe mbg =

(vii).

Analisis

Efektivitas

dan

Efesiensi

PAD,

Rasio

Efektivitas menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang

direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Sedangkan Rasio Efesiensi menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang dikerluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima.(Abdul Halim,2004:152)
Efektivita sPAD = R alisasiPAD e T arg etPAD x100 % ......... .......... .......... ....( 1.11 )

EfesiensiP AD =

Bi . ygdikluark nU .memungutPA D x100 %......( 1.12 ) Re alisasiPen erimaanPAD

2) Hipotesis II

21 Untuk menguji hipotesis II dengan menghitung Rasio Kemandirian dengan rumus sebagai berikut : (Abdul

Halim,2001;262)
Rs .Kemandiria n= Pendapa tan AsliDaerah Bntuan + Sumbngan + Pinjman x100 % ......... .(1.13 )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Otonomi Daerah 1. Pengertian Otonomi Daerah Otonomi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata yaitu : Autos yang berarti sendiri dan Nomos yang berarti aturan. Beberapa penulis memberikan pengertian otonomi dapat diartikan sebagai zelfwetgeving atau pengundangan sendiri, mengatur atau memerintah sendiri atau pemerintah sendiri.

22 Di dalam Negara Kesatuan yang menganut Asas Desentralisasi, dikenal adanya Struktur Pemerintah Pusat (centralgoverment) serta daerah-daerah yang menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Hal ini dapat diartikan bahwa daerah-daerah tersebut mempunyai hak, kewajiban, wewenang dan tanggungjawab untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, yang disebut dengan otonomi. Sehubungan dengan hal tersebut, Ateng Sjaffrudin (1988) menyatakan bahwa istilah otonomi mempunyai makna kebebasan atas kemandirian (zelfstandigheid) tetapi bukan kemerdekaan

(oanfhankelijkheid). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Sedangkan Y. W. Sunindhia (1987) mengemukakan bahwa : Kebebasan bergerak yang diberikan kepada Daerah Otonomi berarti memberikan kesempatan kepadanya untuk mempergunakan prakarsanya sendiri dari segala macam keputusan, untuk mengurus kepentingan-kepentingan umum (penduduk); pemerintah yang demikian dinamakan otonomi. Otonomi Daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang melekat pada Negara Kesatuan maupun Negara federasi (Winarna Surya Adisubrata,1999:1). Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 1 point 5, dikemukankan suatu rumusan bahwa Otonomi Daerah adalah hak, kewenangan dan kewajiban Daerah Otonom untuk mengatur dan

23 mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan Efesiensi dan Efektivitas penyelenggaraan Otonomi Daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar Pemerintah Daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya

dilaksanakan secara adil dan selaras. Di samping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan

memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan Otonomi Daerah dalam kesatuan sistem

penyelenggaraan Pemerintahan Negara. Perubahan Undang-undang No. 22 Tahun 1999, disamping karena adanya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juga memperhatikan beberapa Ketetapan MPR dan Keputusan MPR, seperti : Ketetapan MPR-RI No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah; dan Ketetapan MPR-RI No. VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR-RI oleh Presiden, DPA, DPR, BPK dan MA pada sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2002 dan Keputusan MPR-RI No.

24 5/MPR/2003 tentang Penugasan Kepada MPR-RI untuk menyampaikan saran atas laporan pelaksanaan keputusan MPR-RI oleh Presiden, DPR, BPK dan MA pada sidang Tahunan MPR-RI tahun 2003. Dalam melakukan perubahan Undang-undang, diperhatikan

berbagai Undang-undang yang terkait dibidang politik diantaranya Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD; Undang-undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD; Undang-undang No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu juga diperhatikan Undang-undang yang terkait dibidang Keuangan Negara, yaitu Undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang No. 1 Thaun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluasluasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-undang ini. Daerah memliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertangungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan Pemerintah Daerah dilaksanakan

25 berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya, adapaun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggunjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan Otonomi Daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu pula daerah otonom juga diharapkan dapat menjaga keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa Otonomi Daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya daerah harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam rangka mewujudkan tujuan Negara. Agar Otonomi Daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, maka pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti penelitian, pengembangan,

26 perencanaan dan pengawasan. Di samping itu, diberikan standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervise, pengendalian, koordinasi, pemantauan dan evaluasi. Bersamaan dengan itu pemerintah wajib memberikan fasilitas yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efesien dan efektif sesuai dengan peraturan perundangundangan. (penjelasan umum UU No. 32 Tahun 2004).

2. Landasan Hukum Otonomi Daerah Otonomi Daerah sebagai perwujudan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang berdasarkan atas Asas Desentralisasi yang diwujudkan dengan otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab dilaksanakan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah diatur dalam kerangka landasannya dalam Undang-Undang dasar 1945 antara lain : (i) Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi : Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. (ii) Pasal 18 yang menyatakan : Pemerintahan Daerah dibentuk atas dasar pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunannya ditetapkan dengan Undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar pemusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak, asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa (Bachrul Elmi, 2002:3). Dari sisi sejarah perkembangan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, telah dihadirkan berbagai aturan perundangan yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan di daerah, antara lain pada tahun 1920-an

27 ada upaya mengambil langkah Desentralisasi untuk membentuk Lembagalembaga Perwakilan di beberapa Propinsi, Kabupaten dan Kota tertentu (Legge, 1961,halm.6). Tujuan utamanya adalah sama agar memperlancar administrasi dan membuka peluang bagi daerah untuk mengemukakan keinginannya. Undang-undang tentang Pemerintah Daerah pertama kali dibuat pada tahun 1948, yang meletakkan sendi pola pemerintahan yang sekarang ini dengan meletakkan sebagian besar berdasarkan pada pembagian wilayah administrasi Belanda dan banyak menggunakan pendekatan terpusat. Karena tutuntan dari daerah sangat kuat khususnya pulau diluar pulau jawa untuk memisahkan diri, maka UU diubah kembali pada tahun 1957 No. 32 yang memberikan kadar otonomi yang lebih besar pada daerah (legge, 1961, halm.53) namun UU ini tidak berlangsung lama karena Presiden Soekarno memperkenalkan Demokrasi Terpimpin tahun 1959. Pemerintah Orde Lama, dalam mengahadapi masalah-masalah daerah dan Pemerintah Daerah cenderung menanti krisis dan sering mengubah UU. Setelah berdirinya Orde baru tahun 1966 membuka peluang untuk memulai awal yang baru dan membuka masa hubungan yang relative stabil antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-undang baru yang mengatur tentang Pemerintah Daerah disahkan pada tahun 1974 No. 5, yang merupakan langkah penting dalam usaha membentuk system yang jelas dan meyeluruh mengenai hubungan pusat dan daerah dan mengenai Pemerintah Daerah ((MacAndrews, 1986, hlm. 13). Dengan

28 lebih menekankan pada pengertian Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggungjawab dan meletakkan tekanan dalam hubungan dengan penyediaan jasa masyarakat dengan tegas pada Pemerintah Daerah tingkat dua. Perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan melalui Kebijakan Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang diatur dalam satu paket Undang-undang yaitu UU No. 32 tahun 2004 pengganti dari UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 pengganti dari UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Pengalaman dalam melaksanakan berbagai aturan perundangan tersebut telah menunjukan berbagai masalah yang mempunyai dampak tersendiri, baik terhadap keutuhan Negara, stabilitas politik, keserasian hubungan pusat dan daerah, maupun implikasi lain terhadap kelancaran penyelenggara pemerintahan. Namun demikian masalah yang ditimbulkan tidak sampai mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

3. Maksud Dan Tujuan Otonomi Daerah Menurut pengalaman dalam pelaksanaan bidang-bidang tugas tertentu sistem Sentralistik tidak dapat menjamin kesesuaian tindakantindakan Pemerintah Pusat dengan keadaan di daerah-daerah. Maka untuk mengatasi hal ini, pemerintah kita menganut sistem Desentralisasi atau Otonomi Daerah. Hal ini disebabkan wilayah kita terdiri dari berbagai daerah yang masing-masing memiliki sifat-sifat khusus tersendiri yang

29 dipengaruhi oleh faktor geografis (keadaan alam, iklim, flora-fauna, adatistiadat, kehidupan ekonomi dan bahasa), tingkat pendidikan dan lain sebagainya. Dengan sistem Desentralisasi diberikan kekuasaan kepada daerah untuk melaksanakan kebijakan pemerintah sesuai dengan keadaan khusus di daerah kekuasaannya masing-masing, dengan catatan tetap tidak boleh menyimpang dari garis-garis politik dan jiwa dari pada instruksi dari Pemerintah Pusat. Jadi pada dasarnya maksud dan tujuan diadakannya pemerintahan di daerah adalah untuk mencapai efektivitas pemerintahan. Tujuan dari pemberian Otonomi Daerah sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 32 Tahun 2004 adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atas dasar pencapaian tujuan diatas, prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman dalam pemberian Otonomi Daerah adalah sebagai berikut (Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004) : Prinsip Otonomi Daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-undang ini. Daerah memliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk

30 memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintah daerah dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya, adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggunjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata dan semacamnya berlaku ketentuan Peraturan Daerah Otonom : a) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi Badan Legislatif Daerah baik fungsi legislasi, fungsi pengawas, maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah;

31 b) Pelaksanaan Asas Dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk

melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat; c) Pelaksanaan atas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya. Tujuan utama penyelanggaraan Otonomi Daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal, yaitu (Mardiasmo, 2002:59): a) Menigkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan

kesejahteraan masyarakat; b) Menciptakan efesiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah; c) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Otonomi Daerah dengan menggunakan Asas Desentralisasi dan membawa berbagai kebaikan bagi Negara kita, antara lain (Josef Riwu Kaho, 1988:13) : a) Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan;

32 b) Dalam menghadapi masalah yang mendesak, perlu membutuhkan tindakan yang cepat, daerah tidak perlu menunggu lagi instruksi dari pusat; c) Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setiap keputusan dapat segera dilaksanakan; d) Dalam Sistem Desentralisasi, dapat diadakan perbedaan dan

pengkhususan bagi kepentingan tertentu; e) Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari pemerintah pusat.

4. Titik Berat Otonomi Daerah Mengacu pada UU No. 22 Tahun 1999, berikut perubahaan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa titik berat pelaksanaan Otonomi Daerah diletakkan pada daerah kabupaten, sedangkan penjelasannya dikatakan bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat maka titik berat pelaksanaan Otonomi Daerah diletakkan pada daerah kabupaten dengan memandang pentingnya daerah kabupaten yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat sehingga diharapkan lebih dapat mengetahui serta memahami aspirasi masyarakat. Beberapa pertimbangan yang mendasari penetapan daerah

kabupaten dan daerah kota sebagai titik berat pelaksanaan Otonomi Daerah adalah (Mudrajad Kuncoro, 1995:4) :

33 a) Dari dimensi politik, daerah kabupaten dan daerah kota kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga resiko separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi masyarakat federasi secara relatif bisa minim ; b) Dari dimensi administratif, penyelenggaraan pemerintahaan dan pelayanan kepada masayarakat relatif dapat lebih efektif ; c) Daerah Kabupaten dan Kota merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan pembangunan sehingga Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang lebih mengetahui potensi rakyat di daerahnya. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan menitikberatkan pada Daerah Kabupaten adalah merupakan suatu kebijakan yang harus didukung, artinya Daerah Kabupaten akan menjadi basis peyelenggaraan Otonomi Daerah. Namun hal lain yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah yang menitikberatkan pada Daerah Kabupaten adalah apakah kebijakan ini sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

5. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dalam penjelasannya mengenai pembagian Urusan Daerah. Bahwa penyelenggaraan Desentralisasi mensyarakatkan pembagian urusan

pemerintahan antara Pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu

34 terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan pemerintahan. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan Negara secara keseluruhan., antara lain : Politik Luar Negeri, Pertahanan dan Keamanan, Moneter, Yustisi dan Agama. Dan bagian urusan tertentu pemerintah lainnya yang berskala nasional tidak diserahkan kepada daerah. Disamping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Untuk mewujudkan pembagian kewenangan concurrent secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi : Eksternalitas, Akuntabilitas dan Efesiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan

pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan. Kriteria Eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang

ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampaknya lokal maka menjadi kewenangan Kabupaten/Kota, jika dampak dari urusan bersifat regional maka menjadi kewenangan Propinsi dan apabila lingkup nasional menjadi kewenangan Pemerintah. Kriteria Akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang

35 menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Kriteria Efesiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana dan peralatan)untuk mendapatkan ketetapan, kepastian dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelanggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penangannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasil guna untuk dilaksanakan oleh daerah Propinsi dan atau Daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila ditangani oleh pemerintah maka urusan tersebut diserahkan kepada Daerah Propinsi dan atau Daerah Kabupaten/Kota, begitu juga sebaliknya. Sedangkan yang dimaksud dengan keserasian hubungan yaitu pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan (interkoneksi), saling tergantung (inter-dependensi) dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan kemanfaatannya. Namun dari semua pembagian urusan pemerintahan tersebut Pemerintah tetap melakukan verifikasi terlebih sebelum memberikan pengaturan atas bagian urusan-urusan yang akan dilaksanakan oleh daerah. Urusan yang menjadi kewenangan daerah ada dua urusan yaitu urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib ialah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana

36 lingkungan dasar; sedangkan urusan yang bersifat pilihan berkaitan erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah. Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan keikutsertaan Daerah atas Desa termasuk masyarakatnya atas penugasan atau kuasa dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah dibidang tertentu. Dalam pelaksanaannya tidak semua urusan pemerintah dapat diserahkan kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya. Ada beberapa urusan yang masih tetap merupakan urusan Pemerintah Pusat, akan tetapi berat bagi Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan semua urusan pemerintah di daerah yang masih menjadi wewenang dan

tanggungjawabnya itu atas dasar asas dekonsentrasi mengingat terbatasnya kemampuan aparatur Pemerintah Pusat. Atas dasar pertimbangan di atas, berbagai urusan Pemerintah Daerah dapat dilaksanakan menurut asas tugas pembantuan.

B. Keuangan Daerah 1. Asas Umum Keuangan Daerah Pelaksanaan otonom daerah membawa perubahan pada

pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan pengelolaan APBD pada khususnya yang sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah. Dalam

37 PP No. 105/2000, dikemukakan asas umum pengelolaan keuangan daerah, yang meliputi : 1) Pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat

pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efesien, efektif dan bertanggungjawab; 2) Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dicatat

dalam APBD, perubahan APBD dan perhitungan APBD; 3) 4) Daerah dapat membentuk dana cadangan; Daerah dapat mencari sumber-sumber pembiayaan lainnya,

selain sumber pembiayaan yang telah ditetapkan, seperti kerjasama dengan pihak lain; 5) Pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah diatur dalam

Perda (peraturan daerah); 6) APBD disusun dengan pendekatan kinerja; Peraturan pemerintah tersebut sudah memberikan arahan secara umum kepada Pemerintah Daerah dalam menyusun dan melaksanakan APBD. Di samping itu, daerah dituntut lebih trampil dalam proses penyusunan maupun dalam pelaksanaan APBD dengan menggunakan pendekatan kinerja. Anggaran dengan pendekatan kinerja merupakan suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan

(penjelasan PP No. 105/2000). Hal ini juga berarti bahwa hasil yang dicapai harus sepadan atau lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Di samping itu, setiap penganggaran dalam pos pengeluaran dalam APBD

38 harus didukung oleh adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup. APBD disusun dengan pendekatan kinerja, dalam penyusunannya paling tidak harus memuat 3 (tiga) hal yaitu (BAB III, Bagian kedua, Pasal 20, ayat 1, PP No. 105/2000) : (i) Sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja; (ii) Standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan; (iii) Bagian pendapatan APBD yang membiayai belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal pembangunan. Selanjutnya dalam (BAB III, bagian kedua, pasal 20 ayat 2, PP No. 105/2000) disebutkan bahwa untuk mengukur kinerja Pemerintah Daerah, dikembangkan : (i) Standar analisa belanja, yaitu penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya terhadap suatu kegiatan; (ii) Tolak ukur kinerja, yaitu ukuran keberhasilan yang dicapai pada setiap unit organisasi perangkat daerah; dan (iii) Standar biaya, yaitu harga saham satuan unit biaya yang berlaku bagi masingmasing daerah. 2. Manajemen Keuangan Daerah Untuk menghadapi globalisasi perekonomian dan pembangunan nasional yang menekankan pada pelaksanaan Otonomi Daerah secara luas, nyata dan bertanggungjawab, maka perlu disusun suatu rumusan baru yang berkaitan dengan Manajemen Keuangan Daerah. Hal ini merupakan satu bentuk bagaimana Pemerintah Daerah mempersiapkan suatu prakondisi dalam perekonomian internasional dan perekonomian nasional.

39 Secara garis besar, Manajemen Keuangan Daerah dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu Manajemen Pemerintah Daerah dan Manajemen Pengeluaran Daerah. Evaluasi terhadap pengelolaan Keuangan Daerah dan pembiayaan pembangunan daerah mempunyai implikasi yang sangat luas. Kedua komponen tersebut akan sangat menentunkan kedudukan suatu Pemerintah Daerah dalam rangka melaksanakan Otonomi Daerah. Konsekuensi logis pelaksanaan Otonomi Daerah berdasarkan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 meyebabkan perubahan dalam Manajemen Keuangan Daerah. Perubahan tersebut antara lain adalah perlunya dilakukan budgeting reform atau reformasi anggaran. Reformasi anggaran meliputi proses penyususnan, pengesahan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran. Aspek utama budgeting reform adalah perubahaan dari tradisional budget ke refromance budget. Traditional budget didominasi oleh penyusunan anggaran yang bersifat line-item dan incrementalism, yaitu proses penyususnan anggaran yang hanya mendasarkan pada besarnya realisasi anggaran tahun sebelumnya, konsekuensinya tidak ada perubahan mendasar atas anggaran baru. Hal ini seringkali bertentangan dengan kebutuhan riil dan kepentingan

masyarakat. Dengan basis seperti ini, APBD masih terlalu berat menahan arahan, batasan serta orientasi subordinasi kepentingan pemerintah atasan. Hal tersebut menunjukan terlalu dominannya peranan Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah. Besarnya dominasi ini sering mematikan inisiatif dan prakarsa Pemerintah Daerah, sehingga memunculkan

40 fenomena pemenuhan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari Pemerintah Pusat. Performance Budget pada dasarnya adalah sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja tersebut harus mencerminkan efesiensi dan efektivitas pelayanan publik, yang berarti harus berorientasi pada kepentingan publik. Kebutuhan masyarakat daerah untuk menyelenggarakan otonomi secara luas, nyata dan bertanggungjawab harus dipahami sebagai hak atau kewenangan masayarakat daerah untuk mengelola dan mengatur urusannya sendiri. Aspek atau peran Pemerintah Daerah tidak lagi merupakan alat kepentingan Pemerintah Pusat belaka melainkan alat untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat.

3. Anggaran Pendapatan dan dan Belanja Daerah Reformasi Keuangan Daerah sebagai konsekuensi logis dari otonomi daerah memberikan peluang untuk menunjukan kemampuan dalam megelola anggaran daerah tanpa banyak campur tangan Pemerintah Pusat atau propinsi (Pasal 40 PP No. 105/2000). Dapat dikatakan bahwa yang menjadi perhatian utama dalam Pengelolaan Keuangan Daerah adalah adanya paradigma baru dalam manajemen atau pengelolaan anggaran daerah. Anggaran daerah sebagai suatu arahan kegiatan operasional, anggaran daerah sebagai suatu alat komunikasi terhadap publik. Masing-masing maksud atau tujuan tersebut

41 mempunyai kriteria-kriteria tersendiri untuk evaluasinya, menurut (Coe(1989) dalam Mardiasmo, 108:2002). Anggaran Daerah adalah rencana kerja Pemerintah Daerah dalam bentuk uang (rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun). Anggaran daerah atau anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Sebagai instrument kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan Kapabilitas dan Efektivitas Pemerintah Daerah

menjalankan fungsi dan peranannya secara efesien, sedangkan Efektivitas diartikan sebagai upaya untuk menyelaraskan Kapabilitasnya dengan tuntutan dan kebutuhan publik (World Bank (1997) dalam Mardiasmo, 2002:177). Reformasi anggaran berarti anggaran harus disusun dengan pendekatan kinerja yaitu pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja (pasal 8 PP No. 105/2000). Anggaran daerah harus mampu secara optimal difungsikan sebagai alat menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran dimasa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standard untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kinerja (Jones Prendlebulry(1999) dalam Mardiasmo, 2002:177). Kemampuan pemerintah dalam megelola keuangannya dituangkan dalam APBD yang langsung maupun tidak langsung mencerminkan

42 kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai pelaksanaan tugastugas pemerintah, pembangunan dan pelayanan sosial masyarakat pada satu tahun anggaran. APBD memuat seluruh perkiraan dalam bentuk angka-angka baik pada sisi pendapatan (penerimaan) maupun sisi pengeluaran (belanja) maka sistem Pengelolaan Keuangan Daerah dimulai dari proses perencanaan, pengangguran sampai pada pelaksanaannya yang didasarkan pada kebutuhan riil masyarakat disesuaikan dengan kondisi dan potensi daerah. Anggaran daerah pada hakekatnya merupakan salah satu alat memegang peranan penting dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan Otonomi Daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Dengan demikian, APBD harus benar-benar mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan memperihatikan potensi keanekaragaman daerah, maka dari itu APBD harus memperihatikan prinsip-prinsip anggaran sebagai berikut (Abdul Halim, 2001:79-80) : a. Keadilan anggaran, Pembiayaan Pemerintah Daerah dilakukan melalui mekanisme pajak dan restribusi yang dipilih oleh segenap lapisan mekanisme pajak dan restribusi yang dipilih oleh segenap lapisan masyarakat daerah. Untuk itu pemerintah wajib mengalokasikan penggunaannya secara adil agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian layanan; b. Disiplin anggaran, APBD disusun dengan orientasi pada kebutuhan masyarakat tanpa harus meninggalkan keseimbangan antara

pemerintah, pembangunan dan pelayanan masyarakat;

43 c. Transparansi dan Akuntabilitas. Anggaran daerah harus mampu memberikan informasi yang lengkap, akurat dan tepat waktu dan dilaksanakan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis dan ekonomi kepada pihak terkait, baik masyarakat, Pemerintah Pusat maupun pihak-pihak yang bersifat independent yang

memerlukan; d. Efesiensi dan Efektivitas Anggaran. Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat; e. Format Anggaran. Pada dasarnya APBD disusun berdasarkan format anggaran defisit (defisit budget format). Selisih antara pendapatan dan belanja mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit anggaran. Pengeluaran belanja daerah berdasarkan pada konsep Value for Money yang tercermin dalam indikator 3-E (Ekonomi, Efisien dan Efektivitas). Pengertian dari indikator 3-E dapat disajikan sebagai berikut (Ana Dwi Kurniawati dalam Mulyanto, 2003,49) : a. Ekonomi; Indikator ekonomi dihasilkan dari suatu perbandingan antara input (masukan) dengan input value (nilai uang). Indikator ekonomi juga menunjukan adanya praktek pemberian barang dan jasa pada kualitas yang diinginkan dan pada harga yang terbaik yang dimungkinkan (spending tess). Pengertian ekonomi sebaiknya

mencakup juga pengertian bahwa pengeluaran daerah hendaknya

44 dilakukan secara berhati-hati (prudency) dan keuangan daerah harus digunakan secara optimal tanpa pemborosan (hemat); b. Efesiensi; Indiktor efesiensi erat kaitannya dengan konsep produktivitas yaitu rasio yang membandingkan antara output (keluaran) yang dihasilkan terhadap input (masukan) yang digunakan. Proses kegiatan operasional telah dilakukan secara efesien, apabila suatu target kinerja tertentu dapat dicapai dengan penggunaan sumber daya dan biaya yang serendah-rendahnya diperbandingkan secara relatif terhadap kinerja usaha sejenis atau antar kurun waktu (spending well). Indikator efesiensi diukur dengan rasio antara output (keluaran) dan secondary input (masukan sekunder); c. Efektivitas; Indikator efektivitas merupakan perbandingan antara outcome (pencapaian/dampak) dengan output (keluaran). Kegiatan operasional dikatakan efektif apabila proses keigatan mencapai tujuan dan sasaran akhir dari suatu kebijakan (spending wesely) yang telah ditetapkan. Indikator efektivitas juga berarti dapat diselesaikannya suatu kegiatan pada waktunya dan di dalam batas anggaran yang tersedia atau dapat mencapai tujuan dan sasaran seperti apa yang direncanakan. Efektivitas menggambarkan jangkauan akibat dan dampak dari keluaran program dalam mencapai tujuan program (yaitu Outcome atau hasilnya dalam mencapai tujuan fungsional dan tujuan akhir). Bila dilihat dari proses penyusunan APBD, maka tahap-tahap proses penyusunan APBD adalah sebagai berikut :

45 1. Perumusan kebijakan umum APBD antara Pemerintah Daerah dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan mempertimbangkan aspirasi dan masukan dari masyarakat; 2. 3. 4. Penyusunan strategi dan prioritas oleh Pemerintah Daerah; Penyusunan RAPBD yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah; Pembahasan RAPBD yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah

bersama DPRD; 5. 6. Penetapan RAPBD dengan peraturan daerah; Apabila DPRD tidak menyetujui RAPBD yang diusulkan, maka

dipergunakan APBD tahun sebelumnya; 7. Perubahan RAPBD ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan Menurut PP No. 105/200, struktur dalam APBD merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari : (i) Pendapatan Daerah; (ii) Belanja Daerah; (iii) Pembiayaan. Selisih lebih dari pendapatan daerah terhadap belanja daerah disebut surplus anggaran, sedangkan selisih kurang dari pandapatan daerah disebut Defisit Anggaran. Jumlah pembiayaan sama dengan jumlah surplus/defisit anggaran. Apabila diperkirakan pendapatan daerah lebih kecil dari rencana belanja daerah, maka daerah dapat melakukan pinjaman sebagaimana yang telah diatur dalam PP No. 107/200 tentang Pinjaman Daerah. Komponen APBD manurut PP No. 105/2000 disusun dengan muatan sebagai berikut :

1. Pendapatan Daerah; 2. Belanja Operasional Pemerintah;

46 3. Belanja Modal (capital investment). Investasi modal dalam suatu proyek, hasilnya di samping untuk menambah pendapatan daerah, juga harus digunakan untuk

mengangsur proyek surplus/ defisit; 4. Asset Daerah Asset daerah dicatat nilainya pada awal tahun anggaran kemudian menjelang akhir tahun anggaran diadakan valuation, dan dicatat apakah terjadi mutasi selama tahun anggaran berjalan; 5. Pembiayaan; a) Dana Daerah. b) Pinjaman. o o o Pemerintah Pusat Masyarakat Luar Negeri

Dalam rangka mengelola keuangan, daerah dapat membentuk dana cadangan yang bersumber dari Pemerintah Daerah, guna membiayai kebutuhan tertentu. Dana cadangan dapat disediakan dari sisa anggaran tahun lalu dan/atau sumber pendapatan daerah. Dana cadangan dibentuk dan diadministrasikan secara terbuka, tidak dirahasiakan, disimpan dalam bentuk kas atau yang mudah diuangkan, dan semua transaksi harus dicantumkan dalam APBD. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai UndangUndang No. 22 Tahun 1999 menjadi UU NO. 32 Tahun 2004 dan 25

47 Tahun 1999 menjadi UU NO. 33 tahun 2004 serta PP No. 105 Tahun2000 dapat dilihat pada table 2.1 sebagai berikut : Table 2.1. Strukutur Anggaran Pendapatan dana Belanja Daerah
No I Uraian PENERIMAAN 1) Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu 2) Pendapatan Asli Daerah; a. Hasil Pajak Daerah; b. Hasil Restribusi Daerah; c. Hasil BUMD dan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan; d. Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah 3) Dana Perimbangan; a. Bagian Daerah Dari Bagi Hasil; b. Dana Alokasi Umum; II c. Dana Alokasi Khusus 4) Lain-lain Pendapatan Yang Sah PENGELUARAN 1) Pengeluaran Belanja a. Belanja Rutin 1. Administrasi Umum a) Belanja Pegawai b) Belanja Barang c) Belanja Perjalanan Dinas d) Belanja Pemeliharaan 2. Operasi Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Umum b. Belanja Investasi 1. Publik 2. Aparatur III 2) Pengeluaran Transfer a. Angsuran Pinjaman dan Bunga b. Bantuan c. Dana Cadangan 3) Pengeluaran Tak Tersangka SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN IV PEMBIAYAAN 1) Dalam Negari 2) Luar Negari Jumlah

Keterangan : Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (sesuai Undangundang No.22 dan No.25 Tahun 1999 serta PP No. 105 Tahun 2000) Sumber : Abdul Halim (2001). Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta; UPP AMP YKPN, hal.14

4. Sumber Sumber Keuangan Daerah Berdasarkan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 adalah pengganti UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sumber-sumber penerimaan daerah terdiri atas :

48 a. Pendapatan Asli Daerah PAD (Pendapatan Asli Daerah) merupakan penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang terdiri dari : 1) Hasil Pajak Daerah Ketentuan mengenai Pajak Daerah ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan penentuan tarif dan tata cara pemungutan pajak daerah ditetapkan dengan Perda (Peraturan Daerah) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2) Hasil Restribusi Daerah Restribusi adalah pungutan yang dikenakan kepada pemakai jasa tertentu yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Sebagaimana pajak daerah, ketentuan mengenai restribusi daerah juga ditetapkan dengan Undang-undang. Sementara penentuan tarif dan tata cara pemungutan restribusi daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undanngan yang berlaku. 3) Hasil Perusahaan Milik Daerah 4) Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan 5) Sumber Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, antara lain bersumber dari hasil penjualan asset tetap daerah dan jasa giro.

49 b. Dana Perimbangan pinjaman Daerah Dana perimbangan sebagaimana telah dijelaskan dalam UU No. 33 Tahun 2004 dan pasal 1, ayat (14) UU No. 25/1999 adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBD yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Sumber-sumber dana yang berasal dari Dana Perimbangan, terdiri dari : 1) Bagi Hasil Daerah Bagi hasil daerah berasal dari Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak. Bagi Hasil Pajak berupa : Penerimaan PBB (Pajak Bumi Dan Bangunan), BPHTB (Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan), dan Penerimaan dari sumber daya alam dengan pembagian sebagai berikut : Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan

Bangunan dibagi dengan imbangan 10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 90% untuk Daerah; Penerimaan Negara dari Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bagunan dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk Daerah; 10% penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan

dana 20% penerimaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang menjadi bagian Pemerintah Pusat, dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan Kota;

50 Penerimaan dari bagi hasil yang bersumber dari hasil bukan pajak atau SDA (Sumber Daya Alam) adalah bagian daerah dari penerimaan Negara yangt berasal dari pengelolaan sumber daya alam, seperti : hasil pertambangan umum, hasil pertambangan minyak bumi, hasil pertambangan gas alam, sektor kehutanan dan perikanan. Bagian daerah dari penerimaan sektor pertambangan serta kehutanan dan penerimaan dari sumber daya alam, diterima oleh daerah penghasil dan daerah lainnya untuk pemerataan dengan perimbangan sebagai berikut : enerimaan Negara dari sumber daya alam P sektor kehutanan,

sektor pertambangan umum dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk daerah P

enerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan sebagai berikut : (i) Penerimaan Negara dari pertambangan minyak bumi yang berasal dari wilayah daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 85% untuk Pemerintah Pusat dan 15% untuk Daerah; (ii) Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam yang berasal dari wilayah daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan

51 yang berlaku dibagi dengan imbangan 70% untuk Pemerintah Pusat dan 30% untuk Daerah.

2)

Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari

APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dalam untuk membiayai kebutuhan

pengeluarannya

rangka

pelaksanaan

Desentralisasi.

Ketentuan yang berkaitan dengan DAU ini adalah sebagai berikut : Dana Alokasi Umum

ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN. Dana Alokasi Umum untuk

daerah Propinsi dan untuk daerah Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari Dana Alokasi Umum. Dalam hal ini terjadi perubahan kewenangan di antara Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, presentase Dana Alokasi Umum untuk Daerah Propinsi yang ditetapkan dalam APBD, dengan porsi Daerah Propinsi yang bersangkutan Porsi daerah Propinsi

sebagaimana yang dimaksud di atas, merupakan proporsi bobot daerah propinsi yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua daerah propinsi di seluruh Indonesia. Proporsi daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan terhadap jumlah bobot

52 semua daerah Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Bobot daerah ditetapkan berdasarkan : (i) Kebutuhan wilayah Otonomi Daerah dan (ii) Potensi ekonomi daerah. Perhitungan DAU berdasarkan rumus diatas, dilakukan oleh sekretariat bidang perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah daerah Kabupaten/Kota Dana Alokasi Umum untuk tertentu ditetapkan berdasarkan

perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk seluruh Daerah Kabupeten/Kota yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. 3) Dana dialokasikan Dana Alokasi Khusus Alokasi kepada Khusus daerah (DAK) untuk adalah dana yang

membantu

membiayai

kebutuhan khusus tertentu. Kebutuhan khusus yang dimaksud adalah : (i) Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus DAU (Dana Alokasi Umum); dan (ii) Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Dana alokasi khusus dapat dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, dengan memperhatikan ketersediaannya dana APBN. Dana alokasi khusus, termasuk yang berasal dari Dana Reboisasi, yang dibagi dengan imbangan sebagai berikut : 40% dibagikan kepada daerah penghasil sebagai

Dana Alokasi Khusus;

53 60% untuk Pemerintah Pusat; kecuali dalam rangka reboisasi, daerah yang mendapat pembiayaan kebutuhan khusus menyediakan dana pendamping dari APBD sesuai dengan kemampuan daerah yang bersangkutan. Tata cara perhitungan dan penyaluran atas bagian daerah dari penerimaan Negara dan rumusan pembagian serta Dana Alokasi Khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah. Untuk keperluan mendesak kepada daerah tertentu diberikan dana darurat yang berasal dari APBN, yang prosedurnya dan tata cara penyaluran dana darurat sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi APBN. c. Pinjaman Daerah Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri untuk membiayai sebagian anggarannya. Pinjaman dalam negeri bersumber dari Pemerintah Pusat, Lembaga Komersial dan Penerbitan Obligasi. Pemerintah Daerah dapat melakukan peminjaman dari sumber dalam negeri atau dari sumber luar negeri untuk membiayai kegiatan pemerintahan dengan persetujuan DPRD, dengan ketentuan sebagai berikut : 1) Daerah melakukan pinjaman dari sumber laur negeri melalui pemerintah;

54 2) Daerah dapat melakukan pembangunan pinjaman jangka panjang guna

membiayai

prasarana

yang

merupakan

asset/kekayaan Daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat; 3) Daerah dapat melakukan pinjaman jangka pendek guna pengaturan arus kas dalam pengelolaan kas Daerah; 4) Pinjaman daerah dilakukan dengan memperlihatkan kemampuan Daerah untuk memenuhi kewajibannya dan harus mendapat persetujuan DPRD; 5) Agar setiap orang dapat mengetahuinya, setiap perjanjian pinjaman yang dilakukan oleh daerah diumumkan dalam lembaran Daerah; 6) Daerah dilarang melakukan Pinjaman Daerah yang menyebabkan terlampauinya batas jumlah Pinjaman Daerah yang ditetapkan; 7) Daerah dilarang melakukan perjanjian yang bersifat penjaminan sehingga mengakibatkan beban Keuangan Daerah; 8) Semua pembayaran yang menjadi kewajiban Daerah atas Pinjaman Daerah merupakan salah satu prioritas dalam pengeluaran APBN; 9) Dalam hal daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran atas Pinjaman Daerah dari Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Pusat dapat memperhitungkan kewajiban tersebut dengan DAU (Dana Alokasi Umum) kepada Daerah;

55 10) Peminjam dan sumber dana pinjaman yang berasal dari luar negeri, harus mendapat persetujuan pemerintah, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 11) Tata cara peminjam, ditetapkan oleh pemerintah.

d. Lain-lain Penerimaan Yang Sah Lain-lain penerimaan daerah yang sah, antara lain bersumber dari : hibah, dana darurat, dan penerimaan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5. Kebijakan Anggaran Daerah Kebijakan anggaran yang sering juga disebut sebagai kebijakan fiskal secara umum dapat diartikan sebagai upaya dari pemerintah,

termasuk pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pembangunan untuk mencapai tujuan tertentu melalui pengelolaan anggaran dalam konteks daerah melalui pengelolaan APBD. Tujuan dari pengelolaan anggaran ini, paling tidak ditujukan untuk mengatasi permasalahan dan fungsi pemerintah dibidang alokasi, distribusi dan stabilisasi. Fungsi alokasi berkaitan dengan upaya pemerintah di dalam menyediakan dana bagi kebutuhan masyarakat banyak yang tidak mungkin disediakan oleh pihak swasta. Dengan kata lain fungsi alokasi merupakan wujud campur tangan atau intervensi dari pemerintah terhadap kebijakan/kegiatan yang tidak diminati oleh sektor swasta agar terjadi alokasi anggaran yang merata ke seluruh wilayah atau seluruh masyarakat, melalui penyediaan

56 atau pengadaan barang-barang dan jasa-jasa publik (public goods and service). Berdasarkan skala prioritas yang ditetapkan, pemerintah daerah dapat mengalokasikan nilai belanja tertentu untuk kebutuhan atau kegiatan tertentu. Sedangkan fungsi distribusi berkaitan dengan upaya pemerintah untuk menyalurkan anggaran, publik khususnya malalui pos belanja atau

pembangunan/belanja

untuk

menciptakan

pemerataan

mengurangi tingkat kesenjangan pendapatan antar wilayah, sektor, maupun antar golongan/anggota masyarakat. Dengan fungsi distribusi, pemerintah dapat membuat suatu kebijakan yang memastikan lapisan masyarakat yang kaya di suatu wilayah dan juga sektor yang memberi konstribusi besar terhadap pembangunan secara keseluruhan, untuk kemudian mendistribusikan kelapisan masyarakat yang lebih miskin melalui program atau kegiatan yang direncanakan dalam anggaran daerah. Fungsi stabilisasi, dimaksudkan bahwa melalui pengelolaan anggaran (APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), pemerintah daerah dapat menciptakan tingkat kesempatan kerja yang memadai, kestabilan tingkat harga atau inflasi, serta pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Jika terjadi ketidakseimbangan yang sangat ekstrem, misalnya terjadi tingkat pengangguran yang tinggi, melalui program atau kegiatan yang direncanakan dalam anggaran pemerintah dapat menciptakan lapangan kerja baru atau memperluas kesempatan kerja yang sudah ada untuk menyerap tenaga kerja yang berlimpah.

57 Dari dimensi manajerial, pengelolaan anggaran yang dilaksanakan melalui kebijakan fiskal mempunyai beberapa fungsi : 1. Memberikan pedoman bagi pemerintah daerah untuk

melaksanakan tugas-tugasnya pada periode yang akan datang; 2. Sebagai produk politik yang dibuat oleh eksekutif dan legislatif atas nama kepentingan masyarakat dan pembebanan konsekuensi terhadap masyarakat pula; oleh karena itu anggaran bisa berfungsi sebagai alat kontrol masyarakat terhadap pelaksanaan kebijakan yang dibuat pemerintah; 3. Anggaran dapat dipakai masyarakat untuk menilai seberapa jauh pencapaian pemerintah dalam melaksanakan kebijakan dan programprogram yang direncanakan.

6. Indikator Kinerja Keuangan Daerah Pada dasarnya terdapat dua hal yang dapat dijadikan sebagai indikator kinerja, yaitu kinerja anggaran dan anggaran kinerja. Kinerja anggaran dan anggaran merupakan alat atau instrumen yang dipakai DPRD untuk mengevaluasi kinerja kepala daerah, sedangkan anggaran kinerja merupakan alat atau instrumen yang dipakai oleh kepala daerah untuk mengevaluasi unit-unit kerja yang ada di bawah kendali kepala daerah selaku manajer eksekutif. Penggunaan indikator kinerja

(performance indicator) sangat penting untuk mengetahui apakah suatu aktifis atau program telah dilakukan secara efisien dan efektif (Mardiasmo,2002:219). Hal tersebut umum dalam organisasi publik

58 karena output yang tidak mudah diukur. Sehingga apabila sudah ada kriterai kinerja yang harus dicapai akan memudahkan pengauditan terhadap kinerja pemerintah daerah. Oleh karena itu sangat penting bagi DPRD untuk menetapkan indikator kinerja (performance indicator ) yang akan dijadikan sebagai pedoman bagi eksekutif daerah dalam menjalankan tugasnya. Keuangan daerah dikatakan berhasil bila mampu meningkatkan penerimaan daerah secara berkesinambungan seiring dengan

perkembangan perekonomian tanpa memperburuk alokasi faktor-faktor produksi dan keadilan serta dengan sejumlah biaya administrasi tertentu. Berdasarkan konsep Musgrave dan Musgrave (1980) dalam buku Ekonomi Publik oleh Sukanto Reksohadiprojo (2000) dan proxy menurut Hikmah (1999) indikator kinerja keuangan daerah sebagai berikut : 1. Derajat Desentralisasi Fiskal Derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah pada umunya ditujukan oleh variabel-variabel Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD), Rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak untuk Daerah (BHPBP) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) dan Rasio Sumbangan Bantuan Daerah (SBD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD). Untuk melihat kesiapan pemerintah daerah dalam menghadapi otonomi daerah khususnya dibidang keuangan, diukur dari seberapa jauh kemampuan pembiayaan urusan bila didanai sepenuhnya oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan bagi hasil (Tim LPEM-FEUI pada

59 Laporan Akhir Kebijakan Desentralisasi dalam Masa Transisi (2000) dalam Abdul Halim,2001:26). 2. Kebutuhan Fiskal (Fiscal Need) Kebutuhan fiskal ini dapat diartikan pula sebagai biaya prasarana sosial ekonomi seperti angkutan dan komunikasi, lembaga pendidikan dan kesehatan (Suparmoko,1992:320). Varabel-variabel kebutuhan daerah (fiscal needs) dibagi atas variabel kependudukan dan variabel kewilayahan. Variabel

kependudukan meliputi jumlah penduduk dan Indeks Kemiskinan Relatif (proksi: Poverty Gap). Sementara itu untuk variabel

kewilayahan meliputi Luas Wilayah dan Indeks Harga Bangunan (Kadjatmiko (2001) dalam Mardiasmo,2002:160). 3. Kapasitas Fiskal (Fiscal Capacity) Kapasitas fiskal adalah sejumlah pajak yang seharusnya mampu dikumpulkan dari dasar pajak (tax base), yang biasanya pendapatan per kapita (Suparmoko,1992:320). Upaya peningkatan kapasitas fiskal daerah ( fiscal capacity) sebenarnya tidak hanya menyangkut peningkatan PAD. Peningkatan kapasitas fiskal daerah pada dasarnya adalah optimalisasi sumbersumber penerimaan daerah. Variabel-variabel potensi daerah (fiscal capacity) terdiri dari potensi PAD (dihitung dari PDRB sektor jasa dengan menggunakan metode ekonometrika) dan potensi penerimaan bagi hasil (PBB, BPHPB, PPH Perseorangan, dan SDA).

60 PDRB merupakan nilai barang dan jasa yang diproduksikan di dalam suatu daerah dalam satu tahun tertentu. Dalam hal ini digunakan PDRB per kapita yaitu pendapatan rata-rata penduduk suatu daerah pada suatu waktu tertentu (Sudono Sukirno, 1995:417). Nilainya diperoleh dari membagi nilai PDRB pada suatu tahun tertentu dengan jumlah penduduk pada pertengahan tahun tersebut. 4. Usaha Fiskal (Tax Effort) Usaha pajak adalah jumlah pajak yang sungguh-sungguh dikumpulkan oleh kantor pajak dan dilawankan dengan potensi pajak ((tax capacity potensial) Suparmoko, 1992:320). Usaha pajak dapat diartikan sabagai rasio antara penerimaan pajak dengan kapasitas atau kemampuan bayar pajak di suatu daerah. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan bayar masyarakat adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Jika PDRB suatu daerah meningkat, maka kemampuan daerah dalam membayar (ability to pay) pajak juga akan meningkat. Ini mengandung arti bahwa administrasi penerimaan daerah dapat dapat meningkatkan daya pajak.

C. Hasil Penelitian Sebelumnya Hasil penelitian yang yang telah dilaksanakan oleh yuliawati (Abdul Halim, 2001:21-34) dengan judul Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam Menghadapi Otonomi Daerah (Kasus Kabupaten Malang) dapat disimpulkan bahwa derajat desentralisasi fiskal yang dihitung yang dihitung

61 dari proporsi PAD terhadap APBD rata-rata dalam kurun waktu lima tahun (1995/1996-1999/2000) sebesar 15%. Sedangkan proporsi PAD + Bagi Hasil Pajak Bukan Pajak terhadap PDRB sebesar 29% dan jika dilihat setiap tahunnya selalu mengalami penurunan. Hal ini menunjukan ketergantungan Pemerintah Kabupaten Malang terhadap Pemerintah Pusat sangat tinggi. Ana Dwi Kurniati, Tahun 2004, dengan Judul Analisis Kemampuan Keuangan Daerah di Kabuapten Sukoharjo (Perbandingan Era Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah). Dhinaryati, tahun 2003, dengan judul Analisis Efesiensi dan Efektivitas Pendapatan Asli Daerah di Kota Surakarta Tahun 1998 - 2002

62

BAB III GAMBARAN UMUM KABUPATEN SLEMAN

A. Kondisi Umum 1. Letak Geogarfis Administratif Kabupaten Sleman merupakan salah satu kabupaten dari empat Daerah Kabupaten dan satu Daerah Kota di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Kabupaten Sleman terletak di sebelah Utara Kota Yogyakarta. Sesuai dengan Perda No. 12 Tahun 1998, hari jadi Kabupaten Sleman telah disepakati pada tanggal 15 Mei 1916, sehingga pada tahun 2003 merupakan peringatan hari jadi yang ke-87. Flora Identitas untuk Kabupaten Sleman adalah Salah pondoh, yang mempunyai nama latin Sallaca Edulis Reinw cv Pondoh. Hal tersebut didasarkan pertimbangan bahwa tanaman salak pondoh merupakan tanaman khas atau spesifik Kabupaten Sleman. Sedangkan Fauna Identitas Kabupaten Sleman adalah Burung Punglor yang memiliki nama latin Zootheria Citrina. Burung Punglor merupakan burung liar yang memiliki habitat di kebun Salak Pondoh. Secara geografis Kabupaten Sleman terletak antara 7 3451-7 4703 Lintang Selatan dan107 1503-100 2903 Bujur Timur. Sedangkan secara administratif batas-batas wilayah kabupaten Sleman

63 adalah sebagai berikut : (1) sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali, Propinsi Jawa Tengah; (2) sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Kotamadya Yogyakarta; (3) sebelah barat

berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo, Propinsi DIY dan Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah; (4) sebelah timur berbatasan dengan Kabuapten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Wilayah di bagian selatan merupakan dataran rendah yang subur, sedang di bagian utara sebagian besar merupakan tanah kering yang berupa ladang dan pekarangan, serta memiliki permukaan yang agak miring ke selatan dengan batas paling utara adalah Gunung Merapi. Di lereng selatan Gunung Merapi terdapat dua buah bukit, yaitu Bukit Turgo dan Bukit Plawangan yang merupakan bagian dari Kawasan Wisata Kaliurang. Beberapa sungai yang mengalir melalui Kabupaten Sleman menuju Pantai Selatan antara lain Sungai Progo, Krasak, Sempor, Nyoho, Kuning dan Boyong. Berdasarkan karakteristik sumber daya yang ada, wilayah Kabupaten Sleman terbagi menjadi 4 wilayah, yaitu : a. Wilayah lereng Gunung Merapi, dimulai dari jalan yang menghubungkan Kota Tempel, Pakem dan Cangkringan sampai

dengan puncak Gunung Merapi dan ekosistemnya; b. Wilayah timur, meliputi Kecamatan Prambanan, sebagian Kecamatan Kalasan dan Kecamatan Berbah. Wilayah ini merupakan peninggalan purbakala (candi) yang merupakan pusat wisata budaya dan daerah lahan kering serta sumber bahan batu putih;

64 c. Wilayah tengah, yaitu wilayah aglomerasi Kota

Yogyakarta yang meliputi Kecamatan Gamping. Wilayah ini merupakan pusat pendidikan, perdagangan dan jasa; d. Wilayah barat, meliputi Kecamatan Godean, Minggir, Seyegan, dan Mayudan merupakan daerah pertanian lahan basah yang tersedia cukup air dan sumber bahan baku, kegiatan industri kerajinan mendong, bambu dam gerabah. Berdasarkan jalur lintas antar daerah, kondisi wilayah Kabupaten Sleman dilewati jalur jalan negara yang merupakan jalur ekonomi yang menghubungkan Sleman dengan kota pelabuhan (Semarang, Surabaya, Jakarta). Jalur ini melewati wilayah Kecamatan Prambanan, Kalasan, Depok, Mlati dan Gamping. Selain itu, wilayah Kecamatan Depok, Mlati dan Gamping juga dilalui jalan lingkar yang merupakan wilayah yang cepat perkembangannya, yaitu dari agraris menjadi industri, perdagangan dan jasa. Kabupaten Sleman tergolong daerah agraris, dimana sebagian penduduknya menopang kehidupannya dari sektor pertanian. Akan tetapi dalam kenyataannya luas lahan sawah lebih kecil jika dibandingkan luas lahan kering. Luas lahan kering ini semakin bertambah, disebabkan banyaknya lahan sawah yang berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman. Letak daerah Kabupaten Sleman amat strategis, sebab berada pada jalur lintas darat utama Pulau Jawa. Hal ini membawa arti tersendiri bagi perkembangan dan kemajuan Kabupaten Sleman.

65 2. Luas Wilayah Daerah Kabupaten Sleman memiliki wilayah seluas 574,82 Km2 atau + 18,11% dari luas wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan penggunaannya, lahan di Kabupaten Sleman dibedakan menjadi enam jenis lahan, yaitu : tanah sawah, tanah tegalan, tanah pekarangan, tanah hutan rakyat dan Negara, tanah kolam, dan tanah lainlain. Adapun luas lahan berdasarkan penggunaannya di Kabupaten Sleman tertera dalam table 3.1. sebagai berikut :

Tabel 3.1.: Luas Lahan Kabupaten Sleman Berdasarkan Penggunaannya Tahun 2003
Penggunaan (1) Tanah Sawah Tanah tegalan Tanah Pekarangan Tanah Lainnya Jumlah Sumber : BPS, Sleman,2003 Luas (2) 23.361 6.440 18.832 8.849 57.482 Persen(%) (3) 40,64 11,20 32,76 15,39 100

Dari

pembagian lahan menurut penggunaan sebagaimana

dipaparkan dalam table 3.1 di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar atau lebih dari 40% wilayah Kabupaten Sleman merupakan lahan pertanian, baik berupa persawahan, ladang, maupun perikanan dan perkebunan. 3. Kondisi Alam Wilayah Kabupaten Sleman secara umum terdiri dari daratan rendah, daratan tinggi, dan bukit kapur, yang berketinggian tempat antara 100 - 2500 m diatas permukaan laut. Sekitar 11.000 Ha atau 19% dari luas wilayah Kabupaten Sleman yang terletak di bagian utara, merupakan tanah

66 miring berupa abu vulkanis Gunung Merapi yang sangat subur dan kaya akan mata air.

B. Keadaan Demografi 1. Jumlah Penduduk Berdasarkan data penduduk tahun 2003, diketahui bahwa Kabupaten Sleman berpenduduk 884.742 jiwa, dengan rincian 437.967 jiwa laki-laki dan 444.760 jiwa perempuan. Dengan luas wilayah 574,82 Km2, maka kepadatan penduduk Kabupaten Sleman adalah 1.539 jiwa per Km2. Penduduk Kabupaten Sleman tersebut tersebar pada 17 Kecamatan, beberapa Kecamatan yang relatif padat penduduknya adalah Depok dengan 115.109, Gamping dengan 70.435 serta Mlati dan Godean dengan masing-masing 70.403 dan 59.320. Sedangkan Kecamatan yang relatif jarang penduduknya adalah Kecamatan Cangkringan sebesar 27.171.

Untuk lebih jelasnya, Struktur penduduk Kabupaten Sleman menurut jenis kelamin per Kecamatan di Kabupaten Sleman, dapat ditampilkan dalam table 3.2. berikut ini .

67

Tabel 3.2 : Banyaknya Penduduk Kabupaten Sleman Menurut Jenis Kelamin per Kecamatan Tahun 1999 2003
Kecamatan
(1)

Laki-Laki
(2)

Perempuan
(3)

Jumlah
(4)

1. Moyudan 2. Minggir 3. Seyegan 4. Godean 5. Gamping 6. Mlati 7. Depok 8. Berbah 9. Prambanan 10. Kalasan 11. Ngemplak 12. Ngaglik 13. Sleman 14. Tempel 15. Turi 16. Pakem 17. Cangkringan Jumlah Tahun 2002 Tahun 2001 Tahun 2000

16.722 16.994 20.904 29.524 35.084 35.391 59.503 20.245 21.406 27.280 22.781 34.606 28.531 23.625 16.624 15.505 13.142 437.867 432.795 426.225 420.070

17.421 17.996 21.957 29.796 35.351 35.012 55.414 21.310 23.423 28.907 23.880 35.443 29.121 24.126 17.118 16.353 14.029 446.657 441.797 435.878 429.925 424.469

34.143 34.990 42.861 59.320 70.435 70.403 114.917 41.555 44.829 56.187 46.661 70.049 57.652 47.751 33.742 31.858 27.171 884.524 874.592 862.103 849.995 828.933

Tahun 1999 414.132 Sumber : BPS, Sleman, 2003

2.

Tingkat Kepadatan Penduduk Sebagai kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar di

Kabupaten Sleman, maka Kecamatan Depok juga sekaligus merupakan kecamatan dengan tingkat kepadatan tertinggi di Kabupaten Sleman, yaitu 3.238 jiwa per Km2. Hal ini disebabkan karena wilayah Kecamatan Depok

68 berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta. Selain itu, banyak fasilitas pendidikan dan pariwisata terletak di Kecamatan Depok, seperti Kampus Universitas Gajah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia, Universitas Pembangunan Nasional, Universitas Atma Jaya, Universitas Proklamasi45, dan kampus-kampus terkemuka lainnya. Adapun fasilitas pariwisata terdapat beberapa hotel-hotel berbintang terdapat beberapa buah di Kabupaten Sleman. Untuk lebih jelasnya, kepadatan penduduk Kabupaten Sleman disajikan pada tabel 3.3 beriikut ini : Tabel 3.3 : Kepadatan Penduduk Per Km2 di Kabupaten Sleman Tahun 2003
Kecamatan
(1)

Luas ( Km2)
(2)

Penduduk
(3)

Kepadatan Penduduk Per Km2


(4)

1. Mayudan 2. Minggir 3. Sayegan 4. Godean 5. Gamping 6. Mlati 7. Depok 8. Berbah 9. Prambanan 10. Kalasan 11. Ngemplak 12. Ngaglik 13. Sleman 14. Tempel 15. Turi 16. Pakem 17. Cangkringan JUMLAH Sumber : BPS, Sleman, 2003

27,62 27,27 26,63 26,84 29,25 28,52 35,55 22,99 41,35 35,84 35,71 38,52 31,52 32,49 43,09 43,84 47,99 547,82

34.143 34.990 42.861 59.320 70.435 70.403 115.109 41.555 44.829 56.187 46.661 70.050 57.652 47.751 33.742 31.868 27.171 884.727

1.236 1.283 1.610 2.210 2.408 2.469 3.238 1.808 1.084 1.568 1.307 1.819 1.841 1.470 783 727 566 1.539

3.

Penyebaran Penduduk Secara umum penduduk Kabupaten Sleman dapat dikatakan

tersebar hampir merata di seluruh Kecamatan, kecuali Kecamatan

69 Cangkringan yang hanya didiami oleh sekitar 3,15 % dari jumlah penduduk Kabupaten Sleman. Apabila penduduk benar-benar tersebar merata di 17 kecamatan di Kabupaten Sleman, maka setiap Kecamatan akan berpenduduk 49.331 orang. Menelaah penyebaran penduduk Kabupaten Sleman sebagaimana tertera dalam tabel 3.4, tampak jelas bahwa 1 penyebaran penduduk, terdapat beberapa karakteristik

Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Sleman, yaitu Kecamatan yang berbatasan dengan wilayah Kota Yogyakarta serta Kecamatan yang berada di jalan protokol memiliki penduduk dengan jumlah mendekati rata-rata. Tabel 3.4 : Persentase Jumlah Penduduk Per Kecamatan Di Kabupaten Sleman Tahun 2003
Kecamatan (1) 1. Mayudan 2. Minggir 3. Sayegan 4. Godean 5. Gamping 6. Mlati 7. Depok 8. Berbah 9. Prambanan 10. Kalasan 11. Ngemplak 12. Ngaglik 13. Sleman 14. Tempel 15. Turi 16. Pakem 17. Cangkringan JUMLAH Sumber : BPS, Sleman, 2003 Penduduk (2) 34.143 34.990 42.861 59.320 70.435 70.403 115.109 41.555 44.829 56.187 46.661 70.050 57.652 47.751 33.742 31.868 27.171 884.727 Persen (%) (3) 3.85 3.95 4.84 6.70 7.96 8.00 13.01 4.70 5.06 6.35 5.27 7.91 6.52 5.40 3.81 3.60 3.07 100

Data dalam tabel 3.4 di atas menjelaskan bahwa terdapat tujuh kecamatan yang memiliki jumlah penduduk di atas 50.000. Bahkan Kecamatan Depok berpenduduk jauh lebih besar, yaitu 115.109 jiwa.

70 Perbedaan ini tampaknya disebabkan oleh perbedaan letak wilayah kecamatan. Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Sleman tergolong sangat tinggi dibandingkan Kondisi tersebut pertumbuhan penduduk kabupaten lain di DIY. diakibatkan migrasi masuk yang lebih besar

dibandingkan migrasi keluar sebagai konsekuensi Sleman sebagai tujuan pendidikan dan akibat pesatnya pertumbuhan perumahan dan pemukiman di Kabupaten Sleman.

C. Administrasi Pemerintah 1. Pembagian Wilayah Administrasi Pada bagian terdahulu, telah dikemukakan bahwa secara

administratif, wilayah Kabupaten Sleman di bagi menjadi 17 wilayah kecamatan, dengan luas wilayah masing-masing kecamatan antara 22,99 Km2-47,99 Km2. Masing-masing kecamatan terdiri dari 3 8 Desa/Kelurahan dan 54-98 Dusun. Data tentang Kecamatan dan desa tersebut, ditampilkan dalam tabel 3.5 berikut :

71

Tabel 3.5 : Pembagian Wilayah Dan Luas Wilayah Per Kecamatan di Kabupaten Sleman Tahun 2003
Kecamatan
(1)

Luas (Km2)
(2)

Jumlah Desa/Kelurahan
(3)

Jumlah Dusun
(4)

1. Mayudan 2. Minggir 3. Sayegan 4. Godean 5. Gamping 6. Mlati 7. Depok 8. Berbah 9. Prambanan 10. Kalasan 11. Ngemplak 12. Ngaglik 13. Sleman 14. Tempel 15. Turi 16. Pakem 17. Cangkringan JUMLAH Sumber : BPS, Sleman, 2003

27,62 27,27 26,63 26,84 29,25 28,52 35,55 22,99 41,35 35,84 35,71 38,52 31,52 32,49 43,09 43,84 47,99 547,82

4 5 5 7 5 5 3 4 6 4 5 6 5 8 4 5 5 86

65 68 67 77 59 74 58 63 68 80 82 87 78 98 54 61 73 1.212

a.

Motto dan Slogan Seperti daerah-daerah lain di Indonesia, Untuk

mendayagunakan kegiatan pembangunan daerah secara merata, Pemerintah Kabupaten Sleman mencanangkan slogan gerakan pembangunan desa terpadu Sleman SEMBADA. Secara harfiah Slogan Sleman Sembada dapat diartikan sebagai suatu kondisi Sehat, Elok dan Edi, makmur dan Merata, bersih dan Berbudaya, Aman dan Adil, Damai dan Dinamis, Agamis. Dengan nilai-nilai tersebut diharapkan dapat menciptakan Kabupaten Sleman yang Sejahtera, Lestari dan Mandiri.

72 Slogan tersebut mengandung makna bahwa kegiatan

pembangunan daerah Kabupaten Sleman adalah dalam rangka menciptakan masyarakat yang sehat dan makmur di wilayah yang elok dan bersih, dengan diliputi suasana aman dan damai. b. Visi dan Misi Untuk menyamakan persepsi akan tujuan kegiatan pemerintah dan pembangunan daerah, Kabupaten Sleman memiliki : Visi pembangunan Kabupaten Sleman tahun 2000 2004 yaitu terwujudnya masyarakat Kabupaten Sleman yang maju, sejahtera, lestari, mandiri, berdaya saing, damai demokratis, agamis dan berkeadilan. Sedangkan Misi dari Kabupaten Sleman adalah Penerapan dan pengembangan teknologi, Peningkatan pertumbuhan ekonomi, Peningkatan kesejahteraan masyarakatnya, Pelestarian lingkungan hidup, Pelestarian nilai budaya, Penataan dan optimalisasi birokrasi, Pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, Peningkatan

pendidikan masyarakat dan Peningkatan keadilan di bidang hukum.

2. a.

Tinjauan Keuangan Daerah Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) Perkembangan kemampuan keuangan berdasarkan realisasi APBD Kabupaten Sleman, pada periode Pelita VI pendapatan daerah mengalami peningkatan yang cukup tahun berarti, 1994/1995, yaitu dari

Rp.27.329.050.000,-

dalam

menjadi

Rp.99.158.593.000,- pada tahun anggaran 1998/1999, dan pada tahun

73 anggaran 2003 naik menjadi Rp. 452.884.659.005,91. Sedangkan raelisasi anggaran belanja tahun 2001 dan tahun 2002 sebesar Rp. 293.229.921.000,- dan Rp. 338.094.056.000,- serta anggaran belanja tahun 2003 sebesar Rp. 447.510.559.805,33. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya masih relatif lebih kecil, namun jika dikurangi dengan anggaran belanja maka anggaran pendapatannya masih surplus sebesar Rp. 5.374.099.200,28, hal ini disebabkan karena pada tahun 2003 pengeluaran Pemerintah Daerah lebih meningkat seperti halnya pada saat pelaksanaan penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil yang dilaksanakan dengan biaya sendiri.. APBD Kabupaten Sleman mengalami surplus antara tahun anggaran 1994/1995-1996/1997 dan tahun anggaran 1998/1999. Tetapi pada tahun anggaran 1997/1998, APBD Kabupaten Sleman seimbang. Hal ini dikarenakan adanya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 yang menyebabkan pembelajaan daerah mengalami peningkatan. Keadaan kemampuan keuangan daerah Kabupaten Sleman tahun 1990/1991-2003, tertera dalam tabel 3.6 berikut :

74

Tabel 3.6 : Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Sleman, Tahun Anggaran 1991/1992- 2003 (juta rupiah)
Tahun Pendapatan Belanja (1) (2) (3) 1990/1991 12.037.193 11.758.739 1991/1992 14.594.212 14.131.806 1992/1993 17.829.542 17.590.191 1993/1994 21.361.070 21..070.232 1994/1995 27.329.050 26.045.326 1995/1996 32.795.129 31.956.038 1996/1997 72.017.911 71.245.963 1997/1998 85.569.920 85.569.920 1998/1999 99.158.593 73.122.899 1999/2000 126.237.003 120.352.970 2000 128.038.618 118.532.970 2001 308.531.584 293.229.921 2002 383.093.699 338.094.056 2003* 452.884.659 447.510.560 Sumber : Badan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah, 2003 * adalah angka sangat sementara Saldo (4) 278.454 462.406 239.351 290.838 1.283.720 839.091 771.948 0 26.035.694 5.884.711 9.505.648 15.301.663 44.999.643 5.374.099

Penerimaan daerah Kabupaten Sleman diperoleh dari tiga komponen sumber penerimaan daerah, yaitu : Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bagi Hasil pajak dan Bukan Pajak, dan Sumbangan/Bantuan dari Pemerintah Pusat. Selain itu, terdapat sumber penerimaan berupa penerimaan pembangunan, tetapi komponen itu bersifat insidental, berupa pinjaman kepada Pemerintah daerah dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dari Pusat, apabila dipandang perlu. Dalam rangka Penyelenggaraan Otonomi Daerah, maka daerah dituntut untuk seoptimal mungkin menggali sumber-sumber keuangan daerah berupa Pendapatan Asli Daerah. Karena salah satu keberhasilan Daerah Otonom adalah kemampuan daerah untuk membiayai

pembangunan secara mandiri. Artinya, sedapat mungkin bantuan dan sumbangan dari pemerintah pusat diperkecil atau dihilangkan.

75

b.

Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman telah berupaya untuk

membolisasikan secara optimal segala potensi dan sumber daya yang dimiliki untuk meningkatkan PAD pada Era Sebelum Otonomi Daerah pada tahun 1990/1991 2000 mempunyai rata-rata konstribusi PAD terhadap PDRB sebesar 17,1%, sedangkan pada Era Otonomi Daerah antara tahun 2001 2003 mempunyai rata-rata konstribusi PAD terhadap PDRB sebesar 10,48. Untuk lebih jelasnya tertera pada tabel 3.7 berikut : Tabel 3.7 : Konstribusi PAD Terhadap Realisasi Total APBD di Kabupaten Sleman, Tahun Anggarn 1990/1991- 2000 (ribu rupiah)
Tahun Anggaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) Total APBD (000 Rp) 12037193 14594212 17829542 21361070 27329050 32795129 72017911 85569920 99158593 126237003 128038618 308531584 383093699 452884659 636968241 1144509942 1781478183 Konstribusi PAD Terhadap APBD (%)

1990/1991 2384366 1991/1992 2950300 1992/1993 2930168 1993/1994 3520269 1994/1995 5341982 1995/1996 7442337 1996/1997 10583958 1997/1998 13464878 1998/1999 14786416 1999/2000 17125445 2000 17884885 2001 29571153 2002 38908193 2003 52978731 A) APBD Seblm Otda 98414977 Rata-rata Seblm Otda B) APBD di Era Otda 121458077 Rata-rata di Era Otda Total (A+B) 219873054 Rata-rata Sumber : Hasil pengolahan data sekunder, 2003

76

D. Tinjauan Ekonomi 1. Pertumbuhan Ekonomi Regional Untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi regional dapat dilihat dari pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Untuk mengetahui pertumbuhan riil dari tahun ke tahun setiap agregat ekonomi dipergunakan PDRB atas dasar harga konstan, sehingga angka-angkanya sudah terbebas dari pengaruh peningkatan harga atau terbebas dari pengaruh inflasi. Berikut ditampilkan tabel mengenai gambaran PDRB Kabupaten Sleman atas Dasar Harga Konstan. Tabel 3.8. Produk Domestik Reginal Bruto (PDRB) Kabupaten Sleman atas Dasar Harga Konstan Tahun 1999 -2003 (juta rupiah) Tabel 3.8 : PDRB Kab. Sleman Menurut Lap. Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1999 2003
1999 2000 (2) (3) (4) Pertanian 189016 203317 Pertambangan&Galian 6059 6337 Indstri Pengolahan 223125 232455 Listrik,Gas&Air Bersih 9902 10360 Bangunan 147482 150620 Perdag,Hotel&Restoran 255535 265711 Pengankutan&Komunikasi 151753 156013 Keuang,Persewaan&Js.PrUs h 169555 172230 179479 Jasa-Jasa 247312 252308 261721 Jumlah PDRB 1399739 1449351 1507369 Sumber : BPS, Sleman, 2003; * adalah angka sangat sementara Lapangan Usaha Tahun 2001 (5) 212155 6583 242053 10562 154596 278091 162129 2002 (6) 221300 9245 260254 14046 161748 187238 170603 188969 265463 1478866 2003* (7) 219343 10079 275452 13643 178738 305549 177846 197768 276264 1654682

Berdasarkan harga konstan tahun 1993, total PDRB Kabupaten Sleman tahun 1999 adalah 1.399.739.000.000,- dan tahun 2003 adalah 1.654.882.000.000,-, berarti pertumbuhan riil perekonomian Kabupaten

77 Sleman rata-rata sebesar 23,9% per tahun. Pertumbuhan riil ini karena peranan dari beberapa sektor yang mempunyai konstribusi cukup besar yaitu sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa. Apabila dilihat atas harga berlaku maka PDRB Kabupaten Sleman pada tahun 1999 adalah sebesar 3.155.646.000.000,oo sedangkan pada tahun 2003 adalah sebasar 5.467.829.000.000,oo. Berarti pertumbuhan PDRB atas harga berlaku rata-rata 14,5% per tahun. Berikut adalah tabel mengenai gambaran PDRB Kabupaten Sleman atas dasar harga berlaku. Tebel 3.9 : PDRB Kab. Sleman Menurut Lap. Usaha Atas Dasar Harga berlaku Tahun 1999 2003
Tahun Lapangan Usaha 1999 2000 2001 Pertanian 599661 704858 784699 Pertambangan&Galian 13301 14793 17179 Indstri Pengolahan 469529 546511 642310 Listrik,Gas&Air Bersih 24891 28667 32671 Bangunan 279037 328170 370996 Perdag,Hotel&Restoran 621673 708549 850109 Pengankutan&Komunikasi 284986 307520 355902 Keuang,Persewaan&Js.PrUs h 312160 335878 400963 Jasa-Jasa 550408 597627 681053 Jumlah PDRB 3155646 3572573 4135882 Sumber : BPS, Sleman, 2003; * adalah angka sangat sementara 2002 861364 27324 921518 60011 413421 992634 400824 453215 743743 4874054 2003* 894733 31222 1029575 69206 507224 1172373 440020 495052 828424 5467829

2.

Angka Sektoral Dalam menyusun suatu analisis keberhasilan pembangunan suatu wilayah dapat dipergunakan angka PDRB dari tahun ke tahun. Perubahan yang terjadi pada PDRB tersebut menunjukan arah pembangunan dan kemajuan yang dicapai. Selanjutnya untuk mengetahui tentang

78 pertumbuhan ekonomi regional perlu ditinjau peranan dan perkembangan per sektor PDRB sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut : Tabel 3.10 : Peranan Ekonomi Sektoral Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 1993, PDRB Kabupaten Sleman Tahun 1999 2003
1999 2000 2001 2002 2003 1999 Lapangan Harga Berlaku Usaha 19.01 19.73 18.97 17.67 16.36 13.43 Pertanian 0.42 0.41 0.42 0.56 0.57 0.43 Tambang Inds.Olahan 14.88 15.30 15.53 18.91 18.83 15.95 0.79 0.80 0.79 1.23 1.27 0.71 .Lis,Gas&Air 8.84 9.19 8.97 8.48 9.28 10.55 Bangunan Perdagagan 19.70 19.83 20.55 20.37 21.44 18.27 Transportasi 9.03 8.61 8.61 8.22 8.05 10.85 i 9.89 9.40 9.69 9.30 9.05 12.13 Keuang 17.44 16.73 16.47 15.26 15.15 17.68 Jasa-Jasa 100 100 100 100 100 100 PDRB Sumber : BPS, Sleman, 2003 ; * adalah angka sangat sementara 2000 2001 2002 Harga Konstan 14.03 14.07 14.02 0.44 0.44 0.59 16.04 16.06 16.48 0.71 0.70 0.89 10.39 10.26 10.24 18.33 18.45 18.19 10.76 10.76 10.81 11.88 17.42 100 11.91 17.35 100 11.97 16.81 100 2003* 13.26 0.61 16.65 0.82 10.80 18.46 10.75 11.95 16.70 100

Untuk melihat angka pertumbuhan sektoral PDRB di kabupaten Sleman berikut ini ditampilkan tabel sebagai berikut : Tabel 3.11 : Indeks Berantai Sektoral Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 1993, PDRB Kabupaten Sleman Tahun 1999 2003
1999 2000 2001 2002 2003 1999 Lapangan Harga Berlaku Usaha 96.6 104.6 109.1 113.9 112.8 103.5 Pertanian 83.2 87.0 90.4 127.0 138.5 103.3 Tambang Inds.Olahan 136.4 142.1 148.0 159.1 168.4 101.2 207.7 217.3 221.6 294.7 286.2 101.5 Lis,Gas&Air 110.3 112.6 115.6 120.9 133.6 102.3 Bangunan Perdagagan 135.7 141.1 147.7 152.6 162.3 102.0 Transportasi 123.1 126.6 131.5 138.4 144.3 100.8 i 124.2 126.2 131.5 138.4 144.9 101.3 Keuangan 132.1 134.8 139.8 141.8 147.6 102.0 Jasa-Jasa 117.9 113.2 115.7 117.8 112.1 101.9 PDRB Sumber : BPS, Sleman, 2003 ; * adalah angka sangat sementara 2000 2001 2002 Harga Konstan 109.5 103.0 104.1 104.6 103.8 102.4 105.0 105.4 105.2 104.6 101.9 71.4 102.1 102.6 104.6 104.3 104.8 104.1 102.8 103.9 105.2 95.7 102.4 103.3 104.3 103.3 104.0 104.5 101.4 103.8 2003* 99.1 108.2 106.0 112.1 109.7 105.3 105.5 104.3 103.9 104.7

Pada tahun 1999 sampai tahun 2001, sektor pertanian masih mengalami pertumbuhan yang sangat baik. Namun, mulai tahun 2002

79 sampai 2003 sektor pertanian mengalami penurunanan distribusinya terhadap PDRB yang pada tahun 2002 sebesar 14,02 % menjadi 13,26 %. Disebabkan oleh mulai marak dibukanya pemukiman-pemukiman baru. Sektor pertambangan dan penggalian mengalami pertumbuhan yang sangat menarik karena dari tahun ke tahun selalu meningkat. Pada tahun 2002 sebesar 0,59% sedangkan pada tahun 2003 naik menjadi 0,61 %. Peranan sektor industri pengolahan terhadap total PDRB mengalami peningkatan pada tahun kedua pemberlakuan otonomi daerah dari 16,48% pada tahun 2002 menjadi 16,65% pada tahun 2003 dengan peningkatan sebesar 0,17%. Peranan sektor listrik, gas dan air bersih terhadap total PDRB juga mengalami peningkatan, pada tahun 2001 sebesar 0,70% menjadi 0,89% pada tahun 2002. Jika dilihat pada tahun 2003 walaupun angka masih sementara sudah menunjukan hasil yang baik sebesar 0,82% . Peranan sektor bangunan terhadap total PDRB mengalami peningkatan sebesar 10,24% pada tahun 2002 menjadi 10,80% pada tahun 2003. Karena banyak dibangun pemukiman baru dan pemondokanpemondokan bagi mahasiswa. Peranan sektor perdagangan dan sektor transportasi terhadap total PDRB mengalami peningkatan. Untuk sektor perdagangan pada tahun 2002 sebesar 18,19% menjadi 18,46% pada tahun 2003 dengan pertumbuhan sebesar 0,27%. Sedangkan sektor transportasi mengalami

80 penurunan pada tahun 2002 sebesar 10,81% menjadi 10,75% pada tahun 2003 dengan pertumbuhan sebesar 0,06%. Sektor keuangan merupakan sektor yang sangat terimbas akibat dari dampak krisis ekonomi. Peranan sektor keuangan terhadap total PDRB mengalami penurunan pada tahun 2002 sebesar 11,97 % menjadi 11,95 % pada tahun 2003. Sedangkan sektor jasa mengalami penurunan mulai tahun 2002 dan tahun 2003 sebasar 16,81 % dan 16.70 % jika dibandingkan dengan pada tahun sebelum diberlakukannya otonomi.

3.

Pertumbuhan Agregat Pendapatan Regional Untuk mengetahui pertumbuhan agregat pendapatan regional di

Kabupaten Sleman, ditampilkan tabel 3.12 sebagai berikut. Tabel 3.12 : Perkembangan Agregat Pendapatan dan Pendapatan Per Kapita Atas dasar Harga Berlaku dan harga Konstan 1993 di Kabupaten Sleman Tahun 1999 2002.
Lapangan Usaha 1999 A.Atas dasar Hrg. Berlaku 1. PDRB (ribu Rp) 2. Indeks Berantai 3. PDRB Perkapita (ribu Rp) B.Atas.Dsr.Hrg Konstan 1. PDRB (ribu Rp) 2. Indeks Berantai 3. PDRB Perkapita (ribu Rp) 317572 9 117.97 367700 2 2000 356098 5 132.29 394903 7 Tahun 2001 411978 8 115.69 450210 2 2002 481817 1 116.95 518875 7 156768 5 103.83 168826 2 874795 2003* 5467829 112.18 5803100

140465 145177 150983 8 2 3 101.93 103.35 104.00 162659 160997 164994 0 6 5 Penduduk Pertengahan tahun 838628 850176 862314 Sumber : BPS, Sleman, 2002, * adalah angka sangat sementara

1654682 103.00 1756100

884742

Pertumbuhan pendapatan per kapita pada tahun 1999 menunjukan angka yang cukup tinggi. Berdasarkan harga berlaku, PDRB per kapita

81 pada tahun pada tahun 2001 sebesar Rp. 4.502.102 menjadi Rp. Rp. 5.188.757 pada tahun 2002 dan pada tahun 2003 menjadi Rp. 5.803.100. berarti terjadi kenaikan sebesar 9,9 %. Bila dihitung berdasarkan harga konstan terjadi kenaikan yaitu yang semula pada tahun 2002 sebesar Rp. 1.688.262 menjadi Rp. 1.756.100 pada tahun 2003. Berarti pertumbuhan Penadapatan per kapita pada tahun 2003 sebesar 5,2 %. Sedangkan pertumbuhan penduduk juga mengalami kenaikan sebesar 1,1 %. Hal ini menunjukan bahwa secara umu pembangunan ekonomi di kabupaten Sleman sudah dikatakan dapat berhasil.

82

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bagian ini akan dibahas mengenai hasil analisis data dan hasil pembahasan dari data yang telah diolah. Analisis data yang berupa Analisis Kualitatif dengan maksud dan tujuan untuk memberikan gambaran tentang perkembangan APBD Kabupaten Sleman dari tahun ke tahun berdasarkan data yang telah ada, sehingga dapat mengetahui perkembangan APBD baik Sebelum maupun di Era Otonomi Daerah dengan melihat Pertumbuhan APBD, Proporsi Penerimaan terhadap APBD, Proporsi Pengeluaran terhadap APBD. Kontribusi masing-masing Pos APBD perlu diketahui untuk mendiskripsikan kondisi Keuangan Daerah Kabupaten Sleman. Selanjutnya analisis ini juga

menggambarkan pertumbuhan ekonomi dengan melihat pertumbuhan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kabupaten Sleman baik Atas Dasar Harga Konstan maupun Atas Dasar Harga Berlaku. Selanjutnya Analisis Kuantitatif dimaksudkan untuk melihat Kemampuan Daerah dalam menjalankan Otonomi Daerah, salah satunya dapat diukur melalui Kinerja atau Kemampuan Keuangan Daerah. Namun, karena data di daerah kurang mendukung, maka dipakailah beberapa porsi untuk melihat Kinerja Keuangan Daerah. Untuk menguji Hipotesi Pertama, yaitu apakah Kabupaten Sleman mampu secara Keuangan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, dengan

83 menghitung besarnya Derajat Desentralisasi Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal dan Upaya Fiskal, Matrik Potensi Keuangan, Rasio Aktivitas (Keserasian) serta Efektifitas dan Efesiensi PAD baik Sebelum dan pada Era Otonomi Daerah di Kabupaten Sleman. Untuk menguji Hipotesis Kedua, yaitu bahwa bagaimana tingkat Kemandirian Kabupaten Sleman secara Keuangan Daerah, apakah mampu untuk membiayai jalannya pemerintahan yang diukur melalui melalui Rasio

Kemandirian dan Pola Hubungannya. Selain itu juga, Analisis Kuantitatif dimaksudkan untuk melihat kesiapan Pemerintah Daerah dalam mengahadapi Otonomi Daerah khususnya dibidang Keuangan, diukur dari seberapa jauh kemampuan pembiayaan urusan bila didanai sepenuhnya oleh PAD (Pandapatan Asli Daerah) dan bagi hasil.

A. Analisis Kualitatif 1. Analisis Perkembangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Sleman a) Pertumbuhan APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Sleman setiap tahun mengalami kenaikan. Misalnya, total penerimaan APBD pada Era Sebelum Otonomi Daerah dari tahun anggaran 1990 2000 sebesar Rp. 636.968.241.000 dengan persentase sebesar 29,42% dan total penerimaan APBD meningkat pada Era Otonomi Daerah mulai tahun 2001 - 2003 menjadi Rp. 1.144.509.942.000 dengan nilai persentase sebesar 61,12%. Sedangkan total rata-rata pertumbuhan APBD selama 14 tahun sebesar 36,74%, meskipun selama periode

84 tersebut perubahan APBD yang terjadi tidak sama. Di bawah ini kami tunjukan gambaran rata-rata pertumbuhan APBD Kabupaten Sleman tahun anggaran 1990/1991 2003 yang dapat dilihat pada table 4.1 sebagai berikut. Tabel 4.1 : Pertumbuhan APBD Kabupaten Sleman Tahun Anggaran 1990/1991 - 2003
Total Penerimaan APBD (000Rp) 12037193 14594212 17829542 21361070 27329050 32795129 72017911 85569920 99158593 126237003 128038618 308531584 383093699 452884659 636968241 1144509942 1781478183 Pertumbuhan (%) -

Tahun Anggaran 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002 2003 A) APBD Seblum Otda Rata-rata Sebelum Otda B) APBD di Era Otda Rata-rata di Era Otda Total (A+B) Rata-rata

Sumber : BPKKD Kab. Sleman, 2003

b)

Kontribusi PAD Terhadap APBD Hasil perhitungan pada tabel 4.2 dibawah ini dapat dilihat bahwa selama tahun anggaran 1990/1991 2003 bahwa kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten Sleman rata-rata sebesar 15,68%. Rata-rata konstribusi PAD terhadap APBD Sebelum Otonomi Daerah dari tahun anggara 1990 2000 sebesar 17,1% sedangkan pada saat Era Otonomi Daerah sekarang ini rata-ratanya lebih kecil yaitu sebesar 5,4 %. Hal ini menunjukan bahwa pada Era Otonomi Daerah,

85 ketergantungan Kabupaten Sleman terhadap Pemerintah Pusat cenderung lebih tinggi. Untuk itu, Kabupaten Sleman pada Era Otonomi sekarang ini perlu menggali potensi daerahnya, sehingga dapat meningkatkan kontribusi PAD terhadap APBD daerahnya. Untuk lebih jelasnya, akan kami tampilkan dalam bentuk tabel Kontribusi PAD terhadap APBD Kabuapten Sleman, seperti di bawah ini . Tabel 4.2 : Kontirbusi PAD terhadap APBD Kab. Sleman Tahun Anggaran 1990/1991 2003
Tahun Anggaran 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002 2003 A) APBD Seblm Otda Rata-rata Seblm Otda B) APBD di Era Otda Rata-rata di Era Otda Total (A+B) Rata-rata Pendapatan Asli Daerah (PAD) 2384366 2950300 2930168 3520269 5341982 7442337 10583958 13464878 14786416 17125445 17884885 29571153 38908193 52978731 98414977 121458077 219873054 Total APBD (000 Rp) 12037193 14594212 17829542 21361070 27329050 32795129 72017911 85569920 99158593 126237003 128038618 308531584 383093699 452884659 636968241 1144509942 1781478183 Konstribusi PAD Terhadap APBD (%)

Sumber : BPKKD Kab. Sleman, 2003

c)

Proporsi Pengeluaran Daerah Terhadap APBD Perhitungan pada tabel 4.3 menunjukan bahwa rata-rata proporsi Pengeluaran Daerah terhadap APBD Kabupaten Sleman tahun anggaran 1990/1991 2003 sebesar 106,62%. Rata-rata

86 Sebelum Otonomi Daerah pada tahun 1990/1991 hingga tahun 2000 sebesar 108,68% lebih tinggi jika dibandingkan pada saat mulai diberlakukannya Otonomi Daerah sampai sekarang ini sebesar 99,05%. Hal ini dapat dikatakan bahwa pada Era Sebelum Otonomi dan pada Era Otonomi Daerah , proporsi Pengeluaran Daerah terhadap APBD Kabupaten Sleman sangat tinggi. Perkembangan Pengeluaran Daerah terhadap APBD Kabupaten Sleman dapat dilihat dalam tabel 4.3 berikut ini. Tabel 4.3 : Proporsi Pengeluaran Daerah terhadap APBD Kabupaten Sleman Tahun Anggaran 1990/1991 2003
Pengeluaran Daerah (000 Rp) 11758739 14131806 17590191 21070232 26045326 33182997 79101632 95872784 112980068 137472647 144199906 313406363 370649657 447510560 693406328 1131566580 1824972908 APBD (000 Rp) 12037193 14594212 17829542 21361070 27329050 32795129 72017911 85569920 99158593 126237003 128038618 308531584 383093699 452884659 636968241 1144509942 1781478183 Proporsi Pengeluaran Daerah terhadap APBD (%)

Tahun Anggaran 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002 2003 A) APBD Seblm Otda Rata-rata Seblm Otda B) APBD di Era Otda Rata-rata di Era Otda Total (A+B) Rata-rata

Sumber : BPKKD Kab. Sleman, 2003

2.

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Sleman

87 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu ukuran statistik yang menjadi indikator penting dalam mengukur tingkat perkembangan perekonomian di suatu daerah. PDRB sebenarnya merupakan nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor-sektor ekonomi di suatu daerah pada kurun waktu tertentu. Dengan melihat nilai PDRB ini, maka banyak didapatkan berbagai informasi mengenai perkembangan ekonomi sektoral baik dalam hal volume produksi maupun harga. Kabupaten Sleman yang mempunyai sumbangan cukup berarti dalam beberapa sektor ekonomi khususnya pada tingkat Propinsi dengan diindikasikan sebagai Kabupaten dengan tingkat pertumbuhan pesat dan Nasional pada umumnya. Sehingga cukup menarik untuk diikuti perkembangan perekonomiannya, seperti Sektor Industri, Sektor

Perdagangan, Sektor Pertanian serta Sektor Jasa. Perhitungan PDRB di Kabupaten Sleman selama ini menggunakan pendekatan produksi. Dalam pendekatan ini PDRB di hitung untuk masing-masing sektor ekonomi yang terbagi dalam 9 (sembilan) sektor usaha, yaitu : Sektor Pertanian, Sektor Pertambangan dan Penggalian, Sektor Industri Pengolahan, Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih, Sektor Bangunan, Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, Sektor Pengangkutan dan Komunikasi, Sektor Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan, Jasa-jasa. Pendekatan produksi menghitung nilai tambah yang diperoleh dengan cara mengurangkan biaya antara masing-masing nilai produksi bruto tiap-tiap sektor ekonomi.

88 Dalam menghitung nilai PDRB untuk setiap sektor tersebut berdasarkan atas Harga Berlaku dan Harga Konstan. PDRB atas harga berlaku yaitu menghitung nilai tambah faktor produksi berdasarkan atas harga pada tahun yang bersangkutan. Nilai tambah PDRB Atas Dasar Harga Berlaku ini menggambarkan perkembangan volume produksi dan perubahan tingkat harga. Harga yang dipakai sebagai dasar perhitungan merupakan yang diterima produsen. Pada tahun 2003 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Kabupaten Sleman di Sektor Perdagangan Hotel dan Restoran memberikan konstribusi yang sangat menjanjikan terhadap PDRB sebesar Rp. 1.172.373 juta dan di Sektor Industri Pengolahan memberikan konstribusi terhadap PDRB sebesar Rp. 1.029.575 juta sedangkan di Sektor Pertanian memberikan konstribusi terhadap PDRB sebesar Rp. 894.733 juta. Pada tabel 4.4 berikut ini dapat dilihat PDRB Kabupaten Sleman menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku tahun 1990 sampai 2003.

89

Tebel 4.4 : PDRB Kab. Sleman Menurut Lap. Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1999 2003 (juta Rp)
Lapangan Usaha (1) Pertanian Pertambangn&Galian Indstri Pengolhan Listrik,Gas&Air Bersih Bangunan Perdag,Hotel&Restorn Pengankutn&Komnikasi Keuang,Persewan&Js.PrUsh Jasa-Jasa Jumlah PDRB 1990 (2) 139319 2293 76964 6927 25763 102148 27471 28850 73171 482906 1991 (3) 157872 2429 102831 7578 30734 116261 43258 32246 84179 577388 Tahun 1992 1993 (4) (5) 174242 194318 2842 7277 127961 163501 7876 4766 36705 133712 137364 188219 47657 123232 35052 136469 91946 187120 661645 1138614 1994 (6) 197557 7561 200827 5829 144447 198258 127090 148291 204862 1234722 1995 (7) 204536 7228 213873 6324 158557 215958 139086 161191 228731 1335484

Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 (8) (9) (10) (11) (12) 218402 226655 180486 599661 704858 7420 7198 5866 13301 14793 234823 231832 220433 469529 546511 7604 7918 9748 24891 28667 173869 180772 144138 279037 328170 234723 250567 250382 621673 708549 149663 158272 150438 284986 307520 172883 177540 173300 312160 335878 246317 256107 242442 550408 597627 1445704 1496861 1377233 3155646 3572573 Sumber : BPS, Kab. Sleman, 2003; * adalah angka sementara

2001 (13) 784699 17179 642310 32671 370996 850109 355902 400963 681053 4135882

2002 (14) 861364 27324 921518 60011 413421 992634 400824 453215 743743 4874054

2003* (15) 894733 31222 1029575 69206 507224 1172373 440020 495052 828424 5467829

Sedangkan Atas Dasar Harga Konstan adalah menilai faktor produksi atas dasar harga konstan pada tahun dasar, yaitu harga tahun 1993. Dari nilai konstan ini akan tergambar tingkat produktivitas dan kapasitas produksi untuk setiap lapangan usaha. PDRB Atas Dasar Harga Konstan dipakai sebagai dasar penilaian Pertumbuhan Ekonomi Regional.

90 Bila dilihat dari distribusi persentase masing-masing sektor terhadap PDRB, pada tahun 2003 Sektor Perdagangan Hotel dan Restoran masih memegang peranan penting dalam perekonomian di Kabupaten Sleman, dengan kontribusi terhadap PDRB sebasar Rp. 305.549 juta. Sementara itu konstribusi yang diberikan oleh Sektor Pertanian terhadap PDRB di Kabupaten Sleman dari tahun ke tahun mengalami penurunan dan beralih ke Sektor Perdagangan Hotel dan Restoran. Hal ini disebabkan oleh menurunya produksi Sektor pertanian akibat sempitnya luas lahan dan menurunnya hasil panen serta semakin maraknya kegiatan ekonomi masyarakat di sektor perdagangan maka akan mengakibatkan berubahnya struktur ekonomi masyarakat Kabupaten Sleman. Sehingga sektor perdagangan tampak menjadi pilihan yang menarik bagi masyarakat untuk mengatasi dampak krisis ekonomi. Perincian setiap kontribusi setiap sektor terhadap PDRB tahun 2003 ditunjukan pada tabel 4.5 di bawah ini.

91

Tabel 4.5 : PDRB Kab. Sleman Menurut Lap. Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1999 2003 (juta Rp)
Lapangan Usaha (1) Pertanian Pertambangn&Galian Indstri Pengolhan Listrik,Gas&Air Bersih Bangunan Perdag,Hotel&Restorn Pengankutan&Komnikasi Keuang,Persewan&Js.PrUsh Jasa-Jasa Jumlah PDRB 1990 (2) 72385 2357 43962 4850 11565 55753 17344 18370 44054 27064 0 1991 (3) 74503 1133 53589 5110 12033 58986 22700 19067 46299 29342 0 Tahun 1992 1993 (4) (5) 76984 194318 1414 7277 62873 163501 5166 4766 13024 133712 66623 188219 22886 123232 19020 136469 47466 187120 31545 113861 6 4 1994 (6) 197557 7561 200827 5829 144447 198258 127090 148291 204862 123472 2 1995 (7) 204536 7228 213873 6324 158557 215958 139086 161191 228731 1335484

Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 (8) (9) (10) (11) (12) (13) 218402 226655 180486 189016 203317 212155 7420 7198 5866 6059 6337 6583 234823 231832 220433 223125 232455 242053 7604 8500 9748 9902 10360 10562 173869 180772 144138 147482 150620 154596 234723 250567 250382 255535 265711 278091 149663 158272 150438 151753 156013 162129 172883 177540 173300 169555 172230 179479 246317 256107 242442 247312 252308 261721 1445704 1497443 1377233 1399739 1449351 1507369 Sumber : BPS, Kab. Sleman, 2003;* adalah angka sementara

2002 (14) 221300 9245 260254 14046 161748 187238 170603 188969 265463 1478866

2003* (15) 219343 10079 275452 13643 178738 305549 177846 197768 276264 1654682

Sementara itu sektor-sektor ekonomi lainnya tidak mengalami perubahan yang berarti dalam memberikan konstribusinya terhadap PDRB. Sektor Pertambangan dan Penggalian masih merupakan sektor dengan nilai konstribusi paling kecil dalam distribusinya terhadap PDRB Kabupaten Sleman.

92 3. Analisis Perkembangan Ekonomi Kelompok Sektor Banyak pakar ekonomi mengelompokan sektor-sektor ekonomi yang ada dalam PDRB ke dalam 3 (tiga) kelompok sektor antara lain : kelompok sektor Primer, Sekunder dan Tersier. Pengelompokan sektor ini berdasarkan output maupun input dari asal terjadinya proses produksi untuk masing-masing kegiatan produksi. Kegiatan produksi dimasukan ke dalam kelompok Sektor Primer apabila outpunya masih proses tingkat dasar dan sangat tergantung pada alam. Sektor ekonomi yang dikelompokan ke dalam Sektor Primer adalah Sektor Pertanian dan Sektor Pertambangan dan Penggalian. Untuk sektor ekonomi yang outputnya berasal langsung dari Sektor Primer dikelompokan ke dalam Sektor Sekunder. Kegiatan produksi yang termasuk ke dalam Sektor Sekunder adalah Sektor Industri Pengolahan , Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih serta Sektor Bangunan, sedangkan sektor lainnya adalah Sektor Perdagangan Hotel dan Restoran; Sektor Pengangkutan dan Komunikasi; Sektor Keuangan, Sektor Persewaan, Sektor Jasa Perusahaan; serta Sektor Jasa-jasa dimasukan ke dalam Sektor Tersier. Salah satu tujuan dari Pembangunan Ekonomi adalah bergesernya kegiatan produksi dari Sektor Primer ke Sektor Sekunder dan Tersier. Hal ini disebabkan oleh karena kegiatan ekonomi di Sektor Sekunder dan Tersier dapat menghasilkan nilai tambah yang lebih besar. Pada grafik 4.1.1 menunjukan bawah Sektor Tersier memberikan konstribusi terhadap PDRB dengan persentase sebesar 53,69% sedangkan Sektor Sekunder

93 sedikit lebih besar dari Sektor Primer dengan persentase untuk Sektor Sekunder sebesar 29,38% dan Sektor Primer sebesar 16,93%.
Grafik 4.1.1 : Grafik Distribusi PDRB Menurut Kelompok Sektor di Kabupaten Sleman Tahun 2003
Sek tor Primer, 16.93 % Sek tor Sek under, 29.38 %

Sek tor Tersier, 53,69 %

B. Analisis Kuantitatif 1. a. Uji Hipotesisi I Derajat Desentralisasi Fiskal Sebagaiman diuraikan dalam Bab I, untuk mengukur Derajat Desentralisasi Fiskal dapat menggunakan beberapa Indikator atau Rasio. Untuk demikian pada pembahasan ini Indikator atau Rasio yang digunakan adalah sebagai berikut : 1) Rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Total Pendapatan Daerah 2) Rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak untuk Daerah dengan Total Pendapatan Daerah

94 3) Rasio Sumbangan Bantuan Daerah dengan Total Pendapatan Daerah Dari perhitungan pada lampiran 1 (satu) tentang tabel Derajat Desentralisasi Fiskal, dapat kita bandingkan Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Sleman sebelum diberlakukannya Otonomi Daerah (tahun anggaran 1990/1991 sampai dengan tahun anggaran 2000) dan setelah diberlakukanya Otonomi Daerah (tahun 2001 sampai dengan tahun 2003 ). Adapun perbandingan yang lebih jelasnya dapat dilihat di tabel 4.6 berikut ini : Tabel 4.6 : Rata-Rata Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Sleman Sebelum dan Di Era Otonomi Daerah (%)
Tahun Anggaran Derajat Desentralisasi Fiskal PAD/TPD BHPBP/TPD SBD/TPD (%) (%) (%)

1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002 2003 Sebelum Otda Rata-rata Sebelum Otda Pada Era Otda Rata-rata di Era Otda Total 206.56 121.3 Rata-rata Sumber : Hasil Pengolahan Data, yang diringkas dari lampiran 1.

903.54

Tabel 4.6 diatas menunjukan bahwa selama 14 (empat belas) tahun, persentase rata-rata rasio PAD (Pendapatan Asli Daerah) terhadap TPD (Total Pendapatan Daerah) sebesar 14,75 %. Jika

95 dibandingkan antara Era Sebelum Otonomi Daerah dan di Era Otonomi Daerah, maka terlihat bahwa Era Sebelum Otonomi Daerah persentase rata-rata rasio PAD terhadap TPD sebesar 16,15% lebih tinggi jika dibanding Era Otonomi Daerah yaitu sebesar 9,62%. Hal ini dapat dikatakan bahwa Kabupaten Sleman di Era Otonomi Daerah terjadi penurunan Derajat Desentralisasi Fiskal antara Pemerintah Pusat dengan Daerah, karena pemberlakuan UU Otonomi Daerah baru berjalan tiga tahun. Derajat Desentralisasi Fiskal juga dapat dilihat dari rasio antara BHPBP (bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak) terhadap TPD. Selama kurun waktu 14 (empat belas) tahun persentase rata-rata rasio BHPBP terhadap TPD adalah sebesar 8,66%, namun besarnya rasio dari tahun ke tahun mangalami fluktuasi. Sedangkan rata-rata Sebelum Otonomi Daerah sebesar 9,3% lebih tinggi jika dibandingkan pada Era Otonomi Daerah yaitu 6,34%. Hal ini dapat dikatakan bahwa Kabupaten Sleman di Era Otonomi Daerah justru terjadi penurunan Derajat Desentralisasi Fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah walaupun masih dalam kategori yang sama yaitu rendah. Rata-rata persentase SBD (sumbangan dan bantuan) terhadap TPD selama kurun waktu 14 (empat belas) tahun sebesar 64,54%. Sedangkan rata-rata Sebelum Otonomi Daerah sebesar 65,16% lebih tinggi jika dibandigkan pada Era Otonomi Daerah yaitu sebesar 62,25%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Sleman memiliki ketergantungan yang sangat tinggi pada pada Pemerintah Pusat dilihat

96 dari rasio SBD terhadap TPD lebih dari 50% dan di Era Otonomi Daerah justru mempunyai ketergantungan yang lebih tinggi. Dari perhitungan pada lampiran 2 tentang proporsi penerimaan daerah terhadap total APBD, dapat kita bandingkan proporsi PAD dengan Total Penerimaan Daerah Kabupaten Sleman sebelum diberlakukannya Otonomi Daerah (tahun anggaran 1990/1991 sampai tahun 2000) dan pada Era Otonomi Daerah (mulai tahun 2001 sampai dengan tahun anggaran 2003). Adapaun perbandingan yang lebih jelas dapat dilihat di tabel 4.7 berikut ini. Tabel 4.7 : Rata-Rata Proporsi Penerimaan Daerah Terhadap Total APBD Kab. Sleman Sebelum Otonomi Daerah dan di Era Otonomi Daerah (%)
Pos Penerimaan Rata-Rata Rata-rata Sebelum Otda 2.48 15.81 9.20 62.91 32.86 30.05 0.50 153.81 Rata-rata di Era Otda 5.45 10.22 6.72 66.09 43.14 0.73 7.50 139.85

Bag. Sis Lbih Th. Lalu 3.15 Bag. PAD 15.68 Bag. Hsl.Pjk&B.Pjk 9.22 Bag. Sbg&Bantuan. 69.08 SDO&Bant.Pemb(DAU) 39.46 Penerimaan lain yg sah 24.85 Pinjaman. Pemda 2.00 Total 163.44 Catatan : sebelum otonomi daerah, masuk dalam Pos Subsidi daerah otonom (SDO) & bantuan Pembangunan, pada era otonomi daerah masuk Pos Dana Alokasi Umum (DAU) sebelum otda dalam pos penerimaan lain yang sah, pada era otda masuk pos Dana Alokasi Khusus (DAK) Pos penerimaan ini selalu berubah-ubah, sebelum tahun anggaran 1999/2000 masuk pos sumbangan dan bantuan, tahun 2000 menjadi SDO dan bantuan pembangunan dan mulai tahun 2001 menjadi DAU. Sumber : hasil pengolahan data sekunder, yang diringkas dari lampiran 2.

Dari hasil diatas terlihat bahwa rata-rata proporsi Pendapatan Asli Daerah dengan Total Penerimaan Daerah di Kabupaten Sleman sebesar 15,68 % Sebelum Otonomi Daerah sebesar 15,81 % lebih

97 tinggi dibandingkan di Era Otonomi Daerah yaitu sebesar 10,22 %. Rata-rata pada Era Otonomi Daerah justru mengalami penurunan yang sangat drastis sebesar 5 %. Hal ini menandakan bahwa Kabupaten Sleman belum sepenuhnya siap untuk menghadapi Otonomi Daerah dipandang dari segi pengumpulan PAD. Dari tabel 4.7 juga dilihat bahwa Sebelum Otonomi Daerah Pos Sumbangan dan Bantuan sebesar 62,91 %. Pada tahun anggaran 1999/2000 dan 2000 Pos Sumbangan dan Bantuan ini dalam APBD Kabupaten/Kota diganti dengan nama Pos Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan Bantuan Pembangunan. Dan berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa proporsi SDO dan Bantuan Pembangunan terhadap Total Penerimaan Daearh (TPD) semakin menurun dari Sebelum Pos Sumbangan dan Bantuan. Penurunannya sebesar 30,05 % (dari 62,91 % menjadi 32,86 %). Pada Era Otonomi Daerah, SDO dan Bantuan Pambangunan ini berubah nama menjadi Dana Alokasi Umum (DAU). Proporsi DAU terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Sleman sebesar 43,16 % sedangkan PAD-nya hanya sebesar 10,22 %. Hal ini menggambarkan bahwa sejak dimulainya Otonomi Daerah Kabupaten Sleman belum bisa mengandalkan PADS (Pendapatan Asli Daerah Sendiri) untuk mencukupi seluruh kebutuhan daerah, sehingga masih tergantung dari Dana Alokasi Umum yang berasal dari pusat, namun sudah bisa dikatakan mandiri. b. Kebutuhan Fiskal (Fiscal Need)

98 Berdasarkan rumus perhitungan tentang Kebutuhan Fiskal yang telah dijelaskan pada bab I dan hasil rata-rata perhitungan standar seD.I Yogyakarta dan Kabupaten Sleman (lihat Lampiran 3) maka kondisi rata-rata kebutuhan standar se-D.I Yogyakarta dan Kabupaten Sleman dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut ini. Tabel 4.8 : Rata-rata Kebutuhan Fiskal Standar Se-Yogyakarta dan Kab. Sleman Tahun 1990/1991 2003
Tahun Anggaran Kebutuhan Fiskal Standar Se-DIY (SKbFP Yk) % 1577.61 1057.13 1156.20 1292.04 1326.61 1493.70 1416.0 1619.0 863.03 856.0 1696.0 2116.5 2824.5 3270.50 Kebutuhan Fiskal Kab. Sleman (SKbFK Slmn) % 4.77 8.47 9.90 9.60 11.16 9.54 15.33 18.20 57.18 70.0 34.72 25.53 23.04 66.25

1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002 2003 A) Seblum Otda Rata-rata sblm otda2) B) di Era Otda Rata-rata pd.Era otda3) Total Rata-rata1) Catatan : 1) Rata-rata kebutuhan fiskal selama kurun waktu 14 tahun (1990/1991 2003) 2) Rata-rata kebutuhan fiskal sebelum otda (tahun 1990/1991 2000) 3) Rata-rata kebutuhan fiskal pada era otda (tahun 2001 2003) Sumber : hasil pengolahan data sekunder, yang diringkas dari lampiran 3.

Dari tabel 4.8 dapat dijelaskan beberapa hal sebagai berikut : 1). Pada tahun anggaran 1990/1991 rata-rata Kebutuhan Fiskal

Standar se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 1577,61 sedangkan Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 4,77. Ini menunjukan bahwa Indeks Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) Kabupaten

99 Sleman adalah sebesar 4,77, angka ini juga menunjukan bahwa Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman 4 kali lebih besar dari ratarata kebutuhan Standar se-D.I Yogyakarta. 2). Pada tahun 1991/1992 rata-rata Kebutuhan Fiskal Standar

se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 1.057,13 sedangkan Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 8,47. Ini menunjukan bahwa Indeks Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) Kabupaten Sleman adalah sebesar 8,47. Angka ini menunjukan bahwa Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman 8 kali lebih besar dari ratarata kebutuhan Standar se-D.I Yogyakarta. 3). Pada tahun 1993/1994 rata-rata Kebutuhan Fiskal Standar

se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 1.156,20. Sedangkan Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 9,90. Ini menunjukan bahwa Indeks Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) Kabupaten Sleman adalah sebesar 9,90. Angka ini menunjukan bahwa Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman 9 kali lebih besar dari ratarata kebutuhan Standar se-D.I Yogyakarta. 4). Pada tahun 1994/1995 rata-rata Kebutuhan Fiskal Standar

se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 1.326,61. Sedangkan Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 11,16. Ini

menunjukan bahwa Indeks Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) Kabupaten Sleman adalah sebesar 11,16. Angka ini menunjukan bahwa Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman 11 kali lebih besar dari rata-rata kebutuhan Standar se-D.I Yogyakarta.

100 5). Pada tahun 1996/1997 rata-rata Kebutuhan Fiskal Standar

se-D.I Yogyakarta mengalami penurunan sebesar 77,74 (dari tahun 1995/1996 sebesar Rp 1493,66 menjadi Rp. 1.416,0 pada tahun 1996/1997). Namun Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman

mengalami kenaikan sebesar 5,79. Ini menunjukan bahwa lndeks Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) Kabupaten Sleman adalah sebesar 5,79. Angka ini menunjukan bahwa Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman 5 kali lebih besar dari rata-rata Kebutuhan Standar se-D.I Yogyakarta. 6). Pada tahun 1997/1998 rata-rata Kebutuhan Fiskal Standar

se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 1.619,0 sedangkan Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 18,20. Ini

menunjukan bahwa lndeks Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) Kabupaten Sleman adalah sebesar 18,20. Angka ini menunjukan bahwa Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman 18 kali lebih besar dari rata-rata Kebutuhan Standar se-D.I Yogyakarta. 7). Pada tahun 1998/1999 rata-rata Kebutuhan Fiskal Standar

se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 863,03. Namun Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman tetap meningkat sebesar 57,18. Ini menunjukan bahwa lndeks Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) Kabupaten Sleman adalah sebesar 57,18. Angka ini menunjukan bahwa Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman 57 kali lebih besar dari rata-rata Kebutuhan Standar se-D.I Yogyakarta. 8). Pada tahun 1999/2000 rata-rata Kebutuhan Fiskal Standar

101 se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 856,0 sedangkan Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 70,0. Ini menunjukan bahwa lndeks. Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) Kabupaten Sleman adalah sebesar 70,0. Angka ini menunjukan bahwa Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman 70 kali lebih besar dari rata-rata kebutuhan Standar se-D.I Yogyakarta. 9). Pada tahun 2000 rata-rata Kebutuhan Fiskal Standar se-D.I

Yogyakarta adalah sebesar Rp. 1696,0 sedangkan Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 34,72. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya maka Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman mengalami penururnan (70,0 menjadi 34,72). Ini menunjukan bahwa lndeks Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) Kabupaten Sleman adalah sebesar 34,72. Angka ini menunjukan bahwa Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman 34 kali lebih besar dari ratarata kebutuhan Standar se-D.I Yogyakarta. 10). Mulai tahun 2001 yaitu pada saat tahun pertama pemberlakuan Otonomi Daerah rata-rata kebutuhan Standart se-D.I Yogyakarta meningkat sampai Rp: 2.116,0. Sedangkan Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 25,53, bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mengalami peningkatan (34,72 menjadi 25,53). Ini menunjukan bahwa lndeks Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) Kabupaten Sleman adalah sebesar 25,53. Angka sebesar ini menunjukan bahwa Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman 25 kali lebih besar dari rata-rata Kebutuhan Standar se-D.I. Yogyakarta.

102 11). Pada tahun 2002 rata-rata Kebutuhan Fiskal Standar se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 2.824,50 sedangkan Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 23,04. Ini menunjukan bahwa lndeks Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) Kabupaten Sleman adalah sebesar 23,04. Angka ini menunjukan bahwa Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman 23 kali lebih besar dari rata-rata Kebutuhan Standar se-D.I Yogyakarta. 12). Pada tahun 2003 yaitu pada saat tahun ke tiga pemberlakuan Otonomi Daerah rata-rata kebutuhan Standart se-D.I Yogyakarta meningkat sampai Rp. 3.270,5. Sedangkan Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 66,25, bila dibandingkan dengan tahun 2002 mengalami peningkatan (23,04 menjadi 66,25). Ini

menunjukan bahwa lndeks Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) Kabupaten Sleman adalah sebesar 66,25. Angka sebesar ini menunjukan bahwa Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman 66 kali lebih besar dari rata-rata Kebutuhan Standar se- D.I. Yogyakarta. 13). Sebelum Otonomi Daerah jumlah Kebutuhan Fiskal Standart seD.I Yogyakarta sebesar 14.353,32 dan di Era Otonomi Daerah sebesar 8212. Sedangkan rata-rata Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman Sebelum Otonomi Daerah sebesar 22,62 dan di Era Otonomi Daerah sebesar 38,27. Dengan rata-rata total antara Kebutuhan Fiskal Standart se-D.I Yogyakarta dan Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman selama 14 tahun sebesar 17090,65 dan 25,98. Ini menunjukan bahwa rata-rata Kebutuhan Fiskal

103 Kabupaten Slernan Sebelum Otonomi Daerah sebesar 25 kali lebih besar dari rata-rata Kebutuhan Fiskal Standart se-D.I Yogyakarta.

c.

Kapasitas Fiskal (Fiscal Capacity) Seperti halnya dengan kondisi Kebutuhan Fiskal, berdasarkan

perhitungan Kapasitas Fiskal Standart se-DI Yogyakarta dan Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman yang bisa dilihat dalam lampiran 4 maka kondisi Kapasitas Fiskal Standart se-DI Yogyakarta dan Kabupaten Sleman dapat dilihat dai tabel 4.9 berikut ini. Tabel 4.9 : Rata-rata Kapasitas Fiskal Standar se-D.I Yogyakarta dan Kab. Sleman Tahun 1990/1991 2003
Tahun Anggaran Kapasitas Fiskal Standar Se-DIY (SKaFP DIY) % 22763.08 16533.74 22146.24 26214.11 31253.81 35625.70 40181.91 43939.98 60077.36 72056.30 79474.80 72087.21 105904.15 117471.66 Kapasitas Fiskal Kab. Sleman (SKaFK Slmn) % 2.81 4.6 3.87 5.57 5.01 4.68 4.44 4.15 2.76 2.31 2.14 2.42 1.70 1.6

1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002 2003 Seblum Otda Rata-rata sblm otda2) Pada Era Otda Rata-rata pd.Era otda3) Total Rata-rata1) Catatan : 1). Rata-rata kapasitas fiskal selama kurun waktu 14 tahun (1990/1991 2003) 2). Rata-rata kapasitas fiskal sebelum otda (tahun 1990/1991 2000) 3). Rata-rata kapasitas fiskal pada era otda (tahun 2001 2003) Sumber : hasil pengolahan data sekunder, yang diringkas dari lampiran 4.

104 Dari table 4.9 di atas dapat dijelaskan beberapa hal sebagai berikut : 1). Pada tahun anggaran 1990/1991 rata-rata Kapasitas Fiskal

Standar se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 22763.08 sedangkan Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 2,81. Ini menunjukan bahwa Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman 2 kali lebih besar dari rata-rata Kapasitas Standar se-DI Yogyakarta. Apabila

dibandingkan dengan Kebutuhan Fiskal, Kabupaten Sleman memiliki Kebutuhan Fiskal lebih besar dari pada Kapasitas Fiskal [Kapasitas Fiskal (Kap.F): 2,81; Kebutuhan Fiskal (Keb.F): 4,77]. 2). Pada tahun anggaran 1991/1992 rata-rata Kapasitas Fiskal se-D.IYogyakarta adalah sebesar Rp. 16533,748

Standar

sedangkan Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 4,6. Ini menunjukan bahwa Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman 4 kali lebih besar dari rata-rata Kapasitas Standar Se-DI Yogyakarta. Apabila dibandingkan dengan Kebutuhan Fiskal, Kabupaten Sleman memiliki Kebutuhan Fiskal lebih besar dari pada Kapasitas Fiskal [Kapasitas Fiskal (Kap.F): 4,6; Kebutuhan Fiskal (Keb.F): 8,87]. 3). Pada tahun anggaran 1992/1993 rata-rata Kapasitas Fiskal

Standar se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 22146,24 sedangkan Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 3,87. Ini menunjukan bahwa Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman 3 kali lebih besar dari rata-rata Kapasitas Standar Se-DI Yogyakarta. Apabila

dibandingkan dengan Kebutuhan Fiskal, Kabupaten Sleman

105 memiliki Kebutuhan Fiskal lebih besar dari pada Kapasitas Fiskal [Kapasitas Fiskal (Kap.F):3,87; Kebutuhan Fiskal (Keb.F): 9,90]. 4). Pada tahun anggaran 1993/1994 rata-rata Kapasitas Fiskal

Standar se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 26214,11 sedangkan Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 5,57. Ini menunjukan bahwa Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman 5 kali lebih besar dari rata-rata Kapasitas Standar se-DI Yogyakarta. Apabila

dibandingkan dengan Kebutuhan Fiskal, Kabupaten Sleman memiliki Kebutuhan Fiskal lebih besar dari pada Kapasitas Fiskal [Kapasitas Fiskal (Kap.F):5,57; Kebutuhan Fiskal (Keb.F)9,60]. 5). Pada tahun anggaran 1994/1995 rata-rata Kapasitas Fiskal

Standar se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 31253,81 sedangkan Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 5,01. Ini menunjukan bahwa Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman 5 kali lebih besar dari rata-rata Kapasitas Standar se-D.I Yogyakarta. Apabila

dibandingkan dengan Kebutuhan Fiskal, Kabupaten Sleman memiliki Kebutuhan Fiskal lebih besar dari pada Kapasitas Fiskal [Kapasitas Fiskal (Kap.F):5,01; Kebutuhan Fiskal (Keb.F): 11,16]. 6). Pada tahun anggaran 1995/1996 rata-rata Kapasitas Fiskal

Standar se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 35625,70 sedangkan Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 4,68. Ini menunjukan bahwa Kapasitas Fiskal Kabupaten Slernan 4 kali lebih besar dari rata-rata Kapasitas Standar se-DI Yogyakarta. Apabila

dibandingkan dengan Kebutuhan Fiskal, Kabupaten Sleman

106 memiliki Kebutuhan Fiskal lebih besar dari pada Kapasitas Fiskal [Kapasitas Fiskal (Kap.F):4,68; Kebutuhan Fiskal (Keb.F): 9,54]. 7). Pada tahun anggaran 1996/1997 rata-rata Kapasitas Fiskal

Standar se-D.I Yogyakarta adalah sebesar Rp. 40181,91 sedangkan Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman sebesar 4,44. Ini menunjukan bahwa Kapasitas Fiskal Kabupaten Sleman 4 kali lebih besar darai rata-rata Kapasitas Standar Se-DI Yogyakarta. Apabila

dibandingkan dengan Kebutuhan Fiskal, Kabupaten Sleman memliki Kebutuhan Fiskal lebih besar dari pada Kapasitas Fiskal [Kapasitas Fiskal (Kap.F):4,44; Kebutuhan Fiskal (Keb.F): 15,33]. 8). Di mulai pada awal krisis ekonomi tahun anggaran

1997/1998 sampai dengan awal tahun pertama Otonomi Daerah hingga tahun 2003 perbandingan antara Kapasitas Fiskal dengan Kebutuhan Fiskal di Kabupaten Sleman memiliki Kapasitas Fiskal lebih kecil dari Kebutuhan Fiskal, sehingga diharapkan selisih kurang tersebut dapat ditutup melalui mekanisme transfer dari pemerintah pusat. Dengan demikian Kabupaten Sleman masih tergantung pada bantuan dana dari Pemerintah Pusat. 9). Jika dilihat dari perbandingan antara Era Sebelum Otonomi

Daerah dengan di Era Otonomi Daerah. Maka disimpulkan bahwa Era Sebelum Otonomi Daerah, Rasio Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman lebih besar dari pada Kapasitas Fiskalnya. Sedangkan di Era Otonomi Daerah, Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman juga lebih besar dari pada Kapasitas Fiskalnya. Sehingga

107 kesimpulannya adalah bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman masih tergantung pada bantuan dari Pemerintah Pusat. d. Upaya Fiskal (Tax Effort) Posisi Fiskal dihitung dengan mencari koefesien elastisitas Pendapatan Asli Daerah terhadap PDRB sebagai berikut : Tabel 4.10 : Pertumbuhan PAD dan PDRB Kab. Sleman Tahun Anggaran 1990/1991 2003
Tahun Anggaran Pertumbuhan PDRB (Hrg.Berlaku) % 0 19,56 14,6 72,08 8,44 8,16 8,25 3,53 -7,9 1,54 3,63 4,00 4,74 4,80 2,54 1,42 9,64

PAD (%)

PDRB (Hrg.Konstan) % 0 8,41 7,51 260,94 8,44 8,16 8,25 3,57 -8,02 1,63 3,54 4,00 -1,9 11,8 1,16 0,62 9,32

1990/1991 0 1991/1992 23,73 1992/1993 -1,7 1993/1994 19,57 1994/1995 54,03 1995/1996 39,31 1996/1997 42,21 1997/1998 40,07 1998/1999 -0,26 1999/2000 15,81 2000 6,02 2001 62,86 2002 31,57 2003 36,16 Elastisitas PAD/PDRB1) Elast PAD/PDRB Sblm Otda2) Elst.PAD/PDRB pd.Era Otda3)

Catatan :
1). Rata-rata Elstisitas PAD/PDRB selama kurun waktu 14 tahun (1990/1991 2003) 2). Rata-rata Elstisitas PAD/PDRB sebelum otda (tahun 1990/1991 2000) 3). Rata-rata Elstisitas PAD/PDRB pada era otda (tahun 2001 2003) Sumber : hasil pengolahan data sekunder, yang diringkas dari lampiran 5.

Dari tabel 4.10 dapat diketahui Upaya/Posisi Fiskal Kabupaten Sleman dengan melihat Elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Berlaku maupun PAD/PDRB Atas Dasar Harga Konstan. Selama kurun waktu 14 tahun dari tahun 1990/1991 2003, Elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Berlaku di Kabupaten Sleman

108 adalah sebesar 2,54 (elastis). Artinya laju pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku berpengaruh terhadap peningkatan PAD yaitu apabila PDRB naik 1%, maka PAD akan meningkat sebesar 2,54. Apabila dilihat dari Elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Konstan selama 14 tahun dari tahun 1990/1991 2003, mempunyai nilai rata-rata Elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Konstan adalah sebesar 1,16 (Elastis). Artinya laju pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan sangat berpengaruh terhadap peningkatan PAD. Berdasarkan tabel di atas juga dapat diketahui bahwa perbandingan Elastisitas PAD terhadap PDRB Sebelum dan di Era Otonomi Daerah ternyata ada perbedaan. Pada Era Sebelum Otonomi Daerah, Kabupaten Sleman mempunyai Elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Berlaku yang sifatnya Elastis (1>). Artinya pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku tidak terlalu berpengaruh terhadap peningkatan PAD. Besarnya Elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Berlaku di Kabupaten Sleman Sebelum Otonomi Daerah adalah sebesar 1,42. Sedangkan Sebelum Otonomi Daerah, Kabupaten Sleman mempunyai Elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Konstan yang sifatnya Inelatis yaitu sebesar 0,62. Sedangkan pada Era Otonomi Daerah, terlihat bahwa Kabupaten Sleman mempunyai Elastisitas PAD terhadap PDRB (baik PDRB Atas Dasar Harga Berlaku maupun PDRB Atas Dasar Harga

109 Konstan) yang bersifat Elastis (1>). Sehingga dapat disimpulkan bahwa, apabila PDRB mengalami kenaikan maka PAD juga akan mengalami kenaikan. Besarnya Elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Berlaku di Kabupaten Sleman adalah sebesar 9,64, sedangkan besarnya Elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Konstan yaitu sebesar 9,32. e. Matrik Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Adapun untuk matrik potensi PAD Kabupaten Sleman dapat dilihat dari tabel 4.11 berikut ini. Tabel 4.11 : Hasil Perhitungan Model Matriks Potensi dari Pajak Daerah di Kabupaten Sleman di Era Otonomi Daerah Tahun 2003
Jenis Pajak Pajak Hotel&Restoran Pajak Hiburan Pajak Reklame Pajak Penerangan Jalan Pajak Pengambilan&Pengelolaan Gal.Golng. C Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah&Permukaan Pertumbuha n
1.73 -0.22 1.96 0.43 4.30 -1.94

Proporsi
3.36 0.10 0.29 2.17 0.046 0.008

Kategori Prima Potensial Berkembang Potensial Berkembang Terbelakang

Catatan : Prima, apabila tingkat pertumbuhan dan proporsinya lebih dari 1 Potensial, apabila tingkat pertumbuhan kurang dari 1, proporsinya lebih dari satu. Berkembang, apabila tingkat pertumbuhan dan proporsinya lebih dari 1 atau proporsinya kurang dari . Terbelakang, apabila tingkat pertumbuhan dan proporsinya kurang dari 1. Sumber : Hasil pengelolaan data sekunder, yang diringkas dari lampiran 6

Jenis Pajak Daerah di Kabupaten Sleman di Era Otonomi Daerah yang mempunyai klasifikasi Pajak Daerah yang berkategori Prima adalah Pajak Hotel dan Restoran. Pajak Hiburan dan Pajak

110 Penerangan Jalan berkategori Potensial. Sedangkan Pajak yang berkategori Berkembang ada dua jenis antara lain adalah Pajak Reklame dan Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Galian Golongan C. Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan masih tergolong berkategori Terbelakang. Maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar Pajak Daerah di Kabupaten Sleman mempunyai potensi yang bagus sehingga diharapkan dapat terus ditingkatkan, hanya ada satu Jenis Pajak yang berkategori Terbelakang. Sementara itu, untuk Jenis Restribusi Daerah dapat dilihat pada tebel 4.12 berikut ini : Tabel 4.12 : Hasil Perhitungan Model Matrik Potensi dari Restribusi Daerah di Kabupaten Sleman di Era Otonomi Daerah tahun 2003
Jenis Restribusi Pertumbuhan Proporsi Kategori R. Pelayanan Kesehetan Potensial 0.89 9.35 R.Plyn.Persampahan/Kebersihan 2.42 0.54 Berkembang R.Penggantian Biaya Cetak 0.78 0.72 Terbelakang KTP&Akta Cat.Sipil R.Parkir di Tepi Jln.Umum 0.3 0.32 Terbelakang R.Pasar Potensial 0.12 1.70 R.Pengujian Kendaraan Bermotor 0.2 0.67 Terbelakang R.Penjualan Produksi Usaha Daerah 0.91 0.38 Terbelakang R.Pemakaian Kekayaan Daerah 1.48 0.21 Berkembang R.Terminal 0.60 0.28 Terbelakang R.Tmp. Parkir Khusus R.Rumah Potong Hewan 1.23 0.79 Berkembang R.Tmp.Rekreasi&Olahraga -0.26 0.79 Terbelakang R.Tmp.Penyebarangan di Atas Air R.Ijin Penggunaan Tanah -2.51 - Terbelakang R.IMB Prima 2.1 1.98 R.Ijin Gangguan 0.61 0.56 Terbelakang R.Ijin Trayek 0.69 0.01 Terbelakang R. Pelayanan Ketenagakerjaan R.Ijin Ketenagakerjaan Potensial 2.32 R.Ijin Keselamatan&Kesejahteraan 0.04 Terbelakang Kerja Catatan : Prima adalah tingkat pertumbuhan dan proporsinya lebih dari 1 Potensial yaitu apabila tingkat pertumbuhan kurang dari 1, proporsinya lebih dari satu.

111
Berkembang adalah jika tingkat pertumbuhan dan proporsinya lebih dari 1 atau proporsinya kurang dari 1 Terbelakang yaitu jika tingkat pertumbuhan dan proporsinya kurang dari 1. Sumber : Hasil pengelolaan data sekunder, yang diringkas dari lampiran 7

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jenis Restribusi Daerah di Kabupaten Sleman di Era Otonomi Daerah yang mempunyai klasifikasi sebagai Restribusi Daerah yang berkategori Prima adalah Restribusi IMB. Ada tiga Jenis Restribusi yang tergolong dalam kategori Potensial antara lain adalah Retribusi Pelayanan Kesehatan, Restribusi Pasar dan Restribusi Ijin Ketenagakerjaan. Sedangkan

Restribusi yang tergolong Berkembang adalah Restribusi Pelayanan Persampahan dan Kebersihan, Restribusi Pemakaiaan Kekayaan

Daerah dan Restribusi Rumah Potong Hewan. Adapun Restribusi yang tergolong berkategori Terbelakang antara lain adalah Restribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga, Restribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil, Restribusi Parkir di Jalan Umum, Restribusi Pengujian Kendaraan Bermotor, Restribusi Penjualan

Produksi Usaha Daerah, Restribusi Ijin Penggunaan Tanah, Restribusi Ijin Trayek, Restribusi Ijin Ganguan dan Restribusi Ijin Keselamatan dan kesejahteraan Kerja. f. Rasio Aktivitas (Keserasian) Rasio Aktivitas (Keserasian) menggambarkan bagaimana Pemerintah Daerah memprioritaskan alokasi dananya pada Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan secara optimal. dapat dilihat dengan melakukan perhitungan rasio belanja rutin terhadap Total Pengeluaran

112 dan Rasio Belanja Pembangunan terhadap Total Pengeluaran. Dari perhitungan pada lampiran 8 dapat kita peroleh rata-rata Rasio Aktivitas (Keserasian) Sebelum Otonomi Daerah dan di Era Otonomi Daerah pada tabel 4.13 berikut ini.

Tabel 4.13 : Rasio Belanja Rutin & Belanja Pembangunan terhadap Total APBD di Kabupaten Sleman Tahun Anggaran 1990/1991 2003
Rasio Belanja rutin terhadap total APBD (%) Rasio Belanja Pembangunan terhadap Total APBD (%) 56.33 53.50 60.27 58.66 56.68 55.74 28.94 33.20 22.96 21.39 23.19 12.37 10.34 63.72

Tahun Anggaran

1990/1991 41.35 1991/1992 36.95 1992/1993 38.39 1993/1994 39.97 1994/1995 37.77 1995/1996 41.70 1996/1997 69.98 1997/1998 66.80 1998/1999 73.64 1999/2000 73.95 2000 69.19 2001 82.67 2002 77.90 2003 28.54 Total Sblm Otda Rata-rata Sblm Otda2) Total Era Otda Rata-rata Pd.Era Otda3) Total Rata-rata1) Catatan : 1). Rata-rata Rasio selama kurun waktu 14 tahun (1990/1991 2003) 2). Rata-rata Rasio sebelum otda (tahun 1990/1991 2000) 3). Rata-rata Rasio pada era otda (tahun 2001 2003) Sumber : hasil pengolahan data sekunder, yang diringkas dari lamp 8.

Dari tabel 4.13 di atas terlihat bahwa rata-rata Rasio Belanja Rutin terhadap Total APBD Kabupaten Sleman selama kurun waktu

113 14 tahun dari tahun 1990/1991 2003 sebesar 55,63 %. Dengan rasio yang sebesar itu menyebabkan Rasio Belanja Pembangunan terhadap Total Pengeluaran Daerah menjadi kecil yaitu hanya sebesar 39,81 %. Apabila dibandingkan dengan perubahan rata-rata Rasio Belanja Rutin pada Era Sebelum Otonomi Daerah dan pada Era Otonomi Daerah bahwa rata-rata Rasio Belanja Rutin pada Era Otonomi Daerah lebih besar dari pada Rasio Belanja Rutin pada Era Sebelum Otonomi Daerah dengan persentase sebesar 63,04% dan 53,61%. Sedangkan rata-rata Rasio Belanja Pembangunan pada Era Sebelum Otonomi Daerah lebih besar dari pada Rasio Belanja

Pembangunan dengan persentase sebesar 42,9% dan 28,81%. Dari perhitungan tabel di atas terlihat bahwa sebagian besar dana yang dimiliki Pemerintah Daerah masih diprioritaskan untuk kebutuhan belanja rutin sehingga rasio belanja pembangunan terhadap APBD masih relatif kecil. Anggaran rutin untuk masing-masing unti kerja, secara umum memiliki komposisi dan format yang sama, yaitu terdiri dari Belanja Pegawai, Belanja barang, Belanja Pemeliharaan, Belanja Perjalanan Dinas dan Belanja lain-lain. Secara umum, struktur pengeluaran rutin semua unit kerja didominasi oleh Belanja Pegawai. Rata-rata kontribusi Belanja Rutin Sebelum Otonomi Daerah dan di Era Otonomi Daerah di Kabupaten Sleman adalah sebagai beriktu :

114

Tabel 4.14 : Rata-rata Kontribusi Komponen Belanja Rutin di Kab.Sleman Sebelum dan di Era Otonomi Daerah
Komponen Belanja Rata-rata Sebelum Otonomi Era Otonomi Daerah1) (%) Daerah2) (%) 66.40 57.27 10.75 19.87 4.50 1.71 0.90 0.50 13.00 14.77 1.17 0.07 0.17 0.46 1.11 0 1.87 4.44

Belanja Pegawai Blj. Baramg Blj. Pemeliharaan Blj.Perjalanan Dinas Blj.Lain-lain Angsr.Pinjaman/Hutang&Bunga Belanja Pensiun Ganjaran,Subsidi&Sumbangan* PengeluaranTdk.TermasukBgn.Ln Pengeluaran TdkTerdugaBantuan lain 0.31 0.90 Catatan : 1). Rata-rata Efektivitas PAD sebelum Otda (tahun 1990/1991 2000) 2). Rata-rata Efektivitas pada era otda (tahun 2001 2003) *). Pos Ganjaran,Subsidi,&Sumbangan setelah otonomi daerah berubah menjadi Pos Bantuan Keuangan Sumber : hasil pengolahan data sekunder, yang diringkas dari lamp. 9.

Dari tabel 4.14 dapat diketahui bahwa sebagian Besar Belanja Rutin Daerah di Kabupaten Sleman digunakan untuk Pos Belanja Pegawai. Pada Era Sebelum Otonomi Daerah, rata-rata konstribusi Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Rutin sebesar 66,40 % sedangkan di Era Otonomi Daerah sebesar 57,27 % Hal ini

menunjukan bahwa rata-rata konstribusi Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Rutin Sebelum Otonomi Daerah dan di Era Otonomi

115 Daerah mengalami peningkatan namun dan terbesar masih digunakan untuk Pos Belanja Pegawai. Rata-rata Konstribusi Barang terhadap Total Belanja Rutin Sebelum Otonomi Daerah dan di Era Otonomi Dearah mengalami penurunan. Penurunan ini disebabkan oleh dana yang terserap di pos Belanja Pegawai. Keadaan yang sama juga terjadi di pos-pos lain seperti Pos Belanja Barang, Pos Belanja Pemeliharaan, Pos Belanja Perjalanan Dinas, Pos Belanja Lain-Lain, Pos Pengeluaran Yang Tidak Termasuk Bagian Lain, Pos Pengeluaran Tidak Terduga. Pos Ganjaran, Subsidi dan Sumbangan Setelah Otonomi Daerah berubah menjadi Pos Bantuan Keuangan sehingga rata-rata konstribusinya terhadap Total Belanja Rutin mengalami penurunan. g. dan Target PAD) 1) Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rasio efektivitas menggambarkan Kemampuan Pemerintah Daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditentukan Efektivitas dan Efesiensi PAD (Analisis Realisasi

berdasarkan potensi riil daerah. Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai mencapai minimal sebesar 1 (satu) atau 100% (seratus persen). Namun demikian semakin tinggi Rasio Efektivitas,

menggambarkan Kemampuan Keuangan Daerah yang semakin baik.

116 Tabel 4.15 : Rata-rata Efektivitas dan Efesiensi PAD Sebelum Otonomi Daerah dan di Era Otonomi Daerah ( %)
Bagian PAD Rata-rata Sblm Otda1) Efektivitas Efesiensi Rata-rata Era Otda2) Efektrivita Efesiensi s 0.20 2.40 0.25 1.81 1.35 1.91 0 0

Pajak Daerah 0.25 1.01 Restribusi Daerah 0.33 1.25 Bag. laba Usha Milk Daerah 1.96 0.94 Penerimaan dari Dinas 1.08 1.02 Catatan : 1). Rata-rata Era Sebelum Otda (tahun 1990/1991 2000) 2). Rata-rata Pada Era Otda (tahun 2001 2003) *). Setelah Tahun anggaran 1999/2000, Penerimaan Dinas-Dinas dihilangkan sebagai salah satu dari PAD Sumber : Hasil pengolahan data sekunder, yang diringkas dari lampiran 10.

Berdasarkan tabel 4.15 menunjukan bahwa untuk Pos Pajak Daerah di Kabupaten Sleman Sebelum Otonomi Daerah

mempunyai Rata-Rata Efektivitas PAD sebesar 1,01% sedangkan rata-rata di Era Otonomi Daerah sebesar 2,40%. Untuk Pos Pajak Daerah sudah memenuhi target yang ditetapkan, karena

mempunyai Rasio Efektivitas lebih dari 1 (satu) atau di atas 100%, jika dibadingkan di Era Otonomi Daerah, Rata-Rata Efektivitas PAD mengalami peningkatan. Untuk Pos Restribusi Daerah di Kabupaten Sleman Sebelum Otonomi Daerah mempunyai rata-rata Efektivitas PAD sebesar 1,25% sedangkan rata-rata di Era Otonomi Daerah sebesar 1,81%. Untuk Pos Restribusi Daerah sudah memenuhi target yang ditetapkan sehingga mempunyai Rasio Efektivitas lebih dari 1 (satu) atau lebih dari 100%. Namun jika dibandingkan dengan pada Era Otonomi Daerah, Rata-Rata Efektivitas PAD mengalami peningkatan.

117 Sedangkan untuk Pos Bagian laba Usaha Milik Daerah mempunyai rata-rata Efektivitas PAD sebesar 0,94% sedangkan rata-rata di Era Otonomi Daerah sebesar 1,91%. Untuk Pos Bagian laba Usaha Milik Daerah sudah memenuhi target yang ditetapkan sehingga mempunyai Rasio Efektivitas lebih dari 1 (satu) atau lebih dari 100%. Untuk Pos Penerimaan dari Dinas-Dinas mempunyai ratarata Efektivitas PAD sebesar 1,02% sedangkan rata-rata di Era Otonomi Daerah tidak ada karena mulai tahun anggaran 1999/2000 Pos ini telah masuk bagian dari Pendapatan Asli Daerah. Akan tetapi Untuk Pos Penerimaan dari Dinas-Dinas Sebelum Era otonomi Daerah sudah memenuhi target yang ditetapkan, karena mempunyai Rasio Efektivitas lebih dari 1 (satu) atau lebih dari 100%. 2) Rasio Efesiensi Rasio Efesiensi merupakan rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima. Kinerja Pemerintah Daerah dalam melakukan

pemungutan pendapatan dikategorikan Efesien apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 (satu) atau dibawah 100 %. Semakin kecil Rasio Efesiensi berarti Kinerja Pemerintah Daerah semakin baik. Untuk itu Pemerintah Daerah perlu menghitung secara cermat berapa besarnya biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan

118 seluruh pendapatan yang diterimanya sehingga dapat diketahui apakah kegiatan pemungutan pendapatannya tersebut Efesien atau tidak. Hal ini perlu dilakukan karena meskipun Pemerintah Daerah berhasil merealisasikan penerimaan pendapatan sesuai dengan target yang ditetapkan , namun keberhasilan itu kurang memiliki arti apabila ternyata biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan target penerimaan pendapatannya itu lebih besar dari pada realisasi pendapatan yang diterimanya. Berdasarkan tabel 4.15 menunjukan bahwa untuk Pos Pajak Daerah di Kabupaten Sleman Sebelum Otonomi Daerah

mempunyai Rata-Rata Efesiensi PAD sebesar 0,25% sedangkan rata-rata di Era Otonomi Daerah sebesar 0,20%. Untuk Pos Pajak Daerah sudah memenuhi target yang ditetapkan, karena

mempunyai Rasio Efesiensi kurang dari 1 (satu) atau di bawah 100%. jika dibadingkan pada Era Otonomi Daerah, Rata-Rata Efesiensi PAD mengalami penurunan. Untuk Pos Restribusi Daerah di Kabupaten Sleman Sebelum Otonomi Daerah mempunyai rata-rata Efesiensi PAD sebesar 0,33% sedangkan rata-rata di Era Otonomi Daerah sebesar 0,25%. Untuk Pos Restribusi Daerah sudah memenuhi target yang ditetapkan sehingga mempunyai Rasio Efesiensi kurang dari 1 (satu) atau dibawah 100%. Sedangkan untuk Pos Bagian laba Usaha Milik Daerah mempunyai rata-rata Efesiensi PAD sebesar 1,96% sedangkan rata-

119 rata di Era Otonomi Daerah sebesar 1,35%. Untuk Pos Bagian laba Usaha Milik Daerah kurang memenuhi target yang ditetapkan, karena Rasio Efesiensi lebih dari 1 (satu) atau di atas 100%. Untuk Pos Penerimaan dari Dinas-Dinas mempunyai ratarata Efesiensi PAD sebesar 1,08% sedangkan rata-rata di Era Otonomi Daerah tidak ada karena mulai tahun anggaran 1999/2000 Pos ini telah masuk bagian dari Pendapatan Asli Daerah. Tetapi untuk Pos Penerimaan dari Dinas-Dinas Sebelum Era Otonomi Daerah tidak memenuhi target yang ditetapkan, karena mempunyai Rasio Efesiensi lebih dari 1 (satu) atau lebih dari 100%. 2. Uji Hipoteisi II Kemandirian Keuangan Daerah dan Pola Hubungannya Kemandirian Keuangan Daerah menunjukan kemampuan

Pemerintah Daerah dalam membiayai sendiri kegaitan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan restribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Pola hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan Keuangan Daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, walaupun pengukuran kemampuan daerah ini akan menimbulkan perbedaan. Ada empat macam pola hubungan (Paul Hersey dan Kenneth Blanchard dalam Abdul halim, 2001: 168-169) yang memperkenalkan Hubungan Situasional yang dapat digunakan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, terutama

120 pelaksanaan UU Nomor 33 dan 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, antara lain : 1). Pola Hubungan Interaktif, peranan Pemerintah Pusat lebih dominan dari pada kemandirian Pemerintah Daerah (daerah tidak mampu melaksanakan Otonomi Daerah) : 2). Pola Hubungan Konsultatif, campur tangan Pemerintah Pusat sudah mulai berkurang, karena daerah sudah dianggap lebih mampu melaksanakan otonomi. 3). Pola Hubungan Partisipatif, peranan Pemerintah Pusat mulai berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat

kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi : 4). Pola Hubungan Delegatif, campur tangan Pemerintah Pusat sudah tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan Otonomi Daerah. Bertolak dari teori diatas, karena adanya potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berbeda, akan terjadi pula perbedaan pola hubungan dan tingkat kemandirian antar daerah. Sebagai pedoman dalam melihat hubungan dengan kemampuan dari sisi keuangannya dapat dikemukakan dalam tabel berikut ini : Tabel 4.16 : Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah
Kemampuan Keuangan Kemandirian (%) Pola Hubungan Rendah Sekali 0 - 25 Instruktif Rendah 25 50 Konsultatif Sedang 50 75 Partisipatif Tinggi 75 - 100 Delegatif Sumber : Bunga Rampai Manajemen Keuangan daerah (Abdul Halim, 2001: 169).

121 Berdasarkan pada tabel 4.116 dan lampiran 9 rata-rata pola hubungan dan tingkat kemandirian daerah baik Sebelum Otonomi Daerah (tahun 1990 2000) dan pada Era Otonomi Daerah (2001 2003) di Kabupaten Sleman adalah sebagai beriktu : Tabel 4.17 : Pola Hubungan dan Rata-rata Tingkat Kemandirian Kabupaten Sleman Tahun 1990/1991 - 2003.
Kemandirian Kemampuan (%) Kurun waktu 14 tahun (1990 2003) 15,98 Rendah Sekali Sebelum Otonomi Daerah 6,6 Rendah Sekali Era Otonomi Daerah 14,04 Rendah Sekali Sumber : Hasil pengolahan data sekunder, yang diringkas dari lampiran 11. Rata-rata Pola Hubungan Instruktif Instruktif Instruktif

Dari tabel 4.17 dapat dikatakan bahwa Kabupaten Sleman mempunyai Tingkat Kemandirian yang dapat dikategorikan rendah sekali. Selama kurun waktu 14 tahun (1990 -2003) tingkat kemandiriannya sebesar 15,98 %. Jika dibandingkan, rata-rata Sebelum Otonomi Daerah Tingkat Kemandirian Kabupaten Sleman sebesar 6,58 % lebih rendah dari pada rata-rata pada saat Era Otonomi Daerah yaitu sebesar 14,04 %. Sehingga dapat dikatakan bahwa Kabupaten Sleman memiliki pola hubungan Instruktif artinya peranan Pemerintah Pusat masih dominan dari pada kemandirian Pemerintah Daerah atau daerah belum mampu melaksanakan Otonomi Daerah.

122

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Keberhasilan Otonomi Daerah diperlukan kesiapan Pemerintah Daerah di segala bidang, terutama kesiapan sumber daya manusia yang mampu menjawab tantangan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah untuk

memberdayakan potensi daerah yang ada sehingga dari segi keuangan yang merupakan unsur utama dalam menjalankan pemerintahan daerah dapat dicapai kemandirian. Berdasarkan hasil analisis maupun pembahasan terhadap kondisi

keuangan Kabupaten Sleman pada Era Sebelum Otonomi Daerah dan di Era Otonomi Daerah, maka dapat diambil kesimpulan baik secara Deskriptif maupun secara Kuantitatif/Uji Hipotesis. 1. Analisis Deskriptif

123 a. Pertumbuhan APBD di Kabupaten Sleman dari tahun ke

tahun selalu mengalami kenaikan. Rata-rata pertumbuhan APBD Sebelum Otonomi Daerah lebih rendah jika dibandingkan dengan ratarata pertumbuhan APBD di Era Otonomi Daerah. b. Kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap

APBD Kabupaten Sleman masih sangat kecil, bahkan secara keseluruhan dari tahun ke tahun rata-rata kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap APBD mengalami penurunan. Rata-rata kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap APBD Sebelum Otonomi Daerah lebih tinggi dari pada konstribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap APBD di Era Otonomi Daerah. Hal ini menunjukan bahwa di Era Otonomi Daerah, ketergantungan

Kabupaten Sleman terhadap Pemerintah Pusat justru cenderung lebih besar. Sedangkan Proporsi Pengeluaran Daerah terhadap APBD sangat tinggi. Untuk itu, Kabupaten Sleman di Era Otonomi Daerah ini perlu menggali lebih banyak lagi Potensi Daerahnya, sehingga dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai Sumber Pendapatan Daerah serta diharapkan perbandingan antara jumlah pendapatan dengan jumlah pengeluaran lebih besar jumlah

pendapatannya atau dapat dikatakan dengan istilah surplus pendapatan. c. Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Sleman mengalami

peningkatan dari tahun ke tahun. Jika dilihat dari PDRB Harga Konstan masing-masing Sektor, Sektor Perdagangan Hotel dan Restoran masih memegang peranan penting dalam Perekonomian di

124 Kabupaten Sleman. Antara Sektor Pertanian dengan Sektor

Perdagangan Hotel dan Restoran di Kabupaten Sleman mempunyai nilai persaingan yang sangat ketat, namun yang memiliki tingkat perkembangan yang semakin meningkat adalah Sektor Perdagangan Hotel dan Restoran. Hal ini disebabkan oleh menurunnya produksi Sektor Pertanian akibat lahan pertanian mulai menyempit serta mulai maraknya kegiatan ekonomi masyarakat di Sektor Perdagangan maka akan mengakibatkan berubahnya Struktur Ekonomi masyarakat Kabupaten Sleman. Sehingga Sektor Perdagangan tampaknya menjadi pilihan yang menarik bagi masyarakat. d. Perkembangan ekonomi kelompok sektor di Kabupaten

dibagi menjadi tiga kelompok, antara lain : Kelompok sektor Tersier, Primer dan Sekunder. Di Kabupaten Sleman kelompok yang memegang peranan penting adalah sektor Tersier yang terdiri dari (Sektor Perdagangan Hotel dan Restoran; Sektor Pengangkutan dan Komunikasi; Sektor Keuangan, Sektor Persewaan, Sektor Jasa Perusahaan; serta Sektor Jasa-jasa). Kelompok sektor yang kedua adalah sektor Sekunder terdiri dari (Sektor Industri Pengolahan , Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih serta Sektor Bangunan) sedangkan kelompok sektor mempunyai nilai persentase paling rendah adalah sektor Primer yang terdiri dari (Sektor Pertanian serta Sektor Pertambangan dan Penggalian). 2. Analisis Kuantitatif

125 a. Dari hasil Analisis Kuantitatif tentang Derajat

Desentralisasi Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya Fiskal, Matrik Potensi PAD, Rasio Aktivitas (Keserasian), Rasio Efektivitas dan Efesiensi PAD sebagai jawaban dari Hipotesis Pertama adalah sebagai berikut : 1) Derajat Desentralisasi Fiskal yang telah

dihitung dengan menggunakan beberapa Indikator atau Rasio yaitu : Rasio PAD dengan Total Pendapatan Daerah, Rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak untuk Daerah dengan Total Pendapatan Daerah, dan Rasio Sumbangan serta Bantuan terhadap Total Pendapatan Daerah menunjukan bahwa : (a) Kabupaten Sleman pada Era Sebelum Otonomi Daerah mempunyai rata-rata Rasio PAD dan rata-rata Rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak terhadap Total Pendapatan Daerah lebih tinggi dari pada rata-rata Rasio PAD dan Rasio rata-rata Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak terhadap terhadap Total Pendapatan Daerah di Era Otonomi Daerah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Sleman belum mampu dalam hal pengumpulan PAD dan BHPBP. Sehingga untuk menutup anggaran daerah, Kabupaten Sleman harus berupaya keras mencari sumber pembiayaan lain sehingga ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat dapat dikurangi. Dengan cara Pemerintah Daerah menawarkan investasi suatu kawasan industri, kawasan perdagangan ataupun kawasan

126 ekonomi lainnya, sehingga investor tidak lagi terlibat dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan birokrasi, legal sistem lainnya maupun dengan masyarakat. (b) Sedangkan Proporsi Penerimaan Daerah terhadap Total APBD antara pos PAD dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebenarnya Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dapat digolongkan Mandiri, karena rata-rata Rasio PAD-nya pada Era Otonomi Daerah selalu meningkat. Namun untuk mencapai tingkat kemandirian keuangan yang optimal, apalagi hanya mengandalkan PAD dan BHPBP maka dibutuhkan waktu yang tidak singkat. 2) Kebutuhan Fiskal yang menggambarkan

tingkat kebutuhan per kapita penduduk apabila pengeluaran daerah Kabupaten Sleman dibagi secara merata kepada seluruh penduduk Kabupaten Sleman, menunjukan bahwa rata-rata Kebutuhan Fiskal Standart se-D.I Yogyakarta mengalami peningkatan yang cukup besar. Tetapi Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman belum tentu mengalami peningkatan. Indeks Pelayanan Publik per kapita Kabupaten Sleman tahun 2002 mengalami peningkatan yang sangat besar. 3) Kapisitas Fiskal yang menggambarkan

besarnya usaha Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman yang diwujudkan dalam PDRB untuk memenuhi pengeluaran daerahnya,

127 menunjukan bahwa dari tahun ke tahun Kebutuhan Fiskal Kabupaten Sleman selalu bertambah sedangkan Kapasitas

Fiskalnya terjadi penurunan. Dalam kondisi demikian, maka untuk menutup kekurangan tersebut masih diperlukan transfer dana dari Pemerintah Pusat. 4) Dari hasil Analisis Kuantitatif tentang

Upaya/Posisi Fiskal yang dihitung dengan rata-rata Perubahan PAD terhadap perubahan PDRB selama kurun waktu sebelas tahun menunjukan hasil yang berbeda. Jika menggunakan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku, maka Struktur PAD cukup baik dengan hasil 1,42 (Elastis). Tetapi jika menggunakan PDRB Atas Dasar Harga Konstan menunjukan hasil yang kurang baik yaitu sebesar 0,62 (Inelastis). Sedangkan rata-rata perubahan PAD terhadap

perubahan PDRB pada Era Otonomi Daerah menunjukan hasil yang baik. Baik menggunakan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku maupun Atas Dasar Harga Konstan dengan hasil 9,64 dan 9,32 (ELatis). 5) Dari hasil Analisis Kuantitaif tentang Matrik Potensi PAD menunjukan bahwa : (a) Ada satu jenis Pajak Daerah di Kabupaten Sleman termasuk dalam Kategori Prima adalah Pajak Hotel dan Restoran. Pajak Hiburan serta Pajak Penerangan Jalan mempunyai kategori Potensial. Sedangkan Pajak yang

berkategori Berkembang ada dua jenis antara lain adalah Pajak

128 Reklame dan Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Galian Golongan C. Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan masih tergolong berkategori Terbelakang. Maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar Pajak Daerah di Kabupaten Sleman mempunyai potensi yang bagus sehingga diharapkan dapat terus ditingkatkan, hanya ada satu Jenis Pajak yang berkategori Terbelakang. Sementara itu, untuk Jenis Restribusi (b) Ada satu jenis Restribusi Daerah di Kabupaten Sleman di Era Otonomi Daerah yang mempunyai klasifikasi sebagai Restribusi Daerah yang berkategori Prima adalah Restribusi IMB. Ada tiga Jenis Restribusi yang tergolong dalam kategori Potensial antara lain adalah Retribusi Pelayanan Kesehatan, Restribusi Pasar dan Restribusi yang Ijin tergolong

Ketenagakerjaan.

Sedangkan

Restribusi

Berkembang adalah Restribusi Pelayanan Persampahan dan Kebersihan, Restribusi Pemakaiaan Kekayaan Daerah dan

Restribusi Rumah Potong Hewan. Adapun Restribusi yang tergolong berkategori Terbelakang antara lain adalah Restribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga, Restribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil, Restribusi Parkir di Jalan Umum, Restribusi Pengujian Kendaraan Bermotor, Restribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah, Restribusi Ijin Penggunaan

129 Tanah, Restribusi Ijin Trayek, Restribusi Ijin Ganguan dan Restribusi Ijin Keselamatan dan kesejahteraan Kerja 6) Aktivitas Berdasarkan Analisis Kuantitatif tentang Rasio (Keserasian) antara Belanja Rutin dan Belanja

Pembangunan menunjukan bahwa : (a) Rata-rata Rasio Belanja Rutin terhadap Total Pengeluaran Daerah Sebelum Otonomi Daerah maupun pada Era Otonomi Daerah di Kabupaten Sleman lebih besar dari rata-rata Rasio Belanja Pembangunan demikian terhadap sebagian Total besar

Pengeluaran

Daerah.

Dengan

anggaran hanya terserap untuk Belanja Rutin yang digunakan untuk membiayai semua keperluan daerah. (b) Pada Era Otonomi Daerah rata-rata Rasio Belanja Rutin terhadap Total Pengeluaran Daerah lebih besar dari pada Sebelum Otonomi Daerah yang mengakibatkan rata-rata Rasio Belanja Pembangunan terhadap Total Pengeluaran Daerah menjadi kecil. Hal ini menunjukan bahwa di Kabupaten Sleman, Belanja Rutin lebih besar dari pada Belanja Pembangunan maka manfaat pembangunan yang diperolah masyarakat Kabupaten Sleman masih rendah. (c) Sebagian besar Belanja Rutin Kabupaten Sleman digunakan untuk membiayai Belanja Pegawai. Pada Era Otonomi Daerah rata-rata konstribusi Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Rutin mengalami penurunan.

130 7) Analisis Kuantitatif tentang Efektivitas dan Efesiensi PAD menunjukan bahwa : (a) Pada Era Sebelum Otonomi Daerah maupun di Era Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman memiliki rasio Efektivitas PAD dari masing-masing Pos Penerimaan Daerah mengalami peningkatan. Hal ini

menggambarkan bahwa kemampuan Pemerintah Daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah semakin baik. (b) maupun di Sedangkan Pada Era Sebelum Otonomi Daerah Era Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah

Kabupaten Sleman memiliki rasio Efesiensi PAD dari masingmasing Pos Penerimaan Daerah mengalami penurunan. Hal ini menggambarkan Kabupaten bahwa kemampuan dalam Pemerintah biaya Daerah yang

Sleman

mengeluarkan

dikeluarkan untuk memungut Pendapatan menunjukan kinerja yang semakin efesien. b. Berdasarkan perhitungan Analisis Kuantitatif tentang

Kemandirian Daerah dan Pola Hubungan sebagai jawaban dari Hipotesis Kedua, menunjukan bahwa Kabupaten Sleman memiliki Kemampuan Keuangan yang rendah sekali yaitu dibawah 25 % sehingga dapat dikatakan bahwa Kabupaten Sleman memiliki Pola Hubungan yang masih bersifat Instruktif. Artinya peranan Pemerintah Pusat lebih dominan dari pada Kemandirian Pemerintah Daerah, (daerah tidak mampu melaksanakan Otonomi Daerah)

131

B. Saran Dari hasil kesimpulan di atas maka dapat dikatakan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dari segi Kemampuan Daerah masih sangat rendah. Untuk itu ada beberapa langkah yang perlu diupayakan agar PAD meningkat serta Otonomi yang sudah berjalan dapat dilaksanakan dengan baik, langkahlangkahnya adalah sebagai berikut : 1. Secara Eksternalitas artinya Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman

seharusnya dapat mengidentifikasi dan menganalisis Potensi Daerah yang ada sehingga peluang-peluang baru untuk Sumber Penerimaan Daerah dapat dicari. Dengan analisis Potensi Daerah tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman untuk penentuan Target Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagai suatu perencanaan dan penjabaran kebijakan Pemerintah Daerah. 2. Secara Intensifikasi, Pemerintah Daerah diharapkan dapat

memperbaiki kinerja pengelolaan pemungutan pajak, antara lain : a). Pendataan kembali Wajib Pajak dan Objek pajak yang sudah

ada dalam rangka penggalian Potensi Daerah. b). Melakukan perhitungan Efektivitas dan Efesiensi Pemungutan

Pajak, sehingga biaya pemungutan dapat diperhitungkan sebelumnya. c). Meningkatkan Kemampuan Perencanaan dan Pengawasan

Keuangan Daerah sehingga tidak terjadi Inefisiensi. 3. Adanya Peningkatan Belanja Rutin yang lebih besar dari pada

Belanja Pembangunan maka Perencanaan dari Bawah (Bottom Up

132 Planning) perlu diupayakan dengan cara semua bantuan keuangan dari Pemerintah Pusat perlu menganut Sistem Bantuan Umum (Block Grant) bukan dalam bentuk Bantuan Khusus (Specific Grant). 4. Keseimbangan Pengeluaran Daerah antara Belanja Rutin dan

Belanja Pembangunan diharapkan akan dapat meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim. (2001). Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPPAMP YKPN. Abdul Halim. (2004). Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah Edisi Revisi. Yogyakarta: UPPAMP YKPN. Ana Dwi Kurniawati. (2004). Analisis Kemampuan Keuangan Daerah di KabupatenSukoharjo (Perbandingan Era Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah). SkripsiMahasiswa S1 Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Tidak Dipublikasikan. Dhinaryati. (2003). Analisis Efektivitas dan Efesiensi Pendapatan Asli Daerah di Era Otonomi Daerah di Kota Surakarta Tahun 1998 - 2002. SkripsiMahasiswa S1 Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Tidak Dipublikasikan.

133 Lincolyn Arsyad. (1999). Pengatar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah.Yogyakarta: BPFE. Mardiasmo. (2002). Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: AndiOffset. Mubyarto. (2001). Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian Indonesia Pasca KrisisEkonomi. Yogyakarta: BPFE M. Masud Said. (10 Maret 2004). Undang-Undang Otonomi baru dan Peranan Strategis Kecamatan, http://www.yahoo.com. Nick Devas, (1989), Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, Jakarta, Universitas Indonesia. Rina Ikasari (2000). Analisis Pelaksanaan Otonomi Daerah di Tinjau Dari Aspek Keuangan Daerah (Studi Kasus Kabupaten Sleman). Skripsi Mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Tidak Dipublikasikan. Sumardi, Dkk. (2002). Kumpulan Makalah Yang dipresentasikan pada Seminar diskusi dan Lokakarya dalam Tingkat Efesiensi Penerimaan Pajak dan Restribusi di Sragen Tahun 1996/1997 - 2000 Sukanto Reksohadiprodjo. (2001). Ekonomika Publik. Yogyakarta: BPFE Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Negara Nomor 3839) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1999 Nomor 72, Tambahan Negara Nomor 3848) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, (2004), Bandung, Citra Umbara. Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, (2004), Bandung, Citra Umbara. Yunastiti Purwaningsih. (2002). Modul Metodologi Penelitian. Surakarta: FakultasEkonomi Universitas Sebelas Maret. Surakarta..

134

Anda mungkin juga menyukai